Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H Bagian 8
pikir lagi segera disambitkan senjata rahasianya.
Seketika terlihat Nisi Hujin meliukkan badan di tengah udara, lantas meluncur sambil
sempoyongan, tanpa banyak bicara lagi terus putar tubuh lari dengan pesatnya. Terlihat
pakaian putihnya itu berkibar-kibar dibawah penerangan sinar bulan purnama, Thian-ki bagai
baru sadar dari lamunannya, tanyanya kejut kepada To Yung : "Apa dia terkena senjata
rahasia?" To Yung menunduk tanpa bicara hanya sedikit manggut, Thian-ki membanting kaki, serunya:
"Celaka, mari lekas kejar, mungkin masih sempat memberi obat pemunah kepadanya."
Secepat angin Thian-ki dan To Yung berlari-lari kembali ke markas besar Kim-hoan-kau,
suasana malam yang kelam ini sunyi senyap, secara diam-diam mereka mendorong pintu
memasuki kamar tidur Nisi Hujin. Terlihat diatas belandar tinggi-tinggi bergelantungan
seseorang". Terasa sesal pedih dan kepiluan merangsang sanubari Thian-ki, saking tak tahan lagi terasa
pandangannya menjadi gelap terus terbanting pingsan. Situasi di markas besar Kim hoan kau
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
menjadi kacau balau sejak meninggalnya Nisi Hujin dengan cara menggantung diri itu. Malam
itu juga To Yung menolong Thian-ki terus melarikan diri sejauh mungkin.
Untuk selanjutnya mereka berdua tidak berani tinggal terlalu lama diluar perbatasan sana,
seperti dikejar setan mereka terus kembali ke dataran tengah, dimana waktu itu mereka lewat
kota raja. Karena Thian-ki selalu murung dan bersedih, diusulkan oleh To Yung secara iseng,
secara diam-diam menyelundup ke istana raja untuk tamasya. Benar juga usul ini mendapat
sambutan hangat dari Thian-ki, seketika timbul semangat barunya, mengandal ilmu ringan
tubuh mereka yang sempurna malam-malam dengan mudah saja mereka selulup timbul di
keraton raja itu. Tujuan To Yung semula hanyalah untuk menghibur hati Thian-ki yang terluka akan kematian
Nisi Hujin itu, menyelundup ke istana raja ini hanya untuk menghibur diri melihat-lihat dan
menambah pengalaman. Tak terduga disini mereka menimbulkan perkara lagi.
Kiranya sewaktu luntang-luntung dalam kraton itu, mereka melewati sebuah bangunan
gedung besar dan tertutup rapat, lain dari bangunan gedung umumnya yang berada dalam
lingkungan istana kerajaan itu. Dimana dilihatnya serombongan thaykam (dorna) mengiring
seorang pejabat yang berpakaian dinas tengah lewat. Menggunakan kesempatan inilah To
Yung dan Thian-ki semakin jauh beranjak kedalam istana raja itu dengan menyelundup
diantara rombongan ini. Siapa tahu setelah belok sana putar sini, sekian lama mereka berjalan
rombongan itu membawa To Yung dan Thian-ki ke suatu tempat, yaitu sebuah bangunan
gudang. Waktu pintu gerbang gudang ini dibuka seketika pandangan mereka terbelalak, keadaan
dalam gudang sedemikian mewah dengan segala harta benda yang tak ternilai harganya, ada
mutiara, ada jamrut dan banyak lagi yang menyilaukan mata.
Ternyata bahwa upeti dari berbagai daerah dan negara tetangga selama beberapa tahun serta
hasil pajak dan harta benda yang dikuras dari rakyat jelata semua disimpan dalam gudang
harta kerajaan ini. Setiap benda ada ditempeli kartu keterangan. Sudah tentu Thian-ki dan To
Yung menjadi gatal tangan dan ketarik benar untuk mengambilnya. Tak tertahan lagi tanpa
berjanji mereka terus melesat masuk dan menyembunyikan diri didalam sana. Untung para
rombongan ini hanya mengambil serenceng mainan mutiara yang besar-besar dimasukkan
kedalam sebuah kotak kumala terus bergegas mengundurkan diri.
Begitu mereka keluar Thian-ki dan To Yung segera meloncat keluar, sedemikian besar gudang
ini, tapi penuh dengan segala barang dan benda berharga yang tak terhitung banyak dan
nilainya, sehingga tanpa terpasang pelita keadaan gudang itu sudah terang benderang dengan
penerangan segala cahaya barang-barang pusaka itu. Thian-ki sampai berjingkrak-jingkrak
seperti orang gila yang ketiban rejeki nomplok, setiap benda yang dijamah dan disentuhnya
terasa sayang dan tiada yang tidak disenanginya.
Tengah mereka kegilaan itulah mendadak terdengar suara berdentum keras. To Yung masih
dapat mengendalikan diri, seketika ia sadar bahwa itulah suara pintu gerbang gudang itu
tertutup, cepat-cepat ia memperingati Thian-ki terus berlari kearah pintu. Tapi sudah
terlambat karena pintu gerbang yang besar terbuat dari pintu baja tebal itu sudah tertutup
rapat dan dikunci dari luar. Betapapun tinggi Lwekangnya juga jangan harap dapat keluar dari
gudang harta ini. Keruan kejut dan takut mereka berdua bukan buatan, tanpa peduli lagi akan semua harta
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
pusaka yang menyilaukan mata itu, bergegas mereka berlarian kian kemari mencari jalan
keluar. Setengah harian mereka berputar-putar, hanya ditemui dipinggir sebelah sana ada
sebuah jendela yang dirajeki besi baja besar tak mungkin dapat digeser atau diputuskan.
Saking lesu dan kecapaian akhirnya mereka meloso duduk dilantai, harapan satu-satunya
adalah kalau ada orang masuk lagi mengambil atau menyimpan harta kemari baru ada
kesempatan melarikan diri.
Tak tersangka semalam sudah lewat, pintu besi itu masih terkunci rapat. Begitulah nanti punya
nanti sampai hari kedua waktu hari sudah hampir magrib, Thian-ki tidak kuat lagi dia
bergelantungan diatas jendela menanti orang lewat, terpaksa mereka harus coba-coba
menempuh bahaya. Ternyata harapan mereka ini tidak tersia-sia, harap punya harap terlihat seorang dayang
tengah berjalan pelan-pelan mendatangi. Tak peduli segala akibatnya lagi segera Thian-ki
berseru memanggil: "Cici! Cici!" dayang itu menjadi heran dan takut serta celingukan,
dilihatnya sekelilingnya tiada bayangan seseorang, terang dia curiga akan salah
pendengarannya atau mungkin disangka diganggu genderwo.
Maka Thian-ki lantas berseru lagi lebih keras: "Disini ! Hai aku diatas jendela !"
Sekarang dayang itu mendengar tegas, berputar tubuh kepalanya mendongak memandang ke
arah tempat Thian-ki. Kontan Thian-ki berseru memuji dalam hati, Eh, molek benar dayang ini,
masih muda lagi paling banyak berusia tujuh-delapan belas, bertubuh langsing dan montok
menggiurkan. Semula dayang itu mengunjuk kejut dan heran, sorot matanya rada-rada takut. Tapi dilain saat
Thian-ki melihat bola matanya itu berputar-putar entah tengah memikirkan apa. Besar juga
nyali dayang kecil ini. Apakah yang tengah dipikirkannya" Demikian batin Thian-ki. Mungkin
dia tengah berpikir perlukah dia memanggil orang lain. Thian-ki menjadi gelisah diam-diam
dijemputnya sebutir mutiara lalu dipersiapkan, begitu melihat dia lari segera akan disambitnya
dan merobohkannya. Namun setelah ditunggu sejenak, agaknya dayang itu sudah bertekad bulat, bukan pergi
malah datang menghampiri dibawah jendela, bukan takut dan kuatir sebaliknya wajahnya
mengulum senyum riang. Tak terkendali Thian-ki menjadi tegang sendiri, jantungnya berdebur
keras. Setelah dekat dibawah jendela, dilihat sekelilingnya tiada seorang pun, lalu dia
membesarkan hati maju semakin mendekat, kini jarak mereka sudah dekat hanya teraling
rajek besi diatas jendela itu, lapat-lapat terendus oleh Thian-ki bau wangi di sanggul
kepalanya, serta melihat lebih tegas betapa cantik jelita dayang ini.
Watak Thian-ki memang bergajul dan bangor, terlupakan olehnya bahwa dirinya tengah
terkurung ditempat bahaya, dengan termangu-mangu ia pandang wajah nan elok ini, sampai
lupa untuk bicara. Dayang itu tertawa manis, katanya: "Kau ingin aku menolongmu keluar bukan?"
Melihat orang begitu pintar dan cerdik, girang hati Thian-ki, sahutnya cepat: "Ya, ya benar. Aku
yang rendah Thio Thian-ki dengan seorang kawan kesalahan masuk ketempat terlarang ini,
harap cici suka mengulur tangan menolong kami keluar, sungguh tak terhingga terima kasih
kami ! Harap tanya siapakah nama harum cici?"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Dayang itu tertawa lagi, katanya: "Aku she Kim bernama Lee-ing, tidak sukar aku menolongmu
keluar, tapi kau harus memenuhi permintaanku dulu."
Sungguh tak duga bahwa orang bisa mengajukan syarat, cepat ia menyahut: "Bagus, bagus
sekali. Asal cici dapat menolongku keluar dari sini, apapun syaratnya, pasti aku dan sahabatku
itu akan melulusi !"
Kim Lee-ing memberi tahu kepada Thian-ki bahwa dia sebenarnya berasal dari luar perbatasan
di utara. Di rumahnya masih ada ayah bundanya serta beberapa kakaknya. Ayah dan kakaknya
itu pandai bermain silat. Dua tahun yang lalu kebetulan waktu ayah dan para kakaknya itu
keluar, tiba-tiba Lee-ing diculik oleh orang jahat terus dibawa masuk ke pedalaman sini, dijual
kepada seorang pedagang besar dijadikan pelayan. Kebetulan tahun itu gadis keluarga hartawan itu kena terpilih oleh petugas kerajaan harus dimasukkan ke istana menjadi dayang di
kraton, karena berat ditinggalkan anak gadisnya, akhirnya Lee-inglah yang menjadi korban
untuk menggantikan gadis majikannya, sejak saat itu dua tahun sudah berselang dirinya
menjadi dayang di kraton ini, ayah serta keluarganya diluar perbatasan itu masih belum
mengetahui akan jejaknya ini. Syarat yang diajukan ialah supaya Thian-ki suka mengirim kabar
kepada ayahnya, dengan kepandaian silat ayah dan para saudaranya yang lihay itu, dia
percaya dirinya pasti dapat ditolong keluar dari kraton yang membelenggu hidupnya ini.
Tanpa banyak pikir lagi segera Thian-ki menyanggupi. Lee-ing berjingkrak girang, terus berlari
pergi. Dengan gelisah dan kurang tentram Thian-ki dan To Yung menanti. Sampai hari
menjelang tengah malam, baru terlihat Kim Lee-ing mendatangi, dari balik lengan bajunya
dikeluarkan sebilah cundrik yang tipis bagai kertas, sekali iris saja jeruji besi sebesar ibu jari
kaki itu dengan gampang kena diputuskan seperti memotong tahu, terbukalah luang untuk
keluar melarikan diri. Tersipu-sipu To Yung dan Thian-ki mengemasi dua buntalan besar, dipilihnya benda-benda
yang paling mahal dan indah, lalu dengan kedua buntalan besarnya itu mereka bolos keluar
dari lobang jendela itu. Malam-malam itu juga mereka kempit pula Kim Lee-ing terus dibawa
keluar istana, dengan kepandaian Ginkang yang sempurna itu mudah saja mereka melarikan
diri dari lingkungan kraton yang terjaga ketat itu.
Mereka insaf bahwa pihak kerajaan pasti akan tahu bahwa gudang harta kerajaan kebobolan
dan pasti akan mengadakan penggeledahan besar-besaran, maka mereka bertiga lantas
cepat-cepat tinggalkan kota raja. Terlebih dulu mereka pendam barang-barang curian dari
gudang harta istana raja itu di ruang bawah tanah dibawah puncak Gun-u-leng bekas markas
besar So-keh-pang dulu. Lalu memenuhi permintaan Kim Lee-ing mengantarnya keluar
perbatasan. Kim Lee-ing pernah berkata bahwa ayah serta para engkohnya adalah tokoh-tokoh silat
kenamaan diluar perbatasan, tinggi ilmu kepandaiannya. Thian-ki bertanya tentang nama
serta asal usul perguruan ayah serta engkohnya itu, tapi Kim Lee-ing mandah tertawa saja.
Waktu sampai diluar perbatasan, mereka menginap pada suatu rumah makan, disana Thian-ki
terlalu banyak minum arak sehingga mabuk, dibawah penerangan cahaya pelita, terasa dalam
pandangan Thian-ki betapa cantik moleknya Kim Lee-ing, timbullah nafsu birahi hendak
memperkosa si gadis suci ini. Siapa tahu Kim Lee-ing adalah gadis suci keturunan dari keluarga
lurus, meskipun cantik tapi hatinya tabah dan bersikap dingin terhadap rayuan Thian-ki, saking
tak tahan lagi Thian-ki melolos pedang hendak memaksanya, karena tak sudi ternoda akhirnya
dia gigit lidah sendiri untuk bunuh diri.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Bersama To Yung, Thian-ki baringkan tubuh Kim Lee-ing dibawah ranjang terus tersipu-sipu
tinggal lari supaya tidak meninggalkan jejak dan takut diketahui orang. Siapa duga baru saja
mereka keluar dari penginapan itu, ditengah jalan mereka berpapasan dengan enam laki-laki
berseragam hitam. Satu diantaranya begitu melihat Thian-ki segera berseru kejut: "Yah,
bukankah tuan ini adanya?"
Seorang tua diantara mereka segera maju menyapa: "Tuan penolong yang berbudi. Lohu
adalah Hek-liong Kim Thay dari luar perbatasan, inilah lima orang putra2ku. Kami mendapat
kabar bahwa tuan penolong katanya berada disini. Maka aku orang tua yang bodoh segera
membawa kelima putraku ini berkunjung kemari untuk menyatakan banyak-banyak terima
kasih akan pertolongan tuan terhadap putri bungsu kami itu !" habis berkata terus
membungkuk tubuh. Bermula Thian-ki berdiri terlongong-longong saking kaget, dasar cerdik dan banyak akal,
segera ia menduga bahwa mereka adalah ayah serta para engkoh dari Kim Lee-ing itu yang
telah menyambut datang. Lama sudah ia pernah dengan kebesaran nama Hek-liong (naga
hitam) Kim Thay sebagai tokoh silat yang paling disegani diluar perbatasan utara. Orangnya
jujur bersikap gagah perwira, tapi sepak terjangnya sukar diselami, kadang-kadang lurus tapi
juga suka nyeleweng. Senjata tombak pendek bercabang serta senjata rahasia aneh itulah
yang telah mengangkat nama serta disegani kaum persilatan! Karena ilmu silatnya yang lihay
itu, banyak tokoh-tokoh silat dari aliran hitam atau putih banyak yang gentar dan segan
menghadapi gembong kenamaan ini.
Diam-diam Thian-ki mengeluh dalam hati, mengapa tidak sebelum peristiwa ini terjadi dia
mengetahui bahwa Kim Lee-ing ternyata adalah putri tunggalnya, sekarang kesalahan besar
telah terjadi cara bagaimana baiknya"
Dalam keadaan yang terdesak dan serba susah ini, terdengar Naga Hitam Kim Thay berkata
lagi: "Putriku Lee-ing telah tertolong oleh tuan, betapa besar budi kebaikan ini, kita ayah
beranak takkan melupakan selama-lamanya. Harap sukalah memberi tahu dimanakah kiranya
sekarang putriku itu berada?"
Bukan menjawab dengan kata-kata mendadak Thian-ki malah rangkapkan kedua jari tangan
kanannya secepat kilat dan tiba-tiba meluncur menutuk tenggorokan Kim Thay.
Kejadian yang mendadak akan serangan keji ini sungguh mengejutkan kelima putra Kim Thay
itu, mereka berteriak kejut dan sampai kesima. Di saat kedua jari Thian-ki hampir menyentuh
badan orang, tiba-tiba timbul rasa penyesalan dalam benak Thian-ki, maka dari serangan
tutukan ia ganti menjadi tamparan, hanya terpaut serambut saja tangannya menyerempet
liwat. Sementara itu, untuk menghindar diri Naga hitam Kim Thay doyongkan atas tubuhnya ke
belakang, dengan susah payah ia lolos dari lobang jarum ini, namun demikian angin tamparan
Thian-ki yang tajam itu cukup membuat tenggorokannya tersumbat sementara dan terasa
kulitnya pedas. Tanpa memberi kesempatan mereka bergerak turun tangan, sekali berkelebat Thian-ki
kembangkan ilmu ringan tubuhnya yang lincah dan aneh itu, sekejap mata saja tahu-tahu
bayangannya sudah menghilang dari pandangan orang banyak. Demikian juga seenteng asap
mengembang To Yung juga melesat pergi mengintil dibelakang Thian-ki. Mereka terus lari
kembali ke Thio-keh-cheng, disini mereka mengeram dan sembunyi sekian lamanya.
Sampai permulaan tahun yang lalu, saking iseng terkenang oleh Thian-ki dan To Yung akan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
barang-barang yang mereka simpan dan sembunyikan dibawah tanah dibawah gedung bobrok
keluarga So-keh-pang itu, sore hari itu mereka sampai di Ki-lam, secara kebetulan dilihatnya
putri Li-tihu yang bernama Li Hong-gi diajak ibunya pergi sembahyang di kelenteng. Sudah
lama Thian-ki mendengar akan kecantikan Li Hong-gi, sekali pandang lantas ia mengakui
bahwa kecantikan Li Hong-gi memang melebihi keelokan Nisi Hujin, kontan berkobar lagi
sifat-sifat bangornya yang sudah sekian lama ini terpendam.
Malam hari itu Thian-ki lantas menyusup kedalam gedung kediaman Li-tihu. Dibawah cahaya
pelita dilihatnya betapa eloknya Li Hong-gi ini, berusia muda masih perawan lagi. Teringat
akan usia sendiri yang sudah mulai menanjak pertengahan, seketika timbul suatu perasaan
dan angan-angan aneh dalam benaknya.
Teringat olehnya bahwa putra tunggalnya Thian-ih sekarang sudah menanjak dewasa, usianya
juga sembabat dengan gadis remaja ini. Jodoh Thian-ih kelak mana mungkin bisa memperoleh
isteri yang rupawan dan agung seperti Li Hong-gi ini. Terbalik dengan sepak terjang
kebiasaannya, tak tega dia memetik kuncup bunga yang sedang mekar ini, terasa rendah dan
kerdil dirinya ini bila dibanding dengan sang putri yang kecantikannya melebihi bidadari ini.
Seumpama kodok buduk merindukan rembulan, tak berani lagi ia menambah dosa untuk
menodai badan Li Hong-gi yang suci bersih.
Usia Thian-ih putra tunggal yang diakui sebagai adiknya itu sudah hampir dua puluh, tiba
saatnya untuk dicarikan jodoh, apa pula jeleknya kuculik Li Hong-gi ini untuk kujodohkan
kepada anakku itu" Demikianlah setelah ia bertekad mengambil keputusan malam itu juga dia
culik Li Hong-gi dari gedung Li-tihu terus dibawa ke puncak Gun-u-ling.
Mungkin memang sudah takdir Tuhan bahwa perbuatan dosa serta kejahatannya yang sudah
bertumpuk-tumpuk sekian banyak ini harus dia tebus dengan kematiannya. Hari itu sungguh
jelek nasibnya, malam itu dia berpisah dengan To Yung dan seorang diri melakukan
pekerjaannya. Li Hong-gi dimasukkan ke dalam sebuah kantongan besar terus dipanggulnya
sampai gedung bobrok markas besar So-keh-pang dulu, tujuannya adalah membawanya
masuk untuk disembunyikan di ruang bawah didalam perigi itu.
Diluar tahunya sejak kematian putrinya dendam dan geram sekali Naga hitam Kim Thay dan
kelima putranya itu, dengan tekun mereka menyirapi dan mencari tahu jejak Thian-ki. Malam
itu siang-siang mereka sudah menunggu dan mengatur rencana untuk menanti
kedatangannya. Demikian juga Hi Si-ing murid tunggal Thian-ki ternyata juga telah menyusul
tiba di puncak Gun-u-ling itu karena dia mencurigai sepak terjang gurunya yang nyeleweng itu.
Seorang diri akhirnya Thian-ki tidak kuat bertahan dikeroyok enam orang, dia mati konyol
dibawah tangan keenam orang berkedok hitam itu, saking benci dan dendam mereka terhadap
Thian-ki, sengaja dengan senjata mereka yang aneh itu mereka mencacah hancur seluruh
tubuh Thian-ki, serta meninggalkan catatan yang menerangkan segala hal-ihwal tentang
peristiwa yang telah terjadi ini.
Itulah cerita panjang yang dituturkan To Yung kepada Thian-ih di dalam ruang bawah tanah
itu. Tak lupa diterangkan juga oleh To Yung akan sepak terjangnya sejak kematian Thian-ki
semua adalah demi kebaikannya. Persis benar dengan keterangan yang diberikan oleh Hun-tai
Siancu kepada Thian-ih tempo hari.
Setelah cerita To Yung habis, mereka duduk berhadapan, merenung dan termangu, To Yung
tahu bahwa pikiran Thian-ih sedang kacau, maka dia bungkam tak bicara lagi. Diambilnya lagi
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
arak simpanannya untuk diminum dan dihabiskan sendiri.
Selang sejenak dilihatnya Thian-ih masih terpekur dalam pikirannya, kedua pipinya merah
membara, timbullah rasa kasih sayangnya terhadap putra sahabatnya ini. Harus diketahui
bahwa hubungan To Yung dan Thian-ki sedemikian akrab melebihi persahabatan orang lain.
Perhatian To Yung terhadap Thian-ki memang lain dari yang lain. Kalau dikata To Yung
menjadi bayangan atau duplikat Thian-ki memang tidak berkelebihan.
Sekarang Seng-po-sat Thio Thian-ki sibudha hidup sudah mati, maka To Yung lantas
mengalihkan perhatiannya terhadap Thian-ki kepada Thian-ih, dipikulnya tanggung jawab
keselamatan Thian-ih keatas pundaknya sendiri.
Terdengar To Yung berkata halus: "Thian-ih, semua pengalaman dan kejadian yang lalu sudah
kututurkan kepadamu, kau tidak menyalahkan aku bukan"! Hatiku gelisah dan pikiran kacau
balau perasaan beku lagi, seolah-olah hidupku ini tiada sandaran lagi, besar tekadku untuk
menyelimuti dosa serta kejahatan yang telah diperbuat oleh ayahmu. Bersama itu aku ingin
kau sukses, luntang lantung kian kemari mengatur tipu daya serta membunuh orang,
perbuatan itu tak mungkin tercegah dan kenyataan sudah berlarut, memang harus kuakui
Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bahwa tindak tandukku itu agak kelewat batas.............." berhenti sebentar, lalu sambungnya
lagi: "Tapi, apapun yang telah kulakukan itu adalah untuk kebaikanmu, untuk
kebaikanmu............." suara To Yung sampai gemetar sember.
Thian-ih lantas berpikir; persis benar akan keterangan Hun-tai Siancu, meskipun sepak terjang
To Yung ini rada nyeleweng, hakikatnya memang untuk kebaikan dirinya. Sudah tentu tak enak
hatinya untuk membencinya selalu, karena pikirannya ini hatinya menjadi sedikit lega dan air
mukanya juga mulai tenang lagi.
To Yung tahu bahwa Thian-ih sekarang sudah dapat memaklumi isi hatinya, tiba-tiba bangkit
semangatnya, katanya tertawa: "Sekarang semua sudah beres ! Kau sudah tahu semua duduk
perkara ini. Kini ilmu silatmu juga sudah maju pesat setelah digembleng, biarlah kuajarkan
juga ilmu riasku serta Ginkangku kepada kau. Tentang pelajaran senjata rahasia yang
mengandung bisa itu terserah kau mau mempelajari. Mengandal kepandaianmu sekarang
cukup sebagai bekal untuk malang melintang di dunia persilatan, kau harus mewarisi tanggung
jawab dan cita-cita ayahmu sebelum ajal, kau harus muncul di Kangouw dengan baju perak
serta pedang emasnya itu, lakukanlah dharma bakti bagi sesama manusia untuk kesejahteraan
masyarakat umumnya."
Sungguh tak kira sedemikian besar simpatik dan penghargaannya terhadap perasaan. Thian-ih
tunduk diam tanpa mengeluarkan suara.
Kata To Yung lagi: "Hong-gi sangat mencintai kau, entah dimana dia sekarang berada. Namun
bagaimana juga aku akan membantu kau mencarinya sampai ketemu, kau juga tidak perlu
sungkan dan rikuh-rikuh lagi. Secepatnya kalian harus segera melangsungkan perjodohan ini,
supaya lega dan terhibur hatiku. Semua harta benda dalam ruangan ini kuserahkan kepadamu
sebagai mas kawin kalian kelak supaya dapat hidup bahagia dan sentosa!"
Melihat orang tetap membisu, To Yung juga membisu sebentar, lalu berkata pula memancing:
"Apakah kau masih berminat hendak menuntut balas bagi ayahmu" Keenam orang berkedok
itu adalah si Naga hitam Kim Thay serta anak-anaknya yang sangat kenamaan di luar
perbatasan sana. Sekarang kalau kau berminat menuntut balas, segampang kau membalikkan
tangan." TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Thian-ih melengak tanyanya: "Apa maksudmu ini?" Melihat pancingannya berhasil membuat
Thian-ih buka mulut, girang hati To Yung, ujarnya sambil tertawa: "Keenam orang ayah
beranak itu begitu kebentur ditanganku, ternyata sedemikian tidak berguna, sedikit aku
menipu saja, lantas aku dapat mengurung mereka bersama. Sekarang kalau kau berniat
membunuh mereka, seumpama kau menangkap kura-kura dalam belanga, gampang sekali
tanpa ada perlawanan. Dan aku tanggung pasti mereka pasrah saja kau penggal kepalanya."
setelah berkata ia bergelak tertawa.
Saking heran dan tidak mengerti, Thian-ih bertanya: "Dalam hal ini aku masih belum dapat
ambil keputusan, apakah aku harus menuntut balas terhadap mereka !"
"Benar!" seru To Yung sambil bertepuk tangan. "Pendapatku sama dengan kau, meskipun
mereka ayah beranak telah membunuh ayahmu, tujuannya adalah menuntut balas akan
kematian Kim Lee-ing yang tidak berdosa itu. Betapa juga tindakan mereka adalah benar dan
harus dimaklumi. Dan yang terpenting dan harus dipuji, mereka mengantar pulang Li Hong-gi
ke Kilam tanpa kurang suatu apa. Maka............waktu aku mengatur jebakan mengurung
mereka, untuk membunuh mereka juga hanya sekali kerja saja. Tapi selamanya setiap
tindak-tandukku tentu kuperhitungkan sebelumnya. Seperti kau, aku ragu-ragu haruskah aku
turun tangan, sekian lamanya aku tidak kuasa ambil keputusan, begitulah sampai berlarut
hingga sekarang." Thian-ih berpikir, omongannya ini memang dapat dipercaya. Menurut cerita Hun-tai Siancu
bahwa meskipun dia terlalu sumbar menyebar maut sehingga menimbulkan banyak kematian,
namun yang dibunuh olehnya itu rata-rata adalah gembong silat jahat yang memang sudah
setimpal dengan perbuatannya. Berpikir sampai disini tiba-tiba teringat olehnya akan Ciu Hou,
segera ia bertanya gugup: "Paman To, dimana Ban-keh-seng-hud Ciu Hou sekarang?"
Panggilan 'paman To' ini membuat hati To Yung syur girang bukan kepalang, wajahnya berseri
ria, sahutnya: "Thian-ih, kau tidak usah kuatir, aku tidak membunuhnya. Karena kuatir dia
menceritakan kejelekan ayahmu kepada umum, maka kugebah dia dengan berbagai ancaman
yang menakutkan itu, sehingga dia tidak enak makan, tidak bisa tidur, selalu dalam kekuatiran.
Ciu Hou betul-betul seorang baik, sampai sekarang belum pernah dia mengatakan tentang
rahasia-sia itu. Maka aku tidak bisa membunuhnya, tapi kukurung dia di suatu tempat yang
terahasia." Kata Thian-ih: "Apa dikurung bersama Kim Thay ayah beranak?"
To Yung manggut-manggut, katanya: "Tidak salah. Mereka kukurung disatu tempat, di gunung
Bu-ciok-san yang terletak tidak jauh dari Sam-ho. Dulu bersama ayahmu aku pernah
menemukan sebuah lembah yang terbentuk oleh alam, maka kali ini aku tipu Kim Thay dan
putra-putranya masuk kedalam lembah itu. Demikian juga kuantar Ban-keh-seng-hud Ciu Hou
masuk kesana, lalu pintu masuk kelembah itu kututup dengan batu-batu gunung, biarlah
mereka hidup berdikari dalam lembah yang serba ada itu."
Thian-ih heran, tanyanya: "Kalau dalam lembah itu sedemikian subur serba ada dengan segala
hasil makanan, pastilah mereka masih dapat hidup disana. Lalu bila aku ke sana dan turun
tangan dalam keroyokan keenam orang itu masakan aku dapat menang. Sebaliknya Paman
bilang bahwa untuk membunuh mereka segampang membalikkan tangan, bagaimana
keterangan ini?" To Yung memberi penjelasan: "Thian-ih, kau hanya tahu satu tidak tahu yang lain. Lembah
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
yang kukatakan itu belum pernah dijamah oleh jejak manusia, keadaannya juga sangat aneh,
terutama sumber air yang mengalir di sana, meskipun bening dan jernih sekali sampai dapat
melihat dasarnya, malah berbau wangi lagi. Tapi sekali orang meneguknya kaki tangan lantas
terasa lemas tak bertenaga, sampai kerjaan yang rada berat juga tidak mampu dilakukan lagi,
apalagi bergebrak dengan orang. Ketujuh orang itu kukurung didalam lembah itu, kalau
sampai sekarang mereka masih hidup, betapapun mereka harus minum air jernih itu. Kalau toh
kaki tangan mereka tidak bertenaga lagi, masa masih kuat melawan kau yang bertenaga baru.
Tapi setelah kupikir-pikir, baik juga kau pergi kesana melepas mereka keluar. Terutama Ciu
Hou memang harus dilepas, yang terang kau sekarang sudah mengetahui segala seluk beluk
pangkal peristiwa itu. Kalau kau bertemu dengan dia tolong kau beri penjelasan kepadanya
tentang kedudukanku yang serba sulit betapa pun minta dimaafkan. Tentang Kim Thay dan
putra-putranya terserah kepada kau mau bunuh atau melepasnya."
Thian-ih berkeputusan hendak menuju kelembah di gunung Bu-ciok-san itu untuk menolong
Ciu Hou. Lalu bagaimana dia harus membereskan Kim Thay serta putra-putranya " Dia belum
dapat ambil kepastian, biarlah kesana dulu dan bekerja mengikuti situasi dan keadaan
setempat. Begitulah mereka berhadapan makan minum sambil ngobrol panjang lebar, malam
itu mereka menginap dan tidur di ruang bawah tanah itu.
Besok pagi To Yung membangunkan Thian-ih, katanya: "Aku sudah menyelidiki keluar, para
kesatuan Bhayangkari dan So Tiong kakak beradik serta yang lain-lain sudah mengundurkan
diri, sekarang diatas bukit ini tiada seorangpun jua. Inilah kesempatan terbaik bagi kau turun
gunung." Teringat oleh Thian-ih akan gadis berkabung itu, tanyanya: "Paman To, bagaimana dengan
nona she Lo itu?" To Yung menyahut: "Entah sudah pergi atau mertamu di So-keh-pang. Gadis ayu itu adalah
putri tunggal Lo Liong dengan Nisi Hujin. Dulu waktu aku dan ayahmu berada di Kim-hoan-kau,
dia masih gadis kecil mungil. Sekarang telah dewasa dan sedemikian besar. Dia berkabung
atas kematian ibunya itu, kedatangannya ini juga untuk mencari sibaju perak terang yang
dituju adalah aku dan ayahmu. Mungkin samar-samar dia sudah dapat meraba
sebab-musabab kematian ibunya itu tersangkut paut dengan kita berdua, namun menurut
dugaanku dia masih belum tahu jelas menyeluruh. Mengapa ayah duplikatnya itu mendadak
hilang, lantas ibunya bunuh diri. Tidaklah heran kalau dia berdaya hendak memeriksa peristiwa
ini." Berhenti sejenak lalu katanya lagi: "Kali ini Lo Ka Siangjin dan kamrat-kamratnya itu mungkin
sudah terbasmi habis. Tapi To Yung atau sibaju perak palsu yang kena tertawan oleh mereka
itu pasti akhirnya ketahuan, ini hanya soal waktu saja, saat itu tentu akan menimbulkan
keributan besar! Lebih baik kau lekas-lekas meninggalkan tempat ini, siapa tahu mereka akan
balik keatas sini melakukan pemeriksaan lagi." sekilas ia melirik kearah Thian-ih, lalu ujarnya
menggoda: "Thian-ih kenapa kau ini terkenang dan kepincut pada gadis she Lo itu bukan" Dulu
bapakmu jatuh cinta pada ibunya, hahaha !"
Cepat-cepat Thian-ih membantah: "Mana aku ada niat begitu, harap paman To jangan terlalu
banyak sangka." To Yung tersenyum saja tanpa berkata-kata lagi.
Mendadak teringat oleh Thian-ih tentang keterangan Hun-tai Siancu bahwa ibu kandungnya
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
katanya masih hidup dan sehat walafiat, maka cepat-cepat ia bertanya: "Paman To,
dimanakah sekarang ibu berada?"
To Yung tertegun, matanya memantulkan rasa kejut dan ragu-ragu, menatap tajam kearah
Thian-ih. Melihat Thio Thian-ih menanti jawabannya dengan penuh harap dan cemas, To Yung
menggeleng. Thian-ih menjadi gelisah, tahu dia bahwa pasti masih ada rahasia apa lagi di
belakang ini, maka desaknya lagi: "Paman To, lekas beritahu, dimana ibu berada?"
To Yung tetap geleng kepala, katanya: "Tidak bisa! Aku tahu belum saatnya sekarang aku
memberitahu rahasia ini."
Saking gugup Thian-ih menarik lengan To Yung, desaknya: "Mengapa" Apakah ibuku tidak
mau menemui aku atau tidak mau mengakui aku sebagai anaknya lagi?"
To Yung berkata sabar: "Bukan begitu! Aku tahu bahwa dia sangat memperhatikan kau, sangat
sayang kepadamu. Tapi sekarang belum saatnya mengakui kau karena terbentur oleh sesuatu
yang harus dirahasiakan, kalau belum tiba saatnya, bagaimana juga belum dapat kujelaskan
kepadamu." Sikap Thian-ih menjadi lesu dan kecewa, To Yung merasa tidak tega, maka bujuknya:
"Thian-ih, sekarang tugasmu harus pergi ke Bu-ciok-san dulu, lakukanlah apa yang harus kau
kerjakan. Akan tiba satu hari kalian ibu dan anak bertemu dan berkumpul kembali. Dan lagi aku
malah berani pastikan bahwa saat itu tidak lama lagi. Meskipun ibumu belum dapat mengakui
kau, tapi diam-diam beliau memperhatikan dirimu, baik-baiklah kau pergi melaksanakan
tugasmu itu. Setelah segala urusanmu selesai kita bertemu di Hun-tai-san."
Dari atas dinding To Yung mengambil sebuah kantongan kulit, dikatakan bahwa isinya adalah
bahan-bahan obat untuk rias. Lalu secara singkat To Yung memberi pelajaran tentang merias
diri secara sekadarnya yang paling gampang lalu menyerahkan kantongan kulit itu.
Dipesannya wanti-wanti kalau menghadapi bahaya dan sulit meloloskan diri, tiada halangan
mengandal obat-obatan itu merias diri untuk menyelamatkan diri. Thian-ih tidak enak
menampik kebaikan yang diberikan ini, dia menerima sambil mengucapkan banyak terima
kasih. Setelah hari menjelang petang, secara diam-diam mereka berdua keluar dari ruang
dibawah dalam perigi itu terus berpisah dibawah gunung.
Waktu lewat di So-keh-pang, jauh-jauh terlihat keadaan markas besar itu terang benderang,
diduganya bahwa para petugas dari istana raja itu pasti masih berada disana, untuk
menghemat waktu dan supaya tidak menimbulkan banyak kesukaran, ia lewati saja
perkampungan besar itu terus berlari-lari kencang.
Betapa juga So Tiong yang gagah perwira dan berpambek kesatria, serta So Hoan si gadis
lincah yang simpatik itu akan selalu terkenang dalam sanubari Thian-ih. Apalagi bila teringat
pengalaman malam didalam gedung bobrok duduk berdekatan bersama So Hoan tempo hari
itu, seolah-olah baru saja terjadi belum lama ini, sampai Thian-ih merasa seperti hatinya
dikili-kili. Demikian juga putri Nisi Hujin itu, walaupun mengenakan pakaian berkabung yang sederhana,
namun tidak mengurangi kecantikannya. Malam itu didalam gedung bobrok dipuncak
Gun-u-ling itu sengaja dia melindungi Thian-ih, bagaimana mungkin dia bakal dapat
melupakan ini. Pikir punya pikir, lantas terbayang dan terkenang akan Li Hong-gi, terasakan
olehnya bagaimana juga dia tidak boleh menyia-nyiakan kebaikan serta cinta kasih Hong-gi
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
terhadap dirinya, secepatnya aku harus menolong Ciu Hou keluar, lalu kembali ke Hun-tai dan
bersama To Yung pergi mencarinya.
Waktu terang tanah, Thian-ih menyewa sebuah kereta keledai untuk menggantikan kedua
kakinya. Segera kereta keledai itu berlari kencang menuju ke keresidenan Sam-ho yang
terletak dipropensi Ho-pak.
Perjalanan cukup jauh ini memakan waktu beberapa hari. Siang hari itu Thian-ih tiba di
Sam-ho, tiada kesempatan bagi Thian-ih untuk pulang tilik keluarga. Setelah mencari tahu
letak gunung Bu-ciok-san, cepat-cepat ia beranjak kesana.
Sampai di Bu-ciok san Thian-ih harus berputar kayun menjelajah kesana-kemari mencari
lembah Kambing yang diceritakan oleh To Yung itu. Setengah harian sudah tanpa mendapat
hasil, yang ditemui adalah alas pegunungan atau batu-batu cadas yang meninggi dan
menjulang menembus angkasa. Saking kewalahan akhirnya ia turun gunung mencari
perkampungan dan tanya pada para petani atau penebang kayu. Tapi semua yang ditanya
pasti menggeleng kepala dengan ketakutan, serta menjawab tidak tahu. Apa boleh buat
akhirnya Thian-ih gunakan uang peraknya untuk menyogok, baru akhirnya ia mendapat
keterangannya letak Lembah Kambing yang dicarinya itu.
Waktu Thian-ih sampai tempat yang dituju memang betul pintu masuk kedalam lembah sana
tersumbat oleh sebuah batu gunung yang sangat besar. Thian-ih harus kerahkan seluruh
tenaganya untuk menggeser batu besar itu. Setelah batu dapat disingkirkan Thian-ih lantas
menyelinap masuk, pandangannya menjadi terang dan nyaman, dihadapannya terbentang
sebuah dataran rendah yang subur menghijau, disekelilingnya dipagari dinding batu gunung
yang tinggi, sehingga lembah ini menyerupai sebuah baskom besar. Di kejauhan sana
serombongan kambing tengah asyik makan rumput di pinggiran sungai. Membelakangi dinding
batu sebelah kiri adalah rumpun sebuah hutan kayu siong, sedemikian subur dan lebat
daun-daunnya bak secarik gambar diatas kertas.
Dalam lembah tidak kelihatan adanya jejak manusia, secara diam-diam Thian-ih menggeremet
maju terus melesat masuk kedalam hutan. Terdengar disini burung berkicau bersahutan
dengan ramainya, bau harum kembang merangsang hidung, tanpa terasa badan lantas segar
dan bersemangat. Waktu ia angkat kepala hampir saja ia berseru kaget, terlihat ditengah
hutan sana dibangun sebuah gubuk yang terbuat anyaman daon kering. Didepan pekarangan
rumah tampak duduk dua orang tengah bercakap-cakap, salah seorang diantaranya adalah
Ban-keh-seng-hud Ciu Hou, sedang seorang yang lain adalah seorang kakek yang berjambang
lebat, dapatlah diduga bahwa kakek tua ini pasti si Naga hitam Kim Thay itu.
Sesaat sulit bagi Thian-ih mengambil keputusan cara bagaimana ia harus mulai bekerja, sekali
berkelebat ia sembunyi dibalik pohon dibelakang mereka. Terdengar mereka tengah
bercakap-cakap dengan suara lirih, dan lesu serta tak bertenaga. Kata Kim Thay: "Saudara Ciu,
sibaju perak itu sungguh kejam dan licik, dia menipu dan mengurung kita ditempat semacam
ini, sampai ilmu kepandaian juga lenyap tak berguna lagi, hidup merana dengan tanpa tenaga
begini sungguh menyiksa dan mengenaskan."
Ban-keh-seng-hud Ciu Hou menghela napas, sahutnya, "Persoalan lain sih aku tidak perduli,
hanya menurut peruntunganku, saat ini sudah menjelang bulan empat. Ketahuilah bahwa
pada bulan empat yang akan datang ini dikalangan Kangouw bakal terbit gelombang keonaran
besar yang dahsyat. Peristiwa ini sudah lama bersemi dan tinggal tunggu waktu saja.
Bagaimana juga aku harus cepat-cepat dapat pergi kesana untuk mencegah bencana yang
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
bakal terjadi ini. Karena ini hanyalah suatu kesalah pahaman saja, sampai kedua belah pihak
harus naik pitam dan harus bertempur mati-matian, latar belakang duduk peristiwa ini hanya
aku seorang yang mengetahui. Kalau aku dapat menyusul tiba tepat pada waktunya mungkin
masih dapat mencegah timbulnya bencana besar itu."
Terdengar Kim Thay sinaga hitam dari luar perbatasan itu menghiburnya: "Saudara Ciu.
Sekarang kenyataan kau terkurung disini, lebih baik kau tidak memikirkan segala urusan tetek
bengek yang tidak mungkin kau dapat campur tangan lagi. Coba ingin kutanya julukanmu
sebagai si Budha hidup penolong berlaksa keluarga, entah sudah berapa banyak umat manusia
yang telah kau tolong jiwanya, akhirnya kau sendiri harus mengalami siksaan lahir batin disini.
Ini menandakan bahwa Tuhan tidak bermata dan kurang adil. Lebih baik kita tidak usah
repot-repot dan menguatirkan segala urusan orang lain. Anak Sin, ambil makanan kemari!''
Terdengar seseorang mengiakan dari dalam gubuk reyot itu lantas terlihat seorang pemuda
berjalan keluar sambil membawa daging, buah-buahan serta air minum. Derap langkahnya
sangat berat, padahal daging dan buah-buahan serta minuman yang dibawanya itu tidak
begitu banyak, tapi agaknya sudah menghabiskan seluruh tenaganya. Segera terlihat pula seorang pemuda memburu maju membantu membawakan buah-buahan itu.
Melihat keadaan ini, diam-diam Thian-ih terperanjat, sungguh lihay benar air jernih dalam
lembah kambing ini. Kedua pemuda itu terang adalah putra-putra Kim Thay. Menurut To Yung
bahwa kaki tangan mereka sudah lemas tak bertenaga memang bukan bualan belaka.
Tampak Kim Thay angkat cangkirnya terus ditenggak habis, ujarnya sambil tertawa getir:
"Walaupun sudah tahu bahwa air ini rada aneh, tapi kita bertujuh terpaksa harus meminumnya
juga. Tuhan oh Tuhan! Kasihanilah hambamu ini. Sibaju perak yang durjana itu, kenapa tidak
jatuhkan tangan jahatnya sekalian menamatkan hidup kita?"
Tak tertahan Ciu Hou menghela napas panjang, ujarnya: "Seumpama harus mati sih aku tidak
takut. Tapi aku kuatir akan kejadian yang bakal terjadi dipertengahan bulan empat itu, karena
kedua belah pihak adalah sama sahabatku yang paling akrab. Bagaimana mungkin aku dapat
berpeluk tangan dan berlega hati."
Kim Thay bertanya: "Siapakah sahabatmu itu?"
"Dia bukan lain adalah Hun-tai Siancu Ui Eng........."
Thian-ih berjingkat kaget mendengar keterangan ini. Tak terkira olehnya bahwa Hun-tai
Siancu ternyata sudah berjanji dengan orang hendak bertempur menentukan mati hidup.
Kenapa aku tidak mengetahui tentang hal ini. Kejadian ini sungguh luar biasa, maka Thian-ih
pusatkan perhatiannya mendengarkan penjelasan Ciu Hou selanjutnya.
Kiranya Hun-tai Siancu Ui Eng adalah sahabat Ciu Hou sejak masih kanak-anak, waktu masih
muda mereka adalah tetangga, tak jauh dari kediaman mereka masih terdapat sebuah
keluarga yang mempunyai putra sebaya dengan mereka, pemuda itu adalah Ki-san Tay-hiap Ki
Bing yang kenamaan itu. Mereka bertiga sering bermain bersama, diam-diam Ciu Hou dan Ki
Bing sama-sama mencintai Ui Eng. Tapi Ki Bing lebih tampan dan gagah, maka Ciu Hou tahu
diri dan mundur teratur, diam-diam ia pujikan dan berdoa akan terangkapnya perjodohan
mereka. Tapi puluhan tahun kemudian setelah mereka bertiga menanjak dewasa, mereka
mulai berkelana di kalangan Kangouw. Setelah berpisah Ki Bing masih berusaha
mengejar-ngejar Ui Eng. Tapi entah mengapa Ui Eng masih belum mau menikah dengan dia.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Beberapa tahun berselang, pada suatu hari tiba-tiba Ki Bing datang mencari Ciu Hou,melihat
wajah temannya ini rada pucat dan kurus, Ciu Hou bertanya kenapa. Ki Bing menerangkan
Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bukan saja Ui Eng sudah tidak menghargai persahabatan mereka yang berlangsung puluhan
tahun itu, sekarang malah mencintai seorang begal tunggal yang banyak dosanya. Dia
bertanya dan minta pendapat Ciu Hou bagaimana. Ciu Hou merasa dalam hal ini Ui Eng yang
bersalah, betapapun Ciu Hou masih merasa simpatik dan sangat memperhatikan keadaannya,
pendek kata besar harapannya bahwa Ui Eng bisa menikah dengan Ki Bing. Sekarang setelah
mendengar dia tersesat malah kepincut dengan seorang penjahat besar, hatinya menjadi
kuatir, bersama Ki Bing mereka mencari Ui Eng untuk membujuknya.
Waktu sampai ditempat tujuan karena hari sudah berlarut malam, maka mereka ambil putusan
untuk bicara besok pagi saja. Tak kira malam itu juga sipenjahat besar yang dicintai Ui Eng itu
mendadak berkunjung datang. Diatas mukanya ada bekas goresan luka bacokan senjata yang
dalam dan masih merembeskan darah segar. Malah kelima jari tangan kirinya juga terpapas
buntung. Dia berkata, bahwa semua luka-lukanya itu diderita karena pengorbanannya sebagai
imbalan cinta kasihnya terhadap Ui Eng, maka dia sengaja melukai diri sendiri sebagai tanda
betapa dalam dan suci cintanya terhadap sang kekasih. Sebaliknya dia tanya kepada Ki Bing,
kalau Ki Bing juga mencintai Ui Eng, mengapa tidak berani menunjukkan pengorbanannya
untuk membuktikan cintanya" Tatkala itu Ki Bing kena dibikin gusar, tanpa banyak omong lagi
segera ia lolos pedang terus menabas buntung tangan kiri sendiri. Kontan darah segar
memancur deras dari lengannya, saking kesakitan dia kelengar. Untung masih ada Ciu Hou
yang segera menolong dan memberi bantuan, baru jiwanya itu dapat diselamatkan. Sedang si
penjahat besar itu mandah menjengek dingin terus tinggal pergi.
Hari kedua bersama Ciu Hou, Ki Bing menahan sakit menemui Ui Eng. Secara terang-terangan
dihadapan Ui Eng ia nyatakan cintanya dengan menabas buntung lengan kirinya ini sebagai
bukti akan ketulusan cintanya itu, ditandaskan lagi bahwa rasa cintanya tidak akan kalah
mendalam dan suci dari sipenjahat besar yang banyak dosa dan kotor itu. Ciu Hou juga ikut
membujuk dari samping, dia mengharap mereka berdua bisa rukun menjadi suami-istri. Tak
duga Ui Eng menyangkal keras bahwa dia ada maksud dengan Ki Bing, juga diterangkan
bahwa dia belum pernah mengadu cara kompetisi semacam itu untuk memperebutkan cinta
mereka. Ditandaskan pula bahwa dia sudah bertekad hendak menikah dengan sipenjahat
besar itu. Dikatakan bahwa perasaan serta hubungannya dengan Ki Bing tidak lebih sebagai
persaudaraan belaka lain tidak.
Gara-gara Ki Bing sendiri yang terlalu gampang mengobral cinta sehingga bisa terjadi kesalah
pahaman ini. Saking gusar Ki Bing sampai kelengar jatuh pingsan sekali lagi Ciu Hou harus menolong dan
mengusungnya pulang. Sejak saat itu, dari rasa cinta berbalik ia merasa dendam terhadap Ui
Eng. Setelah Ui Eng menikah dengan penjahat besar itu, lalu Ki Bing mengasingkan diri ke
Ki-san, disini ia memperdalam kepandaian dengan tekun belajar dan menggembleng diri. Ia
sesumbar bahwa tangannya buntung karena dipermainkan oleh Ui Eng ia bersumpah hendak
mengutungi sebelah lengan Ui Eng juga baru bisa terlampias rasa dendamnya ini. Seumpama
air dan api permusuhan kedua belah pihak semakin mendalam, akhirnya diputuskan pada
pertengahan bulan empat ini akan diadakan adu kepandaian di Hun-tai-san untuk
menyelesaikan pertikaian ini.
Beberapa lama berselang sejak peristiwa itu terjadi, secara kebetulan Ciu Hou malah dapat
membongkar kejadian salah paham ini. Tak lain adalah karena si penjahat besar itu yang
membuat gara-gara. Dia pandai ilmu rias, luka di mukanya serta buntungnya kelima jarinya itu
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
adalah palsu dan pura-pura belaka. Terang gamblang bahwa Ki Bing telah kena dikibuli sampai
mengorbankan sebuah lengannya secara sia-sia. Sebaliknya dia masih salah paham dan
menuduh bahwa semua ini adalah permainan Ui Eng melulu, lalu mendendam dan ingin
menuntut balas. Tapi pernikahan Hun-tai Siancu Ui Eng dengan sipenjahat besar itu juga tidak membawa akibat
yang baik, karena sifat sipenjahat sukar dirubah, tanpa bekerja dan luntang-luntung menanam
dosa, tak mau mendengar nasehat Ui Eng lagi, saking putus asa akhirnya Ui Eng putuskan hubungan suami-istri dan tinggal pergi mengasingkan diri. Memang sejak ditinggal pergi sang
istri penjahat besar itu terketuk hatinya, ia sadar akan dosanya dan berusaha memperbaiki,
untuk suatu masa yang tidak panjang dia memang dapat mengendalikan diri, tapi watak
manusia memang sukar dikendalikan, akhirnya dia melakukan pula kejahatan2 yang sampai
mengakhiri jiwanya. Sampai disitu cerita Ciu Hou, mendadak Kim Thay bertanya: "Saudara Ciu! Menurut ceritamu
itu aku dapat menebak sebagian, bukankah orang dalam ceritamu itu adalah yang kita
bunuh..............."
Cepat-cepat Ciu Hou goyangkan kedua tangannya, serunya gugup: "Saudara Kim, kita sebagai
kaum kesatria harus mengutamakan kebijaksanaan dan cinta kasih serta berani menghadapi
kebenaran. Sekarang orang itu sudah mati, kejelekannya dimasa yang lalu lebih baik jangan
diungkat-ungkat lagi, sudahlah tak usah membicarakan soal itu lagi."
Kim Thay juga tidak bilang apa lagi, ia menunduk sambil menghela napas panjang.
Dilain pihak, Thian-ih sampai mengalirkan keringat dingin mencuri dengar dari tempat
sembunyinya. Bukankah cerita yang diperbincangkan itu adalah pengalaman ayahnya yang
menggunakan kepandaian ilmu rias paman To untuk mengelabui dan menipu Ki-san Tayhiap
sehingga dendam dan bermusuhan dengan Hun-tai Siancu Ui Eng.
Terang dalam pertikaian dulu itu Thio Thian-ki telah menggunakan cara yang licik untuk
menipu Ki Bing sampai dia bisa mempersunting Hun-tai Siancu. Haya! Bukankah Hun-tai
Siancu Ui Eng adalah ibu kandung Thian-ih sendiri, setelah direnungkan dan dianalisa secara
menyeluruh akhirnya Thian-ih sadar akan seluruhnya.
Benar, untuk menghadapi tantangan Ki-san Tayhiap Ki Bing, pertempuran seru yang sulit
menentukan siapa bakal menang dan asor ini, ada kemungkinan dia sendiri yang bakal
tertimpa bencana, untuk tidak membuat Thian-ih sedih sengaja dia tidak atau belum mau
mengakui hubungan sebagal ibu beranak ini. Berpikir sampai disini terasa hatinya mendelu
dadanya terasa seperti dipukul godam. Sekarang hanya satu ingatan merangsang dalam
otaknya; aku harus segera kembali ke Hun-tai-san untuk bertemu dengan ibu.
Sekonyong-konyong terdengar seseorang berteriak: "Ayah, paman Ciu, lekas kalian kemari,
lihatlah pintu lembah ini sudah terbuka !"
Tampak diambang pintu lembah sana para putra Kim Thay berlari merubung maju sambil
berjingkrak-jingkrak. Kim Thay menggenggam tangan Ciu Hou, lapat-lapat terlihat kedua
matanya mengalirkan airmata kegirangan, bibirnya juga bergerak-gerak, suaranya terdengar
gemetar dan sumbang: "Saudara Ciu, akhirnya kita akan hidup bebas pula. Tapi entahlah
apakah sibaju perak sendiri yang telah datang?"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
"Selain dia tiada orang lain yang mengetahui lembah kambing ini siapa lagi yang mau kesini"''
demikian kata Ciu Hou. "Mungkin dia mulai insaf dan menyesal maka mau melepas kita.
Saudara Kim ada beberapa patah kata ingin kusampaikan. Setelah kalian keluar dan setelah
kepandaian kalian pulih, permusuhan dengan sibaju perak itu rasanya juga harus dihapus
sampai disini saja, tak usah kau mengejar jejak pembunuh itu lagi, urusan bunuh membunuh
pasti tiada akhirnya dan kedua belah pihak pasti akan jatuh korban secara sia-sia, apakah
faedahnya?" Naga hitam Kim Thay manggut-manggut, sahutnya: "Saudara Ciu, memang aku bermaksud
demikian, ai, pengalaman hidup dalam lembah Kambing ini selama hidup ini takkan dapat
kulupakan. Sekarang aku merasa semua sudah berubah, tidak seperti dulu watak ingin
menang sendiri sudah padam dalam dadaku. Sejak saat ini kita sekeluarga terhitung lunas
bermusuhan dengan pihak sibaju perak. Kelak asal dia tidak mencari perkara kepada kita, kita
tidak akan menempurnya!"
Ditempat sembunyinya Thian-ih mengangguk-angguk dan bersyukur dalam hati, ia
berkeputusan untuk tidak mengunjukkan diri saja biar mereka keluar lembah dan pulang sendiri-sendiri. Setelah sampai diluar lembah, dari kejauhan Thian-ih melihat ketujuh orang itu ambil
perpisahan, seorang diri Ciu Hou putar keselatan menuju ke Kanglam. Sedang Naga hitam
membawa anaknya menuju keutara.
Tahu bahwa tenaga Ciu Hou belum pulih dan kuatir dia berjalan lambat, setelah sampai dijalan
raya, Thian-ih lantas menyewa sebuah kereta terus dibedal kedepan waktu lewat dipinggir Ciu
Hou tanpa banyak kata terus disambarnya saja tubuhnya lantas diseret masuk kedalam tenda
kereta. Memang tenaga Ciu Hou belum pulih begitu diseret masuk kedalam kereta kejutnya
bukan main, sedikitpun dia tidak mampu membela diri, setelah melihat Thian-ih baru dia
merasa lega dan bersyukur. Didalam kereta inilah mereka menerangkan segala-galanya,
dipesannya kusir kereta untuk menjalankan keretanya secepat mungkin. Didalam kereta itulah
Thian-ih membantu penyembuhan Ciu Hou dengan tenaga dalamnya. Karena perjalanan jauh
entah sudah berapa kali mereka ganti kareta, meskipun begitu juga telah banyak membuang
waktu, waktu mereka hampir tiba di Hun-tai-san sudah tepat jatuh pada pertengahan bulan
empat. Keruan gugup dan gelisah mereka berdua bukan main. Entahlah apakah Ki-san Tayhiap
Ki Bing betul-betul menepati janjinya meluruk ke Hun-tai-san tidak. Untung hari itu seluruh
tenaga dan Lwekang Ciu Hou sudah pulih kembali, tanpa menunggang kereta lagi segera
mereka kembangkan Ginkang dan berlari secepat terbang.
Jantung Thian-ih serasa sudah hampir melonjak keluar dari rongga dada. Setelah melewati
jembatan tali gantung itu, lantas Ban-keh-seng-hud Ciu Hou merasakan firasat jelek.
Dipesannya Thian-ih supaya tidak menerjang masuk secara gegabah, mungkin saat itu Hun-tai
Siancu dengan Ki-san Tayhiap sudah saling gebrak, kedua belah pihak adalah tokoh silat kelas
wahid, waktu berhadapan mengadu kepandaian sekali-kali pantang diganggu atau direcoki
sehingga kaget. Maka sambil berjinjit kaki berdua mereka memasuki Hun-tiong-khek, dari luar
samar-samar telah terdengar suara beradunya senjata tajam serta terlihat berkelebatnya sinar
pedang yang berkeredepan.
Saking gelisah Thian-ih bersiap menerjang masuk hendak membantu ibunya, untung
Ban-keh-seng-hud Ciu Hou keburu mencegahnya, katanya dengan nada berat: "Thian-ih,
jangan sembrono, bila ibumu melihat kau sedikit meleng atau terpencar perhatiannya mungkin
akan mengalami bencana, betapapun kita harus hati-hati bertindak............"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Sambil berkata-kata lirih itu mereka sudah tiba diambang pintu Hun-tiong-khek, tampak
seorang perempuan dengan membekal sebilah pedang panjang berpakaian serba putih berdiri
tegak membelakangi pintu, dia bukan lain adalah murid Hun-tai Siancu Cia In-hun adanya.
Tampak wajah Cia In-hun pucat pasi, air mata berlinang di kelopak matanya, begitu melihat
kedatangan Thian-ih bersama Ciu Hou segera ia datang menghampiri lalu memberitahu
dengan suara tertekan: "Sudah bertempur selama dua hari tiada yang kalah atau menang,
babak pertama mengadu Lwekang, lalu ilmu pukulan dan Ginkang, sekarang sedang menjajal
senjata rahasia dan babak terakhir nanti adalah mengadu ilmu pedang. Aku sangat kuatir,
tidak berani bersuara juga tidak bisa turun tangan membantu. Terpaksa aku menonton saja
disini seorang diri, sekarang kalian telah tiba cobalah cari daya upaya untuk melerai mereka!"
Sementara itu Thian-ih dan Ciu Hou sudah melihat di tengah pelataran Hun-tiong-khek sana
Hun-tai Siancu tampak mengenakan pakaian ringkas yang agak pendek, tangannya membekal
pedang dan tengah menempur seorang laki-laki pertengahan umur dengan serunya.
Memang Kit-san Tayhiap Ki Bing buntung sebelah lengan kirinya, lengan bajunya yang panjang
melambai-lambai tertiup angin, sedang tangan kanan menyekal sebilah pedang yang
berkilauan menyilaukan mata.
Tatkala mana dalam gelanggang tengah bertempur dengan sengitnya, masing-masing
memusatkan segala daya upaya serta semangat dan perhatiannya untuk mengalahkan musuh,
sedikitpun mereka tidak hiraukan siapa-apa yang telah datang ke tempat gelanggang
pertempuran ini. Terlihat Hun-tai Siancu mengacungkan batang pedangnya keatas, dibarengi dengan sinar
pedang yang berkilauan itu beruntun ia menusuk beberapa kali, jurus serangan semacam ini
sungguh sangat ganas dan aneh serta cepat luar biasa. Tapi kepandaian Ki-san Tayhiap Ki Bing
ternyata juga bukan olah-olah hebatnya, meskipun hanya berlengan satu, tapi pedang
ditangan kanannya itu bergerak sedemikian lincah dan hebat juga, tampak dengan jurus
Tok-pi-hoa-san (lengan tunggal membelah gunung Hoa) pedangnya membacok turun dari
atas, namun sampai ditengah jalan mendadak ia rubah pula dengan jurus Tong-cu-pai-hud
(anak kecil menyembah Budha), gerakan dari atas kebawah lalu menyontek ke atas lagi ini
sekaligus telah memunahkan serentetan serangan Hun-tai Siancu yang hebat itu, maka
terdengarlah berdentingnya suara senjata beradu sehingga memercikkan lelatu api, dari gerak
adu kekuatan dan kelincahan ini jelas sekali bahwa Lwekang dan kepandaian silat kedua belah
pihak sama-sama kuat dan setanding, sukar ditentukan siapa menang dan asor.
Begitulah gebrak selanjutnya terus terjadi serang menyerang dengan serunya, sekejap mata
saja dua puluhan jurus telah lewat. Terlihat sinar dan hawa pedang telah berkelebatan
menyambar-nyambar membumbung tinggi, lapat-lapat terdengar suara guntur diantara deru
angin yang keras, nyata bahwa pertempuran kali ini sudah mencapai puncak yang paling
dahsyat dan susah dipisahkan lagi. Sekonyong-konyong terlihat sinar pedang Hun-tai Siancu
melesat tiba memotong dengan sebuah gerak bundaran terus langsung menusuk ke arah
dada. Ki Bing berkelit miring sambil melangkah maju setindak, terpaut serambut saja pedang lawan
hampir mengenai tubuhnya. Bertepatan dengan inilah Hun-tai Siancu melesat lewat dari
sampingnya, mendadak menggunakan ketika badan mereka berdekatan ini, kedudukan
kakinya ia robah melintang miring terus sengaja menumbuk tubuh lawan.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Betapapun Ki Bing tidak mengira kalau lawan dapat bergerak begitu lincah, kedudukan kakinya
menjadi sedikit goyah, dimana sebelah kakinya terhuyung maju ke kanan tinggal kaki kiri yang
menumpang seluruh tubuh, ia berusaha membalikkan ujung pedangnya untuk menyodok ke
belakang. Tapi menggunakan kesempatan sedikit goyah kedudukan kakinya itu Hun-tai Siancu sudah
kembangkan ilmu pedangnya sampai berpetakan sekuntum bunga pedang terus memapas
kearah lengan kanan yang menyelonong ke belakang ini. Lengan kiri Ki Bing sudah buntung
jadi lengan baju kirinya itu kosong dan melambai-lambai, sedikitpun tiada kesempatan untuk
membantu mengganti posisi atau menggunakan tenaga. Apalagi gerak jurus tangan kanan ini
juga telah dilancarkan penuh dan sukar ditarik pulang atau dirubah lagi, dalam keadaan yang
gawat itulah, terlihat betapa lihay dan kenyataan bahwa Ki-san Tayhiap yang kenamaan
sebagai tokoh silat kelas wahid bukanlah omong kosong belaka. Dalam menghadapi bahaya
sedikitpun dia tidak menjadi gugup, ujung pedangnya mendadak menyelonong tiba terus
membacok miring memapas ke belakang batok kepala Hun-tai Siancu. Tepat sekali memotong
ikat kepala diatas sanggul Hun-tai Siancu, dimana angin pegunungan menghembus keras,
seketika rambut panjang Hun-tai Siancu jatuh terurai dan melambai-lambai.
Meskipun agak terkejut Hun-tai Siancu tidak menjadi gugup, gerak pedang menjadi sedikit
lambat terus menyontek miring keatas, "bret" pedangnya juga berhasil memapas ujung jubah
Ki Bing. Tanpa berjanji lagi mereka berdua lantas loncat mundur kebelakang. Saat inilah yang memang
dinantikan oleh Ciu Hou dan Thian-ih, tapi belum sempat mereka berteriak, gerak langkah
Ki-san Tayhiap ternyata begitu enteng bagaikan air mengalir dan awan mengembang, secepat
kakinya menyentuh tanah tubuhnya terus menubruk tiba lagi, pedang panjangnya membacok
miring melancarkan sebuah tipu aneh yang lain dari yang lain. Dimana mata pedangnya
memapas lewat dari pinggir kuping Hun-tai Siancu mendadak merobah arah terus menukik
membacok turun. Belum sempat Ciu Hou berseru kejut buru-buru telah ditelannya kembali
kuatir mengganggu pemusatan pikiran Hun-tai Siancu.
Terdengar Hun-tai Siancu membentak keras tubuhnya terjengkang kebelakang, lalu segesit
tupai badannya meloncat keatas tepat pada waktunya ia menghindar diri dari serangan Ki Bing
itu. Sungguh berbahaya dan sangat menguatirkan sekali. Sampai Ciu Hou dan lain-lain yang
menonton dipinggiran mengalirkan keringat dingin.
Begitulah setelah badan Hun-tai Siancu terapung ditengah udara waktu meluncur turun bak
sekuntum bunga teratai, tanpa bersuara pedang panjangnya berkelebat berkilauan melindungi
badan. Mendadak Ki Bing menyedot hawa dalam-dalam lalu menghardik keras, seluruh
tenaganya dikerahkan diatas batang pedang terus diacungkan keatas. Saat mana badan
Hun-tai Siancu tengah meluncur turun dan belum sempat menginjak tanah, terpaksa dia harus
tekankan pedangnya untuk menangkis. Sekali ini, karena Ki Bing berada diatas tanah datar
gampang meminjam tenaga, kedudukannya lebih kuat, maka begitu kedua pedang saling
beradu, kontan pedang panjang Hun-tai Siancu kena terpental miring, posisinya sangat
berbahaya. Belum sempat Thian-ih berseru kejut, situasi pertempuran ditengah gelanggang telah berobah
lagi. Maklum bahwa dalam hal Ginkang Hun-tai Siancu sudah mencapai kesempurnaannya,
badannya seenteng kapas selemas dahan pohon liu membarengi dengan meliuknya tubuh
diatas udara itu, sebelah kaki kanannya menendang mengarah mata kiri Ki Bing. Ki Bing
terkejut dan mengegos dengan gugup, namun tendangan susulan dari kaki kiri Hun-tai Siancu
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
juga telah merangsang tiba secepat kilat. "Blang'' dengan tepat menendang pundak Ki Bing,
sehingga ia terguling beberapa langkah keluar.
Enteng sekali Hun-tai Siancu melayang turun dan hinggap ditanah, serunya: "Apakah perlu
bertanding lagi?" Belum lagi Ki Bing menyahut, tiba-tiba Ban-keh-seng-hud Ciu Hou keburu berteriak: "Stop.
Jangan diteruskan dan dengar penjelasanku.''
Ki-san Tayhiap Ki Bing melengak melihat kehadiran Ciu Hou ini. Sementara itu Hun-tai Siancu
juga sudah melihat Thian-ih, seketika sepasang matanya memantulkan rasa kasih sayang yang
mesra, teriaknya penuh perasaan sampai suaranya tersendat: "Anak Ih, kau sudah pulang?"
Thian-ih segera maju sambil menyahut: "Ya, anak telah kembali, Bu, tuan ini........"
Belum Hun-tai Siancu menjawab, Ciu Hou telah berkata: "Thian-ih, dia inilah Ki-san Tayhiap Ki
Bing, lekas kau maju menghadap pada angkatan yang lebih tua."
Thian-ih tertegun, ia ragu-ragu karena Ki Bing tadi bertempur melawan ibunya. Tapi disamping
sana Hun-tai Siancu lantas membentak: "Anak Ih, betapa juga dia seorang angkatan tua yang
gagah perwira, lekas menghadap pada paman Ki, jangan karena tadi dia telah bertempur
dengan ibumu lantas kau lupakan adat kesopanan. Ketahuilah meskipun tadi kita bertempur
sebagai musuh, tapi dia juga salah seorang sahabatku."
Mendengar ucapan ibunya ini terpaksa Thian-ih maju memberi hormat serta sapanya:
"Selamat bertemu paman Ki !"
Ki Bing melenggong, tanyanya pada Hun-tai Siancu, "Jadi dia adalah putra dari perampok
besar itu?" Ciu Hou segera menyelak : "Ki Bing, kau tak boleh berkata demikian, dia terima perintah
ibunya untuk menghormat padamu, sebab kau adalah sahabat Hun-tai Siancu, mana bisa kau
alihkan persoalan lain dalam hal ini. Apalagi kesalah pahaman kalian itu sudah tiba saatnya
dibereskan. Biarlah kuberitahu padamu, aku paling jelas mengenai peristiwa itu. Dulu waktu
kau mengutungi sebelah tanganmu itu, hakikatnya memang Hun-tai Siancu tidak tahu
menahu, semua ini adalah gara-gara ayahnya Thio Thian-ki itu yang mengatur tipu daya."
Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bicara sampai disini ia menuding kearah Thian ih, lalu sambungnya: "Tapi sekarang Thio
Thian-ki sudah meninggal, tidak seharusnya kau timpakan dosa-dosa almarhum kepada
mereka yang masih hidup. Bukan saja tidak seharusnya kau salah paham terhadap Hun-tai
Siancu, dendam sakit hatimu terhadap Thio Thian-ki juga harus dihapus !" Bicara sampai disini
lantas Ciu Hou bercerita tentang bagaimana dengan tipu muslihatnya Thio Thian-ki telah
mengejar-ngejar dan sampai berhasil mempersunting Hun-tai Siancu.
Baru sekarang Ki Bing tersadar dan tahu jelas duduk perkaranya, lekas-lekas ia angkat tangan
dan berkata kepada Hun tai Siancu: "Sekarang Ciu Hou sudah menjelaskan segala-galanya,
sungguh aku sangat menyesal banyak tahun ini aku telah salahkan kau secara semena-mena
betapapun kau harus memaafkan kecerobohanku ini?"
Hun-tai Siancu tersenyum, sahutnya: "Bukan saja aku harus memaafkan kau, aku juga harus
minta maaf kepadamu. Mengapa tidak, bagaimana juga Thio Thian-ki adalah suamiku,
walaupun yang mengatur tipu muslihat mencelakai kau adalah dia, sebagai istri apa yang telah
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
dibuat oleh suamiku aku harus mintakan maaf untuknya.'' lalu ia membungkuk tubuh memberi
hormat sedalam-dalamnya kepada Ki Bing.
Segala peristiwa dalam dunia ini paling ditakuti kalau salah paham semakin dalam, sekarang
kesalah pahaman itu sudah dapat diatasi dan sudah dijelaskan duduk perkaranya. Secara
gamblang dan berbesar jiwa, Hun-tai Siancu mau memintakan maaf akan dosa-dosa Thio
Thian-ki almarhum, maka lega dan lapanglah perasaan Ki Bing, apalagi selama ini memang dia
sangat menghargai Hun-tai Siancu, maka segera ia membalas hormat juga, ujarnya: "Hun-tai
Siancu, kau juga tidak perlu minta maaf, yang harus disesalkan adalah kebodohanku, sampai
sedemikian gampang aku kena pancing dan dipermainkan oleh Thio Thian-ki. Tapi kau sendiri
juga telah kena dikelabui, seumpama kau tidak menikah dengan dia, kau takkan hidup
kesepian mengasingkan diri di-puncak pegunungan sini menyia-nyiakan masa remajamu yang
sangat berharga !" Hun-tai Siancu tersenyum getir, katanya: "Meskipun kita suami istri tidak dapat hidup rukun
dan bahagia sampai dihari tua, tapi pertemuan kita ibu beranak ini sudah cukup menambal
kesenangan hidupku dihari tua ini."
Melihat Hun-tai Siancu masih mengukuhi pendapatnya dulu, Ki Bing menghela napas, katanya:
"Betapapun kita ini sahabat lama, pengalaman hidup masing-masing menyerupai impian
belaka. Untuk selanjutnya biarlah nama Ki-san Tayhiap ini terpendam ditelan masa, aku tidak
akan muncul didunia ramai. Silakan, silakan!"
Ciu Hou segera maju menarik Ki Bing, katanya dengan nada berat: "Tidak peduli
perjodohanmu dengan Hun-tai Siancu telah dirusak dan dikacaukan oleh Thio Thian-ki. Tapi
sekarang kalian sudah saling memaklumi dan saling maaf, persahabatan lama harus dipulihkan
dan dijalin kembali. Jadi sekarang setelah mereka ibu beranak dapat berkumpul kembali,
pertemuan yang menggembirakan ini harus dirayakan, mana bisa kau mau tinggal pergi begitu
saja. Sedikitnya kau harus menginap beberapa hari disini, jangan kata lain persoalan, aku Ciu
Hou terhitung kenalan kentalmu, apalagi setelah sekembalimu ini kau hendak memendam diri
kapan kita dapat bertemu kembali, betapapun kau harus menunggu dan berkumpul gembira
beberapa hari disini."
Hun-tai Siancu juga lantas ikut bicara sambil tersenyum simpul: "Ki Bing, ucapan Ciu Hou
memang benar, tinggallah beberapa hari disini, aku harus mengundang kau menikmati arak
kegirangan.'' Ki Bing tertegun heran, tanyanya: "Apa kau mengundang aku minum arak kegirangan, siapa
yang bakal menikah?"
"Minum arak kegirangan anakku ini!" kata Hun-tai Siancu sambil menuding Thian-ih.
Ucapan Hun-tai Siancu ini bukan saja membuat Ki Bing tertegun, Thian-ih sendiri juga
melengak kaget, katanya: "Ibu, aku sudah bersumpah sehidup semati dengan Li Hong-gi, lalu
siapakah yang bakal kau ambil sebagai menantu?" habis berkata ia melirik kearah Cia In-hun.
Menurut dugaan Thian-ih, pastilah Hun-tai Siancu menjodohkan Cia In-hun kepadanya. Siapa
tahu diluar sangkanya terdengar Hun-tai Siancu tertawa terkekeh-kekeh, ujarnya: "Anak Ih,
maksud hatimu masa aku tidak dapat menyelaminya!"
"Ketahuilah bahwa paman To telah bersusah payah mewakili kau mengundang datang Nona Li
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
kemari, juga murid tunggal ayahmu itu sudah diajak kemari pula !" demikian Hun-tai Siancu
memberi keterangan. Lalu ia berpaling ke-arah Cia In-hun dan berkata lagi: "Silakan mereka
keluar untuk menghadap pada Ki dan Ciu dua locianpwe."
Tak lama kemudian pandangan Thian-ih terasa terang terbelalak, tampak dengan langkah
yang gemulai selemas dahan pohon liu Li Hong-gi berjalan keluar sambil menunduk
malu-malu. Di belakangnya ikut keluar Hi Si-ing, tapi sekarang berwajah terang tidak seperti
orang gila lagi. Tak tertahan lagi segera ia mengajukan pertanyaan: "Apakah ibu yang
menyembuhkan penyakit Hi Si-ing itu?"
Hun-tai Siancu menggeleng kepala, sahutnya: "Masa aku ada kemampuan itu, paman To-mu
itu yang menyembuhkan!"
Segera Thian-ih bertanya lagi: "Lalu dimana sekarang paman To, belum lama anak berpisah
dengan dia, masakan sudah begitu banyak urusan yang telah dikerjakan!"
Hun-tai Siancu tersenyum geli, ujarnya: "Selamanya memang dia bekerja secara misterius, ini
tidak perlu diherankan lagi. Sekarang dia tengah menuju ke Bo-toh mewakili aku mengundang
Nisi kecil kemari, menurut perhitungan dalam jangka tiga hari ini pasti mereka sudah tiba disini." Segera terbayang dalam benak Thian-ih akan gadis berkabung yang membawa kayu perabuan
itu. Sebab wajahnya seperti pinang dibelah dua mirip betul dengan Li Hong-gi, maka tanyanya
lagi: "Bu, buat apa kau undang dia kemari, bukankah dia ............" sampai disini ia ragu-ragu
untuk melanjutkan kata-katanya.
Lagi-lagi Hun-tai Siancu terkekeh tawa, ujarnya: "Ada sesuatu hal yang tidak kau ketahui,
justru karena perbuatan ayahmu semasa hidup itu, aku sebagai istrinya harus berusaha untuk
menyelesaikan dan menghimpas semua dosa yang tertunggak selama ini, supaya tidak terlalu
berlarut dan mempengaruhi angkatan muda yang akan datang. Walaupun Nisi Kecil itu
jauh-jauh meluruk datang kemari hendak menuntut balas terhadap ayahmu, namun terhadap
kau dia pernah mengulurkan tangan melindungi jiwamu, apalagi anak ini juga harus dikasihani,
aku berhasrat mengambilnya sebagai putri angkatku, untuk menuntunnya kearah jalan yang
benar supaya tidak menimbulkan bibit bencana bagi masyarakat."
Mendengar penjelasan cara penyelesaian ini, sungguh girang Thian-ih bukan kepalang,
serunya riang: "Bu, cara penyelesaian begini adalah yang paling tepat, hanya aku kuatir Nisi
kecil terlalu mengukuhi akan dendam sakit hatinya, dan tidak mau menurut."
Hun-tai Siancu tersenyum welas asih, katanya: "Aku menghadapinya dengan kejujuran hanya
dengan kejujuranlah dapat menundukkan orang, kupikir Nisi kecil itu sangat pintar tentu dia
dapat membedakan antara buruk dan baik, kau tunggu dan lihatlah perkembangannya."
Sikap Hun-tai Siancu yang halus dan welas asih penuh pengertian ini bukan saja membuat
Thian-ih tunduk, para hadirin yang lain juga merasa terharu akan kebaikan hatinya. Terutama
Ki-san Tayhiap Ki Bing lebih menyesal dan terketuk sanubarinya akan sepak terjangnya tadi
yang berangasan, maka segera ia berkata dengan penuh ketekadan: "Hun-tai Siancu, kita
adalah sahabat lama, selama ini aku belum pernah menghadapimu secara terhormat.
Sekarang biarlah aku membayar hutang-hutangku itu bagaimana?"
Hun-tai Siancu tersenyum, sahutnya: "Hakikatnya kau tidak membuat kesalahan apa-apa
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
terhadap aku, kalau terjadi pertempuran tadi itu karena kesalah pahaman, tidak perlu kau
menghukum dirimu sendiri."
"Sungguh aku bersyukur akan jiwamu yang besar dan bijaksana ini." demikian kata Ki Bing,
"Tapi hari pernikahan Thian-ih sudah diambang pintu, biarlah aku yang menjadi orang tua
bersenang-senang, mengundang para sahabat dunia persilatan yang sealiran untuk ikut
merayakan pernikahan ini, bagaimana pendapatmu."
Ciu Hou segera ikut bicara: "Pernikahan Thian-ih ini adalah urusan besar memang seharusnya
dirayakan secara besar-besaran. Supaya semua sahabat di dunia persilatan mengetahui
meskipun Thian-ki dulu bejat dan banyak dosanya, tapi anak istrinya adalah dari aliran lurus
yang gagah perwira, dapat membedakan antara benar dan buruk, sekaligus kita dapat
mencuci pandangan dan pendengaran umum."
Pertandingan silat antara Hun-tai Siancu dan Ki-san Tayhiap Ki Bing ini merupakan
pertandingan silat tingkat tinggi yang jarang terjadi selama puluhan tahun akhir-akhir ini hidup
atau mati dapat ditentukan dalam satu gebrakan saja dan susah diduga. Cia In-hun sendiri
selama ini sangat menguatirkan keadaan Hun-tai Siancu. Sekarang setelah damai dan suasana
diliputi persahabatan yang akrab keadaan menjadi tenang dan menyegarkan badan. Terutama
terlihat Thian-ih dan Li Hong-gi duduk di pinggiran sana penuh mesra kasih. Hati kecilnya
menjadi girang-girang duka. Girang karena gurunya sudah rujuk kembali dengan musuh besar
serta sahabatnya, juga duka karena sampai saat itu hari depannya masih terkatung-katung,
sebelum ini besar harapannya dirinya bisa menikah dengan Thio Thian-ih. Tapi sekarang
tambatan hatinya itu sudah bakal menjadi menantu keluarga Li, tiada harapan lagi bagi dirinya
dalam soal perjodohan ini, tak tertahan lagi air mata mengalir deras saking duka.
Mendadak terdengar Hun-tai Siancu berseru keras: "In-hun, kau tidak perlu berduka hari
depanmu gurumu sudah mengaturnya dengan sempurna." lalu dia panggil Hi Si-ing dan Cia
In-hun menghadap berdiri berendeng di hadapannya, katanya penuh perasaan: "Hi Si-ing
adalah murid tunggal suamiku almarhum, sedang In-hun adalah murid tunggalku pula, usia
kalian sembabat, yang pria gagah tampan, yang perempuan ayu jelita, merupakan pasangan
yang setimpal dan cocok, kukira perjodohan ini dapat dirangkapkan."
Mendengar dirinya bakal mempersunting istri demikian cantik, sungguh girang Hi Si-ing bukan
kepalang seperti putus lotre beberapa juta, cepat-cepat ia berlutut menyembah kepada
Hun-tai Siancu nyatakan terima kasih sebesar-besarnya.
Sekilas Cia In-hun melirik ke arah Si-ing, meskipun tidak setampan dan segagah Thian-ih, tapi
juga seorang pemuda yang cukup ganteng dan mengenal cinta kasih. Diam-diam ia membatin:
rasanya juga tidak sia-sia aku menikah dengan dia, maka ia juga berlutut dan menyembah di
hadapan Hun-tai Siancu menyatakan terima kasih akan karunia ini. Suasana menjadi tambah
semarak dan riang gembira. Terutama Hi Si-ing yang paling girang dapat mempersunting
seorang istri yang cantik rupawan. Malam itu Hun-tai Siancu mengadakan perjamuan sekedar
merayakan kabar gembira ini.
Hari kedua, Ki Bing menulis puluhan undangan yang segera disebar mengundang tokoh-tokoh
silat yang kenamaan di berbagai tempat. Tiga hari kemudian, dibawah gunung Hun-tai-san
mendatangi sebuah kereta gandeng yang reyat-reyot mendaki ke atas puncak, orang yang
berjalan di depan kereta ternyata bukan lain adalah To Yung adanya. Kebetulan Cia In-hun
dengan calon suaminya Hi Si-ing sedang iseng dan tamasya melihat-lihat pemandangan dan
mencari angin, dari kejauhan segera mereka berteriak memanggil: "Paman To."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Hi Si-ing juga segera berlari menghampiri. Waktu sudah dekat begitu ia melihat di atas kereta
duduk seorang gadis yang cantik bak bidadari berwajah mirip benar dengan Li Hong-gi, ia
menjadi kesengsam dan heran serta garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, tanyanya
keheranan kepada Cia In-hun: "Bukankah nona Li tadi berada dirumah" Bagaimana bisa dia
datang dari bawah gunung ?"
Belum lagi Cia In-hun menjawab, terdengar To Yung sudah bergelak tertawa
terpingkal-pingkal, katanya: "Si-ing, coba kau lihat tegas, siapakah dia?"
Dengan cermat dan seksama Si-ing dan In-hun melihat lebih tegas lagi, namun masih belum
dapat membedakan, siapakah dia sebetulnya. Tapi dari gerak gerik To Yung yang melucu itu
sedikit banyak mereka sudah dapat menduga bahwa gadis diatas kereta ini pasti bukan Li
Hong-gi adanya. Melihat kedua muda muda ini berdiri melongo saja, baru To Yung memberi penjelasan: "Dia
adalah Nisi kecil itu. Lekas kalian laporkan kedatangannya kepada Hun-tai Siancu, katakan
bahwa aku berhasil mengundang Nisi kecil kemari!"
"O, kiranya Nisi kecil." Cia In-hun berjingkrak girang terus putar tubuh lari sekencang-kencangnya bergandeng tangan dengan Hi Si-ing, memberi laporan kepada
Hun-tai Siancu. Tak lama kemudian semua orang sudah sampai di Hun-tiong-khek. Pertama-tama Thian-ih
yang menyambut diluar pintu. Begitu melihat kehadiran Thian-ih ini, kontan Nisi kecil tertegun
dan berdiri melongo. To Yung tertawa besar, serunya: "Aku tidak ngapusi kau bukan!"
Nisi kecil membalasnya dengan senyuman manis terus loncat turun dari atas kereta untuk
bertemu dengan Thian-ih. Setelah memberi hormat segera Thian-ih berkata: "Ibuku sudah
menanti dikamar belakang, masih ada lagi Ciu Hou dan Ki Bing dua Locianpwe juga berharap
bertemu dengan kau." lalu dia berjalan didepan membawa Nisi kecil keruang belakang.
Dalam pada itu Hun-tai Siancu, Ki Bing dan Ciu Hou juga sedang berjalan keluar menyambut,
terutama Hun-tai Siancu dengan kasih sayang segera ia genggam kedua tangan Nisi kecil serta
katanya welas asih: "Nak, perjalanan yang jauh ini tentu melelahkan sekali."
Waktu Nisi kecil masih berada di Bo-toh, To Yung sudah menjelaskan asal-usul serta
serangkaian usahanya yang melerai permusuhan dendam sakit hati yang ditanam oleh
suaminya, maka begitu mendengar ucapan Hun-tai Siancu yang halus penuh kasih sayang,
seketika ia teringat akan ayah bundanya, tak tertahan lagi airmata mengalir deras.
Hun-tai Siancu menghela napas panjang, lalu katanya berpaling kearah To Yung: "Apakah kau
sudah jelaskan maksud hatiku kepadanya?"
"Aku sudah menjelaskan kepada Nisi kecil," sahut To Yung, "Dan lagi dia sudah tahu bahwa
Thian-ih ternyata adalah putra tunggalmu."
Sebelah tangan Hun-tai Siancu menyekal pergelangan tangan Nisi kecil sedangkan tangan
yang lain menyekap lengan Thian-ih, katanya kepada Nisi kecil dengan suara haru tersendat:
"Balas membalas tentu tiada akhirnya, dendam sakit hati dari angkatan tua biarlah dibawa ke
liang kubur oleh mereka, kalian dari angkatan muda biarlah angkat saudara di hadapanku saja.
Nisi kecil, aku dapat menganggapmu sebagai putri kandungku sendiri. Apalagi aliran agamamu
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
diluar perbatasan itu hakikatnya bukan bersumber dari aliran yang lurus, kembalilah ke jalan
benar dan pelajarilah ilmu sejati dari golongan lurus."
Nisi kecil manggut-manggut sambil berlinang air mata, sahutnya: "Dapat berjumpa dengan
kau orang tua, benar-benar merupakan keberuntungan Siau-li (aku) yang besar. Seakan
menyingkap kabut, aku melihat langit yang terang, besar benar rejekiku ini."
Sungguh girang Hun-tai Siancu hari ini, susah dilukiskan dengan kata-kata, segera ia duduk di
kursi kebesarannya menerima sembah sujud dari Nisi kecil. Sejak saat itu ia ketambahan
seorang putri angkat. Demikian juga segera Thian-ih bersama Li Hong-gi maju memberi
selamat kepada Nisi kecil. Baru sekarang Nisi kecil berkesempatan melihat wajah Li Hong-gi
yang benar-benar mirip dengan wajahnya. Maka dia membatin dalam hati; tak heran Thian-ih
pernah kesalahan mengira aku adalah calon istrinya ini.
Beberapa hari kemudian, para tokoh-tokoh silat kenamaan yang diundang sudah
berduyun-duyun berkunjung keatas Hun-tai-san, untuk mengikuti perjamuan pernikahan
Thian-ih dengan Li Hong-gi serta Hi Si-ing dengan Cia In-hun.
Kalau semua hadirin bergembira makan minum dengan riangnya, adalah So Hoan di sebelah
sana tiada selera menyikat hidangan didepannya. Kiranya sejak pertemuan pertama kali dulu
serta pengalamannya didalam gedung bobrok diatas Gun-u-ling itu, siang-siang hatinya sudah
tertambat oleh Thian-ih, diam-diam ia sudah berkeputusan dalam hati untuk menikah dengan
dia. Tapi sekarang pemuda pujaannya menjadi suami Li Hong-gi, bahwasanya hati perempuan
rada dengki dan jelus, belum perjamuan selesai dengan alasan mabuk arak diam-diam ia
tinggalkan perjamuan. Setelah perjamuan bubar baru diketahui dia tengah menangis di
belakang pohon diluar sana, menangis karena cintanya tidak terbalas. Terpaksa So Tiong
harus membujuknya dengan susah payah.
Beberapa hari kemudian sejak pernikahan itu, Thian-ih menghadap ibunya dan mengutarakan
maksudnya hendak mengembalikan kedua butir mutiara yang dicuri oleh To Yung dari gudang
harta di istana raja itu, langsung diserahkan kepada petugas Bhayangkara di kotaraja serta
dijelaskan duduk perkara sebenarnya. Maka sejak hari itu setelah semua perkara dapat
dibereskan, karena terbukti tidak bersalah Lim Han dilepas keluar dari penjara.
Karena dengan rela hati Thian-ih mau menyerahkan kembali barang-barang pusaka, atas
kebijaksanaan sang Raja segera Thian-ih dianugrahi sebuah pangkat Bhayangkari kelas satu
tituler, serta memberikan piagam penghargaan. TAMAT.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Bara Diatas Singgasana 7 Pahlawan Harapan Karya Tang Fei Tangan Berbisa 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama