Candika Dewi Penyebar Maut V I Bagian 1
CANDIKA: DEWI PENYEBAR MAUT-6 Oleh Djokolelono
? Penerbit PT Gramedia,
Jl. Palmerah Selatan 22, Jakarta 10270
Desain dan gambar sampul oleh Djokolelono
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia,
anggota IKAPI, Jakarta, Mei 1989
Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
1. PASUKAN BADAI
KETIKA matahari telah sekitar satu jengkal di atas Gunung Kawi di sebelah timur,
Wara Hita mengorak semadinya. Seluruh jasmaninya terasa segar-bugar. Seluruh urat
di tubuhnya serasa penuh memancar dengan tenaga
gaib yang begitu besar.
Ia menghaturkan sembah.
Di sekelilingnya telah sepi. Hanya tempat kecil terbuka di puncak salah satu bukit. Dikelilingi semakbelukar dan tersembunyi. Dan di depannya hanyalah
sebuah rumah batu yang ia yakin tak ada penghuninya.
Ia pun tak pernah masuk ke sana.
Mungkin di dalam sana ada ruangan di bawah tanah. Atau suatu terowongan entah ke mana. Setiap gurunya masuk, pasti tak pernah tampak keluar. Dan tahu-tahu sudah datang dari luar.
Wara Hita tidak meragukan kesaktian gurunya. Namun ia juga tidak mudah ditipu oleh suatu muslihat
seperti itu. Pasti di dalam sana ada suatu terowongan.
Itu pun bukan urusannya.
Wara Hita sekali lagi menyembah dan berdiri.
Badannya begitu indah di sinar matahari pagi. Putihkuning mengkilap oleh sedikit keringat. Bagaikan patung pualam dengan busana yang hampir tiada.
Perlahan Wara Hita mulai memakai kembali pakaiannya. Dan ia pun memandangi dirinya sendiri.
Ia cantik. Itu ia tahu. Dan tubuhnya sangat indah.
Itu pun ia tahu.
Sekali ia tertegun. Termangu. Saat-saat seperti itu,
kala ia menyendiri dan separuh mengagumi keindahan
dirinya, sering muncul rasa ragu. Patutkah ia meneruskan perjuangannya" Dan menyia-nyiakan anugerah
Dewata pada dirinya ini" Untuk apa ia cantik, dan bertubuh indah, jika tidak ada
yang menikmatinya" Jika ia tidak bisa menikmatinya"
Ah. Mengapa pikiran seperti ini sekarang sering keluar" Adakah ini memang tuntutan naluriahnya"
Wara Hita sudah berpakaian rapi kini, masih dalam
pakaian prianya. Ia termenung dan duduk bersandar
rumah batu itu, memperhatikan betapa matahari sedikit demi sedikit mulai membuatnya silau.
Dulu ia selalu memandang jijik pada Wara Huyeng
yang seolah selalu haus akan pria. Tapi kini ia merindukan kehangatan seorang
pria! Benarkah" Lalu, siapa"
Tak banyak pemuda yang masuk lingkaran perhatiannya. Pemuda dari Rahtawu itu" Memang tampan. Tapi hatinya tak tergerak sedikit pun. Atau... Sindura"
Huh. Ia malah benci. Dan... pemuda seberang itu"
Tak terasa Wara Hita tersenyum.
Memang ada sesuatu yang aneh pada diri Tun Kumala. Sesuatu yang aneh. Wara Hita sendiri tak tahu apakah itu. Gagah, tidak. Tampan... yah! Tapi terlalu lembut. Tapi begitu menawan.
Begitu aneh senyumnya.
Suaranya. Gerak-geriknya... Gila! Mengapa ia jadi memikirkan hal itu" Sebagai wanita prajurit, Wara Hita telah terbiasa menekan
perasaan seperti ini. Toh secara alamiah dan naluriah muncul juga.
Adakah pemuda lain"
Wara Hita menghela napas panjang dan berdiri. Tidak. Ia tak boleh memanjakan diri dengan pikiran seperti ini. Ia melihat berkeliling. Hasil latihannya tadi pagi. Di
pahoman, tempat korban, terlihat sesosok tubuh hangus. Jadi abu arang. Entah siapa. Ia pun tak usah
mengurusnya. Tiba-tiba ia menjerit. Menyalurkan tenaga. Dan tubuhnya melesat. Secepat kilat. Bagai meluncur di udara meninggalkan puncak bukit
itu. Berloncatan dari puncak ke puncak. Melesat dari
dinding jurang ke dinding jurang lainnya. Tak berapa
lama Wara Hita telah berada di tebing bibir jurang
Trang Galih. Di bawah sana kesibukan luar biasa telah terjadi. Di
lembah sempit di sana itu beberapa kelompok prajurit
tampak sedang berlatih dalam gerakan gelar-gelar perang. Sayup-sayup juga terdengar teriakan lantang Wara Huyeng dengan perintah-perintah tegas dan jelas...
dan kadang-kadang sangat kotor.
"Itukah Pasukan Badai?" tiba-tiba terdengar suara di
sampingnya. Tak urung Wara Hita terkejut juga. Tibatiba saja di sampingnya telah berdiri seorang pria bertubuh sangat gendut dengan
wajah sangat jelek. Ki Juru Meya. Ki Juru Meya. Dia adalah salah satu warisan hidup
dari Sang Bhre Wirabhumi. Dia juga yang sesungguhnya menjadi otak gerakannya selama ini. Dia telah bersusah payah mencari dan
akhirnya menemukan Nagabisikan, si orang sakti yang selama ini telah dikabarkan lenyap dari muka bumi.
Dia juga yang bersusah payah
mengumpulkan dana, baik dengan jalan merampas,
memeras, atau membongkar kembali beberapa timbunan harta Sang Wirabhumi di beberapa tempat. Dia pula yang membuat siasat mengambil pusat gerakan dari
sebelah barat, menjauhi pusat gerakan semula di ujung timur.
Ki Juru Meya. Dia pun sakti. Menurut kabar, dia
sama-sama berguru dengan Sang Bhre Wirabhumi
hingga juga memiliki aji Rawa Rontek, ajian yang konon pernah dimiliki oleh Sang
Maharaja Rahwana. Kelebi-hannya pula adalah aji Wayang, yang membuatnya dengan
mudah dapat menyadap ilmu-ilmu lawan. Aji Wayang ini merupakan salah satu siasat
yang kemudian dikembangkan Nagabisikan untuk membentuk Wara
Hita. Nagabisikan memang pernah bermusuhan dengan
Ki Megatruh. Dan kini kesempatan ini digunakannya
untuk menjatuhkan musuh bebuyutannya itu. Mungkin
tujuan Sang Guru bukan sepenuhnya membantu aku,
pikir Wara Hita. Adalah karena murid-murid Ki Megatruh itu yang dikabarkan telah berkembang yang membuat Sang Guru memilih ilmu Ki Megatruh untuk disadap - dan difitnah.
"Kau harus bisa memusatkan pikiranmu, Nakmas!"
kata Ki Juru Meya. Ki Juru Meya juga digelari si Seribu Muka. Mukanya selalu
berubah-ubah. Memang bentuk
tubuhnya takkan bisa ditutupinya. Tetapi orang terdekat pun sukar mengetahui yang mana sebenarnya wajah Juru Meya yang asli. Wajah buruk inikah" Menurut
cerita, bahkan Sang Wirabhumi pun pernah dirugikan
oleh hal ini. Salah seorang panglima perang Raden Gajah berhasil menyusup ke dalam keraton Sang Wirabhumi dan bahkan hampir berhasil membunuhnya, dengan
menyamar menjadi Ki Juru Meya - suatu hal sangat
mudah dilakukan karena orang tak tahu yang mana
wajah aslinya dan ia akan muncul dengan wajah yang
mana. Satu hal yang diketahui Wara Hita. Jika berdua bersamanya, seperti saat ini, maka sikap Juru Meya berubah. Jadi begitu sopan dan lembut. Bahkan suaranya
pun jadi lembut. Mudah-mudahan lawan - siapa pun
mereka - tak mengetahui keunikan ini.
"Kadang-kadang, aku bimbang, Kiai," kata Wara Hita
lembut pula. "Kita begitu kecil."
"Jauhkan pikiran seperti itu," kata Juru Meya. Lidahnya yang merah panjang tiba-tiba terjulur ke luar.
Kemudian masuk lagi di sela-sela giginya yang berantakan. Salah satu kelainan lagi adalah, Ki Juru Meya
selalu memakai bahasa kasar jika hanya berdua dengan
Wara Hita. Dan kebiasaan ini adalah karena sejak kecil Wara Hita dibesarkan oleh
Juru Meya. "Sebatang anak
panah yang kecil, sangat kecil, mampu merobohkan
Sang Raja Raksasa Niwatakawaca yang begitu perkasa,
bukan" Bukan kecilnya yang penting. Keampuhannya.
Ketepatannya."
"Menurut Kiai, apakah mereka sudah ampuh?" tanya
Wara Hita. "Itu yang aku tidak senang. Kemajuan mereka agak
lambat. Tapi mungkin karena... Wara Huyeng tidak memiliki bahan-bahan yang tepat. Kedua anak Rahtawu
itu belum bisa ditaklukkan?"
Wara Hita menghela napas panjang. "Mereka bibitbibit unggul. Dan dirawat oleh tangan-tangan mumpuni. Berbagai obat, racun, dan ajian telah kami gunakan.
Kepercayaan mereka tak pernah luntur."
"Dan anak kecil itu?"
"Huhhh! Anak itu begitu menggemaskan! Kami tak
pernah bisa merasa yakin dia berpura-pura atau tidak.
Terkadang dengan sukarela ikut berlatih. Terkadang...
tiba-tiba saja berontak menghancurkan apa saja. Dan
untuk menyadap ilmunya juga... begitu sulit! Guru pernah sekali mencoba. Dan
tiba-tiba Guru tertawa terbahak-bahak tak keruan. Sesuatu yang tak pernah dilakukan Guru sebelumnya."
"Apa yang terjadi?"
"Menurut Guru, anak itu menyelimuti ilmunya dengan pikiran dalam bahasa... Tartar! Tentu saja bahasa
Tartar karangannya sendiri. Karena itulah Guru jadi ge-li!" "Mmm. Kudengar
memang anak itu luar biasa. Kalau memang ia tidak bisa diajak kerja sama...
kenapa tidak dilenyapkan saja?"
"Sudah beberapa kali aku usulkan. Bibi Huyeng selalu punya alasan untuk menolaknya."
"Nakmas, kau adalah raja. Walaupun itu belum terjadi, kau adalah raja. Bertindaklah selaku raja. Dengar-kan semua nasihat, semua
sumbangan pikiran. Pertimbangkan. Dan saat kau mengambil keputusan, maka
keputusanmu mengikat semuanya. Dan harus dipatuhi.
Sebagai raja, jika pun keputusanmu keliru, kau tak boleh dan tak dapat
melimpahkan kesalahan pada siapa
pun. Bahkan pada orang yang memberimu petunjuk
untuk melahirkan keputusan itu. Itulah raja, Nakmas."
Wara Hita menundukkan kepala. Dan mengangguk.
Agak lama kemudian ia terdiam memperhatikan keributan di bawah sana itu.
Beberapa kelompok pasukan tampak menyerbu melalui rintangan-rintangan tumpukan batu dan terlibat
dalam pertempuran seorang lawan seorang dengan
menggunakan pedang-pedang kayu. Kemudian dari bagian belakang pasukan yang menyerbu muncul sebuah
pasukan lain yang menerjang bagai bah dan menghancurkan rintangan-rintangan batu itu dengan tangan kosong! "Ah, gelar Roda Kereta!" Ki Juru Meya menyeletuk.
"Itu akan sangat ampuh jika panglima di depannya sangat tangguh dan bersenjatakan gada. Gada membuat
lawan yang dihadapinya tidak langsung tewas. Dan ini
punya dua akibat. Akibat kejiwaaan, pasukan lawan di
belakang barisan depan akan tergoda untuk melirik kawan-kawan mereka yang roboh dan merintih minta tolong, dan akibat nyata, pasukan depan lawan akan bertumpuk hingga lebih memungkinkan diremuk oleh
amukan Roda Kereta. Kelemahannya... jika pihak lawan
tidak menyambutnya dengan jumlah yang banyak, tetapi mengajukan beberapa ujung pasukan yang terdiri
dari orang-orang tangguh. Sekali Roda Kereta itu terbelah oleh tusukan pasukan
kecil itu, kekuatannya akan
hancur." "Mari kita coba pasukan itu! Yaiiiiiiiiiiiieeee!" jeritan Wara Hita melengking
bergema saat tubuhnya terbang
dari ujung tepi tebing meluncur ke lembah di bawah itu.
Juru Meya langsung menyusul. Tubuhnya bagaikan
bongkahan batu menggelinding di lereng tebing.
Sesaat Wara Huyeng yang sedang berada di puncak
sebuah bukit kecil terkesiap mendengar jeritan itu. Tetapi kemudian dengan
tenang ia melompat ke pancangan umbul-umbul. Sekali diangkatnya umbul-umbul
warna jingga, sementara peniup terompet di sebelahnya meniupkan suatu nada
melengking. Warna jingga di-goyangkannya di udara, disusul warna biru dan hijau.
Dan tiba-tiba ketiga umbul-umbul itu dirobohkannya.
Ganti warna merah dan putih naik. Bergoyang ke kiri
dan ke kanan kemudian terpancang tegak.
Terjadi perubahan di dasar lembah. Tiba-tiba saja,
pasukan yang menyerbu tadi mundur dalam suatu gerakan surutnya arus ombak. Bergulung bergantian
mundur dan berhenti. Dan tiba-tiba dari balik batubatu berlompatan sebuah pasukan lain, menjerit hebat
berteriak menghadang datangnya Juru Meya dan Wara
Hita. "Gajah Mengamuk!" kata Juru Meya, berjumpalitan
di udara dan berdiri tegak memasang kuda-kuda. Ia tak sempat berbicara lagi,
serangan dari kiri-kanan mela-braknya. Juga Wara Hita. Entah dari mana beberapa
belas pria berpakaian serba merah, dengan membawa
perisai berlapis getah karet tebal dan membawa gada
rantai tiba-tiba saja mengepungnya, mendesaknya, melabraknya dengan ayunan gada yang makin lama makin
berbahaya. Beberapa saat Wara Hita hanya bergerak
tanpa berlandaskan ilmunya. Gesit sekali ia berloncatan menendang kiri-kanan.
Namun perisai-perisai kenyal
itu makin rapat menghadang dan begitu sulit dirobohkan. Akhirnya tak ada jalan lain, ia melompat tinggi dan menyalurkan ajiannya.
Candika Dewi Penyebar Maut V I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Haiiiiiiiiittthhhhh!"
Bentrokan beberapa tenaga perkasa memberikan wibawa suatu ledakan dahsyat.
Orang-orang berpakaian serba merah itu sudah semburat. Yang ada di antara puing-puing batu adalah Juru Meya, Wara Huyeng, dan Wara Hita. Ketiganya saling mengacungkan tangan
menahan tenaga.
"Nakmas... adalah suatu kehormatan bagiku bahwa
Nakmas mencoba menghancurkan gelar ini dengan tenaga sakti Nakmas, tetapi apakah itu bukan berarti
menyia-nyiakan jerih payahku selama ini?" tanya Wara
Huyeng. "Bibinda benar, Ratu, harap Paduka menahan diri
dengan tenaga sakti itu saat berlatih, he he he..." Juru Meya memakai bahasa
menghormat, tetapi sikapnya ki-ni khas seperti biasa, kurang ajar.
"Maaf, Bibi... Paman... hatiku memang sedang kesal...." Wara Hita membuka gelar tenaganya. "Pasukan
Bibi memang hebat. Bubarkan mereka. Beri anugerah."
Wara Huyeng memasukkan dua batang jarinya ke
mulut. Dan bersuit keras sekali. Sekali pendek. Tiga kali panjang. Dan tanpa
bersuara pasukan yang sedang berlatih itu mundur ke ujung-ujung lembah, atau ke
gua- gua batu di dinding jurang.
Juru Meya mengamat-amati sebuah batu yang hancur oleh tenaga Wara Hita tadi. Ia menggelengkan kepala. "Ratu... baru sampai tahap inikah aji Wajra Prayaga yang Paduka pelajari
dari si tua Nagaberbisa itu"
He he he... jangan-jangan si tua itu hanya kesengsem
melihat Paduka dan lupa mengajarkan ilmu sebenarnya, he he he he...."
"Juru Meya, jika kau tak jaga lidahmu itu... kutarik
hingga putus baru tahu kau!" hardik Wara Huyeng.
"He he he, kalau lidahku putus, hilang sudah sumber kenikmatanmu selama ini, he he he...." Juru Meya
tertawa, mencoba mencolek Wara Huyeng.
"Bibi Wara Huyeng, pasukan Bibi cukup tangguh...
hanya... hanya... kurang ujung-ujung tombak yang perkasa," kata Wara Hita.
"Saat ini hanya Kusya yang memimpin Pasukan Merah tadi, senjata rantainya sungguh tepat untuk mendesak dan melibas tokoh musuh. Itu pun... hamba kira
belum cukup. Para satria piningit dengan mudah bisa mengepung balik. Apalagi
jika senapati mereka turun
tangan sendiri." Wara Huyeng termenung. "Kedua orang
Rahtawu itu masih belum bisa diputar jiwanya."
"Tantri" Dia mau mengajarkan kewiraan pada mereka ini?" tanya Wara Hita.
"Anak gila itu! Ia begitu sering membuatku gemas.
Sekali ia setuju untuk bekerja sama. Asal ia diperboleh-kan pergi ke Kapanjian.
Ke Desa Pakisaji. Eh. Di sana ia hanya duduk-duduk di bawah sebatang pohon
beringin putih. Seharian penuh. Hanya bermain-main tanah. Ketika kutagih janjinya, ia pun setuju. Dan seharian penuh ia mengajarkan suatu
ilmu. Katanya sih ilmu barisan Rahula Wayu." Beberapa saat Wara Huyeng terdiam.
"Lalu?" tanya Juru Meya tidak sabar.
"Sorenya... seluruh pasukanku... mencret!" Wara Huyeng kemalu-maluan menutup muka dengan jubah birunya. Juru Meya tertawa terpingkal-pingkal. "Oh, pastilah
saat itu waktu seluruh pasukanku tak berani mandi karena sungainya he he he... he he he... he he he..."
"Diam!" hardik Wara Huyeng.
Wara Hita tersenyum pun tidak.
"Beberapa kali Sang Guru juga dipermainkannya,"
kata Wara Huyeng.
"Aku tahu." Wara Hita menunduk. "Bagaimana kedua murid Rahtawu itu?"
"Yang bernama Anengah... agaknya mulai terbuka,
hanya ia sangat dipengaruhi oleh Butir Hitam Tartar
itu. Sedang Tara... ia malah beberapa kali mencoba bunuh diri, karenanya ia
hamba taruh di ruang khusus."
"Yah. Lelaki yang tidak bunuh diri setelah bertemu
denganmu sungguh lelaki gila, he he he...," kata Juru Meya.
"Mereka bertiga belum pernah bertemu, bukan?"
tanya Wara Hita.
"Belum, Nakmas," sahut Wara Huyeng.
"Baik. Aku akan menemui si Anengah itu. Tentang
Tara... ia memang terlalu kuat pribadinya. Mungkin bi-sa dihadapkan pada Guru.
Tantri... hm, lenyapkan saja anak itu sebelum menimbulkan penyakit."
"Tapi, Nakmas... Tantri akan sangat berguna bagi kita... dia..."
"Selama ini ia hanya mengacau, Bibi," Wara Hita
mengernyitkan kening.
"Tapi kukira kita belum menggunakan semua cara
untuk menaklukkannya."
"Mungkinkah ada cara lain?" tanya Wara Hita dingin.
"Jangan-jangan sesungguhnya anak itu anakmu, he
he he he...," tawa Juru Meya.
Wara Huyeng yang sedang berpikir keras melirik tajam pada orang buruk rupa itu. Tapi kemudian ia mendapat ilham. "He. Ada. Bagaimana kalau Juru Meya yang menangani Tantri" Atau... Tantri sangat lemah pada kaum
wanita. Kita taruh saja ia di Pasukan Buih!" katanya
gembira menatap Juru Meya.
"Gila kau!" maki Juru Meya.
"Tapi, Bibi Huyeng benar. Tantri memang punya suatu kelebihan... dan kita harus mencoba membukanya
dengan cara apa pun. Ya." Wara Hita menganggukangguk. "Coba taruh dia di Pasukan Buih-mu, Paman!"
2. ANENGAH GUA ini khusus. Dipahat dari batu karang gunung.
Kuat dan kukuh. Dengan balok-balok kayu besi sebagai
terali rapatnya. Seperti kandang macan saja.
Isinya memang sesungguhnya lebih kuat dari macan.
Lebih galak dari macan. Dulu.
Kini isi itu tak lagi segalak macan. Tak lagi sekuat
macan. Anengah bahkan sudah tak mirip manusia utuh.
Utuh dalam raga, utuh dalam pikiran.
Siksaan. Rayuan. Paksaan. Dan Butir Hitam Tartar
yang memberinya berbagai impian indah jika diisap asapnya. Ia mulai meragukan dirinya. Ia meragukan ketangguhannya. Ketika orang kasar bernama Ula Bandotan itu membukakan pintu, yang terpikir olehnya pertama kali adalah jatah Butir Hitam itu.
Ia gelagapan ketika ternyata Ula Bandotan menyiramnya dengan satu gentong air
dingin. "Ugh... mana... mana..." Anengah bertanya sambil
mencoba menghilangkan air dari wajahnya.
"Mana gundulmu!" dengus Ula Bandotan. Dengan
kasar orang itu mengangkat Anengah berdiri. "Bersihkan badanmu! Ratu Gusti-ku akan menemuimu!"
"Aku ingin... butiran hitam itu...," desis Anengah terhuyung. Dua orang anak
buah Ula Bandotan membantunya mengeringkan muka dan badannya, mengganti
kainnya serta merapikan rambutnya.
"Kau akan dapat, pasti... asal kau baik-baik saja
nanti di hadapan Ratu Gusti-ku, ya" Hayo!"
"Tidak... aku harus membalas dendam. Gusti-mu...
Ratu-mu... telah menghancurkan Rahtawu. Aku harus
membalas dendam!" Sekuat tenaga Anengah menghantam dinding batu. Dan ia menjerit kesakitan.
Ula Bandotan tertawa.
"Ketika kau baru datang, kau bisa membuat dinding
batu itu pecah... tapi sekarang jangan harap. Ayo!"
Anengah diseret di antara lorong-lorong batu sempit
yang sesak oleh bau asap obor di dinding. Pikirannya
hanya satu, dan itu pun diucapkannya, "Mana... mana
Butir Hitam itu... mana... aku... haus...."
Ia baru saja diguyur air. Tapi kini mukanya telah basah oleh keringat. Mulutnya terasa kering. Ia bahkan tidak membalas saat
sepanjang perjalanan itu Ula Bandotan dan anak buahnya begitu royal memberikan tendangan dan pukulan.
Tiba-tiba ia berada di tempat yang luas. Masih berada di bawah tanah. Atau di dalam bukit batu. Api besar menerangi ruangan itu. Dan di salah satu tepinya
air gemericik mengalir membasahi dinding di tempat ta-di dan ditampung oleh
sebuah sungai bawah tanah kecil yang entah mengalir ke mana. Angin pun berembus.
Entah dari mana. Membuat api bergoyang-goyang. Dan
memberi suasana dingin.
Ini tempat berlatih. Beberapa waktu yang lalu, entah
kapan, setelah kakinya sembuh hampir tiap hari ia dibawa ke sini. Dan diadu melawan seseorang berpakaian
serba kuning, dan bahkan mukanya tertutup kerudung
kuning. Atau wanita genit yang berpakaian serba biru
itu. Mula-mula ia memang bersemangat untuk bertempur. Untuk melampiaskan kemarahannya. Kekesalannya. Tapi kemudian ia pun sadar bahwa ia dipergunakan hanya untuk disadap ilmunya. Mungkin sudah terlambat ia sadar. Kedua orang itu makin mahir menggunakan beberapa ilmunya. Baik Sura-caya, Bantala Liwung, atau bahkan Birawadana.
Ketika ia mulai mencoba-coba mengacaukan gerakannya, sudah terlambat.
Dan saat itulah ia mulai diberi Butir Hitam Tartar
itu. Suatu butiran hitam. Yang dipasang di ujung suatu pipa. Dan dipanasi. Dan
asapnya diisap dalam-dalam.
Kemudian... ahhhh, berbagai mimpi indah akan dialaminya. Begitu nyata. Begitu ada.
Tetapi jika kemudian ia sadarkan diri, seluruh tubuhnya terasa lemah lunglai. Dan ia sangat menginginkan mengisap benda itu kembali. Sangat menginginkannya. Hingga akhirnya benda itu jadi senjata ba-gi mereka. Jika ia
menginginkan benda itu, maka ia harus membukakan lagi satu jurus ilmunya pada
mereka. Mula-mula Anengah ingin berontak. Tetapi kemudian
timbul pikirannya... untuk apa" Dan rasa keinginan itu pun lenyap. Bersama makin
nyatanya rasa ingin akan
Butir Hitam Tartar itu.
Seperti saat ini.
Mulutnya terasa sangat kering. Lidahnya serasa
membengkak menggembung. Kepalanya serasa ditusuktusuk ribuan jarum. Dan ia sangat menginginkan asap
dari Butiran Hitam Tartar itu.
Ia dilepaskan oleh Ula Bandotan. Ia terhuyung ke
depan. Lantai ruang ini datar. Kasar. Dari lempengan
batu-batu kali. Dan ia terhuyung maju. Terantuk-antuk. Hampir roboh.
"Duduklah, Kakang Anengah!"
Suara itu merdu. Tapi serasa mendengung. Menyakitkan telinga. Dan Anengah sadar akan bau harum itu.
Kemudian ia sadar akan panggilan 'Kakang' yang lembut. Ia mencoba berdiri tegak. Mencoba memusatkan
pandangan. Ada warna-warna mencolok di depannya.
Warna merah api menyala. Warna biru berkilau.
Warna putih. Dan warna kuning.
"Siapa kau... sss... siapa?" Anengah hampir tak kuat
mengatakan itu.
"Duduklah... istirahatlah...," suara merdu itu berkata. Dan Anengah merasakan betapa beberapa tangan
kuat memapahnya. Tidak menyeretnya. Maju. Dan duduk di lantai batu yang dingin.
Saat matanya sudah dapat diandalkan, dilihatnya si
wanita baju biru. Seperti biasa, tersenyum genit. Dan di sampingnya seorang
pria, berpakaian serba kuning.
Dan manusia bertubuh bundar itu dengan lidah yang
selalu terjulur.
"Kakang Anengah, kami ingin berbicara baik-baik
denganmu... kami harap kau bersedia...," pria berbaju kuning itu berkata. Dan
mungkin telinga Anengah yang
kacau. Suara merdu itu datang dari seorang pria" Anengah mengangkat muka. Wajah orang itu tampan. Baru
kali ini ia melihatnya. Biasanya orang itu memakai cadar. Tapi... ah, ya,
biarlah. Apa pedulinya. Yang penting ia bisa memperoleh... ah, mungkinkah ia
akan diberi Butir Hitam itu" "Kakang Ula Bandotan..." Setengah
merintih ia berpaling mencari pengawalnya. Dan tibatiba sebuah tendangan keras menghantam kepalanya.
"Aughhh!" Anengah sampai terpental dan terbanting.
Di depannya orang berpakaian serba kuning itu berdiri gagah dengan tangan
bertolak pinggang.
"Kakang Anengah, ingatlah bahwa kau seorang pendekar unggulan padepokan yang kenamaan," orang itu
berkata. Perlahan, tetapi tajam menusuk. "Bersikaplah gagah dan jantan!"
Beberapa saat memang keutuhan pribadi Anengah
seakan hendak kembali. Tetapi lemah lagi. "Aku... sakit... aku... lemah.... Beri aku obat...."
"Nakmas, agaknya ia sudah tak tahan lagi, biarlah ia
istirahat...." Wanita baju biru itu maju dan membantunya tegak, serta berbicara
lembut. "Ayo, Bocah bagus, duduklah tegak."
"Kurasa tak ada perlunya lagi, Bibi, manusia ini sudah tak berguna lagi," si baju kuning berkata ketus.
"Ah, kurasa dia hanya perlu istirahat, pengobatan,
dan makanan yang cukup... bukankah begitu, Anak bagus?" kata si baju biru, mengelus kepala Anengah.
Sesungguhnya Anengah jijik pada wanita baju biru
ini. Tetapi saat ini, saat ia dalam keadaan terlemah, hanya si biru ini yang
membelanya, yang merawatnya.
"Aku perlu Butir Hitam itu...," bisik Anengah.
"Tentu, jangan khawatir," bisik Wara Huyeng, mendekap kepala Anengah ke dadanya yang lumayan itu.
Dan dengan suara keras, hingga terdengar jelas oleh
Anengah, Wara Huyeng berkata (sambil mengerdipkan
mata yang tak terlihat oleh Anengah), "Nakmas, biar
aku saja yang berbicara dengan Saudara Anengah ini.
Sayang kan jika orang segagah ini terbuang begitu saja...." "Tadinya aku juga berpikiran begitu. Tapi melihat
Candika Dewi Penyebar Maut V I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keadaannya, mungkin lebih baik dijadikan mangsa binatang buas di hutan saja. Pengawal! Bunuh orang itu!"
Dengan tegas Wara Hita berpaling.
"Nakmas, kumohon... batalkan keputusan itu. Beri
hamba waktu satu bulan saja," pinta Wara Huyeng.
"Baik. Sebulan. Tidak lebih!" Dan tiba-tiba saja Wara Hita melangkah mantap
meninggalkan tempat itu. Orang buruk rupa itu pun mengikutinya.
Tinggal Anengah, Wara Huyeng, dan beberapa prajurit penjaga. "Aduuuuh, hampir saja dunia kehilangan seorang
pemuda tampan!" Tak malu-malu Wara Huyeng menciumi Anengah. "Ugh... hampir saja lho. Sudahlah. Tenangkan dirimu. Jika ada apa-apa aku akan membelamu. Jangan takut. Oh, ya, Bocah bagus, kau sudah tahu namaku, bukan" Namaku Wara Huyeng... orangorang memanggilku Gusti Sepuh. Aku tak suka itu. Masakan aku sudah tua" Kau panggil aku Kakangmbok
saja, ya, Anak tampan. Biar kita jadi saudara."
Bagi Anengah sesungguhnya tak penting. Apakah
mereka jadi saudara, sahabat, ataukah suami-istri, atau hanya kumpul kebo.
Pokoknya ia memperoleh Butir Hitam itu. Entah apa yang diberikan mereka pada
butiran tersebut sehingga ia begitu ketagihan.
"Butir Hitam itu...," keluh Anengah.
"Asal kau mau dengan sukarela, dengan hati terbuka, dengan tulus membantu kami?" rayu Wara Huyeng.
"Ya... ya... pokoknya beri aku Butir Hitam itu...," keluh Anengah.
"Tentu, segera diambilkan. Oh, kasihan sekali kau,
Anak tampan." Wara Huyeng mendekap Anengah ke
dadanya. "Kau akan betul-betul membantu kami, bukan?" "Ya, ya... cepat berikan...," bisik Anengah. Hampir
menangis. 3. TARA DAN TANTRI
TARA berada di sebuah bilik kecil. Keempat dindingnya adalah dinding batu. Salah
satu dinding itu bisa dibuka.
Entah bagaimana. Jika orang-orang yang menahannya
memberinya makanan.
Tak ada yang lebih membuat Tara menyesal, daripada kelahirannya di dunia ini. Dari awal, sungguh mengecewakan. Siapa ayah-ibunya, ia tak tahu. Di mana ia sebenarnya lahir, ia tak
tahu. Dan akhirnya... betulkah ia yang menyebabkan hancurnya Padepokan Rahtawu"
Ia tak tahu banyak apa yang terjadi.
Dan kejadian itu rasanya sudah lama sekali.
Seakan terngiang di telinganya, lagu-lagu sejuk, lagu-lagu keagamaan yang biasanya didengarnya di Padepokan Rahtawu. Kesejukan yang kemudian hancur
oleh suara jerit-tangis para warga Rahtawu. Pemandangan hijau indah di sekeliling padepokan itu selalu terhapus oleh
pertarungannya dengan si... si bidadari.
Itu pun kemudian lenyap oleh hajaran Suranggana padanya. Suranggana yang menuduhnya tak punya hati
untuk melawan musuh. Suranggana yang akhirnya tewas di tangan sang bidadari. Dan itu memang disebabkan oleh keragu-raguannya.
Tara menyesali kehadirannya di dunia ini.
Peristiwa selanjutnya, entah apa yang terjadi. Mungkinkah ini mimpi buruk yang tak pernah berakhir"
Terakhir ia ingat bahwa ia dijatuhi hukuman mati.
Dan rasanya itu memang wajar. Tapi malam itu...
Ia teringat, tiba-tiba saja Resi Rhagani muncul di hadapannya.
Ia tak tahu, lewat mana. Dan bagaimana. Ruang itu
hampir tidak cukup untuk bersila seorang diri. Dan gurunya berdiri di sudut.
Memandang murung padanya.
"Guru!" Saat itu Tara merasa bagaikan mimpi, dan
hanya bisa berseru terkejut.
"Sayang kau harus lenyap, Tara," kata gurunya lembut. Atau... mungkin sesungguhnya gurunya tak berkata apa-apa dan sesungguhnya suara itu hanya khayalannya belaka"
"Guru... putu maharsi begitu berdosa...." Mungkin ia berkata begitu. Mungkin
juga, sekali lagi, ini hanya kha-yalannya.
"Mungkin bukan kau yang dimaksud oleh Sang Bhre
Daha... Mungkin bukan kau...."
"Guru... apakah yang Mpungku maksudkan?"
"Apa yang aku maksudkan, kini tak berarti lagi. Keputusan telah diambil. Dan kau harus mati."
"Putu maharsi rela, Mpungku!"
"Aku yang tidak rela, Tara, tetapi inilah kehendak
Mahesywara. Padahal... aku sangat mengharapkan da-rimu terpancar sinar kemegahan
Wilwatikta. Aku sangat ingin, suatu waktu kau bertemu dengan kakek gurumu,
yang menjadi sumber semua ilmu kita."
"Guru... putu maharsi begitu mengecewakan Guru...."
Tara menunduk dalam-dalam. Dan, lama ia tak mendengar kata-kata Sang Guru lagi. Lama. Sampai akhirnya ia tersentak oleh munculnya sesuatu yang aneh.
Bau harum yang begitu menusuk hidung.
Ia terkejut dan sedikit membuka matanya. Dari sudut matanya dilihatnya tempat itu terang. Pintu terbu-ka. Dan seseorang ada di
sana. Gugup Tara mengangkat muka kini. Dan ia makin
terkejut. Di depannya berdiri bidadari itu. Cantik. Berpakaian
serba hitam. Selendang hitam menutupi seluruh tangan
dan punggungnya yang berkulit kuning-putih. Dan juga
menutupi sebagian wajahnya. Namun saat itu ia menurunkan selendang yang menutupi wajahnya itu. Wajah
yang mempesona. Wajah yang penuh daya sihir. Wajah
yang cantik. Tersenyum. Matanya cemerlang.
"Kkk... kkkau..." Tara tak bisa berbicara.
"Ya... aku..." Bidadari itu tersenyum lebih lebar. Me-matikan obor di tangannya
dengan sekali gerakan. Dan
sebuah kekuatan menghantam dada Tara. Hingga ia
pingsan. Tahu-tahu ia sudah berada di ruang ini.
Entah kapan. Entah di mana. Beberapa kali si bidadari itu mengunjunginya. Membujuknya. Memintanya untuk bergabung. Kemudian
mereka bertempur.
Di ruang ini. Atau di ruang luas tempat ia digiring.
Namun Tara segera tahu bahwa bidadari itu hanya
mempermainkannya. Hanya mengajaknya bertarung
untuk mitra tanding saja. Bahkan untuk menyadap ilmunya. Sesungguhnya si bidadari itu pastilah dengan
mudah bisa membunuhnya. Jika mau.
Maka penyesalan Tara pun makin memuncak. Kini ia
akan terpaksa membocorkan rahasia perguruannya! Ia
tak mau itu. Dan ia tahu ia tak bisa menghindar dari
ilmu orang yang menawannya.
Ia mencoba bunuh diri.
Mula-mula dengan mencoba mematahkan pergelangannya sendiri. Atau menghantam kepalanya. Atau
membenturkan kepalanya pada dinding batu.
Maka kini dirantai. Pendek sekali. Berdiri bersandar
pada dinding batu. Dengan tangan terbuka lebar merapat ke dinding. Dirantai pendek di pergelangannya. Dirantai pula lehernya. Dan
pinggangnya. Dan kakinya.
Ia sama sekali tak bisa menggerakkan tubuhnya.
Makanan dipaksakan masuk ke dalam mulutnya. Dijejalkan. Atau perutnya dipukul hingga mau tak mau mulutnya ternganga dan makanan dilemparkan masuk.
Ia sama sekali tak bisa bergerak. Hanya bisa menyesali nasibnya. Beberapa kali ia dibujuk. Oleh si bidadari. Atau seorang wanita
lain yang sangat genit. Tapi penyesalan membuatnya membatu. Ia disiksa. Ia diracuni. Ia diobati.
Dalam hati ia telah bertekad untuk tidak membuat
kekeliruan lagi. Dan ia tetap bungkam.
Ia hanya bisa mengetuk-ngetukkan gelang besi di
tangannya ke dinding dalam usahanya untuk bunuh diri. Gelang besi membuat suara berketuk-ketuk di dinding. Dan entah kenapa, ia merasa bahwa ada suara ketukan lain. Tadinya itu tak diperhatikan. Entah sudah berapa
hari. Mungkin ini hanya impian juga. Tapi hari ini... Ia serasa baru sadar.
Ketukan itu seirama dengan mantra-mantra upacara
Sakalikarana. Upacara untuk menghadirkan dewa.
Tempat apa ini sesungguhnya" Kemungkinan besar
semacam penjara. Dan orang-orang ini agaknya gerombolan penjahat. Tak mungkin mereka begitu iseng rajin sekali mengetuk-ngetuk
dinding dengan irama itu.
Mungkin... ada orang lain yang ditawan" Ada orang senasib dengannya"
Tak terasa Tara pun ikut mengetuk. Dengan gelang
besi yang mencekam pergelangan tangannya ke dinding.
Dan dalam hati ia ikut menyanyikan mantra tersebut.
Dengan sepenuh hati, karena ia ingin melupakan keadaan sekelilingnya. Dengan sedih hati, karena ia teringat pula masa-masa ia menyanyikan mantra yang
sama di Rahtawu.
Kemudian, tiba-tiba saja, seolah dirasakannya ia menyanyikan mantra itu berdua bersama-sama orang lain.
Ya. Berdua. Jelas suaranya berbeda! Dan jelas sekali.
Seolah orang itu di dekatnya.
Ia terkejut, membuka mata. Suara itu lenyap, walaupun ketukannya masih ada. Ia menutup mata kembali.
Mengetuk kembali. Menyanyikan mantra itu kembali.
Makin bersungguh-sungguh. Makin khusyuk. Dan... ya.
Suara itu terdengar lagi.
Ia sadar. Seseorang mencoba menghubunginya dengan perasaan hati. Dengan hubungan batin. Sambil terus menyanyikan mantra itu, ia mencoba bertanya, dalam hati, "Siapa kau?"
"Kau sungguh cerdas," suara itu terdengar. "Pusatkan pikiranmu. Gunakan ilmu Coban Saleksa- mu."
"Tunggu, aku tak tahu ilmu itu!" dalam hati Tara
berteriak. Tapi suara tadi telah lenyap. Dan ia menyanyikan mantra sendiri.
"Jangan pergi!" ia berseru dalam hati. Tangannya kembali giat mengetuk.
Beberapa lama ia mulai memusatkan pikiran lagi.
Dan suara itu muncul kembali, "He, ke mana kau?"
"Aku tak tahu ilmu Coban Saleksa!" teriak Tara.
"Oh," suara itu seolah berseru heran. "Gunakan ilmu
pemusatan pikiran!" ia seolah berkata tergesa-gesa.
Dan Tara cepat menerapkan ilmu itu, yang memang
diciptakan untuk memusatkan pikiran pada sesuatu,
dan biasa digunakan saat Resi Rhagani sedang mengajarkan suatu ilmu baru.
"Ah, aku hampir tak kuat," suara di dalam benaknya
seolah terdengar. "Kau bukan murid Rahtawu?"
"Siapa kau?" Tara bertanya curiga.
"Berarti kau murid Rahtawu. Kau ditahan?"
"Ya!" kata Tara dalam hati. "Siapa kau?"
"Aku tak bisa bicara banyak, terlalu berat menembus
pikiranmu. Terapkan ilmu ini dalam mantra Sakalikarana. Ketuk lagi jika kau sudah siap."
Dan suara itu hilang.
Tara hampir menjerit putus asa. Kemudian timbul
berbagai pikiran di benaknya. Pertama, benarkah percakapan dalam hati tadi terjadi" Kedua, siapa lawan bi-caranya" Ketiga, apakah
ini bukan sesuatu yang menyesatkan"
Sebab, permintaan terakhir tadi, jika dalam keadaan
biasa, adalah sangat menggelikan dan tak mungkin bisa dilaksanakan.
Jelas tadi ada kata Coban-Saleksa. Ini memberi petunjuk bahwa percakapan itu
benar terjadi. Tara belum pernah mendengar nama itu, jadi tak mungkin nama itu
muncul begitu saja. Kemudian pertanyaan bahwa apakah dia benar murid Rahtawu.
Tara memang pernah mendengar tentang percakapan dengan bisikan batin. Beberapa kali sewaktu ia sedang berlatih sesuatu ilmu,
gurunya sering membisikkan suatu tuntunan, tanpa ia harus menunda apa yang
sedang dilakukannya. Tetapi biasanya itu hanya berjalan sepihak. Bisakah sekarang ia melakukannya dari
dua belah pihak"
Mantra tadi. Itu adalah salah satu mantra dalam
upacara memohon doa restu para dewa. Memohon kehadiran para dewa. Dan itu berarti pelakunya harus
mengosongkan pikiran. Dan benar-benar yakin. Benarbenar percaya akan kehadiran dewa yang dipanggilnya.
Ah. Itukah yang diinginkan oleh siapa pun orang
yang menghubunginya"
Rasanya tak ada salahnya jika dilakukannya.
Tara mulai bersemadi, memusatkan pikiran. Melupakan rasa sakit di tubuhnya. Melupakan rasa sedih di hatinya. Memusatkan
pikiran untuk mengosongkan pikirannya.
Entah berapa lama.
Kemudian, mula-mula sangat kabur, sebuah suara
mulai memasuki pikirannya. Makin lama makin jelas.
Makin jelas. "Ah, kau sungguh cerdas. Dan kau ternyata murid
Rahtawu," suara itu berkata.
"Bagaimana kau tahu?"
"Aku begitu mudah memasuki pikiranmu."
"Kau... kkkau... duh... apakah..."
"Tolol. Aku bukan gurumu." Suara itu seakan tertawa. "Apakah..."
"Kita tak punya hubungan dalam tingkatan. Kau boleh berbicara bebas denganku...." Kembali suara itu me-nebak tepat apa yang
dipikirkan Tara.
"Tapi..."
"Dalam usia pun tidak. Ini yang membuatku bingung. Aku masih kecil, tetapi jauh lebih jago dari kalian. Mungkin guru kalian
tak becus mengajar."
"Jika kau berkata tidak menghormat tentang guruku, lebih baik kita hentikan saja...."
"Ah, dasar anak muda. Tak bisa mengendalikan perasaan! Baiklah. Tapi jelas-jelas kukatakan, jika aku melawan gurumu pun belum
tentu ada yang menang."
"Kau bilang tadi 'kalian'. Siapa yang kaumaksud?"
"Kakakmu Anengah. Dan adikmu Tari. Oh, Tari..."
Candika Dewi Penyebar Maut V I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan suara itu menggumamkan suatu nyanyian. Tidak
merdu. "Kakang Anengah! Dan Tari! Hei. Mereka ada di sini?" Sampai sesak napas Tara dan hubungannya seakan kacau. Ia cepat-cepat memusatkan perhatian lagi.
"Jangan itu terjadi lagi!" Suara itu seakan berang.
"Sakit kepalaku kaubuat, tahu?"
"Maaf..."
"Baik, kumaafkan."
"Siapa kau?"
"Aku berteman dengan Tari. Oh, Tari... Entah dia sekarang di mana. Aku tunggu dia di Kapanjian. Dia tak
muncul." "Apa yang terjadi" Mengapa kau bisa yakin Tari akan
ke Kapanjian" Apakah ia memang meninggalkan Rahtawu?" "Banyak hal yang kau tak tahu, tapi tak bisa diceritakan sekarang. Aku capek! Kau ingin melarikan diri
dari sini?"
"Ya!"
"Ikutilah permintaan mereka."
"Ah. Jadi kau di pihak mereka?"
"Bukan. Beberapa hari ini kurasakan kau ingin bunuh diri, bukan?"
"Bbb... benar...."
"Itu suatu keputusan yang baik. Nah, ikuti permintaan mereka. Minta mereka membawamu ke puncak
Jurang Grawah. Berusahalah untuk berada di tepi tubir jurang itu. Kemudian
dengan langkah Sura-caya, lemparkan dirimu ke dalam jurang itu. Jurang itu
dalam- nya lebih dari seribu depa. Tubuhmu pasti hancur di
dasarnya. Dan mereka tak mungkin berani mencoba
menyelamatkanmu. Kalau kau betul-betul ingin bunuh
diri lho! Sura-caya dilakukan dalam keadaan kau dis-edot bumi akan sangat luar
biasa kecepatannya. Nah.
Aku capek!"
Dan hubungan itu putus.
Tara terengah-engah. Nasihat macam apa itu" Pertama, ia ditanya apakah ingin melarikan diri dari sini.
Kedua, apakah ia ingin bunuh diri.
Tapi memang. Bunuh diri agaknya jalan satu-satunya untuk lari dari sini.
Hati Tara sedikit lega.
4. PETUALANG WANITA
GAGAH PERKASA KI MAHENDRA dan Sinom. Pasangan ini memang unik.
Yang seorang jelas tua. Dengan kepala gundul. Jenggot dan kumis putih panjang
terjurai. Berpakaian kain putih kasar. Yang seorang lagi, wajahnya sulit
ditentukan tua atau mudanya. Tapi cantik, ya. Rambutnya hitam,
tebal, indah berkilau. Pakaiannya kain putih sutera
yang mengkilap. Dengan sepasang tanduk rusa yang
terselip di kain ikat pinggangnya. Entah itu senjata atau bukan, orang boleh
menduga-duga sendiri. Sesungguhnya sering juga Sinom menggunakan tanduk rusa itu
sebagai penyangga periuk untuk memasak nasi atau
sayur atau air. Ia pun tak peduli.
Tingkah keduanya pun unik. Ki Mahendra menggunakan apa saja untuk bermain-main sepanjang perjalanan. Sementara Sinom, seakan selalu ada saja yang
membuatnya heran.
Seperti saat mereka berdua memasuki desa Paruan.
Sejak keluar dari hutan batas tadi Ki Mahendra sudah
asyik bermain batu. Dengan sebatang tongkat kayu ia
memukul sebutir batu, dan ke mana pun batu itu lari
selalu dikejarnya. Sinom sendiri berlari-lari kecil, ber-nyanyi-nyanyi dan
sebentar-sebentar berhenti untuk
mengamati bunga, atau pohon, atau batu, atau sekali
bahkan mengejar seekor burung dan berhasil menangkapnya. Di mulut desa, Sinom berhenti sejenak. Di halaman
rumah yang paling ujung di desa itu beberapa orang
anak sedang bermain tanah.
"Kakang Mahendra, sesungguhnya kita harus mengakui, Bahni Tamoli kita bisa dengan mudah dikacaukan oleh kekuatan Kakang
Megatruh. Ya nggak?" tanya Sinom sambil memperhatikan anak-anak itu ramai, masing-masing membuat gundukan dengan tangan mereka, membentuk kerucut-kerucut tanah berpasir kecil.
"Enak saja! Kau berkata begitu karena dia kakakmu!" Ki Mahendra memukul batunya yang melayang
melewati pagar di kiri jalan dan masuk ke halaman
orang. "Kalau kita tidak merasa kalah, mengapa kita tergesa
meninggalkannya?" tanya Sinom. Dilihatnya anak-anak
itu masing-masing meludah hati-hati pada pucuk kerucut masing-masing.
Mereka memang tergesa-gesa meninggalkan Tasik
Arga, padepokan Ki Megatruh. Pertama karena mereka merasa bersalah (walaupun tak
mungkin mengakui)
atas perginya Nyai Rahula. Kedua, karena mereka sesungguhnya malu (walaupun takkan mungkin mengaku
juga) bahwa mereka kalah ilmu. Dan yang ketiga, mereka memang tergesa-gesa mencari anak mereka, Tantri. Tapi begitu di perjalanan, seperti biasa mereka lupa akan ketergesa-gesaan
itu. "He, Kakang Mahendra. Coba lihat itu. Bagus sekali!"
Sinom bertepuk-tepuk tangan dan berlompat-lompatan
kecil. Dilihatnya anak-anak tadi, setelah menunggu beberapa saat, mencukil
bagian puncak kerucut yang tadi mereka basahi dengan ludah. Kini puncak-puncak
tersebut telah berbentuk kue!
Tetapi Ki Mahendra tak menjawab. Ia sedang berlari
ke belakang sebuah rumah mengejar batunya. Karena
tak ada jawaban, maka Sinom pun melompati pagar
dan mendekati anak-anak yang sedang bermain itu.
"Hayo buat lagi, hayo buat lagi... bagus ya kuenya" Ba-ru bulan begini kok sudah
membuat kue apam" Mana
soma- nya, hayo! Masa makan kue tidak pakai minum"
Apa ya enaknya...."
Sinom berdiri di halaman itu, dengan kedua tangan
di punggungnya, menelengkan kepala seolah-olah berpikir. Anak-anak tadi saat Sinom melompati pagar telah melompat mundur
ketakutan. Dan mendengar suara
asing yang lantang itu beberapa orang tua memunculkan kepala dari pintu-pintu rumah mereka.
Seorang anak agaknya paling berani. Ia gundul. Telanjang. Hitam. Kotor. Ia maju dan berkata, "Biasanya kami main dengan kelapa
muda... tapi sekarang kelapa
mudanya sering diambil orang!"
"Ah, kalau diambil orang kan tidak apa-apa... asal tidak diambil monyet...
monyet seperti kau! Hi hi hi... kau seperti monyet tidak?" Sinom tertawa,
bertanya. "Memang seperti... tapi kan monyet hitam, hayo! Hi
hi hi...," anak itu juga tertawa.
"Hi hi hi... monyet hitam bisa manjat nggak" Itu kan
ada pohon kelapa" Tunggu apa lagi?" tanya Sinom.
"Tunggu sampai nanti bisa manjat, hi hi hi hi...,"
anak itu tertawa lagi.
"Lalu... kapan bisa manjat, hi hi hi...," tanya Sinom.
"Lha ya nanti kalau sudah lima tahun lagi, hi hi hi
hi...," jawab anak itu.
"Waaaa, terlalu lama. Sekarang saja kau terbang...."
Tiba-tiba saja Sinom menyambar anak itu dan melemparkannya ke atas.
Terdengar beberapa jeritan terkejut dan suara orangorang berlari mendekat. Anak itu sendiri tidak terkejut.
Lemparan Sinom begitu lembut dan tepat. Ia seakan
melayang pelan meninggi, tepat sampai ke batas buah
pohon kelapa itu. Sesaat ia bergelantungan di beberapa
buah kelapa, dan memuntir sebutir.
Ia pun kemudian meluncur ke bawah dengan membawa sebutir kelapa muda.
Tapi ketika Sinom akan menyambut kejatuhan anak
itu, tiba-tiba saja dirinya telah dikurung oleh belasan mata tombak.
"He, jangan halangi aku!" Serta-merta Sinom meloncat tinggi, melesat menyambar anak yang hampir sampai ke tanah itu. Terlambat sedikit saja, pastilah anak hitam itu terhunjam ke
tanah. Sekali lagi di sini pun Sinom langsung terkepung
oleh beberapa senjata.
"Wah, terima kasih, kok untuk kelapa satu saja begini banyak yang mau meminjamkan alat." Dengan mudah Sinom merampas sebilah pedang dan membabatkannya pada kelapa yang dipegangnya.
Tapi kembali ujung-ujung senjata itu tersodor menghalangi pedangnya.
"He, sudah, aku sudah dapat, lainnya tak usah!" teriak Sinom. Orang yang mengelilinginya bertampang seramseram. Dan mereka tampaknya bukan orang desa sini.
Lain dengan orang-orang lain yang berada di kejauhan.
Mereka lugu. Heran. Dan ketakutan. Pakaian mereka
pun sederhana. Dan banyak ibu-ibu di antara mereka.
Ribut memanggili nama-nama... pastilah nama anakanak mereka. "Gandarwa perempuan, ingatlah, ini terakhir kali
kau boleh muncul di sini," orang yang paling berwajah seram dari semua pengepung
Sinom berkata. "Namaku
Ki Ridu, dan ini semua benggol Gunung Lawu. Orang
desa sini telah menyewa kami. Jadi... jangan berani datang lagi. Mestinya kau
tahu Ki Ridu, bukan?"
"Ya. Aku tahu. Ki Ridu adalah kau. Dan jika kau tak
menghendaki aku muncul lagi di sini, ya baiklah. Nih, Monyet hitam...." Sinom
mengulurkan kelapanya pada
anak yang masih berada dekat kakinya. "Aku mesti pergi nih... takut, he... tapi aku mesti mencari temanku du-lu." "Temannya sudah
kami tangkap, Kiai!" terdengar
orang berteriak. Dan dari balik rumah tampak Ki Mahendra yang basah kuyup diikat kedua belah tangannya
dan diseret oleh tiga orang seram yang agaknya juga
anak buah Ki Ridu.
"He, kenapa kau, Kakang?" Sinom tertawa. "Kau lupa
kalau sesungguhnya kau tidak suka mandi?"
"Lha aku tahu-tahu jatuh ke sumur, he!" kata Ki Mahendra memeras jenggotnya. "Dasar, yang punya sumur
kurang ajar! Masa... sumur tidak diberi pagar! Heran!
Eh, kenapa mereka ini?"
"Mereka mau jual senjata barangkali. Entahlah.
Kau... kenapa diikat" Nyuri ayam lagi, ya?"
"Enak saja! Mereka tidak punya timba. Jadi untuk
mengambil air mereka memakai aku... diikat... diulur sampai ke air... terus aku
disuruh menghirup air seba-nyak-banyaknya baru kemudian aku ditarik ke atas."
"Diam!" bentak Ki Ridu. "Kalian berdua tak boleh ke
sini lagi dan minta apa pun pada penduduk desa, mengerti?" "Baik. Baik... aku mewakili dia menjawab, lho!" kata
Sinom. Ki Ridu jadi bingung kini. Ia sudah mengharapkan
adanya perlawanan. Tapi ternyata orang ini begitu penurut! Bingung ia menoleh pada seorang lelaki tua yang perlahan mendekat.
"Buyut," katanya. Jadi orang tua itu buyut, atau lurah Desa Paruan itu. "Bagaimana nih... mereka menyerah. Lihat, kan, betapa gampangnya jika Ki Ridu dan
kawan-kawannya turun tangan" Nah, kita bunuh saja
keduanya?"
"Begini saja... satu kita lepaskan, satu kita tahan,"
kata Buyut Paruan. "Induk pasukan mereka harus tahu
bahwa mencari bahan makanan di sini sia-sia! Desa Paruan takkan mudah bertekuk lutut!"
"Berkat Ki Ridu! Ha ha ha! Bayarnya tambah lho,
Buyut!" salah satu anak buah Ki Ridu tertawa. Yang
lain ikut tertawa terbahak-bahak. Tapi mereka langsung menutup mulut rapat-rapat
saat Ki Ridu melotot pada
mereka. "Diam semua!" bentak Ki Ridu. "Kita memang begal,
rampok, maling, berandal... tapi kita sudah punya janji pada Buyut Paruan ini!
Kita harus membuktikan bahwa
walaupun kita perampok paling jahat di daerah ini... ki-ta juga bisa dipercaya,
tahu! Kita sudah berjanji untuk menolong desa ini dari para perampok perempuan
itu. Kita laksanakan itu. Baru setelah janji itu selesai... nah, kita boleh jahat
lagi! Sekarang belum boleh, mengerti?"
"MENGERTI, KI RIDU!" serentak semua anak buah
Ki Ridu menjawab.
"Eh, tunggu, aku kan bukan perempuan!" tukas Ki
Mahendra. "Jelas aku bukan kelompok perampok perempuan, kan" Nah, aku saja lepaskan. Bunuh saja
yang itu." Ia menunjuk pada Sinom.
"He-eh," kata Sinom. "Bunuh saja aku. Dia kan sudah tua. Tidak dibunuh juga mati sendiri!" Ia berbicara begitu bersungguhsungguh hingga semua orang tertegun bingung.
"Enaknya bagaimana yah, Buyut?" bisik Ki Ridu.
"Kamu jadi perampok kok bodo begitu sih... apa-apa
tanya. Bagaimana kalau nanti aku jadi pemimpin perampokmu saja?" bisik Buyut Paruan.
"Memangnya... Buyut bisa bertempur?" bisik Ki Ridu.
"Kamu kan bisa mengajari aku?" bisik Buyut Paruan.
"Eh, kalian main bisik-bisikan apa sih?" Sinom ikut
berbisik. Mereka bertiga memang berada di tengah lingkaran para anak buah Ki
Ridu yang bertampang seram
serta bersenjata lengkap berkelebihan itu. Suasana sepi sejak Ki Ridu membentak
anak buahnya tadi. Hanya
terdengar gemeletuk gigi Ki Mahendra yang basah
kuyup dan masih dipegang oleh tiga orang anak buah Ki Ridu di pinggir lingkaran.
"Ini, masa orang setua ini ingin diajar bertempur!"
kata Ki Ridu. "Untuk apa?" tanya Sinom berbisik.
"Biar bisa jadi perampok! Sepertinya... jadi perampok kok enak," sahut Buyut
Paruan masih berbisik. "Me-rampok boleh. Melindungi desa juga boleh. Dapat upah,
lagi!" "Berapa kaubayar dia, Buyut?" tanya Sinom.
"Tiap hari makan enak, kemudian padi tiga pikul tiap
pekan, boleh tidur di mana pun mereka suka, dan
Candika Dewi Penyebar Maut V I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
uang," kata Buyut Paruan.
"Sebetulnya tidak banyak, dibanding tugas yang harus kami hadapi!" tukas Ki Ridu. "Bayangkan! Kami harus menghadapi perampok-perampok perempuan yang
sakti-sakti coba! Apa itu tidak berarti menyabung nya-wa?"
"Kau sudah pernah menghadapi perampok perempuan itu, Ki Ridu?" tanya Sinom.
"Belum. Tapi mereka sakti-sakti kok. Pokoknya kau
bisa mati ketakutan kalau ketemu mereka!" kata Ki Ridu. "Bagaimana bisa" Bukankah dia juga anggota perampok perempuan itu?" tanya Buyut Paruan.
"Ya ampun! Benar juga!" Ki Ridu memperhatikan Sinom. "Eh, tapi kau kok tidak menakutkan?"
"Ugh. Ini paling juga cuma pembantunya!" kata
Buyut Paruan. "Kalau kaulihat yang berjubah biru itu...
wah. Bisa mati kutu kau!"
"Kalau lihat ini sih... yah, si jubah biru yang Buyut takutkan itu pasti...
keciiiiil!" Ki Ridu menunjukkan jari kelingkingnya.
"Tantang saja dia supaya datang kemari. Jadi beres,
kan?" Buyut Paruan berseri-seri. Mungkin kalau perampok perempuan itu sudah dibereskan, ia tak usah lagi
menyewa Ki Ridu. "Seperti Gusti Kartanegara dahulu.
Potong kupingnya dan kirimkan ia kembali!"
"Pikiran bagus, Buyut. Mana, kupingmu kupotong
sini!" bentak Ki Ridu pada Sinom.
"Nih..." Sinom menjulurkan kepalanya. Dengan tertawa Ki Ridu mencabut kerisnya dan memegang kuping
Sinom. Tetapi kemudian ia terkejut. Beberapa kali ia
iriskan keris itu, selalu saja kuping yang sudah dipegangnya luput.
"Hei, kamu diam dulu... kan tidak bisa kupotong
nih!" kata Ki Ridu kesal.
"BUYUT PARUAN! MANA UPETIMU!" tiba-tiba terdengar suara keras dari luar halaman. Semua terkejut kecuali Sinom dan Ki Mahendra. Dari tadi mereka sudah tahu kehadiran beberapa belas wanita berpakaian
bagaikan prajurit yang diam-diam mengepung tempat
itu. Buyut Paruan hampir pingsan. "Ki Ridu... itu... itu mereka datang!"
"Oh, jadi kau hanya buat pancingan, ya!" Ki Ridu
mendorong Sinom ke pinggir, kemudian berjalan dengan gaya gagah ke tempat orang yang tadi berseru,
sambil memutar-mutarkan tombak di tangan kirinya.
"Siapa kau?" tanyanya pada wanita itu, sambil menunjuk dengan tombaknya.
"Namaku Ni Dukut. Kudengar Buyut Paruan menyewa gerombolan perampok untuk melindungi desanya.
Kau yang bernama Ki Ridu?" wanita itu bertanya.
"Ooo, jadi sudah kenal namaku, ya! Bagus! Jadi, takutlah! Dan menyingkirlah. Atau tetaplah di sini untuk memuaskan kami, ha ha
ha... happpph!" Tawa Ki Ridu
terputus karena dengan keras sekali Ni Dukut menampar mulutnya. "Kurang ajar kaupppph!" Sekali lagi tamparan keras itu melecut
bibir Ki Ridu. "Kau... ppph!"
Dan sekali lagi. Tampaknya begitu mudah. Tapi begitu
cepat. Tangkisan Ki Ridu selalu datang terlambat.
"Kau cepat pergi, kalau tidak tinggalkan kepalamu di
sini!" Tangan Ni Dukut sangat cepat. Beberapa tamparan keras dilecutkannya berturut-turut.
Ki Ridu terpaksa meloncat ke belakang, menjauh.
Rahasia Hiolo Kumala 12 Panggung Penghukum Dewa Seri Pengelana Tangan Sakti Karya Lovelydear Istana Yang Suram 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama