Mengingat bahwa sakit hatinya bakal terbalas, tanpa terasa
Liau-in girang sekali. Pada saat itu pikiran Liau-in berubah,
yang ia pikirkan adalah menggusur Li Gwan ke Pakkhia, soal Li
Gwan mau menurut atau tidak, sudah tidak ia peduli lagi.
Selang tak lama, perlahan-lahan Li Gwan sadar, demi
melihat Liau-in sedang cengar-cengir di sampingnya dengan
gembira sambil memegang secarik kertas, seketika Li Gwan
mandi keringat dingin, ia insaf urusan rahasianya sudah
terbongkar, maka dengan mati-matian dan sekuat tenaga
segera ia melompat bangun, tetapi belum sampai ia berbuat
lebih jauh mendadak Liau-in sudah mendahului mendorongnya
perlahan, di tengah suara tertawa dingin Liau-in, kembali Li
Gwan terjatuh roboh. "Apa yang hendak kau lakukan?" bentak Liau-in kemudian.
"Suheng, bukankah kau adalah bangsa Han?" teriak Li
Gwan. "Kalau bangsa Han, memangnya kenapa?" sahut Liau-in.
"Kalau kau bangsa Han, maka hendaklah kau kembalikan
surat itu padaku." "Fui, paling betul kaulah yang ikut aku ke Pakkhia!"
damprat Liau-in. "Apakah sama sekali kau sudah melupakan apa yang
dipesan Suhu?" tanya Li Gwan pula.
Mendengar Sutenya menonjolkan nama Suhu mereka, Liauin
tertawa terbahak-bahak. "Haha, dimana Suhu kini" Suhu
sudah mati, maka sekarang akulah Suhu kamu sekalian!"
"Bagus, Liau-in!" teriak Li Gwan dengan murka. "Kalau
begitu, boleh kau bunuh saja diriku!"
"Hm, apa susahnya jika kau ingin mampus," sahut Liau-in
mengejek. "Kau tentu sudah kenal kelihaianku, kau ingin aku
menggunakan cara 'Hun-kin-cho-kut-hoat' untuk mematahkan
miangmu, atau kau minta aku memakai cara Tiam-hiat-hoat
supaya mayatmu tetap utuh, malahan masih bisa hidup lebih
lama tiga hari lagi?"
Kedua macam siksaan yang disebut itu adalah cara yang
sangat lihai dan kejam, fHun-kin-cho-kut' atau memisahkan
otot dan membikin keseleo tulang, lebih mengerikan daripada
orang dicincang, tetapi orang ditutuk dengan cara yang kejam,
penderitaan pun luar biasa, ingin hidup tidak bisa, mohon
dibinasakan pun tidak mungkin. Li Gwan berasal dari keluarga
mampu, demi mendengar ancaman tadi, ia menjadi ngeri dan
bergidik. Melihat muka orang rada pucat, Liau-in mengerti
gertakannya telah membawa hasil. "Kau sudah berpikir terang
belum?" desaknya lagi dengan t?rtawa.
Akan tetapi sekalipun dalam keadaan terancam, Li Gwan
yang telah banyak membaca kitab kuno, teringat pada
pribahasa lama yang maksudnya 'sejak dulu manusia mana
yang tidak mati, lebih baik meninggalkan nama harum
sepanjang masa". Karena itu, seketika ia menjadi berani dan
tabah kembali. "Tidak usah banyak omong, jika aku takut mati, tidak perlu
aku dihitung seorang dari Kanglam-chit-hiap lagi!"
dampratnya. Melihat orang tetap membandel, Liau-in tertawa
mendengus, ia tarik Li Gwan ke dekatnya, ia angkat telapak
tangannya yang lebar terus hendak meremas kuduk Li Gwan.
Dalam keadaan demikian, tanpa gentar Li Gwan pejamkan
matanya menantikan ajal. Akan tetapi mendadak ia dengar
Liau-in membuka suara lagi dengan tertawa.
"Sayang mulai hari ini Kanglam-pat-hiap akan tinggal tujuh
orang saja. Kau selalu berkata taat pada pesan ajaran Suhu,
maka bolehlah kau pergi menemui Suhu saja! Ha, tempat ini
justru dekat dengan Bin-san, inginkah aku menguburkan kau
di samping makam Suhu?"
Mendengar Liau-in menyebut Suhu, pikiran Li Gwan jadi
tergerak, ia teringat bahwa dari sini menuju ke Bin-san, besok
pagi saja sudah bisa sampai di pegunungan itu, ia teringat
pula saudara-saudara seperguruannya bakal berkumpul di Binsan.
Karenanya ia lantas balik pikiran, walaupun ia tidak
gentar binasa, tetapi selama masih ada harapan hidup, tidak
boleh melepaskan kesempatan ini.
Sementara itu, tangan Liau-in sudah menempel ke lehernya
dan sedang merandek sejenak, maka Li Gwan lantas berseru,
"Suheng, baiklah aku tunduk padamu!"
Mendengar Sutenya mau menyerah, -Liau-in bergelak
tertawa sambil mengendorkan tangannya.
"Ha, putra bangsawan ini ternyata tidak tahan gertakanku!"
ia membatin dalam hati. "Aku akan ikut kau ke Pakkhia, tetapi harap kau jangan
bikin susah Can-losiansing," demikian Li Gwan memohon.
"Hm, urusan ini kelak saja dibicarakan lagi, asal kau mau
menuruti omonganku, mungkin aku bisa mengampuni dia,"
sahut Liau-in. Kemudian Liau-in lantas bertanya pula cara bagaimana
Pang Lin bisa sejalan dengan dia, maka dengan terus terang Li
Gwan menceritakan pengalamannya.
Liau-in tahu Sutenya ini sudah berpuluh tahun tidak pernah
meninggalkan rumahnya, ia menduga apa yang diceritakan
tidak nanti berbohong, maka ia tidak bertanya lebih jauh, ia
lantas menggiring Sutenya ini berangkat.
Esoknya menjelang lohor mereka sudah sampai di bawah
Bin-san, mendengar suara gemuruh air sungai Kuning
(Huangho) yang mendampar keras, Bin-san dengan megahnya
tertampak berdiri di depan mata. Liau-in jadi teringat pada
waktu yang lalu tatkala ia belajar silat di atas gunung ini,
tanpa terasa ia memandang pula ke sekitar pegunungan
sambil membayangkan kejadian dulu.
"Suheng, hari ini jatuh hari apakah?" tiba-tiba Li Gwan
bertanya. "Siapa yang telaten mengingatnya?" sahut Liau-in aseran.
"Bukankah hari ini adalah hari Ching-bing (hari menengok
kubur lelehur)!" ujar Li Gwan.
Liau-in coba menghitung, betul juga apa yang dikatakan
sang Sute. "Ada apa, kalau Ching-bing?" tanyanya kemudian.
"Ya, sejak Suhu mangkat, beberapa kali Siaute berniat
mengunjungi makamnya, tapi selalu terhalang oleh urusan
rumah tangga sampai sekarang baru betul-betul terkabul,
sungguh aku merasa malu sekali," kata Li Gwan lagi. "Hari ini
kebetulan hari raya Ching-bing dan kita justru lewat di sini,
Siaute mohon Suheng suka berlaku murah hati dan
memperkenankan aku berziarah ke makam Suhu."
Mendengar kata-kata Sutenya, muka Liau-in menjadi
merah, ia pun merasa jengah karena teringat sejak gurunya
mangkat, ia sendiri pun belum pernah berziarah ke kuburan
sang guru. Sungguhpun terhadap meninggalnya Tok-pi Sin-ni,
sedikitpun Liau-in tidak peduli, tetapi bagaimanapun juga Tokpi
Sin-ni adalah guru yang banyak menanam budi atas dirinya,
kini ia lewat gunung ini dan justru jatuh hari Ching-bing pula,
tanpa terasa timbul juga keinginannya hendak berziarah ke
makam gurunya. "Baiklah, mari kita bersama-sama bersembahyang ke atas
gunung." Lalu dengan masih mencekal tangan Li Gwan, menujulah
mereka ke Bin-san. Hari-hari musim semi di Bin-san, pemandangan alam luar
biasa indahnya, seluruh gunung penuh dengan bunga
pegunungan yang mekar semarak dengan aneka warnanya.
Liau-in dan Li Gwan meneruskan perjalanan, akhirnya
sampailah mereka di atas puncak utama, air terjun yang
terdapat di puncak ini sedang menghamburkan airnya dengan
menimbulkan butiran busa'yang gemilapan laksana mutiara
terkena sorotan sinar matahari.
Sekalipun Liau-in sudah kelelap oleh kehidupan mewah di
kota, tapi tidak urung semangatnya menjadi segar juga.
Waktu ia menengadah, ia masih ingat betul puncak gunung
yang menonjol di depan adalah tempat gurunya mengajarkan
Ginkang dahulu, cuma karena dasarnya kurang sempurna
terpupuk, maka kepandaian itu selalu tidak dapat ia latih
sampai puncak kemahiran. Pada batu besar di tepi air terjun
sebelah sana itu dulu adalah tempat yang sering dibuat
mencoba tongkatnya, tentu di atas batu itu masih terdapat
bekas pukulan tongkatnya.
Begitulah sambil jalan Liau-in merenungkan semua kejadian
dulu. Tak lama kemudian mereka sampai di atas puncak
tertinggi. Tertampak dua ekor burung rajawali piaraan Tok-pi Sin-ni,
seekor berwarna hitam dan yang lain putih, sedang terbang
mengitar di angkasa sembari mengeluarkan suara cuitan,
rupanya seperti sedang menyambut datangnya tetamu.
"Siau-oh, Siau-pek!" Liau-in coba menyapa kedua binatang
itu. Akan tetapi kedua rajawali hitam-putih itu tiba-tiba
melayang lewat saja di atas kepala Liau-in.
"He, mengapa Siau-oh dan Siau-pek juga tidak mengenal
aku lagi!" kata Liau-in di dalam hati.
Tetapi ia lantas ingat bahwa dirinya kini sudah berupa
orang yang berumur hampir enam puluh, berpisah dengan
gunung inipun sudah lebih dari dua puluhan tahun. Siau-oh
dan Siau-pek (si hitam kecil dan si putih kecil) kini sudah harus
juga disebut 'Lau-oh dan Lau-pek' (si hitam tua dan si putih
tua). Di samping lain, demi nampak munculnya kedua burung
rajawali itu, seketika semangat Li Gwan terbangun, segera ia
percepat langkahnya, maka sesudah melalui jalanan
pegunungan yang diapit dua baris pohon Gui, tertampaklah
tanah kuburan gurunya dari jauh.
"Eh, di sana ada orang," tiba-tiba Liau-in berkata. "Agaknya
saudara perguruan yang lain juga berziarah ke sini."
Belum hilang suaranya, mendadak Lu Si-nio dan Kam
Hong-ti sudah muncul berbareng.
Keruan Liau-in terkejut, segera ia hendak menjambret Li
Gwan, namun Sutenya ini sudah keburu melompat pergi.
Terdengar Lu Si-nio bersuit, maka kedua rajawali hitam-putih
tadi mendadak menubruk dari atas udara terus mencakar
Liau-in. Liau-in menjadi gusar, ia pikir kedua binatang ini benarbenar
kurangajar hanya mau menurut pada perintah Lu Si-nio
dan menyerang dirinya, segera tongkatnya diayunkan ke atas
sambil membentak, "Kau binatang inipun hendak menghina
aku!" Karena gerak tongkatnya yang hebat, kedua ekor rajawali
itu tidak berani menubruk ke bawah, hanya sekali menyambar,
kembali kedua binatang ini membal ke angkasa pula.
Akan tetapi justru dalam sekejap itulah, dengan
mengacungkan pedangnya ke depan Lu Si-nio berhasil
mengadang ke tengah dan menyelamatkan Li Gwan.
Saking gusarnya hingga mata Liau-in berapi, akan tetapi
sikapnya" ini diganda senyum oleh Lu Si-nio, sementara itu di
atas pegunungan sudah tampak berjajar sekelompok manusia
yang tinggi dan pendek, kurus dan gemuk, bukan saja enam
orang Sutenya yang lain tertampak lengkap, bahkan
Kwantang-si-hiap dan Thi-cio-sin-tan Nyo Tiong-eng dan
kawan-kawan pun hadir seluruhnya,
"Hm, Liau-in akhirnya kau datang juga?" terdengar Jisutenya,
Ciu Sun, menegur dengan sikap dingin.
Dalan, pada itu Li Gwan sudah menemui semua saudara
seperguruannya, kemudian baru diketahuinya bahwa gadis
yang menolong dia tadi bukan lain adalah murid penutup
mendiang gurunya yang bernama Lu Si-nio. Keruan ia merasa
heran sekali. Sementara itu Kam Hong-ti telah mengetahui pundak Li
Gwan terluka, ia lantas bertanya sebab musababnya dan oleh
Li Gwan lantas diceritakan pengalamannya. Keruan Kam
Hong-ti menjadi gusar sekali atas sepak terjang Liau-in.
"Ji-ko (kakak kedua), dia sudah jadi orang besar dan
banyak urusan, mana mungkin ada tempo buat berziarah ke
makam sini," ia berkata pada Ciu Sun, "kedatangannya ini
hanya kebetulan saja, ia sedang menggiring Lak-ko (kakak
keenam) ke kotaraja untuk menerima hadiah, karena melalui
tempat ini, Lak-ko mohon 'kemurahan hatinya' buat naik
gunung sini, ia kuatir 'tawanan' kabur, maka ia lantas ikut
datang ke sini." Mendengar dirinya diolok-olok, muka Liau-in menjadi merah
lerus menjadi pucat biru saking murkanya, sekali sabet
dengan tongkatnya, ia hantam remuk sebuah batu
pegunungan di sampingnya.
"Hong-ti, kau sedang berbicara dengan siapa?" dampratnya
dengan gusar. Akan tetapi dengan muka merengut Kam Hong-ti tidak
gubris tegurannya, ia tidak menjawab.
"Baik sekali dengan kedatanganmu ini, hayo, boleh kau
bicara di hadapan makam Suhu sana," demikian Ciu Sun buka
suara lagi. Ajakan ini tidak membikin Liau-in mengkeret, dengan
menjinjing tongkatnya ia berjalan di depan menuju ke makam
gurunya dengan lagak angkuh, sedang dalam hati ia sedang
memikirkan dayaupaya buat meloloskan diri.
Tidak lama kemudian sampailah mereka di tanah
pekuburan itu, terlihat oleh Liau-in di atas bongpay (batu
nisan) kuburan gurunya itu tertulis, "Di sini bersemayam putri
dinasti Beng yang lalu, pendekar paderi dari dunia persilatan",
sedang di pojok bawah batu nisan tertulis nama-nama anak
muridnya, Ciu Sun, Loh Bin-ciam, Cho Jin-hu, Pek Thay-koan,
Li Gwan, Kam Hong-ti dan Lu Si-nio bertujuh, hanya nama
Liau-in sendiri yang tidak dicantumkan.
Karena itu kembali Liau-in naik darah, ia ketok tongkatnya
ke tanah dan bertanya dengan gusar, "Atas usul siapa batu
nisan ini didirikan dan tulisan di atasnya ini siapa yang
mengarang?" "Akulah yang mendirikan sesudah meminta persetujuan
semua saudara seperguruan," sahut Kam Hong-ti tak gentar.
"Sedang tulisan di atas bongpay dilakukan oleh Loh-samko
dengan dukungan semua saudara seperguruan, kau mau
apa?" "Mengapa kau tidak tanya pendapatku dulu" Dan mengapa
di atas bongpay (nisan) tiada namaku pula?" damprat Liau-in.
Akan tetapi kembali Kam Hong-ti tidak gubris padanya, ia
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tutup mulut tidak menjawab. Maka Ciu Sun lantas buka suara
lagi, "Kini kita semua sudah berkumpul, marilah kita mulai
menjalankan penghormatan berurut-urutan!"
Begitulah mereka bertujuh lantas berjajar berbaris dengan
dipimpin oleh Ciu Sun di depan.
Selagi mereka hendak menjalankan "upacara
penghormatan, sekonyong-konyong Liau-in melompat maju ke
depan, dengan sekali dorong, ia desak Ciu Sun ke samping,
sedang ia sendiri lantas menggantikan tempat paling depan,
sebab ia anggap dirinya adalah Toasuheng, saudara
perguruan paling tua. Tak terduga, ia memang cepat, tetapi Lu Si-nio terlebih
cepat daripada dia, saat itu juga Lu Si-nio melayang ke atas
terus mendahului mengadang di depan kuburan gurunya,
dengan pedang melintang di dada ia merintangi orang.
"Kami seperguruan hendak bersembahyang, maka dengan
hormat menolak orang luar ikut serta," Lu Si-nio berkata
secara dingin. "Jika kau ingin bersembahyang juga dan paykui,
kau harus tunggu dulu setelah kami selesai. Apa sedikit
peraturan ini saja kau tidak paham?"
Keruan Liau-in berjingkrak oleh kata-kata Lu Si-nio. "Dunia
terbalik, dunia terbalik!" ia berteriak dengan murka. "Tatkala
aku masuk pintu perguruan, waktu itu mungkin kau lahir saja
belum, tetapi kini sebaliknya kau berani merintangi aku!"
Sementara itu Ciu Sun lantas melompat ke atas sebuah
batu cadas dan buka suara pula, "Dengan sepakat para anak
murid Tok-pi Sin-ni telah menuturkan segalanya di hadapan
makam Suhu, murid murtad Liau-in telah diusir keluar dari
pintu perguruan. Kebetulan kini para Bu-lim-cianpwe juga
berada di sini, maka hari ini kami umumkan secara resmi!"
Sampai di sini Liau-in mendadak juga melompat ke atas
batu dimana Ciu Sun berdiri, namun kembali ia didahului Lu
Si-nio lagi, gadis ini sudah berdiri mendampingi Jisuhengnya.
Karena itu dengan bebas Ciu Sun lantas meneruskan lagi
pengumumannya. "Karena murid murtad Liau-in telah mengkhianati guru dan
ingkar sumpah suci, kami hari ini menuruti ajaran guru dan
melakukan pesan tinggalan beliau, membikin pembersihan
pintu perguruan sendiri. Hendaklah para Bu-lim-cianpwe yang
ada di sini suka memberi kesaksian."
Habis Ciu Sun berkata, segera pula Kam Hong-ti
membentak, "Liau-in, apakah masih perlu kami turun tangan?"
Umumnya di kalangan Kangouw bila ada yang sedang
membikin pembersihan pintu perguruan bagi Suhu yang sudah
meninggal, tindakan pertama adalah diambil keputusan oleh
para anak murid dan memecat murid murtad keluar dari
perguruan, habis itu baru murid yang berkhianat itu mengaku
berdosa di hadapan abu pemujaan sang guru, diri sendiri
mengakui dosa. Jika dosa yang dia tetapkan sendiri terlalu
enteng, maka saudara perguruan yang lain ada liak buat
membetulkan. Bila ia tidak terima, maka saaudara perguruan
lain yang mana saja ada hak buat membunuhnya.
Hari ini Liau-in secara tak sengaja seperti 'ular cari gebuk',
ia lelah antarkan nyawa sendiri, maka Kanglam-chit-hiap
dalam sehari saja bisa selesaikan dua urusan sekaligus.
Begitulah, maka demi mendengar bentakan Kam Hong-ti
tadi, Liau-in tertawa dingin beberapa kali, lalu mendadak ia
melompat balik, tongkatnya terus berputar dengan cepat.
Lekas Loh Bin-ciam dan Pek Thay-koan menyingkir
menghindarkan sambaran tongkat orang, karena itu dengan
sekali melayang Liau-in lantas menerjang keluar, ia lari
mendaki ke puncak gunung di sebelah kiri.
Di situ adalah tempat para tetamu 'peninjau' yang terdiri
dari Kwantang-si-hiap, Cho Kim-ji, putri Cho Jin-hu, bersama
dengan Hi Yang, mereka sedang bersandar di atas batu
pegunungan dan lagi bercakap-cakap dengan suara rendah,
ketika mendadak Liau-in menerjang datang, dalam terkejutnya
Hi Yang berteriak kaget terus melolos golok sambil melompat
pergi, adalah Cho Kim-ji yang tak keburu menghindarkan diri,
adalah yang pertama-tama menghadapi terjangan Liau-in,
tanpa ampun ia dicengkeram oleh Liau-in.
"Hayo, siapa berani naik ke sini!" segera Liau-in
mengancam dengan masih mencengkeram Cho Kim-ji.
Kam Hong-ti menjadi gusar, matanya berapi, ia murka atas
kelicikan orang. "Liau-in! Kau punya muka atau tidak?" segera
ia berteriak. "Dekat ajalmu masih kau coba menghina kaum
muda!" Namun Liau-in sudah tidak pikirkan tentang sopan-santun
kalangan Kangouw lagi, terdengar ia bergelak tertawa sambil
mengayun tubuh Cho Kim-ji.
"Cho Jin-hu, usiamu sudah sekian banyak, tentunya kau
tidak berpandangan seperti mereka, coba kaulah yang tampil
ke muka buat bicara secara adil!" dengan tertawa dingin ia
berkata. Di antara sesama saudara seperguruan mereka, Cho Jin-hu
terhitung nomor empat, tetapi usianya terhitung paling tua,
bahkan dua tahun lebih tua dari Liau-in. Cho Kim-ji adalah
putri satu-satunya, sudah tentu ia sayang dan memanjakan
sekali. Untuk putrinya ini pernah jauh-jauh ia melawat ke
Sinkiang buat memohon Ie Lan-cu suka menerima Kim-ji
sebagai murid. Tetapi permohonan ini tidak diluluskan Ie Lancu,
belakangan hanya diajarkan pada Kim-ji suatu ilmu pedang
dan beberapa jurus pukulan lihai.
Kini nampak putrinya berada di bawah cengkeraman Liauin,
Cho Jin-hu menjadi cemas tercampur kuatir. "Liau-in, apa
kau ini manusia?" katanya dengan suara terputus-putus saking
cemasnya. Namun Liau-in tidak menghiraukan olok-olok orang, ia
masih tertawa dingin. "Apa yang diputuskan para saudara seperguruan tadi
sedikit-pun tidak salah," kata Cho Jin-hu pula dengan murka.
"Sekalipun Kim-ji tewas di tanganmu, aku tetap berkata juga
kau adalah murid pengkkhianat, murid murtad!"
Di antara suara dampratan Cho Jin-hu ini, sekonyongkonyong
terdengar Liau-in berteriak tajam, menyusul tampak
ia lemparkan Cho Kim-ji ke dalam jurang yang curam sekali.
Waktu itu juga, berbareng Kam Hong-ti dan Pek Thay-koan
menghamburkan senjata rahasia mereka yang berupa belati
dan Bwe-hoa-ciam, tetapi dengan ketangkasan Liau-in, mana
bisa senjata rahasia itu mengenai dia.
Menyaksikan Kim-ji terlempar ke dalam jurang, semua
orang menjerit berbareng, sedang Cho Jin-hu hampir saja
jatuh pingsan. Di lain pihak mendadak tertampak Lu Si-nio
secara cepat dan gesit melompat juga ke bawah jurang,
sedang muka Liau-in kelihatan pucat lesi.
"Bagus sekali, kalian kaum kurcaci ini boleh coba
mempeda-yai aku!" terdengar Liau-in berteriak.
Kam Hong-ti sudah tidak tahan lagi, ia cabut goloknya terus
menerjang maju, segera ia akan saling gebrak dengan Liau-in.
Waktu itu juga dari pinggang gunung tiba-tiba tertampak
bayangan baju orang melambai-lambai tertiup angin.
"Eh, Pat-moy sudah naik kembali, ia memondong seorang,"
terdengar Pek Thay-koan buka suara dahulu.
Sementara itu dalam sekejap saja, tertampak Lu Si-nio
sudah naik ke atas lagi dengan memondong tubuh Cho Kim-ji,
dengan cepat Cho Jin-hu lantas memapaknya.
"Tidak apa-apa!" ujar Lu Si-nio.
Waktu Cho Jin-hu merangkul putrinya dan dilihat, ternyata
hanya kaki tangannya saja yang terdapat sedikit lecet dan
darah menodai bajunya, tetapi jiwanya tidak berbahaya.
Saking girang dan terharunya, Cho Jin-hu meneteskan air
mata. Kiranya Cho Kim-ji punya tabiat keras, ia tidak sudi menjadi
barang jaminan bagi Liau-in, meski ilmu silatnya jauh sekali
dibanding Liau-in, tapi pada saat genting ini, tiba-tiba ia ingat
satu jurus pukulan lihai penolong jiwa di waktu berbahaya,
asal ajaran Ie Lan-cu, mendadak ia angkat kaki terus
mendepak, dengan tepat ia depak urat nadi berbahaya di
tubuh Liau-in, karena serangan ini, terpaksa Lian-in harus
melemparkan tubuh Cho Kim-ji, syukur Lu Si-nio yang ilmu
entengkan tubuhnya mahir luar biasa, di saat ia
menggelundung ke bawah jurang. Lu Si-nio masih dapat
menyusul dan sempat meraih tungkak kakinya hingga jiwanya
tertolong. Dalam pada itu, karena perbuatannya yang kejam tadi,
Liau-in makin dibenci dan menimbulkan kegusaran para tokoh
yang hadir. "Liau-in, kau pengecut, apa kau masih punya muka untuk
terus berdiri di sini?" Kam Hong-ti kembali membentaknya.
Liau-in selalu anggap dirinya sebagai seorang ksatria, mana
ia mau terima dampratan orang, maka segera ia balas
mendamprat. "Aku pengecut" Hm, beranikah, kau naik ke sini
untuk adu jiwa dengan aku?"
"Berani berbuat harus berani bertanggung jawab, kau
sudah banyak berbuat kejahatan, tetapi kini kau tak berani
menetapkan dosa sendiri dan tak berani pula terima hukuman,
ini namanya apa kplau bukan pengecut?" debat Kam Hong-ti
"Bagus kata-katamu," sahut Liau-in dengan gusar. "Hayo
kita coba sama-sama ke depan kuburan Suhu, aku ingin tahu
kalian ini punya kepandaian apa?"
Sekalipun Liau-in berkata dengan suara galak dan tak
gentar, tetapi dalam hati sebenarnya jeri dan rada ketakutan,
dengan tantangan ini ia telah menyiapkan serentet perkataan
yang hendak dilontarkan nanti sebagai jalan untuk meloloskan
diri. Begitulah maka dengan menyeret tongkat segera Liau-in
mendahului menuju ke depan kuburan guru mereka, ia
merebut dulu tempat kedudukan yang menguntungkan.
"Begini banyak sobat dari Bu-lim yang kalian undang
kemari, sekalipun mati, tidak nanti aku takut!" dengan tertawa
dingin ia mulai melontarkan siasatnya.
"Ngaco-belo kau, kami bikin pembersihan pintu perguruan
sendiri, sekali-kali tidak perlu pinjam tenaga dari luar!" sahut
Kam Hong-ti mendamprat. Karena jawaban yang seakan-akan merupakan janji ini, hati
Liau-in rada lega. Maka ia berkata pula, "Kalian tujuh orang
ini, kecuali Lu Si-nio, enam orang lainnya semua pernah
mendapat ajaran silat dari tanganku, kalian berkata hendak
bikin pembersihan perguruan, maka aku pun bilang hendak
membersihkan pintu rumah tangga, jelek-jelek aku adalah
Suheng kalian, bahkan terhitung setengah guru kalian, hari ini
kalian berani berlaku kurangajar padaku, perbuatan ini sama
saja seperti hendak membunuh guru, maka aku justru akan
menghukum kalian dahulu, aku ingin lihat sedikit kepandaian
yang kalian dapat dari ajaranku dulu, apakah kini bisa
mematikan aku atau tidak!"
Demikianlah Liau-in berbalik menggugat kesalahan orang.
Menurut kebiasaan di kalangan persilatan, menghormati
guru dan membela golongan adalah tugas suci, karena
kebiasaan ini maka ada pameo, 'menjadi guru sehari, seperti
seribu hari menjadi ayah'.
Kini Liau-in anggap dirinya 'setengah guru' orang, justru ia
hendak minta para Sute yang dahulu pernah terima ajaran
dari dia untuk bertanding dulu, dalam dunia persilatan
memang terdapat peraturan seperti ini.
Sebenarnya keadaan Liau-in sekarang ini agak berlainan
dengan peraturan itu, ia telah ingkar pesan gurunya,
mengkkhianati negara dan perguruan, ini saja sudah
merupakan dosa yang paling besar, jangankan para Sutenya,
bahkan anak murid tingkatan lebih muda lagi juga berhak
membunuhnya. Mestinya Kam Hong-ti dan kawan-kawan boleh tidak
menggubris peraturan itu, ia bisa ajak Lu Si-nio dan lain-lain
mengeroyoknya, tetapi ia gemas oleh kata-kata Liau-in yang
sombong dan menantang itu, seakan-akan mengatakan
mereka berenam bukan tandingannya yang sembabat.
"Baiklah, supaya kau mampus dengan ikhlas, lekas katakan
apa yang kau kehendaki!" segera Ciu Sun buka suara.
"Tetapi aku tiada sesuatu hubungan saudara seperguruan
dengan kau, hari ini kau hendak menyelamatkan diriku,
sungguh kau hanya mimpi belaka!" dengus Lu Si-nio pada
Liau-in. Keruan Liau-in menjadi gusar. Segera ia mendamprat.
"Baik, jika jurus pertama aku kalah, nanti kalian boleh
tentukan hukuman sesukanya bagiku, tetapi kalau aku
menang, aku nanti bikin perhitungan lagi dengan kau si budak
hina ini!" Di antara sesama saudara seperguruan, Liau-in paling jeri
terhadap Lu Si-nio, tetapi ia pikir jika seorang lawan seorang,
pasti aku akan menang dari dia.
Karenanya lebih dulu ia pakai perkataan tadi buat
mendesak keluar Lu Si-nio dari pertandingan pertama, segera
pula tongkatnya yang bulat kasar berputar. "Baiklah, hayo
kamu boleh maju!" teriaknya lagi. Berbareng itu dengan
membawa sambaran angin, tiba-tiba ia mengemplang kepala
Ciu Sun dengan pukulan mematikan!
Walau Ciu Sun menurut urutan terhitung nomor dua dari
saudara seperguruannya, tetapi ilmu silatnya sebenarnya
kurang kuat, ketika ia melolos senjatanya yang berupa sebuah
'kik', sejenis lembing pendek, dan menangkis ke atas, segera
pula kedua lengannya dirasakan kaku kesemutan.
Melihat Suhengnya terancam, Kam Hong-ti tidak tinggal
diam, dengan sekali lompat, golok di tangan kanannya dengan
tipu 'Boat-hun-kian-jit' atau menyingkap awan tertampak
matahari, dari samping segera ia membabat, sedang tangan
kirinya berbareng hendak menggantol urat nadi Liau-in
dengan gerakan 'Toa-kim-na-jiu-hoat', cara mencekal dan
menawan yang lihai. Serangan Kam Hong-ti yang kiri hanya pancingan dan yang
kanan sungguh-sungguh, ia mengerti dengan serangan ini
tidak nanti bisa mengenai Liau-in, tujuannya hanya untuk
melindungi Ciu Sun dari desakan saja.
Sebaliknya Liau-in sangat licin, ia hindarkan yang kuat dan
menggempur tempat lemah, begitu tongkatnya diangkat, lebih
dulu ia bikin golok Kam Hong-ti terbentur pergi, menyusul
mendadak sebelah telapak tangannya dipukulkan,
kelihatannya ia menghantam Kam Hong-ti yang berhadapan
dengan dia, tetapi sebenarnya ia memukul Loh Bin-ciam yang
berada di sayap kiri. Sementara itu Ciu Sun sudah berputar dan menyerang pula
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari belakang, ujung senjatanya sudah hampir mengenai
belakang kepala Liau-in, namun Liau-in yang berpandangan
jeli dan berpen-dengaran tajam, tiba-tiba mendak ke bawah,
tongkatnya berbareng diputar dan didorong ke belakang,
hingga menerbitkan suara "trang" yang nyaring, senjata
'Hong-than-hoa-kik' Ciu Sun tergetar dan terbang dari
tangannya, berbareng Liau-in masih terus memukul ke dada
Loh Bin-ciam. Melihat ancaman bahaya, Pek Thay-koan segera ikut terjun
ke kalangan pertempuran, 'Hou-thau-to', golok berkepala
harimau, segera membacok.
Di antara saudara seperguruan, kecuali Liau-in dan Lu Sinio,
ilmu silat Pek Thay-koan hanya berada di bawah Kam
Hong-ti, maka begitu golok pusakanya berkelebat dan
membelah dengan 'Boan-liong-to-hoat', ilmu permainan golok
naga melingkar, seketika juga menerbitkan sinar perak yang
menyilaukan di depan Liau-in.
Karena serangan ini, Liau-in dipaksa harus menarik kembali
telapak tangannya untuk membela diri, kemudian dengan
kepandaian 'Khong-jiu-jip-pek-yi' atau dengan tangan kosong
melawan senjata tajam, ia menggempur Pek Thay-koan,
sedang tongkatnya yang berada di tangan kanan ia sabetkan,
berbareng ia sampuk pergi senjata lawan lain yang sedang
menyerang sekaligus. Luka Li Gwan belum sembuh, ketika ia ayun senjatanya
'Chit-ciat-pian', ruyung yang bertekuk tujuh, menyabet ke
bagian kaki Liau-in, mendadak Liau-in papaki senjatanya ini
dengan tongkat, keruan ruyungnya seketika melilit di atas
tongkat. "Pergi!" sekonyong-konyong Liau-in membentak, diamdiam
ia salurkan tenaga dalamnya ke batang tongkat hingga
ruyung Li Gwan tergetar putus.
Tidak kepalang kaget Li Gwan melihat ketangkasan Liau-in,
lekas ia melompat keluar kalangan pertempuran. Sementara
itu Ciu Sun yang sudah menjemput kembali senjatanya,
kembali menerjang maju untuk membantu Sutenya yang lain.
"Lak-te (adik keenam), kau boleh mengaso dulu!" seru Cho
Jin-hu. Akan tetapi Li Gwan tidak gentar, ia kertak gigi. "Kita maju
dan mundur bersama, sebelum membunuh keparat ini, aku
bersumpah tidak akan berhenti!" sahutnya dengan gregetan.
Habis itu lantas ia melepaskan ikat pinggangnya, ia putar
senjatanya dengan cepat laksana naga menari kian kemari, ia
menyabet dan melilit, ia lancarkan tipu-tipu serangan seperti
ia memainkan ruyungnya yang lemas tadi.
Di antara saudara seperguruan, ilmu silat Li Gwan setingkat
dengan Pek Thay-koan, hanya tenaganya yang rada kurang,
ditambah lagi kini ia menderita luka, oleh karenanya tadi ia
dipedayai Liau-in. Tetapi sekarang ia gunakan sabuk sebagai
senjata, ikat pinggang adalah benda lemas dan tidak kuatir
tergetar putus, dalam hal senjata ia sudah menang, maka
sambil menyerang dan berputar, walaupun tak
membahayakan jiwa Liau-in, tapi sedikitnya membikin Liau-in
menjadi kerepotan dan terdesak.
Di samping itu Cho Jin-hu sudah benci pada Liau-in, senjata
yang dia gunakan adalah sebuah 'Thi-pi-pe', semacam alat
musik berbentuk gitar terbuat dari besi, senjata ini bisa dibuat
merebut senjata lawan, di dalamnya tersembunyi pula senjata
rahasia, Cho Jin-hu menyerang dengan mati-matian, mau tak
mau Liau-in harus berjaga-jaga juga padanya.
Pertempuran ini ternyata berlangsung dengan hebat dan
sengit, Liau-in telah mengeluarkan seluruh kepandaiannya,
tongkatnya diputar sedemikian rupa hingga membawa angin
menderu-deru, dalam lingkar jarak beberapa tombak angin
menyambar keras sekali, orang yang berkepandaian sedikit
rendah pasti tidak tahan.
Akan tetapi Ciu Sun dan para Sutenya dalam kedudukan
enam lawan satu, bisa bahu-membahu dan bantu-membantu,
tidak gampang bagi Liau-in menggempur mereka satu per
satu, ditambah pula Kam Hong-ti yang lihai luar biasa, tenaga
pun kuat dan hanya sedikit di bawah Liau-in, dalam hal ilmu
silat pun beda tidak jauh, ia dan Pek Thay-koan menggempur
dari jurusan tengah, mereka lawan tongkat Liau-in dan
mengurangi tekanan musuh. Sedang Cho Jin-hu dan Loh Binciam
menyerang dari sayap kiri, tiap kali menghadapi bahaya
segera Cho Jin-hu menekan alat senjata 'Thi-pi-pe' dan
melepaskan senjata rahasia yang terselip di dalamnya, sedang
Li Gwan dan Ciu Sun merangsek dari sayap kanan, mereka
bekerja sama dengan rapat sekali. Begitulah mereka berenam
terbagi menjadi tiga kelompok dan mengeroyok Liau-in
dengan rapat dan menghujani serangan hebat.
Para tokoh silat yang hadir menyaksikan pertarungan sengit
ini, sekali-kali keadaan meningkat tegang, mereka menjadi
getol dan ingin mencabut senjata ikut bertempur.
Ak?.a tetapi ini adalah urusan rumah tangga orang yang
sedang mengadakan pembersihan, orang luar sekali-kali tidak
boleh ikut campur tangan.
Di lain pihak, dengan tenang-tenang saja Lu Si-nio
menonton dengan menyandarkan diri pada sebuah pohon,
kadangkala ia pun tersenyum.
"Tampaknya Kanglam-lak-hiap tidak bisa menangkan
Suheng mereka," demikian Hian-hong Totiang berkata, "babak
selanjutnya yang akan maju hanya Lu Si-nio sendiri, lebihlebih
sulit buat menangkan Liau-in, paderi jahat ini mungkin
bisa lolos dari kematian!"
"Jika beruntun ia menang dua kali, kita tunggu saja kalau ia
turun gunung, baru kemudian mencegat dia," ujar Nyo Tiongeng.
"Kita bertujuan melenyapkan bahaya dunia persilatan,
maka. tiada sangkut-pautnya dengan urusan pembersihan
perguruan mereka." Agaknya Liu Sian-gai tidak sependapat dengan percakapan
kawan-kawannya itu, ia pun ikut berkata dengan tertawa.
"Locian-pwe tidak usah kuatir, sebentar lagi kita boleh
saksikan Lu Si-nio turun tangan sendiri!"
Di antara Kwantang-si-hiap, hanya Liu Sian-gai yang
pernah merasakan kepandaian Lu Si-nio, maka terhadap si
gadis ia menaruh kepercayaan penuh.
Pertarungan ini sudah berjalan lebih satu jam, Ciu Sun
berenam merasakan Liau-in sudah jauh bertambah kuat
daripada dulu, sebaliknya Liau-in pun merasakan keenam
Sutenya sudah jauh lebih maju.
Dalam pertempuran sengit ini perlahan-lahan jidat Liau-in
sudah tampak berkeringat, napasnya pun mulai memburu dan
jantungnya memukul keras, tetapi kedua belah pihak masih
tetap belum bisa menentukan kalah atau menang.
"Celaka, sebenarnya aku dapat bertempur lama, tapi dalam
keadaan begini tidak menguntungkan bila aku bertempur lebih
lama dengan mereka," diam-diam Liau-in berpikir.
Maka permainan tongkatnya segera berubah, berulangulang
ia memberi serangan mematikan.
Dengan perubahan serangan ini, Kam Hong-ti dan Pek
Thay-koan dengan sepenuh tenaga masih sanggup bertahan,
tetapi empat kawannya yang lain sudah tak berani mencoba
maju lagi. Sekali Liau-in ayun tongkat, kontan ia bentur pergi semua
senjata lawan, berbareng lantas membentak, "Tahan dulu!
Babak ini boleh dihitung seri saja, kedua belah pihak tiada
yang kalah atau menang, kini biar aku belajar kenal
kepandaian budak hina itu, aku akan lihat dalam beberapa
tahun ini betapa banyak kemajuannya?"
Dengan ucapan ini, nyata ia masih anggap dirinya sebagai
Suheng penjabat ketua perguruan.
Habis itu segera ia melompat keluar kalangan, dengan
tongkat melintang di dada ia menatap tajam Lu Si-nio.
Dengan pertempuran tadi sungguhpun sudah banyak
tenaga Liau-in yang terbuang, tapi Ciu Sun dan lain-lain pun
sudah letih dan payah. Pikir Kam Hong-ti, jika pertempuran
diteruskan, meski dapat dipastikan akan menang, tetapi di
antara saudara seperguruan yang lain, satu atau dua orang
pasti juga akan menderita luka, bila kini pertarungan
dihentikan dan dihitung seri, boleh juga.
Maka dengan berpeluk golok segera ia mundur ke belakang
sebagai tanda setuju, tindakannya ini segera diikuti Ciu Sun,
Pek Thay-koan dan lain-lain.
Di sebelah sana dengan senyuman yang selalu fersunting di
bibirnya, Lu Si-nio melompat maju ke tengah kalangan.
Setelah Liau-in tenangkan diri, lalu ia membentak, "Sekali
ini kalau aku yang menang, masing-masing pihak tidak boleh
menuntut balas." Ucapannya ini terang bernada rasa jeri.
"Dengan segala senang hati!" sambut Lu Si-nio dengan
tertawa. Berbareng pedangnya lantas menusuk.
Tetapi Liau-in pun sangat cepat, dengan gerak tipu 'Hoankangto-hay' atau sungai membeludak dan laut meluap, begitu
tongkatnya dibalik, seketika senjata ini menyambar secara
bergulung-gulung laksana ular naga.
Ciu Sun, Cho Jin-hu dan Li Gwan bertiga masih belum
pernah menyaksikan kepandaian Sumoay cilik mereka, ketika
melihat Liau-in mulai menyerang dengan tipu pukulan yang
keji, mereka menjadi terkejut.
"Tidak apa-apa!" ujar Kam Hong-ti.
Dalam pada itu terdengar Lu Si-nio bersiul panjang,
mendadak ia meloncat ke atas, ujung kaki kiri menginjak ke
ujung tongkat orang, dengan meminjam tenaga injakan ini,
tubuhnya seketika membal balik ke atas secepat burung
terbang terus melayang lewat di atas kepala Liau-in, sebelum
tubuhnya turun ke bawah, senjata 'Siang-hoa-kiam' berputar
pula di angkasa, dengan tipu serangan LPeng-bok-kiu-siau'
atau burung garuda menjulang ke langit, cepat sekali ia
menusuk kepala Liau-in yang gundul itu.
Nampak gaya serangan yang manis ini, para tokoh silat
yang hadir berseru memuji, "Bagus!"
Dengan cepat Liau-in angkat tongkatnya ke atas, dengan
gerak lipu 'Ki-hwe-liau-thian' atau mengangkat obor
menerangi langit, ia tangkis pedang Lu Si-nio ke samping,
tetapi tidak urung ia pun mandi keringat dingin saking
kagetnya oleh serangan orang yang lihai tadi.
"Budak hina ini betul-betul sudah jauh lebih hebat daripada
dulu!" diam-diam ia terperanjat oleh gaya serangan Lu Si-nio.
Sebaliknya melihat sesudah bertempur lama Liau-in masih
belum tampak berkurang ketangkasannya, Lu Si-nio pun tak
berani ayal, ia mainkan 'Hian-li-kiam-hoat' dengan luar biasa,
pedangnya seperti pelangi yang menyambar kian kemari.
Tetapi dengan memutar tongkatnya, Liau-in dapat
menggagalkan setiap serangannya, menjaga dan menyerang
dengan teratur. Setelah sekian lama pertempuran mereka berlangsung,
namun keadaan masih ramai dan sama kuat. Diam-diam Liauin
terkejut sekali, pikirnya, "Dulu waktu ia bergebrak dengan
aku, sekalipun aku tak mampu menewaskan dia, tapi terang
aku berada di atas angin. Tetapi mengapa pertarungan yang
sudah berlangsung tiga ratusan jurus ini, sedikitpun aku belum
bisa memperoleh keuntungan" Ai, jika tahu akan begini, tadi
waktu melawan mereka berenam seharusnya aku jangan
banyak membuang tenaga percuma."
Agaknya Lu Si-nio mengetahui lawannya mulai keder, maka
serangannya bertambah kencang.
Karena tekanan lawan yang berat, mendadak Liau-in
menger-tak gigi dan membentak, permainan tongkatnya pun
berubah, ia keluarkan seluruh tenaganya, tongkatnya berputar
dengan rapat sekali tak tertembuskan angin maupun air,
bayangan tongkatnya melebar laksana gunung membungkus
sinar pedang Lu Si-nio. Ciu Sun dan lain-lain terkejut, tampak satu sinar perak
menerobos kian kemari seperti menyusur di antara beratus
pohon. Keadaan dalam kalangan pertempuran susah
dibedakan mana Liau-in dan mana Lu Si-nio.
Kiranya Lu Si-nio telah menduga pada suatu waktu pasti
akan menghadapi Liau-in untuk menentukan mati-hidup kedua
belah pihak, oleh karena itu selain Kiam-hoatnya semakin
dipelajari lebih mendalam, selama lima tahun tinggal di atas
Sian-he-hia, ia telah melatih ilmu Lwekang pula, dari inti
Lwekang yang ia dapat belajar dari gurunya ditambah
petunjuk yang pernah diperoleh dari Ie Lan-cu, maka setelah
lima tahun, Lwekangnya sudah jauh lebih maju, dibanding
Liau-in kini selisih tidak banyak lagi.
Sebaliknya Liau-in tadi sudah bertempur lebih dahulu,
tenaganya sudah berkurang separoh. Yang satu berkurang
sebaliknya yang lain bertambah, bukan saja dalam hal
Ginkang dan Kiam-hoat Lu Si-nio berada di atas angin, bahkan
dalam perbandingan tenaga dalam, ia bisa menandingi Liau-in.
Jika dulu Lu Si-nio masih kalah menghadapi Liau-in, soalnya
karena Lwekangnya tidak melebihi Suhengnya ini, tapi kini
tenaganya sudah setanding, Lu Si-nio sudah tidak usah kuatir
lagi, ia menyerang dengan hebat secara berani.
Sebenarnya dengan kepandaian Liau-in, sekalipun berada
di bawah angin, sedikitnya ia masih kuat bertahan untuk
setengah harian, tetapi justru tabiatnya yang keras dan
wataknya berangasan, ia bernapsu lekas merobohkan lawan
dan lekas beres, maka seluruh tenaganya telah ia keluarkan
untuk menggempur mati-matian, sebaliknya Lu Si-nio berlaku
tenang, ia sengaja memancing orang lebih kalap, dengan
demikian ia dapat balas menyerang tempat kelemahan musuh.
Setelah pertempuran berlangsung lagi, lambat-laun Liau-in
mulai letih, dalam gebrakan yang sengit itu tiba-tiba terdengar
suara tertawa ri.ih para tokoh silat yang menonton, saat itu
juga terlihat Liau-in melarikan diri dengan menyeret tongkat,
ternyata sebelah matanya telah buta kena tusukan pedang Lu
Si-nio. Ilmu entengi tubuh Lu Si-nio tinggi sekali, tidak mungkin ia
biarkan orang kabur begitu saja, segera ia enjot tubuh,
seketika sudah melampaui orang dan mengadang di depan
Liau-in, sinar pedang berkelebat, kembali ia paksa Liau-in
mundur. Dalam keadaan kepepet, Liau-in menjadi kalap dan nekat,
ia menghantam kalang-kabut bagai kerbau gila, tongkatnya
menyambar dengan hebat. "Pat-moay, awas!" terdengar Kam Hong-ti memperingatkan
Sumoaynya demi nampak Liau-in sudah kalap.
Tetapi Lu Si-nio memang cekatan, secara tenang ia hadapi
lawannya yang mengamuk itu, pedangnya seperti kupu-kupu
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyusur bunga, langkahnya seperti kucing, gesit seakan
hendak menerkam tikus, tubuhnya lemah gemulai seperti
dahan pohon liu tertiup angin, bila Liau-in mengayun
tongkatnya ke timur, ia berkelit ke barat dan begitu
seterusnya. Tetapi ia pun tidak melulu berkelit saja, di
samping menghindarkan gempuran orang, dengan gerak
tubuhnya yang enteng pedangnya balas menyerang.
Begitulah tengah para penonton terkesima oleh
pertarungan yang hebat itu, tiba-tiba terdengar jeritan Liau-in
yang mengerikan, ternyata sebelah matanya yang lain kembali
ditusuk buta oleh Lu Si-nio.
Dengan hasil serangannya itu, Lu Si-nio lalu melangkah
maju dan menggeraki tangannya, jika mau, pedangnya segera
dapat memenggal kepala Liau-in, tapi mendadak ia berpikir,
bagaimanapun juga Liau-in adalah murid tertua gurunya, pula
enam Suhengnya yang lain pernah mendapat pelajaran
silatnya, sepantasnya membiarkan dia mati dengan mayat
yang utuh. Karena pikiran ini, pedangnya yang sudah diulur setengah
jalan tiba-tiba berubah tipu serangannya, ujung pedang
mengarah ke bawah dan menutul perlahan Hiat-to di bawah
iga Liau-in, tanpa ampun lagi Liau-in menjerit, mendadak
tongkatnya ia timpukkan. Timpukan tongkat sebelum ajalnya ini ternyata mempunyai
tenaga yang luar biasa, begitu Lu Si-nio mengegos, tongkat itu
menancap masuk ke dalam dinding baru pegunungan dan
amblas tinggal ujungnya yang tertampak di luar.
Dengan ilmu silat Liau-in yang tinggi, karena jiwanya
menyeleweng hingga tersesat ke jalan salah, akhirnya ia
tewas secara mengerikan di depan makam gurunya, para
tokoh silat yang menyaksikan tiada yang menghela napas dan
mengambil kejadian sebagai contoh.
Kam Hong-ti pun teringat di waktu Liau-in mewakili sang
guru mengajarkan silat padanya dahulu, ia pun menghela
napas di depan kuburan gurunya.
"Kalau kau mau taat pada pesan tinggalan Suhu, tidak
sampai kau mengalami nasib seperti hari ini!" demikian ia
berkata dengan penuh penyesalan.
Kemudian setelah berunding, diambil keputusan untuk
mengubur Liau-in di samping makam gurunya dan mendirikan
batu nisan untuk menjelaskan peristiwa itu, supaya angkatan
muda yang akan datang dapat bercermin akan kejadian ini.
Maka semua orang lantas menunjuk Lu Si-nio untuk
menuliskan kisah itu di atas batu nisan. Kanglam-chit-hiap dan
pahlawan peninjau lainnya berturut-Uirut lantas meninggalkan
tanah pekuburan ini dan masuk ke dalam rumah tempat
tinggal mendiang Tok-pi Sin-ni.
Lu Si-nio dan Loh Bin-ciam berunding tentang tulisan di
batu nisan itu, sedang Kam Hong-ti seorang diri duduk di
samping dengan diam. Dalam pada itu tiba-tiba terdengar di luar seperti ada suara
orang, Kam Hong-ti jadi heran, Lu Si-nio pun terkejut, dengan
cepat ia memburu keluar. Waktu sampai di tanah pekuburan,
keadaan ternyata sepi tiada bayangan orang, tetapi kepala
Liau-in ternyata sudah lenyap.
Lu Si-nio bersuara heran, tetapi segera alisnya menegak
demi nampak kepala Suhengnya yang murtad itu telah lenyap.
"Siapa begitu berani naik ke Bin-san buat mencuri kepala,"
katanya gusar. "Belum jauh perginya, lekas kejar ke jurusan utara!" ujar
Kam Hong-ti setelah mendekam ke tanah buat mendengarkan.
Sementara itu Pek Thay-koan, Loh Bin-ciam dengan
saudara seperguruan yang lain beserta Kwantang-si-hiap juga
sudah mem-buru-keluar. "Harap Long-goat Siansu dan Goan-pa Toako suka menjaga
di sini, Sam-ko dan Go-ko dengan Nyo-loenghiong meronda ke
bagian selatan gunung," demikian Kam Hong-ti mulai
mengatur. "Ji-ko dan Si-ko hendaklah menjaga di dalam biara,
sedang yang lain ikut aku mengejar."
Kam Hong-ti adalah kawakan Kangouw, kepandaiannya
mendengarkan dengan mendekam ke tanah tidak pernah
meleset. Setelah mengudak tak lama, betul saja mereka
dapatkan sekelompok orang terdiri dari empat orang sedang
berlari turun gunung secepat terbang.
Tanpa ayal lagi segera Lu Si-nio mempercepat langkahnya,
ilmu entengi tubuhnya memang sangat tinggi, keruan seperti
bintang meluncur saja ia menguber ke bawah, hanya sekejap
ia sudah sampai di belakang orang-orang itu.
Tatkala ia menegasi, kiranya empat orang ini adalah Thianyap
Sanjin, Ki Pi-sia, Tang Ki-joan dan Kam Thian-liong.
Agaknya sesudah Lian Keng-hiau memaksa Liau-in
memberontak, ia sendiri pun merasa tidak tenteram, dengan
hati kebat-kebit ia kembali ke markasnya.
Setiba di sana ia lihat suasana dalam pasukannya ternyata
lain sekali, di luar dugaannya, In Ceng, Sri Baginda yang baru
naik takhta telah berkunjung ke sini, lekas Lian Keng-hiau
masuk ke dalam kemah untuk menghadap.
Terhadap pekerjaan Keng-hiau yang dengan cepat telah
membereskan In Te, In Ceng memberi pujian yaug sangat
tinggi. Karenanya hati Keng-hiau jadi rada lega, kemudian ia
gunakan kesempatan itu pula untuk melapor.
"Liau-in anggap dirinya berjasa dan menjadi sombong,"
demikian ia coba mengadu biru. "Bukan saja ia tidak tunduk
pada perintah militerku, bahkan di belakang ia merusak nama
baik Hongsiang, katanya Hongsiang naik takhta seperti hari
ini, semua karena jasanya. Aku telah omeli dia beberapa
patah-kata, tapi dengan marah ia lantas pergi. Mungkin ia
telah kembali ke kotaraja untuk mendahului melaporkan
diriku." Atas pengaduan ini, tampak In Ceng malahan bergelak
tertawa, "Hahaha! justru aku ingin bertemu dia!"
Keng-hiau jadi terguncang hatinya, mukanya pun putihbiru.
Namun segera In Ceng mengelus pundaknya.
"Lian-tayciangkun, kau adalah saka-guruku, kau pimpin
pasukan sebesar ini siang malam tanpa mengenal lelah, buat
apa mesti gusar dengan manusia liar yang tidak kenal adat
itu," demikian ia coba menghibur, lalu dengan tertawa ia
menyambung lagi. "Dia ingin bertemu aku" Tapi mungkin
sebelum bisa menjumpai aku, ia sudah tak bisa bicara lagi!"
Habis itu segera ia pangggil menghadap Thian-yap Sanjin,
Ki Pi-sia, Tang Ki-joan dan Kam Thian-liong berempat.
"Kalian diberi tempo dalam sepuluh hari harus membawa
kepala Liau-in ke hadapanku," demikian In Ceng memberi
titah. Pada waktu seperti ini, In Ceng sedang memerlukan tenaga
Lian Keng-hiau, maka ia lebih suka mengorbankan Liau-in
untuk menarik hati Keng-hiau.
Begitulah maka sesudah Thian-yap Sanjin berempat
berangkat, segera Keng-hiau berlutut menjura mengucapkan
terima kasih. Dengan tertawa In Ceng lantas menariknya berdiri. "Ada
urusan penting lain yang perlu kurundingkan dengan kau,"
katanya dan mereka lantas masuk ke perumahan belakang
untuk berunding secara rahasia.
Dalam pada itu, sepanjang jalan Thian-yap Sanjin berempat
telah menyelidiki jejak Liau-in. Muka Liau-in yang bengis,
ditambah lagi ia adalah Hwesio, maka untuk mencari tahu
jejaknya bukan soal sulit.
Meski Thian-yap Sanjin dan kawan-kawan kenal kelihaian
Liau-in, tetapi mereka menduga dengan kekuatan mereka
berempat masih cukup untuk melenyapkan nyawa Hwesio itu,
maka dengan berani mereka terus mengejar naik ke atas Binsan.
Di luar dugaan mereka, sesampai di atas Bin-san mereka
dapatkan Liau-in sudah mati, bukan main terkejut Thian-yap
Sanjin dan kawan-kawan, dalam keadaan gugup, lekas
mereka potong kepala Liau-in terus kabur.
Kembali tadi sesudah Lu Si-nio menguber sampai di
pinggang gunung, segera ia mencegat musuh.
"Besar sekali nyali kalian, tempat apakah sini, mana boleh
kalian berkeliaran sesukanya?" segera ia mendamprat dengan
tertawa dingin. Nampak Lu Si-nio sendirian, Ki Pi-sia berpikir, "Semua
orang bilang Kiam-hoat budak hina ini sangat lihai, biar aku
menjajalnya." Maka dengan tipu serangan 'Tau-coan-sing-hing' (bintang
berputar meluncur ke samping), pedangnya mendahului
menusuk dari samping. Serangan ini disambut dengan tertawa dingin oleh Lu Sinio,
begitu pedang nona ini bergerak, mendadak sinar perak
beterbangan, dengan sekali puntir perlahan, seketika tipu
serangan musuh terpatahkan.
Selagi Ki Pi-sia angkat pedangnya menusuk, mendadak
ujung senjata Lu Si-nio telah menusuk ke tenggorokannya
lebih dulu. Lekas Ki Pi-sia angkat pedangnya menangkis, di luar
dugaan, pedang Lu Si-nio laksana ular perak meluncur ke
bawah, lekas Ki Pi-sia mundur ke belakang, namun masih
agak terlambat, perge-langan tangannya luka tergores, hampir
saja pedangnya terlepas dari genggaman.
Nampak kawannya terancam bahaya, dari samping Thianyap
segera menyerang dengan cepat.
"Budak hina, apa hukumanmu yang telah berani
membunuh Suheng sendiri?" berbareng Thian-yap Sanjin membentak
pula. "Peduli apa dengan kau" Lekas susul Liau-in!" sambut Lu
Si-nio dengan gusar. Menyusul dengan cepat Lu Si-nio mengirim dua kali
tusukan, ia menempur Thian-yap Sanjin dengan sengit,
sedang Ki Pi-sia lantas ikut membantu, ia menyerang dari
samping. "Titik keras, banyak batu pasir, angin kencang, tarik lekas,"
sementara terdengar Tang Ki-joan berseru dengan kata-kata
rahasia yang berarti, "Lu Si-nio susah dilawan, begundalnya
banyak, dan kinipun sudah menyusul datang, tampaknya
genting, lebih baik angkat kaki saja!"
Karena itu segera Thian-yap Sanjin memukul dengan tipu
'Jiu-hun-pi-pe' (tangan menyentil alat musik pi-pe), ia
menggablok dengan balikan tangan. Namun segera Lu Si-nio
balas menyerang dengan tusukannya.
Ilmu silat Thian-yap Sanjin tidak di bawah Liau-in, begitu
telapak tangan kirinya berubah menjadi kepalan, dengan tipu
'Sia-po-pan-lan-cing' atau langkah menubruk dan menumbuk,
segera ia menerjang maju.
Ketika Lu Si-nio baliki pedangnya balas menyerang, dengan
sekali tusukan pancingan, cepat Ki Pi-sia meloncat keluar
kalangan. Waktu itu Kam Hong-ti, Hian-hong Totiang dan Liu
Sian-gai susul-menyusul pun sudah sampai dan melabrak
lawan. Ki Pi-sia yang baru saja menerjang keluar, tanpa terduga
di-papaki Liu Sian-gai dengan memberi persen sekali ketokan
cincin bajanya, keruan kepalanya sakit tidak kepalang seakan
pecah, terpaksa ia harus bergebrak lagi melawan Liu Sian-gai.
Selang tak lama, pahlawan yang lain sudah memburu
datang. Melihat musuh jauh lebih banyak dan gelagat tidak
menguntungkan, Thian-yap Sanjin tidak ingin lebih lama lagi
terlibat dalam pertempuran, begitu kedua tangannya
bergerak, tangan kiri menyanggah ke batang pedang Lu Sinio,
sedang tangan kanan lantas hendak mem'otong lengan si
nona yang putih halus itu.
Serangan ini bermaksud membela diri saja, tekanannya
sangat lihai, tetapi Lu Si-nio tidak gampang diingusi, begitu
ujung senjatanya diputar, ia menggeser dan melangkah pergi,
tiba-tiba ia ganti serangan menikam dari samping.
Justru dalam sekejap, dengan sekali berkelit dan sekali
melompat, pergi, Thian-yap Sanjin telah terlepas keluar dari
lingkungan sinar pedang Lu Si-nio.
Nampak ada musuh hendak kabur, berbareng Hian-hong
Tojin dan Pek Thay-koan menubruk maju.
Thian-yap Sanjin menjadi kalap, ia membentak dengan tipu
'Sin-eng-bok-tho' (garuda sakti menyambar kelinci), telapak
tanan kiri mencengkeram ke atas kepala Pek Thay-koan,
sedang tangan kanan menarik tongkat Hian-hong, dan
berbareng pula ia hindarkan tusukan pedang.
Melihat musuh sangat tangkas, baru berhadapan, dengan
sekali gebrak saja beruntun sudah bisa menghindarkan
rangsekan dari tiga macam senjata, bahkan masih bisa balas
menyerang, Hian-hong menjadi gusar, pedang dan tongkatnya
diputar bergantian, bersama Pek Thay-koan mereka
mengerubuti lawannya dari kanan dan kiri.
"Tidak serahkan kembali kepala Liau-in, jangan harap
kalian bisa turun dari gunung ini!" terdengar Lu Si-nio berseru.
Tetapi Thian-yap Sanjin bungkam saja tidak menjawab,
mendadak ia baliki tangannya terus menghantam, dengan
cepat ia bikin golok Pek Thay-koan terguncang pergi, lalu ia
memutar tubuh untuk menghindarkan tusukan pedang Hianhong,
habis itu, dengan sekali meloncat setinggi setombak
lebih, tiba-tiba ia melayang lewat di samping Hian-hong Tojin.
