Candika Dewi Penyebar Maut X I I Bagian 1
CANDIKA: DEWI PENYEBAR MAUT-12 Oleh Djokolelono
? Penerbit PT Gramedia,
Jl. Palmerah Selatan 22, Jakarta 10270
Desain dan gambar sampul oleh Djokolelono
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia,
anggota IKAPI, Jakarta, Juli 1991
Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
1. GEMUT DAN MADRI
DASAR Kali Putih beberapa saat sangat sunyi. Hanya
gemercik air jernih di antara bebatuan, dalam kegelapan jurang di mana langit
hanya beberapa titik biru jauh di atas sana.
Dalam remang-remang kegelapan, Madri berusaha
berdiri mantap. Dan tidak dapat. Ia terhuyung-huyung
dan harus bersandar ke dinding celah. Ia terengahengah. Dadanya serasa akan pecah. Hanya untuk gerakan seperti itu" Ia hanya melakukan gerakan sederhana. Meloncat dengan punggung rapat di tanah dan melecutkan tendangan ke arah sasaran, orang yang menyebut diri Gemut itu. Terasa ia harus mengerahkan
segenap tenaga. Dan tenaga itu sendiri ternyata tidak
ada. Lebih heran lagi, orang bernama Gemut ini ternyata tidak apa-apa. Gemut memang terkejut. Ia menjerit. Mukanya pedas sekali terkena lecutan kaki Madri.
Dan ia terlempar ke belakang. Bukan karena tenaga
tendangan itu, tetapi karena gerakannya sendiri. Ia pun tak segera bangun. Tapi
itu karena heran.
Ia ingat. Orang tua yang bernama Arhagani itu memang memperkirakan beberapa jaringan nyawa yang
lembut di dalam tubuh Madri telah rusak oleh bentrokan dengan suatu tenaga dahsyat. Dan ini akan menyebabkan hilangnya kesaktian prajurit wanita itu. Kini...
ditambah pula dengan kerusakan wajah dan jasmani
Madri. Oh. Gemut tidak langsung berdiri karena tibatiba ia bisa mengerti perasaan Madri. Sebagai prajurit, ia tak punya lagi
kesaktian. Sebagai wanita, ia tak
punya lagi kecantikan. Apa yang bisa dibanggakan"
Matanya yang kini terbiasa dalam kegelapan celah
gua itu melihat betapa mata Madri bersinar-sinar dalam gelap. Dan ada suara
gemeresik. Mungkin Madri sedang
mencoba untuk membuka bebatan kain yang menggulung seluruh tubuhnya.
"Jangan... jangan kaubuka... kain itu!" pinta Gemut
bergegas berdiri.
Tapi agaknya Madri nekat. Ia menjejakkan kaki dan
menubruk tubuh Gemut dengan keras. Atau... begitulah
maksudnya. Sebab kini walaupun belum terisi oleh kesaktian, gerakan Gemut hampir tanpa harus diperintah
oleh otaknya lagi.
Gemut memiringkan tubuh dan berguling. Sederhana. Tapi saat berguling kakinya telah serta-merta terpasang dan Madri menjerit
keras. Tubuhnya terbanting ke
tanah dan untuk beberapa saat ia hampir tak bisa bernapas. "Sudah kubilang... jangan... jangan bergerak dulu,"
kata Gemut ragu-ragu mendekat.
"Aku sudah... tak punya... apa-apa," keluh Madri.
"Jangan berkata begitu. Jika kau... sehat kembali
pasti... semuanya pun bisa kau... peroleh kembali," Gemut sendiri kedengarannya
kurang yakin. Dan Madri
agaknya tahu itu. Ia mendengus.
"Seluruh... tenagaku lenyap... dan... mukaku... mukaku?" ia mengeluh. Berkutat untuk bangkit.
"Kau... kau istirahatlah dulu," kata Gemut bingung.
Tak berani mendekat. Madri hanya tertawa dingin. Ia
berhasil duduk. Dan dengan terus menggerak-gerakkan
kaki dan tangannya beberapa bebatannya melonggar.
Oh. Untung juga kaki dan tangannya masih utuh dan
bisa digunakannya secara semestinya. Walaupun tak
punya tenaga sakti lagi.
"Kau... jangan dekati aku," desisnya pada Gemut
yang beringsut untuk mendekatinya.
"Tapi... kau... membahayakan dirimu!" kata Gemut.,
"Tahukah kau... apa yang kuhendaki saat ini" Aku...
aku ingin mati!" tiba-tiba Madri menjerit. Ia telah berhasil menguraikan bebatan
di kakinya. Dan ia meloncat
berdiri. Gemut terkejut meloncat mundur. Bersiaga. Tapi
Madri tidak menyerangnya. Ia berpaling. Dan terhuyung
ke luar. Gemut mengejar ke luar.
Ia tertegun. Dilihatnya Madri telah membuka kerudung pembalut di kepalanya. Dan kini sedang merenungi wajahnya di air yang tergenang di pinggiran kali.
"Jangan mendekat!" Tiba-tiba Madri berpaling dan
berdiri saat didengarnya Gemut mendekat. Bahkan Gemut pun terhenyak melihat wajah Madri di tempat yang
terang itu. "Kau harus diobati... dan istirahat," kata Gemut.
"Apakah... obatmu... bisa mengembalikan... wajahku?" desis Madri.
"Ttt... tidak... ttapi... paling tidak... ttak akan membuatnya... lebih parah
lagi!" kata Gemut.
"Huh!" Madri berpaling. Dan berjalan meninggalkan
tempat itu. "Hei, tunggu! Kau tidak boleh pergi!" Gemut mengejar. "Untuk menahanku di sini... kau... atau pamanmu...
harus membunuhku.... Dan aku akan suka itu!" kata
Madri tanpa menghentikan langkahnya.
"Tapi... tapi..." Gemut kebingungan. Ia tak berani menahan Madri dengan kekerasan. Mungkin juga ia akan
kalah. Dan... ia tak bisa membujuknya.
Gemut tiba-tiba berpaling. Berlari masuk ke celah di
tebing sungai itu. Ketika ia keluar ia telah membawa
kantong ramuan obat yang biasa dipakai oleh Arhagani
untuk mengobati Madri. Dan ia bergegas menyusul Madri yang telah mulai masuk semak belukar mendaki lereng terjal di kiri-kanan kali itu.
Bagi Gemut pendakian itu tak terlalu mengganggu
setelah berbagai latihan yang diberikan Arhagani. Madri sendiri tampak terengahengah dan beberapa kali harus
beristirahat. "Mengapa... kau... ikuti... aku?" tanya Madri waktu
sekali lagi ia harus berhenti.
"Kalau kau tak mau tinggal di sana, aku harus
mengikutimu... untuk mengobatimu," kata Gemut.
"Kalau... aku... tak mau?"
"Akan kutunggu sampai kau mau."
"Akan kau... paksa... aku?"
"Tidak... aku takkan mampu. Suatu saat... kau
mungkin akan mengizinkan."
"Saat itu mungkin aku sudah mati."
"Itu pun tak apa," kata Gemut.
"Huh!"
Beberapa saat kemudian, Madri memanjat lagi.
Hari telah menjelang sore saat akhirnya mereka sampai di puncak tebing. Mereka muncul di sebuah hutan
kecil yang berpohon jarang.
Madri menjatuhkan diri di tanah, megap-megap.
Gemut duduk agak jauh darinya, dan minum dari tabung penyimpan air.
"Minum!" kata Madri.
"Kau harus minum ini," Gemut mengangkat guci obat. "Untuk sementara kau harus mengurangi minum
air." "Aku tidak sudi obatmu!" dengus Madri.
"Kalau begitu kau tak minum!" Gemut tertawa.
Madri memandang penuh dendam pada Gemut. Tiba-tiba badannya meloncat untuk menyambar tabung
air di tangan Gemut.
Tapi loncatannya tak bertenaga, dan ia terhunjam
menubruk batang pohon. Gemut telah tak ada di tempat itu. Beberapa gerakan yang dimilikinya dahulu,
yang didapatnya dari meniru-nirukan kakaknya, Ra
Sindura, masih ada. Dan beberapa malah dipoles oleh
Arhagani. Sesungguhnya dalam hal olah keprajuritan
Gemut sudah cukup handal. Gerakan-gerakannya cukup ampuh sudah untuk mengalahkan seorang prajurit
yang sangat berpengalaman. Hanya dalam hal kesaktian
maka Gemut adalah nol besar. Namun gerakannya tadi
sungguh membuat Madri terpesona.
"Sssi...siapakah kkau sesungguhnya?" tanyanya
hampir kehabisan napas.
"Aku tidak kehilangan kesaktian seperti kau... tetapi
mungkin beban deritaku tak lebih ringan darimu... toh
aku tak putus asa," kata Gemut. "Pikir-pikir, senang ju-ga melihat kau
menderita. Sedikit hiburan bagiku. Jadi, kalau kau tak mau minum obat ini, ya
terserah. Kalau
kau ingin mencari air sendiri, ya terserah!"
Mau rasanya Madri menelan Gemut. Beberapa saat
ia memandang marah pada gadis itu. Kemudian ia mengerahkan segenap semangatnya. Ya. Mengapa ia tak
mencari air sendiri.
Ia bangkit. Bertopang pada pohon ia berdiri. Ia terpaksa menyeringai. Seluruh tubuhnya serasa ditusuktusuk jarum. Dan Gemut agaknya tahu hal ini.
"Kau hanya tinggal minum tiga butir obat ramuan
ini," kata Gemut. "Dan semua rasa sakitmu hilang. Selama ini, itulah yang terjadi. Kau menjerit-jerit kesakitan, dan setelah minum
obat kau jadi tenang!"
"Apakah... apakah obatmu... bisa mengembalikan...
wajjjah...ku?" tanya Madri terengah-engah.
"Mengapa itu kaupikirkan sekali?" tanya Gemut. "Kalaupun aku orang biasa, maka wajahmu adalah hal terakhir dan terkecil yang bisa menyumbangkan sesuatu
pada kehidupan di dunia ini. Apalagi kau prajurit. Pentingkah wajahmu?"
"Bagaimana dengan... kesaktianku?" tanya Madri.
"Apakah kau lahir dengan kesaktian?" tanya Gemut.
Dan Madri tertegun.
Siapakah dia" Di mana dia lahir" Dan... untuk apa"
Madri tak tahu. Ia hanya ingat masa kecilnya di Galijao. Di sebuah perkampungan di pinggir pantai. Gunungnya berkapur. Tanahnya tandus. Sepasang suamiistri mengurusnya. Tetapi mereka bukan ayah-bundanya. Mereka tak mau ia menganggap mereka ayah-bunda. Dan tetangga mereka hanya sedikit. Mungkin hanya
ada tiga atau empat rumah lain di pantai itu. Yang jelas mereka semua sangat
menghormatinya. Sangat menja-ganya.
Mungkin di umur empat tahun seseorang yang bukan dari kelompok kecil itu mulai mengajarinya gerakgerak silat khas dari Galijao. Mula-mula hanya sebagai permainan. Tetapi ia suka
karena itu menghilangkan
kebosanannya sebagai satu-satunya anak di pantai sepi
itu. Pada umur sepuluh tahun ia telah mahir menggunakan senjata khas Galijao, tombak yang berujungkan
golok melengkung besar. Dan ia dibawa ke Tanah Jawa.
Dibawa ke tempat yang sama sunyinya di pantai utara Jawa. Dan ia bertemu dengan Sang Buyut.
Ia tak pernah melihat wajah Sang Buyut.
Sang Buyut yang menurunkan berbagai ilmu kesaktian. Dan cerita bahwa suatu saat kelak ia akan mengiringi seorang saudaranya ke puncak keagungan di Wilwatikta. Untuk itu ia harus menempa diri menjadi prajurit di Kuripan.
Semua berjalan lancar. Ia mengabdi di Kuripan. Ketangguhan dan kesaktiannya membuatnya menanjak
dengan cepat hingga masuk lingkungan istana. Dan
bertemu dengan Sang Selir.
Itu adalah peristiwa yang gila. Putri itu memang tidak sepenuhnya rela melayani Sang Raja. Dan ia sering
melimpahkan kasihnya pada Madri. Mungkin tak mengherankan. Karena Madri lebih sering berlaku bagaikan
pria. Lalu... pertempuran di tepi Bengawan itu sungguh
sebuah mimpi buruk. Ia hanya ingat bahwa lawannya
tangguh. Memang seolah orang yang tak punya ilmu.
Tetapi ia masih bisa merasakan betapa setiap gerakannya menerbitkan hawa panas mengiris. Sementara setiap serangannya sendiri seakan terhenti satu jengkal di atas permukaan kulit
orang itu. Ia pernah mendengar tentang ilmu kekebalan Lembu
Sekilan. Tetapi itu hanya dimiliki oleh Sang Mahapatih Gajah Mada. Kalau orang
itu juga memilikinya, pastilah ia kerabat dekat sekali dengan keluarga istana.
Kemudian saat orang itu menggunakan pasir sungai
sebagai senjata, Madri masih bisa merasakan betapa setiap butir pasir itu seakan meledak dan membara di kulit mukanya. Agaknya orang itu berpikiran sangat jitu sebagai seorang wanita, walaupun ia seorang prajurit,
pasti wajah merupakan hal penting untuk dilindungi.
Mungkin ia memancing agar Madri mengangkat tangan
dan melindungi muka. Memang itulah yang dilakukannya. Tetapi terlambat. Ribuan bara api kecil itu begitu cepat hinggap di seluruh
mukanya. Membakar muka
itu. Dan ia ingat ia menjerit, sesuatu yang sangat jarang dilakukannya. Tombak
Galijao-nya direbut. Dan hantaman orang itu mendarat di tengkuknya. Seolah pukulan biasa. Tetapi tenaga yang tak terlihat telah memutuskan jaringan-jaringan lembut nyawanya. Dan ia roboh. Terbenam. Lalu entah bagaimana.
Malam itu sudah merupakan mimpi terburuk dan
sangat menakutkan yang pernah dialaminya. Sekarang
ini! "Yaaaaaah!" mendadak Madri menjerit keras sekali
dan berlari ke atas, berkali-kali menubruk pohon dan
terbanting jatuh namun bangkit dan berlari lagi.
Candika Dewi Penyebar Maut X I I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kakangmbok Madri!" jerit Gemut mengejar.
Untuk terakhir kali Madri menghantam batang sebuah pohon besar dan jatuh terkapar.
"Kakangmbok Madri!" jerit Gemut menghampirinya.
"Air! Air!" pinta Madri.
"Obatmu dulu!" Gemut mengeraskan hati. Ditangkapnya belakang kepala Madri. Diangkatnya, dan mulut
prajurit wanita itu dipaksakannya ternganga. Sangat
sulit bagi Gemut. Wajah yang begitu menyeramkan
membuatnya tak tega memandang langsung. Tetapi terpaksa. Dan hampir sambil memejamkan mata tiga butir
obat dipaksakannya masuk ke mulut itu. Dan dikatupkannya keras-keras.
"Kunyahlah. Kulumlah. Telanlah. Terserah. Asal masuk," kata Gemut sambil membuang muka. Madri meronta-ronta. Tapi tangan Gemut terus mencengkeram
kepalanya. Dan akhirnya mungkin obat tadi telah bekerja. Madri
tiba-tiba tenang. Tertidur.
Gemut menghela napas panjang. Perlahan berdiri
dan mundur. Menunduk. Ia benar-benar tak tega melihat wajah itu. Tak tega. Tak berani. Seram.
Apa sesungguhnya yang telah terjadi. Dan ia harus
bagaimana"
Menyeret Madri kembali ke bawah sana rasanya
akan sangat sulit. Atau... ia lari dan minta bantuan Arhagani" Mungkin jika
mereka kembali kemari Madri telah sadar dan pergi.
Lalu apakah ia harus mengikuti Madri terus" Rasanya ya. Ia merasa bertanggung jawab atas keselamatan
gadis ini. Paling tidak, Madri merupakan hubungannya
dengan masa lampaunya.
Kapan ia pertama kali melihat Madri"
Ah. Mungkin sudah lama sekali. Saat itu ada pesta
bulan Cayitra di ibukota. Dan ia diajak ayahnya menonton. Mereka termasuk keluarga yang terpandang, maka
mereka duduk di bagian kehormatan. Tidak bersama
anggota dekat keluarga kerajaan, tentu, tetapi cukup
merupakan tempat yang terdepan.
Kakaknya, Ra Sindura, ikut pertandingan sodoran,
berbagai ketangkasan keprajuritan di atas kuda dengan
menggunakan tombak tumpul. Dan satu per satu lawan
Ra Sindura jatuh. Sampai akhirnya ada empat pemenang di tanah lapang itu. Ra Sindura. Arya Barat. Seorang lagi pangeran dari Bali. Dan Madri.
Madri sangat menarik perhatian. Dengan pakaian
keprajuritan maka ia sangat mirip seorang pemuda
yang sangat tampan. Walaupun kulitnya kehitamhitaman. Gemut waktu itu masih kecil, namun toh merasa 'jatuh cinta' pada prajurit ini. Gaya Madri memainkan tombak tumpulnya
bagaikan tarian indah baginya.
Tak peduli saat itu akhirnya Madri kalah oleh Arya Barat, tetapi kenangan tentang prajurit wanita ini lekat di ingatan si kecil Gemut
yang saat itu bernama Rara Sindu. Ia kemudian sangat gembira sewaktu mendengar
bahwa Madri diangkat menjadi prajurit di istana Kuripan. Setelah itu ia memang sangat jarang bertemu. Tetapi kakaknya sering bercerita tentang sepak terjang
Madri ini, yang beberapa kali berhasil menumpas baik
pemberontakan maupun gerombolan perampok, terkadang bahkan seorang diri.
Ia kagum pada Madri. Sayang jika manusia luar biasa ini lenyap tak berbekas.
Renungannya terganggu oleh suara orang-orang berbicara. Gemut terkejut. Suara itu datang dari arah hutan, dari balik pepohonan yang mulai melebat. Sekilas
dilihatnya Madri. Wanita itu terbujur tenang di bawah
semak-semak, terlindung dari matahari sore. Mungkin
masih agak lama tak sadarkan diri.
Gemut merayap ke atas, hati-hati menyelinap di antara semak-semak dan pepohonan.
Akhirnya ia sampai di tempat di mana suara-suara
itu terdengar sangat dekat.
Tempat itu tempat terbuka di bawah sebatang pohon
raksasa. Sebuah jalan setapak membelok di pangkal
pohon. Dan di akar pohon yang menonjol berbongkahbongkah keluar dari tanah beberapa orang sedang duduk. Tujuh orang. Tiga orang prajurit, dan dua pasang
suami-istri. Paling tidak, mereka tampak seperti suami-istri. Pasangan suamiistri itu membawa beberapa
bungkusan besar. Ketiga prajurit tadi tak membawa
apa-apa, kecuali senjata mereka.
"Ki Lurah... kukira desa Rakerti sudah tak begitu
jauh... mengapa kita harus istirahat lagi?" tanya salah seorang suami itu.
"Karena aku memerintahkannya, Ki Lebong," sahut
prajurit yang bersenjatakan tombak dengan ujung bagaikan keris. "Apakah kau keberatan?"
"Kalau keberatan ya bawaanmu itu berikan pada
kami saja, hua ha ha ha... bukankah begitu, Ki Lurah?"
salah seorang prajurit tertawa terbahak-bahak.
"Bukan begitu... kalau kita teruskan perjalanan ini,
kita bisa sampai di Rakerti sebelum gelap. Jadi lebih
mudah berjalan!" kata Ki Lebong. "Kalau boleh sih...
kami bisa berjalan lebih dahulu. Bagaimana?"
"E, e, e, e... setelah jalanan aman kalian akan berjalan sendiri?" tanya Ki Lurah.
"Maksud Ki Lebong bukan begitu, Ki Lurah," suami
yang satu lagi ikut berbicara. "Kita saja sebagai saudagar belum begitu merasa
lelah, apalagi kalian, para prajurit yang gagah berani, jadi lebih baik bergegas
meneruskan perjalanan. Lebih cepat sampai, lebih baik!"
"Ki Begang! Kata-katamu itu kok kedengarannya
menyindir, ya!" Seorang prajurit yang dari tadi hanya
mengamati istri Ki Lebong tiba-tiba bangkit. "Dalam hati kau pasti mengatakan
kami prajurit kalah perang yang
kurang kerja ngantar kalian ngungsi?"
"Bukan begitu, Ki Gito... bukan!" kata Ki Begang.
"Lagi pula... dari awalnya kami toh tidak meminta Tuantuan semua mengantarkan
kami. Kita kebetulan hanya
sejalan! Dan rasanya dari dulu jalan ke Rakerti aman
saja, benar nggak, Lebong?"
"Tapi ini masa perang!" kata Gito.
"Dan mau tak mau kami harus melindungi kalian!"
kata Ki Lurah. "Terhadap apa?" tanya Lebong.
"Ya... harimau... rampok... apa saja!" sahut Gito. "Ju-ga terhadap prajuritprajurit pemberontak yang kocarkacir melarikan diri. Mereka toh biasanya mata gelap.
Kalau lihat harta, atau wanita..." Ia mengerdipkan mata pada Nyi Begang. "Ya
nggak, Ki Lurah" Ya nggak, Ki Lurah?"
"Tetapi setahuku... pasukan pemberontak tidak kocar-kacir, tidak undur, dan tidak melarikan diri, Ki...."
Nyi Begang agaknya tak tahan untuk tidak ikut berbicara. "Berita terakhir yang kami dengar, pasukan Wilwatikta hancur. Karena itulah kami mengungsi dari Uteran, agar tidak dirampok oleh pasukan pemberontak
yang memasuki kota itu!"
"Eh, eh, eh! Wanita manis ini bisa bicara, Ki Lurah!"
seru Gito heran kepada Ki Lurah. "Dan, alangkah tajamnya lidahnya yang manis itu! Dia menuduh kami
yang kalah, Ki Lurah! Dia menuduh kami yang kocarkacir!" "Dasar perempuan goblok!" Ki Lurah memelintir kumisnya. "Justru kami meninggalkan pasukan untuk
melindungi kalian, mengerti?"
"Tetapi, bukankah tugas utama Tuan-tuan mempertahankan Uteran?" tanya Nyi Begang tidak mau mengalah. "Bukan, bukan, bukaaan, manis!" Gito kini lancang,
berdiri mendekati Nyi Begang dan sebelum Nyi Begang
ini sempat menghindar, Gito telah mengusap punggungnya yang kuning mulus itu hingga wanita tersebut menjerit kaget dan melompat ke balik punggung suaminya.
"Aduuuh, Ki Lurah, lembuuut sekali dan wangiiiii!"
"Maaf, Tuan-tuan... hamba rasa... kami-kami bisa
meneruskan perjalanan ini... sendiri," ketakutan Ki Begang mengambil beberapa
bungkusannya. "Eh, eh, eh, mau ke mana" Ya seperti inilah tingkah
laku kalian saudagar-saudagar ini" Di zaman kami jaya, tak keruan kalian
menjilat kami... di saat kami kalah, berjalan beriring pun kalian tak sudi, ya?"
kata Ki Lurah memutar-mutarkan tombaknya.
"Bukan begitu, Ki Lurah, tapi... tapi kami harus sampai di Rakerti sebelum malam.... Jika Ki Lurah sudi...
mari berangkat bersama-sama!" ajak Ki Begang.
"Tidak! Kami tidak mau berangkat sekarang, dan kalian juga tak boleh berangkat. Beban kalian terlalu berat. Jika terjadi sesuatu
di perjalanan nanti, alangkah menyesalnya kami... bukan begitu, Anak-anak?"
tanya Ki Lurah kepada anak buahnya.
"Tentu, Ki Lurah. Kecuali kalau bebannya ditinggal,
ya nggak" Dan perempuan manis itu... aduuuh! Gemessss aku, Ki Lurah!" Gito kembali akan memegang
Nyi Begang. Nyi Begang menjerit, dan pada saat yang bersamaan
mereka semua mendengar seseorang berkata, "Prajurit
bangsat!" Semua tertegun. Muka Ki Lurah yang kehitaman jadi
semakin hitam. Ia memutar perlahan tombaknya dan
menggeram, "Ini sudah keterlaluan. Kalian berani memaki kami?"
"Bukan aku!" teriak Ki Lebong, mundur menyeret istrinya. "Aku juga bukan!" seru Ki Begang. Dan matanya
membelalak pada istrinya.
"Huh, perempuan cantik ini memang cari penyakit,
Gito?" desis Ki Lurah mendekati Nyi Begang.
"Dasar prajurit goblok! Menentukan arah suara saja
tidak bisa!" suara itu tadi terdengar lagi.
Terkejut semua berpaling.
Gemut muncul dari semak-semak. Matanya geram
memandang Ki Lurah. "Kalian prajurit bajingan! Kalau
semua prajurit Wilwatikta seperti kalian, sudah pantas jika kalian harus kocarkacir mengepit ekor!"
"Waduh! Kukira hantu rimba!" seru Gito. "Wah, wah,
ternyata cuma jembel macam begini... eh, lelaki bukan, perempuan bukan, manusia
bukan, gandarwa bukan...."
"Jangan banyak cakap, Gito. Bereskan orang gila
itu," desis Ki Lurah.
Gito tertawa. Tiba-tiba tubuhnya menerjang Gemut.
Tetapi seolah hanya menggerakkan kepala hingga tubuhnya membentuk kedudukan tiga lekukan, terjangan Gito hanya mengenai angin dan
Gito terjerumus ke dalam semak belukar. Dengan geram Gemut menyusulkan
sebuah gebukan dengan batang kayu di tangannya.
"Huh! Pencak silat kampungan kautunjukkan di depan tuanmu?" geram Gito melompat berdiri. Dan langsung mengirimkan tendangan beruntun yang menimbulkan desiran angin yang kuat. Kali ini entah karena
memang sedang kesal menghadapi Madri tadi atau memang marah akan sikap para prajurit itu, atau hanya
ingin mencoba ilmunya, maka Gemut tidak sungkansungkan lagi. Ia menghindar, kemudian menghantam.
Ia menghadangkan kaki kemudian menghunjamkan siku tangannya. Ia meloncat mundur dan menendang telak leher Gito. Beberapa saat saja Gito sudah jatuh terkapar.
"Bangsat! Tawur!" Ki Lurah tak sabar. Tombaknya
berputar cepat langsung menghajar Gemut. Prajurit
yang dari tadi diam juga menyerbu dengan pedang terhunus, sementara Gito beberapa saat terbatuk-batuk
mengurut lehernya tapi kemudian juga ikut mengeroyok
Gemut dengan pedangnya.
Gemut cukup kewalahan. Senjata-senjata itu secara
terlatih menyerbu dan mundur bergantian, hingga Gemut serasa tak bisa bergerak dan terpaksa menghindar
terus, mundur terus, dan... jatuh telentang karena kakinya terantuk kaki Madri yang terbaring di tanah.
"Haha ha ha ha hah!" Ki Lurah tertawa melihat Gemut kebingungan di tanah. "Coba kulihat isi perutmu,
gandarwa hutan!"
Tombaknya terayun. Tetapi sebuah tendangan keras
membuat tangan Ki Lurah bergetar kesakitan. Dan Madri telah berdiri di depan mereka.
Semua menjerit terkejut melihat wajah Madri. Wajah
itu memang cacat dan buruk, tetapi kini matanya pun
memancarkan marah.
"Kalian mengaku prajurit Wilwatikta tapi tingkah laku kalian seperti anjing hutan?" geram Madri. Heran.
Obat yang dipaksakan minum oleh Gemut tadi sangat
manjur. Begitu rasa panas membara di mulutnya lenyap, hawa hangat seakan merayapi semua jalur-jalur
darah di tubuhnya. Pertama kali mengusir rasa sakit di kepalanya. Kemudian
memberi kesegaran dan kekuatan
baru. Ia sendiri heran mengapa tendangannya bisa telak mengena. Tapi ia langsung
merasa bahwa itu hanya sebuah tendangan keprajuritan. Tak dilambari tenaga apa
pun. "Kau yang anjing hutan jelek, mampus sajalah!" Ki
Lurah geram menghantam. Tapi dengan kegesitan yang
hampir tak terlihat Madri menghindar, menghantam
pangkal lengan Ki Lurah dan menendang pinggangnya.
Begitu cepat. Tahu-tahu Ki Lurah telah roboh dan tombak itu di tangan Madri.
Madri menimang-nimang tombak tersebut. Tombak
kasar. Murah. Tetapi bobotnya terasa enak di tangannya. Hampir mirip tombak Galijao berujung melengkung
yang biasa dibawanya. Seolah tak berpikir ia memutarkan tombak itu. Ke kiri. Ke kanan. Melangkah mundur.
Maju. Melompat. Ya. Enak sekali.
Tak terasa Madri telah memainkan beberapa jurus
tombak Galijao-nya. Dan beberapa saat itu semua orang
lupa akan kejelekan dan keseraman wajah Madri. Gerakannya begitu gagah dan indah. Bagaikan menari tetapi
dengan setiap saat dari setiap titik di tubuhnya sinar maut seakan terpancar.
"Gandarwa jelek, siapa kau?" Ki Lurah ternganga.
Candika Dewi Penyebar Maut X I I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebagai ahli tombak maka ia langsung tahu bahwa Madri lebih ahli darinya. Tetapi sayangnya ia tak kenal siasat. Jika ia tidak
membuka mulut, Madri mungkin takkan memperhatikannya. Dan ini, ia malah mengucapkan kata-kata yang membuat amarah Madri meledak! "Matilah!" desis Madri. Ia melangkah miring, balingbaling tombaknya mengambil kedudukan mengancam.
Ki Lurah terkejut. Cepat ia mencabut kedua pedang
pendeknya dan berteriak pada kedua anak buahnya,
"Tawur!"
Mereka bertiga tak sempat bergerak. Seakan tak beranjak dari kedudukannya, Madri mengulur pegangan
tombaknya dan menariknya kembali. Ketiga prajurit itu
tanpa bersuara roboh dengan leher luka menganga.
Gemut menjerit ketakutan. Ini membuat Madri sadar
dan menghentikan tombaknya.
Dia termenung. Mereka ini prajurit Wilwatikta. Mengapa ia membunuh mereka" Memang mereka menyerangnya, namun
itu wajar, mereka tak tahu tentang dirinya. Apakah ia
membunuh mereka karena ketiganya bertingkah tidak
sepatutnya sebagai prajurit" Mungkin juga tidak. Ia
membunuh mereka karena mereka mengatainya 'jelek'.
Sejauh itukah ia telah meninggalkan pribadi keprajuritannya" Lalu ia sekarang berada di pihak mana"
Ia tak mungkin kembali ke Kuripan dengan wajah
ini. Ia tak mungkin kembali mengabdi pada Wilwatikta.
Bahkan dengan nama samaran pun! Hatinya pasti meledak jika melihat orang-orang yang dikenalnya dahulu
kini tak mengenalinya lagi. Atau malahan memandangnya dengan rasa kasihan. Atau mengejek.
Ia tak berani bertemu dengan Sang Buyut.
Semua kesaktian yang diturunkan orang sakti itu lenyap. Dan kalaupun bisa, akan makan waktu puluhan
tahun untuk mengajarinya lagi. Sedang ia tahu, itu pun tak mungkin. Dengan
hancurnya jaringan lembut di tubuhnya, ia takkan mampu menyerap ilmu kesaktian
apa pun. Lalu ia harus ke mana"
"Kau!" tiba-tiba tombaknya menuding Ki Lebong.
"Aku dengar percakapan kalian tadi. Perang apa yang
sedang terjadi?"
"Ann... anu... Tuan... pasukan pemberontak menyerang Uteran," Ki Lebong begitu gugup menjawab.
"Siapa yang menang?"
"Mula-mula Uteran... sebab dibantu oleh pasukan
Wilwatikta dari Daha!"
"Lalu?"
"Lalu... lalu pasukan Wilwatikta hancur... porak-poranda," sahut Ki Lebong.
"Hmh. Kok bisa" Siapa pimpinan pasukan Wilwatikta?" "Kkkalau tidak salah... Sang Arya Barat!"
"Arya Barat?" Madri terkejut. Tiba-tiba ujung tombaknya meluncur dan menggores tipis leher Ki Lebong.
"Jangan ngawur!" bentaknya.
"Bbe... bbenar, Tuan... begitulah yang hamba dengar!" tangis Ki Lebong mengusap darah di lehernya.
"Arya Barat adalah pahlawan unggulan Wilwatikta.
Seratus raja berhasil ditundukkan. Bagaimana ia bisa
kalah?" "Hamba dengar... hamba dengar... beliau dikalahkan
oleh... Dewi Candika!" Tiba-tiba Ki Lebong takut sendiri.
Belum pernah ada yang tahu dengan tepat bagaimana
wajah Dewi Candika. Tetapi, dalam pikiran Lebong, melihat sepak terjang dan keburukan mukanya... mungkin
saja Madri ini adalah Dewi Candika - dewi pencabut
nyawa! Tak terasa Ki Lebong menyeret istrinya mundur.
Madri juga terkejut. Dewi Candika! Dia benar-benar
ada" Mungkin kata-kata Ra Sindura dulu itu benar"
Ah. Mungkin ini kesempatan. Bagaimana jika ia bergabung dengan Dewi Candika" Paling tidak Dewi Candika belum pernah melihat mukanya. Dan mungkin mereka memerlukan prajurit yang tangguh. Apakah itu
bukan berkhianat"
Daripada ia harus menanggung malu selamanya"
Tapi maukah Dewi Candika menerimanya" Dalam
keadaan sekarang ini"
Kecuali jika ia membawa pasukan. Mungkin ketiadaan kesaktiannya tak terlalu mempengaruhi.
"Kau mau ke mana?" tanya Madri.
"Rrra... Rakerti, Tuan...."
"Jauh dari sini?"
"Berjalan kaki... mungkin menjelang malam kami
akan tiba di sana...."
"Hmh. Baiklah. Berangkat kalian. Aku akan menyusul." "Tuan?"
"Ya. Akan kutaklukkan Rakerti. Bilang itu pada penduduk di sana. Cepat berangkat!" Madri membentak.
Tak usah diulang, keempat orang itu bergegas berlari. Tak lama tempat itu sangat sepi.
"Kau. Kembalilah!" kata Madri kepada Gemut.
"Tidak. Aku harus mengobatimu. Di samping obat ini
kau harus juga dipijat. Dan hanya aku yang tahu."
"Aku tak takut mati!"
"Tapi kau punya rencana. Dan tak akan puas sebelum rencanamu terlaksana."
"Huh!" Madri heran. "Lalu kamu mau apa?"
"Mengikutimu. Mengobatimu."
"Tidak!"
"Aku akan memaksa mengikutimu."
Sunyi lagi. Madri menimang-nimang tombaknya.
"Baiklah. Kau ikut! Dengan satu syarat."
"Apa?"
"Kau harus berkerudung. Mukamu harus tertutup
rapat. Agar orang takkan membandingkan kau dengan
aku. Ayolah!"
2. AKHIR TRANG GALIH
JURU MEYA beberapa kali memperhatikan surat di tangannya. Ini benar-benar surat dari junjungannya, Wara Hita. Ada tanda khusus yang hanya ia dan Wara Hita
yang tahu. Pada ujung surat dari daun lontar itu ada
bekas kuku, bersilang.
"Perempuan buruk hati, ini memang surat dari Ratu
junjunganku, he he he...," Juru Meya tertawa menjulurkan lidahnya di antara giginya.
"Jangan tertawa!" Wara Huyeng mengerutkan kening. Ia tahu tulisan tangan junjungannya. Tetapi ia tak tahu bukti yang membuat
Juru Meya yakin.
Mereka berada di Gua Polaman, salah satu gua dari
begitu banyak gua yang membentuk kerajaan bawah
tanah di Trang Galih. Tetapi tahta batu tempat Wara Hi-ta duduk, kosong. Juga
tempat Nagabisikan. Di gua
yang terang benderang oleh begitu banyak obor itu memang telah hadir beberapa orang kepercayaan Wara Hita. Dan mereka semua dipanggil dari berbagai tempat
dengan suatu jaringan penyampaian berita yang cepat,
tepat, namun rahasia.
Ada Juru Meya, manusia bundar dengan wajah menyeramkan yang begitu banyak memiliki kesaktian. Dia
yang dikabarkan pernah satu guru dengan Sang Bhre
Wirabhumi dan memiliki aji Rawa Rontek yang menyebabkan ia bagaikan bernyawa
rangkap, aji Wayang yang menyebabkan ia mampu menyerap kesaktian orang lain
serta, tentu saja, berbagai ajian yang pernah diserapnya. Ada Wara Huyeng, wanita setengah umur yang sakti
dan sangat genit. Memang tidak sesakti Juru Meya, namun ia termasuk murid Nagabisikan yang cerdas.
Ada Emban Layarmega yang telah lolos dari Kuripan
dan terpaksa meninggalkan tugasnya sebagai pimpinan
wanita-wanita penghibur dan kembali ke 'pusat' pergerakan mereka sebagai prajurit.
Kemudian beberapa pimpinan prajurit: Ula Bandotan, Kebo Taluktak, Kusya, Pasongsari, Pangilet, Gatri, Maya Mekar, Kunti. Dan
seorang pemuda kurus dengan
mata kuyu dan duduk di samping kaki Wara Huyeng.
Anengah. Ya. Anengah. Bekas murid Rahtawu ini kini telah begitu lekat pada Wara Huyeng. Ia pun telah diangkat
menjadi pengajar olah kesaktian para prajurit. Berkat
khasiat Butir Hitam Tartar yang membuatnya ketagihan
dan selalu ketagihan lagi. Kini ia pun berpakaian seperti para pimpinan Trang
Galih: kain serba hitam, ikat pinggang dan kepala dengan gambar ular terbang
tinggi, dan destar hitam yang ujung depannya menjulur turun
hampir menutupi mata.
"Aku sendiri yakin ini surat Anakmas," kata Wara
Huyeng. "Namun... aku merasa heran. Di sini disebutkan beliau di Uteran. Di daerah selatan. Terakhir
kali kudengar, beliau sedang dalam perjalanan ke
Wengker bersama Tuanku Guru. Kedua, Sang Guru
sama sekali tak disebutkan di sini. Ketiga, permintaan beliau sungguh sulit
dikabulkan. Memindahkan semua
pasukan ke selatan" Ke daerah terbuka" Alangkah mudahnya ditumpas nanti!"
"Dasar perempuan yang cuma mikir lelaki saja, he he
he," Juru Meya tertawa hingga air liurnya meluncur.
"Kalau aku, pertama, aku yakin ini surat dari Ratu junjunganku. Jadi harus
kuturut. Kedua, kemungkinan
besar ia telah memperoleh kedudukan kuat di Uteran,
hi hi hi... tapi untuk mempertahankannya ia memerlukan kita, hi hi hi...."
"Jadi?" Wara Huyeng mengernyitkan kening, dan
menyodorkan kakinya kepada Anengah agar dipijiti.
"Ya, kita berangkat, kecuali jika kau masih sibuk dengan hewan peliharaanmu itu, Huyeng, he he he!" Juru
Meya tertawa. "Sabar, Ananda Anengah," Wara Huyeng cepat mengelus kepala Anengah yang walaupun sangat terpengaruh oleh Butir Hitam Tartar agaknya merasa tersinggung oleh kata-kata itu. "Kalau begitu, kita berangkat.
Tetapi tak mungkin kita berangkat dalam satu rombongan besar."
"Itu pikiran terbaikmu selama puluhan tahun ini,
Huyeng, he he he. Kita bagi pasukan menjadi tiga?"
tanya Juru Meya.
"Menjadi tiga. Aku bersama Ananda Anengah menyusuri Gunung Trang Galih ini ke barat, kemudian
membelok di daerah Rawa ke selatan menuju Uteran,"
kata Wara Huyeng. "Kiai dengan sepertiga pasukan lagi..." "He he he... prajurit wanita, lho, prajurit wanita, lho!"
kata Juru Meya.
"Ya, dengan para prajurit wanita, langsung ke arah
selatan. Kemudian Nyai Emban Layarmega ke arah timur kemudian ke selatan dari kaki Gunung Lawu. Bagaimana?" "Hah, paling-paling jika aku tak setuju kamu juga tidak setuju, Huyeng, he he he... hayolah. Suruh siap
semua prajurit!" Juru Meya tiba-tiba menunduk dan
mendengkur. Wara Huyeng menarik napas panjang.
"Nyai Emban, dan kau, Ula Bandotan, serta Ni Kunti.
Siapkan pasukan masing-masing. Kita berangkat dari
Jurang Grawah."
Daerah pegunungan kapur yang biasanya sunyi itu
tiba-tiba sangat ribut. Entah dari mana, tahu-tahu
hampir di setiap lereng, celah, dan tempat terbuka
muncul manusia-manusia bersenjata. Mereka memang
berusaha bergerak tanpa suara, tetapi dengan banyaknya persenjataan dan peralatan yang mereka keluarkan,
serta berbagai aba-aba, maka suasana ribut pun terjadi.
Di salah satu gua, Tantri tersentak bangun. Pemuda
yang mirip bocah atau bocah yang mirip pemuda ini
memang masih berada dalam tahanan pasukan di
Trang Galih ini. Ia pun menderita berbagai macam siksaan, baik halus ataupun kasar. Namun agaknya ia
sangat bisa menguasai diri. Bawaannya selalu begitu
riang gembira dalam keadaan apa pun hingga para penahannya kehilangan akal. Bahkan Juru Meya yang ahli dan berpengalaman pun sering terkecoh oleh ulah
tingkah Tantri. Apalagi Wara Huyeng. Mereka palingpaling akhirnya berpendapat bahwa Tantri ini gila. Namun sangat berbahaya. Dan mereka merasa sangat rugi
bila Tantri dilenyapkan. Bahkan dalam banyak kegilaannya, ada yang mereka pelajari dari Tantri. Mereka
pun tak mengerti mengapa Butir Hitam Tartar tak
memberi pengaruh apa pun pada Tantri. Mereka sama
sekali tidak tahu bahwa Tantri adalah putra tersayang
dari pasangan gila Sinom dan Mahendra - itu saja sesungguhnya cukup untuk menerangkan berbagai keanehan yang ada pada anak ini.
Ketika pintu lempengan batu penutup di ruang batunya digeser, Tantri sedang bersemadi dengan cara
yang aneh: kepala bagai menancap di lantai batu, seluruh badan tegak berdiri dalam keadaan tribhanga kedudukan tiga lekukan. Tentu saja terbalik.
"Anak manis, kau sedang apa?" tanya Wara Huyeng
yang berdiri di depan pintu bersama Anengah dan Emban Layarmega. Pertanyaannya itu dilambari tenaga batin yang kuat hingga Tantri tersadar dari semadinya.
"Eh, Bibi yang cantik molek seperti golek! Kenapa
kau terbalik" Kaupikir dengan begitu kau tambah cantik?" tanya Tantri tertawa.
"Kau yang terbalik, Anak cantik!" kata Wara Huyeng.
Dan tanpa rasa malu ia mendekat dekat sekali dengan
Tantri, sehingga kepala anak muda itu hampir bersentuhan dengan jari-jari kakinya... dan tiba-tiba ia mengangkat kain yang menutupi
bagian bawah tubuhnya.
"Nah, kau yang terbalik, bukan" Kau lihat" Hi hi hi
hi hi," Wara Huyeng tertawa terkikik genit.
Candika Dewi Penyebar Maut X I I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bibi, jangan... seperti itu!" gumam Anengah.
"Eh, mainanmu itu bisa juga cemburu, Bibi molek?"
Tantri melompat berdiri seperti biasa. "Kukira dia sudah tak punya pikiran waras
lagi?" "Kenapa?" Wara Huyeng tertawa. Ia paling senang
mengadu domba kedua orang ini, yang memang bagaikan bumi dan langit.
"Kalau aku kamu, Bi, aku takkan percaya padanya.
Dia yang sudah berkhianat pada perguruannya, mana
mungkin bisa dipercaya!" kata Tantri.
"Kata-katamu takkan bisa melukai hatiku, Monyet
kecil. Sebab kau buta. Dan aku bisa melihat," kata
Anengah menahan diri.
"Wah, wah, wah! Bisa pula dia berbahasa! Apakah lidahnya kaugaruk dengan uang emas setiap hari, Bibi?"
ejek Tantri. "Kau benar-benar buta," Anengah mencoba menenangkan diri. "Manusia harus punya cita-cita. Dan jika aku bersetia pada
perguruanku yang telah punah, yang
hancur karena seorang pengkhianat, bagaimana aku bisa mencapai cita-citaku" Dengan mengikuti Ratu Wara
Hita, setidak-tidaknya cita-citaku akan lebih mudah
kucapai!" "Dan apakah cita-citamu itu, manusia tak berbudi?"
ternyata Tantri yang naik darah.
"Sederhana. Aku merasa punya kewajiban ikut
mengatur dunia ini. Dan akan kulakukan itu!" sahut
Anengah tenang.
"Ya ampun!" Tantri membelalak. "Dunia bisa jungkir
balik jika kau sampai punya kesempatan mengaturnya!"
"Yang jungkir balik adalah orang buta seperti kau,
Monyet cilik," Anengah mencibir.
"Tapi kau pun takkan mampu berbuat banyak. Menaklukkan bibiku yang molek ini pun takkan mampu.
Dan kau tak tahu bahwa kau hanya diperalat olehnya!"
kata Tantri. "Diperalat oleh siapa pun takkan terasa berat, jika
kita memang menghendakinya. Dan aku menghendakinya!" Anengah kini malah tertawa mengejek.
"Makanya Tari tak sudi padamu... hatimu berbulu!"
dengus Tantri. Nama 'Tari' agaknya mempunyai daya tersendiri pada Anengah. Ia tertegun. Matanya bersinar tajam. Kedua tinjunya mengepal keras. Dan hampir tak memakai
ancang-ancang, tiga kali tendangan Bantala Liwung di-lancarkannya pada Tantri.
Tendangan-tendangan beruntun itu begitu dahsyat bertenaga, ditambah meluncurnya tinju yang tak terduga, membuat Tantri berloncatan dalam langkah Sura-caya yang tak terlalu ampuh karena Anengah pun
menguasai ilmu itu dengan baik.
Terdengar jeritan keras. Dan Tantri terkapar di lantai batu ruangan batu itu.
Matanya membelalak dan tiba-tiba ia memuntahkan darah hidup. Tapi ia masih
terta- wa. "Sungguh gagah, sungguh gagah," katanya. "Jika gurumu masih hidup, mungkin beliau pun akan kauhantam hancur tanpa kau merasa malu.... Kaugunakan ilmumu hanya untuk kepuasan hatimu sendiri."
"Kau keliru," tiba-tiba Anengah bisa berbicara dengan sangat tenang. "Justru menghormati guru aku harus menunjukkan ilmuku. Bangunlah, jika kau masih
ingin tahu lebih banyak kehebatan ilmu ajaran guruku."
"Tak ada gunanya. Setinggi-tinggi ilmu itu, toh yang
penting akhirnya orang yang memilikinya. Ilmu kanura-gan, kau mungkin telah
mumpuni. Apakah ilmu budi pekerti juga kaukuasai?" Tantri tertawa dan sekali
lagi meludahkan darah.
"Sudah, sudah, Anakmas Anengah! Kau tak usah
meladeni dia." Wara Huyeng mengusap keringat di dada
Anengah dengan selendangnya. "Toh dia takkan lama di
dunia ini. Mungkin pada penitisan berikutnya kalian
berdua bisa melanjutkan debat ini."
"Sayang sekali. Kau mau membunuhku?" tanya Tantri. "Kenapa tidak" Kau sama sekali tak pernah menguntungkan kami. Tapi, untuk apa membuang tenaga mengurus nyawa kecilmu?" kata Wara Huyeng.
"Maksudmu?" tanya Tantri.
"Kami tak memerlukan tempat ini lagi. Kami akan
pergi. Jika karmamu baik, mungkin kau masih bisa hidup. Jika tidak... yah... mungkin kau akan terkubur di sini. Hi hi hi hi...
sesungguhnya aku ingin menciummu.
Tapi... jijik, ah! Dan... tentunya Anakmas Anengah takkan mengizinkan aku
berbuat begitu, bukan?"
Wara Huyeng memberi isyarat mundur. Emban Layarmega segera keluar. Wara Huyeng menunggu. Tetapi
Anengah tak kunjung melangkah. Memberi isyarat agar
Wara Huyeng berangkat lebih dahulu.
Kemudian tinggal Anengah dan Tantri.
"Aku berkhianat bukan hanya kehendak diriku," kata Anengah pada Tantri. "Aku yakin ini semua kehendak dewata. Salah seorang murid Rahtawu sebetulnya
adalah salah satu yang mempunyai hubungan erat dengan penguasa Wilwatikta. Aku merasa bahwa orang itu
adalah aku. Maka aku tempuh jalan ini. Jika memang
dewata menghendaki aku muncul sebagai penerima
wahyu kerajaan, maka pengkhianatanku ini akan merupakan tindakan dewata. Jika bukan, aku akan hancur. Dan itu aku rela. Kau sendiri... cobalah keuntunganmu! Kalau memang tidak tahan, mungkin lebih baik
kau bunuh diri." Anengah melemparkan sepucuk cundrik, keris kecil, ke dekat kaki Tantri. Kemudian dia keluar.
Sepuluh orang prajurit mendorong lempeng batu
yang berfungsi sebagai pintu ruang itu. Di ujung lorong, Wara Huyeng dan Emban
Layarmega menunggu.
"Tanda mata apa yang kauberikan padanya, Anakmas?" tanya Wara Huyeng.
"Dia bersikeras mengatakan aku pengkhianat. Aku
tak mengerti," kata Anengah.
"Dia takkan punya kesempatan untuk berbicara tentang itu denganmu. Tempat ini akan kita tinggalkan.
Semua orang akan pergi. Semua tawanan ditinggal dan
disekap dalam masing-masing ruangan. Tak akan ada
yang mengurus lagi."
"Kurasa begitu juga bagus," kata Anengah. "Kapan
aku berangkat?"
"Kau, aku, Bibi Layarmega, dan serombongan pengawal berangkat dahulu. Sekarang juga. Yang lain, dengan membawa berbagai
perlengkapan, menyusul."
"Apakah pasukan Wilwatikta di daerah-daerah yang
kita lewati tak akan menyerang kita?" tanya Anengah.
"Karena itulah kita berangkat dalam banyak sekali
rombongan kecil. Orang luar akan melihat kita hanya
sebagai pedagang dan orang-orang bepergian saja. Ayolah." Malam itu memang terlihat hal-hal luar biasa di
puncak Trang Galih. Di puncak pegunungan kapur
yang sangat terpencil itu terlihat ratusan nyala obor
bergerak hilir-mudik. Dan bayang-bayang puluhan rombongan menyelinap di antara bayang-bayang lereng dan
pepohonan. Keesokan harinya, menjelang tengah hari, sekelompok orang berhenti, beristirahat di sebuah tempat terbuka di luar hutan Taratap.
Mereka terdiri dari sekitar dua puluh orang. Agaknya
dipimpin oleh seorang muda yang berpakaian mewah.
Ada dua buah tandu. Yang pertama dipakai oleh seorang wanita yang berpakaian mewah dan cantik, yang
kedua untuk sebuah kotak besar yang agaknya sarat
oleh barang-barang. Orang lain yang agak menarik perhatian adalah seorang wanita lagi yang berpakaian sederhana, begitu sederhana hingga mirip prajurit. Bahkan di ikat pinggangnya terselip dua bilah pedang pendek. Anggota rombongan lainnya tampak gagah-gagah,
muda, dan perkasa. Dan mereka menyembunyikan senjata mereka di pelana-pelana kuda atau di balik kain
mereka. Inilah rombongan pertama dari Trang Galih. Anengah, Wara Huyeng, dan Layarmega. Beserta pengawal
mereka. "Berapa hari lagi kita sampai Uteran, Bi?" Anengah
mengipas-ngipaskan tutup kepala di depan dadanya
yang bidang. Hawa memang panas.
"Mungkin tiga hari tiga malam lagi, Anakmas..." Wara Huyeng tersenyum memberi isyarat minta air pada
Emban Layarmega. "Kau tidak bosan bukan, Anakmas"
Toh setiap malam aku yang menemani..."
"Hutan Taratap ini terkenal banyak harimaunya," kata Layarmega. "Harap Raden berwaspada nanti jika kita
telah mulai berada di dalamnya."
"Jangan khawatir, Anakmas Anengah ini makanannya harimau, kok, hi hi hi hi," sahut Wara Huyeng.
"Maksudku... ya dua-duanya. Dia suka bersantap harimau. Dan harimau juga suka bersantap dia, hi hi hi...."
Kegenitan Wara Huyeng mengisyaratkan bahwa yang
dimaksudkannya dengan harimau adalah dirinya.
Layarmega memalingkan kepala. Ia memang biasa
bergaul dan membawahi wanita-wanita yang suka
menghibur pria-pria hidung belang. Tetapi berhadapan
dengan wanita hidung belang yang selalu lapar ini
sungguh keterlaluan.
"Yang hamba maksud juga harimau berkaki dua,"
kata Layarmega kemudian. "Hamba dengar hutan angker itu juga dihuni oleh gerombolan perampok yang dibawahi oleh Kiai Sendang. Perampok itu begitu berkuasa dan ditakuti hingga ia bahkan bagaikan raja kecil di tengah hutan."
"Mengapa tentara kerajaan tak membasminya, Bibi"
Juga... berani benar ia menunjukkan kekuatan begitu
dekat dengan Trang Galih" Apakah orang-orang kita
membiarkan saja dia berkiprah di sini" Dan... jika orang tahu bahwa daerah ini
berbahaya, mengapa masih saja
banyak orang yang lewat di sini?" tanya Anengah, menuding pada jalan setapak masuk hutan yang tampaknya sangat sering digunakan orang lewat.
"Tentara kerajaan tak terlalu memperhatikan perampok-perampok, selama mereka tidak berontak. Lagi pula, Kiai Sendang sangat sukar ditangkap. Pernah diadakan penggerebekan. Pasukannya terkepung. Mereka
mundur ke mata air. Dan tiba-tiba lenyap. Dan bagi para saudagar... jalan ini jalan terpendek menuju Pantai Selatan. Kalau tidak
harus berputar melewati punggung
Trang Galih Utara atau lewat Watu Baris. Di samping
jalanan jadi sangat jauh, kemungkinan bahaya perampokan juga ada. Sedang Kiai Sendang terkenal adil. Jika ia telah diberi pajak
jalan, maka siapa pun bisa lewat dengan selamat. Tak banyak..." Layarmega
memandang peti yang berada di tandu. "Biasanya ia hanya minta se-persepuluh dari bawaan
kita. Cukup adil, bukan?"
"Aku juga telah mendengar tentang Kiai Sendang.
Dia sesungguhnya tidak terlalu sakti. Tetapi anak buahnya sangat setia padanya
serta mengetahui sedikit ilmu perang. Mengapa kita biarkan dia hidup" Itu hanya
siasat," kata Wara Huyeng. "Daerah Pantai Selatan selalu
merupakan daerah yang dijaga kuat oleh pasukan Wilwatikta. Jika mereka mendengar Kiai Sendang ditumpas, mereka akan curiga. Siapa yang berani dan mampu
menumpasnya. Sekarang pertimbangan itu mungkin
sudah tak berlaku lagi. Dengan Ratu junjunganku sudah menanam kekuasaan di Selatan, maka agaknya beliau merasa yakin bahwa daerah Selatan bisa kita kuasai. Tak ada yang ditakutkan lagi."
"Aku jadi ingin segera bertemu orang itu," kata Anengah. "Pasti harta timbunannya dapat kita gunakan
nanti...."
"Benar juga," kata Wara Huyeng. "Sekalian untuk
berlatih. Tapi... kau jangan terlalu letih lho, Anakmas...
nanti bertemu harimau tak bisa melayani!"
"Hayo kita berangkat lagi, Bibi... kurasa kita sudah
cukup beristirahat," kata Anengah, berdiri.
Orang-orang pun bersiap-siap untuk berangkat.
Tak lama mereka telah beriringan memasuki hutan
Taratap. Paling depan tiga orang pengawal yang tak
sungkan-sungkan lagi berjalan dengan pedang terhunus. Kemudian Anengah di atas punggung kudanya. Di
belakangnya lima orang pengawal lagi, disusul oleh tan-du yang membawa Wara
Huyeng dan tandu yang membawa peti barang-barang. Sisa rombongan dipimpin
Layarmega. 3. PERISTIWA SENDANG AMPAL
MAKIN lama mereka makin jauh memasuki hutan. Dan
sesungguhnya perjalanan itu cukup nyaman. Jalan datar. Lebar. Pepohonan rimbun hingga mereka terlindung
dari sengatan matahari. Sekali-sekali memang terdengar auman harimau, tetapi
rombongan itu memang rombongan orang-orang yang tak takut apa pun hingga beberapa di antara mereka malah berteriak-teriak memanggil-manggil hewan buas yang tak terlihat itu.
Rasanya perjalanan tersebut tak habis-habisnya.
Anengah meminggirkan kudanya dan membiarkan
rombongannya berlalu untuk bisa berbicara dengan
Layarmega. "Bibi, masih berapa lama lagi kita harus menyeberangi hutan ini?" tanya Anengah.
"Jika kita tak beristirahat lagi, menjelang malam kita sampai ke desa Tapis.
Sesungguhnya itu masih daerah
hutan, desa orang-orang yang mengerjakan hasil hutan
ini. Di sana sudah aman untuk bermalam. Bahkan
orang-orang Kiai Sendang takkan mengganggu lagi. Dan
tengah hari besok kita sampai ke tepi hutan yang sebenarnya, desa Wirung. Kemudian kita akan melewati kedudukan Akuwu Plaosan. Dan dari sana ke Uteran sudah tidak sulit lagi."
"Hmmm, mungkin karena memikirkan Kiai Sendang
maka pikiranku dan pikiran orang-orang malah kacau
oleh keadaan hutan yang sunyi sepi ini. Bibi, apakah ki-ta sudah hampir mencapai
daerah perampok itu?"
Candika Dewi Penyebar Maut X I I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kukira ya... itu pohon randu merah yang menandakan jalan ke arah dari mana kita datang. Setelah belokan di depan akan ada mata air Ampal. Tempat itu adalah persimpangan jalan antara jalan ke Uteran dan ke
Rakerti. Di situlah biasanya utusan Kiai Sendang datang untuk minta pajak jalan: Dari mata air itu, yang
juga disebut Sendang Ampal, penguasa hutan itu memperoleh namanya."
"Hm. Kalau begitu, percepat jalan orang-orang ini,
Bibi... biar kita bisa beristirahat agak lama di mata air itu."
"Baiklah, Raden...."
Layarmega memberi isyarat dengan suatu suitan.
Dan rombongan itu maju lebih cepat.
Ketika akhirnya mereka sampai ke tempat yang dikatakan oleh Layarmega, mereka semua tertegun.
Jalan setapak yang mereka lalui saat itu menurun.
Dan pepohonan agak jarang. Batu-batu cadas tampak.
Serta sebuah lembah kecil terbentang mengikuti aliran
sebuah anak sungai yang berawal pada Sendang Ampal.
Suasana tiba-tiba sejuk dan... damai!
Di pinggir anak sungai, dekat kolam besar berair jernih yang bernama Sendang Ampal itu, terbentang padang rumput hijau segar. Dan di sana berdiri sebuah
pendapa besar, berdiri bagaikan panggung. Lantainya
sekitar satu depa dari tanah. Tiang-tiangnya kayu berukir. Atapnya atap sirap yang sangat jarang terlihat begini jauh dari ibukota.
Di sisi padang rumput terlihat beberapa buah warung yang mengepulkan asap tanda
mereka pun siap dengan makanan dan minuman hangat. "Hei, inikah tempat itu?" bisik Anengah yang menghentikan kudanya di ujung jalan yang tiba-tiba bagaikan menukik ke padang rumput itu. Layarmega telah
memacu kudanya hingga berdampingan dengan kuda
Anengah. "Eh, rasanya... rasanya seperti di alun-alun sebuah
kota raja!" bisik balik Layarmega.
"Mengapa kalian berbisik-bisik?" tiba-tiba Wara Huyeng telah berada di punggung kuda di belakang Anengah, menggelendot mesra pada pemuda itu. "Lho! Kita
ada di mana?"
Layarmega cepat melompat turun dari kudanya,
memberi isyarat agar anak buahnya tetap di tempat
dengan waspada dan tidak berebut ke depan untuk me Pendekar Sakti 14 Iblis Ular Hijau Karya Aryani W Pendekar Patung Emas 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama