Ceritasilat Novel Online

Si Kangkung Pendekar Lugu 4

Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung Bagian 4


hubungan baik dimasa lalu, tapi disebabkan rasa duka dan penasaran yang susah
ditahan didalam dadanya. Dirinya sedikitpun tidak pernah berbuat jahat, tapi
sudah disiksa semikian rupa, sampai achirnya orang yang senantiasa dirindukannya
itu secara terang2an mengatakan dirinya adalah "orang jahat".
Ia melihat anak itu mendekati pintu gudang, ia mengharap bocah itu jangan masuk,
tapi entah apa yang diinginkan anak dara itu, achirnya ia melangkah masuk juga
kedalam gudang. Cepat Tik Hun berjongkok dibalik onggok jerami dan dalam hati
berharap bocah itu lekas keluar!
Tapi mendadak anak itu mempergoki Tik Hun, saking kagetnya ia menjadi melongo
ketika melihat keadaan Tik Hun yang compang-camping bajunya dengan berewok
dimukanya yang tak keruan macamnya itu. Bocah itu mewek2 dan hendak menangis,
tapi tidak berani karena ketakutan.
Tik Hun insaf urusan bakal runyam, asal bocah itu menguwak sekali, pasti
jejaknya akan diketahui Jik Hong. Cepat ia melompat maju untuk membopong anak
itu sambil sebelah tangannya menekap mulutnya. Tapi toh sudah terlambat sedikit,
anak itu keburu menangis dulu sekali. Cuma suara tangisannya lantas berhenti
karena mulutnya tertutup oleh tangan Tik Hun.
Namun begitu Jik Hong yang selalu ingat kepada anaknya, begitu mendengar suara
sibocah yang agak aneh itu segera ia menoleh, tapi puterinya sudah tidak
kelihatan, menyusul didengarnya didalam gudang kayu ada suara berkeresekan,
cepat ia memburu kedepan pintu gudang. Maka tertampak olehnya puterinya telah
dibopong oleh seorang laki2 yang rambutnya kusut masai tak keruan, muka dan
tangannya penuh noda darah, bahkan sebelah tangan orang itu sedang menekap
kencang2 dimulut sang puteri. Karuan kejut Jik Hong tak terkatakan, sekali
pedangnya bergerak, terus saja ia menusuk kearah Tik Hun sambil membentak:
"Lepaskan anakku!"
Hati Tik Hun menjadi pedih, timbul lagi kenekatannya: "Kau hendak membunuh aku,
bolehlah kau bunuh saja!" ~ Karena itu, ia hanya tinggal diam saja tanpa
berkelit atas serangan Jik Hong itu.
Namun Jik Hong menjadi tertegun karena kuatir melukai puteri sendiri, cepat ia
tarik kembali pedangnya dan membentak pula: "Lekas lepaskan puteriku!"
Mendengar Jik Hong melulu minta melepaskan puterinya, tapi sama sekali tiada
ingat hubungan baik dimasa lalu, Tik Hun menjadi tambah mendongkol dan sengaja
tidak mau melepaskan bocah itu.
Melihat laki2 bengis itu masih belum mau melepaskan puterinya, Jik Hong semakin
kuatir, jangan2 anaknya akan diculik. Segera pedangnya bergerak pula menusuk
kebahu kanan Tik Hun. Cepat Tik Hun mengegos, menyusul ia sambar sepotong kayu bakar itu, ia menangkis
dan balas menusuk. Jik Hong terkesiap oleh gerakan serangan Tik Hun itu, ia
merasa tipu serangan ini sudah dikenalnya, yaitu gerakan Kiam-hoat 'Ko-hong-hansiang-lay' (seharusnya Koh-hong-hay-siang-lay). Maka tanpa pikir lagi ia
mendakan tubuh untuk menghindar, menyusul iapun balas menyerang dengan tipu
timpalannya 'Si-heng-put-kam-koh' (seharusnya Ti-heng-put-kam-koh).
Sebenarnya gudang kayu itu sangat sempit dan penuh kayu dan rumput jerami,
tempat yang luang itu hanya tiba cukup untuk dibuat putar dua orang saja. Maka
pertarungan mereka sesungguhnya kurang bebas dan sangat terganggu. Tapi karena
sejak kecil Tik Hun satu guru dengan Jik Hong serta selalu latihan bersama,
setiap hari mereka mesti saling gebrak untuk melatih ilmu pedang, maka terhadap
setiap gerak serangan masing2 sudah saling diapalkan.
Kini melihat Jik Hong mengeluarkan tipu serangan seperti biasanya diwaktu mereka
latihan dahulu, segera ia putar pedangnya kesamping untuk kemudian dibuat
menangkis. Akan tetapi "plak" tahu2 kayu yang dipakai sebagai pedang itu
kesampluk jatuh kelantai, seketika ia tercengang, tapi segera iapun sadar: "Ah,
jariku sebagian sudah terpapas, selama hidup ini aku takkan dapat menggunakan
pedang lagi!" Untuk sejenak ia ter-mangu2 memandangi jari tangan sendiri yang sudah hilang
sebagian itu. Ketika ia mendongak pula, ia lihat ujung pedang Jik Hong sudah
mengancam di ulu hatinya dengan agak gemetar, wajah sang Sumoay itu tampak kaget
tak terhingga. Untuk beberapa lama mereka cuma saling pandang belaka dan sama2
tidak sanggup buka suara.
"Eng ....... engkau?" sampai agak lama baru dapat tercetus sepatahkata ini dari
mulut Jik Hong dengan suara yang serak dan hampir2 tak terdengar.
Tik Hun mengangguk dan mengangsurkan dara cilik yang dibopongnya itu, Jik Hong
membuang pedangnya dan cepat menerima puteri kesayangannya, untuk sesaat ia
tidak tahu cara bagaimana harus bicara. Rupanya saking ketakutan, dara cilik itu
menyisipkan kepalanya dipelukan sang ibu dan tidak memandang lagi kepada Tik Hun
yang menakutkan itu. "Aku .......... aku tidak tahu adalah engkau," kata Jik Hong kemudian. "Selama
be ....... beberapa tahun ini ........"
Belum selesai ucapannya tiba2 terdengar suara seorang lelaki sedang me-manggil2
diluar sana: "Hong-moay, Hong-moay! Dimanakah dikau?" ~ suara itu semakin dekat
dan kedengaran menuju kedalam kebun sayur.
Seketika air muka Jik Hong berubah hebat, segera ia membisiki puteri dalam
pelukannya itu: "Khong-sim-jay, Pe-pek (paman) ini bukan orang jahat, jangan kau
katakan kepada ayah, ya, manis?"
Tanpa merasa dara cilik itu memandang sekejap lagi kepada Tik Hun dan melihat
coraknya yang menyeramkan itu, kembali ia mewek dan menangis lagi.
Mendengar suara tangisan anak perempuan itu segera laki-laki diluar itu memburu
datang kearah suara dan berseru: "Khong-sim-jay! Jangan menangis, jangan
menangis! Ayah berada disini!"
Jik Hong memandang sekejap kepada Tik Hun, lalu putar tubuh bertindak keluar,
sekalian ia tarik daun pintunya dan dirapatkan. Ia bawa puterinya memapak kearah
datangnya sang suami. Dengan ter-mangu2 Tik Hun terpaku ditempatnya, aneka-macam perasaan mencengkam
hatinya. Ditepi telinganya se-akan2 mendenging sesuatu suara: "Aku ingin mati
saja, biarlah aku mati saja!'
Ia dengar suara lelaki tadi sedang berkata diluar sana dengan tertawa: "Kenapa
Khong-sim-jay menangis" O, manis, kau terkejut barangkali?"
Tik Hun kenali suara itu adalah suaranya Ban Ka, suami Jik Hong sekarang. Ia
sangat ingin mengintip keluar untuk melihat bagaimana cecongor orang itu, tapi
kakinya serasa takmau turut perintahnya dan tetap terpaku dilantai. Sebaliknya
terdengar Jik Hong sedang berkata dengan tertawa: "Aku sedang memain dibelakang
dengan Khong-sim-jay dan mendadak mendengar dua penunggang kuda lewat dengan
cepat, penunggang2 kuda itu bersenjata dan tampaknya sangat buas, Khong-sim-jay
menjadi ketakutan dan menangis,"
"O, mereka bukan orang jahat, tapi mereka adalah petugas pemerintah yang sedang
menguber penjahat," ujar Ban Ka. "O, manis, marilah ayah membopong. Nanti ayah
hajar penjahat. Khong-sim-jay jangan takut, penjahat2 itu tentu ayah bunuh
semua." Diam2 Tik Hun terperanjat, sungguh tak terpikir olehnya bahwa kepandaian
berdusta kaum wanita ternyata begitu hebat. Setelah begitu cerita Jik Hong,
tentu suaminya tidak akan curiga lagi biarpun nanti sianak berkata apapun. Namun
lantas terpikir oleh Tik Hun: "Hm, aku toh tidak perlu perlindungannya. Kau
hendak menangkap aku, hendak membunuh aku, hayolah kemari!"
Segera ia melangkah kepinggir jendela dan mengintip keluar, ia lihat seorang
pemuda berpakaian sangat perlente sedang berjalan kesana sambil membopong anak
perempuan tadi. Jik Hong tampak berjalan berendeng dengan pemuda itu sambil
menggelendot dibahunya, sikapnya sangat mesra sekali.
Tentang Jik Hong diperisterikan oleh Ban Ka, dahulu meski sering dipikirkan oleh
Tik Hun, tapi baru sekarang untuk pertama kalinya ia menyaksikan dengan mata
kepala sendiri. Dahulu bila timbul chayalannya, selalu tinggal suatu harapan
baginya, yaitu mengharap agar cerita tentang Jik Hong telah menikah dengan Ban
Ka itu adalah bualan Sim Sia belaka. Akan tetapi kini bukti menjadi saksi,
keadaan yang kelihatan didepan matanya pastilah bukan omong kosong. Seketika
darahnya mendidih dan mata gelap. Teringat olehnya sebab musababnya dia
dipenjarakan dan menderita sebagai dineraka, semuanya berkat keculasan orang
didepan matanya itu. Bahkan kekasih yang dicintainya dengan segenap jiwa raganya
itu kini telah dipersunting oleh musuh besar itu.
Dalam keadaan pikiran pepet, tiada jalan lain baginya daripada membunuh Ban Ka
atau mesti dibunuh olehnya. Tanpa ayal lagi terus saja ia sember pedang yang
ditinggalkan Jik Hong itu sambil berteriak: "Aku .............."
Namun mulutnya menjadi mengap tak meneruskan teriakannya, maksudnya menerjang
keluar untuk mengadu jiwa dengan Ban Ka diurungkan ketika diwaktu berjongkok
sekilas dilihatnya mayat Ting Tian yang diuruknya dengan rumput jerami itu,
wajah sang Toako yang sudah tak bernyawa itu tampak tenang2 dengan kedua matanya
tertutup rapat. Tiba2 menjadi teringat olehnya pesan Ting Tian sebelum
menghembuskan napasnya yang penghabisan, dengan sangat sang Toako minta agar
mayatnya dikubur menjadi satu liang bersama Leng-siocia. Dan kini kalau dirinya
menerjang keluar untuk melabrak Ban Ka, jika dirinya mati itu tidaklah menjadi
soal, tapi cita2 Ting-toako itulah menjadi tak terlaksana.
Segera timbul pula pikirannya: "Ah, mengenai hal ini aku dapat minta bantuan
Sumoay, mungkin ia takkan keberatan untuk menyelesaikannya bagiku." ~ Tapi ia
lantas memaki pula dirinya sendiri. "Fui, fui! Kau Tik Hun anak yang tak
berguna! Engkau sendiri tidak mau bertanggung jawab atas tugas suci itu, mengapa
kau pasrahkan kepada orang lain" Jika kau sudah mati, apa kau ada muka untuk
bertemu dengan Ting-toako dialam baka" Apalagi perempuan yang tipis budi dan
tidak teguh imannya seperti Jik Hong itu masakah masih dapat dipercaya" Apa yang
dia bisa lakukan bagimu?"
Karena pikirannya itu, pelahan2 dapatlah ia mengatasi bergolaknya perasaan. Tapi
suara teriakannya yang urung tadi sudah lantas mengejutkan Ban Ka. Terdengar
orang she Ban itu sedang berkata: "He, aku seperti mendengar digudang kayu sana
ada suara orang?" "Apa ya?" sahut Jik Hong tertawa. "Ah, tentu si koki Lau Ong, tadi kulihat dia
masuk kesana untuk mengambil kayu. Eh, engkoh Ka, Yan-oh-theng (sop sarang
burung) yang kubuatkan itu mungkin sudah dingin, lekaslah engkau pergi
memakannya. Khong-sim-jay sedari tadi hanya ribut saja, biarlah aku membawanya
kekamar biar tidur."
Ban ka mengiakan keterangan sang isteri itu. Sambil membopong puterinya, suamiisteri itupun pergilah dari situ.
Seketika itu otak Tik Hun se-akan2 kosong blong, ia takdapat memikirkan apa2
lagi. Selang agak lama, ia ketok2 kepalanya sendiri dengan kepalan dan membatin:
"Betapapun gudang kayu ini bukan tempat sembunyi yang sempurna, kalau benar2 apa
yang dikatakan sikoki Lau Ong itu datang kemari hendak mengambil kayu, lantas
bagaimana" Rasanya lebih baik kusembunyikan jenazah Ting-toako disini, lalu aku
sendiri menggeloyor keluar dari sini, malam nanti aku akan kembali lagi untuk
mengusung jenazah Ting-toako. Ya, jalan ini sangat bagus!" Ia pukul tangan
sendiri dengan keputusannya itu.
Akan tetapi toh dia merasa berat untuk melangkah keluar dari gudang itu. Baru ia
melangkah setindak, mendadak suatu suara se-akan2 sedang membisiki telinganya.
"Jangan, jangan pergi dari sini! Jik-sumoay pasti akan datang kembali untuk
menjenguk aku. Pabila aku pergi dari sini, untuk selanjutnya takkan dapat
berjumpa lagi dengan dia."
Kemudian timbul pula pikiran2 lain: "Ah, andaikan aku berjumpa lagi dengan dia,
apa paedahnya" Dia toh sudah bersuami, punya anak, sekeluarga mereka hidup
bahagia dan riang gembira, masakah dia masih ingat kepada seorang buronan
seperti aku ini" Sekalipun aku berjumpa lagi dengan dia juga akan menyusahkan
diri sendiri?" ~ "Ai, sudah sekian tahun aku menunggu didalam penjara, yang
kuharap yalah dapat bersua pula dengan Sumoay, kini orangnya sudah disini,
masakah kesempatan ini ku-sia2kan" Aku toh tidak punya maksud apa2, aku hanya
ingin bertanya bagaimana dengan Suhu selama ini, apakah ada kabar berita tentang
beliau" Aku ingin tanya Sumoay mengapa suka yang baru dan bosan yang lama,
mengetahui aku masuk penjara, lantas sama sekali tak ingin lagi padaku." ~ "Tapi
ai, apa gunanya bertanya padanya" Hanya ada dua kemungkinan dari jawabannya.
Kalau dia tidak berdusta, tentu mengaku terus terang, mungkin malah akan
menambah rasa dukaku saja."
Begitulah Tik Hun menjadi ragu2, sebentar ambil keputusan akan pergi dari situ,
lain saat timbul pula pikirannya yang lain. Sebenarnya tabiat Tik Hun sangat
lugu dan tegas, tidak pernah sangsi2 untuk mengambil sesuatu tindakan. Tapi
menghadapi persoalan maha besar selama hidupnya ini, ia menjadi bingung apa yang
dia harus lakukan. Tinggal disitu rasanya kurang aman, kalau tinggal pergi,
rasanya berat. Sedang Tik Hun dicengkam rasa bimbang, tiba2 didengarnya ada suara tindakan
orang dikebun sayur itu. Terdengar seorang mendatangi dengan berjalan berjinjit2. Berjalan beberapa langkah, orang itu lantas berhenti seperti sangat
ber-hati2, kuatir kalau dipergoki orang.
Makin lama orang itu makin mendekat. Hati Tik Hun menjadi ber-debar2. "Achirnya
Jik-sumoay datang juga mencari aku. Apakah yang hendak dia bicarakan padaku" Apa
ingin minta ma'af padaku" Masihkah dia ingat pada hubungan baik dimasa silam?"
Tapi ia menjadi ragu2 pula: "Apakah yang harus kubicarakan dengan Sumoay" Ai,
sudahlah, sudahlah! Mereka suami-isteri hidup bahagia, lebih baik aku jangan
menemuinya lagi untuk selamanya."
Begitulah hatinya yang penuh rasa dendam itu seketika menjadi cair sebagai es.
Ia pikir dirinya asalnya cuma seorang pemuda desa, andaikan tidak menderita
dipitenah seperti ini dan Sumoay dapat menjadi isterinya, benar dirinya akan
merasa bahagia, tapi sang Sumoay mesti memeras tenaga berjerih-payah selama
hidup disawah-ladang, hidup seperti itu tentu takkan membahagiakan sang kekasih.
Kini apakah aku harus menuntut balas dan membunuh Ban Ka" Sumoay tentu akan
menjadi janda dan apakah mungkin masih akan menikah padaku, menikah kepada
pembunuh suaminya" Ai, permusuhan ini biarlah kita hapuskan sampai disini saja,
biarkan mereka suami-isteri, ibu dan anak hidup beruntung untuk hari2
selanjutnya. Demikian keputusan Tik Hun achirnya.
Karena itu, ia sudah ambil ketetapan takkan banyak bicara dengan Jik Hong lagi.
Segera ia hendak mengangkat keluar jenazah Ting Tian dari dalam timbunan jerami.
Mendadak terdengar suara "blang" yang keras, pintu gudang itu telah didepak
orang dari luar. Keruan Tik Hun kaget, cepat ia berpaling dan terlihatlah
seorang laki2 jangkung dengan pedang terhunus telah berdiri diambang pintu.
Ternyata orang itu bukanlah Jik Hong seperti apa yang disangkanya, tapi adalah
Ban Ka. Tik Hun bersuara heran pelahan, tanpa pikir lagi ia jumput kembali pedang yang
ditinggalkan Jik Hong tadi.
Wajah Ban Ka tampak sangat beringas, apalagi melihat pedang yang dipegang Tik
Hun itu adalah milik Jik Hong, keruan ia tambah cemburu dan benci, segera
katanya dengan dingin: "Bagus! Mengadakan pertemuan gelap digudang kayu ini,
bahkan senjatanya juga ditinggalkan untukmu, apakah merencanakan pembunuhan
suami, ya" Hm, mungkin tidak sedemikian mudah!"
Tik Hun sendiri sedang bingung pikirannya hingga seketika tidak tahu apa yang
sedang dikatakan Ban Ka. Yang terpikir olehnya hanya: "Mengapa ia bisa datang
kemari" Dari siapa ia mengetahui aku bersembunyi disini" Ya, ya, tentu dia yang
mengatakan dan suruh suaminya menangkap aku untuk mendapatkan hadiah yang
disediakan Leng-tihu itu. Ai, mengapa dia sedemikian tak berbudi dan tidak ingat
kebaikan dahulu?" Melihat Tik Hun bungkam saja, Ban Ka menyangka pemuda itu merasa salah hingga
ketakutan, tanpa bicara lagi pedangnya terus menusuk cepat kedada Tik Hun.
Tapi sekali putar pedangnya, dengan sendirinya Tik Hun menangkis dengan sejurus
Kiam-hoat ajaran sipengemis tua dahulu, berbareng ujung pedangnya memuntir dan
balas mengincar tenggorokan lawan.
Jurus ilmu pedang Tik Hun ini sangat aneh, dahulu Ban Ka tak mampu menangkis,
selang lima tahun kemudian, tetap ia tidak sanggup menangkis, walaupun
sebenarnya selama ini ilmu pedangnya sudah banyak lebih maju. Sebab tahu2 ujung
pedang Tik Hun sudah mengancam dilehernya, dalam kagetnya Ban Ka menjadi bingung
cara bagaimana harus mengelakan diri. Untuk menangkis terang tidak keburu lagi,
hendak balas menyerang juga sudah ketinggalan. Dan karena sedikit ragu2 itu,
jiwanya boleh dikata sudah tergantung diujung pedangnya Tik Hun. Ia menjadi
penasaran dan murka, tapi toh takbisa berkutik.
Melihat wajah Tik Hun penuh berewok yang tak teratur dan kotor, rasa murka Ban
Ka pelahan2 berubah menjadi jeri. Teringat olehnya dirinya yang menjebloskan
pemuda itu kedalam penjara dengan tipu akal yang licik untuk kemudian merebut
kekasihnya sebagai isteri sendiri, siapa duga sampai achirnya toh Jik Hong juga
membohongi dirinya. Masih terhitung dirinya cukup cerdik, ketika melihat ada
bekas darah yang mengarah kegudang kayu, ditambah lagi sikap Jik Hong dan
puterinya yang masih kecil itu agak aneh, makanya timbul curiganya. Akan tetapi,
ilmu pedang buronan ini ternyata sangat aneh, sejurus saja dirinya sudah tak
berdaya. Apakah aku akan mati dibawah tangannya sekarang"
Namun tusukan Tik Hun ternyata tidak diteruskan, ber-ulang2 timbul pertanyaan
dalam hatinya: "Aku membunuh dia atau tidak" Aku membunuh dia atau tidak?"
Dasar watak Ban Ka memang sangat cerdik dan culas, pada detik berbahaya itu
tiba2 dilihatnya sinar mata Tik Hun mengunjuk rasa ragu2, tangan yang memegang
pedang itu juga rada gemetar, terus saja ia berseru: "Jik Hong, kemarilah kau!"
Tik Hun menjadi kaget mendengar Jik Hong disebut, ia berpaling sedikit hendak


Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat Sumoay itu. Tak terduga itu cuma akal bulus si Ban Ka belaka, sedikit
Tik Hun lengah, tanpa ayal Ban Ka sampukan pedangnya keatas sekuatnya.
Karena jari tangannya sudah terpapas sebagian, dengan sendirinya genggaman Tik
Hun kurang kencang, kena dibentur pedang Ban Ka yang kuat itu, kontan pedangnya
terlepas dari cekalan dan mencelat keluar jendela.
Sekali serang membawa hasil, Ban Ka tidak mau berbuat kepalang tanggung;
menyusul pedangnya menusuk pula. Terpaksa Tik Hun mesti berkelit kian kemari dan
mengumpet dibelakang onggokan kayu. Sekenanya ia sambar sebatang kayu sebagai
pedang dan balas menyerang dengan cepat.
Tapi ketika kedua senjata saling beradu, pedang Ban Ka yang tajam telah papas
kutung batang kayu Tik Hun itu. Cepat Tik Hun timpukan sisa kayunya itu kearah
Ban Ka, dan dikala Ban Ka terpaksa melompat berkelit, segera Tik Hun melolos
lagi sebatang kayu yang lain untuk menyerang pula.
Melihat lawannya sudah kehilangan senjata tajam, kemenangan sudah pasti berada
ditangan dirinya, Ban Ka menjadi girang. Ia pikir meski badan sendiri terkena
sekali dua oleh pedang kayu musuh juga tiada halangannya. Maka sesudah tenangkan
diri, ia ganti siasat, ia mainkan ilmu pedangnya dengan kalem dan menyerang
secara beraaturan. Taktik Ban Ka itu ternyata berhasil juga, hanya sebentar saja lantas terdengar
suara gerengan Tik Hun yang murka, rupanya tangan kanannya terluka, entah otottulangnya cacat tidak, yang terang darah lantas mengucur keluar, karena itu,
tangannya menjadi lemas dan melepaskan batang kayu yang dipakai sebagai senjata
itu. Tanpa ampun lagi Ban Ka lantas menambahi sekali lagi hingga paha Tik Hun
tertusuk, menyusul kakinya mendepak, kontan Tik Hun terjungkal. Ia me-ronta2
hendak merangkak bangun, tapi lagi2 Ban Ka menendang kerahangnya, seketika Tik
Hun kelengar. "Hm, pura2 mati?" damperat Ban Ka, kembali pedangnya membacok sekali dibahu
kanan Tik Hun. Ketika melihat pemuda itu tak berkutik, baru ia percaya orang
sudah pingsan sungguh2. Ia pikir: "Leng-tihu telah menjanjikan lima ribu tahil
emas sebagai hadiah kepada siapa yang dapat menawan kembali kedua buronannya,
dengan sendirinya ada lebih baik aku menangkapnya hidup2. Toh sekali ini kalau
dijebloskan lagi kedalam penjara, sitolol ini pasti akan melayang jiwanya, buat
apa aku mesti membunuhnya dengan tanganku sendiri?"
Lain saat, sekilas tiba2 dilihatnya dibawah onggokan jerami sana menjulur keluar
sebelah kaki orang. Ia terkejut dan bergirang pula. "He, disini masih ada
seorang lagi!" serunya didalam hati. Ia tidak tahu kalau Ting Tian sudah mati,
maka pedangnya terus membacok kekaki mayat Ting Tian itu.
Ber-ulang2 ia membacok dua kali dan melihat orang itu tidak bergerak, baru
sekarang ia tahu orang sudah mati. Segera ia hendak menariknya keluar.
Dalam pada itu meski Tik Hun jatuh semaput karena tendangan Ban Ka tadi, namun
dalam benaknya se-akan2 ada satu suara telah berteriak padanya: "Aku tidak boleh
mati! Aku tidak boleh mati! Aku sudah berjanji kepada Ting-toako untuk
menguburnya bersama dengan Leng-siocia.
Entah disebabkan pikiran yang kuat itu atau bukan, yang terang segera ia dapat
siuman kembali, pelahan2 ia membuka matanya, samar2 ia melihat pedang Ban Ka
sedang membacok keatas jenazahnya Ting Tian.
Semula Tik Hun masih belum jernih pikirannya dan tidak tahu apa artinya kejadian
didepan matanya itu. Tapi segera dilihatnya Ban Ka hendak menyeret keluar
jenazah Ting Tian dari dalam onggokan rumput jerami. Terus saja Tik Hun
berteriak. "Jangan mengganggu Ting-toakoku!" ~ dan entah tenaga mendadak timbul
dari mana, seketika ia meloncat bangun terus menubruk kebelakang Ban Ka, sekuat
tenaga ia mencekik leher lawan itu.
Dalam kagetnya segera Ban Ka tusukan pedangnya kebelakang. Tak tersangka olehnya
bahwa Tik Hun memakai Oh-jan-kah yang kebal, meski pedangnya kena menusuk
diperut Tik Hun, tapi toh tidak dapat masuk kedalam perut. Sebaliknya cekikan
Tik Hun dilehernya itu makin lama semakin kencang.
Karena melihat jenazah Ting Tian dirusak Ban Ka, Tik Hun menjadi murka seperti
orang kalap. Sakit hati tentang dirinya dipitenah dan disiksa selama ini, sang
kekasih direbut, semuanya ini masih dapat dia hapuskan seperti keputusannya
tadi. Tapi kini jenazah Ting Tian dicacat pula sedemikian rupa, hal ini
betapapun ia tidak terima. Seketika itu tiada pikiran lain lagi dalam benaknya
selain ingin cepat2 mencekik mati musuhnya itu.
Tapi karena ia terluka beberapa tempat, darah mengucur terus dari lukanya, ia
merasa lambat-laun Ban Ka tidak kuat meronta lagi, sebaliknya tenaga cekikannya
sendiri juga lantas lenyap dengan cepat. Ia coba kuatkan diri: "Tahanlah
sebentar lagi! Tahanlah sebentar lagi! Supaya dapat mencekik mati dia!" ~ dan
sampai achirnya matanya menjadi ber-kunang2 dan pikirannya gelap, achirnya
segala apa tidak dapat dirasakan lagi.
Meski Tik Hun sudah pingsan, tapi tangannya yang mencekik dileher Ban Ka itu
masih belum dilepaskan, namun dengan sendirinya sudah tidak bertenaga pula. Ban
Ka jatuh pingsan karena takdapat bernapas, berbareng Tik Hun juga tak sadarkan
diri. Maka menggeletaklah kedua pemuda musuh bebuyutan itu diatas rumput jerami.
Keduanya seperti sudah mati semua, tapi dada mereka masih berkempas-kempis,
napas mereka masih bekerja.
Keadaan mereka menjadi untung2an, siapa lebih dulu siuman, siapa akan menang.
Kalau Tik Hun siuman lebih dulu, dengan sendirinya Ban Ka akan dibunuh olehnya,
sebaliknya kalau Ban Ka sadar dulu, jiwa Tik Hun pasti melayang, tidak nanti ia
berani mengambil risiko menawan Tik Hun hidup2 seperti rencana semula.
Segala apa mungkin terjadi didunia yang fana ini. Orang baik belum tentu
bernasib baik dan orang jahat belum tentu bernasib buruk. Begitu pula
sebaliknya. Setiap orangpun pasti akan mati, orang yang mati kemudian juga belum
tentu hidup beruntung, tapi bagi orang yang masih hidup, seperti mengenai Jik
Hong dan puterinya yang masih kecil, soal siapa yang mati lebih dulu diatara Tik
Hun dan Ban Ka terdapat suatu perbedaan yang sangat besar. Pabila dalam keadaan
seperti itu Jik Hong disuruh pilih salah satu diantara mereka agar bisa siuman
lebih dulu, entah siapa yang akan dipilih oleh Jik Hong"
Begitulah kedua orang yang menggeletak didalam gudang kayu itu masih tetap belum
sadarkan diri, sementara itu terdengar suara tindakan seorang yang pelahan2
mendatangi. Siapakah gerangan yang datang itu..........."
********** Sebelum jernih pikiran Tik Hun lebih dulu ia mendengar suara mendeburnya air,
mukanya terasa dingin2 perih oleh tetesan2 benda cair, lalu badannya terasa
kedinginan dan sangat lemah. Dan begitu pulih daya perasaannya, segera kedua
tangannya mencengkeram keras2 sambil berteriak: "Kucekik mampus kau, kucekik
mampus kau!" ~ Namun benda yang terpegang ditangannya itu adalah benda keras dan
bukan leher Ban Ka lagi. Menyusul ia merasa badannya terombang-ambing kekanan
dan kekiri. Ia terkejut dan cepat membuka mata, tapi suasana didepannya gelap gelita, air
ber-ketes2 diatas kepalanya, didadanya dan diseluruh badannya. Kiranya air
hujan. Badan Tik Hun masih terus terombang-ambing, dadanya terasa enek dan ingin
muntah. Tiba2 dilihatnya sebuah perahu meluncur lewat disampingnya, perahu itu
berlayar. Ya, terang gamblang itulah benar2 sebuah perahu layar. Ia menjadi
heran, mengapa disampingnya bisa ada perahu lewat"
Ia ingin bangun untuk melihat apa yang sebenarnya" Tapi antero tubuhnya terasa
lemah tanpa tenaga sedikitpun. Pendek kata, tempat dimana dia berada sekarang
terang bukan didalam gudang kayu lagi.
Mendadak timbul ingatan padanya: "He, dimanakah Ting-toako?" ~ Teringat pada
Ting-toako, mendadak timbul semacam tenaga padanya, segera ia gunakan tangannya
untuk menahan dan dapatlah ia berduduk, walaupun badannya tergeliat beberapa
kali. Maka dapatlah Tik Hun mengetahui keadaan sekitarnya. Kiranya dia berada didalam
sebuah sampan yang sedang meluncur kemuara sungai mengikuti arus air. Saat itu
adalah malam, langit gelap gelita dengan awan mendung yang tebal dan sedang
hujan lebat. Ia celingukan kesana dan kesini, tapi keadaan kelam-lebam, ia
menjadi kuatir dan ber-teriak2: "Ting-toako! Ting-toako!"
Ia tahu sang Toako sudah meninggal, tapi jenazahnya sekali2 tidak boleh hilang.
Se-konyong2 sebelah kakinya menyenggol suatu benda yang agak lunak, waktu ia
periksa, ia menjadi girang tercampur kejut. "He, engkau disini, Ting-toako!"
serunya tak tertahan. Terus saja ia rangkul erat2 jenazah sang Toako yang
ternyata berada disamping kakinya didalam perahu.
Sebenarnya keadaan Tik Hun sudah sangat payah dan tiada punya tenaga, untuk
memikirpun takbisa, tapi ia masih merangkul jenazahnya Ting Tian. Ia merasa
kerongkongannya kering, segera ia mendongak dan pentang mulutnya membiarkan air
hujan membasahi tenggorokannya. Dalam keadaan sadar-tak-sadar seperti itu,
sampai achirnya cuaca sudah terang dan hujanpun sudah reda.
Tiba2 ia melihat paha sendiri diperban sepotong kain. Ia coba pusatkan
perhatian, ia melihat kain itu membalut ditempat lukanya. Menyusul ia dapatkan
luka2 dilengan dan dipundak juga sudah dibalut oleh kain, bahkan sayup2
hidungnya mengendus pula bau obat yang diibubuhkan diatas luka2 itu. Oleh karena
air hujan, maka kain pembalut itu sudah basah kuyup, tapi darah sudah tidak
mengucur keluar lagi. "Siapakah yang membalut lukaku" Jika lukaku ini tak dibalut tak usah aku dibunuh
orang, asal darah mengucur keluar terus juga pasti jiwaku akan melayang. Lantas
siapakah gerangannya yang membalut lukaku ini?" demikian ia tidak habis
mengerti. Mendadak hatinya merasa berduka dan penuh kesunyian, pikirnya: "Siapa lagi
didunia ini yang sudi memperhatikan diriku dan membantu aku" Ting-toako sudah
meninggal, masakah masih ada orang lain yang mengharapkan hidupku dan membuang
temponya yang berharga untuk membalut lukaku?"
Ia coba perhatikan kain2 pembalut itu, ia lihat cara membalutnya dilakukan
sangat ter-gesa2. Kain pembalutnya bukan kain kasaran, sebaliknya adalah kain
sutera pilihan, dipinggir kain itu terdapat pula wiru sulaman yang rajin dan
tepi kain yang lain adalah bekas sobekan. Terang kain sutera itu disobek dari
baju kaum wanita yang dilakukan dengan ter-gesa2.
Apakah perbuatan Jik-sumoay" Demikian hati Tik Hun berdebar pula dan dadanya
ikut panas kembali. Ia tersenyum getir dengan sikap mengejek pada diri sendiri:
"Huh, dia telah suruh suaminya membunuh aku, masakah dapat pula membalut lukaku"
Pabila bukan dia yang memberitahukan kepada suaminya, darimana Ban Ka mendapat
tahu aku bersembunyi didalam gudang kayu itu?"
Akan tetapi terang dirinya sekarang berada didalam perahu yang terombang-ambing
ditengah sungai Tiangkang dan entah sudah berapa jauhnya meninggalkan kota Kangleng" Betapapun juga, paling tidak sementara ini ia sudah meninggalkan tempat
berbahaya dan takkan di-uber2 lagi oleh Leng-tihu.
"Siapakah gerangannya yang membalut lukaku dan siapakah yang menaruh aku didalam
perahu ini" Bahkan Ting-toako juga diikut-sertakan bersama aku," demikian ia
tidak habis mengerti. Ia tidak begitu peduli lagi kepada mati atau hidupnya sendiri, tapi jenazah Ting
Tian ternyata tidak lupa disertakan kepadanya, hal inilah yang membuat Tik Hun
mau-tidak-mau harus merasa berterima kasih.
Ia terus peras otak memikirkan hal itu, tapi biarpun sampai kepalanya pening
juga tetap tak terjawab. Ia coba meng-ingat2 kembali apa yang terjadi selama
sehari penuh kemarin. Tapi terpikir sampai kejadian Ban Ka membacok jenazahnya
Ting Tian dan dirinya menjadi murka serta mencekik lehernya, dan apa yang
terjadi selanjutnya ia sama sekali tidak tahu lagi.
Ketika tanpa sengaja ia berpaling, tiba2 sikutnya menyentuh sesuatu benda yang
keras. Segera ia melihat disampingnya terdapat satu bungkusan dari kain sutera.
Ia menjadi girang, ia pikir didalam bungkusan ini pasti akan diperoleh tanda2
yang dapat menjawab pertanyaannya itu.
Dengan tangan yang gemetar segera ia membuka bungkusan itu. Ia lihat didalamnya
adalah beberapa renceng uang perak, seluruhnya kurang-lebih ada 30 tahil,
Kecuali itu ada empat bentuk perhiasan wanita: sebuah Cu-hoa (tusuk konde dari
mutiara yang dibingkai seperti bunga), sebuah gelang emas, sebuah kalung emas
dan sebentuk cincin bermata batu mestika.
Selain itu adalah seuntai kalung emas berbandul yang biasa dipakai anak kecil.
Rantai kalung bandul itu putus seperti ditarik orang dalam keadaan buru2, dan
diujung rantai yang putus itu masih terkait sepotong kecil kain sobek, terang
bekas ditarik secara buru2 dari leher anak kecil hingga mirip barang copetan
yang dirampas secara kasar.
Pada bandul kalung yang berbentuk Kim-so atau gembok emas, yaitu semacam tabung,
bagian tengah dapat dicopot dan ditutupkan. Di atas bandul itu terukir empat
huruf 'Tek Yong Siang Bo'.
Tik Hun tidak banyak makan sekolahan, maka ia tidak paham apa artinya empat
huruf itu. Ia pikir mungkin itu adalah nama anak yang memakai kalung bandul itu.
Sambil memainkan keempat macam perhiasan itu, ia menjadi tambah bingung daripada
sebelum membuka bungkusan itu tadi. Ia pikir: "Uang perak dan perhiasan ini
dengan sendirinya adalah pemberian orang yang menolong aku itu agar aku
mempunyai sangu dalam pelayaran ini. Akan tetapi, siapakah gerangannya"
Perhiasan ini bukanlah milik Jik-sumoay, sebab aku tidak pernah melihat dipakai
olehnya." Begitulah ditengah air sungai yang bergelombang, sampan kecil itu terbawa arus
menuju kehilir. Sehari suntuk Tik Hun tidak merasa lapar dan juga tidak merasa lelah, tapi terus
memutar otak memikir: "Siapakah gerangan yang membalut lukaku ini" Siapakah
gerangan yang memberikan uang dan perhiasan dalam buntalan ini?"
Tiang-kang atau sungai Panjang (Yang-ce-kiang) yang menghilir ketimur Hengciu
dan menyusuri propinsi2 Ouw-lam dan Ouw-pak itu jalannya ber-liku2, arusnya
tidak santar, maka sampan kecil itupun lambat sekali jalannya. Tertampak jelas
satu persatu kota dan desa dikedua tepi sungai berlalu disamping perahu, kapal2
datang dari hulu sungai, baik yang berlayar maupun yang didayung, banyak pula
sudah berlalu-lalang. Setiap kapal yang lewat disamping perahu Tik Hun dan
melihat keadaan pemuda itu tak keruan macamnya, rambut dan berewoknya gondrong
tak terawat, mereka memandangnya dengan ter-heran2 dan curiga.
Menjelang magrib, achirnya Tik Hun merasa lapar, perutnya mulai keroncongan. Ia
berbangkit dan duduk, ia ambil sepotong papan perahu dan mendayung kendaraan air
itu ketepi utara dengan pelahan dengan maksud akan beli sedikit nasi atau jajan
seadanya. Tapi sial baginya, sekitar situ ternyata melulu ladang belukar belaka,
sudah hampir setengah jam sampan itu terhanyut kehilir menyusur tepi pantai,
tetap tiada sebuah rumahpun yang terlihat olehnya.
Setelah perahunya membiluk mengikuti tikungan sungai, tiba-tiba Tik Hun melihat
dibawah pohon Liu yang rindang ditepi sungai situ tertambat tiga perahu nelayan.
Diatas perahu itu tampak asap mengepul. Waktu sampan Tik Hun dekat dengan
perahu2 nelayan itu, segera terdengarlah suara minyak mendidih disertai bau
sedap gorengan ikan. Mengendus bau sedap itu, perut Tik Hun menjadi tambah lapar. Terus saja ia
rapatkan sampannya keperahu nelayan itu dan katanya kepada seorang nelayan tua
yang berduduk di haluan perahu: "Paman tukang tangkap ikan, dapatkah aku membeli
sepotong ikan gorengmu?"
Melihat muka Tik Hun yang menakutkan itu, nelayan itu menjadi jeri, mestinya
tidak boleh, terpaksa ia tidak berani menolak, sahutnya: "Ya, baiklah!"
Lalu ia memilihkan seekor ikan goreng yang masih hangat2 ia wadahi didalam
mangkok terus diangsurkan kepada Tik Hun.
"Jika ada nasi, tolong beli pula semangkok," mohon Tik Hun.
Terpaksa nelayan itu mengia pula dan kembali menyerahkan satu mangkok penuh nasi
pada Tik Hun. Penghidupan kaum nelayan miskin, maka nasi yang dimakannya itu
adalah beras murahan dicampur dengan ubi dan Kaoliang (Kaoliang, semacam tanaman
bahan pangan, Jawawut").
Tik Hun sendiri berasal dari keluarga melarat, apa yang dia makan didalam
penjara jauh lebih buruk lagi, kini dalam keadaan lapar, nasi yang diterimanya
dari nelayan tua itu boleh dikata seperti nasi liwet, apalagi saking laparnya,
maka isi mangkok itu hanya beberapa kali sapu saja sudah dilangsir masuk semua
kedalam perutnya. Karena merasa belum cukup, selagi Tik Hun bermaksud membuka mulut untuk minta
ditambahi semangkok nasi lagi, tiba2 didengarnya suara orang yang serak sedang
berseru ditepi pantai: "Hai, nelayan! Ada ikan besar tidak" Berikan padaku
beberapa ekor yang segar!"
Waktu Tik Hun menoleh, ia lihat seorang Hwesio tinggi kurus matanya besar
bersinar, sedang menanya sinelayan dengan bertolak pinggang, sikapnya kasar.
Hati Tik Hun tergetar seketika. Teringat olehnya Hwesio itu adalah satu diantara
kelima paderi yang pernah merecoki Ting Tian didalam penjara dahulu itu. Setelah
memikir sejenak, segera ia pun ingat ceritanya Ting Tian bahwa Hwesio tingggi
kurus ini bergelar Po-siang. Malam itu, dengan Sin-ciau-kang yang lihay Ting
Tian telah berhasil membinasakan dua diantaranya, sisa ketiga paderi yang lain
sempat melarikan diri. Dan Po-siang ini adalah satu diantara ketiga orang itu.
Demi mengenali Po-siang, maka Tik Hun tidak berani memandang lagi padanya.
Pernah didengarnya dari Ting Tian, katanya ilmu silat Hwesio ini sangat hebat,
sampai Ting Tian sendiri waktu itu tidak berani yakin dirinya pasti menang.


Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekarang Tik Hun insaf pabila Po-siang melihat jenazahnya Ting Tian, pasti Tik
Hun sendiri juga akan menjadi korban keganasan paderi itu.
Begitulah dengan kebat-kebit Tik Hun memegangi mangkok nasi yang sudah kosong
itu, saking kuatirnya sampai tangannya rada gemetar juga. Dalam hati diam2 ia
berdoa: "Jangan gemetar, jangan gugup, kalau sampai diketahui musuh, tentu
celaka!" ~ Tapi semakin ia ingin tenangkan diri, semakin takdapat menguasai
diri. Maka didengarnya sinelayan tua tadi sedang menjawab: "Maaf Toahwesio, ikan yang
kutangkap harini sudah terjual habis, sudah tidak ada lagi."
"Siapa bilang tidak ada?" bentak Po-siang dengan gusar. "Aku sudah kelaparan,
aku tak peduli, lekas kau adakan beberapa ekor."
"Tapi benar2 sudah habis, Thaysuhu," sahut sinelayan. "Kalau masih ada, siapa
yang tidak doyan duit, masakah tidak dijual?"
Habis berkata, ia angkat keranjang ikannya dan dituang terbalik, benar juga,
memang keranjang itu kosong melompong tanpa isi.
Namun Po-siang sedang kelaparan sekali, tiba2 dilihatnya Tik Hun sedang
menghadapi seekor ikan goreng didalam mangkoknya ikan itu baru termakan sebagian
kecil. Terus saja ia berseru: "Hai, orang itu, disitu ada ikan atau tidak?"
Tik Hun sendiri lagi bingung, mendengar orang bicara padanya, ia salah sangka
orang telah mengenali dirinya. Keruan ia tambah kuatir, tanpa menjawab lagi ia
terus angkat papan perahu dan sekali ia tolak kebatang pohon Liu ditepi sungai,
segera mendayung sampannya ketengah sungai.
Po-siang menjadi gusar, kontan ia memaki: "Bajingan, aku tanya engkau punya ikan
tidak, mengapa engkau seperti maling yang ketakutan terus melarikan diri?"
Padahal Tik Hun bukan maling, tapi memang benar ketakutan mendengar caci-maki
paderi itu, ia semakin takut. Ia mendayung lebih cepat hingga sampannya meluncur
ketengah sungai. Dengan gusar Po-siang terus jemput sepotong batu, segera ia sambitkan kearah Tik
Hun dengan sekuatnya. Walaupun tenaga dalam Tik Hun sudah lenyap, tapi ilmu silatnya belum terlupa.
Melihat sambaran batu yang ditimpukan Po-siang itu sangat keras, kalau kena,
pasti jiwanya akan melayang. Maka cepat ia mendakan tubuh hingga batu yang
ditimpukan Po-siang itu menyambar lewat diatas kepalanya dengan membawa sambaran
angin yang keras. "Plung", batu itu mencemplung kedasar sungai hingga air
memuncrat tinggi. Nyata tenaga sambitan Po-siang itu benar2 sangat kuat.
Melihat cara Tik Hun menghindarkan timpukan batunya, gerak-geriknya cukup gesit,
terang seorang yang pernah melatih silat dan sekali2 bukan kaum nelayan biasa,
maka Po-siang menjadi curiga. Bentaknya segera: "Hayo engkau lekas balik kemari,
kalau tidak, segera kucabut nyawamu!"
Sudah tentu Tik Hun tak gubris pada teriakannya, ia mendayung lebih keras malah.
Po-siang menjadi murka, cepat ia jemput lagi sepotong batu yang lebih besar
terus menimpuk, menyusul tangan yang lain sambar sepotong batu lagi dan segera
disambitkan pula. Tik Hun sendiripun sedang curahkan antero perhatiannya terhadap batu sambitan
paderi itu sambil tetap mendayung se-kuat2nya. Batu pertama dengan mudah dapat
dihindarkannya dengan mendakan tubuh, tapi batu kedua menyambar datang dengan
sangat rendah, serendah badan perahunya, terpaksa Tik Hun merebahkan diri
kelantai perahu hingga batu itu persis menyambar lewat didepan hidungnya,
selisihnya cuma beberapa senti saja. Dan baru saja ia berbangkit, se-konyong2
batu lain menyambar tiba pula, "plok". Dengan tepat batu itu kena dihaluan
perahu hingga kayu bubuk bertebaran, papan haluan perahu telah sempal sebagian.
Melihat cara Tik Hun menghindari batu itu sangat cekatan, sedangkan sampan kecil
itu semakin terhanyut oleh arus, diam2 Po-siang memikir: "Kata pribahasa:
Memanah orang sebaiknya memanah kudanya lebih dulu." ~ Maka cepat ia jemput pula
dua potong batu dan disambitkan, tapi yang diincar sekarang hanya perahunya
saja. Tindakannya menyambit perahu ini kalau sejak mula dilakukan, mungkin sejak tadi
Tik Hun sudah karam kedasar sungai bersama sampannya. Tapi kini jaraknya sudah
makin jauh, ber-turut2 batu sambitan Po-siang itu mesti tepat mengenai
sasarannya, namun cuma menghancurkan sedikit papan dan dinding perahu saja.
Keruan Po-siang bertambah gopoh ingin lekas2 dapat membekuk Tik Hun. Ia semakin
mendongkol ketika melihat pemuda itu dapat menghindarkan setiap timpukannya.
Dari jauh dilihat rambut Tik Hun yang gondrong itu menyiak tertiup angin,
mendadak teringatlah satu orang olehnya: "Eh, orang ini mirip pelarian dari
penjara itu. katanya Ting Tian telah melarikan diri dari penjara Hengciu, berita
ini ramai dibicarakan orang Kangouw, boleh jadi dari buronan ini dapat diperoleh
sedikit kabarnya Ting Tian."
Berpikir demikian, napsu serakahnya lantas timbul, yaitu ingin mendapatkan
hadiah besar yang diyanyikan Leng-tihu bila dapat menangkap kembali pelarian
penjara itu. Segera ia ber-teriak2: "Hai, nelayan! Lekas kemari, bawalah aku
memburu orang itu!" Tak terduga ketiga perahu nelayan yang tadi berlabuh dibawah pohon Liu itu kini
sudah meluncur pergi karena para nelayan itu menjadi ketakutan waktu melihat Posiang menimpuk orang dengan batu, perbuatannya sangat kasar dan jahat. Maka
sekalipun Po-siang ber-kaok2 hingga tenggorokannya bejat juga tiada seorangpun
yang sudi kembali untuk mengangkutnya.
Dengan sendirinya Po-siang semakin kalap. Ia jemput pula beberapa potong batu
dan menimpukan serabutan kepada nelayan2 itu. "Plok", batu kedua telah mengenai
batok kepala salah seorang nelayan itu hingga kepala pecah dan otak berantakan
terus terjungkal kedalam sungai. Keruan nelayan2 yang lain ketakutan setengah
mati, mereka mendayung lebih cepat untuk menyelamatkan diri.
Po-siang masih tidak rela melepaskan Tik Hun begitu saja, ia harus mengejar
menyusur tepi sungai. Begitu cepat larinya hingga sampan Tik Hun kalah cepat
meluncurnya. Cuma Po-siang mengejar dipantai utara, sebaliknya Tik Hun mendayung
perahunya menyorong ketepi selatan. Meski kejaran Po-siang dapat melampaui
perahunya Tik Hun, tapi jaraknya juga bertambah jauh.
Diam2 Tik Hun memikir bila sampai Po-siang dapat memperoleh sebuah perahu
dipantai sana serta memaksa tukang perahu mengangkutnya untuk mengejar, maka
dirinya pasti akan susah meloloskan diri. Dalam kuatirnya, jalan satu2nya
baginya adalah berdoa: "Ting-toako, Ting-toako, unjukanlah kesaktian arwahmu,
bikinlah supaya paderi jahat itu tidak mendapatkan perahu untuk mengejar."
Biasanya lalu lintas kapal2 dan perahu2 disungai Tiang-kang itu sangat banyak,
untunglah sepanjang beberapa li dipantai utara sana tiada sebuah kapalpun yang
berlabuh disana. Maka selama itu Po-siang tak dapat berbuat apa2.
Sekuatnya Tik Hun mendayung perahunya ketepi selatan, meski lebar sungai
didaerah sini tidak terlalu luas, tapi banyak tumbuh2an air yang dapat dipakai
sebagai aling2 hingga Po-siang susah memandang kearahnya. Setelah menepi, Tik
Hun lantas panggul buntalan kain itu dipunggungnya, ia pondong mayatnya Ting
Tian dan mendarat. Tapi mendadak terpikir suatu akal olehnya. Ia balik ketepi
sungai dan mendorong perahunya tadi ketengah sungai dengan harapan akan
membilukan perhatian Po-siang bila memandang dari jauh tentu akan menyangka
pemuda itu masih terus mendayung perahunya kehilir sungai.
Begitulah Tik Hun lantas melarikan diri cepat2 tanpa pilih jalanan pula, yang
dia harapkan yalah sejauh mungkin meninggalkan sungai itu. Akan tetapi siapa
duga, belum seberapa jauhnya tiba2 ia melihat didepan ombak mendebur, kembali ia
diadang sungai itu lagi. Kiranya didaerah situ Tiang-kang juga membiluk kearah
selatan, jadi merupakan sebuah delta kecil, maka Tik Hun telah sia2 berlari
sejauh itu. Lekas2 ia putar balik kekanan, tidak jauh, tiba2 dilihatnya didepan sana ada
sebuah kelenteng bobrok. Segera ia menuju kekelenteng itu sambil pondong
mayatnya Ting Tian. Setiba didepan pintu, selagi dia hendak mendorong pintu
kelenteng, tiba2 kakinya terasa lemas, ia terjatuh mendoprok ketanah dan tidak
sanggup berbangkit pula. Kiranya sesudah terluka, Tik Hun terlalu banyak mengeluarkan darah, badannya
sebenarnya sudah sangat lemah, se-kuat2nya ia telah mendayung perahu pula,
ditambah lagi ber-lari2 kuatir dibekuk Po-siang, maka sampai didepan kelenteng
itu ia benar2 sudah kehabisan tenaga.
Ia coba me-ronta2 untuk berdiri, tapi tetap lemas, terpaksa ia hanya duduk
bersandarkan dinding pintu dengan napas megap2. Ia menjadi agak lega ketika
melihat cuaca sudah remang2, hari sudah mulai gelap. Pikirnya: "Asal menunggu
hari sudah malam, paderi jahat itu tentu takkan dapat menemukan kami lagi,"
Meski Ting Tian sudah mati, tapi dalam batinnya ia masih tetap anggap sang Toako
sebagai kawan karibnya yang masih hidup berada disampingnya.
Begitulah sesudah merebah cukup lama diluar kelenteng lambat-laun tenaganya
mulai pulih dan barulah ia dapat berbangkit. Ia pondong pula mayatnya Ting Tian
dan membawanya kedalam kelenteng.
Kelenteng itu adalah sebuah "Tho-te-bio", yaitu Toapekong malaikat bumi. Arca
Toapekong itu terbuat dari tanah, potongannya pendek kecil dan lucu bentuknya.
Pada umumnya, manusia yang kepepet dan sedang menghadapi jalan buntu, sering
kali lalu pasrah nasib kepada yang berkuasa. Begitu pula halnya dengan Tik Hun
sekarang, dalam keadaan merana, timbul juga rasa hormatnya kepada patung
malaikat bumi yang lucu itu, dengan penuh chidmat iapun berlutut memberi hormat
beberapa kali kepada Toapekong itu, dengan demikian sedikit banyak penderitaan
bathinnya menjadi agak terhibur.
Sambil berduduk didepan altar Toapekong, Tik Hun memandangi jenazah Ting Tian
dengan ter-menung2 sambil bertopang dagu. Keadaan Tik Hun sekarang dapat
diibaratkan anying yang tak punya rumah majikan lagi. Mungkin nasib anjing
begitu masih lebih baik daripadanya. Hanya suatu hal yang membuatnya semakin
lega yalah cuaca sudah semakin gelap, hari sudah malam.
Begitulah Tik Hun lalu merebah disamping jenazahnya Ting Tian tiada ubahnya
seperti hidupnya se-hari2 selama beberapa tahun dahulu didalam penjara yang
sempit itu. Menjelang tengah malam, tiba2 turun hujan pula. Huyan itu mula2 rintik2,
kemudian sangat deras, lalu rintik2 pula tiada ber-henti2.
Karena dingin, badan Tik Hun meringkuk hingga mirip babi. Ia coba mendesak
mendekati Ting Tian. Tapi mendadak ia menyentuh mayat Ting Tian yang sudah kaku
dan dingin itu, ia menjadi ingat sang Toako sudah meninggal dan tidak dapat
bicara lagi dengan dirinya. Tiba2 ia berduka dan pilu tak terlukiskan.
Dibawah hujan rintik2 itu, tiba terdengar ada suara orang berjalan menuju
kekelenteng bobrok ini. Suara tindakan orang ditanah becek karena hujan itu
ternyata sangat cepat. Tik Hun terkejut, ia dengar orang itu sudah makin dekat. Lekas2 ia sembunyikan
jenazah Ting Tian itu kebawah meja sembahyang, ia sendiri lantas mengumpet
kebelakang altar Toapekong.
Semakin dekat suara tindakan orang itu, semakin berdebar jantung Tung Tik Hun.
Kemudian terdengarlah pintu kelenteng berkeriut dan didorong orang dari luar.
Menyusul suara orang itu lantas memaki: "Keparat, bangsat tua itu entah telah
lari kemana hingga antero badan Locu basah-kuyup kehujanan!"
Nyata, memang tidak salah, itulah suaranya Po-siang. Sungguh tidak pantas sekali
caci-makinya itu, masakan seorang paderi bermulut sekotor itu, demikian diam2
Tik Hun membatin. Meski Tik Hun tidak banyak pengetahuannya tentang kehidupan manusia, tapi selama
beberapa tahun ini, setiap hari ia telah digembleng oleh Ting Tian dan saban2
mendengar cerita sang Toako tentang kejadian2 dikalangan Kangouw, maka Tik Hun
sekarang sudah bukan Tik Hun pemuda desa yang bodoh lagi. Diam2 ia memikir pula:
"Meski Po-siang ini berdandan sebagai paderi, tapi ia tidak pantang makan dan
suka membunuh orang, besar kemungkinan dia adalah seorang bandit yang maha
jahat". Dalam pada itu terdengar caci-maki Po-siang itu semakin kotor, sesudah puas
memaki, Po-siang terus duduk didepan altar malaikat bumi, menyusul terdengar
suara membuka baju, kiranya Hwesio itu telah mencopot antero pakaiannya yang
basah kuyup itu, lalu diperasnya hingga kering ketepi emper, kemudian pakaiannya
digelar diatas altar, ia sendiri lantas menggeletak dilantai, tidak lama
terdengarlah suara menggeros, kiranya sudah tertidur pulas.
"Sungguh berdosa Hwesio jahat ini, masakah tanpa risih sedikitpun tidur
telanjang bulat didepan malaikat bumi?" demikian pikir Tik Hun. Lalu terpikir
olehnya: "Dalam keadaan dia tidak ber-jaga2, biarlah kujemput sepotong batu dan
kepruk kepalanya hingga mampus, besok tentu aku tidak perlu takut lagi padanya."
Tapi dasar jiwa Tik Hun sangat baik budi, ia tidak suka sembarangan membunuh
orang, pula cukup tahu ilmu silat Po-siang berpuluh kali lebih tinggi dari
dirinya, kalau sekali kepruk takdapat mampuskan paderi itu, asal dia masih ada
tenaga untuk balas menyerang, tentu dirinya sendiri yang akan mati modar.
Dalam keadaan begitu kalau Tik Hun mau melarikan diri secara diam2 melalui jalan
belakang kelenteng itu, tentu Po-siang takkan mengetahui.Tapi jenazah Ting Tian
masih berada dibawah meja sembahyang, meski insaf besok juga akan mati terbunuh musuh, namun Tik Hun tidak nanti meninggalkannya
pergi. Ia dengar hujan rintik2 masih tiada hentinya, sama seperti kebat-kebit hatinya
yang juga tiada henti2nya. Ia berharap hujan lekas terang, dengan demikian Posiang dapat meninggalkan kelenteng itu. Tapi melihat gelagatnya, hujan rintik2
seperti itu biarpun semalam suntuk juga belum tentu berhenti. Dan bila hari
sudah pagi serta Po-siang tidak mau berangkat dibawah huyan, tentu dia akan
memeriksa keadaan kelenteng itu untuk mencari barang makanan umpamanya, dengan
demikian pasti dirinya akan dipergokinya.
Namun demikian, timbul juga harapan untung2an dalam hati Tik Hun, pikirnya:
"Boleh jadi sebelum terang tanah hujan akan berhenti dan paderi jahat ini karena
buru2 ingin mengejar aku, mungkin dia terus berangkat dengan ter-gesa2 dan
selamatlah aku." Tiba2 teringat sesuatu olehnya: "Waktu datang tadi ia telah mencaci-maki,
katanya 'bangsat tua' itu entah telah lari kemana. Usiaku toh belum lanjut,
mengapa aku dimaki sebagai 'bangsat tua'" Apakah mungkin dia sedang menguber
seorang lain lagi yang tua?" ~ Dan pada saat lain tanpa sengaja ia telah meraba
berewoknya sendiri yang tak terawat itu, mendadak ia mengarti duduknya perkara:
"Ah, tahulah aku. Disebabkan rambut dan berewokku ini gondrong tak terawat
hingga bagi pandangan orang lain dengan sendirinya disangka seorang tua. Jadi
dia memaki aku sebagai 'bangsat tua'" Hehe, 'bangsat tua'?"
"Bluk", mendadak Po-siang membalik tubuh dalam tidurnya. Cara tidur paderi itu
ternyata sangat rusuh, maka kakinya telah menyampar kebawah altar dan tepat
mengenai jenazah Ting Tian.
Jago silat setinggi Po-siang, begitu merasa ada sesuatu yang mencurigakan,
seketika akan terjaga dari tidurnya. Maka ia menyangka dibawah altar Toapekong
itu bersembunyi musuh, terus saja ia melompat bangun sambil sambar golok yang
terletak disampingnya, dalam kegelapan iapun tidak tahu ada berapa orang musuh
yang bersembunyi disitu, maka terus saja ia membabat dan membacok serabutan
kekanan dan kekiri agar musuh tidak berani mendekatinya.
"Siapa" Jahanam! Keparat!" demikian Po-siang membentak dan memaki. Tapi meski
sudah dibentak dan dimaki toh masih tiada suara sahutan orang. Cepat ia berdiam
sambil menahan napas untuk mendengarkan apakah ada suara orang.
Dalam keadaan begitu, sudah tentu Tik Hun harus lebih hati2 bahkan bernapaspun
tidak berani keras2, kuatir kalau diketahui paderi jahat itu.
Karena masih kuatir, kembali Po-siang ayun goloknya membacok kian kemari hingga
belasan kali, menyusul kakinya ikut mendepak, "blang", meja sembahyang kena
ditendang roboh, segera goloknya membacok pula, "cret", goloknya kena membacok
sesuatu benda dan terdengar ada suara tulang remuk. Kiranya mayat Ting Tian
telah kena dibacok. Dengan jelas Tik Hun dapat mendengar suara terbacoknya mayat Ting Tian itu oleh
senjatanya Po-siang. Meski Ting Tian sudah meninggal dan pada hakikatnya tiada
punya daya rasa lagi, tapi bagi Tik Hun masih tetap menganggapnya sebagai kakak
angkat yang terhormat dan tercinta. Kini paderi jahat itu berani merusak jenazah
sang Giheng, keruan Tik Hun sangat murka.
Dalam pada itu sesudah membacok sekali serta tidak mendengar sesuatu suara
reaksi apa2, Po-siang menjadi ragu2. Celakanya dalam kegelapan, tiada sesuatu
yang dapat dilihatnya. Sedangkan alat ketikan api yang dibawanya sudah takdapat
digunakan lagi karena basah oleh air hujan. Terpaksa ia main mundur kebelakang
dengan pelahan2, ia pepetkan punggungnya kedinding untuk menjaga kalau disergap
musuh dari belakang. Kemudian ia berdiam pula untuk mendengarkan kalau2 ada
sesuatu suara apa2. Begitulah, jikalau Po-siang berada didalam keadaan siap siaga dan penuh curiga,
adalah sebaliknya Tik Hun dalam keadaan takut tercampur gusar pula.
Ketika mendengar mayat Ting Tian dibacok Po-siang tadi, sebenarnya Tik Hun
segera ingin menerjang keluar untuk mengadu jiwa dengan paderi jahat itu. Cuma
sesudah digembleng selama lima tahun didalam penjara, pemuda Tik Hun yang ketolol2an dahulu itu telah berubah menjadi seorang pemuda yang dapat berpikir.
Baru dia hendak melangkah keluar, segera teringat olehnya: "Jika aku menerjang
dan mengadu jiwa padanya, kecuali yiwaku akan melayang percuma, terang tiada
manfaat lain. Sebaliknya cita2 Ting-toako yang minta dikubur bersama Leng-siocia
itu menjadi gagal dan tak terlaksana, padahal aku sudah berjanji padanya, maka
sedapat mungkin aku harus bersabar."
Kedudukan kedua orang waktu itu hanya terpisah oleh sebuah dinding aling2 saja,
kecuali suara hujan yang rintik2, suara lain sama sekali tiada terdengar.
Tik Hun insaf apabila suara napas sendiri sedikit keras, seketika jiwanya pasti


Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan melayang. Terpaksa ia bernapas dengan sangat pelahan, sedangkan benaknya
tiada henti2nya berpikir: "Beberapa jam lagi hari sudah akan terang tanah. Dan
kalau paderi jahat itu melihat jenazah Ting-toako, pasti dia akan merusaknya
untuk melampiaskan rasa gusarnya. Lantas apa dayaku agar jenazah Ting-toako
dapat diselamatkan?"
Dasar otak Tik Hun memang puntul, sedangkan usaha untuk menyelamatkan jenazah
Ting Tian dari keganasan Po-siang adalah sesuatu tugas yang maha sulit,
sekalipun seorang yang cerdas juga pasti akan bingung, apalagi seorang Tik Hun
yang bodoh. Begitulah meski sampai lama ia pikir, sampai kepalanya pecah juga tetap tiada
sesuatu akal yang dapat diperolehnya. Karuan ia tambah gopoh dan sesalkan diri
sendiri: "Wahai Tik Hun, dasar engkau ini memang pemuda yang goblok, dengan
sendirinya engkau takdapat memikirkan sesuatu akal bagus. Coba kalau engkau
pintar, tidak mungkin kelabakan seperti sekarang ini." ~ Dan karena saking
gelisahnya, ia jambat2 rambut sendiri, tanpa sengaja ia menjambat terlalu keras
hingga secomot rambutnya ikut terbubut. Se-konyong2 benaknya terkilas suatu
pikiran: "He, paderi jahat ini menyebut aku sebagai 'bangsat tua', rupanya
karena melihat rambut dan berewokku gondrong tak keruan, maka menyangka aku
adalah seorang tua. Pabila sekarang aku mencukur bersih ...... bukankah dia akan
pangling dan takdapat mengenali diriku" Cuma sayang, aku tidak membawa pisau
cukur, cara bagaimana membersihkan berewok yang kaku ini" Hm, mati juga aku
tidak takut, kenapa mesti takut sakit" Biarlah aku cabut saja dengan tangan
satu-persatu. Apa yang dipikir Tik Hun, segera dilakukannya juga. Maka seujung demi seujung ia
mencabuti jenggotnya yang kaku2 itu. Sambil mencabut ia sembari memikir:
"Seumpama paderi jahat ini takdapat mengenali aku lagi, paling2 aku takkan
dibunuhnya. Tapi cara bagaimana pula harus menyelamatkan Ting-toako" Ah,
sudahlah, dapat maju selangkah, biarlah kumaju terus, asal jiwaku sendiri dapat
dipertahankan sementara, tentu aku dapat mendekati paderi jahat itu dan dikala
dia tidak ber-jaga2, aku akan mencari akal untuk membunuhnya."
Maka satu persatu ia membubuti jenggotnya itu. Pabila hal itu dilakukan dengan
pelahan2 dan hati2, tentu takkan terlalu sakit rasanya. Tapi Tik Hun kuatir
kalau hari keburu terang tanah dan jenggotnya belum lagi tercabut bersih hingga
diketahui oleh Po-siang. Dari itu, cara cabutnya menjadi buru2 dan sekenanya,
dan penderitaannya dapat dibayangkan.
Serta sudah sebagian besar jenggotnya terbubut, tiba2 terpikir pula olehnya:
"Seandainya janggutku sudah bersih tanpa jenggot, namun rambutku yang gondrong
ini tentu juga akan dikenali olehnya. Ia telah mengejar aku sepanjang pantai,
tentu keadaan rambut dan jenggotku yang gondrong ini sudah dilihatnya dengan
jelas." Berpikir begitu, ia menjadi nekat. Tanpa ragu2 lagi iapun mencabuti rambutnya.
Mencabut jenggot masih mending dan tidak terlalu sakit, tapi mencabut rambut,
bahkan sampai habis kelimis, sungguh rasa sakitnya tak terkatakan.
Tapi dasar watak Tik Hun memang keras dan tidak gampang menyerah, sangat setia
pula kepada Ting Tian, jangankan cuma mencabut rambut dan jenggot yang sepele,
sekalipun demi Ting Tian ia mesti korbankan anggota badannya juga dia takkan
mengkerut kening sedikitpun. Sebetulnya karena usianya masih sangat muda, pula
berasal dari desa dan masih hijau, maka secara tolol2an ia telah melakukan
akalnya yang aneh dan lucu itu, pabila seorang Kangouw yang sudah berpengalaman
dan lebih tua umpamanya, tentu takkan melakukan usaha yang bodoh itu.
Tik Hun kuatir kalau Po-siang mendengar suaranya, maka setiap mencabut sedikit
rambut dan jenggotnya, pelahan2 iapun menggeremet mundur setindak, setelah
hampir satu jam lamanya, barulah ia dapat mundur sampai di Cimche (karas dalam
rumah). Dan setengah jam pula, achirnya dapatlah ia mencapai pintu belakang
kelenteng itu. Ketika mukanya merasa tertetes air hujan, barulah pelahan2 ia
menghela napas lega. Cepat tapi hati2 Tik Hun pendam rambut dan jenggot yang dia cabut itu kedalam
lumpur untuk menjaga kalau dilihat Po-siang hingga menimbulkan curiganya. Lalu
ia raba2 dan gosok2 janggut dan kepala sendiri, ia merasa dirinya sekarang bukan
lagi seorang "bangsat tua", tapi lebih tepat dikatakan "bangsat gundul". Dalam
sedih dan dongkolnya ia menjadi geli sendiri pula. Pikirnya: "Setelah kucabut
secara ngawur begini, tentu kepala dan janggutku babak-belur penuh darah. Aku
harus mencucinya hingga bersih, supaya tidak diketahui musuh."
Segera ia julurkan kepalanya kebawah emper dan membiarkan air hujan menyirami
kepala dan mukanya yang berlepotan darah itu. Ia menjadi meringis perih karena
luka2 cabutan itu kena air.
Kemudian ia pikir pula: "Wajahku sekarang susah dikenali lagi. Tapi pakaianku
ini kalau dikenali paderi jahat itu, bukankah usahaku ini akan sia2 belaka"
Sedangkan disini tiada yang dapat kuganti, eh, kenapa aku tidak meniru cara
paderi jahat itu, biarpun telanjang, kenapa sih?"
Maka cepat ia melepaskan baju dan celananya. Baju sudah terbuka, kini tinggal
Oh-jan-ih yang tidak mungkin juga dicopot, terpaksa ia hanya mengenakan baju
dalam itu dan tanpa bercelana. Segera ia robek baju luar serta digubat
dipinggangnya hingga mirip bergaun. Ia kuatir kalau Oh-jan-ih yang dipakainya
itu dapat dikenali Po-siang, tanpa pikir lagi ia terus ber-guling2 ditanah
lumpur hingga baju pusaka itu penuh lumpur yang kotor.
Dengan dandanan Tik Hun sekarang yang memper Tarzan, sekalipun Ting Tian hidup
kembali juga rasanya akan pangling padanya.
Diam2 Tik Hun geli sendiri, pikirnya: "Entah berubah menjadi macam apa diriku
sekarang ini" Nanti kalau sudah terang tanah, biarlah aku mengaca dulu dimuka
air empang." Pelahan2 ia menggerumut kebawah sebatang pohon rindang, dengan tangan ia
menggali sebuah liang untuk memendam buntalan kecil yang dibawanya itu. Pikirnya
diam2: "Pabila aku dapat lolos dari ancaman paderi jahat itu dan dapat
menyelamatkan Ting-toako, kelak aku pasti akan membalas budi pertolongan orang
yang telah mengobati lukaku serta memberi sangu dan perhiasan ini."
Setelah selesai ia pendam buntalannya, sementara itu hari sudah remang2.
Pelahan2 Tik Hun berjalan menuju keselatan, lalu membiluk kebarat, tiada
beberapa li jauhnya, hari sudah terang tanah, tapi hujan masih belum lagi reda.
Ia menaksir Po-siang pasti tidak meninggalkan kelenteng itu, ia pikir harus
mendapatkan sesuatu gaman untuk menghadapi segala kemungkinan, tapi dihutan
belukar demikian, kemana mesti mencari senjata" Terpaksa ia jemput sepotong batu
yang tajam dan lancip, ia selipkan batu itu dipinggang, ia pikir kalau dapat
menikam sekali saja ditempat yang mematikan dibadan Po-siang boleh jadi paderi
itu akan dapat dimampuskan. Sebaliknya kalau sekali serang tidak berhasil, maka
celakalah dirinya, untuk mana terpaksa ia menyerah nasib.
Dan karena teringat pada sang Toako, iapun tidak sabar menanti sampai
mendapatkan sesuatu senjata yang cocok, terus saja ia kembali menuju kekelenteng
Toapekong itu. Ia pikir bagaimana nanti harus menghadapi musuh yang jahat itu.
"Eh, aku harus pura2 tolol dan seperti orang sinting, biar aku berlagak sebagai
seorang pengemis gelandangan ditempat ini." demikian pikirnya.
Maka waktu mendekati kelenteng itu, segera ia pentang bacot dan tarik suara, ia
menyanyikan "San-ko" (nyanyian rakyat didaerah pegunungan) dengan se-keras2nya,
begini lagunya: Oiii, adik manis diseberang bukit!
Dengarkan aku menyanyi, kalau engkau mencari suami,
jangan cari orang sekolah,
orang sekolah moralnya bejat,
carilah suami kepala botak seperti aku si A Sam,
Oi, kepalaku kelimis! Dahulu waktu tinggal dipedesaan di Ouwlam, Tik Hun memang jagoan nyanyi, dikala
bercocok-tanam disawah ladang atau diwaktu ber-jalan2 dilereng bukit yang indah
bersama Jik Hong, sering mereka sahut-menyahut menyanyikan San-ko yang sangat
digemari rakyat setempat itu.
Menurut kebiasaan adat istiadat pedesaan Ouwlam, lagu San-ko itu dinyanyikan
secara spontan menurut keadaan setempat dimana sipenyanyi berada. Lagunya
sering2 kasar dan umum, tiada ubahnya seperti kata2 se-hari2, hanya cara
menyanyikannya berirama dan pakai tekukan suara hingga kedengarannya merdu
mentakjubkan. Dan habis menyanyi, tiba2 Tik Hun merasa pilu, teringat penghabisan kalinya
memain bersama Jik Hong, nyanyian itu sudah lima tahun tidak pernah membasahi
tenggorokannya lagi. Kini dapat menyanyi pula, tapi pemandangan keadaan
disekelilingnya ternyata sangat aneh dan berlainan, kalau dulu sipendengarnya
adalah sang Sumoay yang cantik molek, adalah sekarang pendengarnya adalah
seorang Hwesio gede yang jahat dan........ telanjang bulat.
Begitulah ia sengaja lewat dikelenteng itu dengan pelahan2 lalu ia cekik
lehernya sendiri dan menyanyi pula dengan menirukan suara wanita:
Oi, engkau A Sam sibotak apanya yang menarik"
Berani mimpi beristerikan aku sicantik"
Emangnya aku kepincuk kepalamu yang kelimis"
Atau terpikat karena .......
Belum lagi nyanyiannya selesai, se-konyong2 Po-siang sudah berlari keluar dengan
hanya menutupi badannya dengan baju luar. Rupanya ia ingin tahu siapakah
gerangan yang menyanyi itu. Dan ketika melihat kepala Tik Hun gundul pelontos,
ia sangka pemuda itu memang benar2 seorang desa dan botak, ia merasa geli pula
mendengar lagu Tik Hun yang meng-olok2 kepala sendiri yang botak serta caranya
menirukan suara wanita yang lucu itu.
"Hai, gundul, kemari!" seru Po-siang segera.
Tik Hun menjawabnya dengan menyanyi pula:
"Ada keperluan apa Toasuhu memanggil daku"
Apa mau persen emas dan perak"
Hari ini sibotak A Sam lagi ketumplek rejeki,
Makanya Toasuhu hendak mengundang aku makan babi."
Begitulah sambil menyanyi dengan lagak yang di-buat2 jenaka, mau-tak-mau Tik Hun
mendekati Po-siang. Meski sedapat mungkin ia berlagak sebagai pemuda desa yang
ke-tolol2an, tapi hatinya ber-debar2 hebat, wajahnya juga berubah.
Untung Po-siang tidak dapat mengenalnya. Dengan tertawa paderi itu berkata:
"Hai, A Sam sibotak, lekaslah engkau mencarikan makanan untukku dan Toasuhu
pasti akan memberi persen padamu. Ada babi gemuk tidak disini?"
"Ditanah pegunungan sunyi tidak ada babi ......"
"Hus," bentak Po-siang sebelum Tik Hun melanjutkan nyanyianya. "Bicaralah yang
betul, jangan pakai nyanyi2 segala ......
Maka Tik Hun melelet lidah sekali dan pura2 mengunjuk lagak jenaka, lalu
menyahut dengan suaranya yang di-bikin2: "A Sam sudah biasa menyanyi, kalau
bicara biasa malah kaku rasanya. Toasuhu, disekitar sini seluas belasan li tiada
kampung juga tiada desa, jangankan engkau hendak makan babi, sekalipun mencari
sayur dan bubur juga susah. Tapi dari sini kira2 sejauh 15 li kebarat ada sebuah
kota kecil, disana dapat membeli daging dan arak, ada ikan ada ayam, apa yang
Toasuhu ingin, segala apa juga dapat dibeli disana, boleh coba Toasuhu pergi
kesana saja." Tik Hun insaf waktu ini masih belum mampu membunuh Po-siang untuk membalas sakit
hati bacokannya kepada mayat Ting Tian itu. Maka yang dia harap cuma moga2
paderi jahat itu mau percaya pada obrolannya dan mencari makanan ketempat yang
dikatakan itu, dengan demikian ia ada kesempatan untuk melarikan diri dengan
membawa mayat Ting Tian. Akan tetapi hujan justreru tidak mau ber-henti2, sedangkan Po-siang tidak mau
kehujanan lagi, maka mendadak Po-siang telah membentak: "Baiklah lekas kau pergi
mencarikan sedikit makanan kalau ada arak dan daging lebih baik, kalau tidak,
boleh juga sembelih seekor ayam atau bebek."
Tapi Tik Hun sedang memikirkan bagaimana keadaan mayat sang Toako itu, maka
sambil berkata tadi ia terus melangkah masuk juga kedalam kelenteng. Ia lihat
jenazah Ting Tian sudah diseret keluar oleh Po-siang, pakaian jenazah itu tampak
kumal dan compang-camping tak keruan, terang sudah pernah digeledah oleh Posiang. Dalam gemas dan dukanya, betapapun Tik Hun ingin menahan perasaan juga
takbisa, maka dengan putus2 ia berkata: "Di ..... disini ada orang mati,
apakah ....... Toasuhu yang membunuhnya?"
Melihat perubahan wajah Tik Hun itu, Po-siang menyangka sigundul itu menjadi
ketakutan melihat orang mati. Maka dengan menyengir ia menjawab: "Bukan aku yang
membunuhnya. Boleh coba kau periksa dia, siapakah orang ini" Apa kau kenal dia?"
Tik Hun terkejut, ia menjadi takut karena menyangka dirinya dikenali. Coba kalau
bukan bertekad hendak melindungi jenazah Ting Tian, boleh jadi ia sudah angkat
langkah seribu. Maka sedapat mungkin ia coba tenangkan diri dan menjawab:
"Potongan orang ini sangat aneh, bukan orang kampung sini."
"Sudah tentu ia bukan orang kampung sini," ujar Po-siang dengan tertawa. Dan
mendadak ia membentak: "Ayo, lekas pergi mencarikan sedikit makanan. Kau tidak
turut perintahku, apa minta kugecek kepalamu?"
Melihat keadaan Ting Tian toh baik2 saja, Tik Hun merasa lega, maka ber-ulang2
ia mengiakan sambil putar tubuh hendak keluar kelenteng, pikirnya: "Sementara
ini biar aku menyingkir pergi saja, asal setengah hari aku tidak datang kembali,
karena kelaparan, tentu dia akan pergi mencari makanan sendiri, tidak mungkin ia
akan membawa serta Ting-toako. Apalagi dia geledah badan Ting-toako dengan hasil
nihil, tentu dia akan putus harapannya."
Tak terduga, baru beberapa langkah ia berjalan, mendadak Po-siang membentak
pula: "Berhenti! Kau hendak kemana?"
"Bukankah Toasuhu minta dicarikan barang makanan?" sahut Tik Hun.
"Ehm, bagus, bagus!" kata Po-siang. "Dan berapa lama baru engkau dapat kembali?"
"Hanya sebentar saja, selekasnya tentu aku akan kembali," sahut Tik Hun pula.
"Baiklah, boleh kau pergi lekas!" ujar Po-siang.
Sebelum melangkah keluar, Tik Hun menoleh pula untuk memandang sekejap kepada
jenazah Ting Tian, habis itu baru ia bertindak pergi. Tapi baru dua tindak ia
berjalan, tiba-tiba terasa ada angin menyambar dari belakang, menyusul "plakplok" dua kali, kedua belah pipinya masing2 telah kena ditampar sekali.
Untung Po-siang menyangka sibotak itu pasti seorang desa yang tidak paham ilmu
silat, maka cara tempilingnya tidak tidak terlalu keras; Dan untung juga gerak
serangan Po-siang teramat cepat, sekali pukul sudah kena sasarannya hingga Tik
Hun sama sekali tidak sempat berkelit. Kalau tidak, tentu rahasia Tik Hun akan
ketahuan, sebab otomatis pemuda itu pasti akan berusaha menghindar dan lupa
bahwa dirinya harus berlagak bodoh.
Begitulah Tik Hun menjadi kaget. "Kenapa kau ...... kau ...." tanyanya dengan
tergagap. Sedangkan dalam hati telah ambil keputusan: "Pabila engkau telah
mengetahui rahasiaku, terpaksa aku mengadu jiwa dengan kau."
Tapi didengarnya Po-siang telah membentak: "Kau membawa uang berapa banyak" Coba
keluarkan ingin kulihat!"
Tik Hun melengak sekejap oleh pertanyaan itu, sahutnya gugup "Aku .....
aku ...." "Hm, badanmu telanjang begini, orang rudin macammu masakan punya uang. Potongan
seperti kau ini apa juga mungkin dapat meminjam atau utang pada orang lain" Hm,
kau bilang akan mencari makanan, tapi sebenarnya kau hendak menggeloyor pergi
bukan?" Mendengar itu, Tik Hun menjadi lega malah. Nyata paderi jahat itu cuma menyangka
dia hendak melarikan diri saja.
Maka Po-siang telah berkata pula: "Kau sigundul ini tadi mengatakan bahwa
sekeliling sini tiada sesuatu kampung dan tempat tinggal orang, lalu kemana
engkau hendak membeli makanan serta dapat kembali dalam waktu sebentar. Hm, hm,
bukankah kau sengaja membohong" Ayo, mengaku terus terang sebenarnya apa
tujuanmu." "Sebab ...... sebab aku takut pada Toasuhu dan ... dan ingin lari pulang," sahut
Tik Hun dengan sengaja gelagapan.
Po-siang ter-bahak2 senang, ia tepuk2 simbar dadanya yang berbulu hitam ketat
itu sambil berkata: "Takut apa" Takut aku akan makan dirimu?"
Dan karena menyebut soal "makan", seketika perut Po-siang berkeroncongan hingga
laparnya susah ditahan. Padahal sesudah terang tanah, lebih dulu antero pelosok
kelenteng itu sudah digeledahnya, tapi tiada setitik makanan apapun yang
diperolehnya. Maka komat-kamit ia telah menggumam sendiri: "Takut aku makan
dirimu" Takut kumakan dirimu?" ~ sambil menggumam, tiba2 sorot matanya menjadi
bengis sambil mengincar diri Tik Hun.
Keruan Tik Hun mengkirik, ia dapat membade apa yang sedang dipikir oleh paderi
jahat itu. Dan memang saat itu Po-siang sedang memikir: "Ehm, daging manusia memangnya enak
juga, hati manusia lebih2 lezat. Ha, kebetulan didepan mata ini ada seekor
'babi', mengapa aku tidak menyembelihnya sekarang juga?"
Sebaliknya diam2 Tik Hun sedang mengeluh: "Wah, celaka! Kalau aku dibunuh
olehnya tidak menjadi soal, tapi melihat gelagatnya, paderi jahat ini agaknya
hendak menyembelih aku untuk dimakan. Wah inilah sangat penasaran, bagaimanapun
aku harus melawannya."
Akan tetapi sekali melawan tentu akan terbunuh, dan sesudah dibunuh tetap ia
akan menjadi isi perut paderi itu. Apa bedanya melawan dan tidak"
Dalam pada itu setindak demi setindak Po-siang sudah mendekati Tik Hun dengan
wajah yang menakutkan, dan pemuda itupun setindak demi setindak main mundur


Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kebelakang. "Hehe, kau terlalu kurus, tinggal tulang belaka, kalau dimakan tentu tidak enak
rasanya," demikian Po-siang ketawa ter-kekeh2. "Tetapi terpaksa, babi gemuk
tidak ada, babi kurus juga bolehlah!" ~ dan begitu tangannya menjulur, segera
lengan kiri Tik Hun kena dipegangnya.
Se-kuat2nya Tik Hun meronta, namun tidak mungkin terlepas lagi. Sesaat itu ia
menjadi kuatir dan takut tak terkatakan. Sesudah menderita siksaan lahir-batin
selama beberapa tahun ini, baginya kematian sendiri bukan soal lagi, tapi bila
membayangkan bakal dimakan mentah2 oleh paderi jahat itu, halini benar2
membuatnya mengkirik. Dasar watak Po-siang itu ternyata sangat jahat dan kejam, tapi juga malas. Ia
lihat Tik Hun sudah pasti takdapat melarikan diri dan merupakan daging yang
tinggal dicaplok saja, ia pikir lebih baik suruh pemuda itu memasak air dulu,
habis itu barulah menyembelihnya. Ia merasa sayang pemuda itu tidak dapat
menyembelih diri sendiri, lalu mengolah pula satu porsi Ang-sio-lang-bak (bistik
daging manusia) dan dihaturkan kepadanya untuk dimakan tanpa repot2 sendiri.
Maka katanya kemudian: "Cara aku menyembelih dirimu dua jalan. Pertama kuiris
daging pahamu sepotong demi sepotong untuk dibuat daging panggang sambil
memakannya, hal ini tentu akan membuat kau banyak lebih menderita kesakitan.
Cara kedua yalah sekaligus membunuh kau untuk dimasak dan dan dibuat sop daging.
Nah, menurut kau, cara mana yang lebih enak?"
"Sudah tentu daging panggang lebih enak," jawab Tik Hun tanpa pikir. Tapi segera
ia tekap mulutnya sendiri ketika teringat yang akan dijadikan daging panggang
adalah dirinya sendiri. Achirnya ia terus ber-teriak2: "Lebih baik kau lekas......
lekas bunuh aku saja, kau .... kau ..... paderi jahat ......" ~ dengan gusar sebenarnya
ia terus ingin mencaci maki, tapi kuatir pula kalau2 paderi itu menjadi murka
hingga dirinya akan disiksa lebih berat, maka achirnya ia mengurungkan
maksudnya. Dalam pada itu Po-siang sudah lantas berkata dengan tertawa: "Benar, benar!
Pintar benar engkau ini, segala apa tahu. Memang daging panggang lebih enak. He,
A Sam, pergilah kedapur sana dan ambil kuali besi itu kemari, isi pula kuali itu
dengan air." Sudah terang Tik Hun tahu kuali itu akan digunakan untuk memasak dirinya, tapi
ia toh masih tanya: "Untuk apa kuali itu?"
"Hehe, hal ini tak perlu kau tanya," sahut Po-siang dengan tertawa. "Nah lekas
pergi sana, lekas!" "Hendak masak air, biarlah kumasak didapur saja, kuali itu terlalu berat, dibawa
kesini juga tidak leluasa," ujar Tik Hun.
"Keparat! Apa yang kuperintahkan harus segera kau kerjakan tahu" Kau berani
membangkang?" bentak Po-siang dengan gusar. Berbareng ia tempiling Tik Hun
sekali. Sambil memegangi pipinya yang merah bengap itu, belum lagi Tik Hun sempat
memikir, menyusul Po-siang telah mendepaknya pula hingga pemuda itu terguling.
Tapi sesudah dihajar, otak Tik Hun menjadi tajam mendadak, pikirnya: "Daripada
mati konyol, biarlah aku melabrak dia mati2an. Dia suruh aku masak air, inilah
kesempatan baik malah, nanti kalau air dalam kuali sudah mendidih, diluar
dugaannya segera kusiram badannya. Dia telanjang bulat, mustahil takkan melocot
dan mati terbakar?" Dengan keputusan itu, ia menjadi bersemangat dan tidak takut2 pula. Dengan
menunduk ia lantas menuju kedapur dan membawa keluar sebuah kuali butut. Kemana
dia pergi, selalu Po-siang mengintil dibelakangnya, rupanya paderi itu kuatir
kalau2 Tik Hun melarikan diri.
Kuali butut itu bagian atas sudah gempil, maka hanya setengah kuali saja dapat
diisi air. Dengan sendirinya kekuatan setengah kuali air mendidih kurang lihay
daripada air mendidih sekuali penuh, boleh jadi Po-siang takkan mati tersiram,
tapi umpama paderi itu tidak lantas mati, kalau bisa membuatnya melocot dan
kejat2 juga bolehlah. Kemudian bila perlu biarlah aku membunuh diri dengan
membenturkan kepalaku kedinding, walaupun harus disesalkan kewajibanku untuk
melaksanakan cita2 Ting-toako agar dikubur bersama Leng-siocia tak terlaksana,
tapi keadaan tidak mengiyinkan lagi, apa mau dikata" Demikian pikir Tik Hun.
Dengan kuali besi itu Tik Hun menadahi air hujan diemperan, sampai air sudah
luber keluar melalui lubang gempil kuali itu, barulah Tik Hun membawanya kembali
kedalam ruangan. "Ehm, bagus!" tiba2 Po-siang memuji. "Botak A Sam, sebenarnya aku merasa sayang
untuk makan dirimu. Cara kerjamu ini cepat dan cekatan, sungguh seorang pekerja
yang baik." "Terima kasih atas pujian Toasuhu," sahut Tik Hun dengan senyum pahit.
Lalu ia kumpulkan beberapa potong bata dan ditumpuk sebagai tungku. Ia
tumpangkan kualinya keatas tungku darurat itu. Didalam kelenteng bobrok itu
banyak terdapat meja kursi rusak, karena buru2 ingin menyiram Po-siang dengan
air mendidih, maka kerja Tik Hun menjadi sangat cepat, ia jemput potongan kaki
kursi dan meja dan dijejalkan kedalam tungku.
Tapi ia lantas kebentur kesulitan, yaitu tiada api. Didalam kelenteng bobrok
seperti itu sudah tentu susah diperoleh bibit api, sedangkan alat ketikan api
yang dibawa Po-siang sudah basah-kuyup oleh air hujan. Waktu buru2 melarikan
diri dari penjara, Tik Hun sendiri juga tidak membawa apa2.
Karena tak berdaya, terpaksa Tik Hun angkat bahu sambil pentang kedua tangan
kearah Po-siang sebagai tanda tanya"
"Kenapa" Tidak ada api" Eh, ya aku ingat dibadannya ada," seru Po-siang sambil
menunjuk mayat Ting Tian.
Dan baru sekarang Tik Hun dapat melihat jelas paha Ting Tian ternyata hancur
bekas kena bacokan Po-siang, seketika ia naik darah, ia menoleh dan pandang
paderi itu dengan melotot penuh kebencian, kalau bisa, sungguh ia ingin menubruk
maju terus gigit paderi jahat itu se-puas2nya.
Tapi mirip kucing mempermainkan tikus. Po-siang justeru ingin menggoda dulu
pemuda itu, habis itu baru akan memakannya. Maka terhadap kegusaran Tik Hun itu,
sama sekali ia tidak ambil pusing, katanya dengan ketawa2: "Hayolah, kenapa
engkau tidak coba mencarinya" Kalau tiada api, terpaksa Toahwesio boleh juga
makan daging mentah."
Tik Hun coba berjongkok dan menggagapi bajunya Ting Tian, benar juga
diperolehnya dua potong benda kecil. Yang satu ternyata adalah besi ketikan dan
yang lain batu api. Diam2 ia heran: "Waktu kami berada bersama didalam penjara,
Ting-toako toh tidak punya benda2 seperti in, lantas dari manakah diperolehnya?"
Waktu ia membalik besi ketikan itu tiba2 terlihat sebaris huruf ukiran, yalah
nama dari pembuat besi ketikan api itu: Lo-hap-hin-ki Hengcu.
Tik Hun ingat nama itu adalah merek bengkel besi yang pernah dimasukinya bersama
Ting Tian waktu malam2 mereka melarikan diri dari penjara, disana mereka telah
minta sipandai besi memotong belenggu. Kiranya sesudah keluar penjara, Ting Tian
tahu setiap saat sangat membutuhkan bibit api, maka sekalian ia telah sambar
besi ketikan dan batu api didalam bengkel itu.
Begitulah Tik Hun memandangi besi ketikan itu sambil mengelamun: "Pikiran Tingtoaku benar2 sangat cermat. Alat ketikan api ini sebenarnya dimaksudkannya untuk
dipakai waktu mengembara Kangouw bersama aku, siapa duga belum pernah sekali
terpakai, Ting-toako sendiri sudah keburu meninggal." ~ Dan karena terkenang
kepada Ting Tian, tak tertahan lagi air mata Tik Hun meleleh keluar.
Po-siang sama sekali tidak mencurigai pemuda itu adalah saudara angkat Ting
Tian, ia mengira pemuda itu menjadi sedih karena insaf sebentar lagi jiwanya
akan melayang, makanya menangis.
"Hahahaa!" Po-siang ter-bahak2. "Toahwesio ini berbadan emas, mungkin rejekimu
teramat besar, makanya dapat memakai usus Toahwesio sebagai peti mati dan
menjadikan perut Toahwesio sebagai tempat kuburmu. Sebenarnya kau harus
bersyukur rejeki yang besar ini, kenapa malah menangis! Nah, lekasan menyalakan
apinya!" Tanpa bicara Tik Hun men-cari2 bahan penyulut lagi. Achirnya dapat diperolehnya
segebung sisa kertas Ciam-si yang sudah kuning tua. Segera ia mengetik api untuk
menyulut kertas Ciam-si itu, pelahan2 kayu dibawah kuali ikut terbakar juga.
Ketika kertas2 Ciam-si itu terjilat api, samar2 huruf2 Ciam-si yang tadinya
tertutup debu itu lantas kelihatan, Tik Hun melihat macam2 ramalan yang tertulis
diatas Ciam-si itu. Akan tetapi Tik Hun lagi bingung sebentar cara bagaimana
harus menyiram Po-siang dengan air panas. Biarpun diatas Ciam-si waktu itu
timbul ramalan "nomor buntut" yang bakal keluar juga takkan menarik baginya.
Lambat laun air dalam kuali mulai membuih, Tik Hun tahu tidak lama lagi air
godok itu pasti akan mendidih. Ia menjadi tegang, sebentar2 ia pandang air panas
itu dan lain saat pandang2 perut Po-siang yang telanjang itu. Ia pikir matihidupnya tergantung sekejap lagi, tanpa merasa kedua tangannya menjadi gemetar.
Benar juga, tidak lama kemudian, asap putih mulai mengepul, air kuali sudah
bergolak dengan mendidih. Tanpa ayal lagi
Tik Hun terus berbangkit, begitu kedua tangannya memegang kuali, segera isi
kuali akan digebyurkan keatas kepala Po-siang.
Tak terduga, baru saja badannya bergerak, seketika lantas diketahui juga oleh
Po-siang, secepat kilat paderi itu masih keburu memegangi tangan Tik Hun sambil
membentak dengan bengis: "Apa yang hendak kau lakukan?"
Tik Hun tidak dapat berbohong, maka sekuatnya ia masih berusaha menyiramkan air
mendidih itu kebadan Po-siang. Akan tetapi tangannya terasa seperti dijepit
tanggam karena dipencet oleh tangan Po-siang, hingga sedikitpun takbisa
berkutik. Pabila Po-siang mau gebyurkan air panas itu keatas kepala Tik Hun,
cukup ia betot sekali saja pasti akan jadi, tapi ia merasa sayang pada air masak
itu, bila Tik Hun tersiram mati, tentu dia harus memasak air lagi, hal ini yang
menjadi keberatannya. Maka sekuatnya ia tahan tangan Tik Hun kebawah hingga kuali itu tertaruh
ketempat semula, ia membentak: "Lepaskan tanganmu!"
Akan tetapi Tik Hun tetap tidak mau melepaskan kuali itu, sekuatnya ia hendak
merebut lagi. Tapi, ketika kepalan Po-siang menyambar, "blang", kontan Tik Hun
terpental dan tersungkur masuk kebawah altar Toapekong dengan kepala lebih dulu.
"Hayo, lekas keluar!" bentak Po-siang. "Locu akan menyembelih kau, lekasan kau
copot pakaianmu sendiri, supaya Locu tidak usah repot."
Tapi Tik Hun masih celingukan kian kemari dengan maksud hendak mencari sesuatu
alat untuk gaman, dengan begitu dapat mengadu jiwa dengan Po-siang. Mendadak
dilihatnya dibawah altar itu terdapat dua ekor tikus yang menggeletak dengan
perut membalik keatas, tampaknya binatang2 itu masih bergerak dengan kejat2,
jadi belum mati benar2. Seketika Tik Hun seperti melihat sinar didalam kegelapan, terus saja ia
berteriak: "Toasuhu, jangan membunuh aku dulu. Aku telah berhasil menangkap dua
ekor tikus, biar kumasak sop tikus untukmu, mau tidak?"
"Apa katamu" Tikus" Hidup atau mati?" tanya Po-siang.
Siapapun sudah pasti tidak sudi makan tikus mati, maka Tik Hun cepat menjawab:
"Sudah tentu tikus hidup, lihatlah ini, masih bergerak dia, cuna sudah sekarat
karena kupencet," ~ sembari berkata ia lantas pegang tikus2 itu.
Dahulu Po-siang sudah pernah makan tikus, ia kenal daging tikus cukup lezat
tiada ubahnya seperti daging babi. Ia lihat dua ekor tikus itu tidak gemuk,
mungkin disebabkan kurang makanan didalam kelenteng itu. Untuk sejenak Po-siang
menjadi ragu2. "Toasuhu," cepat Tik Hun menyusuli, "biarkan aku menyembelih tikus2 ini dan
masak sop yang enak bagimu. Habis makan, tanggung engkau akan minta tambah
lagi." Dasar Po-siang seorang pemalas, suruh dia masak makanan sendiri, mungkin dia
lebih suka menderita lapar. Kini mendengar Tik Hun hendak masak sop tikus
untuknya, tentu saja kebetulan baginya. Maka sahutnya: "Tapi cuma dua ekor,
tidak cukup, hayolah kau tangkap lagi beberapa ekor."
Tik Hun pikir ilmu silatnya sekarang sudah musnah, cara bagaimana sanggup
menangkap tikus hidup lagi" Tapi betapapun sekarang ada kesempatan hidup
baginya, hal ini tidak boleh di-sia2kan, maka cepat sahutnya: "Toasuhu, biar
kumasak dulu kedua ekor ini, habis itu akan kutangkap lagi beberapa ekor yang
lain." Po-siang mengangguk, katanya: "Boleh juga, dan kalau aku dapat makan kenyang,
untuk mengampuni jiwamu juga tidak menjadi soal."
Terus saja Tik Hun merayap keluar dari bawah altar, katanya kemudian: "Tolong
pinjam golok Toasuhu itu untuk memotong tikus2 ini."
Sudah tentu Po-siang tidak memandang sebelah mata terhadap sigundul desa yang
ke-tolol2an ini, ia lihat kedua ekor tikus yang dibawa keluar Tik Hun itu
meamang betul masih dapat kejat2, terang bukan tikus mati, maka sahutnya sambil
menuding goloknya: "Ya, boleh pakailah!" ~ Tapi segera ia tambahkan lagi: "Dan
kalau kau berani, boleh coba seranglah pada Locu."
Dalam pikiran Tik Hun memang ada maksud setelah memegang golok terus akan
menyerang paderi jahat itu, tapi karena kena ditonjok lebih dulu, ia menjadi
tidak berani sembarangan berkutik lagi. Segera ia gunakan golok itu untuk
memotng kepala tikus, membelih perut dan mengeluarkan isinya serta membeset
bersih kulit tikus itu, setelah dicuci pula dengan air hujan, lalu ia masukan
kedalam kuali. "Ehm, bagus, bagus!" demikian Po-siang mengangguk dan memuji: "Kau sibotak ini
memang pandai masak sop tikus. Nah, lekas pergi menangkap lagi beberapa ekor."
Cepat Tik Hun mengia terus bertindak keruangan belakang. Dalam hati ia pikir
selama gunung masih menghijau, takkan kuatir tiada kayu bakar. Asal masih hidup,
tentu masih bisa berdaya untuk menyelamatkan jenazah Ting-toako dan mencari
kesempatan untuk membunuh paderi jahat itu.
Tiba2 Po-siang menteriakinya lagi: "Dan awas ya! Kalau kau berani lari, sebentar
akan kusayat dagingmu sepotong demi sepotong untuk makananku."
"Jangan kuatir, Toasuhu," sahut Tik Hun sambil menoleh, "kalau tiada tikus, akan
kutangkapkan kodok, kalau tiada kodok, didalam sungai masih banyak ikan dan
udang, di-mana2 masih banyak makanan, pasti aku akan melayani engkau dengan
baik2, kenapa mesti makan diriku?"
"Hm," jengek Po-siang. ?"Tapi harus cepat! Eh, kau dilarang keluar kelenteng,
tahu?" Dengan suara keras Tik Hun mengiakan pula, lalu berjongkok dilantai pura2
mencari tikus, tapi pelahan2 ia mengendap kebelakang kelenteng. Ia lihat hujan
masih belum reda, untuk melarikan diri dari tangan jahat paderi itu terang suatu
usaha yang sulit. Untuk sejenak ia celingukan kesana dan kesini untuk mencari sesuatu tempat
sembunyi. Tiba2 dilihatnya tidak jauh disebelah kiri sana ada sebuah empang
kecil. Tanpa pikir lagi Tik Hun terus berlari kesana dan pelahan2 merosot
kedalam empang, tinggal hidung dan mulutnya yang masih mengapung diatas
permukaan air untuk bernapas. Ia raup pula kapu2 dan rumput air untuk mengalingi
hidungnya agar tidak kelihatan dari atas.
Sejak kecil Tik Hun hidup dipedesaan yang banyak sungai, maka ia sangat mahir
berenang. Cuma sayang kelenteng itu agak jauh dari Tiang-kang, kalau dekat,
sekali ia terjun kedalam sungai dan menghanyutkan diri menurut arus, tentu Posiang takkan mampu mengejarnya.
Begitulah Tik Hun bersembunyi didalam empang itu. Agak lama kemudian, tiba2
terdengar suara panggilan Po-siang: "Hai A Sam! Dimana kau A Sam" Sudah dapat
menangkap tikus belum?"
Tapi karena tiada sahutan apa2, achirnya paderi itu mencaci maki. Tik Hun coba
miringkan telinga kanan kepermukaan air untuk mendengarkan gerak-gerik musuh, ia
dengar Po-siang sedang memaki dengan kata2 kotor, bahkan 18 keturunannya juga
dicacinya habis2an. Habis itu, terdengar suara tindakannya, nyata paderi itu
telah keluar kelenteng untuk mencarinya.
Hanya sebentar saja terdengar Po-siang sudah dekat dengan empang itu. Keruan Tik
Hun tidak berani menongolkan kepalanya lagi, cepat ia pencet hidung sendiri dan
selulup kedalam air. Untung empang itu tidak terawat dan penuh tumbuh kapu2 dan
alang2, dari atas tidak mudah untuk melihatnya.
Sesudah didalam empang Tik Hun berbalik dapat menyeret Po-siang dan menahan
kepala paderi itu kebawah air hingga Po-siang kerupukan.
Namun demikian, achirnya Tik Hun tidak tahan juga dan terpaksa harus menongol
kepala untuk bernapas. Siapa duga, baru saja hidungnya menghirup hawa sekali,
se-konyong2 tengkuknya sudah kena dicengkeram oleh sebuah tangan. Lalu
terdengarlah suara dampratan Po-siang dengan gusar: "Setan, sekarang engkau akan
lari kemana" Kalau aku belum cincang kau menjadi baso rasaku tidak puas. Nah,
masih kau berani lari?"
Tapi Tik Hun tidak menyerah mentah2, tangannya membalik terus balas membetot
lengan Po-siang dengan se-kuat2nya sambil menariknya kedalam empang.
Sudah tentu Po-siang tak menduga bahwa Tik Hun akan nekat dan berani
menggelutnya malah. Apalagi ditepi empang itu banyak lumpur dan licin, sekali
terpeleset, tanpa ampun lagi iapun terseret nyemplung kedalam empang.
Tik Hun sangat girang, ia pikir bila sudah sama2 berada didalam air, itu berarti
ada harapan untuk gugur bersama. Maka se-kuat2nya ia tahan kepala Po-siang dan
berusaha di-jeblos2kan kedalam air. Cuma sayang air empang itu agak cetek,
sedang perawakan Po-siang tinggi-besar, air empang tidaak sampai menggenangi
kepalanya. Maka begitu terperosot kedalam empang, terus saja paderi itu pegang
tangan Tik Hun, menyusul tangan kiri membalik keatas hingga kepala Tik Hun yang
terpegang dan disilamkan kedalam air malah.
Tapi Tik Hun memangnya sudah nekat. Meski kepalanya terendam air, se-kuat2nya ia


Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tetap pegang kencang2 tubuh Po-siang, biarpun mati juga takkan dilepaskannya.
Karena itu, Po-siang menjadi kewalahan hingga seketikapun takbisa berbuat apa2.
Saking gusarnya ia terus memaki, tapi begitu mulutnya mengap, sedikit Tik Hun
meronta, mau-tak-mau Po-siang kena dicekoki air empang yang kotor. Dalam
murkanya terus saja Po-siang menghantam serabutan kepunggung Tik Hun.
Walaupun pukulan Po-siang itu terhalang dulu oleh air empang, tapi Tik Hun masih
merasa sangat kesakitan. Ia taksir bila kena digebuk lagi beberapa kali, tentu
dirinya akan kelengar. Sedangkan sama sekali ia takdapat balas menghantam,
terpaksa ia gunakan kepalanya untuk menumbuk perut Po-siang.
Begitulah sedang kedua orang itu bergulat didalam empang, se-konyong2 Po-siang
menjerit sekali, tangannya yang mencengkeram Tik Hun lambat-launpun kendor,
kepalan yang sudah terangkat hendak menggebuk itupun pelahan2 menurun kebawah,
menyusul tubuhnya berkejat sekali terus roboh kedasar empang.
Tik Hun menjadi heran, cepat ia merayap bangun, ia lihat Po-siang sudah tidak
bergerak sedikitpun, terang sudah mati. Dalam keadaan masih ragu2 ia tidak
berani menyentuh tubuh Po-siang itu, tapi ia berdiri agak jauh untuk melihat
gelagat dulu. Tapi sampai lama tetap Po-siang tidak bergerak melainkan telentang kaku didalam
empang, terang paderi jahat itu benar2 sudah mati. Namun Tik Hun masih belum
lega, segera ia jemput sepotong batu dan disambitkan keatas tubuh Po-siang,
melihat tiada reaksi apa2, barulah ia yakin paderi itu sudah binasa.
Lalu Tik Hun merangkak ketepi, ia tidak mengerti sebab apakah Po-siang mendadak
mati. Tiba2 terkilas suatu pikiran dalam benaknya: "He, apakah barangkali Sinciau-kang yang kulatih telah mulai mengunjukan kesaktiannya diluar tahuku"
Apakah karena kepalaku menumbuk beberapa kali diperutnya, lalu ia terbinasa?"
Begitulah Tik Hun berdiri ter-mangu2 ditepi empang, ia hampir tidak percaya
kepada matanya sendiri terhadap apa yang dilihatnya waktu itu. Ia coba jalankan
tenaga murni sendiri, ia merasa tenaga dari Siau-yang-keng-meh dibagian betis
itu dapat berjalan sampai di "Ngo-li-hiat" bagian paha, lalu tidak mampu
mengalir keatas lagi. Sedangkan Hiat-to bagian tangan juga begitu, juga
terhalang. Bahkan rasanya lebih mundur tenaga dalam itu daripada waktu masih
didalam penjara. Ia pikir mungkin disebabkan paling achir ini hidup dalam keadaan merana dan ilmu
itu terlantar tak terlatih. Akan tetapi suatu hal adalah pasti, yalah untuk
meyakinkan Sin-ciau-kang hingga sempurna, tempo yang diperlukan masih selisih
terlalu jauh. Setelah ter-menung2 agak lama, achirnya Tik Hun kembali kekelenteng bobrok itu.
Ia lihat api unggun dibawah kuali itu sudah sirap, disamping kuali ternyata ada
dua ekor tikus mati lain, kedua tikus itupun menggeletak terbalik dengan perut
diatas, kaki dan telinganya tampak masih kejat2. Pikir Tik Hun: "Eh, kiranya Posiang sendiri telah berhasil menangkap dua ekor tikus lagi, tapi belum sempat
menikmati sudah keburu kubinasakan."
Ia lihat didalam kuali itu masih ada sisa sedikit kuah, yaitu sop tikus yang
tadi dimasaknya sendiri itu. Memangnya ia sendirijuga sudah kelaparan, segera ia
angkat kuali itu terus hendak diminumnya. Tapi baru kuali itu mendekat mulutnya,
mendadak hidungnya terendus semacam bau harum yang aneh.
Untuk sesaat Tik Hun tertegun sambil memegangi kuali itu, ia merasa heran: "Bau
harum apakah ini" Rasanya aku sudah pernah mengendusnya pasti ini bukan bau
harum yang baik." Dan pada saat itu juga, se-konyong2 sinar kilat berkilauan, menyusul beledek
menggelegar dengan sangat keras. Tik Hun terkaget dan seketika otaknya menjadi
terang, serunya: "Ai, masih untung!" ~ dan begitu tangannya mengipatkan, segera
kuali butut itu bersama sisa sop tikus itu dibuangnya ke Cimche.
Lalu ia putar tubuh kehadapan jenazah Ting Tian, katanya sambil mengembeng air
mata: "Banyak terima kasih, Ting-toako meski engkau sudah pulang kealam baka,
tapi kembali engkau telah menolong jiwa Siaute pula."
Kiranya pada sedetik kilas itu Tik Hun menjadi paham sebab musabab matinya Posiang. Setelah Ting Tian keracunan "Hud-co-kim-lian" yang lihay itu antero
tubuhnya menjadi berbisa. Maka setelah jenazahnya kena dibacok oleh Po-siang,
tikus2 itu telah menggeragoti hancuran daging dari luka bacokan itu. Habis makan
daging manusia, tikus itu menjadi ikut keracunan, ketika Po-siang masak sop
tikus, menyusul iapun keracunan. Makanya waktu mereka bergulat didalam empang,
mendadak Po-siang terbinasa. Kini didepan kuali itu terdapat pula menggeletak
dua ekor tikus, terang binatang2 itupun disebabkan keracunan.
Diam2 Tik Hun sangat bersyukur, pikirnya: "Coba kalau terlambat sedikit
datangnya kesadaranku, pasti sop racun itu sudah habis kuminum."
Sudah beberapa kali Tik Hun telah putus asa dan bosan hidup tapi kini nyaris
modar dari sop racun itu, ia menjadi bersyukur dapat selamat. Waktu itu udara
masih diselimuti awan mendung yang pekat disertai hujan yang mencurah bagai
dituang, tapi hati Tik Hun justeru merasa menemukan sinar harapan, ia merasa
asal dapat mempertahankan hidupnya, tentu akan datang kebahagiaan yang tak
terbatas. Begitulah sesudah menenangkan diri, lalu Tik Hun membenarkan jenazah Ting Tian
kepojok ruangan kelenteng, ia keluar dengan kehujanan untuk menggali sebuah
liang untuk mengubur Po-siang.
Setiba kembali didalam kelenteng, ia lihat pakaian Po-siang masih mencantel
dimeja sembayang, diatas meja tertaruh sebuah bungkusan kain minyak serta ada
belasan tahil uang perak pula.
Karena ketarik, Tik Hun coba membuka bungkusan kain minyak itu, ia lihat
bungkusan itu berlapis dua kali, setelah dibuka pula, ia lihat isinya adalah
sejilid buku kecil yang sudah kekuning2an sampul buku itu tertulis beberapa
baris huruf yang aneh, entah huruf negeri mana, yang terang bukan tulisan Han.
Ia coba mem-balik2 buku itu, ia lihat halaman pertama terlukis sebuah gambar
seorang laki2 kurus dan telanjang, sebelah tangannya menuding kelangit dan
sebelah tangan lain menuding tanah, sikapnya sangat aneh, disamping gambar
tercatat juga macam2 tulisan yang berwarna-warni, bentuknya seperti cebong
(berudu). Tik Hun melihat potongan laki2 dalam gambar itu jauh berbeda daripada orang
Tionghoa, tapi laki2 telanjang dalam gambar berhidung besar dan bermata cekung,
berambut keriting. Bentuknya yang luar biasa itu makin dilihat makin aneh,
bahkan seakan-akan membawa semacam daya tarik bagi yang membacanya. Maka hanya
sebentar saja Tik Hun memandang lalu tidak berani melihat terus.
Waktu ia membalik halaman kedua, ia lihat tetap terlukis laki2 telanjang itu,
hanya dalam gaya yang berbeda. Kini berdiri dengan kaki kiri dalam gaya "Kimkeh-tok-lip" (jago emas berdiri dengan kaki tunggal), sedang kaki lain terangkat
dan menjulur kedepan. Kedua tangan menjulur kebelakang kepala, tangan kiri
memegang telinga kanan dan tangan kanan memegang telinga kiri.
Ia terus balik2 halaman yang lain, ia lihat gaya lukisan laki2 telanjang itu
makin aneh2 dan banyak macamnya. Terkadang kedua tangannya menahan ditanah
dengan menjungkir, terkadang seperti mengapung diudara, dan macam2 gaya lainnya.
Semakin aneh gambar laki2 itu, semakin sedikit pula catatan tulisan
disampingnya. Waktu ia balik buku itu dan membuka halaman pertama dari belakang, ia lihat
gambar laki2 itu agak menggelikan. Sekali ini lidahnya tampak sedikit melelet
keluar, berbareng mata kanan membelalak lebar, sebaliknya mata kiri menyipit,
dari itulah maka tampaknya mimik wajahnya rada lucu.
Karena geli dan ketarik, tanpa merasa Tik Hun menirukan mimik wajah gambar itu,
iapun melelet lidah sedikit, mata kanan terbuka lebar dan mata kiri sedikit
menyipit. Dan sekali menirukan perbuatan itu, aneh juga, rasa mukanya menjadi
segar enak. Waktu ia periksa gambar itu lebih teliti, lapat2 terlihat diatas
tubuh gambar itu terdapat garis2 kecil warna abu-abu yang melukiskan Keng-meh
(urat nadi) didalam badan manusia.
Maka tahulah Tik Hun sekarang: "O, sebabnya laki2 ini dilukiskan telanjang,
tujuannya sengaja hendak mengunjukkan Keng-meh dalam tubuh secara lebih terang."
Waktu Ting Tian mengajar Sin-ciau-kang kepada Tik Hun didalam penjara dahulu,
pernah juga ia menjelaskan kedudukan tiap2 Hiat-to dan Keng-meh dengan terang,
sebab pengetahuan ini justeru adalah kunci pertama untuk melatih Lwekang yang
paling tinggi. Maka sambil memandangi garis2 Keng-meh pada gambar laki2 itu,
tanpa merasa iapun mulai menjalankan tenaga dalamnya hingga terasa satu arus
hawa murni yang lembut telah mengalir keatas melalui Keng-meh2 yang dilihatnya
itu. Diam2 ia heran mengapa cara menjalankan Keng-meh ini tempatnya justeru
berlawanan dengan ajaran Ting-toako, mungkin tidak benar ini. Tapi segera
terpikir pula olehnya: "Biarlah ku-coba2 saja sekali rasanya tiada halangan apaapa?" Maka terus saja mengerahkan tenaga dalamnya lebih teratur menuruti garis2 Kengmeh didalam lukisan. Aneh bin ajaib, hanya sebentar saja antero tubuhnya sudah
terasa hangat, segar dan bersemangat.
Dahulu bila dia sedang melatih Sin-ciau-kang, pikirannya selalu terpusatkan
untuk menghimpun tenaga dalam dan mengerahkannya, jalannya sangat lambat dan
kurang lancar, tapi sekarang ia mengerahkan tenaga dalam dengan menurut jalan
garis2 Keng-meh diatas gambar, hanya sekejap saja jalannya ternyata sangat
lancar bagai air bah yang tak terbendung, sedikitpun tidak susah2 dan hawa murni
itu terus jalan sendiri. Terkejut dan girang pula Tik Hun, pikirnya: "Mengapa didalam badanku juga ada
Keng-meh seperti didalam lukisan" Jangan2 Ting-toako sendiri juga tidak tahu?" ~
Segera terpikir pula olehnya: "Buku kecil ini adalah milik Po-siang, lukisan dan
tulisan didalam buku ini juga sangat aneh dan tidak beres, mungkin bukan sesuatu
barang yang baik, ada lebih baik jangan aku menjamahnya."
Akan tetapi hawa yang sedang berjalan didalam tubuhnya itu sekarang sudah sangat
lancar dan sayang kalau terus dihentikan begitu saja. Maka lantas terpikir pula
olehnya: "Ya, dah, aku hanya main2 sekali ini saja, lain kali tidak mau lagi."
Sementara itu dada terasa lapang, semangat penuh, darah seluruh tubuh menjadi
hangat. Selang sejenak lagi, badannya menjadi enteng rasanya mirip orang habis
minum arak, tanpa merasa tangan dan kakinya ber-gerak2, mulut mengeluarkan suara
"uh-uh-uh" yang pelahan2. Tiba2 kepalanya terasa berat, sekali kabur
pandangannya, robohlah Tik Hun kelantai dan segala apa tak diketahuinya
lagi........ Sampai lama dan lama sekali, lambat laun barulah ia sadar kembali. Waktu ia
membuka mata, seketika terasa silau. Kiranya hujan sudah lama berhenti, sang
surya sedang memancarkan sinarnya yang gilang-gemilang.
Cepat Tik Hun melompat bangun, ia merasa semangat penuh, antero tubuhnya penuh
tenaga baru. Meski sudah dua hari tidak makan apa-apa, tapi ternyata tidak
merasa lapar. Ia pikir: "Apa mungkin ilmu yang tercatat didalam buku ini
sedemikian bagus paedahnya" Ah, tidak, tidak! Lebih baik aku tetap melatih
menurut ajaran Ting-toako saja, ilmu dari kalangan jahat seperti ini bila sampai
mendarah daging pada diriku, boleh jadi akibatnya akan celaka."
Karena itu, buku kecil itu diambilnya terus hendak dirobeknya. Tapi setelah
terpikir lagi olehnya bahwa didalam buku itu terdapat banyak sekali ilmu yang
aneh2 dan susah dijajaki, kalau dirusak begitu saja rasanya juga sayang.
Lalu ia bebenah seperlunya. Ia lihat baju sendiri sudah terlalu rombeng, tidak
mungkin digunakan sebagai penutup badan lagi. Ia lihat baju paderi Po-siang itu
masih tergelar dipinggir meja sembayang dan tampaknya masih baik, segera ia
mengambilnya dan dipakai. Cuma rambutnya sudah terbubut kelimis, ditambah lagi
berbaju paderi, maka miriplah dia seorang Hwesio. Dari itu ia lantas robek
bagian bawah baju paderi yang panjang itu, lalu disambung menjadi seutas ikat
pinggang untuk menggubat pinggang. Ia coba periksa dandanannya itu, meski lucu
kelihatannya, tapi tidak sampai telanjang lagi.
Selesai berdandan, Tik Hun masukkan buku kecil itu dan belasan tahil perak
kedalam bajunya. Ia memeriksa pula buntalan perhiasan pemberian orang yang belum
diketahui siapa itu dan ternyata masih baik2. Lalu ia pondong jenazah Ting Tian
keluar kelenteng. Dan baru saja belasan meter ia meninggalkan kelenteng itu, dari depan telah
mendatangi seorang petani. Melihat Tik Hun memondong mayat, petani itu menjadi
kaget dan terpeleset jatuh kesawah ditepi jalan. Karena habis hujan, sawah itu
penuh air lumpur, seketika petani itu seperti kerbau yang bermandi dikubangan
lumpur, cepat ia meronta bangun terus lari pergi dengan terbirit-birit.
Tik Hun insaf bila meneruskan perjalanan dengan membawa jenazah sang Toako tentu
akan terjadi keonaran yang susah dibayangkan. Ada maksudnya memusnahkan jenazah
Ting Tian, tapi betapapun ia tidak tega. Untung disekitar situ adalah sawah
ladang belaka dan sepi, dalam perjalanan selanjutnya tiada ditemui orang lalu
lagi. Tapi tidak lama kemudian, tiba2 terdengar suara nyanyi orang yang ramai, dari
jauh tampak ada 7-8 petani sedang mendatangi dengan memanggul pacul. Cepat Tik
Hun melompat ketepi jalan dan sembunyi dibalik alang2 yang lebat. Setelah
petani2 itu lewat, barulah ia berani melanjutkan perjalanan. Pikir punya pikir,
achirnya ia ambil keputusan: "Kalau aku tidak membakar jenazah Ting-toako, tentu
akan sulit kembali ke Hengciu dan cita2 Ting-toako ingin dikubur bersama Lengsiocia akan sulit terlaksana pula."
Segera ia membiluk kelereng bukit disebelah kanan sana, ia kumpulkan daun2
kering dan kayu bakar, ia tumpuk bahan2 bakar itu diatas jenazah Ting Tian, lalu
membakarnya. Ketika api mulai menjilat rambut dan pakaian Ting Tian, Tik Hun
merasa se-akan2 badan sendiri yang terbakar. Tak tahan lagi ia mendekam ketanah
dan menangis sedih............
Setelah jenazah Ting Tian sudah terbakar menjadi abu, dengan chidmat lalu Tik
Hun bungkus abu jenazah itu dengan kain minyak, yaitu bekas pembungkus kitab
kecil tinggalannya Po-siang itu. Ia robek kain baju pula untuk dijadikan tali
pengikat, setelah bungkusan abu tulang itu terbungkus rapi, ia ikat bungkusan
itu dipunggungnya. Kemudian ia menggali pula sebuah liang kecil untuk mengubur
sisa abu dan diuruk dengan tanah, ia menyembah beberapa kali kepada liang kubur
itu, habis itu barulah ia tinggal pergi.
Untuk sejenak ia merasa bingung kemana harus pergi. Kalau sang guru, yaitu Jik
Tiang-hoat, masih hidup umpamanya, maka sanak keluarga satu2nya didunia ini
adalah beliau itulah. Ia pikir sesudah sang guru melukai Ban Cin-san, tentu beliau takkan pulang lagi
kekampung halamannya di Wanling, tapi pasti akan ganti nama dan tukar she serta
mengasingkan diri jauh2. Tapi kini kecuali pulang menjenguk kampung halaman
Wanling itu, Tik Hun merasa tiada tempat tujuan lain yang tepat.
Segera ia balik kejalan raya, waktu tanya penduduk setempat, kiranya tempat situ
bernama Thia-keh-cip, termasuk wilayah Ouwpak. Kalau hendak menuju ke Ouwlam,
lebih dulu harus menyeberangi Tiang-kang.
Sampai dikota, Tik Hun membeli makanan sekedarnya untuk tangsal perut, kemudian
ia menuju ketempat penyeberangan. Terkenang olehnya waktu menyeberang sungai
kemarin, ia mesti berusaha menghindarkan penguberan Po-siang dengan penuh
ketakutan. Tapi sekarang menyeberang kembali dengan tenang dan aman, hanya dalam
tempo satu hari saja ternyata suasana berbeda seperti langit dan bumi.
Setiba kapal tambangan ditepi selatan, baru saja Tik Hun mendarat, tiba2
didengarnya suara ramai2 orang bertengkar. Menyusul terdengar pula suara
gedebukan orang telah saling berhantam.
Sebagai seorang persilatan, sudah tentu Tik Hun tertarik oleh perkelahian itu.
Segera ia mendekatinya untuk melihat apa yang terjadi.
Ia lihat diantara orang2 yang berkerumun itu ada 7-8 orang sedang mengerubut
seorang tua. Kakek itu berpakaian hijau dan kopiah tipis, yaitu dandanan kaum
pelayan yang lazim. Sedangkan 7-8 laki2 yang mengeroyok itu berbaju cekak dan
bertelanjang kaki, disamping situ terdapat keranjang ikan dan timbangan dacin
pendek, nyata mereka adalah penjual ikan.
Tik Hun pikir perkelahian biasa seperti itu tiada sesuatu yang menarik, dan
selagi ia hendak tinggal pergi, mendadak dilihatnya kakek itu mendepak sekali,
kontan seorang laki2 penjual ikan yang kekar kena ditendang terjungkal. Kiranya
kakek itu bukan sembarangan kakek, tapi mahir ilmu silat.
Karena itu Tik Hun urung pergi, ia ingin melihat bagaimana kesudahan perkelahian
itu. Ia lihat hamba tua itu meski dikeroyok, tapi sebentar saja ada tiga penjual
ikan yang lain kena dirobohkan pula olehnya. Meski diantara penonton itu masih
banyak penjual2 ikan yang lain, tapi tiada yang berani ikut mengerubut maju
lagi. "Itu dia, Kepala sudah datang, Kepala sudah datang!" tiba2 ada orang bersorak.
Maka tertampak dari tepi sungai sana sedang mendatangi dua penjual ikan dengan
berlari, dibelakang mereka ada pula tiga orang. Langkah ketiga orang belakangan
itu tampaknya enteng tapi kuat, begitu lihat segera Tik Hun tahu mereka itu
mahir ilmu silat. Sesudah dekat, ternyata ketiga orang itu dikepalai seorang setengah umur dan
berwajah ke-kuning2an dengan berkumis tikus. Setelah memandang beberapa kejap
kepada penjual2 ikan yang terguling ditanah dan masih me-rintih2 itu, lalu ia
berkata: "Siapakah saudara" Mengandalkan pengaruh siapa, maka engkau berani
menganiaya orang di Hoa-yong-koan sini?"
Ucapan kepala penjual ikan itu ditujukan kepada sihamba tua, tapi matanya
justeru memandang kearah lain.
Kiranya sesudah menyeberang sungai, kini Tik Hun sudah masuk diwilayah Hoa-yongkoan. Maka terdengar kakek itu sedang menjawab: "Siapa yang menganiaya orang" Aku


Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

datang hanya untuk membeli ikan, membeli dengan kontan!"
"Sebab apa berkelahi?" tanya kepala itu kepada salah satu penjual ikan.
Kedele Maut 2 Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo Pahlawan Dan Kaisar 13

Cari Blog Ini