Ceritasilat Novel Online

Pendekar Tanpa Bayangan 2

Dewa Linglung 19 Pendekar Tanpa Bayangan Bagian 2


Sementara itu seekor elang terbang melintas
di udara... DELAPAN Di pelataran sebuah candi kuno yang tak
terawat, mereka bercakap-cakap. Apa yang dibicarakan Rara Tantri ternyata tak lain dari membicarakan kemunculan si Pendekar Tanpa Bayangan
yang di dengarnya dari berita beberapa orang tokoh persilatan. Wanita ini walaupun berdiam di
tempat rahasia, namun sering keluar untuk mengetahui keadaan situasi di sekitar wilayah itu.
"Hm, kalau itu yang kau maksudkan, aku
juga mendengar adanya berita itu. Bahkan aku...."
"Kau telah melihat macam apa manusianya?" Sikap Rara Tantri tampak begitu khawatir hingga menyambar kata-kata
Nanjar. Tentu saja
membuat Nanjar curiga. Tentu saja agak membuat
dia merasa aneh. "Sayang aku sendiri belum pernah melihat siapa adanya tokoh
yang menamakan dirinya si Pendekar Tanpa Bayangan itu, tapi...
aku menerima sepucuk surat ancaman dari pendekar itu ...!" sahut Nanjar.
"Surat ancaman?" sentak Rara Tantri terkejut, walau hatinya agak masygul. "Ya!
surat itu masih kusimpan" kata Nanjar seraya mengeluarkan sebuah lipatan kertas
dari saku bajunya. Lalu memberikan pada wanita itu. Cepat Rara Tantri
membuka lipatan surat itu dan membaca isinya.
Dalam surat itu tertulis demikian.
"Dewa Linglung! suatu ketika aku ingin tahu kehebatan mu. Bila aku telah
menyelesaikan urusanku, aku menantangmu bertarung dilembah
Elang! Aku, si Pendekar Tanpa Bayangan.
Rara Tantri membaca surat itu dengan suara dikeraskan. Tercenung wanita ini dengan mata
menatap Nanjar tak berkedip. Perlahan dia mengulurkan lengannya memberikan surat itu pada si
Dewa Linglung. "Sungguh sombong manusia itu! Hm, siapakah sebenarnya dia" Apakah kau benar-benar
belum melihat tampangnya?" tanya Rara Tantri
dengan rasa penasaran.
"Haha... kalau aku sudah melihat dia, tentu
akan kukatakan padamu apakah dia mirip seekor
kera atau lutung!" sahut Nanjar sambil tertawa seraya selipkan surat itu ke saku
bajunya. Semua gerak tingkah Nanjar ternyata diam-diam selalu
diperhatikan oleh si wanita. Tampak tatapan mata
wanita ini bersinar aneh, lain dari pada biasanya.
Tiba-tiba Rara Tantri perlahan mendekati si
Dewa Linglung. Lengannya bergerak mendekap tubuh Nanjar. Nanjar agak terkejut melihat perubahan sikap wanita itu.
"Nanjar...! katakan sejujurnya, apakah
aku... aku cantik?" tanya wanita ini dengan mata tak berkedip memandang Nanjar.
"Haha... aneh! siapa bilang kau jelek" Wajahmu cantik! Hidungmu mancung, dan kulitmu
putih! kau benar-benar seorang perempuan yang
cantik dan baru pernah kulihat wanita secantik
kau?" kata Nanjar.
Tiba-tiba wanita ini mendorong keras pemuda ini. Hingga Nanjar terhuyung ke belakang
selangkah. "Bohong! kau sengaja memujiku secara berlebihan! Aku tak percaya mulut laki-laki!" kata Ra-ra Tantri ketus. Dan wajahnya
berubah dingin, sedingin es. Sepasang matanya memancarkan sinar
yang seperti menghunjam ke jantung Nanjar.
"Rara Tantri...! kenapakah kau?" sentak
Nanjar terheran.
"Aku... aku benci laki-laki! benci!" teriak wanita ini dengan suara mengandung
isak. Dan saat itu pula dia membalikkan tubuh lalu menutupi wajahnya dengan terisak-isak.
Nanjar semakin heran. Hal apakah yang
membuat wanita ini bersikap demikian" pikir Nanjar dalam hati. Nanjar perlahan memegang bahu
wanita ini. Kemudian membalikkan tubuh Rara
Tantri. Sepasang matanya menatap wanita itu.
"Apakah kau juga membenciku.. Tantri"
Aku berkata sebenarnya. Kau memang cantik! aku
tak melebih-lebihkan, dan apa yang kukatakan
adalah sejujurnya" kata Nanjar.
Aneh! kata-kata Nanjar seperti terasa sejuk
menyiram dada dirasakan oleh Rara Tantri. Selama hidupnya dia tak merasakan perasaan aneh
seperti itu. Pegangan lengan Nanjar pada bahunya
serasa membuat hatinya begitu tenteram.
Perlahan wanita ini menengadahkan wajahnya. "Maafkan aku, Nanjar...! pikiranku kalut.
Aku tak membenci mu. Aku bahkan sangat berterima kasih padamu. Kau baik hati, gagah dan
tampan. Selama ini aku telah tersesat jalan, yang
aku sendiri tak mengetahui. Aku banyak berbuat
kesalahan. Terutama terhadap diriku sendiri..."
berkata Rara Tantri dengan suara datar. Tampak
sebutir air bening meluncur turun dari kelopak
matanya. Nanjar tak mengerti dengan kata-kata yang
dimaksudkan wanita itu. "Apakah yang membuat
kau merasa bersalah terhadap dirimu sendiri, Tantri?" Sesaat wanita ini tak menjawab. Kemudian tampak dia menghela napas. Lalu
berkata dengan suara datar seperti tak bergairah.
"Aku tak dapat mengatakannya, Nanjar...!
Suatu ketika mungkin kau dapat mengetahui..."
Sementara itu matahari mulai condong kearah barat. Sinarnya mulai meredup. Beberapa
saat, lagi malam akan segera menjelang.
Wanita itu masih berdiri menatap kearah
barat. Sementara Nanjar jatuhkan pantatnya ke
atas tangga batu di depan Candi.
"Nanjar! apakah kau tak melihat bekas
goresan luka pada wajahku?" tanya Rara Tantri ti-ba-tiba tanpa menoleh pada si
Dewa Linglung. "Ya! aku melihat. Apakah kau merisaukan
cacat kecil itu?" tanya Nanjar mencoba menduga-duga. "Salahkah aku kalau aku
mendendam pada orang yang telah membuat cacat pada wajahku?"
Rara Tantri tak menjawab, tapi malah ajukan pertanyaan lagi. Sejenak Nanjar tertegun mendengar pertanyaan wanita itu. Setelah menghela napas Nanjar
menyahut. "Kau boleh mendendam tapi boleh juga tidak, tergantung dari persoalannya. Apakah masalahnya kau yang bersalah, atau orang yang membuat cacat wajahmu itu yang bersalah!" Kini ganti Rara Tantri yang tertegun.
"Tapi dengan cacat itu justru semakin terlihat kencantikanmu! Aku tak berdusta, kau memang benar-benar seorang gadis yang cantik!"
sambung Nanjar dengan nada sungguh-sungguh.
Sementara dalam hati si Dewa Linglung berpikir.
"Aneh! persoalan apakah sebenarnya yang terjadi pada dirinya?"
Sepasang mata Rara Tantri mendadak berubah membinar. Dari sepasang mata yang tampak berkaca-kaca itu kembali luruh air bening
yang mengalir dipipinya. Perlahan wanita ini melangkah mendekati Nanjar. Mendadak dia memeluk Nanjar erat-erat. Lalu sumpalkan kepalanya
didada si Dewa Linglung dengan terisak-isak.
"Nanjar...! benarkah aku cantik..." bisik Rara Tantri dengan suara bergetar. Mau tak mau
Nanjar jadi luruh juga hatinya.
"Kau benar-benar cantik Tantri. Dengan cacat kecil itu kau lebih cantik dan menawan..." berkata Nanjar.
"Oh, terima kasih, Nanjar. Tapi... apakah
aku tidak terlalu tua?" desah wanita ini.
"Haha... siapa yang mengatakan kau seorang wanita tua. Tentulah dia orang yang tidak waras. Kau muda dan cantik. Usiamu paling tinggi
kukira tak lebih dari dua puluh tahun!" tukas
Nanjar dengan tertawa, juga merasa aneh dengan
sikap wanita ini.
Tiba-tiba Rara Tantri menengadah menatap
Nanjar. "Usiaku sudah tiga puluh tahun, Nanjar!"
kata Rara Tantri.
"Ah..." hebat! aku sungguh tak menyangka,
Tantri. Kau sungguh seorang gadis yang luar biasa. Kau sungguh-sungguh seperti baru berusia
dua puluh tahun. Apakah kau merisaukan pula
tentang usiamu" hahaha... justru dalam usia seperti itu kata orang ada ibarat sekuntum bunga
sedang wangi-wanginya..." Nanjar tak kepalang tanggung memuji.
Dada Rara Tantri serasa meledak-ledak karena dipenuhi perasaan bahagia yang seumur hidup baru dirasakannya.
Dipeluknya Nanjar erat-erat dengan air mata bercucuran. Nanjar jadi serba salah. Apakah yang harus
diperbuatnya kalau sudah begini" Namun akhirnya dia cuma bisa diam sambil mengelus-elus
rambut wanita ini.
"Nanjar...maukah kau memenuhi permintaanku?" tiba-tiba Rara Tantri kembali berkata.
Kesempatan itu digunakan untuk melepaskan pelukan wanita itu.
"Permintaan apakah itu Tantri?" tanya Nanjar dengan menggaruk-garuk tengkuknya.
Tubuh- nya berubah panas dingin juga dipeluk si wanita
bekas seorang biksu itu. Sepasang benda kenyal
itu seolah masih terasa menempel didadanya.
"Cintailah aku, Nanjar...! karena... karena
aku... aku mencintaimu. Kaulah pemuda yang pertama kali aku cintai. Kaulah orang yang telah menyembuhkan penyakit jahat yang mengeram di tubuhku. Dan kau pulalah yang telah melenyapkan
dendam kesumat dalam dadaku..."
Nanjar terperangah mendengar kata-kata
wanita itu. Ditatapnya gadis kedaluwarsa itu dengan pandangan aneh.
"Mengapa aku harus mencintaimu?" tanya
Nanjar. "Aku tak dapat mengatakannya, Nanjar...
Tapi kalau kau menolak permintaanku, aku akan..
membunuh diri!"
Tentu saja Nanjar jadi kebingungan melihat
sikap Rara Tantri.
Karena detik itu juga wanita itu telah mengeluarkan sebuah belati dari bawah lengan jubahnya. Lalu ujung belati ditempelkan kedadanya.
"Tantri!" mengapa kau Tantri" Sadarkah
kau dengan apa yang akan kau perbuat" Ingat
Tantri, cinta tak dapat dipaksakan begitu saja.
Aku tahu kau memang cantik. Kau ibarat bunga
yang sedang wangi- wanginya. Tapi..."
"Cukup!" Rara Tantri membentak. Suaranya mendadak kembali berubah dingin. Dan
dari kedua kelopak matanya bercucuran air mata yang
mengalir tak terbendung.
"Kalau kau tak mau memenuhi permintaanku, baiklah! Rupanya tak ada jalan lain bagiku selain kematian!" berkata wanita ini. "Selamat
tinggal, Nanjar...!" Selesai mengucapkan demikian Rara Tantri gerakan lengannya
untuk menghun-jamkan pisau belati ditangannya kearah jantung.
Tapi sebelum ujung belati menembus dada
gadis itu, Nanjar dengan cepat kilat telah menangkap pergelangan tangannya.
"Tantri! jangan lakukan perbuatan gila itu!"
berkata Nanjar dengan mata membelalak. Pisau
belati itu terlepas, dan wanita ini jatuhkan kepalanya ke dada Nanjar lalu menangis terisak-isak.
Nanjar membelai rambut dara itu dengan
sejuta bingung yang memenuhi benaknya. "Penyakit apakah yang diderita gadis
ini?" berkata Nanjar dalam hati. Mendadak timbul perasaan kasihan
pada wanita ini. Perlahan Nanjar mengangkat wajah gadis itu. Sepasang matanya menatap tajam
wajah Rara Tantri.
"Baiklah, Tantri...! Aku.. aku mencintaimu!
Ya! aku memang mencintaimu...! Kau dengar Tantri?" ujar Nanjar lembut.
"Benarkah, Nanjar...?" sentak gadis ini tertegun. Nanjar mengangguk sambil
tersenyum. Se- pasang mata dara ini mendadak bercahaya kembali. Bibirnya tergetar ketika bibirnya mendesah.
"Nanjar...! oh, peluklah aku Nanjar! peluklah aku!" Kali ini Nanjar tak dapat menolak lagi.
Dipeluknya wanita itu erat-erat. Sementara Rara
Tantri bagaikan seorang yang kesurupan mendekap dan menciumi si Dewa Linglung dengan air
mata membanjir tak terbendung lagi. Sejuta perasaan bahagia serasa memenuhi dada Rara Tantri.
*** Sementara malam telah mencengkeram sekitar tempat itu. Sepotong bulan tampak mengambang di langit. Letupan perasaan yang menggelora
dalam dada gadis itu sukar untuk dikendalikan lagi. Satu persatu Rara Tantri melepaskan pakaiannya... Nanjar terperangah. Darahnya serasa mengalir lebih cepat. Jantungnya semakin berdetak
cepat. Sukar bagi Nanjar untuk menahan hawa
rangsangan yang menelusup kesetiap aliran da

Dewa Linglung 19 Pendekar Tanpa Bayangan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rahnya. Tapi Nanjar masih bisa bertahan untuk tak
menuruti hasrat yang menggebu itu. Walau apa
yang terlihat di depan matanya membuat pandangan matanya menjadi nanar.
"Tantri... sadarlah! jangan terlalu jauh. Kita tak boleh melakukan hal ini..."
kata Nanjar mene-kan goncangan perasaannya.
"Tidak Nanjar! lakukanlah! lakukanlah walau hanya sekali! aku... aku harus menjadi manusia yang wajar! kau harus melaksanakannya Nanjar...! demi aku! Demi kesembuhanku...!"
Luruhlah hati Nanjar karena tak tega mendengar rintihan Rara Tantri yang menghiba memohon belas kasihan dirinya.
Dilepaskannya seluruh pakaiannya, dan
lengannya menggamit pinggang ramping dara itu.
Dipondongnya tubuh padat gempal itu yang dalam
kepasrahan. Kemudian perlahan-lahan dibaringkan di atas rerumputan. Rara Tantri pejamkan
matanya dengan air mata menggenang.
"Nanjar...ah...."
Desahnya lenyap ketika bibir pemuda itu
merengkuhnya dengan lumasan yang membawa
sukmanya melayang ke alam Nirwana.
Angin malam yang dingin berhembus menggoyang rerumputan.
Sepotong bulan di langit seperti mengintip
dari balik mega. Sementara dikejauhan lapat-lapat
terdengar suara lolong anjing hutan.
Malam pun terus merayap dan terus merayap.... SEMBILAN Suara kicau burung-burung dan kokok
ayam hutan telah membuat Rara Tantri terjaga dari tidur lelapnya. Gadis ini belalakkan mata terkejut karena malam telah
menjelang pagi dinihari.
Tersentak dia, seraya melompat bangun. Tapi, segera gadis ini menyadari keadaan tubuhnya yang
hanya berselimutkan jubah. "Ah, apakah yang telah terjadi dengan diriku?"
sentaknya dalam hati.
Lambat-lambat dia mulai sadar. Dia mulai
teringat apa yang telah dilakukan di pelataran
candi itu. "Nanjar! Dimanakah kau?" sentaknya seraya menoleh ke kiri dan ke kanan. Tapi tak dijumpai adanya si Dewa Linglung. Bergegas dia
mengenakan pakaiannya. Kemudian berkelebatan
melompat mencari dimana adanya pemuda yang
dicintainya itu.
Nanjar memang telah tak berada di tempat
itu. Entah kemana perginya. Wanita ini lama berdiri termangu menatap ke depan, kearah timur
dimana matahari sebentar lagi akan munculkan
sinarnya. "Oh... dia telah pergi!" desisnya dengan hati luruh. Sepasang mata dara ini
tampak berkaca-kaca. Namun bibirnya sunggingkan senyuman.
Senyum yang wajar. Dia menarik napas panjang.
Disekanya air mata yang mau tumpah itu. Kini wajahnya menampilkan cahaya kegembiraan.
"Aku telah sembuh...! kini aku telah menjadi manusia yang wajar! Ah, terima kasih Nanjar.
Budimu takkan kulupakan..." Tak lama tubuh Ra-ra Tantri berkelebat dari tempat
itu, dan lenyap di keremangan cuaca menjelang pagi yang masih te-maram...
Matahari baru saja menyembul diufuk timur ketika Rara Tantri jejakkan kaki di atas bukit.
Dia lama berdiri termangu memandang jauh ke
bawah lembah. Wanita ini tak menyadari kalau seseorang telah menguntit perjalanannya. Tampak di
belakang batu besar tersembul sebuah kepala.
Siapa adanya orang itu ternyata tiada lain dari
Nanjar, alias si Dewa Linglung.
"Aku harus mengetahui siapa yang telah
membunuh orang-orang perguruan Macan Tunggal, dan pengantin laki-laki bangsawan tua Hong
Taliwongso!" berkata Nanjar dalam hati. "Aku mencurigai sikap gadis ini yang
aneh. Penyakit apakah yang dideritanya" Dan apa lagi yang akan
dilakukan si Rara Tantri ini?"
Selagi dia terbengong menatap gadis itu
dengan menahan napas, mendadak dari balik batu
besar di sebelah depan berkelebat melompat sesosok tubuh. Rara Tantri tampak terkejut, karena
tahu-tahu seseorang telah berdiri dihadapannya.
"Hm, siapa kau?" sentak wanita ini.
Ternyata orang ini adalah si pemuda berbaju aneh, yang penuh dengan tambalan berwarnawarni. Pemuda berambut gondrong agak pirang ini
tertawa tergelak-gelak di depan wanita itu.
"Hahaha.... akhirnya aku menjumpai juga
seorang biksu yang murtad, yang telah membuat
malu nama biara Budi Luhur di puncak gunung
Joho. Hari ini atas perintah guru, aku akan mengirim jiwamu ke alam Baka, Rara Tantri...!" berkata pemuda ini.
Membeliak mata Rara Tantri mendengar kata-kata itu. Detik itu juga matanya menatap kearah tanah di sebelah bawah tubuh pemuda itu.
Hatinya terkesiap dan tersentak kaget, hingga sepasang kakinya melangkah mundur dua tindak.
"Pendekar Tanpa Bayangan!" sentaknya terkejut. "Hahaha... benar! akulah si
Pendekar Tanpa Bayangan!" sahut si pemuda dengan tertawa gelak-gelak "Heh! apa
hubunganmu dengan guruku"!"
bentak Rara Tantri.
"Aku adalah muridnya!" sahut si Pendekar Tanpa Bayangan.
"Dusta! setahuku guruku Biksu Ronda Jati
tak pernah mengangkat seorang murid laki-laki!"
"Hm, apakah kau menganggap hal itu di
luar peraturan biara" Peraturan itu sudah tak digunakan lagi, sejak kau diusir dari pesanggrahan!"
berkata pemuda ini. "Aku telah mendengar bahwa ketua dari komplotan penyamun di
wilayah ini adalah kau sebagai ketuanya yang bergelar si
Elang Darah!"
"Heh! dari mana kau mengetahuinya?" bentak dingin wanita ini. Pendekar Tanpa Bayangan
tak menyahut selain tertawa berderai. Selesai
mengumbar tawa barulah dia berkata.
"Apakah kau tak mengetahui bahwa delapan anak buahmu itu adalah orang-orangku" Mereka sengaja menghamba padamu, untuk mengetahui jejak perbuatanmu. Ternyata kau masih dihinggapi penyakit senang dengan sesama jenismu.
Buktinya kau sering menyuruh anak buahmu selain merampok harta, tapi juga menculik gadisgadis. Dan setelah kau puas, maka kau membunuh korban-korbanmu! Perbuatan gila dan terkutuk itu harus dihentikan. Oleh sebab itu kinilah
saatnya kau menerima ganjaran atas perbuatanmu!" kata si Pendekar Tanpa Bayangan dengan
suara tegas. Nanjar yang sembunyi dibalik batu, jadi terkejut mendengar kata-kata pemuda yang menamakan diri si Pendekar Tanpa Bayangan itu. Kini
jelaslah sudah bahwa Rara Tantri adalah seorang
yang punya kelainan jiwa. Semakin tercekat hatinya untuk mengetahui lebih lanjut dengan munculnya pendekar muda yang aneh itu. Nanjar terkejut karena melihat pemuda itu benar-benar tak
mempunyai bayangan tubuh.
Sementara itu mendengar kata-kata si Pendekar Tanpa Bayangan yang membuka rahasia kedelapan anak buahnya membuat wajahnya berubah seketika. "Keparat! jadi selama ini aku selalu diawasi" Tapi.... aku telah
sembuh dari penyakit
edan itu. Dan aku telah menghilangkan dendam
dihatiku terhadap guru. Apakah yang harus kuperbuat sekarang?" berkata Rara Tantri dalam ha-ti.
"Bersiaplah Rara Tantri! Aku terpaksa harus
menjalankan perintah guru untuk melenyapkan
jiwamu, demi membersihkan nama baik guru!"
berkata si Pendekar Tanpa Bayangan.
Mendadak Rara Tantri membentak keras.
"Tunggu! Kalau itu adalah keputusan guru,
aku bersedia mati. Tapi aku ingin guru sendiri
yang turun tangan untuk membunuhku!" berkata
lantang gadis ini. Sorot matanya menatap dingin
pada pemuda dihadapannya.
"Aneh...!" Apakah bedanya mati ditanganku
atau di tangan gurumu" Toh, sama saja! Lagi pula
tugas itu telah diserahkan padaku!" Pendekar
Tanpa Bayangan kerenyitkan keningnya menatap
heran. "Karena beliaulah yang berhak menghukumku! Dan sebelum kematianku akan kukatakan
dengan sumpah bahwa aku telah sembuh dari penyakitku. Aku telah kembali menjadi manusia
yang normal seperti layaknya seorang wanita.
Bahkan sebenarnya aku telah berniat untuk kembali menjadi seorang Biksu...!" sahut Rara Tantri dengan suara datar menyatakan
kejujuran hatinya. Akan tetapi penjelasan wanita itu justru
membuat si Pendekar Tanpa Bayangan tertawa
tergelak-gelak.
"Haha...haha... kau hanya mencari dalih saja Rara Tantri. Siapa percaya omongan dustamu"
Buktinya kau masih melakukan perbuatan gilamu
memperkosa gadis tawanan yang kau sekap di dalam goa markas tempat persembunyianmu. Ternyata kau belum sempat membunuhnya seperti
yang biasa kau lakukan. Kau menyuruh kedelapan
anak buahmu untuk melenyapkan jiwanya, dan
membuang mayat ketiga gadis tawanan itu ke dalam jurang. Untunglah mereka tak melakukannya.
Nah, apakah kau mau menyangkal?" berkata pemuda itu. "Dusta! aku tak melakukan hal itu!" bentak Rara Tantri dengan mata membelalak.
"Haha... gadis tawananmu itu bisa menjadi
saksi atas perbuatan yang kau lakukan!'
"Aku akan membunuhmu kalau kau telah
mengganggunya!" teriak Rara Tantri.
Dan detik itu juga tubuhnya telah berkelebat menuruni bukit. Sementara si Pendekar Tanpa
Bayangan masih berdiri di tempatnya dengan tertawa tergelak-gelak. Tiba-tiba dia hentikan tertawanya, ketika melihat sosok bayangan berkelebat
membuntuti Rara Tantri.
Pemuda ini tersenyum sinis. "Heh! Dewa
Linglung! aku telah mengetahui kedatanganmu.
Saatnya sudah dekat untuk kita bertarung! Selama kau masih bercokol dijagat ini, tak akan tenteram rasa hatiku. Karena kaulah yang telah menyebabkan luka parah kedua guruku hingga sampai menemui ajal!" mendesis si Pendekar Tanpa Bayangan. Kemudian berkelebat
menyusul si Dewa
Linglung. Siapa adanya si Pendekar Tanpa Bayangan
itu sudah dapat diterka. Dia sebenarnya murid si
Sepasang Iblis Sembilan Racun. Seperti pernah diceritakan di bagian depan, tiga tahun yang lalu
kedua guru pemuda ini telah bertarung dengan
Rara Tantri yang dibantu oleh Nanjar. Kemunculan
si Dewa Linglung telah membuat keadaan pertarungan menjadi berbalik. Karena saat itu sepasang
manusia tokoh kaum hitam itu terdesak.
Beberapa pukulan Nanjar berhasil membuat
dua manusia itu terluka dan melarikan diri. Namun agaknya dua manusia itu menemui ajal juga
setelah bertahan beberapa bulan disarang mereka.
Hal itu menimbulkan dendam pada pemuda muridnya terhadap si Dewa Linglung. Entah bagaimana asalnya sampai pemuda itu ber-hasil menjadi murid Biksu Rondo Jati, guru Rara Tantri yang
bersemayam di sebuah pasanggrahan di puncak
gunung Joho....
SEPULUH Sementara itu Tumenggung Gagak Pamungkas ternyata telah melacak jejak para penyamun seorang diri. Dia telah menemukan jalan
setapak yang menuju kearah tempat rahasia pembegal-pembegal itu. Laki-laki ini melompat turun
dari punggung kuda. Tampaknya dia tak memerlukan kuda tunggangan lagi.
Jejak-jejak tapak kuda yang diikutinya
tampak lenyap di sekitar semak belukar. Dengan
berendap-endap dia terus melangkah mencari jejak
lain yang bisa ditemukan.
Mendadak dia terperangah ketika melihat
sebuah celah terbuka diantara semak belukar dihadapannya. Cepat dia menghampiri.
Lagi-lagi dia tersentak karena melihat diantara celah itu ada genangan darah.
"He" darah siapakah?" sentak Tumenggung
ini. Alangkah terkejutnya dia ketika melihat dua
sosok tubuh manusia mengeletak tak bernyawa
dengan batok kepala rengkah. Tahulah dia kalau
tempat adalah pintu rahasia. Dugaannya semakin
kuat di tempat inilah markas para pembegal itu.
Kembali dia menemukan celah yang ternyata adalah pintu masuk dalam sebuah rongga di
tengah bukit. Setiba di dalam untuk kesekian kalinya dia terperanjat, karena melihat delapan ekor kuda dan delapan sosok tubuh
manusia berkapa-ran dalam keadaan tak bernyawa. Bau amis darah
mengembara di sekitar ruangan itu.


Dewa Linglung 19 Pendekar Tanpa Bayangan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dilihatnya ada empat buah pintu goa di depan taman. Cepat dia melompat masuk kesalah
satu mulut goa. Yang dimasuki adalah tempat
ruang tahanan. Baru saja dia mau memeriksa lebih lanjut, tiba-tiba telinganya mendengar suara
gerakan di luar goa. Cepat dia menyelinap ke sudut tembok terhalang sebuah tirai yang menggantung di ruangan itu.
Ternyata yang memasuki ruangan itu adalah Rara Tantri. Tumenggung Jalak Pamungkas
menahan napas. Saat didengarnya ada seseorang
yang berkelebat masuk menyusul, diiringi teriakan
tak begitu keras.
"Tantri! tunggu aku!"
"He" Kau... Nanjar" Mau apa kau kemari?"
tanya gadis ini menahan langkah dengan tersentak
kaget. "Aku sudah mendengar apa yang dikatakan si Pendekar Tanpa Bayangan itu,
Tantri! Tak usah
khawatir, aku akan membantumu! Oleh sebab itu
aku menyusul kau ke tempat ini..." kata Nanjar.
Rara Tantri terhenyak sejenak, dan terpaku
menatap Nanjar. Wajahnya seketika berubah merah, karena pemuda itu telah mengetahui keadaan
dirinya. Rara Tantri menghela napas. Wajahnya
mengelam, tapi membersitkan harapan walau harapan itu cuma secuil. Namun hatinya agak tenteram dengan munculnya si Dewa Linglung.
"Kau berada dipihakku?" tanya Rara Tantri memastikan. Nanjar mengangguk.
"Bukankah kau
telah menginsyafi kesalahanmu" Dan kau telah
sembuh dari penyakit jahat yang mengeram dalam
jiwamu. Aku tak yakin kalau kau masih melakukan perbuatan terkutuk itu!" kata Nanjar dengan suara tegas.
Wanita ini menatap Nanjar seperti tak percaya pada pendengarannya. "Terima kasih, Nanjar..! kau... kau terlalu baik padaku..." berdesis Rara Tantri dengan senyum
haru menatap si Dewa
Linglung. "Mari kita periksa ketiga gadis itu?" kata Nanjar. Rara Tantri mengangguk,
seraya berkelebat lebih dulu kearah ruang tahanan berjeruji besi dalam ruangan
itu. Membelalak mata wanita ini
ketika melihat sosok tubuh gadis tawanan itu telah tewas dengan kepala rengkah,
dalam keadaan te-lanjang bulat.
Ketika memeriksa dua orang wanita yang
dipenjarakan di tempat terpisah, dijumpai dua gadis pelayan itupun telah tewas dengan keadaan
mengerikan. "Keparat! dia telah membunuh tiga gadis
tawanan ini!" sentak Rara Tantri dengan wajah pucat. Keduanya saling pandang
sesaat. "Apa maksud si Pendekar Tanpa Bayangan itu sebenarnya"
Dan apa maksudnya dia membantai seluruh
penghuni markas rahasia ini, termasuk orangorangnya sendiri?" desis Nanjar.
"Entahlah! mari kita..." belum lagi Rara Tantri melanjutkan kata-katanya
mendadak Nanjar
berkelebat dari tempat berdirinya.
"Orang yang sembunyi dibalik tirai, mengapa kau tak keluar unjukkan diri?" bentak Nanjar, seraya lengannya siap melakukan
hantaman bila dia diserang. Tirai itu bergerak menyingkap, dan
tersembullah sesosok tubuh tinggi besar.
"Tumenggung Jalak Pamungkas!" sentak
Nanjar terkejut.
"Benar, sahabat Dewa Linglung. Sungguh
tak dinyana kalau kita bisa berjumpa lagi...." sahut alat kerajaan ini. Adapun
Rara Tantri yang melihat kemunculan laki-laki tua ini jadi terkesiap, karena dia
mengetahui siapa Tumenggung itu.
"Rara Tantri! sungguh tak kuduga kaulah
ketua para pembegal terkutuk itu! Walaupun kau
telah menginsyafi perbuatanmu, tapi kau harus
menerima hukuman untuk dijebloskan dalam penjara! Dan kuharap kau sahabat Dewa Linglung tak
mencampuri urusan kami, karena Rara Tantri masih keponakanku sendiri!"
Tentu saja Nanjar jadi terkejut mendengar
penjelasan Tumenggung Jalak Pamungkas yang
sudah dikenal sebelum laki-laki tua itu ditugaskan di wilayah ini.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara
tertawa tergelak-gelak di luar ruangan goa.
"Haha...haha.... hari kematianmu telah tiba
Elang Darah! Segera keluarlah untuk menembus
segala dosa yang kau perbuat!"
"Pendekar Tanpa Bayangan!" sentak Nanjar, seraya melompat keluar goa diikuti
Rara Tantri. Kemudian disusul dengan berkelebatnya tubuh
Tumenggung Jalak Pamungkas.
"Tantri! tahan langkahmu! biarkan urusan
si Pendekar Tanpa Bayangan ditangani oleh si Dewa Linglung!" bentak Tumenggung Jalak Pamungkas seraya mencegat langkah wanita ini.
"Paman! aku tak akan lari dari tanganmu!
tapi beritahukan dimana adanya guruku! Dan ada
satu hal yang perlu kutanyakan padamu!" berkata Rara Tantri dengan suara dingin
menatap tajam laki-laki alat Kerajaan itu.
"Sampai saat ini aku tak mengetahui dimana adanya gurumu, Rondo Jati. Menurut seorang
prajurit utusan yang pernah kukirim untuk membawa suratku kepada gurumu, telah melaporkan
bahwa tempat itu telah kosong!" sahut Tumenggung ini. Wanita itu terpaku menatap sang Tumenggung, kemudian menundukkan wajahnya.
Sebutir air bening menetes turun dari kelopak matanya. "Aku merasa berdosa terhadap beliau, paman. Karena aku telah mencemarkan
nama baik- nya sebagai seorang Biksu..." berkata Rara Tantri dengan isak tersendat.
Sementara itu Nanjar telah berdiri di depan
si Pendekar Tanpa Bayangan. Melihat kemunculan
Nanjar, pemuda ini menatap tajam seraya membuang ludah. Seulas senyum dingin tersungging
dibibirnya. "Dewa Linglung! apakah kau telah menerima surat tantanganku?" berkata dingin pemuda
ini. "Oh, tentu saja! bahkan masih kusimpan
dengan baik!" ujar Nanjar seraya mengeluarkan kertas surat dari saku bajunya.
Kemudian melemparkan ke depan pemuda itu. Kertas itu berubah
menjadi sekeras lempengan baja. Meluncur dan
menancap di tanah hingga amblas melesak hampir
separuhnya di ujung kaki pemuda itu.
Diam-diam hati si Pendekar Tanpa Bayangan terkejut, melihat lawan yang ditantangnya di
lembah Elang itu menunjukkan tenaga dalam,
dengan merubah kertas menjadi sekeras lempengan baja. Akan tetapi diwajahnya pemuda itu tak
menunjukkan rasa terkejut itu. "Belum saatnya kau jual lagak dihadapanku, Dewa
Linglung. Tunggulah dua hari lagi dilembah Elang! Kita akan
bertarung mengadu kepandaian! Hari ini aku akan
menyelesaikan urusanku lebih dulu!" kata pemuda ini dengan suara sinis.
"Kukira urusanmu sudah beres! Tumenggung Jalak Pamungkas sahabatku itu adalah paman gadis itu sendiri. Kukira dia lebih berhak
memberi hukuman dari pada kau! Disamping itu
aku belum tahu pasti apakah kau benar-benar
murid dari guru Rara Tantri?" berkata Nanjar dengan sikap tenang.
Pemuda ini melirik kearah Rara Tantri yang
masih berdiri di depan Tumenggung tua itu. Dalam
hati pemuda ini diam-diam mengutuk munculnya
Tumenggung Jalak Pamungkas. "Keparat! mengapa dia muncul di tempat ini?" maki pemuda ini dalam hati.
Sementara itu Rara Tantri masih terlibat
pembicaraan dengan Tumenggung Jalak Pamungkas. "Nah katakan apa yang perlu kau tanyakan!?" sang Tumenggung, seraya menatap tajam
Rara Tantri. Sejenak gadis ini tercenung. Kemudian menelan ludah.
"Paman Tumenggung! dalam peraturan,
seorang Biksu tak diperbolehkan berhubungan
dengan seorang laki-laki, ataupun sesama jenisnya
seperti seorang suami istri. Tapi... paman telah
berhubungan dengan guru... Dan guru ternyata
mengangkat seorang murid laki-laki. Yaitu dialah
si Pendekar Tanpa Bayangan. Murid laki-laki itu
telah mendapat perintah dari guru untuk menghukumku, dengan hukuman yang tak dapat diampuni yaitu kematian bagi diriku! Dimanakah letak
kebenarannya?" tanya Rara Tantri.
Pertanyaan itu membuat Tumenggung Jalak
Pamungkas terlongong. Mendadak dia membentak
dengan suara keras.
"Bocah tolol! Kau telah salah duga. Masakan aku seorang yang tidak waras berbuat gila
terhadap adik kandungku sendiri?"
"Hah!" jadi... jadi guruku adalah adik kandung paman Tumenggung?" sentak Rara Tantri.
Laki-laki tua itu mengangguk. "Benar! aku sengaja merahasiakan hal itu, agar kau
tak merasa dididik
oleh bibimu sendiri. Mengenai pendapatmu tentang adanya peraturan tidak boleh mengangkat
seorang murid laki-laki adalah benar. Kukira bibimu tak segila itu untuk melanggar peraturan dengan mengangkat seorang murid laki-laki!" ujar Tumenggung Jalak Pamungkas.
Ternyata apa yang dibicarakan keduanya telah terdengar oleh si Pendekar Tanpa Bayangan.
Mendadak dia tertawa tergelak-gelak, seraya berkata. "Biksu Rondo Jati memang tak pernah
mengangkat aku sebagai murid. Perempuan tua
itu telah kukirim nyawanya ke Akhirat! Selama tiga tahun aku mempelajari kitab miliknya, kukira
sudah sepantasnya aku mengakui dia sebagai guruku. Haha.. haha..."
"Manusia keparat!" tahu-tahu tubuh tinggi besar Tumenggung Jalak Pamungkas telah
berkelebat melompat ke hadapan pemuda itu. Mendadak mata laki-laki tua ini membelalak menatap
pemuda itu. "Hah" bukankah kau RENGGANA, anak tukang kuda Kadipaten?" sentak Tumenggung Jalak Pamungkas.
"Haha... benar! Aku tak sudi melakukan pekerjaan rendah membantu ayahku yang selama
hidupnya hanya merawat kuda! Aku melarikan diri
dari Kadipaten tanpa setahu ayahku. Ternyata kepergianku tak sia-sia karena seseorang mau mengangkat aku menjadi muridnya. Tapi aku tak puas
dengan hanya memiliki ilmu yang kepalang tanggung. Kemudian aku berganti-ganti guru. Terakhir
aku mengunjungi pesanggrahan Budi Luhur di
puncak gunung Joho. Ternyata dapat kuketahui
tempat itu adalah sebuah tempat dimana banyak
para biksu berkumpul.
Ketua biksu itu kuketahui bernama Rondo
Jati. Aku berhasil menyamar sebagai perempuan,
dan diterima menjadi biksu. Saat aku muncul,
Biksu Rondo Jati baru saja mengusir Rara Tantri
dari pesanggrahan. Dari mulut para gadis-gadis
Biksu aku mengetahui kalau Rara Tantri mempunyai kelainan jiwa. Tak sampai sepekan aku dipesanggrahan itu, samaranku ketahuan oleh biksu
Rondo Jati. Kepalang basah. Aku terpaksa membunuh
perempuan tua itu. Dan... hahaha... kesempatan
itu tak ku sia-siakan untuk mencicipi hangatnya
tubuh gadis-gadis biksu yang cantik-cantik! Kemudian aku berhasil menemukan kitab pusaka ilmu silat serta ilmu kekuatan batin yang tinggi dikamar biksu Rondo Jati. Kemudian aku meninggalkan pesanggrahan itu. Selama tiga tahun aku
mempelajari kitab itu dengan sendirinya aku telah
mewarisi ilmu aneh biksu Rondo Jati, yang dapat
menghilangkan jejak bayangan tubuhnya. Kemudian aku munculkan diri di dunia Rimba Hijau
dengan bergelar si Pendekar Tanpa Bayangan!
Nah! jelas bukan?" berkata pemuda itu dengan
bercerita panjang lebar.
"Bedebah keparat! Lalu apa maksudmu
menginginkan jiwa Rara Tantri?" bentak Tumenggung Jalak Pamungkas menahan
golakan darah- nya yang hampir mendidih.
"Hahaha... dari seorang guruku yang berada
dialiran Hitam, mayat seorang gadis yang mempunyai kelainan jiwa dapat dipergunakan untuk
mendapatkan ilmu memindahkan nyawa! Itulah
sebabnya aku menginginkan jiwa Rara Tantri, karena aku butuh mayatnya!"
Hampir meledak rasanya dada Tumenggung
Jalak Pamungkas mendengar keterangan pemuda
bernama RENGGANA itu. Detik itu juga dia telah
hantamkan kepalannya kearah dada Renggana.
Syiuran angin keras menghantar kepalan besar laki-laki tua itu ketika meluncur kearah dada si
Pendekar Tanpa Bayangan.
Akan tetapi dengan mengangkat sebelah
lengannya, Renggana memapaki serangan itu.
DHESSS! Terdengar pekik kesakitan Tumenggung Jalak Pamungkas. Tubuhnya terlempar ke belakang,
dan.. BYURRR! Tubuh tinggi besar itu ter-jerumus
masuk ke dalam kolam.
SEBELAS

Dewa Linglung 19 Pendekar Tanpa Bayangan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rara Tantri terperangah melihat kehebatan
ilmu pukulan tenaga dalam si Pendekar Tanpa
Bayangan. Sejenak dia berdiri terpaku memandang
kearah Tumenggung Jalak Pamungkas yang dengan baju basah kuyup keluar dari dalam kolam.
Tampak wajah laki-laki tua ini menyeringai.
Sebelah lengannya tergantung. Tampaknya dia
mengalami cidera, karena tulang lengannya patah.
Namun hal ini tidak membuat dia mundur. Tangan
kirinya bergerak mencabut senjata tombak pendek
yang terselip di punggungnya.
Saat itulah Rara Tantri tanpa menunggu
sampai Tumenggung Jalak Pamungkas maju menempur pemuda itu, dia telah melompat terlebih
dulu ke hadapan si Pendekar Tanpa Bayangan.
"Tantri! mundur!" teriak Tumenggung ini
melihat gadis keponakannya itu maju menempur
si Pendekar Tanpa Bayangan.
Pada detik itulah, Nanjar cepat berkelebat
seraya gerakkan lengannya mendorong tubuh gadis itu. "Tahan Tantri! biar aku yang menghadapi
manusia edan ini!" Gerakan mendorong yang dilakukan Nanjar adalah mengarahkan
telapak tangannya kearah tubuh wanita itu. Rara Tantri
rasakan gerakan lompatannya tertahan. Tubuhnya
kembali melayang turun dan jejakkan kakinya ke
tanah. Dengan gunakan gerakan melayang di udara, Nanjar gunakan ujung kakinya menghantam
kearah kepala si Pendekar Tanpa Bayangan, seraya diiringi bentakan.
"Renggana! mari kita adu kepandaian!"
Sambaran deras itu membersit angin keras
yang menyambar. Pemuda ini tak berani sembarangan memapaki serangan itu. Dengan gesit dia
menghindar. Gerakan mendoyongkan tubuh sampai melengkung sedemikian rupa ternyata dengan
mudah dapat meluputkan serangan si Dewa Linglung Ternyata dia gunakan ilmu Yoga seperti ilmu yang dimiliki Biksu Rondo Jati. Tumenggung
Jalak Pamungkas dapat mengetahui jurus-jurus
Yoga ciptaan adik perempuannya yang menjadi
Biksu itu. Diam-diam dia agak khawatir dengan si
Dewa Linglung. Mampukah pemuda pendekar itu
mengalahkan Renggana"
"Bagus! Agaknya kau memilih kematianmu
di tempat ini, Dewa Linglung. Atas nama kedua
guruku yang sudah berada di alam Baka, aku mewakilkan untuk mencabut nyawamu! Bersiap-lah
untuk menemui kematian!" berkata si Pendekar
Tanpa Bayangan.
"Heh" siapakah kedua gurumu?" tanya si
Dewa Linglung. "Hm, apakah kau melupakan nama si Sepasang Iblis Sembilan Racun" Kedua guruku itu telah terkena pukulanmu yang mengakibatkan kematiannya. Nah! aku mencarimu adalah untuk
membalas dendam kematian guruku itu!" berkata dingin si Pendekar Tanpa Bayangan.
Bukan saja Nanjar yang terkejut, akan tetapi Rara Tantri tampak terkesiap mendengar nama
Iblis Sembilan Racun. Diam-diam dia mempersiapkan diri untuk membantu Nanjar bila dalam
pertarungan itu si Dewa Linglung terdesak.
Ternyata Nanjar bahkan tertawa tergelak
mendengar nama kedua manusia iblis yang banyak menimbulkan keonaran itu.
"Haha.. hah., ternyata kau murid dua cecurut busuk itu" Pantas! bau tubuhmu tak lebih busuk dari dua gurumu! Sukurlah kalau dua gurumu itu sudah mampus. Memang aku telah menyumpahi agar cepat-cepat mampus! Manusia macam gurumu cuma membuat kotor dunia saja.
Termasuk kau!" kata Nanjar dengan tertawa berderai.
"Monyet kau! Macam apakah tingginya ilmu
yang kau miliki" Heh! Kau akan menyesal telah
menganggap aku remeh!" bentak Renggana.
Bentakan Renggana telah disusul dengan
serangan-serangan dahsyat. Pukulan-pukulannya
menerbitkan angin panas dan dahsyat yang menderu-deru. Akan tetapi detik itu juga Nanjar telah benar-benar menjadi seperti
seekor kera atau mo-nyet.
"Haha.. hehe.. NGUK! NGUK! NGUK! Hayo
serang terus. Habiskan jurus-jurus pukulanmu!"
teriak Nanjar dengan tertawa-tawa. Ternyata serangan-serangan dahsyat itu dengan mudah dapat
dihindarkan si Dewa Linglung.
Tentu saja cemooh yang dilakukan Nanjar
membuat si Pendekar Tanpa Bayangan jadi mendongkol, disamping heran, karena pemuda lawannya benar-benar menggunakan cara menghindar
dengan cara melompat-lompat seperti seekor kera.
Dengan membentak keras Renggana merobah gerakan serangannya. Kini tampak gerakan
tubuhnya berubah, tidak lagi menggunakan cara
menggempur dengan pukulan ganas. Tapi gunakan gerak tarian aneh. Tarian ini dilakukan dengan membaca mantera-mantera.
Nanjar sejenak terperangah melihat gerakan
seorang laki-laki yang mirip tarian seorang wanita di atas panggung ketoprak,
atau wayang orang.
Diam-diam dia mempersiapkan pedang mustika
Naga Merah untuk dicabut setiap waktu.
Pada saat itu tarian Renggana tiba-tiba berubah makin lama makin cepat. Kini terlihatlah
kehebatan ilmu hitam pemuda itu. Tampak tangan
Renggana seperti berubah menjadi berpuluh-puluh
banyaknya. Bukan saja Nanjar yang terperangah
melihat keanehan itu, tapi juga Tumenggung Jalak
Pamungkas dan Rara Tantri membelalakkan mata
melihat keanehan tarian si Pendekar Tanpa
Bayangan. Ratusan benda aneh yang mengeluarkan sinar warna-warni mendadak bertebaran meluruk kearah Nanjar.
Tak ada jalan bagi si Dewa Linglung selain
mencabut senjata pedang mustika Naga Merah.
Dengan gerakan cepat dia memutar pedangnya.
Seketika buyarlah benda-benda aneh itu. Namun
pandangan mata Nanjar menjadi gelap. Dan pada
saat itulah puluhan tangan si Pendekar Tanpa
Bayangan bergerak meluncur ke arah Nanjar. Nanjar masih bisa berbuat sesuatu untuk menyelamatkan diri. Pedangnya kembali digunakan untuk
melindungi diri.
Whut! Whut! Whut!
Sinar merah membersit menyambar membuat puluhan tangan \itu kembali menyurut lenyap. Akan tetapi benda-benda bercahaya berwarna-warni itu kembali menyerang Nanjar.
"Nanjar! Awaas!" teriakan Rara Tantri membelah udara. Tubuh wanita ini
berkelebat untuk
menyelamatkan Nanjar. Akan tetapi justru pada
detik itulah puluhan lengan Renggana telah meluruk kearah gadis itu.
Rara Tantri tiba-tiba menjerit keras, Tubuhnya mengepulkan asap biru berbau sangit. Sedetik kemudian dia roboh terjungkal. Akan tetapi
jeritan itu segera dibarengi dengan teriakan parau membelah udara. Tampak
Renggana terhuyung-huyung.
Sepasang matanya membeliak dengan wajah berubah mengerikan. Seraut wajah yang keriput dengan tulang pipi menonjol. Dari mulutnya
menggelogok darah kental.
Ternyata darah itu bukan saja dari mulut
tapi juga dari perutnya. Tampak pedang mustika
Naga Merah telah menembus perut pemuda itu.
Renggana mengerang bagai seekor harimau terluka. Lengannya yang berpuluh-puluh banyaknya
itu telah lenyap. Kini sepasang lengan yang tak
ubahnya mirip lengan jerangkong terangkat ke
atas. Sepasang lengan yang mengerikan itu tibatiba bergerak meluncur mencengkeram batok kepala Nanjar. Namun detik itu Nanjar telah menyentakkan pedang mustikanya.
Terdengarlah raungan bagai jeritan iblis.
Renggana yang wajahnya sudah tak berbentuk
seorang pemuda tampan itu, terkulai... dan roboh
ke tanah. Mendadak tubuhnya lenyap berubah
menjadi segumpal asap biru. Ketika asap itu perlahan-lahan menipis terlihatlah sesosok tubuh
menggeletak tak bergeming.
Terkejutnya Nanjar bukan alang-kepalang,
karena melihat yang tergeletak tak bergeming itu
adalah seorang wanita tua. Adapun Tumenggung
Jalak Pamungkas bagai tak percaya melihat keanehan itu. Karena dia segera mengenali siapa
adanya wanita tua itu.
"RONDO JATI...?"?"
Tergetar menggigil tubuh laki-laki tua itu
melihat wanita itu tak lain dari adik kandungnya
sendiri, yaitu biksu Rondo Jati yang lenyap dari
pesanggrahan Budi Luhur, di puncak gunung Joho. Laki-laki tua ini merasa lututnya menjadi
lemas. Matanya menatap sebentar kearah Rara
Tantri yang terkapar dengan tubuh hangus. Kemudian beralih lagi kearah sosok tubuh biksu
Rondo Jati. Saat itu Nanjar telah berkelebat kearah gadis yang malang itu. "Tantri...!" teriak Nanjar dengan suara tersekat di
kerongkongan. Nanjar tampak terpaku menatap gadis itu yang telah melayang jiwanya. Bajunya tinggal serpihan-serpihan
saja yang hangus terbakar. Kulit dara yang putih
mulus itu kini telah berubah menghitam hangus.
Sementara itu hati Tumenggung tampak
tercekat, melihat wanita tua yang sudah bersimbah darah itu, dan tak bergeming itu mendadak
perlahan-lahan membuka matanya. Ternyata wanita tua ini masih hidup.
"Rondo Jati... kau... kau..?" Apa artinya
semua ini...?" berkata Tumenggung Jalak Pamungkas. Dia berharap sang adik dapat menjelaskannya sebelum menghembuskan napas yang
terakhir. "Kakang Tu.. menggung... maafkan aku
yang selama ini menyembunyikan keadaanku sebenarnya. Aku adalah bukan seorang biksu. Kulakukan hal itu karena aku mempunyai kelainan jiwa, seperti yang diderita Rara Tantri. Di puncak
gunung Joho aku telah mempelajari ilmu-ilmu sesat, hingga aku dapat menghilangkan bayangbayang tubuhku. Tantri bukan kuusir dari pesanggrahan, tapi... dia melarikan diri. Selama ini akulah yang telah menggunakan
tubuhnya untuk memenuhi hasratku yang gila! Aku memiliki Ilmu
Pindah Raga. Ilmu itu sangat jahat...! Aku telah
mengorbankan Rara Tantri sebagai pelampiasan
hasratku... Aku terpaksa membunuhnya, karena...
karena aku tak ingin dia mem... buka rahasiaku..."
Sampai disini napas Rondo Jati tersengalsengal. Tapi dia masih mampu meneruskan katakatanya. "Masih ada yang.. belum kuceritakan padamu, kakang Tu...menggung... Yaitu, Renggana.
Dia masih hidup. Aku hanya menggunakan tubuh
samarannya saja...! Renggana dibawa pergi oleh
guruku... yang telah mempelajarkan aku ilmu-ilmu
sesat. Aku menyesal tak mem., bunuh pemuda itu.
Dan... Tantri sebenarnya adalah... anakmu. Aku
yang telah membunuh istrimu, mbak Suntini..."
Selesai berkata demikian kepala Rondo Jati
terkulai. Nyawanya pun lepas meninggalkan tubuhnya. Bagaikan dunia serasa kiamat, Tumenggung Jalak Pamungkas terperangah mendengar
penuturan Rondo Jati. Detik itu juga dia menghambur kearah sosok tubuh Rara Tantri dengan
berteriak histeris.
"Tantriiil...! A.. nak.. ku..."
Dan merataplah Tumenggung tua itu dihadapkan mayat gadis itu dengan air mata bercucuran. Nanjar hanya tundukkan wajahnya dengan setetes air bening menyembul dipelupuk mata.
Ketika lambat-lambat laki-laki tua itu memondong jenazah gadis itu, kemudian membawanya pergi dengan melangkah kaku, Nanjar
hanya menatap dengan mata mendelong basah.
Nanjar menarik napas panjang. Hatinya begitu terenyuh. Ditatapnya sosok tubuh sang Tumenggung hingga lenyap dari pandangan matanya.
Kini semuanya menjadi sepi. Dinding-dinding batu
bukit itu cuma membisu. Setelah menutup pintu
goa, si Dewa Linglung berkelebat meninggalkan
tempat itu.... TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel

Dewa Linglung 19 Pendekar Tanpa Bayangan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hati Budha Tangan Berbisa 14 Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall Pedang Kiri 18

Cari Blog Ini