Ceritasilat Novel Online

Tiga Dara Pendekar 6

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen Bagian 6


bisa memisah. Sementara itu dengan tangan menjinjing tongkat
pertapaannya yang bulatan tengahnya sebesar gelas dan
terbuat dari baja murni, dengan langkah lebar Liau-in maju ke
kalangan. Di sebelah sana, dengan pedang terhunus melintang di
depan dada dan penuh kewaspadaan, Lu Si-nio menanti
musuh. "Lu Si-nio, kau tak pandang sebelah mata pada orang tua,
jangan kau salahkan tongkatku yang tidak kenal kasihan ini,"
terdengar Liau-in membentak dan tongkatnya menuding.
"Apabila kau tahu gelagat, baiknya kau lekas buang senjatamu
dan minta ampun untuk menerima hukuman!"
Tapi bukannya Lu Si-nio menjadi kuncup, sebaliknya ia
menjadi makin murka. "Liau-in," dampratnya kembali dengan alis menegak,
"percu-ma kau dididik Suhu, kau tak patuh pada peraturan
suci dan me-langgar pantangan perguruan. Menurut pesan
terakhir Suhu, aku di-tugaskan menghimpun saudara
seperguruan untuk memenggal kepa-lamu, mengingat sesama
saudara seperguruan, biar aku berikan satu jalan hidup
bagimu jika kau mau insaf dan mengubah kelakuanmu, lekas
kau ikut aku kembali ke Bin-san dan bersembahyang meminta
ampun di hadapan abu pemujaan Suhu sambil bersumpah
hendak mencuci bersih keburukanmu, kala itu semua saudara
seperguruan mungkin dapat mengampuni jiwamu. Apabila
tidak, maka hari ini sulit bagimu terhindar dari keadilan.
Perkataanku hanya sekian saja, mau menurut atau tidak,
boleh kau pilih!" Sudah tentu Liau-in Hwesio tak gampang disadarkan, ia
menjadi gusar atas uraian orang yang panjang lebar itu. "Lu
Si-nio, be-rapa tahun kau belajar silat dan berapa tinggi
kepandaianmu" Hingga
kau berani ngaco-belo di hadapan
Suhengmu?" dengan senyum ejek Liau-in menjawab. "Kau
masih punya beberapa Suheng lagi, mengapa tidak kau tanya
mereka, siapakah yang memupuk nama baik mereka sebagai
Kanglam-chit-hiap!" Hendaklah diketahui bahwa Liau-in kini berumur lebih
setengah abad, sebelum Lu Si-nio lahir, ia sudah diterima
murid oleh Tok-pi-sin-ni, semua Sutenya, mulai Ciu Sun
hingga Kam Hong-ti, sewaktu mereka belajar silat, pernah
Liau-in mewakilkan gurunya mengajar pada mereka. Oleh
sebab itu, dengan enam Sute lainnya, meski namanya saudara
seperguruan, hakikatnya adalah "setengah guru", maka semua
Sute segan padanya, sekalipun Kam Hong-ti yang memiliki
bakat tertinggi dan nama terharum, menghadapi Su-hengnya
ini mau tak mau rada mengalah juga.
Karena itu pula, maka Liau-in penuh percaya bahwa semua
Sutenya tentu akan menurut dan mengekor padanya, tak ia
duga, hari ini di depan umum Pek Thay-koan membangkang
padanya le-bih dulu, disusul oleh Lu Si-nio yang tak pandang
hormat padanya, keruan saja tidak kepalang murka Liau-in.
Dalam pada itu terdengar Lu Si-nio tertawa dingin pula.
"Hm, punya Suheng semacam kau ini hanya memalukan nama
Kanglam-pat-hiap saja, masih berani anggap kau yang
memupuk nama baik Sute lainnya. Mulai hari ini, yang ada
hanya Kanglam-chit-hiap, dilarang kau menggunakan nama
Suhu sebagai tameng!"
Belum pemah Liau-in Hwesio dihina dan dicaci orang begitu
rupa, keruan ia tak bisa kendalikan diri lagi, belum lenyap
suara Lu Si-nio, cepat sekali ia menyerampang dengan
tongkatnya. Begitu hebat serampangan tongkat itu hingga
angin keras menyambar dan batu pasir beterbangan.
Dengan sekali enjot ke atas, Lu Si-nio hindarkan senjata lawan,
dengan membawa sambaran angin menderu, tongkat
yang be-rat itu menyapu lewat di bawah kakinya.
Sekali menyerampang tidak kena, serangan Liau-in yang
ke-dua telah tiba pula, tongkatnya disodokkan ke depan terus
ditarik, dimana ujung tongkat yang lain menaik, dengan tipu
"Tok-coa-sun-hiat" (ular berbisa mencari lubang), ia mengarah
"Hiat-hay-hiat" Lu Si-nio.
Namun Lu Si-nio cukup tangkas, sekali membalik ia sudah
menancapkan kaki kembali ke bawah hingga tongkat musuh
menyambar lewat mukanya. Tapi sebelum ia sempat berdiri
tegak, tiba-tiba serangan ketiga Liau-in menyusul pula,
dengan gaya "Hing-sau-cian-kun" (menyapu bersih ribuan
prajurit), kembali tongkatnya me-nyabet sebatas pinggang.
Namun dengan gerakan "Boan-liong-jiau-poh" (naga melilit
melingkar langkah), Lu Si-nio untuk kttiga Jta-linya dapat
menghindarkan diri. Pek Thay-koan dan Teng Hiau-lan yang menyaksikan Lu Sinio
berulang kali harus main mundur dan menghindarkan
pukulan, keadaannya tampak gawat, mereka jcfdi terperanjat
dan khawatir. Sementara itu setelah menghindarkan serangan ketiga
kalinya, Lu Si-nio mundur beberapa tindak, ia lantas berteriak
keras, "Para ksatria yang hadir harap menjadi saksi, Tecu
menurut adat kesopanan telah mengalah tiga kali serangan,
hubungan perguruan kini sudah
putus, hari ini aku mewakilkan guru membersihkan pintu perguruan
kami, harap para hadirin jangan menyalahkan aku!"
Kini Pek Thay-koan baru paham bahwa Lu Si-nio ingin menjalankan
peraturan yang dipesan guru mereka, di samping
patuh pa-da peraturan dunia persilatan dengan jalan memberi
tiga kali serangan pada orang yang lebih tua. Diam-diam ia
memuji Sumoaynya yang masih muda belia ini, tapi cara
bekerjanya sudah begitu cermal dan matang.
Dengan tindakan itu, Lu Si-nio telah unjukkan sikap yang
te-gas dan budi yang luhur, halus, tetapi juga keras, peraturan
ia pe-gang teguh, sopan santun pun cukup, tidak peduli
bagaimana hasil pertarungan nanti, yang pasti di kalangan
Kangouw, kini Lu Si-nio telah menonjolkan diri tinggi-tinggi
dan namanya sudah berada di atas angin.
Sementara itu sesudah tiga kali serangannya tidak
membawa hasil, Liau-in menjadi makin gemas. "Budak hinadina,
siapa ingin kau mengalah!" bentaknya dengan
mengertak gigi. Dalam pada itu, Lu Si-nio pun sudah naik darah, alisnya
me-negak dan mulutnya yang kecil terkatup rapat, tangan kiri
bergerak, menyusul secepat kilat tangan yang lain dengan tipu
"Sian-jin-ki-loh" (sang dewa menunjuk jalan), pedangnya
menusuk ke samping dada Liau-in.
Dengan menegakkan tongkat, Liau-in menggeser tubuh,
lalu dengan tipu "Oh-liong-boan-jiu" (naga hitam melilit
pohon), tongkatnya menyerampang ke jurusan tengah.
Lu Si-nio terpaksa melompat menghindarkan serangan,
berba-reng pedangnya dengan tipu "Giok-li-tau-so" (gadis ayu
melempar tali), senjatanya segera mengarah lagi ke pundak
kanan musuh, ge-rak serangannya cepat dan ujung
pedangnya bersinar gemerdep, ia menusuk "Hou-cing-hiat" di
tubuh lawan. Mendadak Liau-in Hwesio menyendal tongkatnya, sekali
putar balik, dengan pucuk tongkat membentur pergi pedang
Lu Si-nio. Karena saling beradunya senjata, Lu Si-nio merasa
lengannya sedikit kesemutan, namun ia lantas ikuti gaya
senjata lawan dan ditarik ke samping, dengan demikian Liauin
pun sekonyong-konyong merasa tongkatnya terlekat dan
ikut tertarik maju oleh pedang la-wan, hingga posisi
berbahaya tadi sementara mereda.
Setelah kedua orang saling tukar serangan, masing-masing
menjadi bertambah hati-hati, mereka mengitari kalangan
untuk men-cari lubang kelemahan masing-masing, siapa pun
tak berani sem-barang merangsek maju. Keadaan demikian
membikin seluruh kalangan
menjadi gempar, semua orang
merasa aneh dan terkejut, se-kalipun Pek Thay-koan yang
pernah menyaksikan kepandaian Lu Si-nio, juga tidak pernah
menyangka bahwa sang Sumoay ternyata sanggup melawan
Liau-in dengan sama kuat.
Tidak terkecuali pula Thian-yap Sanjin, Sin-mo-siang-lo. Hi
Kak Tay-ong, Haptoh dan kawan-kawan, tiada yang tak
menaruh perhatian akan perkembangan lebih jauh di tengah
kalangan. Mereka terhitung jago kelas satu dunia persilatan,
tetapi menyaksikan ca-ra sepasang saudara seperguruan yang
saling labrak dengan ilmu si-lat yang tiada taranya, tak
tertahan semua merasa kagum.
Begitulah, kedua orang berdiam dan mengumpul seluruh
perhatian terhadap pihak lawan. Sesudah mengitari kalangan
sekali, tiba-tiba senjata Lu Si-nio menuding ke depan,
bergerak pura-pura dua kali, namun Liau-in ternyata cukup
berpengalaman, ia tidak menggubris pancingan orang.
Melihat lawan tak gampang masuk perangkap, Lu Si-nio
kem-bali menggunakan akal, dengan beberapa gerak tipu
Hian-li-kiam-hoat yang hebat, seperti menyerang sungguhan,
tetapi sebenarnya pura-pura saja, dengan demikian belasan
kali gerak pedangnya yang diputar itu hanya untuk
mengaburkan pandangan Liau-in, lalu ia incar baik-baik, sinar
pedang berkelebat, mendadak dari pura-pura ia betul-betul
menyerang, dengan tipu "Pek-ho-hi-uh" (bangau putih
menyisik bulu), secepat kilat ia menusuk ke dada Liau-in.
Akan tetapi Liau-in adalah jago kawakan, begitu melihat
gerak tangan Lu Si-nio, ia sudah mengetahui tujuan orang,
maka justru ia gunakan akal pula untuk menandingi akal, saat
ujung pedang musuh hampir menempel dadanya, mendadak
tubuhnya mendoyong dan mengerut ke belakang, karena itu
Lu Si-nio jadi menubruk tempat kosong dan sebab itu pula
imbangan badannya menjadi hilang.
Dalam pada itu Liau-in menggereng keras, menyusul
tongkatnya yang besar kasar itu diputar dengan kuat,
sekaligus ia memo-tong jalan mundur Lu Si-nio, dengan
kecepatan luar biasa tongkatnya
menghantam kepala musuh. Serangan ini begitu hebat dan ganas, apabila kena, dapat
di-pastikan Lu Si-nio akan hancur oleh kemplangan itu.
Menghadapi elmaut, tampaknya Susah bagi Lu Si-nio untuk
lolos dari bencana. Saking khawatirnya hingga Teng Hiau-lan terpekik kaget.
Tetapi pada saat itu juga, di antara sambaran angin
tongkat dan berkelebatnya bayangan orang, entah dengan
gerak tubuh bagai-mana, Lu Si-nio ternyata sudah mencelat
miring ke atas setinggi lebih
tiga tombak. Sebenarnya ia sudah buntu oleh cegatan tongkat Liau-in,
tidak peduli ia berkelit ke samping atau melompat pergi, susah
untuk lolos dari bencana kemplangan tongkat itu.
Tak terduga, pada saat yang menentukan mati-hjdupnya
itu, tiba-tiba ia unjuk ilmu entengi tubuhnya yang luar biasa
dan ilmu pedangnya yang hebat, ia ulur pedangnya, ujung
senjata itu sedikit menutul ke pucuk tongkat lawan terus
ditekan, dengan meminjam tenaga Liau-in yang kuat sekali,
seluruh badannya lantas membal ke atas, dengan loncatan
enteng ia berjumpalitan pergi hingga beberapa tombak
jauhnya. Karena kesebatan dan kepandaiannya itu, mau tak mau
semua jagoan yang menyaksikan bersorak memuji.
Di tengah suara sorakan itu, Liau-in tidak tinggal diam, ia
ayun tongkatnya terus merangsek maju lagi.
Lu Si-nio sementara itu belum tenangkan diri, tapi kembali
ia harus menghadapi serangan berbahaya pula, lekas ia putar
pedangnya buat menangkis, namun telah didahului Liau-in
yang memper-oleh kedudukan lebih kuat. Lwekang Liau-in
memang sangat tinggi, ditambah tenaga aslinya memang
melebihi orang biasa, maka begitu ia ayun tongkat, seketika
angin menderu menyambar, seluruh pen-juru hanya
tertampak bayangan tongkat saja, sungguh luar biasa ga-ya
serangan itu, orang biasa jangankan hendak menangkis
pukulan tongkatnya, kena guncangan anginnya saja bisa
hancur isi perutnya. Walaupun punya Ginkang yang hebat dan Kiam-hoat yang
tinggi, namun di antara guncangan angin tongkat musuh itu,
tidak urang Lu Si-nio merasa payah, ia tak mampu balas
menyerang, tu-buhnya seperti sebuah perahu yang
terombang-ambing di antara ombak samudera yang
mendampar. Lu Si-nio insaf kekuatan Liau-in sebagai kepala dari saudara
seperguruannya memang susah untuk ditandingi, apabila
terus ber-tempur seperti sekarang ini, dirinya hanya sanggup
menangkis, te-tapi tak berdaya membalas, lama kelamaan
pasti dirinya tak akan terluput dari malapetaka.
Karena itu, dengan mengertak gigi segera ia mainkan "Hianlikiam-hoat" yang paling hebat, secara mati-matian ia
berusaha balas menyerang, begitu cepat ia mainkan
pedangnya hingga seketika itu memancar sinar putih
mengkilap yang memaksa pandangan Liau-in menjadi kacau
dan matanya berkunang-kunang. Terpaksa Liau-in mundur
beberapa tindak. Lu Si-nio tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, pedangnya
bekerja makin gencar, beruntun ia lancarkan beberapa
tusukan dan tabasan, dengan begitu ia melepaskan diri dari
kepungan tongkat musuh dan kembali merebut kedudukan
yang lebih menguntungkan untuk bertempur mati-matian lagi.
Melihat Lu Si-nio ternyata sanggup melepaskan diri dari kurungan
tongkatnya yang dikerjakan begitu rapat dan dapat
mengu-bah keadaan menjadi sama kuat, diam-diam Liau-in
memuji Su-moaynya, di samping itu ia pun terperanjat, diamdiam


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia mengutuk gurunya yang pilih kasih, muridnya yang
belakangan ternyata lebih lihai dari yang duluan.
Memang tak dapat salahkan dia kalau dia benci gurunya,
be-tapa tidak, Kam Hong-ti, Chit-sutenya itu, belum sepuluh
tahun keluar dari pintu perguruan, tapi namanya yang
tersohor sudah mele-bihi dirinya.
Kini Lu Si-nio baru saja unjuk muka di dunia Kangouw,
ternyata ilmu silatnya begitu bagus di luar dugaan, dengan
latihannya selama berpuluh tahun ternyata tak sanggup
menundukkannya, sudah tentu Liau-in merasa panas hati.
Perlu diketahui bahwa sesudah gurunya wafat, sebabnya
Liau-in berani malang-melintang dan berbuat sewenangwenang
adalah karena dia mengandalkan ilmu silatnya yang
dia kira sudah tiada orang lagi di kolong langit ini mampu
mengatasinya, tapi kini melihat
Sute dan Sumoaynya satu per
satu berani membangkang pa-danya, bahkan berbalik
mengancam keselamatannya, tak tertahan lagi ia menjadi
murka dan pikiran jahataya segera timbul. Begitu tongkatnya
bekerja, segera ia gunakan "tiang-hoat" (ilmu tongkat) yang
ganas dan kejam untuk melayani Sumoaynya yang baru saja
unjuk muka di dunia Kangouw itu.
Liau-in sudah banyak berpengalaman dan biasa
menghadapi pertempuran, cukup luas pandangan dan banyak
pengetahuannya. Maka sesudah bergebrak melawan Lu Si-nio,
ia lantas tahu bahwa kiam-hoat Lu Si-nio meski tinggi dan
Ginkangnya bagus, tapi soal tenaga dalam masih belum bisa
dibandingkan dirinya. Oleh sebab itu, ia tidak sayang membuang tenaga untuk
me-mainkan Tiang-hoatnya yang paling ganas, yaitu "Hok-motianghoat", begitu hebat tongkatnya bekerja dan begitu cepat
berputar laksana seekor naga yang menyambar kian kemari.
Kembali ia me-ngurung Lu Si-nio di tengah bayangan
tongkatnya. Tetapi di pihak lain, Lu Si-nio pun memutar pedang begitu
hebat, ia membela diri sembari menyerang pula, walaupun
rada di ba-wah angin, namun Liau-in pun tak bisa lantas
mengalahkannya. Beg"itulah kedua orang itu saling tahan dan rangsek,
kembali berjalan pula ratusan jurus, namun Liau-in tetap
gagah perkasa, sedang Lu Si-nio pun masih tangkas dan gesit.
Sementara itu rembulan muda sudah bergeser sampai di
tengah langit, namun di lapangan berlatih di atas gunung itu
api obor masih terang-benderang, tiada seorang pun merasa
mengantuk atau letih karena hebatnya pertunjukan yang
mereka tonton. Sampai pada suatu ketika, terlihat Lu Si-nio berlari
mengitari kalangan, kiranya ia hendak menggunakan caranya
melawan Hay-nun Hwesio tadi untuk melayani Suhengnya ini.
Tak terduga, Liau-in ternyata bukan Hay-hun, tongkatnya
besar dan panjang pula, kepandaiannya pun tak dapat
dibandingkan Hay-hun Hwesio, dengan cara Lu Si-nio berlari
mengitari kalangan pertempuran, malah berbalik memberi
kesempatan padanya untuk mengejar kencang dari belakang.
Tongkatnya yang memang panjang
dengan tepat dapat mengatasi serangan pedang, ujung tongkatnya
dapat digunakan menutuk belakang punggung, dengan cara udakudakan
mengitari kalangan begitu, temyata Lu Si-nio harus
berkali-kali menghadapi bahaya.
Tiba-tiba ia sadar bahwa siasat pertempuran yang dipakai
harus bergantung kepada siapa lawannya, untuk melayani
Liau-in, bukan cara yang baik kalau selalu bertahan dan unjuk
kelemahan. Oleh karena pikiran itu, sekonyong-konyong Si-nio
membalik kunbali dengan tipu serangan yang cepat berebut
mendahului, be-runtun dengan gerak serangan "Kin-hong-sauhio"
(angin kencang menyapu daun), "Ko-co-cam-coa" (Han Koco
memotong ular), me-nyusul "Bing-khe-cio-bi" (ayam jago
berebut beras) dan akhirnya "Liong-ting-ti-cu" (memetik
mutiara di atas kepala naga), ia merang-sek terus dengan
gencar. Namun Liau-in cukup sebat, dengan mengayun tongkat,
tiap tusukan lawan selalu dapat ia elakkan.
Sementara itu Lu Si-nio pun menggunakan kesempatan itu
untuk pasang kuda-kuda dengan lebih kuat dan berganti
napas, dengan begitu keadaan kembali menjadi sembabat
lagi. Pertarungan mereka sudah berjalan lebih sejam, tetapi
kedua-nya masih tetap saling gempur tanpa henti, masingmasing
pihak pun tidak nampak mendapat kemajuan.
Liau-in unggul dalam soal tenaga yang besar dan Lwekang
yang tinggi, sebaliknya Lu Si-nio menang dalam hal kegesitai
dan entengkan tubuh serta Kiam-hoat yang bagus luar biasa.
Begitulah dengan keadaan yang tak terpisahkan itu, makin
lama makin mendebarkan dan berbahaya pula, kadangkadang
hanya soal sekejap saja, siapa yang sedikit didahului
lawan, dengan segera bisa menghamburkan darah. Sudah
tentu keadaan demikian membi-kin para jagoan yang
menyaksikan ikut berdebar dan merasa kha-watirjuga.
"Melabrak secara mati-matian seperti ini, sampai kapan
baru -bisa selesai," terdengar Hi Kak Tay-ong berkata perlahan
di sam-ping. "Hap-congkoan, Thian-yap Sanjin, bagaimana
pandangan kalian agar bisa mengakhirinya?"
Dalam hati Hi Kak berpikir mungkin hanya Thian-yap Sanjin
dan Haptoh berdua saja yang sanggup memisahkan Liau-in
dan Lu Si-nio yang sedang saling labrak itu, oleh karena itu
sengaja ia uta-rakan maksudnya.
Tak tahunya Thian-yap Sanjin hanya tersenyum saja,
sedang Haptoh juga cuma menggeleng kepala.
Ilmu silat dan tingkat kedua orang ini tidak banyak beda
dengan Liau-in, kalau belum tiba saat terakhir, mana mereka
mau tu-run kalangan begitu saja untuk memperoleh nama
jelek karena akan dituduh tua melawan muda dan main
keroyok. Begitulah pertarungan mereka kembali berjalan kira-kira
setengah jam, makin lama Liau-in makin perkasa, tapi Lu Sinio
pun makin lama makin gesit.
Liau-in merasa Kiam-hoat Lu Si-nio begitu lemas bagai
1am-baian tali, tapi kalau cepat seperti burung terbang dan
sukar meng-atasinya. Sebaliknya Lu Si-nio pun merasa tenaga Liau-in begitu kuat
seperti harimau buas dan berat tongkatnya laksana tindihan
gunung, sulit baginya untuk menjadi pihak yang unggul.
Begitulah ketangkasan kedua orang ternyata seimbang,
tetapi juga tak bisa berhenti begitu saja, maka terpaksa
masing-masing harus berusaha mengeluarkan segenap
kepandaian yang mereka miliki untuk meneruskan
pertarungan sengit itu. Suatu ketika terlihat Lu Si-nio berikut senjatanya seakan
terga-bung jadi satu lingkaran sinar putih, sedang Liau-in
berikut tongkatnya membuat pertahanan serupa pagar besi
yang tak tertembus. Begitulah laksana harimau ketemu naga, pedang dan
tongkat naik turun beterbangan, namun masih tetap sama
kuat dan sukar di-ramalkan siapa yang bakal menang.
Pada saat demikian, bukan saja Hi Kak menjadi gelisah,
bah-kan Lu Si-nio dan Liau-in Hwesio juga mengeluh dalam
hati. Di pihak Lu Si-nio, ia berani datang seorang diri
menghadapi bahaya, kalau ia tidak menang, cara bagaimana
ia harus meninggal-kan pulau itu.
Sedang Liau-in terhitung Suheng lawan, bila di depan
umum ia tidak bisa menangkan pertempuran itu, maka
bagaimana ia akan mempertahankan kehormatannya di
hadapan ksatria seluruh kolong langit.
Oleh sebab itu, walaupun keduanya tahu masing-masing
sukar memperoleh kemenangan, namun keadaan sudah
telanjur, terpaksa harus kertak gigi dan bertarung terus matimatian.
Setelah bergebrak lebih dua jam, lambat-laun Lu Si-nio bermandi
keringat, sedang Liau-in meski Lwekangnya lebih kuat,
per-lahan-lahan ia pun merasa payah dan mulai tersengal
napasnya. "Celaka!" Hi Kak berseru khawatir. Rupanya ia mengerti
kalau pertempuran itu diteruskan, maka kedua orang pasti
akan sama-sama celaka. Kalau Lu Si-nio yang hancur masih
tidak menjadi soal, khawatirnya bila Liau-in yang mengalami
nasib sial, apa dirinya tidak
akan mendapat celaan dari Sihongcu"
Lagi pula di hadapan begitu banyak jago silat, kalau Liau-in
sampai celaka, sebenarnya susah dipercaya dan tidak masuk
akal. Oleh karena itu ia tidak menghiraukan soal peraturan Kangouw
lagi, ia pikir harus minta Haptoh dan Thian-yap Sanjin
turun kalangan dan secara sembunyi membantu Liau-in
memisahkan per-tarungan sengit itu.
Akan tetapi belum sampai ia buka suara, kedua orang yang
dimaksud berbareng sudah melompat maju ke depan tanpa
berjanji lebih dulu. Agaknya majunya kedua orang itu
mempunyai pikiran sendiri-sendiri.
Haptoh dan Liau-in adalah satu komplotan, pada saat
genting ini tak mungkin Haptoh berpeluk tangan.
Sedang Thian-yap Sanjin sebenarnya benci dan iri terhadap
kedudukan Liau-in yang masih di atasnya, maka ia sengaja
hendak membikin malu padanya. Kini tampak Liau-in melawan
Sumoaynya saja sudah kewalahan, kejadian itu sudah jelas,
maka dia menggu-nakan kesempatan itu dengan
mempertontonkan kemahirannya memisah pertempuran itu,
sekaligus ia bermaksud menangkap Lu Si-riio yang kini sudah
kempas-kempis dan lemah letih, ia hendak me-rebut kembali
kehilangan mukanya tadi karena cekeok dengan Sin-mo-sianglo.
Dalam pada itu, Liau-in dan Lu Si-nio yang masih saling
gem-pur secara mati-matian di tengah kalangan, karena
perhatian mereka seluruhnya dicurahkan, hakikatnya mereka
tidak tahu ada orang lain melompat masuk kalangan.
Sebelum dekat, Thian-yap Sanjin sudah kerjakan pukulan
tela-pak tangannya lebih dulu, dengan membawa suara
mendesir, susul-menyusul kedua tangannya dipukulkan dari
jauh. Liau-in dan Lu Si-nio hanya sedikit terguncang oleh angin
pukulan itu, mereka tetap tak bisa dipisahkan.
Saat itu juga, tertampak Haptoh pun sudah maju,
mendadak dua bola bundar mendengung memecah angkasa.
Pada saat yang sama, tiba-tiba sesosok bayangan hitam
sece-pat burung terbang juga tiba di tengah kalangan, kedua
bola Haptoh terpukul jatuh oleh bayangan hitam itu dan
terjadilah hujan pisau. Kiranya kedua bola itu bukan lain adalah Hiat-ti-cu yang
dapat memenggal kepala manusia secepat kilat dalam jarak
ratusan kaki. Sementara itu, Thian-yap Sanjin pun telah memukul untuk
ke-tiga dan keempat kalinya dengan saling susul, tapi baru
saja pukul-annya dilepaskan, sekonyong-konyong ia merasa
angin pukulannya yang dahsyat itu terbentur kembali.
Begitu cepat kedatangan bayangan orang tadi, sebelum
Haptoh dan Thian-yap Sanjin sempat melihat jelas, tahu-tahu
pergelangan tangan mereka sudah dicekal dan dengan kuat
ditarik pergi. Lekas kedua orang itu menarik tangan dan
mendakkan pundak untuk me-nahan tubuh mereka, waktu
mereka dapat melihat jelas, orang itu ternyata bukan lain si
nenek pengemis yang datang seorang diri dan mengacau
perjamuan tadi. Keruan saja seluruh lapangan menjadi ramai dan gempar,
jauh lebih mengejutkan dan mengherankan daripada
pertarungan antara Lu Si-nio dan Liau-in.
Betapa tidak mengejutkan, bila dibandingkan, kepandaian
silat Haptoh dan Thian-yap Sanjin tidak di bawah Liau-in.
Haptoh punya Hiat-ti-cu luar biasa lihainya, sedang Thian-yap
Sanjin punya kekii-atan pukulan sudah di puncak
kesempurnaan. tapi begitu kedua orang ini turun tangan,
kesemuanya segera dipatahkan hanya dalam sekali gebrak
saja oleh si nenek pengemis itu, bahkan keduanya ke-na
ditarik pergi, maka dapat dibayangkan betapa tingggi
kepandaian nenek pengemis itu. "
Sementara itu, si nenek pengemis dengan memegang
tongkat-nya sedang tertawa menyindir. "Hm, tak tahu malu,
mana ada orang memisah perkelahian secara begitu?"
dampratnya kepada kedua orang tadi. "Coba lihat aku ini!"
Habis berkata, tubuhnya melesat, segera ia menyelinap ke
tengah antara Liau-in dan Lu Si-nio. Sementara itu pukulan
tongkat Liau-in sedang dimainkan sampai pada gerakan "
Hoan-kang-kau-hay" (mengacau sungai dan mengaduk
lautan), ia keluarkan seluruh tenaganya untuk mengayun
tongkat, tetapi begitu ditempel "Kiau-hoa-pang" (pentung
pengemis) si nenek, segera terlihat lelatu api menciprat,
tongkat Liau-in mendekuk, sebaliknya pentung pengemis itu
sedikitpun tidak goyah. Di lain pihak, pedang Lu Si-nio pun dimainkan sampai pada
tipu serangan yang hebat, "Eng-kik-tiang-khong" (elang
menyerang di angkasa raya), senjatanya ditusukkan sekuat
tenaga, tahu-tahu menusuk pentung si nenek hingga
menerbitkan lelatu api dan pedangnya tergumpil.
Sehabis memisah, nenek pengemis itu lantas menarik
kembali pentungnya. "Inilah baru boleh disebut memisah
secara adil, siapa di antara kalian yang berani main curang,
nah, boleh coba terjang padaku saja!" katanya dengan
tertawa. Sementara itu Liau-in dan Lu Si-nio dengan cepat sudah


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ter-pisah minggir, dengan mata terbuka lebar Liau-in
memandang si nenek pengemis yang berambut hitam
mengkilap itu, ia melongo hingga
tak sanggup bersuara sepatah kata pun. Hanya dengan sekali bentur saja Liau-in sudah merasakan
tingginya kepandaian si nenek pengemis yang belum pernah ia
lihat, bahkan belum pernah ia dengar sejak keluar dari
perguruan, umpama gurunya Tok-pi-sin-ni hidup kembali, paling banyak juga
tidak akan lebih tinggi daripada orang tua ini.
Begitulah seketika lagak congkak Liau-in tadi menjadi kuncup.
"Tolong tanya siapa nama Locianpwe yang mulia?"
dengan memberi hormat ia bertanya.
Nenek pengemis itu tertawa. "Apa gurumu tidak pernah
cerita tentang diriku padamu?" sahutnya. "Tiga puluh tahun
yang lalu, waktu gurumu baru mulai belajar Hian-li-kiam-hoat,
pernah ia me-nemui aku di Thian-san!"
Mendengar jawaban itu Liau-in jadi terkejut, tiba-tiba ia teringat
pada seseorang. "Apakah Cianpwe le-lihiap dari Thiansanchit-kiam?" tanyanya dengan suara terputus-putus.
Pertanyaan Liau-in itu membikin seluruh kalangan
terperanjat. "Hm, kiranya kau pun kenal namaku?" dengan senyum
dingin nenek pengemis itu menyahut.
Mendengar siapa adanya orang ma ini. muka Hi Kak Tayong
menjadi pucat seketika. Ia coba kuatkan hatinya dan memberi isyarat dengan
tangan-nya, serentak semua jago silat di lapangan itu
membanjir maju se-kaligus, sedang Liau-in dengan menyeret
tongkatnya malah mundur beberapa tindak dan berdiri
berjajar dengan Hi Kak Tay-ong.
Yang berdiri sejajar Hi Kak, di sebelah kiri ada Thian-yap
Sanjin, Hay-hun Hwesio dan Sin-mo-siang-lo, sedang di
sebelah kanan terdapat Ling-hun Tocu Wei Yang-wi, Thay-ouw
Cecu Bing Bu-kong dan tamu agung utama, Haptoh, semua
berjumlah sembilan tokoh kelas wahid dunia persilatan,
dengan mata berapi dan tanpa berkedip mereka mengawasi
nenek pengemis itu, kedua belah pihak sama tegangnya,
sedikit kebentur saja segera bisa saling labrak.
Kiranya nenek pengemis ini memang bukan lain ialah le
Lan-cu, seorang di antara "Thian-san-chit-kiam" (Tujuh
Pendekar Thian-san) yang termashur itu!
Yang termasuk sebutan Thian-san-chit-kiam sebenarnya
ialah Nyo Hun-cong, Coh Ciau-lam, Hui-ang-kin, Leng Bwehong,
Sin Liong-cu, le Lan-cu dan Bu Ging-yao bertujuh.
Nyo Hun-cong tewas selagi muda, sedang Coh Ciau-lam
yang murtad dan khianat terbunuh oleh Ie Lan-cu. Sin Liongcu
bertarung sengit melawan Ce Cin-kun di sungai es,
akhirnya keduanya tewas bersama. Di antara "chit-kiam" itu
hanya tinggal "si-kiam" saja, tapi belakangan bertambah lagi
dengan Kui Tiong-bing, Lauw Yu-hong dan Thio Hua-ciau
bertiga, maka mereka masih tetap disebut orang "Thian-sanchitkiam" (baca Chau Guan Eng Hiong dan Thian San Chit
Kiam, sudah terbif). Kisah itu terjadi pada permulaan Kaisar Khong-hi beilakhta,
sudah lewat empat lima puluhan tahun, Hui-ang-kin, Leng
Bwe-hong, Lauw Yu-hong, Thio Hua-ciau dan Kui Tiong-bing
berturut-turut meninggal dunia, di antara Thian-san-chit-kiam
hanya tinggal Ie Lan-cu dan Bu Ging-yao berdua. Ditambah
lagi Thian-san-chit-kiam berdiam jauh di daerah barat, orang
luar mengira mereka sudah
meninggal seluruhnya, tak
terduga seorang di antara "chit-kiam" itu sekonyong-konyong
bisa muncul di suatu pulau terpencil di la-utan luas ini.
Kiam-hoat Ie Lan-cu terhitung paling jempol di antara
Thian-san-chit-kiam (sebenarnya Leng Bwe-hong yang paling
kuat, tapi karena Leng Bwe-hong terkutung jari jempol
kanannya dan tak le-luasa menggunakan pedang, maka ia
telah mengajarkan seluruh ke-mahirannya kepada Ie Lan-cu).
Tiga puluh tahun yang lalu, sewaktu Tok-pi-sin-ni baru saja
meyakinkan Hian-li-kiam-hoat, meskipun il-mu silatnya kala itu
sudah tinggi, namun da lam hal Kiam-hoat, ia masih hijau dan
kurang memperoleh petunjuk dari orang pandai, maka Nikoh
tua itu sengaja naik ke Thian-san dan minta nasihat kepada
Ie Lan-cu. Ketika itu Tok-pi-sin-ni lebih tua dari Ie Lan-cu, tapi yang
tersebut belakangan ini bersahabat dengannya secara sama
tingkat, kedua orang lantas saling tukar pikiran tentang Kiamhoat
di atas Thian-san, mereka baru berpisah setelah
berkumpul setengah tahun. Karena ada hubungan serupa itu,
maka Ie Lan-cu boleh dikata ter-masuk orang tua atau
Cianpwe dari Kanglam-pat-hiap.
Kini, usia le Lan-cu sudah ada enam puluhan, tapi karena
dia pernah memakan "bunga sakti" yang tumbuh di atas
puncak Onta di utara Thian-san yang mujizat sehingga
rambutnya tak pernah ubanan, ditambah Lwekangnya sangat
tinggi pula, maka tampaknya usia-nya hanya empat puluhan
saja. Mengenai tongkat pengemis yang digunakannya, kalau
diceri-takan juga ada kisahnya tersendiri, tongkat itu adalah
tinggalan su-aminya, Thio Hua-ciau, asalnya adalah barang
temuan Leng Bwe-hong yang menebang "Hang-liong-bok"
(kayu penakluk naga) yang tumbuh di atas Thian-san,
kemudian diberikan pada Thio Hua-ciau, maka nama penning
itupun disebut "Hang-liong-po-tiang" atau tongkat
mestika penakluk naga. Kayu istimewa yang tumbuh di atas Thian-san itu
mempunyai mutu sekeras baja yang tak mempan senjata
biasa, oleh karena itu pedang Lu Si-nio dan tongkat Liau-in
tadi kena dibentur hingga me-muncratkan lelatu api.
Sudah lama Teng Hiau-lan mendengar dari Ciu Jing tentang
siapa Ie Lan-cu itu, keruan saja kini bukan main rasa
girangnya, ce-pat ia berlari maju, dan karena bingung tak tahu
cara bagaimana hams memanggil, maka berulang-ulang ia
hanya berseru *Co-po" atau nenek buyut.
Namun dengan penuh perhatian, menghadapi sembilan
lawan-nya yang sudah mengerubung di depan, Ie Lan-cu tidak
menyahut panggilan Hiau-lan, sedang kesembilan jago pihak
lawan pun tidak berani sembarang bertindak.
Dalam pada itu Lu Si-nio telah mengulur tangan menarik
Teng Hiau-lan. "Jangan sembarang bergerak!" pesannya
dengan berbisik. Mendadak pada saat itu juga Ie Lan-cu mengulur tangan
dan menarik keluar pedang Teng Hiau-lan, Yu-liong-pokiam.
"Apakah kalian hendak memusuhi aku orang tua ini?" serunya
dengan sebe-lah tangan mencekal pedang dan tangan lain
memegang tongkat. "Mana Siaupwe berani dengan le-lihiap!" sahut Liau-in
sambil membungkuk. Dengan tongkatnya ia tuding Pek Thaykoan
dan Lu Si-nio berdua, lalu dengan suara lantang
menyambung pula, "Tetapi kedua orang ini adalah Sute dan
Sumoayku, urusan kami sendiri tak berani bikin capai
Locianpwe unruk ikut mengurusnya!"
Ie Lan-cu jadi gusar. "Kalau begitu, terang kau hendak
minta mereka berdua ditinggalkan di sini" Demikian bukan?"
tanyanya. "Betul!" jawab Liau-in Hwesio.
Liau-in berani bandel karena ia berpikir walau dirinya bukan
tandingan le Lan-cu, tetapi dengan kekuatan gabungan
sembilan orang, terang kemenangan berada di pihak mereka.
Namun le Lan-cu juga lantas naik-darah. "Seumpama
gurumu masih hidup, aku pun boleh mengurus!" dampratnya
dengan mende-lik. Menyusul itu, Yu-liong-kiamnya bergerak,
dengan membawa sambaran angin, secepat kilat ia tusuk ke
bawah dada Liau-in. Lekas Liau-in palangkan tongkatnya dan ditangkiskan
hingga menerbitkan suara nyaring.
Sementara itu Hi Kak dan jagoan lain pun tidak tinggal
diam, mereka serentak maju berbareng. Wei Yang-wi dengan
senjata "Go-bi-ji", semacam lembing, Bing Bu-kong dengan
senjata "Hou-thau-kau", semacam kait, merangsek maju
bersama. Namun sekali le Lan-cu putar pedangnya, kontan senjata
mu-suh sekaligus dibikin kutung dan terbang ke angkasa.
Di pihak lain, Liau-in mengambil kesempatan itu dengan
tipu "Jong-liong-kui-bwe" (naga tua putar ekor), mengangkat
tongkat dan menangkis pedang lawan, sedang sembilan
jagoan lain sekaligus menerjang berbareng.
"Pantas dia berani sewenang-wenang, ternyata betul dia
me-mang sudah memperoleh ajaran Tok-pi-sin-ni,
kepandaiannya kini sudah tidak banyak selisih dengan
mendiang gurunya!" begitulah diam-diam le Lan-cu membatin
atas diri Liau-in. Berbareng pedangnya
tidak pernah kendor, dengan bentakan nyaring ia mainkan kiam-hoatnya yang
hebat, "Si-mi-kiam-hoat", tubuh dan pedangnya sea-kan
bergabung menjadi satu, orang berikut senjatanya segera merupakan
sinar putih yang menyambar ke kiri dan menggulung
ke kanan. Dalam pada itu, tiba-tiba terdengar jeritan Teng Hiau-lan,
ki-ranya pundaknya kena gaplokan Bing Bu-kong.
Ie Lan-cu menjadi murka, berulang-ulang ia kerjakan
pedangnya dengan tipu serangan mematikan, sinar
pedangnya gemerdep, tidak pernah meninggalkan tempat
berbahaya di tubuh Liau-in.
Tengah pertarungan berlangsung dengan sengitnya, tibatiba
terdengar suara ramai riuh.
"Berhenti dulu!" terdengar seruan Hi Kak Tay-ong.
Seketika kesembilan jagoan itu mundur berbareng, sedang
le Lan-cu dengan pedang melintang di dada juga lantas
berhenti dan tidak mengejar.
Waktu mereka mendengarkan dengan teliti dan penuh
perha-tian, sayup-sayup terdengar suara tangisan orang yang
berkuman-dang dari tempat anggi di kejauhan.
Ketika mereka memandang jauh ke sana, pada istana yang
Hi Kak Tay-ong bangun di atas gunung, di sampingnya
terdapat sebuah pagoda putih bersusun tiga belas, di puncak
teratas pagoda, lapat-lapat tertampak seorang perempuan
muda dengan pakaian merah sedang
berdiri di.tepi emper. Mata Lu Si-nio-yang sangat celi, segera dapat mengenali
gadis itu bukan lain adalah Hi Yang, putri tunggal kesayangan
Hi Kak Tay-ong. Waktu diperhatikan lagi, semua orang terkejut. Kiranya
gadis itu mengikat diri di pinggir emper pagoda paling atas,
setengah tu-buhnya sudah menggelantung, ia mengulur
sebelah tangannya yang mencekal sebilah belati tajam
mengkilap dan ditempelkan pada tali pengikat, cukup bila
belati bergerak, segera tali pengikat akan putus dan orangnya
pasti terjerumus jatuh ke bawah, betapapun tinggi kepandaian
orang, tak mungkin menolongnya lagi.
Nampak keadaan yang sangat mengkhawatirkan itu, Hi Kak
dan Pek Thay-koan berteriak kaget berbareng, mereka
tertegun tan-pa daya. Dalam pada itu, dari pagoda putih berlari keluar seorang
anak buah, ia menghadap Hi Kak Tay-ong, memberi hormat
dan dengan napas memburu melapor, "Tay-ong, celaka!
Karena sedikit lengah dan tanpa diketahui, Siocia (tuan putri)
mengikat diri di atas, Siocia minta agar Tay-ong melepas Pek
Thay-koan dan kawan-kawannya pergi, kalau tidak, segera ia
akan iris tali pengikatnya dan meninggalkan
Tay-ong untuk selamanya!" Hi Yang adalah putri satu-satunya Hi Kak yang disayang.
Ber-hubung Pek Thay-koan tidak mau mengikuti kemauannya,
maka Hi Kak melarang Hi Yang bertemu dengan Pek Thaykoan
dan mengu-rung putrinya di atas pagoda putih tadi.
Hi Yang tidak mengetahui bahwa ada Lihiap dari kaum
Cian-pwe yang telah muncul di pertemuan itu dan turun
tangan mem-bantu tunangannya, ia mengira Pek Thay-koan
terjeblos dalam ke-pungan jago-jago temama begundal
ayahnya, maka ia menjadi nekat dan bertaruh dengan jiwa
sendiri. Nampak kejadian itu, Pek Thay-koan terkejut bercampur girang,
ia tidak menyangka cinta Hi Yang kepadanya ternyata
begitu mendalam, karena terharu hingga tak terasa ia
meneteskan air mata. Sementara itu setelah Hi Kak termenung
sejenak, ia lantas mengayun tangan dan berkata, "Baiklah,
kalian boleh pergi saja!"
Ie Lan-cu yang berada dalam kepungan sembilan jago silat
ke-las wahid, untuk membela diri sendiri sebenarnya tidak
susah bagi-nya, tetapi ia khawatir keselamatan Teng Hiau-lan
dan Pek Thay-koan, maka demi melihat orang menyilakan
mereka berangkat, se-gera ia pun mundur teratur.
"Liau-in," katanya dengan senyum dingin, "Sute dan
Sumoay-mu aku yang bawa pergi, soal pengkhianatan
terhadap perguruan, tentu ada saudara seperguruanmu yang
akan membersihkannya, aku tidak perlu ikut campur! Cuma
apabila kau berbuat kejahatan lain yang merugikan kaum
kecil, kalau tertumbuk padaku lagi, tatkala itu jangan kau
sesalkan aku tak mau mengampuni jiwamu!"
Habis berkata, ia memberi kiongciu pada Hi Kak sambil
berkata pula, "Syukur kau suka mengalah!"
Sesudah itu ia kembalikan pedang Teng Hiau-lan, kemudian
menarik pemuda itu, bersama Lu Si-nio dan Pek Thay-koan,
mereka keluarkan Ginkang, secepat terbang kabur turun ke
bawah gunung. Sementara itu mendadak Hi Kak teringat
sesuatu. "Lekas! Lekas!" teriaknya dengan membanting kaki.
"Lekas perintahkan, suruh anak-anak memberi jalan kepada
mereka!" Seketika itu juga, bendera merah melambai-lambai dan
para Liaulo atau prajurit berteriak, "Berikan jalan kepada
tetamu, tidak boleh menahan dan merintangi!" Begitulah
berturut-turut perintah itu diteruskan.


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akan tetapi sudah terlambat, kala itu Ie Lan-cu dan kawan* kawan baru sampai di tengah gunung, mendadak mereka
disambut serentetan anak panah. Melihat serangan itu, Lu Sinio
bergelak ter-tawa, pedang "Siang-hoa-kiam" diputar
secepat angin, seketika di kanan kiri dan muka belakangnya
bergulung sinar putih yang rapat, rentetan anak panah
disampuk jatuh semuanya. Menyusul itu, dari kedua samping jalan mendadak
menyelo-nong keluar pula uua baris kaitan tajam, rupanya
memang sengaja dipasang di situ menantikan mereka, kaitan
itu menggantol kaki mereka.
Namun Ie Lan-cu unjuk ketangkasan, tongkatnya bekerja
ce-pat, ia menyapu ke kanan dan menyabet ke kiri, segera
terdengar suara kletak-kletok yang keras, dalam sekejap tujuh
atau delapan ka-, itan tajam itu disapu semuanya.
Di sebelah sana Lu Si-nio lebih hebat lagi, dengan sekali
ben-tak, orang berikut senjata berubah menjadi satu sinar
perak terus menyambar menuju semak dimana tersembunyi
tukang kait tadi, kontan empat orang kena sambaran sinar
pedang, kepala mereka segera
berpisab dengan tubuh, darah
segar pun muncrat. "Jangan membunuh Liaulo yang tak berdosa ini!" Ie Lan-cu
mencegah pembunuhan lebih banyak.
Sementara itu barulah terdengar seruan perintah Hi Kak
Tay-ong berturut-turut berkumandang datang dari atas, Liaulo
lainnya yang bersembunyi di kaki gunung lekas meneruskan
perintah itu ke bagian bawah, sedang mereka pun menyingkir
pergi. "Nah, begini baru macamnya orang mengantar tamu!"
dengan tertawa Ie Lan-cu berkata.
Di sebelah atas, Hi Kak menyaksikan sendiri cara
bagaimana mereka unjuk ketangkasan yang luar biasa itu, tak
tertahan berubah juga air mukanya.
Begitulah, setelah keempat orang itu keluar dari Thianhingto, mereka menumpang kapal Hi Kak yang khusus
disediakan untuk mengantar dan menyambut tamu tadi dan
kembalilah mereka ke pantai Jing-to.
Sesudah ribut-ribut semalaman, kini rembulan sudah
terbenam ke barat dan fajar sudah hampir menyingsing. Tak
lama kemudian, gumpalan awan putih sambungmenyambung,
dari balik awan me-nyorot tembus keluar sinar
membara, cuaca di ufuk timur remang-remang perlahan
berubah menjadi merah, dalam sekejap sang surya mulai
terbit di sebelah timur nan jauh, seketika itu pula langit
menjadi terang dan indah pemandangan alam yang beraneka
warna. Nampak pemandangan indah itu, tanpa terasa Teng Hiaulan
menggumamkan sajak gubahan sastrawan Kau Hong-ek di
zaman permulaan kerajaan Jing yang memuji matahari terbit
di laut timur. Mendengar orang bersajak, Lu Si-nio menjadi rada heran.
"Teng-hingte, dalam beberapa tahun belakangan ini rupanya
kau te-lah banyak membaca!" katanya dengan tersenyum.
Muka Hiau-lan menjadi merah, tapi dalam hati ia senang
ber-campur malu. "Hanya sedikit, baca asal baca saja sekadar
menam-bah pengetahuan!" sahutnya dengan suara rendah.
"Cici berasal dari keluarga terpelajar, umpama aku angkat kau
menjadi guru, belum tentu kau sudi menerima aku sebagai
murid!" Mendengar mereka mendadak membicarakan urusan
sekolah, Ie Lan-cu dan Pek Thay-koan merasa aneh sekali.
Sudah tentu Ie Lan-cu tidak tahu pada lima tahun yang
lalu, ketika untuk pertama kalinya Teng Hiau-lan bertemu Lu
Si-nio, se-cara diam-diam ia merasa kagum terhadap si nona,
waktu itu ia mendengar Lu Si-nio memuji seorang murid
ayahnya dan pernah pula mendengar nona itu mengatakan
bahwa "kegagahan kaum pen-dekar harus ditambah dengan
kepintaran kaum cendekiawan", waktu
itu ia merasa malu diri, maka ketika ia berguru pada Nyo Tiong-eng, lantas minta
waktu malam diperbolehkan bersekolah. Kini mereka
bertemu kembali di pulau terpencil ini, tanpa terasa ja unjuk sedikit
hasil sekolahnya, ia ingin mendapat pujian Lu Si-nio.
Karena perkataan Hiau-lan tadi, Lu Si-nio bergelak tertawa
hingga seluruh tubuhnya terguncang.
"Siauhingte (saudara cilik), apa kau kira aku bisa menjadi
guru sekolah?" ujarnya. Sesudah itu tiba-tiba ia menyambung
pula dengan sungguh-sungguh, "Bicara soal bersekolah,
maka sedikitnya kita harus giat belajar beberapa puluh tahun
seperti orang kuno, ada " yang belajar hingga rambut ubanan,
apa kau kira begitu gampang dipelajari" Soal pelajaran kitab,
aku sendiri pun belum masuk hi-tungan, ayahku mempunyai
seorang murid, meski usianya tidak se-berapa lebih tua dari
kita, namun dalam hal kitab kuno dan karangan syair, ia sudah
punya dasar yang kuat, kalau kau mempunyai cita-cita buat
belajar, kelak aku perkenalkan dia untuk jadi gurumu!"
Lu Si-nio yang berperasaan bersih dan berpandangan luas,
ia anggap Hiau-lan tidak lebih sebagai saudara muda saja,
dalam hati sedikitpun tiada perasaan lain. Akan tetapi buat
Teng Hiau-lan, sete-lah mendengar uraiannya itu, ia menjadi
sedih dan kecewa. Ia me-nundukkan kepala dan kemudian
bilang terima kasih. Sikap Hiau-lan itu dapat dilihat jelas Pek Thay-koan,
sebenar-nya ia hendak geguyon dengan beberapa perkataan
yang menggoda, tapi mendadak ia urungkan.
Sementara itu Ie Lan-cu pun tak sabar mendengarkan
orang berbicara syair segala.
"Sudahlah, jangan persoalkan kitab segala," katanya
memutus percakapan orang. "Hiau-lan, tahukah kau, untuk
apa aku mencari-mu dan kenapa setelah mengambil
pedangmu kukembalikan lagi?"
"Tidak tahu!" jawab Hiau-lan dengan sikap hormat.
"Adalah karena pedangmu ini!" kata le Lan-cu dengan
wajah keren. Mendengar orang menyebut pedangnya, Hiau-lan jadi
gugup. "Aku mengerti bahwa pedang ini ialah Thaysuco (guru moyang)
yang mewariskan pada Ciu-suco, aku sendiri
sebenarnya tidak setimpal memakainya!" sahutnya kemudian.
"Bukan begitu maksudku," ujar le Lan-cu dengan
menggeleng kepala. "Dalam beberapa hari ini, menurut
penyelidikan, kelakuan-mu cukup baik dan sesuai sebagai
orang golongan kita, hanya saja kepandaianmu terlalu
cetek,.aku khawatir kau tak sanggup memper-tahankan
pedang itu untuk selamanya!"
Setelah merandek sejenak, kemudian ia lanjutkan pula,
"Pedang ini adalah satu dari dua pedang pusaka cabang kita,
sekali-kali tidak boleh terjatuh ke tangan orang lain. Kini anak
murid Hui-bing Siansu hanya tinggal aku sendiri, sedang aku
pun sudah berusia lanjut, agar bisa merapertanggung
jawabkan pada Cosu yang telah mangkat, aku harus mencari
kemana perginya Pokiam ini, setelah mencari beberapa tahun,
akhimya kutemukan juga. Kau adalah anak angkat Ciu Jing,
hal inipun sudah lama aku tahu. Pedang ini kini kuputuskan
buatmu, tetapi ilmu pedangmu masih belum sempurna, hal ini
tentu akan merosotkan nama baik Thian-san-pay, maka kau
haras ikut belajar padaku selama tiga tahun!"
Bukan main girang Teng Hiau-lan. cepat ia berlutut dan
men-jura sebagai tanda mengangkat guru.
le Lan-cu kemudian menariknya bangun. "Aku hanya dapat
mengajarkan padamu ilmu pedang perguraan kita, ilmu silat
lainnya tak sempat diajarkan lagi," dengan sungguh-sungguh
orang tua itu berkata pula. "Aku dan kau pun boleh
mencontoh Leng-tayhiap dan Ciu Jing, dapat dianggap sebagai
guru-murid akuan saja. Kelak apa-bila kau sudah menginjak
usia enam puluh tahun atau pada waktu kau mengundurkan
diri dari khalayak ramai, pedang ini kau serah-kan kembali ke
Thian-san kepada anak murid yang menjadi Ciang-bun (ketua)
kala itu. Kemudian Ciangbunjin akan memeriksa jasa selama
hidupmu, ketika itu bara dapat ditetapkan boleh atau tidak
kau secara resmi diterima sebagai murid pintu perguraan
kita." Murid akuan dalam kalangan persilatan sama seperti murid
percobaan pada sekolahan, yakni karena tingkat
kepandaiannya masih rendah, maka haras melalui seleksi
dulu baru kemudian boleh naik kelas dan diterima sebagai
murid resmi. Sehabis menyelesaikan urusan Hiau-lan, tiba-tiba air muka
le Lan-cu berubah dingin dan keren, dengan suara bengis ia
bentak Pek Thay-koan. "Pek Thay-koan, di hadapanku tak
boleh kau ber-dusta. Perbuatan Jay-hoa di sini, kau yang
melakukan atau bukan?"
Pertanyaan mendadak itu seketika membikin muka Pek
Thay-koan berubah. "Locianpwe, apa " apa?artinya ini?"
dengan suara gemetar lekas ia bertanya. "Aku, masakah aku
sampai berbuat hal busuk itu?"
"Betul-betul bukan perbuatanmu?" Ie Lan-cu menegas pula.
"Coba kau tunggu sebentar." Habis itu, tiba-tiba ia bersuit
panjang, menyusul dari semak-semak di tepi pantai muncul
seorang gadis cilik berbaju merah, usianya kira-kira bara lima
belasan tahun. Hiau-lan mengenali gadis ini ialah yang menyanyi di atas loteng
kedai arak tempo hari itu.
"Kim-ji, malam itu bukankah dia yang menguntit dirimu?"
Ie Lan-cu tanya gadis cilik itu.
Si gadis memandang sekejap pada Pek Thay-koan. "Betul,
dia ini!" sahutnya kemudian.
Tiba-tiba Ie Lan-cu tertawa. "Pek Thay-koan, tahukah kau
dia ini adalah keponakan perempuanmu" Mengapa kau
menguntit kepo-nakanmu sendiri?" tanyanya lagi.
Keterangan itu bukan saja membingungkan Pek Thay-koan,
bahkan gadis itupun mengunjuk rasa heran.
"Ha, kiranya kau ialah Pek-ngosiok (paman kelima)!" kata
nona cilik itu. "Ah, kiranya kau ialah Kim-ji, kepandaianmu ternyata sudah
banyak maju!" Thay-koan menyapa. "le-locianpwe, kau orang
tua jangan berkelakar, sungguh-sungguh ini hanya salah
paham saja!" Karena itu, lagu suara Ie Lan-cu berubah rada ramah.
"Salah paham bagaimana?" tanyanya dengan setengah
membentak. "Dalam beberapa hari ini, karena mencari tunanganku, Hi
Yang, hingga aku seakan gila," Pek Thay-koan menerangkan.
"Malam itu tiba-tiba aku melihat Kim-ji melayang lewat di
antara rumah penduduk, segera aku menguntit dia, setelah
dekat bara aku menge-tahui dia bukan Hi Yang, mestinya aku
hendak putar kembali, tapi terdorong rasa ingin tahu dari
kalangan manakah dia, maka aku terus menguntit pula."
Melihat suara pertanyaan le Lan-cu yang semula sangat
keren dan bengis, Teng Hiau-lan menjadi sangsi dan heran,
tapi kini demi mendengar keterangan Pek Thay-koan yang
masuk akal juga, ia me-narik kesimpulan, kiranya nona cilik ini
adalah keponakannya, tak mungkin ia melakukan hal tidak
senonoh terhadap keponakan pe-rempuan sendiri.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar le Lan-cu bertanya lagi
dengan suara keras, "Betulkah perkataanmu" Aku ingin tanya,
kenapa ber-turut-turat beberapa malam kau selalu muncul di
sekitar kediaman utusan kerajaan" Jay-hoa itu apa bukan
bercokol di sekitar kediam-an Khim-che (utusan raja)" Dan
mereka apa bukan begundalmu?"
Pek Thay-koan tenangkan diri lebih dulu, sesudah itu ia tertawa
terbahak-bahak. "Pantas Locianpwe curiga, sebab waktu aku sampai di Jingto
sini. justru aku pun kebentur oleh perbuatan Jay-hoa yang
aneh ini, ada beberapa Pothau tua juga mencurigai diriku,"
tuturnya kemu-dian. "Di antaranya seorang Pothau bemama
Thio Bin. ilmu silatnya lumayan juga dan orangnya pun cukup
jujur, ia telah selidik sana dan cari sini, akhirnya mencariku.
Aku mengatakan bahwa perbuatan
itu bukan perbuatanku. Ia
yakin juga pasti bukan perbuatanku, tetapi karena sudah
dicurigai, maka tak dapat tidak aku diminta tu-run tangan ikut
campur menjernihkan sangkaan itu."
"Karena memang betul juga perkataannya. walaupun aku
ter-buru-buru ingin mencari tunanganku, pada malam hari aku
pun me-luangkan tempo buat membantu penyelidikan.
Hasilnya aku jadi ter-heran-heran oleh kejadian aneh itu.
rupanya yang melakukan Jay-hoa tidak hanya seorang saja.
bahkan orang itu memiliki ilmu silat sangat tinggi, beberapa
kali aku temukan jejak mereka, aku terus mengejar, namun
selalu ketinggalan. Yang lebih mengherankan ada-lah manusia
aneh itu begitu sampai di sekitar kediaman Khim-che lantas
menghilang tak berbekas!"
"Memang betul," kata Ie Lan-cu sambil menjentik jarinya
se-telah berpikir sejenak. "Terus terang saja. semula aku pun
tak men-curigaimu, tapi kemudian kudengar Pothau itu
bertukar pikiran dan menyangka sebagai perbuatanmu,
setelah itu diam-diam aku pun menguntitmu, namun lucu
sekali, ternyata sama sekali tak kau ke-tahui!"
Muka Pek Thay-koan menjadi merah, ia malu karena
sebagai salah seorang Kanglam-pat-hiap yang disegani,
sedikitpun tidak me-rasa dirinya dikuntit orang, bukan itu saja,
bahkan tanpa sebab mu-sabab dirinya telah menimbulkan
syak-wasangka orang. Sebenarnya tidak perlu heran kalau orang menaruh
prasangka jelek padanya, sebab Pek Thay-koan memang
seorang Kongcu mu-da dan cakap, terkenal paling romantis di
antara Kanglam-pat-hiap. Sebelum berkenalan dengan Hi Yang, dia sudah kenal
berbagai wa-nita cantik dari kalangan plesiran, tetapi hanya
namanya saja terke-nal romantis. hakikatnya ia tidak pernah
bermalam dengan wanita sebangsa itu, boleh dikatakan
seorang laki-laki yang suka akan paras elok, tetapi tidak cabul.


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun buat orang-orang luar, siapa yang dapat menyelami
jiwanya itu" "Dengan sejujurnya, memang sejak mula aku sudah hernial
memecahkan peristiwa ini," terdengar Ie Lan-cu buka suara,
"lantar-an menguntit dirimu, malah orang yang menjadi titik
pokok penca-rian kita jadi terlolos. Belakangan baru aku yakin
pasti buk,an perbuatanmu.
tapi aku masih tak mengerti juga
mengapa beberapa malam berturut-turut kau ikuti jejak
mereka, selama itu juga mereka tidak pernah turun tangan
bergebrak denganmu, padahal kepandaian mereka masingmasing
jauh lebih tinggi darimu!"
Karena perkataan terakhir itu, kembali muka Pek Thay-koan
merasa panas. "Pantas, ia mencurigai diriku berkomplot
dengan Jay-hoa-cat itu!" begitu ia pikir. "Aku hanya mengira
mereka takut pada nama dan perbawaku, maka selalu
menghindari diriku, sungguh tidak
terduga bahwa sebenarnya kepandaian mereka jauh lebih tinggi dariku, kalau begitu
mengapa mereka tidak lantas melabrak diriku?"
Ia berpikir terus, tapi tetap tak habis mengerti.
"Selama hidup sudah banyak peristiwa yang kualami, tapi
selama itu belum pernah kutemukan peristiwa aneh seperti
ini," terdengar le Lan-cu berkata pula. "Menurut aturan, tokoh
kelas wahid dari Kangouw, jarang sudi menjadi Jay-hoa-cat
yang begitu rendah martabatnya, seumpama Suhengmu si
Liau-in yang terkenal suka paras elok, juga tak berani terangterangan
memetik bunga. Sedang perbuatan cabul yang aneh
kali ini, seperti dilakukan tokoh dunia persilatan yang jempolan
dengan perbuatan yang kotor dan rendah!"
Dalam pada itu Pek Thay-koan sendiri sedang merenung.
"Manusia macam apakah Khim-che ini?" tiba-tiba ia bertanya.
"Urusan ini sudah kuselidiki," sahut Ie Lan-cu, "orang ini
ber-nama Thio Ting-giok, berpangkat Bun-yan-kok Tay-hak-su
(Bun-yan-kok adalah dewan kesusastraan negara yang tinggi,
Tay-hak-su adalah gelar sarjana sastra bagi mereka keluaran
setingkat perguruan tinggi) merangkap menjadi "Menteri
Pendidikan", kesukaannya ada-lah mempersoalkan ajaran
sastra dari dinasti Song dan Bing, meski terhitung seorang
budak juga, tetapi pada umumnya masih tidak begitu busuk,
apa mungkin ia menjadi pelindung bagi maling cabul yang
jahat itu?" "Kalau begitu Thio Ting-giok termasuk pembesar penting,
mengapa bisa mendadak datang di kota pantai terpencil ini?"
Lu Si-nio ikut mengeluarkan pendapatnya.
"Itulah aku pun tidak mengerti!" ujar le Lan-cu.
Sesudah itu ia berpikir sejenak, lalu berkata, "Urusan ini
ma-kin lama makin aneh. Tiada tiga hari Thio Ting-giok
datang ke sini, lantas berjangkit peristiwa merusak bunga itu,
apakah mungkin ada sangkut-paut dengan dia" Tapi tak
mungkin, sekali lagi tak mungkin!
Thio Ting-giok adalah seorang pembesar tinggi, seumpama martabatnya memang
bejat, tidak perlu sampai melakukan Jay-hoa, apalagi para
tokoh Bu-lim jempoian itu, mengapa sudi diperalat?"
"Ie-Iocianpwe," kata Pek Thay-koan, "kalau memang
maling Jay-hoa yang luar biasa itu berkecamuk dan
menghilang di sekitar kediaman Khim-che, tidakkah lebih baik
kalau kita selidiki" Aku ikut tersangka, urusan ini kalau tidak
dibikin terang, sungguh hatiku tidak tenteram."
"Terpaksa memang hanya dapat bertindak begitu!" sahut le
Lan-cu menyetujui. Begitulah, maka mereka berlima pergi mengaso ke Hianbiaukoan, sebuah rumah berhala di sebelah barat kota.
Ketua pengurus Hian-biau-koan adalah bibi Co Jin-hu, di
sini-lah sejak beberapa hari yang lalu le Lan-cu dan Co Kim-ji
(putri Co Jin-hu) tinggal.
Di antara delapan murid Tok-pi Sin-ni yang terkenal dengan
Kanglam-pat-hiap itu, Co Jin-hu terhitung urutan nomor
empat, tetapi usianya justru paling tua. Dua puluh tahun
yang lalu, dengan Jisuhengnya pernah ia berkelana jauh ke
Sinkiang dan berjumpa le Lan-cu sekali, ketika itu le Lan-cu
mencari Pokiam ke daerah tengah, pernah juga ia mencari dan
menemuinya. Sebenarnya Co Jin-hu ingin agar le Lan-cu suka menerima
putrinya sebagai murid, tetapi le Lan-cu tidak sanggup, ia
hanya ber-janji akan mengajarkan padanya sejurus ilmu
pedang dan memba-wanya mengembara ke Kangouw untuk
menambah pengalaman. Ie Lan-cu sengaja menyuruh Co Kim-ji keliling seluruh kota,
tujuannya bukan lain adalah untuk memancing penjahat
pemetik bunga itu. Siapa duga, Jay-hoa-cat tidak kena
terpancing, sebaliknya yang terpancing datang ialah Pek Thaykoan.
Begitulah, maka sesudah mengaso sehari penuh, malamnya
mereka lantas bergerak serentak.
Teng Hiau-lan ikut le Lan-cu ke satu jurusan, sedang
jurusan lainnya menjadi tugas Pek Thay-koan dan Lu Si-nio,
mereka me-ngeluruk dan bersembunyi di sekitar kediaman
Khim-che atau utus-an raja itu.
Akan tetapi dari sebelum tengah malam hingga hampir
fajar, seorang "Ya-hing-jin" saja tak ditemukan, terpaksa
dengan rasa mas-gul kembali ke tempat tinggal mereka.
Tak terduga setiba mereka di Hian-biau-koan, terjadi suatu
peristiwa terlebih aneh. Ternyata buntalan bekal Ie Lan-cu
dan Pek Thay-koan telah digeledah orang. Kejadian itu tidak
diketahui sedi-kitpun oleh Co Kim-ji yang bertugas menjaga
Hian-biau-koan. Masih tidak menjadi soal buntalan Ie Lan-cu diobrak-abrik
orang, bahkan di atas meja masih ditinggalkan sepucuk surat
per-mintaan maaf. Isi surat itu berbunyi:
Lihiap datang ke selatan, Pinceng (padri mlskin) juga turun
ke barat sini, kebetulan sama-sama ketemukan peristiwa
aneh dan berniat menyelidikinya, tapi salah lihat dan keliru
duga, patut dihukum karena kesalahan ini, Lihiap yang bijaksana
tentu dapat memaafkan, harapjangan gusar.
Ie Lan-cu mengerut kening sehabis membaca surat itu.
"Kalau begitu, aku sendiri pun sudah dikuntit orang dan tidak
merasa juga," ujarnya. "Ini namanya "belalang menangkap
tonggeret, tidak tahu ada burung gereja menguntit di
belakang"!" Cara permintaan maaf dengan surat tadi, biasanya hanya
di-lakukan orang dunia persilatan yang setingkat atau
sederajat karena telah berbuat sesuatu kekeliruan,
permohonan maaf serupa itu memperlihatkan kerendahan hati
yang sangat. Tingkatan Ie Lan-cu dalam Bu-lim sudah sangat tinggi,
namun ternyata ia tidak ingat siapakah gerangan orang yang
terhitung se-tingkat dengan dirinya pada masa ini"
Di antara mereka, hanya Teng Hiau-lan yang masih hijau
plonco. maka ia tidak mengerti kebiasaan dalam Bu-lim itu.
"Orang yang meninggalkan surat ini mungkin adalah si
kele-dai gundul Liau-in?" tanpa pikir ia bertanya. "Kita pergi
mengintip mereka, sebaliknya mereka juga menggeledah ke
sini, sungguh ber-nyali besar sekali dial"
"Mana bisa, sekalipun Liau-in bernyali besar juga tak memiliki
kepandaian tinggi hingga mampu menguntit di luar
tahuku?" ujar Lan-cu mendongkol.
Pek Thay-koan dan Lu Si-nio cukup tahu diri, mereka tak
be-rani sembarang buka suara.
"Terang sekali isi surat permintaan maaf ini, tampaknya
orang ini adalah seorang padri suci yang berilmu dan
mempunyai tujuan yang sama dengan kita, yakni ingin
memecahkan peristiwa Jay-hoa," Ie Lan-cu berkata pula.
"Cuma saja urusan kadang-kadang su-kar diduga lebih dulu,
kini ada orang pandai unjuk diri, maka kita hams lebih
waspada!" Begitulah, maka Ie Lan-cu menjadi rada masgul. Untuk
mem-bikin buyar kemasgulan dan membikin senang hati orang
tua itu, Lu Si-nio meminta diberi petunjuk soal Kiam-hoat.
"Rahasia ilmu pedang Hian-li yang diyakinkan gurumu
adalah warisan asli zaman dulu dan tidak di bawah Thian-sankiamhoat," ujar orang tua itu. "Pada masa ini hanya tinggal
tiga cabang Kiam-hoat yang boleh dikata sebaya dan sama
kuat, yakni selain ilmu pedang
kita berdua, masih ada pula
Tat-mo-kiam-hoat yang diturun-kan oleh Kui Tiong-bing.
Ketiga cabang Kiam-hoat kita sama ba-gusnya, kau sudah
memperoleh warisan gurumu, buat apa minta petunjuk
aku lagi?" "Tetapi guruku sendiri pernah mendapat petunjuk dari
engkau orang tua!" sahut Si-nio rada gugup.
"Itu lain soal," ujar Lan-cu tertawa, "waktu itu gurumu baru
mendapatkan teorinya, cara memainkannya masih belum
sempurna, oleh karena itu hams ada orang yang menunjukkan
jalannya, tetapi kau adalah lain, kepandaianmu sudah lanjut
dan sudah hampir rhen-capai puncak yang paling sempurna,
soal Kiam-hoat tidak perlu diberi
petunjuk lagi. biar kelak aku
ajarkan kau sedikit rahasia cara merawat diri saja!"
Keruan saja girang sekali hati Lu Si-nio, lekas ia haturkan
te-rima kasih. "Gurumu mempunyai Lwekang yang sangat tinggi, kalau ia
yang menguntit aku, mungkin aku takkan berasa, tetapi
kecuali dia, siapa lagi yang punya kepandaian begitu tinggi?"
tiba-tiba Ie Lan-cu kembali pada persoalan tadi. "Dalam
beberapa puluh tahun ini, aku selalu tirakat di tempat jauh
yang terpencil, entah para ketua cabang dan golongan di
Tionggoan sini masih ada sisa berapa orang?"
Pek Thay-koan coba menyebut nama beberapa orang. Akan
tetapi Ie Lan-cu hanya menggeleng kepala. "Semua masih di
bawah tingkatanku!" ujarnya. Tetapi ia lantas bertanya lagi,
"Bagaimana dengan Kim-kong Taysu dari Go-bi-pay dan Punkhong
Taysu dari Siau-lim-pay, apakah mereka masih hidup?"
"Kedua orang ini sudah meninggal dunia semua!" sahut Pek
Thay-koan yang cukup berpengalaman.
"O!" Ie Lan-cu bersuara, dalam hati semakin heran.
Malam berikutnya, mereka berempat tetap membagi diri
dalam dua kelompok dan bersembunyi di sekitar tempat
tinggal Khim-che. Nyata malam ini mereka tidak sia-sia, bam lewat tengah
malam, tiba-tiba nampak sesosok bayangan orang secepat
terbang me-lompat masuk ke dalam pendopo gedung
pemerintab itu. Orang itu berdandan hitam mulus, mukanya
tak dapat dilihat jelas, hanya ter-tampak sebelah tangannya
mengempit seorang wanita muda, mungkin
Hiat-to kena ditutuk hingga sedikitpun tidak bersuara. .
Selang tak lama, kembali ada bayangan hitam melompat
masuk pula ke tempat yang sama, juga terlihat mengempit
seorang wanita muda. Sekilas Teng Hiau-lan dapat mengenali orang yang
belakangan ini bukan lain adalah Haptoh. "He, kiranya dialah
penjahat pe-metik bunga itu!" begitulah diam-diam ia
membatin. Dan selagi ia berniat membentak, Ie Lan-cu sudah
keburu menariknya. "Kau ikuti aku!" bisik orang tua itu padanya. "Genggam
sen-jata rahasia Hui-bong, kalau perlu, Am-gi (senjata rahasia)
dilepas-kan dahulu!"
Sesudah itu, Ie Lan-cu memberi tanda, bersama Lu Si-nio
berempat berbareng melompat masuk ke gedung pembesar
itu. Meski Ginkang Teng Hiau-lan masih selisih jauh kalau
diban-ding Ie Lan-cu dan Lu Si-nio berdua, tapi sudah boleh
dikata luar biasajuga. Begitulah, secara enteng sekali mereka melayang masuk ke
dalam pekarangan gedung itu tanpa menerbitkan suara, dari
kejauh-an masih nampak bayangan Haptoh yang menghilang
di antara ru-mah bersusun sebelah sana.
Tempat dimana mereka berada ternyata sebuah taman
indah yang terdapat empang, gunung-gunungan palsu, penuh
bunga dan pohon berdaun rindang, di angkasa rembulan
muda seakan mena-ungi gedung yang menjulang megah itu.
Melihat sekelilingnya tiada seorang pun, Ie Lan-cu meloncat
ke atas satu gunung-gunungan palsu, dari situ ia dapat
melihat jelas ada sebuah gedung besar serupa istana dan
menjulang tinggi. Ia menutul kaki dan melayang ke atap rumah samping, dari
sana terus melompat ke atas gedung besar itu dengan
gerakan "Yan-cu-cwan-hun" (burung layang-layang menembus
awan). Sesudah menancapkan kaki di situ, lewat tak lama, Lu Sinio,
Pek Thay-koan dan Teng Hiau-lan bertiga menyusul
meloncat naik ke situ. Ketika mereka memandang, ternyata besar sekali bangunan
gedung itu, tidak terhitung banyaknya ruangan dan rumah di
seki-tarnya. Karena tempatnya begitu luas, Ie Lan-cu menjadi
ragu-ragu, tidak tahu kemana harus mulai mencari penjahat
itu. Di antara apitan rumah yang begitu banyak, pada suatu
tempat yang berliku-liku dengan jalanan samping, terlihat
menggantung be-berapa puluh tenglong beraneka warna dan
berbentuk delapan segi. Selagi mereka bingung, tiba-tiba terdengar bunyi bel
mende-ring, lalu pintu ruang tengah mendadak terpentang,
menyusul terlihat belasan laki-laki kekar tegap menyongsong
keluar seorang pembesar

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bermantel sutera merah dan
bersikap gagah, mereka berjalan berjinjit seperti takut
mengejutkan orang, lucu sekali kelakuan mereka.
Belum rombongan orang keluar dari jalan serambi itu, dari
po-jok sebelah sana datang pula serombongan orang lain,
dandanan rombongan inipun seragam dengan yang duluan.
Sesudah dekat, rombongan yang datang dari luar tak
berani berisik sedikitpun, sementara itu dari rombongan ini,
seorang pembesar yang mengenakan topi kebesaran bermata
dua buah batu jamrud lantas membungkuk memberi hormat
dan berkata, "Thio-tayjin, terimalah hormat hamba!"
"Jan-tayjin, sudahlah, tak usah kau ikut masuk ke sana!"
pembesar bermantel merah tadi menjawab. Sesudah itu ia
mendekat, ke-mudian dengan bisik-bisik ia ucapkan beberapa
perkataan, lalu pembesar yang dipanggil "Jan-tayjin" tadi
tampak mengunjuk muka he-ran dan tersenyum, tapi ia lantas
membungkuk tubuh lagi dan meng-undurkan diri.
Pek Thay-koan sudah pernah melawat ke daerah Soatang
sini, maka ia banyak mengetahui seluk-beluk kalangan
pembesar negeri, demi mendengar sebutan kedua pembesar
tadi, ia lantas menduga bahwa pembesar yang bermantel
merah itu tentu adalah "Khim-che" atau utusan kaisar yang
bernama Thio Ting-giok, sedang pembesar lain yang bertopi
bermata batu jamrud dan berdandan rajin itu tentu adalah
Soatang Sunbu (Gubernur) Jan Bun-kia.
Jan Bun-kia terhitung pembesar kenamaan pada dinasti
Jing, di antara Sunbu atau gubernur berbagai propinsi waktu
itu, ia ter-masuk yang paling berwibawa dan mendapat nama
baik. Dalam hati Pek Thay-koan membatin, "Meski Thio Ting-giok
adalah utusan kaisar, tetapi tingkat jabatan mereka selisih
tidak ada setingkat, menurut tata cara kalangan pembesar
negeri, bila Thio Ting-giok dalam tugasnya sebagai utusan
kaisar dan meninjau ke daerah Celam yang menjadi tempat
kedudukan gubernur, maka pa tut kalau Jan Bun-kia
menyambutnya dengan segala kehormatan. Tetapi kini Thio
Ting-giok hanya meninjau ke Jing-to, selayaknya Jan Bun-kia
tidak perlu jauh-jauh datang sendiri menjumpainya" Mengapa
Jan Bun-kia begitu takut pada Khim-che, jauh berbeda se-kali
dengan wibawanya sebagai pembesar ternama sehari-hari?"
Pek Thay-koan merabatin sendiri, sementara itu kedua
rom-bongan orang tadi sudah pergi jauh.
"Marilah kita mengintip ruangan besar di tengah itu!" ajak
le Lan-cu dengan suara rendah pada kawan-kawannya. "Hiaulan,
kau ikut aku. Si-nio, kau haras tunggu aku bergerak lebih
dulu baru bo-leh turun tangan."
Sehabis berpesan seperlunya, segera menutul kaki pula, ia
bawa Teng Hiau-lan melayang turun ke belakang gedung
besar itu me-lalui emperan lebar setinggi tujuh delapan
tombak. Ketika ia mendongak, terlihat olehnya di atas lapisan
alingan masih ada sebaris jendela berakiran bagus. Segera ia
mendapat akal, dengan suatu gerakan enteng segera ia
mencelat naik ke atas, dengan
sebelah tangan memegang kencang pinggir emperan dan dua jari lain menjepit ke langitlangit
rumah, dengan begitu ia meng-gantung diri terapung di
udara, sesudah itu dengan Lwekangnya yang tinggi ia getar
pecahkan dengan perlahan alingan tadi hingga sedikitpun
tidak menerbitkan suara. Dalam pada itu Lu Si-nio, Pek Thay-koan dan Teng Hiau-lan
bertiga menira caranya dan naik ke atas buat mengintip ke
dalam rumah. Di ruangan dalam tergantung sebuah lampu minyak kaca
ber-taburkan batu permata dan bersepuh emas sedang
memancarkan ca-haya yang kekuning-kuningan hingga empat
tiang besar yang b^r-ukir naga dan burung hong terlihat jelas.
Di tengah rumah itu tam-pak berduduk seorang Kongcu
berasia masih muda. Melihat Kongcu muda ini, Teng Hiau-lan menjadi
terperanjat sekali. Kongcu muda belia ini ternyata adalah Ongkongcu
yang be-berapa hari berselang ia jumpai di atas "Pinhaylau", loteng kedai arak di tepi laut itu.
Selain itu, terlihat pula Thian-yap Sanjin, Hay-hun Hwesio
dan Sin-mo-siang-lo berdiri di kedua sampingnya, sikap
mereka ternyata menghormat sekali terhadap Ong-kongcu.
Melihat keadaan itu, Lu Si-nio dan Pek Thay-koan saling
pan-dang, mereka menjadi bingung apakah artinya ini"
Sementara itu, terlihat Ong-kongcu menguap.
"Urasan penting sudah beres, kini kita boleh cari sedikit
kese-nangan," ia berkata dengan bertepuk tangan. "Thio Tinggiok
sung-guh tidak tahu gelagat, sudah lewat tengah malam
baru pergi!" Habis itu terdengar ia berkata pula terhadap seorang
penga-walnya yang berbaju hitam, "Panggilkan Hap-congkoan
ke sini!" "Ca!" sahut pengawal itu (Ca dalam bahasa Boanciu,
Manehu, adalah sahutan golongan rendah terhadap
junjungan). Tak antara lama, dengan didahului bau harum semerbak,
pintu samping terbuka, maka keluarlah Haptoh dengan
seorang pengawal berbaju hitam lain sembari menuntun dua
wanita muda. Kedua wanita ini adalah barang culikan mereka malam ini,
tetapi kini mereka sudah bertukar dandanan, pakaian mereka
serupa Kiongli (dayang-dayang) dalam istana, rajin bersih,
paras mereka pun tidak kurang cantiknya, hanya rada pucat
sedikit serta kedua matanya tak bersemangat.
Nampak kedua wanita ini, Ong-kongcu mengamat-amatinya
dengan cengar-cengir, lalu ia berpaling dan berkata kepada
penga-walnya, "Kedua wanita ini terlalu berbau kampungan,
serupa bo-neka saja yang tak bisa bergerak, bawa pergi dan
dilatih dahulu, se-bulan kemudian baru bawa kemari
menghadap aku lagi!"
Kembali pengawal yang berbaju hitam berseru, "Ca!"
Selagi ia akan membawa pergi kedua wanita itu seperti
yang diperintahkan, tiba-tiba terdengar Ong-kongcu berkata
pula, "Sela-ma kita berada di Soa-tang sini, sudah berapa
banyak wanita cantik yang kita peroleh?"
"Seluruhnya berjumlah dua belas orang!" sahut si
pengawal. "Apa sudah diperiksa semua?"
"Kecuali dua orang ini^ang lain sudah diperiksa, ada
delapan yang memenuhi syarat!"
"Yang tidak memenuhi syarat, kirim saja mereka pulang, ja
ngan bikin susah mereka!"
"Yang diapkir apa tidak lebih baik dihadiahkan kepada Pokok
Siansu saja?" tiba-tiba Haptoh menimbrung dengan
tertawa. "Wanita cantik yang tak mungkin masuk istana, mungkin
tak-kan memuaskan pandangan Po-kok Siansu," sahut Ongkongcu.
"Biarlah nanti akan kupilihkan wanita molek lainnya
buat dia!" Mendengar percakapan itu, tergerak pikiran Ie Lan-cu.
Mana bisa Jay-hoa-cat mempunyai tingkah-laku begini hebat"
Apa mungkin mereka adalah orang yang dikirim kerajaan dan
diam-diam me-milih wanita cantik di daerah sini" Dan manusia
macam apakah Ong-kongcu ini" Begitulah serentetan
pertanyaan timbul dalam be-naknya.
Tengah ia berpikir, tiba-tiba terdengar suara bentakan
Thian-yap Sanjin di dalam, "Mata-mata yang bernyali besar,
hayo lekas turun ke sini!"
Berbareng kedua telapak tangannya bekerja dengan cepat,
ia pukulkan dengan angin pukulan yang keras menuju ke
tempat per-sembunyian Ie Lan-cu dan kawan-kawan, seketika
genting-genting pecah beterbangan dan emperan pun ambrol.
Di antara pecahan genting yang beterbangan dan pasir
debu bertebaran, Ie Lan-cu berempat segera melayang turun
ke bawah. Kiranya saking gusar menyaksikan yang terjadi, Pek Thaykoan
tak bisa menguasai diri lagi, tak tertahan ia mengertak
gigi, ka-rena itu tekanan tubuhnya menjadi lebih berat hingga
sedikit mener-bitkan suara. Suara yang perlahan sekali itu
ternyata ketahuan oleh Thian-yap Sanjin yang berkepandaian
tinggi, maka konanganlah tempat persembunyian mereka.
Dalam pada itu, sebelum kaki menempel tanah, Pek Thaykoan
sudah mendahului mengirim dua buah belati terbang
mengarah Ong Cun-it yang ia anggap sebagai biang keladi
komplotan itu. "Kiranya kaulah yang menjadi Jay-hoa-cat!" ia sertai pula
dengan membentak. Namun gerak tubuh Ong Cun-itf ternyata cukup gesit, ia
ber-bangkit dengan cepat, sebilah pisau belati yang mengarah
padanya segera menancap pada sandaran kursi sedalam lima
senti, menyusul Ong Cun-it mengulur dua jarinya, tahu-tahu belati yang lain
berhen-ti di antara jepitan jarinya itu.
Sementara itu dengan cepat Lu Si-nio pun sudah melompat
,ti-ba di dekat Ong Cun-it, berbareng Siang-hoa-kiam segera
berkele-bat, dengan tipu serangan "Liong-ting-ti-cu"
(mengambil mutiara di atas kepala naga), ujung senjatanya
secepat kilat menusuk ke teng-gorokan Ong Cun-it.
Pemuda itu ternyaia tidak lemah, ia menggeser tubuh dan
melompat pergi, hanya sekali berkelit, ia berputar ke samping
sebuah " Boan -tong-hong".
Yang disebut "Boan-tong-hong" tidak lain adalah tatakan lilin
terbuat dari besi, di bawahnya berkaki dan di atasnya tajam
lancip berbentuk bunga teratai, di atas bunga teratai bikinan
itu tersulut empat buah lilin besar yang terang benderang.
Dalam sekejap itu, karena tak mendapatkan senjata, Ong
Cun-it menyambar "Boan-tong-hong" terus digunakan sebagai
senjata. Dalam pada itu, serangan Lu Si-nio untuk kedua kalinya
telah tiba pula, dengan tipu "Hui-pau-liu-cwan" (air terjun
menggerujuk bertebaran), sinar pedangnya gemerlapan
laksana belasan pedang tajam
menusuk berbareng. Namun Ong Cun-it ternyata cukup tangkas, sekali ayun, ia
gu-nakan "Boan-tong-hong" sebagai toya, menyodok
berbareng menya-pu, dengan gerakan "Hing-sau-chian-kun"
(menyerampang bersih ri-buan prajurit), pedang Lu Si-nio,
kena ditangkis pergi. Melihat gerak tipu lawannya itu, Lu Si-nio tertegun,
sungguh di luar dugaan bahwa yang dimainkan Ong Cun-it
adalah "Hok-hou-kun-hoat" (ilmu toya penakluk harimau) yang
hebat dari Siau-lim-pay asli.
Lihai betul Ong Cun-it, begitu pedang lawan tertangkis
pergi, menyusul gerak tipu "Kiap-san-ciau-hay" (mengempit
gunung me-lintas lautan), dengan sekali lompat ia sampai di
sebelah kiri Lu Si-nio, lalu Boan-tong-hong di tangannya
disurung ke depan, ujungnya yang tajam secepat kilat
menusuk, ternyata ia gunakan tipu serangan "Oh-liong-cuttong"
(naga hitam keluar goa), jurus silat Siau-lim-pay yang
hebat, tempat yang diarah adalah bawah perut Lu Si-nio.
Melihat cara permainan lawan bersifat kotor, Lu Si-nio menjadi
gusar, tangannya membalik, sinar pedang seperti rantai
perak memutar dari kiri ke kanan disertai tenaga dalam yang
kuat, dengan begitu Boan-tong-hong musuh dapat ia sampuk
ke samping. Menyu-sul dengan cepat pedangnya menusuk ke
sebelah bawah Ong Cun-it dengan tipu serangan "Hui-engboktho" (elang terbang menyambar kelinci).
Karena serangan yang cepat lagi hebat itu, Ong Cun-it
terpe-ranjat sekali, Kiam-hoat wanita muda ini sungguh belum
pernah ia jumpai. Untuk menghalau tipu serangan Lu Si-nio itu
terpaksa Ong Cun-it harus menurunkan Boan-tong-hongnya ke
bawah dengan ge-rakan "Ciangkun-lo-be" (panglima perang
turun dari kuda), maka terdengarlah suara nyaring beradunya
logam, dengan tepat ia dapat menahan tusukan pedang
lawan. Begitulah secepat kilat dan silih berganti mereka bertarung
sengit dalam niangan itu.
Di sini pertarungan Lu Si-nio sudah cukup ramai dan
gempar, tetapi di sebelah sana pertempuran le Lan-cu
ternyata jauh lebih te-gang dan memuncak.
Ketika melihat le Lan-cu melayang turun tadi. dengan cepat
luar biasa segera Thian-yap Sanjin menyambutnya dengan
tipu serangan "Kim-liong-tam-jiau" (naga etnas mengulur
cakar), kedua te-lapak tangannya susul-menyusul dipukulkan.
Akan tetapi masih kalah cepat dengan le Lan-cu, di tengah
sambaran angin pukulan dan berkelebatnya bayangan orang,
"Hang-liong-po-tiang" le Lan-cu tiba-tiba menutuk kedua
matanya. Meng-hadapi serangan luar biasa ini bila orang lain
pasti sukar mengelak-kannya, tapi Thian-yap Sanjin tak boleh
diukur seperti orang biasa.
Thian-yap Sanjin adalah jago nomor satu di tanah barat,
ting-katannya dalam dunia persilatan setengah tingkat lebih
tinggi dari Liau-in, ilmu silatnya juga mempunyai keistimewaan
sendiri, oleh karena itu, tidak gampang ia terpedaya. Dengan
sekali kebas lengan bajunya, berbareng tangannya pun
membelah lagi, menyerang untuk membela diri, terhindarlah
ia dari serangan lawan yang berbahaya tadi.
"Sayang, sayang! Kepandaian begini ternyata sudi menjadi
budak!" Ie Lan-cu mengolok. Menyusul tangannya membalik,
tong-katnya menyerang pula, kali ini ia menyerampang kaki
orang. Dengan gampang Thian-yap Sanjin melompal ke atas, terus
te-lapak tangannya berubah menjadi gerakan menangkap,
dengan tipu serangan yang paling lihai dari "Hun-kin-coh-kut",
yakni semacam kepandaian membikin putus otot dan keseleo
tulang, ia hendak men-cengkeram pundak le Lan-cu.


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak terduga, mendadak Ie Lan-cu gunakan tongkatnya
seperti orang memakai pedang, dengan tangan kanan
memegang tongkat, ia berputar cepat, berkelit sembari
menyerang, mendadak tongkatnya menyodok ke pinggang
musuh. Di sebelah sana Pat-pi Sin-mo Sat Thian-ji juga telah
menan-dingi Pek Thay-koan. sedang Tay-lik Sin-mo Sat Thiantoh
waktu melihat cara bertempur Ie Lan-cu yang maha lihai,
ia pun getol ber-kelahi, dengan sekali menggerung ia gulung
lengan bajunya dan un-juk kedua tangannya yang kasar dan
besar. Saat itu Thian-yap Sanjin
sedang dicecar oleh Lan-cu
hingga tak mampu menangkis, dengan
mengandalkan tenaganya yang besar. Sat Thian-toh menerjang dan
menyeruduk asal kena, ia gerakkan kaki dan tangannya
berbareng, kaki kiri menendang dan tangan kanan pun
menghantam, ke-betulan ia dapat mewakilkan Thian-yap
Sanjin menahan serangan musuh.
Akan tetapi sodokan tongkat Ie Lan-cu tadi teramat cepat
dan lihai, keruan saja segera pinggang Sat Thian-toh kena
sodok. Semula ia mengira dengan kulitnya yang tebal dan
tulangnya yang kuat laksana kulit tembaga dan tulang besi
yang tak mempan senjata biasa, dengan membusungkan dada
ia maju ke depan sambil menggertak dengan keras,
"Pengemis tua, bisa berbuat apa kau ter-hadapku" " Aauuuh!
Ilmu siluman apa yang kau gunakan?"
Lucu sekali kedengarannya. Semula dengan berlagak
menan-tang, tapi sekejap kemudian ia menjerit karena
pinggangnya dirasa sakit bercampur geli. Kontan ia terguling
menggeletak. Tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak dengan
memegangi perutnya saking tak ta-han, sedang seluruh tubuh
lemas tak bertenaga. Kiranya sodokan tongkat Ie Lan-cu tadi dengan tepat kena
"Siau-yo-hiat", yakni Hiat-to yang membikin geli dan tertawa
terus. Sebenarnya Sat Thian-toh yang kebal itu tidak takut
terhadap Tiam-hiat atau ilmu menutuk, namun Ie Lan-cu di
luar pembatasan itu, apalagi tenaga menutuk yang
digunakannya adalah tenaga da-lam yang kuat, betapa
kebalnya Sat Thian-toh, tubuhnya toh tetap tubuh manusia
biasa, mana sanggup ia menerima sodokan Ie Lan-cu yang
keras itu" Di lain pihak, Haptoh sebenarnya berniat membantu Ong
Cun-it mengeroyok Lu Si-nio, tapi demi melihat Thian-yap
Sanjin berada dalam bahaya, ia lantas berseru memanggil,
"Po-kok Siansu, lekas datang!"
Berbareng itu bersama Hay-hun Hwesio, mereka lalu
merang-sek dari kedua sayap. Senjata yang Haptoh gunakan
adalah "Liu-sing-tui", sepasang bandul bertali. Sedang Hay-hun
Hwesio yang pedangnya sudah terkutung kemarin malam oleh
Lu Si-nio, sudah ia tukar dengan sebatang pedang baru.
Yang sampai lebih dulu adalah Haptoh, dengan sekali
mencu-kit, sepasang bandulannya kena disingkirkan ke
samping oleh pedang Ie Lan-cu. Menyusul secepat angin
Hay-hun Hwesio mener-jang tiba, dengan tipu "Tiang-khingkingthian" (pelangi panjang melengkung di langit), segera ia
menusuk ke hulu hati orang dengan pedangnya.
Di luar perhitungannya, tiba-tiba bayangan orang sudah
berke-lebat di depan matanya. "Kebetulan sekali
kedatanganmu!" terde-ngar suara Ie Lan-cu diiringi tertawa.
Seketika Hay-hun Hwesio merasa pergelangan tangannya
ka-ku kesemutan, pedang di tangannya ternyata telah
dirampas orang. Sebenarnya Ie Lan-cu mempunyai sebatang pedang
pendek ju-ga, yakni Toan-giok-kiam", termasuk satu di antara
dua pedang pu-saka tinggalan mendiang Hui-bing Siansu,
bersama Yu-liong-kiam, keduanya bisa merajang besi seperti
memotong sayur. Tetapi karena tingkat dirinya sudah terlalu
tinggi, maka kali ini dalam perjalan-annya ke selatan ia tidak
membawa serta pedang itu.
Tak terduga kini ia harus menghadapi gempuran beberapa
tokoh silat kelas wahid, walaupun ia tak gentar, namun
dengan senjata Hang-liong-po-tiang, bagaimanapun masih
kurang leluasa. Justru pada waktu itu terlihat Hay-hun Hwesio menusuk
dengan pedangnya, hal itu kebetulan baginya, segera ia
merebut pedang lawan. "Karena kalian sudah main keroyok, maka jangan kalian sesalkan
aku harus cuci pedang ini dengan darahmu!" seru Ie
Lan-cu bergelak tertawa. Menyusul sinar putih gemerlapan,
berulang-ulang ia menyerang dengan tipu mematikan, tidak
seberapa lama, Hay-hun Hwesio yang paling dulu merasakan
sekali tusukannya, Hwesio ini melompat keluar kalangan dan
mengambil senjata baru buat bertempur lagi.
Sedang Thian-yap Sanjin dan Haptoh berdiri sejajar
melawan mati-matian, namun keadaan mereka masih tetap
berada di bawah angin. Sementara itu, di luar pintu gedung terdengar suara orang
yang riuh ramai, pintu gerbang didobrak terpentang, terlihat
Liau-in Hwesio mengepalai serombongan pasukan dengan
menjinjing tongkat-nya yang kasar besar masuk dengan
langkah lebar. Tetapi setelah tahu keadaan di situ, ia menjadi
kaget sekali. "Eh, kiranya adalah kau!" serunya terkejut. Berbareng tongkatnya
lantas diputar, sekali melayang maju. segera
tongkatnya me-ngemplang ke belakang kepala Ie Lan-cu
dengan gerak tipu "Siok-lui-kik-ting" (petir menyambar ke atas
kepala). Tiba-tiba Ie Lan-cu membalik tubuh, tongkat di tangan kiri
segera ditangkiskan ke atas, sedang tangan kanan yang
mencekal pedang menikam ke samping, dengan tipu "Pek-hotokhu" (bangau putih menotol ikan), ia menikam dada Liau-in.
Untuk menghindarkan tikaman itu, Liau-in menarik tegak
tongkatnya, lalu memutar dengan cepat, dengan gerakan "Ohliongboan-jiu" (naga hitam melilit pohon), ia balas
menyerampang ke ba-gian tengah tubuh le Lan-cu.
Serangan itu ditangkis Ie Lan-cu dengan sampukan pedang
sambil memutar ke samping lain. Sementara itu Haptoh dan
Thian-yap Sanjin berdua juga telah merangsek maju dari dua
jurusan. Kepandaian tiga orang ini luar biasa, terutama tenaga Liauin
yang kuat sekali, tongkatnya menyambar ke sana sini dan
diputar dengan kencang, dengan sendirian melawan mereka
bertiga, Ie Lan-cu masih belum sanggup raelukai mereka.
Di pihak lain, Lu Si-nio dan Ong Cun-it pun sedang
bertarung ramai, saat Lu Si-nio melihat banyak pengawal
berbaju hitam mem-banjir masuk, ia kencangkan pedang dan
menyambar secepat kilat. Dalam sekejap pedangnya diputar
dengan cepat hingga membawa gulungan sinar putih,
sekalipun ilmu silat Ong Cun-it cukup tinggi, namun belum
pernah ia saksikan Kiam-hoat yang begitu hebat.
Selagi Kongcu itu terdesak mtindur dengan gugup,
mendadak Lu Si-nio membabat dari sebelah samping, akhirnya
pedangnya me-nempel pada batang Boan-tong-hong yang
dipakai sebagai senjata oleh Ong Cun-it, menyusul ia dorong
dengan gerakan "Sun-cui-tui-ciu" (menyurung perahu menuruti
arus air), ia bermaksud mengiris jari tangan pemuda itu.
Untuk menolong dirinya, tiba-tiba terdengar Ong Cun-it
mera-ung sekali, Boan-tong-hong di tangannya yang
mempunyai berat be-berapa puluh kati itu sekonyong-konyong
ia timpukkan. Lekas Lu Si-nio berkelit, batang Boan-tong-hong itu
menyelo-nong terbang ke depan, ujung batang alat itu terbuat
dari besi dan lancip, dengan tepat mengenai tenggorokan
seorang pengawal berbaju hitam, dengan suara jeritan ngeri
kontan ia terguling roboh, ujung tatakan lilin itu menembus
tenggorokannya. Di sebelah sana, berkat Yu-liong-pokiam, Teng Hiau-lan
beru-lang kali berhasil membabat kutung senjata para
pengawal. Sementara itu Sat Thian-toh yang tadi tertutuk oleh Ie Lancu
dan menggelongsor roboh, kini perlahan-lahan rasa sakit
dan linu-nya sudah mulai hilang, hanya saja tenaga masih
belum pulih selu-ruhnya. Demi melihat Yu-liong-kiam yang
bersinar menyilaukan, ia tidak mau tinggal diam, mendadak ia
melompat bangun terus rae-ngirim pukulan ke depan.
Namun Teng Hiau-lan sudah bukan Teng Hiau-lan yang
dulu lagi, segera ia pun putar pedangnya dan menusuk dari
samping dengan cepat. Karena takut kepada Pokiam yang tajam luar biasa itu, Sat
Thian-toh tak berani sembarang menangkis.
"Hai, bocah, serahkan saja pedangmu!" gertaknya.
Mendadak ia menerobos dari samping, tangan kiri bermaksud
merebut pedang Hiau-lan dengan Kim-na-jiu-hoat, yakni ilmu
menangkap dan me-megang yang lihai.
Ia mengira kepandaian Teng Hiau-lan masih rendah, tentu
tidak tahan sekali serang saja, ia tidak tahu bahwa sesudah
Hiau-lan belajar selama lima tahun kepada Nyo Tiong-eng,
ilmu silatnya sudah banyak maju. Meski Nyo Tiong-eng belum terhitung tokoh silat kelas
wahid, tetapi dibanding dengan Siang-mo pun selisih tak
banyak, apalagi yang Nyo Tiong-eng latih adalah Thi-cio-sintan,
sebaliknya Lwe-kangnya pun ajaran asli Ko-yang-pay
yang terkenal. Setelah belajar lima tahun, dasar Teng Hiau-lan
sudah bertambah kuat, Kiam-hoat-nya juga sudah jauh lebih
hebat daripada dulu, lebih-lebih "Tui-hong-kiam-hoat" yang
dimilikinya mempunyai kecepatan luar biasa.
Karena memandang enteng musuh, tanpa pikir Sat Thiantoh
menubruk maju dengan Kim-na-jiu tadi, ia tidak
menyangka Teng Hiau-lan bisa membaliki tangan, Pokiamnya
berbalik dari bawah menuju ke atas terus menusuk dengan
cepat. "Kena!" terdengar Hiau-lan membentak.
Sat Thian-toh sudah merasakan sodokan tongkat Ie Lan-cu
tadi, maka gerak tubuhnya rada lamban, keruan saja
lengannya yang kasar besar itu terluka. Yu-liong-pokiam yang
tajamnya lain dari yang lain itu menancap masuk ke dalam
daging sedalam hampir lima senti.
Saking sakitnya Sat Thian-toh menggerung keras. "Bocah
ku-rang ajar, bagus kau!" bentaknya. Sesudah itu, ia tidak
menukar se-rangannya, bahkan ia meneruskan dua tangannya
yang memang sudah terulur tadi untuk menangkap ke
bawah. Sat Thian-toh berjuluk Tay-lik-sin-mo atau iblis sakti
bertena-ga raksasa, oleh karena itu, tenaga kedua tangannya
ini sungguh tidak kecil. Pokiam Teng Hiau-lan beruntung bisa mengenai musuh,
kini ia belum sempat menarik kembali, mendadak kedua
tangan musuh secepat kilat telah menyambar tiba sampai di
atas kepalanya, tiada jalan lain, terpaksa ia hanya pejamkan
mata menantikan ajal. Dalam sekejap ia merasa kulit kepala seperti kena teriris
pisau, pedas dan sakit. Sekonyong-konyong terdengar Sat
Tbian-toh ber-siul aneh, seketika itu juga Teng Hiau-lan
merasakan atas kepalanya menjadi enteng.
Waktu ia membuka mata, dilihatnya Si-nio sedang memutar
pedang secepat angin memaksa Sat Thian-toh mundur ke
belakang. Ia coba meraba atas kepalanya, terasa sedikit
mengeluarkan darah dan rambutnya pun sudah terftubut
sebagian. Sungguh hebat sekali tenaga pukulan Sat Thian-toh tadi,
hanya kena sambaran angin pukulannya saja sudah begitu
lihai, apa-lagi kalau terkena betul-betul, pasti akan terhantam
hancur lebur! Diam-diam Hiau-lan bersyukur dirinya terhindar dari bahaya
dan berbareng pula merasa sangat berterima kasih kepada Lu
Si-nio. Sementara itu, pasukan pengawal tadi telah mengepung
maju. Melihat musuh tangguh sudah mundur, semangat"Teng
Hiau-lan terbangkit kembali, segera ia ayun tangan,
segenggam senjata rahasia Hui-bong dihamburkan dan
memenuhi ruangan itu dengan membawa suara mendesir.
Para pengawal belum pernah kenal senjata rahasia Huibong,
oleh sebab itu yang berkepandaian agak rendah, segera
terluka bebe-rapa orang. Dalam pada itu, Ong Cun-it yang ditinggalkan Lu Si-nio
tadi, setelah dapat merebut sebatang golok dari salah seorang
penga-walnya dengan sekali melayang ia memapaki Teng
Hiau-lan. "Teng-hengte, serahkan saja pedangmu itu padaku!"
katanya dengan tertawa. "Kita sekali bertemu lantas cocok,
sudah pasti aku takkan menyuruh mereka melukaimu!"
Hiau-lan menjadi murka. "Sia-sia saja kau berlaku sopan,
tak tahunya kau adalah Jay-hoa-cat, perbuatanmu rendah dan
kotor, si-apa sudi mengikat persaudaraan dengan manusia
rendah macam kau ini!" dampratnya tanpa ragu-ragu.
Menyusul pedangnya bekerja dengan kencang, secara
bertubitubi ia menyerang dengan tipu "Kau-goan-hian-ko" (monyet
menyu-guh buah), terus "Sian-jin-ki-lo" (dewa menunjukkan
jalan) dan menyusul pula "Hiong-khe-jio-bi" (ayam jago


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berebut beras), beruntun ia cecar Ong Cun-it.
Melihat kekalapan orang, sambil menangkis serangan itu,
Ong Cun-it tertawa terbahak-bahak. "Hahaha! Apakah Jayhoacat itu?" katanya. "Teng-hingte, kau bilang aku Jay-hoa"
Apa kau tidak kha-watir ditertawai tokoh Bulim yang berada di
sini?" "Apa" Tokoh Bu-lim?" jawab Teng Hiau-lan dengan gemas.
"Kalian gerombolan binatang ini tidak lebih berharga daripada
ka-wanan anjing!" Sembari mendamprat, senjata di tangannya
tak pernah kendor, berulang-ulang ia menusuk.
Menghadapi serangan itu, Ong Cun-it ternyata inasih
bergelak tertawa. Ketika goloknya bergerak, hanya sekali ayun
dan memben-tur, pedang Teng Hiau-lan terguncang pergi,
menyusul ia memba-cok pula pergelangan tangan pemuda itu.
Namun Hiau-lan tak gampang menyerah mentah-mentah,
dengan cepat ia melompat ke samping, kemudian merangsek
maju. Meski ilmu silat Ong Cun-it lebih tinggi dari Teng Hiau-lan,
tapi kalau hendak merebut pedangnya, dalam sekejap saja tak
mung-kin terkabul keinginannya itu.
Sementara itu, pasukan pengawal sudah datang makin
banyak. Dengan memainkan Hian-li-kiam-hoat, Lu Si-nio kembali
ber-hasil melukai Sat Thian-toh, sesudah itu lekas ia mundur
ke belakang dan sejajar dengan Teng Hiau-lan untuk
menghadapi musuh yang jauh lebih banyak.
Berkat Kiam-hoat Lu Si-nio yang sangat lihai, ditambah
pedang Teng Hiau-lan yang teramat tajam, para pengawal itu
tak bera-ni sembarang mendekat, namun dalam jumlah
banyak melawan sedikit, lagi pula permainan golok Ong Cunit
termasuk kepandaian hebat ajaran Siau-lim-pay, maka Lu Sinio
dan Teng Hiau-lan berulangulang juga hams menghadapi
serangan berbahaya. Dalam pada itu, le Lan-cu yang seorang diri menempur
Liau-in Hwesio, Thian-yap Sanjin dan Haptoh bertiga yang
tergolong jago silat kelas wahid, walau tidak dapat menang
dalam waktu sing kat, namun keadaannya jelas berada di atas
angin. Liau-in bertiga hanya bisa saling bahu-membahu
mempertahankan diri. Tetapi ketika nampak barisan pengawal berbondongbondong
membanjir datang dan seluruh ruangan penuh sesak,
Ie Lan-cu me-ngerut kening. Diam-diam ia minta ampun
kepada arwah leluhur ka-rena terpaksa ia hams melanggar
pantangan membunuh. Mendadak Kiam-hoatnya berubah, hanya tertampak sinar
pe-rak bertebaran dan angin menyambar-nyambar, begitu
cepat pedang berputar serupa ratusan bahkan ribuan ular
perak yang menari kian-kemari di angkasa, karena serangan
itu, Liau-in dan kawan-kawan terpaksa harus main mundur.
Gerak tubuh Ie Lan-cu secepat angin, ia melayang
mengitari seluruh ruangan, di sini ia tusuk sekali, di sana ia
menikam lagi, ca-ra menyerangnya begitu sebat tanpa
terelakkan, para pengawal itu baru melihat bayangan orang
berkelebat di depan mata, tahu-tahu tubuh mereka sudah
kena tertusuk pedang. Dalam sekejap saja bebe-rapa puluh
anggota barisan pengawal yang membanjir ke dalam ruangan
gedung itu sudah roboh hampir separoh. di tubuh tiap orang
terkena satu dua luka tusukan.
Kiam-hoat yang le Lan-cu mainkan ini bukan lain Tui-hongkiamhoat. Cuma meski sama-sama "Tui-hong-kiam-hoat",
permain-an le Lan-cu entah berapa puluh kali lebih lihai dari
Teng Hiau-lan. Permainan ilmu pedangnya itu, sebenarnya masih
mendingan karena Ie Lan-cu menaruh belas kasihan pada
sasarannya, pedangnya hanya menusuk tempat sambungan
tulang dan tempat jalan da-rah yang tidak membahayakan
nyawa, ia hanya menghancurkan ke-kuatan bertempur pihak
musuh, tapi tidak mencelakai jiwa mereka.
Begitulah, baru sekali Ie Lan-cu mengitari kalangan, barisan
pengawal itu sudah dirobohkan separoh, bagi yang rada tinggi
ke-pandaiannya terpaksa pun harus melompat mundur ke
belakang. Nampak keadaan itu, Liau-in dan kawan-kawan terkejut,
lekas mereka mengerubut maju lagi.
Karena pertarungan yang masih berlarut-larut itu, Ie Lan-cu
berpikir, "Kalau hendak menangkap penjahat harus tangkap
pemim-pinnya dulu, Ong"Cun-it adalah kepala mereka, biar
aku tangkap dia lebih dulu, paling perlu bikin terang peristiwa
pemetik bunga itu!" Setelah ambil keputusan itu, pedangnya segera bergerak
lagi, dengan tipu "Liau-giok-hing-poh" (mengangkat lutut
melangkah ka-ki), dengan cepat ia menggeser sampai di
sebelah kanan Ong Cun-it, menyusul dengan "Giok-li-tau-so"
(gadis ayu melempar tali), sen-jatanya segera menusuk.
Untuk menghindarkan serangan itu, Ong Cun-it coba
menang-kis, tapi begitu goloknya bertemu dengan pedang,
seketika golok terkutung menjadi dua.
Nampak tuannya dalam ancaman bahaya, bukan main
terpe-ranjat dan khawatimya Liau-in, lekas tongkatnya
menyerampang untuk menolong. Berbareng kedua bandulan
Haptoh saling susul menyambar datang pula.
Sekali menggempur tidak kena sasarannya, segera Ie Lancu
dicegat lagi oleh kedua lawannya ini.
Menyaksikan cara Ie Lan-cu menyerang, tiba-tiba Lu Si-nio
sadar akan tujuan orang dan menirunya. Ia percepat
pedangnya, dengan beberapa kali serangan kilat ia dapat
menembus bendungan beberapa pengawal, sesudah itu
kakinya menutul, ia melayang ke atas, lalu dengan tipu
serangan "Thian-san-sia-ping" (gugur gunung salju di Thiansan),
mendadak ia menyerang dari atas, pedangnya mengarah
ke leher Ong Cun-it. Kini giliran Sat Thian-ji yang melihat bahaya, ia harus melindungi
majikannya, lekas ia keluarkan kepandaiannya yang
isti-mewa, yakni meniru cara elang-kucing menubruk musuh,
mendadak ia pun mumbul ke atas, tanpa memikirkan bahaya
bagi diri sendiri, ia sambut serangan Lu Si-nio di tengah udara
dengan kesepuluh kuku jarinya yang panjang.
Kepandaian dua orang ini tinggi sekali, dalam keadaan
sama-sama terapung di udara, susah untuk berkelit, karena itu
pundak Lu Si-nio segera kena dicakar sekali, sedang dada Sat
Tlian-ji pun tidak urung kena tertusuk pedang.
Sama kena dan terluka, di sinilah terlihat Lu Si-nio terlebih
ulet dan kuat, setelah kena dicakar, ia masih sempat memutar
tubuh berikut senjatanya hingga beberapa pengawal yang
menerjang maju kena dilukai lagi, menyusul pedangnya
bergerak, kembali ia arah belakang punggang Ong Cun-it.
Sebaliknya Sat Thian-ji yang merasakan tusukan pedang, ia
ja tuh ke bawah tanpa bisa berkutik lagi.
Dalam pada itu, Ong Cun-it yang sedang berlari cepat mengitari
kalangan, mendadak merasakan serangan Lu Si-nio,
Ickas ia mendakkan tubuh, sambaran angin tajam dari
belakang, sekonyong-konyong dengan gerakan "Hoan-sin-siahou"
(membalik tubuh me-manah macan). tangannya
membalik terns meraih, berbareng dua ja-n tangan kiri dengan
cepat menutuk Yau-im-hiat" Lu Si-nio, sedang
tangan yang lain menjotos ke hulu hatinya.
Itu adalah tipu serangan penolong bahaya "Hok-hou-kun",
il-mu pukulan penakluk harimau Siau-lim-pay yang terkenal,
dalam keadaan tercecar, sering bisa mengubah keadaan jadi
kemenangan. Karena pukulan yang lihai itu. terpaksa dari menyerang Lu
Si-nio berbalik harus berjaga, ia kerutkan perut dan tank
dadanya le-kas mengegos menghindari, berbarcng pedangnya
yang sudah ia tu-sukkan tadi ditarik kembali, menyusul
tusukan untuk kedua kalinya ia kinmkan pula.
Ong Cun-it yang dapat menghindarkan bahaya maut kini
sudah tenang kembali, kedua tangannya pada saat yang
sama lantas dipukulkan untuk menyerang bagian bawah Lu Sinio.
Dari samping, ada seorang pengawal berbaju hitam, kedua
tangannya mencekal dua buah gembolan besi, waktu itu juga
sedang maju dan menghantam dari atas ke bawah dengan
senjatanya itu. Pengawal ini bernama Pin Hun-eng, salah seorang
pembantu utama Haptoh, kepandaiannya pun luar biasa.
Saat serangan Lu Si-nio sudah hampir mengenai
sasarannya, mendadak dirintangi, ia menjadi gusar sekali,
tiba-tiba ia miringkan pedangnya dengan tipu serangan lihai
*Chiu-cui-hing-ciu" (perahu laju di sungai Chiu), pedangnya
menyelip lewat di antara dua gembolan
musuh yang sedang menghantam itu, dengan begitu pedangnya
tetap menusuk ke hulu hati Ong Cun-it. Pin Hun-eng memang hebat juga, cepat ia melangkah
melin-tang dua tindak, sesudah itu kedua gembolannya lantas
menggencet. Sebenamya Lu Si-nio menaksir pedangnya pasti bisa
menyelip lewat di bawah gembolan musuh, tak terduga Pin
Hun-eng yang Sudan mundur bisa maju kembali, dengan
menurunkan gembolan yang menggencet itu, seumpama Ong
Cun-it kena tertusuk oleh pedangnya,
ia sendiri pun tidak terluput dari bahaya kepala pecah dan darah mengalir.
Menghadapi bahaya yang tidak terelakkan itu, Si-nio tak
sem-pat menarik diri lagi, tanpa menghiraukan akibat yang
dihadapinya, pedangnya tetap ia tusukkan terus.
Justru pada saat yang menentukan bagi mati-hidup mereka itu, tibatiba Lu Si-nio dan Pin Hun-eng berdua sama-sama ditarik pergi ke samping oleh orang. Dengan serangan Lu Si-nio dan Pin Hun-eng berdua yang laksana anak panah terlepas dari busur, serangan hebat yang tak dapat dihindarkan, namun dengan
gampang saja ada orang mampu menarik
pergi mereka, keruan mereka jadi terheran-heran.
Ketika Lu Si-nio bisa tenangkan diri dan menarik kembali
sen-jatanya, ia lihat seorang Hwesio tua kurus, memakai
jubah warna putih, kakinya memakai sepatu buatan serat
rami, pada pergelangan tangannya tergantung serenceng
"Hud-cu" (biji tasbih), kedua ma-tanya b"erwibawa dan
mukanya keren agung. Hwesio itu sedang me-ngadang di
tengah antara dirinya dengan Ong Cun-it.
Di sebelah sana, Ie Lan-cu memainkan ilmu pedangnya
yang tiada tara itu, tengah menghujani Liau-in, Haptoh dan
Thian-yap Sanjin bertiga dengan serangan luar biasa hingga
ketiga lawannya itu merasa kerepotan, tapi mendadak melihat
seorang Hwesio me-lompat turun dari atas, sekaligus menarik
Lu Si-nio ke samping, tak tertahan ia menjadi terkejut. Cepat
ia mendesak mundur Liau-in bertiga,
kemudian selagi hendak memburu maju buat menolong kawan-nya, tiba-tiba ia sudah
mendengar suara bentakan Hwesio tua itu, "Ong Cun-it, tidak
lekas kau menyerah dan ikut aku kembali ke gu-nung?"
Mendengar itu, Ie Lan-cu tertegun.
Sementara itu terdengar Ong Cun-it telah buka suara.
"Susiok datang dari jauh, maafkan Siautit tidak bikin
penyambutan, harap Susiok suka tinggal beberapa hari di sini, Siautit masih ada
sedikit urusan, untuk kembali ke gunung, sementara belum
bisa kupenuhi!" jawabnya seakan membantah.
"Di hadapanku kau berani berlagak?" kembali Hwesio tadi
menggertak, kali ini jauh lebih bengis. "Dosamu sudah
bertumpuk, kau tidak segera ikut aku pulang ke gunung, apa
kau minta aku turun tangan sendiri di sini?"
Ie Lan-cu makin terheran-heran mendengar tanya jawab
itu, segera ia melangkah maju beberapa tindak.
Melihat Ie Lan-cu, tiba-tiba Hwesio tua itu merangkap
kedua tangan memberi hormat. "Harap Ie-lihiap maafkan aku
yang kurang sopan," ujarnya dengan menyesal sekali.
"Siauceng adalah Kam-si (pengawas biara) dari Ko-san Siaulimsi, Siau-lim-si tidak berun-tung telah mengeluarkan anak
murid rendah seperti dia ini, bukan saja mencemarkan nama
baik keluarga besar Siau-lim dan mengo-tori dunia persilatan,
bahkan Ie-lihiap juga ikut buang tenaga, sung-guh Siau-lim-si
merasa menyesal sekali. Sekarang juga aku akan
meringkusnya kembali ke gunung dan memberi hukuman
menurut tata-tertib perguruan kami, Ie-lihiap dan beberapa
sahabat ini kalau sudi mampir, silakan tinggal beberapa hari di
biara kami di Ko-san, kami Ko-san Siau-lim-si sekali-kali takkan
melindungi murid yang tak senonoh, dalam perkara ini Ielihiap
pun boleh menjadi saksi sekalian."
Sebenarnya Ie Lan-cu mencurigai Ong Cun-it adalah
anggota keluarga kerajaan, paling tidak, tentu juga orang
pemerintahan, ma-kanya berani mengambil tempat kediaman
utusan kaisar sebagai sa-rang operasi kejahatan mereka. Kini


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengar keterangan Hwesio tua itu, ia menjadi tambah tak
mengerti. Ko-san Siau-lim-si adalah pusat ilmu silat seluruh negeri,
anak muridnya tersebar dimana-mana, pengaruh besar dan
namanya yang tersohor tidak dapat ditandingi oleh cabang
persilatan lain. Lebih-lebih ketua Siau-lim-si yang dikenalnya
adalah seorang padri beril-mu, dikagumi orang-orang gagah
segenap penjuru, bila Ong Cun-it orang kerajaan, tak mungkin
ia diterima menjadi anak murid Siau-lim-si.
Oleh karena pikiran itu, segera ia bertanya, "Maafkan bila
aku bertanya, sebutan apa di antara Taysu dengan Pun-khong
Taysu?" "Pun-khong Taysu adalah Suhengku, sayang beliau sudah
wa-fat tahun lalu," jawab Hwesio tua itu. "Murid murtad ini
justru mu-rid beliau dari kalangan orang biasa. Kini yang jadi
ketua pengurus biara kami adalah Samsute, Bu-cu Siansu!"
"O, kalau begitu engkau tentulah Pun-bu Taysu bukan?"
tanya le Lan-cu. "Memang tidak salah," sahut Hwesio itu dengan
mengangguk kepala. "Dengan Leng-tayhiap (Leng Bwe-hong)
pernah kami ber-jumpa satu kali, sudah lama aku bermaksud
naik ke Thian-san buat menyambangi Lihiap, tapi karena
perjalanan sangat jauh, ditambah banyak pekerjaan biara
yang mengganggu, maka hingga kini mak-sud itu belum
terkabul. Kali ini tanpa sengaja aku telah membikin kaget
Lihiap, sungguh memalukan dan hams disesalkan!"
Atas keterangan itu, diam-diam le Lan-cu pun raerasa malu
di-ri. Mengapa tidak ingat masih ada seorang Pun-bu Siansu.
Pun-bu Siansu ini adalah ahli "Siau-lim-sin-kun", yakni ilmu
pukulan sakti ajaran Siau-lim-si, kepandaiannya tidak di bawah
Su-hengnya, yaitu Pun-khong Hwesio. Kalau diurut,
tingkatannya memang sederajat dengan le Lan-cu.
Kali ini rupanya sama-sama ingin menyelidiki peristiwa aneh
itu dan masing-masing tidak mengetahui. Andaikan le Lan-cu
me-ngetahui ada tokoh berkepandaian tinggi seperti Hwesio
itu, tentu juga akan menaruh curiga ada hubungannya dengan
kejadian aneh itu dan menggeledah barang-barangnya. Maka
sekarang ia pun tidak heran kalau kamar hotelnya digerayangi
Pun-bu. Karena itu, ia pun tidak menyalahkan Pun-bu Siansu,
hanya dalam hati ia masih heran melihat usia Pun-bu Siansu
yang sudah lanjut, mengapa Ginkangnya masih begitu hebat"
Padahal kepandaian Pun-bu Siansu dan le Lan-cu hanya
setanding saja, cuma le Lan-cu lebih dulu telah mencurahkan
perhatian pada Pek Thay-koan, oleh karena itu ia menjadi
lengah dan tidak memperhatikan bahwa dirinya pun sedang
dikuntit Pun-bu Siansu. Demikianlah, sementara itu Liau-in Hwesio, Thian-yap
Sanjin dan Haptoh bertiga sudah mundur ke belakang, mereka
mengambil tempat kedudukan yang bisa saling bahumembahu
melindungi Ong Cun-it. Nampak Thian-yap Sanjin, Pun-bu Taysu lantas merangkap
ta-ngan menjalankan penghormatan lagi.
"Sudah lama Pinceng mengagumi nama Thian-yap Toheng
yang maha besar, tapi entah mengapa Toheng sekarang sudi
melindungi murid durhaka ini dan membantu kejahatan?"
dengan suara lantang ia bertanya.
Belum sampai Thian-yap Sanjin menjawab, tiba-tiba Liau-in
sudah menyela dengan bentakannya, "Pun-bu Taysu, kau
enak-enak tinggal di atas Ko-san, mengapa mendadak datang
ke sini dan ikut campur urusan tetek-bengek?"
Atas teguran itu, Pun-bu Taysu mengibaskan kebutnya.
"Rupanya kau adalah kepala dari Kanglam-pat-hiap, Liau-in
Taysu bukan?" sahutnya kemudian. "Kabarnya Taysu paling
belakang ini banyak hidup senang dan menerima undangan
Hongcu segala serta telah
diangkat menjadi Po-kok Siansu.
Pinceng tidak lebih hanya rak-yat kecil dari pegunungan, mana
berani dengan sebangsa Kok-su yang agung. Walaupun
Pinceng ada juga sedikit hubungan persaha-batan dengan
Tok-pi-sin-ni, tapi karena tidak satu pintu perguruan, karena
itulah Pinceng tidak suka ikut campur urusan orang lain,
terhadap muridnya yang durhaka, aku enggan ikut campur
mengu-rusnya. Aku kira peraturan yang ditetapkan oleh Tokpisin-ni pasti masih ada, dengan sendirinya ada orang dari
perguruannya sendiri yang bakal tampil ke muka. Tay-kok-su
menuduh aku ikut campur urusan tetek-bengek, entah
dasarnya diambil dari mana?"
Pun-bu Taysu sebenarnya hanya tahu kalau Liau-in sudah
menerima undangan Si-hongcu, tapi ia tak tahu bahwa Thianyap
Sanjin pun sudah diundang juga. Karena itu,
perkataannya yang panjang lebar tadi secara halus
mengandung sindiran, ia tahu jelas, Liau-in adalah murid
pertama Tok-pi-sin-ni, tetapi sengaja tak mau mengajtakannya,
dengan begitu jauh lebih tajam daripada terangterangan
mendamprat Liau-in. Sebab itulah, bukan saja Liau-in yang saking malunya
berubah menjadi murka, bahkan Thian-yap Sanjin juga tidak
terkecuali, selu-ruh mukanya menjadi merah padam.
"Si gundul tua Pun-bu, aku menghormati kau sebagai orang
tua, maka aku menasihati kau secara baik-baik, apa kau kira
aku ta-kut padamu?" bentak Liau-in sembari menggeraki
tongkatnya. Melihat sikap orang yang congkak itu, Pun-bu Siansu
tertawa dingin. "Usiaku sudah tua dan kepandaianku rendah, mana aku
berani berlaku sombong dan menjagoi Kangouw seperti kaum
Ho-sing-siau-pwe (kaum muda dan tingkatan rendah)?"
sahutnya kemudian dengan mengejek. "Aku menghargai Taykoksu punya nasihat dan tidak ikut campur urusan orang lain
di kalangan Kangouw, tapi soal Sutit dari perguruan kami
sendiri, tentunya aku boleh mengurusnya! Aku pun hendak
Kelana Buana 8 Kedele Maut Karya Khu Lung Elang Terbang Di Dataran Luas 2

Cari Blog Ini