Lu Sian-gai cukup kenal tabiat Hian-hong yang suka
unggul, oleh karena itu ia tidak ingin maju mengerubut
dengan tiga lawan satu. Tetapi kini demi nampak Thian-yap
Sanjin mendesak mundur Suhengnya dengan gerak tangan
'Toa-sui-pi-jiu' yang keras, cepat ia mengudak maju dengan
pedang terhunus. Sementara itu secepat angin Thian-yap Sanjin telah
kebutkan lengan bajunya, kesempatan ini dipergunakan oleh
Ki Pi-sia untuk meloloskan diri terus kabur turun ke bawah
gunung. Akan tetapi dalam sekejap itu juga, Lu Si-nio tahutahu
sudah membayangi di belakangnya, begitu sinar putih
kehijauan berkelebat, ujung pedangnya mengarah ke
punggung Thian-yap Sanjin.
Tapi sekonyong-konyong terdengar Thian-yap Sanjin
tertawa panjang, tiba-tiba ia mengayun tangan sambil
membentak, "Awas barang mestika!"
Berbareng satu buntalan kain merah telah ditimpukkan ke
muka Lu Si-nio. Cepat nona ini menundukkan kepala sembari mengulur
tangan menyambar buntalan itu. Sementara itu ia dengar
Thian-yap Sanjin telah berseru lagi.
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Budak hina, pergilah menangis saja untuk Suhengmu!"
Ketika jari tangan Lu Si-nio menyentuh isi buntalan yang
bundar empuk, ia menduga pasti kepala Liau-in yang gundul,
seketika jadi tertegun. Kesempatan ini dipergunakan Thian-yap Sanjin untuk
menerjang turun ke bawah gunung.
Di pihak sana, Tang Ki-joan yang mengeroyok Kam Hong-ti
bersama kawannya Kam Thian-liong, ketika nampak gelagat
jelek, ia pun bermaksud angkat langkah seribu, ia gunakan
gerak tipu 'Boan-liong-jiau-poh' atau naga melilit melingkar
langkah, laksana kitiran cepatnya ia berputar terus melingkar
pergi, akhirnya ia pun bisa meloloskan diri, dengan
menjatahkan diri sambil berguling-guling, dari atas bukit ia
terus menggelundung ke bawah.
Di antara empat orang yang datang ke Bin-san, ilmu silat
Kam Thian-liong yang paling rendah, sementara ita ia pun
berpikir hendak angkat langkah seribu, akan tetapi sudah
terlambat, tiba-tiba terdengar Kam Hong-ti membentak,
berbareng telapak tangan membalik terus menggablok
secepat kilat, baru saja Kam Thian-liong sempat berlari duatiga
langkah, mendadak ia rasakan punggungnya seperti
dipalu. Tanpa ampun lagi ia menjerit ngeri, darah menyembur
keluar dari mulutnya, ia terguling roboh dan berkelejotan di
tanah. Dalam pada ita Kam Hong-ti masih berniat mengudak
musuh yang lain, namun dicegah oleh Lu Si-nio.
"Kepala Liau-in sudah didapat kembali, biarkan saja mereka
merat!" ujar si nona.
Kam Hong-ti coba membuka buntalan yang diperoleh dari
Thian-yap Sanjin, maka tertampak olehnya darah meleleh
pada kepala Liau-in yang masih basah, rupanya beringas
menakutkan, seketika ia jadi teringat hubungan saudara
seperguruan selama ini, bahkan dulu pernah mewakili Suhu
mengajarkan silat padanya, ia terharu dan meneteskan air
mata. "Sudahlah, biar kita jahit kepala ke atas tubuhnya, supaya
dia mati dalam keadaan badan yang utuh," katanya kemudian
dengan menghela napas. Lalu dengan mengempit Kam Thian-liong yang tertawan
tadi mereka kembali lagi ke tanah pekuburan guru mereka.
Sementara itu Li Gwan dan kawan-kawan yang meronda ke
jurusan selatan gunung masih belum kembali, waktu itu sudah
senja, sang surya sudah terbenam, hanya sinar merah
membara di langit ujung barat.
"Lihatlah di sudut langit sana awan yang merah itu!" tibatiba
terdengar Hi Yang berkata.
Awan merah itu memang aneh juga, sama seperti selapis
tabir merah yang terbentang di ujung langit.
"Awan merah menandakan terjadinya malapetaka
berdarah!" ujar Hian-hong.
"Mana mungkin!" sahut Lu Si-nio tertawa.
Akan tetapi selang tak lama, awan merah itu makin lama
semakin meluas, separoh di sudut langit sebelah selatan ikut
merah membara. "Ko-san terbakar!" mendadak Kam Hong-ti berteriak.
Ketika semua orang naik ke tempat yang lebih tinggi dan
memandang, betul saja tertampak cahaya api yang menjulang
tinggi di jurusan Ko-san sana.
Bin-san dan Ko-san saling berhadapan dari jauh, jaraknya
kira-kira lebih tiga ratus li, maka dari Bin-san cukup terang
memandang api yang berkobar di Ko-san, betapa hebat
bekerjanya api dapat diduga.
Karena itu, Kam Hong-ti dan Lu Si-nio saling pandang
dengan kesima. "Dalam Siau-lim-si di Ko-san terdapat lima ratusan padri
yang semuanya berilmu tinggi, mengapa mereka tidak mampu
memadamkan api itu hingga api menjilat begitu hebat,
sungguh aneh sekali!" ujar Pek Thay-koan.
"Dikuatirkan api ini sengaja dibakar oleh kerajaan Jing!"
kata Lu Si-nio. Seketika Kam Hong-ti bergidik ngeri, tetapi segera ia
cengkeram kencang Kam Thian-liong dan membentak, "Kau
adalah bayangkara istana, kau tentu tahu siapa yang menyulut
api itu?" Tapi Kam Thian-liong hanya tertawa mengejek. "Hm, kalian
sudah tahu sendiri, buat apa tanya aku lagi!" sahutnya
menantang. "Dengan kekuatan Siau-lim-si yang hebat itu,
akhirnya terbasmi habis seperti abu yang beterbangan dan
asap yang buyar! Apalagi kalian yang hanya beberapa gelintir
orang saja, bisa berbuat apa" Kalau kau kenal gelagat, lekas
lepaskan tuanmu!" Kam Hong-ti menjadi murka, ia pun tertawa dingin, tibatiba
ia menutuk ke bawah iga orang dengan dua jarinya,
seketika Kam Thian-liong merasa tubuhnya seperti digigit ular
kecil yang tidak terhitung banyaknya sedang menerobos ke
sini dan ke sana, saking sakitnya hingga jagoan bayangkara
itu menjerit-jerit. "Mengapa kalian berani naik Bin-san mencuri kepala, lekas
mengaku terus terang! Bila tidak, hm, boleh kau rasakan yang
lebih hebat nanti!" tanya Kam Hong-ti sambil mengancam.
Terpaksa Kam Thian-liong mengaku yang sebenarnya.
"Sungguh tidak nyana [n Ceng dan Lian Keng-hiau bisa
begini kejam," kata Kam Hong-ti dengan mengertak gigi
setelah mendengar pengakuan tawanan itu. "Sayang keparat
ini terlambat datangnya, bila tidak, biar Liau-in tahu bahwa dia
yang telah berkhianat dan menjual diri pada Hongte (kaisar)
macam apa!" Hendaklah diketahui bahwa meski Kanglam-chit-hiap
bersama membasmi Suheng yang jahat, tapi apapun juga rasa
sesama saudara seperguruan masih terdapat di antara
mereka, oleh karenanya sungguhpun Lu Si-nio begitu benci
pada Liau-in, waktu bertempur dan membunuhnya ia masih
memberi ampun padanya dengan membiarkan Suhengnya
yang murtad itu bermayat utuh. Siapa duga justru In
Ceng malah hendak mengambil kepalanya, kekejaman ini
sudah tentu membikin para pahlawan merasa gusar sekali.
Begitulah setelah Kam Thian-liong habis menutur, segera
Kam Hong-ti menjambret dia dan diangkat, terus dilemparkan
ke dalam jurang. "Kejahatan Liau-in sudah bertumpuk-tumpuk, mati dengan
mayat tidak utuh, hal inipun akibat perbuatannya sendiri," ujar
Lu Si-nio. Karena memahami perasaan Kam Hong-ti, ia mengerti Suhengnya
ini rada gegetun dan sayang akan kematian Liau-in,
maka sengaja ia mengeluarkan kata-kata menghibur.
"Sungguhpun begitu, tapi kalau membiarkan keparat In
Ceng mengambil kepala Liau-in, betul-betul aku tidak rela,"
sahut Kam Hong-ti. "Chit-ko jangan kesal," kata Lu Si-nio tersenyum. "Aku
bersumpah pada suatu hari pasti akan memenggal kepala In
Ceng untuk dibuat sembahyang di hadapan makam Suhu."
Nampak Sumoaynya ini berkata dengan penuh semangat
dan berkeras hati, diam-diam Kam Hong-ti mengaguminya.
Sementara itu api yang berkobar di jurusan Ko-san sana
makin lama semakin hebat, dipandang dari jauh seperti ular
panjang merah melilit Ko-san beberapa kali lingkaran.
"Sam-ko dan Lak-te mengapa masih belum kembali?" tibatiba
Pek Thay-koan berkata dengan kuatir.
Memang hubungan antara Pek Thay-koan dengan Li Gwan
biasanya paling rapat, ia tahu Sutenya itu terluka pundaknya
oleh pisau berbisa dan masih belum sembuh betul, ditambah
habis me-nempur Liau-in secara sengit, maka ia kuatir
Sutenya mengalami lain-lain kejadian lagi.
"Go-ko tak usah kuatir, bukankah itu mereka sudah kembali?"
kata Lu Si-nio dengan tertawa sambil memandang jauh ke
sana. "Eh, mengapa bertambah seorang lain?"
Yang meronda ke selatan gunung sebenarnya hanya Nyo
Tiong-eng, Loh Bin-ciam dan Li Gwan bertiga, tetapi kini
terlihat dari lereng gunung sebelah kiri muncul empat orang.
"Aneh, siapa lagi yang datang?" Kam Hong-ti heran juga.
Dalam sekejap saja empat orang itu sudah datang
mendekat. "He, It-biau Taysu, kau datang juga" Bagaimana dengan
Cay-khoan?" segera Lu Si-nio menyapa.
Memang orang yang baru datang ini bukan lain adalah Itbiau
Hwesio, tiba-tiba ia duduk mendeprok dengan lemas,
seketika ia tak bisa membuka suara.
Ketika Lu Si-nio mengamat-amati mukanya, kembali ia
berseru, "He, mengapa kau terluka, untung luka tidak berat.
Chit-ko, harap kau bikin lancar jalan darahnya!"
Kiranya hari itu, sesudah Pang Ing meninggalkan taman
keluarga Lian, ia bertanya dan mengetahui Bin-san tidak lebih
hanya beberapa ratus li saja dari Tanliu, ia ingat pesan
gurunya, maka ia ingin meninggalkan tulisan di atas pohon di
samping makam Tok-pi Sin-nio untuk Lu Si-nio, karenanya ia
pun menuju ke jurusan Bin-san.
Sepanjang jalan ia berpikir, "Nama Lu Si-nio sudah
tersohor, bahkan Suhu sendiri memuji ilmu pedangnya, kalau
aku dapat bertemu dengan dia, jangan aku lepaskan
kesempatan meminta petunjuk dari dia."
Pada hari itu juga, ia sampai di Bin-san. tetapi keadaan
sudah magrib, ia lantas mendaki gunung itu dari sebelah
selatan. Tetapi baru saja ia memasuki pegunungan itu, mendadak
dari tebing sebelah atas menubruk turun seorang terus
mencaci-maki padanya. "Ha, kau penjahat wanita ini ternyata berani datang ke Binsan!
Hayo dimana kau punya Hui-to" Coba unjukkan sekali
lagi!" Begitulah dengan mendamprat orang itu pun mengayun tali
ikat pinggangnya, dengan gerak tubuh yang cepat terus
menyerang padanya. Di belakang orang ini masih ada pula
seorang tua dan seorang pemuda.
Ketiga orang ini bukan lain adalah Li Gwan, Loh Bin-ciam
dan Nyo Tiong-eng yang bertugas meronda di selatan gunung.
Harus diketahui, sebagai salah seorang dari Kanglam-chithiap,
tujuh pendekar dari daerah Kanglam, belum pernah Li
Gwan dipecundangi orang, karenanya pada waktu disambit
Hui-to oleh Pang Lin, ia anggap sebagai satu penghinaan
terbesar baginya. Justru ia sedang berpikir bila urusan di Binsan
sudah beres, ia hendak pergi menyelidiki asal-usul Pang
Lin untuk membalas dendam timpukan belati itu.
Di luar dugaan kini ia kepergok Pang Ing, si kakak dari
kedua dara kembar, ia mengira Pang Lin yang telah masuk
jurang sendiri, ular memapaki penggebuk, keruan ia tidak mau
melepaskan begitu saja. Begitulah ketika Pang Ing dicaci maki tak keruan, ia
menjadi bingung. Sementara itu Li Gwan telah mengayun tali ikat
pinggangnya, dengan cepat menyabet dan hendak melilit
tangan Pang Ing. Namun dengan gampang Pang Ing dapat menghindarkan
serangan itu sambil bertanya, "He, apa yang kau katakan"
Siapa kau?" Tetapi dengan cepat Li Gwan menubruk maju pula, ia
mainkan tali ikat pinggangnya seperti menggunakan ruyung,
kembali dengan tipu 'Tiang-coa-jiau-jiu' atau ular panjang
melilit pohon, segera ia menyabet ke pinggang Pang Ing
sembari mendamprat pula, 'Penjahat cilik yang berhati keji,
sekalipun kau jadi abu, aku pasti akan mengenal kau!"
Ilmu silat Li Gwan tidak di bawah Pek Thay-koan, ditambah
ia sedang murka, tipu-tipu serangan yang ia keluarkan cepat
sekali dan keji, maka sesudah Pang Ing berkelit beberapa kali.
hampir saja pinggangnya disabet sabuk orang.
"Kurangajar, kau begini tidak kenal aturan, jangan sesalkan
aku," damprat Pang Ing kemudian, akhirnya ia naik darah
juga, segera ia pun melolos pedangnya.
Begitu serangan Li Gwan mengenai tempat kosong, tibatiba
ia rasakan di belakang kepalanya menyambar angin
tajam, ternyata lawan sudah melingkar ke belakang terus
menusuk, lekas Li Gwan menggeser pergi dan berkelit.
Tapi belum sempat berpaling, ia lihat ujung pedang musuh
kembali mengarah tenggorokannya, cepat Li Gwan ayun
sabuknya ke depan dengan maksud membelit pedang di
tangan Pang Ing. - Di luar dugaan, ilmu pedang Pang Ing adalah ajaran asli
dari Thian-san, beruntun dua kali serangan ke kanan dan ke
kiri, bukan saja Li Gwan tak dapat melibat pedangnya, bahkan
senjata lawan masih menerobos kian-kemari di antara
lingkaran sabuknya yang diputar, bahkan tiap tusukan
pedangnya tidak pernah meninggalkan tempat berbahaya.
Sekalipun Li Gwan tidak menderita luka juga bukan
tandingan Pang Ing, apalagi luka di pundaknya masih belum
sembuh, ditambah ia habis menempur Liau-in.
Nampak saudara seperguruannya terdesak, Loh Bin-ciam
tidak bisa tinggal berpeluk tangan, segera ia cabut goloknya
terus maju membantu. Di lain pihak Nyo Tiong-eng pun sedang terheran-heran,
pikirnya dalam hati, "Anak dara ini mengapa begini lihai, jauh
lebih kuat daripada budakku itu (maksudnya putrinya, Nyo
Liu-jing)!" Sementara Li Gwan dan Loh Bin-ciam berdua mengeroyok
seorang lawan masih tetap banyak bertahan daripada
menyerang, mereka tetap berada di bawah angin.
Setelah agak lama, mendadak Loh Bin-ciam ganti ilmu
permainan goloknya, ia melangkah menurut hitungan Pat-kwa,
dengan tipu serangan 'Sin-liong-toat-kah' atau naga sakti
membersihkan sisik, goloknya membacok ke pundak musuh.
Tetapi Pang Ing segera balas menyerang dua kali, ia pun
rada heran karena senjatanya tak bisa membentur golok
orang. Kiranya selama hidup, Tok-pi Sin-ni mempelajari intisari
ilmu silat, boleh dikata delapan belas macam senjata, tiada
satu pun yang tidak dipahaminya.
Oleh karena itu senjata yang dipakai tiap muridnya tidak
sama, bahkan masing-masing mempunyai kepandaian sendirisendiri.
Loh Bin-ciam memperoleh pelajaran 'Pat-kwa-ci-kimtohoat', ilmu permainan golok yang dijalankan menurut
hitungan Pat-kwa, dalam keadaan menjaga diri dapat pula
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berbareng menyerang, khusus dipergunakan bila bertemu
tandingan tangguh. Begitulah setelah Pang Ing memberi beberapa kali
serangan masih belum berhasil, akhirnya ia jadi tak sabar,
begitu permainan pedangnya berubah, segera ia memainkan
'Si-mi-kiam-hoat' yang paling hebat dari Thian-san-kiam-hoat.
Walaupun ilmu permainan golok Loh Bin-ciam cukup hebat,
tetapi bagaimanapun juga masih belum bisa memadai Thiansankiam-hoat yang ajaib, lebih-lebih 'Si-mi-kiam-hoat' dari
Thian-san-kiam-hoat itu tiada habis perubahannya, tiap tipu
serangan tersembunyi pula perubahan serangan lain. Untuk
zaman ini yang bisa menandinginya hanya 'Hian-li-kiam-hoat'
warisan Tok-pi Sin-ni, kecuali Lu Si-nio sondiri, tujuh saudara
seperguruannya yang lain tiada yang pernah mempelajarinya,
karena waktu mereka belajar, Tok-pi Sin-ni sendiri belum
berhasil meyakinkan 'Hian-li-kiam-hoat'.
Begitulah, maka Loh Bin-ciam dan Li Gwan menjadi kalangkabut
oleh rangsekan ilmu pedang Pang Ing.
Melihat gelagat jelek, Nyo Tiong-eng tidak pikir panjang
lagi, segera ia ambil peluru dan gendewanya, dengan cepat
dan susul-menyusul ia bidikkan beberapa buah pelurunya.
Nyo Tiong-eng dijuluki orang 'Thi-cio-sin-tan' atau telapak
tangan besi peluru ajaib, maka dalam hal kepandaian
membidik peluru dengan sendirinya luar biasa.
Sementara itu Pang Ing sedang memainkan pedangnya
dengan cepat, ketika melihat Nyo Tiong-eng menggunakan
senjata rahasia, dalam hati ia merasa geli, "Aku punya Si-mikiamhoat tidak ter-tembuskan air, hanya pelurumu yang kecil
ini bisa berguna apa!"
Karena itu, ia hanya memperkencang pedangnya, ia tetap
mencecar Li Gwan dan Loh Bin-ciam, sama sekali tidak ambil
perhatian pada peluru yang dibidikkan Nyo Tiong-eng tadi.
Di luar perhitungannya, "trang", tiba-tiba ia merasa ujung
senjatanya terguncang, genggaman tangan Pang Ing pun
terasa kesakitan, serangannya meleset semua, karena itu
memberi kesempatan golok Loh Bin-ciam dan sabuk Li Gwan
untuk menyerang berbareng!
Kiranya ilmu pedang yang dimainkan Pang Ing meski hebat
sekali dan memang betul tak dapat ditembus oleh peluru Nyo
Tiong-eng, tapi apapun juga keuletan Pang Ing masih rada
kurang, peluru Nyo Tiong-eng yang ajaib bukan saja kejituannya, bahkan
tenaga pun luar biasa besarnya, jika tidak, mana bisa
kepandaiannya membidik peluru disebut nomor satu di jagat
ini" Tetapi masih untung pedang yang dipakai Pang Ing adalah
pedang pusaka, oleh karenanya tidak sampai terbidik gumpil
oleh pelurunya. Pang Ing terkejut sekali oleh bidikan peluru orang, syukur
peluru yang dibidikkan Nyo Tiong-eng hanya serentetan saja,
habis itu berhenti, maka waktu kemudian Loh Bin-ciam dan Li
Gwan menyerang pula, Pang Ing sudah sempat berganti
napas dan bisa menandingi pula dengan pedangnya.
Kalau Pang Ing terkejut, sebaliknya Nyo Tiong-eng lebih
terkejut dari dia. Peluru sakti Nyo Tiong-eng sudah tiada tandingannya di
kolong langit, tetapi kini sebutir saja tak bisa menembus
penjagaan orang, ia hanya mendengar suara nyaring riuh, ia
menduga peluru besinya tentu pecah terbelah oleh pedang
pusaka orang. Mestinya ia tidak perlu heran jika lawan adalah tokoh
kenamaan seperti Liau-in, Kam Hong-ti atau Thian-yap Sanjin,
tapi musuhnya kini hanya seorang dara cilik yang berusia
belasan tahun saja! Nyo Tiong-eng tidak tahu bahwa Pokiam yang dipakai Pang
Ing adalah Toan-giok-kiam ditambah ilmu pedangnya yang
hebat, barulah ia dapat menahan serangannya.
Sementara itu karena bidikan peluru sudah berhenti,
kembali Li Gwan dan Loh Bin-ciam terdesak lagi hingga
terpaksa harus main mundur terus.
"Nyo-locianpwe, lekas bidikkan peluru lagi!" seru Li Gwan
kewalahan. Betul juga Nyo Tiong-eng lantas menarik busurnya
melepaskan peluru. Begitulah secara bergantian membidik dan berhenti, Li
Gwan dan Loh Bin-ciam baru bisa menandingi rangsekan Pang
Ing. Selang tak lama, peluru Nyo Tiong-eng yang berjumlah 64
butir sudah hampir habis dibidikkan, tetapi Pang Ing masih
belum bisa mereka kalahkan. Nyo Tiong-eng adalah pemimpin
kalangan persilatan dari lima propinsi daerah utara, maka ia
tidak ingin ikut mengeroyok seorang gadis cilik. Apalagi
sesudah menyaksikan ilmu pedang Pang Ing, meski ia tidak
kenal namanya, tapi diam-diam ia pun merasa kagum, karena
itulah timbul rasa sayangnya pada kepandaian orang, segera
ia berseru, "Tempat ini adalah makam suci Tok-pi Sin-ni, hari
ini para pahlawan dari Bu-lim sama berziarah ke sini, mana
boleh kau naik gunung dengan membawa pedang" Lekas kau
enyan dari sini!" Dengan perkataan ini ia memberi tanda agar Pang Ing
boleh pergi saja. Di luar dugaan, Pang Ing yang berada di atas
angin, bukannya mundur teratur, sebaliknya ia menjadi naik
darah. Pikirnya, "Suhuku sendiri pun tidak berlagak semacam
kau ini, tapi kau tua bangka ini berani membentak aku?"
Pedangnya segera diperkencang dan serangan semakin
gencar. Dalam pertarungan hebat itu, terdengarlah suara
terputusnya logam, ternyata golok Loh Bin-ciam 'Pat-kwa-cikimto' ditabas kutung menjadi dua oleh Pokiam Pang Ing.
Terkejut sekali Nyo Tiong-eng atas kejadian itu, ia tidak
pikirkan kedudukan dirinya lagi, dengan gendewa bajanya
segera ia melompat maju hendak menolong.
Namun sebelum ia sampai di tengah kalangan, tertampak
Loh Bin-ciam terdesak oleh Pang Ing hingga mepet ke pinggir
tebing gunung bahkan tertampak Loh Bin-ciam berusaha
berkelit dengan mengganti beberapa gerakan, namun selalu
terdesak dan tak mampu lolos dari kurungan sinar pedang
musuh. Sebenarnya tujuan Pang Ing tidak hendak menewaskan
Loh Bin-ciam, ia hanya dongkol tanpa sebab dirinya dihina dan
dikeroyok, oleh sebab itu ia hanya ingin memberi sedikit
peringatan pada mereka. Dalam keadaan kuatir, seketika Nyo Tiong-eng
menghamburkan tiga butir pelurunya yang masih ada, karena
itu Pang Ing jadi rada terganggu dan merandek sejenak, pada
saat itu juga mendadak dari bawah tebing meloncat naik
seorang. "Tolong, It-biau Taysu!" terdengar Loh Bin-ciam berseru
demi mengenali siapa orang yang baru datang ini.
Hwesio yang baru tiba ini segera mengirim kepalan
menjotos, tapi tahu-tahu ia sendiri menjerit terus melayang
pergi sejauh lebih setombak, Pang Ing pun berseru, lalu
seperti layang-layang putus benangnya, ia kabur ke bawah
gunung. Hwesio yang baru datang ialah It-biau Taysu, dengan
Kang-lam-chit-hiap adalah sobat karib, ketika mendengar
seruan Loh Bin-ciam minta tolong, segera ia menerjang maju,
ia lihat Pang Ing hanya seorang gadis cilik, maka tanpa pikir
kelihaian musuh, lebih dulu ia menolong kawan, dengan gerak
tipu 'Pay-san-un-ciang' atau mendorong gunung dengan
telapak tangan, segera ia memukul ke depan, sekalipun
tenaga yang dia pakai sangat besar, tetapi penjagaan sendiri
pun menjadi luang, Kiam-hoat Pang Ing sudah sangat bagus,
tahu-tahu ujung pedangnya menusuk sampai di bawah tenggorokan
It-biau. Untung Pang Ing tidak berniat mencelakai
orang, maka begitu It-biau berusaha berkelit mundur, sekalian
ia lantas melencengkan senjatanya dan hanya menusuk
pundak It-biau saja, tetapi tidak urung Pang Ing sendiri pun
terguncang oleh tenaga pukulan lawan yang keras hingga tak
mampu menahan diri, tubuhnya melayang ke bawah.
Demikianlah tadi, tatkala Lu Si-nio nampak It-biau Hwesio
terluka, ia merasa heran, sebab ia mengenal kepandaian Itbiau
yang tinggi dan boleh diandalkan. "Apakah ada musuh
tangguh telah datang?" ia bertanya pada Nyo Tiong-eng.
"Justru adalah si budak liar yang kita temukan di Hangciu
dahulu itu," kata Lob Bin-ciam dengan gemas. "Hm, sungguh
keji sekali budak liar ini."
"Belati berbisa yang melukai aku itupun perbuatan budak
liar ini," Li Gwan ikut berkata. "Belum pernah aku tahu dia,
tapi tindakannya sungguh keji, umurnya masih semuda itu,
bila kelak sudah dewasa, tentu akan merupakan bahaya bagi
kalangan Bu-lim, Pat-moay, mumpung dia belum tumbuh
sayap, kita lenyapkan dia saja!"
Seperti diketahui, begitu sampai di Bin-san, segera Li Gwan
ikut menempur Liau-in bersama saudara seperguruannya,
maka ia belum sempat menceritakan kejadian terlukanya itu.
Kini setelah Lu Si-nio mendengar penuturannya, ia pun
rada heran, pikirnya, "Sungguhpun ilmu silat Pang Lin tidak
bisa dibilang rendah, tetapi kalau ia bisa melukai It-biau
Taysu, inilah susah dipercaya, sejak di Hangciu sampai kini
belum ada setahun, mana mungkin kepandaiannya sudah
maju begitu pesat?" Selagi ia hendak buka suara, tiba-tiba It-biau sudah berdiri
lebih dulu dan berkata dengan tersenyum, "Anak dara ini tidak
keji, Loh-heng d
ini. Mereka tidak mengerti, It-biau sendiri dilukai, tapi ia
sendiri pula menjadi pembela nona cilik itu.
Tetapi segera perkataan It-biau diperkuat oleh Kam Hongti.
"Kalau melihat keadaan luka It-biau Taysu, anak dara ini
memang bukan manusia yang keji," kata Hong-ti.
"Bagaimana bisa begitu?" tanya Li Gwan terheran-heran.
Untuk membuktikan perkataannya maka It-biau Hwesio
lantas membuka baju luarnya, ia unjukkan luka di pundaknya,
maka tertampak di tepi 'Pi-pe-kut', yakni miang di atas
pundak, terdapat satu goresan luka yang enteng, dimana yang
terkena ujung pedang, di tempat 'Thong-hay-hiat' masih
ketinggalan satu titik merah sebesar kepala paku.
'Thong-hay-hiat' adalah salah satu bagian yang terpenting
di lubuh orang, oleh karena itu begitu kena tertutul pedang,
darah seketika terbeku, maka tadi Kam Hong-ti memijat untuk
membantu menjalankan darahnya.
"Begitu turun tangan sudah menusuk ke tempat yang
berbahaya, apa ini masih kurang keji?" ujar Li Gwan dengan
penasaran. "Ilmu pedang anak dara yang hebat ini, boleh dikata belum
pernah aku saksikan selama ini," tutor lt-biau pula. "Tentunya
ia telah bisa melebur pedang dengan pikirannya, maka ia bisa
sesukanya menggunakan pedang dan mengarah tempat yang
berbahaya. Tetapi jelas ia tidak sengaja hendak menewaskan
aku, coba pikir, ujung pedangnya tadi sudah mengenai 'Pi-pekut'
di pundakku, asal ia gunakan sedikit tenaga lagi,
bukankah tulangku akan putus" Dan tentu pula, Li-heng kini
sudah menjadi orang cacat."
Setelah dipikir, Loh Bin-ciam merasa betul juga apa yang
diuraikan It-biau Hwesio, pikirnya, "Dengan ilmu pedang anak
dara itu, memang dapat ia cukil putus miang pundak It-biau
Taysu. Bukan saja begitu, bila kini diingat kembali, tadi ia pun
banyak memberi kelonggaran padaku, beberapa kali mestinya
bisa melukai aku." Begitulah, maka ia pun heran dan tidak habis mengerti.
"Sudahlah, tidak peduli ia kejam atau tidak, sekali-kali kita
tidak dapat mencelakai dia," akhirnya Lu Si-nio berkata
dengan tertawa. "Mengapa Pat-moay mau membiarkannya" Siapakah dia?"
tanya Li Gwan. "Mungkin ia ahli waris le-locianpwe dari Thian-san, mungkin
pula ia adalah murid Siang-mo!" sahut Lu Si-nio.
"Aneh, bagaimana bisa begitu?" tanya Loh Bin-ciam
terheran-heran. Dan selagi Lu Si-nio hendak menceritakan apa yang pernah
ia dengar dari Teng Hiau-lan, ketika ia menatap It-biau
Hwesio, tiba-tiba ia urung bercerita.
"Mengapa Pat-moay tak jadi menerangkan?" tanya Binciam.
"Cerita ini terlalu panjang," sahut Si-nio dengan tertawa,
"It-biau Taysu datang dari jauh, tentu mempunyai urusan
penting, marilah kita dengarkan cerita It-biau Taysu lebih
dulu." "Aku pun tiada urusan penting, hanya karena sudah lama
kau belum kembali, maka Cay-khoan suruh aku kirim surat
untukmu," tutur It-biau.
"Kalau begitu apa kini hanya ia sendiri yang tinggal di Sianhenia?" tanya Lu Si-nio rada kuatir.
"Ya, kemajuan Cay-khoan sungguh pesat sekali," tutur Itbiau
pula, "bukan saja ia bisa berjalan sesukanya, bahkan
Lwekangnya pun mulai kuat dasarnya. Kini ia sudah tak perlu
perawatan orang lain lagi!"
"Ia belum pernah turun gunung bukan?" tanya Si-nio pula.
Ia cukup kenal tabiat Cay-khoan, ia percaya bila kekasihnya ini
tiada urusan penting, tidak nanti ia kirim It-biau Hwesio buat
mencari dirinya, oleh karenanya ia sangsi kekasihnya telah
turun gunung dan bertemu dengan seseorang tokoh.
Tetapi segera It-biau mengeluarkan sepucuk surat dan
disodorkan pada Lu Si-nio sambil berkata, "Ia belum pernah
turun gunung, hanya bulan yang lalu, seorang sanak
keluargamu yang bernama Lu Goan datang mencari padanya."
Tadinya Lu Si-nio tersenyum simpul, tetapi demi sudah
habis membaca surat tadi, mendadak mukanya menjadi pucat
lesi. Ternyata isi surat kekasihnya itu memberitahu padanya
bahwa setelah kaisar baru naik takhta, seketika juga mengirim
bala tentara menangkap semua sanak keluarga Lu Liu-liang,
hanya Lu Goan saja seorang yang bisa menyelamatkan diri.
Bukan itu saja, bahkan semua karya pujangga itu telah dirusak
dan dibakar habis, yang lebih kejam lagi adalah sampai
kuburan Lu Liu-liang dan Lu Po-tiong juga telah dibongkar,
jenazah mereka dihancur-leburkan.
Lu Goan beruntung bisa menyelamatkan diri, ia pergi ke
Sian-he-nia, tapi tidak dapat menjumpai Lu Si-nio, di situ ia
hanya bertemu Sim Cay-khoan dan memberitahukan semua
kejadian itu.
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cay-khoan kenal tabiat It-biau Hwesio yang keras dan
berdarah panas, ia mengerti jika hal itu sampai diketahuinya,
padri ini tanpa menghiraukan jiwa sendiri pasti akan datang ke
penjara buat merampas tawanan, bila terjadi hal ini, bukan
saja tiada faedahnya, bahkan membikin urusan bisa lebih
runyam, oleh karenanya setelah Cay-khoan berpikir pergi
datang, ia putuskan tetap menutup rahasia, . ia hanya
meminta It-biau suka mengantar surat pada Lu Si-nio.
Begitulah maka demi nampak muka Lu Si-nio berubah
pucat tadi, segera pula It-biau bertanya, "Apakah yang
dikatakan Cay-khoan dalam surat itu?"
Si-nio tidak menjawab, ia hanya menyodorkan surat itu
supaya dibacanya sendiri, di samping itu segera ia melolos
pedang, dengan sekali bacok, ia potong sebuah batu besar di
sampingnya hingga terbelah menjadi dua.
"Jika sakit hati ini tidak kubalas, aku bersumpah tidak akan
jadi manusia!" dengan mengembeng air mata ia bersumpah
dengan perasaan gusar. Sementara itu berturut-turut Kam Hong-ti dan lain-lain juga
sudah membaca surat Sim Cay-khoan itu.
"Kalau demikian keadaannya, marilah kita berangkat
bersama!" Kam Hong-ti berkata.
Keesokan harinya, para pahlawan itupun meninggalkan Binsan,
setelah perasaan duka Lu Si-nio rada berkurang, ia baru
menuturkan cerita yang ia dengar dari Teng Hiau-lan tentang
kedua dara kembar itu. "Jika begitu, roman muka Pang Ing dan Pang Lin tentu
mirip sekali, yang aku temukan itu entah si kakak atau si
adik?" kata Li Gwan akhirnya.
"Teng Hiau-lan sendiri tidak bisa membedakan mereka,
jangankan kita," ujar Lu Si-nio.
"Hendak membedakan mereka hanya ada satu jalan, ialah
si kakak berkepandaian lebih tinggi," kata Kam Hong-ti.
"Tetapi bagaimana kalau ilmu silat si adik nanti pun maju
pesat?" kata It-biau Hwesio.
"Kalau begitu, tentu susah lagi membedakan mereka!"
sahut-Kam Hong-ti. "Dan dimana Teng Hiau-lan sekarang?" tanya It-biau pada
Lu Si-nio. "Kini ia sedang merawat lukanya bersama Cap-ji-ci Biau-jiusinthau Tan Tek-thay di lembah Swat-han-kok," jawab Si-nio.
"Si keparat In Ceng ini memang keji, belum beberapa bulan
ia naik takhta, ia sudah membikin padat penjaranya, bahkan
Siau-lim-si telah musnah oleh apinya!" kata It-biau.
"Apa kau lewat di Ko-san?" tanya Hong-ti.
"Di tengah jalan aku lihat pasukan Lian Keng-hiau
berangkat menuju Ko-san, terpaksa aku memutar kemari,"
tutur It-biau. "Setelah itu, tidak lama aku lihat api berkobar di
atas Ko-san, kelima ratus padri Siau-lim-si semuanya memiliki
kepandaian tinggi, jika mereka terjebak sekaligus, ini betulbetul
malapetaka yang belum pernah terjadi di kalangan Bulim!"
Dalam pada itu Kam Hong-ti jadi teringat pada waktu
dahulu ketika ia mengantar In-hong Hwesio naik ke Ko-san, di
safia ia mendengar dari Bu-cu Siansu yang meramalkan Siaulimsi bakal mengalami bencana besar.
"Bu-cu Siansu yang berilmu dan bisa memandang jauh
sebelumnya, harap saja ia bisa lolos dari malapetaka ini,"
katanya kemudian. Dari tempat sejauh tiga ratus li para pahlawan memandang
ke arah Ko-san, mereka lihat api yang menjilat-jilat masih
berkobar, tanpa tertahan mereka menghela napas panjang.
Kembali berceritera mengenai diri Pang Ing, sesudah ia
kabur turun dari Bin-san, pikirannya penuh pertanyaan, ia
merasa kejadian yang dialami sejak ia turun dari Thian-san,
semuanya sangat aneh sekali.
Pernah tanpa sebab di tengah jalan ia bertemu
serombongan orang mengudak dirinya, Lian Keng-hiau
menyangka dia sebagai seorang nona yang lain, sedang kini
pemuda yang diketemukan di atas Bin-san yang menggunakan
tali ikat pinggang sebagai senjata tadi, menuduh dirinya
pernah melukainya dengan belati berbisa, entah apa
sebabnya" Begitulah Pang Ing menjadi bingung, setelah dipikir pergi
datang, ia berkata dalam hati, "Apakah mungkin di muka bumi
ini terdapat pula seorang gadis yang rupanya mirip dengan
aku?" Ketika ia melintasi sebuah sungai kecil, ia coba bercermin di
permukaan air sungai, ia lihat bayangan orang di dalam air
tidak ter-hingga cantik moleknya, sampai ia sendiri terpesona.
"Aku tidak percaya di muka bumi ini terdapat pula seorang
yang serupa ini!" demikian ia menggumam sendiri.
Dengan rasa bimbang ia ganti haluan dan menuju ke Tanliu
lagi, ia ingin mendatangi rumah keluarga Lian pula, ia harus
menyelidik semua ini hingga jelas.
"Apa mungkin di muka bumi ini terdapat pula seorang yang
rupanya sangat mirip dengan aku" Ah, aku tidak percaya di
muka bumi ini terdapat pula seorang serupa aku ini!" demikian
pula pada saat itu, Pang Lin, si adik dari kedua dara kembar
itupun sedang berpikir dengan ragu-ragu.
Malam itu sesudah ia meloloskan diri melalui pintu rahasia
dinding berlapis dalam kamar Lian Keng-hiau, kemudian ia
dapat mencuri seekor kuda, lalu malam-malam melarikan diri
dari Tanliu, teringat pada Li Ti yang menyangka dia sebagai
murid Ie Lan-cu, pemuda itu selalu memanggil padanya
sebagai "Eng-moay", sedang Lian Keng-hiau begitu datang
lantas bertanya apakah dia pernah keluar dari taman itu,
malah bilang di tengah jalan telah melihat dia berkelahi
dengan Siang-mo. Kalau begitu tampaknya masih ada seorang pula yang mirip
sekali dengan diriku" Begitulah tanpa terasa Pang Lin pun
bercer-min ke permukaan air, ia sesalkan diri sambil
memandangi bayangan yang berada di dalam air itu.
"Aku adalah aku, di bumi ini hanya ada seorang aku, mana
mungkin ada dua Pang Lin!" demikian ia berteriak sendiri.
Sebenarnya ia hendak kembali ke rumah keluarga Lian buat
menyelidiki lagi, tapi karena jeri pada Liau-in, akhirnya ia
batalkan niatnya terus menuju ke depan dengan perasaan
bingung dan tanpa arah tujuan.
Pada suatu hari, tengah Pang Lin melanjutkan perjalanan,
tiba-tiba ia lihat di depan ada seorang menunggang kuda
putih, penunggang kuda itu adalah seorang wanita muda
memakai mantel merah tua. Kudanya putih mantelnya merah,
sungguh dua warna yang sangat menyolok. Ketika Pang Lin
memandang lagi, ia lihat pada pinggang wanita itu tergantung
pedang, malah terdapat pula kantong kulit wadah senjata
rahasia, ia menduga wanita itu tentu orang yang pandai ilmu
silat. Melihat keadaan orang, Pang Lin berpikir, sejak aku
mengembara kian kemari, belum banyak aku temukan wanita
yang pandai ilmu silat, entah sampai dimana kepandaian
orang ini" Karena ingin tahu, segera Pang Lin bedal kudanya dan
menguntit di belakang wanita muda itu.
Ketika mendengar di belakangnya ada suara derapan kuda
lain, nona itu menoleh ke belakang, ia melotot sekejap pada
Pang Lin. Pang Lin dapat melihat wajah orang dengan alis lentik
seperti bulan sabit, matanya jeli dan bibirnya kecil rada
menjengkit sedikit, cantik, tetapi sikapnya rada sombong,
angkuh, di antara cantiknya seperti ada yang tak sesuai dan
membikin orang merasa tidak suka.
Karena jemu pada sikapnya itu, ketika dipelototi, Pang Lin
pun balas melotot. Karena ini, tiba-tiba nona itu mendengus dengan sikap
yang menghina, habis itu ia mencambuk kudanya terus
membedal pergi dengan cepat.
Sejak kecil hingga besar Pang Lin tinggal di dalam istana,
senam orang suka memuja dan memanjakan dia sebagai
mestika, mana pernah ia mend.ipat hinaan seperti tadi"
Keruan ia menjadi gusar. Diam-diam ia berkata, "Wanita ini
betul-betul tak kenal kesopanan. Baik, justru aku ingin
menguntit dia terus, sengaja aku bikin jengkel dia."
Nyata Pang Lin tidak menyadari bahwa dirinya kini
menyamar sebagai pria, waktu orang masih menguntit, nona
tadi menyangka Pang Lin bermaksud jahat, oleh sebab itu ia
menjadi marah. Jika nona ini adalah wanita biasa, tentu tidak menjadi soal,
justru karena nona ini adalah Siocia yang bertabiat keras dan
sombong dan terkenal di kalangan Kangouw, ia bukan lain
daripada Nyo Liu-jing. Kawan-kawan kalangan Kangouw menghormati ayahnya,
Thi-cio-sin-tan Nyo Tiong-eng sebagai pemimpin dunia
persilatan kelima propinsi utara, maka semua suka mengalah
padanya. Tetapi sebaliknya Nyo Liu-jing mengira ilmu silat
dirinya lebih tinggi daripada orang lain, maka ia anggap
dirinya sebagai 'pendekar' wanita dan oleh karena itu ia
semakin menjadi sombong dan suka bertindak menurut
wataknya sendiri. Kali ini ayahnya bersama Teng Hiau-lan berangkat ke
kotaraja, sebenarnya ia diperintahkan menjaga rumah,
sebelum berangkat Nyo Tiong-eng berpesan wanti-wanti agar
supaya gadisnya ini jangan sembarangan keluar rumah.
Setelah menunggu beberapa bulan, namun masih belum
nampak ayahnya pulang, ia pun kangen pada Teng Hiau-lan
meski Teng Hiau-lan sudah bertunangan dengan dia, tapi lama
sekali belum mau menikah hingga membikin Nyo Liu-jing
kurang senang, namun hal ini dengan sendirinya kurang
leluasa diutarakan oleh kaum wanita, maka tanpa
menghiraukan pesan ayahnya lagi, seorang diri ia lantas
menyusul ke kotaraja. Sebaliknya Pang Lin masih bersifat anak-anak, ia lihat sikap
Nyo Liu-jing yang sombong dan berulang-ulang menoleh serta
mendelik padanya, dara cilik ini jadi semakin ingin menggoda
dan menguntit terus, kalau Nyo Liu-jing mengeprak kudanya
dengan cepat, ia pun pecut kudanya menyusul kencang, jika
Nyo Liu-jing lambat, ia pun kendorkan tali kendali kudanya,
tidak jauh dan tidak dekat, selalu mempertahankan dalam
jarak antara tiga puluh langkah.
Pang Lin dibesarkan dalam istana, entah berapa banyak
kuda-kuda terkenal yang telah dia coba, dengan sendirinya
kepandaian menunggang kudanya jauh lebih tinggi daripada
Nyo Liu-jing. Sebaliknya karena dikuntit terus, akhirnya Nyo Liu-jing jadi
naik darah, setibanya di suatu tempat sepi dekat hutan,
mendadak ia tahan kudanya dan palangkan cambuknya,
gendewa segera disiapkan dengan pelurunya.
"He, kau bocah ini hendak apa?" segera ia membentak
dengan gusar. Pang Lin menjadi geli. "Ai, nona, kau boleh jalan menurut
jalanmu dan aku jalan menurut jalanku, buat apa kau urus
apa kerjaku?" sahutnya dengan tertawa.
Nyo Liu-jing jadi lebih gemas hingga alisnya terkerut
menegak. "Kurangajar! He, siapa namamu" Dari garis
manakah kau" Berani kau membuntuti terus nonamu ini?"
dampratnya lagi. "Tidak malu!" goda Pang Lin dengan tertawa, sambil
menco-lek pipi sendiri. "Aku toh tidak hendak besanan dengan
kau, buat apa kau cari tahu dan tanya namaku" Jalan inipun
bukan milikmu, kau boleh lewat, mengapa aku tidak boleh?"
"Tahukah kau siapa aku?" tanya Nyo Liu-jing dengan
tertawa dingin. "Tahu saja," sahut Pang Lin, "aku tahu kau adalah nona
yang sedang cari lelaki!"
Karena kata-kata ini, Nyo Liu-jing menjadi merah mukanya.
"Bocah kurangajar, masih semuda ini sudah ngaco-belo tak
genah, jangan kau sesalkan aku!" bentaknya dengan gusar.
Berbareng ia tarik busurnya terus menjepretkan tiga butir
peluru dengan cepat laksana bintang meluncur.
Tetapi dengan gerakan 'Ting-li-cong-sin' (menyembunyikan
badan di bawah pelana), dengan gampang Pang Lin
menghindarkan peluru pertama, menyusul dengan kedua jari
ia jepit peluru kedua terus disentil dengan perlahan, maka
terbenturlah peluru ini dengan peluru ketiga dan kemudian
jatuh ke tanah. "Oi, tak kena!" Pang Lin menggoda lagi dengan tertawa
sambil membalik naik ke atas kudanya.
Keruan tidak kepalang marah Nyo Liu-jing, kembali ia
pentang gendewanya dan membidik pula, susul-menyusul ia
hujani Pang Lin dengan pelurunya.
"Haya, celaka!" tiba-tiba Pang Lin berteriak.
Berbareng itu mendadak ia terjungkal ke bawah kuda,
tetapi ternyata tidak terbanting ke tanah, melainkan kedua
kakinya masih menyantol di punggung kudanya, tubuhnya
tergantung balik dan kudanya terus membedal pergi beberapa
tombak jauhnya, semua peluru yang Nyo Liu-jing lepaskan
menyambar lewat di atas kudanya dan tiada satu pun yang
mengenainya. Setelah Pang Lin unjuk kepandaiannya menunggang kuda
yang hebat ini, mau tak mau Nyo Liu-jing terkejut dan agak
jeri. Dalam pada itu dengan cepat sekali terlihat Pang Lin sudah
membalik ke atas kudanya lagi.
"Jika hanya terima tanpa memberi itulah kurang sopan.
Awas pisau!" mendadak Pang Lin berseru. Berbareng ia keprak
kudanya menerjang maju, dua pisau secepat kilat menyambar
ke depan. Kepandaian Pang Lin menggunakan pisau diperoleh dari
ajaran Ciong Ban-tong, ditambah mendapat petunjuk dari Han
Tiong-san, maka sambitannya ini tidak bisa dipandang enteng.
Sementara itu Nyo Liu-jing telah mengincar baik-baik
datangnya senjata rahasia lawan, ia bermaksud
menghindarkan pisau yang pertama, untuk kemudian
menghantam jatuh pisau kedua. Di luar dugaan pisau kedua
yang Pang Lin lepaskan belakangan ternyata datangnya lebih
dahulu, baru saja Nyo Liu-jjng berkelit ke kiri, mendadak sinar
tajam telah menyambar sampai di depannya, dalam keadaan
gugup lekas Liu-jing menangkis dengan gendewanya, maka
terdengarlah suara "krak" yang keras, gendewanya ternyata
patah, bahkan ia rasakan pinggir lehernya segar dingin,
ternyata pisau yang kedua telah menyambar lewat.
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebenarnya serangan Pang Lin hanya bermaksud
menggodanya saja, tiada niat mencelakakan, bila tidak maka
pisau tadi pasti sudah menembus lehernya.
Dalam keadaan terkejut bercampur murka, Nyo Liu-jing
lantas melolos pedang, ia keprak kuda hendak menempur
Pang Lin dengan mati-matian.
Dalam pada itu tiba-tiba terdengar di belakang mereka ada
suara derapan kuda lagi, Pang Lin cukup awas matanya, lapatlapat
ia sudah melihat dari tempat sejauh dua-tiga li sedang
mendatangi beberapa penunggang kuda, melihat dandanan
mereka rupanya seperti sebangsa opas. Karenanya ia pikir,
"Jika orang-orang ini adalah kiriman In Ceng, keadaan tentu
bakal runyam, biarlah aku tinggalkan perempuan galak ini."
Segera ia tepuk leher kudanya. Kuda ini adalah kuda
perang yang dipelihara Lian Keng-hiau, karena tepukannya itu,
tiba-tiba binatang ini menegak leher dan mendengking keras
terus membedal ke depan. Ketika mendadak Nyo Liu-jing nampak kuda Pang Lin
secepat angin dilarikan ke arahnya, pandangannya seketika
menjadi kabur, lekas ia angkat pedangnya menusuk dua kali
serabutan ke arah kuda Pang Lin, akan tetapi mana bisa kena
sasaran, sebaliknya tiba-tiba ia rasakan kepalanya diraba
orang dengan perlahan, berbareng terdengar menderunya
angin, kuda orang sudah menyerempet lewat di sampingnya,
dan waktu Nyo Liu-jing meraba kepalanya, ternyata dua tusuk
kondenya yang terbuat dari pualam sudah diserobot Pang Lin.
Bukan main gusar Nyo Liu-jing, ia keprak kudanya lantas
mengudak, tetapi semakin mengudak ia semakin jauh
ketinggalan, sampai akhirnya bayangan Pang Lin saja tak
tertampak olehnya. Pang Lin telah melarikan kudanya secepat terbang, dalam
sekejap ia sudah kabur sejauh lebih dua puluh li, dari jauh ia
lihat gunung Ko-san berdiri dengan megahnya, ia jadi lega,
pikirnya dalam hati, "Kabarnya Siau-lim-si berada di atas Kosan,
Siau-lim-si pun disebut sebagai pusat pelajaran ilmu silat
di jagat ini, aku sudah belajar begini banyak ilmu silat dari
berbagai cabang dan golongan, entah mampu tidak
berlawanan dengan padri Siau-lim-si?"
Karena pikiran itu, tiba-tiba timbul keinginannya hendak
naik ke Ko-san buat 'belajar kenal' dengan padri Siau-lim-si.
Pada waktu magrib ia tiba di suatu kota kecil yang bernama
Kwe-keh-t;n, dari penduduk kota ia mendapat tahu bahwa
dari sini menuju Ko-san hanya perjalanan dua hari, tetapi
kalau kudanya cepat, hanya setengah hari sudah bisa sampai.
Pang Lin lantas memilih sebuah penginapan yang paling
mentereng dalam kota untuk menginap, sehabis bersantap
malam dan selagi hendak mengaso, tiba-tiba ia dengar di luar
ada suara orang perempuan.
"Hai. pengurus, berikan sebuah kamar paling baik padaku,
ada tidak?" "Ada, tentu ada," terdengar pengurus penginapan
menjawab dengan menghormat, "Nyo-lihiap, engkau orang
tua yang minta, tidak adapun harus diadakan. Hai, Siau-ji
(panggilan pada pelayan kedai arak atau penginapan), lekas
bawa tamu agung ke kamar bagus di sebelah timur sana."
Pang Lin merasa suara wanita tadi seperti pernah
dikenalnya, ketika ia mengintip dari sela-sela pintu, eh,
kiranya bukan lain adalah wanita yang ia temukan di tengah
jalan tadi, ia jadi tertawa geli, dalam hati diam-diam ia
membatin, "Hm, hanya dengan sedikit ke-pandaianmu saja
lantas pamer dan menyebut diri sendiri sebagai Li-hiap
(pendekar wanita) segala."
Secara kebetulan, kamar Nyo Liu-jing justru berada di
sebelah Pang Lin. Sementara itu sesudah Nyo Liu-jing berada di kamarnya, si
pengurus penginapan datang melayani sendiri, mengantar teh,
menyediakan air panas, menyuguh daharan dan macammacam
lagi. "Sudahlah, bikin repot kau saja, Ong-lothau (kakek she
Ong)," terdengar Nyo Liu-jing berkata.
Menyusul itu Pang Lin dengar ada suara gemerincing di
dalam kamar sebelah. "Ini, serenceng uang perak untukmu," terdengar Nyo Liujing
berkata pula. Tetapi segera terdengar si pengurus penginapan buka
suara. "Ha, mana berani aku terima uangmu, tahun yang lalu Nyoloyacu
(tuan besar Nyo) telah membasmikan seorang Ok-pa
(buaya darat) di kota kami, karena itu penginapan kami
setahun ini sedikitnya bisa menghemat dua tiga puluh tahil
perak upeti, kami berterima kasih saja belum, mana berani
menerima duitmu lagi."
"Itu urusan ayahku, aku tidak bisa makan dan tinggal
percuma di tempatmu ini," sahut Nyo Liu-jing.
Setelah si pengurus menampik berkali-kali, akhirnya ia
terima juga uang perak itu.
"Baiklah, silakan engkau mengaso saja," katanya sambil
melangkah keluar kamar. Mendengar percakapan mereka, diam-diam Pang Lin
membatin, "Menurut pendengaran tadi, rupanya ayah wanita
bawel ini seperti orang dari golongan pendekar berbudi luhur."
Menyusul ia dengar pula suara keresekan di kamar sebelah,
lalu disusul suara tiupan memadamkan lampu.
Diam-diam Pang Lin berpikir, "Biar sesudah ia pulas, nanti
aku geledah kamarnya untuk melihat putri siapakah dia ini."
Selang agak lama, Pang Lin dengar di kamar sebelah sudah
mulai ada suara gerosan orang, ia mengerti orang tentu sudah
pulas. Tengah ia hendak bangun, tiba-tiba terdengar pula
suara tindakan orang banyak di luar dibarengi pintu
penginapan dibuka secara kasar, para tetamu penginapan pun
terperanjat, keadaan menjadi kacau balau.
"Opas mengadakan pemeriksaan, para tetamu diharap
tinggal saja dalam kamar masing-masing dan jangan keluar!"
terdengar pengurus penginapan berseru.
Mendengar ada opas yang hendak periksa kamar, Pang Lin
kebat-kebit, ia kenakan pakaiannya terus duduk di
pembaringan, la dengar suara tindakan opas itu seperti
membagi dalam dua kelorfipok dan memeriksa kamar
berbareng dari dua deretan.
Diam-diam Pang Lin siap sedia menghadapi segala
kemungkinan. Dalam pada itu mendadak dari kamar sebelah terdengar
suara ribut-ribut. "Kalian sudah selesai menggeledah belum?" terdengar Nyo
Liu-jing membentak dengan suara galak.
Tetapi bentakannya segera disambut dengan suara gelak
tertawa oleh seorang opas. "Haha, apakah kau ini perempuan
pengembara yang biasa menjual silat, dimanakah lakimu?"
"Huus, orang masih perawan lho!" timbrung opas yang lain.
Keruan Liu-jing menjadi gusar. "Jika sudah menggeledah,
lekas enyah dari sini!" dampratnya.
Akan tetapi opas yang duluan tadi masih coba menggoda
lagi dengan muka cengar-cengir. "Belum selesai, kamar sudah
selesai digeledah, tetapi badanmu masih belum!"
Baru habis kata-kata itu, segera terdengar suara "plak"
yang keras, agaknya muka si opas telah ditampar sekali,
saking kerasnya tempelengan itu sampai ia menjerit kesakitan
seperti babi disembelih. "Lekas enyah dari sini semua!" Nyo Liu-jing membentak
pula. Karena ribut-ribut ini, opas-opas yang sedang menggeledah
kamar tamu yang lain lantas merubung datang.
"Enyah!" kembali terdengar Nyo Liu-jing membentak.
Berbareng itu susul-menyusul ia geraki kedua telapak
tangannya, dengan gerak tipu 'Lik-tiat-chian-kin' (dengan
tenaga menjatuhkan barang seberat ribuan kati), satu gerak
serangan asli ilmu keluarganya, segera ia lempar dua opas
keluar pintu, sedang ia sendiri melolos pedang terus menyusul
melompat keluar. "Ah, perempuan ini begini galak!" seru opas-opas yang lain.
Dalam keadaan ribut-ribut itu, terdengar ada orang
membentak, "Tangkap dulu perempuan keparat ini!"
Seketika keadaan menjadi ramai dengan suara beradunya
senjata, pertempuran sengit telah terjadi di Cim-che
(pelataran) dalam penginapan itu.
Demi mendengar suara benturan senjata di luar, Pang Lin
terkejut. Katanya dalam hati, "Eh, mengapa dalam rombongan
opas ini terdapat orang pandai!"
Waktu ia coba melongok keluar, tertampak olehnya ada
empat opas sedang mengembut Nyo Liu-jing, kepala dari
empat opas ini adalah seorang yang memakai senjata 'Kaulianjio' (tombak berujung melengkung seperti arit), orang ini
ternyata menyerang dengan lihai sekali hingga Nyo Liu-jing
terdesak terus tanpa bisa balas menyerang, keadaan nona ini
cukup gawat. "Baiklah, mengingat sesama wanita, biar aku menolong
dia!" pikir Pang Lin. Menyusul ia sentilkan jarinya, kedua tusuk
konde yang diambil dari Nyo Liu-jing tadi ia sambitkan.
Ketika mendadak nampak munculnya Pang Lin, Nyo Liu-jing
menjadi kaget. "Celaka, orang busuk ini ternyata sekomplotan
dengan anjing alap-alap pembesar negeri! Sekali ini aku pasti
celaka!" demikian ia membatin.
Sementara itu orang yang memakai senjata Kau-lian-jio
dengan cepat berkelit, ketika mendadak nampak senjata
rahasia menyambar. "Awas!" berbareng ia coba peringatkan
kawannya. Namun sudah terlambat, dua opas yang ikut mengeroyok
Nyo Liu-jing seketika roboh terguling, kiranya jalan darah
mereka tertimpuk oleh senjata rahasia Pang Lin itu.
Kesempatan itu segera dipergunakan Nyo Liu-jing untuk
melompat keluar dari kalangan.
"He, tusuk kondemu itu kukembalikan, mengapa tidak kau
sambut!" dengan tertawa kembali Pang Lin menggoda.
Nyo Liu-jing tidak menghiraukan, secepat angin ia
menerjang keluar penginapan, sampai di luar ia masih
pentang gendewanya terus menghujani peluru ke dalam.
Orang yang memakai 'tombak-arit' tadi menjadi gusar,
dengan sekali menggerung ia putar senjatanya menyampuk
jatuh peluru yang mendekat itu, habis itu ia lantas hendak
menguber keluar. Tetapi tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan
berkata, "Tangkap bocah ini! Ah, dia bukan anak busuk, tapi
adalah budak liar yang menyamar lelaki, buronan yang
dikehendaki Hongsiang!"
Mendengar suara orang itu Pang Lin menjadi kaget,
perempuan ini ternyata Yap Hing-po adanya, yaitu istri Han
Tiong-san. Tanpa ayal lagi segera Pang Lin putar pedangnya terus
menerjang keluar, ia mencari jalan buat kabur, berbareng pula
ia ayun tangan kirinya, tiga bilah belati segera menyambar,
yang dua mengarah lelaki yang menggunakan senjata
'tombak-arit', sedang sebilah yang lain menuju Yap Hing-po.
"Ha, murid berbalik hendak menghantam sang guru!"
terdengar Yap Hing-po berkata dengan tertawa.
Menyusul ia pukulkan tangannya ke udara, belati yang
mengarah padanya terguncang balik oleh angin pukulannya
terus membentur kedua belati yang lain dan terjatuh semua
ke lantai. Sementara itu secepat terbang lelaki yang memakai senjata
Kau-lian-jio sudah memburu maju, dengan tipu 'Ku-coa-sokang'
(ular dan kura-kura menjaga sungai), begitu mengulur
tombaknya, segera ia bermaksud menggantol pedang Pang
Lin. Namun nona ini tak gampang diingusi, dengan gerakan
'Boan-liong-jiau-poh' (ular naga melingkar langkah), beruntun
dua kali serangan ia tusuk kedua opas di sampingnya hingga
roboh terluka, habis itu ia baliki tubuh terus menempur si
lelaki bertombak lagi. "Hai, lelaki busuk, orang yang dicari ada di sini, lekas kau
menyaksikan muridmu yang pintar ini!" terdengar Yap Hing-po
berseru sambil tertawa cekikikan.
Habis itu, mendadak terdengar suara gemuruh yang keras,
ternyata dinding papan sebuah kamar tamu di bagian barat
telah ambrol, di antara remukan papan itu terdengar pula
suara jeritan ngeri, menyusul dari dalam melayang keluar dua
orang secara beruntun "Perempuan busuk, titik pokok ada di sini!" terdengar juga
Han Tiong-san lagi berteriak.
Waktu Pang Lin melirik ke sana, di antara api obor yang
terang benderang ia lihat ada seorang Hwesio kurus kering,
kedua matanya bersinar dan berwibawa sedang unjuk
ketangkasan, sekali membentak, tangan kirinya menjambret
seorang lelaki terus dilempar ke bawah undak-undakan batu,
sedang tangan kanan begitu bergerak lantas mengguncang
pergi Pi-hun-tuh Han Tiong-san. "
Ilmu silat Han Tiong-san di dunia persilatan sudah terhitung
golongan kelas wahid, tetapi kini ia ternyata didesak mundur
terus oleh tenaga pukulan Hwesio tua itu.
Karena membagi perhatiannya buat memandang ke sana,
hampir saja Pang Lin kena tertikam oleh tombak orang yang
sementara itu telah menyerang. Terpaksa Pang Lin harus
kumpulkan seluruh perhatiannya untuk melawan musuh ini.
Sedang telinganya mendengar Han Tiong-san lagi berseru
pula, "Perempuan busuk, lekas kau kemari! Ong Go hati-hati
kau terhadap pisau budak liar itu. Kau harus menangkapnya
Petualangan Manusia Harimau 1 Pendekar Elang Salju Karya Gilang Si Dungu 6