Tiga Maha Besar Karya Khu Lung Bagian 11
merasa hormat terhadap seorang baik, ia selalu berusaha
untuk menghindari pikiran sampai kesitu, apalagi
mengumumkan perasaannya itu dihadapan umum"
Hoa Thian-hong berpikir sejenak, kemudian dengan muka
serius sahutnya, "Terima kasih atas petunjuk dari cici, mulai
hari ini siaute pasti akan berusaha untuk menjadi seorang
manusia yang benar-benar baik, sehingga membuat pihak
musuhpun mau tak mau terpaksa mesti mengagumi diriku"
Giok Teng Hujin tertawa cekikikan.
"Apa yang sedang kubicarakan hanyalah masalah besar
dalam dunia persilatan, masalah tentang muda mudi sih boleh
bertindak lebih bebas dan leluasa, tak perlu musti pakai aturan
segala" Hoa Thian-hong tertawa terbahak-bahak, ia merasa dada
dan pikirannya jadi lapang sekali.
Sebenarnya pembicaraan tentang masa lah baik dan busuk
itu hanyalah perkataan melantur dari Giok Teng Hujin,
perempuan itu sendiripun tak pernah memikirkannya dihati,
tapi bagi pendengaran Hoa Thian-hong telah mendatangkan
manfaat yang amat besar. Sebelum kejadian tersebut, Hoa Thian-hong masih
merupakan seorang pemuda yang keras kepala dan berdarah
panas tapi mulai detik itu juga segala watak serta perangainya
telah mengalami perombakan besar dan jadilah dia seorang
lelaki sejati yaog berjiwa ksatria, setiap perkataan maupun
perbuatannya tak malu disebut seorang pemimpin dari
golongan kaum lurus. Sudah tentu Giok Teng Hujin sendiripun tak pernah
menduga kalau ucapan isengnya telah mendatangkan
perubahan besar bagi kekasih hatinya ini.
Sementara itu dipthak lain, Pek Kun-gie yang kemarin
malam baru saja lolos dari pengejaran Tio Sam-koh, ketika
baru saja ia tiba didepan mulut sebuah gang, tiba-tiba dari
balik kegelapan menyusup keluar seorang kakek tua
berjenggot putih, begitu munculkan diri dia segera lancarkan
sebuah totokan yaog merobohkan gadis itu kemudian
mengempitnya di bawah ketiak dan kabur dari situ.
Dari gerakan tubuh kakek tua itulah, Tio Sam-koh segera
kenali orang itu sebagai Pia Leng-cu dari perkumpulan Thongthiankauw dan karena itu pula dia tidak melanjutkan
pengejarannya. Kakek berbaju putih itu sama sekali tidak berlalu dengan
begitu saja, sesudah membawa Pek Kun-gie berputar satu
lingkaran akhirnya ia kembali lagi disekitar rumah penginapan
tersebut dan menyembunyikan diri ditempat kegelapan sambil
menyaksikan pertarungan sengit antara Hoa Thian-hong
melawan Kiu-im Kaucu, menanti kedua belah pihak telah
buyar barulah dia mengempit tubuh Pek Kun-gie dan
menyusup keatas loteng sebuah rumah obat diseberang
penginapan tersebut dan bersembunyi disudut gudang obat
tadi. Orang itu memang tak lain dan tak bukan Pia Leng-cu,
dengan pedang emas berada dalam sakunya, sambil melarikan
diri dari pengejaran Kiu-im Kaucu, dia pun berusaha untuk
merampas pedang baja milik Hoa Thian-hong serta
mendapatkan kitab kiam keng yang maha dahsyat tersebut.
Apabila orang-orang dari pihak Mo-kauw tidak masuk
bilangan, maka dewasa ini ilmu silat yang dimiliki Hoa Thian
Hoag serta Kiu-im Kaucu boleh dibilang nomor satu di kolong
langit, meskipun kepandaian silat dari Pia Leng-cu sendiripun
sudah mencapai puncak kesempurnaan, akan tetapi kalau
dibandingkan dengan kedua orang jago ini, dia masih tetap
kalah setingkat,oleh sebab itulah untuk menghadapi kedua
orang jago lihay ini menantang secara berhadapan, maka
diputuskan untuk bermain gerilya ditempat kegelapan.
Sejak perkumpulan Thong-thian-kauw musnah dari muka
bumi, imam tua ini selalu berusaha untuk membalas dendam,
dan satu-satunya harapan yang dijagakan dirinya adalah
memperoleh kitab Kiam keng tersebut kemudian mempelajari
isinya. Selama ini semua anggota perkumpulan Thong-thian-kauw
mempelajari ilmu pedang, dengan dasar ilmu silat serta
tenaga dalam yang dimilikinya sekarang, apabila bisa
memperoleh kemajuan yang amat pesat, dan asalkan ia
sanggup menandingi kepandaian silat dari Hoa Thian-hong
serta Kiu-im Kaucu, maka dunia persilatan akan berada
dibawah injakan kakinya, dalam keadaan begitu tak sulit untuk
membangun kembali perkumpulan Thong-thian-kauw yang
telah runtuh. 0000O0000 69 KUNCI UNTUK memperoleh kitab pusaka Kiam keng yaitu
pedang emas itu berada ditangannya akan tetapi Kiu-im Kaucu
selalu mengejar-ngejar terus membuat dia makan tak enak
tidur tak tenang, hal ini membangkitkan niatnya untuk
merampas pedang baja milik Hoa Thian-hong dan kemudian
kabur jauh-jauh dari situ, asal dia bisa mempela jari isinya
niscaya dunia aian menjadi miliknya.
Begitulah, sekembalinya keatas loteng kecil, dia lantas
memikirkan pertarungan sengit yang baru saja berlangsung
antara Hoa Thian-hong melawan Kiu-im Kaucu, ia tahu
sesudah pertarungan tersebut hawa murni mereka berdua
pasti mengalami kerugian besar, dalam keadaan begitu tak
mungkin Kiu-im Kaucu akan muncul kembali disana, ia lantas
merasa bahwa malam ini adalah saat yang paling tepat untuk
merebut pedang baja itu. Pek Kun-gie yang kena dibekuk segera diikatnya dengan
tali otot kerbau yang kuat, mulutnya dijejali pula dengan
robekan kain sehingga tak dapat berteriak. Kemudian
tubuhnya disembunyikan dibawah tumpukan obat-obatan.
Sedangkan ia sendiri menyusup kembali kedaerah sekitar
rumah penginapan dimana Hoa Thian-hong berdiam, menurut
perkiraannya Pek Kun-gie yang ditotok jalan darah pingsannya
tak akan sadar dalam beberapa jam, karenanya tak mungkin
juga ia dapat meloloskan diri.
Walaupun begitu ia tak berani terlalu mendekati rumah
penginapan tersebut, sebab pertarungan sengit antara Hoa
Thian-hong melawan Kiu-im Kaucu telah mendatangkan rasa
bergidik dalam hatinya, selain itu diapun dapat menyaksikan
peristiwa terlukanya orang-orang Mo-kauw yang menyergap
rumah penginapan malam itu.
Dalam keadaan ketakutan dan pernah pecah nyali, akhirnya
dia ambil keputusan untuk tidak melakukan gerakan apa-apa
secara gega bah, tapi mendekam disekitar penginapan sambil
menantikan saat yang tepat untuk merampas pedang baja itu
Beberapa saat kemudian ia lihat cahaya lampu dirumah
penginapan itu telah padam, ia mengira Hoa Thian-hong
sekalian telah naik kepembaringan dan tidur, maka
ditunggunya dengan tenang ditempat kegelapan.
Siapa tahu lewat beberapa saat kemudian, mendadak Hoa
Thian-hong munculkan diri dari dalam kamarnya dan
tinggalkan rumah penginapan tersebut menuju kepintu kota
sebelah utara. Sesudah berpikir sebentar, imam tua ini segera menduga
kalau kepergian Hoa Thian-hong saat itu tentulah dikarenakan
persoalan Pek Kun-gie, maka ia menguntit dari kejauhan, dia
ingin tahu apa yang hendak di lakukan si anak muda itu.
Tak tahunya ditengah jalan Hoa Thian-hong telah berjumpa
dengan Giok Teng Hujin, maka dengan sendirinya
perjalananpun terhenti ditengah jalan.
Pia Leng-cu adalah seorang jago kawakan yang mempunyai
banyak pengalaman dalam dunia persilatan, ia menyadari
betapa sempurnanya tenaga dalam yang dimiliki Hoa Thiian
Hong dan betapa tajamnya pendengaran si anak muda itu,
salah-salah kurang waspada niscaya jejaknya ketahuan
musuh, selain itu dia pun kuatir srigala mengincar kambing,
harimau menunggu diarah belakang, dan jejaknya ditempeli
eleh Kiu-im Kaucu yang kejam, oleh sebab itulah semua tindak
tanduknya dilakukan dengan sangat berhati-hati, sedikitpun
tak berani bersikap gegabah.
Posisinya saat ini berada diantara desakan dua kekuatan
besar, ibaratnya ular yang kena digebuk, ia tak berani berbuat
seenaknya sendiri sehingga dia sendiri malahan jatuh dalam
pengawasan orang. Ketika dilihatnya Hoa Thian-hong sudah masuk kedalam
loteng dan jendelapun sudah tertutup, diam-diam ia berputar
satu lingkaran kemudian dengan sangat berhati-hati
mendekati tempat tersebut.
Setibanya diluar jendela, imam tua ini segera tutup
napasnya dan mengamati suasana dalam ruangan dengan
seksama, ia temukan Giok Teng Hujin sedang melolob Hoa
Thian-hong dengan arak keras, bahkan yang dipergunakan
adalah arak Cui sian mi suatu arak yang berkadar tinggi dari
perkumpulan Thong-thian-kauw, jadinya ia sangat Kegirangan,
diam-diam ia bersyukur kepada sukma cousu ya nya yang
sudah menyediakan kesempatan baik kepadanya untuk
peroleh pedang baja serta menjadi seorang tokoh tak
terkalahkan didunia, dalam hati ia lantas ambil keputusan,
asalkan pedang baja itu sudah jatuh ketangan nya dan kitab
Kiam keng didapatkan olehnya, maka sambil membawa Pek
Kun-gie dia akan kabur jauh dari keramaian dunia dan mencari
tempat yang tidak dapat ditemukan Kiu-im Kaucu untuk
mempela ari isi kitab Kiam keng tersebut.
Bila ditambah pula dengan ilmu catatan Kiam keng bu kui
yang diketahui Pek Kun-gie, jika ia muncul kembali dalam
dunia persilatan, siapa lagi yang mampu menandingi dirinya"
Terbayang pula betapa nikmat dan hangatnya dia akan
mencicipi tubuh Pek Kun-gie yang putih mulus dan padat
berisi itu, hatinya jadi sangat kegirangan, ia merasa
pengorbanan serta penderitaan yang dialaminya selama ini dia
masih belum terhitung seberapa jika dibandingkan dengan apa
yang bakal diraih di kemudian hari.
Pia Leng-cu tahu betapa lihaynya madu arak Cui sian mi ini,
asalkan Hoa Thian-hong meneguk setengah cawan, seratus
persen pemuda itu pasti akan mabuk dan tak sadarkan diri.
Menyusul mana dia dengar pembicaraan yang lirih dari
kedua orang itu, meskipun dalam hati merasa amat gelisah
akan tetapi berhubung persoalan ini menyangkut masa depan
dirinya, maka imam tua ini selalu bersabar diri dan bertindak
dengan hati-hati. Siapa tahu fajar telah menyingsing diufuk sebelah timur,
imam itu tahu bila mengintip lewat luar jendela dilanjutkan,
meskipun mereka yang berada dalam ruangan tidak sampai
mengetahui perbua-tannya, tapi bagi mereka yang lewat
dijalan raya sebelah bawah sana pasti akan mengetatui
perbuatannya itu dalam sekilas pandangan.
Dengan perasaan apa boleh buat, terpaksa ia
menggeserkan tubuhnya kembali ke tempat
persembunyiannya kesudut bangunan yang sulit diketahui
orang, walaupun begitu dengan tenaga dalam yang dimiliki
Hoa Thian-hong ternyata ia tak sempat mendengarkan
sesuatu tanda yang mencurigakan, bahkan Soat-ji rase salju
yang punya penciuman yang melebihi manusia biasapun tidak
merasakan sesuatu yang aneh.
Kendatipun Hoa Thian-hong tak tahu kalau diluar jendela
telah siap seorang musuh tangguh, namun selama ini dia
sendiripun selalu waspada, dia kuatir dirinya disergap musuh
secara mendadak sehingga pedang baja itu dirampas orang,
selain itu diapun takut kalau imamnya kurang teguh sehingga
terjerumus kedalam jaring cinta Giok Teng Hujin, karenanya ia
selalu menjaga otaknya atar tetap segar dan dingin.
Demikianlah, ketika Pia Leng-cu merasa saat yang
dinantikan telah tiba, maka ia menerjang masuk kedalam
ruangan dengan langkah yang berhati-hati serta penuh
perhitungan, toh perhitungan itu akhirnya meleset juga bukan
saja usahanya gagal total bahkan harus kabur sambil
membawa luka yang parah. Seandainya Giok Teng Hujin tidak memegangi Hoa Thianhong
terus menerus, niscaya imam tua itu akan mampus
diujung telapak tangan Hoa Thian-hong yang ampuh.
Dengan kaki berjalan pincang, Pia Leng-cu segera loncat
turun dari atas loteng, buru-buru ia telan sebutir pil pemunah
racun dan kabur lewat jalanan yang masih sepi.
Setalah kabur, dia masuk kedalam sebuah ruangan dalam
suatu pen ginapan kecil, imam ini duduk bersila dan salurkan
hawa murninya untuk melawan kekuatan racun yang bekerja
dalan tubuhnya. Racun keji dari Kiu-tok Sianci memang tersoohor karena
keganasannya, walaupun dia telah menelan sebutir pil
pemunah namun obat tersebut tidak menunjukkan
kemanjuran apa-apa, saluran hawa murni yang dimaksudkan
untuk mendesak keluar racun itu dari dalam tubuhpun
mengalami kegagalan total, untung ia cuma sebentar
menangkap pedang baja itu sehingga dia hanya menderita
keracunan ringan, dengan andalkan tenaga dalam hasil
latihannya selama enam puluh tahun, akhirnya ia berhasil
mendesak racun itu ke ujung tiga jari tangan kirinya.
Demi untuk selamatnya jiwanya, dalam keadaan begini
sambil gertak gigi ia lantas cabut sebilah pisau belati dan
menebas kutung ketiga buah jari tangannya itu.
Setelah racun keji itu dapat dimusnahkan, selembar
jiwanya selamat pula dari ancaman maut, buru-buru dia ambil
keluar obat luka dan dibubuhkan keatas mulut luka diatas
tangan serta kakinya, sesudah membalut dengan baik barulah
topeng kulit manusia yang ia kenakan dilepaskan.
Semburan arak dari Hoa Thian-hong yang bersarang telak
dipipi kanannya terasa amat dahsyat, untung mukanya
dilindungi oleh topeng itu sehingga tak sampai terluka parah
kendati begitu separuh wajahnya telah membengkak besar,
buru-buru ia mengurutinya bebe-rapa saat, kemudian ganti
pakaian, menutupi mukanya dengan kain cadar dan berlalu
dari rumah penginapan itu.
Dengan hati kebat kebit karena ketakutan, sepanjang
perjalanan Pia Leng-cu berjalan seperti maling takut
ketangkap polisi, dengan susah payah akhirnya toh dapat
kembali keatas loteng kecil rumah obat itu dengan selamat.
Jalan darah Pek Kun-gie yang tertotok, saat itu sudah
bebas dengan sendirinya, waktu itu dia sedang menggerakan
tubuhnya diba wah tumpukan bahan obat, Pia Leng-cu maju
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghampiri dan mengangkat tubuhnya dari bawah tindihan
bahan obat-obatan. Diatas loteng kecil itu, terdapat sebuah jendela kecil yang
tepat berhadapan dengan penginapan dimana Hoa Thian-hong
menginap, diatas jendela tersebut Pia Leng-cu membuat
sebuah lubang kecil yang bisa di gunakan untuk mengintip
segala gerak-gerik dipintu luar penginapan tersebut.
Suasana dalam ruangan gelap gulita, tapi sinar yang
memancar masuk lewat lubang itupun dapat menyinari
seluruh ruangan dengan jelas.
Setelah sadar dari pingsannya, Pek Kun-gie temukan kaki
dan tangannya dibelenggu orang, sadarlah dara itu bahwa dia
telah di tangkap orang, namun ia tak tahu siapakah yang telah
menawan dirinya ini. Kemudian ia alihkan sorot matanya kesamping dan
menyaksikan seorang pria berkain cadar hitam dengan bentuk
badan persis seperti Pia Leng-cu berdiri dihadapannya, ia baru
terkesiap hingga keringat dingin mengucur keluar membasahi
seluruh tubuhnya. Bagaikan sukma gentayangan saja, Pia Leng-cu
mengangkat tubuh Pek Kun-gie dan diletakkan disudut
ruangan, kemudian perlahan-lahan ia lepaskan kain cadar
yang menutupi wajahnya. Dahulu ia pelihara jenggot pulih yang panjang, tapi untuk
melengkapi penyamarannya, jenggot itu sudah dicukur habis,
kini dengan muka yang murung bercampur kesal serta
bengkak separuh ditambah pula sorot matanya yang
memancarkan cahaya kebengisan ke lihatan amat mengerikan
sekali sehingga bikin hati orang jadi bergidik.
Dengan pandangan tajam Pek Kun-gie mengawasi pria
dihadapannya, setelah merasa yakin kalau orang itu adalah
Pia Leng-cu, bulu kuduknya tanpa terasa pada bangun berdiri,
tak kuasa lagi titik air mata jatuh berlinang membasahi
wajahnya. Dengan muka menyeringai seram, Pia Leng-cu mengangkat
tangan kirinya dan diperlihatkan dihadapan dara itu sambil
ujarnya dengan suara menyeramkan, "Lihatlah dengan cepat,
mukaku, tanganku semuanya dilukai oleh Hoa Thian-hong
sampai kaki kiriku jadi pincang pula. Hmm! semua hutang
darah ini akan kulampiaskan diatas tubuhmu, apalagi hutang
perkumpulan Sin-kie-pang atas Thong-thian-kauw sudah
menumpuk terlalu banyak, kini akan ku tagih semua dirimu"
Sambil berkata perlahan-lahan dia lepaskan kain handuk
dan mengeluarkan pula sumbat kain yang memenuhi mulut
Pek Kun-gie. Berada dalam keadaan begini, dara ayu dari perkumpulan
Sin-kie-pang ini segera berpikir di hati, "Setelah aku terjatuh
ketangan bangsat ini, tak bisa dibayangkan bagaimana
akibatnya, kalau aku tidak cepat-cepat mati maka siksaan
serta penderitaan yang kualami akan bertambah parah.... aaai!
Thian-hong.... ooh Thian-hong.
Gadis itu kuatir kesempatan yang ada lenyap dengan begitu
saja, sehingga akhirnya dia malah tersiksa hebat, maka tanpa
berpikir panjang lagi ia menggigit lidahnya keras-keras
bermaksud untuk bunuh diri.
Sebagian besar anggota perkumpulans Thong-thian-kauw
hidup dalam pelampiasan nafsu seks atas lawan jenisnya,
selama hidupnya Pia Leng-cu entah sudah berapa banyak
merusak kehormatan dan kesucian anak gadis orang, makin
tua makin menjadi dan ia pan ai sekali menyelami perasaan
kaum wanita. Ketika dilihatnya paras muka Pek Kun-gie berubah hebat,
secepat sambaran kilat tangan kanannya menjepit sepasang
pipi dara itu, membuat mulutnya tak sanggup terkatup
kembali. Air mata semakin deras bercucuran membasahi wajah Pek
Kun-gie, dengan sorot mata penuh kegusaran ia melototi
musuhnya tanpa berkedip. Pia Leng-cu tertawa seram, sepatah demi sepatah ia
berkata dengan nada seram, "Dengarkanlah baik-baik, kalau
engkau berani bunuh diri maka segera kunodai jenasah mu,
kemudian telanjangi dirimu dan kugantung mayatmu didepan
pintu kota sana, agar semua orang yang ada diseantero jagad
tahu kalau perempuannya Hoa Thian-hong telah dirusak
kehormatannya oleh aku Pia Leng-cu!"
Selesai berkata, ia lepaskan jepitannya.
Sekujur badan Pek Kun-gie gemetar keras, setelah berpikir
beberapa saat lamanya, ia benar-benar tak berani untuk
bunuh diri, pikirnya dihati, "Baik mati maupun hidup, aku tak
boleh bikin malu Thian honh, lebih baik aku pasrah saja pada
nasib dan mengikuti perkembangan situasi selanjutnya...."
Setelah ambil kepututan didalam hati, ia berkata, "Kalau
mau bunuh aku bunuhlah dengan cepat dan biarkan aku mati
dengan tubuh yang suci, anggap saja engkau telah balaskan
dendam bagi Thong-thian-kauw, dan perkumpulan Sin-kiepang
kami telah membayar impas hutang berdarah ini, dalam
keadaan begini aku Pek Kun-gie akan mati dengan mata
meram tanpa mengucapkan separah katapun, Hoa Thian-hong
adalah seorang enghiong yang mengutamakan kebijaksanan
dan keadilan, ia pasti akan merasakan kebaikan budimu ini,
siapa tahu ia malah akan memberikan imbalan yang besar
untuk itu" Hmm! Perkataanmu telah membingungkan, aku Pia Lengcu
sama sekali tak mengerti" tukas imam tua itu dengan
ketus. Sesudah berhenti sebentar, sambungnya lebih jauh"
"Setelah urusan berkembang jadi begini, masing-masing
pihakpun berjalan menurut seleranya masing-masing, kini aku
Pia Leng-cu tinggal sebatang kara, tiada sesuatu apapun yang
perlu kutakuti lagi, asal ada keuntungan bagi ku maka
pekerjaan itu segera kulakukan. Hmmm! jika engkau
membandel terus, jangan salahkan kalau kunodai dulu
kesucianmu untuk melampiaskan semua rasa dongkolku, ke
mudian baru bikin perhitungan selanjutnya"
Ketika mendengar perkataan tersebut, terutama sekali
kata-kata yang berbunyi '.... dimana ada keuntungan disana
kulakukan perbuatan itu....' satu ingatan dengan cepat
berkelebat dalam benaknya, ia lantas berpikir, "Pedang emas
tersebut berada dalam saku bangsat ini, kalau ditinjau dari
tindak tanduknya yang selalu mengintil kepergian Hoa Thianhong,
rupa-rupanya diapun bermaksud untuk mendapatken
kitab Kiam keng. Asalkan ia punya niat kesitu, berarti pula
diapun takut banyak urusan.... untuk sementara waktu aku tak
usah keburu mati, kalau Thian-hong mengetahui akan
persoalan ini, dia pasti akan datang menolong diri ku, sampai
waktunya kalau bangsat ini hendak celakai jiwa Thian-hong,
siapa tabu kalau aku bisa bantu menyelamatkan jiwanya?"
Jilid 19 SEMENTARA ia masih termenung, dengan wajah
menyeringai seram Pia Leng-cu telah berkata lagi, "Sekarang,
beritahu dulu kepadaku apa isi catatan Kiam keng bu kui yang
kau ketahui, jika berani menyelewengkan kata-kata tersebut
dari isi yang sebenarnya.... Hmm! Akan kusuruh kau tak punya
muka untuk berjumpa lagi dengan Hoa Thian-hong"
Pek Kun-gie selalu teringat akan Hoa Thian-hong, maka Pia
Leng-cu menggunakan titik Kelemahan tersebut untuk
memaksa gadis itu menuruti Kemauannya, meskipun cara ini
amat keji dan tak tahu aturan namun amat jitu dan tepat
mengenai sasarannya. Mendengar permintaan tersebut, dalam hati Pek Kun-gie
segera berpikir, "Kalau aku mengatakan tak tahu, dia pasti tak
percaya, seba-liknya Kalau kuterangkan sejujurnya, bila intisari
kepandaian tersebut sampai dipahami olehnya, bukankah
kepandaian silat yang dia miliki akan melampaui Thian-hong?"
Agaknya Pia Leng-cu dapat menebak pula isi hatinya, ia
menyeringai seram dan berseru
Engkau tak usah banyak berpikir, ilmu silat kekasihmu itu
berada jauh didepanku sekalipun aku berhasil memahami
intisari catatan Kiam keng bu kui, belum tentu bisa menyusul
kemampuannya, siapa kuat siapa lemah masih harus
ditentukan setelah Kiam keng mustika itu akhirnya diketahui
terjatuh ketangan siapa. Hmm! Sekalipun kuhafalkan dengan sejujurnya, belum
tentu kau percaya seratus persen, pasti kau ngotot
mengatakan aku bohong. "Hafalkan saja dengan cepat, palsu atau asli aku dapat
mem-bedakan sendiri!" tukas Pia Leng-cu.
Pek Kun-gie kembali berpikir dihati, "Isi Kiam keng bu kui
bagian depan banyak diketahui oleh para jago yang hadir
dalam pertemuan Kian ciau tay hwe, tak mungkin aku bisa
bohong, sebaliknya kalau isi bagian belakang sengaja kukacau
sedikit, rasanya belum tentu ia dapat membedakan...."
Karena berpendapat begitu, iapun lantas menghapalkan isi
catatan tersebut, "Peraturan menurut langit, kerugian pasti
tersisa.... Berjaga ketat sikap waspada dan rahasia, pedang
pengusir setan, bocorkan ra hssia langit, lambat, tenang,
lincah, bergabung jadi...."
Tiba-tiba Pia Leng-cu tertawa seram.
"Heehh.... heeehh.... heeehh.... keliru besar, lambat, tenang
dan lincah mana mungkin bisa digabungkan jadi satu?"
Cahaya kilat berkelebat lewat dan....Breet! pakaian yang
dikenakan Pek Kun-gie dari bagian dada sampai antara
belahan pahanya mendadak tersebar robek sehingga anggota
badannya yang putih mulus dan merangsang tertera jelas
didepan mata, Pisau belati itu disembunyikan dibawah pakaian, setelah
merobek pakaian Pek Kun-gie ia sembunyikan kembali
pisaunya ditempat semula, semua gerakan dilakukan dalam
waktu singkat dan secepat sambaran kilat.
Pek Kue Gie hanya merasakan cahaya tajam berkilauan,
sebelum sempat melihat jelas bentuk pisau tersebut tahu-tahu
semuanya sudah terjadi, untung gadis itu duduk bersila
ditanah oleh sebab badannya naik turun tidak merata maka
babatan pisau tersebut tak sampat melukai tubuhnya.
Walaupun begitu, dari sini pula dapat di buktikan betapa
sempurnanya permainan ilmu pedang yang dimiliki imam tua
ini. Muja-mula Pek Kun-gie merasa terperanjat, menyusul mata
hatinya jadi gusar bercampur malu apalagi setelah dilihatnya
pakaian yang dikenakan robek sama sesali hingga dada dan
bagian bawahnya terlihat jelas.
Berada dalam keadaan bagini, gadis itu ingin mati saja, tapi
ia tak berani berbuat begitu kuatir kalau jenasahnya benarbenar
dinodai imam cabul tersebut, sepasang tanganpun
terbelenggu dibelakang punggung hingga tak mungkin bisa
digunakan untuk menutupi bagian yang kelihatan.
Saking gemas benci dan mendongkolnya, sekujur badannya
gemetar keras, sambil menggertak gigi ia berseru, "Lebih baik
bunuhlah diriku, kalau tidak suatu saat pasti kucokel keluar
sepasang biji matamu itu!"
Pia Leng-cu sama sekali tidak menggubris perkataan itu,
sepasang matanya melotot besar dan mengawasi payudara
sang dara yang menonjol sebagian dari balik pakaiannya yang
robek, terutama sekali lekukan tubuh bagian bawahnya yang
indah memikat, membuai matanya hampir tak berkedip, paras
mukanya yang membengkak berderu ken cang menahan
emosi, keringat sebesar kacang kedelai mengucur keluar tiada
hentinya, tanpa sadar nafsu birahinya telah berkobar dengan
hebatnya.... Haruslah diketahui Pek Kun-gie adalah seorang gadis yang
cantik jelita bagaikan bidadari, bukan saja paras mukanya
sangat menawan hati bentuk tubuhnya pun sangat indah,
ditambah pula kulit tubuhnya yang putih bersih sama sekali
tiada Cacad, pinggangnya ramping serta sepasang
payudaranya yang bulat berisi, boleh dibilang suatu perpaduan
yang amat serasi. Pia Leng-cu adalah seorang lelaki hidung bangor yang
gemar main perempuan, tidaklah heran kalau nafsu berahinya
kontan berkobar setelah menyaksikan anggota tubuh gadis
itu. Pek Kun-gie merasa amat malu bercampur marah, pikirnya
dihati, "Daripada tubuhku ternoda oleh bajingan cabul ini,
lebih baik mati saja.... aaa! Dari pada tubuh ternoda, lebih
baik aku mati dalam kesucian."
Setelah ambil keputusan dihatinya, iapun siap menggigit
putus lidah sendiri untuk bunuh diri.
Tapi sebelum niat tersebut dilaksanakan, tiba-tiba Pia Lengcu
berpaling ke arah lain dan menghela nafas panjang.
"Aaaai....!" Terperangah hati Pek Kun-gie menyaksikan kejadian
tersebut, ingatan untuk bunuh diripun untuk sementara waktu
ditunda lagi. Meskipun Pia Leog cu telah alihkan sinar matanya ke arah
lain, tapi apa yang barusan dilihat masih terbayang nyata
dalam benak nya, perasaan hatinya masih bergolak keras dan
nafsu berahi yang telah berkobarpun susah ditenangkan
kembali, keringat sebesar kacang kedelai masih terus
mengucur keluar membasahi tubuhnya.
Pada saat ini terjadilah perang batin yang sangat dahsyat
dalam hati kecilnya, ia merasakan suatu siksaan dan
penderitaan yang belum pernah dialaminya sepanjang hidup.
Haruslah diketahui, meskipun bentuk badan Pek Kun-gie
sangat indah tetapi kalau pria yang memandang tubuhnya itu
hanyalah seorang pria yang belum berpengalaman, maka pria
tersebut paling banter cuma merasakan keindahannya belaka,
sama sekali tiada rangsangan lain yang jauh lebih hebat.
Sebaliknya Pia Leng-cu berasal dari perkumpulan Thongthiankauw, pada dasarnya dia memang seorang pria cabul
yang gemar main perempuan, sepanjang hidupnya entah
sudah berapa banyak perempuan yang digauli olehnya, justru
karena terlalu banyak perempuan yang pernah dilihat olehnya
maka ia dapat merasakan kalau bentuk badan Pek Kun-gie
luar biasa sekali dan susah diuraikan tandinganya di kolong
langit, justru karena pendapat inilah maka rangsangan yang
membara dalam dadanya beratus ratus kali lebih hebat
daripada rangsangan pada umumnya.
Kalau menuruti watak serta keinginan hatinya, sedari tadi
dia pingin menubruk gadis itu serta memperkosanya.
Namun diapun memahami perangai dari Pek Kun-gie, dia
tahu gadis itu berhati keras, jika ia terburu-buru merodai
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tubuhnya, niscaya gadis itu akan bunuh diri dan kalau sampai
terjadi keadaan demikian, itu berarti semua rencananya akan
gagal total. Sudah tentu imam tua ini tidak berharap rencana besarnya
mengalami kegagalan total hanya disebabkan salah
melangkah, ia lantas berusaha untuk menekan perasaan
sendiri serta memadamkan api berahi yang sudah hampir
mencapai pada puncaknya itu.
Beberapa waktu sudah lewat, ditengah keheningan yang
mencekam, ia menjerit dalam hati kecilnya, "Tidak boleh....
Tidak boleh....! Aku tidak boleh melakukannya pada saat ini,
dengan adanya gadis ini sebagai sandera, sekalipun tempat
persembunyianku ditemukan Hoa Thian-hong keparat cilik itu
belum tentu dia berani mengapa-apakan diriku, kalau
kuinginkan pedang baja itu ditukar dengan gadis ini, mungkin
saja keparat itupun akan menyanggupi, sebaliknya kalau
kupaksa keparat cilik itu untuk menghadapi Kiu-im Kaucu,
diapun pasti tak berani membangkang perintahku, kini isi dari
catatan Kiam keng bu kui belum kudapatkan, aku tak boleh
membuat suasana jadi rusak berantakan."
Setelah dipikirkan berulang kali akhirnya dia ambil
keputusan untuk memadamkan api berahi dalam hatinya, dari
bawah tumpukkan bahan obat ia ambil keluar sebuah buntalan
serta pedang mustika Poan liong poo kiam tersebut.
Pedang mustika itu diselipkan dulu dalam pakaiannya,
setelah kobaran api birahinya bisa dikuasainya, dia lepaskan
buntalan itu dan ambil keluar satu stel jubah warna hijau,
dengan pakaian itu ia tutupi badan Pek Kun-gie yang setengah
telanjang tadi sehingga tinggal kepalanya saja yang kelihatan.
Pek Kun-gie jadi terperangah oleh tindak tanduk imam
tersebut, pikirnya didalam hati, "Meskipun bajingan tua ini
patut dibunuh namun ilmu silat yang dia miliki memang
terhitung lihay, tampaknya di kolong langit dewasa ini kecuali
Thian-hong serta Kiu-im Kaucu, tiada orang ketiga yang
mampu menandingi dirinya lagi"
Dalam pada itu, Pia Leng-cu sudah putar badannya dan
berkata dengan suara dingin, "Mulai sekarang aku harap
engkau bisa baik-baik membawa diri, ketahuilah pada saat ini
aku berusaha keras untuk menahan diri kalau engkau mencari
kesulitan terus dan berusaha untuk membangkitkan bawa
gusar ku, itu berarti engkau sendirilah yang ingin mencari
kepuasan dan sengaja memancing nafsu birahiku untuk
memperkosa engkau!" Paras muka Pek Kun-gie berubah jadi hijau membesi,
karena gusarnya, tapi gadis itu tahu apa yang diucapkan
adalah kata-kata sejujurnya, dalam hati dia merasa takut dan
tak berani banyak berbicara lagi.
Pia Leng-cu mendekati bawah jendela dan duduk disitu,
ujarnya kembali, "Kepandaian silatku juga terletak diatas
sebilah pedang, kalau dihitung sampai ini hari maka
sejarahnya sudah berlangsung enam puluh tahun lamanya,
perduli sampai dimanakah kehebatan dari Kiam keng bu kui,
asal kau masukkan sepatah kata yang tiada hubungannya
dengan catatan tersebut, aku segera dapat membedakannya.
Ilmu Pedaug yang dimiliki Hoa Thian-hong sangat hebat
tenaga dalam yang dia miltki juga jauh melebihi aku, tapi
kalau berbicara tentang pengetahuan serta pengalaman dalam
hal ilmu pedang, ia masih tak mampu menandingi aku, Pek
Siau-thian sendiri hanya belajar sampai setengah jalan, tentu
saja lebih tak masuk hitungan. Nah! kalau engkau tahu diri,
lekaslah beritahu kepada ku semua isi catatan Kiam keng bu
kui tersebut secara lengkap"
Teringat akan peristiwa yang baru saja terjadi, Pek Kun-gie
ngeri sekali menghadapi imam tua yang berhati keji seperti
kala jengking ini, apa yang dipikirkan sekarang hanyalah
melindungi kesucian tubuhnya, selain itu ia tak berani
membangkitkan amarahnya sehingga menimbulkan kerugian
bagi diri sendiri. Tanpa diulangi untuk kedua kalinya, cepat-cepat ia
menghapalkan kelima puluh delapan kata isi catatan Kiam
Leng bu kui tersebut tanpa salah sepatahkata pun.
Pia Leng-cu menghimpun segenap perhatian dan
semangatnya untuk mendengar catatan itu, kemudaan dengan
seksama dia teliti setiap kata tadi apakah ada yang palsu atau
tidak, sesudah yakin tiada ke alahan barulah dia duduk
bersandar didinding dan merenungkan makna dari pelajaran
tersebut. Apa yang tercantum dalam catatan Kiam keng bu kui
hanyalah inti sari pelajaran ilmu pedang, ajaran itu sebangsa
teori untuk menggunakan yang tiada menjadi ada, dan
bukanlah jurus serangan untuk menghadapi musuh, oleh
sebab itu bila seseorang tidak memiliki dasar ilmu silat yang
cukup kuat sekalipun tahu isi pelajaran tersebut belum tentu
bisa memahami isinya, sekalipun mengerti setengsh-setengah
juga sama sekali tak ada manfaatnya.
Misalnya saja Pek Siau-thian yang mempunyai ilmu silat
terdiri dari pelbagai macam ragam, walaupun kepandaian itu
meliputi juga ilmu pedang tapi dasarnya amat terbatas sekali,
walaupun begitu dia mengetahui akan besarnya manfaat dari
pelajaran Kiam keng bu kui ini, maka setelah pertemuan Kian
ciau lay hwee bubar, ia segera menutup semua cabang dan
ranting perkumpulannya serta membuyarkan anggota
perkumpulan yang ada, kemudian seorang diri menutup diri
dan mendalami pelajaran yang diperoleh tersebut.
Disamping itu, iapun melatih pula beberapa macam ilmu
silat yang lain dari perguruannya, dalam keadaan demikian
Kho Hong hwee tak tega meninggalkan suaminya yang baru
saja mengalami kekalahan total seorang diri, diam-diam Pek
Siau-thian genbira sekali melihat kenyataan itu, berhubung
istrinya juga berlatih ilmu pedang maka ia lantas mencatat
kelima puluh delapan patah kata catatan Kiam keng bu kui itu
diatas secarik kertas, dan diserahkan kepada putri sulungnya
Soh-gie untuk diserahkan kepada ibunya, dengan sendirinya
Pek Kun-gie jadi ikut mengetahui isi dari kelima puluh delapan
kata itu. Bagi Pek Siau-thian sekeluarga, kelima puluh delapan kata
itu tidak mendatangkan manfaat apa-apa, berbeda jauh ketika
diketahui oleh Pia Leng-cu.
Apa yang dikatakan imam tua itu sama sekali tak bohong,
pengetahuannya mengenai ilmu pedang memang sudah
mencapai tingkatan yang sangat tinggi, kelima puluh delapan
kata itu ibaratnya melu-kis naga memberi mata, dalam waktu
yang amat singkat ilmu silatnya telah peroleh kemajuan yang
amat pesat. Suasana diatas loreng sunyi senyap tak kedengaran sedikit
suarapun, Pia Leng-cu duduk sanbii pejamkcn mata, ibaratnya
padri yang sudah duduk semedi dan sama sekali tak pernah
beranjak dari tempat duduknya
Pek Kun-gie sendiri sama sekalii tak ada pekerjaan, ia
gunakan waktu senggangnya untuk melamunkan Hoa Thianhong
terutama sekali sepanjang masa mereka berduaan, mulai
dari Hoa Thian-hong lari ra cun dikota Cho ciu hingga detik ini
setiap hari dia hanya melamun terus, seringkali ia
membayangkan bagaimana mereka menikah, punya anak dan
berpesiar keseantero dunia, kemudian membayangkan pula
bagaimana anak mereka menikah, punya cucu, hampir tiada
sesuatu yang lewat dalam lamunanaya itu.
Asal dia mulai melamun maka segala-galanya sudah
terlupakan olehnya, bahkan iapun merasa lupa dimana dia
sedang berada. Demikianlah, kedua orang itu masing-masing sibuk dengan
pekerjaannya sendiri, sipapun tak mengganggu pihak yang
lain, siapa pun tidak merasa lapar atau dahaga, sepanjang hari
tak seorangpun yang buka suara untuk berbicara.
Malam harinya, tiba-tiba Pia Leng-cu bangkit berdiri,
dengan kaki yang pincang dia berjalan bolak balik dalam
ruang kecil itu, mendadak dari tumpukan peti obat dia ambil
seutas ranting kering dan menggunakan ranting itu untuk
menebas, menusuk dengan cepatnya.
Walaupun ditengah kegelapan, Pek Kun-gie masih sempat
melihat kalau imam tua itu sedang berlatii pedang, ia berlatih
terus tiada hentinya bahkan tak kenal lelah, hal ini membuat
Pek Kun-gie lama kelamaan merasa amat kesal, pikirnya,
"Bangsat ini berlatih terus dengan tekunnya, kalau diteruskan
maka ilmu silatnya tentu akan melampaui Thian-hong. Aaai....!
Tahu begitu, lebih baik kukorbankan segala-galanya daripada
memberi tahukan rahasia ini kepadanya...."
Menyusul mana dia membayangkan bagaimana Hoa Thianhong
berperang tanding melawan Pia Leng-cu, bagaimana
imam tua itu diteter terus sampai kalang kabut tak karuan,
akhirnya pemuda itu putar pedang bajanya beberapa kali
mencukil keluar sepasang biji mata imam bangsat ini,
kemudian melamunkan pula bagaimana Hoa Thian-hong
menggandeng tangannya mendaki bukit Thay san
menyaksikan munculnya sang surya dari balik samudra luas....
Tengah malam telah menjelang, tiba tiba dari depan
penginapan berkumandang suara kereta kuda, Pia Leng-cu
kelihatan terkejut sambil membuang ranting kayunya dari
genggaman, ia lari ketepi jerdela dan mengintip keluar lewat
lubang yang dibuat. Dari balik pintu samping rumah penginapan itu meluncur
keluar sebuah kereta kuda. Hoa Thian-hong duduk didepan
sebagai sais kuda, jendela ruang kereta tertutup rapat
sehingga tak terlihat siapakah yang berada dalam kereta itu.
Pek Kun-gie telah teisadar pula dari lamunannya, dengan
hati terperanjat ia berseru lirih, "Kenapa" Kenapa ia
berangkat?" Pia Leng-cu hanya mendengus dingin, mulutnya tetap
membungkam dalam seribu bahasa.
Pek Kun-gie makin tercekat, serunya lagi, "Kiu im katcu
telah siapkan jebakan diatas sungai, nenek iblis itu bermaksud
merampas pedang bajanya. Hmm! Kalau sampai pedang baja
itu terjatuh ketangan Kiu-im Kaucu, selama hidup jangan
harap kau bisa mendapatkan kitab pusaka Kiam keng"
Pia Leng-cu baru saja terpikat oleh keampuhan isi pelajaran
Kiam keng bu kui, ia tahu kitab Kiam keng yang berada dalam
pedang baja Hoa Thian-hong merupakan seluruh peninggalan
ilmu pedang dari malai kat pedang Gi Ko, rangsangan tersebut
terlalu besar baginya untuk bisa dibendung, mendengar
perkataan dari Pek Kun-gie tadi timbullah perasaan tak tenang
dan panik dalam hati kecilnya.
Tapi bagaimanapun juga dia adalah seorang jago kawakan
yang banyak pengalaman semua tindak tanduknya selalu
dipikirkan dulu secara cermat sebelum dilaksanakan, karena
itu walaupun dalam hati merasa gelisah namun perasaan
tersebut tak sampai diutarakan keluar.
Memandang kereta kuda itu makin menjauh, ia cuma
berkata dengan suara tawa.
Tengah malam buta begini pintu kota sudah tertutup, tak
mungkin kereta kuda itu bisa keluar dari kota.
Dalam hati kecilnya Pek Kun Gei mengeluh
"Thian-hong.... ooh.... Tbhian Hong! Mengapa kau
tinggalkan aku seorang diri" Tegakah kau biarkan aku terjatuh
ketangan bajingan cabul ini?"
Dalam hati berpikir begitu, diluaran dia tertawa dingin dan
berseru lagi, "Untuk keluar kota dan menyeberangi sungai,
masa membutuhkan kereta kuda" Hmm! Setibanya ditepi
sungai, pedang baja itu pasti akan terjatuh ketangan Kiu-im
Kaucu, waktu itulah Kiu-im Kaucu akan datang mencari
engkau untuk merampas pedang emas itu, heeee.... heeehh....
heeeeh.... akan kulihat engkau hendak kabur kemana lagi?"
Pia Leng-cu menyeringai dan tertawa seram.
"Haaah.... haaahh.... haaahh.... sampai waktunya maka
engkaulah yang bakal sial lebih dulu!"
Pek Kun-gie berusaha keras untuk mententramkan hatinya,
sambil berlagak tak acuh, katanya, "Kalau didengar dari
pembicaraanmu memang tampaknya menyeramkan sekali,
padahal setelah tiba pada waktunya asal mata melotot kaki
menjejak, habis sudahnya waktu, apa yang musti aku
pusingkan lagi?" Pia Leng-cu berpikir dihati, "Meskipun mulut budak ini
sangat keras, dalam kenyataan memang begitulah.
Heehmmm.... heehmm.... kalau orangnya sudah mampus,
siapa yang akan memperdulikan lagi tubuhnya bakal diperkosa
atau tidak, kata semacam itu toh tak lebih cuma gertak
sambal belaka...." Sementara itu derap kaki kuda sudah makin menjauh,
ketika dilihataya Pia Leng-cu tiada minat untuk melakukan
pengejaran, dalam gugup dan gelisahnya ia berseru kembali,
"Kalau engkau tak menanggung rasa penyesalan sepanjang
masa, cepatlah kejar Hoa Thian-hong, ilmu silat yang dia miliki
merupakan nomor satu di kolong langit, dia sudah tak akan
tertarik oleh sejilid kitab Kiam keng, dia pasti bersedia
menggunakan pedang baja itu untuk ditukar dengan aku"
Setelah berhenti sebentar, sambungnya lagi, "Dia adalah
seorang pria sejati yang tak pernah pungkiri setiap ucapan
yang telah di utarakan keluar, asalkan ia sudah bersedia untuk
menukar aku dengan pedang baja tersebut, maka janji itu tak
akan diingkari dan diapun tak akan menyusahkan dirimu lagi!"
Pia Leng-cu tertawa seram, tukasnya, "Haaahh.... haaahh....
haaahh.... pedangnya aku mau, orangnya aku juga mau,
bagaimana akhirnya nanti hal ini harus dilihat dengannasibmu
selanjutnya!" "Huuh! jangan mimpi disiang hari bolong, siapa yang
kesudiaan dengan binatang tak tahu malu seperti kau"!
sumpah Pek Kun Ge didalam hati.
Mendadak ia merasa iganya jadi kaku, dan gadis itupun
jatuh tak sadarkan diri. Sesudah menotok jalan darah pingsan di iga Pek Kun-gie,
imam tua itu menggapitnya dibawah ketiak dan melayang
turun kebawah loteng, dengan menelusurl jalan raya dia
mengejar ke arah mana kereta kuda tadi berlalu.
Baru saja menyeberangi sebuah jalan raya, dari kejauhan
tampaklah kereta kuda ini berjalan dengan sangat lambat,
rupanya Hoa Thian-hong kuatir mengganggu ketenangan tidur
rakyat disekitar sana maka kereta itu sengaja dilarikan dengan
perlahan. Pia Leng-cu menyadari kalau ilmu silatnya masih bukan
tandingan lawan, apalapi kaki kanannya pincang dan mulut
lukanya belum merapat, oleh sebab itu dia cuma menguntil
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dikejauhan dan tak berani terlalu mendekati, sepertanak nasi
kemudian tibalah kereta itu dibawah kaki pintu kota sebelah
utara. "Kreekk.... kreeekk....!" pintu kota yang tebal dan berat
tiba-tiba terbentang lebar, dari balik gelagapan muncullah dua
orang penjaga berseragam lengkap.
Hoa Thian-hong segera jalankan keretanya keluar dari pintu
kota, kepada dua orang petugas itu sambil menjura, bisiknya,
"Terima kasih atas bantuan kalian berdua."
"Tak usah sungkan-sungkan, semoga kongcu selamat
sepanjang jalan" jawab kedua orang itu hampir berbareng.
Pia Leng-cu yang mengikuti jalannya peristiwa itu ditempat
kegelapan, segera berpikir dihati, "Aah.... rupanya keparat cilik
itu telah menyuap petugas pintu kota untuk membukakan
pintu baginya, sungguh tak kunyana otaknya secerdik itu,
sehingga asal seperti inipun dapat dilakukan olehnya."
Ia menunggu beberapa saat lamanya, kemudiaan baru
berputar kesamping dan mendaki keatas tembok kota dari
kejauhan, dari sana dia loncat turun keluar kota, tampaklah
kereta tadi tidak langsung menuju kedermaga melainkan
dilarikan menuju ke arah timur.
Dalam hati kecilnya Pia Leng-cu kembali berpikir, "Sungguh
cermat dan seksama jalan pikiran bocah keparat ini, kalau
nenek setan itu bercokol diatas perahunya, dia pasti menanti
ditengah dermaga, menanti mereka sadari kalau keparat itu
menyusup keseberang, mungkin bocah kaparat itu sudah
mendarat ditepi seberang sana!"
Mula-mula kereta itu hanya dilarikan dengan perlaban,
setelah beberapa li, mendadak Hoa Thian-hong ayun
cambuknya berulang kali, kereta itupun segera kabur dengan
cepatnya. Diam-diam Pia Leng-cu merasa amat terkejut, dia ikut
mempercepat lari tubuhnya, namun selisih jaraknya dengan
kereta itu tetap di pertahankan sejauh tiga puluh tombak, ia
merasa sekalipun Hoa Thian-hong berpaling kebelakang,
ditengah kegelapan demikian ini jejaknya sulit untuk diketahui.
Sepanjang kota Lok yang, permukaan air sungai jauh lebih
tinggi dari permukaan tanah disekitarnya, karena itu
sepanjang sungai dibangun tanggul yan amat tinggi untuk
mencegah terjadinya kebanjiran.
Hoa Thian-hong larikan kudanya dengan cepat menelusuri
sisi tanggul tersebut, debu mengepul memenuhi angkasa,
suara putaran roda kereta berkumandang memecahkan
kesunyian. Setelah berlarian kurang lebih setengah jam lamanya, tibatiba
kereta itu dilarikan naik keatas tanggul dan berhenti
disana. Suara gulungan ombak serta hembusan angin menggema
memecahkan kesunyian di malam hari itu, tiba-tiba terdengar
seseorang menegur dengan suara nyaring.
"Yang datang apakah Hoa ya?"
"Benar, aku yang datang! Bagaimana dengan perahu untuk
menyebe-rang....?" sahut Hoa Thian-hong dengan suara
dalam. "Sudah siap sedia semua!"
Pia Leng-cu seeera loncat kedepan dan bersembunyi
dibelakang tanggul, ketika ia mengintip kedepan sana
tampaklah ditepi sungai telah berlabuh sebuah perahu
penyeberang yang besar, empat orang pria kekar berdiri
diempat penjuru siap dengan gala yang panjang, dua orang
pria yang lain menanti diatas daratan.
Hoa Thian-hong menggerakkan kembali kereta kudanya
hingga tepat berhenti didepan perahu itu, sambil loncat turun
dari atas kereta bentaknya nyaring, "Cepat! hela kuda itu
keatas perahu" Sebelum mendapat perintah dua orang pria itu masingmasing
sudah menghela seekor kuda naik keatas geledak
perahu, Hoa Thian-hong loncat kebelakang kereta dan
mendorong kereta tersebut naik keperahu.
Dalam waktu singkat kereta kuda itu sudah berada diatas
geladak, si anak muda itu cepat ayun tangannya, dengan
pukulan udara kosong ia putuskan tali pengikat perahu,
dengan cepatnya perahu itu terdorong oleh arus sungai yang
deras dan meluncur kedepan.
Pia Leng-cu merasa kaget bercampur mendongkol, dia
sama sekali tidak menyangka kalau Hoa Thian-hong telah
mengatur segala sesuatunya dengan sempurna, bahkan
semua gerakan dilakukan dengan kecepatan bagaikan
sambaran kilat, menyaksikan perahu itu bergerak ketengah
sungai terdorong oleh arus air yang kuat, ia lantas menduga
tak sampai tiga empat li Kemudian perahu itu sudah akan
merapat dipantai seberang.
Untuk beberapa saat lamanya ia tak tahu apa yang musti
dilakukan, berhubung sekitar sungai ditempat itu berarus kuat
dan lagi bukan dermaga maka kecuali perahu itu tidak nampak
perahu lain. Dalam gugup dan gelisahnya, terpaksa dia mengempit
tubuh Pek Kun-gie dan berlarian disepanjang bendungan
untuk mengikuti bergeraknya perahu tadi.
Dalam waktu singkat perahu penyeberang itu sudah
meninggalkan tepi pantai sejauh delapan sembilan kaki,
mendadak Pia Leng-cu menemukan sebuah sampan kecil
tertambat ditepi sungai. "Perduli amat sampan itu milik siapa, pokoknya pakai dulu
beres" pikirnya dihati, kalau memang hokki sudah pasti bakal
bencana, kalau sudah bencana mau kemana untuk
menghindar" sekalipun jiwa tua musti melayang, aku tak akan
biarkan pedang baja itu terjatuh ketangan nenek setan"
Imam tua ini dibesarkan ditepi pantai lautan selatan, ia
yakin ilmu berenang yang dimilikinya tidak lemah, setelah
bulatkan tekad, ia segera loncat naik keatas sampan itu,
setelah membaringkan Pek Kun-gie keatas geladak, ia segera
menyambar dayung dan melanjutkan sampan itu mengejar
perahu penyeberang tadi. Dalam waktu singkat, Hoa Thian-hong yang berdiri diujung
geladak lelah menemukan jejeknya, ia segera menghardik,
"Siapa disitu?"
"Pia Leng-cinjin dari perkumpulan Thong-thian-kauw!"
"Pek Kun-gie ada dimana?" si anak muda itu segera
menghardik. Pia Leng-cu menengadah dan tertawa terbahak-bahak.
"Haaah.... haaah.... haaahh.... dia berada disampan, asal
kakiku ber-gerak sedikit saja kedepan, niscaya tubuhnya yang
indah dan wajahnya yang cantik akan terinjak hancur jadi
perkedel!" "Suruh dia berbicara!"
Dalam pada itu, selisih jarak antara sampan dan perahu
penyeberang masih ada sepuluh kaki lebih, dalam suasana
ombak menggulung dengan dahsyatnya dan angin berhembus
kencang mereka berdua terpaksa harus kerahkan tenaga
murni untuk berbicara, suara pembicaraan yang bercampur
dengan gulungan ombak kedengaran sangat mengerikan.
Hoa Thian-hong menguatirkan keselamatan Pek Kun-gie,
maka dia butuh gadis itu berbicara.
Pia Leng-cu segera berpikir, "Kalau aku hendak paksa Hoa
Thian-hong untuk serahkan pedang baja itu, paling sedikit aku
harus mematahkan dahulu mentalnya...."
Karena berpendapat demikian, buru-buru ia alihkan dayung
itu ketangan kiri, sedang tangan kanannya digunakan untuk
menotok bebas jalan darah pingsan ditubuh Pek Kun-gie.
Siapa tau karena luka dikedua jari tangan kirinya baru
sembuh, kurang leluasa baginya untuk mendayung....
Kreeek! tiba-tiba dayung itu patah jadi dua bagian, seketika
itu juga sampan itu tergulung ombak dan hampir saja terbalik.
Pia Leng-cu sangat terperanjat, buru-buru dia sambar
sebuah papan dan digunakan sebagai pengganti pendayung.
Dan kejauhan Hoa Thian-hong dapat menyaksikan sampan
itu berputar kencang di tengah sungai, dengan hati kaget ia
lantas membentak, "Pia Leng-cu!"
0000O0000 70 SEMENTARA itu Pek Kun-gie baru saja bebas dari totokan
jalan darah, mengikuti terombang ambingnya sampan kecil
itu, kesadarannya perlahan-lahan pulih kembali.
Ketika mendengar seruan dari kekasihnya, dengan penuh
rasa gembira ia segera berteriak keras, "Thian-hong!"
"Bagaimana keadaanmu" Apakah terluka?" teriak Hoa
Thian-hong dengan gelisah.
Pek Kun-gie bangun dari atas geladak dan duduk, ia lihat
ombak sedang menggulung dengan hebatnya diseputar
badannya, sementara perahu penyeberang yang ditumpangi
Hoa Thian-hong sama sekali tak terlihat, dalam gugupnya ia
lupa menjawab. "Bagaimana keadaanmu" Apalah terluka" terdengar Hoa
Thian-hong berseru lagi dengan cemas.
Aku tidak terluka, engkau harus perhatikan baik-baik, Kiuim
Kaucu telah mengumpulkan banyak sekali anak buahnya
yang lihay dalam ilmu berenang, ia sudah siapkan jebakan
didalam sungai dan siap turun tangan terhadap dirimu
Tiba-tiba Pia Leng-cu tertawa keras, serunya dari samping,
"Bukankah engkau belum terluka" Nah, sekarang lihatlah
tuanmu akan melukai engkau."
Dengan kaki kanannya dia lancarkan sebuah tendangan
keras keatas jalan darah Hay ki hiat dibelakang pinggang Pek
Kun-gie, gadis itu merasa kesakitan dan tak tahan lagi dia
menjerit ngeri. Hoa Thian-hong merasakan hatinya sakit seperti diiris-iris,
dia segera membentak keras, "Pia Leng-cu, apa yang kau
inginkan?" "Kau punya apa?" jawab Pia Leng-cu sambil tertawa
terbahak-bahak, "haaah.... haaah.... aku lihat nona cantik ini
berbadan putih, jelas bukan gadis sembarangan, aku segan
untuk menukar dengan benda apapun!"
"Bicaralah terus terang, apa tujuanmu yang sebenarnya?"
kembali Hoa Thian-hong membentak.
Dengan mimik wajah menyeramkan Pia Leng-cu berteriak,
"Akupun tak akan berbohong lagi, asal engkau persembahkan
pedang baja itu kepadaku, segera kubebaskan Pek Kun-gie,
kedua belah pihak sama-sama memperoleh apa yang
diinginkan dan rasanya kitapun tidak saling dirugikan"
"Thian-hong" dengan cemas Pek Kun-gie berteriak, "dia
paksa aku untuk membacakan isi catatan kiam keng bu kui,
pedang baja itu lebih baik.... lebih baik bawalah kabur, kau tak
usah menggubris aku lagi....!"
Tentu saja gadis ini ingin sekali meloloskan diri dari
cergkeraman mulut srigala, tapi dia kuatir lantaran
persoalannya sehingga mengakibatkan kekasihnya harus
temui banyak kesulitan, ketika beberapa patah kata itu
diucapkan keluar, hatinya terasa remuk redam, isak tangispun
makin menjadi. Pia Lerg cu merasa amat gusar sekali, dengan mendongkol
ia menengadah dan tertawa seram.
"Haah.... haaah.... haaah.... baiklah! kalau begitu engkau
boleh selalu mengikuti aku, setelah mendarat nanti aku pasti
akan memberi kepuasan seks untukmu, aku tanggung engkau
pasti akan kenikmatan dan sepanjang masa tak akan
terlupakan kembali, haaah.... haaaah.... asal aku temani
seorang gadis cantik seperti engkau, apa salahnya kalau Cousu
ya mu melepaskan semua urusan dan pusatkan perhatian
pada dirimu seorang" Haah.... haah.... puas puas! Hahh....
haaah.... haaah...."
Waktu itu cuaca amat gelap, awan hitam menyelimuti
jagad, ombak pun menggulung dengan hebatnya. Pia Leng-cu
memang ada niat untuk bikin keder hati Hoa Thian-hong,
maka gelak tertawanya yang mendekati kalap itu kedengaran
amat menusuk pendengaran, ibaratnya jeritan kuntilanak atau
lolongan srigala dimalam hari, membuat siapapun yang
mendengar, merasakan hat nya jadi bergidik.
Sementara itu perahu penyeberang didepan sana sudah
mencapai tengah sungai, sedangkan sampan kecil itu berada
delapan sembilan kaki dibelakangnya, ditengah gulungan
ombak dan arus air yang kencang, dua buah perahu itu
meluncur kedepan dengan cepatnya.
Panjang sampan kecil itu cuma beberapa kaki, sama sekali
tidak sesuai digunakan dalam situasi semacam ini, ditengah
gulungan ombak yang tinggi dan besar, setiap saat sampan itu
terancam pecah beran takan jadi berkeping-keping,
keadaannya sangat berbabaya sekali.
Ditengah kegelapan, Hoa Thian Hang berdiri angker
diburitan perahu, ia tidak berbicara, tidak bergerak, seakanakan
sebuah pa tung arca didalam kuil, sepasang matanya
yang tajam memancarkan cahaya menggidikkan menatap
sampan dibelakangnya tanpa berkedip, agaknya ia merasa
ragu-ragu dan untuk sesaat tak mampu mengambil
keputusan. Pek Kun-gie melingkar tak berkutik di atas sampan, sebab
tangan dan kakinya di belenggu oleh otot kerbau yang kuat,
saat itu dia hanya bisa menangis dengan sedihnya.
Ditengah kegelapan ia dapat menyaksikan sepasang mata
kekasihnya yang melotot tajam, ia menyadari posisi pemuda
itu, tidak mungkin baginya untuk serahkan pedang baja itu
karena dia, tapi dia tetap menaruh harapan itu, meskipuu
harapannya tipis sekali. Beberapa saat kemudian, sampan kecil itu sudah mendekati
tengah sungai, jaraknya dengan peraru penyebrang semakin
dekat, dalam hati Pia Leng-cu lantas berpikir, "Ibu dan istri
Hoa Thian-hong masih bersembunyi didalam kereta besar itu,
dengan kehadiran dua orang itu tentu saja Hoa Thian-hong
merasa tak leluasa untuk serahkan pedang bajanya untuk
ditukar dengan Pek Kun-gie, agaknya pertukaran syarat ini tak
dapat dijalankan pada malam ini!"
Karena berpendapat demikian, dia segera ambil keputusan
didalam hati, serunya dengan penuh perasaan benci, "Orang
she Hoa, simpanlah pedang baja itu dan jagalah seluruh
kolong langit! Biar cousu ya mengundurkan diri saja dari dunia
persilatan dan jauh meninggalkan daratan!"
Berbicara sampai disitu, dia lantas putar kemudi
mendayung sampan kecil itu menuju ketepi sebelah kanan.
Keadaan dalam sungai pada waktu itu sangat berbahaya,
jika sampai tercebur kedalam sungai kendatipun Pia Leng-cu
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih mampu menyelamatkan diri namun sulit baginya untuk
membawa Pek Kun-gie naik kedaratan, walaupun diluaran dia
bersikap keras padahal dalam hati merasa sangsi dan sukar
ambil keputusan. Tapi akhirnya ia nekad untuk mengundurkan diri dari situ,
secepat kilat arah sampan diputar dan sejenak kemudian
sampan itu sudah tinggal dua kaki dari tepi pantai.
Hancur lebur perasaan hati Pek Kun-gie, meskipun selama
berada diatas loteng kecil itu dia pandang kematian bagaikan
pulang kerumah, tapi sekarang kekasihnya berada didepan
mata, keinginannya untuk melanjutkan hidup kuat sekali,
ketika dilihatnya Hoa Thian-hong tetap membungkam, tak
tahan lagi dia berseru dengan sedih, "Thian-hong! Aku....!"
"Pia Leng-cu!" mendadak Hoa Thian-hong membentak
nyaring. Imam tua itu tercekat, cepat ia menegur, "Bagaimana" Mau
pedangnya atau mau orangnya?"
"Pedang ini kuserahkan kepadamu, cepat dayung perahu
itu kemari....!" Pia Leng-cu sangat kegirangan, cepat-cepat ia putar
kemudi dan mendayung kembali perahu itu ketengah sungai,
sementara itu Hoa Thian-hong telah berpesan pula kepada
pemegang kemudi perahunya agar perahu mereka dimiringkan
sehingga bergeser kemari.
Pek Kun-gie sendiri merasakan hatinya sangat terhibur, ia
menggigit bibirnya rapat-rapat sementara air mata jatuh
bercucuran dengan derasnya, ia merasa terharu bercampur
terima kasih, saking emosinya sehingga tak sepatah katapun
sanggup diucapkan keluar.
Ia tahu pedang baja itu bukan saja sangat penting artinya
bagi Hoa Thian-hong, didalam senjata itu pun tersimpan kitab
kiam keng yang amat luar biasa, kesediaan pemuda itu untuk
mengorbankan pedang bajanya benar-benar merupakan suatu
pengorbanan yang paling besar dari pemuda itu bagi dirinya.
Tentu saja Pek Kun-gie merasa amat terharu.
Dalam pada itu, sampan kecil itu sudah makin mendekati
perahu penyebrang, selisih jarak mereka tinggal lima tombak,
pada saat itulah Pia Leng-cu menghentikan perahunya dan
berseru, "Hoa Thian-hong, engkau harus mengerti, asal pinto
menggerakkan tanganku, niscaya Pek Kun-gie segera akan
mati binasa, kalau engkau hendak menggunakan siasat untuk
membongi aku, menyesallah engkau nantinya....!"
Hoa Thian-hong cabut keluar pedang baja itu dari
pinggangnya, lalu berseru dengan dingin, "Setiap patah kata
yang telah kuucapkan selamanya tak akan ku jilat kembali,
asal engkau biarkan Pek Kun-gie loncat naik keatas perahuku,
pedang baja ini segera kuserahkan pula kepada mu, ucapan
seorang pria sejati selamanya tak akan disesalkan kembali!"
Pia Leng-cu tidak langsung menjawab, pikirnya, "Berbicara
dari tabiat bocah keparat ini, setiap perkataannya memang
dapat dipercaya, cuma.... masalah ini menyangkut urusan
yang sangat besar, dan lagi...."
Sinar matanya dialihkan sekejap keatas tubuh Pek Kun-gie,
timbul perasaan sayang untuk melepaskan gadis itu sebelum
sempat mencicipi keperawanan tubuhnya.
Sementara itu Hoa Thian-hong telah berkata lagi dengan
suara dingin, "Dalam waktu singkat perahu-perahu armada di
bawah pimpinan Kiu-im Kaucu akan tiba disini, ketahuilah aku
sudah ambil keputusan yang bulat, kalau engkau tetap raguragu
dan lewatkan kesempatan baik ini, janganlah salahkan
diriku lagi" Pia Leng-cu sugera tertawa dingin.
"Heeh.... heeh.... heeh.... kalau sampai terjadi begitu, akan
kubunuh Pek Kun-gie, kemudian sambil bertepuk tangan
segera berlalu dari sini"
Kalau sampai terjadi begitu maka aku orang she Hoa akan
tinggalkan semua urusan yang ada, biar naik kelangit atau
masuk kebumi, aku bersumpah akan mencingcang tubuhmu
jadi berkeping-keping"
Mendengar ancaman tersebut, Pia Leng-cu merasakan
hatinya tercekat, tiba-tiba temukan perahu penyeberang itu
sedang bergerak mendekati ke arahnya, ia makin terparanjat,
cepat-cepat dia gerakan dayung dan membawa sampan itu
menyingkir kesamping, hardiknya keras-keras, "Ayoh putar
kemudi perahumu!" Dalam gugupnya tenaga dayungan tersebut terlampau
kuat, ketika sampan kecil itu bertumbukan dengan ombak
yang menggulung tiba dari arah depan hampir saja mereka
terbalik kesungai. Tubuh Pek Kun-gie terguling kesamping diiringi jeritan
tajam karena kaget. Hoa Thian-hong yang berada diatas perahu
penyeberangpun merasa amat terperanjat hampir saja dia ikut
menjerit kaget. Untung Pia Leng-cu pandai mengendalikan diri, dalam
gugupnya sepasang tangan bekerja bersamaan waktunya,
sampan itu segera dapat terkendali kembali keseimbangannya.
Dalam segala kegugupan dan kerepotan, kakinya
menginjak tubuh Pek Kun-gie yang terguling sehingga tidak
sampai tercebur kedalam sungai, kendatipun begitu sampan
kecil tadi sudah kemasukan air setinggi dua cun lebih sedikit.
Saking terperanjatnya, peluh dingin membasahi seluruh
tubuh Pia Leng-cu, sambil memandang ke arah perahu
penyeberang dia menyeringai seram katanya, "Kalau engkau
berani merapatkan kembali perahu penyeberangmu itu,
jangan salahkan kalau kubunuh dulu Pek Kun-gie
dihadapanmu" Hoa Thian-hong sendiri setelah hilang rasa kagetnya,
segera tertawa dingin tiada hentinya.
"Heehh.... heehh.... heehhh.... akhirnya berjalan juga direl
yang benar, kalau toh memang begitu biarlah segalanya
pasrah pada takdir...."
Meskipun begitu ia tetap memberi tanda kepada anak
buahnya agar jangan terlalu mendekati sampan kecil itu lagi.
Arus sungai didaerah sekitar tempat itu sangat deras,
tempat semacam ini paling tidak menguntungkan kalau
digunakan untuk penyeberangan, perahu yang besarpun harus
mengikuti arus dengan keadaan sangat bahaya, apalagi
sampan yang kecil itu, keadaannya jauh lebih mendebarkan.
Semua orang berusaha untuk mentemramkan hatinya
padahal dalam hati kecilnya jantung terasa berdebar keras,
semua orang berharap agar adegan ini bisa cepat-cepat
terselesaikan dan semua orang naik kedaratan dengan
selamat. Hoa Thian-hong tak berani banyak tingkah karena kuatir
mencelakai jiwa Pek Kun-gie, sebaliknya Pia Leng-cu
menyadari kalau ilmu silatnya bukan tandingan lawan, ia
selalu berusaha untuk mencegah penyergapan dari Hoa Thianhong,
karena kedua belah pihak sama menjerikan sesuatu dari
musuhnya, maka untuk sesaat suasanapun diliputi dalam
keheningan. Akhirnya Pia Leng-cu buka suara memecahkan kesunyian
yang mencekam disekitar tempat itu, "Lemparkan pedang itu
kepadaku, aku segera akan tinggalkan sampan ini dan
berenang kedaratan, aku jamin Pek Kun-gie tak akan
kuganggu barang seujung rambutpun."
"Thian-hong, jangan tertipu, dia telah bilang...." tiba-tiba
Pek Kun-gie menghentikan teriakannya.
Pia Leng-cu pernah berkata kepadanya bukan saja pedang
itu dia mau, orangnya pun dimaui juga, sebenarnya Pek Kungie
hendak menyampaikan kata-kata itu tapi setelah ucapan
sampai dibibir, mendadak ia merasa malu untuk melanjutkan,
maka dia segera membungkam.
Hoa Thian-hong segera tertawa dingin.
"Heeh.... heehhh.... heehh.... Pia Leng-cu, apakah
kepercayaan dari Hoa Thian-hong tak dapat melampaui
dirimu?" "Masalah ini menyangkut urusan yang sangat besar,
kenapa aku tak boleh menaruh curiga?" teriak Pia Leng-cu
dengan gusar. Hoa Thian-hong tertawa. "Apa yang perlu kau curigai?"
"Masalah ini adalah suatu masalah yang amat besar,
apakah engkau dapat memutuskan sendiri" Hmm! dengan
menggunakan pedang baja ditukar dengan orang, apakah
ibumu menyetujui?" Hoa Thian-hong segera tertawa tergelak.
"Haah.... haaah.... haaah.... sungguh tak nyana engkau bisa
memahami kesulitanku, kalau toh sudah tahu begitu tidak
sepantasnya kalau engkau datang kemari?"
Pia Leng-cu menyeringai seram.
"Undang ibumu keluar dan biar dia yang berbicara, aku
hanya percaya dengan perkataan dari Bun Siau-ih kalau tidak
lebih baik pembicaran ini kita batalkan!"
Mendengar perkataan tersebut Hoa Thian-hong segera
menengadah dan tertawa terbahak-bahak.
"Haahh.... haah.... haaah.... Pia Leng-cu agaknya pikiranmu
sudah tersumbat oleh kerakusanmu sehingga kecerdikan yang
kau miliki tersapu lenyap, sungguh bikin hatiku jadi geli"
Agak tertegun Pia Leng-cu setelah mendengar perkataan
itu, tapi hanya sebentar saja dia lantas menyadari apa yang
sudah terjadi. Seandainya ibu dan istrinya berada diatas perahu
mungkinkah Hoa Thian-hong bersikap begitu tenang bahkan
menghentikan perahunya ditengah sungai untuk berbicara
dengan dirinya" Dan mungkinkah dia bersedia membiarkan
ibunya menempuh bahaya karena persoalan Pek Kun-gie"
Setelah menyadari apa yang terjadi diam-diam ia bersuara
didalam hati kecilnya, "Ooh, rupanya aku terkena siasat
memancing harimau turun gunung, jelas kereta tersebut tiada
orangnya!" Mula-mula ia terkejut, menyusul jadi sangat gembira, sebab
andaikata disitu hadir Bun Siau-ih dan Chin Wan-hong, untuk
memaksa Hoa Thian-hong menyerahkan pedang bajanya jelas
bukan suatu pekerjaan yang gampang, sebaliknya kalau kedua
orang itu tidak hadir disana, dengan usia Hoa Thian-hong
yang masih muda, dia pasti bersedia untuk menukar pedang
bajanya dengan diri Pek Kun-gie....
Sementara dia masih termenung, Hoa Thian-hong telah
tertawa terbahak-bahak. "Haah.... haaah.... haaah.... Pia Leng-cu, kenapa tidak kau
tenangkan hatimu dan dengarkan dengan seksama" Kiu-im
Kaucu telah munculkan diri dibelakang kita berdua, tapi
engkau sama sekali tidak merasa, apakah kedaaanmu itu tidak
terlalu menggelikan?"
Sekali lagi Pia Leng-cu merasa amat terperanjat, ia merasa
kegelapan mencekam seluruh jagad dan lagi angin serta
ombak menggulung dengan dahsyatnya, tiada sesuatu yang
berhasil ia lihat dan tiada sesuatu yang sempat ia dengar.
Berbicara tentang ketajaman pendengaran serta
penglihatan, maka ia masih kalah jauh kalau dibandingkan
dengan Hoa Thian-hong, sebab bukan saja si anak muda itu
telah makan Racun teratai empedu api, dia pun menelan
Leng-ci mustika yang berusia seribu tahun, tenaga dalam yang
dia miliki sekarang telah mencapai puncak kesempurnaan,
tentu saja kehebatan yang dia miliki pun jauh melebihi orang
lain. Ketika itu selisih jarak mereka cuma empat lima rombak,
ditengah kegelapan Pia Leng-cu tak lebih hanya sempat
memandang bayangan tubuhnya belaka, sebaliknya pemuda
itu dapat memperhatikan semua gerak-gerik Pia Leng-cu
dengan sangat jelas sekali.
Tatkala dilihatnya paras muka imam tua itu menunjukkan
rasa kaget bercampur gelisah, seakan-akan dia tak merasakan
suatu apa pun, tak dikuasai lagi dia tertawa geli, katanya,
"Suara gulungan ombak memecah dikedua belah tepian
pantai, coba bayangkan sendiri, kecuali Kiu-im Kaucu telah
munculkan diri, siapa lagi yang telah datang?"
Pia Leng-cu makin terkesiap, ia segera berpikir didalam
hati, "Jarak antara sini sampai perahunya tinggal lima tombak
belaka, dengan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki keparat
cilik itu, sekali loncat maka dia bisa mencapai sampanku ini,
lebih baik aku bersikap lebih berhati-hati....!"
Berpikir sampai disitu, dengan suara tajam dia lantas
membentak. "Ujung kakiku sekarang telah menempel diatas jalan darah
Leng-thay hiat dari Pek Kun-gie, kalau engkau berani
melakukan suatu pergerakan, jangan salahkan kalau aku
berhati kejam!" Hoa Thian-hong tertawa. "Tujuan dari Kiu-im Kaucu hanya ingin merampas pedang
baja itu belaka, lebih baik berjaga-jagalah terhadap dirinya!"
Pia Leng-cu mendengus dingin, dia segera pusatkan semu
pikirannya dan periksa keadaan disekeliling tempat itu dengan
seksa ma, apa yang kemudian terdengar ternyata
membuktikan dengan tepat apa yang telah diucapkan si anak
muda itu. Sepuluh sampai dua puluh kaki dibelakangnya,
terdengarlah suara ombak yang memecah ketepian tertumbuk
perahu, padahal di daerah sekitar tempat itu tiada perahu lain
kecuali Kiu-im Kaucu yang telah munculkan diri, tak mungkin
ada orang lain lagi. Sedikit banyak imam tua ini menjadi panik, ia sadar
kepandaian silatnya bukan tandingan orang, untuk malu takut
dihadang harimau untuk mundur telah dihadang pula oleh
srigala, dalam keadaan demikian ia semakin gugup dan panik,
dia mulai menyesal mengapa terlalu pandang enteng
musuhnya dan mengejar pula sampai ketengah su ngai.
Bila sekarang juga dia mundur ketepian, niscaya perahunya
bakal dihadang oleh perahu-perahu dari Kiu-im Kaucu,
padahal pedang baja belum sampai jatuh ketangannya bisa
dibayangkan betapa gugup dan menyesalnya Pia Leng-cu.
Tiba-tiba terdengar Hoa Thian-hong berseru dengan suara
lembut, "Kun Gi!"
"Emmm.... Aku ada disini" dengan cepat Pek Kun-gie
menjawab. Sekilas senyuman sedih menghiasi ujung bibir si anak muda
itu, ujarnya lebih lanjut, "Dengarkanlah perkataanku,
walaupun manusia dapat hidup seratus tahun lagi, akhirnya
dia toh tetap harus mati, usia manusia telah ditentukan oleh
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Thian, apabila nasib memang menentukan harus mati, lebih
baik pasrah saja pada kehendak alam, mengertikah engkau
dengan perkataanku ini?"
"Mengerti, aku tak takut mati!" jawab dara itu dengan
lembut dan halus. "Ibuku sangat menaruh perhatian atas dirimu, Wan hong
menyayangi pula dirimu, kami berharap agar engkau tetap
hidup dalam keadaan segar bugar, ingatlah selalu akan katakataku
ini!" "Akan kuingat selalu" sahut Pek Kun-gie dengan air mata
bercucuran, "Aku akan menuruti perkataanmu, kalau tak bisa
hidup lagi maka aku akan segera habisi nyawaku sendiri"
Air matapun mengembang dikelopak mata Hoa Thian-hong,
ia berkata, "Dahulu kami semua menguatirkan diri mu dinodai,
tapi sekarang dengan kehadiranku ditempat ini, sekalipun
nyawamu tak dapat kuselamatkan, akupun tak akan
membiarkan dirimu dibawa pergi lagi, mengertikah kau?"
"Aku mengerti, engkau tak usah terlalu merisaukan diriku"
"Andaikata engkau mengalami musibah yang tak dapat
dihindari lagi, itu berarti kematianmu lantaran aku, ibuku
masih hidup, aku tak bisa mengiringi kematianmu itu, tapi
kalau aku sudah mempunyai keturunan, maka aku segera
akan cukur rambut menjadi pendeta, aku akan mengasingkan
diri sebagai ungkapan rasa terima kasihku kepada mu!"
"Jangan.... aku ingin kau tetap hidup.... hidup seratus tahun
lagi!" seru Pek Kun-gie sambil menangis tersedu-sedu.
Pia Leng-cu yang mengikuti jalannya pembicaraan itu
makin lama semakin terperanjat, tak tahan lagi akhirnya dia
membentak keras, "Hoa Thian-hong, engkau anggap dirimu
sebagai seorang pendekar sejati, apakah ucapanmu kau
anggap sebagai kentut belaka?"
Setiap perkataan yang telah kuucapkan selamanya tak akan
kujilat kembali. "Engkau telah berjanji akan menukar pedangmu dengan
orang!" teriak Pia Leng-cu gusar.
"Biarkan Pek Kun-gie loncat naik keatas perahu
penyeberangku, pedang baja ini segera kuserahkan
kepadamu!" Setelah berhenti sebentar, sambungnya lebih jauh, "Engkau
harus cepat ambil keputusan, kalau tidak sekalipun pedang
baja ini berhasil kau peroleh, belum tentu kau bisa lolos dari
tempat ini." Tahun ini usia Pia Leng-cu sudah mencapai tujuh puluh
tahun lebih, walaapun akalnya tidak termasuk panjang, namun
pengalaman yang diperolehnya cukup banyak, menyaksikan
keterangan dari Hoa Thian-hong dia malah ragu-ragu untuk
menerima pertukaran syarat tersebut, bagaimanapun juga dia
tak percaya kalau pihak lawan benar-benar berhasrat untuk
menukarkan pedangnya dengan dara tersebut.
Berulang kali ia memikirkan persoalan itu, namun toh
akhirnya ia tak dapat ambil keputusan, lama-kelamaan ia
lantas jadi nekad, dengan suaa yang menyeramkan dia
berseru, "Kalau dibalik rencanamu ini terselip maksud-maksud
yang tak beres, lebih baik terang kau lebih dahulu mulai
sekarang. Kalau tidak...."
"Hmm! Lebih baik adu jiwa daripada terjebak oleh siasat
licikmu itu" Hoa Thian-hong tersenyum.
"Emmm! rupanya jadi orang kau terlalu berhati-hati,
padahal sekalipan aku bicara tetus terang engkau juga tak
akan mempercayainya, ketahuilah setelah pedang baja ini
kuberikan kepadamu dan pertukaran syaratmu sudah berjalan
sebagai mestinya, maka akan kuikuti terus jejakmu walau
sampai keujung langit atau kedasar samudra pun sampai
pedang baja itu akhirnya berhasilku rampas kembali"
Tertegun hati Pia Leng-cu setelah mendengar perkataan
itu, untuk beberapa saat lamanya dia membungkam dan tak
mau mengucapkan sepatah katapun.
Haruslah diketahui, berbicara tentang ilmu meringankan
tubuh, ilmu pedang, ilmu kepalan maupun tenaga dalam, Hoa
Thian-hong masih berada diatas kepandaiannya, kalau si anak
muda itu sudah ambil keputusan untuk mererut kembali
senjata tersebut, sulitlah baginya untuk meelayani kehendak
orang. Tiba-tiba dari atas permukaan sungai berkumandang suara
terompet yang amat nyaring.
Suara terompet yang dibunyikan dengan sebuah keong ini
biasanya hanya digunakan oleh kaum perompak dan bajak
laut sebagai pertanda, diatas sungai apalagi daratan hampir
boleh dikata tak pernah terdengar suara semacam itu, tanpa
sadar beberapa orang itu dibuat tertegun jadinya.
Suara pekikan yang nyaring dan menggetarkan sukma itu
berkumandang ditengah kegelapan menembusi udara, tibatiba
dari permukaan sungai muncullah titik-titik cahaya api.
Dari depan belakang, kiri maupun kanan pada saat yang
bersamaan muncullah enam buah perahu besar, diujung
setiap perahu berdirilah belasan orang pria berpakaian anti air
yangberwarna hitam, ditangan masing-masing mencekal obor
ditangan kiri dan senjata ditangan kanan.
Walaupun kedatangan rombongan itu amat cepat dan
besar sekali jumlahnya, akan tetapi suasana tetap hening dan
tak kedengaran sedikit suara pun.
Pada perahu besar yang ada dipaling belakang duduklah
seorang nenek baju hitam yang berambut panjang dan
memegang toya kepala setan, orang itu bukan lain adalab Kiuim
Kaucu yang munculkan diri untuk pertama kalinya dalam
pertemuan besar Kian ciau tayhwee.
Enam buah perahu itu bergerak maju menembusi gulungan
ombak, dalam waktu singkat mereka telah mengepung Hoa
Thian-hong dan Pia Leng-cu ditengah gelangang, perahu
bagian depan segera bergerak makin lambat sementara
perahu dibelakang menyusul ke muka, kian lama kepungan
itupuno kian merapat. Hoa Thian-hong sendiripun mempunyai perhitungan yang
amat masak, namun dia sama sekali tak menyangka kalau
anak buah yang dibawa Kiu-im Kaucu untuk menyergap
dirinya berjumlah begitu banyak, setelah menyaksikan
kehadiran musuh diam-diam hatinya merasa terperanjat.
Pedang bajanya segera ditarik kembali, setelah merampas
sebuah gala yang panjang dia menyingkir kesampmg dan
serunya kepada orang-orang yang ada diatas perahu, "Atas
bantuan dari kalian semua, kuucapkan banyak-banyak terima
kasih, cepatlah kalian terjun kedalam air untuk
menyelamatkan diri, kalau terlambat mungkin akan terjatuh
ketangan lawan" Pria yang pegang kemudi perahu itu segera menjura,
sahutnya dengan suara nyaring, "Hamba sekalian merasa
kalau ilmu silat yang kami miliki sangat cetek, daripada
mengganggu perhatian yaya lebih baik ham ba sekalian
mohon diri lebih dahulu, semoga yaya baik-baik menjaga diri"
Habis berkala dia segera terjun kedakam air.
Diatas perahu semuanya ada enam orang pria kekar, saat
itu mereka semua maju menjura kemudian masing-masing
terjun kedalam air untuk menyelamatkan diri.
Mereka berenam adalah penduduk kota Kwaa lok, yang
sudah lama hidup diatas sungai, untuk mensukseskan
siasatnya memancing per hatian musuh ini sengaja Hoa Thianhong
minta bantuan dari Ko Thay untuk mengaturkan segala
sesuatu baginya. Waktu itu nama besar Hoa Thian-hong telah menggetarkan
sungai telaga, ibaratnya sang surya ditengah awan, semua
orang kangou yang dimintai bantuannya rata-rata merasa
bangga dan bersedia untuk memberikan bantuannya.
Walaupun ilmu silat yang dimiliki beberapa orang itu sangat
rendah, akan tetapi mereka lihay dalam ilmu berenang,
ditengah gulungan ombak yang amat dahsyar beberapa orang
itu segara menyelam kedalam air dan meluncur menuju
ketepian, dalam waktu singkat mereka sudah berada puluhan
kaki jauhnya dari perahu mereka, dalam keadaan begini anak
buah dari Kiu-im Kaucu tak ada yang berani menghalangi,
sebab mereka tidak mendapat perintah untuk berbuat
demikian. Sementara itu perahu yang ditumpangi Kiu-im Kaucu sudah
bergerak semakin dekat, jarak masing-masing pihak tinggal
delapan kaki, tampaklah perahunya bergerak kekanan dan
lansung menerjang ke arah sampan kecil yang ditumpangi Pia
Leng-cu. Menyaksikan terjangan tersebut, imam tua itu tercekat
hatinya, buru-buru dia mendayung sampannya dan bergerak
dua tiga kaki lebih mendekati perahu yang ditumpangi Hoa
Thian-hong. Tiba-tiba ia buang papan kayu itu dan cabut keluar pedang
boan liong poo kiam, dengan tangan kiri mengempit Pek Kungie,
bentak nya keras-keras, "Eh orang she Hoa, engkau
inginkan Pek Kun-gie dalam keadaan hidup atau dalam
keadaan mati?" Kiu-im Kaucu segera tertawa tergelak dari kejauhan, cepat
dia menanggapi, "Tentu saja mau yang hidup, sebilah pedang
baja berapa banyak artinya" Ayoh di tukar saja!"
Sementara pembicaraan masih berlangsung, perahunya
sudah mengejar beberapa kaki lebih kedepan.
Sementera itu Hoa Thian-hong berdiri tepat diburitan
perahu, dengan kakinya dia menahan kemudi, tangannya
mencekal sebuah gala yang panjang, dengsn pandangan
tajam mengawasi semua gerak-gerik yang terjadi didepan
mata. Ia telah perhitungkan keadaan dengan jitu dia tahu Pia
Leng-cu ibaratnya katak masuk tempurung, tak mungkin ia
berani turun tangan keji secara sembarangan, maka sambil
tenangkan hatinya, ia sama sekali tidak menggubris teriakan
orang. Pia Leng-cu merasa kejut bercampur gusar ketika dilihatnya
perahu yang ditumpangi Kiu-im Kaucu kembali menerjang
sampannya, ia tahu kalau sampai tertumbuk niscaya dia bakal
tercebur kedalam air. Dalam gugup dan gelisahnya, bawa nafsu membunuh
menyelimuti seluruh wajahnya, dia segera berteriak, "Orang
she Hoa, cepat putar kemudi dan hadang...."
Belum habis dia berkata, segulung ombak besar telah
menyapu tiba membuat sampannya jadi oleng, buru-buru Pia
Leng-cu mengerahkan tenaganya dan menginjak bagian yang
oleng dengan kaki kirinya, dengan begitu keseimbangan
sampan itupun dapat dipertahankan kembali.
Hoa Thian-hong yang mengikuti jalannya peristiwa itupun
diam- diam mengucurkan peluh dingin, ia paksa untuk
tenangkan diri lalu ujarnya dengan ketus, "Aku orang she Hoa
tak mampu menolong engkau, kalau tahu diri cepatlah loncat
naik keatas perahu besar!"
Sementara itu sampan kecil tadi sudah oleng kesana kemari
dan kehilangan kendali, setiap saat kemungkinan besar akan
terbalik kedalam sungai, padahal perahu yang ditumpangi Pia
Leng-cu makin lama semakin mendekat, dalam hati Pia Lengcu
sadar, Pek Kun-gie yang dibuat sandera cuma manjur kalau
digunakan untuk menghadapi Hoa Thian-hong, sebaliknya Kiuim
Kaucu justru berharap mengalami kegagalan total.
Setelah mempertimbangkan diri dan menyaksikan pula
gelagat makin lama semakin tidak menguntungkan, akhirnya
dia ambil keputusan untuk menyingkir dari sampan tersebut,
sambil menggertak gigi dia enjotkan badan dan melayang
keatas perahu besar. "Lemparkan gadis itu kemari!" Hoa Thian-hong segera
menghardik dengan muka dingin membesi.
Pia Leng-cu terperanjat, sesudah tertegun beberapa saat
dengan gusar ia membentak, "Hmm! Kau anggap siapakah
cousu ya mu ini" Berani benar main gertak dihadapanku?"
Hoa Thian-hong mendengus dingin, gala panjangnya
digetarkan lalu menusuk kedapan.
Jurus yang digunakan adalah ilmu tombak Pat coa yang
maha sakti, gala sepanjang dua kaki itu diiringi deruan angin
tajam dan ujung gala memancarkan cahaya hitam langsung
menusuk tenggorokan imam tua itu.
Pia Leng-cu terkejut bercampur gusar, ia menyingkir
selangkah kesamping, pedangnya langkung membabat gala
itu. Pedang mustika Boan liong po kiam ada lah sebilah pedang
tajam, dalam perputaran yang kencang, terbislah selapis
cahaya hijau yang amat menyilaukan mata.
Menyaksikan ketajaman pedang lawan, Hoa Thian-hong
segera berpikir. "Siluman toosu ini rakus dan tamak sekali, kalau tidak
kubekuk sekarang juga dia pasti akan balas menggertak aku,
kalau sampai begitu aku tentu akan menderita kekalahan
total!" Sementara ia masih berpikir, serangan yang dilancarkan
dengan gala itu telah meluncur datang bagaikan hujan
gerimis, menyerang secara gencar tanpa menguatirkan
sesuatu, seakan-akan pemuda itu sama sekali tidak
memikirkan tentang keselamatan jiwa dari Pek Kun-gie.
Sambil mengempit tubuh Pek Kun-gie di bawah ketiak
kirinya, tak urung timbul kecurigaan dalam hati Pia Leng-cu,
dia putar pedangnya sedemikian rupa untuk menyambut
serangan-serangan gencar lawan.
"Sudah lama aku dengar orang berkata kalau Pek Kun-gie
mencintai bocah keparat itu, tapi bocah itu sama sekali tidak
membalas cintanya" pikir sang imam dihati, jangan-jangan
gadis ini memang benar-benar cuma bertepuk sebelah tangan
belaka, padahal bocah she Hoa itu sama sekali tidak menaruh
hati kepadanya.... waah! kalau sampai begitu, akulah yang
bakal berabe!" "Criing!...." saat itulah perahu yang di tumpangi Kiu-im
Kaucu kembali menerjang tiba, jangkar baja yang amat besar
tiba-tiba menyambar ke arah sampannya dan tepat
mencengkeram diatas geladak sampan kecil itu.
Pia Leng-cu tak lebih cuma sedang prajurit yang pernah
menderita kekalahan ditangan Kiu-im Kaucu, ia sangat jeri
terhadap nenek tua itu, menyaksikan kehadirannya, dia jadi
pecah nyali dan ketakutan setengah mati, menggunakan
kesempatan yang sangat baik itulah tiba-tiba Hoa Thian-hong
membentak keras, gala yang dipakai untuk menye rang
diputar sedemikian rupa sehingga mirip dengan sebuah
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tusukan tombak, secepat kilat tahu-tahu menyergap keatas
dadanya. Pertarungan yang berlangsung antara kedua orang itu
sebenarnya tidak terhitung sebuah pertarungan yang
membahayakan jiwa, sebab masing-masing pihak berdiri
diujung perahunya sendiri. Hoa Thian-hong berdiri diujung
buritan sementara Pia Leng-cu berdiri diujung geladak.
Walaupun begitu, serangan gaya yang menggunakan jurus
tombak itu cukup tangguh, terutama tusukan terakhir yang
dilancarkan secara mendadak itu, tampaknya Pia Leng-cu
segera akan dipaksa untuk mence burkan diri kedalam
sungai.... Untung dia cukup tangguh, reaksinya dalam menghadapi
bahayapun cukup baik, dalam gugupnya cepat ia loncat
keudara dan loloskan tubuhnya dari tusukan maut tersebut.
Dengan muka penuh nafsu pembunuhan, Hoa Thian-hong
membentak keras, "Lemparkan dara itu kemari!"
"Engkau punya muka tidak?" teriak Pin Leng cu dengan
marah. "Hmm!" Hoa Thian-hong mendengus dingin, "berbicara dari
keadaan yang terbentang saat ini, aku percaya engkau tak
akan mampu melindungi keselamatan sanderamu, hmmm!
Jika engkau tahu diri, cepat lemparkan data itu kepadaku,
hitung-hitung kita bikin hubungan persahabatan, siapa tahu
dengan perbuatanmu itu, akupun bersedia pertaruhkan
selembar jiwaku untuk bantu selamatkan jiwamu dari
bencana" Jilid 20 Kiu-im Kaucu yang duduk dikursi kebesarannya, tiba-tiba
menyambung dengan nada mengejek.
"Huuh! Memangnya engkau mampu untuk selamatkan
jiwanya?" Hoa Thian-hong tertawa dingin.
"Menang kalah sampai sekarang toh belum ketahuan, buat
apa engkau musti bergembira lebih dulu?"
Dalam pada itu, keenam buah perahu besar dari
perkumpulan Kiu-im-kauw telah mengepung rapat perahu
yang ditumpangi Hoa Thian-hong, keenam perahu tersebut
dihubungkan satu sama lainnya dengan rantai baja yang
sangat kuat, hingga dengan begitu terciptalah suatu gelang
rantai yang mengitari sekeliling sungai.
Sementara perahu penyeberang yang ditumpangi Hoa
Thian-hong hanya berada dua kaki dari perahu pengepung,
dalam sekali lompatan sebenarnya kedua belah pihak sanggup
untuk meloncat keperahu lawan.
Akan tetapi, berhubung arus air sungai amat deras maka
susahlah bila ada orang ingin menyeberang keatas perahu
lawan, sebab dalam kenyataan perahu itu masih tetap
bergerak mengikuti gerak arus air yang sangat deras itu.
Tercekat hati Pia Leng-cu setelah mengawasi sebentar
keadaan disekelilingnya, kepungan musuh terlalu tangguh,
dalam keadaan begini tidak sukar baginya kalau ingin
selamatkan jiwa sendiri, tapi untuk kabur sambil membawa
sandera jelas hal itu hanya suatu impian belaka.
Kembali dia berpikir, "Bila situasi berubah lagi, sudah tentu
Hoa Thian-hong akan berubah pikiran pula, apa salahnya
kalau kugukan kesempatan itu untuk saling bertukar barang
dengan dia mumpung pikirannya belum berubah dan dia
belum punya ingatan untuk ingkar janji"
Begitu ambil keputusan dihati, ia segera membentak keras,
"Hey bocah keparat, kulabulkan permintaanmu itu, nah!
sambutlah dara ini...."
Sekali ayun, dia melempar tubuh Pek Kun-gie ke arah
perahu. Hoa Thian-hong kuatir kalau Kiu-im-kauw lakukan
pengacauan ditengah jalan, buru-buru dia maju kedepan dan
menyambut tubuh Pek Kun-gie.
Apa yang ia duga ternyata meleset, Kiu-im Kaucu tetap
duduk tak berkutik dari tempat duduknya, justru dia memang
berharap pertukaran manusia dengan pedang bisa berjalan
dengan lancar. Apabila pedang baja itu sudah terjatuh
ketangan Pia Leng-cu, itu berarti baik pedang baja maupun
pedang emas berada ditangan imam tua dari perkumpulan
Thong-thian-kauw ini, asal dia melakukan penyergapan dan
penangkapan dengan sepenuh tenaga dia yakin usahanya itu
pasti akan berhasil. Dipihak lain, setelah menerima tubuh Pek Kun-gie, pemuda
itu segera menegur lirih, "Gie, engkau terluka?"
Betapa gembiranya Pek Kun-gie setelah berada disamping
kekasihnya, ia menggeleng.
"Tidak, aku tidak terluka, cuma tangan dan kakiku diikat
dengan otot kerbau, pakaianku juga.... juga sudah rusak!"
Hoa Thian-hong mengerutkan dahinya, ia memandang dara
itu sekejap, pakaian yang dikenakan adalah sebuah jubah
warna hijau yang kedodoran, sekalipun begitu tidak menutupi
kecantikan wajahnya. Cepat ia meraba otot kerbau yang membelenggu tangan
kirinya, sekali pencet dengan kelima jari tangennya, otot
kerbau yang kuat dan ulet itu seketika terputus jadi beberapa
bagian. "Masuklah kedalam kereta" bisik pemuda itu kemudian,
"disitu sudah tersedia pakaian, engkau harus ganti pakaian
dengan cepat!" "Tangan dan kakiku masih kaku, aku tak dapat jalan
sendiri! bisik Pek Kun-gie pula dengan aleman"
Terpaksa Hoa Thian-hong merangkul pinggang dara itu
menuju ke arah kereta, kemudian menyingkap horden dan
membantu pula gadis itu naik kedalam kereta.
Tiba-tiba Kiu-im Kaucu alihkan sorot matanya ke arah
kereta kuda itu, kemudian sambil tertawa nyaring berseru.
"Hmmm Hebat sekali siasatmu untuk mengelabuhi musuh,
sampai-sampai akupun kena kau tipu!"
Perasaan hati Hoa Thian-hong agak bergerak.
"Terima kasih atas perhatian dari kaucu, tentunya engkau
sudah memberi muka kepadaku" katanya.
"Oooh.... tentu saja!"
Hoa Thian-hong tertawa dingin.
"Heeeh.... heeeeh.... heeeh.... perlu engkau ketahui, siasat
ini kunamakan mengelabubi langit menyeberangi samudra,
sekarang ibuku su dah tiba diutara sungai, apakah kaucu
sudah mengetahui akan hal ini?"
Mula-mula Kiu-im Kaucu agak tertegun, menyusul mana
sambil tertawa sahutnya, "Perkampungan Liok Soat Sanceng
merupakan suatu perkampungan besar dalam dunia
persilatan, cepat atau lambat aku bakal ber kunjung keutara,
suatu ketika pasti akan kukunjungi pula perkampungan itu.
Cuma.... Hmm! Saat ini Hoa ya sedang berada dipung gung
harimau, aku rasa lebih baik sementara waktu berjaga disini
saja, apa gunanya mengejar kesitu?"
Mendengar jawaban tersebut, diam-diam Hoa Thian-hong
merasa kegirangan, pikirnya, "Kalau kudengar dari
jawabannya, jelas rencana matang yang kami susun tidak
sampai diketahui olehnya...."
Setelah meninggalkan Giok Teng Hujin, Hoa Thian-hong
sama sekali tidak pergi mencari Ko thay, diapun tidak mencari
jejak Pek Kun-gie, melainkan kembali kerumah
penginapannya. Disana ia memperoleh laporan yang sangat terperinci dari
Ko thay yang mengatakan, bukan saja Kiu-im Kaucu telah
membawa anak buahnya menjaga sungai Huan ho, bahkan
orang-orang dari Mo-kauw aliran Seng sut pay juga
menyiapkan orangnya di tepi seberang untuk melakukan
penyergapan. Maka dipersembabkanlah sebuah siasat bagus untuk
melepaskan diri diri incaran musuh.
Dalam siasat tersebut dianjurkan kepada Hoa Thian-hong
untuk pura-pura membawa keluarganya menyeberangi sungai,
tindakannya itu pasti akan memancing perhatian semua
lawan-lawannya, sementara Chin Wan-hong serta Tio Samkoh
bertugas mengawal Hoa Hujin kabur lewat pintu selatan,
bukan menyeberangi sungai Hoan ho melainkan hanya
berdiam untuk sementara waktu diluar kota Lok yang.
Dengan begitu perhatian dari Hoa Thian-hong pun dapat
tertuju pada satu persoalan, ia bisa menggunakan kesempatan
yang ada untuk bertarung dengan sepenuh tenaga melawan
musuh-musuhnya, sekalian menyelesaikan pula pertikaiannya
mengenai masalah kitab pusaka Kiam keng.
Selesai membaca isi surat itu, para jago merasa kagum
bercampur terima kasih terhadap enghiong yang muncul
diantara kalangan muda itu, maka untuk menghindari
terpancingnya pihak musuh sampai dirumah hanya lantaran
kitab Kiam keng, disamping itu demi selamatkan pula jiwa Pek
Kun-gie dari ancaman, diputuskanlah untuk melakukan semua
siasat seperti apa yang telah di atur.
Begitulah, ketika kentongan ketiga sudah tiba, Hoa Thianhong
terlebih dulu meninggalkan rumah penginapan, tak lama
kemudian Hoa Hujin dibawah lindungan Chin Wan-hong serta
Tio Sam-koh, dengan membawa serta Siau Ngo-ji segera
ngeloyor keluar dari rumah penginapan dan diam-diam kabur
menuju kepintu kota sebelah selatan.
Walaupun semua persoalan telah diatur secara rapi dan
sempurna, tak urung perasaan Hoa Thian-hong masih belum
tenang, dia kuatir kalau sampai terjadi sesuatu hal diluar
dugaan. Menanti Kiu-im Kaucu telah memberikan tanggapannya dan
pemuda itu yakin kalau siasatnya tak sampai bocor, perasaan
hatinya baru lega sama sekali.
ooooOoooo 71 SEMENTARA itu api obor telah menerangi seluruh jagad,
membuat suasana disekitar sungai jadi terang benderang
bagaikan disiang hari. Tatkala dilihatnya paras muka Hoa Thian-hong
menunjukkan rasa gembira, satu ingatan segera melintas
dalam benak Kio im kaucu, ia putar otak berusaha untuk
memecahkan teka teki itu, diapun bermaksud memancing dari
pembicaraan lawan, namun untuk sesaat ia tak berhasil
menemukan kata-kata yang dianggapnya cocok.
Tiba tiba terdengar Pia Leng-cu membentak dengan gusar,
"Hey manusia she Hoa perkataan seorang lelaki sejati berat
laksana bukit, engkau punya muka atau tidak?"
Hoa Thian-hong tertawa, ia cabut pedang baja dari
pinggangnya lalu menjawab.
"Rupanya sekalipun engkau harus adu jiwa, incaranmu atas
pedang baja tak akan berubah....?"
Pia Leng-cu makin naik darah, teriaknya, "Pek Siau-thian
angkuh dan tak pandang sebelah mata kepada orang lain, apa
sangkut pautnya antara engkau dengan dia" Kenapa musti
kau campuri urusan pribadiku" toh putrinya yang kubekuk,
Hmm! Engkau sendiri yang setuju kalau pedang ditukar orang,
memangnya aku paksa kan pakai kekerasan?"
Dalam keadaan yang sangat tidak menguntungkan itu,
kegagahan dan kejantanannya lenyap tak berbekas, sekalipun
ucapannya masih keras dan ngotot akan tetapi wajahnya tak
urung ikut berubah jadi merah padam.
Berbicara menurut peraturan yang berlaku dalam dunia
persilatan, pertikaian antara Pek Siau-thian dengan Pia Lengcu
sebagai sama-sama umat persilatan dari golongan hitam,
Hoa Thian-hong tak berhak untuk ikat ambil bagian, kalau
tidak maka dia akan dituduh orang sebagai pemuda yang ikut
campur dalam urusan orang karena terpikat oleh pipi licin
(perempuan).... Dengan sorot mata tajam, Hoa Thian-hong memandang
sekejap ke arah Kiu-im Kaucu yang duduk dikursi
kebesarannya, setelah termenung sebentar ujarnya dengan
muka serius, "Apa yang aku orang she Hoa katakan tak
pernah diingkari kembali, setelah aku berjanji akan berikan
kepadamu, benda itu sudah pasti akan kuserahkan
kepadamu!" "Kalau begitu cepat lempar kemari!" bentak Pia Leng-cu
dengan gusar. "Thian-hong, jangan berikan kepadanya!" tiba-tiba Pek
Kun-gie berteriak keras. Dengan suatu gerak yang cepat ibarat burung walet
terbang diudara, ia melayang ke sisi pemuda itu.
Setelah pakaiannya tercabik-cabik oleh sobekan pisau belati
Pia Leng-cu, kini dara tersebut telah menggantinya dengan
seperangkat pakaian milik Hoa Thian-hong, tentu saja pakaian
itu kedodoran baginya. Ujung baju yang terlalu panjang ia gulung keatas,
pinggangnya diikat dengan seutas tali pinggang warna putih,
dandanannya bukan pria bukan wanita sehingga kelihatan lucu
sekali. Walau begitu wajahnya yang cantik sama sekali tidak hilang
karena itu, apalagi setelah berkumpul kembali dengan kekasih
hatinya yang dirindukan siang malam, kegembiraan yang
bergolak sukar dikendalikan hingga terlibat nyata diatas
wajahnya. Mukanya yang berseri-seri dan senyum yang manis itu
membuat paras mukanya yang sudah cantik, kelihatan jauh
lebih menawan hati. Tak tahan Hoa Thian-hong melirik sekejap ke arahnya lalu
tertawa geli. "Ayoh berdiri disitu saja!" serunya, urusan yang ada disini
biar aku sendiri yang selesaikan"
Dengan gemas dan penuh kemarahan, Pek Kun-gie
meruding ke arah Pia Leng-cu, lalu mencaci maki dengan
gusarnya, "Huuh....! Hidung kerbau itu tak tahu malu, tua
bangka belaka, manusia cabul yang bejad moralnya, dia paksa
aku untuk mengunggap catatan kiam keng bu kui.... engkoh
Hong! Jangan berikan kitab kiam keng tersebut kepada tua
bangka sekarat itu, biar dia mampus penasaran...."
Betapa gusarnya Pia Leng-cu ketika mendengar makian itu,
kontan sepasang matanya melotot besar, dia hendak balas
memaki tapi ketika pandangan matanya terbentur dengan
wajah dara itu, dia malah tertegun untuk sesaat tak sepatah
katapun mampu diucapkan. Perlu diketahui, sewaktu Pia Leng-cu berada berduaan
dengan Pek Kun-gie tadi, berhubung kesatu ruang loteng itu
kecil lagi gelap, kedua Pek Kun-gie lagi uringan dan penuh
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menaruh perasaan benci dan dendam, maka yang tertampak
oleh Pia Leng-cu ketika itu hanya potongan badannya belaka,
kecantikan yang sesungguhnya dari dara itu sama sekali tidak
kelihatan. Lain halnya dengan keadaan waktu itu, meskipun ia sedang
mencaci maki Pia Leng-cu, akan tetapi ucapan itu ditujukan
kepada Hoa Thian-hong, dalam pandangan imam tua itu
terlihatlah betapa cantik jelita dara itu sekalipun sedang
memaki orang mukanya berseri manis, kerlingan natanya
menawan hati ditambah pula suaranya lembut seperti genta
membuat orang terkesima jadinya.
Dasar seorang imam cabul yang gemar main perempuan,
Pia Leng-cu kontan merasakan jantungnya berdebar keras, ia
benar-benar terpersona, apalagi terbayang kembali lekukanlekukan
tubuhnya yang putih, halus dan padat berisi itu, tanpa
sadar jantungnya berdebar keras, hampir saja ia lupa sedang
berada disana. Hoa Thian-hong sendiri ketika mendengar perkataan dari
Pek Kun-gie, sikapnya tetap halus dan sekulum senyum
tersungging diujung bibirnya, tapi begitu menjumpai keadaan
Pia Leng-cu yang kesemsem dengan mimik wajah yang
menakutkan, timbul kembali hawa amarah dalam hatinya.
Ia segera ulapkan tangannya dan berseru.
"Aku toh hanya akan memberikan pedang baja itu, belum
pernah kukatakan kalau kitab Kiam keng itu akan kuserahkan
kepadanya, menyingkirlah kesamping, aku akan bereskan
sendiri persoalan ini!"
Pek Kun-gie makin gelisah, kembali dia berseru, "Semua
orang bilang kitab kiam keng itu ada didalam pedang bajimu,
jangan kau berikan kepadanya!"
"Aku hanya menyetujui untuk serahkan pedang ini
kepadanya, namun tak pernah kusanggupi untuk dibawa pergi
olehnya, minggirlan kesitu, tak usah kuatir!"
Sungguh gelisah dan panik pikiran Pek Kun-gie, tapi ia tak
berani membangkang perintah si anak muda itu, terpaksa
dengan hati berat dara itu menyingkir kesimping, diam-diam
pedang lemasnya dicabit keluar siap menghadapi sejala
kemungkinan yang tidak diizinkan
Dalam pada itu, Hoa Thian-hong telah menengadah dan
memandang sekejap ke arah Pia Leng-cu dengan pandangan
dingin, sambil angsurkan pedang baja itu kemuka, hardiknya,
"Nih, ambillah!"
Pia Leng-cu agak tertegun, kemudian serunya dengan
marah, "Lempar kemari!"
"Hey bangsat cabul, dengarkan baik-baik kata kami ini"
teriak Pek Kun-gie dari samping," kami hanya setuju untuk
berikan pedang itu kepadamu, tapi tak pernah menyanggupi
dirimu untuk membawa pergi pedang tersebut dari tempat ini,
kalau tak takut mampus ambilah!"
Kiu-im Kaucu yang licik dan ingin menjadi nelayan yang
untung segera menanggapi dari samping sambil tertawa
tergelak. "Haahh.... haahhh.... haahhh.... Pia Leng-cu ayoh maju dan
terima pedang itu! Hoa kongcu adalah seorang pria sejati, tak
mungkin dia akan menipu engkau.... hayo maju! Apalagi yang
kau takuti...." Dengan kecurigaan hatinya yang sangat tebal, Pia Leng-cu
tak ingin maju kemuka sambil menempuh bahaya, akan terapi
setelah dipandang oleh belasan pasang mata dengan sorot
mata mengejek, hawa amarahnya berkobar juga didalam hati
sambil menggigit bibir dia segera melangkah maju kedepan
dengan tindakan lebar. Pek Kun-gie benar-benar kuatir kalau Hoa Thian-hong
sungguh menyerahkan pedang baja itu kepada orang, kembali
ia berteriak deng an suara keras, "Thian-hong, tak tak usah
berbicara soal kepercayaan dengan orang jahat macam dia!"
Sementara itu Pia Leng-cu sudah maju ke muka, jaraknya
dengan pedang baja itu tinggal empat lima depa, tatkala
mendengar seruan tersebut ia segera menghentikan kembali
langkahnya. Hoa Thian-hong mendengus dingin, ia muak menyaksikan
kepe-ngecutan imam tua itu, semakin ragu orang untuk maju
ia semakin pandang hina musuhnya.
Melihat Pia Leng-cu kembali berhenti dengan sangsi, ia
mengejek sinis serunya, "Api yang telah kukatakan tak pernah
kuingkari lagi. Nah ambilah pedang tersebut!"
Sekali tangannya diayun.... Duuuk! Pedang baja sepanjang
empat depa itu sudah menancap lurus tepat dihadapan Pia
Leng-cu. Tindakan dari Hoa Thian-hong ini sama sekali diluar dugaan
semua orang, dengan pandangan kebingungan Pia Leng-cu,
Kiu-im Kaucu maupun puluhan orang anak buahnya, melotot
ke arah senjata itu tanpa sanggup mengucapkan sepatah
katapun. Lama sekali Pia Leng-cu berdiri tertegun akhirnya ia melirik
sekejap ke arah Kiu-im Kaucu.
Imam tua ini sadar, setelah pedang baja tersebut terjatuh
ketangannya, pada hakekatnya bukan suatu pekerjaan yang
gampang untuk lolos dari kepungan, malahan mungkin jauh
lebih sukar untuk mendekati ke langit.
Walau begitu tak mungkin baginya untuk melepaskan
mustika yang berada didepan mata dengan begitu saja....
Akhirnya menggertak gigi ia robek pakaiannnya lalu
membungkus pedang itu baik-baik dan menggantungnya
diatas punggung. Tak seorang manusiapun yang bergerak dari tempat
kedudukan masing-masing, baik Hoa Thian-hong maupun Kiuim
Kaucu sama-sama mengikuti gerak-gerik sang imam tua
tanpa banyak bicara. Kebungkaman dan ketenangan sang pemuda itu
menggelisahkan hati Pek Kun-gie, cepat ia menggoyang
lengan si anak muda itu sambil mengomel, "Ayolah, rebut
kemoali pedang baja itu, kenapa kau diam melulu?"
"Memangnya kau rela pedang itu diambil bajingan cabul
itu?" Hoa Thian-hong tertawa geli.
"Aah, kamu ini, memangnya gampang ya untuk merampas
kembali pedang itu" ilmu silat yang dimiliki cinjin ini sangat
lihay, akupun paling banter cuma menang setingkat darinya,
apalagi sekarang tak ada senjata yang bisa kupakai lagi, susah
rasanya untuk merobohkan dirinya!"
"Kalau begitu.... kalau begitu.... tidak sepantasnya kau
berikan pedang itu kepadanya" omel Pek Kun-gie sambil
mendepak-depakkan kakinya keatas geladak.
Gadis itu betul-betul amat gelisah sehingga ia tak mampu
berkata-kata lagi. Bukannya ikut gelisah, sikap Hoa Thian tong malahan jauh
lebih tenang, seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu
urusanpun, katanya sambil tertawa, "Sebagai seorang
manusia yang hidup di dunia, kita tak boleh mengingkari apa
yang telah diucapkan, sekali perkataan sudah ke luar maka
kita wajib melaksanakan sampai selesai, kenapa kau musti
gelisah" memangnya dia mampu kabur dari sini sambil
membawa pedang baja itu?"
Sementara ia masih berbicara, Pia Leng-cu telah selesai
membenahi dirinya, pedang baja itu dia gantung dipunggung
sementara pedang mustika Poan liong poo kiam dicekal dalam
keadaan terhunus, asal ada orang hendak merampas senjata
mustika itu maka ia akan terjun kedalam air dan kabur dari
situ. Tentu saja diapun sempat mendengarkan pembicaraan dari
Hoa Thian-hong, dan iapun dapat meresapi makna dari
ucapan itu, tapi ia tak sudi menyerah dengan begitu saja,
prinsipnya selama hayat masih di kandung badan dia akan
selalu berusaha sedapat mungkin, sebelum jalan betul-betul
menjadi bantu, ia tak mau pasrah nasib dengan begitu saja.
Sekalipun ia sudah membenahi diri dan siap kabur, Hoa
Thian-hong sama sekali tidak menggubris dirinya, Kiu-im
Kaucu sendiripun tetap duduk tak berkutik ditempat semula,
seakan-akan mereka sama sekali tak pandang sebelah
matapun atas kejadian tersebut.
Betapa malu dan marahnya Pia Leng-cu diperlakukan
seperti itu, ia tuding Kiu-im Kaucu dengan pedang mustikanya,
lalu membentak nyaring, "Pia Leng-cu ada disini, pedang baja
maupun pedang emas kini berada ditangan cinjin mu, kalau
engkau tidak kemari lagi, jangan salahkan kalau cinjin tak
akan menemani lebih lama"
"Ooh.... silahkan.... silahkan.... kalau mau pergi, silahkan
saja terjun kedalam air!" sahut Kiu-im Kaucu sambil tertawa
santai. Kemarahan yang menggelora dalam dada Pia Leng-cu
sukar dilukiskan dengan kata-kata, pikirnya, "Nenek bajingan,
kalau hari ini aku bisa lolos dari sini. Hmm! Tunggu sajalah
pembalasan dari cousu-ya mu.... sialan."
Berpikir sampai disitu dia lantas loncat keujung perahu dan
siap terjun kedalam air. "Tunggu sebentar!" tiba-tiba Hoa Thian-hong membentak
keras. Pia Leng-cu putar badan lalu berseru, "Bocah keparat,
kalau tidak terima, hayo maju kemari, kuhajar kau sampai
mampus!" Pek Kun-gie naik pitam menyaksikan keangkuhan lawan, ia
serahkan pedang lemas itu kepada Hoa Thian-hong, kemudian
serunya dengan mendongkol.
"Bikin mampus siluman tua itu, cukil keluar sepasang biji
mata bangsatnya!" Hoa Thian-hong tertawa sambil menggeleng.
"Percuma! Setibanya dalam air, pedang lemasmu itu tak
lebih cuma barang rongsok yang tak ada gunanya, cepat
disimpan saja." Kemudian sambil berpaling ke arah Pia Leng-cu, serunya,
"Aku cuma ingin bertanya kepadamu, bagaimana
kepandaianmu didalam air?"
"Perduli amat dengen cousu ya mu!" tukas Pia Leng-cu
ketus, "kalau tidak puas silahkan maju dan kita adu
kepandaian sampai salah seorang mampus!"
Hoa Thian-hong terawa, katanya, "Kalau aku sih tak
mampu, tapi aku rasa kehebatan mu dalam air juga tidak
sampai selihay lawan!"
Setelah berhenti sebentar, lanjutnya kembali, "Ikutilah
anjuranku, baik-baik berdiri diatas perahu dan tak usah terjun
keair, asal engkau masih berada diatas daratan maka cuma
aku dan Kiu-im Kaucu berdua yang sanggup melangsungkan
pertarungan melawan dirimu, tapi begitu engkau terjun
kedalam air, hmm! Coba lihatlah, tujuh delapan puluh orang
yang berada disini semuanya adalah musuh-musuh
tangguhmu, engkau akan menjadi sate ikan dan nyawamu
pasti akan kabur kembali ke akhirat!"
"Bagus.... bagus sekali! Hoa Thian-hong aku lihat makin
lama engkau semakin lihay!" seru Kiu-im Kaucu sambil
tergelak tertawa, walau sepasang alis matanya berkenyit.
"Penderitaan dan siksaan akan mendidik otak manusia
untuk ber pikir keras, memangnya aku orang she Hoa masih
kecil?" Kiu-im Kaucu tertawa, ia tidak ber bicara lagi tapi alihkan
sorot matanya ke arah Pia Leng-cu.
Semula imam tua itu memakai kain cadar untuk menutupi
wajahnya, berhubung dia takut kain cadar itu mengganggu
pandangan matanya selama berada didalam air, maka kain
cadar tersebut telah dilepas olehnya.
Ucapan Hoa Thian-hong ibaratnya guntur yang membelah
bumi disiang hari bolong, ia tergugah dari impian indahnya,
apalagi setelah periksa keadaan disekitar sana, paras mukanya
kontan berubah jadi pucat pias bagaikan mayat, sekarang
disuruh terjun keair pun mungkin ia tak berani.
Pek Kun-gie sendiri adalah seorang pendekar wanita yang
dididik langsung oleh Pek Siau-thian, sedikit banyak diapun
pangcu muda dari suatu perkumpulan besar, tentu saja baik
kecerdikan maupun jalan pikirannya jauh lebih tangguh dari
orang lain. Sayang ia terbelenggu oleh cinta sehingga watak serta
kegagahannya mengalami banyak perubahan, sekalipun begitu
bukan berarti dia berubah jadi bodoh.
Sehabis mendengar ucapan dari Hoa Thian-hong itu, cepat
dia menyapu sekejap sekeliling gelanggang, apa yang
kemudian dilihat membuat hatinya jadi amat terperanjat.
Kiranya anak buah perkumpulan Kiu-im-kauw yang
berkumpul disekitar gelanggang mencapai tujuh puluh orang
lebih, bukan saja mereka mengenakan pakaian berenang yang
tahan air, senjata tajam yang mereka gunakan adalah senjata
bangsa tri sula, garpu panjang serta pisau bercabang dua,
bahkan ada sebagian diantaranya mempergunakan senjata
kaitan pedang dan sebangsanya.
Dari sini dapatlah diketahui kedudukan masing-masing
orang, yang bersenjata trisula atau sebangganya jelas
merupakan jago-jago lihay di dalam air, sedang senjata
pedang atau sebangsanya adalab jago-jago diatas daratan.
Organisasi yang diatur dengan begitu rapihnya ini
menunjukkan pula betapa cakapnya Kiu-im Kaucu mengatur
anak buahnya. Belum habis rasa kaget dan curiga terlintas dalam benak
imam tua itu, tiba-tiba Kiu-im Kaucu tertawa tergelak sambil
berkata, "Pia Leng-cu, kalau engkau bersedia masuk kedalam
perkumpulan Kiu-im-kauwca, aku bersedia pula memberi
kedudukan yang tinggi kepadamu...."
"Heehhh.... heehhh.... heeh.... omong kosong!" tukas Pia
Leng-cu dengan cepat. Kiu-im Kaucu tidak menjawab lagi, dengan seenaknya dia
ulapkan tangan dan berseru, "Lubangi perahu mereka!"
Berbareng dengan selesainya ucapan itu, seseorang loncat
masuk kedalam air dengan gerak cepat, begitu gesit dan
lincah gerakan tubuh orang itu, jelas dia adalah seorang
jagoan kelas satu. Pek Kun-gie menggenggam tangan Hoa Thian-hong eraterat,
kemudian bisiknya dengan cemas, "Mereka akan
melobangi perahu kita, ayoh kita terjun saja kedalam air...."
Dalam pada itu dari dasar perahu sudah kedengaran suara
ayunan kampak yang menggoncangkan seluruh perahu
tersebut. "Bagaimana dengan kepandaianmu didalam air?" tanya Hoa
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Thian-hong sambil tersenyum.
"Biasa-biasa saja" jawab sang gadis tertegun aai.... akulah
yang sudah mencelakai dirimu, tiba-tiba matanya jadi merah
dan air mata jatuh berlinang.
"Eeh, kita toh belum tentu mati, kenapa kau musti
menangis?" hibur sang anak muda sambil tertawa.
Dia lantas berpaling ke arah Kiu-im Kaucu dan berkata,
"Kaucu, sebelum pertemuan Kian ciau tay hwe
diselenggarakan, apakah perkumpulan selalu beroperasi diatas
samudra?" Kiu-im Kaucu tersenyum kemudian menghela napas
panjang. "Aaai....! Dua puluh sembilan tahun berselang perkumpulan
Kiu-im-kauw terdesak dan tak dapat berdiri lagi dalam dunia
persilatan, terpaksa kami mundur ketengah samudra dan
hidup selama tujuh belas tahun diantara daratan den lautan,
sekaranglah kami baru dapat hidup kembali diatas daratan!"
"Mungkin selama ini kalian hidup di selatan, makanya
jarang sekali orang persilatan yang ada didaratan Tionggoan
mengetahui akan kejadian tersebut!"
Kembali Kiu-im Kaucu mengangguk sambil tersenyum.
"Memang begitulah kenyataannya!"
Suatu benturan keras memotong pembicaraan yang
berlangsung, ternyata dasar perahu itu sudah berhasil
dilubangi sehingga air sungai segera mengalir masuk sedalam
perahu. Kecuali Hoa Thian-hong, Pek Kun-gie dan Pia Leng-cu,
diatas perahu itu masih terdapat sebuah kereta besar serta
dua ekor kuda penghela, karena air sungai mengerangi perahu
itu, tentu saja kedua ekor kuda yang berada diatas geladak
jadi meringkik ketakutan, binatang itu berloncatan kesana
kemari dengan panik, membuat perahu iiu semakin oleng
jadinya. Dengan perasaan menyesal Hoa Thian-hong memandang
sekejap ke arah kuda-kuda itu, kemnudidn pikirnya, "Arus
sungai sangat deras, tak mungkin kuda-kuda itu sanggup
berenang ketepian, lebih baik kulepaskan saja tali pengikatnya
sehingga mereka bisa berloncatan dengan lebih leluasa.
Karena berpikir demikian, diapun loncat kedepan dan
melepaskan tali pengikat kuda itu.
Pia Leng-cu teramat benci terhadap diri Kiu-im Kaucu,
dengan seram ia tertawa panjang kemudian serunya, "Hey,
Kiu-im Kaucu! Katanya perkumpulan Kiu-im-kauw
mengembara selama tujuh belas tahun diatas samudra, lalu
dua belas tahun kemudian kalian bersembunyi dimana?"
Paras muka Kiu-im Kaucu berubah jadi dingin
menyeramkan, dia cuma melotot dan sama sekali tidak
menjawab. Keadaan dari Pek Kun-gie saat itu ibaratnya burung kecil
yang jinak, kemanapun Hoa Thian-hong pergi dia mengikuti
terus disampingnya, sekalipun mereka ada dalam keadaan
bahaya, rejeki ataupun bencana sukar diramalkan, namun
matanya tetap berseri-seri, sekulum senyum manis menghiasi
bibirnya. Sambil menarik ujung baju sang anak muda, tiba-tiba
ujarnya sambil tertawa, "Kiu-im Kaucu tak berani mengakui
letak sarangnya, engkau tahu kenapa dia tak berani
menjawab?" Memanya kenapa"! tanya Hoa Thian-hong keheranan.
"Dia kuatir kalau engkau menyerbu ke dalam sarangnya!"
Hoa Thian-hong tertawa tergelak karena geli.
"Haahh.... hahh.... haaah.... kamu ini kok ada-ada saja,
Lembah Merpati 4 Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Pendekar Pedang Kail Emas 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama