Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja Bagian 9
Tanah Perdikan ini."
"Yang pasti," sahut anak muda yang lain, "Perempuan itu
memiliki kelebihan kecantikan dari gadis-gadis Tanah
Perdikan ini, di tambah lagi penari itu selalu bersolek
secantik-cantiknya dalam setiap penampilannya, sehingga
dengan demikian maka ia menjadi semakin cantik saja."
"Kecantikan lahiriah akan berbeda dengan kecantikan
batiniah," tiba-tiba saja anak muda yang berdiam diri di
sudut gardu itu sempat juga menyahut.
36 SH. Mintardja "Kami mengerti," sahut anak muda yang lain. "Tetapi jika
hati kita sedang menjadi buram, maka kita tidak akan
sempat menilai seperti itu. Apa yang nampak itulah yang
lebih banyak mempengaruhi sikap kita."
Namun dalam pada itu, seorang di antara mereka yang
berkerumun itu berkata, "Tetapi hal ini sudah dikehendaki
oleh Wiradana. Kita memang tidak dapat berbuat apa-apa.
Malam ini ia memerintahkan sepuluh orang
kepercayaannya untuk membungkam setiap mulut yang
berani menentang sikapnya, mungkin besok atau lusa
jumlah itu akan bertambah lagi, sehingga akhirnya kita
semua mendapat tugas untuk mengamankan keinginan
Wiradana itu." Kawan-kawannya menarik nafas dalam-dalam. Hal itu
memang mungkin saja terjadi.
Berita tentang datangnya Warsi ke Tanah Perdikan
Sembojan sebagai calon istri Wiradana itu benar-benar
telah menggemparkan. Apalagi di pagi hari kemudian, maka
setiap telinga orang Sembojan pun telah mendengarnya
pula. Namun sepuluh orang kepercayaan Wiradana yang harus
menyumbat mulut orang-orang yang mengejek Warsi itu
dengan tangkai pedang telah mempergunakan cara lain.
Kepada orang-orang Tanah Perdikan Sembojan mereka
berkata terus terang, "Tolong, jika kalian
memperbincangkan Warsi, jangan sampai Wiradana atau
penjilat-penjilatnya tahu bahwa sebenarnya kalian telah
melakukannya. Karena jika hal itu diketahui oleh Ki
Wiradana, maka kami sepuluh orang inilah yang akan
menanggung akibatnya."
37 SH. Mintardja Ternyata orang-orang Sembojan pun dapat mengerti.
Mereka berusaha menyembunyikan perasaan tidak senang
mereka terhadap orang yang akan menjadi istri pengganti
Kepala Tanah Sembojan. Karena itulah, maka untuk seterusnya semua
pembicaraan atas perempuan yang dibawa Wiradana itu,
dilakukannya dengan perlahan-lahan.
Dalam pada itu, Wiradana memang sudah tidak
mempedulikan lagi sikap orang lain. Ia mencintai Warsi.
Karena itu, maka Wiradana ingin mengawininya. Habis
perkara. Orang-orang tua di Tanah Perdikan Sembojan itu pun
terkejut pula. Namun mereka juga tidak dapat berbuat apaapa. Mereka menerima kehadiran Warsi setelah beberapa
lama mereka berteka-teki tentang bakal istri Wiradana itu.
"Pantas," berkata salah seorang tua kepada kawannya,
"Itulah agaknya maka ia telah merahasiakan nama
perempuan itu." Kawannya mengangguk-angguk sambil menjawab, "Satu
pilihan yang tidak nalar. Tetapi jika hal itu memang
dikehendaki apaboleh buat. Kita tinggal melihat
perkembangan apakah yang akan terjadi. Mungkin justru
sebaliknya dari yang kita duga. Mungkin perempuan itu
akan dapat memberikan angin baru bagi Tanah Perdikan
ini." "Angin apa?" bertanya kawannya. "Aku sama sekali tidak
berkeberatan dengan ketrampilan seseorang untuk menari.
Tetapi bukan penari yang ngamen di sepanjang jalan seperti
Warsi. yang melayani tari-tarian kasar laki-laki yang ingin
ngibing." 38 SH. Mintardja "Agaknya memang harus terjadi seperti itu," berkata
orang lain, "Kita tidak akan dapat menolaknya."
Dalam pada itu, seperti yang direncanakan semula oleh
Wiradana, maka salah seorang dari orang-orang tua di
Tanah Perdikan Sembojan itu akan mewakili orang tuanya
melamar Warsi. Ketika ia menunjuk seseorang, maka orang
itu tidak dapat menolak, meskipun ia mengumpat di dalam
hati, "Aku harus melamar penari jalanan itu bagi seorang
Kepala Tanah Perdikan. Sungguh satu hal yang tidak aku
mengerti. Meskipun demikian, apaboleh buat. Wiradana
agaknya benar-benar tergila-gila kepada perempuan itu."
Tetapi orang itu mempersiapkan juga perlengkapan bagi
upacara melamar perempuan yang untuk sementara
dititipkan pada Ki Padma yang tinggal di sebelah rumah Ki
Wiradana. Namun ketika ia berbincang dengan istrinya, maka istri
orang tua itu berkata, "Jangan merendahkan siapapun juga
kakang. Meskipun ia penari jalanan, tetapi siapa tahu kalau
hatinya bersih. Ia melakukan pekerjaan itu sekadar untuk
mengatasi kesulitan hidupnya. Mungkin sekali ia
melakukannya dengan perasaan yang sangat pahit. Atau
barangkali ia dengan sadar melakukannya karena ia yakin
bahwa pekerjaan menari di sepanjang jalan mengharapkan
pemberian orang lain. Ia tidak mencuri, merampok atau
merampas milik orang lain dengan kekerasan atau dengan
diam-diam." Orang tua itu mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia
berkata, "Mudah-mudahan orang itu bukan orang yang
harus kita tolak untuk selanjutnya. Mudah-mudahan setelah
menjadi istri Wiradana ia dapat menempatkan dirinya
sesuai dengan kedudukannya."
39 SH. Mintardja Dengan demikian maka orang tua itu pun bersama
beberapa orang lainnya, pada malam hari yang ditentukan
telah pergi ke rumah Ki Padma sambil membawa
kelengkapan yang seharusnya bagi seseorang yang datang
melamar. Pembicaraan pun kemudian berjalan dengan lancar.
Wiradana sendiri ikut hadir dan mendengarkan semua yang
diucapkan oleh kedua belah pihak yang setiap katanya
sebenarnya adalah kata-kata yang sudah terbiasa diucapkan
bagi kepentingan serupa itu.
Laki-laki yang disebut ayah Warsi itu pun dengan senang
hati menerima lamaran itu dan menyatakan bahwa anak
gadisnya sama sekali tidak berkeberatan untuk menjadi istri
Wiradana. Dengan demikian maka segala sesuatunya telah menjadi
jelas. Mereka pun membicarakan hari yang paling baik
untuk melangsungkan perkawinan antara Wiradana dengan
Warsi. Memang seperti yang direncanakan oleh Wiradana, maka
perkawinan itu akan dilangsungkan dalam dua pekan
mendatang. Segala persiapan akan dilakukan dan dibiayai
oleh Wiradana dan orang-orang tua di Tanah Perdikan
Sembojan. Sejak hari itu, maka Sembojan telah menjadi sibuk.
Semua orang seakan-akan telah dibebani tugas masingmasing yang harus mereka lakukan dengan cepat. Rumah
Wiradana pun telah dipersiapkan sebaik-baiknya.
Keramaian perkawinan itu harus tidak kalah dengan
keramaian pada saat Wiradana kawin dengan Iswari.
Karena Wiradana tidak segan-segan mengeluarkan biaya
untuk hari perkawinannya itu, maka meskipun dengan
40 SH. Mintardja tergesa-gesa, ternyata bahwa orang-orang Tanah Perdikan
itu mampu juga untuk mempersiapkan sebagaimana
dikehendaki oleh Wiradana dalam waktu yang dekat.
Di kandang di rumah Wiradana, dua ekor lembu telah
terikat. Pada saatnya kedua ekor lembu itu, bersama
beberapa ekor kambing dan berpuluh-puluh ekor ayam
akan disembelih. Demikianlah pada saatnya, perkawinan Wiradana
memang menjadi sangat meriah. Keramaiannya benarbenar tidak kalah, bahkan melampaui saat ia kawin dengan
Iswari. Karena Ki Gede Sembojan sudah tidak ada, maka segala
sesuatunya sangat tergantung kepada Wiradana sendiri.
Apapun yang dikehendakinya, tidak seorang pun yang dapat
melarangnya. Sementara itu, biaya perkawinan itu dapat diambil
beberapa saja dikehendaki oleh Wiradana. Ayahnya yang
termasuk orang hemat, tetapi bukannya kikir, mempunyai
simpanan yang cukup. Simpanan yang ternyata dapat
dipergunakan oleh Wiradana sesuai dengan keinginannya
juga tanpa ada orang yang mencegahnya.
Dengan demikian maka Tanah Perdikan Sembojan
benar-benar menjadi sangat meriah. Bukan saja di
padukuhan induk. Tetapi di padukuhan-padukuhan yang
lainpun terasa suasana keramaian perkawinan Wiradana
dengan seorang gadis yang sangat cantik.
Di gardu-gardu anak-anak muda yang terpaksa tidak
dapat melihat keramaian di padukuhan induk karena
mendapat giliran bertugas telah mendapat kiriman
makanan dan minuman. Meskipun mereka tetap berada di
41 SH. Mintardja tugas masing-masing namun mereka telah ikut pula
menikmati hidangan dari padukuhan induk.
Kegembiraan benar-benar telah meluap di padukuhan
induk. Wiradana dengan sengaja telah memberikan
kesempatan yang sangat luas kepada anak-anak muda
untuk merayakan hari perkawinannya itu.
Agak berbeda dengan Ki Gede Sembojan yang telah meninggal, maka Wiradana sama sekali tidak melarang
ketika beberapa orang telah
mencoba-coba untuk bermain dengan taruhan. Meskipun mula-mula hanya sekadar untuk mengisi waktu, namun agaknya semakin lama hari menjadi
semakin panas, sehingga mereka telah benar-benar tenggelam dalam permainan
dengan taruhan yang semakin banyak. Keramaian di Tanah Perdikan Sembojan ternyata tidak
hanya berlangsung semalam. Tetapi lebih dari tiga malam
berturut-turut. Bahkan setelah itu pun ternyata masih ada
juga beberapa orang yang telah tenggelam dalam kebiasaan
baru. Berjudi. Kebiasaan yang sudah agak lama ditinggalkan
oleh orang-orang Tanah Perdikan Sembojan. Jika masih ada
juga orang yang bermain-main dengan dadu atau
permainan semacamnya, dilakukan dengan sembunyisembunyi karena Ki Gede Sembojan yang sudah tidak ada
lagi telah melarangnya dengan keras.
42 SH. Mintardja Dalam pada itu, selagi orang-orang Tanah Perdikan
Sembojan tenggelam dalam suasana keramaian, maka
Warsi yang kemudian berada di rumah Ki Gede merasa
bahwa pengunjungnya telah sampai pada satu tataran yang
menentukan. Ia sudah berada di rumah seorang yang paling
berkuasa di Sembojan setelah ia berhasil membalaskan
dendam kematian pamannya.
Wiradana yang sangat mencintai istrinya yang cantik itu
pun merasa satu tugas yang maha besar telah
diselesaikannya. Ia berhasil memecahkan dinding penyekat
antara istrinya dengan Tanah Perdikan. Setelah istrinya itu
berada di rumahnya, maka segala sesuatunya akan dapat
berjalan sesuai dengan keinginannya. Semua orang Tanah
Perdikan Sembojan harus menganggap Warsi sebagaimana
mereka bersikap terhadap Iswari.
Di hari-hari pertama Warsi berada di rumah Wiradana,
nampak betapa wajahnya justru menjadi murung. Setiap
kali ia mengeluh, bahwa ia merasa bersalah terhadap Iswari.
Apapun sebabnya, namun ia berada di rumah itu setelah
Iswari hilang dari Tanah Perdikan Sembojan.
"Hilangnya Iswari bukan tanggung jawabmu," berkata
Wiradana. "Aku yang akan mempertanggungjawabkannya.
Yang harus kita lakukan sekarang adalah membangun masa
depan yang lebih baik bagi diri kita berdua dan bagi Tanah
Perdikan ini." "Tetapi aku merasa diriku terlalu tidak berharga di mata
orang-orang Sembojan kakang," jawab Warsi. "Semua orang
Sembojan tahu, bahwa aku adalah seorang pengamen yang
menelusuri jalan-jalan untuk mendapat sesuap nasi. Dan
kini tiba-tiba aku berada di rumah ini. Rumah seorang yang
paling berkuasa di Tanah Perdikan ini."
43 SH. Mintardja "Jangan menyakiti hatimu sendiri," jawab Wiradana.
"Yang penting bagimu adalah, bahwa kau harus berusaha
menyesuaikan dirimu, bahwa kau adalah istri orang yang
paling berkuasa di Tanah Perdikan ini."
"Itulah yang aku cemaskan kakang. Apakah aku akan
dapat melakukannya?" bertanya Warsi.
"Aku akan menuntunmu. Aku yakin bahwa kau akan
dapat melakukannya," jawab Wiradana.
Warsi tidak menyahut lagi. Tetapi setiap kali kepalanya
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menunduk dan wajahnya menjadi basah.
Sementara itu, maka laki-laki yang dianggap ayah Warsi
itu pun berada di Tanah Perdikan Sembojan untuk beberapa
waktu lamanya, sampai sepasang pengantin itu melampaui
upacara sepasaran. Baru kemudian orang yang dianggap
ayah Warsi itu akan meninggalkan Tanah Perdikan
Sembojan. Namun dalam pada itu, selagi orang-orang Sembojan
masih dibayangi oleh keramaian hari perkawinan Wiradana,
maka di beberapa padukuhan telah terjadi pula
kegemparan. Selagi orang-orang Tanah Perdikan itu masih
berbicara tentang Warsi, istri Wiradana yang baru itu,
bahwa ia adalah bekas seorang pengamen yang menari
sepanjang jalan untuk menyambung hidupnya, ternyata di
beberapa padukuhan tiba-tiba saja telah muncul pula
sekelompok pengamen dengan seorang penari yang masih
muda dan cantik. Dengan merias diri sebaik-baiknya, penari
itu memiliki kecantikan yang seakan-akan bercahaya.
Ketika kelompok itu berhenti di sudut padukuhan dan
kebar untuk beberapa lamanya, maka orang-orang
padukuhan yang menyaksikan penari itu menggelenggelengkan kepalanya. Seorang laki-laki muda yang berikat
44 SH. Mintardja pinggang selebar telapak tangan berdesis, "Ada juga orang
secantik itu. Jika beberapa saat yang lalu seorang penari
cantik telah menggemparkan Tanah Perdikan ini dan
kemudian telah diambil oleh Ki Wiradana, maka sekarang
ada lagi seorang perempuan cantik yang berkeliling
menelusuri jalan-jalan sebagaimana dilakukan oleh Warsi."
Namun ketika laki-laki itu menyatakan untuk minta agar
rombongan itu bermain di halaman rumahnya dengan
imbalan uang yang cukup banyak, pengendangnya, yang
mewakili kelompok itu menyatakan berkeberatan.
"Maaf Ki Sanak. Belum hari ini. Kami baru sekadar
memperkenalkan diri. Mungkin pekan mendatang, kami
akan kembali dan silahkan untuk memanggil rombongan
ini. Kami akan melayani dengan senang hati."
Laki-laki muda itu menjadi heran. Tetapi ia tidak
memaksa. Bersama-sama dengan beberapa orang lain ia
menyaksikan saja rombongan penari itu kebar di sudut
padukuhannya. Dua malam berturut-turut rombongan itu nampak kebar
di dua padukuhan yang termasuk tlatah Tanah Perdikan
Sembojan. Tetapi seperti dahulu, maka rombongan itu
masih belum bersedia untuk menerima tawaran bermain di
halaman seseorang. Apalagi untuk kepentingan tayub dan
janggrung. Namun yang dua malam itu ternyata telah menimbulkan
berbagai macam persoalan. Orang-orang dari kedua
padukuhan itu telah ramai membicarakan hadirnya
serombongan penari yang kemudian telah menghilang lagi.
"Sepekan lagi rombongan itu akan datang," berkata lakilaki yang pernah memanggil rombongan itu untuk bermain
di halaman rumahnya tetapi ditolak.
45 SH. Mintardja Tetapi ternyata sepekan kemudian rombongan itu tidak
muncul lagi sebagaimana dijanjikan.
Namun dalam pada itu, beberapa orang telah
mengendapkan pertanyaan di dalam hati mereka. Rasarasanya mereka pernah melihat wajah penari yang sangat
cantik itu, meskipun dalam ujud yang lebih sederhana.
"Mirip sekali dengan Nyai Wiradana yang hilang itu,"
desis seseorang. Wajah kawannya tegang. Tetapi dengan tersendat-sendat
ia berkata, "Memang mirip. Tetapi tentu bukan."
"Tentu bukan," ulang kawannya yang pertama. "Kita
semuanya tahu, kalau Nyai Wiradana itu hilang bagaikan
ditelan hantu." "Ya. Tetapi memang mirip sekali, Nyai Wiradana itu
bersolek sebagaimana penari itu, maka aku kira ia pun akan
menjadi secantik penari itu pula. Tetapi Nyai Wiradana
terlalu sederhana. Ia jarang sekali, bahkan hampir tidak
pernah nampak merias diri dengan cara apapun juga," sahut
kawannya. Tetapi sebenarnyalah, yang menganggap bahwa penari
yang mirip sekali dengan Nyai Wiradana bukan hanya
kedua orang itu. Beberapa orang yang lain ternyata
menyebutnya demikian pula. Penari yang cantik itu mirip
sekali dengan Nyai Wiradana.
Namun demikian, ada juga yang bertanya, "Tetapi
apakah salah seorang penabuhnya ada yang mirip dengan
Kiai Badra, kakek Nyai Wiradana yang pernah mengobati Ki
Gede dan Wiradana sendiri" Atau barangkali Gandar,
pembantu Kiai Badra yang dikatakannya masih kadangnya
sendiri." 46 SH. Mintardja Orang-orang itu mulai mengingat-ingat. Tetapi mereka
tidak mengenal para penabuh itu dengan baik, karena
mereka tidak berada di cahaya obor sepenuhnya.
Karena itu, maka orang-orang itu pun menggeleng. Salah
seorang di antara mereka menyahut, "Aku tidak dapat
melihat para penabuh dengan jelas."
Demikianlah berita tentang sekelompok pengamen itu
telah terdengar bukan saja di kedua padukuhan itu. Tetapi
kemudian telah menyebar di padukuhan-padukuhan yang
lain. Bahkan sampai di padukuhan induk.
Ketika Wiradana mendengar berita itu, maka jantungnya
berdegup semakin cepat. Namun kemudian ia berusaha
untuk mempergunakan nalarnya. Katanya di dalam hati,
"Iswari sudah mati. Memang mungkin ada rombongan
penari jalanan yang lain. Dan tidak aneh pula bahwa
seseorang dapat mirip dengan orang lain. Tetapi jika
keduanya didekatkan, buru nampak perbedaan di antara
mereka. Demikian juga agaknya dengan penari jalanan itu."
Namun demikian pendengarannya tentang penari
jalanan itu telah mempengaruhi perasaannya. Apalagi ujud
kehadiran rombongan itu di Tanah Perdikan Sembojan.
Demikian mereka muncul untuk dua malam berturut-turut,
dengan menolak tawaran untuk bermain di rumah orangorang yang ingin menikmati tarian seorang perempuan
cantik yang kemudian telah menghilang dan tidak kembali
lagi." Yang lebih menggelisahkan adalah pendapat beberapa
orang yang seakan-akan pasti, bahwa perempuan itu adalah
Nyai Wiradana yang tua. "Iswari tidak dapat menari," geram Wiradana. Lalu, "Jika
ia masih hidup, maka ia tentu akan kembali ke rumahku."
47 SH. Mintardja Memang tidak ada yang membantah. Tidak seorang pun
yang tahu dengan pasti, bahwa perempuan itu memang
Nyai Wiradana. Bahkan mereka pun kemudian telah
mencoba memberikan jawaban sebagaimana Wiradana
menjelaskan kepada dirinya sendiri, bahwa mungkin saja
dua orang mempunyai wajah yang sangat mirip.
Namun dengan demikian, maka penari yang muncul
dengan tiba-tiba dan hilang dengan tiba-tiba itu benarbenar telah menarik perhatian bukan saja mereka yang
pernah melihatnya, tetapi mereka yang belum pernah
melihatnya pun telah membicarakannya pula.
"Jika rombongan itu kembali, kapan pun juga, tolong
beritahukan hal itu kepada kami," pesan orang-orang dari
padukuhan yang ingin sekali melihat wajah penari yang
mirip sekali dengan wajah Iswari itu.
Tetapi pembicaraan yang berkepanjangan tentang penari
itu telah membuat Wiradana pening. Dengan nada marah
maka ia berbicara dengan orang-orang dari padukuhanpadukuhan yang pernah didatangi oleh penari itu serta
melihat barang sekilas, "Kalian yang menjadi cengeng.
Orang yang sudah mati tidak akan pernah kembali.
Meskipun demikian untuk meyakinkan kalian semuanya,
bahwa orang itu sama sekali bukan Nyai Wiradana, biarlah
aku sendiri akan menemuinya. Karena itu, jika benar
rombongan itu datang, maka jangan takut-takut. Kalian
harus menangkap mereka. Mungkin mereka tidak bersalah
sama sekali dan kemudian dilepaskan. Tetapi keributan
kalian tentang wajah penari yang mirip dengan Iswari itu
perlu dijernihkan." Orang-orang padukuhan itu hanya mengiyakan saja.
Tetapi kata-kata Wiradana adalah perintah. Jika
48 SH. Mintardja rombongan itu kembali, kapan pun juga, maka mereka
harus ditangkap. "Apakah salah mereka," bertanya seseorang. Tetapi ia
tidak berani menyampaikan kepada Ki Wiradana kecuali
kepada kawan-kawannya sendiri.
"Jangan berpikir lagi. Begitu perintah itu datang, kita
langsung saja melakukannya. Tanpa melihat baik dan
buruknya. Kawannya tidak menyahut. Hanya kepalanya sajalah
terangguk kecil. Tetapi setelah orang-orang di padukuhan itu bersiaga
rombongan itu tidak muncul lagi. Bukan saja untuk
memenuhi janji mereka seperti yang mereka katakan
beberapa saat yang lalu, tetapi barangkali mereka
memerlukan uang upah yang cukup.
Dengan demikian maka rombongan penari yang
penarinya mirip sekali dengan Nyai Wiradana itu tetap
teka-teki orang-orang di Tanah Perdikan Sembojan. Dalam
pada itu, Warsi yang juga mendengar kehadiran
serombongan penari yang aneh itu, telah menjadi berdebardebar pula. Meskipun seperti orang-orang lain ia berpikir
bahwa orang yang sudah mati tidak akan kembali, namun
rerasan tentang penari itu telah membuatnya gelisah.
Bahkan ketika Wiradana sedang pergi secara khusus ia telah
berbicara dengan orang yang disebutnya sebagai ayahnya
itu, "Bagaimana pendapatmu?" bertanya Warsi.
"Tidak lebih dari omong kosong," jawab laki-laki itu.
"Tetapi jika rombongan itu sekali lagi datang, maka
adalah tugasmu untuk membuktikan, bahwa orang itu
benar-benar bukan Nyai Wiradana."
49 SH. Mintardja "Kau memang aneh. Seharusnya kau tidak usah menjadi
gelisah, karena tidak mungkin hal seperti kau cemaskan itu
terjadi," berkata laki-laki itu.
"Kita hanya meyakinkan saja," jawab Warsi.
"Apakah agaknya kau telah mulai benar-benar menjadi
cengeng," bertanya laki-laki.
"Tutup mulutmu," bentak Warsi. "Kau kira aku tidak
dapat menyumbat mulutmu dengan terompah. Aku
perintahkan kau untuk membuktikannya. Jangan
membantah. Jika kau masih membantah, maka aku bunuh
kau dan aku kubur kau di bawah amben pembaringanmu.
Tidak akan ada orang yang akan mencarimu selamalamanya." Laki-laki itu tidak menjawab. Ia tahu sifat-sifat Warsi
sebaik-baiknya. Karena itu, maka ia pun hanya mengangguk
saja tanpa mengucapkan jawaban.
Dalam pada itu, selagi Tanah Perdikan sedang sibuk
berbicara tentang penari yang mirip dengan Nyai Wiradana,
maka Wiradana sendiri telah disibukkan dengan satu
keinginan untuk segera berhubungan dengan Pajang.
"Sudah cukup waktunya untuk mengangkat seorang
Kepala Tanah Perdikan yang baru," berkata Wiradana
kepada orang-orang tua di Tanah Perdikan Sembojan.
"Ya Wiradana," jawab salah seorang dari orang-orang tua
itu, "Nampaknya memang demikian."
"Apakah tidak sebaiknya aku menghadap ke Pajang
untuk memohon agar aku segera diwisuda" Bukankah kita
sudah cukup lama memberikan laporan tentang kematian
ayah?" berkata Wiradana kemudian.
50 SH. Mintardja "Ya. Sudah cukup lama. Meskipun demikian, hendaknya
kau bersabar barang sebulan lagi. Jika Pajang menganggap
waktunya sudah datang, kau tentu akan dipanggil untuk
membicarakan persoalan itu," berkata salah seorang dari
orang-orang tua itu. "Tetapi aku sudah terlalu lama menunggu," berkata
Wiradana. "Bahkan mungkin orang-orang Pajang itu sudah
lupa, bahwa mereka mempunyai daerah yang disebut Tanah
Perdikan Sembojan." "Tentu tidak," jawab orang tua itu. "Tetapi jika mendesak
para pemimpin di Pajang, maka mungkin sekali mereka
merasa tersinggung oleh ketidak-sabaranmu. Apalagi
meninggalnya Ki Gede masih terhitung belum terlalu lama."
Wiradana ternyata mendengarkan petunjuk. Ia menunda
kepergian ke Pajang untuk menanyakan, kapan ia akan
diwisuda. Meskipun yang akan terjadi sesudah wisuda itu
tidak akan berbeda dengan sebelumnya bagi dirinya dan
bagi Tanah Perdikan Sembojan, namun wisuda itu sendiri
akan mempunyai arti yang penting. Dengan wisuda maka
kedudukannya benar-benar telah dikukuhkan oleh Pajang
sehingga apa yang dilakukannya, benar-benar atas nama
kekuasaan Pajang itu sendiri.
Namun, sementara Ki Wiradana menunggu, maka
beberapa hal telah dilakukannya. Wiradana ternyata tidak
banyak memperhatikan perubahan yang terjadi di Tanah
Perdikannya, tetapi ia lebih banyak berbicara tentang
perubahan-perubahan atas rumah tempat tinggalnya.
Meskipun perubahan-perubahan itu sebagian adalah karena
permintaan istrinya yang baru, Warsi.
Dalam kewajibannya sehari-hari, Warsi telah berusaha
untuk mendapat tempat di hati para pembantu rumahnya.
51
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
SH. Mintardja Ia sudah berhubungan dengan perempuan-perempuan yang
ada di dapur setiap hari. Dengan orang-orang yang sering
membersihkan ruangan-ruangan di dalam rumah dan
orang-orang lain yang sering berhubungan dengan dirinya,
di dalam rumah itu. Tetapi ternyata bahwa sikap orang-orang itu kadangkadang sangat menyakitkan hatinya. Hampir setiap saat
Warsi mendengar orang-orang itu memuji kebaikan hati,
ketrampilan dan kerendahan hati Iswari, istri Ki Wiradana
yang terdahulu. Ketika Warsi mengatur ruang tidurnya, dan memanggil
dua orang perempuan untuk membantunya, maka kedua
orang itu rasa-rasanya sangat segan melayaninya.
"Tempat ini di atur sendiri oleh Nyai Wiradana," berkata
salah seorang perempuan itu, "Aku tidak senang melihat
perubahan-perubahan yang terjadi. Nyai Wiradana telah
mengaturnya dengan cermat."
Wajah Warsi menjadi merah membara. Hampir saja
tangannya terlontar ke wajah perempuan itu. Untunglah ia
segera menyadari kedudukannya, sehingga karena itu, maka
ia berusaha untuk menahan diri.
Dengan sabar ia berusaha menjelaskan, "Aku mengerti
bibi bahwa bilik ini telah diatur dengan rapi sekali oleh Nyai
Wiradana yang terdahulu. Tetapi sekarang, agaknya akulah
yang harus menempatinya, sehingga aku dapat
mengaturnya sesuai dengan keinginanku. Namun jika
kemudian ternyata bahwa yang aku lakukan itu menjadi
kurang baik, maka aku akan dengan senang hati
mengembalikannya kepada wajah yang sekarang."
Tetapi perempuan itu menjawab, "Bagi kami, apa yang
dilakukan oleh Nyai Wiradana adalah yang sebaik-baiknya."
52 SH. Mintardja "Mungkin demikian bibi," jawab Warsi sareh, meskipun
jantungnya rasa-rasanya bagaikan terbakar, "Yang aku
lakukan adalah sekadar mencoba saja."
Perempuan-perempuan itu termangu-mangu sejenak.
Tetapi mereka pun menyadari, bahwa yang berkuasa saat
ini adalah Nyai Wiradana yang baru, sehingga mereka pun
tidak dapat menolak untuk melakukan perintahnya.
Dengan demikian, maka beberapa perabot rumah pun
telah diubah susunannya. Bahkan dalam saat yang pendek
di hari-hari terakhir, Wiradana telah memerintahkan orangorangnya untuk membuat atau membeli perabot-perabot
rumah yang baru dengan membuang perabot-perabot
rumah yang lama yang tidak sesuai dengan seleranya.
Tingkah laku Nyai Wiradana itu telah menumbuhkan
sikap yang kadang-kadang tidak menyenangkan bagi
Wiradana itu sendiri. Tetapi Nyai Wiradana yang baru itu
agaknya tidak menghiraukannya.
Kepada Wiradana, Warsi kadang-kadang telah menyebut
beberapa hal tentang rumahnya itu, yang menurut
pendapatnya agak kurang dapat memberikan ketenangan.
"Apa artinya bekas tangan Warsi itu?" bertanya
Wiradana. "Memang tidak apa-apa kakang. Tetapi setiap kali aku
teringat kepada istri kakang itu, maka hatiku menjadi
berdebar-debar. Aku masih saja selalu merasa bersalah
kakang," jawab Warsi.
"Kau memang aneh," berkata Wiradana. "Kesalahan yang
tidak pernah ada itu selalu saja membayangimu. Aku yang
bertanggung jawab atas hal itu, tidak pernah dikejar-kejar
oleh perasaan bersalah itu."
53 SH. Mintardja "Mungkin memang lain kakang. Kau seorang laki-laki
dan aku adalah seorang perempuan. Apalagi aku adalah
perempuan yang harus menggantikan kedudukan istrimu
yang sudah tidak ada itu," jawab Warsi.
"Jangan hiraukan. Tetapi aku tidak menolak bahwa kau
ingin mengadakan perubahan-perubahan atas rumah ini,"
berkata Wiradana kemudian.
Dengan demikian, maka beberapa perubahan telah
dilakukan oleh Wiradana atas rumah yang sebenarnya
sudah memiliki bentuk yang mapan.
Wiradana telah memerintahkan untuk mengubah
sungging pada tiang-tiang di pendapa dan pringgitan
rumahnya. Kemudian juga pada gebyok senthong tengah
dan kedua senthong sebelah menyebelah. Isi senthong
tengah pun telah disingkirkan dan diganti dengan yang
baru. Dengan demikian maka Wiradana menjadi sibuk. Tetapi
kesibukannya sama sekali tidak memberikan pengaruh
apapun kepada Tanah Perdikan Sembojan, karena
kesibukannya sebagian besar adalah untuk memperbaiki,
mengubah dan membuat rumahnya menjadi lebih baik.
Beberapa pihak di Tanah Perdikan Sembojan mulai
melontarkan beberapa pertanyaan di antara mereka. Dalam
waktu yang terhitung singkat, Wiradana sudah
menumbuhkan kesan yang kurang dapat dimengerti oleh
rakyat Tanah Perdikannya. Bahkan perempuan-perempuan
yang berada di rumah Ki Wiradana sebagai pembantu
rumahnya, telah merasakan perbedaan yang sangat besar
antara Iswari yang bagi mereka sangat baik itu dengan
Warsi yang lebih mementingkan dirinya sendiri, cengeng
dan terlalu manja. 54 SH. Mintardja "Tetapi itu adalah pencerminan dari kehalusan budinya,"
berkata seorang perempuan tua yang menjadi juru masak di
rumah Ki Wiradana itu. Kawan-kawannya mengerutkan keningnya, sementara
perempuan itu meneruskan, "Setiap kali Nyai Wiradana itu
merasa tersinggung, maka ia pun telah menangis dihadapan
suaminya. Baru kemudian suaminyalah yang mengambil
langkah untuk mengatasinya. Kesannya memang sangat
cengeng dan manja. Tetapi orang-orang yang berpapasan
sangat lembut akan bersikap seperti itu."
Keterangan itu agaknya memang kurang dapat
dimengerti. Tetapi kawan-kawannya sama sekali tidak
membantah. Mereka berusaha untuk mengerti, bahwa
perempuan yang menggantikan kedudukan Iswari itu
adalah perempuan yang hatinya lembut sekali.
"Tetapi perempuan itu malas sekali," bisik seorang
perempuan muda. "Aku belum pernah melihat ia bekerja
mengenai sesuatu kewajibannya sebagai seorang istri. Ia
tidak pernah membersihkan biliknya jika bukan kita yang
melakukan. Ia tidak pernah turun ke dapur dan langsung
memasak. Ia juga tidak pernah berbuat apa-apa selain
duduk-duduk sambil berbincang dengan Ki Wiradana.
Kemudian berteriak memanggil salah seorang di antara kita
untuk memberikan beberapa perintah."
"Ia belum terlalu lama disini," jawab perempuan tua yang
menjadi juru masak itu, "Pada saatnya ia akan berbuat baik.
Kini belum waktunya kita memberikan penilaian tentang
perempuan itu." Yang lain pun telah terdiam kembali. Namun jantung
mereka tetap bergejolak di dalam dada mereka masingmasing. 55 SH. Mintardja Pada saat-saat yang demikian, maka Wiradana mulai
merasakan suatu kelainan sikap beberapa pihak di Tanah
Perdikan itu. Tetapi untuk sementara itu tidak terlalu
menghiraukannya. Ia masih sibuk dengan istrinya yang
baru, yang mempunyai beberapa permintaan tentang ujud
dan susunan rumahnya. Dalam pada itu, ternyata Warsi masih menahan laki-laki
yang disebutnya sebagai ayahnya untuk tetap berada di
Tanah Perdikan itu dengan berbagai alasan. Wiradana
sendiri sama sekali tidak merasa berkeberatan. Bahkan ia
merasa kehadiran laki-laki itu dapat dijadikannya bukan
saja sebagai ayah mertuanya, tetapi juga kawan berbincang,
karena rumahnya yang seakan-akan telah menjadi kosong
sepeninggalan ayahnya. Namun bagi Warsi kehadiran laki-laki itu akan dapat
menjadi orang yang setiap saat siap menghubungkannya
dengan ayahnya yang sebenarnya jika ia memerlukan.
Terlebih-lebih lagi ketika Tanah Perdikan itu mulai
digemparkan dengan kehadiran serombongan penari yang
penarinya mirip sekali dengan Iswari.
Untuk menanggapi sikap beberapa pihak yang
nampaknya kurang menguntungkannya, maka Wiradana
telah mengambil langkah-langkah tertentu. Ia telah
memanggil beberapa orang anak muda yang kemudian
ditempanya menjadi sekelompok anak-anak muda yang
dapat dipercaya dan siap melakukan tugas-tugas apa saja
yang dibebankannya kepada mereka.
Mula-mula anak-anak muda itu memang merasa janggal
bahwa mereka telah diperlakukan agak berbeda dengan
kawan-kawan mereka. Tetapi lambat laun mereka menjadi
terbiasa mendapat perlakuan yang demikian dari Wiradana.
Kebutuhan mereka sangat diperhatikan, bahwa kepada
56 SH. Mintardja mereka diberikan pakaian yang khusus dan mereka
mendapat penghasilan dari tugas-tugas mereka.
Anak-anak muda itu mula-mula menyangka bahwa
mereka akan mendapat tugas sebagai pengawal khusus
sebagaimana pernah dilakukan oleh Ki Gede. Namun pada
masa Ki Gede memerintah, pengawal khusus itu tidak
mendapat perlakuan yang berlebihan. Justru mereka
mendapat latihan-latihan yang berat serta mengalami ujian
bertingkat-tingkat. Sedangkan sekelompok anak-anak muda
yang mendapat perlakuan khusus dari Wiradana justru
mendapat penghasilan yang dapat memberikan kesenangan
kepada mereka. Tetapi anak-anak muda yang mendapat kepercayaan dari
Wiradana itu semakin lama semakin nampak terjadi
perubahan-perubahan pada sifat-sifat mereka. Mereka
seakan-akan telah terpisah dari pergaulan kawan-kawan
mereka. Tetapi anak-anak muda itu telah berada dalam satu
kelompok tersendiri yang mempunyai tugas-tugas yang
memang khusus pula. Yang mengherankan bagi anak-anak muda Tanah
Perdikan itu yang lain, anak-anak muda yang menjadi
kepercayaan Wiradana merasa diri mereka berkuasa
sebagai Wiradana sendiri. Mereka selalu menjalankan
perintah Wiradana dengan patuh dan bersikap aneh
terhadap kawan-kawan mereka sendiri yang sebelumnya
merupakan kawan yang akrab.
Dengan demikian, maka di Tanah Perdikan Sembojan
telah tersusun satu kekuatan yang dipagari oleh sekelompok
anak-anak muda yang telah di susun untuk keperluan itu.
Anak-anak muda yang kemudian seakan-akan telah
kehilangan kepribadian mereka sendiri dan melakukan apa
saja yang diperintahkan oleh Wiradana.
57 SH. Mintardja Dengan pasukan khusus itulah maka Wiradana telah
memperkuat kedudukannya, sehingga ia benar-benar
ditakuti oleh rakyatnya. Tetapi ketakutan rakyat kepada
Wiradana jauh berbeda dengan perasaan takut rakyat
Tanah Perdikan Sembojan takut kepada Ki Gede. Anakanak muda Tanah Perdikan Sembojan takut kepada Ki Gede
sebagaimana mereka takut kepada ayah mereka. Tetapi
kepada Wiradana mereka merasa takut sebagaimana
seorang budak merasa takut kepada tuannya yang garang.
Dalam suasana yang demikian, maka Wiradana
memerintah Tanah Perdikan Sembojan didampingi oleh
istrinya yang cantik. Warsi yang mula-mula dianggap
sebagai perempuan yang lembut, bahkan terlalu lembut,
agak cengeng dan manja telah berubah pula. Ia bukan lagi
seorang perempuan yang lembut, tetapi yang nampak
padanya kemudian adalah kemanjaan saja. Merengek,
menangis dan dengan merajuk minta disediakan berbagai
macam keperluan yang sebelumnya tidak pernah dikenal di
Tanah Perdikan Sembojan. Demikianlah, maka beberapa hal telah berubah di Tanah
Perdikan Sembojan. Tata kehidupan, kebiasaan dan tingkah
laku anak-anak mudanya. Anak-anak muda yang mendapat
tugas khusus dari Wiradana kadang-kadang telah
melakukan tindakan yang justru menyakiti hati kawankawan mereka sendiri. Yang kemudian disebut penertiban pajak, ternyata adalah
beban yang menjadi terlalu berat bagi sebagian rakyat
Tanah Perdikan Sembojan. Sedangkan pemeliharaan
kepentingan rakyat banyak, termasuk parit, jalan dan
bendungan agaknya terabaikan.
Dengan gayanya yang khusus Warsi benar-benar telah
berhasil mengendalikan Wiradana. Tata pemerintahan yang
58 SH. Mintardja dilakukan, adalah hasil pikiran Warsi yang diungkapkan
dengan sikap kepura-puraan yang untuk sekian lama
berhasil membelenggu Wiradana.
Selagi Tanah Perdikan Sembojan mulai dibayangi oleh
geseran beberapa tata nilai yang berlaku, maka sekali lagi
Tanah Perdikan itu digemparkan oleh kehadiran
serombongan penari yang berkeliling di salah satu
padukuhan. Kehadiran rombongan itu telah mengejutkan
seisi padukuhan itu. Mereka telah mendapat perintah, jika
rombongan penari itu datang lagi, maka mereka harus
ditangkap. Namun dalam pada itu, beberapa orang yang sebelumnya
belum pernah melihat rombongan itu, justru telah
memerlukan untuk melihat, apakah benar bahwa penari
dari rombongan itu mirip sekali dengan Iswari, istri
Wiradana yang pernah hilang beberapa saat yang lalu dan
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak pernah diketemukan lagi.
Beberapa orang memang tidak percaya bahwa penari itu
ada hubungannya dengan Iswari. Tetapi mereka hanya ingin
melihat, seseorang yang mirip sekali dengan orang yang
pernah menjadi keluarga yang akrab di Tanah Perdikan itu.
Ketika rombongan itu kebar di sudut padukuhan dengan
lampu yang remang-remang, maka sebenarnyalah semua
orang yang menyaksikan sepakat bahwa penari itu memang
mirip sekali dengan Iswari.
"Tetapi Nyai Wiradana tidak pernah merias wajahnya
seperti itu," berkata salah seorang di antara mereka yang
menonton kebar itu. "Aku tahu," jawab yang lain. "Orang itu tentu bukan Nyai
Wiradana. Jika ia Nyai Wiradana kenapa ia harus menjadi
penari jalanan seperti istri Wiradana yang sekarang?"
59 SH. Mintardja Yang lain hanya mengangguk-angguk saja. Namun
seorang laki-laki yang rambutnya sudah berwarna dua
mulai berpikir. Katanya di dalam hati, "Kenapa perempuan
yang mirip sekali dengan Nyai Wiradana itu telah
melakukan satu pertunjukan keliling di Tanah Perdikan ini"
Apakah orang itu dengan sengaja telah menyindir istri
Wiradana yang sekarang?"
Terlepas dari segala dugaan, ternyata bahwa penari yang
cantik itu memang mampu menari dengan lembut.
Wajahnya yang cantik serta senyumnya yang luruh
membuat orang-orang yang menyaksikan menjadi sangat
tertarik kepadanya. Tetapi ternyata kemudian tidak ada seorang pun yang
berani mengganggu penari itu. Tidak ada seorang pun yang
berniat buruk. Bahkan tidak ada seorang pun yang akan
memanggil dan mengupah penari itu untuk
menyelenggarakan tayub dan apalagi janggrung, karena
yang terbayang di mata mereka bahwa penari itu adalah
Nyai Wiradana sendiri. Sehingga mereka tidak sampai hati
memperlakukan Nyai Wiradana sebagaimana terhadap
penari-penari jalanan yang lain.
Namun dalam pada itu, kecemasan telah mencengkam
jantung orang-orang yang menyaksikan kebar itu. Mereka
sadar, bahwa mereka harus berusaha menangkap. Tetapi
ternyata bahwa mereka tidak dapat melakukannya. Rasarasanya penari itu memang benar Nyai Wiradana, meskipun
dengan nalar, mereka tidak dapat menerimanya.
Untuk beberapa saat orang-orang padukuhan itu menjadi
bingung. Apakah mereka akan mengikuti perintah Ki
Wiradana untuk menangkap penari itu untuk meyakinkan
bahwa perempuan itu bukan Nyai Wiradana untuk
kemudian dilepaskan lagi, atau mereka tidak akan
60 SH. Mintardja melakukannya. Namun dengan demikian Wiradana akan
menjadi sangat marah kepada mereka.
Selagi orang-orang itu kebingungan, maka tiba-tiba saja
seorang di antara mereka, seorang rambutnya sudah
berwarna dua itu bergeser mendekati para penabuh di
belakang alat-alat tetabuhan mereka. Perlahan-lahan ia
berbisik di telinga salah seorang di antara mereka,
"Silahkan berhenti Ki Sanak. Ada sesuatu yang ingin aku
beritahukan." Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun
kemudian membisikkannya kepada seorang kawannya.
Demikian pula kawannya telah membisikkan kepada
pengendangnya. Pengendang itu mengerutkan keningnya. Namun
kemudian ia pun telah menghentikan pertunjukan itu.
Beberapa orang justru menjadi lega. Mereka tidak ingin
melihat rombongan itu ditangkap. Karena itu, sebagian dari
mereka justru berharap agar rombongan itu dengan cepat
meninggalkan padukuhan mereka.
Namun dalam pada itu, pengendangnya yang belum
mengetahui apa yang akan dikatakan oleh orang yang
rambutnya sudah berwarna dua itu telah mendekatinya
sambil bertanya, "Ada apa Ki Sanak?"
Orang yang rambutnya telah berwarna dua itu termangumangu. Sejenak ia memandang berkeliling. Namun karena
yang ada di sekitar arena itu hanyalah orang-orang dari
padukuhan itu saja, maka ia pun telah berkata kepada
pengendangnya itu, "Ki Sanak. Bukan maksud kami
mengusir Ki Sanak. Tetapi kami minta kalian meninggalkan
padukuhan ini." 61 SH. Mintardja Pengendang itu termangu-mangu sejenak. Kemudian
dengan suara yang datar ia berkata, "Kenapa kami harus
pergi" Apakah kami dianggap membuat kerusuhan disini"
Atau barangkali dengan kehadiran kami akan dapat
menumbuhkan kemungkinan-kemungkinan buruk bagi
keluarga." "Tidak," jawab orang yang rambutnya sudah berwarna
dua itu, "Jika aku mengatakan demikian maka semuanya itu
belum terbukti." "Jika demikian, lalu apa kesalahan kami," bertanya
pengendang itu. "Ki Sanak," jawab orang berambut berwarna dua.
"Mungkin Ki Sanak sama sekali tidak dapat mengerti.
Tetapi sebenarnyalah bahwa Ki Wiradana, pemangku
jabatan Kepala Tanah Perdikan kami disini telah
mengeluarkan perintah, jika rombongan ini datang lagi di
Tanah Perdikan, maka rombongan ini harus ditangkap."
"Ditangkap?" pengendang itu terkejut.
"Memang mengejutkan bagi Ki Sanak," jawab orang yang
rambutnya berwarna dua. "Tetapi sebenarnya memang demikian. Ketahuilah,
bahwa penarimu ternyata adalah seorang perempuan muda
yang mirip sekali dengan bekas istri pemangku Kepala
Tanah Perdikan ini. Orang-orang di Tanah Perdikan ini
telah membicarakannya dan karena itu maka timbul
berbagai macam tafsiran tentang penarimu itu. Karena itu,
maka Kepala Tanah Perdikan ini memerintahkan untuk
menangkap kalian. Kalian memang tidak bersalah. Tetapi
Kepala Tanah Perdikan kami hanya ingin menjernihkan
keadaan, anggapan tentang penari yang mirip sekali dengan
62 SH. Mintardja istri Kepala Tanah Perdikan kami yang telah hilang
beberapa waktu lalu."
"Tetapi kami tidak mempunyai sangkut paut dengan
orang yang hilang itu," desis pengendang itu.
"Ada. Karena penarimu mirip sekali dengan bekas
istrinya," jawab laki-laki berambut dua itu.
Pengendang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Jika demikian baiklah. Kami akan meninggalkan
padukuhan ini." "Silahkan Ki Sanak," berkata laki-laki yang rambutnya
berwarna dua itu. "Kami tidak akan sampai hati menangkap
kalian, meskipun pada saatnya nanti akan dilepaskannya
lagi. Karena itu, daripada kami menangkap kalian, maka
lebih baik bagi kami untuk mempersilahkan kalian pergi"
Pengendang itu mengangguk-angguk. Jawabnya
kemudian, "Kami mengucapkan terima kasih atas
peringatan ini. Jika demikian, maka biarlah kami minta
diri." "Silahkan," sahut laki-laki itu.
Pengendang itu pun kemudian membisikkan sesuatu ke
telinga penari cantik yang termangu-mangu itu. Namun
akhirnya penari itu mengangguk-angguk.
Pengendang itu kemudian berdiri di tengah-tengah arena
untuk mohon diri dan mohon maaf kepada orang-orang
padukuhan itu. "Sebenarnya kami masih ingin menghibur kalian,"
berkata pengendang itu. "Tetapi apaboleh buat. Kami
mengucapkan terima kasih bahwa kalian masih memberi
kebebasan kepada kami dengan peringatan ini. Agaknya
kalian masih mempunyai belas kasihan kepada kami."
63 SH. Mintardja Dengan demikian maka rombongan penari itu pun segera
mengemasi barang-barang mereka termasuk seperangkat
gamelan yang sederhana, yang mereka bawa dengan
pikulan. Tertatih-tatih mereka meninggalkan padukuhan
itu, menyusuri jalan bulak yang gelap. Namun orang-orang
padukuhan itu merasa lega, bahwa rombongan itu telah
pergi. Dengan demikian maka mereka tidak harus
menangkap orang-orang yang tidak bersalah sama sekali
ini. Tetapi adalah satu kesepakatan di antara orang-orang
padukuhan itu, bahwa penarinya mirip sekali dengan Iswari
yang telah dinyatakan hilang dan tidak pernah kembali itu.
"Sungguh satu keajaiban," berkata salah seorang di
antara orang-orang padukuhan itu. "Kemiripan yang
hampir tepat. Seandainya Nyai Wiradana masih hidup,
maka jika keduanya dijajarkan, maka keduanya tentu
disangka dua orang saudara kembar."
Tidak ada orang yang membantah. Keduanya memang
mirip sekali. Namun orang-orang padukuhan itu yakin,
bahwa yang dihadapinya memang satu keajaiban. Bukan
sekali-kali Nyai Wiradana yang hilang itu telah kembali
dalam ujud seorang penari.
Namun dalam pada itu, ketika orang-orang padukuhan
itu kembali ke rumahnya, demikian mereka menutup pintupintu regol, maka mereka telah mendengar derap kaki
beberapa ekor kuda. Satu dua orang yang menjengukkan
kepalanya melihat dibawah cahaya obor di regol rumahnya,
bahwa sekelompok pengawal khusus Tanah Perdikan itu
telah lewat. Mereka adalah anak-anak muda yang
merupakan kekuatan yang mendukung Wiradana dalam
kedudukannya dan dalam menjalankan pemerintahannya.
64 SH. Mintardja Orang-orang padukuhan itu termangu-mangu. Namun
mereka telah menutup kembali pintu-pintu regol mereka
dengan berbagai pertanyaan di dalam hati.
Sekelompok orang-orang berkuda itu ternyata telah
langsung pergi ke banjar.
Mereka berloncatan turun di
halaman banjar yang sepi.
Namun ada beberapa orang anak muda yang berada di gardu di regol halaman banjar. Pemimpin sekelompok anak-anak muda dalam pakaian dan sikap yang khusus itu telah melangkah
ke gardu. Dengan suara lantang ia bertanya, "Siapa
meronda malam ini?" Anak-anak muda di gardu itu mengerutkan keningnya.
Mereka agak kurang senang terhadap anak-anak muda yang
dengan khusus melakukan segala tugas yang dibebankan
oleh Wiradana tanpa pertimbangan sama sekali. Bukan
hanya anak-anak muda saja, tetapi juga orang-orang tua,
karena anak-anak muda yang tergabung dalam kelompok
khusus itu kadang-kadang bersikap berlebih-lebihan.
"Siapa?" ulang pemimpin kelompok itu.
Seorang anak muda turun dari gardu itu sambil berkata,
"Kami, empat orang. Tetapi orang yang lain berbaik hati
menemani kami meronda di banjar ini."
65 SH. Mintardja Pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Lalu
katanya dengan nada berat, "Dimana rombongan penari
itu?" Anak-anak muda yang meronda itu terkejut. Sejenak
mereka terdiam, sementara beberapa orang yang lain
dengan serta merta, di luar kesadaran mereka telah
berloncatan turun. "Kenapa kalian menjadi bingung" Kami telah menerima
laporan bahwa rombongan penari itu telah datang lagi.
Sesuai dengan perintah Ki Wiradana, maka kalian dan seisi
padukuhan ini tentu telah menangkap rombongan itu.
Dimana rombongan itu kalian simpan sekarang?"
Anak-anak muda itu benar-benar bingung. Tetapi
ternyata bahwa ada juga di antara mereka yang mampu
menguasai diri. Meskipun dengan jantung berdebaran anak
muda itu menjawab, "Penari itu telah pergi. Kami telah
mengusir penari itu bersama rombongannya."
"Di usir" He, apakah aku tidak salah dengar," bentak
pemimpin kelompok itu. "Ya. Kami telah mengusirnya. Tidak menangkapnya,
karena kami tidak dapat menunjukkan kesalahan mereka.
Jika yang dimaksud adalah karena penarinya mirip dengan
Nyai Wiradana yang terdahulu, ternyata tidak. Memang ada
kemiripan. Tetapi setelah kami memperhatikannya dengan
sungguh-sungguh justru setelah timbul persoalan, maka
kami mengambil kesimpulan, bahwa ada beberapa
perbedaan pada wajahnya. Penari itu memang mempunyai
sepasang mata bulat, hidung yang mancung dan bibir tipis.
Agak berbeda dengan Nyai Wiradana. Perbedaan lain yang
jelas adalah bahwa kening penari itu nampak menonjol,"
berkata anak muda itu. 66 SH. Mintardja "Mungkin bagi kami yang sempat memperhatikan. Tetapi
Ki Wiradana ingin menangkap mereka dan membawanya ke
padukuhan induk. Ki Wiradana akan memperlihatkan
kepada Rakyat Perdikan ini di semua padukuhan bahwa
dongeng mengenai Nyai Wiradana itu adalah dongeng yang
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak masuk akal," geram pemimpin pengawal itu.
"Aku setuju," jawab anak muda di gardu itu. "Bahkan aku
sudah meyakinkan. Perempuan itu sama sekali berbeda jika
kita sempat memperhatikan."
"Kesempatan itulah yang ingin diberikan oleh Ki
Wiradana kepada semua orang. He kau benar-benar dungu
dan tidak mengerti maksudku. Kita tangkap perempuan itu
dan kita bawa berkeliling padukuhan. Semua orang harus
memperhatikan dengan sungguh-sungguh untuk melihat
perbedaan-perbedaan seperti yang kau katakan," pemimpin
pengawal itu hampir berteriak.
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Baru kemudian
ia mengangguk-angguk sambil berdesis, "O, jadi begitu
maksudmu. Satu hal yang tidak pernah aku pikirkan."
"Tidak pernah kau pikirkan" Bukankah perintah itu
sudah diberikan oleh Ki Wiradana?" bertanya pemimpin
kelompok itu dengan suara keras.
"Jangan membentak-bentak begitu," berkata anak muda
itu. "Bukankah lebih baik jika kita berbicara sebagaimana
kita selalu melakukannya. Sambil bergurau atau kadangkadang diiringi oleh suara tawa yang riuh di antara kita."
"Tutup mulutmu," bentak pemimpin kelompok itu. "Aku
sedang melakukan tugas. Kau jangan mencoba untuk
membujukku. Sekarang tunjukkan dimana rombongan
penari itu." 67 SH. Mintardja "Sudah pergi. Kami telah mengusir mereka agar mereka
tidak menimbulkan persoalan lagi disini," jawab anak muda
itu. "Gila, Kalian telah melanggar perintah Ki Wiradana,"
geram pemimpin kelompok itu.
"Mungkin. Tetapi bukankah lebih baik perempuan yang
diributkan mirip dengan Nyai Wiradana itu pergi daripada
harus diarak keliling Tanah Perdikan untuk menunjukkan
perbedaan-perbedaan dengan Nyai Wiradana. Bukankah
perempuan itu dengan demikian akan merasa tersiksa dan
dihinakan justru sama sekali tidak bersalah. Kau dapat
membayangkan, betapa malunya perempuan itu dibawa
berkeliling. Semua orang diminta untuk mengamati
wajahnya sedangkan pada pengiringnya dengan berlebihlebihan akan menunjukkan keningnya, matanya,
hidungnya, bibirnya dan bagian-bagian lain dari tubuhnya
yang menunjukkan perbedaan itu," berkata anak muda itu.
"Kau jangan membuat persoalan dengan kami," suara
pemimpin kelompok itu menjadi kian garang. "Aku dapat
berbuat jauh lebih banyak dari yang pernah aku lakukan."
Anak muda yang di gardu itu menjadi tegang. Tetapi ia
sama sekali tidak menjawab lagi. Anak muda itu memang
tidak ingin terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, apalagi
dengan anak-anak muda dalam kesatuan khusus itu.
Karena anak muda itu tidak menjawab, maka pemimpin
kelompok itu kemudian membentak lagi, "Tunjukkan,
kemana rombongan itu pergi."
Anak muda itu termangu-mangu. Sejenak ia memandang
kawan-kawannya yang agaknya juga menjadi ragu-ragu.
"Cepat," teriak pemimpin kelompok itu. "Jika aku
kehilangan rombongan itu karena mereka sudah memasuki
68 SH. Mintardja tlatah lain di luar Tanah Perdikan ini, kau akan dapat
membayangkan, apa yang akan terjadi atas padukuhan ini."
Anak muda itu menjadi cemas juga. Rasa-rasanya
jantungnya berdegup semakin keras oleh gejolak
perasaannya. Ia mengerti, bahwa orang itu tidak hanya
sekadar mengancamnya. Namun rasa-rasanya hatinya berat juga untuk
menunjukkan kemana rombongan itu pergi, karena ia tahu
apa yang akan dilakukan oleh Wiradana atas penari cantik
yang memang sangat mirip dengan Nyai Wiradana itu.
Karena anak muda itu tidak segera menjawab, maka tibatiba pemimpin kelompok orang berkuda itu dengan serta
merta telah meraba lehernya sambil berdesis, "Kau jangan
mengorbankan dirimu untuk kepentingan perempuan yang
tidak kau kenal itu he?"
Anak muda itu tidak dapat mengelak lagi. Karena itu,
maka ia pun telah menunjukkan arah perjalanan
rombongan penari yang wajahnya mirip sekali dengan
wajah Iswari itu. "Jika kau bohongi kami, maka kau akan tahu sendiri
akibatnya," geram pemimpin rombongan itu.
Anak muda itu sama sekali tidak menjawab. Ia hanya
dapat memandang beberapa ekor kuda yang berderap
menjauh, menyusul rombongan penari yang telah lebih
dahulu meninggalkan Tanah Perdikan itu.
"Mudah-mudahan rombongan itu telah mengambil jalan
memintas atau pergi ke padukuhan yang lain," berkata anak
muda itu kepada kawannya yang berada di sekitar gardu itu.
"Mudah-mudahan mereka selamat," desis yang lain. "Aku
tidak akan sampai hati melihat perempuan itu di arak
69 SH. Mintardja keliling Tanah Perdikan tanpa melakukan kesalahan apapun
sebelumnya, sekadar untuk diamat-amati oleh orang-orang
Tanah Perdikan Sembojan."
Dalam kegelapan malam, derap kaki-kaki kuda telah
mengoyak sepi. Sekelompok anak-anak muda telah
berusaha menyusul rombongan penari yang berjalan
beriring meninggalkan Tanah Perdikan Sembojan.
Ternyata sekelompok anak-anak muda yang berkuda itu
mampu mengikuti jejak rombongan penari jalanan itu. Dari
kejauhan kelompok itu sudah melihat sepasang obor yang
bergerak, terombang-ambing oleh angin. Nampaknya
rombongan itu sama sekali tidak berusaha untuk
menghindari beberapa orang yang mungkin melihat.
Karena itu, maka pemimpin kelompok itu pun telah
memperbesar kecepatan kuda mereka. Rasa-rasanya
mereka sudah tidak sabar menyusul rombongan penari
yang katanya memang mirip sekali dengan Nyai Wiradana.
Ketika mereka hampir menyusul rombongan para penari
itu di tengah-tengah bulak, maka pemimpin kelompok itu
pun berteriak, "Berhenti. Kami memang sedang mengikuti
kalian, pengamen." Rombongan penari itu terkejut. Mereka sebelumnya
tidak memikirkan, bahwa akan terjadi kesulitan seperti
yang mereka hadapi saat itu.
Tetapi segalanya sudah lewat. Yang akan terjadi adalah
mereka telah disusul oleh sekelompok anak-anak muda
Tanah Perdikan Sembojan. Orang tertua di antara para penabuh gamelan itu pun
telah berkata kepada orang-orangnya. "Berhati-hatilah.
Anak-anak muda itu telah dibius oleh Ki Wiradana sehingga
70 SH. Mintardja mereka seakan-akan telah kehilangan kepribadian mereka
sendiri." "Apakah benar mereka akan menangkap kita?" bertanya
penari yang cantik itu. "Nampaknya memang begitu. Bukankah orang-orang
padukuhan tadi sudah memperingatkan kepada kita akan
bahaya itu" Bahkan orang-orang padukuhan itu pun
mendapat perintah untuk menangkap kita jika kita
memasuki padukuhan itu," jawab pengendangnya.
Ternyata mereka tidak sempat untuk berbicara lebih
panjang lagi. Sejenak kemudian kelompok orang-orang
berkuda itu benar-benar telah menyusul mereka.
"Berhenti," perintah pemimpin kelompok itu.
Tidak ada pilihan lain bagi rombongan penari jalanan itu.
Mereka pun kemudian berhenti sambil meletakkan barangbarang yang mereka bawa termasuk seperangkat gamelan
yang sangat sederhana, sambil menunggu dengan
termangu-mangu. Pemimpin pengawal Wiradana itu pun segera meloncat
turun. Diikuti oleh kawan-kawannya. Mereka segera
mengepung rombongan pengamen itu tanpa kecuali.
Dengan lantang pemimpin anak-anak muda itu pun
kemudian memberikan aba-aba, "Kalian adalah tawanan
kami." Sejenak orang-orang yang sedang dikepung itu
membeku. Namun sejenak kemudian orang tua pemukul
gendang itu pun melangkah maju sambil bertanya, "Apakah
kesalahan kami?" 71 SH. Mintardja "Aku tidak tahu. Aku hanya mendapat perintah untuk
membawa kalian kembali," jawab pemimpin rombongan
itu. "Ki Sanak," berkata pengendangnya itu kemudian,
"Sebaiknya Ki Sanak menyampaikan sikap kami. Kami
bukan orang-orang berdosa yang akan dapat membuat
Tanah Perdikan ini dikutuk karena perbuatan kami. Karena
itu, kami mohon disampaikan kepada Pemangku Jabatan
Kepala Tanah Perdikan Sembojan, kami menyatakan
berkeberatan. Itu kalau yang memerintahkan kalian Kepala
Tanah Perdikan Sembojan, sedangkan apabila yang
memerintah pihak lain, maka sikap kami pun akan serupa."
Wajah pemimpin kelompok yang mengejar mereka itu
pun menjadi tegang. Tetapi ia tidak segera memberikan
jawaban. Ia tidak mengira bahwa pada suatu saat ia akan
bertemu dengan orang tua yang dengan tegas berani
menentang perintah pengawal khusus Kepala Tanah
Perdikan Sembojan. Namun justru karena itu, maka
pemimpin pengawal khusus itu mematung. Sementara itu,
maka orang tua yang memimpin rombongan penari itu pun
berkata selanjutnya, "Karena itu, maka biarlah kami
meninggalkan Tanah Perdikan ini dengan kesan yang
damai. Dengan kesan bahwa Tanah Perdikan Sembojan
adalah Tanah yang penuh pengertian, tenggang rasa dan
saling menghormati di antara sesama."
"Tutup mulutmu," pemimpin pengawal khusus itu tibatiba menjadi sangat muak dan suaranya bagaikan meledak,
"Apakah kau tahu, dengan siapa kau berhadapan?"
"Tentu ki sanak" jawab orang itu, "Kami menyadari
sepenuhnya" 72 SH. Mintardja Jawaban itu membuat pimpinan kelompok pengawal
khusus itu menjadi semakin tegang. Sekali lagi membentak,
"Apakah kau tahu, dengan siapa kau berhadapan"
"Aku berhadapan dengan para pengawal Tanah Perdikan
ini," jawab orang tua itu. Lalu katanya, "Karena itu maka
kami berani berkata terus terang, karena para pengawal
tentu mendapat tuntunan untuk bersikap sebaik-baiknya
kepada orang-orang kecil seperti aku. Aku tidak akan berani
berbuat seperti ini jika aku berhadapan dengan anak-anak
muda kebanyakan yang akan dapat berbuat sesuatu yang
tidak dapat dipertanggung-jawabkan."
"Diam orang gila," pemimpin pengawal itu menjadi
semakin marah, sehingga tubuhnya telah menjadi gemetar,
"Sekali lagi aku peringatkan, ikut kami menghadap
Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan kami."
"Ki Sanak, sekali lagi aku bertanya, apakah kesalahanku
dan barangkali kesalahan kawan-kawanku. Jika Ki Sanak
dapat memberikan penjelasan, maka mungkin kami akan
dapat mengambil sikap."
Tetapi pemimpin kelompok yang sudah menjadi marah
itu sama sekali tidak menghiraukannya. Katanya, "Dengar
sekali lagi. Ikut aku menghadap Ki Wiradana. Merasa
bersalah atau tidak merasa bersalah. Kesabaranku sudah
habis dan kami membawa wewenang untuk mengambil
sikap tertentu terhadap orang-orang yang keras kepala
seperti kalian ini."
Namun ternyata sikap orang tua itu pun di luar dugaan
sama sekali. Orang tua itu pun berkata dengan tegas, "Kami
menolak perintah yang tidak kami ketahui ujung dan
pangkalnya itu." 73 SH. Mintardja Kemarahan yang membakar jantung pemimpin pengawal
khusus itu membuatnya bergetar. Sejenak ia terpukau oleh
sikap yang tidak diduganya itu. Baru kemudian ia
mengangkat tangannya memberikan isyarat kepada kawankawannya untuk mulai bertindak.
"Tangkap mereka dan giring mereka menghadap Ki
Wiradana," geram pemimpin pengawal itu.
Namun sekali lagi jantungnya bergetar. Rombongan
penari jalanan itu sama sekali tidak menjadi ketakutan.
Mereka justru telah bergeser mengambil jarak yang satu
dengan yang lain, sementara penarinya yang cantik itu
berdiri di tengah-tengah dilindungi oleh orang tua yang
telah memimpin rombongan itu dan bertindak sebagai
pengendang. Menilik sikap orang-orang dalam rombongan pengamen
itu pemimpin kelompok itu menjadi semakin marah.
Dengan suara yang mengguntur ia berteriak, "Jadi kalian
berani melawan kami?"
"Kami disudutkan kepada satu sikap yang tidak dapat
kami elakkan," berkata orang tua itu.
"Kalian benar-benar telah gila. Kami adalah pengawal
khusus dari pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan.
Sekali lagi aku peringatkan, bahwa kalian jangan
mempersulit keadaan kalian sendiri. Kami mendapat
wewenang untuk bertindak apa saja sesuai dengan tugas
yang dibebankan kepada kami," berkata pemimpin
pengawal itu. Namun pengendang yang tua itu menjawab, "Ki Sanak.
Meskipun kami adalah rombongan pengamen. Tetapi kami
masih mempunyai harga diri. Karena itu, apapun yang akan
terjadi, maka kami tidak akan merendahkan martabat kami.
74
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
SH. Mintardja Biarlah kami mengalami perlakuan yang bagaimanapun,
tetapi kami sudah bertindak atas landasan martabat kami
itu." "Baiklah," pemimpin pengawal itu berkata, "Jangan beri
mereka kesempatan. Ternyata mereka benar-benar tidak
tahu diri." Tetapi para pengamen itu tidak menyerah. Mereka pun
telah bersiap untuk berkelahi. Karena itu ketika orangorang Tanah Perdikan Sembojan itu melangkah maju
semakin dekat, maka para pengamen itu justru mulai
menyerang. Pemimpin pengawal itu mengumpat-umpat. Mereka
merasa mempunyai pengalaman yang melampaui kawankawan mereka. Mereka pun berjumlah jauh lebih banyak
dari para pengamen itu, sementara mereka masih muda dan
tangkas, sedangkan para penabuh gamelan itu sudah terlalu
tua untuk berkelahi. Namun ketika perkelahian itu mulai berlangsung cepat,
para pengawal itu terkejut. Ternyata pengamen-pengamen
tua itu tidak segera dapat mereka tundukkan. Pengamenpengamen tua itu telah memberikan perlawanan di luar
dugaan. Pemimpin para pengawal yang melihat perkelahian itu
justru bagaikan mematung. Ia hampir tidak percaya kepada
penglihatannya, bahwa orang-orang tua itu benar-benar
memiliki ketangkasan berkelahi melampaui para pengawal
itu sendiri. Salah seorang di antara para pengamen yang harus
berkelahi melawan tiga orang anak muda, dengan tangkas
menghindari setiap serangan. Ketiga orang kawannya itu
75 SH. Mintardja sama sekali tidak mampu menyentuh tubuhnya, bahkan
pakaiannya. "Gila," geram pemimpin pengawal itu, "Apakah mereka
bukan manusia kebanyakan, atau barangkali jin dan
hantu?" Tiba-tiba saja pemimpin pengawal itu ingin melihat,
apakah benar penari yang berada di dalam kegelapan itu
memang mirip dengan Nyai Wiradana.
Karena itu, ketika perkelahian itu menjadi semakin
meningkat, pemimpin pengawal itu bergeser mendekati
obor yang terpancang pada alat yang dipergunakan untuk
memikul gamelan. Dengan tiba-tiba pemimpin pengawal itu
telah mencabut obor itu. Dengan satu loncatan panjang,
pengawal itu berusaha mendekati penari itu. Bahkan
kemudian obor ditangannya telah didekatkannya ke arah
wajah penari yang berdiri termangu-mangu, di sisi
pengendangnya yang tua, tetapi masih saja bersikap keras.
Tidak ada orang yang mencegah. Bahkan orang tua yang
berdiri tegak di sisi penari itu. Apalagi mereka yang sedang
berkelahi. Bahkan penari itu sendiri seakan-akan justru
berpaling menghadapkan wajahnya pada obor yang sedang
dibawa. Obor itu memang tidak terlalu besar. Nyalanya pun tidak
sedang dibesarkan sebagaimana jika rombongan itu sedang
mengadakan pertunjukan. Namun dengan mendekatkan
obor itu, pemimpin pengawal itu telah melihat wajah penari
yang disebut mirip dengan Nyai Wiradana itu.
Pemimpin pengawal itu benar-benar terkejut. Dalam
cahaya obor di tangannya ia melihat, bahwa perempuan itu
memang mirip sekali dengan Nyai Wiradana. Bahkan
76 SH. Mintardja pemimpin pengawal itu seakan-akan telah melihat Nyai
Wiradana berdiri dihadapannya dalam sikap yang beku.
Pemimpin pengawal itu tiba-tiba surut beberapa langkah.
Hampir di luar sadarnya, pemimpin pengawal itu
mengambil obor ditangannya pada tempatnya.
Ketika kemudian berpaling dan memandang perempuan
cantik itu, tiba-tiba saja kulitnya meremang. Perempuan
yang berdiri ditempat yang remang-remang, yang tidak
terlalu banyak terjangkau oleh cahaya obor, wajahnya tidak
lagi nampak jelas seperti wajah Nyai Wiradana. Tetapi di
mata pemimpin pengawal itu, rasa-rasanya ia berdiri
dihadapan seorang hantu Nyai Wiradana yang bangkit dari
kuburnya, dikawal oleh jin dan gendruwo.
Namun pengawal itu tiba-tiba bagaikan terbangun dari
sebuah mimpi yang menakutkan, ketika punggungnya
digamit seseorang. Ketika ia berpaling, dilihatnya salah
seorang pengamen meloncat menjauhinya karena kawankawannya telah menyerang orang itu. Tetapi orang itu
sempat berkata, "Bersiaplah. Kenapa kau berdiri
kebingungan." Pemimpin pengawal itu masih sempat termangu-mangu
sejenak. Orang itu hanya menggamitnya. Jika ia mau, maka
ia dapat memukul tengkuknya dan sekaligus membuatnya
pingsan. Namun dalam pada itu, maka pemimpin pengawal itu
menggeram, "Aku tidak peduli. Aku tidak boleh diombangambingkan oleh keadaan yang tidak begitu jelas. Aku harus
dapat menangkap dan membawa penari itu menghadap Ki
Wiradana. Dengan demikian, maka pemimpin pengawal itu
mempunyai rencana yang dianggapnya akan dapat
77 SH. Mintardja memotong tugasnya. Ia ingin langsung meloncat dan
menangkap penari itu dan mengancamnya. Jika para
pengiringnya tidak mau menyerah, maka perempuan itu
akan dijadikan korban. Pemimpin pengawal itu tidak mau menunggu lebih lama
lagi. Dengan tiba-tiba saja ia telah meloncat menyergap
penari yang memang mirip sekali Nyai Wiradana itu.
Tetapi yang terjadi sangat mengejutkannya. Tubuhnya
terasa telah terdorong dengan kekuatan yang luar biasa
sehingga ia pun telah terlempar jatuh.
Dengan tangkasnya pemimpin pengawal itu berguling
untuk mengurangi kekerasan benturan tubuhnya dengan
batu-batu padas. Kemudian melenting berdiri.
Sejenak ia termangu-mangu. Ia melihat penari dan orang
tua itu masih berdiri saja seperti semula.
"Apakah aku yang sudah gila," katanya di dalam hati.
Ketika pemimpin pengawal itu mengedarkan
pandangannya ke seluruh arena, maka ia pun melihat
bahwa orang-orang yang mengiringi penari itu sebagai
penabuh benar-benar orang yang memiliki kemampuan
berkelahi. Pengawal itu sadar, bahwa biasanya dalam
rombongan keliling memang terdapat orang yang memiliki
ilmu yang tinggi untuk menjaga kemungkinankemungkinan buruk yang dapat terjadi atas seluruh
rombongan atau atas penarinya. Tetapi dalam rombongan
ini, bukan saja satu dua orang yang memiliki ketangkasan,
namun semuanya. Semuanya telah berkelahi dengan
tangkasnya. Pemimpin pengawal itu agaknya masih tetap pada
rencananya. Ia tidak tahu, kenapa ia terdorong oleh
kekuatan yang tidak dapat dilawannya. Namun ia masih
78 SH. Mintardja tetap ingin langsung menangkap penari itu dan memaksa
para pengiringnya untuk menyerah.
Karena itu, maka ia pun bergeser pula mendekati penari
yang masih tetap berdiri di tempatnya. Sejenak ia
memperhatikan pertempuran yang berlangsung itu. Tidak
seorang pun yang memperhatikannya.
"Pengendang tua itu pun agaknya memiliki ilmu yang
tinggi," berkata pengawal itu di dalam hatinya.
Namun menurut pengamatannya, baik penari yang
cantik maupun orang tua yang berdiri di sisinya, sama
sekali tidak bersiap-siap menghadapi kemungkinan buruk
yang dapat terjadi atas mereka. Karena itu, maka pemimpin
pengawal itu melangkah lebih dekat lagi sambil berkata,
"Seharusnya kau perintahkan kawan-kawannya menyerah."
"Kenapa?" bertanya orang tua itu, "Mereka masih belum
kalah. Kau dapat melihat apa yang telah terjadi."
"Tetapi aku berdiri bebas. Aku dapat menangkap
penarimu dan memaksa kawan-kawanmu untuk
menyerah," jawab pemimpin pengawal itu.
Tetapi orang tua itu justru tertawa. Katanya, "Kau tidak
akan dapat menangkapnya. Lakukanlah jika kau mampu."
Pemimpin pengawal itu menjadi semakin heran. Tetapi
sekali lagi ia menggeretakkan giginya. Ia tidak boleh terseret
arus perasaannya yang dapat membuatnya seperti gila.
"Baiklah," berkata pemimpin pengawal itu dengan geram.
"Tetapi jika dengan demikian aku telah menyakitinya, itu
bukan salahku. Aku hanya ingin menangkapnya dan
membawanya kepada Ki Wiradana."
Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya, "Silahkan.
Lakukanlah." 79 SH. Mintardja Pemimpin pengawal itu mengumpat di dalam hati. Lakilaki tua yang berdiri di dekat perempuan cantik itu justru
telah bergeser menjauh. "Apakah aku memang sudah gila sehingga aku tidak
mengerti apa yang sebenarnya aku hadapi?" pertanyaan itu
telah membelit di hati pemimpin pengawal itu.
Namun seperti yang telah dilakukannya, ia berusaha
untuk menghentakkan kegelisahan itu. Karena itu, maka
dengan hati-hati ia melangkah mendekati perempuan cantik
itu sambil berkata, "Kau jangan berbuat sesuatu yang dapat
menyakiti dirimu." Perempuan cantik itu tersenyum. Tetapi ia tidak
menjawab. Pemimpin pengawal itu memang menjadi bingung.
Keringatnya mengalir di seluruh tubuhnya. Namun ia pun
kemudian meloncat menggapai tangan penari cantik itu.
Tetapi ia tidak berhasil menyentuhnya. Penari itu
bergeser dengan cepat. Meskipun penari itu mengenakan
kain panjang yang rapat, tetapi ternyata bahwa ia mampu
bergerak dengan agak leluasa sebagaimana jika ia menari.
"Aku sudah memperingatkanmu," berkata pemimpin
pengawal itu. "Jangan berbuat sesuatu yang dapat
menyakiti dirimu sendiri."
Perempuan itu tidak menjawab. Ia masih tetap berdiri di
tempatnya. Meskipun pemimpin pengawal itu tidak dapat
memandang wajah penari itu dengan jelas, tetapi ia sudah
mendapat gambaran tentang wajah itu. Mirip sekali dengan
Nyai Wiradana. Sekali lagi pemimpin pengawal itu mendekatinya. Tetapi
ia tidak mau gagal lagi. Karena itu, maka kali ini ia tidak
80 SH. Mintardja sekadar menjangkau tangan penari itu. Tetapi pemimpin
pengawal itu telah meloncat maju.
Tetapi pemimpin pengawal itu sudah mulai bergerak
dengan memperhitungkan setiap kemungkinan. Ketika
perempuan itu bergeser menghindar, maka dengan cepat
pula pemimpin pengawal itu bergerak, meloncat dan
usahanya ternyata memberikan satu kesempatan
kepadanya. Pada saat perempuan itu mengelak, maka
pemimpin pengawal itu dengan mengerahkan segenap
tenaga yang ada padanya, berhasil melingkar ke belakang
penari itu. Dengan tangkas pula, tanpa dikekang oleh
keragu-raguan, maka pemimpin pengawal itu telah
menyekap penari itu dari belakang.
Namun pada saat ia merasa bahwa ia berhasil, tiba-tiba
saja tubuhnya terasa diseret oleh satu gerakan yang kurang
dimengertinya. Ia merasa kepalanya dijangkau oleh
sepasang tangan yang lembut, namun penari itu kemudian
telah membungkukkan badannya.
Yang terjadi kemudian benar-benar tidak lagi dapat
diatasinya. Tubuh pemimpin pengawal itu benar-benar
telah terlempar lewat di atas penari yang membungkukkan
diri rendah-rendah itu. Ketika tubuh itu jatuh di tanah, maka terdengarlah
pemimpin pengawal itu mengaduh. Punggungnya bagaikan
patah, sementara jantungnya seakan-akan telah terlepas.
Pemimpin pengawal itu tidak dapat dengan tangkas
meloncat bangkit. Tulang-tulangnya bagaikan saling
terlepas dari sendi-sendinya.
Ketika pemimpin pengawal itu berusaha bangkit, maka
sepasang kaki bagaikan tertancap ke bumi di sisi wajahnya.
Kaki penari yang cantik itu.
81 SH. Mintardja "O," pemimpin pengawal itu berdesah.
"Bangunlah," berkata penari itu.
Sekali lagi pemimpin pengawal itu terkejut. Suara itu pun
suara yang pernah dikenalnya dengan baik. Suara Iswari,
istri Wiradana yang terdahulu.
Karena itu, hampir di luar sadarnya pemimpin pengawal
itu berusaha untuk bangkit betapapun sakitnya.
"Berdirilah," berkata perempuan itu lagi.
Sambil menyeringai, pemimpin pengawal itu berdiri
dekat dihadapan penari itu. Meskipun malam gelap, tetapi
rasa-rasanya ia yakin bahwa yang berdiri dihadapannya itu
memang Iswari. Dalam hitamnya malam, jauh dari
jangkauan cahaya obor yang kecil, maka pemimpin
pengawal itu tidak melihat warna-warna rias di wajah
penari itu, sehingga ia pun merasa benar-benar berada di
hadapan Nyai Wiradana. "Kenapa kau memandang aku seperti itu?" bertanya
penari itu. Tubuh pemimpin pengawal yang kesakitan itu terasa
gemetar. Di luar kehendaknya jika kemudian ia dengan
suara gemetar berdesis, "Nyai Wiradana. Bukankah kau
Nyai Wiradana?"
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Perempuan itu mengerutkan keningnya. Namun
kemudian ia tersenyum sambil berkata, "Apakah kau
kehilangan ingatan" Kau tahu bahwa aku adalah seorang
penari yang menyusuri jalan-jalan padukuhan" Namaku
Ruri Puspitasari. Kenapa kau sebut aku Nyai Wiradana"
Bukankah Wiradana pemangku jabatan Kepala Tanah
Perdikan" Jika ia mendengar kau berkata seperti itu, maka
kau tentu akan dapat hukumannya. Tidak mungkin seorang
82 SH. Mintardja penari jalanan seperti aku dapat menjadi istri seorang
Kepala Tanah Perdikan."
"O, maaf. Kau terlalu mirip dengan Nyai Wiradana, istri
Ki Wiradana yang pernah hilang," jawab pemimpin
pengawal itu. "Pernah hilang" Apakah kemudian diketemukan?"
bertanya penari itu. "Tidak. Nyai Wiradana itu tidak pernah diketemukan
lagi," jawab pemimpin pengawal itu. Lalu, "Tetapi wajahmu
dan bahkan suaramu serta tekanan suaramu benar-benar
mirip dengan Nyai Wiradana yang hilang itu.
"Jangan mengigau," berkata penari itu. "Kau akan
dihukum cambuk sepuluh kali dengan rotan jika kau berani
menyebut seorang penari jalanan adalah istri pemangku
jabatan Kepala Perdikan Sembojan."
"Kenapa tidak" Bukankah istrinya yang sekarang itu juga
seorang penari jalanan?" jawab pemimpin pengawal itu.
"Ah, jangan berbicara seperti seekor burung yang
berkicau," penari itu berhenti sejenak lalu, "Sekarang
katakan, apakah kita akan berkelahi terus, atau kau akan
menyerah dan memerintahkan kepada orang-orang untuk
menyerah" Sementara itu kita lupakan dongengmu yang
tidak masuk akal bahwa istri Kepala Tanah Perdikanmu
adalah seorang penari jalanan seperti aku."
"Aku berkata sebenarnya," jawab pemimpin pengawal
itu. "Cukup," tiba-tiba saja penari itu memotong. "Yang ingin
aku tanyakan, kau menyerah atau tidak?"
Pemimpin pengawal itu termangu-mangu. Namun ia
menyadari, bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan
83 SH. Mintardja perempuan itu. Perempuan yang sangat mirip dengan
Iswari. Baik wajahnya, bentuk tubuhnya, suaranya dan
tekanan kata-katanya. "Agaknya kau ingin membuat perhitungan tentang
imbangan kekuatan di arena ini," berkata penari itu.
"Baiklah. Aku akan menunggumu untuk beberapa saat
lamanya." Ternyata bahwa pemimpin pengawal itu tidak
mempunyai harapan apapun juga di medan pertempuran
itu. Anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan sama sekali
tidak berdaya menghadapi rombongan orang-orang ngamen
itu, meskipun jumlah mereka jauh lebih banyak.
Karena itu, maka agaknya tidak akan ada harapan lagi.
Seandainya ia memberikan keputusan untuk bertempur
dalam tingkat tertinggi dan siap untuk saling membunuh,
bukan sekadar untuk menangkap saja, maka masih juga
diragukan, apakah para pengawal itu dapat menang atas
para pengamen itu. Jika ia memberikan aba-aba untuk
mempergunakan senjata, sementara para pengamen itu
juga melakukannya dan ternyata mereka mempunyai
kelebihan, akibatnya akan lebih parah lagi bagi para
pengawal. Dengan demikian, maka pemimpin pengawal itu pun
kemudian meneriakkan aba-aba untuk menghentikan
pertempuran. "Kami menghentikan pertempuran," berkata pemimpin
pengawal itu. "Tetapi bukan berarti bahwa kami telah
menyerah. Karena itu kami tidak akan menyerahkan senjata
kami. Bahkan jika perlu kami akan mempergunakan senjata
kami." 84 SH. Mintardja "Baiklah," jawab penari itu. "Apapun yang kau katakan,
tetapi aku setuju untuk menghentikan pertempuran ini."
Sejenak kemudian, maka anak-anak muda Tanah
Perdikan Sembojan itu berloncatan mundur seperti yang
diperintahkan oleh pemimpinnya lewat aba-aba perang.
Namun mereka masih tetap bersiaga. Bahkan beberapa
orang di antara mereka menjadi heran, bahwa mereka tidak
dibenarkan untuk mempergunakan senjata sebagaimana
dipesankan kepada mereka meskipun tugas mereka
terutama hanya menangkap dan tidak membunuh. Tetapi
dengan memberikan perlawanan seperti itu, maka mereka
dapat diselesaikan sebagaimana seorang pemberontak atau
penjahat. Selagi anak-anak muda itu terheran-heran, maka
pemimpinnya itu berkata, "Biarlah rombongan ini pergi."
Para pengawal itu terkejut. Seorang di antaranya
bertanya, "Kenapa?"
Pemimpin pengawal itu termangu-mangu. Namun
kemudian katanya dengan jujur, "Kita tidak usah mengelak
lagi dari kenyataan. Kita tidak akan dapat menangkap
mereka, karena kita tidak dapat menembus kemampuan
mereka." Seorang anak muda menyahut, "Kita dapat
mempergunakan senjata. Jangan batasi gerak kita dengan
sekadar menangkap. Jika mereka melawan, berarti mereka
telah memberontak, dan kita akan dapat membunuhnya."
Pemimpin pengawal itu menarik nafas dalam-dalam.
Namun kemudian katanya, "Apa yang dapat kita lakukan itu
tentu dapat mereka lakukan juga. Jika sampai saatnya kita
semua kehilangan pengendalian diri, maka senjata akan
benar-benar dapat membunuh, sedangkan kita tidak yakin
85 SH. Mintardja bahwa bukan kitalah yang terbunuh, tetapi orang-orang
yang kita anggap memberontak itu."
Anak-anak muda itu memang tidak dapat mengingkari
kenyataan. Dalam pertempuran tidak bersenjata, mereka
tidak mampu berbuat apa-apa. Jika mereka harus
bertempur dengan mempergunakan senjata, maka akan
berarti kemungkinan-kemungkinan yang lebih buruk akan
dapat terjadi. Orang-orang tua yang mereka anggap
mempunyai kemampuan apapun juga itu, ternyata adalah
orang-orang yang mengagumkan.
"Karena itu," berkata pemimpin pengawal itu, "Biarlah
mereka pergi. Bukankah yang penting bagi kita, Tanah
Perdikan ini tidak diganggu oleh kemungkinan buruk pada
hubungan antara keluarga."
Namun tiba-tiba orang tua itu yang menjadi
pengendangnya itu menyahut, "Jadi menurut dugaanmu,
setiap penari akan dapat merusakkan hubungan antara
keluarga" Mungkin memang pernah terjadi di Tanah
Perdikan ini sebagaimana aku dengar dari salah seorang di
antara kalian yang mungkin adalah justru pemimpin kalian,
bahwa sebuah keluarga telah dirusakkan oleh seorang
penari. Justru keluarga Kepala Tanah Perdikan ini."
"Tidak," dengan serta merta pemimpin pengawal itu
membantah, "Aku tidak berkata begitu. Aku hanya
mengatakan, bahwa istri Kepala Tanah Perdikan yang
sekarang juga seorang penari."
----------oOo---------- Bersambung ke Jilid 8. Naskah diedit dari e-book yang diupload di website Tirai
kasih http://kangzusi.com/SH_Mintardja.htm
Terima kasih kepada Nyi DewiKZ
86 SH. Mintardja Jilid Kedelapan Cetakan Pertama Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri:
Bagi sanak-kadang yang berkumpul / cangkrukan di
"Padepokan" pelangisingosari atau di
http://pelangisingosari.wordpress.com.
Keberadaan naskah ini tentu melalui proses yang
panjang, mulai scanning, retype " editing dan
layouting sehingga menjadi bentuknya seperti
sekarang ini. Admin mempersilahkan mengunduh naskah ini
secara gratis dengan harapan buku yang mulai langka
ini dapat dibaca oleh sanak kadang di seluruh
Nusantara bahkan di seluruh dunia (WNI yang ada di
seuruh dunia). Untuk menghargai jerih payah beliau-beliau yang
telah bekerja dengan ikhlas demi menghadirkan buku
ini, maka dilarang menggunakan untuk tujuan
komersiil bagi naskah ini.
satpampelangi Koleksi: Ki Arema dan Ki Truno Prenjak
Scanning: Satpampelangi dan Ki Truno Prenjak
Retype: Nyi Dewi KZ di Web http://kangzusi.com/SH_Mintard
ja.htm Edit ulang: Ki Arema Lay-out: Satpampelangi 87 SH. Mintardja 1 SH. Mintardja "O," orang tua itu mengangguk-angguk. "Jadi begitu.
Agaknya aku salah tangkap. Aku kira, karena kehadiran
penari itu, maka keluarga Kepala Tanah Perdikan ini
menjadi rusak. Kepala Tanah Perdikan itu ingin kawin
dengan penari yang cantik itu, tetapi dengan menyingkirkan
istrinya yang tua. Yang kemudian dinyatakan hilang.
Kemudian dengan leluasa ia dapat kawin dengan penari
jalanan itu. Apalagi setelah ayahnya, Ki Gede Sembojan,
meninggal dunia." "Tidak. Tidak begitu," teriak pemimpin pengawal itu,
"Kau jangan menyebarkan fitnah seperti itu."
"Aku tidak memfitnah. Aku hanya mengatakan, bahwa
ternyata aku salah mengerti. Aku mengira bahwa
demikianlah yang terjadi."
Pemimpin pengawal itu menjadi tegang. Namun
kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Sekarang pergilah. Jangan memasuki Tanah Perdikan ini
lagi demi keselamatanmu."
Pengendang yang tua itu menjawab, "Baiklah Ki Sanak.
Kami akan meninggalkan tempat ini. Agaknya Ki Wiradana
telah tersinggung oleh kehadiran kami, justru karena Nyai
Wiradana juga seorang penari jalanan. Atau barangkali Nyai
Wiradana yang tersinggung karena kehadiran kami dapat
mengungkit kembali kenangannya kepada masa
lampaunya." Pemimpin pengawal itu tidak menjawab. Kemungkinan
yang demikian memang ada. Tetapi agaknya Wiradana
ingin melepaskan kesan, bahwa penari itu adalah Iswari,
istrinya yang pernah hilang. Bukan karena sebab yang lain,
meskipun sebab yang lain itu mungkin pula dapat terjadi.
2 SH. Mintardja Sejenak kemudian, maka rombongan penari itu pun telah
berkemas. Mereka pun kemudian telah meninggalkan
Tanah Perdikan Sembojan, sementara para pengawal itu
mengamati mereka dengan jantung yang berdebaran.
Namun demikian rombongan itu hilang di kelok jalan,
dan obor kecilnya sudah tidak nampak lagi di mata para
pengawal, maka pemimpin pengawal itu menarik nafas
dalam-dalam. Namun salah seorang pengawalnya kemudian berkata,
"Sekelompok orang-orang gila yang berbahaya."
"Ya." jawab yang lain, lalu, "Tetapi apa yang harus kita
laporkan kepada Ki Wiradana tentang mereka?"
Pemimpin pengawal itu pun kemudian berdiri
menghadap kepada para pengawal sambil berkata, "Kita
dihadapkan pada satu keadaan yang tidak mungkin dapat
kita atasi. Kita tidak dapat ingkar bahwa kita tidak akan
dapat mengalahkan mereka."
"Kita belum mencoba mempergunakan senjata," jawab
salah seorang di antara mereka.
"Sudah aku katakan," jawab pemimpin pengawal itu.
"Mungkin bukan mereka yang akan menjadi korban ujungujung senjata, tetapi kita."
"Tetapi apa yang dapat kita katakan kepada Ki
Wiradana?" sekali lagi seorang pengawal bertanya.
Pemimpin pengawal itu menjadi bingung. Ia memang
harus mempertanggungjawabkan tugas yang dibebankan
kepadanya. Namun kemudian katanya, "Kita dapat mengatakan
kepada Ki Wiradana, bahwa kita tidak menemukan
rombongan penari itu. Kita dapat melaporkan bahwa ketika
3 SH. Mintardja kita tiba di padukuhan itu, rombongan penari itu telah
dipaksa untuk meninggalkan padukuhan oleh para
penghuni padukuhan itu sendiri. Kita berusaha untuk
menyusulnya. Tetapi kita tidak berhasil menemukan
mereka." Para pengawal itu saling berpandangan. Agaknya cara itu
dapat ditempuhnya demi keselamatan mereka. Mungkin Ki
Wiradana akan dapat mempercayainya dan tidak
mempersoalkannya lebih jauh.
Salah seorang di antara para pengawal itu berkata,
"Memang tidak ada yang tahu, apa yang telah terjadi.
Karena itu, kita semuanya harus ikut bertanggung jawab.
Hal ini tidak boleh diketahui oleh siapapun juga, sehingga
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jika salah seorang di antara kita membocorkan persoalan ini
dan kemudian terdengar oleh Ki Wiradana, maka kita
semuanya akan mengalami kesulitan."
"Ya," sahut pemimpin kelompok itu. "Kita semuanya
harus sejalan. Yang akan kita katakan harus sama kepada
siapapun juga. Bahkan kepada orang-orang terdekat di
antara kita. Ayah ibu kita, saudara-saudara kita dan
siapapun juga." Orang-orang dalam kelompok pengawal itu pun
kemudian berjanji bahwa mereka akan memegang rahasia
itu sebaik-baiknya, sehingga mereka tidak akan mengalami
kesulitan karena sikap mereka itu. Ki Wiradana tidak akan
percaya bahwa mereka tidak akan dapat mengalahkan para
penabuh gamelan dari sebuah rombongan penari jalanan
yang jumlahnya jauh lebih sedikit dari jumlah mereka
sendiri. Dengan kebulatan tekad itulah maka mereka pun
kemudian berbenah diri dan kembali ke induk padukuhan
Tanah Perdikan Sembojan. Seperti yang telah mereka
4 SH. Mintardja rencanakan maka mereka pun kemudian langsung mencari
Ki Wiradana di rumahnya untuk menyampaikan laporan
mereka. Tetapi agaknya Ki Wiradana tidak menunggu mereka dan
telah tertidur lelap, sehingga para pengawal itu harus
menunggu sampai besok. Dengan demikian maka para
pengawal itu pun sempat tidur di gardu, sementara para
peronda duduk sambil mengumpat-umpat di bibir gardu,
sementara beberapa orang pengawal yang lain telah
berbaring di amben yang ada di serambi gandok dan di atas
tikar pandan di pendapa. Waktu mereka memang tinggal sedikit sekali. Baru saja
mereka lelap, maka terasa seseorang telah membangunkan
mereka sambil membentak-bentak. Ternyata bahwa Ki
Wiradana telah terbangun lebih dahulu dari mereka.
"Apa yang kau kerjakan di sini he?" bentak Ki Wiradana
kepada pemimpin pengawal yang tertidur di pendapa. Rasarasanya baru saja ia memejamkan matanya. Namun
tergagap ia bangun. "Kenapa kau tidak memberikan laporan kepadaku, apa
yang kau lakukan semalam he?" bentak Wiradana pula.
"Maaf Ki Wiradana. Aku baru saja datang. Agaknya Ki
Wiradana pun baru saja lelap menurut para peronda,
sehingga kami tidak ingin mengganggu dengan
membangunkan Ki Wiradana. Maksudku kami akan
menunggu sampai Ki Wiradana terbangun," jawab
pemimpin pengawal itu. Ki Wiradana mengerutkan keningnya. Kemudian
katanya, "Kumpulkan kawanmu. Ceriterakan hasil yang kau
capai semalam." 5 SH. Mintardja Pemimpin pengawal itu menjadi berdebar-debar. Namun
kemudian ia pun telah mengumpulkan kawan-kawannya
yang tersebar. Kemudian mereka duduk di pendapa
bersama Ki Wiradana dengan rambut dan pakaian yang
masih kusut. Untuk beberapa saat, para pengawal itu memang masih
dicengkam oleh keragu-raguan. Apakah Ki Wiradana tidak
akan mengetahuinya jika mereka berbohong.
Namun akhirnya pemimpin pengawal itu pun
menceriterakan sebagaimana mereka merencanakan. Jika
Ki Wiradana tidak percaya, ia akan bertanya kepada anakanak muda padukuhan tempat rombongan penari itu kebar.
Anak-anak muda itu tentu akan mengatakan apa adanya,
bahwa sekelompok pengawal telah berusaha untuk
menyusul. Selanjutnya anak-anak padukuhan itu tidak tahu
apa yang terjadi. Mendengar laporan itu, wajah Ki Wiradana menjadi
merah. Kemarahannya telah
bergejolak membakar jantung. "Jadi kalian tidak dapat
menemukan rombongan penari itu?" bentak Wiradana. Para pengawal itu menjadi
berdebar-debar. Tetapi beban mereka akan lebih ringan jika mereka mengatakan, bahwa mereka tidak dapat menemukan rombongan penari itu, daripada jika mereka melaporkan
6 SH. Mintardja apa yang sesungguhnya terjadi. Ki Wiradana tentu tidak
akan percaya, bahwa mereka tidak dapat menangkap
rombongan penari itu. Sebenarnyalah Wiradana menjadi marah sekali. Tetapi
kemarahannya agaknya telah terbagi.. Tidak semata-mata
kepada para pengawal yang menurut pengakuannya gagal
menemukan rombongan penari itu, tetapi juga kepada
arang-orang di padukuhan tempat penari itu kebar.
Karena itu, maka Ki Wiradana pun telah memerintahkan
beberapa orang diantara para pengawal itu untuk pergi bersamanya ke padukuhan kecil itu.
"Berbenahlah" berkata Ki Wiradana, "setelah mandi aku
akan pergi ke padukuhan itu. Mungkin kau masih sempat
juga untuk mandi dan berganti pakaian. Tetapi cepat datang
kemari." Para pengawal itu pun kemudian meninggalkan rumah Ki
Wiradana. Ampat orang di antara mereka, termasuk
pemimpin pengawal itu harus menyertai Wiradana sesudah
berbenah diri. "Sebenarnya aku ingin tidur sehari penuh" berkata salah
seorang di antara ampat pengawal yang mendapat tugas
menyertai Ki Wiradana itu.
"Tugasmu masih setengah hari lagi" jawab kawannya.
Kawannya mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia
berbisik di telinga kawannya, "Jika kita berterus-terang,
mungkin kita sudah dapat beristirahat."
"Tentu tidak. Mungkin sehari penuh kita akan dibentakbentak, atau bahkan mungkin kita akan dihukumnya untuk
meronda Tanah Perdikan ini tiga hari tiga malam." jawab
kawannya. Lalu, "Lebih celaka lagi jika kita diperintahkan7 SH. Mintardja nya untuk mencari sampai ketemu dimanapun juga,
meskipun sudah berada diluar Tanah Perdikan dan
membawanya menghadap Ki Wiradana."
Pengawal itu mengangguk-angguk. Ta tidak membantah,
bahwa kemungkinan yang demikian akan dapat terjadi. Karena itu, maka ia pun kembali kepada pendapatnya semula,
bahwa apa yang telah dilaporkan oleh pemimpinnya kepada
Ki Wiradana adalah satu-satunya, cara yang paling baik
untuk melindungi diri mereka, meskipun dengan demikian
sebagian dari para pengawal itu masih harus menyertai Ki
Wiradana pergi ke padukuhan kecil tempat penari itu
mengadakan pertunjukan. Seperti yang diperintahkan oleh Ki Wiradana, maka setelah mandi dan berbenah diri serta makan pergi, maka
ampat orang diantara para pengawal itu termasuk
pemimpinnya telah kembali lagi ke rumah Ki Wiradana.
Mereka akan pergi bersama-sama untuk meyakinkan
kebenaran laporan para pengawal itu.
Tetapi, sebenarnyalah bahwa Ki Wiradana pun menjadi
sangat marah kepada orang-orang di padukuhan itu. Ketika
Ki Wiradana dan para pengawalnya sampai ke padukuhan
itu, maka dipanggilnya beberapa orang tua dan anak-anak
muda yang dianggap menjadi orang terpenting diantara
kawan "kawannya. Dengan nada keras Ki Wiradana bertanya, "Kenapa kalian biarkan rombongan penari itu pergi?"
Tidak seorang pun yang berani menjawab.
"Bukankah aku sudah memerintahkan bahwa mereka
harus ditangkap?" berkata Ki Wiradana pula.
Orang-orang itu hanya dapat menundukkan kepalanya
saja,. 8 SH. Mintardja "He, apakah semua orang disini bisu atau tuli he?" Ki
Wiradana mulai membentak-bentak.
Orang-orang itu menjadi semakin menunduk. Namun
seorang tua di antara mereka memberanikan diri untuk
menjawab "Ki Wiradana. Kami memang menyuruh
rombongan itu pergi. Kami tidak dapat menangkap mereka,
hanya karena, desas-desus bahwa penari mirip sekali
dengan Nyai Wiradana yang sudah tidak ada lagi. Apalagi
ketika kami menyaksikan, maka kami sama sekali tidak
mengambil satu kesimpulan bahwa penari itu memang
mirip dengan Nyai Wiradana. Ujudnya memang ada
kemiripan, tetapi wajahnya berbeda sama sekali. Jika kita
sempat mengamatinya barang sejenak, maka kita akan
segera mengetahui perbedaan itu."
"Itulah yang sangat penting bagiku, untuk meyakinkan
orang-orang Tanah Perdikan ini" berkata Ki Wiradana.
"Biarlah kami menjadi saksi" berkata orang tua itu, "kami
akan segera menyebarkan pendapat kami untuk mengimbangi desas-desus itu."
Ki Wiradana mengerutkan keningnya. Agaknya ia
memang tidak dapat berbuat banyak. Segala sesuatunya
sudah terlanjur. Sementara itu, maka ia pun mendapat
gambaran bahwa para pengawal yang memberikan laporan
kepadanya tentang rombongan itu pun tidak berbohong
kepadanya. Namun demikian Ki Wiradana masih juga berpesan
dengan nada geram, "Sekali ini memaafkan kalian. Tetapi
jika terjadi lagi hal seperti ini, bukan saja menyangkut
serombongan penari, tetapi hal-hal yang lain, maka aku
akan mengambil tindakan. Bukankah dengan demikian
ternyata bahwa kalian tidak mentaati perintahku."
9 SH. Mintardja Orang-orang padukuhan itu pun hanya dapat saling
berpandangan. Namun tidak seorang pun yang menjawab.
Para pengawal yang mengikuti Ki Wiradana dapat
menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Ki Wiradana tidak
mencurigai mereka. Ia membebankan kesalahan kepada
orang-orang padukuhan itu, sehingga kepada orang-orang
padukuhan itu pula Ki Wiradana melontarkan
kemarahannya. Setelah puas dengan pesan kemarahannya, maka Ki
Wiradana pun kemudian telah mengajak para pengawal itu
kembali. Namun dalam pada itu, demikian mereka sampai di
rumah Ki Wiradana, dan kemudian dengan geram pula ia
memerintahkan para pengawal itu untuk pulang, maka
pemimpin pengawal itu kemudian mengajak ketiga orang
kawannya untuk menelusuri yang ditempuhnya semalam.
"Untuk apa?" bertanya salah seorang di antara para
pengawal itu. "Aku hanya ingin melihat saja. Entahlah, ada sesuatu
yang mendorongku untuk melakukannya," jawab pemimpin
pengawal itu. Ketika kawannya pun kemudian tidak berkeberatan.
Sejenak kemudian maka kuda-kuda mereka pun telah
terpacu dengan cepat melintasi bulak-bulak. Namun
pemimpin pengawal itu telah membawa kawan-kawannya
melalui jalan yang lain, bukan jalan yang ditempuhnya
semalam. Namun akhirnya mereka harus menelusuri jalan bulak
yang sama. Di bulak itu mereka berhasil menyusul
rombongan penari tetapi yang tidak berhasil ditangkapnya
itu. 10 SH. Mintardja Keempat orang itu menjadi berdebar-debar ketika
mereka melihat beberapa orang petani yang berkerumunan
di pinggir jalan itu. Demikian keempat orang pengawal itu
mendekat, maka mereka pun telah menyibak.
Para pengawal itu kemudian menghentikan kuda mereka.
Dengan tangkas mereka pun telah berloncatan turun.
Pemimpin pengawal itu dengan berdebar-debar telah
bertanya kepada salah seorang di antara mereka, "Apa yang
telah terjadi?" "Lihatlah," berkata petani itu, "Tentu sesuatu telah
terjadi disini semalam."
"Apa yang terjadi?" bertanya pengawal itu.
"Entahlah. Tetapi sebagian dari tanaman kami telah
rusak meskipun tidak terlalu berat," jawab petani itu.
"Mungkin telah terjadi sesuatu yang pahit bagi rombongan
penari yang telah kita usir dari padukuhan kita itu."
"Apa yang terjadi atas mereka?" bertanya pemimpin
pengawal itu. Petani itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tetapi
sebelumnya belum pernah terjadi sebagaimana yang kami
angan-angankan. Namun demikian, bagaimana sekiranya
jika rombongan penari itu telah dicegat oleh sekelompok
orang yang tidak bertanggung jawab. Mereka tentu mengira
bahwa rombongan itu telah mendapatkan banyak uang.
Mereka tentu ingin merampas uang itu. Tetapi lebih sakit
lagi jika terjadi sesuatu atas penari yang cantik itu. Penari
yang seakan-akan tidak pernah bersalah. Yang menari
dengan jujur untuk sekadar mendapatkan beberapa keping
uang buat menyambung hidupnya serta keluarganya."
Pemimpin pengawal itu termangu-mangu sejenak. Tetapi
rasa-rasanya hatinya tersentuh juga. Namun ia tahu pasti,
11
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
SH. Mintardja bahwa rombongan penari itu tidak dirampok orang. Penari
yang cantik itu sama sekali tidak mengalami cidera. Bahkan
pemimpin pengawal itu telah dilemparkannya lewat di atas
tubuhnya yang merendah dan terbanting di tanah, sehingga
punggungnya terasa akan patah.
Meskipun demikian pemimpin pengawal itu bertanya,
"Bagaimana jika terjadi demikian, apa keberatanmu?"
"Kami akan merasa berdosa, karena kami telah
mengusirnya tanpa berbuat kesalahan. Kenapa mereka
harus pergi" Padahal mereka tidak berbuat apa-apa.
Sementara rombongan yang lain tidak pernah mendapat
perlakuan yang kasar seperti itu, bahkan penarinya telah
diangkat oleh Ki Wiradana menjadi istrinya," berkata petani
itu. "Kalian memang berdosa. Apalagi jika benar-benar
perempuan cantik yang menjadi penari itu mengalami
sesuatu. Bukankah kalian tidak berhak mengusirnya"
Bukankah kalian justru harus melindunginya dan
membawanya kepada Ki Wiradana?" berkata pengawal itu.
Petani itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia
pun menjawab, "Istilah yang kau pergunakan agak berbeda
Ki Sanak. Kau seharusnya mengatakannya, bahwa
rombongan itu harus ditangkap. Karena itulah maka kami
justru telah mengusirnya agar mereka tidak ditangkap.
Tetapi justru karena itu, kami telah berbuat kesalahan
sehingga rombongan itu mengalami bencana."
Pemimpin pengawal itu termangu-mangu. Namun dalam
pada itu salah seorang di antara para pengawal itu berkata,
"Kenapa kalian merasa begitu menyesal seandainya
rombongan itu mengalami kesulitan?"
12 SH. Mintardja "Sudah aku katakan,"
jawab petani itu. "Mereka
adalah orang-orang yang tidak bersalah. Dan lebih dari
itu, biarlah aku katakan meskipun ada orang lain yang mengingkarinya, bahwa
penari itu memang mirip sekali dengan Nyai Wiradana. Bahkan seakan- akan aku yakin akan hal itu."
"Bohong," bentak
pengawal yang lain. "Seorang
anak muda di gardu dan baru
saja kami bertemu dengan orang-orang padukuhanmu, mengatakan, bahwa hanya
ujudnya sajalah yang mirip. Tetapi wajahnya jauh berbeda
dengan wajah Nyai Wiradana."
Tetapi petani itu sama sekali tidak menarik
keterangannya. Bahkan dengan wajah yang tegang ia
menjawab, "Aku tidak peduli pendapat orang lain. Sudah
aku katakan, mungkin memang ada orang yang
mengingkarinya. Tetapi aku tidak. Aku tetap menganggap
bahwa penari itu mempunyai wajah yang mirip sekali
dengan Nyai Wiradana. Tetapi seandainya ia mempunyai
wajah yang mirip dengan Nyai Wiradana, apakah orang itu
dapat dianggap bersalah" Tidak. Orang itu mirip dengan
Nyai Wiradana, tetapi orang itu tidak bersalah sama sekali."
Pengawal itu menggeram. Kemarahan telah membayang
di wajahnya. Namun pemimpin pengawalnya mencegahnya
ketika orang itu melangkah mendekat. "Jangan kau
hiraukan. Ia dapat mengatakan apa saja. Mungkin apa yang
13 SH. Mintardja kau lihat, berbeda dengan sudut penglihatannya. Demikian
juga orang yang lain. Mungkin orang itu justru sudah lupa
akan wajah dan sifat-sifat Nyai Wiradana, sehingga ia
menganggap penari itu mirip sekali dengan orang yang
sudah dilupakannya itu."
"Aku masih ingat benar," potong petani itu.
"Diam kau," bentak pemimpin pengawal itu, "Aku sedang
berusaha melerai perselisihan ini. Jika kau nekad saja
dengan sikapmu tanpa mundur setapak pun, aku biarkan
pengawal itu mengambil sikap pula."
Petani itu mengerutkan keningnya. Namun ia mengerti
maksud pemimpin pengawal itu, sehingga dengan demikian
maka ia pun segera bergeser surut dan tidak mengatakan
apa pun juga. Sejenak kemudian, maka pemimpin pengawal itu pun
berkata, "Baiklah. Kami akan melanjutkan perjalanan.
Tidak dirampok orang apalagi penari cantik itu. Meskipun
aku belum melihat dengan jelas, karena hanya sekilas saja,
maka aku tidak dapat menyebutnya. Tetapi aku yakin
bahwa ia memang cantik."
"Kau pernah melihatnya?" tiba-tiba petani itu bertanya.
Pemimpin pengawal itu termangu-mangu. Namun
kemudian katanya, "Ya. Hanya sekilas. Jauh sebelum orangorang Tanah Perdikan ini mempersoalkan bahwa wajahnya
mirip dengan Nyai Wiradana. Ketika aku sedang ronda
maka aku melihat rombongan itu kebar di sudut sebuah
padukuhan." Petani itu mengangguk-angguk, sementara para
pengawal itu pun segera meneruskan perjalanan mereka.
Mereka sengaja tidak mengambil jalan kembali. Tetapi
14 SH. Mintardja mereka berjalan terus meskipun kemudian mengambil jalan
melingkar dan kembali ke rumah masing-masing.
Namun di sepanjang jalan mereka sempat berbincang
tentang satu alasan yang mungkin harus mereka
kemukakan jika datang laporan kepada Ki Wiradana bahwa
telah terjadi satu tindakan kekerasan di bulak di daerah
pinggiran Tanah Perdikan Sembojan.
"Mungkin rombongan itu justru telah dirampok," desis
salah seorang pengawal itu.
Pemimpinnya mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Alasan
sebagaimana dikatakan oleh petani itu."
Dengan demikian maka pendapat para petani Itu justru
telah diambil alih oleh para pengawal. Mereka akan
membuat dugaan, bahwa rombongan itu telah dirampok
orang seandainya ada laporan tentang kerusakan kecil pada
sawah dan ladang di pinggir jalan, satu tempat yang telah
dipergunakan sebagai arena perkelahian antara para
pengawal dan rombongan penari yang gagal ditangkap itu.
Tetapi agaknya laporan itu tidak sampai ke Wiradana.
Agaknya para petani itu hanya sekadar membicarakan
kerusakan itu di antara mereka sendiri. Bahkan sebagian
dari mereka justru menaruh belas kasihan kepada
rombongan penari yang mereka sangka telah dirampok
orang. Namun dalam pada itu, pemimpin pengawal yang gagal
menangkap rombongan penari itu tidak dapat mengingkari
penglihatannya sendiri. Bagaimanapun juga, penari itu
memang mirip sekali dengan Nyai Wiradana yang hilang
itu, seperti yang dikatakan oleh petani di tengah bulak, di
bekas tempat para pengawal bertempur dengan rombongan
itu. 15 SH. Mintardja Meskipun demikian pemimpin pengawal itu tidak dapat
mengatakan hal itu kepada para pengawal. Para pengawal
malam itu bertempur tanpa banyak menghiraukan penari
yang dipersoalkan itu, sehingga mereka tidak banyak
mengetahui, apakah perempuan itu mirip dengan Nyai
Wiradana atau tidak. Sementara itu untuk beberapa waktu lamanya, tidak ada
cerita tentang penari yang mirip dengan Nyai Wiradana itu.
Orang-orang yang sekali-kali masih berbicara tentang
perempuan itu, hanya sekadar berbisik-bisik di antara
tetangga mereka, karena semua orang Tanah Perdikan
Sembojan mengetahui, bahwa Ki Wiradana tidak senang
mendengar cerita tentang perempuan yang mirip dengan
istrinya yang hilang itu.
Namun dalam pada itu, Warsi sendirilah yang kemudian
masih saja merasa gelisah. Ia merasa seolah-olah
rombongan penari itu merupakan sindiran bagi
kehadirannya di Tanah Perdikan. Meskipun Warsi tidak
tahu persis, maksud dari rombongan penari itu, namun
bahwa penari itu mirip dengan Nyai Wiradana yang hilang
itu, seakan-akan merupakan satu kesengajaan dengan
maksud tertentu. Dengan demikian, maka ada kecurigaan pada Warsi,
bahwa yang dilakukan Wiradana terhadap istrinya itu telah
diketahui oleh seseorang. Atau setidak-tidaknya ada pihak
yang curiga terhadapnya. Karena itu, maka dengan caranya, Warsi pun telah
menyampaikan kepada Ki Wiradana kemungkinan itu.
"Apakah kau beranggapan demikian?" bertanya
Wiradana. 16 SH. Mintardja "Mungkin sekali kakang. Karena tiba-tiba saja Nyai
Wiradana itu telah hilang. Apapun yang kakang lakukan
atas istri kakang itu namun hilangnya telah menumbuhkan
persoalan," berkata Warsi dengan nada dalam.
"Hanya Serigala Betina itu sajalah yang mengetahuinya,"
desis Wiradana. Namun dengan demikian, maka ada keinginan Wiradana
untuk menemui perempuan itu lagi. Mungkin ia akan dapat
memberikan keyakinan, bahwa persoalan itu tidak
diketahui oleh siapapun juga kecuali Wiradana sendiri.
"Jika ternyata perempuan itu berkhianat dan
menceriterakan persoalan ini kepada orang lain, maka tidak
ada pilihan lain kecuali membunuhnya," berkata Wiradana
kepada diri sendiri. Dengan demikian, maka tanpa diketahui oleh orang lain,
maka Wiradana pun telah pergi ke padukuhan kecil di luar
Tanah Perdikan Sembojan. Ia ingin bertemu dengan
perempuan yang pernah dimintanya untuk membunuh
Iswari. Dalam malam yang gelap Wiradana menyusuri jalan kecil
yang jarang dilalui orang, apalagi di malam hari. Ia
berusaha untuk menghindari pertemuan dengan siapapun,
sehingga kepergiannya ke padukuhan itu tidak
menumbuhkan kecurigaan bagi siapapun juga.
Namun dalam perjalanan Wiradana selalu digelitik oleh
kegelisahan. Ada beberapa pertimbangan yang ingin
dilakukan. Apakah cukup baginya untuk mendapatkan satu
keyakinan yang lebih mantap bahwa Iswari telah dibunuh
tanpa ada orang lain yang mengetahuinya" Atau ia harus
bersikap lebih tegas lagi" Seandainya perempuan itu sampai
saat terakhir tidak mengatakan apapun juga kepada orang
17 SH. Mintardja lain, tetapi apakah pada hari-hari mendatang ia juga tidak
akan mengatakannya kepada siapapun juga"
Wiradana belum menemukan satu keputusan ketika ia
sudah memasuki regol tua sebuah rumah kecil yang dihuni
oleh perempuan yang pernah disebut Serigala Betina itu.
Bagaimanapun juga terasa jantung Wiradana
berdegupan. Sudah agak lama ia tidak berhubungan dengan
perempuan itu. Mungkin telah terjadi satu perubahan.
Tetapi menilik rumahnya, keadaannya dan suasananya,
rumah itu masih tetap seperti beberapa saat yang lalu ketika
ia mulai menghubungi perempuan itu.
Dengan hati-hati Wiradana melangkah mendekati pintu.
Kemudian perlahan-lahan ia mengetuk pintu rumah itu. Ia
sadar bahwa perempuan itu adalah perempuan yang
berbahaya, yang pernah ikut dalam sebuah gerombolan
yang ditakuti. Tetapi bagi Wiradana perempuan itu bukan perempuan
yang pantas ditakuti. Betapapun berbahayanya Serigala
Betina itu, namun bagi Wiradana ia tidak banyak berarti.
Wiradana memiliki ilmu dan kemampuan yang jauh lebih
tinggi dari perempuan itu. Sebagaimana diyakini oleh
Wiradana, bahwa perempuan itu sangat takut kepadanya.
Untuk beberapa saat Wiradana menunggu. Tetapi belum
ada jawaban dari dalam. Sementara itu lampu minyak yang
remang-remang nampak melontarkan cahayanya lewat
dinding-dinding yang berlubang.
Sekali lagi Wiradana mengetuk pintu rumah itu. Lebih
keras. 18 SH. Mintardja Agaknya perempuan itu tertidur nyenyak. Ketukan yang
semakin keras membangunkannya, sehingga sejenak
kemudian maka terdengar suara dari dalam, "Siapa diluar?"
"Aku Nyai," jawab Wiradana.
"Siapa?" bertanya suara dari dalam pula.
"Aku Wiradana," jawab Wiradana pula.
"Ki Wiradana dari Sembojan?" bertanya yang berada
didalam. "Ya. Ada berapa Wiradana yang kau kenal he?" jawab
Wiradana yang menjadi tidak sabar lagi.
"O," suara di dalam itu terdengar berdesah, "Apakah ada
keperluan yang sangat penting Ki Wiradana?"
"Buka pintumu Nyai," geram Wiradana, "Jangan banyak
tingkah. Kau tahu, jika aku datang di malam begini, maka
tentu ada kepentingan yang tidak dapat ditunda."
"Aku sedang sakit Ki Wiradana," suara di dalam memang
terdengar gemetar. "Bangun pun terasa sangat sulit."
"Tetapi buka pintumu," Wiradana hampir membentak.
Terdengar lagi desah di dalam. Tetapi kemudian
terdengar amben berderit. Sejenak kemudian desir langkah
seseorang mendekati pintu. "Aku sedang sakit," suara itu
menjadi semakin gemetar. Ki Wiradana menunggu sejenak. Tiba-tiba saja timbul
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sesuatu di dalam hatinya. Perempuan itu sedang sakit,
sementara perempuan itu merupakan duri di dalam
dagingnya. Setiap saat ia akan dapat berkhianat. Mungkin
dengan maksud tertentu, tetapi mungkin juga karena
terpaksa. 19 SH. Mintardja Karena itu, seandainya perempuan itu dilenyapkannya
saja, maka agaknya ia tidak akan menambah persoalan
baginya kelak, atau setidak-tidaknya dapat mengurangi
beban kegelisahannya disetiap saat.
Sebelum Ki Wiradana mendapatkan suatu keputusan,
maka terdengar selarak pintu sudah dibuka. Perlahan-lahan
pintu itu pun terdorong ke samping. Dalam keremangan
lampu minyak yang suram, Wiradana melihat seseorang
yang berkerudung rangkap.
"O," desah perempuan itu dengan suara yang gemetar,
"Marilah masuk Ki Wiradana. Tubuhku terasa dinginnya
bukan main. Jika aku terlalu lama berdiri disini, aku akan
dapat jatuh pingsan. Perempuan itu tidak menunggu Ki Wiradana menjawab.
Dengan langkah yang gemetar pula ia berjalan ke sebuah
amben di ruang tengah rumahnya yang kecil. Sambil duduk
di bibir ambennya ia mempersilakan sekali lagi, "Marilah Ki
Wiradana." Wiradana memang sudah berdiri di dalam ruang itu. Ia
pun kemudian menutup pintu rumah kecil itu dan
menyelarakkanya sama sekali.
Selangkah ia pun kemudian mendekati perempuan yang
menggigil dan mengerudungi tubuhnya rapat-rapat itu.
Agaknya perempuan itu memang sedang kedinginan.
"Duduklah," perempuan itu mempersilakan tamunya
dengan suaranya yang mengambang tetapi bergetar.
Ki Wiradana termangu-mangu. Suara perempuan yang
kedinginan itu sama sekali tidak dikenalnya sebagai suara
Serigala Betina. Namun agaknya Serigala Betina yang
sedang sakit itu, tidak dapat berbicara dengan wajar,
sebagaimana kebiasaannya. Lantang dan tegas.
20 SH. Mintardja Wiradana maju lagi selangkah. Tetapi ia tidak duduk di
amben itu. "Apakah Ki Wiradana akan memberikan tugas lagi
kepadaku" Mungkin Ki Wiradana sudah jemu dengan
penari itu dan harus dibunuhnya pula?" bertanya
perempuan itu dengan suara tersendat-sendat.
"Tutup mulutmu," geram Ki Wiradana. "Dengar
perempuan liar. Aku datang untuk meyakinkan, apakah
benar-benar kau sudah melakukan tugasmu dengan baik."
"Tugas yang mana?" bertanya perempuan itu. Suaranya
hampir melengking, sementara ia membetulkan
kerudungnya, sehingga seluruh tubuhnya telah didekap oleh
selimut kain panjang yang rangkap-rangkap.
"Membunuh Iswari," jawab Ki Wiradana.
"Bukankah Ki Wiradana sudah yakin dan yang sampai
sekarang ternyata tidak ada akibat apapun juga yang
meragukan?" bertanya perempuan itu.
"Tetapi kabar tentang penari yang mirip dengan Iswari
itu membuat aku ragu-ragu," geram Wiradana. "Apalagi kita
Terbang Harum Pedang Hujan 2 Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja Pedang Golok Yang Menggetarkan 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama