Ceritasilat Novel Online

Dewi Penyebar Maut V 2

Candika Dewi Penyebar Maut V Bagian 2


Dan ia yakin lelaki bernama Wisti itu tertarik padanya.
Lalu apa yang akan dilakukannya"
Pertama, dan pasti, ia akan menyelidiki orang bernama Ra Sindura itu. Ini penting. Ia sudah begitu rindu akan masa lalunya,
hingga keterangan betapa sedikit-nya pun akan sangat didambakannya.
Yang kedua, dan pasti, ia pasti diusir oleh Bibi Emban Layarmega. Orang seberang yang lemah ini pasti
mengadu. Dan ia pasti diusir. Di samping itu, ia juga harus keluar dari sini,
jika ingin menyelidiki tentang Ra Sindura.
Lalu bagaimana" Lari saja"
Lalu... bagaimana dengan orang seberang ini"
Dengan rasa menghina Tari memperhatikan Tun Kumala. Sudah sekian lama, dan 'pemuda' itu masih berguling-guling di lantai mengurut-urut leher.
Ada kebencian di hati Tari. Pada si Tun Kumala ini.
Ia melihat Tun Kumala ini menghalanginya melayani
Wisti, lelaki pujaannya. Ia merasa terhina pula karena Tun Kumala tampak tak
begitu bersemangat untuk di-layaninya. Ia merasa 'jijik' melihat lelaki begitu
mudah menyerah oleh 'siksaannya' dan begitu gampang dikalahkannya. Ia benci
karena Tun Kumala ini adalah juga saksi tentang kegagalannya menguasai perasaan
hatinya. Dan Tun Kumala akan menjadi penyebab ia diusir dari tempat ini.
Ada segi lain dari akibat meledaknya perasaan Tari
tadi. Ledakan perasaan itu begitu besar, hingga di beberapa bagian dalam pribadi
Tari pengaruh obat pembius
bagaikan terdobrak. Ia seolah sadar dirinya punya kekuatan. Dan dengan kesadaran akan kekuatan itu timbul kesadaran akan kemenangan, kesadaran bahwa apa
pun yang terjadi ia harus menang.
Ia menjadi kejam.
Didekatinya Tun Kumala. Dicabutnya tusuk gelung
rambutnya. Digenggamnya erat-erat. Dan didekatinya
Tun Kumala yang kini telah terhuyung berdiri.
Dengan pukulan lurus, tinju terkepal erat, dihantamnya keras-keras muka Tun Kumala.
Tun Kumala menjerit. Darah muncrat dari hidung
itu. Dan ia jatuh terduduk.
Tari menyeringai. Itu tadi sesungguhnya pukulan
tanpa memakai ilmu apa pun. Hasilnya sungguh makin
membakar keganasan di hati Tari.
Disambarnya rambut Tun Kumala. Direnggutnya ke
atas. Dan tusuk gelung itu terangkat untuk dihunjamkan pada leher si pemuda seberang.
5. DI SUMUR HITAM
"TURI, hentikan!" suara itu terdengar berat. Berwibawa.
Dan dari arah yang sama sekali tak diduga. Dari jendela. Bima berdiri di sana. Entah bagaimana. Mungkin ia
meloncat dari bawah. Atau merambat lewat atap. Rasanya tubuhnya yang begitu tinggi besar itu mestinya sulit untuk bisa bergerak
gesit. Tetapi ia ada di sana. Dan melangkahi bingkai jendela. Masuk.
Tari tertegun. Tangannya berhenti berayun.
Kepalang tanggung... cepat ia meneruskan ayunan
tangannya. Bima lebih cepat lagi. Kakinya yang panjang melecut. Tari menjerit.
Tangannya serasa berderak patah. Tusuk gelungnya terlempar deras menancap di
atap. "Menyerang tamu adalah dosa tak berampun, Turi,"
kata Bima dingin, mendekat. "Apa pun alasannya. Minta maaf pada tuan ini dan kau harus masuk ruang tahanan. Sekarang juga."
"Tidak!" jerit Tari. Jika ia dimasukkan ruang tahanan, ia akan kehilangan banyak waktu untuk menyelidiki. Bahkan sangat mungkin kesempatan itu langsung
lenyap begitu saja.
"Ayolah, Turi, kau tahu peraturan di sini." Bima semakin mendekat. Sesaat ia melirik Tun Kumala yang
terkapar tak bergerak di lantai. Tapi masih hidup.
"Tidak!" Keputus-asaan membuat Tari kalap. Dengan
nekat disambarnya tempat sirih dari suasa. Dilemparkannya pada Bima. Kemudian disambarnya guci arak.
Dilemparkannya pada Bima. Disambarnya bantal kayu.
Dihempaskannya ke Bima.
Bima maju terus. Barang-barang tadi dengan mudah
ditangkisnya. Kemudian tangannya terulur. Dan sebuah
tamparan keras membuat Turi langsung roboh. Pingsan. Dengan mudah Bima mengangkat dan memanggulnya. Dan ia berpaling pada Tun Kumala yang sudah sadarkan diri dan memandang padanya dari lantai.
"Kau sadarkan diri, Tuan?" tanya Bima.
"Yy... ya... agaknya ddi...dia tiba-tiba saja gila ya...
kok... menyerang aku?" Tun Kumala bangkit berdiri,
mengurut lehernya, kemudian merapikan rambutnya.
"Itu tidak penting. Yang penting, ini jangan sampai
terdengar oleh siapa pun. Jika ini terdengar ke luar, hancurlah rumah kami ini.
Tuan mengerti?" tanya Bi-ma.
"Yyya..." Tun Kumala terlihat gemetar ketakutan.
"Sebagai imbalan, Tuan akan memperoleh layanan
tanpa harus membayar di sini. Akan kuceritakan kejadiannya pada junjunganku, Emban Layarmega. Sebagai
imbalan juga, sesuatu yang buruk akan menimpa Tuan,
keluarga Tuan, atau siapa pun di sekitar Tuan... jika peristiwa ini sampai
tersiar ke luar. Mengerti?"
"Bba... baik... wah, gara-gara ingin tidak bayar saja jadi ramai nih...." Tun
Kumala mencoba membetulkan
destarnya. Beberapa kali tak berhasil. Tangannya begitu gemetar. "Aku... aku...
aku harus bertemu dengan si
Wisti... aku harus bertemu dengan si Wisti... di mana dia, huh... di mana dia?"
Bima memperhatikan 'pemuda' tanah seberang itu.
Didengarnya dulu orang-orang Tumasik begitu jago berperang, begitu cekatan bertarung. Ilmu kewiraan mereka termasuk yang sangat menyulitkan lawan. Tetapi
pemuda ini mengapa begini melempem. Begitu penakut.
Dan... lebih heran lagi, mengapa junjungannya, Dewi
Wara Hita, tertarik pada pemuda semacam ini" Memang
tampan. Dan mungkin saja junjungannya itu belum tahu aslinya pemuda ini. Biar beliau segera tahu. Biar beliau segera melenyapkan
saja pemuda ini. Hingga... ah, ya, Bima memang sering merasa begitu berdosa, memimpikan memperoleh limpahan kasih dari junjungannya. Dan sebagai hukuman dosa itu... mungkin...
hanya Wara Huyeng yang selalu mengejar-ngejarnya.
"Wahai, Orang gagah, aku bertanya padamu!" kata
Tun Kumala yang selesai merapikan pakaiannya.
"Ah, ya... temui Emban Layarmega, dan katakan padanya bahwa Tuan sangat ingin segera bertemu dengan
Gusti... mm, Wisti.... Jangan katakan apa yang terjadi di sini, biar nanti aku
yang berbicara dengannya. Katakan saja bahwa... Turi kurang memuaskan dan Tuan
sangat merindukan Gu... Wisti...."
"Baik... tt... terima kasih...." Sekali lagi Tun Kumala membetulkan letak
destarnya. "Ingat kata-kataku tadi, Tuan, jangan katakan apa
yang terjadi di sini... kepada siapa pun."
"Ah, tentu, tentu... bukan karena aku takut kamu
bukan... Bukaan...." Tun Kumala memperbaiki letak bajunya dan kini cukup tenang untuk bersikap gagah.
"Karena memang... kejadian ini kejadian biasa. Tak per-lu dipanjang-lebarkan.
Aku tadi juga... cuma pura-pura takut saja, ingin tahu mau apa dia, hi hi hi....
Sudah ya, Bima... aku mau bertemu dengan Layarmega... he he
he...." Sambil tertawa kecil Tun Kumala berjalan ke
luar, dan setelah melemparkan senyum pada Bima yang
masih berada di dalam kamar, ia menutup pintu.
Beberapa saat Bima diam di dalam kamar itu. Didengarnya di luar pintu yang tertutup Tun Kumala masih
berdiri diam. Kemudian terdengar pemuda Tumasik itu
menjauh, menuruni tangga.
Diperhatikannya Turi yang masih pingsan.
Apa yang terjadi tadi"
Ia hanya mendengar pertengkaran terakhir mereka.
Saat itu kebetulan ia meronda di bawah kamar tersebut, di taman. Dan ketika ia
meloncat ke atas dilihatnya Turi ini akan membunuh si Tun Kumala.
Apa yang terjadi"
Siapakah sebenarnya Turi ini" Siapa dia sebelum dibawa kemari oleh Ra Wirada" Pernah Emban Layarmega menyatakan kecurigaan tentang hubungan anak ini
dengan Ra Sindura, atau paling tidak dengan ilmu kewiraan yang dimiliki Ra
Sindura. Tetapi berkat ramuan Emban Layarmega, atau memang hubungan itu tidak ada, tak nampak ilmu kewiraan itu muncul. Bahkan tadi saat kalapnya pun Turi
tidak menampilkan suatu gerakan yang patut dianggap
suatu ilmu. Kesimpulannya, kemungkinan itu tadi hanyalah luapan perasaan belaka. Bima yang begitu berpengalaman
melihat bahwa Turi ini sesungguhnya berharap untuk
bisa melayani 'Wisti'. Sungguh menggelikan.
Apa pun yang telah terjadi, Turi ini harus dihukum.
Emban Layarmega beberapa kali memuji anak ini sebagai sangat berbakat untuk menjadi wanita penghibur
kelas satu. Karenanya, jika ia berbuat kesalahan, maka ia harus dihukum seberatberatnya, agar kesalahan itu takkan pernah diulanginya seumur hidupnya.
Begitulah selalu yang diajarkan Emban Layarmega.
Begitulah yang akan dilakukannya pada anak ini.
Turi harus dimasukkan ke dalam Sumur Hitam.
Sumur Hitam memang sebuah sumur. Begitu dalam.
Begitu gelap. Dan barangsiapa yang patut dihukum berat, dimasukkan ke dalam semacam sangkar. Dari besi.
Sempit. Hanya cukup untuk satu orang. Dan sangkar
itu pun diturunkan ke dalam sumur. Terus. Hingga dasarnya hampir mencecah air di dasar sumur. Dan di
dasar sumur itu berisikan seekor ular besar. Sangat besar. Dan ular ini akan
berusaha mematuk orang yang
berada di sangkar itu.
Menurut pengalaman Bima, orang yang dihukum
akhirnya akan menjadi gila atau mati ketakutan. Selama beberapa belas tahun ini hanya ada tiga orang yang selamat dari siksaan Sumur
Hitam. Belasan lainnya kalau tidak gila ya mati ketakutan.
Kalau Turi ini tidak kuat, gila atau mati, maka ia memang tidak digariskan
Dewata sebagai seorang Emban
Layarmega yang kedua.
Bima melompat ke luar jendela. Walaupun badannya
besar dan ia pun mendukung Turi, ia bisa tiba di tanah tanpa suara.
Ini adalah taman belakang. Tak ada yang bercengkerama di sini. Dan Bima bergegas, menyelinap di antara pepohonan, kemudian
berlari mendaki bukit kecil di belakang rumah besar itu.
Di antara pepohonan terdapat sebuah gubuk kayu.
Dan di dalam gubuk itulah Sumur Hitam.
"Siapa itu?" terdengar suara tak enak, serak, dari dalam gubuk.
"Aku, Ahireng," jawab Bima singkat. "Keluarlah sebentar." "Bima, ya" Malam-malam begini... mbok ya kamu tidur sana. Mau aku berikan kau pada si Gong?"
"Jika kau tidak segera keluar, kau jadi makanan si
Gong, lho!" gerutu Bima.
"Keluar ya keluar, pakai ngancam segala. Eh... siapa
yang kaubawa, Bima?"
Dari dalam kegelapan gubuk keluar seseorang yang
sangat mirip dengan namanya, Ahireng, yang badannya
hitam-legam, gundul mengkilat di cahaya obor.
"Eh, siapa ini... bukankah ini Ning Turi, yang sangat
disayang oleh Nyai Emban?"
"Bagus juga ingatanmu," kata Bima sambil menurunkan Turi dari punggungnya.
"Dia sering kemari, membawakan aku makanan," kata Ahireng. "Kemudian dia lebih sering duduk-duduk di puncak bukit. Melamun.
Sering ia bertanya, sebetulnya dirinya itu siapa... tentu saja aku tidak tahu
dan bukan urusanku."
"Ahireng, makin lama kau makin banyak omong."
"Tentu. Habis, dengan siapa lagi aku berbicara" Aku
tak pernah pergi dari sini.... Dulu sih, Ning Turi ini juga sering mengajakku
berbicara... cuma... ngomongnya tak keruan ujung-pangkalnya. Eh, salah apa sih
dia?" "Seperti katamu tadi, bukan urusanmu," kata Bima
dingin. "Kalau yang biasa sih jelas... tapi ini kesayangan
Nyai Emban!"
"Kau kan tahu, aku diberi kekuasaan oleh Nyai Emban untuk melakukan apa saja yang kupandang perlu
dilakukan. Nah, masukkan anak ini ke dalam kerangkeng." "Mmm, baiklah." Ia membukakan pintu gubuk. Di
dalam sangat gelap walaupun sudah diterangi obor.
Kerangkeng itu tergantung di atas mulut sumur tua.
"Masukkan," kata Ahireng. "Aku tak mau menyentuhnya." Dan dibukanya pintu kerangkeng.
"Dasar pengecut," desis Bima, dan dilemparkannya
Turi ke dalam kerangkeng tersebut. Kerangkeng berguncang dan berdencing mengeluarkan suara besi. Ahireng membantingkan pintunya. "Sudah," katanya.
"Turunkan!" perintah Bima.
Gemerincing rantai pun terdengar. Kerangkeng itu
turun memasuki sumur yang begitu gelap-pekat tersebut. "Sampai bawah?" tanya Ahireng. "Sudah waktunya si
Gong diberi makanan. Ini ganas-ganasnya dia."
"Sampai bawah," kata Bima. "Angkat dia besok menjelang senja. Dan suruh dia menghadap Emban Layarmega." Tak berkata apa pun lagi, Bima berlalu.
Tari sadarkan diri oleh suatu bau yang sangat menyengat hidung. Ia melompat berdiri. Dan kepalanya
terbentur terali besi. Suasana gelap pekat. Tapi kemudian matanya terbiasa oleh
kegelapan. Dan ia hampir
pingsan lagi karena terkejutnya. Bau itu. Suara desis itu. Dan dua buah titik
cahaya hijau yang bergerak-gerak.
Ia berada di Sumur Hitam!
Ia ingin menjerit. Tapi suaranya tak keluar. Ia mundur ke bagian terjauh dari kedua titik hijau itu. Beberapa kali kakinya
terpeleset di atas terali besi di lantai.
Ia berpegang erat pada terali dinding. Napasnya serasa lenyap. Mulutnya


Candika Dewi Penyebar Maut V di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ternganga tanpa mengeluarkan suara.
Matanya terbeliak seolah tanpa kelopak.
Dan desis Ki Gong semakin keras. Matanya yang hijau terangkat ke atas.
"Tidak... tidak..." Tari ingin menjerit. Tapi suaranya tiada. Ia mencoba makin
merapat ke dinding kerangkeng. Terlihat sepasang cahaya hijau itu tiba-tiba
menyambar keras. Dan membentur kerangkeng. Kerangkeng terguncang gemerincing. Tari menjerit. Ki Gong
makin ganas. Kepalanya menyambar lagi. Mengguncang
kerangkeng makin keras. Dan semburan bau sangat tidak sedap hampir membuat Tari pingsan.
Kembali Ki Gong menghajar kerangkeng itu.
Di samping guncangan gemerincing, terdengar suara
pintu besi kerangkeng itu terbanting terbuka.
Serasa melayang nyawa Tari.
Rupanya Ahireng lupa mengancingkan pintu itu!
Kembali Ki Gong menghantam kerangkeng tersebut.
Begitu keras hingga pegangan Tari terlepas, dan hampir ia terbanting ke lantai
kerangkeng. Untung tangan Tari masih sempat menyambar sebatang terali. Dan terdengar lagi bantingan pintu besi itu.
Oh. Mungkinkah Ahireng sengaja" Sengaja tidak mengancing pintu itu dari luar" Agar... ia bisa menyelamatkan diri" Tapi
bagaimana"
Di kegelapan dilihatnya sepasang mata hijau itu bergerak. Ke arah dari mana didengarnya pintu tadi berdentang! Oh. Kalau Ki Gong bisa masuk... habis sudah
riwayatnya! Tidak. Ia tak mau mati di perut ular besar itu. Tidak!
Tari tidak boleh mati begitu saja sebelum bisa menemui guru-gurunya!
Hei! Pikiran itu lebih mengejutkan dari serangan Ki
Gong. Tari, tadi otaknya berkata. TARI! Tari! Hei. Apa itu" Sebuah nama" Nama
siapa" Apakah... namanya"
Bukankah namanya Turi" Kasturi" Tidak. Nama Tari
serasa lebih hangat. Lebih akrab. Dan... apa tadi yang terpikir olehnya"
Gurunya. GURUNYA!
Kalau Tari itu dirinya, tentunya yang disebut 'gurunya' adalah guru-nya! Jadi, dia tentu sudah pernah berguru. Berguru apa"
Gemetar seluruh tubuh Tari. Ia begitu dekat dengan
masa lalunya yang gelap. Toh belum juga bisa dijangkaunya. Kerangkeng terguncang keras lagi. Ki Gong belum
menemukan pintu itu.
Oh. Dan ia belum bisa menemukan dirinya" Betulkah dia Tari" Tidak. Ia tak mau mati sebelum menemukan siapa dirinya. Ia harus melawan. Dengan apa"
Terasa sebagian rambutnya mengusap bahunya.
Ah, ya. Tusuk gelungnya yang satu sudah lepas menancap ke dinding tadi saat ditendang oleh Bima. Masih ada satu lagi.
Dicabutnya tusuk gelung itu. Rambutnya bubar terurai. Kini ia makin nekat. Ia harus selamat!
Direnggutnya setagen- nya, hingga kainnya terlepas.
Ia tak peduli. Ia harus hidup. Dan tempat itu gelap. Tak ada yang melihatnya tak
tertutup oleh kainnya.
Gugup dibebatkannya kain itu ke tangan kirinya. Ia
tak tahu bagaimana kebiasaan ular besar itu menyerang mangsanya. Paling tidak terpikir olehnya... jika mulut ular itu ternganga,
ia akan memasukkan tangannya yang berbalut kain itu ke mulutnya, kemudian saat
ular itu mencoba menggigitnya, ia akan menusuk leher
ular itu dengan tusuk gelung dengan tangan kanannya.
Hei. Bagaimana ia bisa berpikir secermat itu, bersiasat secepat itu" Bagaimana
itu semua bisa keluar begitu
wajar dari benaknya"
Tari tak keburu berpikir lebih lanjut. Sepasang titik hijau itu tiba-tiba
terangkat tinggi. Meluncur membelok.
Langsung menuju ke arahnya!
Tari menjerit. Tangan kirinya langsung tersilang di
depan mukanya. Ia terpeleset terjatuh karena saat itu kerangkeng terguncang
keras dan kedua tangannya tidak berpegangan sama sekali.
Dan tubuhnya serasa ditubruk kuda. Tangan kirinya
terhantam keras. Secara wajar dan naluriah agaknya Ki Gong terbiasa menyerang
kepala mangsanya. Dan kepalanya yang sebesar kepala kambing itu memang langsung mencoba menyambar kepala Tari dengan mulut
ternganga. Dan mulut itu langsung menyergap tangan
Tari yang tersilang, serta terkatup padanya.
Bau yang sangat busuk hampir membuat Tari langsung tewas. Tapi ada kekhawatiran, gigi runcing Ki
Gong akan menembus lapisan kain di tangannya. Maka
tanpa berpikir panjang lagi Tari menghunjamkan tusuk
gelungnya ke leher ular raksasa itu!
Ki Gong berontak. Kerangkeng bagaikan terbanting
ke kiri dan ke kanan saat tubuh raksasa ular itu meng-gelepar meronta-ronta.
Tari terbanting. Terayun. Terhempas. Tapi ia tak mau melepaskan tusuk gelungnya,
sementara gigi Ki Gong tertancap erat pada bebatan
kain di tangan Tari. Tari terus menancapkan tusuk gelungnya. Dan dengan mengerahkan kekuatan menggores tusuk gelung yang sudah terhunjam itu memutari
leher Ki Gong. Ki Gong makin meronta. Ekornya mulai mengamuk
mencoba menghantam Tari. Tapi hantaman itu mengenai dinding kerangkeng. Ia pun berontak mengangkat
kepalanya. Dan kepala Tari terhempas ke dinding atas
kerangkeng besi itu.
Tari tak melepaskan tusuk gelungnya. Dirasakannya
tusuk gelung itu bisa dipaksakannya bergerak mengelilingi batang leher Ki Gong. Ia terus mengerahkan tena-ga. Tak peduli ia
dibanting ke kiri dan ke kanan. Dan rantai serta kerangkeng itu begitu ribut.
Tari terus menghunjamkan tusuk gelungnya. Ia makin lemah oleh bau tak sedap itu. Oleh hempasan dirinya ke terali besi. Tapi ia terus menghunjamkan tusuk gelungnya.
Akhirnya... yah... akhirnya ia akan harus menyerah.
Ia tak tahan lagi. Tangan kanannya melemas. Kakinya
melemas. Pada saat berikutnya, ia terhempas roboh. Bukan
karena kekuatannya yang menipis terkikis habis. Tapi
karena pegangannya pada Ki Gong terlepas. Kepala Ki
Gong putus, dan darah tersembur memandikan sekujur
tubuh Tari yang rubuh.
6. TUN KUMALA TUN KUMALA berhenti sejenak di depan pintu Kamar
Jingga. Ditenangkannya dirinya. Diaturnya pakaiannya.
Wah. Pengalaman yang sangat mengerikan, pikirnya.
Wanita tadi begitu galak... bagaimana kalau tadi ia berhasil membuka pakaiannya"
Wah, runyam urusannya.
Rakryan Mapatih patut didamprat!
Tun Kumala melangkah ke tangga.
Tunggu. Mengapa pikirannya begitu kacau. Ada yang lebih
penting lagi. Kalung manik kayu dewa itu. Pertama, jelas itu milik kakaknya, Ra
Sindura. Tapi kenapa wanita itu begitu kalap menanyakan siapa yang memiliki
kalung serupa"
Mungkin Turi itu cemburu. Cemburu kalau Ra Sindura memberikan kalung yang sama pada wanita lain"
Atau apakah... hei! Wanita itu malah tampaknya begitu mendendam. Apakah Kakanda
Ra Sindura telah berbuat salah padanya"
Tak terasa Tun Kumala meraba lehernya yang tadi
dicekik oleh Turi. Wanita itu begitu bernafsu untuk
membunuhnya, mungkinkah juga akan membunuh
Kakanda Ra Sindura" Masih untung Kakanda Ra Sindura sedang ditahan oleh kerajaan, hingga betapapun
mendendamnya, takkan mungkin wanita itu, atau
orang suruhannya, bisa menemukan Ra Sindura.
Memikirkan hal itu, agak ringan pikiran Tun Kumala. Memang adanya kalung kayu itu di sini merupakan
suatu penemuan besar, dan akan dilaporkannya pada
Paman... eh, Aria Sampana. Biar diurus oleh Ma... Aria Sampana si Kasturi itu.
Kurang ajar. Orang dicekik se-maunya. Bahkan mau ditusuk! Lho. Apa tidak kurang
ajar begitu itu" Ia akan menggoda Wisti tentang ini. Entah di mana saudagar yang berbau harum itu.
"Tuan mencari sesuatu?" tiba-tiba terdengar suara
lembut di sampingnya.
Tun Kumala hampir terlompat. Ternyata ia sudah
sampai di ujung kaki tangga, di ruang tengah yang ramai. Dan Emban Layarmega telah berada di dekatnya,
didampingi seorang lelaki berpakaian serba gelap, dengan tangan menggenggam hulu keris.
"Oh, Bibi Emban Layarmega! Wah, ya, aku sedang
mencari... mencari si Wisti tadi.... Ke mana dia pergi?"
"Kenapa" Bukankah Tuan masih bersenang-senang
dengan Turi" Dia wanita kami yang terbaik, lho?" Emban Layarmega memandang penuh curiga tapi tetap tersenyum. "Ah, aku begitu merasa berutang budi dengan Wisti...
jadi aku tak bisa menikmati hidangan si... Turi itu....
Rasanya lebih senang kalau berbicara dengan Wisti...
asyik rasanya!"
"Jadi, Tuan ingin segera bertemu dengannya?"
"O, tentu... kami baru bertemu tapi rasanya kok sudah bersahabat erat," kata Tun Kumala sambil melihat
berkeliling. Mana Aria Sampana"
Ia tak memperhatikan Emban Layarmega tersenyum
pada orang yang berpakaian serba gelap itu.
"Ia sudah berangkat tadi, tergesa-gesa," kata Emban
Layarmega. "Gila! Tanpa berpamitan padaku?" tanya Tun Kumala, yang sedang memikirkan Arya Sampana.
"Tuan sedang sibuk." Emban Layarmega tertawa.
"Jadi tidak sempat berpamitan."
"Tapi beliau berpesan... jika Tuan memang benarbenar ingin segera bertemu dengan beliau maka hamba
harus mengantarkan Tuan," orang berpakaian serba gelap itu berkata.
"Baik sekali kau," kata Tun Kumala, dengan agak
sombong. "Kau siapa" Anak buahnya?"
"Benar, Tuan...."
"Aku belum pernah melihatmu?" Tepat sekali Tun
Kumala membawakan peran sebagai orang kaya yang
bosan hal-hal yang terlalu biasa.
"Tentu saja belum, Tuan...." Orang itu tertawa.
"Lho!" Baru sekarang Tun Kumala sadar, mungkin
mereka berbicara tentang dua orang yang sangat berbeda. "Eh... namamu siapa?" tanya Tun Kumala.
"Hamba Kusya, Tuan."
"Dan kau disuruh mengantarkan aku ke junjunganmu" Di mana itu?"
"Hamba tak leluasa mengatakannya, namun tempat
itu kira-kira satu hari satu malam perjalanan berkuda terus-menerus tanpa
henti," kata Kusya.
"Wah... itu kan berarti... hampir sampai pantai selatan!" Tun Kumala membelalakkan mata.
"Terkaan Tuan sangat tepat." Kusya membungkuk
memberi hormat. "Pasti Tuan sangat berpengalaman dalam bepergian hingga perjalanan nanti bukanlah halangan." "Wah, ya... halangan juga, ya... aku kan tidak bisa
berangkat malam ini juga?" tanya Tun Kumala raguragu. "Tadi Tuan berkata sangat ingin segera bertemu dengan majikan hamba...." Kusya memandang sedikit tanpa hormat. "Dan beliau juga sangat ingin segera bertemu dengan
Tuan," kata Emban Layarmega sedikit menuduh.
"Jadi Tuan harus berangkat malam ini juga, sekarang juga," kata Kusya lagi.
"Tapi... mmmh... aku kan harus berganti pakaian,
menyiapkan bekal... dan wah, pasti melelahkan perjalanan terus-menerus itu." Tun
Kumala mencoba mundur,
dan matanya nyalang mencari-cari Aria Sampana.
"Tuan tak usah khawatir. Segala keperluan Tuan
akan disiapkan... semuanya yang terbaik! Jadi... berangkatlah," desak Emban Layarmega.
"Aku belum berpamitan..." Tun Kumala mencoba lagi. "Tak usah... biar nanti kami yang memamitkan pada
... pada siapa" Orang tua itu?" tanya Emban Layarmega sambil tersenyum.
"Ya... ya... suruh dia... mmmh... menyusul... dan
mendengarkan dongeng baik-baik... hi hi hi hi...." Tun Kumala tertawa geli.
Dibuat-buat, tetapi begitu persis.
Emban Layarmega ikut tertawa, dengan menekapkan
kedua telapak tangannya menutupi mulut. Ia merasa
geli melihat Tun Kumala geli. Ia sendiri tak tahu di ma-na letak lucunya kalimat
tadi. "Apakah aku boleh bertemu dengan dia sebentaaaaar
saja?" tanya Tun Kumala.
"Kusya ini sudah mau berangkat. Kalau dia terlambat, wah, bisa dihukum dia nanti. Majikannya sangat
keras... walaupun... yah, lembut juga." Emban Layarmega tersenyum.
"Berpamitan dengan... Turi juga tidak boleh?" tanya
Tun Kumala menduga-duga. Apakah Emban Layarmega
belum mengetahui apa yang terjadi"
"Dia paling sedang membersihkan diri. Sudahlah...
Tuan berangkat," kata Emban Layarmega.
"Tapi aku juga akan membersihkan diri," kata Tun
Kumala. "He, kalau begitu si Turi harus dihukum!" kata Emban Layarmega dengan nada menggoda. "Apakah dia
tadi belum membersihkan diri Tuan" Wah, wah, wah,
sungguh lalai anak itu. Biarlah kalau begitu... mari aku sendiri yang akan
membersihkan diri Tuan."
"Lho... Bibi... mau... membersihkan diriku?" Tun Kumala terperanjat.
"Lha kenapa" Aku toh belum begitu tua, bukan"
Atau mungkin Tuan memerlukan si Dati di sebelah sana
itu?" "Tidak, tidak..."
"Oh, Tuan menginginkan Kasturi" Biar kupanggil
dia," kata Emban Layarmega.
"Tidak, jangan, ah... nanti Saudara Kusya ini terlambat," kata Tun Kumala.


Candika Dewi Penyebar Maut V di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tak apalah, demi pelayanan kami pada Tuan. Mari
kuantarkan," desak Bibi Emban Layarmega.
"Ah, sudahlah... ayo, Saudara Kusya..." Cepat-cepat
Tun Kumala menghindarkan tangan Emban Layarmega
yang akan memegangnya. "Tolong sampaikan terima
kasihku pada Kasturi dan... jangan lupa pesanku pada
Kakang Aria Sampana, ya!"
Tun Kumala bergegas ke pintu besar. Kusya dan
Emban Layarmega berpandangan sejenak. Emban Layarmega menganggukkan kepala perlahan. Dan Kusya
pun bergegas mengejar Tun Kumala.
Tun Kumala cepat-cepat keluar dengan harapan bisa
melihat atau bertemu dengan Aria Sampana.
Tapi di luar hanya ada beberapa ekor kuda, beberapa
kereta, dan beberapa pengawal orang-orang 'besar' sedang duduk-duduk di sekitar sebuah kereta dan di warung penjual penganan dan minuman hangat.
Tidak ada Aria Sampana.
Dan Kusya telah menyusulnya.
"Maaf, Tuan, kuda kita ada di samping," kata Kusya.
"Tapi kudaku..." Tun Kumala baru sadar. Kudanya
dan kuda Aria Sampana telah tiada.
"Sudah dibawa ke kandang. Mari naik kuda kami,
Tuan... kuda kami istimewa."
Kuda mereka benar-benar istimewa. Untung juga Rara Sindu cukup dimanja oleh ayah dan kakaknya hingga dapat berkuda dengan baik. Dengan berbagai gaya.
Kini ia menunggang kuda itu dengan gaya seorang prajurit berkuda - tangkas, ringan, dan mengerti benar
akan tingkah kudanya. Kusya sendiri membawa tiga
orang pengawal. Seorang berkuda beberapa langkah di
depan Kusya dan Tun Kumala, yang dua berkuda di belakang mereka. Mereka berkuda cepat. Yang di depan, namanya
Ugra, membawa obor dan tahu benar keadaan jalan.
Yang di belakang, Kena dan Santen, tampaknya pendiam. Mereka berkuda cepat. Tak lama batas kota kerajaan
Kuripan telah mereka lalui. Dan mereka mulai melalui
jalan pegunungan yang terus menanjak. Di kiri-kanan
jalan hutan lebat menggelap-pekat. Tapi mereka maju
terus. Naik. Turun. Menyeberangi sungai atau anak
sungai. Sampai akhirnya Tun Kumala tidak tahan lagi. Kedudukannya serasa terbakar.
"Saudara Kusya, bagaimana kalau kita berhenti dulu" Aku sudah capek. Belum pernah aku berjalan sejauh ini tanpa istirahat."
Kusya menghentikan kudanya. Semua berhenti.
"Kalau Tuan mau menunggu, sepemakan sirih lagi
kita sampai ke desa," kata Kusya.
"Tidak ah, kalau boleh istirahat saja.... Sebentaaar
saja... daripada nanti aku jatuh lho!" kata Tun Kumala.
"Di depan ada sungai datar. Kita istirahat di sana,"
akhirnya Kusya mengalah.
Saat itu mereka sedang berada di puncak sebuah
tanjakan. Pohon-pohon raksasa mengapit jalan mereka.
Gelap-pekat. Hampir tak bisa melihat dengan siapa kita berbicara. Obor yang
dibawa Ugra sudah diganti hingga tiga kali. Dan kini pun cahayanya sudah hampir
habis. Dalam perjalanan menurun mereka terpaksa berhatihati. Turunan agak terjal, dan di kiri mereka jurang melebar tertutup oleh
pepohonan. "Masih lama?" keluh Tun Kumala setelah beberapa
saat. Kedudukannya panas. Tulang punggungnya serasa akan patah. Kelelahan dan hawa dingin membuatnya sangat merindukan tidur.
"Kita sudah sampai," Ugra yang di depan menjawab.
Jalan memang mulai agak datar. Dan sayup-sayup terdengar suara air mengalir deras.
"Ooooh... aku ingin sekali tidur," kata Tun Kumala.
"Kalau kita ingin mencapai Gusti Anom sebelum malam besok, maka kita tak boleh beristirahat lama," kata Kusya.
"Gusti Anom?" tanya Tun Kumala heran.
"Oh. Maksud hamba... majikan kami," kata Kusya.
Tun Kumala tak berbicara lagi. Ia memikirkan Aria
Sampana, Rakryan Mapatih. Dalam pesannya pada
Emban Layarmega untuk disampaikan padanya, ia menyebutkan 'dongeng'. Mudah-mudahan Aria Sampana
cukup cerdas. Yang dimaksudkannya adalah Aria Sampana harus mencoba mengikutinya dengan jalan mengikuti tanda-tanda yang ditinggalkan Tun Kumala sepanjang perjalanan - seperti di sebuah dongeng tentang
anak yang dibuang ayah tirinya ke hutan. Dan di sepanjang perjalanan tadi Tun
Kumala telah berusaha meninggalkan jejak. Kain pengusap keringat. Sekeping
uang Tartar. Robekan kainnya. Dan beberapa potong
dahan yang dipatah-patahkannya sehingga membentuk
huruf RA. Entah Rakryan Mapatih bisa melihatnya tidak. Tiba-tiba Ugra yang berjalan di depan berhenti hingga kuda-kuda mereka hampir bertubrukan.
"Ada apa?" tanya Tun Kumala.
Ugra merasa tak perlu menjawab.
Kini mereka telah berada di dataran sungai. Di depan
mereka tanah melandai, agaknya merupakan padang
rumput terbuka. Dan agak jauh di sana, kira-kira lima puluh langkah dari tempat
mereka berhenti, sebuah
sungai kecil deras mengalir. Buih putihnya terlihat di kegelapan malam. Deru
derasnya terdengar ribut.
Yang menarik perhatian adalah, dekat tepi sungai itu
terlihat sebuah api unggun. Kecil. Tapi masih berkobar terang.
"Ah, kebetulan, kita berteman!" seru Tun Kumala
dan menggertak kudanya untuk maju ke depan.
Tetapi Kusya tangkas menyambar tali kekang kuda
Tun. "Tunggu," bisik Kusya. "Kita belum tahu siapa yang
ada di sana."
"Tentu. Kan kita baru datang. Agar tahu, ya kita dekati toh?" Tun Kumala seolah heran.
"Tuan jangan gegabah... kita belum mengerti siapa
mereka.... Bisa juga rampok, kan" Bisa juga... gandar-wa, kan?" kata Kusya.
"Alaaa, kalian kira aku takut perampok" Lucu sekali." Tun Kumala berbuat seolah tersinggung. Dalam hati ia berharap-harap cemas,
mungkin saja Aria Sampana
berhasil mendahului mereka dan mencegat di situ. "Sedang gandarwa... hhh, gandarwa mana yang tak akan
ketakutan melihat muka kalian" Ayo, maju!"
Dengan cekatan Tun Kumala menggoyangkan kepala
kudanya hingga lepas pegangan Kusya. Kemudian ia
menggeprak kuda tersebut berpacu menyeberangi padang kecil itu.
Kaki kudanya membuat suara derap yang riuh di batu-batu. Ia berkuda langsung ke api unggun tadi. Kusya sendiri segera memberi
isyarat pada kawan-kawannya.
Ugra mematikan obor dan melompat turun dari kuda
serta berlari menyusuri tepi hutan ke arah hulu sungai.
Santen pun turun dari kuda dan berlari ke arah hilir.
Kena sendiri segera memacu kudanya menyusul Tun
Kumala, sambil menuntun kuda-kuda Ugra dan Santen. Kusya beberapa saat berdiam diri memperhatikan
sekelilingnya. Kemudian ia pun menjalankan kudanya,
perlahan, menyusul Tun Kumala serta Kena.
Api unggun kecil itu terletak dekat tepi sungai. Di si-tu tanahnya datar
berpasir. Sungainya jernih deras
mengalir. Ada sebuah tempat ketinggian, serta sebuah
batu besar bekas muntahan gunung. Batu itu luas sekali permukaannya. Dan datar bagaikan buatan manusia. Dari tanah di bawah tepi ujung batu, tumbuh
sebatang pohon trembesi kerdil. Kecil, memang, tapi cukup besar batangnya untuk
menahan angin dari satu
jurusan. Dan dahan-dahannya begitu rimbun dan rindang, pastilah menyenangkan beristirahat di batu itu ji-ka hari panas terik.
Dan agaknya batu itu memang selalu menjadi pilihan
untuk tempat orang beristirahat jika melewati daerah
itu. Saat itu, di malam hari yang sudah mulai mendekati pagi, di situ duduk
bersandar seorang wanita berambut putih perak, dengan pakaian kasar petani
sederhana. Wajahnya diterangi api unggun yang walaupun kecil
masih sempat bersinar cukup terang dan memberi kehangatan. Dan cahayanya cukup untuk menunjukkan
betapa walaupun rambutnya sudah putih padu, wajah
si wanita masih segar dan seakan muda. Di seberang
api unggun duduk seorang wanita muda. Berpakaian
petani kasar pula, duduk bersila seperti pria dengan to-pi bambu lebar serta
sebilah parang tergeletak di sisinya. Di atas api tampak kuali kecil pemasak
nasi yang airnya terdengar menggelegak.
Keduanya menoleh saat Tun Kumala mendekat.
"Wah, semoga karunia Dewata Raya melimpah di hadapan Anda berdua," sapa Tun Kumala. "Maafkan kami
para kelana malam ini, jika kami mengganggu ketenangan Anda berdua.... Kiranya Tuan-tuan tak keberatan, bukan?"
Kedua wanita itu saling pandang sejenak. Dan sekilas tampak si tua sedikit tersenyum. Tapi yang menjawab yang muda, "Semoga Dewata Raya pun melindungimu, Tuan. Apa yang ada di sekeliling kami adalah milik Sang Hyang Agung...
hingga tiadalah hak kami
untuk berbagi dengan Tuan selain keinginan hati Tuan
sendiri... kami hanya datang lebih dahulu dari Tuan...."
"Betapa manisnya tutur sapa Tuan," Tun Kumala turun dari kuda, menambatkannya pada sebatang semaksemak. "Dan betapa benarnya. Di alam raya ini kita semua memang saudara, karena
kita memang seudara,
menghirup udara yang-sama, menikmati anugerah
Hyang Agung yang sama.... Jika Tuanda tak berkeberatan, biar aku membasuh kaki dan tangan untuk nanti
duduk berdampingan dengan Tuanda."
Tun Kumala membungkuk memberi hormat dan pergi ke sungai. Sementara itu Kena telah tiba di tempat itu. Beberapa saat ia
memperhatikan kedua wanita tersebut dan keadaan sekelilingnya. Pembicaraan si
wanita dengan Tun Kumala tak urung membuatnya tak bisa
menahan geli. "Hh, seperti sandiwara di alun-alun saja,"
dengusnya sambil turun dari kuda, sebagai isyarat pada
yang lain bawa keadaan di situ aman. Ia pun langsung
naik ke batu dengan permukaan luas itu.
"Kalian hanya berdua di sini?" tanyanya kasar.
"Jika seseorang bepergian dengan hati damai, maka
seluruh dunia adalah sahabat, hingga kata-kata sendiri atau berdua sama sekali
tak berlaku!"
"Aku setuju sekali itu," sahut Tun Kumala dari tepi
sungai. "Dan jika seseorang mencoba menyenangkan
hati orang lain, maka ia akan menyenangkan hatinya
sendiri." "Kebetulan kalau begitu." Kena duduk di batu dan
membuka tutup kuali penanak nasi. "Ah, sebentar lagi
masak. Tentunya kalian akan mau menyenangkan hatiku, agar hati kalian sendiri senang, dengan memberikan nasi ini pada kami"
Sungguh enak nasi hangat di malam pekat ini... saat badan penat lagi! Hi hi
hi...." "Ah, dan juga barangkali kau mau memijit kami,
Nduk," kata Santen yang muncul dari kegelapan dan mendekat sambil menyarungkan
kembali pedangnya.
"Dia cukup lumayan kan, Kang Kena?"
"Dasar rakus," dari sisi lain Ugra muncul. "Kalian
kan baru datang dari tempat Emban Layarmega, eh, lihat gadis gunung begini saja sudah gila!" Ia melompat ke batu di samping batang
pohon trembesi. Dengan
ujung tombak pendeknya ia mengangkat rambut si wanita tua tadi. "Eh, kalau rambutnya belum putih, nenek ini lumayan juga kok!"
"Hei, kalian jangan kurang ajar!" bentak Tun Kumala, bergegas meninggalkan sungai.
"Benar. Kalian mundur, Ugra, Kena, dan Santen!" tegur Kusya yang kini muncul. "Maafkan mereka, Nyai,
mereka memang orang kasar."
"Ya, kalau memang Tuanda sakit hati, katakan sajalah. Biar hamba hajar mereka," kata Tun Kumala.
"Seperti yang Tuan katakan tadi, biarlah mereka
yang berhati damai mencari persaudaraan. Biarlah mereka yang masih belum tahu arti persaudaraan, kelak
menyesali perbuatannya," si wanita muda menyahut.
"Silakan duduk Tuan yang bijak. Memang suara burung
asmara pasti akan lebih merdu dari suara burung gagak, dan alangkah baiknya jika gagak berkumpul dengan gagak, sedang burung asmara berkumpul dengan
burung asmara."
"Enak saja!" gerutu Ugra. "Dikira dengan wajah begitu sudah cukup cantik untuk menggolongkan diri jadi
burung asmara?"
"Mana orang desa punya cermin untuk mengaca,"
kata Kena. "Yang jelas sih, orang desa kumpul dengan orang desa!" Santen tertawa terbahak-bahak.
Dengan tak sabar Tun Kumala berpaling pada Kusya. "Saudara Kusya, kuharap kau mengatur kawankawanmu agar tidak mengganggu kami... biar mereka
duduk agak jauh sana...."
"Tidak bisa!" kata Ugra. "Tiap kali lewat sini, kami
hanya mau duduk di sini, tak peduli siapa pun yang sedang ada di sini. Jadi
kalian yang harus minggir!"
"Ugra!" tegur Kusya tenang. "Biarlah mereka beristirahat... dan harap Tuan ingat, Tuan Tun, kita tak punya waktu banyak. Jika lelah
Tuan sudah tuntas, kita harus segera berangkat lagi."
"Berjalan mengikuti kejapan mata dan gerakan kaki,
mengapa orang lain yang harus mengatur?" Si wanita
muda mengeluarkan sebuah mangkuk kayu, menuangkan air hangat ke dalamnya dari sebuah kendi, dan
menyodorkannya pada Tun Kumala. "Bertemu saudara
seperti bertemu mata air jernih di padang belantara.
Mengapa harus segera ditinggal pergi jika rasa haus be

Candika Dewi Penyebar Maut V di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lum tersudahi?"
Santen jadi tak sabar mendengar gaya bertutur wanita muda itu. "Hei, kau perempuan dusun! Lidahmu
baru dikerik emas ya" Ngoceh terus tak keruan.... Nih, Tuan besarmu mau
istirahat tahu! Diam kenapa sih?"
"Saudara Kusya, jika kawan-kawanmu tak bisa bersikap sopan, maka lebih baik kita berpisah saja," kata Tun Kumala dengan kening
berkerut. "Tidak bisa, Tuan, sudah sejauh ini kita berjalan,
majikanku pasti sudah menunggu," kata Kusya.
"Majikanmu belum tahu tentang kunjunganku. Rasanya terlambat satu-dua hari tidak jadi soal. Tunjukkan saja di mana aku bisa
menemui dia, maka aku
akan menyusul nanti."
"Majikanku sudah diberi tahu tentang kunjungan
Tuan, maka sarika akan sangat mengharap kedatangan Tuan. Tempat junjungan kami
itu selalu berpindah, jadi kita harus tepat waktu jika akan menghadap. Untuk
menyusul rasanya kurang tepat, sebab tempat berikutnya tak ada yang tahu. Jadi, Tuan, kuharap kesediaan
Tuan untuk segera berangkat lagi nanti."
"Melakukan sesuatu di luar kehendak hati, adalah
siksaan yang tak terperi," kata si wanita muda lagi.
"Wala, wala, apa aku bungkam saja ya orang ini?"
Ugra begitu kesal tampaknya.
"Sudahlah, begini saja. Kalian beristirahat, aku beristirahat. Jika nanti aku ingin ikut kalian, aku ikut. Ji-ka tidak, ya kita
berpisah."
"Tuan Tun, jangan membuat kedudukan kami sulit,"
kini Kusya juga merasa tak sabar. "Tuan sudah berjanji akan menemui junjungan
kami, maka Tuan harus ikut
kami menemuinya."
"Paman, jika tuan ini tidak begitu suka ikut kalian,
mengapa Paman memaksanya?" si wanita muda menyela. "Perempuan, aku sudah cukup menahan diri terhadap ocehanmu. Sebagai perempuan mestinya kau lebih
baik diam. Sebagai orang luar, jangan kau ikut campur!" geram Kusya.
"E, e, e... jangan menghina perempuan, ya!" Tun
Kumala yang memang sebenarnya Rara Sindu langsung
'meledak'. "Sering kali perempuan lebih bijaksana dari kaum lelaki, tahu! Ingat
saja junjungan kita Ratu Tri-buwana, Ratu Suhita... yang jelas..."
"Yang jelas, lelaki yang namanya Kusya hanya sampai jadi tukang pukul, hi hi hi...." Wanita muda itu tertawa terpingkal-pingkal,
tapi langsung terdiam saat dili-rik oleh yang tua.
"Aku hajar juga ini anak!" Ugra berdiri hendak menghampiri si wanita muda. Tetapi Tun Kumala pun cepat
berdiri menghadang.
"Tunggu. Sekarang kita putuskan saja. Aku tak suka
berjalan dengan orang kasar macam kalian. Jika majikan kalian ingin bertemu denganku, tunjukkan tempatnya dan aku menyusul. Kalau tidak, ya selamat berpisah." "Kalau begitu, mungkin kami harus memaksa Tuan."
Kusya menurunkan kedua tangannya yang tadi bersilang di depan dadanya.
"Eh, kalian ini bagaimana?" Tun Kumala sedikit
mundur. "Aku akan menjalin persahabatan dengan junjungan kalian. Untuk itu aku tak perlu dipaksa."
"Junjungan kami menginginkan Tuan datang padanya sekarang... untuk itu Tuan mungkin perlu dipaksa,"
bantah Kusya. "Sungguh lucu..." Si wanita muda akan ikut bicara,
tetapi lirikan tajam dari wanita yang tua menyebabkannya menutup mulut seketika.
"Memang lucu." Tun Kumala mengangguk dan tersenyum manis. "Lebih lucu lagi... apakah kau benarbenar berani memaksaku!" Sikap Tun Kumala jadi dingin saat ia menatap Kusya dengan pandangan tajam.
Bagi Kusya pertanyaan ini cukup mengena. Junjungannya seorang yang sakti. Rasanya takkan rela punya teman sekadar sembarangan
orang. Tak terasa Kusya
pun mundur selangkah, sementara Ugra, Kena, dan
Santen telah bersiap-siap.
"Hamba... hanya menjalankan tugas," agak bergetar
Kusya menjawab. "Dan tugas itu akan hamba lakukan
... kalau perlu dengan berkorban nyawa hamba. Karenanya, harap Tuan sudi memberi belas kasihan pada
kami." Jika mereka nekat, pasti runyam, pikir Tun Kumala.
"Lagi pula, kalaupun kalian memaksa, dan aku tidak
melawan, misalnya, hingga aku cedera... bagaimana kalian bertanggung jawab pada junjungan kalian?" tanyanya kemudian.
"Jika kami mendapat hukuman dalam menjalankan
tugas yang kami lakukan secara benar, maka kami
akan merasa mendapat kehormatan luar biasa besarnya," kata Kusya.
"Repot," kata Tun Kumala. Pura-pura berpikir dan
memang berpikir. Jelas ia tak akan bisa melawan mereka. Di samping itu ia mulai menakuti kemungkinan
apa yang terjadi jika ia bertemu dengan Wisti. Siapa sebenarnya Wisti" Memang
banyak orang yang begitu bertemu lalu suka pada seseorang. Betulkah itu latar belakang mengapa Wisti
menghendakinya" Bagaimana kalau... misalnya saja... Wisti begitu suka padanya hingga mengajaknya... tidur
bersama, atau misalnya saja,
mandi bersama" Hiiiiiiiiiiiiiii!
Kemudian, apa yang terjadi di Kuripan" Turi agaknya
sangat mendendam pada orang yang kalungnya kalung
manik kayu dewa. Mungkin ia kalap dan mencari kakaknya. Jelas tak mungkin bertemu. Tapi ada apa sebenarnya" Yang sangat menjengkelkan... di mana Aria Sampana" Tiba-tiba Tun Kumala sadar bahwa begitu banyak
mata tertuju padanya. Menunggu. Mata wanita tua itu.
Begitu cemerlang, hitam dan dalam di sinar api. Seolah memiliki tenaga gaib.
Mata si wanita muda. Memang
wanita ini tidak cantik. Khas gadis-gadis desa. Kulit gelap oleh cahaya
matahari, mata agak menyipit karena
mungkin selalu terkena silau matahari, pipi bulat penuh dan segar, mungkin karena sering bergerak dan
makan makanan sehat. Yang berbeda dari gadis desa
adalah keberaniannya berbicara yang nyaris bisa digolongkan kurang ajar. Kemudian Kusya dan kawankawannya. Mereka bertampang seram. Berpakaian gelap. Dan jelas jago-jago pertempuran.
Tak ada siasat lain. Kecuali siasat mengikuti apa saja yang akan terjadi.
"Repot kalau begitu," kata Tun Kumala kemudian.
"Aku melawan, aku kasihan pada kalian. Aku menyerah, aku kasihan pada diriku sendiri. Kalau begitu, aku akan diam. Aku anggap
kalian tidak ada. Aku takkan berbuat apa pun pada kalian, toh bagiku kalian
tidak ada...." Tun Kumala kembali duduk menghadapi
api unggun dan mengambil mangkuk air panasnya.
"Kalau kalian sabar menunggu, mungkin kemudian kuanggap kalian ada lagi, dan aku akan ikut dengan kalian," katanya pula dari balik bahunya. "Keputusan
yang cukup membingungkan, bukan?" katanya pada si
wanita muda. "Eh, rasanya kurang berkenan di hati ini kalau kita berbicara dari
hati-ke-hati tapi belum saling
mengenal nama. Tuanda berdua... aku bernama Tun
Kumala, dari Tumasik, tapi dari kecil sudah berada di Hujung Galuh hingga aku
banyak menyerap tata cara
orang Jawa. Tuan sendiri siapa?"
Sebelum si wanita tua menjawab, si wanita muda
menyahut, "Tuan Tun Kumala sungguh bagus bahasa
Jawanya, ya" Begini... ini adalah... mmm..." Ia akan
berkata sesuatu tetapi si wanita tua berdeham dan melirik tajam. "Oh, ya. Ini adalah ibuku. Sebutan beliau adalah Nyai Gadung, dan
aku, tentu saja aku anaknya,
Ni Gori. Sejak kematian ayahku, ibuku ini tidak betah lagi di rumah dan kami
mengembara tanpa arah. Tuan-tuan ini perampok dari mana?"
"Bajingan! Dasar perempuan tidak laku kawin!" desis
Ugra. "Enak saja! Di desaku semua perjaka antri mau melamar aku, tahu!" dengan galak Gori membantah.
"Sudah," tukas Kusya. "Tuan Tun, jika begitu keputusan Tuan, kami terpaksa memaksa Tuan."
"Silakan, aku toh sudah menganggap kalian tidak
ada," kata Tun Kumala.
Kusya memandang rekan-rekannya sejenak. Kemudian ia mengangguk.
Serentak Ugra, Kena, dan Santen masing-masing
mengeluarkan seutas tambang. Cekatan mereka memasang jerat. Dan berturut-turut jerat itu dilemparkan ke arah Tun Kumala yang
sedang duduk. "Ah, sungguh senang pasti mengembara... sudah ke
mana saja... erhkkk!" Kata-kata Tun Kumala terhenti
saat mendadak jerat-jerat itu tepat sekali melingkari tubuhnya dan langsung
menjerat rapat!
Sesaat semua orang tertegun.
Kusya yang bersiap-siap menyerang kalau-kalau Tun
Kumala berontak, terperangah karena ternyata Tun
Kumala diam saja. Ugra, Kena, dan Santen yang mengumpulkan tenaga karena menduga sasaran mereka
bertenaga besar, hampir terperosok roboh sendiri. Kedua wanita yang menamakan diri Gori dan Nyai Gadung
juga tertegun. Mereka tak mengira Tun Kumala betulbetul tidak melawan! Tun Kumala sendiri terkejut, jerat itu langsung mengikat
rapat dan begitu menyakitkan.
Sesaat semua terpukau melihat Tun Kumala yang
tergantung beberapa jengkal di atas permukaan batu.
Tampaknya ia begitu tenang dan tahan siksaan. Sebetulnya sebagian urat sarafnya sesaat berhenti karena begitu terkejut dan
tertekan. Begitu sadar ia kemudian menurunkan kaki hingga berdiri di atas batu
itu. "Seperti kataku tadi... pastilah Tuanda berdua senang dalam pengembaraan. Sudah ke daerah mana sajakah" Tarum" Pajajaran... atau, oh, ya, apakah betul di daerah barat sana ada
negara yang namanya Madang-kara" Aneh ya namanya" Apakah penduduknya semua
makan kacang polong?" Tun Kumala tertawa sendiri untuk leluconnya. Memang madang adalah bahasa kasar untuk 'makan', sementara kara
adalah sejenis kacang polong.
Tetapi tak ada yang ikut tertawa.
Kusya mengerutkan kening tak percaya. Apakah Tun
Kumala ini sakti, pura-pura sakti, atau gila"
Ia mengambil senjata rantai besinya dari pelana.
Rantai ini panjangnya sekitar satu depa, berduri-duri, dengan ujungnya
berbandulkan bola besi.
"Maafkan aku, Tuan, tetapi Tuan harus ikut kami!"
Kusya melontarkan bola besi rantainya ke arah bahu
Tun Kumala. Tun Kumala terkesiap. Tentu saja ia takkan mampu
mengelak. Dan rantai itu pasti menghancurkan bahunya. Hampir ia memejamkan mata untuk menerima nasib. Ia masih sempat seolah tak acuh berkata, "Aku
dengar rajanya sangat sakti.... Ingin juga aku berkunjung ke negeri itu
untuk..." Kata-katanya terputus oleh bentakan Ni Gori. "Jangan!" Terdengar dencingan keras. Bola besi Kusya dihantam terpental oleh parang di tangan Ni Gori. Kapan Ni Gori mencabut parang dan
kapan ia melompat maju
menerjang, tak ada yang tahu.
Dan Ni Gori tidak berhenti di situ. Parangnya terus
berkelebat cepat, tali-tali yang mengikat tubuh Tun
Kumala putus berserakan berhamburan. Bukan hanya
itu. Tubuh Ni Gori kemudian berputar dengan tendangan mengancam hingga Kusya dan kawan-kawannya
terpaksa mundur.
"He, jangan ikut campur!" teriak Kusya, mempersiapkan senjatanya untuk menyerang.
"Dia adalah suatu keindahan di antara manusia yang
begitu beraneka ragam," kata Ni Gori masih dengan nadanya yang bagai berlagu. "Aku merasa wajib melindunginya...."
"Jika kau mampu!" Kemarahan Ugra sudah tak tertahan lagi. Dicabutnya tombak pendeknya dan ia langsung menerjang Ni Gori!
Ni Gori tertawa di hidung.
Tanpa menunggu datangnya serangan Ugra, ia menyerbu dengan sambaran parang yang bertubi-tubi.
Kusya terperangah. Sebagai seorang ahli senjata rantai, maka ia cepat melihat bahwa gerakan parang Ni Go-ri agak aneh. Ni Gori
menyerang dengan gerakan seolah-olah senjata yang dipegangnya lentur dan panjang.
Seperti rantai.
Bersambung ke jilid 6.
Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
Document Outline
CANDIKA: DEWI PENYEBAR MAUT-5
DI PUNCAK GUNUNG
AWAL PERJALANAN
DI LEMBAH TRANG GALIH
KALUNG MANIK KAYU DEWA
DI SUMUR HITAM TUN KUMALA Pedang Bunga Bwee 6 Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu Pendekar Harpa Emas 4

Cari Blog Ini