Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen Bagian 24
tertawa dingin. "Lalu jiwa keluargaku harus kutagih pada
siapa" Sudah berapa banyak orang yang dibunuh kalian
bersaudara dan arwah yang tak berdosa itu harus menagih
hutang kepada siapa?"
Sat Thian-ji terkejut oleh dampratan ini, kata-kata Pang Ing
itu seperti bunyi geledek yang menggetarkan hatinya.
Karena itu, ia tertegun sejenak dan gerak-geriknya menjadi
agak lambat, di lain pihak pedang Pang Ing dimainkan
sedemikian cepatnya, ia tidak membuang kesempatan itu,
dengan cepat pedang menusuk menembus hulu hati Sat
Thian-ji. Maka terdengar Thian-ji menjerit sekali, kedua
matanya mendelik, tubuhnya lantas kaku tak bergerak, tapi ia
tidak roboh, wajahnya mengerikan laksana mayat hidup.
Nampak muka orang yang menakutkan ini, Pang Ing
bergidik, lekas ia tarik kembali pedangnya.
"Baiklah, aku tidak menyalahkan kau!" terdengar Thian-ji
berseru sekali, akan tetapi sudah terguling.
"Ampuni dia Ing-moay!" terdengar Hiau-lan berseru sambil
mendekati, akan tetapi sudah terlambat.
"Sayang, orang ini agaknya ada keinsafan, tetapi sayang!"
ujar Hiau-lan pula demi nampak orang sudah tak tertolong
lagi. Sementara itu sinar kilat sedang menyambar di angkasa,
petir menggelegar, hujan turun dengan lebatnya. Hiau-lan
mendekati Sat Thian-ji untuk memeriksanya.
"Dimana budak Lin, suruh dia kemari, ada yang hendak aku
katakan," demikian terdengar Sat Thian-ji bersuara dengan
napas lemah sekali. Karena permohonan itu, segera Hiau-lan menggapai Pang
Ing. "Manusia yang akan mati, omongannya juga bajik!
Kemarilah Ing-moay, coba dengarkan apa yang hendak dia
katakan!" serunya. Akan tetapi Pang Ing masih ngeri pada wajah Thian-ji yang
menakutkan, dengan perlahan ia mendekati, tapi dengan
kepala berpaling ke jurusan lain.
Terdengar Thian-ji berkata perlahan, "Budak Lin, memang
benar katamu, aku ... aku sampai di sini suaranya terputusputus
dan sangat lemah, akhirnya menjadi tidak jelas lagi.
"Marilah kita kubur dia dengan baik," ujar Hiau-lan sambil
menghela napas panjang. Akan tetapi sebelum mereka bertindak, sekonyong-konyong
Sat Thian-ji membaliki tubuhnya, sekuat tenaga dan napas
penghabisan ia berkata lagi, "Aku mempunyai satu bola obat,
kau boleh ambil, dengan bola ini boleh kau gelindingkan di
atas luka yang kena cakaranku dan segera akan menjadi baik.
Bola obat ini masih besar pula gunanya, masih berguna untuk
...."ia tak bisa meneruskan lagi, suaranya sudah pelan dan
tenaga lemah hingga akhirnya berhenti sama sekali.
Mau tak mau hati Pang Ing menjadi pilu, sama sekali tidak
diduganya bahwa makhluk tua aneh yang dijuluki iblis ini,
pada sebelum ajalnya ternyata masih mempunyai hati bajik
seperti ini. Karena pikiran ini, tanpa terasa ia berpaling
memandang padanya. Sungguh aneh bin ajaib, jika muka Sat Thian-ji sebelum
ajal ladi kelihatan sangat beringas dan menakutkan, namun
sekarang di dalam pandangan Pang Ing sebaliknya telah
berubah menjadi seorang tua yang welas-asih.
"Kau adalah musuh keluargaku, tetapi aku hutang budi atas
perawatanmu selama beberapa tahun dahulu," demikian Pang
Ing berkata. "Baiklah, benci dan budi ini aku hapus sama
sekali dan aku tidak akan menyalahkan kau lagi."
Karena kata-kata Pang Ing ini, terkulum senyuman pada
mulut Thian-ji. Kemudian Teng Hiau-lan meraba dadanya,
ternyata denyut jantungnya sudah berhenti, napasnya sudah
putus. "Orang ini sungguh aneh sekali," ujar Pang Ing kemudian.
"Ya, tetapi dibanding Lian Keng-hiau dan lain-lain, ia masih
jauh lebih baik," sahut Hiau-lan.
Waktu ia merogoh ke baju Sat Thian-ji, betul saja ia
dapatkan sebuah Yok-kiu atau bola obat yang berwarna hitam.
Bola obat atau lebih tepat pil obat raksasa ini kira-kira sebesar
cangkir dan mengeluarkan semacam bau busuk yang aneh
dan keras. Tanpa ayal Hiau-lan menyingkap lengan baju Pang Ing, ia
gelindingkan bola obat ini di atas lukanya dua kali, terasa oleh
Pang Ing lengannya seperti sedang digosok setrika yang
hangat, ia merasakan hawa hangat menyelusup menembus ke
hulu hatinya, sejenak kemudian lengannya sudah bisa
bergerak bebas seperti biasa, rasa gatal pegalnya pun lenyap
semua. "Sungguh tidak nyana bola obat ini begini mustajab, tentu
obat ini adalah obat khas bikinan Siang-mo sendiri," ujar Hiaulan.
"Dia bilang obat ini masih banyak gunanya, maka boleh
disimpan." "Tidak, aku tak mau," sahut Pang Ing sambil mendekap
hidung karena bau obat itu.
Hiau-lan tertawa geli oleh kelakuan anak dara itu, ia
mengerti Pang Ing takut bau busuk, maka ia tak memaksanya,
ia memasukkan bola obat itu ke kantung sendiri.
Angin dan hujan badai tadi datangnya sangat cepat,
berhentinya juga sangat cepat, kini meski suara angin belum
berhenti, tapi hujan sudah reda, api yang berkobar di pulau ini
karena siraman air hujan tadi sudah hampir padam, rumput
dan bunga hutan sudah terbakar habis, yang tertinggal hanya
pohon yang gundul hangus.
"Setelah kebakaran ini, tempat ini sudah tidak indah lagi,"
ujar Pang Ing tertawa. "Ya, tetapi perahu Siang-mo yang kita incar sudah hancur,
mau tak mau kita harus terkurang pula di sini," sahut Hiau-lan.
Bila teringat hari ajalnya yang sudah makin mendekat,
tanpa terasa mukanya menjadi guram.
Dengan tidak banyak bicara lagi, mereka lantas menggali
liang dengan pedang mereka untuk mengubur mayat Siangmo.
Setelah hujan lebat, menyusul membanjir arus dingin,
angin laut bertiup menusuk tulang hingga menggigil, dengan
bersandar di tubuh Hiau-lan tanpa merasa akhirnya Pang Ing
terpulas. Dengan penuh rasa kasih-sayang Teng Hiau-lan
melepaskan baju luarnya sendiri, dan diselimutkan di tubuh
Pang Ing, dalam hati ia berpikir, "Biarlah anak ini tidur
nyenyak." Meski Hiau-lan sendiri merasa letih sekali, tapi kejadian
dalam dua hari ini terlalu memukul perasaan, sekilas ia
membayangkan hari ajalnya, lain saat teringat olehnya rasa
cinta Pang Ing terhadap dirinya, sebentar lagi teringat
pemandangan sebelum ajal Sat Thian-ji, semua itu laksana
gelombang ombak yang membanjir dan mendampar hatinya,
meski ia coba memejamkan mata, namun tetap tak bisa
tertidur. Suara menderunya angin lambat-laun berhenti, tiba-tiba
dari permukaan laut sana terdengar suara seruan
berkumandang. Hiau-lan coba mendengarkan lebih cermat, mendadak ia
mendorong pergi Pang Ing teras meloncat bangun.
"Ing-moay, rupanya seperti ada kapal yang datang!"
serunya. Dalam keadaan masih sepat matanya, Pang Ing terjaga dari
tidurnya sambil kucek-kucek mata.
"Ha, bagus, kita segera bisa terhindar dari bahaya!"
sahutnya dengan girang. "Ya, tetapi kau jangan girang dahulu, toh kita masih belum
tahu siapakah gera: gan yang datang ini?" ujar Hiau-lan.
"Harap saja bukan Tok-liong Cuncia," kata Pang Ing.
Habis itu mereka berdua lantas berlari menuju ke tepi laut,
tetapi malam gelap-gulita, hanya ombak laut mendampar yang
menyorotkan cahaya yang berkelap-kelip, kecuali ini tidak
tertampak bayangan kapal apapun.
"Apa kau tidak sedang mimpi?" kata Pang Ing kemudian.
"He, memang aneh, padahal terang sekali aku mendengar
suara orang," ujar Hiau-lan terheran-heran juga.
Selang tak lama, tiba-tiba terdengar berkumandang suara
suitan panjang dari jauh, suaranya lembut tetapi terang,
sayup-sayup menggema dari tempat jauh di lautan sana.
Keruan Hiau-lan dan Pang Ing terkejut.
"He, ini adalah ilmu mengirim gelombang suara ke tempat
jauh!" ujar Pang Ing.
Segera ia pusatkan perhatian memandang jauh ke sana,
setelah ditegasi sejenak, akhirnya tertampak olehnya di
tempat yang jauh sekali terdapat satu titik hitam yang lagi
bergerak terapung. "Ya, memang tidak salah katamu tadi, itu dia ada kapal
kecil yang sedang mendatangi!" katanya kemudian.
"Di tempat yang masih sejauh itu, suara suitan dan
seruannya ternyata bisa berkumandang sampai di sini, maka
dapat dipastikan Lwekang orang yang bersuara ini sudah
sampai tingkat yang tak dapat diukur," ujar Hiau-lan. "Dan
kalau yang datang ini adalah musuh, terang kita berdua
sekali-kali bukan tandingannya!"
"Kalau begitu, kita tak usah gubris padanya!" sahut Pang
Ing. Dalam pada itu di antara gelombang ombak, titik hitam tadi
makin lama semakin menjadi besar, kini jelas kelihatan adalah
sebuah kapal kecil, melihat kapal kecil yang terombangambing
di antara gelombang ombak itu, Pang Ing teringat
pada penderitaannya sendiri yang pernah mengalami
serangan ombak dan angin.
"Tidak peduli siapa dia, kita harus menolongnya!" katanya
kemudian dengan ikhlas. "Ya, apa yang kau pikirkan ternyata sama dengan aku,"
sahut Hiau-lan dengan tertawa. "Tadi mereka tentu melihat
sinar api di tempat kita, karena ingin lekas mendapatkan
daratan, maka kapalnya diarahkan kemari. Kini api tersirap
oleh hujan lebat, mereka kehilangan pedoman, oleh
karenanya berseru memanggil, baiklah lekas kita nyalakan api
lagi." Maka dengan cepat Pang Ing mengumpulkan segundukan
daun kering dan tangkai kayu terus menyalakan api unggun.
Lewat sebentar, betul saja kapal kecil tadi meluncur datang
laksana anak panah. Segera Hiau-lan berseru menyapa, karena itu tiba-tiba dari
kapal itu berkumandang suara sahutan yang nyaring kaum
wanita, "Apakah Hiau-lan adanya?"
Hampir Hiau-lan tidak percaya atas pendengarannya
sendiri, suara ini telah dia kenal benar, suara ini begitu lembut
dan hangat, ini adalah suara yang pernah memberi tenaga
baru padanya dahulu, hingga membikin dirinya bersemangat
kembali dalam keadaan lesu dan putus harapan, dan kini
dalam keadaan menghadapi persoalan sulit yang kedua
selama hidupnya, tidak terduga kembali ia mendengar suara
ini lagi. Pang Ing menjadi heran melihat Hiau-lan terkesima, dari
mata pemuda ini kelihatan mengunjuk sinar girang dan haru.
"Apa wanita di atas kapal itu sudah kau kenal?" tanpa
tertahan Pang Ing bertanya.
"Ya, kenal!" sahut Hiau-lan.
Sementara itu terdengar suara wanita tadi sedang berseru
memanggil nama Teng Hiau-lan lagi.
"Ya, betul aku di sini, Lu-cici!" sahut Hiau-lan dengan keras.
Selang tak lama, akhirnya perahu itu mendekat dan berlabuh.
Dari atas perahu segera melompat turun tiga orang,
seorang lelaki dan dua orang perempuan, yang lelaki ternyata
Pek Thay-koan adanya, dan perempuannya adalah Lu Si-nio
bersama Hi Yang. Wajah Pek Thay-koan dan Hi Yang
tertampak letih, baju mereka basah kuyup, terang sekali
mereka bergulat melawan serangan ombak dan angin badai.
Sedang Lu Si-nio sendiri meski kelihatan letih juga, tapi
sikapnya tenang-tenang saja.
"Apa aku bukan lagi mimpi, angin apakah yang meniup
kalian datang ke pula:' kecil ini?" segera Hiau-lan menyapa
kegirangan. "Angin apalagi kalau bukan angin taufan tadi!" sahut Lu Sinio
dengan tertawa. "Kalau kami tidak nampak sinar api di sini
mungkin kami akan ditelan oleh ikan paus."
"Di antara kami bertiga, Lu-cici kurang pandai berenang,
tapi justru dia yang paling tenang menghadapi serangan angin
ombak ladi," kata Hi Yang. "Dan kenapa kalian bisa sampai di
pulau ini" Eh, nona cilik ini bukankah nona yang dahulu
pernah bersama dengan Liau-in itu?"
Dahulu waktu pesiar di Se-ouw, Hangciu, Pek Thay-koan
dan Hi Yang pernah kesamplok dengan Pang Lin, karenanya
demi nampak Pang Ing, muka mereka lantas berubah.
"Bukan, nona itu adalah adik perempuannya," lekas Hiaulan
menerangkan dengan tertawa. Habis itu ia undang Pang
Ing ke dekatnya dan mengatakan padanya, "Inilah enci Lu Sinio
yang selalu ingin kau jumpai."
Mendengar ini, Pang Ing mengamat-amati Lu Si-nio hingga
lama. "la betul-betul Lu-cici adanya?" tiba-tiba ia bertanya.
Akan tetapi Pang Ing masih sangsi, sebab dari gurunya ia
pernah diberitahu bahwa nama Lu Si-nio sudah lama terkenal,
dari Teng Hiau-lan ia dengar pula bahwa Lu Si-nio lebih tua
dua tahun dari pemuda itu, maka dalam bayangan pikiran
Pang Ing tentu Lu Si-nio adalah wanita setengah umur, akan
tetapi kini jelas kelihatan orang di hadapannya ini adalah
seorang nona yang cantik jelita, umurnya tidak seberapa
banyak selisih dengan dirinya, keruan seketika ia menjadi
ternganga. "Adik cilik, memang akulah Lu Si-nio adanya," akhirnya Lu
Si-nio meyakinkan Pang Ing sambil menarik tangannya.
"Dari gurumu pernah aku mendapatkan pelajaran 'Lian-cinlwesi', latihan Lwekang supaya awet muda, karenanya aku
terhitung pula setengah kakak-gurumu."
"Kelihatannya engkau masih sangat muda sekali, Lu-cici,"
sahut Pang Ing. "Betulkah katamu" Kalau begitu aku harus berterima kasih
pada Suhumu," ujar Si-nio dengan tertawa.
Sebagaimana diketahui. Lu Si-nio pernah mendapat
pelajaran Lwekang dari Ie'Lan-cu yang disebut 'Lian-cin-lwe-si'
tadi, yakni semacam ilmu memusatkan kekuatan dalam untuk
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memupuk jasmani sendiri, ilmu kepandaian ini hanya bisa
dilatih orang yang sudah memiliki dasar Lwekang yang kuat,
oleh karena itu Ie Lan-cu sendiri belum menurunkannya
kepada Pang Ing. Cuma Pang Ing pernah juga mendengar
cerita gurunya tentang ilmu ini, maka setelah mendengar
kata-kata Si-nio tadi, ia percaya sepenuhnya.
"Bukankah Pek-heng berdua kembali ke Thian-hing-to buat
melawan pasukan musuh" Kenapa bisa sampai di sini
sekarang dan kenapa bisa berkumpul dengan Lu-cici lagi?"
tanya Teng Hiau-lan. "Ah, pangkalan mertuaku yang dipupuk selama beberapa
puluh tahun itu sudah musnah," sahut Pek Thay-koan dengan
muka muram. "Sanak keluargaku telah ditangkap dan dibunuh kerajaan,
yang beruntung bisa lolos hanya seorang keponakanku saja,"
demikian Lu Si-nio bercerita. "Setengah tahun yang lalu aku
telah antar dia pada Hian-hong Totiang untuk menjadi
muridnya, aku baru saja kembali dari Liautang-poan-to
(semenanjung Liautang) dan secara kebetulan bertemu
dengan suami-istri Pek-heng, dialah yang mengundang aku
ikut pergi ke Thian-hing-to. Tetapi sayang kedatangan kami di
sana agak terlambat, angkatan laut musuh sudah mengepung
pantai sekitar pulau dan sudah menggempur pangkalan kita,
dengan susah payah akhirnya kami bisa menyelundup ke
dalam, namun saudara-saudara kita di sana sudah sebagian
besar menjadi korban keganasan musuh, meski kami melawan
sekuat mungkin, tapi sudah tak berguna lagi. Hanya saja,
pasukan musuh sedikitnya kena kami hancurkan beberapa
puluh ribu orang, di pulau sekecil Thian-hing-to itu kami masih
bertahan terus selama hampir tiga bulan, setelah pertahanan
bobol, kami merebut kapal dan berkat bantuan Go-so (kakak
ipar perempuan kelima, maksudnya Hi Yang) yang paham
keadaan laut di sana, setelah kami berputar satu lingkaran,
akhirnya bisa menghindarkan pasukan musuh dan lari sampai
di sini." "Teng-heng, darimana kau tahu kami kembali ke Thianhingto?" tanya Hi Yang. "Aku tahu dari Kam-toako yang bertemu denganku di
Celam," sahut Hiau-lan.
"Kalau begitu, kau bertemu dengan ayahku tidak?" segera
Hi Yang bertanya lagi dengan cepat.
"Sudah, malah beberapa bulan kami tinggal bersama,"
tutur Hiau-lan. "Lalu dimana dia sekarang?" Pek Thay-koan ikut bertanya.
"Mungkin masih di Coa-to," sahut Hiau-lan.
"Apa katamu" Coa-to?" seru Hi Yang melonjak kaget. "Cara
bagaimana ayah bisa terdampar sampai pulau hantu itu?"
Karena kuatir atas keselamatan ayahnya, muka Hi Yang
menjadi pucat. "Lalu bagaimana lagi dengan Hong-ti?" tanya Pek Thaykoan.
"Kam-toako juga berada di Coa-to," Hiau-lan menerangkan.
"Malahan tidak dia saja, bahkan Bing-cecu dan Wei-tocu juga
berada di sana." Mendengar ayahnya masih didampingi kawan yang begitu
banyak, hati Hi Yang menjadi rada lega. "Dan cara bagimana
kalian bisa berpisah dengan rombongan dan tiba sampai di
sini?" ia ber-bertanya lagi.
"Ceritanya terlalu panjang, baiknya kalian tukar pakaian
dan makan sesuatu dahulu, setelah mengaso nanti aku
ceriterakan lagi," ujar Hiau-lan.
Dalam pada itu Lu Si-nio menjadi geli nampak pakaian
Hiau-lan dan Pang Ing yang terbuat dari serat rami kasar itu.
"Tentunya kalian sudah terkurung lama di sini bukan?"
dengan tertawa ia bertanya.
Muka Hiau-lan menjadi merah jengah.
"Baju kalian pun perlu tukar juga," sambung Lu Si-nio lagi.
"Ya, memang aku tak bisa menjahit, baju kami ini aku bikin
karena terpaksa, aku jahit sekenanya dengan duri tulang ikan
dan pakai benang rami, sungguh lebih susah daripada
memainkan senjata," dengan tertawa Pang Ing berkata.
"Tidak, kau menjahit dengan baik sekali, sungguh pintar,"
ujar Si-nio. Sebenarnya baju rami yang dibikin Pang Ing memang tidak
keruan, keadaannya kotor pula dengan noda darah dan
berlepotan lumpur, waktu nampak bayangannya sendiri di
dalam air, ia pun merasa geli.
Begitulah maka Si-nio lantas mengambil baju bersih dari
perahunya dan memasak makanan. Hiau-lan menukar dengan
pakaian Pek Thay-koan dan Pang Ing salin dengan pakaian
milik Hi Yang. Setelah tukar pakaian dan selesai bersantap, kemudian
Teng Hiau-lan menceritakan pengalamannya selama beberapa
bulan ini. Mendengar bahwa ayahnya sekarang sudah insaf dan suka
kembali ke jalan yang baik, Hi Yang menjadi senang sekali,
tetapi ketika mengetahui mereka terkurung di pulau hantu,
Coa-to, dan tiap hari disiksa oleh Tok-liong Cuncia, ia jadi
sangat kuatir lagi. "Go-so, marilah besok kita lantas berangkat ke Coa-to
untuk menempur Tok-liong Cuncia," ujar Lu Si-nio. "Menurut
Hiau-lan, orang ini asalnya adalah seorang penderita kusta,
pantas kalau dia menjadi benci pada dunia dan dendam pada
sesama. Menurut pandanganku, meski di luar ia sangat bengis
dan buas, mungkin dia tidak sejahat Siang-mo."
"Siang-mo pun bukan orang yang terlalu jahat," sahut
Hiau-lan. Habis itu ia lantas ceritakan tentang pemberian obat
pada Pang Ing sebelum ajal Sat Thian-ji.
Semua orang menjadi terharu oleh cerita itu.
Malam ini Pang Ing sempat tidur bersama Lu Si-nio, nona
cilik ini sangat menyukai Si-nio, maka ia bertanya terusmenerus.
"Enci, sudah lama kau kenal pada Teng-sioksiok, bukart?"
demikian ia mulai bertanya.
"Ya, pada waktu kau berumur antara setahun, aku sudah
kenal dia," sahut Si-nio.
"Ah, kalau begitu patutnya aku panggil kau bibi," ujar Pang
Ing. "Tidak, itu tidak perlu, guru kita bertingkatan sama, maka
tak perlu kau merasa sungkan padaku," sahut Si-nio dengan
tertawa. "Dan, apa kau juga kenal baik dengan bibiku?" tiba-tiba
Pang Ing bertanya "Apa maksudmu putri Nyo Tiong-eng" Ya, aku kenal, cuma
sepintas saja," sahut Si-nio.
Kemudian Pang Ing tidak bertanya lagi, ia diam seperti
sedang berpikir sesuatu. "Ehm, jika aku punya bibi seperti kau, tentu aku akan
senang sekali," katanya tiba-tiba.
"Apa kau tidak menyukai bibimu itu?" tanya Si-nio dengan
tertawa. "Ya, aku tidak suka," sahut Pang Ing mengangguk. "Aku
merasa dia tidak sesuai beijodohkan Teng-sioksiok!"
Pada waktu Pang Ing mengucapkan kata-kata ini, suaranya
penuh mengandung rasa kasih, matanya bersinar, seperti
sedang menantikan persetujuan Lu Si-nio.
Karena itu pikiran Lu Si-nio jadi tergerak. "Ya, aku pun
tidak suka padanya," sahutnya kemudian.
Keruan Pang Ing menjadi girang.
"Kau tidak suka pada bibimu itu, apa hal ini sudah kau
katakan pada Teng-sioksiok?" tiba-tiba Lu Si-nio bertanya.
Pipi Pang Ing yang kecil mungil itu tiba-tiba bersemu
merah. "Pernah aku katakan," sahutnya kemudian dengan
malu-malu. "Tapi aku tidak tahu pantas tidak aku
mengatakannya." Si-nio tertawa, habis itu ia lantas simpangkan pembicaraan
ke jurusan lain, ia mempersoalkan ilmu pedang dengan Pang
Ing, tentu saja gadis ini jadi lebih gembira, mereka bercakapcakap
sampai jauh malam baru tidur. Besok paginya, ketika
Pang Ing mendusin, namun ia tidak melihat Lu Si-nio lagi.
Kiranya waktu itu Lu Si-nio sedang duduk di atas batu
karang dan memandangi matahari terbit bersama Teng Hiaulan.
Mereka menikmati pemandangan alam yang indah itu
dengan terpesona. "Lu-cici, apa masih ingat beberapa tahun yang lalu kita
memandang matahari terbit di atas Sian-he-nia?" terdengar
Hiau-lan bertanya. "Ya, aku masih ingat waktu itu kau sedang masgul karena
urusan asal-usul dirimu, jauh-jauh kau menyambangi aku dan
kita bercakap sampai lama sekali," sahut Si-nio dengan
tertawa. "Dan tentunya sekarang kau sudah baik-baik saja
bukan?" "Terima kasih atas petunjukmu dahulu itu, sudah lama aku
bebas dari kemasgulanku, akan tetapi sekarang berbalik
timbul lagi urusan lain yang membikin aku kesal," kata Hiaulan.
Mendengar kata-kata terakhir ini, Lu Si-nio telah bisa
menebak beberapa bagian. "Ada urusan apakah yang
membikin kau kesal?" dengan tertawa ia pura-pura bertanya.
Muka Hiau-lan menjadi merah, dengan malu-malu ia tak
sanggup mengutarakannya. "Adakah sesuatu yang tak dapat kau katakan padaku?" ujar
Si-nio lagi dengan tertawa. "Ah, baiklah biar aku coba
menebaknya. Ehm, tentunya kau ribut dengan Nyo Liu-jing,
bukan?" Dalam keadaan kikuk akhirnya Teng Hiau-lan mengangguk.
"Sudahlah, perselisihan paham di antara tunangan sendiri
adalah soal biasa, kenapa harus kau pikirkan dalam hati?"
demikian Si-nio menghibur.
Hiau-lan bungkam dan menunduk.
"Tetapi aku selalu merasa watakku tidak cocok dengan
dia," katanya kemudian dengan suara rendah.
Lu Si-nio tersenyum lagi oleh kata-kata ini.
"Eeeeh ... kau punya keponakanmu itu, aku maksudkan si
nona cilik Pang Ing, ia pun tidak suka pada Nyo Liu-jing,
bukan?" ia bertanya.
Jantung Hiau-lan memukul keras, hatinya terguncang. "Ya!"
jawabnya kemudian dengan manggut-manggut. "Itulah, jika
aku tidak salah terka, di sinilah letak kemasgulan-mu, bukan?"
desak Lu Si-nio. Kembali Hiau-lan bungkam.
"Sesuatu yang dilakukan seorang, cukuplah asalkan
perasaan sendiri merasa tenteram. Adakah sesuatu kesalahan
yang kau lakukan terhadap nona Nyo?" tanya Si-nio lagi.
"Aku hutang budi kepada ayahnya," sahut Hiau-lan.
"Itu lain persoalannya," kata Si-nio sambil tertawa. "Jika
memang kalian berdua tidak cocok, kelak kedua belah pihak
akan menderita, mungkin Nyo-locianpwe sendiri tidak akan
tenteram juga." "Tepat apa yang Enci katakan, tetapi kami sudah
bertunangan sekian tahun," sahut Hiau-lan dengan hati
berdebar. "Baru bertunangan tidak bisa disamakan dengan
perkawinan," kata Si-nio. "Setelah menikah, kalau sang istri
tidak melanggar tujuh larangan tidak akan bisa dicerai. Tetapi
pembatalan sewaktu masih bertunangan, meski adat kuno
sekalipun, tidak melarangnya. Ai, aku jadi melantur tentang
peradatan kuno segala. Padahal cinta kasih antara mudamudi,
asal timbul dari cinta murni dan tahu akan batas diri,
seharusnya siapa pun tidak bisa melarangnya."
"Ya, Enci sungguh seorang yang bijaksana," sahut Hiau-lan
dengan girang. Ia girang sekali karena persoalan yang selama
beberapa bulan tidak bisa ditembus pikirannya kini telah
dipecahkan oleh kata-kata Lu Si-nio tadi, ia merasa dadanya
lapang dan pikiran lega. "Jika memang kau merasa tidak cocok dengan nona Nyo,
seharusnya kau jangan menahannya hingga berlarut-larut,"
kata Si-nio lagi. Karena kata-kata ini, Hiau-lan mengerut kening, teringat
olehnya cara bagaimana hal ini harus dikemukakan kepada
Nyo Tiong-eng, karenanya ia jadi masgul lagi.
"Hendaklah kau bersabar saja, nanti kalau kita sudah
kembali dari Coa-to dan sesudah kita kembali ke daratan, aku
coba menjadi perantaramu," dengan tersenyum Si-nio
menyambung pula. Keruan tidak kepalang girang Hiau-lan, dengan terharu ia
mengucapkan terima kasih. Akan tetapi bila teringat lagi
sesuatu, kembali ia mengerut kening.
"Ada apalagi yang kau anggap sulit?" tanya Si-nio.
Tengah mereka bercakap, sekonyong-konyong di atas
udara terdengar suara bunyi elang kucing yang riuh ramai,
belasan elang setelah terbang mengitar rendah beberapa kali
di atas pulau, kemudian terbang pergi dengan cepat.
"Ini adalah elang kucing yang dibawa Siang-mo, mungkin
mereka sedang mencari majikannya," tutur Teng Hiau-lan.
Dan sesudah berhenti sejenak, tiba-tiba dengan suara
perlahan ia bertanya, "Tetapi urusan umur dan tentang
derajat, apa diperbolehkan juga dalam peradatan kuno?"
Pertanyaan ini membikin Lu Si-nio bergelak tertawa.
"Haha, kau baru bersekolah beberapa tahun lantas ingin
menjadi murid setia Khong-loji (maksudnya Khong Hu-cu),"
sahutnya kemudian. "Tetapi Khong-loji tak pernah berkata
bahwa antara paman dan keponakan yang berlainan she
dilarang kawin. Menurut adat yang umumnya berlaku
sekarang ialah tidak kawin dengan orang yang sama she,
sedang kau dan dia toh bukan paman dan keponakan yang
sungguh-sungguh, kenapa tidak boleh" Sedang soal umur, itu
lebih-lebih bukan soal lagi. Berapakah selisih umurmu dengan
dia" Ehm, agaknya lima belas tahun, bukan" Kata orang kuno,
lelaki menikah pada usia tiga puluh dan perempuan kawin
pada umur dua puluh. Suatu tanda selisih sepuluh tahun
adalah kejadian yang biasa saja, kalau begitu, sekalipun lebih
banyak lima tahun, kenapa tidak boleh" Pernah disebutkan
dalam kitab ketabiban kita di zaman dahulu bahwa pada usia
tujuh kali tujuh bagi kaum wanita janganlah kawin dan kalau
lelaki umur delapan kali delapan jangan nikah. Teori ini
berdasarkan keadaan badan masing-masing. Tujuh kali tujuh
berjumlah 49 tahun, dan delapan kali delapan sama dengan
64 tahun, selisihnya persis lima belas tahun."
Dengan penjelasan Lu Si-nio ini, seketika semua kesulitan
yang meliputi perasaan Teng Hiau-lan menjadi lenyap
seluruhnya, akan tetapi 'teoritis' sudah boleh dikata tiada
halangan, tetapi bagaimana dengan 'praktek' yakni di mata
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
umum, dapatkah hal ini diterima" Inilah yang masih diragukan
Hiau-lan, maka hatinya tetap kesal.
"Ya, asal menurut aturan sudah boleh dan apa yang aku
perbuat bukan suatu kesalahan, meski tiba hari ajalku, hatiku
akan merasa tenteram juga!" katanya tiba-tiba sambil
menghela napas. Mendengar pemuda itu menyebut hari ajal, Si-nio jadi
tercengang. "Apa katamu" Kau sedang dalam masa muda dan
kuat, kenapa kau bilang ajal segala?"
Saat itu juga, di samping batu karang yang mereka duduki
itu tiba-tiba berkelebat keluar satu bayangan orang, tahu-tahu
Pang Ing telah muncul, kiranya dia bersembunyi di sana dan
sudah lama mencuri dengar percpkapan mereka. Sebenarnya
sudah sejak tadi Lu Si-nio mengetahuinya, tapi ia sengaja
pura-pura tidak tahu. "Mari sini!" segera Lu Si-nio memanggil dengan tertawa
demi orang sudah unjukkan diri. "Bagus sekali pemandangan
laut di sini! Lihat, begitu indah permai alam semesta ini, tetapi
pamanmu malah berbicara tentang hari ajalnya dengan aku!"
Muka Pang Ing yang bulat telur bersemu merah, matanya
basah berkaca, katanya kemudian dengan menggenggam
kencang tangan Lu Si-nio, "O, Enci, kau sungguh baik sekali!"
"Aneh, anak dara ini mengalirkan air mata kegirangan atau
ada sesuatu hal lain yang memilukan dia?" demikian Lu Si-nio
berpikir sambil memandang orang dengan heran.
Sementara itu ia dengar Pang Ing membuka suara lagi
dengan rada gemetar. "Cici, pengalamanmu luas dan
pengetahuanmu banyak, tahukah kau barang apa yang bisa
menolong Teng-sioksiok" Ia telah dipedayai kaisar anjing itu
dan telah minum araknya yang beracun, hari ajalnya tinggal
tiada seratus hari lagi!"
"Apa kau bilang" Betul terjadi begini?" seru Si-nio kaget.
Maka Teng Hiau-lan lantas menceritakan pengalamannya.
Mendengar penuturan ini, diam-diam Lu Si-nio berpikir,
kemudian ia menggumam sendiri, "Memang pernah kudengar
cerita bahwa di daerah selatan yang masih liar sana ada cara
pemberian racun berjangka waktu, siapa yang minum
racunnya, kalau tiba waktunya lantas terbinasa, jangka
waktunya pun tidak tentu, pada umumnya mulai ratusan hari
sampai beberapa tahun lamanya. Akan tetapi ini hanya
menurut cerita saja, betul atau tidak masih belum diketahui
dengan pasti, apa mungkin seorang kaisar juga bisa menaruh
racun seperti cara itu" Hal ini sungguh susah dipercaya. Tetapi
kalau ingat kekejian In Ceng, hal inipun bukan mustahil."
Karena itu kemudian ia lantas bertanya, "Di antara
pernapasanmu sehari-hari apakah terdapat tanda-tanda yang
aneh?" "Tanda-tanda aneh tidak aku rasakan," sahut Hiau-lan.
"Sudahlah, mati-hidup adalah takdir, yang aku harap hanya
tidak berbuat sesuatu yang memalukan, kalau hanya mati
saja, apa yang harus kutakuti!"
"Jangan kau kuatir, dalam seratus hari ini kita pasti akan
tiba di kotaraja, tatkala itu aku pasti dapat berdaya," kata-Sinio
menghibur. Ia berkata dengan tegas dan penuh keyakinan. Meski Pang
Ing tidak mengerti apakah daya-upaya orang nanti, tetapi ia
bergirang juga- Selang tak lama, suami-istri Pek Thay-koan datang
mengundang mereka pergi sarapan pagi untuk kemudian
berlayar mencari Coa-to atau pulau ular.
Dalam percakapan mereka kemudian disinggung tentang
kegagahan Tok-liong Cuncia yang susah dilawan. Dengan teliti
Lu Si-nio bertanya ilmu kepandaian orang kosen itu, lalu ia
termenung. "Ing-moay, coba kau perlihatkan permainan Thian-sankiamhoat padaku!" kemudian tiba-tiba ia berkata.
Pang Ing menurut, segera ia unjukkan semua gerak tipu
Thian-san-kiam-hoat yang dia pelajari, dengan penuh
perhatian Lu Si-nio menyaksikan permainan ilmu pedang si
nona.. "Bagus, jangan kuatir lagi, kita boleh berangkat sekarang!"
serunya kemudian dengan tertawa sesudah Pang Ing selesai
permainan pedangnya. Sementara itu Kam Hong-ti dan rombongan yang terkepung
di pulau ular, tanpa terasa beberapa bulan sudah berlalu.
Dalam beberapa bulan ini, tiap pagi kalau air pasang sudah
surut, seperti 'kerja dinas' saja, dalam waktu tertentu Tokliong
Cuncia datang main tempur dengan mereka, ia anggap
pertempuran ini seperti 'latihan' saja.
Melihat berlalunya musim rontok dan disusul dengan
datangnya musim dingin, kemudian tertampak pula salju
berhenti berganti dengan bunga mekar semerbak, Hi Kak jadi
teringat pada pangkalan lautnya yang dikepung dan digempur
pasukan kerajaan Boan, entah bagaimana keadaannya
sekarang" Lebih-lebih bila ia ingat nasib putri dan anak
menantunya yang belum diketahui, sedang hari-hari dilaluinya
seperti lambat sekali rasanya, sehari seakan setahun, keruan
ia menjadi gelisah. Di samping itu yang menggirangkan ialah setelah
mengalami 'latihan' pertempuran dengan Tok-liong Cuncia
selama beberapa bulan ini, ilmu kepandaian dirinya dan para
kawan sudah banyak maju. Tiap hari bila sudah habis
bertempur, tentu Kam Hong-ti mengadakan 'koreksi diri',
membicarakan kekurangan dan keunggulan pertempuran tadi,
ia membantu kawan-kawannya mempertinggi ilmu masingmasing,
ia ajarkan pula cara bekerja sama menyerang dan
bertahan dengan rapat untuk menghadapi musuh, hal ini
mereka latih dengan giat tiap hari.
Di antara belasan orang ini, sebenarnya hanya Kam Hong-ti
sendiri yang sanggup menghadapi tenaga pukulan Tok-liong
Cuncia, Hi Kak, Wei Yang-wi dan Bing Bu-kong bertiga hanya
sanggup menyambut dua-tiga kali serangan musuh dengan
senjata mereka. Akan tetapi sesudah beberapa bulan ini,
mereka sudah bertambah kuat dan bisa bertahan lebih lama.
Ditambah pula mereka bisa bekerja sama dengan rapat, baik
menyerang maupun menjaga, maka lambat-laun mereka
berbalik berada di atas angin pada tiap kali terjadi
pertarungan. Walaupun demikian toh masih tetap belum
mampu membinasakan Tok-liong Cuncia, tiap kali kalau orang
hutan ini unjuk tanda akan kalah, akhirnya bobol juga garis
kepungan mereka oleh terjangannya.
Pernah juga mereka membagi sebagian kawan untuk
membikin kapal dan sebagian bertugas meronda untuk
menjaga serbuan Tok-liong Cuncia, tetapi karena terbaginya
tenaga mereka, kembali mereka tak sanggup melawan musuh,
akibatnya kapal yang baru mereka bikin setengah jadi lagi-lagi
dihancurkan oleh orang hutan itu tanpa mereka bisa berbuat
apa-apa. Pagi hari itu, setelah air pasang, kembali Tok-liong Cuncia
'dinas' lagi menantang perang tanding, setelah kedua belah
pihak bertempur sengit tiga ratusan jurus, namun orang hutan
ini sama sekali belum tampak letih.
Dalam pada itu tiba-tiba di udara berkumandang suara
"srak-srak-srak" yang aneh, sekejap kemudian, ada belasan
ekor elang kucing terbang mendatangi dari ujung laut sana,
keruan Kam Hong-ti rada heran, ia pikir, "Apa mungkin elang
ini datang buat bertarung melawan kawanan ular lagi"
Biasanya kalau bergerak selamanya elang kucing bergerombol
dalam jumlah besar, kenapa sekali ini yang datang hanya
belasan saja?" Sesudah berada di atas pulau ular ini, kawanan elang itu
berputar mengitari atas pulau kemudian tertampak dua ekor
elang yang paling besar, sebagai pemimpin, tiba-tiba terbang
rendah sambil ber-cuit seperti berduka, mengitar di atas
kepala orang. Menyusul tiba-tiba Tok-liong Cuncia membentak sekali, ia
putar tongkatnya dengan cepat beberapa kali, ia bikin
terguncang pergi senjata semua orang terus menerjang keluar
dengan cepat. Ketika Tok-liong Cuncia menggapai tangannya, kedua ekor
elang kucing tadi lantas hinggap di atas pundaknya, di antara
cakar mereka agaknya seperti membawa sesuatu benda.
Belasan elang kucing ini memang betul adalah binatang
piaraan Siang-mo, dua ekor yang paling besar itu justru
adalah teman kawakan Sat Thian-ji. Dahulu sering Sat Thian-ji
membawanya bertamu ke pulau ular ini mencari Tok-liong
Cuncia, oleh sebab itulah begitu melihat Tok-liong Cuncia,
elang itupun lantas mengenali.
Dari cakar kedua binatang ini Tok-liong Cuncia melihat
tergenggam secomot kuku jari dan yang lain mencengkeram
sepotong kain baju yang masih berlepotan darah. Keruan Tokliong
Cuncia menjadi kaget demi nampak barang ini, air
mukanya berubah dengan cepat.
"Apa majikanmu telah dicelakai orang?" ia bertanya dengan
cepat. Akan tetapi sudah tentu elang itu tidak bisa menyahut,
mereka hanya "cuat-cuit" dengan riuh.
Selagi Tok-liong Cuncia bertanya pada elang itu di tepi laut,
dari jauh Kam Hong-ti dan lain-lain memandangnya untuk
menyaksikan apa yang sedang dilakukan musuh, tetapi
mereka tidak jelas melihat benda apa yang dibawa kedua
binatang itu. Mereka hanya melihat Tok-liong Cuncia berucap
beberapa patah kata, begitu melepas tangannya, kedua ekor
elang kucing besar itu lantas memimpin kawannya terbang
meninggalkan pulau ini. Sedang Tok-liong Cuncia menjadi
murka, begitu tongkatnya menyabet, ia bikin sebuah batu
cadas retak separoh. "Baik, biar kanan hidup lebih lama satu hari lagi, besok
kalau aku tidak membunuh habis kalian tidak puas rasa
hatiku," demikian ia berteriak pula.
Habis itu ia lantas kembali ke dalam hutan sambil
mengayun tongkatnya, menghantam sekenanya hingga
menerbitkan suara keras dari pepohonan yang digenjot
senjatanya. Nampak keganasan orang, semua menjadi jeri dan
mengkirik. "Sungguh aneh." ujar Wei Yang-wi sehabis musuh pergi,
"ada sangkut paut apakah kawanan elang kucing tadi dengan
kita" Kenapa setelah menemui elang kucing itu, ia menjadi
marah pada kita?" "Tok-liong Cuncia memang bukan manusia lagi, ia sudah
mirip ular berbisa, siapa saja yang ditemuinya lantas dipagut,
kita tidak perlu memikirkan tindak-tanduknya tadi. yang paling
penting sekarang ialah mencari jalan cara bagaimana
mengatasi dia?" kata.Bing Bu-kong.
Sementara itu Kam Hong-ti sedang menunduk berpikir, ia
berpendapat kalau hendak menangkan orang dengan
kepandaian silat, terang tidak mungkin. Jika Tok-liong Cuncia
betul-betul mau turun tangan dengan kejam, di antara belasan
kawannya ini sukar dijamin takkan tewas atau dilukai. Lebihlebih
jika orang memakai bantuan ular yang dikerahkan secara
besar-besaran, maka untuk menyelamatkan diri saja susah.
Berpikir demikian. Kam Hong-ti sendiri mati kutu. ia tak
berdaya sama sekali dan hanya garuk-garuk kepala saja.
Sementara itu tiba-tiba dilihatnya Hi Kak seorang diri
sedang mondar-mandir di pesisir laut, orang tua ini sedang
termangu memandangi air laut:
"Apa Hi-locianpwe mempunyai sesuatu akal?" Kam Hong-ti
coba bertanya. "Ya, menurut pendapatku, Tok-liong Cuncia sangat
mengandalkan ilmu silatnya yang tinggi, kalau dia belum
bertempur sampai dia sendiri merasa payah dan kewalahan,
belum tentu dia sudi mengerahkan barisan ularnya," sahut Hi
Kak. "Kita sudah terkurung di pulau ini, meski tumbuh sayap pun
sukar buat kabur, setiap saat dia mengerahkan ularnya, kita
pasti akan terbinasa, sedang melulu dia seorang diri saja kita
sudah kewalahan," ujar Kam Hong-ti.
"Bukan begitu maksudku," sahut Hi Kak. "Jika umpama kita
bisa merobohkan dia sebelum mengerahkan ularnya,
kemudian kita hanya menghadapi barisan ularnya tentu akan
menjadi gampang." "Tetapi kepandaian Tok-liong Cuncia begini kosen, siapa
yang sanggup mengalahkan dia, kecuali salah seorang di
antara Ie Lan-cu atau Bu Ging-yao, kedua Locianpwe dari
Thian-san ini yang mampu membereskan dia," ujar Hong-ti
lagi. "Jika bukan kedua Locianpwe ini, siapakah gerangan
orangnya yang bisa menandingi Tok-liong Cuncia?"
"Coba kau dengarkan suara ombak yang mendampar keras,
bukankah tenaga air laut jauh lebih besar daripada tenaga
Tok-liong Cuncia?" tiba-tiba Hi Kak berkata pula.
Hong-ti jadi tergerak hatinya. "Cara bagaimana kita dapat
menggunakan tenaga air, sudilah Hi-locianpwe menerangkan,"
sahutnya kemudian. "Bukankah sebelum siang hari ia takkan muncul?" tanya Hi
Kak. "Dan kita boleh menggunakan tempo luang ini untuk
membikin suatu jebakan."
"Jebakan apakah itu?" tanya Hong-ti.
"Itu gampang!" ujar Hi Kak. "Di atas pulau ini banyak
terdapat bambu besar, kita bisa menebang belasan batang
dan kita bikin tembus semua mata bambunya, kita bikin
sumbat yang bisa menutup dan membuka serta diisi penuh
dengan air laut!" "Haha, apa ini tidak lantas mirip bedil air mainan anakanak?"
ujar Kam Hong-ti dengan tertawa.
"Betul," sahut Hi Kak. "Aku pikir dengan bedil air sebesar
ini. kalau secara mendadak air di dalamnya disemburkan,
sekalipun orang kuat pasti akan tersemprot roboh juga.
Apalagi sekaligus kita gunakan belasan bedil air bambu dan
menyemprot berbareng, tentu Tok-liong Cuncia akan
terjungkal seketika. Begini, kita isi penuh bambu-bambu
raksasa itu dengan air laut dan diuruk dengan pasir di
atasnya, keadaan pesisir sini rada miring, kita pancing dia
menuju ke tempat yang dekuk, di situ mendadak kita
menggempurnya berbareng, setelah air menyembur dan dia
jatuh terjungkal, menyusul kita hantam dia dengan pukulan
berat." "Tetapi Lwekang dan Gwakang Tok-liong Cuncia boleh
dibilang sudah sampai puncak kesempurnaan, bisa berhasil
atau tidak, sama sekali belum berani dipastikan," ujar Kam
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hong-ti. "Cuma keadaan sudah kepepet, tiada jalan lain, boleh
dicoba." Besok paginya, begitu air pasang surut, kembali Tok-liong
Cuncia muncul dari dalam hutan, di belakangnya diikuti
rombongan ular yang tidak terhitung banyaknya, mungkin
berpuluh ribu jumlahnya. "Celaka, sekali ini kita pasti tidak bisa hidup lagi," demikian
diam-diam Kam Hong-ti mengeluh.
Sementara itu terdengar Tok-liong Cuncia telah bersuit
aneh, setelah dekat pesisir, rombongan ularnya tiba-tiba
berhenti, kawanan ular ini sambung-menyambung berbaris
membundar, sama keadaannya seperti dilihat mereka pada
hari pertamanya. "Haha, hari ini kita boleh bertempur untuk penghabisan
kalinya, aku akan membikin kalian mati dengan perasaan
takluk," demikian terdengar Tok-liong Cuncia membuka suara
dengan tertawa. "Hai, ular, ular! Nanti kalau aku sudah selesai
berhantam, baru silakan kalian sarapan pagi!"
Habis berkata pada ularnya, ia lantas mengayun
tongkatnya, lebih dulu ia mengemplang Kam Hong-ti.
Tetapi Hong-ti tidak melawan, ia pura-pura menangkis
sekali, segera ia berlari cepat mundur ke tepi laut.
"He, kenapa kau menjadi jeri padaku?" terdengar Tok-liong
Cuncia berkata, agaknya ia heran oleh kelakuan orang yang
tidak biasa ini. "Hayo, layani aku bertempur lagi yang seru
sekali ini. nanti kubikin kalian mati dengan sedikit enak!"
Namun Kam Hong-ti tidak menggubris teriakannya, bahkan
ia mengayun tangan, seketika tiga bilah belati terbangnya
menyambar padanya. "Haha, besi karatan begini bisa apa terhadap diriku?"
sambut Tok-liong Cuncia dengan bergelak tertawa atas
serangan itu. Berbareng ia putar tongkatnya hingga tiga belati itu
disampuk patah menjadi enam potong, menyusul sebelah
tangannya mendadak menggablok pada Hi Kak yang berdiri di
sebelah samping. Akan tetapi seperti Kam Hong-ti, Hi Kak pun tidak melayani
serangan orang, ia putar tubuh terus berlari menuju ke
sebelah barat Kam Hong-ti dalam jarak yang agak jauh.
"He, kalian jangan berpisah, kalau berpisah lebih-lebih tak
bisa melawan aku," Tok-liong Cuncia memperingatkan. "Hm,
hm, apa kalian memang tidak sudi melayani pertempuran
yang penghabisan ini" Hm, sungguh kalian ini busuk sekali,
biar satu per satu aku beset kalian untuk umpan ular!"
Begitu selesai bicara, segera ia jinjing tongkatnya terus
menguber kian-kemari, akan tetapi Hi Kak dan lain-lain yang
banyaknya belasan orang seperti sengaja menggoda, mereka
berlari pergi datang serabutan, setelah mereka berhasil
memancing Tok-liong Cuncia sampai di tanah yang legok,
terdengar aba-aba sekali, seketika belasan naga air
menyemprot Tok-liong Cuncia dengan keras.
Kejadian yang sama sekali tak diduga Tok-liong Cuncia ini,
sudah tentu ia tidak berjaga, ia jadi kelabakan karena
matanya tak bisa melek, kepalanya pun menjadi puyeng,
hingga ia terhuyung-huyung hendak jatuh.
Kam Hong-ti tidak menyia-nyiakan kesempatan bagus ini, ia
melompat maju dengan cepat, begitu ia geraki tangannya,
dengan sepenuh tenaga ia menghantam kepala orang. Namun
Tok-liong Cuncia sempat mendak ke bawah hingga pukulan
Kam Hong-ti meleset, sebaliknya mengenai bagian punggung
di tempat yang berbahaya. Tanpa ampun lagi terdengar Tokliong
Cuncia menjerit keras, segera pula ia roboh terjungkal!
Tenaga pukulan Kam Hong-ti sebenarnya luar biasa
kerasnya, pukulannya pun susul-menyusul dengan cepat,
begitu pukulan sebelah kanan berhasil, segera disusul dengan
tangan kiri, dalam keadaan sangat cepat itu, Hi Kak dan Wei
Yang-wi pun tidak tinggal diam, berbondong mereka pun
merubung datang, begitu mengayun tangan, segera golok Hi
Kak membacok pula. Di luar dugaan, ketangkasan Tok-liong Cuncia memang
hebat, mendadak ia menggerung keras, ia melonjak bangun
terus menumbuk dengan pundak, belum sampai pukulan
tangan kiri Kam Hong-ti digablokkan, mendadak ia sendiri
sudah terlempar ke atas. Keruan yang lain lari menyingkir, sedang bacokan Hi Kak
tadi mengenai telapak kaki musuh, namun hanya terdengar
suara "kle-tak", mata golok sendiri berbalik bengkok, orangnya
pun jatuh oleh getaran tenaga Tok-liong Cuncia yang
membalik itu. Setelah meloncat bangun, segera Tok-liong Cuncia
membentak, "Hayo, kawanan tikus, kalian berani mempedayai
aku!" Menyusul ia bersuit pula, kawanan ular yang dia bawa
mendadak menyerbu maju, Tok-liong Cuncia sendiri dengan
terhuyung-huyung lantas mundur pergi, lalu ia duduk bersila
di atas sebuah batu, rupanya ia sedang mengatur pernapasan
sambil kadang-kadang mengeluarkan suara mendesis.
Di pihak lain, setelah Kam Hong-ti dilempar ke udara, lekas
ia berjumpalitan di atas untuk menghilangkan gaya lemparan
yang hebat itu, walaupun demikian, sesudah ia menancap kaki
kembali di atas tanah, tak urung ia merasa kepala pusing dan
mata berkunang-kunang, napasnya hampir putus, syukur ia
sudah terlatih dengan baik, ia hanya terlempar saja oleh Tokliong
Cuncia tadi dan tidak sampai terluka dalam oleh
serudukannya. Dalam pada itu kawanan ular sudah merubung datang,
lekas mereka mundur ke garis pertahanan yang sudah
direncanakan, di sini mereka menjaga diri dengan rapat.
Di sebelah sana Tok-liong Cuncia lagi duduk diam sambil
menjalankan napas, ia merasa dadanya sesak, mau tak mau
orang liar ini kaget juga.
Setelah beberapa kali mengatur pernapasan, kemudian
waktu ia membuka mata, dilihatnya rombongan ular sudah
membanjir maju seperti arus, akan tetapi pihak musuh
semuanya tergolong jagoan, mereka berbaris satu lingkaran,
senjata mereka bekerja berbareng, golok memotong, tongkat
menghantam atau pedang menabas dan tangan membeset,
dalam sekejap saja sudah tidak terhitung banyaknya ular
berbisa yang terbunuh, bahkan ada sebagian ular kecil yang
menjadi ketakutan terus mundur dan kabur.
Tok-liong Cuncia menjadi murka, mendadak ia berdiri, lalu
bersuit aneh, ia putar tongkatnya lagi terus ikut menyerbu ke
dalam barisan ularnya. Karena dorongan ini. mau tak mau
kawanan ular itu menyerang pula beramai-ramai.
Keruan saja Kam Hong-ti terperanjat, sama sekali tidak
terduga bahwa setelah kena gebukan telapak tangannya tadi,
Tok-liong Cuncia ternyata masih begini tangkas dan perkasa.
Sudah tentu keadaan menjadi berubah, sudah harus
berjaga terhadap serangan ular berbisa, semua orang harus
melayani lawan tangguh pula, dengan sendirinya kedudukan
mereka menjadi kacau. Saat keadaan berbahaya bagi rombongan Kam Hong-ti,
tiba-tiba dari lautan luas sana terdengar berkumandang suara
suitan yang nyaring. Waktu Kam Hong-ti mendengarkan lebih
cermat, tiba-tiba ia menjadi girang, segera ia pun bersuit
menyambut suara tadi. "Hm, apa yang kau lakukan?" damprat Tok-liong Cuncia.
Berbareng tongkatnya lantas mengemplang.
Lekas Hong-ti ayun golok pusakanya menangkis, sedang Hi
Kak pun lantas menubruk maju, ia geraki goloknya terus
membabat dengan cepat. "Kurangajar kau tua bangka!" Tok-liong Cuncia menjadi
gusar. Tongkatnya menghantam lagi, ia desak Kam Hong-ti
mundur, menyusul telapak tangan kirinya juga menyerang.
"Celaka!" seru Hi Kak karena ancaman serangan musuh ini.
Lekas ia berusaha menghindarkan diri, namun tangannya
terasa kesakitan, goloknya terpental terbang ke angkasa,
syukur Wei Yang-wi dan Bing Bu-kong berdua keburu
merangsek maju menolong, tapi cepat Tok-liong Cuncia
menggeraki tongkatnya lagi, ia mencegat jalan mundur lawan,
menyusul terdengar ia bersuit, dengan kecepatan luar biasa,
dua ekor ular besar sekonyong-konyong mencelat ke atas
terus menggubet tubuh Hi Kak dengan kencang
Dengan mati-matian Kam Hong-ti memutar goloknya
hendak memotong ular itu, tapi tongkat Tok-liong Cun-cia
telah memapaknya, bahkan ia sendiri akhirnya kena
.terkurung dalam rangsekan tongkat musuh dan tak mampu
menerjang keluar. Sementara itu Hi Kak dengan kedua tangannya berhasil
mencekik leher kedua ular yang melilit badannya, mati-matian
dan sekuatnya ia menarik binatang ini, keadaannya sangat
berbahaya dan mendebarkan.
"Nah, hari ini biar kalian mati tanpa kubur di sini!"
terdengar Tok-liong Cuncia membentak sambil tertawa
cekikikan aneh dan memperkencang senjatanya.
Di antara sambaran angin senjatanya kemudian terdengar
suara benturan yang keras, golok dan kedua gaetan Bing Bukong
dan Wei Yang-wi ternyata sudah dibikin terbang oleh
tongkat lawan, menyusul kembali Tok-liong Cuncia mengayun
senjata menghantam ke arah Kam Hong-ti.
Saat itulah terdengar suara suitan di lautan tadi berbunyi
lagi, Kam Hong-ti menangkis tiga kali serangan orang sekuat
tenaga, habis itu mendadak ia dengar Tok-liong Cuncia
berseru, "Hai, siapa yang tak kenal mati-hidup berani
terobosan di pulauku ini?"
Tertampak sebuah perahu kecil meluncur datang, belum
sampai perahu ini berlabuh, dengan cepat dari atas perahu
sudah melompat turun lima bayangan orang.
Melihat kesehatan bayangan ini, Tok-liong Cuncia bersuara
heran, tampak seorang perempuan muda dari kelima orang
tadi memimpin di depan, sekejap saja mereka sudah tiba di
hadapannya. Lekas Tok-liong Cuncia tinggalkan Kam Hong-ti terus
memapak orang itu, tongkatnya segera pula menghantam,
akan tetapi di luar dugaan mendadak ia rasakan sambaran
angin menuju mukanya, serangan yang datangnya cepat luar
biasa membikin Tok-liong Cuncia tak sempat menangkis,
terpaksa tangannya mendorong ke depan, sedang ia sendiri
berbareng mundur ke belakang, walaupun demikian, tidak
urung rambutnya yang semrawut tak terpelihara terpapas oleh
sinar pedang lawan hingga terbang bertebaran.
"Tepat sekali kedatanganmu, Pat-moay, hayo, lebih dulu
kita bunuh manusia iblis ini!" demikian Kam Hong-ti berseru.
Menyusul terdengar suara mendesisnya kawanan ular yang
riuh ramai sambil berlari serabutan tak teratur.
Kelima orang yang datang ini adalah Lu Si-nio, Pek Thaykoan,
Hi Yang, Teng Hiau-lan dan Pang Ing.
Lu Si-nio berada paling depan dan paling cepat sampainya,
maka begitu bertemu dengan Tok-liong Cuncia, seketika ia
berhasil melepaskan Kam Hong-ti dari tekanan musuh.
Di samping sana Pek Thay-koan dan Hi Yang juga lantas
pergi menolong Hi Kak, sementara itu Hi Kak memang lagi
terancam, ketika mendadak ia merasakan daya belitan ular
tadi menjadi kendur, segera terdengar pula suara putrinya
sedang berseru di samping telinganya, "Ayah, ular sudah
terbacok mati!" "Ha, Yang-ji, kaulah yang datang!" demikian seru Hi Kak
girang, segera pula ia merangkul putrinya dengan kencang.
"Awas, masih ada ular lagi!" terdengar Pek Thay-koan
berseru memperingatkan, pemuda ini mengayun goloknya dan
memotong putus dua ekor ular.
Setelah Hi Kak pulih semangatnya, lekas ia lepaskan
rangkul-annya dengan maksud melawan serangan ular lagi,
akan tetapi mendadak ia lihat barisan ular itu kacau-balau
sambil lari serabutan ke belakang dengan mengeluarkan suara
aneh. Sebab apakah mendadak barisan ular ini lari sipat kuping"
Kiranya pada waktu suami-istri Pek Thay-koan pergi
menolong Hi Kak tadi, Teng Hiau-lan dan Pang Ing pun pergi
membantu Wei Yang-wi dan lain-lain yang sedang dikurung
oleh kawanan ular. Ketika melihat datangnya orang baru,
beruntun kawanan ular jtu menubruk maju hendak memagut,
tetapi baru saja binatang ini mendekati tubuh Teng Hiau-lan,
sekonyong-konyong kawanan ular seperti ketemu sesuatu
makhluk yang sangat menakutkan dan terus putar haluan
melarikan diri. Teng Hiau-lan sendiri menjadi bingung demi nampak
kejadian aneh ini. Sudah tentu ia tidak tahu bahwa pada badannya
menggembol semacam barang anti ular, yakni bola obat
pemberian Pat-pi Sin-mo kepada Pang Ing sebelum Sat Thianji
menghembus napasnya yang penghabisan. Bola obat ini
terbuat dari air liur elang kucing yang dicampur dengan bubuk
kelabang serta warangan. Hanya ludah elang kucing saja
sudah merupakan obat anti ular berbisa yang paling mujarab,
apalagi ditambah dengan campuran bubuk kelabang serta
warangan, keruan luar biasa lihainya, asal ular mencium bau
busuk itu, sek ;tika binatang ini akan kehilangan semangat
bertempur terus menyingkir pergi jauh-jauh.
Dahulu sebabnya Siang-mo berani menyambangi Tok-liong
Cuncia di pulau ular ini, jimatnya bukan lain adalah obat
mujarab anti ular berbisa ini.
Sementara itu ketika Tok-liong Cuncia melihat barisan
ularnya menjadi kocar-kacir, binatang piaraannya ini lari
simpang-siur, sesaat itu ia sendiri menjadi bingung, ia pun
tidak mengerti apa sebabnya, ia masih coba membentak dan
bersuit, akan tetapi komandonya sekali ini tidak digubris lagi
oleh kawanan ular. Keruan hati Tok-liong terguncang, ia tak berani lagi
melayani Lu Si-nio lebih lama, segera ia tarik kembali
tongkatnya terus menerjang keluar kepungan.
Akan tetapi dengan cepat Teng Hiau-lan lantas mengudak,
waktu itu Tok-liong Cuncia berdiri pada arah di bawah angin,
segera tercium olehnya bau obat yang busuk itu, sudah tentu
Tok-liong terkejut, pikirnya, "Mana boleh obat mestika anti
ular ini jatuh di tangan orang luar."
Dalam keadaan gusar dan terkejut tadi, segera Tok-liong
ayun tongkatnya mengemplang. Tetapi ia lantas dipapaki lagi
oleh Pang Ing, gadis ini melompat ke atas, mendadak
pedangnya menikam ke bawah, dengan Thian-san-siang-kiam,
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dua pedang pusaka Thian-san, bersama Teng Hiau-lan mereka
lantas mengeroyok orang dengan rapat. Dengan demikian
Tok-liong Cuncia tak mampu berbuat sesukanya lagi.
"Tok-liong Locianpwe, rupanya kau sudah letih, bolehlah
kau mengaso dahulu, habis itu nanti boleh kau datang
bertempur lagi!" demikian Lu Si-nio meneriaki Tok-liong
Cuncia. Saat itu juga tiba-tiba terdengar seruan Tok-liong Cuncia
yang aneh, mendadak ia mengayun tongkatnya membikin
kedua pedang lawan terpental pergi, lalu berlari menuju suatu
bukit kecil di pojok pesisir sana, mendadak ia sambar seekor
ular berbisa yang lagi melarikan diri, ia beset dan robek perut
ular itu terus menyedot darahnya dengan mulut.
Tengah Tok-liong Cuncia menghirup darah ular, rambutnya
yang sudah terpapas menjadi pendek kelihatan seperti tegak
berdiri kaku, rupanya yang bengis laksana malaikat maut yang
menakutkan, sungguh membikin orang yang melihatnya
mengkirik. Serangan Lu Si-nio yang mendadak tadi sebenarnya
dilakukan pada waktu lawan tidak menduga, dengan ilmu
entengi tubuhnya yang hebat ditambah ilmu pedangnya yang
bagus, dengan demikian baru orang kena diselomoti. Akan
tetapi Si-nio sendiri juga terkena dorongan tenaga telapak
tangan orang, ia pun merasa terkena tindihan barang berat,
segera ia tahu bahwa tenaga orang masih jauh lebih tinggi
dari dirinya. "Pat-moay, beruntung dengan kedatanganmu, kalau tidak,
hari ini kami pasti akan ditelan ular," ujar Kam Hong-ti setelah
keadaan tenang kembali. "Dan barisan ular itupun aneh,
begitu nampak kedatangan kalian, lantas lari terbirit-birit,
entah apakah sebabnya" Jangan-jangan memang sudah
ditakdirkan ajal manusia siluman ini sudah tiba, maka Thian
sengaja melindungi kita" Marilah, pada waktu dia masih letih
dan payah, kita bunuh saja dia sekalian!"
"Chit-ko, kau adalah pemimpin dunia persilatan daerah
Kang-lam, apa kau tidak ingat bahwa menyerang di waktu
musuh tak berdaya, biarpun menang juga tidak menjadi
gagah?" ujar Lu Si-nio dengan tertawa.
Hong-ti menjadi bingung sejenak oleh kata-kata
Sumoaynya ini yang berbicara tentang peraturan Kangouw
dengan Tok-liong Cuncia. "Ya, tetapi orang ini sudah putus hubungan dengan
masyarakat umum, buat apalagi berbicara tentang peraturan
Bu-lim dengan dia?" sahutnya kemudian.
"Aku tidak setuju dengan pendapatmu, Suheng, mana ada
manusia yang mau terasing dari pergaulan manusia di jagat
ini, kita harus mengalahkan dia hingga mau menyerah dengan
sendirinya," kata Si-nio lagi dengan tertawa.
Terhadap Sumoaynya ini, biasanya Kam Hong-ti sangat
hormat dan percaya penuh, meski kata-katanya tadi tidak
disetujui seluruhnya, namun ia pun tidak mendebat pula.
Dalam pada itu sesudah beruntun Tok-lion Tuncia
membeset perut tiga ekor ilar dan kenyang menghirup
darahnya, kemudian ia duduk bersila di atas batu padas,
agaknya dia sedang mengumpul icnaga dan menghimpun
kekuatan Lwekangnya. "Marilah, kalau sekarang kita tidak membereskan dia,
sebentar lagi kita tentu akan susah sendiri," ujar Kam Hong-ti
demi nampak orang sedang bersemadi.
Tetapi Si-nio tidak menjawab, sebaliknya ia tarik Pang Ing
ke "iamping dan mengajak bicara anak dara ini dengan suara
perlahan. Sedang orang lain menahan napas sambil
memperhatikan gerak-uerik Tok-liong Cuncia.
Selang tak lama, tiba-tiba terdengar orang hutan itu
bersuara lertawa cekikikan aneh, lalu ia jinjing tongkatnya
terus melompat bangun menuju ke pesisir lagi.
"Hayo, mengaku saja, siapa yang membunuh Siang-mo dan
merebut barang mestikanya?" terdengar ia berseru bertanya.
"Kamilah yang membunuh mereka," Pang Ing dan Hiau-lan
menjawab berbareng. "Tetapi mengenai apa yang menjadi
barang mestikanya, sama sekali kami tidak mengetahuinya!"
Karena jawaban ini, mendadak tertampak Tok-liong Cuncia
menarik napas panjang, berulang-ulang pula tongkatnya
dipukulkan ke tanah hingga menerbitkan suara.
"Hm, melihat usiamu yang masih begini muda dan
wajahmu cantik bagaikan bunga, tapi hatimu ternyata begini
kejam melebihi ular berbisa!" sekonyong-konyong ia mencaci
maki pada Pang Ing. ' H m, sungguh manusia yang tak
berbudi, Siang-mo kuatir kau ditelan ikan, mereka telah
berlayar mencari kau, tapi kau berbalik malah membunuhnya!
Hm, kalian yang dinamakan manusia ini sungguh lebih kejam
daripada ularku yang paling berbisa. Ini, rasakan tongkatku!"
Akan tetapi sebelum tongkatnya diayunkan, tiba-tiba
terdengar Lu Si-nio berteriak, "Hai, apa kau berani satu lawan
satu dengan nona cilik ini?"
"Hm, jangankan hanya satu, majulah kalian semuanya,
tidak usah dengan bantuan ularku, aku pun sanggup
membunuh habis kalian!" teriak Tok-liong Cuncia murka.
Tetapi tantangan ini dibalas dengan tertawa saja oleh Lu
Si-nio. "Ya, memang nona cilik ini adalah adik perempuanku,
sudah tentu tidak nanti aku membiarkan dia dihina kau.
Baiklah, aku akan mengiringi dia menerima beberapa
gebrakan dari kau!" katanya kemudian.
"Hati-hati Pat-moay!" seru Kam hong-ti memperingatkan.
"Ya, Ing-moay, nanti jika kau terdesak, hendaklah jangan
memaksakan diri bertahan terus!" Hiau-lan juga berpesan
pada Pang Ing. "Mengertilah kami," sahut Si-nio dan Pang Ing berbareng.
Habis itu mereka lantas melolos pedang masing-masing,
berdiri sejajar dan mengambil kedudukan yang kuat, mereka
menantikan serangan Tok-liong Cuncia yang pasti sangat
hebat. Tetapi Tok-liong Cuncia ternyata tidak lantas menyerang,
sebaliknya ia memandang dulu pada kedua nona ini.
"Yang besar ini berkepandaian paling tinggi, jika aku bunuh
dia lebih dulu, yang kecil tentu tak akan lolos," demikian ia
berpikir. Karena itu segera ia ayun tongkatnya, dengan gerak tipu
'Tay-peng-tian-sit' atau burung garuda pentang sayap,
tongkatnya membawa sambaran angin menderu segera
menyerampang ke pinggang Lu Si-nio.
"Bagus!" seru Lu Si-nio, sekonyong-konyong ia meloncat ke
atas, tongkat musuh menyambar lewat di bawah kakinya.
Dalam pada itu Pang Ing juga tidak tinggal diam, secepat
kilat ia bergerak dengan gerak tipu 'Pek-hong-koan-jit' atau
pelangi putih menembus sinar matahari, pedangnya secepat
kilat menikam perut musuh.
Waktu itu Lu Si-nio masih terapung di udara, ia pun
menggunakan tipu serangan dengan cepat, dengan tipu
'Peng-bok-kiu-siau' atau burung garuda menyambar dari
angkasa, mendadak ia menusuk juga dari atas.
Serangan yang berbareng datangnya dari atas dan bawah
ini, sungguh tidak terbilang lihainya.
Akan tetapi Tok-liong Cuncia tidak gentar meski dikeroyok
dengan tipu serangan hebat ini, tiba-tiba ia mengerang sekali,
tongkatnya yam; menyerampang tadi tidak ia tarik kembali,
tapi mendadak ia sendai hingga seketika senjatanya berdiri
menegak, tongkatnya sekarang menyodok ke atas, ujung
tongkat mengarah ke perut Si-nio, sedang batang tongkat
memotong datangnya pedang Pang Ing, sekali bergerak dua
macam serangan dan sekaligus melayani dua musuh
berbareng, karena itulah, mau tak mau Lu Si-nio dan Pang Ing
harus meloncat pergi buat menghindarkan diri.
Tetapi begitu mundur, segera mereka maju merapat
kembali, dari samping Lu Si-nio menyerang lagi dan Pang Ing
menggempur dari jurusan tengah dengan bersilang, kedua
pedang mereka kembali menggunting dengan lihai. Namun
lagi-lagi terdengar suara geraman Tok-liong Cuncia,
tongkatnya menyabet ke bawah, sekaligus ia menghantam
tangan Pang Ing dan menyerampang kaki Lu Si-nio.
Beruntung tubuh Pang Ing kecil ringan, begitu ia menarik
diri, seperti ikan saja licinnya ia menggeser pergi, sedang Lu
Si-nio memutar badan, begitu menghindarkan serangan
lawan, menyusul pedangnya menusuk 'Poh-cing-hiat' di bahu
Tok-liong Cuncia. "Kena!" tiba-tiba Tok-liong Cuncia membentak.
Mendadak ia menggeser, tongkatnya ditarik ke atas terus
menyabet ke depan secepat kilat, batang tongkatnya dia
gunakan untuk menahan pedang Lu Si-nio, sedang ujung
tongkat masih terus mengarah ke muka lawan.
Keruan serangan ini membikin penonton menjadi berdebar.
Tak tahunya, gerak Tok-liong Cuncia yang begitu cepat,
ternyata Lu Si-nio terlebih cepat, begitu tongkat Tok-liong
Cuncia disabetkan, maka terdengarlah suara "trang" yang
nyaring keras, pedang Si-nio menahan tongkatnya, berbareng
tubuh nona ini lantas membal ke atas, pada saat itu juga
dengan cepat serangan pedang Pang Ing juga sudah menusuk
lagi dari samping, dengan gerakan 'Pek-ho-ki-ling' atau
bangau putih menyisik bulu, ia memotong miring.
Sudah tentu serangan ini tak keburu ditangkis oleh Tokliong
Cuncia dengan senjata, sebagai gantinya ia lantas
pukulkan telapak tangannya ke depan, dengan angin pukulan
yang dahsyat ia patahkan serangan Pang Ing tadi.
Begitulah setelah bertempur lagi, sedikitpun Tok-liong
Cuncia tak bisa memperoleh keuntungan, keruan ia menjadi
murka. Ia lantas mengamuk, ia kumpulkan tenaga dalamnya,
ditambah ilmu permainan tongkatnya, segera terdengar suara
menderu keras, yang tertampak hanya bayangan tongkat
diselingi sinar pedang Lu Si-nio dan Pang Ing yang memutih
perak. Begitu cepat dan hebat pertarungan hingga mereka terus
berputar kian-kemari berganti tempat seperti kitiran, di
sebelah sana para pahlawan yang menonton merasakan sinar
pedang dan bayangan tongkat membikin pandangan mereka
menjadi silau, suara nyaring beradunya senjata pun memekak
telinga, sungguh suara pertempuran yang maha dahsyat dan
jarang terjadi. Sekalipun Kam Hong-ti biasanya sangat tenang,
sekarang tidak urung tangannya berkeringat juga saking
kencangnya mengepal. Di antara para penonton, kepandaian Kam Hong-ti dan
Teng Hiau-lan terhitung yang paling tinggi, ketika mereka
memandang dengan cermat, mereka masih bisa membedakan
bayangan orang yang sedang bertarung itu, sedang yang lain
sudah tak mampu melihat dengan jelas lagi.
"Kam-tayhiap. agaknya mereka keteter, mari kita lekas
turun tangan!" demikian kata Hiau-lan setelah menyaksikan
sejenak. "Tunggu sebentar lagi!" sahut Hong-ti.
Betul saja, mendadak keadaan berubah, gerak tongkat Tokliong
Cuncia kelihatan sudah mulai lambat, sebaliknya pedang
Lu Si-nio menyambar bagaikan cahaya pelangi yang beraneka
warna, berulang-kali ia balas menyerang.
Pang Ing pun tidak mau ketinggalan, dia keluarkan Kiamhoat
yang hebat, Si-mi-kiam-hoat, ia putar pedangnya hingga
berwujud satu lingkaran sinar yang melindungi dirinya,
bagaikan sebuah bola Mnar saja bergulung-gulung kian-kemari
di dekat Tok-liong Cuncia.
Menyaksikan cara pertarungan kawannya ini, Kam Hong-ti
menarik napas lega. "Ha. Pat-moay punya Kiam-hoat ternyata sudah banyak
maju, sekalipun Suhu hidup kembali juga hanya sekian saja
kepandaiannya!" demikian katanya saking kagum terhadap Lu
Si-nio. Di samping sana Teng Hiau-lan pun berulang-kali menghela
napas gegetun. "Ya, Pang Ing si budak cilik ini hanya dalam beberapa hari
sa-ia Kiam-hoatnya ternyata sudah maju begini banyak!
Sudahlah, kita lidak perlu ikut maju lagi!" demikian ia berkata.
Kiranya beberapa hari yang lalu sesudah Lu Si-nio minta
keterangan tentang kepandaian Tok-liong Cuncia dari Pang
Ing, dalam liati ia sudah mendapat akal buat melawannya, ia
pikir, "Thian-san-kiam-hoat yang hebat dan susah diraba,
ditambah dengan Hian-li-kiam-hoat yang sangat lihai, dengan
gabungan kedua cabang ilmu pedang yang tiada lawannya di
dunia persilatan ini, tentu daya tekannya akan luar biasa,
mustahil musuh tidak bisa dikalahkan. Meski kepandaian Tokliong
Cuncia sangat tinggi, belum tentu ia sanggup menahan
serangan dua macam ilmu pedang ini sekaligus."
Oleh sebab itulah, tiap hari Lu Si-nio terus memberi
petunjuk kepada Pang Ing cara bagaimana harus melayani
musuhnya, mereka mencari jalan kerja sama yang rapat. Pang
Ing memang gadis yang cerdik, sudah tentu segera ia
memahaminya dengan baik. Akan tetapi sungguhpun Kiam-hoat Pang Ing sangat bagus,
namun pengalamannya masih cetek. Ditambah lagi Lu Si-nio
hanya mengajarkan secara lisan saja dan belum pernah saling
latih, sebab itulah pada waktu mulai menghadapi musuh,
walaupun kedua pedang mereka menyerang bersama, toh
masih belum begitu lancar kerja sama mereka, maka hampir
saja mereka kena dikalahkan Tok-liong Cuncia., syukur setelah
saling gebrak beberapa ratus jurus, perlahan-lahan Pang Ing
bisa berlaku lebih tenang, perasaannya sudah bisa bersatu
dengan gerakan senjatanya, dengan penuh semangat ia
mainkan pedangnya, dengan demikian betul juga akhirnya
mereka berhasil memutar balik kedudukan yang terdesak tadi.
Di lain pihak Tok-liong Cuncia menyerang secara hebat,
tapi tetap tidak membawa hasil, akhirnya ia sendiri yang
terdesak di bawah angin, ia tak berani memandang enteng
lawannya lagi, kembali ia ubah permainan tongkatnya,
gerakannya menjadi lebih lambat daripada tadi, akan tetapi
tenaga serangannya malah bertambah kuat sampai ke ujung
senjatanya, sambaran angin tongkatnya pun menggoncang
keras, namun Lu Si-nio dan Pang Ing terus melawan dengan
gagah, setelah ratusan jurus berlalu, belum juga mereka bisa
menembus pertahanan orang.
Di antara mereka sudah tentu keuletan Pang Ing lebih
rendah, setelah bertempur hampir setengah hari, ia sudah
mandi keringat, karena goncangan angin tongkat musuh, ia
merasa dadanya seperti tertekan batu seberat ribuan kati,
tidak enak rasanya.
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lu Si-nio sendiri tak berdaya lagi. ia lihai kawannya sudah
sangat payah, selagi ia berpikir buat mundur dan lebih dulu ia
memberi beberapa tusukan dengan cepat, ia hendak
mendesak mundur Tok-liong Cuncia supaya Pang Ing bisa
mundur lebih dulu. Di luar dugaan, kejadian kadang-kadang sama sekali di luar
perhitungan, ketika Lu Si-nio merangsek dengan beberapa
serangannya, ia merasakan tenaga tongkat Tok-liong Cuncia
sudah tidak sekuat tadi, agaknya Pang Ing pun telah
merasakan keadaan musuh ini, tiba-tiba semangatnya
terbangun lagi. segera mereka menggempur musuh pula
dengan cepat. Maka dalam sekejap saja, tertampak di dahi Tok-liong
Cuncia otot-otot hijau menonjol keluar, keringat pun
bercucuran, mukanya menjadi pucat pula, beberapa kali ia
menyerang secara ngawur! Keruan saja Si-nio dan Pang Ing sangat girang, mereka
mencecar lebih cepat dari kiri, dari kanan, dari depan atau dari
belakang, tusukan mereka makin lama makin gencar, sudah
tentu akhirnya permainan tongkat Tok-liong Cuncia kena
dibikin kocar-kacir. Sebab apakah mendadak Tok-liong Cuncia bisa berubah
menjadi kewalahan" Kiranya tadi ia telah digebuk sekali oleh tenaga pukulan
Kam Hong-ti, isi perutnya boleh dikata sudah terluka, tatkala itu
kalau dia lekas mundur kembali buat bersemadi beberapa hari,
tentu akan sembuh. Tetapi sayang, justru karena wataknya
terlalu keras dan suka menang, dengan Lwekangnya yang
hebat ia masih memaksakan diri menjalankan darah dan
mengatur pernapasan untuk melancarkan kembali, pula
sesudah menghirup darah ular, ia lantas bersemangat lagi
buat maju menggempur musuh.
Dari luar memang tidak kentara, tetapi sebenarnya
kesehatannya sudah terganggu, setelah bergebrak matimatian
sampai ribuan jurus dengan Lu-si-nio dan Pang Ing,
akhirnya luka dalamnya kambuh, jantungnya dirasakan sakit
tidak kepalang seperti dipuntir.
Tentu saja Kam Hong-ti dan Teng Hiau-lan ikut bergirang
melihat musuh sudah akan terjungkal, tanpa berjanji mereka
menghela napas lega berbareng. Dalam pada itu mereka lihat
Lu Si-nio masih terus memutar pedangnya dengan gencar.
"Tok-liong Cianpwe, apa kau masih ingin bertanding terus?"
terdengar Si-nio membentak.
"Ai, coba, Pat-moay kita ini betul-betul berbudi luhur,
terhadap manusia iblis semacam ini saja ia masih ingin
menaklukkan secara damai," ujar Kam Hong-ti dengan
tertawa. Akan tetapi belum hilang suara perkataannya, mendadak
terdengar jeritan Pang Ing, tahu-tahu anak dara ini terguling
kena pukulan Tok-liong Cuncia.
Kejadian ini sungguh cepat dan sama sekali di luar dugaan,
bukan saja semua orang yang menonton tidak menduga,
bahkan Lu Si-nio sendiri pun tidak menyangka kawannya bisa
kena dihantam musuh, keruan ia sangat terkejut.
Kiranya watak Tok-liong Cuncia aneh sekali, ia sudah
teramat benci pada pergaulan umum, segala orang ia pandang
sama rata bagai binatang yang jahat, karena itu ia pikir kalau
sampai dirinya kena ditawan Lu Si-nio dan kawan-kawan, ia
telah membayangkan entah siksaan apa yang bakal ia
rasakan. Oleh sebab itu dia lebih suka mengadu jiwa, ia
gunakan senjata ampuh yang selama ini belum pernah ia
gunakan dan belum pernah dilihat orang pula, yakni 'Kim-kaksincoa', sejenis ular berbisa piaraannya yang istimewa.
Jadi Pang Ing bukan roboh karena dipukul, melainkan
dipagut 'Kim-kak-sin-coa' (ular sakti bertanduk emas) yang
luar biasa ber-bisanya. Kim-kak-sin-coa ini adalah sejenis ular yang khusus
terdapat di pulau ular saja, kepalanya rada dekuk menonjol
seperti tanduk, bisanya pun luar biasa jahatnya. Tok-liong
Cuncia memilih pula ular jenis lain yang paling jahat dan
dikawinkan, dengan demikian turun-temurun dia telah piara
beberapa keturunan ular campuran ini hingga akhirnya dapat
dipiaranya seekor di antaranya yang berwarna merah Jingga
dan kepalanya menonjol lancip seperti bertanduk, ular jenis
lain sekali digigit ular piaraannya ini, seketika akan mati.
Karena itu pula Tok-liong Cuncia sangat sayang dan
menganggap ularnya ini sebagai senjata rahasia dan memberi
nama 'Kim-kak-sin-coa' padanya.
Cara Tok-liong Cuncia memelihara ular berbisa sama
seperti orang biasa memelihara kucing atau anjing, tujuannya
hanya buat main-main saja, sama sekali tidak pernah ia pikir
akan digunakan menghalau musuh untuk memperoleh
kemenangan yang terakhir. Baru setelah dia kepepet hingga
tak berdaya tadi, mendadak ia teringat pada ularnya yang
berbisa ini. segera ia menggunakannya dan ternyata sekaligus
telah berhasil, Pang Ing kena dipagut ularnya dan ditambah
kena pukulannya, keruan anak dara ini roboh terguling tak
sadarkan diri, dari mulutnya tampak menetes busa warna
hitam. Begitulah maka Lu-Si-nio terkejut, waktu ia memandang
apa sebenarnya yang membikin kawannya terjungkal, tiba-tiba
Tok-liong Cuncia mengayun tongkatnya mengemplang lagi,
lekas lu Si-nio sambut serangan ini, sekilas itu tiba-tiba terlihat
pula olehnya di atas tanah ada seekor ular kecil berwarna
kuning emas sedang merayap, sedang Pang Ing yang
menggeletak me. intih-rintih, dengan suara terputus-putus
sedang berkata sekuat tenaga, "Ular, ular berbisa!"
Karena itu dengan cepat Lu Si-nio meloncat pergi, dalam
sekejap itu Kam Hong-ti dan Teng Hiau-lan pun menubruk
maju berbareng, waktu Hiau-lan hendak menolong Pang Ing,
tiba-tiba ular kecil berwarna emas itu menegakkan leher dan
menggoyang kepalanya, kiranya ular semakin berbisa,
semakin takut pada bola obat bikinan Siang-mo di badan Teng
Hiau-lan itu, karenanya ular kecil itu lidak sempat buat lari
lagi, binatang ini menjadi lumpuh karena pengaruh bau busuk
bola itu dan hanya sanggup mengesot saja di tanah tanpa bisa
berkutik. Sudah tentu Hiau-lan tidak tinggal diam, begitu ia ayun
pedangnya, segera ular kecil itu terkutung menjadi dua.
Di sebelah sana setelah Lu Si-nio menangkis sekuatnya dua
kali serangan lawan, Kam Hong-ti sudah memburu datang
buat membantunya, segera mereka mengeroyok dari muka
dan belakang, kini Tok4iong Cuncia sudah seperti pelita yang
kehabisan minyak, linggal sirapnya saja, ia sudah tak sanggup
bertempur lebih lama lagi, tiba-tiba ia menarik napas dan
mengumpulkan seluruh tenaganya yang masih ada, ia
mengerang keras, menyusul dia timpukkan tongkatnya ke
arah Lu Si-nio, sedang telapak tangan kiri membalik terus
menghantam hingga berpapasan dengan pukulan Kam Hong-ti
yang waktu itu lagi dilontarkan juga.
Ginkang Lu Si-nio sudah luar biasa tingginya, tidak nanti ia
bisa ditimpuk oleh tongkat orang, hanya sedikit mengegos
miring ke samping, ia sudah menghindari tongkat itu. Sedang
Kam Hong-ti mengumpulkan seluruh tenaga pada kedua
tangannya memapak pukulan Tok-liong Cuncia, namun tenaga
Tok-liong sudah habis, demi kena didesak oleh kekuatan Kam
Hong-ti, segera ia berteriak keras sekali, ia muntahkan darah
segar terus menggeletak di tanah tanpa bergerak lagi.
"Bagaimana keadaanmu, Pat-moay?" cepat Hong-ti
bertanya keselamatan sang Sumoay.
Ia lihat rambut Si-nio rada kusut, jidat pun berkeringat,
jelas kelihatan pertarungan tadi lebih berat daripada waktu ia
menempur Liau-in dahulu. "Aku tidak apa-apa, lekas kau periksa dulu adik Ing!" sahut
Si-nio dengan napas rada tersengal.
"Baiklah, kau boleh mengaso dan kumpulkan tenaga dulu,
biar aku memeriksa adik she Pang!" kata Hong-ti.
Segera pula Lu Si-nio duduk bersila di tanah untuk
mengatur jalannya tenaga dalam dan melancarkan darah.
Dalam pada itu ia dengar suara tangis Teng Hiau-lan.
"Ai, sungguh siluman yang keji, begitu pula ular berbisa
itu!" demikian terdengar Kam Hong-ti berteriak. "Kakek Hi
coba kau periksa dia sudah binasa belum" Tidak peduli orang
hutan itu masih hidup atau sudah binasa, aTm pasti akan
hancur leburkan dia hingga menjadi abu!"
"Nanti dulu!" tiba-tiba terdengar seman Lu Si-nio,
berbareng ia lantas melompat bangun.
Sementara itu Hi Kak telah menendang tubuh Tok-liong
Cuncia dua kali, ia lihat orang hutan ini sedikitpun tidak
berkutik, waktu ia meraba dadanya, ternyata masih hangat.
"Pat-moay ada pendapat apalagi?" Hong-ti bertanya.
"Untuk sementara jangan kita menyentuh dia," ujar Si-nio.
"Hiau-lan, bagaimana dengan keadaan Ing-moay?"
"Ia tak bisa ditolong lagi!" sela Kam Hong-ti. Di sebelah
sana Hiau-lan tengah merangkul tubuh Pang Ing dan sedang
menangis tersedu-sedu dengan sangat sedih.
Waktu Si-nio mendekati dan memeriksa, ia lihat wajah anak
dara ini hitam gelap, mulutnya mengeluarkan busa berbau
amis, baju di dadanya robek, Si-nio coba tempelkan kuping ke
dada orang dan mendengarkan denyut j antungnya.
"la masih bernapas," katanya kemudian.
"Tetapi dia telah terkena dua macam luka parah," ujar
Hong-ti, "dipagut ular berbisa itu, begitu jahat racun ular itu
belum pernah aku lihat selama hidup ini, luka yang lain adalah
karena pukulan siluman Tok-liong itu, sekalipun Hoa To (tabib
sakti di zaman Sam Kok) hidup kembali juga tidak akan
mampu menolongnya." Waktu itu Hi Kak dan lain-lain sama membung buat melihat
juga. Hi Kak sendiri waktu terkurung di gedung gubemuran
Soa-tang, Pang Ing-lah yang telah mengambil resiko
menolong mereka, oleh sebab itu Hi Kak sangat sayang pada
nona ini. Sekarang mendengar Hong-ti memastikan anak dara
ini tidak mungkin bisa ditolong pula, tanpa tertahan ia
mencucurkan air mata. "Hiau-lan, apa obat pemberian Pat-pi Sin-mo ada padamu?"
11 ba-tiba Lu Si-nio bertanya.
Karena pertanyaan ini, sekonyong-konyong Hiau-lan sadar
liiga. "Ya, ada," sahutnya cepat. "Obat ini khusus
menyembuhkan " mitan ular, tadi barisan ular telah lari
serabutan, jangan-jangan disebabkan obat ini."
"Aku kira pasti disebabkan obat ini," ujar Si-nio.
Segera pula Hiau-lan mengeluarkan obat pil raksasa itu,
setelah digelindingkan beberapa kali di atas luka Pang Ing
yang terpagut ular tadi, betul juga, hawa racunnya perlahanlahan
surut. "Memang mujarab sekali obat ini, cuma racun ular ini
terlalu l.ihat. lekas kerik sebagian obat ini dan cekokkan
padanya!" kata Si-1110 lagi.
Segera Hiau-lan menuruti petunjuk itu, ia kerik sebagian
bola obat itu dan dijejalkan ke mulut Pang Ing. Betul saja,
tidak antara lama. terdengar perut anak dara itu berbunyi
keruyukan, warna hi-lam yang tadinya tertampak di mukanya
lambat-laun pun lenyap. I lanya orangnya saja yang masih
belum sadarkan diri, denyut nadinya masih lemah dan
napasnya lambat. "Anak Yang!" tiba-tiba Hi Kak memanggil setelah dia
menenangkan diri. "Ya. ayah, anak ada di sini!" sahut Hi Yang.
"Barang mestika simpananku kau bawa keluar tidak?" Hi
Kak bertanya pula. Kam Hong-ti kurang senang mendengar kata-kata orang,
balurnya dalam hati, "Kenapa tabiat tamak Hi Kak masih
belum berubah! Jiwa orang lain sedang terancam dan belum
tahu mati hidupnya, sebaliknya sibuk mengurusi harta
mestikanya sendiri!"
Ternyata Kam Hong-ti tidak tahu bahwa pertanyaan Hi Kak
ladi justru mengandung maksud baik.
"Ada, ayah, telah kubawa sedikit," demikian Hi Yang
menyahut. "Setelah pangkalan kita dibobol musuh malammalam,
dalam keadaan gugup karena harus menyelamatkan
diri, yang terbawa hanya belasan butir Ya-beng-cu (mutiara
bercahaya di waktu malam), sebelah tanduk badak, sebuah
Hiolo berkaki tiga dari zaman Siang dan sebatang Chian-lianTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
ci-chau (Ling-ci-chau, sejenis rumput yang berumur ribuan
tahun). Selain ini tidak keburu dibawa, terpaksa dipendam di
puncak bukit Thian-hing-to, harap saja tak sampai ditemukan
musuh." "Baiklah, lekas keluarkan Chian-lian-ci-chau," kata Hi Kak
girang. Memang Hi Yang sendiri sedang hendak mengusulkan pada
ayahnya agar menggunakan rumput obat itu buat
menyembuhkan luka, tak terduga ayahnya sudah mendahului
berkata. "Rumput ini mempunyai khasiat bisa menghidupkan
kembali orang yang sudah mati, boleh dicoba," kata Hi Kak
kemudian setelah menerima rumput mujizat itu dari putrinya.
Setelah ia periksa keadaan luka Pang Ing, lantas minta
Hiau-lan menggiling hancur setengah batang rumput itu terus
dilolohkan ke mulut Pang Ing, selang tidak lama, lambat-laun
kelihatanlah muka anak dara itu mulai bersemu merah, tibatiba
pula memuntahkan darah hitam yang cukup banyak.
Lekas Hi Kak suruh Hi Yang pasang kemah, Pang Ing lantas
digotong masuk ke dalam kemah untuk dirawat lebih jauh.
"Masih ada setengah batang rumput ini, boleh kau simpan
saja," Hi Kak berkata pada Teng Hiau-lan. "Nona Ing pernah
minta padaku, katanya ia perlu memakainya."
"Yang setengah batang itu berikan aku saja!" mendadak Lu
Si-nio menyela. "Untuk apa kau memintanya?" tanya Hong-ti heran.
"Buat menolong Tok-liong Cuncia!" sahut Si-nio.
Keruan Kam Hong-ti dan lain-lain menjadi kaget dan heran.
"Apa kau ... kau ...." sebenarnya Kam Hong-ti hendak
bilang. "Apa kau sudah gila", akan tetapi urung
mengucapkannya sebab biasanya terhadap Sumoaynya ini dia
paling hormat. "Cici boleh ambil saja!" sahut Hiau-lan dengan rela.
Ya. pemuda ini memang paling kagum terhadap Lu Si-nio,
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
apa saja asal dia yang mengatakan, jangankan hanya Ci-chau
ini, sekalipun Hiau-lan disuruh terjun ke lautan api atau air
mendidih tidak nanti ia tolak.
"Tetapi Teng-heng, apa kau sudah tak memerlukannya
lagi?" tanya Hi Kak, Hiau-lan hanya menggeleng kepala saja
sesudah ia angsurkan Ci-chau itu kepada Lu Si-nio. "Untuk apa
aku memerlukannya?" sahutnya kemudian dengan tertawa.
Dalam pada itu Lu Si-nio telah melirik juga pada pemuda
ini, agaknya ia hendak berkata sesuatu, tetapi diurungkan.
"Apa Pat-moay sungguh-sungguh hendak menolong jiwa
manusia iblis itu" Tetapi setelah dia sembuh, siapa lagi yang
mampu menaklukkan dia?" tiba-tiba Hong-ti bertanya lagi.
"Kau dan aku, kita semua pasti dapat menaklukkan dia!"
sahut i-iuo tegas. "Urusan jangan terlambat lagi, Chit-ko,
harap kau pentang mulutnya!"
"Tetapi sesungguhnya aku tidak sabar lagi," kata Hong-ti
dengan tertawa getir, ia merasa serba susah karena
permintaan sang Sumoay. "Chit-ko adalah pemimpin kalangan Bu-lim, apa tak tahu
bahwa untuk menaklukkan orang hendaklah pakai budi yang
luhur?" lanya Si-nio.
"Betul." sahut Hong-ti. "Tetapi orang ini adalah iblis yang
tak kenal kebajikan lagi, mana dia mau tahu akan kemauan
baik kita?" sahut Hong-ti.
"Coba. Chit-ko katakan, bagaimana dia kalau dibandingkan
I lan Keng-hiau?" tiba-tiba Si-nio bertanya lagi.
"Lian Keng-hiau adalah manusia yang berhati binatang,
mana lusa dibandingkan?" sahut Hong-ti.
"Dan pernah tidak Tok-liong Cuncia keluar dari pulau ini
dan membikin celaka orang lain?" tanya Si-nio pula.
"Belum pernah kudengar," jawab Hong-ti.
"Nah, itulah, bukankah setelah kalian datang ke Coa-to sini
baru dia bergebrak dengan kalian," ujar Si-nio.
"Ya. tetapi kita mengalami serangan topan hingga
terdampar ke pulau karang ini, bagi orang yang sedikit
mempunyai perikemanusiaan, seharusnya dia menolong,
tetapi dia berbalik menggiring barisan ularnya untuk menggigit
kita, apakah ini tidak cukup alasan untuk mampuskan dia?"
debat Hong-ti. "Tepat, apa yang Suheng katakan ini justru menjadi alasan
untuk pembelaannya," kata Si-nio.
Keruan Hong-ti menjadi heran. "Apa yang kau
maksudkan?" tanyanya kemudian.
"Coba kalian pikir, dahulu ketika ia berpenyakit kusta,
ketika itu ia boleh dikata sama seperti kalian mengalami
serangan badai, jadi dia mengalami bencana yang bukan
akibat perbuatannya sendiri, bukan?" tutur Si-nio. "Akan tetapi
orang-orang di sekitarnya bukannya turun tangan membantu
dan menolong dia., sebaliknya malah hendak mengusir dia,
hendak mengubur dia secara hidup-hidup dan dibuang ke laut,
bukankah ini sangat kejam" Dan dengan sendirinya semua ini
tidak bisa tidak membikin dia menjadi gemas dan dendam"
Oleh sebab itulah siapa yang dia temukan lantas dihantam,
sama saja seperti kalian, karena terdesak oleh keganasannya,
maka kalian hendak menghancur-leburkan dia menjadi abu!"
Sebenarnya Kam Hong-ti adalah seorang yang berhati
mulia dan berbudi luhur, setelah mendengar penuturan
Sumoaynya yang panjang-lebar ini, segera berubahlah
pandangannya tadi. "Ya, bagaimanapun memang Pat-moay orang terpelajar
yang lebih paham segalanya daripada kaum kita, kalau kau
tidak memberi petunjuk, hampir saja aku melakukan sesuatu
perbuatan yang salah besar," katanya kemudian sesudah
berpikir sejenak. Karena itu, rasa cemasnya pada Tok-liong Cuncia segera
menjadi lenyap, bahkan ia malu diri, ia lantas maju ke dekat
Tok-liong Cuncia dan mementang mulutnya, lalu ia cekokkan
bubuk Ci-chau. Akan tetapi karena waktunya sudah terlalu lama, meski Cichau
cukup mujarab untuk memulihkan denyut jantung orang
seperti biasa lagi, namun jalan napasnya masih tetap lemah.
Karena itu lantas Kam Hong-ti pijat mulut orang dan dipenta.ig
lebar, tanpa menghiraukan bau mulut orang yang amis busuk,
ia memberi tambahan hawa padanya, dengan demikian,
perlahan-lahan Tok-liong Cuncia sadar kembali, matanya
tertampak menyorot sinar aneh.
"Sekarang kau masih lemah, kau perlu mengaso dulu dua
hari!" kata Hong-ti padanya. Habis itu ia terus memberi
hembusan hawa segar padanya.
Kemudian Lu Si-nio lantas mengatur, ia membagi beberapa
orang untuk merawat Pang Ing dan sebagian merawat Tokliong
t 'uncia. Setelah lewat tiga hari, Pang Ing sudah bisa bangkit dari
pembaringan dan Tok-liong Cuncia pun sudah bisa berbicara
lagi. "Sebenarnya aku sudah hampir mati, kenapa kalian malah
menolong diriku" Apa kalian ini bukan manusia?" demikian
Tok-liong ( uncia bertanya dengan sangsi dan penuh tanda
tanya. "Memang manusia pun banyak macamnya!" sahut Lu Si-nio
lertawa. "Ada manusia yang senang dan merasa beruntung
jika orang lain tertimpa malang atau mengalami bencana,
bahkan bila mungkin ikut menjebloskannya sekalian. Tetapi
ada pula manusia \ ang menganggap menolong sesamanya
sebagai tugas dirinya, mana boleh semua manusia disamaratakan
dan dianggap serupa?"
Karena penuturan ini, Tok-liong Cuncia merasa paham dan
merasa bingung pula, selama rebah di pembaringan beberapa
hari mi. mau tak mau ia terkenang juga kepada kejadian yang
telah lampau, teringat olehnya pada waktu dirinya masih
muda belia, waktu masih belum berpenyakit kusta, memang
betul dia mengetahui banyak orang yang baik dan ada pula
orang yang busuk, akan tetapi sejak dirinya kena penyakit
kusta, orang di sekitarnya lantas mulai bersikap dingin dan
balikan memusuhinya. "Di luaran sana apa masih ada orang yang berpenyakit
kusta?" pada suatu hari tiba-tiba Tok-liong Cuncia bertanya.
"Ada," sahut Si-nio.
"Dan apa sudah ada obat buat menyembuhkannya?" tanya
I ok-liong lagi. "Belum ada," kata Lu Si-nio.
Tok-liong terdiam, ia termenung. "Jika seumpama aku
masih menderita penyakit kusta, apa kalian akan tetap begini
baik mela-\ ani aku seperti sekarang ini?" tiba-tiba ia bertanya
pula. "Sudah tentu, mengapa tidak?" sahut Si-nio pasti.
Akan tetapi Tok-liong Cuncia menggeleng-gelengkan
kepala, suatu tanda ia tidak percaya.
"Ya, tentu kau kurang percaya, tetapi coba kau pikir," ujar
Sinio dengan tertawa. "Kau pernah menggiring ularmu buat
menggigit kami, dengan ilmu silatmu yang tinggi kau pun
berusaha membunuh kami, dalam pandangan kami waktu itu
kau tidak lebih menakutkan daripada penyakit kusta" Sebab
penyakit kusta belum tentu bisa membikin orang mati
seketika, sedangkan kau dan ularmu yang berbisa seketika
bisa membikin kami mampus. Kalau kami mau menolong kau
seperti sekarang ini, mengapa kami harus benci pada kau
waktu berpenyakit kusta?"
Karena penuturan ini, Tok-liong Cuncia menunduk berpikir,
habis itu mendadak ia menangis dengan pilu sekali.
Si-nio tidak urus orang menangis, ia dan Kam Hong-ti
lantas keluar dari perkemahan, mereka membiarkan orang
menangis sepuasnya. Keadaan demikian itu dilalui beberapa hari, kadangkala
Tok-liong Cuncia suka bertanya juga keadaan umum di luaran,
perlahan-lahan ia pun bisa membedakan antara kebajikan dan
kejahatan, tabiatnya yang liar mulai hilang dan sebagai
gantinya sifat kemanusiaannya mulai tumbuh kembali.
Selang beberapa hari pula, Pang Ing telah sembuh lebih
dulu, maka bersama Teng Hiau-lan mereka datang
menyambangi Tok-liong Cuncia, tak tahunya, begitu nampak
mereka, air muka Tok-liong segera berubah.
"Menurut pendapatmu Siang-mo itu orang baik atau orang
jahat?" cepat Lu Si-nio bertanya Tok-liong, sebelum orang
berbuat sesuatu. "Ya, menurut ceritamu, mereka pernah membantu kaisar
yang sekarang, sedang kaisar adalah orang busuk, agaknya
mereka pun bukan orang baik-baik, akan tetapi terhadap nona
cilik ini, mereka tidak bisa dikata kurang baik."
"Dan tahukah kau berapa banyak orang tak berdosa yang
dibunuh mereka selama bekerja untuk kaisar?" tanya Si-nio.
Habis itu ia lantas menceritakan kejadian dulu, dimana
Siang-mo telah banyak membunuh patriot yang melawan
kerajaan Jing dan memakai perjamuan kepala manusia di atas
Thay-hing-san. Tok-liong Cuncia telah mulai pulih rasa perikemanusiaannya,
demi mendengar cerita ini, ia merasa
mengkirik juga. "Ya, segala soal, kalau cuma sesuatu kejelekan kecil tidak
boleh merusak bagian besar lainnya yang baik, sebaliknya
kalau hanya sedikit kebaikan saja tidak boleh pula dipakai
untuk menutupi segala kebusukannya," kata Lu Si-nio.
Kata-kata ini walaupun tidak semuanya dipahami Tok-liong
Cuncia, akan tetapi ia bisa menangkap arti sekadarnya dan
dirasakan ada benarnya juga.
"Dan masih adi sesuatu pula yang belum kau ketahui,"
tutur Si-nio lagi. "Sanak keluarga nona cilik ini adalah Siangmo
berdua yang membunuhnya, ibu nona cilik ini adalah
Siang-mo pula yang menggondolnya pergi."
Karena cerita ini, berulang-ulang Tok-liong Cuncia lantas
mengutuk Siang-mo. "Sebenarnya sedikitpun aku tidak mengetahui bahwa Pat-pi
Sin-mo masih mempunyai rasa welas-asih, kalau tahu, aku
pun tidak nanti membunuh dia," Pang Ing ikut berkata juga.
"Dan masih ada lagi satu hal yang belum kau ketahui pula!"
tiba-tiba Si-nio menambahi.
"Hal apa?" tanya Tok-liong.
"Ci-chau yang menolong jiwamu itu, sebenarnya oleh Hi
Kak diberikan kepada nona cilik ini," tutur Si-nio. "Dan oleh
nona cilik ini hendak digunakannya menolong seorang
sanaknya yang terdekat yang jiwanya sedang terancam
karena dipedayai kaisar hingga telah minum araknya yang
sangat berbisa dan tiada obat yang bisa menyembuhkannya,
maka ia menaruh harapan atas Ci-chau ini agar bisa
menolongnya. Saudaranya itu bukan lain adalah dia inilah!"
Lalu ia menunjuk Teng Hiau-lan, sambil menyambung lagi,
"Dan dialah yang rela memberikan rumput sakti itu untuk
kepentinganmu, meski nona ini mengetahui, toh dia tidak
menyesal sedikitpun."
Dengan penuturan ini, Lu Si-nio sengaja membocorkan
sedikit rahasia bahwa keputusan untuk menolong jiwanya tadi
adalah nona cilik inilah yang mengusulkan.
Tok-liong Cuncia tertegun sejenak, habis itu ia menutupi
mukanya dan mengucurkan air mata lagi.
Selama belasan hari ini, Hi Kak memimpin kawan-kawannya
membuat sebuah kapal besar, setelah Tok-liong Cuncia
sembuh, mereka lantas mohon diri padanya.
Sudah tentu Tok-liong Cuncia merasa berat berpisah, tibatiba
ia berlutut dan menjura pada Lu Si-nio, Kam Hong-ti;
Teng Hiau-lan dan Pang Ing berempat. Lekas mereka
membangunkannya. "Aku sudah biasa tinggal di sini, untuk keluar lagi dalam
pergaulan ramai terang aku tak ingin," demikian kata Tokliong
Cuncia sambil angkat sumpah. "Tetapi aku bersumpah
pada tiap tahun pasti akan menolong sepuluh orang penderita
kusta, tiap tahun aku keluar pulau ini selama tiga bulan dan
membawa penderita kusta itu ke pulau ini. Sesudah aku
menyembuhkan mereka di sini, lalu aku antar mereka pulang
lagi ke tempat asalnya. Jangan kalian kira ularku yang berbisa
ini sangat jahat, mereka sebaliknya adalah alat penyembuh
yang paling mujarab."
Si-nio merangkap tangan dan mengucap syukur, "Jika
Cuncia mempunyai cita-cita luhur ini, tidak perlu terbatas
hanya sepuluh orang, bolehlah berbuat sepenuh tenaga."
Begitulah kemudian mereka lantas meninggalkan Coa-to
dan berlayar menuju ke daratan luas, di kapal mereka
berbicara lagi tentang Tok-liong Cuncia, maka semua orang
memuji kebijaksanaan Lu Si-nio yang bisa berpandangan jauh.
Setelah mereka berlayar dua hari, mereka melewati juga
pulau karang dimana Teng Hiau-lan dan Pang Ing pernah
tinggal tempo hari. Di atas pulau tertampak hangus dengan
pepohonan gundul, hanya rumput saja yang baru tumbuh
menghijau. Dengan bersandar pada dek kapal Teng Hiau-lan
memandang keadaan pulau itu dari jauh, tanpa terasa ia
berduka bila terkenang kejadian yang lalu, teringat olehnya
selama beberapa bulan berada di atas pulau ini, boleh dikata
hari-hari yang paling babagia dan paling menggembirakan
selama hidupnya, akan tetapi sekarang harus kembali ke
daratan, rasa sedihnya timbul lagi hingga pikirannya menjadi
kusut. Melihat pemuda ini lagi termenung sendirian, Lu Si-nio
lantas mendekatinya. "Ya, biar ada surga di dunia lain, tidak lebih toh hanya
khayalan belaka, sekalipun kembali lagi ke dunia fana, namun
jelek-jelek adalah kampung halaman sendiri, kenapa kau
merasa berat untuk berpisah?" demikian dengan tertawa Lu
Si-nio berkata padanya. Tapi Hiau-lan tak menjawab, ia tertawa juga, perasaan
sedihnya masih tetap belum hilang. Sedangkan Pang Ing
masih anak-anak yang belum punya perasaan apa-apa, ia
hanya merasa bila sang 'Sioksiok' bisa selalu berdampingan
dengan dirinya, ia sudah puas dan cukup, peduli apa uengan
surga atau dunia segala. Setelah berlayar beberapa hari, mereka tiba di lautan
Honghay, dari jauh lapat-lapat Hi Kak dapat melihat beberapa
pulau taklukannya dahulu dengan susah-payah, tetapi kini
pulau-pulau itu tak bisa didekati lagi, bila teringat dahulu ia
merajai lautan luas sini, semua itu kini sudah berlalu seperti
impian saja, tanpa tertahan air mata orang tua ini bercucuran.
Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kini hubungannya dengan Pek Thay-koan, antara bapak
mertua dan anak menantu, sudah sangat baik. Maka Pek
Thay-koan lantas maju menghiburnya demi nampak Hi Kak
berduka. "Ya, usiaku sudah lanjut, kini aku dapat berdampingan
dengan anak baik dan menantu bagus, rasanya jauh lebih
senang daripada merajai lautan dahulu, apalagi yang perlu
aku sedihkan?" demikian kata Hi Kak kemudian dengan
tertawa. "Tadi hanya kebetulan nampak bekas pangkalanku
dahulu, maka aku berduka bagi saudara-saudaraku yang telah
berkorban, pula aku menyesal atas diriku sendiri yang
terlambat sadar dari kekeliruan."
Akhirnya setelah menyeberang Honghay, sepanjang jalan
mereka dapat angin buritan, kemudian mendarat. Mereka
menyamar dan secara diam-diam memasuki kotaraja.
Setiba di kotaraja, waktu itu sudah lewat Toan-yang-ceh
atau hari perayaan Peh-cun, yakni tanggal lima bulan lima.
Kam Hong-ti membawa kawan-kawannya mondok pada salah
seorang pemimpin perkumpulan rahasianya. Waktu mereka
bertanya apa yang terjadi paling akhir ini, mereka mendapat
kabar bahwa sesudah Lian Keng-hiau kembali dari Soatang
dengan kemenangannya yang gilang-gemilang, kemudian
melakukan ekspedisi lagi jauh ke Jinghay. Sedang para
pangeran yang berada di kotaraja, ada yang dibunuh dan ada
pula yang dipecat dari kedudukan sebagai pangeran atau
dipreteli pula begundal dan pengikutnya, sampai kini
pangeran-pangeran itu sudah tidak mampu berkutik lagi
terhadap In Ceng atau Kaisar Yong Ceng sekarang.
Dengan hasil itu, Yong Ceng lantas mencari jago baru
secara meluas, ia perbaharui pula istananya dan memilih
wanita-wanita cantik, ia sengaja membikin suasana di bawah
pemerintahannya seperti dalam keadaan damai dan aman
sentosa. Setelah mereka tiba di kotaraja, besok paginya Lu Si-nio
lantas pergi mencari seorang tabib ternama.
Tabib pandai ini she Yap, ia adalah kawan karib Lu Liuliang,
Engkong Lu Si-nio* ilmu ketabibannya sangat tinggi dan
tiada tandingannya, hanya tabiatnya saja yang sangat aneh,
sehari-hari hanya membaca saja kesenangannya, tidak
gampang dia mau mengobati penyakit orang. Dahulu waktu
Lu Si-nio menghibur Hiau-lan dan bilang mempunyai dayaupaya,
yang dia harap ialah pertolongan tabib pandai ini.
Tak terduga, setelah dicari ke tempatnya, ternyata
orangnya sudah tidak di situ lagi, kabarnya lantaran tabib she
Yap ini tidak sudi mengobati seorang bangsawan, karena itu
hampir saja ia dipenjarakan, untung ada seorang bekas
pasiennya yang memberi kabar padanya, hingga tabib ini
malam-malam melarikan diri dan sekarang tidak diketahui
berada dimana" Karena harapan mereka yang buyar ini, yang merasa paling
masgul dan sedih adalah Pang Ing,
"Bagaimana kalau aku menyelidiki ke dalam istana?" kata
Lu Si-nio akhirnya. Akan tetapi Teng Hiau-lan mencegahnya
supaya jangan mengambil resiko itu.
"Keparat In Ceng ini adalah musuh keluargaku yang
terbesar, kepergianku sekali ini bukan melulu untuk urusanmu
saja, kalau ada kesempatan segera-aku bunuh dia sekalian,"
kata Si-nio pula Kam Hong-ti menasihati Sumoaynya juga agar suka berlaku
hati-hati. Namun Lu Si-nio anggap dirinya berkewajiban menunaikan
tugas negara dan sakit hati keluarganya, berbareng pula untuk
mencari obat bagi kawan karibnya, ia berkepandaian tinggi
dan bernyali besar pula, maka ia tetap bertekad akan pergi.
Di samping sana Pang Ing seperti banteng yang baru lahir
dan tidak kenal apa artinya takut, ia pun ingin mencoba dan
minta ikut pergi bersama Lu Si-nio.
Lu Si-nio tahu Ginkang Pang Ing sangat tinggi, maka ia
lantas memperkenankan anak dara ini ikut serta. Kam Hong-ti
lantas minta bantuan orang ualam pula, dan berjanji bila
kedua nona ini tidak kembali pada jam tiga malam, segera
Kam Hong-ti akan memimpin para pahlawan mengaduk istana.
Malam itu Kam Hong-ti dan lain-lain menunggu di rumah
dengan hati tak sabar. Sekira lewat tengah malam, tiba-tiba
seperti jatuhnya daun saja yang enteng. Lu Si-nio dan Pang
Ing telah kembali dengan selamat, akan tetapi di bawah sinar
bulan remang-remang kelihatan di atas tubuh mereka penuh
dengan noda darah. Lekas Kam Hong-ti menanyakan pengalaman mereka.
"Penjagaan kaisar anjing ini sungguh terlalu ketat," tutur
Si-nio dengan menghela napas. "Dimana-mana terdapat
penjaga, dibandingkan tahun lalu waktu ia merebut takhta,
sungguh jauh berbeda. Tadi, tidak lama setelah kami masuk
ke sana, segera kami ketahuan mereka. Kalau bukan ilmu
perguruan sendiri yang hebat, hampir saja kami tidak mampu
meloloskan diri." "Ya, nyali Lu-cici sungguh besar sekali, terang kami sudah
terkepung musuh, berkat Lu-cici yang membuka jalan, ia
membunuh tiga jagoan istana, aku pun berhasil membunuh
dua musuh, hingga badan kami kotor berlepotan darah,"
demikian Pang Ing pun ikut menutur dengan bersemangat.
"Wah, istananya sungguh besar sekali, aku baru pertama kali
tadi melihat istana seperti itu!"
"Dan bagaimana, apa kalian ketemu In Ceng?" tanya Hongti.
Karena pertanyaan ini, Lu Si-nio membisu, tetapi wajahnya
mengunjuk rasa gemas sekali.
"Apa kau maksudkan kaisar anjing itu?" Pang Ing
menyahut. "Kalau dia, tadi kami sudah ketemu. Aku pernah
berhadapan dengan dia di rumah Lian Keng-hiau dahulu,
maka aku kenal dia, dari jauh ia malah meneriaki kami,
katanya ia sudah menduga kami akan datang ke sana.
Katanya pula bahwa Teng-sioksiok masih ada waktu tujuh hari
lagi baru akan tiba ajalnya. Ia bilang jangan kita mengharap
bisa mencuri obat pemunah racunnya, sebaliknya ia suruh aku
dan Teng-sioksiok lekas masuk istana buat minta ampun
padanya." "Tujuh hari, katanya" Betul hanya tujuh hari?" demikian
Kam Hong-ti menggumam sendiri.
"Ya, hanya tujuh hari saja, lantas bagaimana baiknya?"
kata Pang Ing lagi dengan suara terputus-putus karena
tangisnya. Waktu Pang Ing berbicara, tiba-tiba Teng Hiau-lan munculdari
kamar belakang. "Eng-ci (nama asli Lu Si-nio adalah Lu Eng) dan Ing-moay,
kalian tak perlu buang tenaga lagi buat diriku," demikian ia
berkata dengan tertawa pahit. "Kam-tayhiap, aku hanya
memohon sesuatu padamu."
"Katakan saja, Teng-heng," sahut Hong-ti.
"Aku ada sepucuk surat pesan terakhir, harap Kam-tayhiap
suka menyampaikan pada guruku Nyo Tiong-eng," kata Hiaulan
lagi. "Ah, toh masih ada waktu tujuh hari, hendaklah Teng-heng
berlaku tenang dan jangan, berpikir yang tidak-tidak," sahut
Hong-ti. "Mati hidup sudah ditakdirkan, tenaga manusia tidak bisa
berbuat apa-apa, maka lebih baik aku mengatur segala
sesuatu, supaya orang lain tak ikut menderita," sahut Hiau-lan
dengan tertawa getir. Memang Kam Hong-ti belum tahu bahwa di antara Hiau-lan
dan Nyo Liu-jing sudah cekcok sampai tingkat yang sukar
diakurkan, maka ia masih terus menghibur.
"Kau dan Nyo-loenghiong adalah mertua dan menantu,
waktu tujuh hari mungkin terlalu mendesak, agaknya dia tidak
keburu lagi diundang ke sini," katanya kemudian.
Ternyata Kam Hong-ti masih menyangka Hiau-lan ingin
berjumpa sekali lagi dengan Nyo Tiong-eng dan putrinya pada
sebelum ajalnya. "Nyo-insu (guru berbudi) sudah cacat karena kena Am-gi
keluarga Tong, tidak perlu lagi mengundang dia kemari," tutur
Hiau-lan. "Aku hanya ingin pada sebelum ajalku, aku bisa
membatalkan ikatan perjodohanku ini, supaya putri orang
tidak ikut berkorban."
Hendaklah diketahui bahwa pada zaman feodal, jika ikatan
perjodohan belum dibatalkan, walaupun belum menikah dan
bakal suami telanjur mati, maka tetap bakal istri tidak boleh
menikah lagi, oleh sebab itulah Teng Hiau-lan mengutarakan
pendapatnya tadi. Akan tetapi Kam Hong-ti masih coba menghiburnya.
"Sudahlah, biarkan ia menulis suratnya itu," kata Si-nio
akhirnya. "Kalau dia memang berpikir begitu, jika dia tidak
menulisnya, tentu hatinya tidak ak^n tenteram."
Karena kata-kata Sumoaynya ini, Kam Hong-ti tidak
mencegah lagi. Begitulah Teng Hiau-lan lantas mengundurkan diri, ia
kembali ke kamarnya buat menulis surat pesan terakhir.
Waktu Lu Si-nio memandang sekitarnya, ia lihat Pang Ing
bermuka muram, matanya berkaca hendak mengucurkan air
mata. Dengan perlahan ia lantas menggandeng tangan gadis
ini dan diajak jalan ke pelataran sana.
"Kalau demi membalas budi sengaja mengorbankan diri,
terhitung hina tidak?" tiba-tiba Pang Ing tanya Si-nio.
Seketika Lu Si-nio tercengang. "Tidak terhitung hina! Tapi
perlu apa harus berbuat begitu?" sahutnya kemudian.
"Ya, apa daya, tiada sesuatu harapan lagi
"Tetapi siapa tahu kalau tiba-tiba timbul sinar terang?"
sahut Si-nio memotong. "Hai, siapa itu?" tiba-tiba ia
membentak. Belum lenyap suara Lu Si-nio, mendadak terdengar suara
gelak tertawa yang keras di atas wuwungan rumah, tahu-tahu
Haptoh bersama seorang Lamma berjubah merah telah
muncul. "Atas titah Hongsiang, Teng-hiapsu dan Lin-kuijin diminta
lekas masuk istana!" terdengar Haptoh berseru. Habis itu
keduanya lantas melompat turun ke pelataran dengan mata
mengerling tajam. Lamma berjubah merah ini bernama Emopu, seorang
Lamma besar dari agama Lamma Merah, Kaisar Yong Ceng
telah mengangkat agama Lamma sebagai agama negara,
sejak Liau-in tewas, Yong Ceng ingin lekas mendapatkan
seorang penggantinya, justru ilmu silat Emopu ini terhitung
kelas wahid di kalangan Lamma Merah (Lamma ada dua
golongan, merah dan kuning), Yong Ceng sendiri adalah
seorang ahli, maka begitu ia mengundang orang dan dijajal,
segera ia tahu bahwa ilmu silat Emopu tidak di bawah Liau-in,
bahkan Ginkangnya masih di atas Liau-in. Karena itu segera ia
mengangkatnya menjadi Tay-koksu atau imam besar negara,
ia rombak pula istana pangerannya yang lama menjadi Yonghokiong, istana yang khusus untuk markas kaum Lamma.
Malam ini Lu Si-nio dan Pang Ing telah mengaduk istana,
ketika Emopu memburu datang, mereka sudah keburu
menerjang keluar istana, lekas Emopu dan Haptoh mengejar,
walaupun mereka tak bisa menyandak Lu Si-nio berdua, tapi
selisihnya tidak terlalu jauh, tatkala bayangan Si-nio
menghilang pada sebuah gang di antara deretan rumah
tinggal penduduk, kejadian ini dilihat oleh mereka, karena itu
mereka lantas mencari dari satu ramali ke lain ramah hingga
akhirnya dapat mereka pergoki.
Sementara itu Teng Hiau-lan sebenarnya lagi menulis surat
pesan terakhirnya, waktu mendadak mendengar teriakan
Haptoh yang meminta dia menerima titah dan menghadap
kaisar, seketika ia menjadi gusar, segera pula ia melompat
keluar. "Hm, sekalipun mati tidak nanti aku mau dihina, kau ingin
aku masuk istana buat minta ampun, hm, jangan kalian harap,
lekas enyah dari sini!" dengan suara nyaring ia lantas
mendamprat. "Suruh mereka enyah, itulah terlalu murah bagi mereka,"
tiba-tiba Si-nio menyela. "Justru Hap-congkoan sendiri telah
sudi datang ke sini, kita harus persilakan mereka tinggal
sementara dulu!" Mendengar kata-kata Si-nio ini, segera Kam Hong-ti tahu
maksud sang Sumoay, yakni ingin menawan Haptoh dahulu
untuk menukar obat pemunah bagi Hiau-lan. Karena itu tanpa
berkata lagi segera ia turun tangan paling dulu, begitu
bergerak; susul-menyusul ia lantas memukul.
Haptoh pun tidak mandah dihantam orang, ia sambut
serangan lawan, karena saling adu tangan, mereka tergetar
mundur. "Hm, orang yang tak kenal mati-hidup, berdasarkan apa
kalian berani menahan orang?" terdengar Emopu menjawab
dengan tertawa dingin. Tetapi pada saat itu juga, mendadak Lu Si-nio melompat
maju, secepat kilat pedangnya menyambar mengarah
tenggorokan musuh. "Dengan pedang inilah dapat menahan kau!" bentaknya
pula. Di luar dugaannya, Emopu mempunyai ilmu silat yang lain
daripada yang lain, baru saja ujung senjata Lu Si-nio
mendekat, tiba-tiba terasa seperti ujung pedangnya
melenceng ke samping, menyusul tertampak Emopu
mengayun kebutannya, sekali menyabet terus membelit, ia
keluarkan kepandaian yang luar biasa, yakni meminjam
tenaga lawan buat memukul balik lawan, kebutannya
membelit pada pedang Lu Si-nio.
Mau tak mau Lu Si-nio rada terkejut, lekas ia menggeser
pergi berbareng menarik senjatanya, menyusul pedangnya
menyambar lagi secepat angin, dalam sekejap saja beruntun
ia sudah menyerang tiga kali.
Akan tetapi Emopu hanya berdiri saja di tempatnya tanpa
bergerak, hanya kebutnya yang menyambar ke kanan dan ke
kiri, beruntun ia pun sambut tiga kali serangan orang.
Imbauan Pendekar 12 Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Wanita Gagah Perkasa 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama