Joko Sableng 33 Dewa Cadas Pangeran Bagian 3
lambat, akhirnya Joko hanya bisa kerahkan tenaga dalam untuk melindungi diri dan memandang gerakan
kaki kanan Guru Besar Liang San yang berkelebat ke
arah bahu kirinya!
Bukkk! Pendekar 131 perdengarkan seruan tertahan. Saat
bersamaan sosoknya kembali mencelat lalu terjerembab di atas tanah.
Saat sosok murid Pendeta Sinting mencelat, Guru
Besar Liang San tak berdiam diri. Dia ikut berkelebat.
Dan begitu tubuh Joko terjerembab di atas tanah, kaki
kiri Guru Besar Liang San kembali bergerak kirimkan
tendangan! Namun kali ini Joko tahu jika tendangan
kaki orang lebih dahsyat dari yang pertama!
"Celaka kalau aku hanya diam saja! Tapi bagaimana
lagi"!"
Baru saja Joko bergumam begitu, kaki kiri Guru
Besar Liang San telah menghajar bagian lambungnya!
Untuk kesekian kalinya sosok murid Pendeta Sinting
tersapu deras sebelum akhirnya jatuh bergulingan di
atas tanah dengan mulut kucurkan darah!
Mungkin sudah merasa kesakitan dan tak mau terus-terusan jadi tumpuan hajaran pukulan orang, begitu menghantam tanah, Joko segera kerahkan tenaga
dalam pada kedua tangannya.
"Aku tak bisa berdiam diri! Dia sudah sangat keterlaluan! Tampaknya dia bukan lagi ingin mencobaku,
tapi sudah ingin mencabut nyawaku!"
Di seberang sana, Guru Besar Liang San memperhatikan sejenak. Lalu melompat. Namun kali ini Guru
Besar Liang San tidak langsung membuat gerakan. Dia
berhenti empat langkah dan tegak dengan mata mendelik besar. Pendekar 131 bergerak bangkit. Setelah usap kucuran darah di mulutnya dia buka suara.
"Orang tua! Mengapa kau hendak membunuhku"!"
Guru Besar Liang San tertawa. "Tidak mudah membunuhmu, Anak Muda! Jika orang lain, sudah pasti
dia mampus!"
"Aku tak mengerti maksudmu!" Murid Pendeta Sinting masih pura-pura tidak tahu ke mana arah bicara
Guru Besar Liang San.
"Kau memang tidak menghindar atau menghadang
pukulanku! Aku tahu.... Itu kau lakukan agar aku percaya jika kau memang tidak
pernah atau punya ilmu
silat! Tapi aku bukan orang bodoh, Anak Muda.... Justru ketahanan tubuhmu
membuat aku jadi yakin! Bukan saja kau memiliki ilmu silat tinggi, namun tenaga dalammu juga luar biasa!"
"Ah.... Tentu kau main-main dengan ucapanmu!
Kau salah duga...!"
Guru Besar Liang San geleng kepala. "Aku belum
pernah salah menduga orang! Kau mau lihat satu bukti"!" Guru Besar Liang San melangkah.
Khawatir akan apa yang hendak dilakukan orang,
Joko gerakkan kaki melangkah mundur. Guru Besar
Liang San tertawa bergelak seraya hentikan langkah
dan berkata. "Kalau kau bukan dari kalangan persilatan, tentu
kau tidak akan membawa sebuah senjata!" Sepasang
mata Guru Besar Liang San mengarah pada pinggang
kiri Joko di mana tersimpan Pedang Tumpul 131.
"Sialan! Dia sudah tahu...," bisik Joko lalu tersenyum dan angkat suara. "Orang tua... Sebuah senjata
bukan satu bukti. Siapa saja bisa membawanya!"
"Anak muda.... Aku tak ingin berdebat! Dan meski
kau tidak berkata jujur padaku, namun kali ini aku
masih bisa memakluminya! Mungkin saja kau masih
meragukan diriku.... Tapi kuharap kau sekarang mau
berterus terang padaku!"
Joko geleng kepala. "Aku sudah berterus terang!"
Guru Besar Liang San tidak pedulikan jawaban murid Pendeta Sinting. Sebaliknya dia segera ajukan
tanya. "Anak Muda.... Siapa kau sebenarnya"!"
"Aku tadi telah mengatakannya padamu!"
"Aku bukan orang yang mudah dikelabui! Kalau
kau sudah merahasiakan kepandaianmu, jangan harap aku percaya dengan dua nama yang tadi kau katakan!" "Kalau begitu terserah.... Yang jelas, itulah namaku!
Atau barangkali kau akan memberikan satu nama lagi
buatku"!"
Lagi-lagi Guru Besar Liang San tidak hiraukan sahutan Joko. Dia ajukan tanya sekali lagi. "Anak Muda.... Siapa kau sebenarnya"!"
"Ah.... Karena kau tidak percaya, sekarang sesukamulah mengatakan siapa aku sebenarnya...."
"Hem.... Begitu"! Baik.... Aku ingin buktikan kalau
aku belum pernah salah menduga orang!" kata Guru
Besar Liang San seraya dongakkan kepala.
Pendekar 131 menatap wajah Guru Besar Liang San
dengan dada berdebar. "Kalau dia benar dengan dugaannya, apa hendak dikata! Hanya saja aku dapat gambaran tentang orang ini! Dari sikap dan lagaknya, ten-tu dia tokoh terpandang di
Perguruan Shaolin. Sementara dari beberapa cerita yang kudengar, aku bisa sim-pulkan, setelah kejadian
di Perguruan Shaolin, tokoh yang paling dipandang di Perguruan Shaolin tinggal
orang yang bernama Guru Besar Liang San! Hem...."
"Anak muda! Bukankah kau seorang pemuda dari
negeri seberang laut"!" kata Guru Besar Liang San
sambil tertawa.
Pendekar 131 tercengang. Namun dia tak mau larut
dalam keterkejutan. Dia segera pula tengadahkan kepala. Lalu berkata.
"Orang tua! Bukan kau saja yang tak mudah dikelabui, tapi aku juga tidak gampang ditipu...." Joko sengaja hentikan ucapannya
sesaat sambil tertawa. La-lu menyambung. "Bukankah kau adalah Guru Besar
Liang San"!"
Kalau tadi Joko tercengang mendapati orang telah
menebak dengan betul, kali ini Guru Besar Liang San
ganti yang tercekat tegang!
"Dia baru saja berada di negeri ini. Tentu belum banyak yang dia kenal. Aku juga baru pertama kali bertemu.... Tapi bagaimana mungkin dia bisa mengetahui
siapa diriku"! Hem.... Tapi itu tak jadi masalah! Yang jelas, sekarang aku yakin
dialah orang yang kucari!"
Guru Besar Liang San membatin. Lalu bersuara.
"Anak asing! Aku bukan saja tahu siapa dirimu sebenarnya! Tapi juga tahu kalau kau akan datang ke
tempatku! Bahkan aku tahu apa tujuanmu!"
Murid Pendeta Sinting tidak menyahut. Guru Besar
Liang San lanjutkan ucapan. "Sekarang akulah orang
yang berkuasa di biara Perguruan Shaolin. Dan aku
tahu, saat ini kau membawa sesuatu milik Perguruan
Shaolin! Aku tak ingin membuat urusan denganmu,
namun itu jika kau mau serahkan barang milik perguruan yang sekarang ada di tanganmu!"
Lagi-lagi Pendekar 131 sempat kaget mendengar
ucapan Guru Besar Liang San. "Hem.!.. Jadi dia sudah tahu semuanya.... Dan dari
sikapnya, jelas dialah
Guru Besar Liang San!" Joko kembali membatin sebelum akhirnya berkata.
"Guru Besar Liang San! Kau menduga aku membawa sesuatu milik Perguruan Shaolin. Mau katakan padaku, benda apa yang kau maksud"!" Joko coba memancing untuk yakinkan diri.
Guru Besar Liang San edarkan pandang matanya
berkeliling sebelum berucap. "Seluruh kaum dunia
persilatan di negeri ini telah tahu jika Perguruan Shaolin menyimpan sebuah peta
wasiat. Konon pula beberapa tokoh mengincar peta itu sejak beratus tahun
yang lalu. Namun tidak seorang pun yang berhasil. Selain terjaga ketat, peta
wasiat itu sengaja dipisah...."
Guru Besar Liang San hentikan keterangannya. Sementara Pendekar 131 dengarkan dengan seksama.
"Beberapa waktu yang lalu...." Guru Besar Liang San
lanjutkan keterangan. "Seorang kepercayaan shaolin
diberi tugas untuk mengambil sebagian peta wasiat di satu tempat karena hari
dibukanya peta wasiat itu
hampir tiba. Selain itu, pimpinan tertinggi shaolin dalam keadaan sakit keras.
Namun tampaknya ada orang
yang berkhianat dalam tubuh Perguruan Shaolin! Dia
sengaja memotong rencana dengan jalan menghadang
orang kepercayaan shaolin! Bahkan dia sengaja bersekongkol dengan orang di luar Perguruan Shaolin. Tapi Yang Maha Belas Kasih
rupanya masih melindungi.
Menurut yang kudengar, orang kepercayaan shaolin telah tewas dalam mengemban tugas. Namun sebelum
itu dia telah memberikan peta wasiat pada seseorang...." Untuk kedua kalinya Guru Besar Liang San hentikan ucapannya. Kali ini dia memandang tajam pada
murid Pendeta Sinting sebelum akhirnya berkata.
"Aku sangat bersyukur kau sampai di tempat ini
dengan selamat. Dan tentu kau akan memberikan peta
wasiat itu kembali, karena kaulah orang yang telah diberi peta wasiat oleh orang
kepercayaan shaolin!"
Guru Besar Liang San tersenyum. Saat yang sama
kedua tangannya menjulur ke depan membuat sikap
seperti orang meminta.
"Anak muda.... Kau telah berjasa besar pada Perguruan Shaolin. Walau kau bukan orang shaolin, dengan jasamu itu, kau akan kuangkat sebagai keluarga
besar shaolin! Pintu Perguruan Shaolin kapan saja terbuka untukmu.... Dan kau
juga perlu tahu.... Beberapa waktu yang lalu, telah terjadi musibah besar yang menimpa Perguruan Shaolin.
Seorang Maha Guru Besar dan Guru Besar telah jadi korban. Sementara seorang Guru Besar satunya lagi lenyap entah ke mana.
Saat ini akulah yang menjadi penguasa sementara. Untuk itulah, kuharap kau mau serahkan peta wasiat itu padaku! Lagi pula peta
wasiat itu tentu tak ada gunanya berada di tanganmu, karena sebagiannya masih
tersimpan di Perguruan Shaolin!"
Guru Besar Liang San anggukkan kepala dengan
bibir sunggingkan senyum. Kedua tangannya digerakgerakkan. Murid Pendeta Sinting ikut-ikutan sunggingkan senyum. Lalu berkata.
"Terima kasih atas semua keteranganmu. Tapi
sayang.... Kau terlambat memintanya padaku!"
*** SEMBILAN GURU Besar Liang San tegak dengan paras beruban. Senyumnya pupus berganti seringai dingin. Kedua tangannya ditarik pulang. Saat lain dia berkata
dengan suara bergetar.
"Terlambat bagaimana"!"
Joko tidak segera sambuti ucapan orang. Sebaliknya terdiam beberapa lama seraya terus tersenyum.
Guru Besar Liang San mulai geram. Dia kembali hendak buka mulut. Namun kali ini Joko mendahului.
"Guru Besar Liang San.... Dua hari sebelum peristiwa musibah yang kau ceritakan, aku bertemu dengan
Guru Besar Pu Yi! Karena aku hanya sebagai orang
yang disuruh menyampaikan, begitu Guru Besar Pu Yi
meminta peta wasiat itu, aku memberikannya...."
Sepasang mata Guru Besar Liang San terbeliak besar dengan pelipis bergerak-gerak. Sekujur tubuhnya
bergetar. "Kau jangan mengarang cerita, Anak Muda!"
"Kau bisa menanyakannya pada Guru Besar Pu
Yi...!" "Dia telah tewas!"
"Ah.... Sayang sekali. Padahal tujuanku ke sini hendak menemuinya! Aku semula sudah hendak pulang
kampung ke negeri asalku. Namun di tengah jalan aku
sempat mendengar kejadian di Perguruan Shaolin. Karena aku orang baru aku sempat salah jalan saat menuju kemari hingga baru hari ini aku tiba. Aku memang mendengar beberapa pimpinan shaolin terbunuh, tapi aku tidak menduga jika Guru Besar Pu Yi
ikut pula terbunuh...."
"Aku tidak percaya keteranganmu!"
"Waduh.... Kalau begitu repot! Padahal aku telah
mengatakan apa yang kulakukan."
"Anak muda! Kau telah tahu peta wasiat di tanganmu tidak ada gunanya buatmu! Aku minta padamu
untuk serahkan padaku dengan baik-baik! Apalagi kau
tahu peta wasiat itu hak Perguruan Shaolin!"
"Aku telah memberikannya pada Guru Besar Pu Yi!
Berarti hak Perguruan Shaolin telah kuberikan! Dan
harap kau tahu.... Karena aku tahu peta wasiat itu tidak ada gunanya buatku,
maka peta itu kuberikan pada Guru Besar Pu Yi! Kalau tidak, pasti peta wasiat itu akan kupakai sendiri!"
"Hem.... Apakah mungkin Pu Yi benar-benar telah
menerimanya dari anak ini"!" Guru Besar Liang San
membatin. "Lalu diam-diam dia bersekongkol dengan
Wu Wen She! Dan saat terjadi peristiwa berdarah malam itu, Wu Wen She sengaja meloloskan diri dengan
membawa peta wasiat itu.... Tapi kalau benar, mengapa mereka berdua tidak mengambil sekalian yang berada di kotak di ruang penyimpanan"! Bukankah kalau hanya separo tidak ada artinya"!" Guru Besar
Liang San dilanda kebimbangan. "Tapi kalau benar peta wasiat itu telah diserahkan, tak mungkin anak ini muncul lagi di tempat ini!
Keterangannya kalau ingin bertemu dengan Pu Yi mungkin hanya alasan! Bahkan
mungkin saja dia telah membuat satu rencana dengan
Pu Yi!" Membatin begitu, akhirnya Guru Besar Liang Sah
angkat suara. "Anak Muda! Kalau benar kau telah serahkan peta wasiat itu, tentu aku mengetahuinya! Ka
Joko Sableng 33 Dewa Cadas Pangeran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rena aku masih termasuk orang yang harus tahu semua rahasia Perguruan Shaolin! Jadi kalau Pu Yi tidak membicarakannya, berarti peta wasiat itu masih
ada di tanganmu! Aku minta padamu dengan baikbaik. Kalau kau tak mau, aku juga bisa berlaku kasar!"
"Guru Besar Liang San.... Apakah dalam ajaran
shaolin dibolehkan memaksa seseorang sekaligus bertindak kasar terhadap seseorang yang telah memberi
keterangan"!"
Tampang Guru Besar Liang San laksana disemburati kobaran api. Kedua pijakan kakinya bergetar. Saat lain terdengar bentakannya
menggelegar. "Tutup mulutmu, Anak Muda! Dalam urusan ini
jangan sangkut pautkan masalah ajaran! Ini adalah
urusan hak milik! Kau harus serahkan milik seseorang yang berada di tanganmu!"
"Aku telah menyerahkan!" Joko ikut membentak.
"Kau berdusta!"
"Kau tadi juga berdusta tentang siapa dirimu! Kalau
kau sebagai Pimpinan Perguruan Shaolin boleh berdusta, mengapa aku tidak"!"
Gemuruh amarah Guru Besar Liang San sudah
sampai ke ubun-ubun, namun nyatanya orang ini masih coba menahan diri. Dia terdiam beberapa saat untuk menenangkan diri sebelum akhirnya berkata.
"Anak muda! Sekarang katakan saja apa maumu
sebenarnya!"
Mendengar ucapan Guru Besar Liang San, murid
Pendeta Sinting tertawa. "Guru Besar.... Seharusnya
aku yang bertanya seperti yang kau tanyakan! Meskipun jawabannya sudah pasti kau tahu!"
"Baik. Aku telah memberi kesempatan padamu, namun kau nyatanya tidak menggunakan. Sekali lagi aku
minta padamu untuk serahkan peta wasiat itu!"
Joko gelengkan kepala. Namun baru saja kepalanya
bergerak, Guru Besar Liang San telah melompat. Saat
bersamaan kedua tangannya berkelebat menyambar ke
arah lambung murid Pendeta Sinting.
Karena sudah waspada, begitu kedua tangan Guru
Besar Liang San berkelebat, Joko cepat menyingkir.
Kedua tangannya disentakkan ke depan menghadang
sambaran kedua tangan Guru Besar Liang San.
Bukkk! Bukkk! Dua pasang tangan tampak sama terpental. Namun
Guru Besar Liang San tidak menunggu lagi. Meski dia
sedikit terkejut karena kedua tangannya terpental di-hadang tangan lawan, dia
cepat tarik pulang kedua
tangannya lalu ditakupkan di depan dada. Kejap lain
kaki kanannya ditarik ke belakang. Tiba-tiba kedua
tangannya di buka lalu dihantamkan ke depan.
Joko merasakan sosoknya tersapu gelombang angin
dahsyat. Dia cepat siapkan pukulan 'Lembur Kuning'
karena yakin gelombang pukulan yang dilepas Guru
Besar Liang San tidak bisa dipandang remeh. Namun
belum sempat Joko hantamkan kedua tangannya lepaskan pukulan 'Lembur Kuning', Guru Besar Liang
San telah merangsek maju dengan kedua tangan berkelebat. Joko urungkan niat lepas pukulan. Sebaliknya angkat kedua tangannya lalu menghadang gerakan kedua
tangan Guru Besar Liang San.
Begitu kedua pasang tangan bertemu di udara,
mendadak Guru Besar Liang San gerakkan kesepuluh
jari tangannya sarangkan totokan dahsyat ke arah kedua tangan murid Pendeta Sinting!
Pendekar 131 cepat sadar. Kedua tangannya segera
ditarik pulang sedikit ke belakang. Lalu lima jari tangan kanan ditekuk
membentuk bundaran. Saat lain
disentakkan menghadang sepuluh jari tangan Guru
Besar Liang San.
Takkk! Takkkk! Guru Besar Liang San tersentak kaget. Dia rasakan
menyentuh bara panas luar biasa. Hingga begitu kesepuluh jari tangannya bentrok dengan tangan Joko, dia cepat tarik pulang
tangannya. "Hem.... Anak ini tampaknya menguasai aliran
'Sembilan Gerbang Matahari'! Apa hubungannya dengan Bu Beng La Ma..."! Mustahil kalau di seberang
laut sana ada aliran jurus 'Sembilan Gerbang Matahari'! Jangan-jangan aku salah alamat menduga siapa
sebenarnya anak ini!" Guru Besar Liang San membatin
seraya salurkan tenaga dalam pada kedua tangannya
yang masih terasa panas.
Seperti diketahui, Pendekar 131 memang sempat
mendapat ilmu jurus 'Sembilan Gerbang Matahari' dari Bu Beng La Ma. (Lebih
jelasnya silakan baca serial Jo-ko Sableng dalam episode: "Kuil Atap Langit ).
"Anak asing! Apa hubunganmu dengan Bu Beng La
Ma"!" Guru Besar Liang San ajukan tanya.
"Seharusnya kau bertanya sendiri pada Bu Beng La
Ma. Karena jika aku yang jawab, aku takut kau tidak
akan percaya! Yang pasti, aku tidak kenal dengan orang yang namanya baru kau sebut! Kau mau percaya
atau tidak, terserah!"
Guru Besar Liang San mendengus marah. Dia tarik
kedua tangannya ke depan dada. Sepasang matanya
dipejamkan. Joko maklum apa yang akan dilakukan
orang. Dengan cepat dia kerahkan hampir setengah
dari tenaga dalamnya pada kedua tangan. Saat kemudian kedua tangannya ditarik ke belakang siap menghadang pukulan orang dengan lepaskan pukulan 'Lembur Kuning'. Guru Besar Liang San buka kedua tangannya lalu
dihantamkan dengan telapak terbuka. Dua gelombang
dahsyat berkiblat. Tanah di tempat itu langsung bergetar dan bertabur ke udara.
Murid Pendeta Sinting tak mau tinggal diam. Kedua
tangannya segera disentakkan. Satu sinar kuning disertai gelombang dan hawa panas menyengat melesat.
Bummm! Bummm! Dua ledakan keras terdengar. Joko tampak tersapu
empat langkah dan terhuyung-huyung dengan air muka berubah pucat pasi. Kedua tangannya berputar balik ke belakang. Dadanya laksana terhantam batu besar hingga mulutnya megap-megap!
Namun rasa sakit pada dada dan nyeri pada kedua
tangan Joko laksana lenyap tatkala dia melihat bagaimana Guru Besar Liang San
tetap tak bergeming dari
tempatnya tegak! Malah sepasang kakinya tampak
amblas masuk ke dalam tanah sebatas mata kaki!
Belum hilang rasa kejut Joko, mendadak di depan
sana Guru Besar Liang San gerakkan kedua tangannya
menakup kembali ke depan dada. Joko tak mau bertindak ayal. Sebelum orang sempat lepaskan pukulan
kedua kalinya, kali ini murid Pendeta Sinting telah
mendahului dengan lepaskan pukulan 'Lembur Kuning'. Untuk kedua kalinya sinar kuning berkiblat disertai
gemuruhnya gelombang dan hawa panas.
Tapi Pendekar 131 sempat terkejut demi melihat
Guru Besar Liang San tidak coba gerakkan tangan, untuk menghadang atau membuat gerakan menghindar!
Dia tegak diam dengan kedua tangan di depan dada
dan mata terpejam.
"Celaka! Bagaimana ini"! Mengapa dia tidak berbuat
sesuatu"!" Joko khawatir. Dan ketika hantaman sinar
kuning kian dekat dan Guru Besar Liang San tidak juga membuat gerakan, Joko buka mulut berteriak.
"Cepat menyingkir!"
Namun teriakannya bukan saja terlambat, tapi juga
tertelan oleh gemuruh suara pukulan itu sendiri, hing-ga tanpa ampun lagi baik
sinar kuning maupun gelombang hawa panas pukulan 'Lembur Kuning' menghantam sosok Guru Besar Liang San!
Mungkin tidak tega melihat apa yang akan dialami
orang, begitu pukulan 'Lembur Kuning' menghantam
telak sosok Guru Besar Liang San, murid Pendeta Sinting pejamkan sepasang matanya dengan menggumam
tak jelas. "Ini bukan salahku.... Sejak semula aku tidak
punya niat untuk membunuhnya.... Aku hanya...." Joko tidak lanjutkan bisikannya tatkala mendadak terdengar suara.
"Kau kira semudah itu aku terbunuh"!"
"Heran.... Suaranya sama! Tapi apa mungkin" Jangan-jangan ada orang lain di tempat ini! Atau jangan-jangan aku sedang
bermimpi!" Joko bergumam dengan
mata masih terpejam. Dan mungkin takut kalau tengah bermimpi, tangan kanannya dicubitkan pada tangan kirinya. "Masih terasa sakit.... Berarti aku tidak sedang bermimpi! Berarti ada orang
lain di tempat ini!"
Pendekar 131 perlahan-lahan buka sepasang matanya. Seketika matanya terpentang besar tak berkesip.
Malah mungkin karena tidak yakin, kedua tangannya
digosok-gosokkan pada kelopak matanya. Lalu dibeliakkan lagi. "Aneh.... Bagaimana mungkin"! Aku tadi melihat dia
terkena pukulan 'Lembur Kuning'. Tapi orangnya tetap berada di situ! Mulutnya
tidak semburkan darah ma-lah tersenyum!"
"Ada yang hendak kau katakan, Anak Muda"!" kata
Guru Besar Liang San yang ternyata tidak cedera sama sekali, bahkan tidak
bergeming dari tempatnya semula meski baru saja terhantam telak pukulan 'Lembur
Kuning'! Laki-laki berkepala gundul ini hanya terlihat pucat dan sedikit
bergetar. Karena masih terpana dengan apa yang dilihat, pertanyaan Guru Besar Liang San membuat murid Pendeta Sinting surutkan langkah satu tindak dengan mata makin terpentang.
"Anak muda!" kata Guru Besar Liang San seraya gelengkan kepala. "Kalau kau kurang puas dan tidak yakin, kau boleh sekali lagi menyerangku. Aku tidak
akan bergerak atau membalas!"
Habis berkata begitu, Guru Besar Liang San angkat
kedua kakinya yang masuk amblas ke dalam tanah.
Saat lain dia takupkan kedua tangannya kembali di
depan dada dengan mata dipejamkan.
Karena ditunggu agak lama Joko tidak membuat gerakan atau buka suara, Guru Besar Liang San buka
kembali kelopak matanya. Bibirnya tersenyum lalu
berkata. "Anak muda! Kau telah tahu bahwa pukulanmu tidak bisa mencederaiku, apalagi dapat membunuhku....
Sekarang aku ingin tahu apakah pukulanku juga tidak bisa melukai sekaligus membunuhmu"!"
Kuduk Joko jadi merinding. Tampaknya Guru Besar
Liang San dapat menangkap sikap orang. Hingga dengan senyum lebar dia kembali buka suara.
"Anak muda! Aku tidak bisa melukai apalagi membunuh orang. Tapi bukan berarti aku akan membiarkanmu pergi tanpa memberikan apa yang kuminta!
Dan seharusnya kau mengerti apa sebaiknya yang harus kau lakukan!"
Selesai berkata, kedua tangan Guru Besar Liang
San menjulur ke depan dan kembali membuat gerakan
sikap seperti orang meminta.
"Berikan peta wasiat itu atau aku akan mengambilnya dengan caraku sendiri!"
"Segala sesuatu harus ada imbalan baliknya! Kau
meminta tanpa menjanjikan imbalan layak. Sementara
aku memintanya dengan imbalan yang bukan saja layak namun juga nikmat!" Tiba-tiba satu suara menyahut disusul kemudian dengan suara tawa merdu. Kejap lain satu bayangan berkelebat.
Kepala Guru Besar Liang San dan murid Pendeta
Sinting sama berpaling ke arah kanan. Di sana telah
tegak seorang perempuan setengah baya berparas cantik jelita. Rambutnya hitam lebat disanggul sedikit ke atas, sebagian lagi
digeraikan ke bagian samping pipi kanan kirinya. Bibirnya merah menyala dengan
alis mata ditambah pewarna hitam. Pada lehernya yang
jenjang dan putih terlihat tato bergambar bulan sabit.
Perempuan ini mengenakan pakaian warna putih tipis
hingga lekuk tubuhnya terlihat jelas. Kepalanya mengenakan sebuah mahkota bergambar bulan sabit berwarna kuning keemasan.
"Ouw Kiu Lan!" desis Guru Besar Liang San mengenali siapa adanya si perempuan yang baru muncul.
"Bidadari Bulan Emas!" gumam Joko demi melihat
siapa adanya si perempuan.
*** SEPULUH PEREMPUAN setengah baya berparas cantik mengenakan pakaian warna putih tipis dan bukan lain memang Ouw Kiu Lan alias Bidadari Bulan Emas murid
Hantu Bulan Emas, melirik sesaat pada Guru Besar
Liang San. Saat lain perempuan ini putar diri hadapkan tubuh pada Guru Besar Liang San. Bibirnya
yang merah menyala tersenyum. Tangan kanannya sibakkan sebagian geraian rambut pada pipinya. Tangan
kiri bergerak sedikit di atas pinggulnya mengikuti gerakan pinggulnya yang
meliuk. Sepasang matanya setengah dipejamkan. Lalu terdengar suaranya.
"Sudah lama kita tidak berjumpa.... Dan sebenarnya sudah lama pula aku ingin bertemu denganmu,
Guru Besar Liang San...."
Guru Besar Liang San sesaat tadi sempat tergetar
melihat gerakan Bidadari Bulan Emas. Namun dia segera alihkan pandang matanya ke jurusan lain. Sementara Pendekar 131 mendelik dengan dada berdebar. Namun murid Pendeta Sinting ini tak hendak alihkan pandangannya dari sosok
Bidadari Bulan Emas.
"Bidadari Bulan Emas!" kata Guru Besar Liang San.
"Harap kau suka tinggalkan tempat ini!"
Joko Sableng 33 Dewa Cadas Pangeran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bidadari Bulan Emas hentikan liukan pinggulnya.
Kedua tangannya ditarik ke atas didekapkan pada dadanya. Tetap dengan senyum mengembang dia angkat
suara. "Rupanya hari ini kau lain dari biasanya. Dan harap
kau tahu, untuk kali ini rasanya aku tak dapat memenuhi permintaanmu...."
Guru Besar Liang San sentakkan kepala menghadap Bidadari Bulan Emas. "Tampaknya dia sudah tahu
urusan! Hem.... Apa boleh buat. Kalau dia tak bisa di-jinakkan dengan kata-kata,
terpaksa aku melenyapkannya juga!"
Membatin begitu, Guru Besar Liang San segera
angkat suara. "Bidadari Bulan Emas! Sebenarnya apa
maumu"!"
"Kita punya maksud sama, Guru Besar.... Namun
aku datang dengan membawa imbalan yang tidak kau
tawarkan pada pemuda itu! Tapi aku bukanlah orang
yang tidak adil. Kalau kau mau tawaranku, aku juga
akan memberimu imbalan pantas!" Habis berkata begitu, kedua tangan Bidadari Bulan Emas diturunkan ke
bawah. Kaki kanannya diangkat. Dengan bibir tetap
tersenyum perlahan-lahan perempuan berparas cantik
ini tarik pakaiannya ke atas!
Joko makin melotot melihat gerakan kain putih milik Bidadari Bulan Emas yang pelan-pelan menyingkap
hingga menampakkan kemulusan betis dan pahanya!
"Edan! Pahanya mulus dan kencang...," desis murid
Pendeta Sinting dengan dada makin berdebar. Dan entah karena terkesima dan tak sabar melihat gerakan
singkapan kain yang terlalu pelan-pelan, Joko tundukkan sedikit kepalanya dengan
tubuh sedikit dibungkukkan! Tampaknya Bidadari Bulan Emas dapat melihat gerakan Joko. Dengan melirik, perempuan ini gerakkan
tangan kiri. Lalu perlahan-lahan pula tangan kirinya menarik pakaian yang masih
membungkus kaki kirinya!
"Astaga! Perempuan ini benar-benar nekat! Tapi
sayang jika pemandangan ini dibiarkan, berlalu begitu saja! Siapa tahu, dia
tidak mengenakan pakaian dalam...."
"Cukup!" Tiba-tiba terdengar bentakan dari mulut
Guru Besar Liang San tatkala singkapan pakaian Bidadari Bulan Emas dua jengkal lagi sampai di pangkal pahanya.
Bidadari Bulan Emas hentikan gerakan kedua tangannya. Namun perempuan ini tidak berusaha menutup kembali pakaiannya yang telah tersingkap.
"Guru Besar Liang San.... Kudengar suaramu bergetar.... Harap dimaafkan. Aku hanya ingin menunjukkan kalau imbalan yang akan kuberikan sangat layak!
Kau nanti bisa menikmatinya sepuasmu.... Bahkan
aku telah menyediakan tempat yang pantas pula! Kau
tak perlu khawatir ada orang yang tahu.... Karena aku yakin, kau pasti masih
takut untuk melakukannya!
Sebab mungkin baru pertama kali ini kau akan menikmatinya sepanjang usiamu...."
"Amitaba...," gumam Guru Besar Liang San sambil
pejamkan sepasang matanya dengan dada bergemuruh
karena tadi sempat melihat singkapan paha Bidadari
Bulan Emas. Di lain pihak, Joko tambah pentang mata
apalagi dia tahu Bidadari Bulan Emas tidak memandang ke arahnya.
"Bidadari Bulan Emas!" kata Guru Besar Liang San
dengan suara setengah tersendat dan agak bergetar.
"Sekali lagi kuminta kau segera tinggalkan tempat ini!
Imbalan apa pun yang akan kau berikan, aku tidak
akan tertarik!"
"Hem.... Betul begitu"!" tanya Bidadari Bulan Emas.
Saat bersamaan tiba-tiba perempuan ini putar tubuh
menghadap Pendekar 131.
Murid Pendeta Sinting gelagapan dan buru-buru luruskan tubuh dengan mata diarahkan ke jurusan lain.
Namun wajahnya berubah merah padam.
Bidadari Bulan Emas tersenyum. "Pendekar 131!
Bagaimana dengan kau"! Apakah juga tidak tertarik
dengan imbalan yang kujanjikan"! Bahkan untukmu,
aku masih menambah dengan tawaran yang pernah
kukatakan tempo hari!"
Seperti diketahui, Pendekar 131 memang sempat
bertemu sebelumnya dengan Bidadari Bulan Emas.
Saat itu Bidadari Bulan Emas menjanjikan memberi
perahu dan pengawalan sampai Joko menyeberang
laut. (Lebih jelasnya baca serial Joko Sableng dalam episode : "Kuil Atap Langit
). "Hem.... Ternyata mereka sudah pernah bertemu
sebelum ini!" kata Guru Besar Liang San dalam hati.
Matanya tetap dipejamkan. Namun orang ini diamdiam kerahkan tenaga dalam dan pasang telinga baikbaik. "Kau tidak menjawab. Berarti kali ini kau setuju
dengan tawaranku!" kata Bidadari Bulan Emas saat ditunggunya murid Pendeta Sinting tidak buka mulut.
Perempuan ini segera lepaskan pegangannya pada kain
bawahnya. Lalu melangkah ke arah Joko.
"Jangan bergerak dari tempatmu!" Mendadak Guru
Besar Liang San perdengarkan bentakan. Matanya tetap terpejam meski kini wajahnya dihadapkan lurus
pada Bidadari Bulan Emas.
Bidadari Bulan Emas hentikan langkah. "Guru Besar.... Aku telah menawarkan sesuatu padamu dan
kau tidak setuju. Berarti di antara kita tidak ada lagi
urusan! Sekarang kuharap kau tidak ikut campur urusanku! Ini urusan kenikmatan antara aku dengan pemuda itu.... Atau barangkali kau sekarang berubah pi-kiran"!"
Guru Besar Liang San buka matanya. "Aku harus
selesaikan dulu urusanku dengan pemuda itu. Setelah
itu silakan kau urusi tawaranmu dengannya!"
"Sayang sekali.... Mungkin kau belum tahu. Urusan
kenikmatan tidak bisa ditunda-tunda, Guru Besar!"
kata Bidadari Bulan Emas dengan sunggingkan senyum lalu berpaling pada Joko dan berkata. "Bukankah begitu, Pendekar"!"
Habis bertanya, Bidadari Bulan Emas lanjutkan
langkah. Joko pandang silih berganti pada Guru Besar Liang San dan Bidadari
Bulan Emas. "Tunggu!" Joko berseru ketika melihat Bidadari Bulan Emas terus melangkah ke arahnya sementara
Guru Besar Liang San tidak membuat gerakan atau
buka suara. Namun Bidadari Bulan Emas tidak pedulikan ucapan orang. Dia teruskan langkah meski sesekali ekor
matanya melirik pada Guru Besar Liang San.
"Tunggu!" kembali Joko berteriak dengan kedua
tangan diangkat memberi isyarat agar Bidadari Bulan
Emas hentikan langkah.
Bidadari Bulan Emas hentikan langkah dengan bibir tersenyum. "Pendekar 131.... Kau tak usah khawatir! Aku yang menawarkan. Jadi aku yang berhak memilih.... Dan aku jatuhkan pilihan padamu! Lagi pula Guru Besar itu tidak
tertarik pada tawaranku. Tapi
mungkin penolakannya itu karena ada kau di sini....
Meski begitu, aku tidak akan mengecewakan orang...."
Bidadari Bulan Emas menoleh pada Guru Besar Liang
San. "Guru Besar.... Aku akan mengatakan satu tempat padamu. Setiap saat tempat itu akan terbuka untuk kedatanganmu. Dan kau boleh...."
Belum sampai Bidadari Bulan Emas teruskan ucapan, Guru Besar Liang San telah menyahut. "Jangan
mimpi kau bisa membodohiku! Sekali lagi kuperingatkan untuk segera tinggalkan tempat ini!"
"Baik!" kata Bidadari Bulan Emas dengan masih
tersenyum. Dia berpaling pada Joko. "Pendekar 131...
Dia tidak senang dengan keberadaan kita.... Sebaiknya kita turuti kemauannya!"
"Kau datang sendiri! Jangan berlaku bodoh pergi
mengajak orang lain!" Guru Besar Liang San membentak. "Hem.... Baik!" ujar Bidadari Bulan Emas dengan
memandang pada murid Pendeta Sinting. Perempuan
ini kedipkan sebelah matanya. Lalu berpaling dan tengadah seraya berkata. "Kita
lihat nanti. Apakah pemu-da itu akan ikut denganmu yang tidak menawarkan
apa-apa atau ikut denganku yang menjanjikan kenikmatan luar biasa!"
Habis berkata begitu, Bidadari Bulan Emas gerakkan tubuh memutar setengah lingkaran. Saat berikutnya dia melangkah hendak tinggalkan tempat itu.
"Hem.... Perempuan ini tentu tahu banyak. Aku akan mengikutinya meski aku harus lebih waspada!"
Joko akhirnya memutuskan. Lalu berteriak.
"Bidadari! Tunggul Aku ikut denganmu! Aku ingin
kenikmatan luar biasa itu!"
Joko berkelebat ke depan. Namun Guru Besar Liang
San tidak tinggal diam. la cepat melesat ke depan dan menghadang.
"Anak muda! Serahkan dulu apa yang kuminta! Setelah itu silakan kau bersenang-senang dengannya!"
"Aku telah menyerahkannya pada Guru Besar Pu Yi!
Dan harap tidak menghalangiku.... Kau tahu, tawaran
menarik ini tidak selamanya bisa didapati perempuan
cantik. Tubuhnya bahenol dan kulitnya mulus...."
Bidadari Bulan Emas hentikan langkah dengan dahi
berkerut. "Apa benar dia telah serahkan peta wasiat itu pada Guru Besar Pu Yi"!
Celaka kalau hal ini benar-benar terjadi.... Padahal Guru Besar Pu Yi telah
tewas. Tapi kalau benar, mengapa Guru Besar Liang San masih memintanya pada pemuda itu"! Hem.... Ini ada dua kemungkinan. Pemuda itu
benar-benar telah memberikan peta wasiat pada Guru Besar Pu Yi dan Guru Besar Pu Yi sengaja merahasiakannya. Kedua, pemuda
itu hanya membuat alasan! Tapi aku tak boleh siasiakan kesempatan ini! Dia tadi telah memutuskan untuk ikut denganku! Hem.... Ucapan Guru ternyata benar. Aku harus menghadapi laki-laki bukan dengan
pukulan, tapi dengan cara lain...."
Setelah membatin begitu Bidadari Bulan Emas balikkan tubuh lalu berkata.
"Guru Besar Liang San.... Kau telah dengar jawaban
dan permintaan orang. Harap kau suka membiarkannya pergi!"
"Dia tak akan pergi!"
"Hem.... Kau menolak dan tidak tertarik dengan tawaranku. Sebaliknya kau menghalangi dia pergi. Aku
jadi khawatir. Jangan-jangan kau selama ini punya se-lera dengan sesama jenis!"
Tampang Guru Besar Liang San berubah tegang
dan merah padam. Dia balikkan tubuh menghadap Bidadari Bulan Emas.
"Aku telah cukup bersabar. Namun ucapanmu sudah sangat keterlaluan!"
"Kau yang terlalu karena hendak menghalangi
orang yang ingin bersenang-senang!"
Guru Besar Liang San tak bisa lagi menahan gejolak
amarah. Tangan kanannya diangkat. Namun dia tidak
segera lepas pukulan. Sementara di seberang, Bidadari Bulan Emas tersenyum dan
berkata. "Aku telah turuti permintaanmu. Datang sendiri
dan akan pergi sendiri pula. Tapi aku tidak akan tinggal diam kalau kau halangi
orang yang akan ikut denganku!" Bidadari Bulan Emas teruskan pandang matanya
lewat pundak Guru Besar Liang San ke arah Pendekar
131 yang tegak di belakang Guru Besar Liang San.
Dengan tersenyum, Bidadari Bulan Emas berseru.
"Pendekar 131! Tentunya kau sudah tak sabar...."
"Ah.... Benar!" sahut murid Pendeta Sinting sebelum
ucapan Bidadari Bulan Emas selesai. "Kita teruskan
rencana!" Belum sampai ucapannya selesai, Joko telah berkelebat melewati Guru Besar Liang San dan tahu-tahu
sosoknya telah tegak menjajari Bidadari Bulan Emas.
Saat lain Joko menggandeng tangan si perempuan lalu
balikkan tubuh. Bidadari Bulan Emas sempat terkejut
dengan sikap Pendekar 131 yang berubah seketika.
Karena pada pertemuan pertama, Joko tampak tidak
tertarik sama sekali meski sempat terpesona dengan
paras dan sikap orang.
Bidadari Bulan Emas tersenyum dan menggenggam
erat tangan Joko. Kejap lain perempuan ini ikut balikkan tubuh.
*** SEBELAS GURU Besar Liang San makin berang. Tangan kirinya segera diangkat menjajari tangan kanannya. Kejap lain kedua tangannya
dihantamkan ke arah Pendekar
131 Joko Sableng dan Bidadari Bulan Emas yang hendak berkelebat tinggalkan tempat itu.
Namun sebelum dua gelombang dahsyat berkiblat
dari kedua tangan Guru Besar Liang San, mendadak
udara di tempat itu disemburati kilauan cahaya putih.
Guru Besar Liang San berpaling ke arah sumber cahaya dan cepat tadangkan kedua tangannya di depan
mata karena silau. Sementara di depan sana, Pendekar 131 dan Bidadari Bulan Emas
urungkan niat berkelebat. Malah karena silau, kedua orang ini cepat lepaskan genggaman tangan masing-masing dan segera
di-tadangkan di depan mata.
"Apa yang terjadi"!" tanya murid Pendeta Sinting.
"Aku juga tak tahu! Tapi jelas ini bukan ulah manusia gundul itu! Ada orang lain yang melakukannya!"
jawab. Bidadari Bulan Emas seraya palingkan kepala
dengan tangan masih di depan mata.
Begitu Guru Besar Liang San, Pendekar 131, dan
Bidadari Bulan Emas tadangkan masing-masing tangan, mendadak semburatan cahaya lenyap. Masingmasing orang sama turunkan tangan lalu memandang
ke satu arah. Tiga puluh langkah di seberang sana terlihat satu
Joko Sableng 33 Dewa Cadas Pangeran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
benda bulat berupa batu putih yang bergerak terayunayun di ujung sebuah tambang. Tambang itu lurus ke
atas ke sebuah rimbun dedaunan sebatang pohon besar. Guru Besar Liang San tersentak. "Dia!" desisnya
dengan mata bergerak mengikuti tambang yang masuk
ke rimbun dedaunan.
Di lain pihak, murid Pendeta Sinting dan Bidadari
Bulan Emas gerakkan kepala ke arah rimbun dedaunan di mana tambang berujung batu putih berasal.
Namun sejauh ini, baik Guru Besar Liang San, Pendekar 131, maupun Bidadari Bulan Emas belum melihat
siapa-siapa. Hanya saja, Guru Besar Liang San sudah
bisa menebak siapa adanya orang di balik rimbun dedaunan. "Kau tahu siapa yang membuat permainan ini"!"
Joko kembali bertanya.
Sepasang mata Bidadari Bulan Emas turun naik
memperhatikan tambang dan batu putih yang bergoyang-goyang. "Tak mungkin!" desisnya.
Joko menoleh. "Apa yang tak mungkin"!"
"Tak mungkin dia! Tapi...."
"Dia siapa"! Tapi apa"!" Joko terus bertanya seolah
tak sabar karena Bidadari Bulan Emas tidak segera
menjawab. Belum sampai Bidadari Bulan Emas buka mulut lagi, tiba-tiba rimbun dedaunan bergerak. Satu sosok
tubuh meluncur ke bawah. Bersamaan dengan itu batu bulat putih di ujung tambang melesat ke atas. Lalu melayang ke bawah tepat di
depan wajah orang ketika
sosok yang meluncur dari rimbun dedaunan injakkan
kaki di atas tanah. Hingga baik Guru Besar Liang San, Joko, dan Bidadari Bulan
Emas tidak bisa melihat raut wajah orang!
"Astaga! Tampaknya memang dia!" desis Bidadari
Bulan Emas dengan wajah berubah tegang.
"Dari tadi kau terus berkata dia! Dia dan dia!" Pendekar 131 menggerendeng. Sementara sepasang matanya menatap tak berkesip ke depan. Malah karena ingin melihat tampang orang, dia gerakkan kepala ke
samping kanan. Namun di depan sana, orang yang baru meluncur dari atas pohon ikut gerakkan kepala dan kakinya bergerak satu
tindak ke samping kiri. Hingga Joko, gagal melihat wajah orang.
"Heran! Dia sepertinya malu-malu tunjukkan tampang!" gumam murid Pendeta Sinting. Kini dia coba gerakkan kepala ke samping
kiri. Bersamaan dengan itu, orang di depan sana juga gerakkan kepala. Aneh-nya,
meski wajahnya tertutup bundaran batu putih, orang
ini seolah tahu ke mana gerakan kepala Joko!
"Busyet! Ada apa dengan orang ini" Mengapa wajahnya takut dipandang orang"!" Joko terus bergumam.
Dan mungkin penasaran, Joko gerakkan kepala ke
samping kanan kiri.
Di depan sana, orang yang wajahnya tertutup batu
putih goyangkan pantatnya. Tambang yang bagian
pangkalnya ternyata berada di punggungnya serentak
bergerak-gerak. Batu putih di ujung tambang bergoyang-goyang seirama gerakan kepala Pendekar 131!
Murid Pendeta Sinting mulai dongkol. Dia berkelebat ke samping dengan kerahkan tenaga dalam hingga
gerakannya hampir sulit ditangkap mata biasa. Namun
orang di depan sana cepat putar diri setengah lingkaran! Hingga kembali Joko
tidak dapat melihat wajah
orang. "Jangkrik! Aku bisa gila sendiri jika terus turuti orang itu!" Joko balikkan
tubuh lalu melompat lagi dan tegak menjajari Bidadari Bulan Emas dengan tampang
"Menurut yang kudengar, dia akan selalu berbuat
begitu jika ada orang memaksakan diri hendak melihat wajahnya. Tapi jika orang
berlaku biasa saja, kadang-kadang dia akan tunjukkan wajahnya...." Bidadari Bulan Emas berbisik.
"Kalaupun dia nanti tunjukkan tampang, aku tidak
akan melihatnya! Daripada melihat tampang yang begitu-begitu, lebih baik melihatmu!" Joko menyahut seraya melotot pada Bidadari Bulan Emas. Yang dipeloto-ti tersenyum dan busungkan
dada. Dan merasa khawatir munculnya orang akan menambah urusan, Joko
segera angkat suara pelan. "Bidadari.... Kita harus segera pergi! Biarlah orang
aneh itu jadi urusan Guru
Besar Liang San.... Kita punya acara sendiri, bukan"!"
Bidadari Bulan Emas lebarkan senyum. Kepalanya
bergerak mengangguk. Mulutnya membuka. Namun
sebelum suaranya terdengar, orang yang wajahnya tertutup batu putih dan tidak lain adalah Dewa Cadas
Pangeran perdengarkan suara.
"Kalau akan bersenang-senang, mengapa tidak mengajakku ikut serta"! Apakah aku tidak pantas untuk
ikut menikmatinya"!"
Semua yang ada di tempat itu terkesiap mendapati
orang telah tahu maksud Bidadari Bulan Emas dan
murid Pendeta Sinting.
"Busyet! Bagaimana dia bisa tahu maksud kita"!
Jangan-jangan dia sudah sejak tadi berada di sekitar tempat ini dan mendengarkan
semua pembicaraan ki-ta!" kata Joko. Kepalanya berpaling ke arah Dewa Cadas Pangeran. "Bidadari.... Dia bisa merusak acara
asyik kita!"
"Hem.... Kehadirannya benar-benar akan menghalangi langkahku! Apa yang harus kulakukan"! Menurut yang kudengar, dia berilmu sangat tinggi! Belum
lagi harus menahan gerakan Guru Besar Liang San...."
Diam-diam Bidadari Bulan Emas membatin. Lalu berbisik pada Joko. "Pendekar 131.... Kita belum tahu apa maksud dia sebenarnya.
Lebih baik kita bicara baik-baik dahulu. Kau tahu.... Dia adalah tokoh negeri
ini dari generasi lama. Itulah sebabnya mengapa aku tadi hampir tidak percaya dengan
kemunculannya. Sebab
beberapa tokoh yang satu angkatan dengan dia sudah
banyak yang meninggal! Lagi pula namanya sudah jarang sekali disebut-sebut orang...."
"Aku tak pernah merasa punya urusan dengan dia!
Kalau kau ingin bicara, bicaralah! Dan peduli setan
siapa dia sebenarnya!" Joko sambuti ucapan Bidadari
Bulan Emas dengan dada tetap mendongkol karena sikap orang. "Pendekar 131.... Kau memang tak punya urusan
dengan dia. Tapi kau harus sadar, siapa pun saat ini pasti merasa punya urusan
denganmu! Kau tentu tahu
urusan apa itu...."
"Persetan dengan segala macam urusan! Kalau kau
tak ingin pergi, aku akan pergi sendiri!" Joko sudah hendak gerakkan tubuh.
Namun tangan kanan Bidadari Bulan Emas cepat mencekal lengannya dan berkata. "Aku akan bicara dengannya! Kau harus dengar dan tahu apa maksud dia
sebenarnya! Setelah itu baru kita pergi!"
Setelah berkata begitu, masih cekal lengan murid
Pendeta Sinting, Bidadari Bulan Emas angkat suara.
"Kalau tak salah, bukankah yang ada di hadapanku
saat ini adalah Dewa Cadas Pangeran"!"
Guru Besar Liang San yang sedari tadi tegak diam
dan memperhatikan pada Dewa Cadas Pangeran tampan terlengak. "Astaga! Mengapa aku lupa"! Rasanya aku memang
pernah dengar nama itu!" gumam Guru Besar Liang
San sekali lagi perhatikan orang dengan lebih seksama. "Mungkin ini karena aku terlalu tenggelam memikirkan peta wasiat itu!"
Dewa Cadas Pangeran perdengarkan suara tawa
pendek. Namun meski semua orang menunggu ucapannya, kakek ini tidak juga angkat suara, membuat
Bidadari Bulan Emas berkata lagi.
"Orang tua! Siapa pun kau adanya, harap kau katakan apa maksudmu sebenarnya!"
"Orang cantik! Aku ingin tanya. Apakah orang sepertiku ini tidak pantas mendapat kenikmatan"!"
"Siapa pun berhak mendapatkannya!"
"Kalau begitu, bagaimana kalau aku ikut bersama
denganmu"! Bukankah kau hendak bagi-bagikan kenikmatan"!"
Paras wajah Bidadari Bulan Emas berubah memerah. Namun perempuan ini menahan gejolak geramnya
dengan tersenyum dan berkata.
"Orang tua! Sebenarnya aku memang ingin mengajakmu ikut serta dan membagi kenikmatan denganmu. Tapi sayang sekali.... Hari ini aku telah menentukan pilihan.... Lagi pula
aku tidak biasa membagi kenikmatan dengan orang yang belum kukenal!"
"Ah.... Kau berpura-pura. Bukankah kau telah tahu
namaku"!"
"Hem.... Jadi benar dia adalah Dewa Cadas Pangeran!" Guru Besar Liang San dan Bidadari Bulan Emas
sama membatin. Bidadari Bulan Emas melirik sesaat pada Guru Besar Liang San. "Hem.... Dewa Cadas Pangeran mungkin
masih bisa diajak kompromi. Aku akan memanfaatkan
dia untuk menghadang gerakan Guru Besar Liang
San...." Setelah membatin begitu, Bidadari Bulan Emas arahkan wajahnya pada Dewa Cadas Pangeran dan berkata. "Dewa Cadas Pangeran! Karena aku telah tahu siapa kau, dan demi agar kau tidak kecewa, aku akan
mengajakmu ikut serta dan aku berjanji akan membagi
kenikmatan pula denganmu!"
Dewa Cadas Pangeran perdengarkan tawa panjang.
Batu putih di depan wajahnya bergoyang-goyang, keras mengikuti gerakan kepala orang yang tersentaksentak. Sementara Pendekar 131 tampak terlengak
mendengar ucapan Bidadari Bulan Emas. Di lain pihak, Guru Besar Liang San makin tidak enak. Tampaknya dia sadar, kalau benar Dewa Cadas Pangeran
hendak ikut Bidadari Bulan Emas, maka dia harus
berhadapan dengan tiga orang. Sementara murid Pendeta Sinting membatin.
"Celaka kalau dia hendak ikut serta! Aku yakin,
meski dia mengatakan ingin merasakan kenikmatan,
tapi sebenarnya dia akan mengikutiku! Pasti dia sudah tahu tentang peta wasiat
itu!" "Bidadari!" kata Joko. "Aku tak ingin ada orang lain di antara kita! Sekarang
kau harus putuskan. Memilih dia atau aku!"
"Ha.... Ha.... Ha...! Tak usah khawatir, Anak Muda!"
Tiba-tiba Dewa Cadas Pangeran angkat suara. "Bukan
saja kau yang tak ingin diikuti orang lain! Aku pun
demikian! Aku tak ingin kau ada di antara aku dan Bidadari Bulan Emas!"
Bidadari Bulan Emas terkesiap. Bukan saja karena
ucapan Dewa Cadas Pangeran yang membuatnya bingung, namun ternyata Dewa Cadas Pangeran telah
tahu siapa dirinya!
"Bidadari Bulan Emas!" Dewa Cadas Pangeran kembali perdengarkan suara. "Sekarang keputusan ada di
tanganmu! Kau memilih aku atau dia yang ikut dan
berbagi kenikmatan denganku!"
Bidadari Bulan Emas eratkan cekatannya pada lengan Pendekar 131 dan berbisik. "Pendekar 131....
Tentu aku akan memilihmu! Tapi sengaja aku berkata
mengajaknya, untuk menahan Guru Besar Liang San!
Kau tahu, Guru Besar Liang San pun pasti masih berpikir dua kali jika harus berhadapan dengan Dewa Cadas Pangeran! Setelah itu aku tahu bagaimana caranya menyingkirkannya! Itu
urusanku! Jadi sementara ini
kau pura-pura mengalah...."
Baru saja Bidadari Bulan Emas berbisik, di depan
sana Dewa Cadas Pangeran angkat tangan kanannya.
"Bidadari Bulan Emas.... Jangan kira kau bisa membohongi diriku! Aku ingin kau memilih tanpa ada rencana tersembunyi di baliknya! Dan kau, Anak Muda
dari seberang laut! Kita sama laki-laki. Tak ada gunanya berlaku pura-pura
mengalah!"
Bidadari Bulan Emas dan Pendekar 131 saling pandang dengan wajah sama berubah. Mereka tidak menduga kalau pembicaraan mereka dapat didengar Dewa
Cadas Pangeran. Padahal jarak mereka agak jauh dan
mereka berbisik!
"Apa boleh buat!" gumam Bidadari Bulan Emas kepalang basah. Dia dongakkan kepala lalu berkata.
"Dewa Cadas Pangeran! Untuk kali ini aku memilih
pemuda ini! Tapi aku masih memberimu kesempatan
dan waktu jika kau ingin bersenang-senang denganku!" "Ah.... Rupanya hari ini nasibku tidak baik! Dan
sayangnya, kesempatan dan waktuku cuma hari ini!"
Kepala Dewa Cadas Pangeran bergerak menggeleng.
Saat lain dia berkata. "Anak muda dari seberang laut!
Bagaimana kalau hari ini kau berikan kesempatanmu
padaku"! Bukankah kau masih punya tiga hari di depan"! Lagi pula kau masih muda! Waktumu masih
panjang.... Tidak seperti diriku yang renta! Aku tak ingin sia-siakan kesempatan bagus ini!"
"Dia tahu waktuku masih tiga hari lagi! Berarti dia
tahu tentang hari ganda sepuluh! Ini satu bukti kalau dia mengerti urusan peta
wasiat!" Pendekar 131 membatin dengan dada tidak enak.
"Bagaimana, Anak Muda"!" Dewa Cadas Pangeran
ajukan tanya saat ditunggu agak lama tidak terdengar sahutan dari Pendekar 131.
Entah karena apa tiba-tiba Joko enak saja menjawab. "Baiklah! Hari ini kesempatanku kuberikan padamu!" Bidadari Bulan Emas cengkeram lengan murid Pendeta Sinting dan berbisik dengan nada ketus. "Kau tidak sungguh-sungguh,
bukan"!"
"Bidadari.... Dia mengaku telah berusia lanjut. Tak
ada salahnya kalau kau berikan satu kenangan di akhir usianya itu!"
"Tidak! Aku tidak mau pergi bersamanya!" dengus
Bidadari Bulan Emas.
Terima kasih, Anak Muda!" kata Dewa Cadas Pangeran. "Perihal dia tidak mau pergi bersamaku, itu urusanku! Yang penting kau
Joko Sableng 33 Dewa Cadas Pangeran di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
telah serahkan hakmu padaku!" Tengkuk Bidadari Bulan Emas mau tak mau jadi
dingin mendengar ucapan Dewa Cadas Pangeran. Dari
cerita yang pernah didengar, dia maklum siapa adanya Dewa Cadas Pangeran. Selain
aneh, dia memiliki ilmu
sangat tinggi dan sukar dijajaki.
Bidadari Bulan Emas melirik sesaat pada Joko. Namun sebelum dia sempat berucap, Dewa Cadas Pangeran telah perdengarkan suara.
"Anak muda dari seberang laut! Karena kau telah
serahkan kesempatanmu padaku, harap kau sekarang
segera pergi dari tempat ini!"
"Tidak ada yang akan meninggalkan tempat ini!"
"Tetap di tempat kalian masing-masing!"
Mendadak dua suara terdengar. Guru Besar Liang
San, Bidadari Bulan Emas, serta Pendekar 131 tampak
terkesiap. Kepala mereka berpaling. Hanya Dewa Cadas Pangeran yang tenang-tenang saja. Bahkan seolah
tidak pedulikan ucapan yang baru saja terdengar, laki-laki ini melangkah ke arah
Bidadari Bulan Emas!
SELESAI Segera terbit: DEWI BUNGA ASMARA
Scanned by Clickers
Edited by Adnan Sutekad
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
Document Outline
SATU *** DUA *** TIGA *** EMPAT *** LIMA *** ENAM *** TUJUH *** *** DELAPAN *** SEMBILAN *** SEPULUH *** SEBELAS SELESAI
Tiga Mutiara Mustika 1 Iblis Dan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Sejengkal Tanah Sepercik Darah 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama