Ceritasilat Novel Online

Tiga Dara Pendekar 2

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen Bagian 2


pendekar di Tionggoan yang mahir "Tui-hong-kiamhoat"
telah berakhir riwayatnya di pedusunan sunyi ini.
Adapun Liong Bok-kong yang tertendang dadanya juga
merasakan sakit yang tidak kepalang, darah segar
menyembur dari mulutnya, lekas ia mengatur napas untuk
menahan luka, dalam pada itu tiba-tiba terdengar Hiat-ti-cu
yang berada di sampingnya bersorak gembira dan berkata,
"Kionghi, kionghi, buronan kita telah terbunuh oleh kau orang
tua!" Walaupun dipuji, namun Liong Bok-kong tidak bergirang,
sebaliknya ia menjadi gusar. "Hm, kalian manusia tak
berguna ini, sesudah rnusuh mampus baru berani maju!"
dampratnya. Didamprat cara begitu, para Hiat-ti-cu itu terdiam, tidak
lama kemudian, seorang di antara mereka berkata dengan
nada dingin, "Baiklah, memang kami tak berguna. Dan kami
pun tidak ingin merebut jasamu, biarlah kau boleh potong
kepala Ciu Jing untuk dilaporkan
pada Si-hongcu!" Sesudah
itu mereka lantas hendak berlalu.
Dengan luka parah yang Liong Bok-kong derita, kalau tiada
orang memberi pertolongan pasti dia akan terkubur juga di
pedusunan sunyi ini. Kini mendengar lagu perkataan Hiat-ticu
tadi yang tidak akan urus dirinya, keruan Liong Bok-kong
menjadi khawatir. "Terbunuhnya penjahat besar ini semua punya bagian jasa,
buat apa kita harus bertengkar!" dengan muka manis ia
berkata. Hiat-ti-cu yang berkata tadi menjengek, lalu mereka
bangunkan Liong Bok-kong serta Lui Hay-im. Sejak itu, di
antara Liong Bok-kong dan kaum Hiat-ti-cu telah tertanarn
benih perpecahan. "Dan dimana pemuda yang menggunakan pedang tadi?"
tanya Lui Hay-im tiba-tiba sesudah sadar dari pingsannya.
"Di antara kawan kita sudah ada tiga atau empat orang
yang mengejar, kiranya ia takkan bisa lolos!" sahut seorang
jagoan di sarnpingnya. "Hm, belum tentu bisa menyandak orang!" kata Lui Hay-im
dengan sangsi. "Dia buron bersama Ong Ling!" menyambung pula seorang
jagoan lain. "0, kalau begitu masih ada harapan," ujar Lui Hay-im.
"Baiklah, lekas kalian utus dua orang memberitahu Hiat-ti-cu
yang di belakang, supaya mencegat ke jurusan lain!"
Kiranya Si-hongcu In Ceng menguber Ciu Jing kali ini
memang mempunyai dua tujuan. Pertama karena Ciu Jing
adalah bekas jago pengawal Kaisar Khong-hi, satu-satunya
jago pengawal penghianat yang masih hidup, hal mana
menjadi pantangan Khong-hi yang tidak mungkin membiarkan
bekas pengawalnya berkhianat, ia hertekad menangkap hiduphidup
untuk dicincang buat memberi peringatan pada yang
lain. Si-hongcu In Ceng dapat meraba maksud yang
dikandung ayah bagindanya itu, oleh karena itu ia perintahkan
bawahannya menguber secara giat, ia bermaksud
menunjukkan kemampuannya kepada ayah baginda untuk
merobohkan para Hongcu yang lain.
Tujuannya yang kedua ialah bermaksud merampas Yuliongkiam
dan "Tui-hong-kiam-boh" atau kitab rahasia ilmu
pedang "Tuihong"
yang dimiliki Ciu Jing. Si-hongcu In Ceng memang mempunyai ambisi besar
merebut kedudukan putra mahkota, maka ia tidak sayang
mengerahkan seluruh anak-buahnya. Di samping bersekongkol dengan pejabat-pejabat penting dalam istana
dan coba merebut kesayangan ayah bagindanya,
di pihak lain bila perlu ia pun tidak sayang menggunakan kekerasan
untuk perebutan takhta dengan mengalirkan darah, oleh karena
itu, ia paling banyak mengumpulkan jago jago silat dan ia sendiri
pun mahir ilmu silat, yang masih dirasakan kurang hanya
sebatang pokiam atau pedang pusaka saja.
Yu-liong-pokiam bekas milik Coh Ciau-lam cukup terkenal
dan diketahui benar oleh jago pengawal atau pelatih pasukan
Kimwi- kun yang sedikit berumur, sudah lama Si-hongcu
sendiri mengenal nama pokiam yang ia kagumi itu, maka
senantiasa berhasrat sekali
untuk memilikinya. Lui Hay-im adalah seorang di antara "Si-pa" atau empat
perkasa dart istana pangeran dan cukup disayang In Ceng,
maka ia pun paham isi hati yang dikandung pangeran
majikannya itu. Kini setelah
menyaksikan Ciu Jing terbunuh,
walaupun masih bisa merendam
kepala Ciu Jing dengan arak
obat untuk mempertahankan wajahnya
yang asli dan bisa ditunjukkan kepada Si-hongcu untuk dilaporkan
pula kepada Kaisar Khong-hi, namun bagaimanapun toh tidak
sebaik kalau bisa menangkapnya hidup-hidup, dengan begitu dapat
melampiaskan ganjalan hati Khong-hi selama ini. Oleh sebab
itu juga tujuan pertama Si-hongcu boleh dikata terlaksana
setengah, sedang pokok tujuann kedua tetap masih belum
terkabul. Sebab itu pula Lui Hay-im bersikap kurang senang.
Sebaliknya Liong Bok-kong yang senjatanya patah, mata
kiri buta dan tubuhnya terluka parah, setelah berhasil
membunuh Ciu Jing, ia mengira telah mendapat jasa yang
maha besar, tak terduga Lui Hay-im dan kawanan Hiat-ti-cu
lainnya masih kurang puas dan tak memuji padanya, tentu
saja dalam hati ia pun merasa mendongkol
dan penasaran. Kembali pada diri Teng Hiau-lan. Sewaktu pertempuran
sengit tadi ia tidak sempat menggunakan senjata rahasia Huibong,
setelah diinsafkan Ciu Jing, barn ia hamburkan senjata
rahasia untuk menyerang- musuh. Sementara itu tiga empat
anggota Hiat-ti-cu yang kehilangan senjata Hiat-ti-cu masih
tak tahu kelihaian orang, mereka
masih terus mengejar. "Suheng, kau lindungi Suso jalan dahulu, biar aku
membereskan beberapa keroco yang tidak kenal mati-hidup
ini!" seru Teng Hiau-lan pada Ong Ling.
"Baik, mari kita jalan dulu!" dengan girang Ong Ling
berkata pada Khong Lian-he menurut pesan Sutenya itu.
Tak tahunya Khong Lian-he berpikir lain, ia malah
merandek dan tidak mau pergi.
"Kalau ada kesukaran harus sama-sama kita pikul!"
ujarnya. "Ong-suheng, harap kau membopong Ing-ji!"
Sesudah itu dengan golok terhunus ia hendak membantu
Teng Hiau-lan bertempur lagi.
Keruan Ong Ling menjadi serba susah, terima membopong
anak salah, tak menerima, rasanya pun keliru. Dalam pada itu
terdengar bentakan Teng Hiau-lan berulang-ulang, "Roboh,
roboh!" Terlihat ia mengayun kedua tangan, empat musuh dalam
sekejap sudah roboh separoh, tinggal dua orang pun terluka
oleh Huibong hingga gerak tubuh mereka menjadi tak
leluasa, sudah tentu Teng Hiau-lan tidak ayal, Yu-liong-pokiam
berputar secepat angin, beberapa kali serangan saja sudah
membikin dua Hiat-ti-cu itu kalang
kabut. Sementara itu dengan tombaknya, Ong Ling memburu
maju hendak membantu. "Sute, biar aku bantu kau!"
teriaknya. Tetapi sebelum ia sampai di tempat, pedang Teng Hiau-lan
telah menyapu ke kiri dan menyabet ke kanan, dua jagoan
musuh itu sudah lebih dulu dibereskannya.
"Kiam-hoat bagus!" mau tak man Ong Ling memuji. Tetapi
dengan segera ia seperti teringat sesuatu.
Ketika Teng Hiau-lan menoleh ke belakang, ia lihat Khong
Lian-he sedang tersedu-sedan dengan perlahan, berduka
mengingat rumah tangganya yang berantakan dan anggota
keluarganya yang mati. Sedang Pang Ing tampak tertidur
nyenyak dalam pangkuan ibunya.
"Sumoay," kata Ong Ling, "urusan sudah telanjur begini,
baiknya jangan terlalu bersedih, paling perlu hendaklah
menyelamatkan diri dahulu!" "Kasihan anak ini," dengan air mata masih berlinang Khong
Lian-he berkata sambil mengusap muka Pang Ing yang mungil
memerah apel itu. "Baru menginjak umur setahun sudah
harus mengalami rumah tangga berantakan dan keluarga
berpisah. Dia dan adiknya
entah kapan baru bisa bersua
kembali?" "Ciong-tayhiap berkepandaian tinggi, ia berjanji pula
hendak menerima Pang Lin sebagai murid, kukira mereka
tak,akan mengalami apa-apa, harap Suso jangan bersedih,"
ujar Hiau-lan. Meskipun Khong Lian-he tergolong wanita gagah perkasa,
tapi mendadak mengalami malapetaka semacam ini, tak
urung hatinya jadi gundah dan tak bisa berpikir dengan baik
lagi. "Dan bagaimana, kini kita harus menuju kemana?"
tanyanya dengan hampa. "Kuncu (laki-laki) hendak balas dendam, biar sepuluh tahun
masih belum lambat," kata Ong Ling. "Biar kau ikut aku ke
kotaraja saja. Aku tinggal di Piauhang sana, kenalan cukup
banyak, lagi pula Hiat-ti-cu di ibukota pun tidak kenal kita, kau
dan Titli boleh tinggal bersamaku di sana, nanti kucarikan
guru terpandai untuk mengajar ilmu silat padanya, kira-kira
jalan ini adalah paling baik."
Namun Teng Hiau-lan tidak sepaham dengan Suhengnya, ia
berpikir sejenak, setelah itu baru berkata, "Suso, lebih baik
kita pergi ke Thay-hing-san saja!"
"Apa" Thay-hing-san?" tanya Khong Lian-he tak mengerti.
"Ya, bukankah dikatakan Ciu-tayhiap tadi bahwa orangorang
gagah dari lima propinsi utara, tiap lima tahun sekali
pasti mengadakan pertemuan di sana?" Hiau-lan
menerangkan. "Hari Tiongchiu tahun ini justru adalah hari
pertemuan mereka, tempatnya ialah di Thay-hing-san!"
"Ada sangkut-paut apa pertemuan orang-orang gagah lima
propinsi utara dengan kita?" tanya Ong Ling.
"Usiaku masih muda dan pengalamanku cetek, tetapi
melihat kaum Hiat-ti-cu bergerak secara besar-besaran, dapat
diduga di belakang mereka tentu ada sisa-sisa komplotannya,
dari sini perjalanan ke kotaraja terlalu jauh, di tengah jalan
akan banyak mengalami bahaya,"
ujar Teng Hiau-lan, "sebaliknya dari sini ke Thay-hing-san hanya beberapa hari
saja, dalam beberapa hari ini para ksatria lima propinsi
beruntunpun datang, seandainya Hiat-ti-cu berani mengejar
kita, sedikitnya mereka harus pikir-pikir"juga."
"Huh, kau seperti kenal orang-orang gagah itu saja?" ejek
Ong Ling. "Berdasar apa kau mengharap mereka akan menjadi
pelindung kita " Teng Hiau-lan tidak menggubris ejekan orang, ia
melanjutkan omongannya, "Walaupun aku tidak banyak
mengenal orang, tapi manusia yang berbudi tentu banyak
juga, biarpun bukan sanak famili,
kalau melihat ada ketidakadilan,
tentu mereka akan angkat senjata membantu!"
Karena kedua orang saling mempertahankan pendirian,
Khong Lian-he menunduk sambil berpikir, ia sendiri tidak bisa
mengambil sesuatu keputusan.
"Sute, kau punya Kiam-hoat siapa yang mengajarkan?"
tiba- tiba Ong Ling bertanya. "Sudah tentu Suhu!" sahut Hiau-lan. Tetapi segera ia
merasa kurang tepat jawabannya itu.
"Coba pinjam pokiammu itu!" kata Ong Ling pula.
Melihat Ong Ling mendesak, tiba-tiba Hiau-lan teringat
pesan Ciu Jing, kecurigaannya lantas timbul, segera ia
menjawab, "Ini adalah pemberian Ciu-tayhiap, ia berpesan
sekali-kali tak boleh berpisah
dengan pedang ini, walaupun
Suheng yang minta, terpaksa aku tak berani mengingkari


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pesan Ciu-tayhiap." Ong Ling menjengek, lalu bertanya lagi, "Kau berasal
darimana?" "Aku telah piatu sejak kecil dan menggelandang di
Kangouw, aku sendiri tak tahu berasal darimana," sahut Hiaulan.
"Bukankah kau lama tinggal di Kwangwa?" desak Ong Ling.
"Ya," jawab Hiau-lan. "Untuk apakah Suheng bertanya semua
ini?" Ong Ling tidak menjawab, sebaliknya ia berpaling dan
berkata pada Khong Lian-he, "Sekian lama aku berada di pintu
perguruan Suhu, tapi belum pernah kutahu Suhu bisa
menggunakan pedang, Teng-sute baru datang setahun, tibatiba
Suhu mengajarkan padanya Kiam-hoat yang luar biasa,
nyata masing-masing mempunyai jodoh sendiri. Sumoay, kita
dibesarkan di tempat yang sama, asal-usul kita cukup jelas.
Tetapi Sute ini datang jauh jauh dari Kwangwa, dan Suhu
begitu sayang padanya, maka asal-usulnya pasti tidak biasa!
Hanya sayang, ia masuk perguruan baru setahun dan Hiat-ticu
sudah lantas mengunjungi kita, bukannya aku tahayul, tapi
mungkin perbintangannya berpengaruh jelek terhadap jiwa
Suhu!" Dengan perkataan Ong Ling itu, terang ia mendakwa asalusul
Teng Hiau-lan tidak jelas, bahkan mengandung tuduhan
Teng Hiaulan yang mendatangkan Hiat-ti-cu membinasakan
keluarga Suhu. Sesungguhnya Teng Hiau-lan sudah naik darah dan hampir
mengunjuk kemurkaan. Tetapi segera ia ingat bahwa pada
saat demikian ini tidak seharusnya bertengkar di antara
saudara seperguruan sendiri. Padahal asul-usul dirinya
memang penuh rahasia yang sukar untuk diterangkan,
Suhengnya tidak tahu, pantas dia menaruh curiga. Karena
pikiran ini, api amarah Hiau-lan jadi agak reda, ia hanya
memandang Khong Lian-he. Dengan penuh perhatian Hiau-lan menunggu sikap Khong
Lian-he, ia telah ambil keputusan, apabila Suso atau ipar
perguraannya menaruh curiga, terpaksa ia hendak tinggal
pergi. Pada waktu Pang Kong-tiau bercerita dengan Ciong Bantong
tentang kisah Teng Hiau-lan, Ong Ling masih belum
datang, tetapi Khong Lian-he berada di situ, oleh karenanya ia
tahu walaupun asal-usul Sutenya ini tidak terang, namun
titipan Ciu-tayhiap yang berpesan agar bapak mertuanya
mengajarkan ilmu padanya. Maka terhadap perkataan Ong
Ling yang bermaksud memecah-belah, ia sangat tidak senang,
sebenarnya ia belum berani mengambil sesuatu keputusan,
tiba-tiba ia mendongak dan berkata, "Pikiran Teng-sute
memang beralasan, marilah kita menuju ke Thay-hing-san
dulu!" Ong Ling tercengang oleh ketetapan Khong Lian-he itu.
Sementara itu dengan menuding Pang Ing, Khong Lian-he
melanjutkan pula, "Kami ibu dan anak selamat berkat
pertolongan kalian, kita bertiga hendaklah bersatu-padu
menghadapi musuh, bagaimanapun
jadinya, pada jelmaan hidup yang akan datang, aku pasti akan membalas budi luhur
kalian!" Mendengar ucapan Khong Lian-he ini, Ong Ling insaf
dirinya dicurigai hendak memecah-belah, oleh karenanya ia
tak berani banyak omong lagi. "Hematku, lebih selamat kalau kita menuju ke kotaraja,"
katanya kemudian. "Kalau Sumoay dan Sute sudah
menetapkan ke Thay-hing-san lebih dulu, aku yang jadi
Suheng, sekalipun harus mengorbankan jiwa akan mengiringi
Sumoay ke sana!" Thay-hing-san, sebuah gunung yang terletak di barat laut
Holam, jaraknya kira-kira lima hari perjalanan dari Lu-ciu.
Menurut perhitungan Khong Lian-he, hari Tiongchiu masih ada
tiga hari lagi, begitu tiba di Thay-hing-san, para pahlawan
yang berkumpul di sana baru dua hari, jadi mereka masih
belum bubar. Sepanjang jalan Ong Ling mengunjuk sikap kurang
tenteram, Khong Lian-he mengira tentu akibat perselisihannya
dengan Teng Hiau-lan, maka ia tidak menaruh sesuatu curiga.
Setelah berjalan dua hari, mereka sampai di kota Lokyang,
Ong Ling sudah banyak berpengalaman di Kangouw, dengan
sedikit memperhatikan saja sudah nampak adanya tokohtokoh
kaum Lok-lim (kawanan yang hidup di hutan atau
gunung, sebutan lain bagi kaum begal atau bandit) berkeliaran
di dalam kota, maka diamdiam ia pun waspada. Teng Hiau-lan pun berlaku hati-hati, pada waktu mereka
hendak mencari pondokan, tiba-tiba nampak Ong Ling
memanggut pada sekelompok laki-laki tegap, waktu ditanya,
Ong Ling mengatakan bahwa itu hanya rekan sekerja yang
tidak begitu rapat hubungannya,
maka cukup sedikit memberi
salam saja. Meski ada keterangan begitu, malam itu Teng Hiau-lan
tidak berani tidur nyenyak, pedang disiapkan didekatnya dan
senjata rahasia Hui-bong tergenggam di tangan. la berjaga
sepanjang malam, ternyata tidak terjadi sesuatu.
Hari ketiga mereka sampai di Bengcin, sebuah kota muara
penting dan ramai dengan talu-lintas darat dan sungai. Ketika
memasuki kota, tiba-tiba tertampak serombongan laki-laki
kekar tegap sebangsa Soatang (Santung), naik beberapa
kereta besar sedang menuju
keluar kota dengan cepat.
Pemimpin rombongan menunggang seekor kuda tinggi bagus
berbulu kuning, seorang lelaki yang bermuka
hitam kemerahmerahan. Ketika melihat Teng Hiau-lan bertiga, agaknya laki-laki itu
heran, pada waktu berpapasan, mendadak laki-laki tadi
bertanya, "Kalian hendak menuju kemana?"
"Menyambangi famili di Bengcin sini!" jawab Ong Ling.
"Bukan ke Thay-hing-san?" tanya pula lelaki tadi. "Bukan,
bukan!" berulang Ong Ling menyangkal.
Selagi lelaki itu hendak bertanya lagi, dengan tergesa-gesa
Ong Ling lewat dan masuk ke kota, di antara orang-orang
yang ada di atas kereta tadipun sedang mendesak kawannya,
"Toako, mari lekas berlalu!" Dengan mengempit kencang kudanya, lelaki itu lantas
kabur menyusul kawan-kawannya, tetapi kadang kala masih
menoleh memandang Ong Ling dan kawan-kawan. .
"Siapa dia, Suheng!" tanya Hiau-lan sesudah mereka masuk
ke dalam kota. "Beng Kian-hiong, yang terkenal sebagai orang gagah di
Lohse Holam barat," Ong Ling menerangkan.
Teng Hiau-lan pernah mendengar Ciu Jing mengisahkan
pahlawan dan orang-orang gagah zaman ini, maka ia tahu
Beng Kianhiong adalah tokoh kenamaan yang pandai
menggunakan "Hui-hwetan,
semacam pelor berapi, dan
pemimpin dunia persilatan di Holam
barat, maka ia jadi heran. "Malam ini para pahlawan dari lima propinsi utara
berkumpul di Thay-hing-san, Beng Kian-hiong tidak ikut hadir,
sebaliknya ia datang dari jurusan sana, bahkan tampaknya
tergesa-gesa!" begitu pikirnya dengan tidak mengerti.
Maka ia bertanya lagi pada Ong Ling, "Beng Kian-hiong
terhitung tokoh Bu-lim, kenapa Suheng tak berterus-terang
padanya?" Ditanya begitu, hati Ong Ling jadi tidak tenteram, wajahnya
mendadak berubah, segera ia berkata dengan menertawai
Sutenya itu, "Sute, bukan aku mengolok kau, pengalamanmu
di Kangouw memang masih cetek, Kata pepatah: "Tahu
orangnya, tahu mukanya, tak tahu hatinya". Apalagi Beng
Kian-hiong tiada sesuatu hubungan dengan kita, bagaimana
kita boleh sembarang bicara terus terang pada
orang lain?" Pada waktu mengucapkan itu, ia memandang sekejap
pada Khong Lian-he. "Memang tak salah perkataan Suheng, tiada jeleknya
berhati-hati sedikit," ujar Lian-he.
Namun tidak demikian dengan Teng Hiau-lan, ia malah
bertambah curiga. Malam ini di Bengcin, ia tetap tak berani
tidur nyenyak, sampai esok paginya masih tidak terjadi
sesuatu pula. Pada hari keempat mereka sampai di Siubu, sebuah kota
kabupaten kecil. Sebenarnya perjalanan selewatnya Bengcin
sudah boleh dikata memasuki tanah pegunungan, tapi
sepanjang jalan ternyata ramai orang hilir-mudik.
Waktu Ong Ling mengamati, berulang-ulang tertampak
tokohtokoh kalangan Kangouw yang berpapasan dengan
mereka dalam kelompok bertiga atau berlima. Diam-diam Ong
Ling bergirang. Sementara itu Teng Hiau-lan pun sudah dapat mencium
gelagat yang agak ganjil, hanya Khong Lian-he saja yang
jarang keluar rumah dan kurang pengalaman, ia masih
terselimut belum sadar. Malam itu mereka bermalam pada suatu rumah pondok di
kota tiiubu, barn saja mereka meletakkan buntalan bekal, tibatiba
dikejutkan suara rintihan yang datang dari kamar
sebelah. Teng Hiau-lan coba melongok, ia lihat pada pembaringan
kamar sebelah rebah seorang sakit, di dalam kamar masih
duduk dua orang lelaki dan seorang gadis. Gadis itu bermata
jeli dan alis lentik, tanda kekanak-kanakan masih belum
lenyap, umurnya paling banyak
antara lima enam belas saja.
Ketika nampak Hiau-lan melongok,
dengan bengis anak dara itu pelototkan matanya. "Hai, apa yang kau lihat!" tegurnya sambil mencibir.
Tidak demikian dengan kedua lelaki itu, waktu mendengar
suara teguran, mereka berbangkit dan lantas Kiongciu
(bersoja) sambil berkata, "Khek-koan (tuan tamu), silakan
duduk kemari!" Ong Ling coba menahan, namun sudah tak keburu lagi,
Hiaulan telah mengeluyur pergi ke kamar sebelah.
Yang rebah di pembaringan kamar sebelah memang betul
orang sakit, malah selimutnya masih ada noda darah. Ketika
Hiaulan masuk kamar, orang yang rebah sekonyong-konyong
bangun, ternyata seorang kakek kurus kering berwajah kuning
hangus, tetapi begitu kedua matanya terbentang, sinar
matanya yang tajam mengkilap
membikin orang merasa keder. Si kakek memandang Hiau-lan sejenak, lalu menggeleng.
"Di depan, orang berilmu tak usah berdusta, katakan apa kau
man pergi ke Thay-hing-san?" tiba-tiba ia bertanya pada Hiaulan.
Karena belum jelas latar belakang orang ini, Hiau-lan tak
berani mengatakan terus terang, malah sebaliknya ia
bertanya, "Apa Locianpwe datang dari Thay-hing-san?"
Orang tua kurus kering itu bersuara heran, rnenyusul
mendadak ia mengulur tangan dari dalam selimut dan
merangsek ke pundak Teng Hiau-lan. Dengan suara kaget,
tak tertahan tubuh Hiau-lan tertekan mendak ke bawah.
"He, Locianpwe, apa artinya ini?" tanya Hiau-lan dengan
mata membelalak. Si kakek tertawa bergelak, kemudian menarik kembali
tangannya. "Ah, Lohu (orang tua, sebutan pada diri sendiri)
ingin turun dari pembaringan, maka minta tolong kau
memapah aku, tak tahu nya kau ternyata begini lemah!"
katanya kemudian. Sementara itu si gadis lekas maju memayang si kakek dan
memberi kedipan mata padanya.
"Bocah ini bukan orang Kangouw!" kata si kakek
menggeleng kepala pula. Sudah tentu Hiau-lan mendongkol, maka segera ia kiongciu
dan mohon diri. "Aku berharap ia bukan orang yang hendak pergi ke
Thayhing- san! Dengan sedikit kepandaiannya ini, jika naik ke


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gunung itu, seratus jiwanya pun tak akan selamat!" terdengar
si kakek berkata perlahan di belakangnya. Suara
perkataannya rendah, tetapi tiap katanya jelas tandas, seperti
sengaja diucapkan agar didengar Teng Hiau-lan.
Dengan rasa mendongkol dan curiga Hiau-lan kembali ke
kamarnya, ia tak mengetahui si kakek itu kawan atau lawan.
Ketika Ong Ling bertanya, khawatir ditertawai, Hiau-lan tak
berani menceritakan bagaimana dirinya mendapat malu, ia
hanya mengatakan mereka tamu perjalanan biasa saja, karena
kesepian dalam pengembaraan, maka memanggilnya untuk
mengobrol. Sudah tentu Ong Ling tak gampang percaya, ia
mengunjuk senyum ejekan, namun Teng Hiau-lan tak
menggubris. Malamnya Hiau-lan kembali tak enak tidur lagi. Sampai
tengah malam, sekonyong-konyong terdengar suara
gedubrakan ramai di luar, pintu depan rumah pondokan
didobrak orang dan terangbenderang
oleh api obor. Ketika Hiau-lan bangun dan mengintip, ia lihat dari luar menerjang
masuk belasan laki-laki dan menggeledah setiap kamar
dengan mendobrak pintu. Tetapi tamu kamar sebelah tanpa
menunggu orang-orang itu datang, sudah mendahului
membuka piutu, si kakek kurus kering itu berdiri di ambang
pintu dengan dipayang si gadis.
"Thi-cio-sin-tan Nyo Tiong-eng ada di sini, jangan ganggu
orang lain yang sedang tidur!" serunya sambil menyandar
pintu. Dengan munculnya orang yang mereka cari, rombongan
tadi berseru ramai. Mendadak suara aneh berdesiran, tiga bola
baja secepat kilat menyambar ke jurusan si kakek.
"Hiat-ti-cu!" desis Hiau-lan kaget.
Tiba-tiba ia merasa pundaknya tertindih, entah sejak kapan
Ong Ling sudah bangun dan memegang pundaknya.
"Ada apa?" bentak Hiau-lan dengan suara tertahan.
"Sssst, jangan sembarang bergerak!" sahut Ong Ling
dengan mendesis. Segera Teng Hiau-lan menarik pundak dan mendoyong ke
belakang, ia punahkan cekalan Ong Ling tadi, karena
mendadak kehilangan imbangan badan, hampir saja Ong Ling
terjerembab keluar kamar.
"Teng-sute," lekas ia berkata. "Mereka berkawan banyak,
kita pun belum unjuk sesuatu tanda mencurigakan, jangan
ikut campur hingga terlibat di dalamnya!"
Teng Hiau-lan mengiakan, dalam hati ia berpikir, "Eh, kiranya
Suheng masih bermaksud baik, biarlah kulihat perkembangan selanjutnya." Dalam pada itu, tiga buah
Hiat-ti-cu sudah menyambar
sampai di atas kepala si orang tua dan baru saja hendak menutup ke bawah, mendadak mumbul dan terbang kembali!
Si kakek menarik kedua tangannya dan segera menyambut
gendewa dan pelornya dan tangan si gadis, dengan suara
bentakan, gedewanya dipentang hingga hampir bulat, segera
pelornya laksana bintang meluncur menyambar serabutan,
kawanan penyatron itu dihantam hingga kalang-kabut, dalam
sekejap sudah roboh beberapa orang.
Dari pihak lawan tiba-tiba melompat maju seseorang
dengan sebat, ia memakai sarung tangan kulit menjangan dan
berulang melompat naik turun, ia sambut semua pelor terus
dibuang. "Sin-tan (pelor sakti) sudah dicoba, kini coba kau punya
thicio (tangan besi)!" teriaknya dengan lantang.
Dengan sekali lompat ia sudah sampai di depan si orang
tua, kedua tangannya bergerak, kontan dua lelaki di samping
si kakek terhuyung mundur ke belakang. Dalam pada itu si
kakek telah mengirim sebelah telapak tangannya secepat
kilat, kedua tangan lawan yang sedang menyerang dengan
tepat berpapasan tangan si kakek, tetapi yang tersebut
belakangan ini tidak berhenti sampai di situ, tangan kiri cepat
memukul pula. "Plak", dengan keras mengenai paha kiri
musuh, berbareng si kakek membentak, "Roboh!"
Orang itu sempuyungan mundur beherapa tindak. tetapi
segera berpaling dan berseru, "Thi-cio pun sudah kurasakan,
namun justru tidak roboh seperti keinginanmu. Hayo, maju
berbareng tangkap tua bangka ini!" Menyaksikan gebrakan sengit itu, Teng Hiau-lan terkejut
dan melongo, ia pernah mendengar cerita Ciu Jing bahwa Thiciosintan (telapak tangan besi pelor sakti) Nyo Tiong-eng
adalah orang gagah nomor satu di lima propinsi utara,
kemahiran ilmu silatnya di atas Ciu Jing. Tetapi entah
mengapa kini ia pun menderita luka" Lagi
pula hari ini adalah hari pertemuan para pahlawan di atas Thayhingsan, kenapa ia malah berada di sini" Sedang orang yang terkena
pukulannya tadi tidak roboh, ilmu silatnya juga sangat tinggi.
Sementara itu kedua belah pihak sudah berada dalam
perkelahian yang gaduh dan keroyokan, si lelaki yang
menandingi Nyo Tiong-eng mempunyai gerak tubuh dan
langkah yang aneh dan gesit sekali. Sebaliknya Nyo Tiong-eng
telah terluka parah, gerak-gerik kaki tidak leluasa, tapi kedua
kakinya menancap begitu kuat laksana
gunung yang tak tergoyahkan, angin pukulannya menyambar dengan
sangat lihai, sejauh delapan kaki di sekitarnya, musuh tak berani
coba mendekatinya. Si gadis tadi dengan menggunakan "Liu-yap-to", golok
berbentuk sempit seperti daun Liu, tidak pernah
meninggalkan si orang tua, sinar goloknya yang gemerdep
dimainkan dengan cepat, ilmu golok yang dimainkan ternyata
cukup lihai. Selamanya belum ada orang yang sanggup menerima satu
kali pukulan Nyo Tiong-eng, tetapi kini musuh tidak roboh
dipukulnya, mau tak mau ia terperanjat juga."
Yang datang ini apa murid Pat-pi-sin-mo?" bentaknya
bertanya sesudah pertempuran lewat tak lama lagi.
Tapi segera dijawab lawannya dengan tertawa aneh, "Kau
beruntung bisa lolos di bawah telapak tangan Suhuku, kini
justru kau ketumbuk padaku, apa yang hendak kau katakan.
Thi-cio-sin-tan, hari inilah hari ajalmu!"
Sesudah itu mendadak ia menubruk maju dan menyerang
dengan cepat, Nyo Tiong-eng tidak unjuk kelemahan, telapak
tangannya menyambar berulang-ulang, tetapi gerak tubuh
orang itu sangat cepat, begitu berkelit segera ia maju pula, ia
tak membiarkan dirinya terkena pukulan lawan, agalulya ia
sengaja hendak membikin letih Nyo Tiong-eng.
Karena tak bisa bergerak dengan leluasa, maka Nyo Tiongeng
berada di pihak lemah, meskipun kepandaian silatnya
berada di atas lawan, namun ia tak mampu mengejar dan
menggempur lawannya. Tiba-tiba ia mendapat akal, pura-pura ia gerakkan tangan
kiri, selagi lawan mengegos ke samping, mendadak Nyo
Tiong-eng melangkah maju setindak dan tangan kanan
segera memukul dengan cepat, segera terdengar jeritan ngeri,
seorang musuh yang mengeroyok
si gadis dihantam hiigga terpental jauh dengan kepala remuk. Seketika musuh yang
mengeroyok jadi kalang-kabut.
"Serang bagian bawah anak dara itu!" lelaki tadi berseru.
Kemudian ia sendiri melompat dan menerkam, ia hendak
mencengkeram si kakek. Nyo Tiong-eng menyambut
musuhnya dengan satu pukulan ke atas, tetapi lawan sudah
menancapkan kaki ke samping
kiri dengan perlahan untuk
kemudian mendadak kakinya menyapu,
si gadis memang kurang kuat latihan kakinya, terpaksa harus mundur untuk
menghindari serampangan musuh, karena itu memberi
kesempatan pada lawan yang lain, dengan beramai mereka
maju memotong ke tengah antara si kakek dan si gadis!
Si gadis dan dua orang Suhengnya menghadapi musuh
tangguh, beruntun mereka harus berhadapan dengan maut,
sedang Nyo Tiong-eng sendiri kena dipaku oleh murid "Pat-pisinmo" (Iblis sakti bertangan delapan), ia tidak bisa berkutik.
Dalam pertarungan sengit itu, mendadak Nyo Tiong-eng kena
dicakar sekali, pundak kanannya mengucurkan darah, kulit
dagingnya terbeset, untung, lawan
tadi sudah terkena pukulannya hingga tenaganya banyak berkurang,
kalau tidak, cakaran tadi pasti berarti maut baginya.
Si gadis berseru terkejut karena si orang tua terluka, ia
sendiri hampir kena dibacok musuh sebab lengahnya itu.
"Jing-ji, lekas gunakan Soan-hong-sau-yap-ngo-hou-toanbunto!"
Nyo Tiong-eng meneriaki gadisnya.
Mendadak si gadis sadar, ia menurut, tipu silatnya segera
berubah, sinar golok berkilauan, ia selalu menyerang dari
bawah ke atas untuk melindungi kuda-kudanya yang kurang
kuat, beberapa lawan menjadi kelabakan menghadapi ilmu
golok "Angin puyuh" yang lihai ini.
Tak lama kemudian kembali terdengar Nyo Tiong-eng
berteriak, pundak kirinya terluka pula oleh cengkeraman
musuh, saking gugupnya keringat mengucur deras sebesar
kedelai. Sebenarnya Teng Hiau-lan merasa dongkol terhadap si
kakek, sesudah tahu orang adalah Nyo Tiong-eng,
pandangannya berubah dan rasa hormatnya lantas timbul. la
siapkan senjata rahasia Huibong,
dengan menggunakan tenaga dalam ia rusak ruji jendela, beruntun
ia ayun kedua tangannya, Hui-bong di tangan kanan ia incar si lelaki dan
Hui-bong di tangan lain dihamburkan pada musuh yang
mengeroyok si gadis. Senjata rahasia Hui-bong, semacam duri tumbuhan kecil
tapi keras dan hanya terdapat di Thian-san, bobot sangat
enteng. Secara mendadak dihamburkan waktu kedua belah
pihak sedang bertempur sengit, kontan beberapa anggota
Hiat-ti-cu yang mengeroyok si gadis
segera menjerit, agaknya ada dua orang yang terkena Hui-bong dan roboh, sedang
sisanya yang lain beramai lantas lari berpencar.
"Pengecut darimana hanya berani membokong?" damprat
mereka penasaran. Lelaki tadi berilmu silat tinggi, meski berada dalam
pertarungan sengit, matanya selalu mengawasi enam arah,
yaitu, timur, barat, utara dan selatan, ditarnbah atas dan
bawah. Sedang telinga selalu mendengarkan delapan penjuru.
Meskipun suara sambaran Hui-bong begitu halus, tapi
segera ia berasa, di antara seruan orang, tiba-tiba ia
melompat pergi dan pasang
kuping mendengarkan dengan
cermat, sesudah itu mendadak ia melompat lagi melayang ke
tempat persembunyian Teng Hiau-lan!
Ong Ling tidak tahu bahwa Teng Hiau-lan diam-diam
melepaskan senjata rahasia, melihat lelaki itu menubruk ke
tempatnya, ia sangat terkejut dan lekas mendekam
menyembunyikan diri ke pojok kamar. Berlainan dengan Teng
hiau-lan yang segera menyambut dengan
segenggam Huibong. Namun lelaki itu tertawa terkekeh, ia kibaskan lengan
bajunya dan Hui-bong yang dihamburkan itu serentak
menyambar balik, lekas Hiau-lan mendekam ke bawah,
menyusul ia dengar suara nyaring gemerisik tiada hentinya!
Ternyata Hui-bong menerobos di antara ruji jendela dan
menancap di dinding. Dalam pada itu, terdengar suara
"kraak", ruji jendela
patah, sebuah tangan besar lebar
menyelonong masuk, malah membawa angin santar. Dalam
sekejap itu Teng Hiau-lan merasakan
kulit kepalanya dingin dan kaku, segera ia akan kena dicengkeram
orang. Syukur dengan gerakan "Le-hi-tah-ting" atau ikan lele meletik, ia
sempat menggelundung pergi sejauh lebih setombak, dan


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pada saat itu juga terdengar di luar ada orang mencaci-maki,
"Tak tahu malu, tua menganiaya muda!"
Menyusul terdengar suara benturan keras seperti kayu
besar yang saling tumbuk, tangan aneh tadi mendadak
menyurut lenyap dan suara bentakan tadipun berhenti
seketika. Walau tubuh Teng Hiau-lan kecil, tapi hatinya tabah, segera
ia herdiri kembali dan mengintip keluar, ia lihat di luar sudah
bertambah dua tamu aneh, yang seorang kurus jangkung, biji
mata putih mendelik, seorang lagi gemuk kate, tingginya kirakira
hanya lima kaki. kedua orang ini bertangan kosong dan
sedang mengawasi si lelaki tadi.
Sementara itu di lantai bergelimpangan lima enam orang,
entah roboh terpukul oleh dua tamu aneh ini atau kena
dijungkalkan pukulan Nyo Tiong-eng.
"Kalian Kwantang-si-hiap ternyata juga ikut berkecimpung
dulam air keruh ini!" terdengar si lelaki tadi berseru aneh.
"Kalau begitu, hari ini ajalmu sudah sampai!"
"Kami empat saudara tidak takut langit dan tak gentar
bumi, si ihlis tua gurumu saja ingin kami temui, jangankan
hanya Bu-bengsiau- cut (orang kecil tak ternama) macam kau
ini!" jawab si kate dengan tertawa. "Tang Thay jing, lebih baik
kau panggil Suhu dan Sui0kmu yang maju, tangan kami tidak
sudi membunuh manusia tak terrnama"
Baru kini Teng Hiau-lan mengetahui si lelaki yang
menempur Nvo Tiong-eng tadi bernama Tang Thay jing.
Diam-diam ia membatin, "Orang macam apakah Tang Thay
jing ini" Ciu-pepek yang biasanya suka bercerita tentang tokoh
dunia persilatan, selamanya belum pernah menyebut
namanya, kelihatannya ilmu silatnya tidak dibawah Ciu-pepek,
namun kedua orang yang datang belakangan ini menyebutnya
sebagai Bu-beng-siau-cut, kalau begitu ilmu silat mereka
berdua tentu sukar diukur. Tang Thay jing menyebut mereka
Kwantang-si-hiap (empat pendekar dari Kwantang, timur luar
tembok besar disebut Kwantang), kalau begitu tentu masih
ada dua orang lagi yang belum datang."
Dengan tertawa cekikikan aneh, mungkin saking gusar dan
dongkol, Tang Thay jing mengulur tangan hendak menjambret
si jangkung. "Site, kau lempar semua orang itu keluar!" seru si jangkung
pada si kate, sesudah itu tiba-tiba ia bersiul panjang dan
sepuluh jari tangannya menjulur, tiap jarinya memakai sebuah
cincin baja, jambretan Tang Thay jing sampai setengah jalan
lekas diurungkan, lalu tubahnya sedikit mendak, ia ubah
jambretan menjadi menyerang bagian
bawah lawan. Si jangkung bertubuh panjang dan tangan juga panjang,
de- ngan kedua tangan ia menekan ke bawah, dalam sekejap
itu mereka sudah bergebrak beberapa jurus.
Tiba-tiba Tang Thay jing berseru aneh, ia berjongkok,
dengan gerak `Boan-liong jiau-poh" (naga melilit melingkar
langkah), kakinya menyapu berulang-ulang secepat kitiran
hingga merupakan segulungan
bayangan hitam, lalu ia menyerang sebelah bawah lawan dengan gerakan aneh itu. Si
jangkung berlompatan berkelit dengan gesit, kalau Tang Thayjing
menyerang makin cepat, maka ia pun melompat lebih
cepat, dengan begitu pertarungan mereka menjadi susah
ditentukan. Agaknya Tang Thay jing insaf kelihaian musuh, maka ia
gunakan gerak "Boan-liong-jiau-poh" buat menyerang lawan
yang berperawakan jangkung, ia menjambret dan
menendang selangkangan orang, tempat kelemahan lawan.
Tak terduga, Gin-kang (ilmu entengkan
tubuh) lawan ternyata jauh di atasnya, sedang "Boan-liongjiaupoh" adalah ilmu silat yang menempel di atas lantai dan harus banyak
mengeluarkan tenaga, maka tidak mungkin bertahan lama.
Karena itu diam-diam ia mengeluh.
Saat itu suasana dalam rumah pondokan itu menjadi riuh
ramai dengan jerit tangis bercampur-aduk. Si kate mengunjuk
ketangkasannya, ia menghantam dan menjambret, pukulan
seperti geledek dan jambretannya laksana kaitan besi, para
Hiat-ti-cu lari tungganglanggang,
tenaga si kate ternyata besar luar biasa, Gwakangnya sudah
mencapai puncak kesempurnaan, begitu musuh tercekal segera dibuang keluar,
satu tangan satu orang, bagai mencekal anak ayam, hanya
sekejap saja kawanan Hiat-ti-cu itu sudah kena dilempar satu
per satu. Sementara itu Tang Thay-jing pura-pura memukul, kembali
si jangkung bersiul panjang, kedua tangannya mengayun
berbareng, sepuluh cincin di jari tangannya menyambar
sekaligus, di antara angin pukulan dan bayangan cincin itu,
mendadak terdengar Tang Thay-jing menjerit ngeri,
sekonyong-konyong ia melompat pergi dengan berjumpalitan.
Si kate masih hendak mengejar, tetapi segera ditahan oleh
si jangkung, katanya, "Ia sudah terkena tiga buah cincin
bajaku, tepat mengenai jalan darahnya, ia masih sanggup
kabur, terhitung musuh tangguh, biarkan dia kabur!"
Sejak Kwantang-si-hiap tonjolkan diri, bilamana musuh bisa
lari di bawah ilmu silat mereka, menurut kebiasaan, mereka
tidak mengejar untuk menghabisi jiwanya, oleh karena itu si
kate menurut, tidak jadi mengejar. "Apa murid si iblis tua itu juga demikian lihai?" tanyanya
dengan mata terbuka lebar. "Sudahlah Site, urusan sudah telanjur begini, kita berusaha
sekuat tenaga!" sahut si jangkung. Perkataannya ini seperti
mengandung nada khawatir terhadap "iblis tua" yang
dimaksud. Dalam pada itu Thi-cio-sin-tan Nyo Tiong-eng yang sudah
terluka parah dan harus mengalami pertempuran sengit pula,
wajahnya tampak putih pucat dan sempoyongan hendak
roboh. "Samko dan Siko, aku telah merembetkan kalian ikut
menanam dendam dengan musuh tangguh, bagaimana
baiknya nanti?" kata orang tua itu dengan napas memburu.
"Nyo-toako, sudah lama kita saling mengagumi nama
masingmasing, hari ini bisa bertemu, sungguh sangat
menggirangkan," sahut
si kate. "Hian Hong Toako minta aku
menyampaikan salam padamu,
malah membawakan obat pula bagimu, ia bilang sesudah pertemuan
Thay-hing-san, kalau beruntung selamat, kelak tentu akan berkunjung ke
tempatmu." "Terima kasih kepada Toako kalian yang berbudi, tetapi
hendaklah kalian hati-hati juga!" kata Nyo Tiong-eng pula.
"Baiklah Nyo-toako!" sambung si jangkung sambil memberi
hormat. "Tempo sudah mendesak, harap kau lekas
berangkat!" Sesudah itu ia maju memayang Nyo Tiong-eng.
Sebaliknya dua lelaki dan si gadis mengawasi mereka dengan
melongo. Ong Ling sementara itupun sudah tenang kembali dari
kagetnya dan telah berdiri, tapi tiba-tiba seperti terasa angin
sepoi menghembus membawa hawa dingin masuk ke dalam
kamar. "Teng-sute, Teng-sute!" ia memanggil.
Sementara Teng Hiau-lan pun merasa ada angin tajam
menyambar lewat, dengan cepat ia menoleh, tapi tidak
tertampak sesuatu apapun. Sebaliknya dari luar
berkumandang suara tertawa nyaring
si gadis. "Anak muda, banyak terima kasih kepadamu!" katanya
dengan melambaikan tangan. Waktu Teng Hiau-lan melongok lagi, Nyo Tiong-eng
bersama rombongan dan Kwantang-si-hiap sudah berangkat.
Habis pertempuran sengit selesai, baru orang-orang dalam
rumah pondokan itu menjadi ribut dan membuka pintu kamar
untuk melihat apa yang telah terjadi.
"Ong-suheng, Teng-sute, lekas kernari, lekas!" tiba-tiba
terdengar Khong Lian-he memanggil di dalam kamar.
Ketika Teng Hiau-lan masuk ke kamar, ia lihat Khong Lianhe
membopong Pang Ing sedang duduk di pembaringan
dengan muka mengunjuk rasa khawatir. Sementara Pang Ing
mengayun kedua tangannya yang kecil sedang menangis.
"Sumoay, kau tidak kaget bukan?" tanya Ong Ling dengan
lemah lembut. Khong Lian-he tidak menjawab, sebaliknya ia lantas
menuding ke atas meja dan berkata, "Lihat!"
Ternyata di atas meja tertancap sebilah belati dan secarik
kertas terpaku di antaranya dengan tulisan: "Lekas kembali
ke jalan semula, jangan menuju ke Thay-hing-san!"
"Orang yang meninggalkan surat ini bermaksud baik, kalau
berniat mencelakai kita, apa kita masih bisa hidup?" ujar Teng
Hiau-lan, "maka dari itu Soso tidak perlu takut!"
"Kongkong dan suamiku sudah meninggal, apa yang masih
kutakuti?" sahut Khong Lian-he. "Cuma anak yang begini
mungil ini, bagaimanapun jadinya, aku harus
membesarkannya." Pang Ing ternyata sangat cerdik, tadi waktu di luar sedang
ramainya pertarungan, ibunya dengan kencang merangkul di
pangkuan, nampak wajah ibunya rada berlainan, sedikitpun ia
tidak berani bergerak, tetapi kini melihat perubahan wajah
ibunya, baru ia menangis.
"0, mestikaku, jangan menangis, ibu ada di sini!" dengan
menciumi muka Pang Ing yang kecil mungil, Khong Lian-he
menimang. Sepasang mata, Pang Ing yang bundar jeli berkerling
memandang, melihat ibunya tertawa, ia pun berhenti dari
tangisnya dan ikut tertawa.
Dalam pada itu Teng Hiau-lan teringat sesuatu, ia keluar
kamar, tetapi segera ia lihat di atas dinding tembok telah
menancap sebilah belati pula.
"Teng-sute, ada apalagi?" tanya Khong Lian-he yang ikut
keluar sambil membopong Pang Ing. Waktu melihat belati
yang menancap di tembok itu, ia jadi terperanjat.
Teng Hiau-Jan mencabut belati yang tertancap itu, di ujung
belati juga terpaku secarik kertas, Khong Lian-he mencomot
kertas itu, ternyata di atasnya tertulis maksud yang sama,
gaya tulisannya sama pula dengan surat tadi.
"Sute, menurut pendapatmu, apa artinya ini?" tanya Khong
Lian-he dengan berkerut kening.
Meskipun usia Hiau-lan masih muda, tapi pengetahuannya
cukup banyak, ia merenung. "Mungkin ini petunjuk kaum Cianpwe, menurut aku,
sebaiknya kita batalkan niat ke Thay-hing-san!" katanya
kemudian. Dalam pada itu Ong Ling pun sudah datang mendekat,
mendengar ucapan Hiau-lan, tiba-tiba ia mengomel, "Yang
mengajak pergi ke sana adalah kau sendiri, kini yang berkata
tidak ke sana juga kau, seperti anak-anak saja?"
Sedapat mungkin Hiau-lan menahan amarahnya, segera ia
berkata, "Suheng, orang tua di kamar sebelah tadi ialah Thiciosin-tan Nyo Tiong-eng yang namanya tersohor di lima
propinsi utara." "Ada apa kalau Nyo Tiong-eng?" sahut Ong Ling dingin.
"Tadi malam adalah Tiongchiu, saat pertemuan para
pahlawan di Thay-hing-san," Teng Hiau-lan menjelaskan.
"Tokoh seperti Nyo Tiong-eng tentu hadir, tapi kini ia datang
dari jurusan sana. Aku menduga tentu di atas gunung telah
terjadi sesuatu." "Kau hanya melamun dan bingung sendiri," ujar Ong Ling.
"Nyo Tiong-eng terang terluka parah, bergerak saja susah,
bagaimana pula ia bisa meninggalkan pisau dan surat dalam
sekejap di dua tempat?"


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku toh tidak bilang surat belati itu perbuatan Nyo
Tiongeng," sahut Hiau-lan, "kalau kawan atau keluarganya
yang berbuat, kan sama saja" Lagi pula Hui-hwe-tan Beng
Kian-hiong yang kita jumpai tempo hari juga datang dari
jurusan Thay-hing-san, dengan menghubungkan kedua
peristiwa ini, kalau menuju ke sana mungkin lebih banyak
celaka daripada selamat!"
Mendengar itu, Ong Ling berpeluk tangan dan tertawa
dingin. "Apa yang kau tertawakan, Suheng?" tanya Khong
Lian-he kurang senang. "Teng-sute ternyata bernyali kecil," jawab Ong Ling. "Tahu
begitu, siang-siang menurut perkataanku saja menuju ke
kotaraja, kan tak perlu berjalan begini jauh dengan sia-sia?"
"Dimana-mana terdapat musuh, apa betul selangkah saja
susah bertindak bagi kita?" Khong Lian-he menghela napas,
pikirannya sudah bingung dan buntu.
Tiba-tiba hati Hiau-lan tergerak, pikirnya, "Jika tidak ke
Thayhing- san, tentu harus ikut Ong-suheng ke kotaraja.
Bagaimana tingkah laku Ong Ling belum diketahui dengan
pasti, aku masih tak mengapa,
tetapi Suso mungkin akan terjebak olehnya." Lain ia berpikir lagi, "Perkataan Suso pun
tidak salah, musuh berada dimana-mana, dapat
menghindarkan yang ini belum tentu bisa menghindarkan
yang lain, tempat para pahlawan lima propinsi utara bertemu
adalah pegunungan tinggi dan banyak bukit curam,
seumpama dikepung puluhan ribu tentara pun, musuh tak
akan bisa berbuat apa-apa terhadap
mereka." "Bagaimana" Jadi tidak ke Thay-hing-san?" Ong Ling
mengejek, ia lihat Hiau-lan sedang menunduk kepala berpikir.
Mendadak Hiau-lan mendongak, dengan mantap ia berkata,
"Seandainya goa macan dan sarang naga juga harus kita
terobos, besok kita segera menuju ke gunung itu!"
Walaupun Khong Lian-he dibesarkan bersama Ong Ling
sejak kecil di suatu kampung, tetapi setelah mengalami
perubahan besar ini dan jalan bersama beberapa hari, ia
malah merasa Teng Hiau-lan lebih simpatik dan jujur. Maka
mendengar perkataannya tadi, segera ia menyatakan setuju.
"Sudah sampai di sini, Thay-hing-san di depan mata,
menurut aku, baik juga menuju ke sana," katanya
mengangguk. "Mengharap di gunung itu kita bisa bertemu
dengan sahabat Ciu-tayhiap."
Besok paginya, mereka lantas berangkat dari Siubu, setelah
menempuh lima enam puluh li, menjelang lohor mereka
sampai di kaki gunung. Sepanjang jalan, jarang orang berlalulalang,
setelah memasuki daerah pegunungan, keadaan makin
sepi. "Pertemuan besar para pahlawan lima propinsi utara di sini,
mengapa tidak tampak ada orang menyambut di mulut
gunung?" pikir Teng Hiau-lan dalam hati, ia merasa sangsi.
Thay-hing-san adalah gunung yang cukup tinggi dengan
hutan lebat dan rindang, banyak terdapat bukit dan puncak di
sana-sini diselubungi kabut tebal. Mereka bertiga mendaki ke
atas dengan menembus semua rintangan duri belukar.
Sesudah setengah harian, masih
juga keadaan sunyi-senyap,
hanya tampak burung beterbangan, tapi tak mendengar suara
manusia. Mendadak Teng Hiau-lan menghentikan langkahnya,
sedang Khong Lian-he pun penuh dengan rasa sangsi.
"Teng-sute, kita lanjutkan perjalanan tidak?" tanyanya.
Baru saja habis perkataannya, mendadak terdengar suara
suitan, kemudian di antara rumput alang-alang yang tinggi
lebat sejauh puluhan tombak sana terdengar suara kresekan,
lekas Teng Hiau-lan menarik Khong Lian-he berjongkok ke
bawah, menyusul di antara alang-alang lebat tadi tiba-tiba
melompat keluar beberapa orang.
Tidak kepalang kaget Hiau-lan ketika melihat yang muncul
itu. Pemimpin orang-orang itu mencekal tongkat berujung
kepala naga, ternyata bukan lain ialah Liong Bok-kong!
Sementara itu Ong Ling hendak bergerak, namun Teng
Hiau-lan keburu memegang pundaknya sambil berkata dengan
berbisik, "Suheng, jangan sembarang bergerak!"
Tempat dimana tangannya mencengkeram adalah Pi-pe-kut
di pundak, yakni tulang lemas yang menghubungkan lengan
dan pundak yang menjadi ciri kelemahan tubuh manusia.
Keruan Ong Ling terkejut dan khawatir hingga berkeringat
dingin. "Sute, jangan berguyon!" katanya dengan wajah berubah.
"Rebahlah! Apa kau sengaja biar dilihat musuh?" sahut
Teng Hiau-lan. Terpaksa.Ong Ling menurut, ia tiarap di antara rumput
alangalang dan tak berani berkutik sedikitpun. Waktu Hiaulan
mengintip, ia lihat Liong Bok-kong sedang pentang mata
yang tinggal satu itu dan memandang sekelilingnya.
"Aku seperti mendengar ada suara orang, mengapa
mendadak lenyap!" katanya kepada kawan-kawannya.
Orang-orang yang datang bersamanya, semua berseragam
hijau ringkas dan tangan menghunus golok, di pinggang
setiap orang menggelantung dua bola baja, terang itulah Hiatticu. "Hai, kawan! Mau mencari jalan atau mau ikut hadir dalam
pertemuan" Lekas unjukkan diri!" terdengar seorang di
antaranya berkata dalam bahasa rahasia (sandi) kalangan
Kangouw. Khong Lian-he tidak paham bahasa rahasia yang diucapkan
itu, Teng Hiau-lan diam-diam khawatir, ia menyangka jejak
mereka sudah konangan, tetapi dengan hati-hati dan penuh
kewaspadaan ia te-tap tak bergerak.
Karena tiada sesuatu jawaban, sesudah agak lama,
terdengar pula suara serak membentak, "Hai, kawan! Jika
masih tidak unjukkan diri, terpaksa kami sambut dengan
senjata rahasia!" Teng Hiau-lan mendekam di antara rumput alang-alang
lebat, di sampingnya teraling batu cadas besar yang
berserakan, ia membatin, "Musuh berteriak dan membentak
tak keruan, pasti belum mengetahui tempat persembunyianku,
biar saja, tak usah digubris."
Karena masih tetap tidak memperoleh jawaban, maka di
antara kawanan Hiat-ti-cu itu saling kedip mata, kemudian
seorang di antaranya berkata, "Go-seng-ho-kiat (orang gagah
lima propinsi) semuanya sudah terpukul mati atau luka,
kinipun sudah lewat dua hari,
kecuali orang sendiri, siapalagi
yang masih berani naik gunung! Apa bukan Liong-toako yang
salah dengar!" Dikatakan salah dengar, Liong Bok-kong menjadi murka, ia
banting tongkatnya hingga bersuara keras, matanya yang
tunggal mendelik, kemudian ia mendamprat, "Meski aku hanya
sebuah mata, tetapi lebih terang penglihatanku dibanding
kalian sepuluh mata, dengan jelas kudengar suara manusia,
apakah kalian semua tuli?"
Lima hari yang lalu Liong Bok-kong terluka dalam
pertarungannya dengan Ciu Jing, kecuali matanya terbuta
sebelah, luka lainnya yang diderita bukan luka dalam yang
parah, oleh karena itu, sesudah
berobat, berkat kesempurnaan Lwekang yang dalam, ia masih terus mengejar
Teng Hiau-lan dan kawan-kawan bersama Lui Hayim
dan mencari jejak musuh sepanjang jalan.
Teng Hiau-lan bertiga terdiri dari dua laki-laki dan satu
wanita, sedang Khong Lian-he ialah wanita cantik dengan
membopong bayi mungil, tentu sangat menarik perhatian
orang, maka Liong Bok-kong dan kawan-kawan bisa
menguntit terns dan akhirnya tersusul
sampai di Thay-hingsan. Pada waktu mereka mendaki gunung, karena jalanan yang
mereka tempuh berlainan, rombongan Liong Bok-kong tiba
lebih dulu di atas gunung, orang-orang Si-hongcu ternyata
masih belum bubar, Liong Bok-kong dan Lui Hay-im lantas
menghadap kedua iblis tua, Ahirnya Lui Hay-im tertahan di
sana untuk sesuatu urusan, sedang Liong Bok-kong dengan
membawa tujuh delapan anggota Hiat-ti-cu lainnya ditugaskan
menggeledah ke seluruh gunung.
Sementara itu luka Liong Bok-kong sudah sembuh, maka
tabiatnya yang takabur dan berangasan timbul kembali. Atas
dampratan tadi, para Hiat-ti-cu tak berani buka suara,
mereka mandah saja. "Apa kerjamu, hayo periksa tempat ini!" teriak Liong
Bokkong sambil tongkatnya diketok-ketokkan pula.
Teng Hiau-lan tidak berani mencabut pedang, diam-diam ia
siapkan segenggam Hui-bong di tangan, ia menanti bila kaum
Hiat-ticu mendekat, segera ia hendak mengadu jiwa.
Segera para Hiat-ti-cu mulai melakukan pemeriksaan,
ketika hampir mendekati dimana Teng Hiau-lan dan kawankawan
berada, tiba-tiba Liong Bok-kong mengangkat tongkat
menuding ke timur sambil membentak, "Itu, musuh telah
datang!" Para Hiat-ti-cu menarik diri dan berhimpun, sedang Hiaulan
menghela napas lega. la bersandar pada batu cadas untuk
mengintip lebih jauh, ia lihat dari bawah gunung sana terlihat
dua titik hitam, dengan cepat titik hitam itu menjadi besar dan
sekejap saja sudah tiba di depan mereka. Kini dapat terlihat
jelas, yang seorang ialah Tosu (imam) berjubah hitam, tangan
kiri- mencekal tongkat dan tangan
kanan menenteng pedang panjang, mata bersinar, lagaknya gagah.
Menyusul di belakangnya seorang Hwesio gemuk, bertangan kosong tanpa
senjata, hanya di pinggangnya menggantung sebuah holo
besar (buli-buli, semacam labu bundar berbentuk gitar).
"Hai, kalian siapa" Orang yang Si-hongcu kirim atau kawan
tua bangka Nyo Tiong-eng?" tanya Liong Bok-kong
menggertak. Si imam jubah hitam tertawa.
"Mendengar perkataanmu, kau tentu orang yang Si-hongcu
kirim bukan" Ha, justru aku sedang mencarimu!"
Mendadak tongkatnya mengayun dan pedangnya menusuk
dari bawah, waktu Liong Bok-kong mongangkat tongkatnya
menangkis, segera ia tergetar mundur.
"Ehm, boleh juga kau!" ujar si imam dengan tertawa.
la berkata, tetapi senjatanya tidak pernah berhenti,
pedangnya berkelebat beberapa kali, segera darah mengucur
memenuhi muka dua anggota Hiat-ti-cu, empat daun kuping
mereka ternyata sudah terkupas seluruhnya dan kena
digulung lengan baju si imam.
Kesebatan beberapa serangan imam itu sungguh cepat luar
biasa dan tak pernah dilihat Liong Bok-kong selama hidup,
maka segera ia memberi tanda sambil berseru, "Lepaskan
senjata rahasia!" Menyusul dalam sekejap suara aneh telah menggema di
angkasa, enam bola baja menyambar dengan suara menderu.
"Haha! Barang permainan anak-anak saja dipertunjukkan di
sini!" seru si imam sambil tertawa panjang.
Sementara itu sebuah Hiat-ti-cu telah sampai di atas
kepalanya, si imam jubah hitam menyambut dengan
tongkatnya, sekali menutul, bola bundar itu terbang balik dan
bertumbukan dengan Hiat-ti-cu lainnya serta segera
menjeplak terbuka, pisau di dalamnya bertebaran menyambar
keluar, secara tangkas si imam memutar tongkatnya menyapu
dan menghantam, enam bola baja kesemuanya dihantam
remuk, sedang pedangnya mengayun dengan cepat, hujan
pisau tadi telah disapu bersih hingga terpental membentur
batu cadas, lelatu api bercipratan, para jagoan Hiat-ti-cu lari
serabutan. Paras Liong Bok-kong berubah gelap, ia enjot tubuh hendak
kabur, tetapi si imam telah mendahului menggertak, "Lari
kemana!" Sesudah itu secepat anak panah lepas dari busumya ia
melesat maju, tongkat di tangan kiri dengan gerakan "Paoliongkau-hay" (naga jahat membikin ribut lautan), dengan
membawa angin menderu ia menghantam. Liong Bok-kong memalangkan tongkatnya ke atas untuk


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menangkis, segera merasakan satu kekuatan yang luar biasa
besarnya menindih dari atas. Sebenarnya Liong Bok-kong
tidak lemah, tetapi ternyata ia tidak tahan kena kemplangan
itu, `Liong-thau-kuaytiang",
tongkat berujung kepala naga
miliknya terlepas dari tangan dan terbang, tongkatnya adalah
bikinan baru waktu ia lewat kota Lokyang, bobotnya sedikit
lebih enteng dari yang lama, tapi beradunya
senjata tadi membuatnya patah menjadi beberapa potong.
Sementara itu tongkat dan pedang si imam telah
menyerang pula berbareng, pedangnya dengan gerakan `Tosiathian-ho" (air sungai menggerujuk), sinar pedang laksana
disiramkan mengurung dari atas, untung dengan gerakan "Huihoakwi-uh" (bunga terbang menggulung air hujan), dengan
langkah cepat Liong Bok-kong masih
sempat menerobos pergi di bawah sinar pedang, sungguhpun Ginkangnya luar
biasa, namun tidak urung ia rasakan sebelah telinganya
silirsilir dingin, di belakangnya terdengar si imam jubah hitam
sedang tertawa tergelak. "Kau sanggup menghindarkan setengah seranganku,
terhitung boleh juga, biarlah kau pergi!" seru si imam.
Kiranya si imam jubah hitam itu bermaksud mengiris kedua
daun kupingnya, tetapi saking cepat gerak tubuh Liong Bokkong,
serangan si imam sekaligus meliputi beberapa gerakan,
hanya berhasil mengupas sebelah daun kuping Liong Bokkong
yang kanan saja. Kiam-hoat si imam menjagoi daerah
utara, selama hidup ia bangga akan kepandaiannya itu, maka
siapa yang bisa lari di bawah pedangnya, seperti biasa, ia
tidak mengejar. Dalam pada itu, para Hiat-ti-cu yang sudah kehilangan
senjata, beramai membalik tubuh hendak lari.
Si Hwesio gemuk ternyata mempunyai gerak tubuh yang
cepat sekali, kaki menutul, tubuhnya lantas melesat,
pandangan para Hiat- -ti-cu mendadak menjadi gelap, seakan
di atas kepala mereka segumpal
awan hitam melayang lewat,
waktu mereka membuka mata, si Hwesio gemuk sudah berdiri
di depan dengan tertawa, sedang tangannya
memegang holo besar yang tadi tergantung di pinggang.
"Eh, jangan buru-buru! Pinceng (Hwesio miskin) menyuguh
minum arak dulu!" katanya dengan menggeleng kepala.
Sesudah itu ia angkat holo dan meneguk ke mulutnya,
pada kesempatan itu para Hiat-ti-cu secara serentak
menyerbu maju, tapi belum sampai mereka mendekat, si
Hwesio gemuk mendadak mernbuka
mulut menyemprot, dalam sekejap bau arak semerbak, arus arak menyemprot dari
depan, para Hiat-ti-cu merasa pandangan buyar
dan sakit pedas, kemudian gelap gulita, sedang telinga mendengar
suara gelak tertawa si Hwesio yang menggema menggetar
sukma, keruan tanpa menghiraukan lagi mata yang
kesakitan, di antara batu pegunungan yang berserakan dan
lekak-lekuk, tujuh delapan Hiat-ti-cu berpikiran sama, mereka
menjatuhkan tubuh terus menggelundung
ke bawah gunung. Si Hwesio gemuk pun tidak mengejar lebih jauh, dengan
bergelak tertawa ia tanya rekannya, "Toheng, berhasilkah
kau?" "Hanya dapat separoh, dan bagaimana denganmu?" sahut
si imam jubah hitam. "Aku pun tidak berhasil seluruhnya, hanya dapat
menyemprot buta tiga belas biji mata anjing!" jawab si
Hwesio. Kiranya di antara delapan Hiat-ti-cu tadi, lima di antaranya
kedua matanya terbuta semua, tetapi ada tiga orang yang
hanya buta sebelah saja tersemprot arak.
Menyaksikan pertunjukan itu, Ong Ling hampir semaput
ketakutan. Beruntung tadi ia ditahan oleh Teng Hiau-lan
hingga tidak sembarang bergerak, kalau tidak, entah apa
jadinya, begitu pikirnya.
Teng Hiau-lan sendiri pun ternganga oleh peristiwa tadi.
Melihat ilmu silat yang hebat dari kedua orang pertapaan,
Hwesio dan Tosu ini, tiba-tiba ia teringat, tentu keempat orang
kosen yang beruntun diketemukan dalam dua hari inilah yang
disebut Kwantangsi- hiap. Yang pertama bernama Hian Hong
Totiang, yaitu si imam jubah hitam yang menggunakan
tongkat dan pedang, ilmu pedangnya
disebut `Loan-pi-hong"
dan termasuk kepandaian tunggal di Bulim
(dunia persitatan), dibanding "Tui-hong-kiam-hoat" boleh dikata lain silatnya tetapi
sama lihainya, bahkan tiap gerak serangannya mengandung
banyak gerak perubahan, lebih ganas dibanding `Tuihongkiamhoat". Ciu Jing sudah lama saling kenal dengan Hian Hong,
semenjak dua puluh tahun lalu bertemu di kediaman Nyo
Tiong-eng, mereka saling tukar pikiran Kiam-hoat masingmasing
dan sejak itu terikat menjadi sahabat karib. Selain
Suhunya, Leng Bwe-hong, yang paling dikagumi Ciu Jing boleh
dibilang hanya Hian Hong. Sedang
ketiga pendekar lainnya, walaupun Ciu Jing belum pernah bertemu, tapi sering
mendengar dari cerita Hian Hong tentang rupa dan ilmu silat
mereka, maka berkesan cukup dalam.
Orang kedua ialah si Hwesio gemuk itu, namanya Longgoat
Hwesio, tabiatnya jenaka, orang menjuluki "Siau-mi-lik", si
Buddha tertawa. la paling doyan minum arak dan justru
kepandaiannya yang tunggal adalah menggunakan arak
sebagai senjata rahasia, selalu mengarah kedua mata orang
dengan lihai sekali, arak yang disemprotkan
laksana pelor, termasuk kepandaian tunggal di dunia persilatan.
Orang ketiga ialah si jangkung yang Teng Hiau-lan temukan
di rumah penginapan itu, namanya Liu Sian-gai, khusus
mengenai Ginkang, ia sudah mencapai puncak kesempurnaan.
Yang meninggalkan pisau bersurat di rumah pondokan itu
bukan lain adalah per-buatannya. la mahir Tah-hiat (memukul
titik jalan darah) dengan cincin baja yang terpakai di jarinya
itu. Yang keempat dan yang terakhir adalah si kate yang
dikenal di rumah pondokan itu. la bernama Tan Goan-pa,
meyakinkan ilmu Gwakang (kepandaian luar) yang sudah
sempurna, tenaganya luar biasa, kepandaiannya yang tunggal
adalah `Toa-sui-pi jiu", semacam
kepandaian membanting dan "Hun-kin jo-kut jiu", semacam kepandaian mencekal dan
membikin lawan tak berdaya lolos, siapa saja yang tertangkap
tangannya tentu sukar terlepas.
Di kala Ciu Jing bersahabat dengan Hian Hong, Liu Sian-gai
dan Tan Goan-pa masih terlalu muda, kepandaian mereka
walaupun tinggi, tapi belum terkenal, pada masa itu masih
belum ada sebutan Kwantang-si-hiap. Belakangan sesudah Liu
Sian-gai dan Tan Goanpa tersohor di kalangan Kangouw dan
kemudian keempat orang sering
berkumpul, lalu disebut orang Kwantang-si-hiap atau empat pendekar dari Kwantang.
Begitulah setelah melihat kepandaian si Hwesio tadi, Teng
Hiau-lan lantas teringat bahwa keempat orang itu tak usah
disangsikan lagi tentu Kwantang-si-hiap adanya, hatinya
girang sekali. Sslagi hendak keluar untuk memanggil, tibatiba
ia dengar si imam jubah hitam berkata, "Jite, kedua iblis
tua itu belum muncul, Samte dan Site berjanji dengan kita
akan naik gunung hari ini tapi belum tertampak juga, aku
khawatir mereka telah bertemu kedua iblis itu dan mungkin
mengalami celaka, kita cari mereka dulu, kau ke sebelah
selatan gunung dan aku ke utara, dan kembali berjumpa di
sini:" "Baiklah!" sahut si Hwesio dengan tertawa ria.
Setelah itu tubuh mereka melesat, dalam sekejap sudah
menghilang dari pandangan mata. Teng Hiau-lan hendak
mengejar tapi sudah tak keburu lagi.
"Hebat sekali!" kata Ong Ling dengan menarik napas lega.
Khong Lian-he pun sampai berkeringat, ia sedang
mengusap dengan lengan bajunya.
"Si imam jubah hitam itu sahabat karib Ciu-pepek," cerita
Hiau-lan sesudah lewat sejenak. Tetapi barn saja ia berkata,
tiba-tiba dari kejauhan kembali terdengar dua kali suitan aneh,
suaranya tajam memekik telinga, lekas Hiau-lan menarik Ong
Ling mendekam ke bawah. Begitu terdengar suaranya, orangnya pun sudah sampai.
Ketika Hiau-lan mengintip, dilihatnya di medan perkelahian
tadi telah muncul dua orang. Kedua orang itu semuanya
adalah kakek kuruskering dan bermuka kuning hangus,
berpakaian kain kasar dan muka niereka kaku tanpa
mengunjuk sesuatu perasaan, kedua orang meiiyangking
sebuah karung kulit besar, keduanya pincang, yang seorang
pincang kaki sebelah kiri dan yang lain sebelah kanan,
"Thayvang- hiat" di pelipis mereka menonjol, suatu tanda
Lwekang mereka sangat tinggi:
Teng Hiau-lan heran, kedua orang itu masing-masing
pincang sebelah kaki, tetapi gerak langkah mereka ternyata
begitu cepat. Kedua orang tadi tanpa berkata mengitari lapangan
pertempuran tadi, mereka periksa rumput dan alang-alang
yang terinjak rusak tak keruan itu. Tak lama kemudian baru
terdengar si kakek sebelah kiri buka suara, "Ehm, jelas
keempat manusia yang tak kenal matihidup
dari Kwantang itu sudah datang!" "Apa perlu kita cari mereka?" tanya kakek sebelah kanan.
"Tak usah!" sahut yang duluan.
Sesudah itu tiba-tiba ia pencet bibirnya dan bersuit aneh,
karena jarak begitu dekat, sedang Teng Hiau-lan dan kawankawan
selamanya belum pemah mendengar suara yang
memekik tajam begitu, mereka merasakan jantung terguncang keras, bahkan Pang Ing hampir menjerit
ketakutan. Untung Kbong Lian-he cukup cepat, lekas
ia robek sepotong kain bajunya dan terus menyumpal mulutnya yang
kecil, keruan Pang Ing jadi gelagapan dan tangannya yang
kecil meronta, dengan perlahan Khong Lian-he menepuk,
untung kedua kakek tadi sedang mencurahkan perhatian buat
memeriksa tempat itu, seperti tidak merasa di belakang batu
cadas belasan tombak sana ada bersembunyi orang banyak.
"Empat manusia Kwantang tak kenal mati-hidup itu kalau
memang bertujuan mencari kita, sesudah mendengar suara
suitan tentu akan kemari!" ujar si kakek sebelah kiri yang
bersuit tadi. Lalu mereka berdua berdiri di atas sebuah batu besar untuk
memandang tempat jauh. Lewat tak lama, betul juga terlihat
ada dua bayangan orang berlari mendatangi dari bawah
gunung. Semula Teng Hiau-lan menyangka yang datang pasti
Kwantang- si-hiap, dengan tak sabar ia menantikan lagi
tontonan pertempuran seru. Tak lama kernudian orang-orang itu sudah dekat, ternyata
mereka bukan Kwantang-si-hiap, seorang di antaranya
berambut merah membara, sedang seorang lainnya berhidung
besar membetet, yang berambut merah itu bukan lain adalah
seorang di antara "Si-pa" dari istana Si-hongcu, yaitu Lui Hayim.
Kedatangan mereka agaknya juga di luar dugaan kedua
kakek tadi. "Lui Hay-im, kusuruh kau menjaga markas, untuk
apa kau datang ke sini?" tanya mereka berbareng.
"Markas kita diobrak-abrik orang!" sahut Lui Hay-im dengan
napas memburu sambil mengusap keringatnya dengan lengan
baju. Mendengar laporan itu, kedua orang tua itu berjingkrak
seketika. "Apa, diobrak-abrik orang?" tanya mereka dengan
gusar. "Apa perbuatan Kwantang-si-hiap?"
"Aku tak tahu apa mereka itu Kwantang-si-hiap atau
bukan," Lui Hay-im menerangkan. "Yang terang kedua orang
yang datang lebih dulu, yang seorang tinggi dan yang lain


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pendek. Yang jangkung jari tangannya memakai cincin baja,
gerakannya cenat laksana angin, jari jarinya yang ditekuk
selalu menggepuk kepala siapa saja yang ditemuinya, sedang
yang pendek lebih lihai lagi, kawan-kawan kita satu per satu
kena dicekal dan dilemparkan ke jurang!"
"Ehm, itu adalah Losam (ketiga) dan Losi (keempat) dari
Sihiap yang bernama Ban-li-tui-hong Liu Sian-gai dan Tancianggaypi Tan Goan-pa!" kata si kakek sebelah kanan
sambil mengangguk. "Dengan mati-matian kami menerjang keluar, tidak tahunya
kembali datang pula dua musuh, bahkan jauh lebih lihai dari
yang duluan," Lui Hay-im melanjutkan penuturannya. "Yang
seorang ialah imam kurus dan yang lain Hwesio gemuk, si
imam tangan kiri memakai tongkat dan tangan kanan
menggunakan pedang, ia menusuk
dan membacok serabutan. Baru saja aku menerima satu serangannya,
senjataku sudah terkutung, lekas aku melarikan diri, untung
si imam tidak menyusulkan tusukan pedangnya."
"O, kalau begitu kau tentu telah mendapatkan tanda jasa!"
ganti si kakek sebelah kiri yang berkata. "Ya, tidak salah, daun
kupingmu sebelah kanan sudah tiada lagi! Masih untung, kau
hanya terkupas sebelah kuping saja!"
Keruan saja Lui Hay-im merasa malu, mukanya merah
padam dan terus menutur pula, "Sesudah imam jahat itu
mengupas sebelah kupingku, ia masih berseru dari belakang,
"Kau pun terhitung seorang
laki-laki, sayang, sayang! Harap
jaga baik-baik kupingmu yang tinggal sebelah itu"!"
Habis mendengar cerita itu, kedua kakek tadi menjadi
gusar bercampur mengkal. "Aturan busuk Kwantang-si-hiap
sungguh memuakkan!" kata mereka. Sesudah itu mereka
berpaling dan berkata pada lelaki berhidung betet itu, "Dan
kau" Bukankah matamu yang kiri buta disemprot arak oleh si
Hwesio gemuk?" Darah dari mata kiri si lelaki hidung betet itu masih
bercucuran, ia sedang menyobek kain bajunya untuk
membalut lukanya. "Suhu, aku " aku tak berguna dan betul telah dibikin buta
oleh semprotan arak Hwesio gemuk itu!" sahutnya dengan
suara gemetar. Kedua kakek terdiam sejenak, sesudah itu sekonyongkonyong
mereka bersuit aneh tiga kali. Teng Hiau-lan bertiga
yang bersembunyi berdebar. Paling tersiksa agaknya Pang
Ing, tenggorokan sudah berkeruyukan, air mata bercucuran
dan kaki tangan meronta di pangkuan ibunya, rupanya sudah
payah sekali, maklum mulutnya tersumbat.
Betapa pedih Khong Lian-he, tetapi ia tak berani mengambil
gulungan kain yang menyumpal mulut anaknya itu.
"Tampaknya Kwantang-si-hiap tidak lemah juga!"
sementara itu terdengar si kakek sebelah kiri berkata.
Kakek satunya menjengek. "Toako," katanya, "dengan
nama kita Sin-mo-siang-lo, umpama mereka menjadi
Kwantang-pat-hiap, apa sih yang harus ditakuti?"
Perkataannya itu dapat didengar Teng Hiau-lan dengan
jelas, maka sungguh tidak kepalang terperanjatnya.
Dulu Ciu Jing pernah menyebut juga nama `Sin-mo-sianglo"
atau dua kakek iblis sakti, menurut cerita, mereka
sebenarnya saudara kembar dan bernama Sat Thian ji dan
Sat Thian-toh, entah darimana
mereka dapat mempelajari ilmu silat tinggi, Lwekang dan Gwakang si kakak diyakinkan
dengan sempurna, sang adik sebaliknya
mempelajari `Taykim- kong jiu" kaum agama di Tibet. Sang kakak dijuluki orang
dengan Pat-pi-sin-mo atau si iblis sakti bertangan
delapan dan sang adik berjuluk Tay-lik-sin-mo, si iblis sakti bertenaga
raksasa, keduanya tinggal di suatu pulau di luar Li-sun (Port
Arthur) yang bernama Niau-eng-to atau pulau Elang Kucing
(pulau Burung Hantu). Bersama seorang kosen lainnya, Hokliong
Cuncia, mereka disebut Liautang-sam-koay atau tiga
makhluk aneh dari Liautang (daerah timur laut Tiongkok).
Hok-liong Cuncia sendiri tinggal di suatu pulau tetangga
lainnya yang bernama Coa-to, pulau Ular.
Niau-eng-to dan Coa-to di dekat Li-sun adalah dua pulau
yang paling misterius, selama berabad-abad belum pernah ada
manusia yang berani menyelidik ke sana, kaum nelayan kalau
menangkap ikan dari jauh sudah membelok, kaum cerdik
pandai dan orangorang gagah Bu-lim juga tak berani
menginjakkan kaki ke sana.
Kabarnya di Coa-to penuh hidup ular-ular yang paling jahat
dan berbisa, saking jahatnya, bisa yang disemburkan seakan
berwujud kabut. Sedang Niau-eng-to di atasnya hidup
semacam burung aneh sebangsa kokok-beluk, kalau berbunyi
laksana suara kucing, sedang cakarnya pun seperti cakar
kucing, oleh karena itu dinamakan
Niau-eng atau Elang Kucing. Niau-eng bergerak dalam gerombolan banyak, sering kali
bertarung sengit dengan ular berbisa yang ada di Coa-to, jika
Niau-eng terbang rendah, kerap kali terpagut mati oleh ularular
berbisa itu atau jatuh ke bawah terkena hawa beracun
yang jahat. Sebaliknya ular-ular itupun sering mendapat
serangan mendadak dari Niau-eng, begitu kena tercengkeram,
si ular segera dibawa ke udara. Tiap kali kedua jenis binatang
itu sedang bertempur, nelayan di lautan pasti menyingkir jauh,
apabila pertempuran selesai, baru mereka berani mendekat
untuk menjemput elang atau ular-ular berbisa yang terbinasa
dan terapung di permukaan laut.
Ciu Jing pernah mendengar tiga puluh tahun yang lalu,
Taylik- sin-mo Sat Thian-toh berada di Tibet, berkomplot
dengan "Seek- sam-yao" (tiga siluman dari barat), sesudah
`Se-ek-sam-yao" terbinasa
di tangan Leng Bwe-hong, kernudian Sat Thian-toh pun diusir
Leng Bwe-hong dari daerah barat. Setelah terusir, Sat Thian-toh bergabung
kembali dengan saudara tuanya Sat Thian-ji yang
mengembara di daerah timur laut dan kemudian mereka
bersarang di Niau-eng-to, (Baca Thian San Tjhit Kiam)
Seorang aneh lainnya "Hok-liong Cuncia" atau Resi penakluk
naga. Sesuai namanya, ia pandai menaklukkan ular, maka
mengasingkan diri di Coa-to, ia mengikat persaudaraan
dengan Siang-mo, si iblis kembar itu.
Selamanya Hok liong Cuncia tinggal di pulau Coa-to dan
tidak pernah keluar pulau, oleh karena itu, sampai dimana
ilmu silatnya tiada orang tahu. Sebaliknya Pat-pi-sin-mo Sat
Thian ji dan Tay-liksin- mo Sat Thian-toh tiap dua tahun sekali
berkeliling mengembara dan banyak berbuat sewenangwenang,
banyak menanam dendam dengan para jago dunia
persilatan. Belasan tahun yang lalu, tiba-tiba Siang-mo
menghilang tiada kabar beritanya dan tak pernah nongol lagi
di kalangan Kangouw, ada yang bilang mereka menemukan
lawan tangguh dan kena dikalahkan, maka bersembunyi
kembali ke sarang mereka di Niau-eng-to untuk meyakinkan
lebih dalam ilmu silat. Kabar itu entah betul atau tidak, tapi
para jago dunia persilatan pun tak berani coba mengeluruk ke
sarang mereka di Niau-eng-to. Tidak dinyana tidak tersangka,
kini mereka muncul di atas Thayhingsan. Munculnya mereka yang mendadak memang bukan tiada
sehab. Kiranya mereka pun termasuk tetamu agung yang
dapat "dibeli" oleh Si-hongcu In Ceng dengan harga tidak
sedikit. Si-hongcu telah memerintahkan seorang Lamma
berilmu silat tinggi, dengan pakaian istimewa anti gas racun
yang tebal, sampai mata kepala pun dikerudungi
topi baja berkaca yang hanya tampak biji matanya saja, membekal pula
obat pemunah racun dari istana untuk berjaga jaga kalau
dipagut ular atau dicakar Niau-eng, lebih dulu yang
dikunjungi adalah Hok-liong Cuncia, tapi bagaimanapun Hokliong
Cuncia tidak mau keluar dari tempat pengasingannya,
barulah kemudian utusan itu menemui Siang-mo di Niau-engto.
Dalam pada itu, kedua iblis berhasil meyakinkan ilmu silat
mereka yang tunggal hingga matang betul, saking isengnya
lantas ingin bergerak. Pikir mereka, "Dengan kepintaran Sihongcu
kelak pasti naik takhta, kalau bisa membantu, ada
harapan akan diangkat menjadi Koksu (imam negara) hingga
nama menjadi termasyhur."
Kedua iblis itu tidak suka harta benda, tetapi tamak
kedudukan tinggi, akhirnya mereka menerima undangan Sihongcu
In Ceng dan diam-diam muncul di masyarakat ramai.
Si-hongcu banyak mengumpulkan tokoh kosen dan orang
pandai, ia mengetahui kaum pahlawan dari lima propinsi
utara tahun ini akan mengadakan perternuan di Thay-hingsan,
maka timbul pikirannya hendak "sekali lempar jala
tertangkap semua", dengan begitu ia hendak unjuk
ketangkasan kepada ayah bagindanya dan berbareng
pula sebagai langkah pertama untuk perebutan kekuasaan.
Sebab itu ia mengirim tiga ratus Bu-su atau jago silat yang
telah dikumpulkan itu, di antaranya termasuk ratusan
anggota Hiat-ticu. Yang menguber Ciu Jing adalah sebagian
dari Hiat-ti-cu itu, sedang
bagian besar jagoan lainnya,
dipimpin oleh Siang-mo langsung mengeluruk ke Thay-hingsan,
sepanjang jalan mereka banyak melukai
pahlawan yang hendak hadir pada pertemuan di atas gunung itu. Pada malam
Tiongchiu, yakni tanggal lima belas bulan delapan Imlek,
terjadi pertarungan sengit dengan beberapa ratus pahlawan
dari lima propinsi utara di atas gunung, di antaranya Thi-ciosintan; si tangan besi pelor sakti Nyo Tiong-eng. Beruntun
Nyo Tiong-eng berhasil membinasakan belasan jagoan pihak
lawan, tapi akhirnya ia sendiri terluka oleh cakar Pat-pi-sin-mo
Sat Thian ji yang beracun.
Dalam pertarungan sengit itu, kaum pahlawan lima propinsi
utara terbinasa atau terluka lebih dari separoh, oleh karena itu
dalam beberapa hari ini, yang dijumpai Teng Hiau-lan bukan
lain adalah tokoh kalangan Kangouw yang berhasil lolos dari
Thay-hing-san itu. Di antaranya Beng Kian-hiong, yang baru
saja sampai di kaki gunung sudah mendapat kabar jelek itu,
maka lekas balik kembali hingga ia sendiri tidak mengalami
sesuatu luka apapun. Sedang Nyo Tiong-eng terkena cakar
Pat-pi-sin-mo telah dikejar Tang Thay-jing, murid satu-satunya
iblis tua itu bersama begundalnya, dan hampir mengalami
malapetaka kalau dua saudara dari Kwantang-si-hiap tidak
keburu datang. Kembali pada kedua iblis tadi, sesudah mereka mendapat
laporan pendahuluan bahwa Kwantang-si-hiap sudah naik
gunung, mereka saling pandang dengan tertawa.
"Hari ini kalau kita bisa sekaligus merobohkan Kwantangsihiap,
para pahlawan di utara pasti kuncup dan takluk
semua, sesudah itu kita boleh turun ke Kanglam pula
(Kanglam, sebutan umum daerah di selatan sungai Yangtse)
untuk menyapu habis Kanglampathiap (delapan pendekar dari Kanglam)," kata Pat-pi-sin-mo Sat Thian-ji dengan
takabur. "Benar, mari kita beri hajaran keras dahulu kepada
Kwantangsi- hiap," sahut Tay-lik-sin-mo Sat Thian-toh.
Lalu keduanya mengitari lapangan itu sekali lagi. Tiba-tiba
Sat Thian-toh menggertak, kemudian ia berjalan menuju ke
tempat dimana Teng Hiau-lan dan kawan-kawan
bersembunyi. Bukan main takut Teng Hiau-lan dan Khong
Lian-he, muka mereka pucat dan keringat dingin mengucur.
Waktu mereka memandang, ternyata Sat Thian-toh
berhenti di depan mereka sebelum dekat, sesudah itu kedua
tangannya merangkul sepotong batu gunung yang menonjol,
terus diangkat. "Naik!" demikian gertaknya. Batu besar itu kena dibetot
lepas dari tanah yang melekat.
Kalau kedua tangannya tidak punya kekuatan beribu kati,
tentu barn besar itu tidak akan bisa digoyahkan. Biarpun nyali
Teng li iau-lan cukup besar, tak urung ia ketakutan hingga
tubuh lemas. Dalam pada itu Khong Lian-he berdoa dalam hati, dilihatnya


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepasang mata Pang Ing yang kecil gemerdep, air mata sudah
membasahi kain lehernya, mungkin karena sumpal di
mulutnya terlalu lama dan pernapasannya menjadi sulit.
Sambil mengalirkan air mata, ia memandang ibunya, rupanya
sedang memohon kasihan sang ibu agar sudi melepas
sumpalnya supaya bisa bernapas dengan lega.
Sementara itu, setelah membetot batu besar tadi, Sat
Thian-toh kembali ke tempatnya semula dan meletakkan batu
itu di lapangan rumput. "Toako," katanya kemudian dengan
tertawa kepada saudara tuanya, "coba lihat, batu ini sangat
licin dan rata, tepat sekali sebagai
meja bundar, biar aku mencari beberapa buah lagi!"
Baru kini Teng Hiau-lan tahu maksud Sat Thian-toh
membetot batu besar itu, bukan lain untuk digunakan sebagai
meja, cuma tidak tahu untuk apakah meja batu itu. Apakah
hendak menjamu tamu"
Sesudah berkeliling lagi di lapangan itu, kembali Sat
Thiantoh memperoleh lima buah batu besar seperti tadi,
jumlah semuanya menjadi enatn buah, meja-meja itu diatur
dengan baik, empat buah di empat penjuru dan dua buah
lainnya di tengah. "Cukuplah!" katanya dengan tersenyum. Lalu ia buka
kantong kulit besar yang ia bawa, dikeluarkannya benda
dalam kantong itu satu per satu. Melihat benda itu, seketika
Khong Lian-he pingsan. Barang apakah yang Sat Thian-toh keluarkan dari kantong
kulitnya" Ternyata bukan lain adalah kepala manusia!
Tiap kepala manusia itu sudah direndam air obat, maka
keadaannya masih utuh seperti hidup, hanya sudah agak
mengerut sedikit, isi kepala manusia itu sudah dikorek keluar,
hanya tinggal kulit membungkus tengkorak kosong saja.
Sat Thian-toh letakkan tiap kepala manusia itu di atas meja batu yang dia atur tadi. Tiap meja batu persis tertaruh sebuah kepala. Sementara itu Pat-pisin- mo Sat Thian ji sudah melepaskan kantong kulit yang ia bawa. Dalam sekejap bau wangi arak semerbak, kiranya kantong kulit itu berisi penuh arak enak, kedua saudara itu lalu menuangkan arak itu ke dalam kepala
manusia, batok kepala di bawah
dan bagian leher menghadap
ke atas, kemudian diletakkan pula dengan berjajar.
"Nah, cara beginilah kita nanti menyuguh Kwantang-si-hiap
minum arak!" mereka tertawa dengan bertepuk tangan.
Jantung Teng Hiau-lan berdenyut keras melihat Khong
Lianhe jatuh pingsan, lekas ia memegangnya. Dalam pada itu
mendadak ia lihat Ong Ling meskipun mendekam di atas
tanah, tapi sikapnya ternyata tidak merasa terkejut oleh
pandangan yang luar biasa itu.
Hiau-lan menjadi heran. la pikir Suhengnya ini mengapa
mendadak bernyali besar! Sementara itu perlahan-lahan
Khong Lian-he siuman kembali, tetapi pikirannya masih belum
jernih. Begitu sadar, segera ia lihat muka Pang Ing putih
pucat, air mata dan keringat mengucur,
sedang meronta dengan mulut ternganga. Karena rasa pedih hatinya, dalam
keadaan sadar tak sadar ia mencopot kain sumpal di mulut
putrinya. Keruan saja segera terdengar pekik tangis Pang Ing.
Seketika itu juga Sat Thian ji berteriak aneh, kedua kakinya
menutul dan meloncat naik, laksana burung besar menjulang
ke langit mendadak menubruk, sekali mengulur tangan
segera ia mencengkeram ke tempat dimana Teng Hiau-lan
menyembunyikan diri. Sudah tentu Teng Hiau-lan tidak tinggal diam. Segenggam
Hui-bong yang sudah disiapkan sejak tadi segera ia
hamburkan. Dengan jelas terlihat tiap senjata rahasia itu
mengenai badan Pat-pisinmo, tapi anehnya hanya menerbitkan suara gemerincing nyaring, lalu jatuh rontok
semuanya. Hui-bong yang mengenai badan musuh seperti
mengenai batu saja. Betapa cemas dan kagetnya Hiau-lan. Sementara itu
bayangan hitam telah menyambar turun dari atas, "craat",
terdengar suara hancurnya
batu cadas dibarengi lelatu api
yang bercipratan. Kiranya daya
serangan Sat Thian-ji tadi
terlalu cepat, cengkeramannya mengenai
batu gunung besar yang ada di depan Teng Hiau-lan, menyusul ia angkat kakinya,
batu besar itu ditendang pergi, dengan biji matanya
yang besar melotot, ia pandang Teng Hiau-lan bertiga.
"Siapa kalian" Lekas keluar!" bentaknya.
Pang Ing masih terus menangis, kepalanya mendekap di
bahu ibunya dan tak berani memandang wajah Pat-pi-sin-mo
yang bengis. Sebenarnya tadi Khong Lian-he sudah lemas karena
takutnya, tetapi kini mendadak tangan kirinya meraba golok
dan tangan lain membopong putrinya. "Jangan coba
menyentuh anakku!" balasnya membentak dengan galak,
wajahnya begitu kereng dan sikapnya berani,
kasih ibu yang murni seketika menguatkan keberaniannya. Sedikitpun
ia tak gentar walaupun berhadapan dengan iblis yang paling
bengis! Pat-pi-sin-mo sedikit tercenqang, tanpa terasa ia mundur
setindak, kesempatan itu dipergunakan Teng Hiau-lan dengan
baik, Yuliong- pokiamnya secepat kilat bekerja. la menusuk
muka Sat Thianji. Dengan suara heran Sat Thian ji mengegos
tusukan itu. Saat itu juga, Tay-lik-sin-mo Sat Thian-toh juga
sudah maju, sekali angkat tangan, segera ia menghantam.
"Jangan celakai dia!" tiba-tiba Pat-pi-sin-mo meneriaki
saudaranya. Tangan Sat Thian-toh yang sudah dipukulkan itu, di tengah
jalan mendadak ia ubah menjadi cengkeraman. Waktu Teng
Hiau-lan memutar pedangnya dan hendak menusuk lagi,
mendadak ia rasakan pergelangan tangannya kesakitan
seperti terjepit tanggam dan pedangnya
sudah berpindah tangan terebut lawan, ia sendiri pun lantas dikempit orang!
Dengan membopong Pang Ing, Khong Lian-he masih berdiri
tegak di tempatnya, sementara tangis Pang Ing tidak menjadi
reda, bahkan bertambah keras, terpaksa Khong Lian-he
kembalikan golok ke dalam sarung, kemudian ia mengusap
dan menimang putrinya, "Mestikaku, jangan takut, tidurlah!
Besok ibu belikan gula-gula dan bawa kau naik gunung
menangkap burung!" demikian ia meninabobokan
anaknya. Suara tangisan dan lagu timangan itu membuat Pat-pi-sinmo
Sat Thian-ji merasa sebal dan hilang sabar, ia mengulur
tangan menjambret. Khong Lian-he jadi beringas, matanya
melotot, sinar matanya tajam laksana duri sehingga Sat Thian
ji memalingkan muka menghindari pandangan luar biasa itu,
tetapi tangannya masih terus menuju sasaran. Ketika ia
menarik kembali tangannya, Pang Ing sudah
berpindah ke dalam cengkeramannya. "Teruslah menangis!" bentak Sat Thian ji sambil
mengangkat Pang Ing, bermaksud membanting dara cilik itu
ke atas batu gunung. Karena terlalu letih menangis sekian lama, tiba-tiba Pang
Ing berhenti menangis, waktu tubuhnya diangkat Sat Thian-ji
ke atas dan hendak diayunkan, ia merasa senang karena
dikira sedang diajak guyon. la malah tertawa mendadak. Saat
itu Sat Thian ji tepat muka berhadapan muka dengan si dara
cilik, sudah tentu tertawa manis si kecil itu tertampak olehnya
dengan jelas, melihat itu, tanpa terasa hawa napsu
membunuh yang tadinya meluap tiba-tiba hilang buyar dan
tangannya yang sudah diangkat ke atas perlahan-lahan
diturunkan kembali. Kembali Pang Ing memperlihatkan tawanya yang manis
hingga dekik atau suyen di pipi kirinya tertampak j elas.
Tiba-tiba Sat Thian ji merasa si dara cilik di tangannya itu
sangat menyenangkan dan menarik, walaupun biasanya ia
membunuh orang seperti menyembelih ayam, tapi kini
ternyata ia tak sanggup turun tangan.
la sendiri pun terheran-heran, bagaimana ia bisa tertarik
oleh si kecil itu. Akhirnya ia balik anak itu dan digendongnya di
belakang punggung. "Ha, rupanya ada jodoh!" katanya kemudian dengan
tertawa. Dalam pada itu, Ong Ling yang masih mendekam di antara
rumput alang-alang lebat itu, secara merangkak akhirnya
berdiri. "Siapa kau?" Sat Thian-ji bertanya dengan membentak.
Sementara Khong Lian-he yang kehilangan anaknya
menjadi kalap, dengan mati-matian ia menerjang maju. Tapi
Sat Thian-ji cukup angkat dua jarinya, sekali menutuk, Khong
Lian-he dibikin tak berdaya dan roboh terguling.
"Koksuya, harap memandang diriku yang rendah ini dan
jangan mencelakai dia!" tiba-tiba Ong Ling memburu main
dan berseru. Dengan mata membelalak Sat Thian ji memandangnya,
lapatlapat agaknya ia mengenali orang. Sementara itu Lui
Hay-im sudah maju ke dekatnya dan membisiki, "Orang ini
bernama Ong Ling, kita yang perintahkan dia memata-matai
rumah keluarga Pang!"
Kiranya Ong Ling yang belajar silat di perguruan Pang
Kongtiau dan dibesarkan bersama Khong Lian-he di suatu
kampung, sudah lama ia menaruh hati terhadap Lian-he, tak
terduga akhirnya Lian-he dijodohkan dengan Pang Eng-ki,
sudah tentu hal itu sangat menjadikan kesal hatinya.
Tak lama sesudah ia menamatkan pelajaran, ia pergi ke
kotaraja dan bekerja pada Piauhang (perusahaan
pengawalan), sering kali dalarn percakapan iseng dengan
orang, ia bercerita tentang bagaimana
gurunya yang berusia masih muda sudah kembali ke kampung halaman, akhirnya
sampai di telinga antek Si-hongcu hingga menimbulkan
curiga, maka dengan macam-macam tipu akal, setengah
dipaksa dan setengah dipancing, akhirnya Ong Ling masuk
juga ke dalam komplotan Si-hongcu.
Sesudah Ong Ling berada di kotaraja, yang dilihatnya
saban hari adalah kejayaan dan kemewahan, oleh karena itu
lambat laun ia pun memiliki jiwa ingin mewah dan kedudukan,
ditambah rindunya pada Khong Lian-he yang tak pernah
kunjung padam, maka akhirnya
ia tersesat dan terima menjadi anjing pernburu Si-hongcu.
Kali ini para jagoan di bawah Si-hongcu dikerahkan dari
sarang mereka untuk menumpas para pahlawan dari lima
propinsi utara di Thay-hing-san, Congkoan atau pemimpin
tertinggi Hiat-ti-cu, Haptoh, seorang Lamma dari Tibet,
teringat Ong Ling, orang asal Soatang, oleh karena itu lebih
dulu Ong Ling diperintahkan menjadi mata-mata ke rumah
keluarga Pang dan sekaligus mengawasi gerak-gerik
para pahlawan sepanjang jalan.
Sebenarnya Haptoh tak pernah menyangka bahwa Pang
Kongtiau menjadi ahli waris "Tui-hong-kiam-hoat", siasatnya
mengirim Ong Ling tidak lain hanya satu langkah kebetulan
saja sebagai dinas luar kaum Hiat-ti-cu, tak terduga dengan
tepat malah kena sasarannya.
Ciu Jing yang selama ini

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi buronan Si-hongya ternyata justru adalah Sukong
atau kakek guru Ong Ling.
Begitulah sesudah mendengar bisikan Lui Hay-im, Sat
Thianji menjadi ingat. "Oya, baik sekali!" katanya kemudian
dengan bergelak tertawa. "Mohon Koksuya suka menghadiahkan wanita ini pada
hamba yang rendah!" kata Ong Ling sambil bertekuk lutut dan
menjura. Mata Sat Thian ji mengerling, ia membatin, "Orang
ini entah orang kepercayaan Si-hongcu atau bukan, biar aku
berikan sedikit kebaikan, toh tiada jeleknya!"
Lalu ia menggerakkan tangannya dan berkata, "Lui Hay-im
dan Hek Hau jiang, kalian bersama Ong Ling boleh menggiring
wanita ini kembali ke kotaraja dahulu agar tidak menjadi
beban rintangan di sini!" Khong Lian-he yang sedang mencurahkan seluruh
perhatian terhadap putrinya, belum sadar akan bahaya yang
menimpa dirinya, sebaliknya walaupun Teng Hiau-lan kena
dikempit Sat Thian-toh hingga tak bisa berkutik, dengan suara
keras ia mencaci-maki. Sat Thian-toh segera menutuk Hiat-to
yang membikin bisu hingga Teng Hiau-lan terpaksa bungkam.
Mendengar suara caci-maki Teng Hiau-lan, baru Khong
Lianhe mengetahui bahwa Ong Ling ternyata adalah manusia
rendah, pengkhianat yang sudah kehilangan budi pekertinya.
"Ong Ling, Kongkong menganggap kau seperti putra
sendiri, sebaliknya kau begini keji terhadap kami ibu dan anak,
kau ini manusia atau binatang?" dengan pedas ia pun
mendamprat. Tapi Ong Ling malah mendekatinya. Saking gemasnya
Khong Lian-he meludahinya hingga membikin paras muka Ong
Ling berlumuran air ludah. Dengan lengan bajunya Ong Ling
membersihkan dan masih juga mengunjuk senyuman yang tak
kenal malu. "He-moay, putrimu masih berada di tangan musuh, jangan
kau coba berkepala batu," ia berbisik di pinggir telinga Khong
Lian-he. "Urusan sudah telanjur begini, paling baik kalau kau
ikut aku ke kota raja, kemudian kita berdaya menolong
kembali Titli (keponakan perempuan). Hal ini hendaklah kau
pikirkan baik-baik."
Tergerak juga hati Khong Lian-he, maka ia tidak
melanjutkan caciannya lagi.
Sat Thian-toh kemudian melepaskan tutukannya tadi,
sedang Lui Hay-im dan Hek Hau jiang segera maju
menelikung kedua tangan Khong Lian-he dan diikat kencang,
sesudah itu baru diserahkan
pada Ong Ling sambil berkata,
"Ini, bawalah kau punya Suso!"
"Hau jiang, jika kau bertemu Thay jing, suruh dia kembali
ke kotaraja dahulu!" pesan Sat Thian-ji.
Tang Thay jing adalah murid Pat-pi-sin-mo Sat Thian ji dan
Hek Hau jiang ialah murid Tay-lik-sin-mo Sat Thian-toh, tetapi
Hek Hau-jiang lebih belakangan berguru dan juga bakatnya
kurang, maka soal ilmu silat masih selisih jauh dibanding
Tang Thay jing. Dengan mata kepala sendiri, Teng Hiau-lan hanya bisa
memandang Khong Lian-he digiring pergi oleh Ong Ling, ia
gusar sekali dan gemas, tetapi sepatah kata pun tak bisa
bersuara, maka terpaksa hanya mengertak gigi saja.
Sesudah menangis, mungkin terlalu letih, Pang Ing tidur
nyenyak di gendongan Sat Thian-ji. Sudah tentu ia belum
mengerti kalau ibunya tertangkap musuh. Sat Thian-toh pun meneliti sejenak si kecil Pang Ing,
agaknya ia pun tertarik dan merasa senang terhadap si dara
cilik itu. Mendadak ia gabrukan Teng Hiau-lan dari
kempitannya, kemudian dengan
kedua tangannya ia meraba
raut muka dan kepala Pang Ing.
"Sudahlah, tak usah kau raba, anak ini memang
dikodratkan belajar silat sejak lahir!" ujar Sat Thian-ji yang
mengetahui maksud saudaranya.
Sat Thian-toh melepaskan Pang Ing dan menarik bangun
Teng Hiau-lan. Dengan mata mendelik, Teng Hiau-lan pelototi
iblis itu. "Ehm, bocah ini tampaknya tidak takut mati!" kata Sat
Thiantoh dengan tertawa. Kemudian ia mengangkat pedang Yu-liong-kiam yang
direbutnya dan disentil. Sekonyong-konyong ia bersuit aneh,
pedang itu lantas diputar, dimana ujung pedang mengenai
batu pegunungan, di situ juga remukan batu segera
beterbangan! "Yu-liong-kiam ternyata tak mengecewakan!" serunya
dengan hersiul panjang. Sesudah itu ia berpaling, lalu
melepaskan tutukan Teng Hiau-lan dan bertanya dengan
suara bengis, "Leng Bwe-hong pernah apa denganmu?"
"Kiranya kau pun kenal nama Thaysuco!" sahut Hiau-lan
dengan bangga. Sat Thian-toh menyentil pula Yu-liong-kiam beberapa kali.
"Kau bocah ini, kepala batu juga!" katanya dengan tertawa
di-ngin, mendadak ia pegang pundak Teng Hiau-lan, segera ia
hendak meremukkan Pi-pe-kut di pundaknya.
"Tahan dulu!" tiba-tiba Sat Thian-ji berseru, lalu ia
mendekati Teng Hiau-Ian dan mengamat-amatinya.
"Kita justru kekurangan murid berbakat seperti ini!"
katanya kemudian. Kiranya Siang-mo yang telah malang melintang selama
hidup, hingga kini belum menemukan murid yang memuaskan
dan berbakat, lebih-lebih Sat Thian-toh, murid satu-satunya,
Hek Hau-jiang, ternyata tak mampu menahan sekali serangan
si Hwesio gemuk, begitu bertemu musuh, sudah tersemprot
buta sebelah matanya yang kiri. Kini mendengar saudaranya
memuji Hiau-lan, tiba-tiba hatinya jadi tertarik.
"Kalau bisa menerima anak murid Leng Bwe-hong tingkat
ke-empat sebagai murid, bukan saja bisa mewarisi ilmu silatku
yang tunggal, bahkan hal ini merupakan suatu kebanggaan
juga di kalang-an Kangouw," begitu pikirnya. Maka wajahnya
lantas menjadi ra-mah dan tenang, ia kembalikan Yu-liongkiam
ke sarungnya yang masih tetap menggantung di
pinggang Teng Hiau-lan. "Thaysucomu sudah lama mati di Thian-san, umpama
belum mati, ia pun bukan tandingan kami bersaudara," Sat
Thian-toh mem-bujuk dengan lemah-lembut. "Lebih baik k"au
masuk ke pintu pergu-ruan kami saja, tanggung kau akan
mendapatkan pelajaran silat yang tiada taranya."
"Aku tidak sudi menjadi muridmu!" sahut Teng Hiau-lan
dengan gusar. Sudah tentu jawaban itu membuat Sat Thian-toh menjadi
mur-ka, selagi ia hendak mengumbar amarahnya, mendadak
dari kejauh-an terdengar suara suitan saling sahut dan
menggema di angkasa. "Kwantang-si-hiap telah datang!" kata Sat Thian-ji.
"Baiklah, soal menerima murid ditunda sampai nanti!" ujar
Sat Thian-toh. Sesudah itu kembali ia menutuk Teng Hiau-lan
dan membikin kaku tak berkutik, kemudian ditaruhnya di
tempat luang yang terapit dua batu besar, lalu ia berkata
padanya, "Kau boleh re-bah saja di sini untuk menyaksikan
kepandaian kami!" Mengenai Kwantang-si-hiap, setelah mereka mengobrakabrik
markas Hiat-ti-cu yang didirikan di Thay-hing-san, lalu
mereka tu-run ke bawah. Saat mereka mendengar suitan aneh
Siang-mo yang menusuk telinga dan mendebarkan hati,
mereka kembali ke tempat tadi.
Sampai di lapangan itu, tiba-tiba mereka menampak dua
orang tua berbaju kain kasar sedang duduk di samping dua
rheja batu ba-gian tengah. Di sekitar mereka berjajar empat
meja batu yang penuh dengan kepala manusia, pemandangan
ini cukup membikin bulu ku-duk berdiri.
"He, apa kalian berdua adalah Sin-mo-siang-lo" Permainan
apakah yang sedang kalian pertontonkan?" bentak Hian Hong
To-tiang, tertua dari Kwantang-si-hiap.
Setelah ditanya baru Pat-pi-sin-mo berdiri perlahan-lahan.
"Si-hiap datang dari tempat jauh, maafkan kami tak
menyam-but dengan baik, kami berdua saudara telah
menyediakan sedikit arak tawar untuk menyambut kedatangan
kalian!" katanya kemudian
dengan tertawa seram. "Malah kami telah mengajak beberapa teman untuk
menemani Si-hiap!" sambung Sat Thian-toh sambil menuding
ke atas meja. Tan Goan-pa berseru kaget. Kepala manusia yang ditaruh
di atas meja itu, meskipun diletakkan terbalik, tetapi coraknya
masih utuh seperti hidup, maka begitu melihat, segera dapat
mengenalinya, di antaranya ternyata banyak yang menjadi
sahabat baiknya. "Hian Hong Totiang, silakan duduk di tempat pertama ini!"
kata Sat Thian-ji dengan hormat sambil membungkuk, "di
tempat itu ada Ngo-hou-to Ma Kun yang mengiringi, Longgoat
Taysu silakan duduk di tempat kedua, di situ terdapat
Kim-jio Chi Eng-liong dan tamu agung yang mengiringi,
sedang Liu-samko silakan duduk di meja sebelah barat sana
ditemani Hou-bwe-kun-co Nyo Chian-piu dan akhirnya Tansiko
silakan duduk di meja sebelah timur, di icmpat itu telah
menanti Yit-goat-lun Hoa Si-pe sebagai pengiring. Silakan,
silakan duduk dan mari minum bersama!"
Nama-nama seperti Ma Kun, Chi Eng-liong, Nyo Chian-piu, I
loa Si-pe dan kawan-kawan yang disebut tadi, semuanya
termasuk orang gagah di lima propinsi utara yang tersohor,
masing-masing terkenal dengan senjata yang istimewa,
keempatnya pun termasuk sahabat baik Kwantang-si-hiap.
Tak terduga, hari ini mereka itu ce-laka di tangan kedua iblis
ini, bahkan kepala mereka dipenggal dan dipakai sebagai alat
pengisi arak untuk menyuguh Si-hiap.
Di antara keempat pendekar itu, Tan Goan-pa yang
pertama tak tahan, ia naik darah, dengan mata mendelik
segera hendak urn-bar kemurkaan, namun Hian Hong Totiang
keburu mencegah dan memberi tanda dengan tongkatnya
agar sementara bersabar. Sesu-dah itu Hian Hong menduduki
tempat pertama sebagaimana ditun-juk tadi, akan tetapi lebih
dulu ia masukkan kepala Ma Kun ke da-lam kantong kulitnya
sambil berkata sendiri, "Aku tidak berani teri-ma Ma-toako
menjadi pengiring!" Sesudah itu Long-goat Taysu pun meniru cara yang sama,
ia pun menyusul duduk di tempat kedua dan menyimpan
kepala Chi Eng-liong. Perbuatan itu segera dimengerti oleh Liu Sian-gai dan Tan
Goan-pa, mereka tahu bahwa maksud sang Toako adalah jika
harus terjadi pertarungan sengit yang susah dielakkan, maka
simpan dahu-lu kepala sahabat lama supaya tidak ikut
dihancur-leburkan. Maka mereka pun meniru dan menduduki tempatnya
masing-masing, lalu memasukkan kepala Nyo Chian-piu dan
Hoa Si-pe ke dalam kantong kulit mereka.
"Haha, Kwantang-si-hiap memang manusia periang, mari
sila-kan keringkan tiga cawan dahulu baru kemudian bicara
urusan pen-ting," dengan gelak tertawa Pat-pi-sin-mo berkata.
Berbareng Sat Thian-toh menuang arak yang mereka bawa
ke dalam tiga buah tengkorak kepala manusia, terus diminum
hingga kering, akhirnya ia lemparkan kepala itu ke dalam
jurang. Jika kedua iblis itu bergelak tertawa sambil minum arak,
maka Kwantang-si-hiap masih tetap duduk saja.
"Kwantang-si-hiap, silakan minum!" ajak Tay-lik-sin-mo
dengan berteriak. "Ada arak tanpa sayur agaknya kurang lengkap!" kata Hian
Hong Totiang dengan dingin. "Biar Pinto (imam miskin)
menyuguh makanan enak yang kuambil dari pihak kalian
berdua!" Siang-mo tidak paham apa yang dimaksud, tapi waktu
mene-gas, tertampak Hian Hong mengebas lengan bajunya
yang lebar, beruntun berpasang-pasang daun kuping manusia
yang masih berda-rah segar melayang ke depan. Daun-daun
kuping itu hasil irisannya di Thay-hing-san tadi, sedikitnya ada
beberapa puluh pasang, di an-taranya termasuk daun kuping
Liong Bok-kong dan Lui Hay-im.
Belum ada setengah hari Hian Hong Totiang sampai di
Thay-hing-san, ia sudah berhasil .nengiris begitu banyak daun
kuping ja-goan kerajaan, Kiam-hoatnya yang lihai dan cepat
itu mau tak mau mengejutkan kedua iblis itu.
"Ha, satu kepala lawan sepasang kuping, masih tetap arak
lebih banyak daripada sayur!" kata Tay-lik-sin-mo
menyeringai. "Kalau kalian merasa masih kurang, nanti Pinto boleh
tambahi pula," sahut Hian Hong dengan tidak kalah
angkuhnya. "Tidak perlu kita adu mulut," kata Pat-pi-sin-mo dengan
suara tertawanya yang aneh. "Kalian datang dari jauh, jika
tidak mencela arak yang bening ini, mari silakan membasahi
tenggorokan dulu." Sesudah itu, sekali teguk ia habiskan arak yang terisi dalam


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebuah tengkorak, lalu tertawa terbahak-bahak dan berseru,
"Kepala manusia sebagai cawan, minum habis darah musuh!"
Tan Goan-pa menjadi gusar, ia bangkit berdiri. Tetapi Tayliksin-mo sudah mendahuluinya melompat ke depan, sekali
angkat, segera meja batu di depannya disurung ke arah Tan
Goan-pa. "Tan-siko apakah bermaksud mengundurkan diri?" serunya
tertawa mengejek. "Tak boleh, tak boleh jadi, harus keringkan
dulu beberapa cawan!"
Tentu Tan Goan-pa tidak mandah dihina mentah-mentah,
kedua tangannya menahan meja batu yang disurungkan
kepadanya itu, segera pula ia dorong kembali.
"Silakan minum!" mendadak terdengar Sat Thian-toh membentak,
Tan Goan-pa merasa angin santar menyerang ke
depan da-danya, meja batu tadi kembali disurungkan pula
kepadanya, maka lekas ia curahkan perhatian dan
mengumpulkan tenaga. Ia unjuk ke-tangkasannya, dengan
kedua tangan ia menahan, berbareng meng-geser ke
samping. Ilmu Gwakang kedua orang sudah mencapai puncak
kemahir-an dan bertenaga besar luar biasa, dengan
mengeluarkan tenaga ber-bareng tadi, sekonyong-konyong
terdengar suara keras bergemuruh, meja batu itu retak
menjadi beberapa potong kecil dan bertebaran. Tan Goan-pa
kena tergetar mundur beberapa tindak, kedua tangan-nya
terasa kaku linu, sedang Sat Thian-toh tetap berdiri tegak di
an-tara batu kerikil yang bertebaran laksana hujan sambil
tertawa ter-gelak. Dengan mengadu tenaga tadi, tampak sepintas keduanya
tiada yang terluka, tetapi sebenarnya Tan Goan-pa sudah
mengalami ke-kalahan tenaga dalam, ketangkasan Tan-cianggaypi (tangan tung-gal membelah pilar) kini harus terjungkal
di tangan Tay-lik-sin-mo.
Melihat saudara muda mereka kecundang, Hian Hong dan
Long-goat Siansu masih tetap duduk tak bergerak, tidak
demikian dengan Ban-li-tui-hong (si pemburu angin berpuluh
ribu li) Liu Sian-gai, ia tak sabar lagi, segera berdiri.
Mendadak terdengar Pat-pi-sin-mo bersiul panjang aneh,
dengan membawa dua buah kepala manusia, ia melayang ke
arah Liu Sian-gai sambil membentak, "Liu-samko, silakan
minum!" Liu Sian-gai tidak tinggal diam, dengan sebelah tangan ia
te-kan meja batu, tubuhnya lantas mengapung ke atas, ia
berjumpalitan sekali di udara untuk kemudian turun kembali
ke tengah lapangan, kedua orang saling menyerempet lewat,
tangan Liu Sian-gai juga memegang dua buah kepala
manusia. "Silakan tuan rumah minum arak dulu!" ia pun balas
membentak. Berbareng dua kepala yang berada di tangannya dilempar
ke depan, sementara itu kedua kepala yang Sat Thian-ji
lemparkan ta-dipun melayang tiba, dua pasang kepala
berganti tempat, berbareng sampai di tangan masing-masing,
arak di dalamnya setetes pun tidak tercecer, kedua orang
melompat ke samping, kemudian saling me-mandang pula.
Ginkang Pat-pi-sin-mo sebenarnya sudah sampai puncak
ke-sempurnaan, tetapi Liu Sian-gai berjuluk Ban-li-tui-hong
(pengejar angin berpuluh ribu li), sesuai dengan nama
julukannya, Ginkang-nya masih lebih tinggi setingkat daripada
lawan dalam pergeseran tempat tadi, Sat Thian-ji bergerak
lebih dulu dan Liu Sian-gai melayang
belakangan, keduanya bersamaan sampai di tengah lapangan terns menyerempet
lewat, terang Liu Sian-gai lebih unggul sedikit.
Sat Thian-ji melatih kepandaian luar-dalam, ilmu silatnya
luar biasa, justru dalam percobaan adu Ginkang ternyata
dikalahkan, ke-raan mukanya merah jengah, namun ia masih
tidak berhenti sampai di situ saja, dengan menyangking dua
buah kepala di tangan, ia ber-jalan menuju "Siau-mi-lik", si
Buddha tertawa, yang menjadi sasar-annya.
"Dengan hormat aku menyuguh sedikit arak pada Longgoat
Taysu!" sera Sat Thian-ji.
Dengan tertawa tergelak, si Hwesio gemuk itupun tidak
sung-kan, ia sambut kepala manusia yang dilontarkan
kepadanya dan se-mua arak yang terisi di dalamnya dihirup
kering sekaligus, kemudian
sekonyong-konyong ia menyemprot, "arus arak" yang disem-burkan beterbangan
menuju musuh. Agaknya Pat-pi-sin-mo sudah tahu Long-goat Siansu
memiliki kepandaian istimewa itu, maka sebelumnya ia sudah
siap sedia, ia berlaku waspada, begitu kepala ia lemparkan,
segera pula orangnya mengenjot naik ke atas hingga "arus
arak" tadi menyambar lewat di bawah kakinya, setetes pun
tidak terciprat. Dalam pada itu Tay-lik-sin-mo dengan langkah lebar telah
ma-ju pula, Long-goat Hwesio tertawa ngakak,
tenggorokannya masih berbunyi kelurukan.
"Silakan kau minum juga!" serunya pada Sat Thian-toh,
mu-lutnya yang lebar terbuka, arus arak segera disemburkan
pula laksana hujan. Semula Sat Thian-toh mengira arak di dalam mulut lawan
sudah habis, maka ia tidak berjaga sebelumnya, kini tiba-tiba
dari de-pan selapis kabut remang-remang menyambar dengan
cepat, lekas ia lindungi matanya dengan tangan, hujan arak
itu hanya mengenai tubuhnya,
kain bajunya tersusup hingga
berlubang kecil seperti sarang tawon. Kalau hanya jago silat
biasa yang terkena butiran arak tadi pasti tak tahan karena
rasanya seperti terkena peluru timah.
Tapi lain dengan Sat Thian-toh, karena ia sudah terlatih
sede mikian rupa, laksana tulang baja dan kulit tembaga,
tersemprot oleh arak tadi, tidak lebih seperti terkena gigitan
semut atau terantup nyamuk saja. Dan tentu pula ia tidak
mandah dirinya dihina begitu saja. Dengan satu bentakan
segera ia terjang si Hwesio gemuk.
Kembali pada Pat-pi-sin-mo, sesudah menghindarkan
sembur-an arak, ia melayang lewat di atas kepala Long-goat
Siansu dan me-nancapkan kaki di depan Hian Hong Tojin.
"Hian Hong Totiang, silakan minum!" baru sempat ia
berkata begitu, mendadak Hian Hong angkat tongkatnya
mengetok ke meja batu terus dijungkirkan.
"Mana ada cara menyuguh arak begini!" bentak Hian Hong
dan pedang di tangan kanan berbareng menusuk.
Dengan suitan aneh, Sat Thian-ji bergerak dengan sebat,
tu-buhnya terombang-ambing menurut gaya serangan pedang
Hian Hong Tojin, dalam sekejap ia telah menghindarkan tujuh
delapan serangan berbahaya.
Dalam pada itu Pang Ing yang berada di gendongan Sat
Thian-ji telah mendusin karena terkejut, sekonyong-konyong
bocah itu menangis pula. Hian Hong Tojin punya Loan-pi-hong-kiam-hoat, ilmu
pedang dengan serangan serabutan seperti sambaran angin,
sebenarnya sa-ngat lihai, beruntun ia memberi beberapa kali
serangan, tapi ujung baju Pat-pi-sin-mo ternyata tak bisa
disenggolnya. Kini mendadak nampak bayi yang berada dalam
gendongan lawan berpekik tangis, tanpa terasa ia agak
merandek. Karena melengnya itu, cepat Sat Thian-ji enjot tubuh dan
melayang ke atas, sepuluh jarinya menjulur berbareng,
segera ia men-cakar kepala Hian Hong Tojin!
Gerak serangan ini cepat luar biasa, waktu Hian Hong
berkelit, dengan menggendong bayi digigirnya (punggung) Sat
Thian-ji ternyata sanggup berkisar walaupun tubuh terapung
di udara, laksana burung terbang saja segera ia menjambret.
Pedang Hian Hong yang ditusukkan tadi masih belum
sempat ditarik kembali, oleh karena itu ia ayun tongkat di
tangan kiri untuk menangkis, tapi malah kena dipegang lawan.
Lekas Hian Hong pu tar pedangnya membalik, namun tak
urung ia sudah tertarik hingga bergeser beberapa langkah ke
depan dan tangan musuh masih tetap menyelonong
menyambar mukanya. Secepat kilat Hian Hong berkerut ke belakang dan mendoyongkan
kepala untuk menghindarkan cakaran musuh. Dalam
sekejap itu, tiba-tiba dari samping, sesosok bayangan hitam
laksana terbang menyambar datang. Terdengar Sat Thian-ji
bersuit aneh dan serangannya tiba-tiba menjadi kendur,
sedang Hian Hong agak ter-huyung-huyung, maka Sat Thian-ji
dengan cepat melayang pergi.
Orang yang mendadak menerjang datang itu bukan lain
ialah Ban-li-tui-hong Liu Sian-gai. Tadi waktu melihat toakonya
terku-rung serangan lawan, mau tidak mau ia menjadi keder,
karena hal itu selamanya belum pernah terjadi. Dengan
Ginkangnya yang sudah sempurna, segera ia menerjang maju
untuk menolong. Sat Thian-ji telah kalah sejurus dalam hal Ginkang, hal ini
di-anggap sebagai penghinaan yang belum pernah ia alami,
oleh sebab itu terhadap Liu Sian-gai ia rada dendam. Kini
nampak musuhnya ini berani menghadang, segera ia lepaskan
Hian Hong dan berbalik mencecar Ban-li-tui-hong Liu Sian-gai.
Liu Sian-gai yang sekonyong-konyong menubruk maju tadi,
dengan sepuluh cincin baja di tangannya segera mengepruk
Seruling Samber Nyawa 13 Patung Emas Kaki Tunggal ( Unta Sakti ) Karya Gan K H Pendekar Bloon 25

Cari Blog Ini