Ceritasilat Novel Online

Dewi Penyebar Maut X I I 2

Candika Dewi Penyebar Maut X I I Bagian 2


lihat. Anengah pun turun dari kuda dengan kikuk, sementara Wara Huyeng pindah duduk ke pelananya.
"Inikah... Sendang Ampal?" tanya Anengah sekali lagi. "Tempatnya, ya. Hamba ingat sekali. Tikungan ini.
Lapangan ini. Sendang itu. Dan batu cadas putih di sana itu... itulah pintu jalan ke Uteran. Tapi... biasanya tak ada apa-apa di
tanah lapang itu. Kecuali bekas-bekas api unggun serta sampah. Hamba memang
sudah lama tidak melewati daerah ini, tetapi dari beberapa
orang yang lewat sini akhir-akhir ini tidak hamba dengar berita yang aneh!"
"Tempat ini begitu bersih dan ramah... seolah-olah
menunggu kita," kata Wara Huyeng. "Seolah-olah setiap
saat akan terdengar gamelan yang menyambut kedatangan tamu... kita-kita ini...."
Bagaikan mendengar kata-kata Wara Huyeng, tibatiba saja terdengar suara gamelan. Gamelan selamat datang! Entah dari mana. Di lapangan di bawah itu sama sekali tak terlihat manusia.
"Mungkin jebakan," bisik Layarmega.
"Siapa akan berhasil menjebak orang-orang Trang
Galih?" dengus Wara Huyeng.
"Bibi Layarmega memimpin semua orang ke tengah
lapangan sana. Aku akan mengitar ke kiri. Bibi Wara
Huyeng mengitar ke kanan. Jika menemui hal-hal yang
mencurigakan segera memberi isyarat," kata Anengah.
Dan tanpa menunggu jawaban ia telah berlari ke arah
kiri. Wara Huyeng pun tiba-tiba lenyap. Layarmega melompat ke kudanya, memberi isyarat agar rombongan
itu maju terus, dan turun.
Anengah bergerak cepat sekali. Walaupun kini ia
sangat mengandalkan Butir Hitam Tartar, tetapi segala
ilmunya masih utuh. Bagaikan bayangan ia melesat dari pohon ke pohon, berlompatan dari batu ke batu dengan menggunakan Sura-caya. Ia merasa menemukan sumber bunyi gamelan yang
didengarnya, tetapi saat
sampai di tempat itu ia tak menemukan apa-apa. Agaknya ia telah mengitari lembah kecil itu hingga ke seberang. Di bawahnya kini
terlihat jalan yang menuju Uteran. "Tak ada apa-apa, Anakmas?" terdengar suara merdu Wara Huyeng. Anengah terkejut. Wanita berpakaian
serba biru itu ternyata telah bertengger di dahan pohon di atasnya. Anengah
menjejak bumi dan badannya meluncur ke atas, hinggap di samping Wara Huyeng.
"Bibi juga tak menemukan apa pun?" tanya Anengah. "Tidak. Aku perkirakan... gamelan itu mungkin berada di dalam tanah. Di salah satu gua. Mungkin daerah
ini seperti Trang Galih. Kemudian gua itu mempunyai
cabang, lorong-lorong bawah tanah. Atau diberi bersaluran seperti pipa, dan
dimunculkan di berbagai tempat.
Mungkin di celah batu. Atau di pohon-pohon berlubang.
Atau di semak-semak, sehingga suaranya seperti keluar
dari berbagai penjuru. Kauperhatikan lembah yang melengkung ini" Suara akan sangat mudah disalurkan ke
mana pun. Tanpa harus berteriak. Coba. Panggil Layarmega tanpa kau harus berteriak. Lebih keras sedikit da-ri kita berbicara ini."
"Bibi Layarmega!" Anengah mengikuti petunjuk Wara
Huyeng. Lebih keras dari berbicara biasa. Lebih pelan
dari berteriak. Dan jauh di bawah mereka, terlihat Layarmega yang sudah berada di lapangan di pusat lembah menghentikan kuda. Berputar-putar mencari-cari.
"Apakah Bibi menemukan hal-hal yang aneh?" tanya
Anengah. "Tidak, Raden!" jelas Layarmega berteriak. Keras terdengar di tempat Anengah dan Wara Huyeng. "Di manakah engkau, Raden?"
"Biarkan orang-orang itu beristirahat, Bibi... beri mereka makan dan minum!"
kata Anengah. "Tak usah repot-repot... makan dan minum telah
kami sediakan. Tamu macam apa kalian ini hingga penuh curiga?" sebuah suara terdengar menggema memotong kata-kata Anengah. Anengah dan Wara Huyeng
terkejut. Suara itu begitu dekat seolah yang berbicara ada di samping mereka.
Tetapi tak ada seorang pun di
situ. "Terima kasih untuk jerih payah tuan rumah," Wara
Huyeng menyahut. "Maafkan kelancangan kami... tetapi
kiranya kami juga berhak bertanya... tuan rumah macam apa yang menyembunyikan diri dari tamunya?"
"Tentu tuan rumah yang menganggap tamunya tak
ada harganya untuk ditemui, hi hi hi hi," suara itu tertawa puas sekali.
Anengah menuding ke bawah. Rombongan Layarmega telah mulai beristirahat. Duduk-duduk di pendapa
besar itu atau membasuh muka di anak sungai. Layarmega masih di punggung kudanya yang berjalan hilirmudik. Ada yang aneh. Terlihat sekali bahwa mereka
yang di bawah sana tak ikut mendengar suara yang
berbicara dengan Wara Huyeng itu. Wara Huyeng mengerti keheranan Anengah. Ia memberi isyarat agar mereka secepatnya turun ke tengah lapangan sana. Anengah mengangguk. Ia mengambil ancang-ancang untuk
berlari ke bawah.
"Bagaimana Tuan tahu kami tak ada harganya di
mata Tuan" Bukankah tempat ini adalah anugerah dewata bagi mereka yang sedang bepergian?" tanya Wara
Huyeng. Dan begitu kata-katanya habis ia pun melesat
ke bawah diikuti oleh Anengah.
Mereka hampir bersamaan tiba di pendapa besar itu.
Langsung masuk dan melihat berkeliling. Para anggota
rombongan sangat terkejut saat Anengah dan Wara Huyeng tiba-tiba muncul di tengah pendapa.
Tapi tak ada yang mencurigakan di situ.
Lantai pendapa terbuat dari papan-papan kayu yang
halus dan berwarna hitam mengkilap. Di bawah lantai
terlihat bersih, kosong. Beberapa orang anggota rombongan berdiri menunggu dan kebingungan di depan
warung-warung yang menghidangkan makanan tapi tak
ada yang menunggu.
Wara Huyeng dan Anengah bergegas memeriksa warung-warung itu. Satu-satunya yang mencurigakan hanyalah tiadanya orang saja.
"Bagaimana" Apakah tuan rumah masih juga belum
sudi menampakkan diri?" tanya Wara Huyeng.
Dari bawah sini ternyata ia harus sedikit mengerahkan tenaga untuk berbicara.
Tak ada jawaban.
"Seperti yang kucurigai," bisik Wara Huyeng pada
Anengah. "Mungkin yang berbicara tadi berasal dari bawah sini. Sekarang ia tak berani bersuara, takut kalau kita bisa menemukannya."
"Tapi... tidak ada yang meninggalkan tempat ini dari
tadi," bisik Anengah.
"Suruh mereka memainkan barisan Hasta Kartika!"
bisik Wara Huyeng.
Anengah mengangguk. Hasta Kartika adalah salah satu ilmu perang ajaran khusus
Juru Meya. Sama sekali bukan sadapan dari ilmu-ilmu Rahtawu. Anengah
merasa pilihan Wara Huyeng sangat tepat dan membuktikan kecepatan daya pikirnya. Ilmu Hasta Kartika adalah ilmu khas. Belum pernah
diajarkan di suatu perguruan atau oleh aliran kekuatan mana pun. Juru Meya
menciptakan ilmu itu saat pasukan Bhre Wirabhumi
terdesak ke laut, dan dengan jumlah prajurit yang sangat sedikit ia harus melindungi junjungannya mundur.
Maka ia memecah pasukannya yang tinggal sedikit
menjadi dua kelompok yang masing-masing membentuk
lingkaran. Kedua lingkaran itu masing-masing memiliki
empat kedudukan tangguh untuk menyerang dan
mempertahankan diri. Keduanya saling berputar, saling
menyelinap, berpecah dan berpisah, cepat bergabung
kembali dalam gerakan yang setiap langkahnya diperhitungkan dengan teliti. Pada puncak keampuhannya, setiap titik yang membentuk rangkaian delapan 'bintang'
itu akan mampu paling tidak menahan pasukan yang
lebih besar jumlahnya. Dan jika pasukan lawan tidak
berhati-hati, bukannya tidak mungkin pasukan yang
sepuluh kali lebih besar hancur oleh pasukan yang lebih kecil. "Bibi Layarmega! Perintahkan orang-orang ini membentuk Hasta Kartika. Sekarang!" Mendadak Anengah melompat ke lapangan dan
berteriak. Layarmega agaknya dari tadi juga bercuriga. Karenanya tanpa bertanya-tanya lagi ia mengambil sebilah
peluit bambu dari selipan ikat pinggangnya. Dan ia meniup keras-keras. Sekali pendek. Tiga kali panjang. Berulang-ulang. Serentak terjadi keributan. Semua anggota rombongan berlarian mengelilingi Layarmega. Semua meninggalkan apa saja yang sedang mereka kerjakan. Makan.
Atau tiduran. Atau mandi. Atau apa saja.
Dan begitu terbentuk lingkaran mereka memecah diri lagi. Berhamburan seperti tak tentu arah. Untuk bergabung lagi. Tak beraturan
tampaknya. Tetapi mengikuti aturan tertentu. Kecuali satu orang.
Orang itu langsung terlihat nyata di mata Anengah,
Wara Huyeng, dan Layarmega. Pakaian orang-orang
rombongan itu memang pakaian yang umum dipakai
orang bepergian. Sulit membedakan mereka. Tapi orang
ini gerakannya selalu terlambat. Selalu menirukan
orang lain. Dan selalu mendahului seseorang untuk
menduduki suatu titik tertentu.
"Berhenti!" teriak Anengah.
Semua berhenti. Mematung.
"Kau!" Anengah menuding orang yang dicurigainya,
sementara Wara Huyeng telah melompat ke atas atap
pendapa untuk bisa melihat keadaan sekeliling lebih jelas. "Nun" Hamba, Raden?"
Orang itu celingukan.
Dia bertubuh sedang. Memakai topi bambu. Jenggot
dan kumisnya panjang, putih dan hitam bercampur
baur. Atau, setelah Anengah memperhatikan lebih teliti, jenggot itu sesungguhnya
putih tetapi terkena lumpur
hingga kehitaman gelap.
"Siapa namamu?" tanya Anengah.
"Nun, hamba, Raden" Emhh... hamba Ki Jata, Nun.
Ya, hamba Ki Jata."
"Siapa namaku?"
Orang itu terlihat tertegun. Kemudian tertawa terkekeh-kekeh. "Waduh, waduh! Gara-gara Raden lupa
nama Raden semua orang Raden paksa berlarian seperti itu... wah, wah, wah! Maafkan hamba, Raden...
hamba sedang... sakit... perut!"
Orang itu betul-betul memegang perutnya dan beberapa orang yang dekat dengannya mendengar suara
memberebet serta mencium bau yang sangat menusuk
hidung. Orang itu pun beranjak untuk berlari ke pinggir lapangan.
Tetapi baru ia melangkah beberapa langkah, Anengah sudah berada di depannya.
"Kau bukan rombongan kami!" kata Anengah dingin.
"Maaf, Raden, perutku sakit!" kata orang itu.
"Katakan dulu siapa kau!" bentak Anengah.
"Perutku sakit!" Orang itu menggeser ke kiri dan tiba-tiba berputar untuk lari lurus ke depan dua langkah serta melompat ke kanan
satu langkah. Anengah yang memang telah berjaga-jaga untuk menahan lari orang itu jadi tercengang. Gerakan tadi adalah gerakan Sura-caya yang
paling sederhana. Toh orang itu lolos dari sergapannya dan telah berada di
belakangnya! Layarmega segera menghadang dibantu oleh
lima orang pengawalnya. Sekali lagi Anengah tercengang. Orang itu tampaknya berlari mundur namun tahu-tahu sudah berada di balik barisan Layarmega.
Wara Huyeng yang melihat dari atas dengan jelas
mengamati betapa gerakan orang itu betul-betul langkah Sura-caya. Sangat sederhana. Tapi sangat ampuh.
Lebih sederhana dan lebih ampuh dari yang pernah dilihatnya. Baik yang dilakukan oleh Resi Rhagani, ataupun Anengah. Ataupun sewaktu Nagabisikan menirukan gerakan-gerakan tersebut.
Siapakah orang ini"
Wara Huyeng langsung turun melayang dari atap
pendapa dan menghadang jalan lari orang itu ke tepi
hutan. "Ki Sanak, berhentilah sejenak," katanya sambil melepas selendang biru yang tadi menjadi ikat pinggangnya. "Maaf, Gusti, perutku sangat sakit... mungkin kebanyakan sambal," kata orang itu, kakinya terangkat sebelah. "Hanya sebentar, kok!" kata Wara Huyeng. Badannya
bergerak ke arah ke mana orang itu diperkirakannya
akan bergerak, sementara selendangnya meluncur ke
arah ke mana orang itu menurut perkiraan takkan
mungkin bergerak.
Pertimbangannya cukup jitu. Orang itu entah bagaimana membuat gerakan yang rasanya tak mungkin,
dan bergerak justru ke arah di mana selendang telah
menghadang. Sekilas terlihat orang tersebut agak tertegun, tetapi gerakannya tak terputus saat ia berubah
haluan. "Sebentar saja, Ki Sanak." Wara Huyeng gembira
akan keberhasilan pertamanya ini, kemudian bergerak
lagi sambil berseru pada Layarmega dan Anengah,
"Anakmas, jaga kedudukan Swarloka, Layarmega, kedudukan Burloka!"
Anengah dan Layarmega bergegas bergerak menuju
kedua kedudukan tersebut. Dan kini benar-benar gerak
orang tersebut dipersempit. Wara Huyeng dan selendangnya bagaikan dua orang yang mengepung muka
belakang sementara Layarmega dan Anengah menghadang dari kiri dan kanan.


Candika Dewi Penyebar Maut X I I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan terlalu memaksa, Gusti," orang itu berkata
dengan suara memelas. "Perutku betul-betul sakit!"
"Aku hanya ingin bertanya sebentar," kata Wara Huyeng dengan sedikit nada bangga.
"Waduh, aku tak tahan!" Tiba-tiba orang itu menjatuhkan diri, jongkok. Dan saat Wara Huyeng terheranheran, orang tersebut telah berdiri, dan sebuah benda
meluncur cepat ke arah Wara Huyeng. "Awas!" teriak
orang itu. Wara Huyeng sangat terkejut. Ia cepat menyingkir
dan mengerahkan tenaga di kedua tangannya. Benda
itu telak tertangkap oleh tangannya. Dan ia kembali
terkejut. Baik benda itu maupun tenaga lemparannya
ternyata sama sekali tak berbahaya. Hanya... benda tersebut terasa basah dan...
sangat bau sekali!
"Wuah! Kurang ajar!" Wara Huyeng memaki dan saat
itu juga muntah karena tak tahan akan bau tadi. Ternyata yang ditangkapnya adalah kain orang tersebut
yang telah mempergunakan kesempatan selagi Wara
Huyeng kecipuhan untuk melesat melayang meluncur
ke tepi lapangan dan menghilang di antara pepohonan
di hutan. Agaknya orang itu benar-benar sakit perut. Itu terbukti dari kain yang
basah dan tadi dipegang oleh
Wara Huyeng. Kalang kabut Wara Huyeng memaki-maki dan berlari
ke anak sungai, mencuci tangan dan selendangnya.
Bahkan akhirnya dengan geram selendangnya itu dibuang ke anak sungai. Sementara itu Layarmega telah
memerintahkan anggota rombongannya mengejar. Anengah sendiri telah berlari mendahului. Tapi beberapa
saat kemudian semua berkumpul di depan pendapa
tanpa hasil. "Bangsat orang itu! Huh! Aku ingin muntah lagi setiap kuingat bau kainnya!" geram Wara Huyeng. Layarmega cepat memberinya minyak harum.
"Siapakah dia?" tanya Anengah. "Apakah ia Kiai Sendang?" "Rasanya bukan, Raden... Kiai Sendang tidak setua
itu," Layarmega menyahut. "Kita harus waspada... jangan-jangan..."
"Makanan itu tidak beracun," Wara Huyeng melanjutkan kata-kata Layarmega. "Orang tadi begitu sakti.
Tak perlu memakai akal selicik itu."
"Dia menguasai Sura-caya dengan baik. Tapi aku belum pernah melihatnya," kata
Anengah. Ia menghentikan kata-katanya. Di kejauhan, di jalan masuk ke lembah ini, muncul pemandangan yang agak aneh. Seorang
pemuda berjalan terhuyung-huyung menggendong seorang wanita. "Ayo, ayo, ayo... cepat, cepat, cepat... bisa-bisa kita kehabisan makanan
nanti!" teriak wanita itu, duduk
seenaknya di bahu si pemuda dengan kedua kaki berjuntai di dadanya. Tangan si wanita berpegangan pada
rambut si pemuda yang awut-awutan dan sebagian besar menutupi muka.
"Cepat, aku bilang!" wanita itu memukul-mukul kepala si pemuda. "Lihat. Begitu banyak orang di sini.
Semua rakus-rakus, lagi! Ayo. Cepat!"
Si pemuda terpaksa berlari cepat. Dan di pinggir
anak sungai hampir ia terjatuh. Sewaktu ia akan menikung tiba-tiba si wanita menyuruhnya berhenti.
"Tunggu, tunggu, tunggu... lihat, lihat, lihat! Itu ada kain, waduh, masih
bagus! Ada selendang, lagi. Mungkin sudah dibuang! Turunkan aku!"
Si pemuda jongkok. Wanita itu melompat turun dan
dengan gembira menghambur masuk sungai mengambil
kain bau orang tadi dan selendang biru Wara Huyeng
yang tersangkut di semak-semak air.
"Mhhh... kain ini masih lumayan untuk si Tole, dan
selendang ini cukup bagus buat si Genduk! Hi hi hi...
hari ini aku sungguh beruntung ya, Le! Hayo, jemur,
sana!" si wanita memeras kain tadi dan melemparkannya pada si pemuda. Kain basah itu tepat mengenai kepala si pemuda dan menutupinya bagaikan kerudung.
Melihat ini si wanita tertawa terkekeh-kekeh. "Hi hi hi hi... kamu jadi mirip
orang-orang Hindustan. Tahu tidak" Tapi... ya lumayan. Biar di situ saja. Biar
otakmu agak dingin. Selendangnya untuk aku saja, ya" Buat
membungkus oleh-oleh untuk kakekmu, hi hi hi..."
Dengan pengalaman berurusan dengan orang yang
tadi, maka Layarmega semakin waspada. Ia telah memberi isyarat agar rombongannya bersiap-siap, sebagian
mengelilingi kotak harta. Sebagian lagi berjaga di sekitar Wara Huyeng dan
Anengah. Mata Wara Huyeng yang
berpengalaman melihat bahwa walaupun ia curiga si
wanita itu menyembunyikan sesuatu, ia tak bisa melihat si wanita memiliki ilmu tinggi.
Si wanita dan si pemuda tak menggubris mereka.
Sambil bernyanyi-nyanyi tak keruan si wanita mengambili makanan dan membawanya ke pendapa, ke sudut
yang berseberangan dengan tempat Wara Huyeng dan
lainnya. "Wuah! Kiai Sendang kali ini keterlaluan! Sambalnya
begitu pedas!" kata si wanita setelah makan beberapa
suap sementara si pemuda menunggu, duduk di pinggir
dengan kain basah di kepalanya. "Mungkin ada tamu
yang tak tahu diri hingga Kiai Sendang gusar. Kita kena getahnya, nih! Pasti ada
tamu yang sudah makan tidak
bayar, hi hi hi... atau tidak segera pergi, hi hi hi... dasar tamu tidak tahu
aturan!" Kata-kata terakhir itu diucapkan begitu keras hingga
Wara Huyeng mengerti bahwa merekalah yang dimaksud. Ia memberi isyarat pada Layarmega untuk bertindak. "Maaf, Nyai... kami orang baru di sini... bagaimanakah sesungguhnya peraturan di sini?" Layarmega mendekat dan bertanya.
"Ho ho ho ho, kamu bertanya, ya?" Si wanita berpaling pada Layarmega. Dan kini Wara Huyeng melihat jelas wanita itu. Wajahnya cantik. Tapi usianya tak bisa ditebak. Rambutnya hitam
tebal. Kain yang melilit tubuhnya sangat kasar dan sederhana.
"Benar, Nyai." Layarmega tak menghiraukan kekasaran kata-kata wanita itu.
"Memangnya... kita pernah berkenalan?" si wanita
bertanya. "Belum. Tetapi sebagai sesama orang dalam perjalanan sudah selayaknya kita saling sapa, bukan?" sahut
Layarmega. "Ada peraturan seperti itu?" Si wanita mengernyitkan
kening. "Bukan peraturan. Suatu kebiasaan." Layarmega
masih bersabar.
"Wuah! Aku sih tidak biasa." Si wanita melanjutkan
makannya. "Aku biasa kemari. Kiai Sendang kenal aku.
Aku biasa makan makanannya. Itu kebiasaanku. Kamu
dari mana?"
"Kami dari Kuripan. Akan ke Pacitan. Nyai sendiri
dari mana?" tanya Layarmega.
"Apakah juga sudah kebiasaan orang yang bepergian
untuk berdusta?" Si wanita tertawa.
"Siapa yang berdusta?"
"Kamu. Jika kalian datang dari Kuripan, pasti sampai di sini pagi tadi. Kapan pun kalian berangkat. Lagi pula, jika kalian dari
Kuripan, pasti pembawa tandu itu sudah digantikan beberapa kali. Kulihat yang
bahunya lecet oleh pikulan tandu hanya mereka berdelapan."
"Ah. Mata Nyai sungguh tajam. Mata kami sungguh
buta. Mungkinkah Nyai salah seorang orang besar yang
seharusnya kami hormati?" Layarmega benar-benar terkejut. Pembicaraan mereka terputus. Di ujung jalan muncul beberapa orang berkuda. Tujuh orang. Mereka berhenti sejenak di ujung jalan yang menuju Uteran. Kemudian berjalan pelan menuju tempat tambatan kuda.
Dua penunggang kuda terdepan agaknya wanita
yang berpakaian ringkas. Yang membingungkan adalah
mereka ini memakai kudung kepala tebal, dan seorang
di antaranya membawa sebatang tombak dengan ujung
sebangsa pedang yang melengkung besar. Lima penunggang kuda lainnya pria yang bertampang dan berperawakan kasar, kecuali seorang yang berpakaian agak
mewah bagaikan seorang saudagar.
Kedua wanita tadi turun dari kuda dan berjalan ke
pendapa diiringi oleh pria yang berpakaian seperti saudagar.
"Selamat siang, Tuan-tuan, mohon maaf kami minta
kesediaan Tuan-tuan berbagi tempat peristirahatan ini
dengan kami," salah seorang wanita berkerudung itu
berkata kepada rombongan yang telah ada di pendapa.
"Wuah! Dunia sungguh terbalik! Sekarang ada orang
begini sopan! Hi hi hi... Tapi yang sopan belum tentu jujur, lho! Siapa kalian?"
tanya si wanita yang sedang makan itu.
"Kami datang dari daerah sekitar Rakerti," sahut si
pembawa tombak. "Namaku Madari. Ini pelayanku, Gemut. Dan ini Ki Gebang. Kami semua perampok. Dan
kami ingin bergabung dengan Kiai Sendang."
Beberapa orang sangat tercengang mendengar pengakuan yang terus terang dan lantang itu. Bahkan si wanita sampai beberapa saat menghentikan suapan tangannya di depan mulut yang sudah ternganga untuk
mencaplok suapan itu. Wara Huyeng dan Anengah juga
terperangah hingga tak terasa mereka beringsut mendekat. Sementara Layarmega tiba-tiba merasa seolaholah pernah kenal dengan kedua orang tersebut.
"Apakah Tuan pernah tinggal di Kuripan?" tanya Layarmega. "Benar. Dan aku juga pernah melihat Anda," kata
Madari. "Nama Layarmega terkenal di Kuripan. Aku hanya seorang pengembara yang kebetulan lewat."
"Ah, ini dia baru orang yang suka berterus terang,"
kata si wanita aneh. "Aku yakin Kiai Sendang akan senang menerimamu."
"Maaf, apakah Bibi ada hubungan dengan Kiai Sendang?" tanya Madari yang tak lain adalah Madri. Mereka memang Madri, Gemut, dan Begang, beserta empat
orang lagi dari Rakerti. Dulu itu, Madri dan Gemut memang melanjutkan perjalanan ke desa Rakerti. Madri
dengan ilmu silat yang tak berlambarkan tenaga sakti
berhasil menguasai desa itu.
Tetapi sejak semula tujuannya bukan itu. Ia tahu cita-citanya semula, untuk menjadi orang kedua di Wilwatikta jika 'saudaranya' naik tahta, sudah musnah
dengan musnahnya kesaktiannya. Ia ingin membuktikan bahwa tanpa kesaktian, dengan otak prajuritnya
saja, ia akan bisa mengukir nama. Dan ia berpikir bahwa dengan bergabung pada gerakan Dewi Candika maka ia tak terlalu berkhianat pada garis nasib yang diukirkan Sang Guru. Bahkan mungkin, di penghujung
cerita dirinya nanti, pada saat di Wilwatikta hanya tinggal dua kekuatan
raksasa, yang satu gurunya dan yang
lain adalah Dewi Candika tempat ia sementara bernaung, ia dapat kembali kepada Sang Guru dan ikut mempermudah jalan ke kemenangan akhir. Ia harus mulai
dari bawah. Mula-mula ia ingin mendirikan gerombolan
perampok. Namun itu terlalu kecil untuk bisa menjadi
terkenal. Dari Ki Begang yang saudagar ia mendengar
tentang Kiai Sendang, perampok hutan Taratap yang
agaknya sudah terkenal dan makmur hingga tidak terlalu giat lagi. Mungkin jika ia bergabung dengan gerombolan perampok itu akhirnya
ia bisa mengendalikannya
untuk kepentingannya. Ki Begang tak punya petunjuk
bagaimana harus bertemu dengan Kiai Sendang yang
memang akhir-akhir ini tak pernah memunculkan diri.
Tetapi dengan membawa sikap menantang seperti ini,
Madri, yang kini memakai nama Madari, yakin ia dapat
mengundangnya keluar.
"Apa" Apa aku ada hubungan dengan Kiai Sendang"
Hi hi hi hi," wanita itu tertawa. "Kau telah berlaku jujur, Genduk! Ketahuilah
bahwa Kiai Sendang itu anakku, hi
hi hi...."
Pernyataan ini tentunya membuat kaget semua
orang. Dan sekilas beberapa orang langsung memperhatikan si anak muda yang dari tadi diam, duduk dengan
menunduk, dengan kain basah di atas kepalanya.
"Maaf, hamba dengar Kiai Sendang sudah cukup berumur. Rasanya tak mungkin jika Bibi punya putra beliau," kata Madari setelah mendapat isyarat gelengan
kepala kecil dari Ki Begang.
"Tentu, tentu, tentu. Aku hanya mempermainkanmu,
tahu tidak" Hi hi hi hi," si wanita tertawa.
"Mengapa?" Madari tercengang.
"Karena orang jujur memang selalu jadi permainan
orang yang tidak jujur, hi hi hi," si wanita tertawa ter-pingkal-pingkal. "Makin
tidak jujur orang, makin jago ia mempermainkan orang lain. Lihat rombongan
orang-orang tak berguna ini. Mereka mengira bisa mempermainkan Kiai Sendang dengan makan tanpa bayar!"
"Kami tak bermaksud seperti itu!" sela Layarmega.
"Ah. Kau pernah tidak jujur, mengapa aku harus
percaya padamu?" Wanita itu mengusap mulutnya dengan kain yang ada di kepala si pemuda. Kemudian dilemparkannya kain itu sembarangan ke kepala si pemuda yang terus saja tunduk dengan rambut terjurai
tak keruan menutupi muka. "Dengar, Madari. Coba lihat mukamu. Mungkin aku bisa menjodohkan kau dengan Kiai Sendang. Dia termasuk mata keranjang, kok."
"Kalau itu syaratnya, tidak," sahut Madari tegas, memutar tombaknya. Tombak itu memang baru dan hanya
buatan pandai besi desa, namun cukup mantap di tangannya. "Jika ada orang melihat mukaku, salah satu
mesti mati. Dia atau aku."
"Wuah, hebat sekali! Apakah mukamu begitu cantik,
he, Genduk" Ah. Jangan jual mahal, lho...." Si wanita
tertawa lagi.

Candika Dewi Penyebar Maut X I I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mohon Bibi jangan permainkan aku. Di mana hamba bisa bertemu Kiai Sendang?" tanya Madari.
"Apakah kau ada harganya bertemu dia" Janganjangan pengalamanmu hanya mencuri ayam dan kau
sudah berani menyebut diri perampok!"
"Apa Bibi ingin aku merampok Bibi?" Tiba-tiba tombak bergerak cepat. Dua kali gerakan. Tahu-tahu leher
si wanita aneh sudah dilingkari ujung tombak itu. Si
wanita hanya berseru sedikit, tapi sempat memberi
isyarat agar si pemuda tak bergerak. Di mata Wara
Huyeng, Anengah, dan Layarmega, gerakan tombak itu
lumayan cepat, di atas rata-rata kecepatan seorang prajurit utama, namun tidak
cukup sakti. Yang mereka herankan adalah si wanita yang tampaknya sangat terlambat dalam bereaksi. Rasanya tak mungkin ia berpura-pura sebab dengan ditambahi tenaga sedikit saja
maka leher si wanita itu akan putus.
"Huh. Kau membuatku kaget, Genduk!" kata si wanita tak berani bergerak sedikit pun.
"Katakan di mana Kiai Sendang!" kata Madari.
"Kalau kau sekasar ini, pasti tak akan kukatakan.
Kalau kau sampai membuatku luka, walaupun sedikit,
Kiai Sendang tak akan mengampunimu lagi. Ambil tombakmu!" perintah si wanita. "Akan kuberitahu apa yang
dikehendaki oleh Kiai Sendang agar kau diterima bolehnya." "Apa?" Madari betul-betul menarik pulang tombaknya. "Usir mereka!" Si wanita menggelengkan kepala, menunjuk ke arah Layarmega dan kawan-kawan.
"Mereka" Kenapa?"
"Pokoknya Kiai Sendang tak senang pada mereka."
"Apa buktinya?"
"Buktinya" Sampai saat ini ia belum keluar. Tanya
antekmu itu, kebiasaan Kiai Sendang." Si wanita menuding ke arah Ki Begang dengan janggutnya.
"Benar juga," Ki Begang mengangguk.
"Baik," Madari memutar tombak lagi dan berdiri gagah di hadapan Layarmega. "jika Bibi pemimpin rombongan ini, cepat pergi!"
"Eh, enaknya!" Wara Huyeng yang menyahut. "Kau
lebih percaya dia" Kau dengar tadi, dia suka mempermainkan orang. Bukankah kau sekarang sedang dipermainkan?" "Terserah," sahut Madari. "Dipermainkan atau tidak,
itu tergantung pada perasaan yang bersangkutan.
Mungkin aku senang dipermainkan olehnya. Kau mau
apa?" "Hebat! Hebat! Hebat!" Si wanita bertepuk tangan kegirangan. "Pasti Kiai Sendang akan jatuh cinta padamu, Nduk! Gampar saja
tempurung lutut kirinya, pasti dia
terjungkal!"
Tombak di tangan Madari memang dalam kedudukan di mana sedikit dorongan dengan tangan kiri maka
tombak akan berputar dengan tangan kanan sebagai
sumbu dan gagang tombak akan meluncur keras ke
arah tempurung lutut Wara Huyeng. Dan itulah yang
dilakukan Madari. Wara Huyeng sampai terkejut. Cepat
menggeser kakinya. Tetapi Madari yang cerdas telah
melihat bahwa gerakan tombaknya tak boleh berhenti,
dan gerak yang paling mungkin memang gerakan menyapu rendah. Bagaikan menari Madari memegang
pangkal tombak sementara tubuhnya membungkuk.
Wara Huyeng terpaksa melompat dan kembali mengeluh. Ujung tombak Madari menanti!
Demikianlah. Gebrakan pertama memang seakan diberi petunjuk si wanita. Tetapi gebrakan berikutnya semua gerakan Madari seakan
mengalir wajar dan terus
mengejar! "Bocah goblok! Hentikan!" Layarmega tak tahan melihat junjungannya paling tidak hanya bisa terus menghindar. Ia mencabut kedua pedangnya dan menerjang
Madari. Gemut menjerit, "Jangan!" dan ia pun menghadang. Tetapi sekali berputar, tendangan Layarmega
membuat Gemut terpelanting ke tanah.
"Jangan ikut-ikut, bocah!" Si wanita tertawa. "Hei,
Genduk bertombak. Kau mundur tiga langkah ke kiri
dan berputar menendang dengan gaya kuda menendang
ke belakang... hayo kerjakan!" sambil memberi petunjuk si wanita cepat menarik
tangan Gemut hingga gadis itu
terhindar dari bacokan Layarmega. Sementara itu Madari melakukan dengan tepat gerakan yang disuruh si
wanita. Memang kikuk dan aneh. Tapi tahu-tahu hampir saja Wara Huyeng dan Layarmega bertabrakan sementara Madari sudah melompat ke lapangan... di tengah para pengawal dari Trang Galih!
"Tawur!" perintah Layarmega. Serentak para pengawal itu bergerak. Rapi. Maut.
Tapi Madari keluar warna aslinya. Gerakannya begitu lincah dan gembira, berbagai bacokan dan tusukan
senjata dihindarinya, dan bahkan ia sempat membalas.
"Hasta Kartika! " teriak Layarmega, bahkan ia pun langsung masuk menduduki salah
satu titik kekuatan
barisan ampuh itu.
Gerakan aneh barisan tersebut segera saja membuat
Madari kewalahan. Berkali-kali ia nyaris terkena sambaran senjata pengepungnya. Berkali-kali juga ia harus menggulingkan diri di
tanah. Dan betapa pun ia berusaha, selalu ia terdesak dan terancam.
"Bibi! Tolong dia lagi!" pinta Gemut pada si wanita
yang kini mengerutkan kening sambil mengunyah sirih.
"Wah, sulit, sulit!" si wanita mengeluh.
"Sulit bagaimana?"
"Mereka main keroyok!"
"Jelas. Tapi Bibi tadi yang mempengaruhi Kakangmbok Madari untuk melawan mereka!"
"Bukankah aku bilang bahwa aku hanya mempermainkannya" Atau... nenek baju biru itu tadi yang bilang, ya?" si wanita menuding Wara Huyeng.
"Kau memang pingin mampus!" Wara Huyeng selalu
sangat murka jika dikatakan sebagai wanita tua. Maka
tanpa ancang-ancang lagi ia langsung menghantam si
wanita dengan salah satu hantaman Bantala Liwung.
"Eh, eh, lha kok marah! Waduh!" Si wanita sangat
ketakutan berdiri untuk menghindar. Namun terlambat.
Tinju Wara Huyeng telak sekali terhunjam di punggungnya. "Wadaauuuu!" si wanita menjerit sangat keras. Tubuhnya yang setengah berdiri terdorong keras sekali.
Wara Huyeng menyusulkan sebuah tendangan. Dan tubuh si wanita terpental... langsung jatuh di tengah mereka yang sedang
bertempur! Tetapi terjadi perubahan besar. Jatuhnya si wanita
merusak barisan Hasta Kartika sesaat. Ini digunakan Madari untuk melompat keluar
dari kepungan dan me-nyapu kaki pengepungnya dengan tebasan rendah!
Wara Huyeng dan Anengah terkejut melihat perubahan itu. Ternyata si wanita tadi dengan tepat merusak
salah satu titik kelemahan barisan Hasta Kartika. Dan mata prajurit Madari juga
melihat jelas hal ini, maka ia pun segera mendesak sehingga titik itu tak cepatcepat memperkuat diri. Rusak barisan itu makin berat saat si wanita bangkit dan
lari menjerit-jerit ketakutan ke sana kemari. Memang ia seolah-olah tak
menemukan jalan
keluar, tetapi tiap dia bergerak maka dua atau tiga pengawal mencoba
menyerangnya hingga mengurangi tekanan pada Madari.
"Biarkan bangsat wanita itu!" teriak Anengah. "Tangkap si pembawa tombak!" Ia melihat gerakan si wanita
walaupun tak keruan seolah benar-benar mengetahui
bagian mana yang ingin menyerang Madari dan ia
membuat bagian ini sibuk sendiri.
"Lihat! Bibimu diserang! Kau tak mau menolongnya!"
pinta Gemut pada si pemuda. Tetapi si pemuda berpaling pun tidak. Ia masih duduk bersila seperti tadi.
Mungkin mengedipkan mata pun tidak.
"Ki Begang! Ki Taro! Ki Raha! Ki Japi!" Gemut memanggil orang-orang yang tadi datang bersamanya.
"Bantu Kakangmbok Madari!"
Keempat orang yang dipanggilnya sesaat kebingungan. Dan sebelum mereka mampu bergerak, Anengah
telah menerjang mereka dengan empat langkah Bantala Liwung. Setiap langkahnya
merupakan tendangan mantap yang telak mengenai sasaran. Dan keempat orang
itu pun roboh. Tapi hampir bersamaan tombak Madari memakan
korban. Tiga buah titik kekuatan Hasta Kartika sekaligus lumpuh karena si wanita aneh mendadak jatuh dan
berguling di kaki-kaki para pengepungnya. Orang-orang
ini mencoba melompat namun sambaran tombak Madari menanti. Enam orang langsung roboh tak bernyawa.
"Kurang ajar! Mundur!" teriak Anengah.
Pasukan kecil itu mendadak berlari berputar ke arah
yang berlawanan. Madari kebingungan. Tidak demikian
dengan si wanita aneh yang tiba-tiba menjulurkan kaki, dan tiga orang roboh
tersandung kaki itu. Madari tangkas mengetuk kepala ketiga orang itu dengan
gagang tombaknya. Tapi yang lain seolah mendadak lenyap dari depannya. Di lapangan kini tinggal Madari, si wanita aneh,
dan tujuh sosok mayat, sementara Ki Begang dan kawan-kawan tergolek agak jauh.
Madari memutar tombak bersiaga. Di seberangnya
Anengah pun mulai memasang kuda-kuda sakti. Si wanita menguap lebar-lebar kemudian bangkit dari tanah.
"Wuahhhh! Ngantuk! Ngantuk! Tidur dulu, ah!" katanya
sambil jalan ke pendapa, ke si pemuda.
Ia dihadang oleh Wara Huyeng.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Wara Huyeng.
"Aku" Oh, anu... aku... hari ini aku adalah teman
Kiai Sendang. Aku berjanji menjagakan lapangannya
sementara ia pergi cari belut. Eh, tahu nggak, Kiai Sendang sekarang tidak
merampok lagi?" si wanita melanjutkan kata-katanya kepada Madari. "Ia sekarang jadi
tukang cari belut."
"Untuk apa?" tak terasa Madari bertanya.
"Ya, untuk dijual. Dia sudah berjanji untuk tidak
merampok lagi. Jadi ia kini ya... seperti inilah kehidupannya. Berdagang makanan. Tempat peristirahatan.
Dan tempat untuk berkelahi. Hebat juga dia, bukan"
Tidak semua orang punya lapangan tempat orang berlaga!" "Siapa kau?" tanya Wara Huyeng.
"Siapa yang memaksanya berubah jalan hidup?"
tanya Madari. "Bibiku tanya siapa kau!" bentak Anengah. Ia menggeser kedudukan dan semestinya akan sampai di depan
si wanita. Tak terasa ia berseru kaget. Tempat yang di-tujunya telah diduduki
orang. Si pemuda tadi, yang entah bagaimana, telah bergerak dan pindah tempat.
"Hi hi hi... kau seperti ketakutan sekali. Takut melihat keponakanku, ya" Hi hi hi," si wanita tertawa.
"Aku hanya ingin tahu siapa kau!" kata Wara Huyeng, berdiri di samping Anengah.
"Kenapa" Kau tak punya uang dan mau berutang
dulu, ya" Aduuuh! Kasihaaaan!" kata si wanita.
"Kau bukan orang Sendang Ampal ini. Katakan, apa
maksudmu. Kami telah kehilangan nyawa. Kami ingin
membalas!" kata Wara Huyeng.
"Oh, bukan aku yang membunuh! Si Genduk ini!" Si
wanita menuding Madari.
"Enak saja! Tapi dia yang bikin gara-gara, yang membuat sahabatku ini melawan kalian!" kata Gemut mencoba membela Madari.
"Aku yang bertanggung jawab." Sebaliknya Madari
dengan langkah tegap mendekat ke samping si wanita.
"Kalau tak juga kaukatakan namamu, jangan salahkan aku," ancam Wara Huyeng.
"Lho! Persoalan apa lagi?" tanya si wanita.
"Agaknya engkau memang ingin mengganggu kami!"
kata Wara Huyeng.
"Tidak, kok... tidak sengaja, kok... tapi... kalian sungguh lucu kalau diganggu.
Jadi... ya, bolehlah. Kalau
mau dianggap mengganggu, silakan!" Si wanita tertawa
terkekeh-kekeh.
"Kalau begitu... maaf!" tiba-tiba Wara Huyeng menjulurkan tangan kanan. Dan sebelum tangan itu lempeng,
ia menghantam dengan tangan kiri. Anengah terkesiap.
Gerakan sederhana itu sesungguhnya membawa hawa
pukulan Bhirawadana kelas tinggi!
"YIATTTH!!" bentak Wara Huyeng. Si wanita menjerit
aneh, menyambut pukulan dahsyat itu dengan dua kepalan. Akibatnya sangat di luar dugaan. Bhirawadana Wara Huyeng jelas ilmu sadapan,
bukan asli. Namun dengan
beberapa petunjuk dari Anengah dan juga oleh bakat
alamnya, sebetulnya Wara Huyeng sudah mencapai
tingkat yang cukup tinggi. Paling tidak mungkin hanya
satu tingkat di bawah Resi Rhagani.
Pukulannya membawa hawa panas. Jika terkena
orang awam, misalnya, mungkin sekali orang tersebut
akan hangus. Tetapi bentrok dengan kedua kepalan si wanita aneh
akibatnya sangat lain.
Si wanita aneh memang menjerit. Tetapi jeritan itu
lebih mirip jeritan kaget. Dan Wara Huyeng menjerit keras. Terlempar mundur. Bau
kain hangus segera tercium. Dan terlihat asap mengepul dari kemben Wara Huyeng.
Anengah terkejut. Ia tak begitu memperhatikan gerakan si wanita. Tapi gerakan Wara Huyeng sempurna.
Dan mestinya hasilnya sempurna. Melihat akibat yang
terjadi, agaknya hawa serangan Wara Huyeng membalik
mengenai dirinya sendiri.
Tapi ini sangat jarang terjadi. Kecuali lawan Wara


Candika Dewi Penyebar Maut X I I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Huyeng punya ilmu yang sangat tinggi. Atau memiliki
ilmu Bhirawadana yang murni! Ini membuat Anengah terkejut dan memperhatikan si
wanita aneh. Siapa dia"
Apakah gurunya, Resi Rhagani, mempunyai saudara
seperguruan lain, kecuali adiknya sendiri" Mungkin mereka sebaya... dan wanita ini... memang aneh. Umurnya
benar-benar tak bisa ditebak!
Wara Huyeng sendiri terhuyung sampai tiga langkah.
Hantaman si wanita aneh begitu hebat. Beberapa kali
pernapasannya kacau. Orang ini bahkan lebih hebat
dari Nagabisikan... tetapi, siapa dia"
Layarmega yang melihat dari samping jelas sekali
melihat bahwa si wanita aneh seakan hanya mengangkat kepalan. Namun ia merasakan betapa dahsyat benturan tenaga yang terjadi. Segera Layarmega meniup peluitnya. Para pengawal langsung berkumpul bersiaga di
sekitar Wara Huyeng. Mungkin mereka tak bisa berbuat
apa-apa, tetapi paling tidak bisa untuk menjadi penghalang jika Wara Huyeng
diserang lagi. "Siapa... kkk... kau?" tanya Wara Huyeng.
"Siapa kau?" si wanita aneh balik bertanya. Suaranya tajam, menyengat telinga. "Ilmu sesat apa yang
kaugunakan?"
"Kami datang tidak dengan sikap bermusuhan. Kenapa kau mengganggu?" tanya Wara Huyeng.
"Kalian datang dengan penuh kecurigaan!" sahut si
wanita aneh. "Kami tak suka itu. Jika seseorang masuk
kemari dengan rasa curiga, maka ia pasti menyembunyikan sesuatu yang nilainya lebih dari harta. Mereka
yang hanya membawa harta biasanya pasrah. Masuk
kemari. Menyerahkan sumbangan. Menikmati istirahat.
Kalian tidak. Kalian berpengawal lengkap. Kalian punya ilmu tinggi. Kalian
menyelidiki lebih dahulu!"
Si wanita kini berbicara bersungguh-sungguh, tanpa
nada mempermainkan lagi. Perlahan tangan kanannya
terangkat. Menuding ke arah Wara Huyeng. "Dan kau...
kau menggunakan ilmu curian!"
Sunyi senyap seketika.
"Siapa kau" Bagaimana kau bisa menuduh sembarangan?" tanya Wara Huyeng, berpikir-pikir. Siapa kira-kira murid Kiai Megatruh
lainnya" Ia memiliki daftar
mereka. Tapi seorang wanita seperti ini tak ada dalam
catatannya. "Karena aku mengetahui ilmu aslinya. Sekarang keadaannya lain... kau boleh lewat. Ilmu curianmu, tinggalkan!" "Itu tuduhan yang sangat kurang ajar!" tangkis Wara
Huyeng. "Buktikan bahwa kau memang tahu ilmu aslinya!" "Hi hi hi hi," tiba-tiba si wanita tertawa. "Untuk itu tak perlu aku yang maju.
Bahkan pelayanku itu akan
mampu menelanjangimu... eh, membuka kedokmu...
eh, pokoknya membuktikan kau palsu!"
Semua melirik pada si pemuda yang sedari tadi berdiri diam, mematung bagaikan orang tolol dengan kerudung kain basahnya.
Wara Huyeng berpikir keras. Mungkin sekali si pemuda adalah murid wanita itu. Mungkin sekali dia juga
sakti. Ia harus tahu bagaimana kedudukan lawan-lawannya ini agar bisa merencanakan, kalau perlu, jalan
mundur nanti. Dan ia berpikir mungkin ia bisa mengelabui si wanita.
"Baik. Karena kau mengajukan pelayanmu, aku tak
sudi turun tangan sendiri," kata Wara Huyeng. "Biar
keponakanku meladeninya. Ia telah belajar ilmu dariku.
Perhatikan dia. Dan jujurlah. Jika kaupikir ilmu keponakanku asli, kuharap kau mengalah. Dan membiarkan
kami pergi!"
"Oh, itu keponakanmu" Aku kira tadi dia cucumu, hi
hi hi," si wanita tertawa mengejek. "Tapi baiklah. Yang muda lawan yang muda,
aku lawan nenek-nenek... dasar nasibku malang, hi hi hi.... Tole, maju kamu,
Le!" "Tapi ingat. Kau harus jujur. Jika kaulihat ilmu keponakanku murni, harus kaukatakan murni. Dan kaulepas kami pergi!" kata Wara Huyeng. "Tak peduli bahkan jika pelayanmu itu tewas!"
"Tentu, tentu, tentu, aku berjanji, Nenek nyinyir!" Si wanita tertawa dan duduk
di lantai pendapa, meninggalkan si pemuda sendirian berhadapan dengan rombongan Wara Huyeng.
Wara Huyeng memberi isyarat pada Anengah.
Anengah mengangguk. Ia membetulkan letak destar
hitamnya. Mengangkat ujung destar yang tadi menutupi
sebagian mukanya.
Si pemuda terlihat sekali tertegun melihat wajah
Anengah yang kini jelas.
"Kakang Anengah!" terdengar ia berdesis.
4. TARA ANENGAH sendiri tertegun mendengar itu. Diperhatikannya si pemuda.
Sosok tubuhnya mengingatkan ia pada seseorang.
Pakaiannya memang begitu jembel, dekil, dan kotor.
Rambutnya tidak digelung rapi seperti orang-orang biasa, tetapi terurai dan terjurai bagai orang gila. Dan ketika si pemuda
menyingkapkan rambutnya, Anengah
sangat terkejut.
"Tara!" serunya.
Wara Huyeng juga terkejut memperhatikan pemuda
itu. Ya. Pemuda itu Tara!
Tara! Bukankah... pemuda itu menurut Juru Meya
telah dipukul hancur dan jatuh meluncur di tebing Jurang Grawah yang dalamnya ratusan depa itu"
Apa yang terjadi"
Saat itu Tara yang ditangkap oleh kelompok Trang
Galih untuk di-'peras' ilmunya dengan segala daya mencoba melawan. Ia disiksa. Dibujuk. Dan bahkan diracuni dengan Butir Hitam Tartar seperti juga Tantri.
Namun kemudian Tara dapat berhubungan batin dengan Tantri - yang ia sebetulnya tak tahu siapa. Hubungan pembicaraan yang tanpa rupa tanpa suara ini
tiba-tiba muncul begitu saja di benaknya, dengan kecerdasan Tara dan ketinggian ilmu Tantri.
Tantri menganjurkan Tara untuk memancing para
penangkapnya ke Jurang Grawah. Tanpa memberitahu
alasannya, Tara diminta untuk terjun ke jurang tersebut. Bagi Tara sesungguhnya itu suatu jalan keluar yang
baik. Jika ia tewas karena jatuh, ia tak akan menyesal daripada harus berkhianat pada perguruannya.
Tapi agaknya Tantri punya perhitungan lain.
Seperti juga Nagabisikan yang bisa merasakan getaran hidup musuh besarnya di sekitar Trang Galih, Tantri juga merasakan hal itu. Hanya, seperti Nagabisikan juga, ia tak tahu pasti
siapa yang jadi sumber getaran itu. Ia hanya bisa memperkirakan bahwa sumber
getaran itu ada di Jurang Grawah. Karenanya ia menganjurkan Tara untuk terjun ke sana.
Tantri juga mengirimkan getaran perasaan pada siapa pun di sekitar gunung itu untuk pergi ke dasar Jurang Grawah. Ia sama sekali tidak tahu bahwa getaran yang diterimanya berasal dari dua orang sakti yang begitu dekat dengannya, Kiai Mahendra
dan Nyai Sinom, ayah dan
ibunya. Mahendra dan Sinom saat itu sebetulnya memang
sedang mencari Tantri. Tetapi seperti biasa kedua tokoh angin-anginan itu sering
tak tahu sedang berbuat apa,
atau sedang akan berbuat apa.
Misalnya saja, mereka meninggalkan Tasik Arga, padepokan mereka sendiri bersama Kiai Megatruh, mulamula untuk melarikan diri dari Kiai Megatruh. Baru beberapa langkah, mereka mengira tujuan mereka adalah
mencari Tantri. Dan dalam perjalanan tujuan itu berubah lagi, terutama saat mereka bertemu dengan Pasukan Buih - para prajurit wanita Trang Galih yang sedang mencari perbekalan. Mereka mengikuti anggota
pasukan Trang Galih ini, yang pulang ke markas mereka di Trang Galih melalui hutan lebat di dasar Jurang
Grawah. Saat itulah, seakan dari langit, tubuh Tara meluncur
turun. Ketika mendengar jeritan Tara, baik Mahendra maupun Sinom sedang mengikuti salah seorang prajurit
Buih yang bernama Agi.
Mahendra dan Sinom selalu merasa dirinya lebih
pintar dari siapa pun. Mereka tentu saja kesal ketika
sekelompok prajurit wanita dengan cara sederhana telah mempermainkan mereka.
Mula-mula mereka mengikuti Pasukan Buih yang dipimpin oleh seseorang bernama Ni Dukut. Merasa bahwa mereka diikuti oleh dua orang yang sakti luar biasa ini, Ni Dukut menerapkan
siasat sederhana: berpencar
menjadi enam kelompok kecil dan masing-masing kelompok bergerak menjauhi tujuan mereka sebenarnya,
pusat pergerakan di Trang Galih.
Ini memang membingungkan pasangan MahendraSinom. Mereka tak pernah berpikir untuk berpisah karena masing-masing ingin memamerkan keberhasilan
dalam hal apa pun. Mereka memilih mengikuti rombongan kecil yang dipimpin oleh Agi.
Dan Agi membawa mereka memasuki dasar Jurang
Grawah. "Wah, tempat apa ini?" bisik Mahendra saat mereka
mulai masuk ke dalam dasar jurang itu.
"Yang penting, sekarang ini siang atau malam?" Nyai
Sinom balik bertanya. Jurang itu begitu dalam hingga
keadaan memang gelap.
"Tunggu," Kiai Mahendra berbaring. Telentang. Hatihati meletakkan kepala gundulnya di tanah.
"Sedang apa kau?" tanya Nyai Sinom heran.
"Kau pikir sedang apa?"
"Meletakkan kepalamu yang gundul?"
"Tepat sekali, istriku yang cantik."
"Eh, sering-seringlah berbaring begitu. Agaknya kalau kepalamu kauletakkan hati-hati, kau jadi bisa berpikir jernih."
"Kenapa?"
"Barusan kaubilang aku cantik. Dan itu adalah suatu kenyataan yang selama ini tak pernah kauketahui!"
"Wuah! Kau sendiri juga tak tahu tentang aku."
"Jelas aku tahu!"
"Bahwa aku tampan?"
"Bahwa kau gundul, hi hi hi hi.... Cepat, apa pun
yang kaukerjakan, ketiga anak celaka itu makin jauh,
lho!" "Sore!" tiba-tiba Kiai Mahendra berseru gembira.
"Apa?" Nyai Sinom heran.
"Sekarang ini sore!" Kiai Mahendra melompat bangkit, membersihkan kedudukannya.
"Lalu?"
"Gemas aku! Gemas aku!" Kiai Mahendra membanting-banting kaki.
"Lho, kenapa?"
"Aku tadi berbaring, kan" Sampai pantatku kotor,
kan" Sampai kepalaku yang gundul ini tersentuh oleh
tanah, kan?"
"Lha, ya iya. Lalu kenapa?"
"Itu cuma agar aku bisa melihat langit di sana itu dengan baik!" Kiai Mahendra menuding ke atas tanpa menengadahkan kepalanya.
Nyai Sinom melihat ke atas. Di antara pepohonan
raksasa, dinding tebing jurang tampak bagaikan meluncur ke arah langit. Jauh sekali. Dan langit kini berwar-na kemerahan, sementara
kegelapan di tempat itu makin memekat. Celah terang jauh di atas sana itu mulai
dipenuhi oleh berseliwerannya berbagai burung dan kelelawar. "Lha, terus" Dari sini aku juga bisa melihat langit!"
kata Nyai Sinom.
"Justru itu yang membuat aku gemas! Kau tadi bertanya, sekarang ini siang atau malam! Lalu aku mengorbankan diri, rela gundulku ini terkena tanah untuk melihat langit, agar bisa
menjawab pertanyaanmu. Aku
korban perasaan untukmu! Kau sungguh membuat aku
gemas! Aku gemas! Aku gemas!"
"Oh, maaf, maaf, Kiai... aku lupa tadi aku bertanya
begitu.... Cuuup, cuuup, jangan nangis, Kiai," Nyai Sinom mengusap kepala gundul
suaminya dengan selendangnya. "Kamu harus menghiburku!" rajuk Kiai Mahendra.
"Tentu, tentu... kau ingin kepalamu ini kupukuli dengan apa" Batu, kayu, atau ubi bakar?" tanya Sinom.
"Kau membuatku gemas lagi! Kau bahkan tak bertanya, bagaimana aku tahu langit di atas sana itu menandakan sore dan bukannya fajar pagi. Kan samasama merah!"
"Aku tahu!" kata Nyai Sinom.
"Oh, ya" Bagaimana?" Kiai Mahendra heran.
"Kau pasti akan bertanya kebenarannya padaku!"
"Bukan! Bukan! Bukan begitu! Kau membuatku gemas lagi! Gemas lagi! Gemas lagi!" gerutu Kiai Mahendra. "Aduh, aduh, aduuuh... jangan gemas! Baiklah aku
bertanya. Bagaimana kau tahu?"
"He he he he... lihat di sana. Itu burung-burung yang
selalu beterbangan pulang ke sarang waktu sore. Dan
itu... yang hitam-hitam itu... itu kelelawar. Jika keluar, pasti hari hampir
malam!" Saat itu jauh di atas sana terdengar sayup-sayup sebuah jeritan. "Dan itu apa, Kiai?" tanya Nyai Sinom menyela. Kiai
Mahendra terpaksa ikut melihat ke atas.


Candika Dewi Penyebar Maut X I I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebuah titik hitam besar meluncur deras ke arah
mereka. Seolah jatuh dari langit.
Bersambung ke jilid 13
Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
Document Outline
CANDIKA: DEWI PENYEBAR MAUT-12
1. GEMUT DAN MADRI
2. AKHIR TRANG GALIH
3. PERISTIWA SENDANG AMPAL
4. TARA Peristiwa Bulu Merak 4 Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Maling Budiman Berpedang Perak 3

Cari Blog Ini