Dewi Sri Tanjung Persekutuan Dua Iblis Bagian 1
Pengantar alam cerita "Kobaran Api Asmara" telah diceritakan tentang terjadinya persaingan
cinta segitiga, yang D berakibat Kebo Pradah dan Tanu Pada mati oleh
perbuatan Kaligis dan Sangkan. Maksudnya apabila Tanu Pada dan Kebo Pradah sudah
dapat disingkirkan, Kaligis dan Sangkan akan bisa mendapatkan cinta kasih dari
Sarindah dan Sarwiyah.
Akan tetapi perhitungan Sangkan dan Kaligis keliru.
Sarindah dan Sarwiyah tidak juga mau memalingkan muka kepada dua orang pemuda
tersebut dan malah kemudian mencurigai.
Di saat seperti itu, tiba-tiba tokoh sakti bernama Julung Pujud muncul. Kemudian
secara terang-terangan, Julung Pujud melamar Sarwiyah untuk diperisteri oleh
muridnya, bernama Warigagung
Akibat dari peristiwa ini, Sarindah menjadi marah dan benci setengah mati kepada
semua orang. Secara diam-diam gadis ini kemudian pergi meninggalkan rumah.
Maksudnya jelas, akan mencari Tanu Pada yang dicintai itu, karena waktu tiga
bulan bertugas sudah selesai, belum juga pulang. Tetapi sudah tentu keinginan
Sarindah ini tidak bedanya dengan menggantang asap karena Tanu Pada sudah mati
terbunuh oleh Kaligis dan Sangkan.
Nah, dalam cerita "Persekutuan Dua Iblis" ini, Sarindah mengalami berbagai
peristiwa yang tidak pernah diharap-kan sejak meninggalkan rumah.
*** 1 ari sudah sore. Di ruang depan, tokoh sakti berjuluk Si Tangan Iblis mengeluelukan tamunya dengan
H wajah berseri dan mulut selalu tertawa. Betapa
tidak!?" Ikatan pertunangan antara Warigagung dengan cucunya, Sarwiyah, berarti
antara dirinya dengan tokoh sakti Julung Pujud terikat sebagai keluarga.
Padahal sudah sejak lama ia mendidik semua murid dan tiga orang cucunya,
Sarindah, Sarwiyah maupun Sentiko (yang pergi diam-diam untuk memusuhi Gajah
Mada dan Mpu Nala, dan belum diketemukan kembali ) adalah agar dapat membalas
dendam kepada dua orang tokoh
Majapahit, Gajah Mada dan Mpu Nala. Dan karena dalam menanamkan kebencian itu
disertai dengan fitnah yang dapat membangkitkan marah, menyebabkan dendam tiga
orang cucu ini setinggi gunung. Maka dengan tambahnya tenaga, Julung Pujud dan
muridnya ini, Si Tangan Iblis merasa pasti akan dapat membalas dendam.
Sebaliknya, Julung Pujud yang sejak muda juga mem-benci kepada Gajah Mada dan
Majapahit, juga menjadi gembira sekali sebab ia merasa amat beruntung, dapat
menemukan gadis cantik cucu Si Tangan Iblis yang bernama Sarwiyah ini tidak ada
celanya menjadi isteri muridnya. Betapa tidak"!" Selain cantik juga halus,
jujur, lemah lembut dan tentu akan setia sebagai isteri.
Julung Pujud memandang muridnya yang diperintahkan duduk berdampingan dengan
Sarwiyah, penuh perhatian.
Namun demikian kakek kerdil ini diam-diam geli, kemudian ia terkekeh tertawa,
melihat sikap dua orang muda itu.
Ternyata baik Sarwiyah maupun Warigagung walaupun duduk berdampingan, mereka
menundukkan kepala dan duduk berdiam diri bagai arca.
"Heh... heh... heh... heh, Gagung," katanya. "Mengapa
sebabnya kau seperti patung dan membiarkan calon
isterimu juga seperti arca batu" Heh... heh... heh... heh, engkau jangan menyebabkan
calon isterimu menjadi malu.
Hayo Gagung, ajaklah dia bicara!"
Si Tangan Iblis geli juga melihat dua orang muda itu duduk bagai patung.
Katanya, "Wiyah! Mengapa kau
begitu" Engkau harus amat bahagia, menjadi calon isteri Warigagung dan calon
menantu Kakang Julung Pujud, orang paling sakti di dunia saat ini. Ha... ha... ha...
ha, kedudukanmu akan terhormat dan semua orang takkan berani sembarangan dan
mengganggu. Dayu Wiyah,
engkau harus pandai menempatkan dirimu sebagai pihak tuan rumah. Ajaklah
berbicara agar hubunganmu menjadi lebih erat. Calon suami-istri, kamu tidak
boleh malu-malu!
Akan tetapi Sarwiyah tidak juga menyahut. Ia malah semakin tunduk sambil
mempermainkan jari tangannya, yang runcing dan halus itu. Hatinya sekarang ini
tidak karuan. Mengapa yang terjadi harus seperti ini" Harus menjadi calon isteri
seorang pemuda yang belum pernah ia kenal dan di luar harapannya pula" Mengapa
bukan kakak perempuannya yang bernama Sarindah yang lebih dahulu mempunyai calon
suami" Bukankah seharusnya Sarindah yang lebih tua kawin lebih dulu"
Padahal sudah sejak lama, dirinya sudah mengikat janji dengan pemuda yang
menarik hatinya, Kebo Pradah, yang murid kakeknya sendiri.
Lalu bagaimanakah dengan pemuda itu, apakah Kebo
Pradah tidak menjadi patah hati, dirinya dipertunangkan dengan pemuda lain" Ahh,
ia menjadi sedih apabila ingat kepada kebo Pradah yang dicintai itu.
"Kakang Pradah, mengapa harus begini?" rintihnya
dalam hati. "Telah lama kila saling berjanji untuk menjadi suami-isteri. Namun
nyatanya Kakekku sekarang malah mempertunangkan diriku dengan orang lain.
Kakang, aku mati saja!"
Akan tetapi bagaimanapun ia tidak berani mengemukakan perasaannya itu dan juga
tidak berani membantah.
Walaupun dalam hati menentang dan tidak setuju, tetapi ia seorang cucu yang
selalu patuh dan setia kepada kakeknya. Maka kemudian terpikir, apabila yang
terjadi sekarang ini sesuai dengan cita-cita luhur dari kakeknya, dan demi
kepentingan keluarga, walaupun hatinya menangis namun ia bersedia mengorbankan
kepentingan sendiri.
Dan sekarang ini kakeknya menyudutkan dirinya. Manakah mungkin" Dirinya seorang
gadis, tetapi kakeknya memerintahkan seperti itu. Apakah dirinya harus berinisiatif dan mendahului si pemuda" Tidak! Karena Warigagung tidak mengajak
bicara, maka iapun tidak mau membuka mulut.
Akan tetapi sebaliknya orang-orang sakti yang wataknya aneh dan mengakui sendiri
dirinya dari golongan sesat, maka Si Tangan Iblis dan Julung Pujud tidak mau
meng-acuhkan tatakrama dan norma kesopanan umum lagi.
Sebab menurut pendapat dua kakek ini, aturan-aturan yang dibuat manusia hanyalah
mengikat kehebasan hidup.
Oleh karena itu ketika melihat Warigagung dan Sarwiyah masih tetap duduk tanpa
berani saling pandang, dua orang kakek ini kemudian saling pandang dan saling
memberi isyarat dengan mata. Tahu-tahu dua orang kakek ini dengan gerakan amat
ringan sudah berada di samping muda-mudi itu. Si Tangan Iblis segera memondong
cucunya didudukkan di pangkuan Warigagung, dan sebaliknya Julung Pujud segera
melingkarkan lengan Warigagung ke leher Sarwiyah
Akibatnya Sarwiyah menjerit kecil tetapi tak mampu melawan. Demikian pula
Warigagung terbelalak kaget.
Iapun ingin memberontak tetapi tidak bisa. Sebab mereka sudah dilumpuhkan tanpa
bisa melawan lagi.
Julung Pujud dan Si Tangan Iblis terkekeh dan gembira sekali melihat Sarwiyah
duduk di pangkuan Warigagung.
Wajah dua orang muda ini saling berhadapan sekalipun duduk Sarwiyah miring.
Dan atas perlakuan dua orang kakek ini, Sarwiyah ingin menangis saking malu.
Akan tetapi Sarwiyah terpaksa menahan perasaan ini karena tahu akan akibatnya.
Kakeknya akan marah dan tentu menuduh dirinya menentang keputusan kakeknya.
Ia justru sudah memutuskan dalam hati untuk melupakan Kebo Pradah dan sekarang
mengorbankan dirinya demi kepentingan keluarga. Disamping itu iapun berperasaan
halus dan cerdik. Maka ia mengerti, saat sekarang ini dirinya harus pandai
memenangkan hati Julung Pujud. Ia tidak boleh main-main lagi menghadapi
Warigagung sebagai calon suaminya. Maka dalam keadaan tubuhnya belum bisa
digerakkan ini, ia menggunakan sepasang matanya untuk memandang Warigagung dan
kemudian bihirnya yang merah merekah itu tersenyum.
Adalah Warigagung yang menjadi gelagapan, bertatap pandang dengan wajah molek
dalam jarak amat dekat, ditambah melihat pula sepasang bibir merah merekah itu
tersenyum. Maka hati Warigagung menjadi tidak karuan rasanya, dan jantung pemuda
ini berdenyutan seperti mau copot. Maklum, kendati Warigagung merupakan pemuda
dari golongan hitam, liar dan ganas jika berhadapan dengan lawan, namun ia
seorang pemuda yang selalu menghormat dan menghargai setiap wanita. Maka selama
ini ia memandang wanita sebagai mahkluk yang terlalu mulia dan perlu dihormati.
Ia tidak pernah berdekatan dengan wanita, baik kepada nenek-nenek dan lebih lagi
terhadap wanita muda.
Demikian pula ia juga tidak pernah berdekatan dengan gadis-gadis cantik seperti
Sarwiyah ini. Akibat dari semua itu mulut Warigagung seperti terkunci. Perasaan
dalam dadanya tidak karuan dan jantungnya melonjak-lonjak.
Rasa tubuhnya meriang, namun ia terpikat perhatiannya kepada wajah Sarwiyah yang
ayu itu, di samping tanpa disadari menyelinap pula perasaan bahagia yang belum
pernah ia rasakan. Maka walaupun tubuhnya sekarang sudah pulih kembali dan dapat
digerakkan, sudah tidak lumpuh lagi, ia tidak berusaha menarik kembali tangannya
yang memeluk Sarwiyah.
Menurut perasaannya, sekarang ialah tidak ingin lagi melepaskan leher yang
lembut dan halus yang kuasa menebarkan kehangatan yang sulit dilukiskan,
disamping tercium pula bau yang harum dari rambut.
Sarwiyah juga seorang gadis yang belum pernah duduk di pangkuan seorang pemuda,
sekalipun ia pernah
menyatakan cinta kasihnya kepada Kebo Pradah, tetapi selama ini pergaulannya
terbatas. Paling banter mereka hanya bisa saling pandang dengan tatapan mesra
dan paling banter hanya saling bersentuh lengan. Semua itu tidak lain karena
Sarwiyah hati-hati menghadapi kakeknya.
Oleh karena itu dalam dada gadis itupun timbul
perasaan yang tidak karuan. Malu, berdebar, tetapi juga menyelinap rasa bahagia
yang sulit dilukiskan. Rasa bahagia yang didorong oleh tekadnya ingin
mengorbankan diri guna kepentingan keluarga. Guna kepentingan tercapainya citacita kakeknya membalas dendam kepada orang-orang yang menurut keterangan
kakeknya, sudah membunuh ayah-bundanya. Yang sudah menyebabkan
keluarganya berantakan, dan yang sudah menyebabkan dirinya tidak berayah dan
tidak beribu lagi.
Oleh dorongan keinginannya berkorban demi keluarga ini, ia melupakan jalan hidup
yang pernab dilalui. Tidak peduli bagaimanakah calon suaminya ini. Dan yang
jelas dirinya harus dapat menjadi seorang isteri setia. Itulah sebabnya gadis
ini memandang wajah Warigagung mesra sekali kemudian tersenyum manis. Malah
setelah ia merasa kelumpuhannya sudah pulih, ia lalu membalas memeluk Warigagung
dan seterusnya menyembunyikan wajahnya di dada pemuda itu.
Sarwiyah dapat menduga secara pasti, dengan perbuatannya ini akan dapat membuat kakeknya puas dan Julung Pujud tentu gembira.
Dugaannya temyata benar. Dua orang kakek ini terkekeh sambil berjingkrakan seperti anak kecil. Lalu mereka saling raugkul masih
sambil tertawa-tawa. Mereka
menyambut gembira akan sikap Sarwiyah yang menunjukkan cinta kasihnya kepada
Warigagung. Akan tetapi sebaliknya Warigagung menjadi gelagapan tidak karuan perasaannya.
Walaupun antara wajah
Sarwiyah dengan dadanya hanya terpisah oleh lapisan baju, namun dengus napas
Sarwiyah seperti mengusap kulit dadanya. Jantungnya berdebar tidak keruan dan
rasa tubuhnya meriang.
Bagaimanapun sebagai seorang gadis yang berperasaan halus, Sarwiyah menjadi malu
sendiri setelah melakukannya. Sebab apa yang sudah dilakukan tadi sebenarnya
bukan atas kehendak sendiri dan juga bukan desakan hati yang kasih, melainkan
hanya dalam usaha membuat
kakeknya senang. Maka sesudah dua orang kakek itu berjingkrakan gembira,
Sarwiyah segera melepaskan lengan Warigagung yang melingkar di leher, kemudian
duduk di tempat semula.
Mereka sekarang duduk berdampingan. Tetapi sekalipun demikian sudah menjadi
lain. Kalau tadi dua orang muda ini duduk sambil menundukkan muka, sekarang
tidak lagi, sedang letak duduknya juga berubah. Duduk mereka sekarang merapat
dan berkali-kali mereka saling pandang disertai bibir tersenyum.
Tak lama kemudian Warigagung memberanikan diri bertanya, tetapi suaranya
menggeletar, "Sarwiyah, apakah engkau mencintai aku?"
"Hemm," Sarwiyah menghela napas pendek. "Mengapa
sebabnya engkau masih perlu.... bertanya" Engkau sudah dijodohkan dengan aku dan
tidak bisa ditolak. Maka akupun... jadiriya aku dan kau harus menjadi suamiisteri." Warigagung menghela napas pendek. Kenyataan yang
dialami dan terjadi dalam lingkungannya, perjodohan antara gadis dengan jejaka
tidak bebas. Mereka harus tunduk kepada pilihan orang tua dan tidak boleh
membantah walaupun antara si gadis dan jejaka belum pernah kenal.
Akibat dari sernua itu maka banyak sekali terjadi antara suami dan isteri, baru
bisa rukun setelah lewat beberapa hari, minggu atau bulan. Disamping itu juga
tidak sedikit pula terjadi, perkawinan itu berakhir dengan perceraian, karena si
isteri tidak mau melayani suami dan tidak mencintai. Akibatnya walaupun sudah
disebut janda tetapi perempuan yang sudah kawin itu masih merupakan
seorang gadis suci.
Dan Warigagung juga tidak tahu apa sebutan perkawinan yang selalu terjadi dalam masyarakat. Tetapi yang jelas perkawinan itu
tidak dilambari oleh rasa cinta kasih lebih dahulu. Rasa cinta baru tumbuh
setelah mereka disebut sebagai suami-isteri.
Hal-hal yang terjadi di sekitamya itu sekarang terjadi pula atas dirinya. Antara
dirinya dengan Sarwiyah dijodohkan tanpa lambaran cinta kasih. Dan kenalpun baru
setengah hari, diawali dengan perkelahian.
Ia juga tidak tahu apakah mencintai Sarwiyah atau tidak.
Yang jelas ia hanya merasa bahagia, dapat duduk berdampingan dengan Sarwiyah
yang cantik ini.
Tetapi tiba-tiba Warigagung ingat akan sikap Sarwiyah ketika secara terangterangan rnembela dirinya di depan Sarindah. Teringat sikap itu, kemudian ia
bertanya. Sarwiyah, apakah sebabnya engkau jadi membela diriku"
Malah engkau juga menentang kemauan kakakmu"
Apakah itu merupakan permulaan rasa.... cinta kasihmu kepada diriku "
Sarwiyah tersenyum. Tentu saja bukan soal itu yang menjadi penyebab. Tetapi
karena Warigagung ia anggap tidak bersalah, dan sebaliknya kakaknya sendiri yang
terlalu sombong dan mau menang sendiri. Oleh sebab itu orang yang tak bersalah
harus ia bela. Tetapi di samping itu Sarwiyah memang juga tertarik oleh sikap Warigagung yang
mau mengalah dan menghormati perempuan. Selama ini ia belum pernah bertemu
dengan pemuda bertabiat seperti Warigagung ini. Namun benarkah itu merupakan
permulaan rasa cinta" Ia tidak tahu.
Namun yang jelas, kalau tidak dipaksa oleh keadaan dan rasa pengorbanan demi
tercapainya cita-cita membalas sakit hati, tentu saja ia memilih Kebo Pradah.
"Sudahlah Kakang..." sahutnya lirih, sekarang tidak perlu diurus lagi tentang
soal itu. Pendeknya didasari cinta atau tidak.... kita ini merupakan calon suami
isteri. Lalu bagaimanakah perasaanmu......."
"Warigagung sendiri sebenamya belum pemah memikirkan wanita. Akibatnya ia tidak
cepat dapat menjawab.
Namun demikian sesuai dengan wataknya yang aneh,
amat memuliakan dan menghormati wanita, ia tidak ingin membuat hati wanita tidak
senang. "Hemm, tentu saja!" jawabnya. "Aku bahagia sekali menjadi calon suamimu,
Sarwiyah. Siapakah yang tidak beruntung mempunyai calon isteri yang cantik,
halus dan menyenangkan seperti engkau ini?"
Manakah ada orang yang tidak menjadi senang oleh
pujian" Manakah ada orang tidak menjadi besar hati kalau dikatakan cantik dan
menyenangkan" Demikian pula
Sarwiyah, ia menjadi bangga dan kemudian tanpa malu-malu lagi ia meletakkan
kepalanya ke pundak pemuda itu.
Sikap gadis ini malah seperti pamer kepada kakeknya mau pun calon mertuanya,
bahwa dirinya mencintai calon suaminya.
Warigagung sendiri menjadi tidak karuan perasaannya ketika pundaknya ditindih
oleh kepala Sarwiyah ini. Mula-mula ia diam saja, tegang dan berdebar. Namun
sesaat kemudian tangannya bergerak. Yang kanan memeluk
pinggang dan yang kiri mengusap-usap jari tangan dan punggung telapak tangan
Sarwiyah. Julung Pujud dan Si Tangan Iblis menjadi semakin
gembira melihat dua orang muda yang dijodohkan itu sudah menunjukkan sikap
mesra. Tiba-tiba Julung Pujud ketawa terkekeh, lain katanya,
"Heh... heh... heh... heh, Tangan Iblis! Apakah engkau
mengundang aku hanya dengan cara ini, tanpa engkau hidangkan tuak wangi dan
keras?"
Dewi Sri Tanjung Persekutuan Dua Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Si Tangan Iblis baru teringat kedudukannya sebagai tuan rumah. Lalu ia
memalingkan muka ke arah Sarwiyah, bertanya. "Hai Wiyah! Kemanakah mbakyumu"
Hayo perintahkan dia mengambil tuak wangi!"
Sarwiyah mcngangguk, lalu ia minta diri kepada
Warigagung dengan pandang mata mesra dan bibir tersenyum, namun tidak
mengucapkan apa-apa. Warigagung maklum dan mengangguk. Kemudian Sarwiyah pergi
ke belakang. Akan tetapi Sarindah tidak ditemukan. Para pembantu perempuan yang sibuk masak
tidak dapat menerangkan, sedang para muridpun tidak bisa menjawab. Karena
Sarindah tidak ada, ia lalu mengambil sendiri tuak simpanan kakeknya. Kemudian
ia memerintahkan seorang pelayan wanita agar membawa tuak simpanan itu ke ruang
depan untuk dihidangkan kepada tamu.
Setelah memberi perintah agar semua hidangan
disiapkan, maka Sarwiyah kembali ke ruang depan. Ia memberi laporan kepada
kakeknya, bahwa Sarindah tidak ada dan tidak seorang pun tahu kemana pergi.
Si Tangan Iblis rnengerutkan alis. Hatinya tidak senang mengapa di saat seperti
itu Sarindah malah pergi" Namun karena dirinya sedang sibuk menerima Julung
Pujud, maka hal ini tidak dipusingkan lagi. Ia kemudian terlihat dalam
pembicaraan yang asyik dengan Julung Pujud. Sedangkan Sarwiyah karena dalam
ruangan ini ada orang lain yang hadir, tidak berani duduk kembali dan
berhimpitan dengan Warigagung dan malah membantu mengatur hidangan.
Tiga orang pelayan wanita masuk membawa baki berisi makanan dan nasi panas
mengepul di samping pula
minuman kopi panas. Namun Sarwiyah menjadi heran, mengapa pelayan yang tadi
diperintahkan supaya cepat membawa tuak simpanan untuk hidangan tamu, malah
belum tampak" Mengapa bisa terlambat" Ia segera bertanya kepada pelayan yang
lain. Kemudian ia mendapat keterangan, pelayan yang dimaksud sedang menuju ruang
depan. Apakah sebenarnya yang terjadi" Kelika pelayan ini sudah membawa tuak tersebut
menuju ruang depan,
dicegat oleh Kaligis dan Sangkan. Dan sambil mengancam, Sangkan segera merebut
Guci tempat tuak. Ia membuka penutup guci, lalu memasukkan bubuk obat ke dalam
guci. Setelah ditutup lagi dan diguncang sebentar guci di-kembalikan kepada si
pelayan. "Bawalah ke depan dan suguhkan kepada tamu!
katanya mengancam. Tetapi huh, engkau tidak boleh bicara, bahwa aku sudah
mencegat kau. Jika engkau berani membuka mulut, awas! Engkau akan kami
perlakukan seperti bukan manusia lagi. Tahu" Engkau akan aku siksa, mati tidak
dan hidup pun tidak. Tahu"
Engkau pasli kuculik lalu kubawa ke dalam hutan. Di sana, kau akan aku
telanjangi, lalu nodai bersama kawanku lebih dahulu sampai puas. Sesudah kami
puas baru kau akan kusiksa. Seluruh tubuhmu akan kami siram dengan air gula dan
semut akan segera berdatangan untuk mengeroyok kau. Hemm, engkau tentu akan
menderita hebat sekali sebelum mampus. Tahu?"
Pelayan ini ngeri dan ketakutan setengah mati mendengar ancaman itu. Ia
gemetaran, wajahnya pucat dan kemudian jawabnya tidak lancar, "Ampun...
jangan...! Aku.... aku takkan bicara!
Hati dua orang muda itu lega, kemudian secepatnya menyelinap ke tempat gelap dan
pergi. Dua orang muda ini menyeringai seperti iblis. Mereka sudah menduga pasti,
yang minum tuak akan segera mati oleh racun. Oleh karena itu mereka gembira
sekali, sebab dengan demikian akan dapat menggagalkan semua rancangan guru
mereka. Ketika si pelayan masuk ruangan, Julung Pujud yang amat gemar minum tuak itu,
sudah ngiler. Ia melompat kemudian menyambar guci sebelum diserahkan oleh
pelayan. Melihat sikap Julung Pujud itu Si Tangan Iblis terkekeh senang. Bagi dirinya
sikap seperti ini lebih menyenangkan.
Berarti tamunya benar-benar telah menganggap sebagai keluarga sendiri.
Julung Pujud adalah seorang yang sudah terlalu biasa minum tuak tanpa aturan.
Kalau menggunakan seloki ia tidak puas. Maka ia menggelogok langsung dari guci,
langsung masuk perut. Tetapi sekarang ini, ketika guci dibuka tutupnya dan
mencium ban arak yang wangi,
matanya berkedip-kedip dan mulutnya tersenyum. Anehnya tiba-tiba ia tidak jadi
minum dan malah hidung kakek ini cungar-cangir.
Melihat sikap Julung Pujud yang aneh, yang tidak jadi minum. Si Tangan Iblis
heran. Ia menghampiri sambil bertanya, "Hai kakang Julung Pujud! Ada apa" Apakah
sebabnya kau cungar-cangir macam itu?"
Tiba-tiba mata Julung Pujud memancarkan api kemarahan. Bentaknya, "Bangsat Tangan Iblis! Hati dan mulutmu berlainan! Mulutmu
manis tetapi hatimu penuh bulu dan sikapmu palsu. Heh... heh... heh... heh, engkau
akan meracun aku"!"
Sebelum Si Tangan Iblis menjawab, melayanglah tubuh Sarwiyah yang segera
mencengkeram baju si pelayan.
Hardiknya, "Katakan lekas! Siapa yang bertemu dengan kau ketika akan
menghidangkan tuak kemari?"
Melihat tingkah Sarwiyah ini barulah Si Tangan Iblis sadar. Agaknya memang ada
tangan curang yang sengaja memasukkan racun ke dalam tuak. Ia kemudian meloncat
pula ke depan si pelayan. Bentaknya, "Hayo katakan lekas!
Siapa yang meracun tuak?"
Pelayan itu tubuhnya gemetaran dan pucat saking
takutnya. Bibirnya bergerak tetapi tidak juga terdengar suara dari mulut.
Pelayan ini kebingungan sendiri disamping ngeri, teringat ancaman Sangkan dan
Kaligis. Akan tetapi sebaliknya jika tidak menjawab, tidak urung dirinya celaka.
Ketika itu Sarwiyah melepaskan cengkeramannya, dan pelayan itu cepat berlutut
dengan tubuh gemetaran sambil menangis. Jawabnya tidak lancar. "Tidak....tidak
ada.... orang... ohh... saya tidak... tahu..."
Si Tangan Iblis tidak sabar lagi. Kakinya cepat menendang. Hanya terdengar jerit
satu kali keluar dan mulut pelayan itu, kemudian tubuhnya terlempar dan menabrak
tiang rumah. Kepalanya pecah dan mati saat itu juga.
Pelayan yang lain menjadi pucat dan tubuh mereka
gemetaran karena ketakutan setengah mati. Mereka
kemudian mendeprok di lantai dan saking ngerinya tanpa terasa mereka terkencing
di tempat itu juga.
Sarwiyah menjadi pucat dan menyesal sekali mengapa kakeknya tidak sabaran dan
sudah membunuh pelayan itu.
Celanya, "Kek....ahh,.....apakah sebabnya pelayan itu kau bunuh" Kita sekarang
kehilangan saksi utama yang bisa memberi keterangan penting, tentang usaha
peracunan ini. Ahh jika Kakek tidak membunuh dia, aku tentu bisa mengorek keterangan untuk
mencari siapa yang sudah melakukan pe racunan ini..."
Akan tetapi Si Tangan Iblis yang sudah marah, malu dan penasaran oleh usaha
orang meracun tuak ini, menyebabkan ia tidak mau mendengar teguran Sarwiyah.
Tuduhan pertama segera ditujukan kepada Sarindah yang sudah meninggalkan rumah
diam-diam. Sebab, orang lain tidak mungkin dapat melakukannya, mengingat guci
itu disimpan di tempat yang tidak mungkin orang lain bisa masuk.
Kakek ini segera ingat akan sikap Sarindah. Sikap yang tidak menyetujui ikatan
pertunangan antara Warigagung dengan Sarwiyah. Buktinya, cucunya itu tidak mau
ikut serta menghadiri pertunangan ini malah pergi diam-diam.
Si Tangan Iblis heran berbareng penasaran, mengapa Sarindah sampai hati dan
seberani itu memasukkan racun dalam tuak"
Menduga peracunan ini dilakukan oleh cucunya sendiri.
Si Tangan Iblis segera membungkuk memberi hormat
kepada Julung Pujud dan berkata, "Kakang.....ahh, maafkanlah aku. Dialah yang
sudah memasukkan racun dalam guci itu. Hemm, untung Kakang Pujud waspada....."
Si Tangan Iblis tidak sabar lagi. Kakinya cepat
menendang. Hanya terdengar jerit satu kali dari mulut pelayan itu, kemudian
tubuhnya terlempar dan menabrak tiang rumah.
Kakek kerdil itu terkekeh di tengah rasa penasaran dicurangi dengan racun.
Jawabnya, "Heh heh heh heh, siapakah orang bisa meracun aku" Aku adalah seorang
ahli racun jempolan di dunia ini. Dengan hanya mencium baunya saja, aku udah
tahu sifat segala macam racun yang dicampur dalam tuak. Ha... ha... hah... ha,
racun yang dicampur dengan tuak ini memang keras. Tetapi bagaimanapun tidak
mungkin dapat membunuh maupun
mencelakakan Julung Pujud. Heh... heh... heh... heh, tuak ini wangi sekalipun
sudah campur dengan racun. Karena itu sayang kalau tidak diminum, dan akan aku
habiskan sekali minum."
"Guru.....jangan.....!" teriak Sarwiyah yang berusaha mencegah. "Guru, di dalam
masih banyak tuak simpanan."
"Heh... heh... heh heh heh, terima kasih menantuku yang manis. Kau jangan
khawatir, dalam tubuhku sudah penuh racun. Maka racun yang masuk dalam tubuhku,
hanya akan menambah kekuatan tubuhku saja dan
menjadikan awet muda. Ha ha ha ha, wangi.....
Kemudian Julung Pujud membuka mulut. Tuak dituang ke dalam mulut, suaranya
menggelogok dan kerongkongan kakek kerdil ini bersuara berkeruyuk menelan tuak.
Hebat! Sekali tenggak satu guci sudah masuk perut.
Kakek ini memang seorang ahli racun jarang tandirigan.
Karena setiap hari selalu bergulat dengan racun itu maka ia sudah membiasakan
diri untuk menelan racun secara terukur setiap hari. Dan kebiasaan ini
menyebabkan dalam tubuhnya kebal akan segala macam racun. Bukan saja Julung
Pujud yang sudah puluhan tahun lamanya bergulat dengan racun. Sedang Warigagung
yang masih muda
itupun kebal pula terhadap segala macam racun dan bisa.
Itulah sebabnya murid Julung Pujud ini suka bermain-main dengan segala macam
binatang yang beracun maupun
berbisa. Julung Pujud meletakkan guci yang sudah kosong di meja, lalu katanya. Hemm,
kalau saja calon menantuku bukan gadis yang halus, cantik, lemah lembut dan
menyenangkan, usaha peracunan ini tentu sudah
kujadikan alasan putus penunangan, dan engkau menjadi musuhku! Hmm, sudahlah
Semuanya sudah terjadi dan tidak perlu lagi diributkan. Yang penting, cucumu
yang kurang ajar itu harus kau urus sendiri dan kau tangkap.
Tetapi karena yang diracuni aku, maka cucumu itu harus kauserahkan padaku untuk
menerima hukumanya, tidak perlu khawatir. Aku hanya akan membalas menghukum dia
dengan racun pula. Heh heh heh heh!
Si Tangan Iblis dan Sarwiyah pucat mendengar tuntutan Julung Pujud ini.
Sesungguhnya manakah mungkin si Tangan Iblis bisa tega kepada Sarindah" Tetapi
karena Sarindah sendiri yang sudah memulai, maka kakek dan cucu ini tidak bisa
berbuat apa-apa kecuali mengiakan.
Demikianlah, perustiwa peracunan ini dalam waktu
singkat sudah dilupakan. Pelayan yang mati segera dirawat para murid, sedang Si
Tangan Iblis dengan Sarwiyah sibuk menjamu tamunya.
Tetapi di pihak lain diam-diam Sangkan dan Kaligis yang merasa bersalah menjadi
gelisah sekali, ketika usaha mereka meracun Julung Pujud dan yang lain gagal.
Meskipun demikian mereka menjadi terhibur juga ketika mereka luput dari tuduhan,
dan malah yang dituduh Sarindah. Dan lebih lagi saksi utama dari perbuatannya
sudah mati dan tidak bisa ditanya lagi. Dengan demikian kecurangan itu sudah
tertutup rapat.
Pagi hari kemudian Julung Pujud dan Warigagung minta diri, setelah mereka
sepakat menentukan hari perkawman antara Sarwiyah dan Warigagung dua tahun lagi.
Tetapi setelah Warigagung dan gurunya pergi. Si Tangan Iblis masih uringuringan. Semua orang dibentak dan dimarahi. Dan saking marahnya kepada Sarindah
yang dituduh telah meracun itu, maka semua murid segera diperintahkan pergi
mencari Sarindah sampai bisa
ditemukan, sekaligus diperintah pula mencari Sentiko yang sampai sekarang belum
diperoleh kabar.
Si Tangan Iblis berpesan, semua murid dilarang pulang apabila tanpa membawa
berita di mana Sentiko maupun Sarindah berada. Syukur sekali apabila para murid
ini sanggup memaksa Sarindah untuk pulang. Tetapi kalau tidak sanggup, Si Tangan
Iblis sendiri yang akan
menangkap dan kemudian menyerahkan kepada Julung
Pujud untuk diadili.
Hari itu juga Kaligis, Sangkan, Senggring, Kebo Sobrah, Wastu, Wangalit dan Bala
Rebo pergi menunaikan tugas baru dari guru mereka. Tentu saja dengan adanya
tugas ini Kaligis merasa dadanya longgar. Siapa tahu ia dapat bertemu dengan
gadis yang dicintai itu, kemudian berhasil membujuk dan mempengaruhi hatinya.
Sebaliknya Sangkan yang gandrung kepada Sarwiyah
menjadi putus harapan. Manakah dirinya bisa mendapat kesempatan mencintai
Sarwiyah lagi, yang telah
dipertunangkan dengan Warigagung itu"
Akan tetapi setelah semua murid pergi, Sarwiyah ingat sesuatu. Ia menghampiri
kakeknya, lalu berkata, "Kek, mengapa harus mempercayakan kepada para murid"
Mereka tidakkan sanggup melawan Mbakyu Sarindah.
Padahal Mbakyu seorang yang keras hati dan gampang marah. Salah-salah semua
murid bisa celaka di tangan dia."
"Huh! Peduli apa kepada sejumlah murid tidak berguna itu" Huh, aku sungguh
menyesal mengapa murid-muridku itu goblog! Hanya mencari bocah kecil saja mereka
kembali dengan tangan kosong. Malah Ananto menjadi korban tergelincir di dalam
jurang. Dan ahh.... bagaimanakah kabarnya Kebo Pradah, Tanu Pada dan Mahisa
Singkir" Apakah sebabnya mereka sampai sekarang belum juga pulang?"
"Itulah Kek, yang menyebabkan aku heran. Mungkinkah mereka celaka di tangan
orang" Kalau tidak, manakah mungkin mereka berani melanggar perintah Kakek"
Sebab itu Kek, apakah dalam soal ini Kakek tidak perlu
menangani sendiri?"
"Hemm," Si Tangan Iblis menghela napas panjang.
Namun ia tidak lekas membuka mulut.
Sarwiyah berkata lagi, "Kek manakah mungkin Mbakyu mau kau perintahkan pulang
kalau tahu dituduh telah meracun tamu. Dia akan ketakutan dan tak mungkin mau
bertemu dengan Kakek lagi."
"Hemm... cucu seperti itu hanya menyebabkan aku malu saja. Dan apakah jadinya
kalau Julung Pujud marah, lalu putus hubungan kita dan kemudian berubah menjadi
musuh" Huh, betapa kecewa ayah bundamu di alam baka kalau aku tidak dapat
membalas dendam kepada Gajah Mada maupun Mpu Nala. Huh, cucu celaka seperti itu
sudah sepantasnya kubunuh saja!"
Sarwiyah pucat. Ia kenal watak kakeknya yang ganas.
Ucapannya itu tentu bukan sekadar kata-kata, tetapi tentu akan terjadi pula
walaupun terhadap cucunya sendiri.
"Kek, sudah pastikah Mbakyu yang melakukan
peracunan?"
"Mengapa tidak" Siapakah yang bisa masuk ke tempat guci tuak itu disimpan,
kecuali aku, engkau dan mbakyumu Kalau bukan mbakyumu, apakah malah engkau
sendiri?" Si Tangan Iblis mendelik. Sarwiyah tergetar jantungnya.
Katanya, "Kek, memang benar tiada orang lain yang bisa masuk ke tempat
penyimpanan guci. Tetapi. Ahh.....aku ingat Kek......ahh.....aku ingat......"
"Ingat apa?"
"Pelayan itu terlampau lambat melakukan perintahku membawa guci tuak ke ruang
depan. Ahh.... sayang sekali Kakek kemarin tergesa membunuh pelayan itu, hingga
kita tidak lagi bisa memaksa supaya dia menerangkan apakah sebabnya terlambat
datang dan mengapa pula guci itu beracun. Kek, terus terang aku curiga dan
kurang percaya, jika Mbakyu yang berbuat. Aku menduga ada orang lain yang
memancing di air keruh."
"Wiyah! Engkau jangan mengada-ada. Engkau jangan
mencoba membela mbakyumu yang bersalah. Tidak peduli siapapun, orang yang hampir
nembuat rencanaku
berantakan harus dihukum yang setimpa. Kalau benar Sarindah yang melakukan
akupun harus juga menghukum-nya."
"Kek, kalau memang ternyata benar, itu lain lagi, Sarwiyah membantah. Tetapi aku
menjadi curiga dengan terjadinya beberapa peristiwa yang sudah menimpa
keluarga kita....."
"Wiyah! Apakah maksudmu" Peristiwa yang mana?"
"Kek, aku minta sudilah kakek sedikit sabar. Kek, semua peristiwa ini umbernya
bukan lain adalah Sentiko.
Begitu para murid kakek tugas kan, Kakang Kaligis dan Kakang Sangkan melaporkan
Dewi Sri Tanjung Persekutuan Dua Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Adik Ananto tergelincir masuk dalam jurang dan tidak tertolong."
Sarwiyah berhenti dan memandang kakeknya mencari
kesan. Setelah kakeknya tidak bereaksi, ia meneruskan,
"Mbakyu Sarindah tidak gampang mau percaya laporan itu.
Terus terang, ketika itu akupun kurang percaya laporan itu.
Adik Ananto dibandirig Kakang Kaligis maupun Sangkan lebih tinggi kepammpuannya.
Mengapa dua orang itu bisa selamat, sedang orang yang lebih tinggi kepandaiannya
malah tergelincir dan masuk jurang" Ini sungguh aneh!"
Si Tangan Iblis tergagap mendengar alasan yang di-kemukakan Sarwiyah. Sekarang
ia baru ingat akan
kejanggalan tersebut. Si Tangan Iblis seperti baru bangun dari tidur.
"Teruskan!" perintahnya. "Teruskanlah Wiyah, aku ingin mendengar alasanmu."
"Sayangnya Kakek bukannya mau mengerti sikap
Mbakyu, tetapi malah marah. Karena Kakek marah itu, kemudian aku dan dia pergi.
Maksudnya tidak lain untuk mencoba melihat keadaan apakah Kakang Tanu Pada dan
rombongannya sudah pulang" Namun ternyata aku dan Mbakyu malah bertemu dengan
Kakang Warigagung dan terjadilah salah paham. Kek, timbul dugaanku bahwa
kepergian Mbakyu tiada hubungan sama sekali dengan soal peracunan. Akan tetapi
karena Mbakyu dalam
keadaan gelisah memikirkan tiga orang murid yang belum juga pulang itu. Adalah
tidak mungkin terjadi mereka terlambat pulang apabila tidak terjadi apa-apa di
perjalanan. Malah aku menduga pula, Mbakyu diam-diam sudah pergi dalam usaha
mencari jejak mereka."
Sarwiyah berhenti dan menatap kakeknya. Ketika
kakeknya masih berdiam diri, ia meneruskan, "Kek, mungkin sekali ada pihak lain
yang menggunakan
kesempatan ini melakukan kecurangan dengan membubuhkan racun dalam guci dan memaksa kepada pelayan itu. Dan agaknya orang itu
sudah memperhitungkan bahwa tuduhan akan jatuh kepada Mbakyu Sarindah yang
pergi." "Kalau begitu, siapakah kira-kira yang sudah berbuat?"
"Kek, aku belum tahu. Tetapi jelas bukan orang lain, tetapi orang serumah. Tentu
saja masalah ini memerlukan waktu untuk penyelidikan. Kek, ah.... aku menjadi
khawatir. Karena Kakek sudah menuduh Mbakyu, apakah jadinya apabila Mbakyu ketemu dengan
Kakang Warigagung dan gurunya" Kalau benar Mbakyu memang bersalah, bagaimanapun
memetik buah tanamannya sendiri. Tetapi kalau dia tidak bersalah, bukankah
kasihan Mbakyu yang menjadi korban?"
Dipikir-pikir pendapat cucunya memang benar. Karena itu pada akhirnya Si Tangan
Iblis setuju untuk menangani sendiri masalah yang dihadapi. Maka hari itu juga
setelah selesai berkemas dan memberi pesan kepada semua
pelayan, kakek dan cucu ini pergi meninggalkan rumah.
Karena Sarwiyah sudah menduga ke mana kakaknya pergi, maka cucu dan kakek ini
menuju ke arah Tanu Pada dan rombongannya pergi.
* * * 2 anpa diduga justru kepergian Si Tangan Iblis dan
Sarwiyah inilah yang menjadi pangkal semua
T peristiwa yang berlarut-larut. Sebab kalau saja Si Tangan Iblis dan Sarwiyah
mau menunda satu hari saja, tentu akan dapat bertemu kembali dengan Sarindah
tanpa pula mencari. Karena ternyata pada keesokan harinya masih pagi benar,
Sarindah telah muncul kembali di rumah. Gadis ini melangkah dengan lesu dan
wajahnya pucat, akibat telah kurang tidur disamping lelah sekali.
Memang Sarindah sudah cukup jauh melakukan perjalanan dalam usahanya mencari Tanu Pada dan
rombongannya. Sudah banyak orang yang ditanya dan sudah banyak desa yang
dijelajah, tetapi tidak seorangpun dapat memberi keterangan. Karena merasa
bingung dan tak tahu kemana harus menuju, akhirnya gadis ini
memutuskan pulang saja guna memberitahukan kepada kakeknya.
Tetapi betapa rasa keheranan gadis ini ketika pulang ke rumah, keadaannya amat
sepi. Baru saja ia masuk ke rumah dan bertemu dengan seorang pelayan, gadis ini
kaget setengah mati, karena pelayan itu menubruk, memeluk sambil menangis.
Sarindah keheranan berbareng curiga. Tanyanya gugup.
"Ada apa" Apakah sebabnya kau menangis" Dan mengapa pula rumah ini sepi, lalu ke
mana Kakek dan Sarwiyah pergi?"
Mendengar tangis dan suara Sarindah, pelayan yang lain segera berdatangan.
Pelayan tertua, segera menceritakan apa yang sudah terjadi di rumah ini, ketika
menerima tamu. Lalu diceritakan pula tentang terjadiriya usaha peracunan dan
seorang pelayan mati terbunuh oleh
kakeknya. Kemudian ketika pelayan tertua itu menceritakan, yang dituduh meracun adalah
dirinya, Sarindah berjingrak kaget dan sepasang matanya menyala marah.
"Gila! Siapakah yang menuduh aku meracun tamu?"
tanyanya lantang dilanda kemarahan.
"Kakek Nona......"
"Apa" Kakek menuduh aku meracun" Gila! Demi
Dewata Yang Agung, aku tidak melakukannya. Apakah kamu semua tidak tahu dan
tidak bisa menduga, siapakah kira-kira si peracun itu?"
Seperti burung beo yang belajar, para pelayan itu saling berebut memberi alasan
ketika itu repot dengan urusan masing-masing.
Sarindah membentak, "Jangan berbareng. Terangkan
bergantian."
Para pelayan ketakutan. Lalu seorang demi seorang memberi keterangan. Pendeknya
semua pelayan mengatakan tidak tahu siapakah yang sudah melakukan peracunan itu.
Akibatnya gadis berangasan ini membanting-bantingkan kakinya saking penasaran
dan kecewa. Penasaran karena dirinya dituduh meracun tamu dan kecewa karena
tidak mendapat keterangan sedikitpun yang dapat dijadikan pegangan untuk
membersihkan diri.
Kemudian ketika Sarindah menanyakan mengapa
rumah sepi, pelayan tua ini menerangkan, semuanya sudah pergi.
"Semuanya sudah pergi, Nona, kemarin pagi. Menurut keterangan Nona Sarwiyah,
katanya mencari Nona....."
"Gila!" Sarindah geram mendengar keterangan ini.
"Semua gila! Semua orang mencari aku. Huh, untuk apa"
Seperti anak kecil saja orang pergi mesti dicari. Huh aku tidak bersalah dan aku
tidak meracun siapapun. Huh, apakah tidak seorangpun bersedia membela aku?"
"Nona Sarwiyah yang membela," sahut si pelayan yang tadi menangis. "Oleh
pembelaan Nona Sarwiyah kepada Nona itulah kemudian Kakek Nona pergi bersama
Nona Sarwiyah."
Terhibur juga hati gadis ini setelah mendengar dibela Sarwiyah. Lalu gadis ini
teringat oleh sebabnya pergi, tanyanya. Apakih Kakang Tanu Pada sudah pulang"
Semua pelayan menggelengkan kepala dan menerangkan Tanu Pada dan rombongannya belum pulang.
Kemudian pelayan tua ini menyahut,
"Kakek Nona berpesan kalau mereka pulang diperintahkan tetap di rumah."
"Mereka siapa" Tanu Pada dan rombongan. Hemm,
kalau demikian biarlah aku menunggu mereka pulang".
Sambil berkata, Sarindah melangkah masuk ke ruang tengah. Tetapi gadis ini
segera berhenti, membalikkan tubuh dan berteriak. "Hai! Mana kopi dan mana
sarapan pagi" Mengapa tidak engkau sediakan seperti biasanya?"
Pelayan tua yang bertanggung jawab cepat menyahut dengan gugup, "Ohh... ya
memang belum Nona......"
"Apakah sebabnya?"
"Karena.... tak tahu Nona pulang....."
"Sudahlah jangan cerewet. Cepat sediakan, aku haus sekali dan lapar."
Sarindah membalikkan tubuh langsung masuk ke ruang tengah dan menuju ke
kamarnya. Pelayan tua itu dengan tergopoh menuju dapur untuk mempersiapkan kopi dan makan
pagi. Tetapi tidak urung mulut pelayan ini menggerundel seorang diri mencaci
maki gadis galak itu.
Semua pelayan memang takut kepada Sarindah yang
galak dan gampang marah itu. Namun disamping takut mereka juga tidak senang.
Diam-diam semua pelayan merasa heran mengapa antara Sarindah dan Sarwiyah
seperti bumi dan langit" Sarwiyah gerak-geriknya halus, lemah lembut, sabar dan
tidak pernah berbuat sewenang-wenang kepada mereka. Kalau perlu Sarwiyah malah
membantu urusan dapur kalau butuh makan atau minum.
Sarindah menghempaskan tubuh ke pembaringan tanpa ganti pakaian. Gadis ini amat
penasaran dan uring-uringan dituduh telah meracun tamu. Dan kemudian gadis ini
mengumpat berkali-kali.
"Gila! Kakek gila! Semua gila! Apakah aku ini sebusuk-busuknya manusia sehingga
ada orang diracun, tuduhan langsung pada diriku?"
"Hemm, bangsat busuk manakah yang sudah bermain
curang dan meracun di rumah ini" Sarindah menduga-duga. Huh, tidak mungkin ada
orang luar bisa masuk. Huh tentu orang dalam sendiri. Tetapi siapakah?"
Ia tidak bisa menduga siapa yang melakukan. Ia merasa sayang juga, mengapa
pelayan bersangkutan sudah mati.
"Huh, tetapi aku harus menyelidiki siapa yang curang itu, untuk membersihkan
namaku dari noda! Aku akan menunggu sampai Kakang Tanu Pada datang. Akan kuajak
dia pergi dengan aku mengadakan penyelidikan. Kalau aku tahu dan mendapat bukti,
tahu rasa!"
Gadis ini kemudian menguap karena mata mengantuk
sekali, disamping amat lelah. Tiba-tiba saja ia teringat betapa nikmatnya
dipijat sambil tiduran ini.
"Sayem.......Sayem......!"
"Ya..... Nona...." suara penyahutan dari arah rumah belakang.
Pelayan bersangkutan segera berlarian menuju kamar Sarindah. Setiba di depan
pintu kamar, ia bertanya. "Nona memanggil saya?"
"Masuklah! Pijitlah aku, Sayem. Aku lelah sekali dua hari pergi jauh," ujarnya
sambil menelungkup.
"Baik Nona," sahut si pelayan sambil masuk kamar
sekalipun sesungguhnya mengeluh.
Pelayan itu segera menunaikan tugasnya memijit tubuh si gadis, dimulai dari
kaki. Beberapa saat kemudian pelayan tua yang mengurus
dapur sudah datang melapor. "Nona, kopi dan sarapan pagi sudah tersedia."
"Bawalah kemari. Aku lelah dan sedang dipijit Sayem."
Tergopoh pelayan tua itu mengambil kopi dan sarapan pagi, langsung dibawa masuk
ke dalam kamar tidur. Ketika pelayan itu akan meletakkan di meja depan tempat
tidur. Sarindah berkata. "Mbok, suapilah aku. Bukankah nikmat sekali sambil dipijit dan
makan disuapi?"
Pelayan tua itu tidak membantah sekalipun dalam hati mengumpat. "Sudah besar dan
sudah gadis lagi, tetapi mengapa masih seperti bayi?"
Setelah Sarindah selesai makan dan tertidur pelayan ini baru bebas dari
kewajibannya. Dengan langkah hati-hati pelayan ini meninggalkan kamar.
Akan tetapi kemudian ternyata Tanu Pada, Kebo Pradah dan Mahisa Singkir tidak
juga muncul, sekalipun ditunggu tiga hari. Sarindah semakin menjadi gelisah dan
hilang sabar. Kemudian ia memutuskan esok pagi akan pergi mencari jejak Tanu
Pada yang dicintai itu kalau belum juga muncul.
Kasihan juga gadis ini mengharapkan munculnya orang yang sudah mati. Orang yang
sudah tewas oleh kecurangan Kaligis dan Sangkan.
Kasihan" Mengapa" Di dunia ini tidak terhitung jumlahnya manusia yang ditimpa
kemalangan dan kesedihan.
Semua itu terjadi oleh perbuatan manusia pula yang mencari keuntungan diri
pribadi, dan merugikan orang lain.
Sungguh kasihan manusia di dunia ini, manusia ber-budaya, tetapi sesungguhnya
lebih buas dibandirig dengan binatang buas yang tidak mengenal akan budaya.
Sebagai akibat kebuasan manusia ini maka terjadilah perang, bunuh membunuh,
fitnah, kecurangan, tipu muslihat dan banyak perbuatan jahat yang lain lagi.
Manusia-manusia yang buas semacam ini lupa, siapa yang menanam pasti memetik
buahnya sesuai dengan
hukum alam. Hukum sebab dan akibat. Hukum karma.
Namun biasanya manusia tidak mau juga mawas diri dan lupa kepada Yang Maha
Tinggi. Maka berbahagialah manusia di dunia ini yang pandai mawas diri. Yang hidup
dengan wajar tanpa merugikan orang lain. Yang selalu mengagungkan ambeg
paramaarta dan pandai menempatkan diri sebagai mahkluk Yang Maha Tinggi.
Berbahagialah manusia yang sadar akan hidupnya.
Sadar bahwa di atas manusia ini masih ada Yang Maha Tinggi dan Yang Maha Kuasa.
Akan tetapi kenyataannya memang tidak gampang
orang bisa mawas diri dan menyadari akan hidupnya ini, kalau memang tidak mau
berusaha, kalau memang tidak mau menempatkan diri secara wajar.
Demikian pula yang terjadi dalam keluarga besar Si Tangan Iblis ini. Karena
masing-masing mengumbar
kehendak dan kemauau sendiri, tak segan merugikan dan mencelakakan saudara
seperguruan sendiri, maka
terjadilah piristiwa yaag berekor panjang.
Akhirnya Sarindah tidak kerasan lagi di rumah. Ia kemudian pergi juga tekadnya
hanya satu, ia harus bisa membersihkan diri dari tuduhan mencoba membunuh
Julung Pujud. Ia harus dapat bertemu dengan kakeknya atau Sarwiyah. Dan kalau
perlu harus bisa bertemu dengan Warigagung atau Julung Pujud sendiri. Ia akan
mem-beberkan semua keadaan, kepergiannya tidak ada
hubungan sama sekali dengan percobaan pimbunuhan itu.
Sarindah menempuh perjalanan cepat. Ia menduga,
kakeknya dan Sarwiyah tentu searah dengan perjalanan yang semula ia tempuh.
Karena itu kemudian ia menuju ke barat.
Pada tengah hari tibalah Sarindah di Desa Nongkojajar.
Ia merasa lapar, kemudian masuk ke sebuah warung.
Dalam warung ini banyak pula orang sedang jajan. Tetapi sebagai seorang gadis,
ia merasa malu kalau harus memperhatikan mereka yang pada jajan.
Sarindah memilih sebuah meja yang masih kosong, lalu duduk. Seorang pelayan
dengan wajah berseri mendekati.
Lalu dengan ramah ia tersenyum dan bertanya.
"Nona menghendaki masakan apa" Rumah makan ini
terkenal dan langganannya terdiri atas segala lapisan masyarakat. Hal ini memang
tidak mengherankan Nona, karena koki rumah makan ini, sudah puluhan tahun
lamanya hidup di Ibukota Majapahit. Dulunya seorang juru masak Pangeran. Maka
saya tanggung, sekali Nona masuk di rumah makan ini, selamanya akan terkenang
kepada kenikmatan....."
"Sudahlah, aku minta disediakan jeruk panas dan nasi pindang," potong Sarindah
yang menjadi sebal mendengar pelayan itu ceriwis dalam menawarkan dagangannya.
"Apa lagi, Nona?" tanya pelayan
"Sediakan pula ayam panggang."
Pelayan itu mengangguk-angguk. Namun ketika si
pelayan itu mau pergi, ia cepat mencegah. "Eh, nanti dulu aku ingin bertanya,
pernahkah ada seorang kakek dan seorang gadis yang singgah kemari?"
Pelayan itu tersenyum jawabnya. "Wah, tentu saja
banyak sekali. Nona, rumah makan ini amat terkenal dan banyak langganannya
dan...." "Sudah, jangan menyobongkan larisnya warungmu ini!
Aku sedang mencari kakekku dan adikku perempuan.
Kakekku kira-kira berumur enam puluh tahun dan adikku berumur 19 tahun. Kau tahu
apa tidak?"
Pelayan itu pucat oleh bentakan gadis ini. Kemudian dengan agak gugup dan takut,
sahutnya, "Ohh, maafkanlah Nona. Aku.......aku tidak tahu. Tetapi eh.....apakah
kiranya Nona bisa memberikan ciri-cirinya" Perlunya aku bisa mengingat-ingat. Oh
ya... Nona.... apakah yang Nona maksudkan itu seorang kakek jangkung dan seorang
gadis cantik, lemah lembut dan gerak-geriknya halus pula....?"
"Nah, itu dia! Sarindah gembira dan mendesak, Cepat terangkanlah kapan mampir ke
warung ini dan tahukah kemana kira-kira mereka pergi" Nah terimalah ini untuk
membeli tembakau."
Sarindah memberi dua keping uang tembaga sebagai
hadiah. Dan pelayan ini menerima dengan wajah berseri serta mengangguk-anggukan
kepala. "Dua hari lalu, kakek dan adik Nona jajan kemari. Tetapi saya tidak tahu pasti
ke mana mereka pergi. Hanya dari pembicaraan yang dapat saya tangkap tidak
lengkap, agaknya sedang mencari seseorang...."
"Mereka mencari aku."
"Oh... mengapa bisa terjadi saling mencari" Uah...
lucu..."
Dewi Sri Tanjung Persekutuan Dua Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hai! Apanya yang lucu" Kau anggap aku ini badut ya"
Kurang ajar!"
Pelayan itu pucat kembali dibentak. Diam-diam pelayan ini merasa heran juga
mengapa gadis ini berbeda jauh dengan adiknya yang halus itu" Baru bertemu
dirinya sudah dibentak dua kali.
Jawabnya agak takut. "Ahh, Nona.... maksud saya bukan begitu. Saya heran sekali
mengapa sampai terjadi. Nona dan Kakek Nona saling mencari?"
"Hemm sudahlah! Itu bukan urusanmu! Lekas siapkan pesananku. Tenggorokanku sudah
kering dan perutku sudah amat lapar."
"Baik. Nona."
Pelayan itu segera pergi ke belakang. Namun diam-diam pelayan ini geli juga
berhadapan dengan perempuan galak itu. Sarindah menyeka peluh yang membasahi
lehemya. Hatinya agak terhibur juga meudapat keterangan, dua hari lalu kakeknya dan
Sarwiyah meninggalkan desa ini. Ia percaya, tidak memerlukan waktu lama tentu
sudah dapat bertemu dengan kakeknya.
Karena masih menunggu pesanan ia mencoba mengangkat muka memandang sekitarnya kepada para tamu yang jajan. Pada meja di
depannya enam orang laki-laki sedang makan sambil membicarakan masalah harga.
Sarindah cepat bisa menduga mereka ini terdiri atas para pedagang.
Ketika pandang matanya beralih ke sudut, ia melihat seorang laki-laki kira kira
empat puluh tahun, wajahnya agung dan berwibawa, sedang pakaiannya indah. Di
depannya terhalang oleh meja yang penuh hidangan, tiga orang laki-laki setengah
baya. Mereka bicara sambil makan, tetapi sikap tiga orang laki-laki ini baik di
saat menyuap maupun mengucapkan kata-kala tampak amat
menghormati kepada laki-laki agung tersebut.
"Ahh, dia tentu orang kota Majapahit. Orang yang mempunyai kedudukan tinggi.
Hemm, begitukah orang kota, pakaiannya indah?" Sarindah menduga-duga.
Sarindah memang tidak pernah diberi kesempatan pergi jauh dari Tosari. Maka
walaupun dirinya sekarang sudah gadis dewasa, ia belum pernah berkesempatan
melihat kotaraja Majapahit.
Sesudah itu pandang matanya beralih ke meja lain.
Tetapi ia menjadi gelagapan sendiri ketika menyadari dirinya diperhatikan oleh
seorang pemuda yang duduk
sendirian seperti dirinya.
Mara pemuda itu bersinar tajam. Ketika pandang mata mereka bertemu, pemuda itu
tersenyum dan matanya berkedip-kedip penuh arti.
Sarindah cepat menundukkan kepala lalu mengalihkan pandang matanya ke arah lain.
Hati Sarindah berdebar tetapi perasaan kewanitaannya curiga. Cara memandang dan
tersenyum dan mengedipkan mata tadi, tampak sekali sikapnya kurangajar.
Sebagai seorang gadis yang memang mempunyai
pembawaan watak angkuh keras hati dan galak ia menjadi tidak senang. Dalam
hatinya sudah mencaci maki,
"Kurangajar! Engkau membanggakan ketampanan
wajahmu" Huh, dan kau beranggapan setiap perempuan pasti tertarik kepadamu" Huh.
tak sudi! Rasakan jika engkau berani lancang dan kurangajar kepadaku, kupukul
mulutmu yang laucang dan kucukil matamu yang
kurangajar itu."
Tetapi walaupun ia tidak senang dan menjadi benci kepada pemuda itu ia masih
menggunakan sudut matanya melirik. Ia ingin tahu apakah pemuda itu masih
memandang dirinya" Ahh, ternyata benar pemuda itu memandang tanpa berkedip.
Diam-diam ia penasaran berbareng gelisah sendiri.
Untunglah pelayan segera datang mengantarkan
pesanannya. Gadis yang lelah haus dan lapar ini segera mengalihkan perhatiannya
kepada makanan dan minuman yang sudah tersedia. Baru tiga suap Sarindah menelan
nasi terdengar suara pemuda itu yang memanggil pelayan, yang baru selesai
melayani Sarindah.
"Hai, Pelayan! Cepat sediakan masakan yang sama
seperti pesanan dia."
"Baik Raden, akan segera kami sediakan," pelayan itu menyahut penuh hormat.
Mendengar pemuda itu pesan makanan yang sama
dengan pesanannya, diam-diam Sarindah amat dongkol. Ia menghentikan suapan
nasinya, memalingkan muka ke
arah si pemuda dengan pandang mata tidak senang.
Namun celakanya justru si pemuda juga sedang
memandang dirinya. Pemuda itu kembali tersenyum dan matanya berkedip-kedip.
Kalau saja apa yang terjadi sekarang ini tidak di dalam warung makan, Sarindah
yang angkuh dan berangasan itu tentu sudah marah dan mendamprat. Sebab dari
sikap pemuda itu jelas, dia memang sengaja mau mengganggu dan mau kurangajar.
Tetapi karena perutnya memang lapar, biarlah untuk sementara ia menyabarkan diri
dan mengisi waktu sampai kenyang. Ia ingin tahu apa yang akan dilakukan pemuda
itu, sesudah meninggalkan
warung ini. Kalau pemuda ini memang akan mengganggu dan kurangajar, huh, ia
sudah siap untuk menghajar.
Pemuda tampan itu masih tetap memperhatikan
Sarindah dengan pandang mata yang terpesona dan ber-selera. Tak lama kemudian
datanglah yang dipesan.
Pemuda ini mulai makan, namun matanya bukan
memperhatikan makanan yang tersedia, malah lebih
banyak memperhatikan Sarindah.
Meskipun tanpa melihat pemuda itu dapat menyuap
nasi dan tidak keliru dalam memasukkan ke mulut. Tetapi makan nasi putih melulu
tentu saja kurang enak. Karena itu ia segera menyenduk isi mangkuk berisi kuah.
Tanpa diamati langsung dimasukkan ke dalam mulut. Tetapi tiba-tiba.... makanan
itu tidak jadi ditelan dan malah dimuntah-kan di dekat kakinya. Bibirnya secara mendadak menjadi
merah dan air matanya keluar, disamping mluutnya mendesis-desis. Aha... ternyata
pemuda itu keliru menyenduk sambal. Akibatnya pemuda itu kepedasan dan megapmegap seperti ikan kehabisan air.
Sarindah memalingkan muka. Saking mendongkol dan
tak kuat menahan rasa geli. Ia menghentikan makannya lalu ketawa terpingkalpingkal. Tamu yang lain pada mulanya heran. Tetapi setelah memandang ke arah si pemuda,
merekapun lalu tersenyum.
"Itulah upahnya orang yang makan tetapi mulutnya
jelalatan tidak melihat," caci gadis ini dalam hati. "Hai...
pemuda kurangajar, rasakan nanti setelah di luar warung jika kau berbuat
kurangajar!"
Pemuda yang kepedasan dan mendesis-desis ini amat malu, mendongkol dan penasaran
ditertawakan oleh
Sarindah, sedangkan tamu lain juga tersenyum dan ada pula yang menertawakan.
Matanya mendelik ke arah para tamu, sedang para tamu yang dipandang menjadi
takut dan cepat mengalihkan pandang matanya.
Akan tetapi ketika pandang mata pemuda itu bertemu dengan laki-laki agung
berpakaian indah, jantungnya tergetar dan tidak sanggup bertatap pandang.
Pemuda itu kemudian menundukkan kepala masib
sambil mendesis kepedasan. Guna mengurangi rasa pedas pada bibir dan mulutnya,
pemuda itu tidak jadi makan dan hanya menggamang ayam panggang.
Meskipun demikian pemuda ini diam-diam sudah
memutuskan, setelah keluar dari warung akan membalas.
Baik kepada para tamu yang menertawakan maupun
kepada gadis itu.
Para pedagang itu agaknya sudah kenyang. Mereka
membayar lalu pergi. Setelah orang itu pergi, si pemuda bergegas pula ke luar
setelah membayar.
Agaknya laki-laki berpakaian indah itu sudah bisa menduga. Ia mengerutkan alis
lalu memberi perintah kepada salah seorang yang duduk di depannya supaya keluar
mengawasi gerak-gerik pemuda itu.
Dugaan laki-laki berpakaian indah itu ternyata benar.
Pemuda tadi sedang menghadang enam pedagang tadi, mendelik dan membentak. Kamu
tadi kurang ajar sekali berani menertawakan aku.
"Huh, kamu berani menghina aku maka rasakan
pembalasanku!"
Enam orang pedagang itu pucat dan ketakutan. Sahut salah seorang dari mereka
sambil membungkuk dan
memberi hormat, "Ampunilah kami, Raden. Kami.......kami tidak menghina...."
"Apa katamu" tidak menghina" Huh, enak saja kau
bicara. Apakah aku ini kau anggap badut?"
"Tidak Raden, tidak! Sudilah Raden memaafkan kami."
"Hemm, orang macam kamu harus dihajar biar tahu
rasa. Nih makanlah pukulanku."
Selesai berkata pemuda itu sudah melompat ke depan dalam usaha memuaskan
kemendongkolannya.
Tahan! terdengar teriakan nyaring.
Dengan gerakan ringan laki-laki suruhan priyayi tadi sudah menghadang di depan
si pemuda. Si pemuda yang sudah hampir menghajar enam orang
tersebut menarik tangannya. Lalu sambil mendelik ia membentak. "Siapa kau!"
"Hemm, orang muda, aku bernama Hesti Makara. Dan
kau, siapakah orang muda?"
"Hemm, tidak perlu aku sembunyikan. Namaku Rudra
Sangkala."
"Ahhh.... jadi engkaukah....?" Hesti Makara melengak kaget.
"Benar! Tidak ada yang perlu aku tutupi." Potong Rudra Sangkala tidak menunggu
Hesti Makara selesai bicara.
"Bukankah engkau ini ingin bertanya tentang peristiwa hancurnya Desa Mojoduwur
dan terbunuh matinya Gora Swara itu" Huh, tumenggung macam itu mengapa tidak
dipecat oleh Raja Majapahit?"
"Orang muda, engkau jangan bicara sembarangan!"
hardik Hesti Makara. "Tahukah engkau Tumenggung Gora Swara adalah aparat
Kerajaan Majapahit" Seorang yang pangkatnya tinggi dan segala sesuatunya hanya
Sri Paduka Raja Puteri Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwarddhani sendiri yang
berhak menilai salah seorang hambanya, baik atau buruk. Hemm, orang muda! Apakah
alasanmu berani membunuh Tumenggung Gora Swara?"
"Huh, apakah sebabnya kau bertanya aku berani
membunuh tumenggung keparat itu" tumenggung yang
sewenang-wenang, huh!"
"Hai orang muda. Engkau jangan mengumbar mulut
tanpa aturan."
"Heh heh heh heh," Rudra Sangkala terkekeh mengejek,
"sekalipun peristiwa itu sudah terjadi amat lama namun tidak mungkin bisa
terhapus dari kenanganku. Huh, kenangan menyedihkan yang telah menimpa Ibu dan
kakakku perempuan. "
"Ada apakah dengan ibu dan kakakmu?" Hesti Makara heran dan tertarik.
"Huh, engkau masih juga bertanya?" Rudra Sangkala mendengus marah. "Akulah
korban sewenang-wenang
tumenggung keparat itu. Dahulu, dua belas tahun lalu, ketika aku baru berumur
delapan tahun. Aku tidak tahu apakah alasan dan kesalahan orang tuaku. Tetapi
nyatanya tumenggung keparat itu datang bersama prajurit.
Ayahku mau ditangkap dan dipaksa ikut dia. Tetapi ayah tak mau dan melawan.
Akhimya ayah dan kakakku laki-laki tewas dikeroyok. Kemudian aku melihat dengan
mata kepalaku sendiri, ibuku dan kakakku perempuan menjerit-jerit. Ibuku diseret
dengan paksa oleh beberapa orang prajurit, sedang kakakku perempuan menjerit dan
meronta dalam pondongan tumengggung keparat itu. Tidak
seorangpun tetangga berani menolong. Rumahku dibakar dan mungkin akupun sudah
dibunuh kalau saja tidak ditolong oleh tetangga."
Pemuda itu berhenti dan matanya berkaca-kaca,
agaknya ia terkenang akan peristiwa menyedihkan yang lelah menimpa keluarganya
ketika itu. Namun sejenak kemudian ia sudah meneruskan,
"Tetapi huh, agaknya para prajurit itu tahu aku masih hidup dan ditolong
tetangga. Buktinya belum lama mereka pergi sudah kembali lagi. Aku digelandang
jatuh bangun oleh kekasaran para prajurit itu. Tentu saja ketika itu aku
menangis dan berusaha memberontak. Namun aku segera ditendang dan dipukuli
disamping dibentak-bentak. Saking takutnya terpaksa aku menurut digelandang.
Tetapi ketika prajurit itu lengah, aku berhasil memberontak dan lepas.
Lalu aku lari secapatnya, meninggalkan mereka. Huh, sebagai anak kecil tentu
saja aku tidak secepat mereka lari. Tiba-tiba kepalaku sakit dan menjerit, lalu
roboh terrguling, entah apa yang kemudian terjadi. Ketika aku membuka mata, aku
sudah dalam dukungan seorang
perempuan dan dibawa lari cepat sekali....."
"Siapakah perempuan itu?" selidik Hesti Makara.
"Engkau ingin tahu, huh huh. Engkau akan tekencing-kencing mendengar nama
perempuan itu. Karena
perempuan yang menolong aku, kemudian menjadi guruku itu, adalah Ibu Murti
Sari." "Ahhh.... dia gurumu?" Lurah Prajurit Bhayangkara
Majapahit yang bernama Hesti Makara ini benar-benar kaget, dan wajahnya berubah
pucat. Tentu saja! Siapakah yang tidak kaget mendengar nama perempuan itu disebut
sebagai guru pemuda ini" Seorang wanita sakti mandraguna jaman ini.
"Heh heh heh heh, guruku itulah yang sudah menolong diriku. Dan dari guruku pula
kemudian aku mendapat keterangan jelas. Guruku mengakui datang terlambat untuk
menyelamatkan ibuku dan kakak perempuanku. Ibu dan kakakku telah mati dalam
keadaan menyedihkan.
Semua tewas setelah dinodai lebih dahulu..."
"Ahh.... tak mungkin. Itu bohong! Fitnah!"
Rudra Sangkala mendelik marah. "Apa" Fitnah. Apakah engkau bisa membuktikan
bahwa aku bohong dan
memfitnah" Hayo tunjukkan di mana ibu dan kakakku perempuan sekarang berada."
Hesti Makara tidak dapat nunjawah. Bagaimanakah
mungkin, ia dapat menjawab" Ia tidak tahu sama sekali terjadinya peristiwa itu.
Tetapi sebaliknya ia juga tidak mau percaya kepada dongeng pemuda ini.
"Hemm, apapun alasanmu dan bagaimanapun yang
terjadi, kau tak boleh berbuat semau sendiri dan main hakim sendiri. Negara
Majapahit merupakan negara
hukum. Karena ini apa yang sudah kau lakukan itu
merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan berdosa kepada Sri Paduka Raja.
Hemm, anak muda, sungguh
kebetulan. Aku memang bertugas untuk menyelidiki
engkau. Sekarang begini saja, menyerahlah!"
"Heh... heh... heh... heh, kau mau menangkap aku"
Tangkaplah jika memang bisa!" ejek pemuda itu.
"Orang muda! Aku bermaksud baik, dan engkau jangan takabur. Jika engkau mau
menyerah baik-baik,
kemungkinan engkau masih mendapat pengampunan Sri Paduka Raja. Akan tetapi
apabila kau membandel, apakah engkau berani melawan aparat kerajaan?"
"Heh... heh... heh... heh, mengapa tidak" Jika orang macam eugkau mau sewenangwenang dan membanggakan kedudukanmu sebagai aparat kerajaan, huh. siapa takut?"
Ketika itu laki-laki yang berpakaian indah sudah keluar dari warung, diiringkan
dua orang yang lain. Memang priyayi ini bukan orang sem barangan. Dia seorang
Patih Dalam Kerajaan Majapahit yang namanya amat terkenal.
Adityawarman. Dia memang seorang bangsawan yang
berpandangan luas, cerdik dan bisa bergaul dengan kawula cilik.
Adityawarman sejak masih muda hubungannya dengan
Gajah Mada amat erat. Dan dia pulalah salah seorang pendukung Gajah Mada untuk
menduduki jabatan Patih Mangkubumi atau Mahapatih Majapahit. Walaupun
sesungguhnya Gajah Mada bukan keturunan bangsawan.
Kedudukan Adityawarman saat sekarang ini amat tinggi di Majapahit. Dia sejajar
kedudukannya dengan
Laksamana Nala. Tetapi sesuai dengan kesukaannya
bergaul dengan kawula cilik ini, maka Adityawarman suka sekali menjelajah desa.
Adityawarman selalu mengadakan wawancara dengan
rakyat dari hati ke hati untuk mengetahui kehidupan para kawula cilik. Semua itu
berguna bagi dirinya dan Kerajaan Majapahit. Sebab dengan demikian bisa
mengetahui keadaan yangsebenarnya, bukan hanya berdasar laporan dari bawahan yang belum
tentu benar. Yang belum tentu bawahan melaporkan keadaan sebenarnya. Tetapi
sering pula merupakan laporan yang bertentangan dengan
keadaan sebenarnya, yang semua itu guna menutupi
kekurangannya. Lebih lagi mereka yang suka bertindak sewenang-wenang, mereka
Dewi Sri Tanjung Persekutuan Dua Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
takut boroknya terbuka.
Dan sekarang ia hanya dikawal oleh tiga orang prajurit Bhayangkara, menjelajahi
beberapa desa. Ketika
mendengar Hesti Makara dengan pemuda itu bersitegang Adityawarman kaget. Maka
dengan pengawalnya segera menghampiri.
"Makara! Apakah sebabnya kau bersitegang?" tanyanya.
"Gusti," sahut Hesti Makara sambil memberikan
sembahnya. "Di luar dugaan hamba ternyata pemuda ini mengaku, dialah pelaku
kekejaman di Mojoduwur."
"Apa?" Adityawarman kaget. "Maksudmu, yang sudah
membunuh Gora Swara dan membakar desa itu?"
"Kalau benar, kau mau apa?" sahut Rudra Sangkala
lantang, sambil mendelik. "Engkau siapa, berani men-campuri urusanku?"
Mendadak pengawal pribadi bertubuh tinggi besar
bernama Kebo Druwoso membentak marah. "Jahanam
busuk! Siapakah eugkau, berani kurang ajar di depan Gusti Adityawarman" Hayo,
lekas berlutut dan mohon ampun!"
Rudra Sangkala kaget juga mendengar disebutnya nama Adityawarman, seorang yang
kedudukannya amat tinggi di Majapahit dan terkenal sakti mandraguna. Namun rasa
kagetnya ini hanya sekilas saja, kemudian pemuda ini ketawa terkekeh dan
mengejek, "heh... heh... heh... heh, aku mempunyai kebebasan sebagai orang yang
tidak hidup dari pemberian raja dan para bangsawan. Aku bukannya budak seperti
kau. Siapakah yang sudi berlutut di depan orang?"
"Bedebah!" Kebo Druwoso menyumpah.
"Druwoso, diamlah," ujar Adityawarman. Adityawarman memandang Rudra Sangkala
penuh selidik, kemudian
bertanya, "Benarkah engkau yang sudah membunuh Gora Swara?"
"Mengapa masih bertanya lagi?" Tanpa tedeng alingaling aku sudah mengakui. "Aku
berani berbuat berarti pula bertanggung jawab. Huh, aku bukan pengecut yang
menyambit batu menyembunyikan tangan."
Sepasang mata Adityawarman menyala mendengar
jawaban menantang ini. Tetapi dia seorang bangsawan tinggi yang bijaksana.
Seorang yang kedudukannya tinggi dan pandai menguasai perasaan. Walaupun dalam
hatinya amat marah oleh sikap Rudra Sangkala, ia menahan diri dan malah
tersenyum. "Hemm, anak muda. Tahukah engkau bahwa apa yang
sudah engkau lakukan ini merupakan perbuatan yang berdosa amat besar" Engkau
seorang kawula, tetapi berani main hakim sendiri. Engkau harus sadar bahwa
negara Majapahit merupakan negara hukum. Kalau toh henar Gora Swara bersalah
sebaiknya kau laporkan kepada pejabat di Majapahit, disertai bukti-bukti. Akulah
yang akan mengurus secara adil. Dan kalau Gora Swara sebagai tumenggung memang
bersalah, mengapa tidak dihukum"
Pasti! Siapapun bersalah tentu mendapat hukuman yang setimpal."
Adityawarman berhenti dan mengambil napas. Sejenak kemudian ia meneruskan. "Anak
muda, Aku Adityawarman.
Dalam menegakkan keadilan dan demi hukum, tidak
mengenal bulu. Hemm, sayang, engkau sudah lancang tangan dan main hakim sendiri,
membunuh seorang aparat negara. Dosamu besar sekali anak muda, maka
menyerahlah untuk kubawa ke Majapahit dan diadili di sana. Apabila dalam
pemeriksaan ternyata engkau tidak bersalah, kau tidak perlu khawatir. Aku yang
menanggung engkau akan dibebaskan kembali."
Rudra Sangkala terkekeh mengejek mendengar ucapan Adityawarman ini. Walaupun
Adityawarman terkenal
sebagai seorang bangsawan Majapahit yang sakti
mandragnna, ia tidak takut! Apa yang harus ditakutkan"
Gurunya pernah berkata, dirinya sekarang merupakan seorang pemuda pilih tanding.
Maka timbullah niatnya untuk membuktikan, apakah benar dirinya perkasa dan sakti
mandraguna"
"Heh... heh... heh... heh, kepada orang lain engkau bisa membujuk dan mengancam.
Tetapi Rudra Sangkala tidak bisa digertak. Hayo, siapakah yang akan maju dan
melawan aku" Atau kamu mau maju berbareng dan
mengeroyok?"
Rudra Sangkala ini sungguh sombong dan takabur di depan Adityawarman. Namun
demikian Adityawarman tidak marah, ia masih tetap dapat mengendalikan perasaan.
"Makara!" perintahnya. "Cobalah pemuda yang sombong ini apakah benar-benar
keras?" Sebelum Hesti Makara sempat menjawah. Rudra
Sangkala mendahuluinya, "Bagus! Marilah kita coba!"
Lalu dengan sikapnya yang congkak dan sombong,
pemuda ini sudah berdiri tegak sambil membusungkan dada. Mulutnya tersenyum
mengejek sedang sepasang matanya menyala memandang Hesti Makara.
Dada Hesti Makara seperti meledak melihat sikap
pemuda ini. Namun demikian ia masih bersabar, ia membungkuk ke arah Adityawarman
sambil memberikan
sembahnya. Lalu ia menyanggupkan diri melaksanakan perintah itu. Dan setelah itu
barulah ia menghadapi Rudra Sangkala.
"Hai orang muda!" Bentaknya. "Katakanlah dengan apa kita mengukur kekuatan?"
Rudra Sangkala menyeriugai penuh ejekan. Jawabnya,
"Engkau mau menggunakan senjata apa" Silakan! Aku cukup dengan dua tangan dan
dua kakiku ini!"
Berkata demikian Rudra Sangkala mengacungkan dua tinjunya di atas kepala dengan
sikap yang amat merendahkan dan menghina. Sikap ini tentu saja kemarahan Hesti
Makara semakin terbakar. Namun mengingat dirinya lebih tua, ia menekan perasaan.
"Baik! Marilah kita coba dengan tangan kosong.
Majulah!" Hesti Makara mengalah dan tidak mau memulai mengingat dirinya sudah
tua. Rudra Sangkala tidak sungkan-sungkan lagi. Ia
menerjang maju dengau jari tangan terbuka membentuk cengkeraman. Gerakannya
cepat dan aneh. Gerakannya seperti kacau tidak karuan, menubruk dan mencakar.
Begitu menerjang, kedua langannya mencengkeram ke arah kepala lawan. Melihat
serangan lawan yang kacau ini, Hesti Makara tersenyum dingin. Ia tidak bergerak
dan hanya tangan kiri menyambar cepat dengan maksud untuk menangkap pergelangan
tangan lawan. "Aihhh.....!" Hesti Makara berseru kaget sambil
melompat ke samping dan menendang.
Kurang cepat sedikit saja dirinya tentu sudah celaka di tangan pemuda ini dalam
segebrakan saja.
Memang tidak pernah diduga lawan, gerakan Rudra
Sangkala tadi mengandung rahasia gerakan yang belum pernah dikenal oleh Hesti
Makara dan amat berbahaya, tahu-tahu hidungnya mencuim bau yang wangi dan hampir
saja sepasang matanya tertusuk oleh jari lawan, karena tiba-tiba kepalanya
menjadi pening.
Itulah racun wangi yang dapat membuat lawan mabuk dan pening. Dan apabila lawan
kurang berhati-hati menghadapi akan tertipu dan gampang sekali roboh. Rudra
Sangkala sekarang ini sadar berhadapan dengan bahaya.
Maka pemuda ini tidak mau membuang waktu lagi dan ingin secepatnya merobohkan
lawan. Dari kaget Hesti Makara menjadi marah sekali. Ia
membentak keras lalu mengebutkan tangan kanan yang menerbitkan angin dahsyat ke
muka Rudra Siangkala, disusul dengan pukulan tangan kiri ke arah dada kemudian
disusul pula dengan tendagnan kaki kanan ke pusar.
Akan tetapi serangan yang susul menyusul itu oleh Rudra Sangkala dapat
dipunahkan semua dengan ber-lompatan cepat, dan secara diam-diam pemuda ini
telah menjetikkan racun wangi yang disimpan di bawah kuku jarinya yang panjang.
Hesti Makara tidak berani sembrono. Setiap hidungnya menghirup bau wangi, ia
cepat-cepat menutup pernafasan sambil mengebut dengan telapak tangan.
Pendekar Pedang Dari Bu Tong 21 Hong Lui Bun Karya Khu Lung Perjodohan Busur Kumala 15
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama