Ceritasilat Novel Online

Rahasia Dewa Asmara 2

Dewi Sri Tanjung 7 Rahasia Dewa Asmara Bagian 2


Untuk sejenak sepasang mata Sinom Pradopo bersinar marah. Namun dalam waktu singkat, pandang
matanya kembali menjadi sejuk dan penuh perasaan
iba. Caci-maki gadis ini sekalipun amat menyakitkan hatinya, namun masih dapat
ia lawan dan ia usir. Ia sama sekali tidak marah maupun gentar menghadapi
serangan pedang yang cepat itu. Dan Sinom Pradopo
tidak bergerak dari tempatnya berdiri, dan hanya
menggunakan jari tangan untuk menyentil.
Siut.... wutt.... tring.... tring...!
Serangan Sarindah hebat, namun Sinom Pradopo
dapat menghalau dengan baik.
Namun sebaliknya Sarindah yang marah dan penasaran, gemas dan sakit hati, sudah seperti kalap. Walaupun lengannya merasa
kesemutan dan hampir
lumpuh, ia terus memaksa diri dan menghujani serangan dengan ganas sekali.
Betapapun kesabaran ada batasnya. Karena sudah
merasa bersikap mengalah dan berusaha menyadarkan tidak juga gadis ini mau menggubris, pemuda ini menjadi tidak telaten lagi.
Maka ketika pedang Sarindah kembali menyambar dengan dahsyat, ia tidak lagi
menangkis dengan sentilan jari tangan. Dengan gesit Sinom Pradopo sudah melesat
menghindar, lalu memungut ranting bambu berduri yang tadi menjadi alat Sarindah
menyiksa Kaligis maupun Sangkan.
Siut.... trang.... plak...!
Sarindah memekik kaget ketika ranting bambu berduri itu menyabet lengannya, menimbulkan rasa pedas dan lengannya hampir lumpuh.
Akan tetapi Sarindah yang telah kalap dan sakit hati, manakah mungkin mau berhenti" Sambil memekik
nyaring ia kembali menghujani serangan kepada Sinom Pradopo. "Mampus kau.... Huh, laki-laki keparat dan penipu!"
"Hemm.... ternyata kau ganas, Nona," sahut Sinom
Pradopo dengan ucapannya yang tetap halus, tidak
memperlihatkan kemarahan.
Pada saat itu pedang Sarindah secara cepat luar biasa sudah menyabet leher dan gerakan itu malah ia teruskan menikam dada.
Tetapi Sinom Pradopo tidak menghindarkan diri. Ia
sudah mengambil keputusan, perempuan yang sudah
salah mengenal dirinya ini harus dapat ia tundukkan.
Maka Sinom Pradopo lalu menyalurkan hawa sakti pada ranting bambu berduri yang ia pergunakan sebagai senjata. Ketika pedang
Sarindah menyambar, tiba-tiba ranting bambu berduri itu menempel. Dan pada saat
Sarindah kaget dan berusaha menarik kembali senjatanya, Sinom Pradopo secara cerdik sudah memutar
pergelangan tangannya.
Mau tak mau pedang di tangan Sarindah ikut pula
berputar, hingga gadis ini memekik kaget dan berusa-ha mempertahankan pedang
sambil mengerahkan tenaganya. Tetapi sungguh celaka, putaran ranting
bambu itu sulit terlawan dan berbareng dengan bentakan Sinom Pradopo, "Lepas!",
maka pedang Sarindah
sudah lepas dari tangan, terlempar beberapa depa
jauhnya. Sarindah terbelalak tetapi sepasang mata itu menyala. Teriaknya, "Kau.... kau...!"
Hanya itu saja kata-kata yang dapat keluar dari
mulut gadis ini. Sedangkan Sinom Pradopo dengan
tersenyum, kembali menyadarkan, "Nona, kenapa aku"
Sadarlah, Nona, engkau sudah keliru mengenal orang.
Ketahuilah aku bukan Dewa Asmara dan aku bukan
kekasihmu. Sekarang, pergilah engkau dari tempat ini, aku akan menolong dua
orang yang setengah mati oleh tanganmu itu."
Jiwa Sarindah semakin payah terguncang! Dalam
benak gadis ini sudah merasa pasti pemuda tampan
yang ia hadapi sekarang ini adalah Dewa Asmara. Jelas, laki-laki ini yang amat ia cintai dan dengan ikhlas ia sudah menyerahkan
segala-galanya. Dan dalam
rongga telinganya masih terngiang kata-kata lembut
penuh rayu dan kemesraan dari mulut Dewa Asmara.
Akan tetapi sekarang ini betapa penasaran, betapa
sakit hatinya, karena dengan terang-terangan pemuda yang sudah ia serahi jiwa
raga itu kini malah mungkir.
Sungguh merupakan sikap pengecut dan menghina,
yang hanya bisa ditebus dengan nyawa.
"Kakang.... Kakang Dewa Asmara.... apakah engkau
tetap mau mungkir dan tak mau mengakui aku sebagai kekasihku?" ratap Sarindah dengan air mata bercucuran. Sinom Pradopo menatap Sarindah dengan pandang
mata sejuk. Kemudian ia menerangkan, "Nona, sudah
aku katakan, aku bukan Dewa Asmara. Karena itu
Nona harap sadar akan kekeliruan ini."
"Aihhh...!" pekik Sarindah sambil membantingkan
kakinya ke tanah.
Sebenarnya gadis ini marah sekali, tetapi apakah
daya" Ia sudah menyerang dengan pedang secara mati-matian. Namun semua serangannya dengan gampang pemuda itu menghalau. Malah kemudian hanya
menggunakan ranting bambu, pemuda itu berhasil
membuat pedangnya lepas. Maka tidak mungkin dirinya dapat mengalahkan pemuda yang tampan ini.
Kemudian yang dapat ia lakukan, hanya membalikkan tubuh dan menangis. Lalu ia memekik nyaring
dan berlari sambil melolong seperti anak kecil. Guncangan jiwa yang parah dalam
sanubari Sarindah menyebabkan gadis ini menjadi seperti gila!
"Nona, tunggu! Ambillah pedangmu!" teriak Sinom
Pradopo nyaring, ketika tahu pedang Sarindah tertinggal. Akan tetapi
panggilannya itu seperti tidak mendapat perhatian. Sarindah sekarang memang
sudah berubah menjadi gadis setengah gila, akibat guncangan batin yang parah. Hati gadis ini
terlalu sakit merasa telah tertipu. Merasa telah terbujuk oleh kata-kata manis,
habis manis sepah dibuang.
Sarindah lupa sama sekali dan juga tidak sadar, dirinya telah menjadi korban khayalnya sendiri, sebagai pengaruh Aji Netra Luyub
Kakek Madrim. Sinom Pradopo mengamati ke arah Sarindah yang
lari, sambil berkali-kali menghela napas dalam. Dalam hatinya timbul rasa iba
dan kasihan kepada gadis ma-lang itu, yang sudah menjadi korban kata-kata palsu
dari mulut pemuda tidak bertanggung jawab. Dan sekalipun ia belum kenal sama
sekali dengan Sarindah, telah timbul tekadnya untuk berusaha menyadarkan
orang bernama Dewa Asmara itu, apabila kemudian
hari dapat bertemu.
Akan tetapi bagaimanapun timbul pula perasaan
heran dalam hatinya. Mungkin orang bernama Dewa
Asmara itu sama persis dengan dirinya" Mungkinkah
ini" Padahal sepanjang pengetahuannya, dirinya tidak mempunyai saudara kembar.
Ia masih mendengar tangis Sarindah yang melolonglolong seperti anak kecil dari tempat jauh. Akan tetapi pemuda tampan ini
kemudian mengerutkan kening.
Pendengarannya yang tajam, dapat mendengar bahwa
di sela lolongan ini, terdengar pula suara tertawa.
Mungkinkah gadis yang menjadi korban cinta itu sekarang sudah terganggu jiwanya"
Namun pikirannya yang tertuju kepada Sarindah ini
segera ia usir dan sekarang perhatiannya tertuju kepada Kaligis maupun Sangkan
yang pingsan oleh siksaan Sarindah. Pemuda ini kemudian agak tergesa dalam usahanya menolong. Penglihatannya tidak salah
lagi dua orang pemuda ini keadaannya telah payah,
karena lukanya banyak mengeluarkan darah. Ia lalu
menghampiri tonggak yang dipergunakan mengikat
Kaligis dan Sangkan.
Sungguh menakjubkan apa yang kemudian terjadi.
Tali yang kuat itu, hanya beberapa kali renggut dengan jari tangannya sudah
putus semuanya. Kaligis dan
Sangkan yang sudah setengah mati itu, setelah lepas dari ikatan hampir roboh
terbanting. Namun sekali
sambar dua pemuda itu sudah dalam pelukannya.
Sinom Pradopo tidak mempedulikan bajunya ternoda oleh darah Kaligis maupun Sangkan. Kemudian
dengan hati-hati, dua pemuda ini ia rebahkan di atas rumput. Sinom Pradopo
mengerutkan alis, mengetahui
keadaan dua pemuda yang ia tolong ini dalam keadaan payah. Akan tetapi
bagaimanapun ia tidak putus asa
dan sedapat-dapatnya akan memberi pertolongan.
Pemuda ini cepat mengambil air bersih dari sumber
air menggunakan daun pisang. Ia segera mengambil
obat bubuk dari dalam sakunya, lalu ia aduk dengan
air. Agak susah ketika ia meminumkan obat ke mulut
orang yang pingsan itu. Hanya dengan bantuan hawa
sakti saja obat tersebut berhasil ia dorong masuk ke dalam perut.
Setelah Kaligis dan Sangkan mendapat pengobatan
dari dalam, mulailah sekarang ia menyibukkan diri
mengobati luka-luka pada seluruh tubuh Sangkan dan
Kaligis. Sinom Pradopo menggelengkan kepalanya menghadapi luka-luka bekas duri dan pukulan itu. Ia merasa heran sekali, apakah
sebabnya perempuan muda cantik itu kejam ganas seperti ini"
Kemudian dalam hati ia menduga, apa sajakah sebabnya terjadi peristiwa mengharukan seperti ini" Namun karena mengingat keadaan
di tempati ini amat
sepi, maka tentunya dua orang muda ini sudah mempunyai maksud kurang ajar kepada perempuan tadi.
Tetapi celakanya dua orang muda ini ketanggor batunya. Mereka dikalahkan lalu disiksa.
Cukup lama waktu yang harus ia gunakan mengobati luka-luka yang hampir memenuhi tubuh dua
orang pemuda ini. Kendatipun demikian, pemuda ini
tidak mengeluh. Ia membiarkan keringat yang membasahi dahi dan lehernya. Semua perhatian tertuju kepa-da dua orang muda yang
ingin ia selamatkan. Dan ia
merasa wajib menyelamatkan nyawa dua orang muda
ini sekalipun belum kenal sama sekali.
Sungguh mulia pribadi pemuda ini. Dan seperti inilah pertolongan yang ikhlas dan suci itu. Ia menolong tanpa pamrih untuk
kepentingan pribadi. Ia mengu-lurkan tangan dan memberikan pertolongan,
terdorong oleh kewajiban sebagai manusia yang harus saling tolong-menolong
dengan manusia lain.
Setelah semua usahanya membubuhkan obat pada
seluruh luka itu selesai, tibalah saatnya ia membantu kekuatan dengan hawa
sakti. Ia segera duduk bersila.
Telapak tangan kanan ia tempelkan pada punggung
Kaligis dan telapak tangan kiri ia tempelkan pada
punggung Sangkan. Hawa sakti dari dalam tubuh ini ia salurkan ke punggung
Sangkan maupun Kaligis.
Akan tetapi sesungguhnya pertolongan macam ini
akan merugikan diri sendiri. Karena dengan banyaknya hawa sakti yang ia salurkan untuk dua orang ini, berarti dirinya sendiri
akan menjadi lemah.
Siapakah sebenarnya pemuda tampan dan gagah
berhati emas ini" Dia adalah murid tunggal Ki Untoro Digdoyo. Seorang sakti
mandraguna yang telah lama
bertapa dan bermati raga di Gunung Cermai Cirebon.
Sejak kecil pemuda ini memang sudah digembleng lahir dan batinnya tentang kebajikan, tentang kewajiban manusia yang harus selalu
kasih kepada sesama hidupnya.
Jadikan sesama hidup sebagai saudara dan sahabatnya, dan menghindarkan diri dari setiap permusuhan. Itulah sebabnya sekalipun tadi Sarindah mencaci-maki sedemikian rupa, ia
tetap dapat memberi maaf.
Saat sekarang ini ia sedang melakukan perjalanan
pengembaraannya tanpa tujuan tertentu. Sesuai dengan perintah gurunya, ia harus memberikan dharma
bhaktinya untuk kesejahteraan umat manusia. Dan
dalam pengembaraannya ini Sinom Pradopo mendapat
nasihat dan petunjuk, agar banyak menjalin persahabatan dan sedapat-dapatnya menjauhkan diri dari
permusuhan, kecuali apabila memang terpaksa, apa
boleh buat. Sesungguhnya ia ingin sekali memberikan jasa dan
mendapat kedudukan yang cukup tinggi di Majapahit.
Namun gurunya melarang, katanya, "Anakku, apabila
engkau mengabdi kepada Kerajaan Majapahit, engkau
takkan dapat berlaku jujur lagi."
"Mengapa bisa terjadi demikian, Bapa?" ia keheranan. "Gampang saja jawabannya, Anakku. Engkau adalah seorang hamba raja. Dan engkau mau tak mau harus menunaikan kewajibanmu, sesuai dengan kepentingan Raja dan Kerajaan Majapahit. Manakah kau dapat berlaku jujur lagi" Engkau menjadikan dirimu
akan selalu memihak, yaitu kepada kepentingan Raja.
Dan engkau tidak pula dapat melawan perintah Raja,
sekalipun engkau tahu, sekali waktu perintah itu ber-lawanan dengan hatimu
sendiri." Gurunya berhenti mengambil napas. Sejenak kemudian baru melanjutkan, "Engkau terikat oleh kewajiban yang tidak terbantah. Dan manakah mungkin
engkau dapat berdiri di atas keyakinanmu sendiri, jika engkau hidup atas upah
seseorang" Itulah, Anakku,
maka aku seyogyakan hiduplah engkau secara bebas.
Hidup tiada ikatan siapa pun, sehingga engkau akan
dapat mempertahankan kejujuranmu."
Ia mengerti dan menyadari nasihat maupun alasan
yang sudah diucapkan gurunya. Maka dalam perantauannya sekarang ini ia ibarat seekor burung yang terbang bebas. Ia tidak
terikat oleh siapa pun, sehingga ia dapat menentukan langkah sesuai dengan
panggilan jiwanya.
Sekarang ia mengempos hawa sakti dari dalam tubuhnya guna membantu meringankan derita Kaligis
maupun Sangkan. Setelah merasa cukup, ia melepaskan telapak tangannya dari punggung dua orang
itu. Kemudian ia masih harus memejamkan mata guna
memulihkan tenaganya sendiri yang banyak berkurang
untuk dua orang itu.
Pada saat Sinom Pradopo sedang memejamkan mata untuk memulihkan tenaga ini, muncullah tiga orang
pemuda di tempat ini. Tiga orang ini kaget ketika melihat Sangkan dan Kaligis
menggeletak di atas rumput, dan pada pakaian mereka bernoda darah, sedang tak


Dewi Sri Tanjung 7 Rahasia Dewa Asmara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jauh dari dua orang itu terdapat seorang pemuda tampan duduk tidak bergerak.
Memang tidak mengherankan apabila tiga orang
muda ini kaget, melihat keadaan Sangkan maupun Kaligis. Sebab mereka ini adalah Wastu, Warigalit dan Bala Rebo. Mereka merupakan
murid-murid si Tangan
Iblis atau kakek Sarindah, dan merupakan saudara
seperguruan Sangkan dan Kaligis.
Apakah sebabnya mereka sampai di tempat ini" Seperti telah diceritakan dalam buku berjudul "Si Tangan Iblis" dan "Persekutuan
Dua Iblis", adik bungsu Sarindah, yaitu Sentiko, pergi dari rumah secara diamdiam. Guna mencari Sentiko ini semua murid si Tangan Iblis mendapat perintah
mencarinya sampai ketemu.
Akibatnya, tiga orang pemuda ini tidak berani pulang dan terus menjelajah dalam usaha mereka menemukan Sentiko. Karena itu tiga orang murid ini belum mendengar, guru mereka
tewas dalam tangan Gajah
Mada, kurang lebih setengah tahun lalu.
Mereka mengerutkan kening dan curiga melihat
keadaan itu. Tak jauh dari tempat saudara seperguruan itu terdapat pula tiga batang pedang yang menggeletak. Dan dari keadaan
jelas pula telah terjadi perkelahian hebat.
"Celaka!" Wastu berseru tertahan. "Kakang Kaligis
dan Kakang Sangkan pingsan, dan tentu mereka tadi
berkelahi melawan orang itu."
"Dugaanmu benar!" sambut Bala Rebo. "Aku khawatir kalau Kakang Kaligis dan Kakang Sangkan sudah tewas."
"Ahhh, orang itu tidak bergerak dan memejamkan
mata. Mungkin dia terluka dalam setelah berkelahi
dengan Kakang Kaligis dan Kakang Sangkan," Warigalit memberikan pendapatnya. "Huh, Kakang Kaligis
dan Kakang Sangkan harus kita bela. Hayo, orang itu kita keroyok mumpung dalam
keadaan tidak bergerak."
Kalau saja waktu itu Sinom Pradopo tidak tenggelam dalam semadinya untuk memulihkan tenaganya
yang tersedot untuk membantu Kaligis dan Sangkan,
tentu hadirnya tiga orang ini takkan luput dari pengetahuannya. Akan tetapi
dalam keadaan seperti ini telinga Sinom Pradopo seperti tuli. Maka ia tidak
sadar sama sekali, ada tiga orang mengancam keselamatan-nya.
Tiga orang pemuda ini kemudian saling lirik dan
saling memberi isyarat. Pedang itu telah siap dalam tangan masing-masing.
Kemudian hampir berbareng,
tiga orang ini melompat ke depan menikamkan pedangnya. Dua orang menikam dari arah depan dan
seorang menyerang dari belakang!
Siutt wut.... crak crak crak....
"Aduhh...!"
Hampir berbareng tiga orang pemuda itu berteriak
kesakitan. Lengan mereka mendadak lumpuh, sedangkan pedang mereka lepas dari tangan. Untuk sejenak
mereka saling pandang dengan wajah pucat. Kemudian
setelah memungut pedang masing-masing, tiga orang
ini melarikan diri terkencing-kencing.
Mereka menjadi ketakutan setengah mati, karena
menyerang orang yang tidak bergerak, tetapi justru
pedang merekalah yang menjadi runtuh.
Mereka tidak pernah menyadari bahwa pada saat
ini, di sekitar tubuh Sinom Pradopo penuh hawa sakti, dan hawa sakti ini menjadi
semacam benteng baja.
Maka tidaklah mengherankan apabila pedang itu tidak sampai ke sasarannya.
Masalahnya tingkat kepandaian dan ilmu tiga orang
pemuda ini memang masih jauh di bawah tingkat Sinom Pradopo. Karena itu mereka kalah dalam hal tenaga sakti dan pada saat menyerang malah celaka
sendiri. Berbeda apabila tingkat mereka berada di atas Sinom Pradopo, tentu
Sinom Pradopo yang akan celaka dan mungkin saja tewas.
Adapun Sinom Pradopo sendiri tidak menyadari telah mendapat serangan orang. Maka pemuda ini masih
saja memejamkan mata dan tenggelam dalam semadinya. Barulah beberapa saat lagi pemuda ini membuka matanya. Kemudian ketika memalingkan muka dan
melihat Kaligis dan Sangkan, bibirnya menyungging
senyum gembira. Sebab, sekalipun masih belum sadar, tetapi wajah dua pemuda ini
sekarang sudah agak merah.
Sinom Pradopo masih duduk sambil memandang
Kaligis dan Sangkan. Ia menunggu sampai orang yang
ia tolong ini sadar dan kemudian ia ingin mendengar apakah sebabnya dua pemuda
ini menderita sedemikian rupa oleh siksaan perempuan muda bernama Sarindah itu. Akan tetapi ketika teringat kepada Sarindah, tanpa
terasa ia menghela napas panjang. Hatinya merasa iba dan kasihan kepada gadis
itu. Namun sebaliknya, dirinya juga merasa berat apabila harus mengaku sebagai Dewa Asmara.
Tidak terlalu lama Sinom Pradopo menunggu. Kaligis dan Sangkan sudah bergerak hampir berbareng.
Mula-mula dua orang pemuda ini membuka mata, lalu
mereka berusaha meloncat bangkit. Untung pemuda
ini cepat menekan dada masing-masing sambil berkata
halus, "Kalian jangan memaksa diri. Luka kalian cukup parah, maka tetaplah kalian berbaring sambil
menghimpun tenaga memulihkan kekuatan. Lakukanlah dengan tenang, aku akan melindungi ke selamatan kalian."
Dua orang ini tidak membantah, mereka hanya
mengangguk lalu meringis. Memang pada kenyataannya ketika mereka tadi akan bergerak, seluruh tubuh mereka rasakan sakit sekali.
Maka tanpa rewel lagi
mereka segera memejamkan mata.
Ketika itu matahari sudah agak rendah di bagian
barat. Sinarnya agak merah dan lemah, namun dengan
sabar Sinom Pradopo menunggui mereka. Dalam hatinya berpendapat bahwa dalam menolong sesama hidup tidak boleh tanggung-tanggung. Mereka ini harus dapat ia tolong dan ia
selamatkan. Berapa lama kemudian dua orang muda ini menghentikan usaha mereka menghimpun tenaga. Kemudian mereka bergerak perlahan lalu duduk. Seluruh
tubuh mereka rasakan sakit dan pedih, namun demikian mereka menahan diri lalu duduk berhadapan.
Sepasang mata Kaligis mendelik ke arah Sangkan, demikian pula sebaliknya.
Melihat ini Sinom Pradopo segera dapat menduga.
Katanya halus, "Kalian jangan saling menyalahkan,
dan apa yang sudah terjadi, biarlah lewat. Aku tadi menemukan kalian pingsan
oleh siksaan wanita muda.
Maka terangkanlah secara jujur, Kisanak, apa sebabnya wanita tadi sampai menyiksa kalian demikian rupa" Kalian jangan ragu. Aku Sinom Pradopo, menolong kalian tanpa maksud mencari
keuntungan untuk diri
sendiri." Kaligis menundukkan muka, sedang berusaha
mencari jawaban. Timbul perasaan malunya, apabila
harus menceritakan apa yang terjadi sebenarnya.
Berbeda dengan Sangkan yang memang licin dan
cerdik. Jawabnya halus, "Terima kasih atas pertolongan Kisanak. Aku bernama
Sangkan, dan ini kakang
seperguruanku, bernama Kaligis. Hemm, apa yang terjadi memang di luar kehendak kami. Persoalannya demikian. Tadi, kami berdua merasa amat haus dan berusaha mencari sumber air. Kebetulan kami melihat
selokan kecil yang mengalir, dan kemudian kami ikuti aliran itu guna menemukan
sumbernya. Tetapi Kisanak, ahh.... kalau awak lagi sial memang ada-ada saja
halangannya. Kami tidak tahu sama sekali, dan tidak pernah menduga, pada sumber
air itu ternyata terdapat seorang wanita muda sedang mandi dalam keadaan bugil."
Sangkan berhenti, memandang Sinom Pradopo
mencari kesan. Ketika melihat pemuda penolong ini
berdiam diri, ia meneruskan, "Dia terkejut dan kami pun terkejut. Akan tetapi
wanita itu cepat menjadi marah dan menganggap kami mengintip orang yang sedang mandi dan bermaksud kurang ajar. Dia mencaci
kalang kabut. Ucapan perempuan itu menyebabkan
kami tersinggung dan marah, dan kemudian terjadilah tantang-menantang. Kami
kemudian setuju menunggu
perempuan itu selesai berpakaian."
Dalam menuturkan ini Sangkan demikian lancar,
hingga Sinom Pradopo terjebak dan tidak sadar sudah terkibuli oleh dongeng
kosong! Ia menghela napas panjang, lalu katanya halus,
"Seharusnya hal itu tidak perlu terjadi, apabila kalian cepat-cepat meninggalkan
tempat ini sebelum dia selesai berpakaian. Bukankah perempuan membutuhkan
waktu cukup panjang kalau berpakaian?"
"Tetapi kami sudah tersinggung dan marah. Perempuan itu mencaci-maki kami sebagai laki-laki kurang ajar dan mata keranjang,"
sahut Sangkan bernafsu,
seakan benar terjadi. "Maka kami menunggu sampai
perempuan itu selesai berpakaian. Kemudian terjadilah perkelahian sengit. Kami
maju seorang demi seorang, tetapi celaka sekali perempuan itu terlalu kuat bagi
kami. Akhirnya kami dapat dia robohkan lalu kami dia ikat pada tonggak itu dan
selanjutnya...."
"Yang lain aku sudah tahu," potong Sinom Pradopo.
"Hemm, lain kali kalian harap bersikap lebih sabar.
Sekarang sudah hampir petang, padahal kalian masih
lemah dan menderita luka berat. Maka aku anjurkan
kalian beristirahat di tempat ini saja sambil menunggu esok pagi. Aku pastikan
pengaruh obat yang aku bubuhkan pada luka Kisanak, rasa sakit itu akan banyak
berkurang. Esok pagi, basuhlah luka kalian dengan air hangat. Tetapi ah, di
sini.... mana mungkin kalian bisa mendapatkan air panas itu" Sebaiknya begini
sajalah. Esok pagi kalian pergi mencari desa terdekat dan min-ta pertolongan orang. Untuk
itu, baiklah kalian aku beri obat luka untuk perawatan selanjutnya."
Sinom Pradopo mengambil obat luka dua bungkus
besar. Masing-masing ia beri sebungkus sambil berka-ta, "Kisanak, aku percaya
sebelum obat bubuk ini habis, kalian tentu sudah sembuh. Sekarang selamat
tinggal, aku akan meneruskan perjalanan."
"Ahhh...!" seru Kaligis tiba-tiba. "Saudara mau ke
mana?" Sinom Pradopo menggelengkan kepala, jawabnya,
"Aku tak tahu. Aku pergi hanya menurutkan langkah
kakiku tanpa tujuan."
"Kalau demikian, lebih baik apabila Kisanak itu istirahat di sini saja," Kaligis
membujuk. Biasa bagi manusia di dunia ini, sekalipun orang
sudah amat memperhatikan dan memberi pertolongan,
masih juga merasa kurang. Demikian pula Kaligis ini walaupun sudah hampir mati
dan mendapat pertolongan orang, rasanya masih kurang saja.
Namun sesungguhnya Kaligis memang mempunyai
maksud tertentu. Maksudnya agar Sinom Pradopo tidak pergi, dan dengan demikian di samping kesehatannya terjamin, keamanan jiwanya akan mendapat
perlindungan pula. Dan kalau pemuda ini dapat mengusir Sarindah, menjadi jelas, pemuda ini sakti mandraguna.
Akan tetapi Sinom Pradopo menggeleng. Kemudian
sahutnya dengan nada menyesal, "Maafkanlah saya,
Kisanak. Aku tak dapat menunda perjalanan ini dan
biarlah kelak kemudian hari kita dapat bertemu pada lain kesempatan."
Sangkan yang mempunyai maksud lain dengan Kaligis, cepat menjawab, "Terima kasih sekali lagi saya ucapkan kepada Kisanak.
Saya yang rendah ini tidak
berani menahan Kisanak di sini. Selamat jalan Kisanak, dan biarlah kami berdua istirahat di sini malam nanti. Saya percaya, esok
pagi kami berdua akan dapat minta pertolongan kepada penduduk desa yang
terdekat."
Bagi Sinom Pradopo memang tidak ada alasan lagi
terlalu lama di tempat ini. Sesudah memberi anggukan kepala, ia melangkah pergi.
Pelahan saja langkahnya dalam usaha menutupi kecepatannya bergerak. Baru
setelah Kaligis dan Sangkan tidak dapat melihat lagi, Sinom Pradopo berloncatan
cepat sekali seperti terbang. Akan tetapi sekalipun ia bergerak demikian cepat,
benaknya masih saja terpenuhi kenangan yang
baru saja ia alami, ketika Sarindah menubruk lalu
memeluk pinggangnya dan kemudian menciumi.
Pemuda ini kemudian meraba baju bagian dadanya.
Baju itu masih belum kering tersiram oleh air mata
gadis itu. Dan serasa perutnya masih terasa pula ke-lembutan dan kelunakan dada
Sarindah yang membusung. Dan kemudian teringat pula ia akan pelukan pa-da leher dan hadiah kecupan
mesra kembali oleh gadis ayu itu. Bibir yang lembut dan hangat, ketika bertemu
dengan bibirnya, bergerak-gerak lembut membuat jantungnya seperti mau rontok.
Sinom Pradopo menggelengkan kepalanya dalam
usaha mengusir kenangan itu. Desisnya kemudian,
"Kurang ajar engkau Sinom Pradopo. Apakah engkau
sudah berubah menjadi seorang pemuda mata keranjang" Benar perempuan tadi cantik dan menarik. Teta-pi dia istri orang. Engkau
jangan sekali-kali mengulang peristiwa macam itu, dan menggunakan kesempatan
orang yang salai mengenal."
Namun kemudian ia menghela napas panjang. Bagaimanapun ia tidak merasa bersalah. Tadi yang sudah terjadi, ia tidak pernah menduga sama sekali, kalau wanita itu akan
menciuminya. Kalau tahu, tentu
saja ia akan berusaha mencegah dan menghindarkan
diri. *** 2 Kaligis dan Sangkan memang terluka cukup berat.
Untuk bergerak pun sakit, hingga dua orang ini tidak berani beringsut dan
meninggalkan tempatnya tergele-tak. Tetapi masih untung, Sinom Pradopo menempatkan dua pemuda ini pada tempat terlindung, di bawah batu yang menonjol. Dan
dengan demikian mereka dapat terlindung oleh angin maupun embun yang
turun pada malam hari.
"Untung sekali kita tertolong orang," desis Kaligis.
"Kalau tidak, mungkin kita sudah mampus."
"Kau benar, Kakang, dan peristiwa ini baik sekali
untuk kita jadikan peringatan," Sangkan menyahut.
"Karena itu untuk selanjutnya kita harus selalu hidup rukun. Kakang, kita harus
selalu saling bantu."
"Engkau benar, Adi, tetapi lain kali kau jangan memancing kemarahan orang. Apa yang engkau ucapkan
tadi adalah amat menyakitkan hatiku."
Sangkan menyeringai. "Baiklah, Kakang, yang sudah lalu tak akan kuulang kembali."


Dewi Sri Tanjung 7 Rahasia Dewa Asmara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tetapi Adi, waktu-waktu selanjutnya kita masih
dalam bahaya. Sebab kalau kita bertemu dengan Sarindah maupun Sarwiyah, nyawa kita tentu terancam."
"Hemm, apakah sebabnya engkau takutkan soal itu,
Kakang" Dunia ini luas sekali. Kalau kita pandai men-jauhi Sarindah dan
Sarwiyah, kita akan dapat hidup
dengan aman."
"Engkau benar. Setelah guru tiada, kita menjadi bebas. Kita dapat pergi ke tempat jauh." Kaligis termenung sejenak, kemudian
sambungnya, "Tetapi Adi, kalau dahulu engkau tidak membujuk aku, kiranya takkan sampai terjadi peristiwa-peristiwa semacam ini."
"Apakah maksudmu?"
"Kalau dahulu engkau tidak mendorong Ananto sehingga masuk jurang, kemudian kau tidak membujuk
aku membunuh Kebo Pradah dan Tanu Pada, tentunya
baik Sarindah maupun Sarwiyah takkan benci kepadaku. Begitu pula jika engkau tidak mengajak aku bersekutu untuk meracun Julung
Pujud dan guru kita,
tentu saja kita takkan diuber-uber oleh rasa takut seperti sekarang ini."
"Ya, sesungguhnya aku pun menyesal," sahut
Sangkan sambil menundukkan mukanya, nampak sedih. "Lalu bagaimanakah jika kita sudah sembuh dari
luka?" "Entahlah!" Sangkan menggeleng. "Aku pun belum
berpikir sejauh itu. Bagiku yang penting sekarang ini, agar bisa terhindar dari
gangguan siapa pun. Itu sudah cukup. Sedang masalah lain, bisa kita pikirkan
nanti." "Ya, memang sesungguhnya kita ini merupakan
orang-orang sial!" desis Kaligis yang kecewa dan pe-nyesalan. "Coba pikirkanlah,
kita sekarang ini terluka cukup berat dan jauh dari desa. Perutku sekarang ini
melilit-lilit minta isi, tetapi apakah yang bisa kita makan?"
Sangkan tidak menyahut. Tetapi dalam hati ia ketawa mengejek, "Sungguh terlalu saudara seperguruannya ini. Hanya tidak makan sehari saja sudah tidak kuasa menahan mulut."
Dua orang ini kemudian tidak membuka mulut lagi.
Agaknya mereka sudah kehabisan bahan untuk bicara.
Karena tubuh mereka rasakan sakit sekali, maka kemudian Sangkan terpaksa merebahkan diri.
Angin bertiup keras. Kalau tidak terpaksa, takkan
sudi harus berbaring di tempat terbuka seperti ini. Setelah Sangkan merebahkan
diri, Kaligis juga merebahkan diri. Agaknya Kaligis ini orang yang gampang
sekali tidur. Baru saja menggeletak, ia sudah mendengkur seperti babi.
Sangkan memejamkan matanya dan berusaha tidur
pula. Akan tetapi rasa sakit pada tubuhnya amat
mengganggu, sehingga sulit untuk bisa tidur. Lagi pula telinganya merasa bising
dan terganggu oleh dengkur Kaligis yang mirip babi itu. Dengkur yang keras itu
tambah lama menyebabkan Sangkan tidak senang. Ia
menggerutu, mencaci-maki dan menyumpahnyumpah. Dalam keadaan tidak senang ini tiba-tiba dalam benaknya teringat kembali akan ucapan Kaligis yang tadi berusaha mencari selamat
sendiri. Kaligis berusaha
menjerumuskan dirinya. Rasa tidak senang ini kemudian ditambah lagi oleh rasa khawatirnya, jika obat penyembuh luka dari Sinom
Pradopo sampai tidak cukup untuk menyembuhkan lukanya. Bukankah dirinya
akan celaka, dan orang menghina, kalau tubuhnya
banyak luka dan berbau"
Mendadak saja menyelinaplah keinginannya yang
curang dan licik. Pikirnya, "Hemm, hidup berdua dengan Kaligis, apakah
keuntunganku" Selama ini dia banyak menggantungkan kepada pikiranku. Apakah sekarang ini bukan merupakan kesempatan bagus untuk
menyingkirkan dia dari sampingku" Hemm, lagi pula
aku membutuhkan bubuk obat penyembuh luka itu.
Pada saat tidurnya mendengkur seperti babi ini bukankah mudah sekali bagiku untuk membunuh dia
dan merebut bubuk obat itu?"
Ia melirik ke arah Kaligis. Ia melihat pemuda itu tidur telentang dengan mulut
setengah terbuka, hingga dengkur semacam babi itu semakin keras ia dengar.
Melihat kawannya tidur pulas ini, ia menggerakkan
tubuh pelahan dan hati-hati.
Akan tetapi, aduhhh.... hampir saja ia menjerit. Sebab ketika menggerakkan
tubuh, seluruh tubuhnya
menjadi nyeri dan cekot-cekot. Seakan sendi-sendi tu-langnya mau copot dan
kumpulan rasa sakit itu menyebabkan kepalanya seperti mau pecah.
Ia menghentikan gerakannya guna mengurangi rasa
sakit. Setelah rasa itu berkurang, barulah ia berani
merangkak lagi.
Walaupun kesulitan, akhirnya Sangkan berhasil juga mendekati Kaligis, dan pemuda yang tidur pulas ini tidak sadar jiwanya
terancam oleh pengkhianatan kawan sendiri....
Kaligis baru kaget dan berusaha memberontak, ketika lehernya merasa terjepit sesuatu yang menyebabkan sulit bernapas. Ia
berusaha melepaskan sesuatu
yang mencekik lehernya dengan dua tangan, sedang
tubuhnya ia gerakkan untuk membantu meronta guna
melepaskan diri.
Tetapi justru gerakan tubuhnya ini yang membuat
Kaligis kesakitan setengah mati. Luka-luka yang semu-la tertutup oleh obat itu,
sekarang lepas dan darah kembali mengalir dari luka. Dan dalam keadaan tubuh
sakit dan sulit bernapas ini menyebabkan Kaligis cepat kehilangan kekuatan. Dan
akhirnya Kaligis menghem-buskan napas yang terakhir oleh cekikan tangan
Sangkan. Sangkan yang tadi terpaksa harus mengerahkan
kekuatan untuk mempertahankan cekikan itu, sekarang menggeletak lemas dengan napas memburu. Pengerahan kekuatan tadi, menyebabkan tubuhnya lemas
dan sakit-sakit. Akan tetapi sekalipun demikian tangannya tidak mau berhenti dan
gerayangan mencari
saku Kaligis untuk mengambil obat.
Untung juga, tak lama kemudian obat yang ia butuhkan itu ketemu, lalu ia masukkan dalam saku bajunya sendiri. Akan tetapi hampir berbareng dengan
rasa puas yang memenuhi dada itu, ia lalu pingsan.
Demikianlah kebiasaan yang terjadi di dalam pergaulan manusia hidup yang belum memiliki kesadaran
hidup yang sebenarnya. Hingga manusia dapat dengan
gampang berbuat keganasan dan kekejaman melebihi
binatang buas. Dapat membunuh kawan sendiri dan
sampai hati pula menohok kawan seiring.
Apakah sumber dari segala perbuatan manusia seperti ini" Tidak lain adalah pamrih untuk kepentingan diri sendirilah yang
menjerumuskan manusia kepada
perbuatan sesat dan jahat seperti ini.
Entah itu uang, pangkat, pekerjaan, entah pula jabatan dan kekuasaan. Manusia dengan gampang mencelakakan orang lain. Terjadinya peperangan antar negara dan bangsa, bukankah
sumbernya oleh pamrih
itu sendiri" Beberapa gelintir manusia yang kebetulan berkuasa, berdalih membela
bangsa dan negara, membakar semangat rakyatnya untuk mengangkat senjata
dan berperang. Untuk saling bunuh dengan manusia
lain yang dianggap musuh. Kemudian kekejaman, keganasan yang mendirikan bulu roma berlangsung seperti hukum sudah tidak ada lagi.
Selama manusia tidak mau mawas diri, tidak mau
mengamati apa yang berlangsung dalam diri, di luar
diri, di lingkungan maupun tempat hidup, dengan
keinginan akan kekuasaan, keuntungan, kedudukan,
kekayaan, nama besar dan lain sebagainya, selama itu pula kebencian,
pertentangan keganasan dan saling
bunuh akan terus berlangsung.
Kekejaman, keganasan, fitnah dan lain sebagainya
itu sebenarnya adalah perwujudan dari rasa takut.
Hingga kemudian berusaha melarikan diri dengan jalan yang licik dan licin, menyingkirkan orang lain, baik dengan cara curang,
pengecut maupun terang-terangan.
Selama manusia dihinggapi oleh rasa iba diri dan
ketakutan ini, selama itu pula di dunia ini takkan terjadi perdamaian manusia
itu sendiri. Yang kemudian
semua tindak dan perbuatan, berlandaskan "sadar diri" yang ikhlas. Bukan sadar diri yang pura-pura oleh pengaruh-pengaruh
keuntungan pribadi.
Bukankah apa yang sudah dilakukan oleh Sangkan
terhadap Kaligis sekarang ini, karena takut dan iba akan diri sendiri itu"
Dengan jalan licik kemudian ia menohok kawan seiring, hingga Kaligis mati. Kawan
akan cepat berubah menjadi lawan dan keluarga akan
cepat berubah menjadi musuh.
*** 3 "Ke mana aku harus pergi mencari dia?" keluhnya
sepanjang jalan, karena Sarwiyah merasa bingung untuk menuju agar bisa bertemu dengan tunangannya
itu, Warigagung.
Memang tidaklah mengherankan apabila Sarwiyah
harus berpikir rangkap dalam usaha mencari Warigagung. Ia sudah mengenal watak Warigagung maupun
Julung Pujud. Guru dan murid itu sama anehnya. Jika mencari akan sulit, tetapi
kalau tidak mencari malah datang sendiri.
Guru dan murid itu memang gemar berkelana menurutkan langkah kaki dan kemauan. Dan sesungguhnya ia merasa ngeri pula, jika teringat kegemaran Warigagung yang selalu
bermain-main dengan binatang berbisa itu.
Bukankah waktu itu, pertemuannya yang pertama
kali dengan Warigagung juga tidak sengaja" Dan perkenalannya yang pertama kali itu terjadi dengan
adanya perkelahian antara Sarindah dengan Warigagung. Untung sekali Warigagung mempunyai watak
aneh. Ia amat menghormati wanita, sehingga pemuda
itu terhadap wanita tidak sampai hati untuk melukai maupun mencelakai. (Baca
buku berjudul "Persekutuan Dua Iblis")
Sekalipun demikian Warigagung bukanlah seorang
pemuda baik hati. Ia bisa berbuat ganas dan kejam
apabila berhadapan dengan laki-laki. Hal ini terbukti dengan serangannya yang
menggunakan jarum beracun terhadap lima orang murid kakeknya, seperti yang sudah
pernah diceritakan oleh Mahisa Singkir kepada Sarindah.
Karena ragu, kemudian Sarwiyah mengaso dan duduk di atas akar pohon yang rindang. Ia menyeka peluh yang membasahi dahi dan leher. Dan diam-diam
gadis ini kemudian terkenang kepada pemuda pertama
yang ia serahi hatinya, Kebo Pradah. Kalau saja Kebo Pradah yang juga merupakan
salah seorang murid kakeknya itu masih hidup, kiranya ia takkan harus men-galami
seperti ini. Setelah kakeknya tewas, bagaimanapun ia masih bisa membangun rumah
tangga baha- gia dengan Kebo Pradah. Namun sayangnya pemuda
itu sekarang sudah mati. Semua sudah berlalu, dan tidak dapat ia sesalkan lagi.
"Hemm, Mbakyu Sarindah terlalu keras hati," ia
kembali mengeluh. "Mengapa permusuhan yang tidak
menguntungkan ini harus terus berlangsung" Dan bukankah baik ayah maupun kakek itu mati menebus
hasil perbuatannya sendiri?"
Sarwiyah menghela napas panjang. Ia merenungrenung memikirkan nasib dan jalan hidupnya sekarang ini. Namun mendadak ia mengangkat kepalanya. Telinganya yang sudah terlatih menangkap suara mencurigakan. Suara orang-orang yang melangkah dengan hati-hati. Ternyata kemudian dugaannya benar belaka. Ia sekarang sudah terkurung oleh delapan laki-laki, sedang mulut mereka menyeringai
seperti iblis. Diam-diam
Sarwiyah berdebar juga, dan kemudian lebih berdebar lagi ketika pandang matanya
tertumbuk pada pandang
mata laki-laki tinggi besar dan berewok. Sepasang ma-ta si berewok itu seperti
mata seekor anjing yang melihat daging dijemur.
"Heh heh heh heh," Si berewok terkekeh. "Ternyata
engkau cantik juga, Denok. Tetapi apakah sebabnya
engkau seorang diri di dalam hutan ini dan tampaknya kau sedih pula" Denok,
siapakah namamu, sayang?"
Walaupun ucapan si berewok ini cukup halus, tetapi Sarwiyah mengerutkan alis. Ucapan dan sikap si berewok ini tidak sesuai.
Ucapannya cukup halus akan
tetapi pandang matanya itu seperti kucing melihat tikus gemuk.
Naluri seorang gadis memberi tahu bahwa delapan
orang ini bukan orang baik-baik. Tentu mereka ini merupakan perampok yang
mengganas kepada setiap
orang. "Siapakah kalian ini?" tanya Sarwiyah sambil meneliti satu persatu.
Si berewok terkekeh. Ia membusungkan dada, lalu
jawabnya sombong, "Denok, ketahuilah aku ini adalah penguasa hutan. Akulah
pemimpinnya, sedang mereka
ini anak buahku. Sebagai raja dalam hutan ini, aku
sudah menetapkan peraturan, siapa pun yang berani
menginjakkan kaki di hutan ini, harus membayar pajak." "Pajak?" Sarwiyah keheranan. "Mengapa harus
membayar pajak" Raja sendiri tidak pernah membuat
peraturan semacam itu. Mengapa kau malah lancang
membuat aturan begini?"
"Heh heh heh heh," si berewok terkekeh, dan giginya yang besar dan kuning itu tampak di sela-sela bibirnya yang hitam.
"Sekalipun Raja Majapahit sendiri apabila masuk dalam wilayahku ini terkena
peraturan pula dan harus membayar pajak."
"Bagaimanakah bentuk pajak itu?" pancingnya.
Mendengar pertanyaan ini tujuh orang yang kedudukannya sebagai anak buah tertawa riuh. Agaknya
mereka menjadi geli oleh pertanyaan itu. Sedang yang kedudukannya sebagai
pemimpin terkekeh pula.
"Heh heh heh heh, pajak itu harus dibayar dengan
seluruh milik orang yang masuk ke wilayahku ini."
"Kalau tidak punya apa-apa?"
Makin riuh anak buah itu menertawakan Sarwiyah.
Namun gadis yang memang mempunyai tabiat halus
dan penyabar ini, hanya mengerutkan alis, sekalipun dalam hati marah.
"Huh ha ha hah," pemimpin rampok itu ketawa terbahak-bahak. Lalu sambil beraksi menggidik-gidikkan kepala, ia menjawab, "Denok,
dengarlah! Namaku Joyo Brewu. Sesuai dengan namaku, maka sekalipun aku
raja di hutan ini, aku adalah kaya raya. Semua anak buahku cukup terjamin, tidak


Dewi Sri Tanjung 7 Rahasia Dewa Asmara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kurang suatu apa. Mereka dapat hidup dengan tenang, melebihi kehidupan
para bupati di Majapahit."
Joyo Brewu berhenti dan menatap Sarwiyah, mencari kesan. Sejenak kemudian sesudah ia memilin kumisnya yang tebal itu, meneruskan, "Sebagai seorang raja di dalam rimba ini, aku
bertindak cukup bijaksana dan adil. Mereka yang lewat di rimba ini tetapi tidak
memiliki apa-apa terdapat pula peraturan yang berlaku. Jika orang yang tidak
membayar itu laki-laki, ma-ka orang itu harus kami tangkap dan kami penjara.
Tetapi apabila yang tidak dapat membayar pajak itu
perempuan, apalagi seorang gadis muda seperti Denok yang cantik ini, ha ha ha
ha, tentu saja kami tidak sampai hati untuk menghukum. Engkau malah akan
memperoleh kesempatan menikmati hidup mulia dan
bahagia di istanaku. Sebab engkau akan menjadi salah seorang istri si raja hutan
ini. Ya, menjadi salah seorang selirku, ha ha ha ha."
"Hemm," dengus Sarwiyah yang mulai marah.
"Enak saja kau membuka mulut. Siapakah yang sudi
hidup di dalam hutan ini kumpul dengan kalian yang
jelas merupakan perampok hina" Huh!"
Para anak buah perampok itu menjadi riuh lagi
mendengar jawaban Sarwiyah yang demikian berani.
Adapun Joyo Brewu juga ketawa geli, hingga perutnya yang gendut itu bergerakgerak seperti dalam perutnya terdapat seekor ular hidup.
"Heh heh heh heh, siapa pun tidak dapat melawan
peraturan yang berlaku di sini. Denok, engkau jangan menunggu aku marah. Lebih
baik engkau menyerah
saja, kemudian aku boyong dan hidup sebagai ratu dalam istanaku. Engkau tahu,
Denok, engkau berusaha
melawan pun tak ada gunanya."
Ucapan ini menyebabkan Sarwiyah merasa terhina
dan direndahkan. Mendadak dengan kecepatan luar
biasa, seleret sinar putih menyambar ke depan, ke
arah leher Joyo Brewu.
"Hayaaa...!" kaget juga Joyo Brewu oleh serangan
yang tidak terduga ini. Namun ia seorang pemimpin
perampok yang berilmu tinggi. Serangan tidak terduga ini dapat ia hindari dengan
berlompatan. Memang cepat juga gerakan Sarwiyah, dari menghunus pedang dan terus menyerang, hanya memerlukan waktu beberapa kejap. Ia sekarang berdiri tegak sambil melintangkan
pedangnya di depan dada. Sepasang mata yang bening itu seperti menyala mengamati mereka. Ia sadar sekali
bahwa menghadapi delapan
orang lawan ini memang tidak ringan.
Namun demikian ia sudah memutuskan, lebih baik
dirinya melawan sampai titik darah penghabisan, daripada harus menjadi tawanan
para perampok ganas ini.
Adapun Joyo Brewu yang sudah berdiri tegak di tanah, matanya menyala marah. Bentaknya menggeledek, "Hai Denok! Apakah engkau bandel dan berusaha
melawan kami" Engkau perempuan dan hanya seorang
diri pula, maka takkan mampu melawan kami. Denok,
hemm, sungguh sayang juga apabila aku harus menggunakan kekerasan. Sayang pula kalau kulitmu yang
halus lumar itu sampai lecet, dan sayang juga kalau dadamu yang membusung dan
lembut itu sampai berlubang. Ah, Denok, dadamu demikian membukit penuh betapa sedap dipandang mata, kalamana kau sudah melepaskan kain penutup dada itu."
Ucapan pemimpin perampok yang mulai tidak senonoh ini disambut secara riuh oleh anak buahnya.
Merekapun kemudian meniru pemimpin mereka, mulai
berani mengucapkan kata-kata yang tidak senonoh
dan cabul. Ucapan mereka ini menyebabkan Sarwiyah merah
wajahnya, malu berbareng marah sekali. Mendadak
gadis ini sudah melengking nyaring, kemudian menerjang dengan pedangnya.
Joyo Brewu cepat menghindar diri sambil berteriak,
"Mundur kamu semua! Kurung saja jangan sampai lolos. Biarlah aku sendiri yang akan menangkap dia.
Heh heh heh heh, aku ingin mencoba, sampai di manakah kepandaian Denok kuning ini."
Tujuh orang anak buah itu pun sudah mundur secara patuh. Kemudian sambil mempersiapkan senjata
masing-masing, mereka berdiri dalam keadaan siap
siaga. Joyo Brewu dan Sarwiyah sudah saling berhadapan. Sarwiyah dengan pedang tipis, sedang Joyo
Brewu menghadapi bertangan kosong. Masalahnya
Joyo Brewu merasa cukup percaya akan kemampuan
diri, di samping pula timbul rasa sayang apabila sampai melukai gadis ayu ini.
"Hemm, jika engkau terlalu memaksa, jangan salahkan aku apabila pedang ini melubangi dadamu!"
bentak Sarwiyah.
Bentakan ini disambut oleh suara ketawa Joyo Brewu yang terkekeh. Jawabnya, "Denok, mengapa engkau keras kepala dan berusaha melawan aku" Percayalah engkau tidak bakal menang melawan aku.
Oleh sebab itu lebih baik engkau menyerah saja baik-baik, dan engkau akan aku
angkat sebagai istri yang terkasih."
Ia berhenti mencari kesan. Sejenak kemudian ia
terkekeh, lalu sambungnya, "Heh heh heh heh, engkau akan menjadi ratu. Denok,
aku berjanji, akan selalu membahagiakan dirimu."
"Keparat! Setan alas!" lengking Sarwiyah yang sudah marah sekali. "Mulutmu kotor dan cabul. Huh,
engkau harus mampus dalam tanganku hari ini."
Siut wut.... "Hayaaaa...!"
Sambaran pedang gadis ini yang cepat sekali dan
berantai, mengejutkan Joyo Brewu. Karena sekali serang, gadis ini sudah menyerang mata, pelipis, leher, dada dan ulu hati.
Untung juga Joyo Brewu cukup waspada. Ia dapat
menggagalkan semua serangan gadis ini. Dan diamdiam ia menjadi amat khawatir, apabila dirinya sampai kalah, apabila tetap
mempertahankan diri dengan tangan kosong. Sebagai seorang kasar dan selalu bergelimang dengan kejahatan sejak masih muda, apabila keselamatannya terancam, ia akan kembali menjadi buas dan
ganas. Dan jika perlu, walaupun pada mulanya ia merasa tertarik oleh kemudaan dan wajah ayu Sarwiyah, tidak segan lagi untuk
membunuhnya demi keselamatan diri.
Siutt.... wutt.... trang trang....
Ternyata gerakan Joyo Brewu cepat juga, ketika
mencabut golok kemudian menangkis sambaran pedang Sarwiyah yang mengancam dada dan pundaknya.
Akibat dari benturan senjata itu, dua-duanya terhuyung mundur. Bedanya kalau Joyo Brewu hanya selangkah ke belakang, tetapi Sarwiyah sampai tiga
langkah ke belakang. Dari kenyataan ini terbuktilah dalam hal tenaga, Joyo Brewu
memang di atas lawan.
Sesungguhnya Joyo Brewu ini memang bukan sembarangan. Sebelum menjadi perampok di wilayah ini,
ia pernah ikut beberapa kali pemberontakan.
Di dalam buku "Jasa Susu Harimau", sudah pernah
pula Joyo Brewu ini berhadapan dengan Dewi Sritanjung. Dan hampir saja Dewi Sritanjung celaka oleh jarum beracun yang dilepaskan
apabila tidak ditolong
oleh Kiageng Tunjung Biru, gurunya.
Sarwiyah menjadi kaget juga ketika lengannya terasa kesemutan, ketika pedangnya berbenturan dengan
golok lawan. Namun demikian gadis ini tidak menjadi takut, dan ia kembali
menerjang ke depan dengan pedangnya.
Trang trang trang...!
Terjadi lagi benturan senjata dan kembali mereka
saling terhuyung ke belakang. Para anak buah yang
menonton di pinggir mengamati penuh perhatian. Tetapi mereka percaya, pada akhirnya pemimpin merekalah yang bakal menang.
Pendapat mereka ini ternyata benar. Setelah dua
puluh lima jurus berlalu, Joyo Brewu mulai menampakkan keunggulannya. Pedang Sarwiyah yang semula
bergerak cepat itu, makin lama ruang geraknya menja-di semakin sempit dan
seakan-akan medan perkelahian dipenuhi oleh sambaran golok Joyo Brewu yang
tajam. Masih untung bagi Sarwiyah, setelah Joyo Brewu
dapat menekan lawan, seleranya untuk memiliki gadis muda dan ayu ini kembali
menguasai dadanya. Serangan-serangannya kemudian selalu berusaha untuk
meruntuhkan pedang lawan, dan menghindarkan gadis ini jangan sampai terluka dan celaka di tangannya.
Diam-diam Sarwiyah mengeluh juga menghadapi
kenyataan ini. Ternyata pemimpin perampok ini ilmunya cukup tinggi. Walaupun ia sudah mengerahkan
kepandaiannya, ia belum juga dapat mengatasi, malah sebaliknya ia terkuasai oleh
lawan. Dalam keadaan
demikian ini, Sarwiyah menjadi nekat. Ia tak mungkin menyerah, sebelum nyawa
lepas dari raga.
"Hiaaaattttt...!" lengking Sarwiyah dalam usahanya
menambah semangatnya, sambil menyambarkan pedangnya ke dada lawan, lalu ia teruskan untuk membabat pinggang.
"Lepas!" tiba-tiba terdengar teriakan Joyo Brewu
yang nyaring disusul menyambarnya golok.
Trang.... "Aihhh...!"
Benturan yang kuat sekali menyebabkan Sarwiyah
tidak kuasa lagi mempertahankan pedangnya. Berbareng dengan teriakan gadis ini yang nyaring, pedang itu sudah terbang, lalu
disambar oleh salah seorang
anak buah Joyo Brewu.
"Heh heh heh heh, apakah engkau masih tetap
membandel, Denok ayu"!" ejeknya bangga, sambil menyarungkan goloknya.
Wajah Sarwiyah sebentar merah sebentar pucat.
Hatinya menjadi khawatir sekali disamping bingung.
Dirinya tidak mempunyai senjata yang lain, padahal
melawan dengan senjata saja dirinya tidak mampu.
Apalagi sekarang tanpa senjata, manakah mungkin bisa menang"
Akan tetapi ia sadar apabila terus melawan sampai
nyawanya lepas dari raganya justru lebih menguntungkan dirinya dibanding menyerah. Karena jika
sampai menyerah, nasibnya akan lebih celaka lagi.
Pendeknya, sekalipun hanya menggunakan kaki dan
tangan, ia harus melawan terus.
"Heh heh heh heh, Denok, apakah keuntungan kita
terus berkelahi seperti ini" Lebih baik antara engkau dan aku saling peluk dan
berciuman. Ha ha ha ha,
bukankah asyiiikkk?"
"Jahanam. Mulutmu kotor!" teriak Sarwiyah marah
berbareng malu. "Huh, engkau bisa menjamah diriku,
sesudah aku tak bernyawa lagi!"
Lalu dengan nekat Sarwiyah sudah menerjang maju
menggunakan tangan dan kaki untuk menyerang.
Tangan kanan terkepal meninju dada, sedang tangan
kiri dengan jari terbuka setengah melengkung siap untuk mencengkeram leher.
Tetapi atas serangan ini Joyo Brewu hanya terkekeh
mengejek. Pemimpin perampok ini dalam hal tenaga
justru jauh lebih kuat. Maka atas serangan ini Joyo Brewu tidak berusaha
mengelak, malah ia menyambut
serangan itu dengan maksud menangkap.
Tak! "Aduhhh...!"
Joyo Brewu terhuyung mundur dan berjingkrak
sambil berkaok-kaok, kemudian meringis seperti kera makan terasi. Ternyata lawan
sudah menggunakan kecerdikannya dengan menendang tengah selakangan
Joyo Brewu. Masih untung bagi Joyo Brewu, tendangan itu tidak
mengena secara tepat. Namun demikian tengah selakang yang amat perasa dan ringkih itu, terkena oleh tendangan, menyebabkan Joyo
Brewu merasa kesakitan setengah mati. Rasanya cekot-cekot sampai ke ubun-ubun,
campur dengan rasa panas, kliyeng-kliyeng dan pandang matanya menjadi kabur.
Sarwiyah tidak memberi kesempatan lawan bernapas dan terus mengejar dengan serangan-serangannya.
Akan tetapi karena kemudian Joyo Brewu sudah memutarkan goloknya yang tajam, menyebabkan gadis ini tidak berani sembrono.
Joyo Brewu yang menderita kesakitan setengah mati itu menjadi penasaran. Maka sambil menyelamatkan nyawanya ia berteriak,
"Maju! Keroyok! Kalau perlu
bunuhlah gadis setan ini!"
Sekali saja sudah cukup perintah yang ia berikan
itu. Tujuh laki-laki kasar ini segera menerjang maju saling mendahului. Tetapi
mengingat Sarwiyah sekarang sudah tidak bersenjata lagi, maka merekapun
menyerang tanpa senjata pula. Dan dalam keadaan
seperti ini masing-masing ingin lebih dahulu dapat
menangkap, dan kalau perlu akan diajak bergumul.
Dengan mata menyinarkan api gadis ini mengamuk.
Dua orang yang menerjang dari depan ia sambut dengan sambaran kaki dan tangan kanan. Tetapi bersamaan dengan itu, ia merasakan sambaran dari belakang, kiri maupun kanan. Ia melengking nyaring dan
menjejakkan kakinya, melenting agak tinggi di udara.
Usahanya ini berhasil menghindarkan diri dari serangan lawan. Tetapi setelah berada di udara, ia menjadi kaget sendiri. Baginya
tidak mungkin dapat mengapung di udara terus-menerus. Padahal di bawah telah menunggu tujuh lelaki liar, mulut mereka menyeringai, siap untuk menangkap. Diam-diam ngeri juga
kalau dirinya sampai dapat tertangkap oleh mereka,
sebab laki-laki kasar itu akan dapat berbuat liar dan melebihi batas.
Akan tetapi Sarwiyah memang bukan gadis tolol.
Pada saat tubuhnya melayang kembali ke bawah, ia
menggunakan kecerdikannya. Mendadak ia mengambil
salah sebuah tusuk konde yang mengancing sanggulnya. Tusuk konde itu kemudian ia patahkan menjadi
dua potong. Lalu potongan tusuk konde itu ia sambitkan sebagai senjata rahasia.
Cap.... cap....
"Aduhhh...!"
Plak.... bukk....
"Aduhhh...!"
Serangan tidak terduga ini menyebabkan empat


Dewi Sri Tanjung 7 Rahasia Dewa Asmara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang perampok gulung koming kesakitan. Yang dua orang terluka oleh tusuk konde
pada pipi dan dahi, sedang yang dua orang lagi terjerembab oleh pukulan
tangan yang mengenai ubun-ubun, sedang yang seorang oleh tendangan yang mengenai tengkuk.
Akan tetapi sekalipun sekaligus ia cepat merobohkan empat lawan, dirinya menderita rugi juga. Salah satu pukulan dari perampok
mengenai betis, menyebabkan ketika dirinya menginjakkan kaki ke bumi
agak sempoyongan.
Saat itu seorang perampok menerjang dengan cara
menyerang kaki. Dan celakanya dari belakang menubruk perampok yang lain. Guna menyelamatkan diri ia melempar diri ke samping.
Tetapi.... Bret.... bajunya robek lebar oleh cengkeraman perampok. "Aihh...!" teriak gadis ini yang kaget, dan wajahnya menjadi pucat.
Koyaknya baju ini menyebabkan dadanya terbuka.
Kendati dada itu masih dilindungi oleh kain penutup dada, namun gadis ini merasa
malu sekali. Guna menutup dadanya yang membusung ini terpaksa ia harus
menggunakan tangan kiri, memegang pinggir baju.
Karena luka yang diderita para perampok itu hanya
ringan dan menderita agak berat hanya seorang yang
terpukul ubun-ubunnya, maka dengan kemarahan
yang meluap-luap para perampok yang terluka ini
hampir berbareng sudah menghunus senjata lalu menerjang. Tadi pemimpin sudah memerintahkan, kalau perlu
harus dibunuh. Maka apabila perempuan ini harus
terbunuh mati, mereka takkan dipersalahkan oleh
sang pemimpin. Joyo Brewu juga sudah berkurang rasa sakitnya.
Dengan wajah beringas pemimpin perampok ini sudah
melompat maju pula. Bentaknya kemudian, "Mundurlah kalian! Aku sendiri yang akan menyelesaikan gadis liar ini!"
Perintah ini segera diturut pula oleh anak buahnya.
Mereka saling berloncatan mundur, tetapi senjata masih tetap siaga.
Menghadapi ancaman bahaya ini, terpikir oleh Sarwiyah antuk melarikan diri. Akan tetapi hal ini juga tidak mudah ia lakukan,
sebab disamping anak buah
perampok ini mengurung dengan senjata, kakinya pun
masih terasa sakit sekali.
Sementara itu Joyo Brewu yang beringas sudah
menghampiri dengan golok besar yang siap dalam tangan. Sepasang mata pemimpin perampok ini mendelik
dan menyala, mengerikan sekali. Kemudian dari mulutnya terdengar desisnya, "Kubunuh kau! Kucincang
tubuhmu!" Diam-diam Sarwiyah gentar juga. Apakah yang harus ia lakukan sekarang" Namun tiba-tiba dari dalam hatinya timbul keputusan,
"Huh, lebih baik mati!"
Setelah memutuskan lebih baik mati, mendadak saja hatinya menjadi mantap. Ia berdiri dengan mata tidak berkedip, menjaga segala
kemungkinan. Untunguntungan, kalau Joyo Brewu menyerang dengan goloknya, ia akan berusaha menghindar sambil melompat, kemudian ia akan berusaha merebut golok lawan.
Setelah jarak antara Sarwiyah dengan Joyo Brewu
tinggal dua depa lagi, Joyo Brewu berhenti.
"Mampuslah kau!" bentaknya menggeledek.
Hampir berbareng dengan bentakannya, tubuh yang
tinggi besar itu sudah melompat ke depan sambil
membabatkan goloknya.
Trang.... "Aihh...!"
Pekik tertahan itu keluar dari mulut Sarwiyah maupun Joyo Brewu.
Sarwiyah tadi hanya merasakan sambaran angin
yang halus. Kemudian ia mendengar suara senjata
berbenturan. Dan ketika gadis ini memperhatikan,
berseru gugup, "Oh.... kau...!"
"Benar," sahut pemuda bersenjata pedang itu, dan
sekarang sudah berdiri di dekat Sarwiyah.
Hadirnya pemuda itu secara tiba-tiba dan telah dapat menangkis golok Joyo Brewu ini, menimbulkan kegemparan. Para anak buah perampok itu kaget. Dan
lebih kaget lagi malah Joyo Brewu sendiri. Sebab tangkisan pedang pemuda itu
dapat menyebabkan goloknya terpental dan ia merasakan pula lengannya kesemutan dan telapak tangannya panas. Joyo Brewu amat
penasaran, namun demikian ia tidak berani sembarangan. "Mbakyu, mana pedangmu?" tanya pemuda itu
sambil menatap Sarwiyah.
Gadis ini agak malu juga mendengar pertanyaan ini.
Sahutnya lirih, "Pedangku.... telah dirampas oleh jahanam itu...."
"Apakah sebabnya engkau sampai dikeroyok?"
"Mereka adalah perampok-perampok ganas yang berusaha merampok keselamatanku."
"Hemm, kalau demikian gunakanlah pedangku ini
untuk melindungi keselamatanmu."
"Apa?" Sarwiyah terbelalak kaget. "Kau.... apakah
mempunyai senjata lain?"
"Terimalah dahulu. Hayolah, gunakanlah pedangku
ini." Sarwiyah menerima juga pedang dari pemuda itu.
Tetapi ketika melihat pemuda yang menolong ini tidak bersenjata lagi, kaget,
"Adi.... mana senjatamu?"
"Engkau tidak perlu khawatir, Mbakyu. Aku masih
sanggup menghadapi manusia busuk ini dengan tangan dan kakiku. Kewajibanmu sekarang, pergunakanlah pedang itu untuk membabat anak buahnya."
"Tidak!" bantah Sarwiyah dan berusaha mengembalikan pedang itu.
"Mbakyu, tidak banyak waktu untuk berbicara. Sekarang gunakan pedang itu guna melawan para perampok itu, dan pemimpin itu serahkanlah padaku."
Sarwiyah masih akan berkata lagi, tetapi pemuda
penolongnya ini sudah melompat maju dan menerjang
Joyo Brewu hanya bertangan kosong.
Sarwiyah menjadi amat gelisah. Namun demikian ia
sudah tidak mempunyai waktu lagi, karena para perampok itu sudah bergerak maju dan mengurung.
Trang.... trang.... cring.... plakk...!
Sambaran pedang pinjaman di tangan Sarwiyah
disambut oleh senjata para perampok yang mengeroyok. Lengan Sarwiyah merasa tergetar juga oleh
tangkisan senjata lawan. Akan tetapi dengan adanya
pedang di tangannya sekarang ini, ibarat seekor harimau tumbuh tanduk. Sarwiyah
mengamuk dengan hebatnya, sedangkan pedang itu dalam waktu singkat
sudah bernoda darah, sebagai hasil melukai pundak
seorang perampok.
Di pihak lain Joyo Brewu menggeram keras. Kemarahannya meluap-luap, maka pemimpin perampok ini
menjadi amat buas. Goloknya menyambar dengan
dahsyat. Angin sambaran golok itu cukup kuat, dan
baru sambaran angin goloknya saja sudah bisa membuat dada sesak.
Tetapi Joyo Brewu sekarang ini ibarat menyerang
bayangan. Gerakan pemuda ini terlalu cepat, sehingga diam-diam Joyo Brewu
menjadi kaget berbareng heran.
Maka sambil membentak nyaring, ia menyabatkan goloknya lagi secara berantai. Arah sasarannya pundak, dada dan pinggang.
Siut.... wutt...
"Ahhhhh...!"
Tetapi lagi-lagi sambaran golok itu luput, malah
Joyo Brewu berseru kaget saking heran. Sebab tahutahu pemuda yang ia hujani serangan itu sudah lenyap. Pada saat ia bingung ini, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa di
belakangnya. Joyo Brewu cepat
membalikkan tubuh sambil menyabatkan goloknya.
Tetapi lagi-lagi mengenai angin, karena goloknya kalah cepat dengan gerakan
pemuda itu. Dadanya seperti meledak, melawan seorang pemuda
bertangan kosong saja kesulitan. Tetapi bukanlah Joyo Brewu kalau tidak cerdik
dan pandai mengenal gela-gat. Ia sadar, tingkat pemuda ini masih di atas
dirinya. Maka tidaklah mungkin dirinya bisa menang. Ingat
akan keadaan ini, mendadak saja timbullah keinginannya dapat hidup lebih lama lagi.
Wutt.... wutt....
Ia kembali menyerang dengan ganas, namun kemudian segera melompat dan melarikan diri.
Pemuda ini tidak mengejar. Ia hanya memungut batu. Tangannya lalu bergerak menyambit.
Wutt..., batu tersebut menyambar dengan kecepatan luar biasa.
Tak.... "Aduuhhh...!"
Jerit nyaring terdengar dari mulut Joyo Brewu, kemudian pemimpin perampok ini roboh dengan kepala
pecah. Sebagai akibatnya pemimpin perampok yang
ingin menyelamatkan diri ini malah tewas.
Melihat pemimpin mereka sudah melarikan diri,
kemudian roboh dalam tangan pemuda itu, kuncuplah
nyali mereka. Tiba-tiba mereka berteriak, lalu lari tunggang-langgang mencari
selamat. "Huh, mau lari ke mana kamu"!" bentak Sarwiyah
sambil akan mengejar.
"Jangan!" cegah pemuda itu sambil melompat dan
menghadang di depan Sarwiyah.
Hadangan itu tiba-tiba dan di luar dugaan Sarwiyah. Sudah tentu gadis ini sulit untuk menahan
langkah, sehingga terpaksa menubruk pemuda itu.
Untung ketika itu pedangnya di sebelah kanan tubuh.
Kalau pedang itu di depan, mungkin pedang itu bisa
makan tuan. Pemuda yang menolong itu kaget sendiri dan cepat
menggunakan tangannya untuk memeluk, menahan
Sarwiyah agar tidak terpelanting jatuh. Sebaliknya
Sarwiyah tanpa sesadarnya pula sudah memeluk pemuda itu, sedang pedangnya terlepas jatuh.
Pemuda ini memang terlalu dekat dalam usaha
menghadang. Maka tak mengherankan apabila berakibat mereka harus bertubrukan dan berpelukan.
"Ahhh...!" terdengar pekik Sarwiyah yang tertahan.
"Mbakyu, maafkanlah aku," pinta pemuda ini sambil melepaskan pelukannya.
Akan tetapi ketika lengan yang semula memeluk itu
lepas, tiba-tiba mata pemuda ini terbelalak. Baju bagian depan gadis ini
terbuka. Dan walaupun dada itu masih tertutup oleh kain penutup dada, namun yang
membusung itu tampak nyata dan kulit yang kuning
ini menyebabkan jantung pemuda ini bergetar hebat.
*** TAMAT Sala, Minggu Akhir Maret 1987
Maafkan penulis, sampai di sini dahulu cerita ini ki-ta akhiri, tetapi bukan
berarti tamat. Masih mengganjal dalam dada kita, siapakah sebenarnya pemuda
yang menolong Sarwiyah itu" Nama belum disebut dan
celakanya jantung pemuda ini bergetar hebat ketika
melihat payudara Sarwiyah yang membukit penuh.
Nah, pada lanjutan cerita ini yang berjudul
"PERJALANAN YANG BERBAHAYA", anda akan tahu.
Siapakah yang melakukan perjalanan berbahaya
ini" Anda akan menemukan jawabannya dalam buku
tersebut di atas.
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Clickers
Document Outline
*** 1 *** 2 *** 3 *** TAMAT Golok Sakti 1 Pusaka Golok Iblis Dari Tanah Seberang Seri Pengelana Tangan Sakti Karya Lovelydear Makam Bunga Mawar 10

Cari Blog Ini