Ceritasilat Novel Online

Dewi Penyebar Maut V I 2

Candika Dewi Penyebar Maut V I Bagian 2


"Perempuan tak tahu diuntung!" Ki Ridu membentak
keras, meloncat memasang kuda-kuda.
"Aduuuh, sungguh menakutkan!" kata Sinom dengan suara bening yang terdengar jelas di kesunyian
itu. "Apa dia mau menirukan... apa ya... kodok ataukah... kadal, ya?"
Andalan Ki Ridu adalah suatu ulah silat yang diberi
julukan "Harimau Kumbang Hutan Selatan". Sosok kuda-kudanya galak, diikuti oleh raut muka yang memang
diatur untuk meruntuhkan iman lawan. Bagi orang
awam kelihatan jelas persamaan kedudukan tubuhnya
dengan seekor harimau kumbang yang akan menerkam.
Tentu saja, dikatakan 'kodok' atau 'kadal' membuat Ki Ridu sangat murka.
Ia langsung menerjang Ni Dukut. Ni Dukut bagaikan
menari memutar tubuh, bertumpu pada satu kaki, merendahkan tubuh dan menghantam dengan kedua tinju
kecilnya. Serangan pertama Ki Ridu punah!
Terjangan Ki Ridu makin gencar. Bumi sampai bergetar oleh injakan kakinya yang besar-besar itu. Tetapi Ni Dukut seolah tak acuh.
Bergerak lembut ke sana-kemari. Dan sekali-sekali tendangan dan tebasannya
membuat Ki Ridu terguling-guling mundur.
Suatu saat sebuah tendangan telak mengenai janggut pemimpin perampok yang langsung terpental membentur batang pohon kelapa. Beberapa saat ia nanar
berkunang-kunang matanya.
"Buyut Paruan, upetimu kali ini dua kali lipat!" kata Ni Dukut dingin.
"Tawur!" teriak Ki Ridu melompat berdiri dan mencabut pedangnya. Serentak pula anak buahnya langsung
menyerbu. "PASUKAN BUIH!" teriak Ni Dukut. Dan tiba-tiba saja
pasukan wanitanya bergerak. Serentak. Seakan tak berencana, namun langsung membuat anak buah Ki Ridu
terdesak. Kilatan pedang mereka putih, seakan bergetar menyilaukan pandang
sebelum menebas atau menusuk. Semua anak buah Ki Ridu memang tak menduga
mendapat perlawanan sedemikian hebat. Mereka langsung kedodoran bingung menyusun barisan. Memang
sesaat mereka mampu bertahan, dengan mencoba nekat menembus barisan wanita itu. Juga karena jumlah
mereka lebih banyak. Tetapi tak lama. Dengan keji pasukan Ni Dukut menebas siapa pun yang lengah hingga
tak lama tempat itu sepi kembali. Yang terdengar hanya beberapa erangan orang
melepas nyawa. Ki Ridu sendiri terdesak ke sebatang pohon kelapa,
dikurung oleh tiga bilah pedang putih perak.
"Ki Ridu, kau patut mati!" kata Ni Dukut. Dan tiga
bilah pedang terayun. Rampok tergarang dari hutan
Lawu itu roboh.
"Buyut Paruan, upetimu harus kaubayar empat kali
lipat. Dan, sekarang juga!"
"Ampun, Dewi, ampun, Dewi... mohon diampuuuun
...," Buyut Paruan sampai bersujud dan menyembah
dengan kepala melekat ke tanah. "Mohon diampun...
membayar satu kali saja kami tak akan sanggup jika
sekarang kok... apalagi empat kali!"
"Tapi kau mampu membayar rampok-rampok ini,
huh?" ketus Ni Dukut, melambaikan ujung pedangnya
di dekat leher Buyut Paruan.
"Malah aku juga disewanya lho!" Sinom yang sejak
munculnya Ni Dukut tadi tak bersuara kini ikut berbicara. "Bayangkan! Padahal hargaku mahal. Lagi pula,
dia bilang... apa takutnya sih dengan si Dukut... ugh, ugh, ugh...." Sinom
menirukan gaya dan suara bicara
Buyut Paruan dengan sangat tepat. "Anak kecil saja bi-sa mengalahkan. Daripada
bayar upeti pada perampok
perempuan sialan itu... lebih baik kuberikan uangku
padamu. Kau cantik, manis, menarik... Apa itu Dukut...
seperti gandarwa kentut!" Sekali lagi Sinom menirukan gaya bicara Buyut Paruan.
"Tidak... tidak... aku tidak bicara begitu.. aku... aku bahkan tidak kenal pada
orang ini!" Buyut Paruan gugup mencoba membantah.
"Diam!" bentak Ni Dukut. Matanya tajam mengawasi
Sinom. Dan Sinom yang merasa diawasi membalas
mengawasi sambil menggoyang-goyangkan kepala serta
tersenyum dipermanis-manis.
"Siapa kau?" tanya Ni Dukut pada Sinom, ujung pedangnya hampir menyentuh dada Sinom.
"Tidak kaget kau nanti jika mendengar namaku" Aku
... mmmh... siapa yah enaknya.... Eh, Kakang, siapa
namaku?" Sinom berseru pada Ki Mahendra yang sedang sibuk membanding-bandingkan beberapa butir
batu untuk permainannya berikutnya. Ia bahkan duduk
di punggung salah seorang anak buah Ki Ridu yang sudah jadi mayat.
"Eh, namamu... anu... Wanita Petualang Gagah Perkasa! Ya. Hebat, ya?" Ki Mahendra tertawa-tawa. "Tak
ada yang ditakuti, tak ada yang mengalahkan, si pembuat Ni Dukut bertekuk lutut sambil manggut-manggut!
He he he... namamu panjang sekali!"
"Bagus sekali, bagus sekali!" Sinom bertepuk-tepuk
tangan sambil berloncat-loncatan kecil. "Ya itu namaku.
Mm... pokoknya panjang sekali, sampai aku sendiri lupa. Pokoknya ada bagian yang bunyinya penakluk Ni
Dukut, begitu!"
"Kau memang minta modar!" Gemas Ni Dukut mengayun pedangnya. Tapi walaupun tampaknya tak melangkahkan kaki, tubuh Sinom dapat bergeser maju
mundur, ke kiri dan ke kanan, hingga tebasan beruntun Ni Dukut hanya menerpa angin. Dan mereka berdua kembali ke kedudukan semula. Sinom tertawa genit. "Benar kan kataku" Mengayunkan pedang saja tidak becus kok.... Nih, anak kecil saja pasti bisa mengalahkan. Hei, adik kecil yang seperti monyet!" Sinom memanggil anak yang tadi
bermain dengannya. Anak itu
sesungguhnya sudah berada di luar pagar, tetapi dipanggil Sinom ia berlari mendekat.
"Biar seperti monyet, tapi monyet hitam, heee!" anak
itu membantah. "Baik, baik. Monyet hitam punya nama tidak?" Sinom tertawa. "Dikira tidak punya, ya" Uuuuh, punya kok, heeee!"
Anak itu mencibir pada Sinom.
"Kalau punya siapa hayo namanya?" tanya Sinom.
"Idiih, sudah besar belum tahu namaku. Di sini semua anak sudah tahu kok namaku!" Anak itu meleletkan lidahnya.
"Kecuali kau sendiri, pasti!" goda Sinom.
"Siapa bilang! Namaku Ragil, hayo!"
"Ragil Ireng?" tanya Sinom.
"Kok tahu?" si Ragil memang dijuluki Ragil Ireng.
"Aku juga tahu Ragil dapat mengusir dia." Sinom
menuding Ni Dukut yang sedang sedikit kebingungan
menghadapi kenyataan gagalnya tebasan pedangnya.
"Dia jahat!" Ragil Ireng cemberut.
"Labrak dia. Tapi dengar baik-baik kataku, ya" Dan
bawa ini." Sinom memberikan dua buah tanduk rusanya. "Nih. Dan ingat, yang mana kiri, yang mana kanan... yang mana depan, mana belakang... mana atas
mana bawah. Ingat?"
"Ingat." Ragil Ireng yang memang nakal itu gembira
melompat ke depan dan meniru kedudukan kaki Ki Ridu tadi. "Bagus. Ni Dukut, hari ini kau runtuh di tangan bocah desa Paruan ini sendiri lho! Ragil, maju! Mundur!
Kiri! Kiri! Putar! Eh!" Sinom terkejut sendiri. Ragil dengan tepat melakukan apa
yang diteriakkannya. Tapi ti-ba-tiba badan anak itu terputar dan roboh.
"Kamu goblok!" Ragil dengan marah menuding Sinom. "Lhoh! Jangan kurang ajar lho!" Merah juga kuping
Sinom dimaki anak kecil itu.
"Tadi tidak bilang putar!" kata Ragil.
"Oh, ya! Nanti ada putar kiri, putar kanan, loncat,
tendang, pukul kiri, pukul kanan, loncat mundur, tusuk!" "Begitu seharusnya, lengkap! Guru ngawur!" Ragil
Ireng pasang aksi lagi. "Ayo mulai lagi!"
"Buyut Paruan..." Ni Dukut akan mulai bicara. Tapi
ia disela oleh teriakan Sinom, "Serang, Ragil!" yang diikuti oleh serangkaian
perintah yang keras, tegas, dan
jelas. Dan Ragil Ireng cukup cerdas. Ia bergerak tepat sekali sesuai perintah
dari Sinom. Memang tidak seperti gerakan silat sama sekali. Lebih mirip gerakan
anak bermain-main. Tetapi pengaruhnya hebat pada Ni Dukut. Beberapa kali ia terpaksa melompat menghindar
dari sambaran atau tusukan tanduk rusa tadi. Ia ingin berteriak minta anak itu
berhenti, tetapi pada akhirnya tak sempat. Gerakan Ragil di bawah komando Sinom
makin membingungkan. Dan ketika kemudian Ni Dukut
mencoba balas menyerang dengan tebasan ganas pedangnya, ia bagaikan membentur batu. Setiap gerakan
pedangnya dengan tepat diramalkan oleh Sinom. Selalu
Ragil sudah menghindar atau kalaupun tidak ujung
tanduk rusa itu sudah menghadang mengancam.
Akhirnya sebuah tendangan kecil di tempurung lutut
Ni Dukut membuat wanita itu terhuyung. Disusul oleh
sambaran kaki serta sabetan tanduk rusa, maka terpaksa Ni Dukut menjerit keras dan roboh!
"Hore! Hore! Aku menang! Aku menang!" Ragil Ireng
meloncat-loncat di sekeliling Ni Dukut.
Anak-anak yang lain ikut bersorak-sorak. Dan kemudian orang-orang tua juga ikut bersorak.
"Nah, Buyut. Perampok macam ini saja kau harus
takuti! Kalau mau bersatu, penduduk desa pasti bisa
menaklukkannya!" kata Sinom.
"Tangkap perempuan itu!" Ni Dukut melompat berdiri dan langsung memberi perintah pada pasukannya.
Dan pasukan itu pun serentak bergerak. Dengan
tangkas mereka menendangi mayat-mayat anak buah
Ki Ridu yang mungkin jadi penghalang, serta mengancam mundur para penonton yang terlalu dekat. Termasuk Ki Mahendra yang dengan sukarela mundur menjauh. Segera saja Sinom sudah terkepung.
"Wah, ini bukan tandinganmu, Ragil, biar kuhajar
mereka," bisik Sinom dan mengambil kedua tanduk rusanya. "Ya, aku juga tidak bernafsu melawan cecungukcecunguk ini," kata Ragil penuh gaya. "Pemimpinnya sa-ja seperti itu...
sudahlah, anak buahnya untukmu, ya.
Capek!" "Anak-anak," kata Sinom pada para pengepungnya
saat Ragil sudah berlalu, dan para pengepung itu selangkah lebih maju. "Kalau kalian tidak ingin kugebuki, jangan nakal, ya! Angkat
semua mayat itu, dan pergi
dari sini... serta jangan kembali!"
"Serang!" seru Ni Dukut.
Mereka menyerang. Dengan langkah-langkah dan gerak teratur rapi. Ada yang maju. Ada yang mundur. Ada yang menebas. Ada yang
menusuk. Ada yang berputar.
Kilatan pedang mereka berpancar-pancar membingungkan. Serangan mereka bertubi-tubi berdatangan.
Sepasukan orang biasa, pasti langsung roboh dan
bubar. Bahkan para penonton dari kejauhan pun jadi
pusing. Tetapi Sinom bukan orang biasa. Ia hanya tertawa.
Badannya bergerak gesit. Menerobos serbuan pedang.
Melompati tusukan bersama. Menggeser tubuh menghindar dari serangan bergelombang.
Kemudian kedua tanduk rusanya bekerja. Satu per
satu pantat pasukan Ni Dukut digebuknya. Keraskeras. Dan setiap kali kena gebuk, pasti yang bersang-kutan roboh. Termasuk Ni
Dukut. "Nah, Anak-anak... apa kata Bibi... tak boleh nakal,
ya! Hayo... masing-masing ambil mayat itu dan cepat
angkat kaki! Sekarang!"
Semua memandang Ni Dukut.
"Siapa sebenarnya kau ini?" tanyanya tajam pada Sinom. "Aku tak mau tahu siapa yang mengajarimu gerakan-gerakan silat tadi," kata Sinom, kini bersungguhsungguh. "Siapa pun dia, sungguh hasilnya memalukan! Pulang, dan katakan aku akan mengunjunginya.
Segera. Dan, jangan berani mendekati desa ini lagi.
Mengerti?"
Beberapa saat Ni Dukut berpikir. Dalam keadaan seperti ini, mestinya ia bunuh diri. Tetapi itu takkan men-guntungkan
junjungannya. Beliau harus tahu dengan
tepat tentang adanya orang asing ini. Masih belum terlambat untuk bunuh diri,
jika kelak ia sudah menyampaikan apa yang terjadi. Ia mengangguk. Berkata
pendek, "Mundur!"
Dan dengan cepat pasukannya mundur, membawa
mayat-mayat anak buah Ki Ridu.
Hening beberapa saat sewaktu pasukan perempuan
itu pergi. Kemudian seluruh isi desa seolah meledak dalam kegembiraan. Semua
bersorak-sorai, berjingkrakjingkrak. Gugup Buyut Paruan mendekati Sinom. "Oh, Dewi,
Gusti, Hyang... oh, Pahlawan... oh, Penolong... oh..."
"DIAM!" Sinom menukas kegugupan Buyut Paruan
dengan bentakan keras. Ia masih bersungguh-sungguh,
sesuatu yang sangat jarang terjadi. "Kau sungguh memalukan, Buyut. Lebih baik kau jangan jadi buyut. Kau tak punya keberanian. Kau
tak punya kecerdikan untuk
memimpin rakyatmu. Jika kalian bersatu, mana mungkin kalian bisa dikalahkan oleh segerombolan rampok...
apalagi hanya rampok perempuan?"
"Tapi... tapi..."
"Sudah. Aku tak mau berurusan denganmu. Kakang
Mahendra!" Sinom berteriak.
Kemudian ia lenyap dari pandangan Buyut Paruan.


Candika Dewi Penyebar Maut V I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Disusul oleh lenyapnya Ki Mahendra.
Dengan gerakan Sura-caya kelas tinggi, Sinom melesat meninggalkan desa itu. Ia
melewati rombongan anak buah Ni Dukut yang berjalan gontai masing-masing memanggul atau menyeret mayat. Mereka tentu saja tak
melihat ia dalam kecepatan yang begitu tinggi. Ia terus berlari, sampai akhirnya
berhenti di dalam hutan, me-rapat pada sebatang pohon besar di mana air
gemericik dari sebuah sumber di lereng tebing di belakang pohon itu. "Kakang
Mahendra, kaulihat mereka tadi?" bisik Sinom.
"Ya, kasihan ya yang kecil tadi. Paling cantik, eh,
bawaannya paling berat lho!" sahut Ki Mahendra yang
sudah bertengger di salah satu dahan di atas Sinom.
"Bukan itu maksudku!" kata Sinom kesal.
"Yang mana" Pemimpinnya" Kau keterlaluan, Adik
Sinom. Dia pasti malu lho, kalah dengan anak-anak.
Padahal... kalau dibanding kau... kok seperti masih lebih cantik dia!"
"Sial!" Gemas Sinom melontarkan sebuah tanduk rusanya ke atas. Dahan yang ditongkrongi Ki Mahendra
terdengar berderak keras dan patah. Runtuh. Ki Mahendra cepat melompat. "Gerakan mereka tadi lho! Sangat mirip barisan Rahula Wayu, bukan?"
"Rahula Wayu ajaran orang gila mungkin." Ki Mahendra turun ke tempat air dan
mencari-cari sesuatu di antara rerumputan basah itu.
"Mungkin. Juga gerakan si pemimpin tadi..."
"Terlalu genit!" sahut Ki Mahendra.
"Mirip Bantala Liwung yang disesuaikan untuk pedang," kata Sinom. "Lalu ketika
kucoba mengadu mereka dengan anak kecil itu..."
"Namanya Ragil Ireng...."
"Terlihat banyak penyimpangan. Sudah tidak murni
lagi." "Memang kulitnya hitam!" Dengan gerakan kilat Ki
Mahendra menyambar seekor kadal yang hendak lari.
Diliriknya istrinya. Sinom agaknya sedang tenggelam
dalam pemikirannya. Diam-diam didekapnya kadal itu.
Dan terlihat tangannya bagaikan membara. Asap pun
mengepul. "Buang kadal itu, Kakang!" tukas Sinom.
"Aaaa, Dinda Sinom..." Ki Mahendra tampak menyesal, memperhatikan kadal yang telah matang di tangannya. "Dulu sewaktu kau kawin denganku, kau janji apa...
hayo, janji apa!" bentak Sinom.
"Yaaaah, kenapa dulu aku pakai janji-janji segala
ya...." Dengan menggerutu Ki Mahendra membuang
kadal tadi dan membasuh tangannya di air.
"Jadi kupikir mereka tidak memperolehnya langsung
dari murid-murid kita," kata Sinom sambil terus merenung. "Murid kita kan tidak banyak ya, Adik Sinom, ya?" Ki
Mahendra duduk di samping Sinom. "Si Rhagani. Si
Madraka. Terus si bocah itu... Sindura! Huh. Aku cemburu lho pada Rhagani! Kau begitu mesra kalau mengajarinya!" "Cemburu kok pada orang seperti itu... mestinya kau
cemburu pada Tantri. Biasanya dia juga tidur denganku!" "Tapi Tantri kan anak kita?"
"O, iya, ya. Di mana dia sekarang, ya?"
"Rasanya kita turun gunung untuk mencarinya?"
"Tadinya kupikir... anak kita itu yang bikin garagara, sudah punya murid segala."
"Tapi..."
"Tak mungkin seburuk itu ajarannya. Juga, tak
mungkin sekejam itu muridnya. Karena itulah kulepaskan Dukut. Biar kita bisa ikuti. Dan kita lihat. Siapa guru gila itu. Huh.
Bikin malu saja!"
5. SEKITAR TRANG GALIH
DI TEPI sebuah jurang Ni Dukut dan pasukan kecilnya
berkumpul. Dan Ni Dukut memberi isyarat agar mereka
makin mendekat.
Tempat itu agak terbuka. Di belakang mereka hutan
rimba terpisah lebih dari tiga puluh langkah. Di depan mereka sebuah jurang
sempit menghunjam ke dalam
bumi. Tak terlihat dasarnya. Dan di seberang jurang,
dinding tebing menjulang tinggi seolah menuju langit.
Mereka baru saja membuang mayat-mayat anak
buah Ki Ridu ke jurang itu. Dan Ni Dukut memberi
isyarat agar mereka mendekat. Merapat. Mereka berjumlah delapan belas orang, namun agaknya sudah begitu sering bekerja sama hingga di tempat sesempit itu pun mereka bisa duduk
atau berdiri dengan teratur.
"Jangan menoleh, jangan menggerakkan bibir jika
berbicara. Dan berbisiklah," bisik Ni Dukut. "Kita sedang diikuti. Oleh kedua
orang itu. Aku tak tahu mereka di mana, tetapi kurasakan kehadiran mereka."
Ni Dukut diam sejenak. Kemudian berbisik lagi. "Aku
makin yakin, mereka orang luar biasa. Kehadiran mereka begitu dekat dengan pusat gerakan kita, sangat
berbahaya. Dan aku bisa menduga siasat mereka. Mereka melepaskan kita untuk kemudian membuntuti kita. Kita harus bersiasat." Sekali lagi ia diam. "Kita harus menyesatkan mereka.
Kita harus mengingatkan junjungan kita." Ia melihat berkeliling pada anak
buahnya. "Kita akan berpencar. Empat kelompok berjalan keempat penjuru. Semua menjauhi sarang kita. Dua kelompok bergerak menuju pusat dengan arah berbeda. Salah
satu harus berhasil mencapai pusat. Semua enam kelompok. Yang lima kelompok kalau perlu boleh hancurlebur. Yang satu berhasil." Kembali ia berdiam diri sesaat. "Jika dari yang
empat kelompok sampai hari
keempat masih selamat, kembalilah di hari yang kelima.
Dan berkumpul di Guha Ijo. Nah, pemimpin masingmasing kelompok adalah: aku, Karti, Esti, Dedes, Uma, dan Agi. Masing-masing
mengambil dua anggota...."
"Kurang ajar," desis Sinom.
"Sudah dari dulu," jawab Ki Mahendra yang tidurtiduran di semak-semak.
"Apa?" tanya Sinom heran.
"Aku, kan" Yang kaukatakan kurang ajar?"
"Bukan. Mereka."
"Itu baru kurang ajar namanya. Masa aku yang kurang ajar tidak dibilang kurang ajar" Di mana keadilan?" Sinom menendang Ki Mahendra. "Diam! Lihat. Itu
mereka berpencar."
"Barangkali mereka bertengkar" Biasa itu. Kalau perempuan bertemu perempuan, biasa kalau mereka bertengkar. Bukan kurang ajar! Contohnya kau dan Kakangmbok Rahula... selalu bertengkar!"
"Kakang Mahendra, kita kan sedang mengikuti mereka toh" Nah, jika mereka berpencar, siapa yang kita ikuti?"
"Ya salah mereka sendiri, kenapa berpencar! Bikin
bingung saja!" Ki Mahendra menggaruk-garuk kepalanya yang gundul.
"Hus. Kita yang perlu mengikuti mereka!"
"Eh" Oh, iya. Untuk mencari guru gila itu, ya?"
"Guru gila yang mana" Apakah ada guru gila lain kecuali kita?" Sinom menggoda.
"Nah, itulah tujuan kita. Mungkin kita bisa berguru
padanya agar lebih gila!"
"Lalu... siapa yang kita ikuti?"
"Ya guru itu... biar gila kan dia guru kita?"
"Bukan... mereka itu lho!"
"Untuk apa kita... ya, ya, ya..." Ki Mahendra tak jadi bercanda. Sinom
memelototkan matanya. "Anu... ikuti
saja yang terlemah di antara mereka...."
"Mengapa?" Sinom tercengang.
"Jika mereka berpencar, pasti untuk mengelabui kita. Jika begitu, maka mereka pasti menduga bahwa kita akan mengikuti si
pemimpin. Maka, si pemimpin pastilah yang paling menyesatkan!"
"Bagus juga kepala gundulmu itu." Sinom mengangguk. "Tiap hari dilap!" kata Ki Mahendra bangga.
"Jadi?"
"Kita ikuti si kecil berselendang biru itu."
Si kecil berselendang biru adalah Agi.
*** Mereka berada di gua khusus yang oleh suatu alasan
khusus diberi nama Gua Polaman oleh Wara Hita. Segala hal di gua ini begitu mewah - semua diatur bagaikan
balai penghadapan seorang raja.
Seperti biasa jika ia hadir, Nagabisikan duduk di
tempat terhormat. Wara Hita di sebuah dampar yang mirip tahta (dan sesungguhnya
memang tahta Wirabhumi yang dibawa dari ujung timur). Wara Huyeng dan
Juru Meya duduk di depan mereka.
Pada pertemuan khusus, hanya mereka yang hadir.
"Pasti kau kaget mengapa aku datang tiba-tiba, ya?"
tanya Nagabisikan.
"Apakah mungkin Eyang akan menjatuhkan hukuman pada hamba?" tanya Wara Hita.
"Bukan." Nagabisikan memejamkan matanya, tangan
kanan mencengkeram jenggotnya. "Aku baru saja memperoleh bisikan dari Dewata.... Bisikan baik... bisikan buruk... Misalnya, aku
merasakan kehadiran salah seorang dari musuh besarku. Dekat sekali!"
Wara Hita dan yang lainnya saling pandang. Siapa
yang dimaksud"
"Aku tidak tahu siapa," keluh Nagabisikan. "Musuh
besarku rasanya hanya Megatruh. Tapi... tak mungkin
ia keluyuran mencari aku. Dan entah, sudah berapa
usianya.... Bahkan mungkin aku takkan mengenalinya
lagi. Terakhir kami berhadapan... ia baru belasan tahun." Hening. "Kemudian, kurasakan, akan ada sesuatu yang akan
membuatmu gembira, Muridku.... Tapi bhujangga mpu tak tahu apakah itu."
Hening. "Tentang musuh Mpungkulun, putu maharsi tidak berani mengusulkan apa pun,"
sembah Wara Hita. "Kecuali... memohon pada Paman Juru Meya dan Bibi Wara
Huyeng untuk lebih memperkokoh kewaspadaan di sekitar lembah Trang Galih ini. Mungkin dengan mengerahkan Pasukan Badai dan Pasukan Buih untuk berjaga-jaga agak jauh dari pusat. Jelas mereka bukan tandingan Ki Megatruh. Tapi paling tidak kita bisa mengetahui kedatangannya lebih awal."
Nagabisikan hanya menganggukkan kepala dengan
mata terpejam. "Tentang sesuatu yang menggembirakan hati putu
maharsi... itu hanya karena restu Mpungkulun juga...!"
Wara Hita berdatang sembah lagi.
"Menurut pendapat hamba... kemungkinan Ratu junjunganku akan memperoleh tambahan kesaktian. Anak
Rahtawu itu, si Tara, telah berbicara dengan hamba ta-di. Ia akhirnya berani
menerima tantangan Gusti Ratu.
Mengingat beberapa saat yang lalu ia ingin bunuh diri, kemungkinan juga ini
suatu siasat agar ia bisa bunuh
diri. Tetapi, hamba rasa, ada juga faedahnya nanti untuk bisa melihat beberapa
langkah asli dari Birawadana yang selama ini kita cari."
"Memang Nakmas Hita hari ini sangat diberkati," kata Wara Huyeng seakan tak mau kalah. "Anengah juga
sudah begitu kecanduan oleh Butir Hitam Tartar hingga ia mau mengorbankan
ilmunya dan bergabung dengan
kita." "Keempat murid wanita dari Rahtawu itu sudah sama sekali tercuci otaknya, dan mereka telah bisa kita bebaskan bergerak tanpa
bisa punya niatan untuk ber-khianat," kata Juru Meya.
"Hamba memperoleh kabar bahwa Sang Maharaja
sendiri akan hadir dalam upacara Sradha di Wengker.
Hamba kira ini bisa kita jadikan ajang untuk mengukur kesiapan pasukan kita,"
kata Wara Huyeng.
Hening lagi. Nagabisikan bahkan terlihat seperti tertidur. Kedua
pembantu murid utamanya ini hampir tak berguna. Mereka memang bukan muridnya penuh. Tetapi mereka
cukup menguasai apa saja yang diajarkannya pada Wara Hita. Tak pelak, mereka memang cukup sakti. Namun tingkahnya masih begitu mirip anak kecil.
Wara Hita sendiri yang tampak matang, pikir Nagabisikan. Matang. Tenang. Berwibawa. Mungkin kali ini
cita-citanya membonceng orang yang memperoleh wahyu kerajaan betul-betul berbuah.
"Jika betul ada Ki Megatruh di daerah sini, biar aku
saja yang menghadapinya," kata Nagabisikan akhirnya.
"Tetapi aku tidak berpikir untuk bertanding dengannya.
Aku yakin, dia makin maju. Dan aku yakin, apa yang
kumiliki lebih dari cukup untuk menandinginya. Namun tugas kita lebih besar dari rasa dendam siapa pun.
Dari keuntungan pribadi mana pun!" Suara Nagabisikan begitu tajam serasa di telinga Wara Huyeng dan Ju-ru Meya. "Aku tak ingin
Megatruh mencium sesuatu di
sekitar sini. Ia harus dipancing menjauhi tempat ini.
Yang lainnya... Penekunan ilmu Wajra Prayaga Wara Hita tinggal memerlukan
pemantapan untuk pemata-ngannya. Akan segera tiba masanya baginya untuk belajar ilmu pemerintahan sebagai salah satu bekal dirinya kelak. Ilmu kadigdayan
yang dimilikinya hanyalah
selapis baju untuk penjaga diri saja. Tak ada gunanya jika diri itu sendiri
tidak diisi. Dalam rangka itulah, sesungguhnya kita hampir tak perlu lagi
menyadap ilmu murid-murid Megatruh. Yang kita ketahui sudah cukup.
Aku yakin, pasukan inti kita sudah cukup terbentuk.
Tinggal memolesnya saja. Untuk itu aku setuju kalian
mencobanya ke Wengker. Tapi ini mungkin yang terakhir. Dan kuharap Wara Hita tidak lagi memunculkan
diri. Wilwatikta telah terguncang. Biar mereka lengah lagi. Sehabis Wengker,
semua bergerak di bawah tanah.
Mengumpulkan dana. Mengumpulkan pengikut. Dan
Wara Hita akan aku ajak mengadakan perjalanan ke timur. Masih banyak perlengkapan yang belum dimilikinya. Ia perlu sekutu. Ia perlu pusaka. Ia perlu ilmu.
Dan ia tak boleh diganggu lagi."


Candika Dewi Penyebar Maut V I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hening lagi. Kemudian Nagabisikan berdiri.
"Muridku... setelah perjalananmu ke Wengker, kutunggu kau di Kembang Putih, di Guwa Sela." Pada saat kata-kata terakhirnya
terdengar, Nagabisikan telah lenyap dari tempat itu.
Kembali hening.
"Nakmas, apakah Paduka ada perintah untuk kami?"
Wara Huyeng memecahkan keheningan itu. Dan Wara
Hita tampak agak terkejut.
"Oh, ya!" Wara Hita mencoba memusatkan pikiran
pada apa yang dihadapinya. "Kelompok-kelompok utama Buih dan Badai boleh sudah berangkat ke Wengker.
Sebarkan dulu mata-mata dan hubungi semua titik-titik bantuan. Tinggalkan
panglima tingkat satu untuk men-jaga pusat kita. Dipimpin oleh Paman Juru Meya."
"Tapi, Ratu Junjunganku..." Juru Meya agaknya tak
mau ditinggal. "Tugasmu lebih berat, Paman. Aku tak bisa mempercayakan pusat kita ini pada siapa pun, kecuali pada
Paman," kata Wara Hita tegas. "Dua-tiga hari lagi, Huyeng dan aku berangkat. Dan
setelah Wengker kami
berdua akan ke Kembang Putih. Begitu bertemu dengan
Guru, Bibi Huyeng akan kembali ke sini," lancar sekali kata-kata Wara Hita.
"Tentang pemuda Rahtawu itu, Nakmas?" tanya Wara Huyeng. "Tolong Paman Juru Meya hadapi mereka, dan perhatikan dengan teliti, bisakah mereka kita gunakan
atau tidak. Aku dan Bibi Huyeng akan bepergian sebentar," kata Wara Hita dengan senyum tipis terbayang di bibirnya yang indah itu.
"Tolong jika kami pulang nanti, Paman Juru Meya sudah dapat melaporkan kegunaan
mereka. Mari, Bibi Huyeng!"
*** Jauh di perbatasan lembah, Wara Huyeng dan Wara Hita menunggu seorang anak buah mereka menyiapkan
kuda. "Mmmmh... Anakmas akan memakai Kiai Tatit Seta?" Wara Huyeng memperhatikan kuda putih mulus
yang sedang disiapkan anak buahnya. Kuda itu adalah
kuda unggulan yang belum pernah terkejar oleh kuda
lain. "Ah, pastilah ini perjalanan sangat penting, dan...
sangat menggembirakan hati Anakmas."
"Mata Bibi Huyeng sungguh tajam," kata Wara Hita.
"Aku baru saja menerima kabar lewat burung dari Bibi
Layarmega. Tun Kumala telah berangkat."
"Ah, kalau begitu benar dugaanku." Tapi Wara Huyeng tidak terlalu cerah mukanya. "Anakmas... dia pemuda yang kauceritakan itu?"
"Ya," Wara Hita berkata dengan setengah melamun.
"Dan kuharap Bibi tidak menyentuhnya sedikit pun."
"Tapi... menurut cerita Anakmas... dia tidak tahu kalau Anakmas... wanita?" tanya Wara Huyeng makin ragu dan memperhatikan pakaian pria Wara Hita.
"Aku suka padanya, dan ia suka padaku.... Buktinya, ia datang. Tak peduli aku wanita atau pria! Jadi...
jika ternyata aku bukan pria... pasti ia tertarik juga padaku!" Wara Hita
menaiki kudanya. Memang gagah, pikir Wara Huyeng. Dan sangat tampan.
"Cepat, naik, aku tak sabar menunggunya. Kita susul dia!" kata Wara Hita.
"Anakmas, Junjunganku... sadarlah... hal seperti ini
... belumlah waktunya.... Aku..."
Wara Huyeng biasanya sangat tak keruan tingkah
lakunya. Baginya tatasusila apa pun bentuknya tak
ada. Tapi saat Wara Hita melakukan sesuatu yang bisa
dianggap di luar garis... ia ingin menasihati. Tapi tak mampu.
Akhirnya sambil mengangkat pundak ia pun naik ke
kudanya. *** Hari menjelang senja saat tawanan dari Rahtawu itu dibawa ke hadapan Juru Meya
di ujung tebing yang berada di atas jurang dalam dengan julukan Jurang Grawah itu. Mengapa anak ini memilih jurang ini, ia tak ta-hu. Dan sesungguhnya ia
tak mau segala persyaratan
ditentukan oleh tawanannya. Banyak yang mencurigakan. Misalnya saja, mengapa justru anak itu memilih
tempat ini" Tidak sembarang orang tahu seluk-beluk
tempat ini. Tetapi akhirnya Juru Meya tak peduli. Apa pun yang
terjadi, ia yakin bisa menghadapinya. Lagi pula anak
Rahtawu itu masih begitu lemah. Bagaimana bisa mencelakakan dirinya" Mau melarikan diri" Dalam hati Juru Meya tertawa. Tempat di ujung tubir jurang ini berbentuk segitiga. Hanya ada
satu jalan lari: ke bawah.
Dua sisi lainnya adalah jalan mati: jurang menganga
sedalam lebih dari seribu depa! Hanya burunglah yang
bisa selamat jika jatuh ke sana. Dan jika anak Rahtawu itu menghendaki
kematian... Rasanya tak mungkin.
Orang yang berusaha bunuh diri, biasanya sesungguhnya takut pada kematian. Dan kalaupun memang tewas... ya... biarlah. Daripada harus bersaing dengan banyak orang guna berebut
rasa sayang sang junjungan.
Ia tak mengharapkan jabatan atau harta. Ia hanya
menghendaki junjungannya akan tetap menyayanginya.
Itu saja. Diperhatikannya Tara dikawal oleh beberapa pimpinan Pasukan Badai. Ula Bandotan. Kebo Taluktak. Jalak Katenggeng. Ketiganya tampak gagah dan menyeramkan, mengapit pemuda yang lemah-lunglai itu.
Tara kurus kering. Pucat. Langkahnya bagaikan setiap saat ia akan roboh.
Tapi Juru Meya cukup terkesiap melihat sinar mata
anak muda itu. Tajam. Menusuk. Tegar. Kukuh. Begitu
berbeda dengan sinar mata Anengah yang kuyu dan lemah. "Tara, kau sudah dibawa kemari. Lalu?" tanya Juru
Meya dengan suara serak yang kadang-kadang terdengar, kadang-kadang tidak oleh embusan angin keras
yang begitu dingin.
"Seperti yang kauinginkan... binatang!" kata Tara
dengan rasa benci yang tak disembunyikannya. "Kau
mengajakku bertarung... baik, kuladeni. Aku yakin kau takkan bisa menyadap
ilmuku... bahkan sebagian besar
dari kalian akan hilang nyawa!" Tara langsung memasang kuda-kuda dengan gerak yang lemah, menggambarkan betapa sesungguhnya tubuhnya sangat berkurang kekuatannya.
"Itu yang kaumaksud... baiklah, hio hi hi." Juru Meya tak mau kecolongan. Ia pun menyiapkan kuda-kudanya. Perlahan Tara terus bergerak. Langkah-langkahnya
tetap. Matanya tajam terarah.
Anak ini tak boleh dibuat main-main, pikir Juru
Meya. Ia belum mengubah kedudukan kakinya, tidak
memasang kuda-kuda. Justru di situlah letak kelicikan Juru Meya. Dan juga
keunggulannya. Diam-diam ia menyalurkan aji Rawa Rontek. Ajian ini lebih
bersifat melindungi diri. Mungkin saja dirinya hampir hancur oleh terjangan
lawan. Mungkin saja ia nyaris melepas nyawa.
Namun ia akan secepatnya pulih. Dan sementara lawan
lengah ia mampu melontarkan serangan balik yang ampuh dan maut. Dengan ilmu tunggal itu saja ia sudah sanggup malang-melintang di permukaan bumi ini. Dan ilmu itu
pula yang membuat ia menjadi pengawal terkasih Sang
Wirabhumi. Kalau ia kemudian memiliki ilmu lain, bisa dibayangkan betapa dahsyat
sesungguhnya kekuatan
yang ada pada Juru Meya.
Tak urung ia mengerutkan kening.
Tentu saja ia kenal betul akan segala ilmu yang bersumber pada ilmu Ki Megatruh. Namun gerak-gerik
Tara sungguh lain.
Dalam hal ini, mata Juru Meya yang sangat berpengalaman itu tertipu oleh ketelitian cara berpikirnya.
Atau, kekurangtelitiannya.
Ia tahu Tara lemah. Lemah secara fisik. Ia tahu langkah-langkah Tara semestinya limbung. Yang ia tidak
sadari adalah: gerak-gerik ilmu langkah Sura-caya sesungguhnya harus dilakukan
dengan limbung bagaikan
orang mabuk. Ilmu ini memang diciptakan bersama
oleh Sinom dan Ki Megatruh. Dengan banyak imbuhan
dari Ki Mahendra. Dan jelas, Ki Mahendra dan Sinom
adalah pasangan yang boleh dibilang tidak waras. Beberapa langkah inti mereka
ciptakan dengan bercanda.
Dan ini memang tepat, karena langkah Sura-caya meng-andalkan gerakan yang di
luar dugaan. Di tangan Ki
Megatruh, saat diajarkan pada muridnya, sebaliknya
gerakannya menjadi serba serius. Tetap tangguh, memang, tetapi inti kekuatannya banyak berkurang.
Kini Tara melakukannya dengan langkah begitu lemah hingga limbung. Dan ternyata setiap gerakannya
jadi begitu mantap dan berat.
"He..." Juru Meya sesaat ragu-ragu. Matanya serasa
berkunang-kunang oleh gerakan Tara. Dan... tiba-tiba
Tara menyerang.
Dasar Sura-caya. Digabung dengan Bantala Liwung yang merupakan tendangan serta
pukulan sakti, maka
gerakan Tara memberi perbawa angin prahara.
Yang tak bisa diduga-duga.
Beberapa hajaran beruntun diarahkan pada Juru
Meya. Gerakannya begitu indah hingga terpaksa Juru
Meya meladeni. Namun ia kecele. Begitu ia bergerak, ti-ba-tiba saja, sama sekali
tak terduga, Tara berputar secepat kilat dan langsung melabrak Ula Bandotan dan
kawan-kawan! Sesaat Juru Meya tercengang. Tapi saat ia tertegun
itu, terdengar jeritan melengking Jalak Katenggeng. Perutnya termakan tendangan
geledek Tara. Ula Bandotan
dan Kebo Taluktak cepat membuang diri ke belakang.
Dan sebelum mereka sadar, Tara telah mengitari tubuh
mereka dan langsung menerjang Juru Meya dari sudut
yang sekilas tadi sama sekali tak terlihat!
Kelabakan juga Juru Meya. Sesaat ia yakin Tara tak
mungkin bisa membuatnya cedera. Ia toh melambari diri dengan aji Rawa Rontek. Dan Tara toh sudah lemah.
Tapi sesaat pula terlihat betapa meyakinkannya gerakan Tara. Dan pandang mata yang tajam itu. Seolah
gunung batu pun akan hancur terkena tendangan Tara.
Secara serta-merta Juru Meya menjatuhkan diri.
Dan terpaksa ia menghantam Tara dengan pukulan serentak Birawadana hasil sadapannya.
Kembali ia terkejut. Sangat terkejut. Pukulannya serasa menghantam kapas.
Tara tidak memberi perlawanan. Ia mengikuti kekuatan pukulan dahsyat Juru Meya. Tubuhnya terlontar.
Melambung tinggi. Lepas.
Dan ia masih sempat berkata dalam hati, "Guru...
muridmu sungguh tak berguna!"
6. TUN KUMALA PERTARUNGAN antara wanita muda yang bernama Ni
Gori melawan ketiga anak buah Kusya: Ugra, Kena, dan
Santen sekilas tampak membingungkan. Ia yang wanita,
seorang diri dan hanya bersenjata parang, bukan hanya bertahan tapi malah
menyerang gencar ketiga lelaki
yang mengeroyoknya dengan beberapa macam senjata
panjang! Wanita tua yang diaku ibu oleh Ni Gori serta diaku
bernama Nyai Gadung seolah tak acuh memperhatikan
itu semua. Matanya bahkan hampir terpejam, seolah
mengantuk karena hangatnya api unggun serta dinginnya hawa sejuk menjelang pagi.
Kusya sendiri terperangah. Di tangannya tergenggam
senjata rantai andalannya, tapi ia begitu terpesona oleh apa yang dilihatnya. Ni
Gori memakai parang biasa. Seperti yang biasa digunakan oleh keluarga petani
miskin. Tapi gerakannya bukanlah gerakan orang yang bersenjata parang. Tangan Ni Gori begitu lentur, ditunjang oleh kedudukan kaki yang
bertugas sebagai jangkar...
itu adalah gerakan orang yang menggunakan senjata
rantai! Jika Kusya dan Nyai Gadung mengawasi dengan penuh kewaspadaan, adalah Tun Kumala yang bingung
sendiri. Nalurinya ingin agar ia menjerit-jerit dan berlarian ke sana-kemari.
Tetapi ia segera sadar bahwa ia
adalah pria. Dan pria yang tangguh, malah. Maka ia
pun bersikap tenang walaupun hatinya kacau-balau tak
keruan. "Bibi... putri Tuan begitu pintar berkelahi.... Wah,
pasti repot bagi Bibi untuk mencari menantu," kata Tun Kumala, duduk dekat api
dan menghangatkan tangannya. Tapi cepat tangannya itu ditariknya dan dimasukkan ke dalam bajunya. Tangannya begitu gemetar! "Siapa yang mengajarinya berkelahi?"
Nyai Gadung tidak menjawab.
"Ah, lebih baik kalian berhenti saja, he! He!" Tun
Kumala berteriak lantang pada yang sedang bertempur.
"He, kau... yang berkelahi! Berhenti sajalah! Apa sih un-tungnya memaksaku
sampai kalian bela dengan menyabung nyawa! Sudahlah!"
"Tuan bisa menghentikan pertempuran itu jika Tuan
turun ke sana," Nyai Gadung tiba-tiba berkata.
"Aku" Ke sana" Wah... bisa hancur badanku!" Tun
Kumala betul-betul terkejut atas usulan itu.
"Apakah Tuan tidak bisa berkelahi?" tanya Nyai Gadung. "Mmmm... anu... mmm, maksudku... Toh berkelahi
itu tak ada gunanya. Kan... lebih baik dirundingkan sa-ja...." Tun Kumala betulbetul kebingungan.
"Tuan lihat itu... anakku berkelahi... dan ada saja
kemungkinan bahwa ia kena senjata lawan... dan tewas.
Mati. Dan itu hanya karena Tuan!" Suara Nyai Gadung
begitu dingin. "Tapi... tapi aku tidak..."
"Ingat. Jika ia mati, maka ia mati karena Tuan!"


Candika Dewi Penyebar Maut V I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh... mmm.... ah... ya..." Tun Kumala sungguh kebingungan. "Ingat... Tuan yang bertanggung jawab!"
"Oh..." Beberapa kali Tun Kumala melirik Nyai Gadung. Tapi wanita tua itu telah memejamkan matanya.
Ia jadi ragu-ragu. Kata Nyai Gadung benar. Apa yang
terjadi pada Ni Gori semata-mata adalah karena dirinya.
Tun Kumala menghela napas panjang.
Di mana Rakryan Mapatih saat seperti ini" Mengapa
ia belum juga muncul" Berkelahi dengan orang-orang
kasar seperti ini pastilah kerja sambilan saja bagi Rakryan Mapatih. Tapi bagi dia"
Sekali lagi ia melirik Nyai Gadung. Tepat pada saat
mata wanita tua itu terbuka. Hitam. Tajam. Memandangnya sekilas. Seakan menuduh. Kemudian terpejam
lagi. Ah. Tak ada jalan lain. Daripada orang lain jadi korban... Tun Kumala berdiri. "Hei, hentikan!" Ia berjalan ke tepi permukaan batu,
dan turun. "Hentikan, kataku!
Jangan ganggu wanita ini!"
Suara Tun memang gemetar. Takut. Tetapi langkahnya tetap. Dan seakan tak kenal takut ia maju, ke anta-ra sambaran berbagai
senjata dan loncatan yang sedang bertarung.
Sikap yang tampaknya begitu tenang ini membuat
Kusya sangat curiga. Mungkinkah orang ini menyembunyikan isinya sebenarnya"
"Mundur, Kawan!" geram Kusya.
Ugra, Kena, dan Santen mencoba mundur. Tetapi Ni
Gori tidak membiarkan hal itu. Dengan tangannya
membuat berbagai gerakan melengkung, parangnya berulang kali menerobos pertahanan ketiga orang itu.
Hanya dengan pengalaman saja Ugra, Kena, dan Santen
sanggup mundur beruntun dan lolos dari sabetan dan
tusukan Ni Gori. Kemudian Kusya melompat masuk,
sabetan senjata gada rantainya langsung melibat parang Ni Gori serta
merontokkannya dalam satu gebrakan!
"Mundur!" Gugup dan sembarangan Tun Kumala
memegang bahu Ni Gori serta menariknya mundur.
"Awas!" Ni Gori menjerit, karena akibat perbutan Tun
Kumala tadi kepalanya tepat berada di daerah sasaran
gada rantai Kusya. Dengan tangkas Ni Gori menyapu
kaki Tun Kumala hingga mereka berdua jatuh roboh ke
belakang. "Hei!" Tun Kumala meringis kesakitan, terlentang di
tanah, sementara Ni Gori telah melompat berdiri dan
dalam kuda-kuda untuk menyerang Kusya.
"Tunggu!" Kusya menarik kembali gada rantainya.
"Tuan ingin berbicara apa?"
"Jangan teruskan perkelahian ini." Tun Kumala berdiri sambil mengusap-usap kedudukannya yang sakit.
"Tuan akan ikut kami?" tanya Kusya.
"Tidak," kata Tun Kumala. "Adalah tidak adil jika sekarang aku mau ikut kalian. Padahal... mmm... Adik
Gori ini tadi terpaksa mempertaruhkan nyawa membelaku karena berkata tidak."
"Kalau begitu, kami tak punya pilihan lain..." Kusya
memberi isyarat. Sudah terlalu lama mereka bermainmain di tempat ini. Dan sudah terlalu lama ia dipermainkan. Ia harus tegas.
"Badai!" tiba-tiba Kusya membentak. Dan serentak
mereka berempat menyerang Tun Kumala!
Tun Kumala tidak terkejut. Ia memang tidak tahu
bahayanya. Yang sangat terkejut adalah Nyai Gadung.
Dari pengamatannya, dari setiap geraknya, Nyai Gadung melihat bahwa sesungguhnya Tun Kumala tidak
berpura-pura. Ia yakin orang itu tak mengerti apa-apa.
Nyai Gadung hanya merisaukan suatu hal. Seolah-olah
Tun Kumala menyembunyikan sesuatu yang lain. Bukan kesaktian atau kadigdayan. Tetapi yang lain. Dan
mungkin lebih besar.
Dan Nyai Gadung terkejut karena Tun Kumala nekat
menerima serangan itu! Bahkan Ni Gori rasanya tak
akan lolos dari gebrakan yang dipimpin oleh Kusya itu.
"Awas!" seru Nyai Gadung. Tangannya bergerak cepat
sekali. Beberapa batang kayu yang dijadikan api unggun meloncat melesat ke arah Tun Kumala. Dan batang-batang kayu itu tepat menghantam setiap senjata
yang hampir menyentuhnya. Dengan kekuatan begitu
hebat hingga bahkan Kusya merasakan tangannya sesaat kesemutan.
Sesaat kemudian, Nyai Gadung telah berada di tengah mereka. Kakinya menendang, dan Tun Kumala
terbang ke arah Ni Gori. "Gori! Bawa dia pergi!" seru Nyai Gadung, dan ia terus
menghajar Kusya.
Kusya juga mengerahkan segenap kepandaiannya.
Gada rantainya berputar bagaikan payung, sementara
Ugra dan Kena serta Santen bergelombang menerjang
dari kiri dan kanan.
Tetapi Nyai Gadung begitu tenang. Tubuhnya meliuk
seakan mengikuti irama lecutan senjata maut Kusya.
Kemudian, tubuh tua itu seakan berubah menjadi suatu senjata. Tangan dan kakinya melecut cepat. Dan tepat. Sekejap. Dan Kusya serta kawan-kawannya sudah
bergelimpangan terguling-guling di tanah.
"Bagus, bagus, Bibi! Ternyata Tuan juga begitu pandai berkelahi!" Tun Kumala bertepuk tangan gembira.
"Memang bagus, dan memang pandai," terdengar suara merdu dari dalam kegelapan di antara pepohonan.
Hanya Tun Kumala yang tak memperhatikan suara
itu. Ia sibuk mengambili senjata-senjata kawanan Kusya yang terlempar lepas jatuh jauh dari pemilik masing-masing. "Sudahlah, lebih baik kalian pergi saja," kata Tun
Kumala, memungut gada rantai Kusya. "Ooops!" Ia terkejut. Gada rantai itu begitu berat. "He, kau memakai senjata seberat ini apa
tidak kasihan pada lawanmu,
he" Kan sekali kena paling tidak hancur kakinya. Sungguh... eh!" Baru kali ini
Tun Kumala mengangkat muka.
Dan terlihat olehnya dua penunggang kuda muncul dari
hutan. Tak salah lagi. Yang berkuda putih itu Wisti. Di-iringi seorang wanita
berpakaian serba biru.
"Ah, Tuan sudah datang?" Tun Kumala bingung juga.
"Mmm, Bibi... ini adalah... Tuan Wisti, pedagang wewangian dari Tosari... yang menyuruh... mmm, orangorang ini membawa aku...." Tun Kumala gugup mendekati Nyai Gadung. Nyai Gadung sendiri terus memperhatikan 'Wisti' dengan kening berkerut.
Wara Hita (yang menyamar sebagai pria itu) menghentikan kudanya. Kusya dan kawan-kawannya gugup
mendekat, menghaturkan sembah.
"Hamba sungguh tak berguna, Gusti!" sembah Kusya. "Kau memang patut mati!" geram Wara Hita mengangkat cambuk kudanya.
"Hei, jangan dihukum dia!" tiba-tiba Tun Kumala
menyela. "Dia sudah berusaha keras melakukan perintahmu sebaik mungkin. Sebal juga aku padanya. Tetapi
kalau menurut ukuranmu sih, mestinya ia malah patut
diberi hadiah."
"Hm, dia sendiri yang menyatakan dirinya gagal. Aku
sih sesungguhnya tak tahu apa pun." Wara Hita turun
dari kudanya. "Aku hanya mendengar kabar kau mau
memenuhi undanganku, jadi aku menyusul kemari untuk menjemputmu. Kami melakukan perjalanan semalaman. Dan kami dapati anak buahku itu di sini, sedang bertarung dengan seorang nenek-nenek. Sungguhnya cukup alasan bagiku untuk marah, bukan?"
Tun Kumala memperhatikan bahwa si Wisti ini agaknya mencoba mengakrabkan hubungan mereka dengan
berbahasa agak kasar.
"Tidak juga. Sebab mereka berkelahi atas dasar rasa
sayang. Paman Kusya dan kawan-kawannya menyayangimu, menjunjung perintahmu. Bibi Gadung berkelahi, karena beliau sayang padaku. Bukankah begitu,
Bibi?" tanya Tun Kumala dengan gaya manja yang rasanya tak akan ada pada seorang pria. Dan hati Wara Hita pun berdesir. Memang
gerak-gerik itu bukanlah gerak-gerik gagah dan jantan, tetapi begitu manis di
matanya. "Baiklah, tetapi sesungguhnya kenapa mereka berkelahi?" tanya Wara Hita. Wara Huyeng sendiri juga sudah turun dari kudanya, dan
menyerahkan kuda tersebut
beserta Tatit Seta milik Wara Hita pada Ugra. Wara
Huyeng tak begitu memperhatikan pembicaraan antara
Tun Kumala dan Wara Hita. Dengan mata agak disipitkan ia memperhatikan Nyai Gadung. Wanita tua itu
agaknya begitu memperhatikan Wara Hita hingga tak
peduli dengan kejadian apa pun lainnya.
"Sederhana. Paman Kusya ingin segera mengajakku
berangkat. Tetapi aku tak mau karena aku masih ingin
berbicara lebih lama dengan Bibi Gadung. Mereka kemudian menyerang aku. Dan Bibi Gadung mempertahankan aku. Nah, sederhana, bukan" Sekalian kuharap
kaumaafkan aku, aku ingin agak lama bersama bibiku
ini, jadi baiklah kutunda kunjunganku padamu."
"Aku punya usul lebih baik," kata Wara Hita. "Ajak
saja bibimu datang ke tempat kami. Jadi dua keinginan kita terpenuhi, bukan?"
Wara Hita tertawa. Wara Huyeng heran melirik padanya.
"Memang lebih bagus, tetapi juga lebih sulit. Bibi
Gadung mungkin terikat rencana perjalanannya sendiri," kata Tun Kumala.
"Itu pun bisa kuminta langsung pada beliau." Wara
Hita kini berpaling pada Nyai Gadung. Ia terkejut saat matanya bentrok dengan
sinar mata begitu tajam yang
tertuju padanya.
"Anak muda, siapa namamu, dari mana asalmu?"
tanya Nyai Gadung tajam, dingin.
"Engkau sendiri siapa?" Wara Huyeng melangkah ke
depan Wara Hita, seolah ingin melindunginya.
"Aku bertanya lebih dahulu, dan aku bertanya padanya," Nyai Gadung menyahut dengan nada sama sekali
tidak ramah. "Engkau lupa hukum orang di perjalanan. Jika ditanya, balas bertanya, maka itu sudah umum," sahut Wara Huyeng ketus.
"Dalam hal ini... aku tak lagi punya keinginan memperoleh jawaban, jadi silakan berlalu," Nyai Gadung lebih ketus lagi.
"Itu yang agak sulit," kata Wara Huyeng, meloloskan
ikat pinggangnya yang terbuat dari selendang sutera bi-ru berhiaskan berbagai
permata di ujungnya hingga dapat digunakan sebagai senjata. "Kau telah membuat
anak buahku malu. Dan itu berarti juga mencoreng mukaku. Nah, bersiaplah!" ,
"Hei, tunggu! Tunggu! Kalian tak usah berkelahi lagi!
Wisti, leraikan mereka!" seru Tun Kumala gugup.
"Aku tak bisa melakukannya," kata Wara Hita.
"Siapa sih orang itu" Nenekmu?" tanya Tun Kumala.
"Kurang ajar! Kujadikan nenek kau!" Selendang Wara
Huyeng tiba-tiba meluncur ke arah Tun Kumala.
Tun Kumala terperangah. Dan terdiam. Tidak demikian dengan Nyai Gadung. Ia melihat bahwa ini hanya
suatu siasat Wara Huyeng. Ia melompat ke atas batu
datar, menyambar kayu yang masih membara dari api
unggun dan menghantam ke depan dengan dua tangan
lurus. Dugaan Nyai Gadung sungguh tepat. Untung juga
bagi Tun Kumala yang sama sekali tak bisa bergerak.
Selendang biru Wara Huyeng tiba-tiba membelok melewati dirinya dan langsung menyerang Nyai Gadung!
"Tun! Minggir!" Tak terasa Ni Gori memekik dan melompat maju. Ini karena kayu membara di tangan Nyai
Gadung memaksa Wara Huyeng menarik kembali selendangnya. Dan ujung selendang itu kini benar-benar
mengancam kepala Tun Kumala!
Pada saat yang sama Wara Hita juga melihat bahaya
yang mengancam Tun Kumala. Dan mengingat sifat Wara Huyeng yang 'tegaan', ia yakin Huyeng tak akan ragu memecahkan kepala pemuda
itu. Maka ia pun melompat untuk menyelamatkan sang 'pemuda'.
"Hei!" Ni Gori terkejut. Ia melihat gerakan sekelebat ke arah dirinya dan Tun
Kumala. Cepat ia mengubah
gerakan. Tangannya yang telah kembali memegang parang menusuk lurus ke arah langit. Kaki kirinya menyapu kaki Tun Kumala untuk merobohkannya agar
terlindung dua kali dari serangan ujung selendang
Huyeng. Dan begitu kaki itu menginjak tanah lagi maka tubuhnya yang sejajar bumi
seakan berputar melecut
keras ke arah kedatangan Wara Hita.
Terdengar berbagai jeritan kaget. Ni Gori menjerit keras karena parangnya hancur
tersambar selendang
Huyeng. Ia juga menjerit kaget karena kaki yang menendang Wara Hita terhantam hawa panas yang begitu
menusuk, ditambah empasan tenaga yang menyesakkan dada. Dalam keadaan refleks, menganggap dirinya
terancam, Wara Hita serta-merta melontarkan pukulan
andalannya, dan ketika Gori roboh maka pukulan kedua akan terlontar ke punggung gadis itu. Dan, untuk
pertama kali, mungkin, dalam hidupnya, refleks Tun
Kumala juga sangat cepat. Sekilas ia melihat ancaman
hantaman Wara Hita. Dan sekilas ia bisa berpikir bahwa hantaman itu akan maut. Dan bahwa ia paling dekat
dengan Gori yang saat itu tertelungkup.
Tak berpikir panjang, Tun Kumala menjerit dan
membalikkan tubuhnya yang telah terkapar di tanah ke
kiri, tepat menutupi punggung Gori! Jelas ia hanya me-mikirkan bahwa hantaman
Wara Hita akan teredam
oleh punggungnya sendiri dan gadis desa itu bisa selamat.
Sementara itu semua itu tak luput dari amatan Nyai
Gadung. Ia menjerit karena bisa merasakan hawa pukulan Hita yang sanggup menghancurkan Tun Kumala
dan Gori sekaligus. Sedikit gugup ia melontarkan kayu membara di tangannya ke
arah Hita.

Candika Dewi Penyebar Maut V I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di luar semua itu, Wara Huyeng pun memekik gembira. Perhatian Nyai Gadung terpecah. Dan ujung selendangnya meluncur mantap ke
arah ulu hati Nyai Gadung yang sesaat tanpa pelindung!
Bersambung ke jilid 7.
Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
Document Outline
CANDIKA: DEWI PENYEBAR MAUT-6
1. PASUKAN BADAI
2. ANENGAH 3. TARA DAN TANTRI
4. PETUALANG WANITA GAGAH PERKASA
5. SEKITAR TRANG GALIH
*** *** *** 6. TUN KUMALA Sumpah Palapa 19 Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Pedang Dan Kitab Suci 9

Cari Blog Ini