Dewi Sri Tanjung 2 Si Tangan Iblis Bagian 2
menyeramkan dan mentereng itu, kakek ini tentu menjadi takut. Tetapi ternyata
dugaannya keliru dan kakek ini malah ketawa terkekeh kegelian.
Sentiko mengerutkan alisnya tidak senang. Bentaknya, Apakah sebabnya kau
tertawa" Huh, jika engkau berhadapan dengan kakekku, aku ingin melihat apakah
engkau berani tertawa seperti ini"
Heh heh heh heh, kau lucu, Bocah!
Bukankah kakekmu yang bergelar Si Tangan Iblis itu nama kecilnya Taruno"
Hai.... kakek tahu" Sentiko
terbelalak kaget.
Hemm, tentu saja! Justru amat
kebetulan jika engkau cucu dan murid Si Tangan Iblis, sekarang kau harus ikut
aku dan menjadi muridku.
Apa" Tidak usah ya! Engkau takkan bisa menandingi kakekku. Huh, tidak sudi!
Kakek, pergilah dan jangan mengganggu aku lagi. Aku ingin
secepatnya tiba di Ibukota Majapahit dan aku akan mencari Mpu Nala dan Gajah
Mada! Untuk apakah mencari mereka"
kakek ini heran.
Akan kubunuh untuk membalaskan
sakit hati orang tuaku. Mereka harus mampus dalam tanganku.
Heh heh heh heh, ada seekor katak ingin mencapai langit. Manakah
mungkin" Anak, engkau tidak kenal tingginya langit dan dalamnya lautan.
Manakah mungkin hanya dengan bekal kepandaianmu ini dapat melawan dua tokoh
sakti itu" Heh heh heh heh, lucu. Lucu sekali! Apakah kakekmu Si Tangan Iblis
menjadi linglung, sudah mengizinkan engkau pergi dan menempuh bahaya maut"
Hai orang tua. Kau jangan lancang mulut dan mencaci maki kakekku! teriak
Sentiko lantang karena mendongkol. Aku pergi diam-diam. Tahu" Aku tidak takut
mati untuk membalaskan sakit hati ayah bundaku.
Itu bagus sekali. Tetapi belum
waktunya engkau pergi ke Majapahit.
Tidak! Sekarang juga aku akan
pergi ke sana. Siapa melarang harus berkenalan dengan tombak trisula ini.
Sambil berkata begitu ia cepat
melompat dan menyambar senjata yang tadi terlepas dan terlempar. Kemudian dengan
sikapnya yang gagah, bocah ini siap menghadapi orang yang berani menghalangi
maksudnya. Heh heh heh heh! kakek itu
terkekeh. Engkau akan melakukan pembunuhan lagi" Apakah kau belum puas dengan
dua nyawa yang sudah melayang oleh tanganmu"
Tidak peduli! Jika kau
menghalangi aku, akan kubunuh juga.
Kakek itu masih berdiri tegak
sambil mengusap jenggotnya yang putih panjang. Kemudian sahutnya halus, Coba
seranglah aku. Apakah engkau benar-benar seorang bocah yang tangguh seperti
omonganmu yang besar"
Kakek tua! Engkau benar-benar
mencari perkara dengan Sentiko, huh.
Sekalipun kecil aku bukan anak
sembarangan. Awas, rasakah tombak trisulaku ini.
Bocah yang sudah penasaran ini
tidak peduli lagi kepada siapapun.
Karena orang tua ini sengaja
menghalangi kemauannya, kalau perlu juga harus dibunuh. Dan sekalipun masih
kecil, ia bukan bocah tolol. Ia sadar kekek ini tentu bukan orang sembarangan.
Dan paling tidak tentu sama dengan si berewok Kreto Jayus tadi. Maka begitu
bergerak menyerang ia sudah memilih jurus ilmunya yang paling hebat.
Hiaaattt...! teriaknya sambil
menerjang maju melancarkan
serangannya. Akan tetapi pemuda cilik ini
menjadi kaget ketika melihat kakek itu tidak bergerak. Sekalipun demikian ia
tidak mau mengurangi kecepatannya menyerang.
Cring cring cring...!
Sentiko kaget sendiri ketika
semua tikaman dan pukulannya membalik dan telapak tangannya amat panas seperti
dibakar api. Heh heh heh heh, kakek itu
terkekeh. Baru melawan jari tanganku saja kau sudah tidak mampu. Manakah mungkin
engkau bisa membalaskan sakit hati orang tuamu"
Wajah Sentiko merah padam
mendengar ejekan itu. Sekalipun telapak tangannya terasa panas, ia kembali
melompat dan menerjang lagi.
Cring cring... aduhhh....! Bocah itu memekik kaget ketika lengannya mendadak
lumpuh dan senjatanya lepas.
Heh heh heh heh, engkau harus mau belajar lebih tekun beberapa tahun lagi, Anak.
Dan sebagai muridku, engkau takkan sulit membunuh Gajah Mada maupun Mpu Nala.
Kakek tua ini makin tertarik
setelah mengenal watak Sentiko yang keras kepala dan tabah. Murid seperti bocah
inilah yang ia butuhkan, dan ditambah lagi yang berbau sesat. Dan kakek ini
menjadi lebih tertarik lagi setelah mendengar pengakuan bocah itu sendiri
sebagai cucu Si Tangan Iblis.
Tak sudi! Lebih baik aku mati
daripada menjadi muridmu. Aku tidak sudi berkhianat kepada kakekku
sendiri. Selesai mengucapkan kata-katanya ia kembali menyambarkan senjatanya.
Dan walaupun kelumpuhan lengannya belum pulih, ia sudah nekad menyerang lagi.
Kemudian dengan senjatanya, ia kembali menerjang maju.
Capp! Tombak trisulanya itu
sekarang menancap ke perut si kakek.
Sentiko sendiri menjadi kaget.
Benarkah kakek ini sengaja membunuh diri
menerima tikaman senjatanya"
Namun kalau senjatanya ini benar menancap ke perut kakek ini, mengapa
kakek ini tidak menyerang dan bibirnya malah tersenyum-senyum"
Pada saat dirinya masih heran ini tiba-tiba ia merasa seperti didorong oleh
tenaga tidak tampak. Ia kemudian terpental mundur lalu terhuyung.
Sedang tombak trisulanya masih tetap tergenggam dalam tangannya, dan aihh....
mengapa tidak ada darah"
Dan ketika ia memperhatikan perut kakek itu, ternyata tidak terluka.
Kau.... kau menggunakan ilmu
siluman! teriaknya.
Heh heh heh heh, siluman apa"
Dengan cara menjadi muridku, kelak engkaupun akan bisa seperti aku.
Jangan lagi hanya pukulan, sekalipun senjata takkan mampu menembus kulitmu.
Bohong! Aku tidak mau percaya!
Sudahlah, aku mau melanjutkan
perjalanan dan kau jangan mengganggu aku lagi! sambil berkata bocah ini sudah
melompat ke samping lain
melarikan diri.
4 Akan tetapi lagi-lagi kejadian
berulang. Tahu-tahu Sentiko terguling setelah menabrak sesuatu yang lunak.
Ternyata kakek itu telah duduk bersila dan menghadang perjalanannya.
Sentiko marah sekali dan mencaci maki, Iblis tua! Engkau jangan
menghina aku. Jika engkau benar-benar sakti mandraguna datanglah ke Tosari dan
melawan kakekku. Huh, dalam dua gebrakan saja, engkau tentu sudah mampus dalam
tangan kakekku, dan....
Sentiko menghentikan kata-katanya yang belum selesai, ia cepat
membalikkan tubuh karena mendengar suara ribut-ribut. Ternyata beberapa orang
laki-laki dengan senjata aneka ragam sudah datang dan mengurung dan di antara
mereka sudah berteriak sambil menuding dirinya.
Nah, itu dia. Bocah itulah yang sudah membunuh!
Benar! Tentu bocah itu pula yang sudah merampas uangnya!
Dia perampok cilik yang sudah
membunuh saudaraku!
Mendengar teriakan orang yang
ribut itu wajah Sentiko menjadi pucat.
Pikirnya, Celaka! Agaknya orang-orang itu tahu akulah yang sudah membunuh
perempuan itu dan merampas uangnya.
Ah, aku harus lari secepatnya!
Akan tetapi sungguh celaka. Ia
tak dapat menggerakkan kaki dan kakinya seperti berakar didalam tanah.
Ia menjadi keheranan sendiri, apakah sebabnya"
Ia tidak menyadari sama sekali, apa yang terjadi atas dirinya itu tidak lain
oleh tenaga halus yang dikirim oleh kakek itu. Tenaga yang
tidak tampak lewat injakan kaki sehingga Sentiko tidak menyadari.
Sebagai akibatnya dalam waktu
singkat ia sudah dikepung belasan orang sambil mengacungkan senjata dengan sikap
marah. Hayo, lekaslah menyerah! bentak salah seorang dari mereka. Bukankah engkau telah
merampok uang dan
membunuh" Ti.... dak.... aku tidak....
bantahnya gagap. Bocah, kau tak perlu mungkir! bujuk yang lain. Ketika Sentiko
memalingkan mukanya memandang orang-orang itu, wajahnya menjadi tambah pucat.
Sebab di antara mereka itu terdapat pemilik warung.
Dan pemilik warung itu kemudian membujuk, Anak, banyak orang yang sudah melihat
pundi-pundi uang itu, dan yang tadi direbut Kreto Jayus.
Maka sebaiknya kau menyerah saja Anak, kemudian kami bawa menghadap Bapak Akuwu.
Sentiko tak dapat membantah lagi.
Namun sudah tentu bocah keras kepala dan bandel ini takkan begitu saja mau
menyerah. Ia sudah terlanjur melakukan perampasan dan pembunuhan. Karena itu, ia
sadar dirinya akan celaka jika menyerah. Maka tak ada jalan lain untuk
menyelamatkan diri dengan melawan.
Akan tetapi bocah ini memang
belum ingin mati, dan ia tidak rela
pula sebelum dapat membalaskan sakit hati orang-tuanya. Maka sekalipun melawan,
kalau ada kesempatan ia akan melarikan diri.
Aku tidak melakukannya! bantahnya marah. Benar aku memiliki pundi-pundi itu.
Akan tetapi pundi-pundi uang itu pemberian orang tuaku sebagai bekal perjalanan.
Huh, apakah sama warnanya tidak boleh"
Jawaban itu ternyata berpengaruh juga. Beberapa orang di antara mereka bertatap
pandang. Siapa tahu kalau pundi-pundi itu memang sama warnanya"
Mereka menjadi ragu, karena tidak seorangpun dari mereka menyaksikan terjadinya
peristiwa itu. Tetapi saudara dari perempuan
yang menjadi korban, mengenal ciri pundi-pundi itu. Katanya lantang, Jangan
mungkir! Jika benar-benar pundi-pundi itu pemberian orang tuamu, sekarang
tunjukkanlah. Aku mengenal cirinya, hemm, pada bagian tali sudah robek dan pada
sudut bawah sudah ditambal dengan kain lurik hitam. Jika pundi-pundi yang kau
miliki berbeda dengan ciri itu, kami takkan
mengganggumu lagi.
Orang yang lain pun cepat pula
ikut berusaha agar Sentiko membela diri dan menunjukkan bukti. Karena
sesungguhnya para penduduk desa ini
merasa sungkan harus berurusan dengan bocah cilik ini.
Akan tetapi manakah mungkin
Sentiko mau mengeluarkan pundi-pundi itu" Ia bukan pemuda tolol. Maka ia mencari
alasan dan dalih untuk
mempertahankan diri. Jawabnya, Huh, pundi-pundi ini milikku sendiri.
Mengapa harus aku tunjukkan kepada kalian" Pendeknya aku tidak melakukan
perampasan dan pembunuhan itu. Sudahlah, kalian jangan mengganggu lagi.
Jahanam cilik! Jika engkau keras kepala, terpaksa kami gunakan
kekerasan! bentak seorang laki-laki berkumis tebal.
Siapa takut" balas Sentiko yang sudah terpojok. Walaupun sadar dirinya dalam
bahaya, ia membusungkan dada dan siap dengan senjatanya. Huh, siapa berani maju
senjataku ini akan menjadi hakim pencabut nyawa.
Di antara mereka yang hadir ini, justru terdapat pula orang-orang yang tadi
menyaksikan perkelahian antara Sentiko dengan Kreto Jayus. Karena itu mereka
tidak berani sembarangan, justru sekalipun kecil dia bocah
berbahaya. Sebaliknya adik dari perempuan yang terbunuh itu tidak gentar.
Pertama ia merasa bertubuh lebih tinggi dan lebih besar. Yang kedua, ia pernah
belajar ilmu kesaktian sekalipun belum tinggi,
namun ia sudah merasa dirinya cukup hebat.
Biarlah aku yang menangkap bocah sombong ini! katanya lantang.
Dengan golok terhunus ia melompat maju. Bagi orang-orang desa lompatan pemuda
ini sudah cukup cepat dan jauh.
Tetapi bagi Sentiko, lompatan itu lambat dan pendek saja. Dirinya dapat berbuat
lebih cepat dari pemuda itu.
Maka tanpa gentar sedikitpun Sentiko segera menyambut golok lawan.
Wutt.... wutt.,.. Golok orang itu menyambar dahsyat, tetapi hanya mengenai
tempat kosong. Karena terlalu bernafsu dalam menyerang, orang itu terhuyung ke
depan, kehilangan
keseimbangan Sentiko tertawa mengejek sambil melenting tinggi, kemudian ia
memancing dengan tangan kiri pura-pura memukul kepala lawan. Melihat itu
lawannya gembira dan cepat menyambut dengan bacokan golok.
Wutt.... Aduhhhh....!
Orang itu berteriak nyaring
kesakitan, kemudian roboh merintih-rintih. Ternyata pundak orang itu sudah
terluka parah dan darah mengucur deras dari luka.
Orang-orang yang mengurung
terbelalak. Bocah itu dapat bergerak cepat sekali. Bagaimanakah mungkin dapat
menangkap" Di saat orang-orang masih diliputi oleh keraguan ini,
Sentiko sudah membentak nyaring dan menerjang ke bagian barat. Orang-orang yang
diserang kaget dan berlompatan ke samping sambil menangkis dengan senjata.
Tetapi orang-orang itu tertipu. Sebab menggunakan kesempatan di saat orang
sedang menghindar dan menangkis itu, bocah ini sudah
melompat tinggi
dan keluar dari
kepungan. Kemudian Sentiko lari secepat terbang masuk ke dalam hutan.
Semua orang berteriak ribut,
kemudian berusaha mengejar. Namun karena mereka hanyalah pada penduduk desa yang
tidak kenal ilmu kesaktian maka mereka ketinggalan jauh. Dalam waktu tidak lama
bocah itu sudah hilang ditelan gelapnya pepohonan.
Si kakek yang mengikuti semua
peristiwa itu menggeleng-gelengkan kepalanya penuh rasa kagum. Ia semakin
menjadi tertarik dan suka kepada bocah itu. Sebab memang pemuda seperti itulah
yang selama ini selalu dicari dan diharapkan bisa menjadi muridnya.
Tabah, berani, cerdik, berbakat, licin dan yang lebih penting lagi berbau sesat.
Dan karena tertarik, kakek inipun kemudian pergi dan membayangi Sentiko.
Siapakah sebenarnya kakek yang
ingin mengambil Sentiko menjadi muridnya itu" Tidak seorangpun kenal nama si
kakek ini yang asli. Orang
hanya mengenai dengan julukan Giri Samodra, dan bertempat tinggal di gunung
Wilis. Ia memang bukan orang sembarangan. Ia seorang sakti
mandraguna, bekas teman seperjuangan Lembu Sora yang memberontak pada tahun 1311
kepada Majapahit dan tewas oleh jebakan licik yang dipasang Nambi, Patih
Mangkubumi Majapahit.
Akan tetapi tewasnya Lembu Sora tidak memadamkan hati panas Juru Demung, Gajah
Biru maupun Giri
Samodra. Mereka malah menyesal sekali mengapa Ronggolawe dan Lembu Sora yang
besar jasanya kepada Majapahit harus mati dengan nama ternoda" Maka dua tahun
kemudian pada tahun 1313 meletus pemberontakan yang dipelopori Juru Demung. Pada
pemberontakan ini Giri Samodra merupakan tangan kanan Juru Demung.
Namun ternyata pemberontakan
tersebut gagal juga dan Juru Demung tewas dalam peperangan. Sekalipun demikian
Giri Samodra tidak juga padam semangatnya. Kemudian pada tahun 1314
Dewi Sri Tanjung 2 Si Tangan Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersama Gajah Biru meletuskan
pemberontakan lagi terhadap Majapahit.
Tetapi lagi-lagi persiapan Gajah Biru dan Giri Samodra kurang tertib. Mereka
kurang memperhitungkan kekuatan Majapahit pada saat Raja Jayanegara berkuasa.
Dan akibatnya pemberontakan inipun gagal lagi.
Setelah tiga kali pemberontakan yang diselenggarakan selalu gagal, akhirnya Giri
Samodra yang merasa tanpa kawan yang bisa dipercaya lagi, lalu mengasingkan diri
di pinggang gunung Wilis, yang kemudian tempat itu disebut dengan nama Desa
Basuki. Nama Basuki ini artinya selamat. Dan desa ini menjadi ramai dan selamat
dari gangguan orang jahat, berkat adanya Giri Samodra.
Berkat perlindungan Giri Samodra ini maka oleh para penduduk desa itu, ia
dijadikan orang yang dituakan disamping dihormati.
Semua penduduk memanggil "Bapa Guru" kepada Giri Samodra karena semua penduduk
desa itu pernah diberi pelajaran ilmu tata kelahi. Tetapi sekalipun demikian,
semua orang tidak berhak mengaku sebagai muridnya.
Apakah sebabnya mereka tidak
diakui sebagai murid sekalipun pernah diberi pelajaran ilmu kesaktian"
Karena semua penduduk itu tidak cocok dengan watak murid yang ia butuhkan.
Mereka terlalu jujur, berwatak gagah dan puas hidup sebagai petani.
Murid yang diharapkan Giri
Samodra bukan seperti itu. Tetapi seorang pemuda yang berbakat, cerdik, licin,
licik, kejam dan tidak peduli tata kesopanan umum. Nampaknya
harapannya itu aneh, jika mengingat sejarah hidupnya.
Giri Samodra memang tidak pernah mau berpikir bahwa terjadinya
peristiwa yang menimpa Ronggolawe dan lembu Sora itu karena ada seseorang yang
secara licik menciptakan. Dan kakek
ini hanya menduga, semua
peristiwa itu oleh keserakahan Patih Mangkubumi Majapahit yang bernama Nambi,
dan juga raja sendiri yang terpengaruh oleh Nambi.
Padahal dugaan ini keliru besar.
Peristiwa ini diciptakan oleh
seseorang yang bernama Dyah Halayuda alias Mahapati. Orang inilah yang memfitnah
dan mengadu domba, sebingga baik Ronggolawe maupun Lembu Sora terpancing dan
memberontak. Memang ada sebabnya Mahapati
melakukan perbuatan dan mengacau dari dalam itu. Mahapati yang berambisi untuk
dapat menduduki jabatan Patih Mangkubumi Majapahit itu, tidak ada jalan lain
kecuali melakukan fitnah dan adu domba. Sebab selama para tokoh Majapahit yang
dekat dengan raja belum tersingkir, selama itu pula cita-citanya akan mengawang.
Itulah sebabnya pertama kali
Ronggolawe yang menjadi korban tingkah laku Mahapati. Sebagai alasannya, Nambi
tidak pantas menduduki jabatan Patih Mangkubumi. Dan yang pantas menduduki hanyalah Ronggolawe atau Lembu Sora karena sudah besar jasanya.
Oleh hasutan Mahapati ini
Ronggolawe terbujuk. Kemudian
Ronggolawe memprotes kepada raja di persidangan. Secara blak-blakan Ronggolawe
mengemukakan kepada raja, bahwa Nambi tidak pantas menduduki jabatan patih
Mangkubumi. Dan yang tepat hanya pamannya bernama Lembu Sora atau Ronggolawe
sendiri. Atas protes Ronggolawe ini semula pendirian raja goyah. Tetapi kemudian Sora
berkata, raja tidak seharusnya terombang-ambing oleh pendapat
hambanya. Lembu Sora tidak setuju kalau kedudukan Nambi diganti oleh dirinya
maupun oleh Ronggolawe. Dan menurut Sora, mendudukkan Nambi sebagai patih
mangkubumi sudah tepat.
Ronggolawe tidak ingin
bertentangan dengan paman sendiri.
Maka dari itu kemudian Ronggolawe meninggalkan persidangan dengan masih
penasaran. Kebo Anabrang salah seorang
panglima Singosari yang pernah
mendudukkan negara Melayu dan pulang ke Singosari sambil membawa putri boyongan
Dara Petak dan Dara Jingga, merasa tersinggung dan marah. Ia kemudian menantang
Ronggolawe untuk bertanding kesaktian. Namun tantangan itu tidak ditanggapi oleh
Ronggolawe. Di Balai Bang, Ronggolawe yang
penasaran melakukan pengrusakan. Dan hai ini memancing kemarahan Kebo Anabrang
serta ingin menghajar
Ronggolawe. Tetapi maksud ini bisa dicegah
Lembu Sora. Kemudian ia
sendiri yang datang ke Balai Bang untuk meredakan kemarahan Ronggolawe.
Ronggolawe memang hanya tunduk
kepada seorang raja, ialah Lembu Sora, karena merupakan pamannya. Dan atas
nasihat dan bujukan Lembu Sora ini kemudian Ronggolawe pulang ke Tuban.
Akan tetapi ternyata hasutan
Mahapatih terlalu jauh mempengaruhi batin dan perasaannya. Karena itu kemudian
ia melakukan pemberontakan.
Dalam peristiwa ini akhirnya
Ronggolawe mati terbunuh oleh Kebo Anabrang yang menggunakan akal licik.
Perbuatan licik karena di darat Kebo Anabrang tidak akan dapat menandingi
Ronggolawe. Oleh sebab itu kemudian Kebo Anabrang menggunakan akal
menantang Ronggolawe berkelahi di sungai Tambak Beras.
Padahal Ronggolawe tidak bisa
berenang, maka tanpa kesulitan Kebo Anabrang dapat mengalahkan Ronggolawe dan
tewas. Dan apa yang terjadi di sungai ini diketahui oleh Lembu Sora.
Ia menjadi marah sekali ketika
kemenakannya tewas oleh kelicikan
orang. Dalam marahnya ini kemudian Kebo Anabrang ditikam dari belakang.
Penikaman yang dilakukan Lembu
Sora kepada Kebo Anabrang inilah kemudian yang dijadikan alasan
Mahapati untuk memfitnah Lembu Sora.
Ia kemudian membujuk kepada raja supaya menghukum Lembu Sora. Dan kepada Kebo
Taruna, anak Kebo
Anabrang, ia menghasut agar menuntut balas. Disamping itu ia juga menghasut
Nambi apabila Lembu Sora tidak dihukum, bisa menyebabkan negara
Majapahit kacau.
Oleh kelicinan dan kelicikan
Mahapati dalam mempengaruhi dan membujuk raja, Kebo Taruna maupun Nambi ini
akhirnya keputusan raja menetapkan Lembu Sora harus dihukum buang.
Akan tetapi Lembu Sora yang sudah mengetahui tuduhan kepada dirinya itu, menolak
keputusan raja, dan ia memilih mati di tangan raja daripada harus menerima
hukuman buang itu.
Sikap Lembu Sora ini dimanfaatkan oleh Mahapati untuk membujuk raja, Nambi
maupun Kebo Taruna. Ia membujuk raja agar tidak be-sedia menerima kedatangan
Lembu Sora untuk
menyerahkan jiwa raga. Sebaliknya kepada Kebo Taruna maupun kepada Nambi, ia
mempengaruhi agar memper-siapkan pasukan rahasia yang kuat
untuk menjebak Lembu Sora yang
disebut-sebut akan membunuh raja. Dan oleh kelicinan, kelicikan dan tipu
muslihat Mahapati ini, akhirnya Lembu Sora tewas dikeroyok prajurit Nambi.
Sebagai akibat peristiwa yang
menyakitkan hati ini, Giri Samodra memusuhi Majapahit. Pendeknya
peristiwa ini harus terbalas tuntas.
Sekalipun ia tahu benar, akhirnya Nambi sendiri tewas akibat fitnah dan hasutan
Mahapati kepada raja, dengan nama ternoda pula sebagai pemberontak.
Namun pada akhirnya Mahapati mati juga di rumahnya sendiri oleh
penyerbuan para Dharmaputra Majapahit, setelah tahu bahwa Mahapati merupakan
benalu Kerajaan Majapahit. Dan peristiwa inilah yang kemudian dikenal dalam
sejarah, pemberontakan Kuti.
Nah, karena sakit hati ini maka murid yang diharapkan Giri Samodra agar kemudian
hari dapat mengemban tugas membalas dendam kepada semua tokoh Majapahit. Dan
Giri Samodra merasa sayang sekali bahwa Mahapati sudah mati terbunuh. Kalau saja
masih hidup, orang itulah sasaran yang pertama kalinya.
Karena Sentiko menolak diambil
sebagai murid, hai ini semakin
menambah keinginannya, untuk bisa memikat bocah itu. Ia percaya, pada saatnya
nanti bocah itu tentu bakal
tunduk dan mau mengangkat dirinya sebagai guru.
Sentiko berlarian cepat sekali
dalam usaha menghindarkan diri dari kejaran orang-orang desa itu. Setelah merasa
cukup jauh, barulah ia berani melangkah seenaknya. Perutnya kembali lapar
dan merengek minta isi,
menyebabkan ia penasaran jika teringat peristiwa di warung tadi. Sebab baru
beberapa suap nasi masuk dalam perut, telah ditambah dengan ludah Kreto Jayus.
Kalau saja orang itu tidak mengganggu, tentu ia tadi sudah makan dan perut
kenyang. Saking lapar dan perut merengek terus, kemudian ia menengadahkan kepala untuk
mencari buah apa saja, yang mungkin bisa dipergunakan
mengurangi rasa lapar.
Akan tetapi yang dicari belum
diperoleh, tiba-tiba ia kaget.
Telinganya yang sudah cukup terlatih, menangkap suara geseran daun ilalang
diterjang sesuatu. Dan ketika ia memandang ke arah rumput itu mendadak wajahnya
pucat. Seekor harimau loreng yang amat besar, sudah muncul dari dalam semak, dan
sepasang mata harimau itu memandang dirinya.
Ahh, celaka! ia mengeluh perlahan dengan wajah pucat.
Kemudian terbayang dalam benaknya, tubuhnya akan dikoyak-koyak
hancur oleh kuku dan taring harimau itu. Sebelum dirinya tewas, ia tentu
mengalami derita hebat sekali. Dan terbayang pula betapa sakitnya di saat
harimau itu menggigit putus lengannya.
Setelah lengannya habis dimakan, kemudian menggigit putus lengannya yang
sebelah. Ahhh.... ngeri.....
Tidak! Tidak! Aku tak mau mati
dengan cara itu. Aku tidak sudi menyerah menjadi mangsa harimau. Aku harus
melawan sedapat-dapatku, ujarnya dalam hati.
Secepat kilat senjata tombak
trisula sudah siap di tangan kanan, untuk menghadapi serangan harimau.
matanya tidak berkedip, sedang otaknya diputar bagaimanakah cara yang tepat
untuk dapat membunuh harimau itu.
Dan sebaliknya harimau itu,
melihat calon korbannya mengeluarkan senjata sudah menggeram keras. Kaki depan
mencakar tanah dan tubuh bagian depan merendah. Mulutnya yang lebar dan penuh
gigi yang kuat itu terbuka siap menggigit.
Sentiko bergidik juga menghadapi harimau ini. Karena harimau ini bisa mencakar
dengan kuku dan menggigit dengan gigi tajam. Sebaliknya dirinya tidak bisa
mencakar dan tidak bisa pula menggigit. Maka sekali kepalanya masuk ke dalam
mulut harimau itu, tidak mungkin masih utuh lagi dan
tentu remuk. Mengingat semua itu maka bocah ini makin kuat memegang tombak
trisulanya. Ia akan sambut dengan tikaman apabila harimau itu menyerang dirinya.
Hauw.... hauww....! harimau
sebesar lembu itu kembali menggeram.
Lalu dengan lompatan
yang tinggi menyambar ke depan. Dengan hati berdebar Sentiko melesat ke samping sambil
menikamkan tombak. Wutt....
luput! Sentiko terpelanting sendiri tertarik oleh tenaga yang digunakan.
Haung.... haung.... haung....
harimau itu mengaum keras sambil membalikkan tubuh. Harimau itu tampak marah
sekali setelah diserang. Ia menubruk kembali dengan kaki depan yang kuat dan
berkuku runcing dan siap merobek tubuh Sentiko.
Sentiko menyambut lagi dengan
tombaknya. Namun karena hati risau, tikamannya gagal lagi, dan malah kaki
belakang harimau itu berhasil mencakar pundaknya sehingga terluka dan
mengeluarkan darah.
Karena tidak menduga, Sentiko
terpelanting roboh di tanah. Bocah ini meringis karena sakit namun masih bisa
menghindar dan segera bergulingan ketika harimau itu menyerang lagi.
Senjatanya yang menyerang dari bawah berhasil menikam paha bagian belakang.
Walaupun tikaman itu kurang tepat
namun paha harimau itu robek juga dan mengeluarkan darah.
Hauw.... hauww....! harimau sebesar lembu itu kembali menggeram.
Lalu dengan lompatan yang tinggi menyambar ke depan. Dengan hati berdebar
Sentiko melesat ke samping sambil menikamkan tombak.
Tetapi rasa sakit pada paha yang terluka ini justru menyebabkan harimau itu
marah sekali. Si harimau mengaum keras dan menubruk lagi. Serangannya hebat dan
ganas, menyebabkan Sentiko semakin tambah gentar dan kerepotan.
Beberapa kali tikaman trisulanya meleset, sebaliknya kuku tajam itu menyerang
tidak terduga. Setelah berkelahi agak lama dua-duanya mandi darah. Sentiko terluka beberapa
bagian tu-buhnya, terasa panas dan pedih. Namun justru luka yang ia derita ini
malah memberi semangat baru. Dalam usaha mempertahankan nyawa, bocah yang tabah
ini menjadi nekad. Ia bersedia mati tetapi sebaliknya harus dapat membunuh
harimau itu. Harimau yang sudah mandi darah
itu semakin merasa kesakitan menjadi semakin tambah ganas. Hewan ini mengaum dan
setiap kesempatan
menyerang dengan kuku yang tajam.
Akan tetapi bagaimanapun tahannya daya tubuh dan nekadnya Sentiko, oleh
derita lukanya yang terasa sakit, pedih dan ditambah oleh darah yang terus
keluar, menyebabkan tenaga bocah ini semakin berkurang. Lagi pula pundak kanan
sudah terluka, sehingga setiap menggerakkan senjata untuk menyerang, ia
merasakan kesakitan.
Beberapa saat kemudian Sentiko
merasakan kepalanya pening dan
berdenyutan, menyebabkan pandang matanya tidak sejelas semula. Ia berusaha
menguatkan diri dan terus melawan. Dan kemudian pada suatu saat tangan kanan
mengayunkan trisulanya untuk menyerang.
Crakk...! Mata tombak itu tepat mengenai kepala harimau. Namun karena tenaga
bocah itu hampir habis
tikamannya meleset.
Harimau ini mengaum keras setelah terluka kepalanya. Mendadak harimau besar itu
menubruk ke depan, Sentiko menyambut serangan itu dengan serangan pula, tetapi
sayang, lengannya
dirasakan sakit sekali dan tidak dapat dipertahankan lagi. Akibatnya senjatanya
lepas, disusul tubuh bocah yang sudah kepayahan dan mandi darah itu roboh di
tanah, pingsan.
Harimau yang sudah terluka pada beberapa bagian tubuhnya itu mengaum keras.
Mulutnya terbuka lebar siap mengganyang tubuh Sentiko. Wutt...
harimau itu menubruk ke depan. Dan
tentu tubuh bocah yang sudah pingsan itu akan segera hancur dicabik-cabik oleh
kuku dan gigi yang tajam itu.
Akan tetapi yang terjadi kemudian adalah lain. Tiba-tiba harimau yang sedang
menubruk itu mengaum dahsyat lalu roboh tidak bergerak lagi tidak jauh dari
tempat Sentiko pingsan.
Ternyata kepala harimau itu sekarang sudah berlubang besar, otak bercampur darah
mengalir membasahi tanah.
Sejenak kemudian muncullah Giri Samodra sambil bergumam, Luar biasa!
Kau bocah luar biasa dan kaulah bocah yang selama ini aku cari.
Robohnya harimau dengan kepala berlubang besar itu karena sebutir batu yang
disambitkan Giri Samodra.
Tanpa pertolongan kakek ini manakah mungkin Sentiko masih bisa hidup lagi"
Giri Samodra jongkok dan
memeriksa luka yang diderita bocah itu. Dan Sentiko sekarang memang dalam
keadaan mengerikan. Wajahnya
berlepotan darah, sedang pakaiannya sudah tidak utuh lagi seperti dicuci dengan
darah. Luka yang diderita bocah itu hampir merata di sekujur tubuhnya, dan
walaupun semua itu hanya luka luar, namun kalau bukan bocah bandel tentu sudah
sejak beberapa lama ia roboh pingsan.
Engkau hebat, engkau tabah,
bandel dan keras kepala, heh heh heh
Dewi Sri Tanjung 2 Si Tangan Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
heh, kata kakek ini seorang diri sambil memandang Sentiko yang masih menggeletak
pingsan. Walaupun engkau menolak menjadi muridku, aku tak tega membiarkan engkau
menjadi santapan harimau. Hemm, aku ingin melihat, setelah engkau kutolong
apakah kau masih juga bandel dan menolak" Jika kau tetap kokoh dan menolak
keinginanku, habislah harapanku di hari tua ini.
Sentiko yang masih pingsan segera dipondong dan sesaat kemudian sudah dibawa
lari secepat terbang meninggalkan tempat itu. Tak lama kemudian sampailah di tepi mata air.
Dengan hati-hati, Giri Samodra mulai membersihkan luka di seluruh tubuh bocah
ini dengan air. Agaknya rasa perih pada luka yang terkena air itu menyebabkan
Sentiko siuman dan
langsung merintih.
Anak yang baik, berilah aku waktu untuk membersihkan dan mengobati lukamu,
ujarnya. Sentiko membuka matanya dan
terbelalak ketika mendapatkan dirinya menggeletak di atas batu datar, di bawah
pohon rindang. Kakek yang belum ia kenal itu dengan sikap sayang sedang
membersihkan lukanya. Teringatlah ia kemudian semua yang dialami. Ia berkelahi
dengan harimau besar dan buas, lalu ia roboh pingsan. Agaknya
di saat dirinya pingsan itu, kakek ini datang dan menolong.
Sekalipun bandel, ia tahu pula
budi orang lain. Maka sambil menahan rasa pedih, katanya,
Kakek, terima kasih atas
pertolonganmu dan kebaikanmu.
Hemm, biasa, sahut kakek itu
dingin. Aku melihat engkau hampir menjadi santapan harimau. Aku membunuh harimau
itu dan menyelamatkan kau, Nak. Dan nanti setelah selesai aku membersihkan
lukamu yang ini, aku akan segera mengobati.
Hati bocah ini terharu juga oleh sikap kakek ini yang menolong dirinya.
Tetapi tiba-tiba ia ingat maksud kakek ini yang ingin mengambil dirinya sebagai
murid, dan tiba-tiba saja ia khawatir kalau alasan ini dipergunakan untuk
menekan dirinya. Justru oleh kekhawatiran ini tiba-tiba ia bangkit dan menahan
rasa sakit. Giri Samodra kaget. Cegahnya,
Jangan bangkit!
Tidak! sahut bocah ini. Aku tak mau kalau pertolonganmu ini kau jadikan alasan
menekan aku untuk menjadi muridmu.
Untuk sejenak Giri Samodra
terbelalak. Namun kemudian ketawa terkekeh, katanya, Kalau benar, kau mau apa"
Giri Samodra mengucapkan katakata itu untuk memancing sikap bocah ini. Ia percaya bocah ini akan
bersikeras menolak. Namun sebaliknya ia tidak ingin menekan dan memaksa.
Sebab kalau ia memaksa, sikap itu takkan menguntungkan.
Huh, jika demikian tinggalkanlah aku! Sentiko tersinggung. Aku masih dapat
mengurus diri sendiri!
Heh heh heh heh, Giri Samodra
terkekeh. Ternyata engkau memang bocah bandel dan keras kepala. Sudahlah,
berbaringlah dulu. Berilah aku waktu untuk membersihkan semua lukamu dan
mengobati. Sesudah selesai kau boleh pergi dan bebas. Siapa yang sudi mengambil
bocah keras kepala seperti engkau ini untuk menjadi murid"
Mendengar jawaban ini Sentiko
lega. Namun ia tak juga lekas
berbaring lagi. Dan atas sikap ini kakek itu mengibaskan tangan perlahan dan
Sentiko merasa tertindih oleh kekuatan yang tidak dapat dilawan, Karena dadanya
sesak, hingga ia berbaring kembali. Ia tak dapat bergerak dan hanya matanya
memandang Giri Samodra tidak berkedip.
Giri Samodra sibuk dengan
pekerjaannya, tidak peduli Sentiko mengamati dirinya.
Di saat dirinya berbaring kembali di luar kemauannya ini, gagasannya
melayang kembali ke Tosari. Baru teringatlah sekarang betapa bingung keluarganya
karena dirinya pergi diam-diam. Tetapi semuanya sudah terlanjur.
Ia sudah pergi dengan maksud membalas dendam. Maka merasa malu kalau tidak
berhasil dalam tugas ini.
Tetapi mungkinkah cita-citanya
bisa terwujud" Gajah Mada dan Mpu Nala terkenal sebagai dua tokoh Majapahit yang
sakti mandraguna. Padahal dirinya sekarang ini baru berhadapan dengan harimau
saja tubuhnya sudah koyak-koyak dan hampir mati, kalau tidak ditolong kakek ini.
Bukankah apa yang dilakukan seperti kata orang
si pungguk ingin meraih bulan" Dan juga seperti katak yang ingin menyamai lembu"
Di saat gagasannya sedang
melayang memikirkan keadaan dirinya ini, pekerjaan Giri Samodra sudah selesai.
Sekarang kakek itu tengah menaburkan bubuk obat ke lukanya. Dan diam-diam ia
merasa heran pula, mengapa setelah lukanya diberi bubuk obat, rasa pedih itu
menjadi hilang"
Walaupun bocah bandel dan keras kepala ia mengerti pula budi dan kebaikan orang.
Ia terharu atas sikap kakek yang belum dikenalnya ini. Jelas dengan sikapnya
yang ketus, ia menolak menjadi murid, berarti kurang
menghormati orang tua. Namun apakah
sebabnya kakek ini tidak sakit hati dan malah sekarang menolong dirinya tanpa
mengharapkan balasan jasa"
Sejak kecil ia banyak mendengar cerita kakeknya, orang sakti banyak yang
bersikap aneh. Bukankah kakek yang menolong dirinya sekarang ini sikapnya juga
aneh" Teringat pula apa yang sudah ia lakukan. Kakek ini ia tikam dengan
senjata. Namun perut kakek ini seperti bajak tidak mempan oleh senjatanya. Kalau
demikian kakek ini sakti dan kulitnya kebal senjata.
Orang seperti kakek ini sulit dicari, dan kalau demikian mengapa dirinya menyianyiakan kesempatan sebaik ini"
Orang sakti tidak gampang mau
menerima orang menjadi murid. Padahal tanpa diminta kakek ini bersedia mengambil
dirinya menjadi murid.
Apakah hai ini bukan suatu keuntungan yang sulit dicari" Dan kalau dirinya
menjadi seorang yang kebal senjata, bukankah usahanya membalas dendam kepada Mpu
Nala dan Gajah Mada akan menjadi lebih gampang"
Tetapi ah... apakah kakekku tidak marah, jika mendengar aku berguru kepada orang
lain" Bukankah seperti itu yang di sebut sebagai murid murtad
" pikiran ini menyebabkan ia ragu kembali.
Tak lama kemudian selesailah
pekerjaan Giri Samodra. Kemudian ia
terkekeh, lalu katanya, heh heh heh heh, selesailah sudah pekerjaanku.
Sekarang bangkitlah dan selamat tinggal!
Kakek....! Teriak Sentiko kaget sambil cepat bangkit
Akan tetapi kakek itu sudah tak tampak lagi bayangannya. Sentiko duduk di atas
batu sambil menghela napas panjang. Luka di seluruh tubuhnya hampir tidak terasa
lagi seakan sudah sembuh. Meskipun demikian ia tidak berani bergerak
sembarangan, khawatir luka baru itu mengeluarkan darah lagi.
Ia turun dari batu sambil
meloncat. Lalu ia berdiri sambil menebarkan pandang matanya, berusaha menemukan kembali kakek yang sudah menolong
dirinya. Namun ternyata kakek itu sudah lenyap seperti masuk bumi.
Hemm, tentu kakek itu marah,
gerutunya. Hemm, aku memang bocah tidak tahu diri. Bocah yang tak dapat membalas
budi. Dia telah menolong dan menyelamatkan diriku dari mulut harimau. Namun
sikapku terlalu kurang ajar, sehingga kakek itu marah.
Ahh.... celaka! Kesempatan baik aku sia-siakan.
5 Akhirnya Sentiko melangkah perlahan melanjutkan perjalanan. Namun tiba-tiba
perutnya kumat kembali dan merengek minta diisi. Ia berusaha melupakan kakek itu
dengan jalan memperhatikan sekeliling untuk mencari buah yang mungkin bisa
menjadi pengisi perutnya.
Untung juga tak lama kemudian ia menemukan sebatang pisang batu dan ada beberapa
buah yang sudah masak.
Lumayan! katanya seorang diri
sambil mengunyah pisang yang penuh dengan biji itu. Tetapi sungguh sayang,
pisang semanis dan enak seperti ini, wangi pula, mengapa harus dipenuhi dengan
biji yang keras" Kalau pisang ini seperti pisang yang lain, tentu merupakan
pisang yang paling enak di dunia ini.
Walaupun perut tidak puas hanya diisi dengan pisang, sudah lumayan juga.
Perutnya tidak selapar tadi dan ia dapat meneruskan perjalanan lebih mantap.
Akan tetapi setelah lama
menelusuri hutan perawan ini ia menjadi heran berbareng kaget. Ia telah merasa
berjalan lama sekali, matahari sudah rendah di bagian barat, dan cuaca dalam
hutan sudah mulai gelap, karena sinar matahari tak kuasa
menembus lebatnya damn, namun mengapa belum juga dapat keluar dari hutan"
Sekalipun bocah bandel dan keras kepala, berdebar juga hatinya kalau harus
menginap di dalam hutan.
Bukankah di hutan banyak bahaya" Tadi hanya menghadapi harimau saja hampir
mampus. Kalau dirinya berhadapan dengan bahaya lagi, mungkinkah dirinya masih
bisa selamat dalam keadaan luka-luka belum sembuh"
Teringat bahaya yang mungkin
timbul ini sesalnya menjadi semakin dalam, mengapa ia tadi sudah membuat kakek
itu marah. Akibatnya kemudian ia mencaci maki dirinya sendiri.
Hai Sentiko! Apakah engkau sudah berubah menjadi seorang cengeng dan penakut"
Engkau sendiri yang sengaja mencari penyakit ini. Kalau saja tidak pergi diamdiam, bukankah di Tosari kau bisa hidup enak" Berani berbuat harus berani
bertanggung jawab dan harus berani menanggung akibatnya.
Bukankah di atas dahan kau dapat tidur dengan aman"
Bocah yang semula diliputi rasa ragu ini kemudian ketawa sendiri.
Sesal dan rasa takutnya hilang lalu melangkah dengan mantap menerobos hutan
belantara. Tetapi tiba-tiba ia menghentikan langkahnya dan memasang telinga. Ia heran,
betulkah yang ia dengar" Ia
menangkap suara orang yang menembang (menyanyi). Suara itu nyaring dan mengalun,
menguak suasana hutan yang sepi. Ia tidak tahu, apakah nama tembang yang
dinyanyikan orang itu.
Namun demikian ia dapat menangkap secara jelas dari bait ke bait.
Heh Taruno, Si Tangan Iblis keparat!
Kowe aja mung ndhelik.
Yen nyata prawira.
Pathukna krodhaningwang.
Iki Mahisa Jaladri.
Musuhmu lawas. Sapa lena ngemasi.
Tembang itu bernama Durma.
Artinya secara bebas demikian : Hai Taruno keparat Si Tangan Iblis. Apakah
sebabnya engkau hanya menyembunyikan diri" Jika engkau seorang gagah perwira,
keluarlah dari persembunyian-mu dan marilah kita berkelahi. Aku Mahisa Jaladri,
musuh lama. Siapa lengah harus mati!
Sentiko terkejut sekali dapat
menangkap arti tembang itu. Ternyata orang bernama Mahisa Jaladri menantang
kakeknya. Benarkah kakeknya di Tosari itu bersembunyi karena takut kepada musuh
lama bernama Mahisa Jaladri"
Tidak mungkin! bantahnya sendiri.
Kakekku seorang sakti mandraguna dan
terkenal dengan julukan Si Tangan Iblis atau Kakek Tangan Iblis.
Mungkinkah kepada orang itu saja menjadi ketakutan" Tidak! Manusia itu berani
menantang karena tahu kakekku di Tosari. Kalau berhadapan muka, kiranya Mahisa
Jaladri sudah lari terkencing-kencing. Huh, kurangajar!
Sebagai muridnya manakah mungkin aku membiarkan orang berani menghina kakekku"
Bocah ini penasaran sekali. Ia
takkan membiarkan begitu saja orang berani menghina dan merendahkan kakeknya.
Aku tidak takut! katanya seorang diri. Orang yang berani menghina kakekku, lebih
dahulu harus berhadapan dengan aku!
Ia cepat menerobos belantara, ke arah suara orang yang menembang dan menantang
kakeknya itu. Setelah menerobos sana menerobos sini beberapa lama, lalu
tampaklah oleh bocah ini, seorang kakek jangkung berdiri di atas batu besar dan
masih tetap juga menembang menantang-nantang.
Kakek itu belum tua benar, kira-kira baru enam puluh tahun. Tetapi rambutnya
sudah lebih banyak yang putih daripada yang hitam, dibiarkan keriapan di
punggung maupun pundak, dan tanpa memakai ikat kepala.
Pakaiannya aneh, kain panjangnya dari
lurik warna hijau, sabuknya hitam, akan tetapi bajunya kain lurik warna kuning.
Melihat pakaian yang warna-warni itu diam-diam ia geli.
Akan tetapi ia tidak sempat
menertawakan kakek itu. Hatinya yang penasaran mendengar tantangan untuk
kakeknya mendorong kepada bocah ini untuk berteriak lantang,
Hei kakek busuk! Engkau mengumbar mulut tanpa aturan. Apakah maksudmu
sebenarnya"
Kakek itu memalingkan muka,
mulutnya berhenti menembang, kemudian mengerutkan alis. Ia tidak senang kepada
bocah yang lancang mulut.
Hai bocah! Hati-hatilah membuka mulut!
Sentiko mendelik. Teriaknya,
Engkaulah yang seharusnya hati-hati membuka mulut. Hayo, kau menantang siapa"!
Bocah kurangajar! bentak kakek
itu sambil terjun dan melayang turun dari batu setinggi rumah.
Sentiko kaget setengah mati
melihat cara bergerak kakek itu yang melayang turun dari batu tinggi, seperti
burung raksasa. Dari
gerakannya yang amat ringan dan tanpa suara itu, sudah membuktikan si kakek itu
bukan orang sembarangan. Sedangkan dirinya tidak mungkin dapat berbuat seperti
itu. Diam-diam bocah ini gentar juga.
Namun demikian ia bocah bandel dan tak takut siapapun. Tangannya bertolak
pinggang sambil menjawab ketus, Engkau sendiri yang kurang
ajar! Apakah sebabnya engkau mengumbar mulut tanpa aturan dan menantang kakekku Si Tangan
Iblis" Mahisa Jaladri terbelakak kaget.
Benarkah Si Tangan Ibilis yang ia tantang itu sekarang sudah muncul" Dan
benarkah bocah ini yang dijadikan perantara untuk menerima tantangannya"
Kalau benar tentu saja ia senang sekali.
Karena gembira, Mahisa Jaladri
tertawa te-bahak-bahak, Ha ha ha ha, bagus! Tangan Iblis sekarang muncul.
Ho ho ho ho belasan tahun lamanya aku menantang bertanding, tetapi Si Tangan
Iblis selalu bersembunyi. Heh heh heh, lekaslah kau suruh Si Tangan Iblis keluar
dan berhadapan dengan aku.
Tutup mututmu kakek busuk! bentak Sentiko. Siapa bilang kakekku di sini"
Dan siapa pula yang bilang kakekku bersembunyi karena takut kepada engkau" Huh,
tidak perlu kau menantang kakekku. Aku sendiri sanggup
menghadapi kau yang busuk!
Mahisa Jaladri mengerutkan alis makin dalam, kemudian dengan mata bersinar marah
ia menatap bocah itu.
Hardiknya, Apa" Bocah lancang mulut.
Suruhlah kakekmu keluar menghadapi tantanganku.
Kakekku tidak ada di sini.
Kakekku di Tosari. Huh huh, engkau baru dapat berhadapan dengan kakekku, setelah
kau menang melawan aku!
Kakek itu hampir tidak percaya
akan pendengarannya sendiri. Benarkah bocah ini sebagai suruhan Si Tangan Iblis"
Dan benarkah sekalipun
tampaknya kecil, bocah ini sanggup menghadapi dirinya" Tetapi ia tidak percaya.
Bocah lancang! katanya. Engkau
berani kurangajar di depanku " Hayo, lekas suruhlah kakekmu keluar. Aku ingin
berkelahi dengan musuh
bebuyutanku sampai seribu jurus dan siapa pula yang harus mampus!
Kakek lancang! Apakah telingamu sudah tuli" Aku sudah bilang kakekku di Tosari.
Dewi Sri Tanjung 2 Si Tangan Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi engkau baru bisa berhadapan dengan kakekku, setelah engkau menang melawan
aku! Mahisa Jaladri menjadi geli
mendengar tantangan bocah ini.
Ejeknya, Heh heh heh heh, engkau ibarat buah mentimun berani menantang durian.
Ha ha ha ha, Tangan Iblis licik dan busuk! Mengapa sebabnya kau menyuruh
cucumu yang sinting ini
menghadapi aku" Hayo...
Kau sendiri yang sinting! potong Sentiko sambil membantingkan kakinya ke tanah
saking jengkel dan penasaran.
Tetapi begitu membantingkan
kakinya, ia meringis kesakitan.
Kakinya yang terluka tidak mau diajak kompromi.
Namun demikian ia menguatkan diri dan m-neruskan, Kakekku tidak pernah menyuruh
aku. Aku datang dan menantang engkau, karena kau mengumbar mulut dan menantang
kakekku. Hayo sekarang lawanlah aku!
Bocah yang bandel tetapi tidak
mengukur kemampuan diri ini sudah mencabut senjatanya. Dalam penasaran dan
marahnya, ia menjadi lupa kepada luka-lukanya yang belum sembuh. Dengan garang
bocah ini melintangkan senjata di depan dada. Sepasang matanya bersinar marah
menatap Mahisa Jaladri tanpa berkedip.
Mahisa Jaladri keheranan.
Benarkah bocah ini kecil-kecil cabe rawit hingga berani menantang dirinya"
Tetapi hatinya tidak juga mau percaya justru paling banter bocah ini berumur
lima belas tahun. Manakah mungkin sanggup melawan bocah ingusan macam itu"
Apabila dirinya melayani
tantangan bocah, tentu dirinya akan di tertawakan oleh semua tokoh sakti di
dunia ini. Bocah sinting, heh heh heh,
Mahisa Jaladri terkekeh lagi. Pergilah dan jangan membuka mulut sembarangan.
Sudahlah, jangan mengganggu aku lagi, dan sekarang aku akan pergi ke Tosari.
Tak mungkin! Makanlah dulu
senjataku ini! Berbareng ucapannya ia sudah melompat dan menerjang.
Tombaknya berkelebat cepat, sekaligus menyerang leher, dada dan pusar.
Mahisa Jaladri terbelalak kaget.
Apakah bocah ini sudah gila" Baru gerakannya saja masih terlalu lambat,
serangannya masih kaku dan mentah.
Manakah mungkin bisa melawan dirinya"
Karena itu kakek ini tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Kemudian tangan
kanan menyentil.
Tring tring tring.... Aduhhh....!
Semua serangan Sentiko disentil oleh Mahisa Jaladri sehingga gagal total.
Dan sesudah itu dengan menggunakan tenaga yang diperhitungkan agar tidak
mencelakakan bocah ini, ia mendorong.
Sentiko memekik nyaring lalu terlempar beberapa depa ke belakang dan roboh
pingsan. Kemudian dari beberapa bagian tubuhnya yang terluka, keluar darah lagi.
Bocah ini memang lupa dirinya.
Tadi begitu menyerang dengan menggerakkan tenaga, lengan menjadi lumpuh ketika
senjatanya disentil oleh Mahisa Jaladri. Pundaknya yang terluka
menjadi sakit dan tidak tertahankan lagi dan ia tadi memekik nyaring, disusul
dadanya sesak dan pandang matanya kabur, lalu terlempar dan pingsan.
Mahisa Jaladri kaget sendiri
melihat darah merah membasahi pakaian bocah kurangajar itu. Ia tadi sudah
memperhitungkan tenaga, tetapi mengapa bocah itu roboh dan berdarah" Ia
melangkah menghampiri dengan maksud meneliti keadaan. Namun tiba-tiba ia kaget,
mendengar orang ketawa
perlahan. Ketika dirinya memalingkan muka, tiba-tiba saja wajah kakek ini pucat dan segera
membungkukkan tubuh memberi hormat.
Ahhh.... Bendara Umbaran....
tidak nyana hamba dapat bertemu Bendara di tempat ini, katanya
setengah takut.
Giri Samodra ketawa perlahan.
Kakek ini sebelum menggunakan nama Giri Samodra, memang bernama Umbaran,
lengkapnya Kebo Umbaran. Dan mengingat Mahisa Jaladri menyebut bendara (tuanku),
menjadi jelas Giri Samodra ini memang seorang bangsawan
Majapahit. Ya, belasan tahun lamanya kita
berpisah, setelah pemberontakan Gajah Biru gagal, ujar Giri Samodra. Hemm, di
mana saja engkau selama ini"
Hamba bertempat tinggal di Tidar, dalam usaha hamba menggembleng diri untuk
membalas sakit hati.
Kepada siapa" Apakah kepada
Taruno yang terkenal dengan sebutannya Si Tangan Iblis yang kautantang itu"
Bendara Umbaran mendengar pula"
Ha ha ha ha, tentu saja. Aku
masih mempunyai telinga, mengapa tidak mendengar tantanganmu kepada Tangan Iblis
yang engkau gubah dalam tembang Durma itu" Tetapi hemm, soal apa sajakah yang
menyebabkan begitu dalam dendammu kepada Tangan Iblis"
Bendara, hamba memang dendam
kepada keparat itu. Dahulu, lebih kurang dua puluh lima tahun lalu, keparat itu
hamba beri air susu malah membalas dengan air tuba.
Mahisa Jaladri berhenti, napasnya terengah-engah oleh pengaruh rasa penasaran.
Lalu, Dahulu ia datang ke rumah hamba minta perlindungan dari kejaran Mpu Nala,
sesudah serangannya diobrak-abrik. Mengingat hamba pun tidak senang kepada
Majapahit, hamba terima Si Tangan Iblis dengan tangan terbuka. Tetapi kemudian
pada suatu malam ketika hamba pulang menunaikan tugas yang Bendara perintahkan,
terjadilah sesuatu yang tidak pernah hamba harapkan. Begini, Bendara....
Mahisa Jaladri menghentikan
ucapannya lagi, menghela napas
panjang, baru kemudian meneruskan, Ketika hamba mendekati rumah, hamba menjadi
curiga mendengar suara isteri hamba tertawa-tawa cekikikan di dalam bilik, dan
diseling oleh suara laki-laki. Dan betapa kaget dan panas hati hamba setelah
dapat mengintip dari celah dinding, ternyata isteri hamba berzina dengan Tangan
Iblis itu... Eh... nanti dulu! Bukankah dahulu engkau pernah memberi laporan
kepadaku, isterimu sudah meninggal"
Bendara, isteri yang hamba maksud itu adalah isteri yang kedua, sesudah isteri
hamba meninggal, dan usianya masih muda belum dua puluh tahun.
Hemm, begitu" Lalu apa yang
kaulakukan"
Mengingat hubungan yang baik
antara hamba dengan Tangan Iblis, maka hamba serahkan isteri itu kepada dia
baik-baik. Tetapi celakanya Tangan Iblis tidak bertanggungjawab dan tidak mau
menerima. Saking marah kemudian terjadilah perkelahian dan akhirnya hamba
kalah.... Hemm, tetapi mengapa sebabnya
sekarang kau muncul dan malah
menantang Tangan Iblis"
Hamba sekarang merasa telah jauh maju, sesudah menggembleng diri puluhan tahun
lamanya di Tidar. Hati hamba merasa tidak puas sebelum hamba
berhasil mengalahkan manusia busuk berjuluk Tangan Iblis tersebut.
Hemmm, begitukah " Jika engkau
memang penasaran kepada dia, pergilah kau ke Tosari.
Tetapi bocah kurangajar ini
cucunya. Bocah ini akan hamba tangkap sebagai sandra.
Apakah kau tidak tahu, bocah ini muridku" Mahisa Jaladri terbelalak kaget dan
pucat. Katanya, Ohh, murid Bendara" Ohh... maafkanlah hamba yang tidak tahu
diri. Tetapi mengapa bocah ini tadi mengaku sebagai cucu Tangan Iblis" Hamba
menjadi bingung. Manakah yang benar"
Giri Samodra menghela napas
pendek. Kemudian ia menjawab, Hemm, agaknya Dewata Yang Agung sudah menghendaki
terjadinya soal ini.
Sudahlah, sekarang pergilah kau dan menyelesaikan urusan pribadimu dengan Tangan
Iblis. Dan tentang bocah ini adalah urusanku sendiri tiada hubungan sama sekali
dengan urusanmu.
Mahisa Jaladri mengangguk-angguk, sekalipun dalam hati masih kurang puas. Ia
tidak berani membantah kepada bekas junjungan ini, kemudian memberi hormat dan
minta diri. Sedang Giri Samodra melepas kepergian Mahisa Jaladri dengan helaan
napas pendek. Apa harus dikata apabila yang
terjadi harus begini" gumamnya. Aku
sudah terlanjur suka kepada bocah ini.
Dan bagiku tentang keturunan siapapun tidaklah soal. Sebab yang penting, memang
tidaklah gampang mencari bocah yang bandel, tabah, berani dan berbau sesat
seperti bocah ini.
Ia membungkuk, kemudian Sentiko dipondong ke tempat yang bersih. Kakek ini
segera bekerja untuk membersihkan lukanya yang kotor dan segera
membubuhkan obat. Sesudah selesai, kakek ini kemudian menyingkir kira-kira lima
depa jauhnya, lalu duduk berdiam diri.
Tak lama kemudian bocah ini
siuman. Bocah ini kaget ketika
mendapatkan dirinya terbaring di atas rumput. Ia mengucak matanya sambil
mengumpulkan ingatannya. Dan setelah ingatannya pulih kembali, terbayanglah
kemudian semua peristiwa yang sudah dialami. Kemudian ketika memalingkan
mukanya, ia melihat dengan jelas kakek tua yang sudah beberapa kali menolong
dirinya duduk berdiam diri. Melihat kakek itu ia menjadi sadar, tentunya dirinya
baru saja ditolong lagi oleh kakek itu.
Kemudian teringatlah dalam
benaknya, dirinya tadi berhadapan dengan seorang kakek yang menembang dan
menantang kakeknya. Tantangan itu membuat ia marah dan kemudian
menantang berkelahi. Tetapi ahh, apa
yang baru dialami tadi, menimbulkan rasa penasaran, karena dirinya tidak dapat
berbuat banyak melawan kakek yang mengaku bernama Mahisa Jaladri itu. Kalau
melawan orang itu saja tidak mampu, manakah mungkin dirinya bisa menang melawan
Gajah Mada dan Mpu Nala"
Teringat apa yang sudah dialami selama meninggalkan Tosari, bagaimanapun bandel
dan keras kepalanya, memberi kesadaran kepada bocah ini. Ia bukan bocah tolol
dan ia juga menyadari apa yang sudah terjadi, tidak lain karena dirinya memang belum mampu
dan tingkat ilmunya masih rendah. Sebaliknya kakek yang selalu menolong dirinya
ini, ingin sekali mengambil dirinya sebagai murid.
Apakah sebabnya kesempatan sebaik ini tidak ia pergunakan "
Sadar akan dirinya dan sadar akan keadaan, maka kemudian tanpa ragu lagi ia
bangkit dan kemudian menghampiri.
Di depan Giri Samodra, bocah ini kemudian berlutut sambil berkata.
Sudilah Guru mengampuni kekurang-ajaran murid. Dan apapun hukuman yang harus
murid terima, murid takkan menyesal. Mau disiksa, silakan! Mau dibunuh, silakan!
Giri Samodra menatap Sentiko tak berkedip. Dan sejenak kemudian ia terkekeh.
Luar biasa bocah ini, pikirnya.
Tadi bersikeras menolak, tahu-tahu sekarang sudah berlutut dan mengaku sebagai
murid. Siapakah yang tidak menjadi senang"
Karena itu dengan senang hati
Giri Samodra berkata halus, Anak baik, bangkitlah!
Sentiko menurut lalu duduk
bersila di depan Kakek itu. Sikap bocah ini sekarang berlawanan dengan sikapnya
siang tadi. Ia sekarang duduk sambil menundukkan kepala dan tidak berani
sembarangan membuka mulut.
Anak baik, benarkah engkau sudah mantap menjadi muridku" Giri Samodra bertanya.
Sentiko menyahut dengan sungguh-sungguh, Murid sudah mantap dan akan patuh
kepada Guru. Sekalipun aku perintahkan
menerjang lautan api, engkau sedia melakukannya"
Jangan lagi menerjang lautan api, sekalipun murid harus mati, murid akan
melaksanakan perintah Guru. Dan jika Guru tidak percaya, murid bersedia pula
bersumpah. Sudahlah, tidak usah. Dan
sekarang, marilah kita pergi.
Giri Samodra bangkit berdiri, dan sekali melompat kakek itu sudah lenyap. Hanya
dalam waktu singkat,
Sentiko mendengar suara kakek itu dari tempat yang sudah agak jauh.
Hai muridku yang baik, Sentiko.
Ambillah arah ke barat dan aku
menunggu engkau di tepi hutan. Sudah hampir malam, tidaklah baik apabila kita
harus menginap di dalam hutan ini.
Sentiko terkesiap. Mengapakah
sebabnya gurunya itu tiba-tiba
meninggalkan dirinya di hutan ini" Dan apakah sebabnya guru baru itu berbuat
aneh seperti sekarang ini" Padahal sekarang ini cuaca sudah gelap.
Seorang diri menerobos hutan apakah tidak berbahaya"
Akan tetapi sejenak kemudian
bocah ini sadar akan diri. Ia dapat menduga tentang sebabnya kakek itu berbuat
seaneh ini. Kiranya kakek itu sedang menguji kesetiaannya sebagai murid. Sadar
akan maksud kakek itu, ia kemudian melangkah tanpa ragu lagi, menuju ke arah
matahari terbenam.
Sampai di sini, cerita ini
berakhir. Sekalipun demikian cerita ini belum tamat. Masih mengganjal dalam
benak kita, lalu bagaimanakah dengan bocah kecil bernama Sentiko"
Setelah menjadi murid Giri Samodra, benarkah bocah ini dapat menandingi Gajah
Mada dan Mpu Nala" Pertanyaan ini baru bisa terjawab apabila Anda
membaca buku Seri Dewi Sritanjung yang berjudul KOBARAN API ASMARA.
Pada buku berjudul KOBARAN API
ASMARA ini, anda akan bertemu kembali dengan para tokoh Si Tangan Iblis, Dewi
Sritanjung, Sarindah, Sarwiyah, Kaligis, tokoh licik Sangkan, dan akan
berkenalan pula dengan tokoh aneh bernama Warigagung dan Julung Pujud.
Kita cukilkan sedikit adegan yang bakal Anda temui dalam buku KOBARAN
API ASMARA. .....Kaligis dan Sangkan seperti terkunci mulutnya, tak bisa membuka mulut.
Apalagi ketika si pemuda menghentikan tiupan serulingnya, ular-ular tersebut
berhenti menari.
Kemudian aneka macam ular itu bergerak menyebar kesana dan kemari, menuju tempat
sembunyi masing-masing. Yang lebih mengerikan lagi adalah cara bergerak ular
warna hitam, yang panjangnya hanya lebih kurang satu kaki. Ular hitam dan pendek
itu disebut orang dengan nama ular
Bandotan. Ular tersebut bukannya
melata, tetapi menekuk tubuhnya, kemudian melenting sekitar dua atau tiga depa
jauhnya.... ..... Heh heh heh heh, Warigagung terkekeh lalu ujarnya sombong, Rasakan
jarumku. Sebelum mampus kamu akan menderita siksaan hebat!
Tanpa memperdulikan lima orang
saudara seperguraan yang menderita, Warigagung melangkahkan kaki masih sambil
terkekeh. Tak lama kemudian sayup-sayup terdengar sending yang ditiup oleh
Warigagung.... .... trang .... benturan pedang terdengar nyaring.
Sarindah memekik tertahan dan
tubuhnya terhuyung beberapa langkah ke belakang. Sebaliknya Warigagung hanya
mundur dua langkah ke belakang.
Bangsat busuk. Bentak Sarindah
lantang. Engkau jangan menggunakan alasan yang dicari-cari. Sekarang anggaplah
aku bukan perempuan. Aku seorang laki-laki yang akan membunuh kau!
Sepasang mata Warigagung menyala liar. Tantangan itu membangkitkan kemarahannya.
Namun demikian ia segera ingat kembali bahwa bagaimanapun yang dihadapi sekarang
ini perempuan, sekaum dengan ibunya. Jawabnya
kemudian, Tidak! Aku tidak boleh melawan perempuan. Ibuku di alam baqa akan
marah dan menyesal, jika aku melanggarnya. Mungkin
ibuku akan menyumpah aku menjadi seekor caring.
Tidak! Aku tak mau melawan kau.
Sarwiyah berusaha mencegah
Dewi Sri Tanjung 2 Si Tangan Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sarindah, katanya, Mbakyu, kalau dia memang tidak mau melawan, mengapa kau
memaksa" Biarkan dia pergi, dan mari
kita lihat siapakah yang akan menang antara kakek dengan orang itu.
Sarwiyah memandang Warigagung
dengan ragu. Pandang matanya demikian sayu, dan seakan minta kepada pemuda itu
agar mau mengalah.
Warigagung dapat pula menangkap sinar mata gadis itu yang lembut, yang berbeda
dengan saudaranya, dan seakan penuh harap agar mau mengalah.
Walaupun pemuda liar dan ganas, tetapi Warigagung punya kelembutan jika
berhadapan dengan perempuan. Hatinya tergetar dan iba pula kepada gadis itu....
.....Ayaaa .... bocah-bocah ini, mengapa bergulingan dan merintih-rintih" Kakek
gendut ini menggumam sambil memperhatikan sekeliling.
Kemudian ia menekap lubang hidungnya sendiri tak tahan menghirup bau darah ular
yang anyir dan amis, sambil berjingkrakan seperti telapak kakinya tertusuk duri.
Racun... bisa... ahh, nyawa bocah-bocah ini diancam maut. Hemm.... kasihan....
Mendadak kakinya bergerak menendang mereka yang sedang tersiksa dan merintihrintih. Ahhh, mengapa kakek ini sampai hati menambah derita para korban racun
Warigagung ini" Tidak menolong malah ditendangi.
Akan tetapi tubuh yang ditendangi tidak
terbanting keras. Melainkan
melayang perlahan dan kemudian
menggeletak di tanah tak bersuara.
Empat kali kaki menendang, dan
berturut-turut tubuh Kebo Pradah, Tanu Pada, Sangkan dan Mahisa Singkir.
Jatuhnya sungguh aneh. Dapat berjajar seperti diatur. Kakek gendut ini kemudian
melangkah perlahan
menghampiri. Tetapi tiba-tiba telinganya yang tajam mendengar gerakan dalam
selokan. Kakek ini mengamati sejenak,
kemudian katanya, Ahh, masih ada satu lagi.
Setelah mencabut jarum yang
menancap pada tubuh lima bocah itu, kemudian kakek gendut bernama Mpu Anusa
Dwipa ini mengeluarkan lima butir obat kering warna merah. Satu persatu obat
dihancurkan dengan air.
Kemudian diminumkan kepada para korban. Yang terjadi kemudian sungguh
mengherankan. Semua korban itu sekarang bergerak. Dan kira-kira tengah malam,
lima orang murid Si Tangan Iblis sadar hampir berbareng. Kemudian mereka
meloncat bangun hampir
berbareng merasa kaget....
Mpu Anusa Dwipa memang seorang
sakti berhati emas. Suka menolong tiap orang, tidak membedakan orang baik atau
jahat.... ......Heh heh heh heh, Julung
Pujud terkekeh.
Mengapa engkau menjadi tolol"
Muridku masih jejaka tulen. Dan cucumu juga masih gadis. Sekarang juga aku
melamar cucumu yang muda itu, untuk menjadi isteri muridku Warigagung.
Setuju tidak"
Sarwiyah hatinya tidak karuan.
Sebab walaupun belum terang-terangan, sesungguhnya hatinya sudah terisi oleh
Kebo Pradah. Ia tidak benci kepada Warigagung, sekalipun tadi baru saja
berkelahi. Tetapi cinta" Ahh, rasa cintanya sampai sekarang ini hanya tertuju
kepada Kebo Pradah seorang.
Namun sebaliknya kalau dirinya menolak, terus terang ia tidak berani.
Sebab kakeknya, Si Tangan Iblis bisa marah besar dan salah-salah dirinya bisa
dibunuh mati......
......Hemm, apakah sebabnya kau repot" Letakkan saja dua mayat ini di tepi desa.
Esok pagi tentu akan dirawat orang. Mari cepat, kemudian selekasnya kita pergi
dari sini. Sangkan sudah mendahului
menyambar mayat Tanu Pada. Mau tak mau Kaligis segera menyambar mayat Kebo
Pradah. Kemudian dua orang muda ini berlarian menuju desa.
Mahisa Singkir tak kuasa menahan air mata. Ia lari cepat ke jurusan lain.
Kemudian ia duduk di atas sebuah batu, lalu terisak-isak. Hati pemuda ini sedih
sekali. Mengapa antara
saudara seperguraan terjadi persaingan, dan mengakibatkan saling bunuh"
Apakah kalau begitu, cinta itu jahat"
Cinta, apakah mendorong kepada manusia melakukan perbuatan-perbuatan
terkutuk" Ia menjadi ngeri sendiri....
Demikian antara lain beberapa
adegan yang akan Anda temui di dalam buku KOBARAN API ASMARA. Lebih menarik,
tegang tetapi juga
mengasyikkan!!!
Sala, Medio Pebruari 1987.
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Kekaisaran Rajawali Emas 4 Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung Hina Kelana 28
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama