Candika Dewi Penyebar Maut X I I I Bagian 2
si Kaki menjawab geli.
"Agaknya kalian punya sedikit kepandaian! Coba
tandingi Kiai Nagapasa, cambuk wasiatku ini...." Kiai Sendang memutar-mutarkan
cambuknya di atas kepalanya. Cambuk itu terbuat dari untaian semacam serat dari
tanah seberang. Begitu lemas, namun lebih kuat
dari baja. Begitu bulat, namun lebih tajam dari mata pedang. Begitu lentur,
namun lebih keras dari gada be-si. Dan gelegar suaranya memiliki perbawa sakti
yang menciutkan hati siapa saja. Puluhan tahun Kiai Sendang malang-melintang di
dunia dengan mengandalkan
cambuk wasiatnya ini, di samping aji-aji kesaktian lain yang diterima dari
gurunya. Dan semua ajian itu pun
untuk mendukung keampuhan sang cambuk. Kini Kiai
Sendang sangat jarang mengeluarkan cambuk itu. Ia
merasa inilah saat yang tepat untuk menunjukkan keperkasaannya. "Kurang ajar tidak itu, Kaki" Masa aku disuruh menandingi sebatang cambuk! Apa aku memang sudah
sekurus itu?" Nini perlahan berjalan ke tempat Kaki dan Tole.
"Memang, memang kurang ajar. Tapi tidak apa-apa,
bukan" Kita juga kurang ajar, kok," kata Kaki tertawa-tawa.
"Kau kembali kemari atau kuhancurkan kau dari sini!" bentak Kiai Sendang sambil terus memutarkan
cambuknya yang makin lama mendengung makin keras. "Whuarakadah! Hancurkan saja, Kiai! Aku juga pingin lihat isi perutnya, hihihihi," Kaki tertawa dan me-nyikut Tole di
sebelahnya. "Pasti bagus ya isinya" Dulu
pernah lho ia menelan telur puyuh utuh tiga butir.
Mungkin masih ada di dalam perutnya."
Aneh. Karena sodokan siku Kaki tadi tiba-tiba Tole
berdiri tegak dan meloncat. Tinggi. Dan mendarat di hadapan Kiai Sendang. Masih
lengkap dengan kedua kantong kain di punggungnya.
"Horeeee! Dia akan melawanmu, Kiai Sendang!" teriak Kaki. "Dan kau pasti jadi pecundang!" teriak Nini.
"Hayo! Gasak saja, Tole! Hantam! Hajar! Pukul! Injak!
Tendang! Horeeee! Tole menang!" Kaki berteriak-teriak sambil berjingkrakjingkrak berisik sekali.
"Jangan mundur! Jangan mundur! Hayo! Maju terus!
Ya, ya, ya! Hap! Gigit telinganya! Awas! Cambuknya!
Loncat ke kiri. Bagus!" Nini ikut menimpali. Mereka
berdua berteriak-teriak dan menjerit-jerit seolah-olah telah terjadi pertempuran
dahsyat, padahal di lapangan baik Kiai Sendang maupun Tole hanya berhadapan
seolah bingung. Yang jelas keberisikan pasangan suamiisteri itu terasa sekali menindih dengung cambuk Kiai Sendang. Jika tadi dengung itu seolah mencekam dan
menindih hati para pendengarnya, maka kini hal itu tak terasa lagi. Bahkan
dengung tersebut seolah jadi kacau.
Bukan hanya itu. Dengan kacaunya suaranya, Kiai Sendang juga terpengaruh. Gerakan cambuknya seakan tak
berirama lagi. Makin lama makin lemah.
Kiai Sendang tiba-tiba sadar akan hal itu. Cepat ia
memusatkan perhatian. Dan melecutkan cambuk pusakanya itu. Gelegar lecutan Nagapasa memang cukup membantu. Sesaat bahkan suara Kaki dan Nini lenyap. Dan semua orang yang tadi mulai
terpengaruh keberisikannya jadi sadar terkejut.
Kiai Sendang menggulung cambuk dan memasang
kuda-kuda. "Kalian sungguh menghina aku," katanya.
"Memang," sahut Kaki.
"...Anak bayi kauhadapkan padaku, huh?"
"Itu saja kau belum tentu menang!" sela Nini.
"Kalian bertiga saja maju bersama!" bentak Kiai Sendang. "Enggak, ah," kata Kaki genit. "Nanti kamu bingung
mau memukul yang mana. Lagi pula, kalau dia mati,
kami bisa lari, hihihi...."
"Tapi kalau kamu yang mati, hihihi... kami yang jadi raja di sini!" Nini ikut
menggoda. "Hayo, kita bertaruh saja Kiai Gendeng!" teriak Kaki.
"Kiai Sendang!" Nini membetulkan.
"Iya. Kiai Rendang. Begini, Kiai Kendang, kalau si
bangsat cilik itu kalah, kamu boleh mencincang Nini ini jadi empat belas potong
kecil-kecil, kemudian disebar-kan ke delapan penjuru angin. Tapi kalau kamu
kalah, Kiai Tendang, kamu dan seluruh anak buahmu, harus
takluk kepada kami. Harus melakukan apa saja yang
kami maui dan akan ditentukan di kelak kemudian hari! Wah, bagus sekali kata-kataku, ya Nini?"
"Termasuk, misalnya, mencuci popok kami, baju
kami, kaki kami, dan semua barang kotor kami, hihihi!"
kata Nini. "Dan tugas utama, cari kadal tujuh kali sehari! Huahahaha! Gemas aku!"
Merah padam muka Kiai Sendang. Bukan hanya seluruh anak buahnya kini menonton, beberapa orang
'tamu' mulai berkerumun dan menonton serta membicarakan apa yang sedang terjadi.
"Kalian memang tak betah hidup!" geramnya dan
tanpa menghiraukan tata krama pertarungan yang sesungguhnya menghendaki ia sebagai tuan rumah dan
lebih tua dari lawannya menerima serangan pertama, ia langsung menghantam Tole
dengan jurus terampuh
cambuk wasiatnya.
Jurus-jurus Kiai Nagapasa itu pada dasarnya terdiri
dari tiga garis besar. Pertama untuk meruntuhkan semangat lawan. Ini mempergunakan beberapa gerakan
yang dilambari ketangkasan bermain cambuk serta didukung oleh ilmu 'pencengkam semangat' yang dipancarkan oleh mata Kiai Sendang. Yang terjadi adalah ledakan-ledakan lecutan yang
dengan bantuan mantra
ajian Kiai Sendang akan membuat lawan ciut hatinya.
Biasanya Kiai Sendang hanya mengandalkan garis pertama ini. Bahkan pernah satu pasukan dari Wilwatikta begitu terpengaruh oleh
wibawa kesaktian Nagapasa ini hingga selama empat hari empat malam seratus dua
puluh prajurit jongkok gemetar di tengah lapangan dan tak bisa disadarkan.
Garis besar kedua adalah jurus-jurus penghancur.
Di ujung cambuk Kiai Nagapasa sesungguhnya terdapat
sebilah keris kecil terbuat dari batu aji sakti. Dengan tenaga saktinya, Kiai
Sendang pernah menghancurkan
sebuah tembok benteng dari batu setebal satu depa
hanya dengan sekali lecutan. Ini sesungguhnya dikarenakan oleh tenaga sakti
ajian Bhirawadomas yang dis-alurkan lewat badan cemeti. Dalam garis besar ini
maka setiap gerakan Kiai Nagapasa memang khusus untuk
menghancurkan musuh - bisa melecut, bisa membabat,
bahkan bisa tegang hingga dapat digunakan sebagai
tombak panjang.
Garis besar ketiga sangat jarang digunakan oleh Kiai Sendang. Garis besar ketiga
ini adalah kelompok bela-san gerakan untuk melindungi diri saat pemegang Kiai
Nagapasa terdesak musuh. Gerakan cambuk di sini penuh berbagai tipuan, gertakan,
dan perlindungan. Bahkan dalam keadaan terdesak pun Kiai Sendang akan
tampak bagaikan di pihak yang ada di atas angin, sementara Kiai Nagapasa mempersiapkan lowongan baginya untuk mundur.
Gerak pertama yang dilancarkan pada Tole adalah
gerak sederhana - ujung cambuk bagaikan petir langsung meluncur ke arah dada Tole.
Kecepatannya memang sangat mengagetkan. Bahkan
Tole juga tampak sangat terperanjat. Tapi agaknya ia tak kekurangan akal.
Tubuhnya tiba-tiba kaku dan roboh cepat ke belakang. Ujung Kiai Nagapasa nyaris
membabat putus rambut di kepalanya!
"Hwarakadah! Hati-hati, Tole! Kiai Gendang ini biar
tua namun nggak tahu aturan!" teriak Kaki sambil
menggulingkan diri pergi menjauh.
"Dasar kurang asem!" Nini juga meloncat terbang.
Nyaris kembalinya ujung Nagapasa menyerempetnya.
"Jangan tanggung-tanggung, Tole! Hantam dia dengan
Bantala Liwung!"
"Kamu gila! Gemas aku!" bisik Kaki yang hinggap di
samping Nini di tepi pendapa.
"Kenapa?" tanya Nini.
"Kausuruh dia pakai Bantala Liwung. Kaukira dia bi-sa?"
"Menurut firasatku, dia memang cucu murid kita. Ini
akan membuktikannya. Jika ia mengerti Bantala Liwung, pasti ia mengerti yang
lain. Jika ia mengerti yang lain, pasti ilmunya sudah cukup tinggi!"
"Gemas aku!" gerutu Kaki.
"Kenapa?"
"Kalau ilmunya cukup tinggi, lalu kamu mau kawin
dengan dia?"
"Ya jelas! Hihihihi!" Nini menggoda.
"Gemas aku! Kalau begitu aku akan membantu perampok jelek itu!" geram Kaki.
"Wuah! Silakan!"
"Baik!"
Nini terkejut juga, saat tiba-tiba Kaki meloncat me-ninggalkannya dan
menyeberang lapangan, seenaknya
melintasi kedua orang yang sedang bertempur hebat itu.
Pertempuran satu lawan satu itu sungguh hebat.
Kiai Sendang tak sungkan-sungkan lagi. Cambuknya
terus menghantam dengan jurus-jurus mematikan. Tole
membuat kagum Nini. Pemuda yang tampak tolol beberapa hari ini ternyata dengan sangat cermat berhasil menggabungkan Sura-caya
yang penuh tipu muslihat dengan Bantala Liwung, ilmu tendangan dan pukulan yang
bernada keras itu. Dentuman-dentuman cambuk
Kiai Nagapasa seolah mengepung Tole. Tetapi Tole sela-lu berhasil lolos, dan
tinjuan atau tendangannya meng-geledek menyerbu balik. Beberapa kali Kiai
Sendang terpaksa melangkah mundur. Bahkan lama-kelamaan,
setelah pertempuran berlangsung puluhan jurus, Kiai Nagapasa terlihat lebih
sering membuat gerakan memutar di sekeliling tubuh Kiai Sendang, pertanda Kiai
Sendang juga mulai menggunakan garis besar ketiga untuk melindungi diri.
"Salah, salah, salah!" tiba-tiba Kaki berteriak-teriak di pinggir. "Kalau
diserang jangan langsung menghindar! Gemas aku! Gemas aku! Lihat baik-baik. Nah,
nah, lompat kiri, hantam lambungnya. Hei, aku bicara padamu, Kiai Gendeng!"
Mula-mula Kiai Sendang memang tak menghiraukan
si gundul ini. Tetapi ketika beberapa kali terdesak, ter-gerak hatinya untuk
mengikuti nasihat musuh yang angin-anginan. Dan ia heran bukan main! Tendangan
Tole yang diperkirakannya akan menghancurkan dadanya jika ia tidak menghindar disambutnya langsung
dengan serangan cambuk sementara ia memperkokoh
kuda-kuda. Dalam herannya dilihatnya ternyata tendangan Tole tadi hanya pancingan. Akibatnya, Tole berseru kaget! Hampir saja
kakinya hancur oleh sergapan Kiai Nagapasa. Ia cepat memutar diri ke kiri.
Tetapi Kiai Sendang telah merebut suatu kedudukan penting dan
terus menyerang beruntun.
"Hihihihi... jagomu kalah, Nini! Hayo, rampok Pindang! Serang terus bagian kirinya, rendah-rendah dekat tanah! Hihihi... lihat,
Nini! Jagomu keok!" Kaki meloncat-loncat kegirangan.
"Kaki! Kau di pihak mana?" Nini berseru dari seberang lawan. "Nggak tahu! Pokoknya jagomu kalah!" teriak Kaki.
"Kurang asem! Ardarudra!" teriak Nini, menyebutkan suatu jurus dari Bantala
Liwung. Tole mendengar ini.
Pada saat dirinya terus diserang gencar, tiba-tiba ia seolah berhenti, tegak
tegar mematung dengan kedua belah tangan tertangkup di atas kepalanya. Dan
ternyata dengan sikap ini tiga jurus serangan Kiai Nagapasa yang sesungguhnya
bisa merobek tubuhnya lolos begitu saja!
Dan sebelum Kiai Sendang sadar, mendadak Tole bagaikan meledak, tubuhnya melesat tinggi, berputar di uda-ra, dan balik menyerang
dengan tendangan beruntun!
"Jangan mundur! Jangan mundur!" Kaki berteriakteriak mangkel bagaikan kebakaran jenggot. "Gunakan
jurus Orang Gila Cari Ubi, kemudian Monyet Kudisan
Membuka Pagar!"
Tentu saja bukan begitu nama jurus-jurus Kiai Sendang. Kaki telah memperhatikan semua gerakan Kiai
Sendang dan mengenal beberapa gerakan. Gerakan
yang disebutkannya tadi diberinya nama sesuai dengan gerakan itu sendiri, yang
juga diberinya contoh.
Kiai Sendang memang panas mendengar nama jurusnya diubah seperti itu. Tetapi rasanya tak ada jalan lain. Dia tahu jurus
yang dimaksud oleh Kaki, dan dilakukannya.
Tepat sekali. Dengan gerakan membungkuk dekat
tanah, beberapa tendangan terbang Tole terlewat, kemudian ia melakukan gerakan mencakar ke samping.
Tole kewalahan ketika garis maju dan mundurnya tertutup!
"Hantam dia di pusarnya!" teriak Kaki.
Kiai Sendang begitu patuh. Tak berpikir lagi, ia mengerahkan tenaga Bhirawadomas
dan masih sambil membungkuk menghantam perut Tole!
4. PENGUASA BARU
"TOLE!" Nini menjerit kaget, langsung melesat mendapatkan Tole. "Horeee! Jagoku menang!" Sebaliknya Kaki melonjak
gembira dan menari-nari menghampiri Kiai Sendang.
"Anak pintar, anak cakap, anak tampan, kau sungguh
hebat! Tapi kau harus mengakui kau menang atas petunjukku, he" Hihihi...."
Kiai Sendang sangat bingung. Harus berbuat apa
dia" Memang lawannya roboh, tetapi itu atas bantuan
petunjuk si kakek gundul ini... yang sesungguhnya adalah lawannya!
"Kau jahat! Kau licik!" jerit Nini setelah memeriksa Tole. "Beraninya pada anak
kecil!" "Lho! Kamu bicara padaku, Nini?" tanya Kaki tertegun. "Kamu di pihak mana?" bentak Nini.
"Jelas! Aku kan menjagoi orang jelek ini. Kau menjagoi anak muda ini. Jagoku menang. Selesai, kan?"
"Tidak! Aku tak mau perkara ini selesai begini saja!
Hayo, kau berhadapan denganku!" Nini langsung pasang kuda-kuda.
"Lho! Lho! Lho! Jangan begitu, jangan begitu... jelas aku tak berani melawan
kau. Hei, orang jelek! Kau berani tidak melawan perempuan ini?"
"Hmmh. Apa yang aku takutkan, huh?" Kiai Sendang
mempersiapkan cambuknya. Ia memang cerdas. Diingat-ingatnya semua petunjuk Kaki tadi. Dan dengan
merasa yakin, ia menggeram, "Hayo, Bibi tua. Maju
kau!" Ia berpikir bahwa Tole adalah anak murid si wanita tua. Mungkin karenanya
Candika Dewi Penyebar Maut X I I I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
wanita tua yang tampak
muda ini bisa diatasinya dengan mudah. Paling tidak ia bisa minta anak buahnya
mengeroyoknya. Alangkah
untungnya jika si kakek masih berpihak padanya. "Bapak tua, silakan minggir dulu. Aku akan membereskan
wanita ini...." Kiai Sendang mencoba bermanis muka
pada Kaki. Ia mengira sangat mungkin terjadi perselisi-han antara kedua orang
tangguh ini hingga mereka ber-pisah.
"Gemas aku! Gemas aku! Kaukira aku tak bisa membekuk wanita ini?" dengan kesal Kaki menuding-nuding Nini.
"Coba saja, gundul, kau memang kurang asem!" sungut Nini. "Hwarakadah! Kau memanggilku gundul?" tukas Kaki. "Memang kau gundul!" tukas si Nini.
"Siapa gundul?"
"Kau!"
"Kau?"
"Ya!" sahut Nini tak berpikir dan tiba-tiba ia tercengang sementara Kaki tertawa
terpingkal-pingkal.
"Kurang asem!" Cepat Nini menggeser kaki kiri, berputar, miring ke kiri, dan sambil menjerit keras melontarkan pukulan ke arah Kaki!
"Bahni Tamoli!" teriak Kaki kaget. Benar juga. Tak sungkan-sungkan Nini telah
melontarkan pukulan dengan dilambari ajian dahsyat ini. "Tan Trasanana!" ia
menjerit dan tubuhnya mendadak melesat lurus ke atas dengan kedua kaki terbuka
lebar. Bahni Tamoli atau 'api yang tak tertandingi' adalah ajian hasil 'penemuan'
Mahendra dan Sinom. Dalam
keisengan mereka berdua, Sinom yang mewarisi ilmu
Bhirawadana dari kakaknya, Megatruh, telah mengga-bungkannya dengan ilmu
Mahendra, suaminya, Sasra-dahana. Karena kedua makhluk ini memang suka Iseng,
maka penggabungan ini sesungguhnya tak begitu
mulus, dan memang belum padu sebagai sebuah ilmu.
Namun betapa pun kedua ilmu dasar tersebut adalah
ilmu-ilmu tangguh yang berhawa panas. Tak heran
Bahni Tamoli memiliki hawa api luar biasa. Sementara itu Tan Trasanana atau 'tak
usah ditakuti' adalah ilmu ciptaan kedua tokoh ini pula. Ilmu ini sesungguhnya
berdasarkan ilmu gerak kaki Sura-caya. Kembali karena iseng, Mahendra dan Sinom
hanya mengambil gerak-gerak yang lucu saja dan mengembangkannya. Hasilnya
memang sangat ampuh, karena semua gerakan adalah
gerakan kejutan yang tak pernah berujung dan berpangkal. Tak terduga.
Saat itu Kaki berdiri di hadapan Kiai Sendang. Ketika Nini melontarkan ajian
dahsyatnya, tiba-tiba saja Kaki menghilang. Dan Kiai Sendang dengan telak
tersambar hantaman bola api tak berwujud ini.
Jeritan Kiai Sendang hanya pendek. Ia melonjak.
Dan jatuh sudah berbentuk sesosok mayat yang hangus. Semua tertegun terdiam.
"Dinda Sinom!" Kaki sampai lupa akan nama samaran mereka. Nini alias Sinom menyusutkan tenaga dahsyat tadi
dan termenung. "Kakang Mahendra!" bisiknya.
Ini adalah untuk pertama kalinya ajian itu digunakannya. Dan melihat hasilnya yang begitu hebat dapat disimpulkan bahwa Kiai
Sendang nyaris tak punya kesaktian apa pun. Paling tidak jika dibandingkan
dengan Sinom atau Mahendra. Kalau, misalnya pukulan tadi
mengena telak pada Mahendra, kemungkinan yang terjadi takkan separah ini. Pingsan, mungkin. Tapi takkan sampai tewas.
"Watatiotah!" Mahendra alias Kaki membungkuk
memeriksa mayat Kiai Sendang. "Hampir mirip kadal
panggang, ya?"
"Kurang asem!" desis Nini. "Hayo, bersiaplah. Kau
harus menghadapiku!"
"Ah. Tidak, ah! Takut!" kata Kaki, berdiri, tertawa. "Si Tole juga tidak apaapa!" Tole memang telah sadarkan diri, bangun, dan terkejut melihat mayat Kiai Sendang. Kebingungan ia memandang pada Kaki. "Aku... yang memukulnya?"
"Ya," jawab Kaki. "Ilmu Bhirawadana- mu hebat!"
Tole mengerutkan kening. Perlahan mendekati mayat
Kiai Sendang. Memperhatikannya.
"Tidak!" desisnya perlahan.
"Tidak apa?" Kaki bertanya.
"Orang ini... menderita sewaktu... melepas nyawa.
Akibat Bhirawadana tidak seperti ini... Bhirawadana...
membunuh dulu... baru membakar."
Kaki akan memberi tanggapan, tapi Nini memberinya
isyarat agar diam. Dan kali ini Kaki patuh.
"Matamu tajam. Kau tahu... pukulan ini mirip Bhirawadana?" tanya Nini.
"Ya. Mirip," jawab Tole.
"Kau mau... aku mengajarimu?" tanya Nini.
"Tidak," jawab Tole tegas.
"Kenapa?"
"Pertama. Pukulan ini kejam. Kedua. Aku sudah punya guru. Ketiga."
"Apa ketiga?"
"Aku tak suka Nini."
"Lho!"
"Kenapa Nini membunuh orang ini?"
"Dia ingin membunuhmu!"
"Banyak cara lain untuk mencegahnya."
"Ya. Ada cara yang tepat agar Tole tidak dibunuh Kiai Gendang ini," sela Kaki.
"Bagaimana?" tanya Nini.
"Kita bunuh saja si Tole. Toh dengan begitu Kiai
Tendang tidak bisa membunuhnya!"
"Tolol!" dengus Nini. Tiba-tiba mereka baru sadar
bahwa kini telah berkumpul ratusan orang bersenjata, semuanya dengan senjata
terhunus dan bersiaga, mengepung mereka.
"Mengapa kalian melotot seperti itu?" bentak Nini.
Beberapa lama hening. Kemudian gerombolan orang
banyak itu bagaikan terkuak. Seorang pemuda gagah
dan sangat tampan, dengan berpakaian serba hitam mirip yang lain, muncul. Ia pun membawa sebatang cambuk, walaupun tidak sebesar yang dimiliki Kiai Sendang. "Kami akan minta ganti kematian junjungan kami,
Kiai Sendang," anak muda itu berkata tenang.
"Hwarakadah! Kamu ingin bergantian mati dengan
Kiai Gendang ini?" tanya Kaki.
"Namaku Sura Ampal. Aku putra Kiai Sendang. Jika
aku tak bisa membalas kematian ayahku, lebih baik
aku mati!" Dan pemuda bernama Sura Ampal itu pun
melecutkan cambuknya. Terdengar ledakan keras. Cukup untuk membuat orang kecut walaupun tidak menggelegar seperti Kiai Sendang tadi.
"Hwarakadah! Gemas aku! Gemas aku!" Kembali Kaki membanting-bantingkan kakinya. "Siapa tadi yang
batuk, ya" Kamu, Nini?"
"Bukan batuk! Rasanya seperti ada orang menjentikkan jari, hihihi!" Nini tertawa.
"Hei, Gigi Rompal! Kamu ingin hangus seperti Kiai
Dendang ini?" tanya Kaki.
"Memang aku bukan tandingan kalian, tetapi jika
aku gugur hari ini aku akan bahagia karena bisa mati bersama ayahku!" Sura Ampal
bersuit. Bagaikan satu
badan, ratusan orang itu bergerak. Puluhan ujung tombak kini langsung mengancam
Kaki, Nini, dan Tole.
"Kami sehidup semati. Kaubunuh satu, kaulukai seribu.
Sesakti apa pun kalian, masakan bisa lolos dari sekian ratus senjata kami!"
"Hwarakadah anak kurang ajar ini! Kau berani berbahasa kasar pada kami yang mungkin setingkat lebih
tinggi dalam umur dari ayahmu?"
"Kalian musuh, kalian pembunuh. Untuk apa dihormati?" "Hihihi... Tole!" Nini berpaling pada Tole. "Orang ini ingin membunuhmu. Nah,
cegahlah itu, tanpa kau harus membunuh."
"Saudara Sura Ampal, kematian ayahmu sungguh
suatu ketidaksengajaan," Tole maju, berkata sabar. "La-gi pula, beliau yang
memulai pertarungan."
"Aku tak ingin kita berbicara, aku ingin kau mati!"
Dengan gemas Sura Ampal melancarkan serangan kilat
pada Tole. Di luar dugaan semua orang, ternyata Tole diam saja. Tentu saja membuat punggung dan dada Tole tergores sebuah luka yang dalam!
"Tole!" teriak Nini.
Dan Tole roboh. Tetapi segera bangkit kembali dengan menahan kesakitan dan menyisihkan tangan Nini
yang ingin membantunya berdiri.
"Seperti itulah, Saudara Sura Ampal," kata Tole
sambil menahan sakit. "Cambukanmu pasti tak sengaja
untukku. Untungnya... tidak terlalu kuat hingga... aku masih selamat. Tetapi
lain dengan Kiai Sendang tadi....
Daya tolak dan kesaktian beliau begitu besar, hingga bentrok tenaga yang terjadi
begitu besar... dan beliau tewas. Kuharap dengan cambukan ini... kau puas dan...
menyudahi saja perkara ini!"
"Tidak! Aku inginkan kepalamu!" Dengan sangat geram Sura Ampal bersiap melecutkan kembali cambuknya. "Tole! Jangan diam saja!" teriak Nini.
"Dia berhak membunuhku. Lakukan, Sura Ampal."
Tole mencoba tersenyum.
Sura Ampal tanpa ampun membuat gerakan jurus
cambuk andalannya. Dan cambuk melesat di udara.
Sesaat terlihat cambuk itu akan membelah kepala Tole.
Sesaat terlihat pula bahwa Tole tak akan bergerak. Dan kemudian tahu-tahu di
tempat Tole berdiri telah berdiri Nini, sementara Tole telah tergeser beberapa
langkah ke belakangnya.
"Anak gila!" bentak Nini, tangannya mencengkeram
ujung cambuk Sura Ampal. "Kau dan seluruh anak
buahmu takkan sanggup mengalahkan kami, tahu?"
"Kami rela bela pati!" sahut Sura Ampal, mencoba
menarik kembali cambuknya. Tetapi cambuk itu bagaikan ditindih gunung batu.
"Mati sia-sia apa untungnya!" desis Nini. "Dengar!
Aku akan memberimu kesempatan untuk bertarung denganku. Senjata andalanmu cambuk. Aku akan memakai cambuk pula. Dan aku berjanji tak akan menggunakan kesaktian apa pun. Jika sampai kau berhasil
menyentuh kulitku sedikit saja, kami menyerah. Orang tua gundul itu boleh
kaubunuh!"
"Hwarakadah! Enak sekali! Gemas aku!" sela Kaki.
"Diam!" bentak Nini.
"Tidak adil. Bisa saja kau pura-pura mengalah hanya
agar aku dibunuh!" bantah Kaki.
"Ini semua gara-garamu, tahu!" tukas Nini.
"Hehehe! Keliru! Gara-gara Tole. Biar Tole saja yang dibunuh, ya?"
"Boleh," sahut Nini. "Bagaimana, Anak muda?"
"Kau benar-benar hanya akan memakai cambuk?"
tanya Sura Ampal ragu-ragu. Ia juga sadar akan kesaktian paling tidak kedua
orang tua itu, yang sanggup me-morak-porandakan pasukannya. Memang tak ada gunanya bunuh diri.
"Tentu," sahut Nini. Seenaknya ia mencabut tali ikat pinggang Tole. Sekali
entak, memang tali itu tercabut, walau Tole terpaksa harus berputar bagai gasing
dan roboh. "Lihat!" Nini melecutkan tali itu ke udara. Dan memang tali itu bisa mengeluarkan suara bagaikan sebatang cambuk! Tentu saja cambuk biasa.
"Wah, Nini! Ternyata kau pantas jadi gembala, lho!"
kata Kaki bertepuk tangan.
"Hayo, maju, Anak muda!" Nini bersiap-siap dengan
cambuknya. "Baik. Jika aku berhasil menyentuh tubuhmu, kalian
kalah!" Hati-hati Sura Ampal menggeser kaki mengubah kuda-kuda.
"Ya. Dan dia dibunuh!" Nini menuding Kaki.
"Dia!" Kaki menuding Tole.
"Ya," kata Tole.
"Baiklah! Jaga serangan!" Mendadak tubuh Sura
Ampal bergetar. Kuda-kudanya tampak aneh. Kaki terbuka lebar, lutut menekuk, dan kedua tangan seakan
beristirahat di atas lutut sementara cambuknya berdiri bersiaga, dan saat
kakinya membuat tubuhnya berputar, bahunya secara berirama diangkat dan
digetarkan. Matanya tajam mengawasi gerak-gerik Nini.
Walaupun sangat tinggi ilmu kesaktiannya, Nini sangat jarang turun dari padepokannya. Maka gerak-gerik Sura Ampal membuatnya
terpesona beberapa saat. Kaki
yang juga belum pernah melihat gerakan ini agaknya
juga tertarik dan menirunya sambil mengiringinya dengan suara, "Tak tung, tung tak tung tung, tung tuk
tung tuk, e, e, e, e, yaaaaa... Hihihi, gemas aku, e, e, e, e, yaaaaa! Tak tung
tung tak tung tung tung tak tung tung, e, e, e, yaaaaaa!"
Tiba-tiba saja cambuk Sura Ampal melesat. Terkejut
Nini melompat, dan langsung melompat kembali. Dugaannya benar. Serangan pertama itu memang dua serangan beruntun. Dan begitu gagal Sura Ampal telah berputar agaknya dalam kudakuda bertahan. "Eh, enak juga... ya!" Dan Nini juga mulai memasang
kuda-kuda kini. Kaki kirinya perlahan terjulur ke depan. Tangan kanannya gemulai
berputar dan ikut menjulur, sementara tangan kanan yang memegang tali ikat pinggang Tole mundur turun
dan kepala ditelengkan. Ia pun bergerak bagaikan menari sesuai irama suara mulut
Kaki. Kedua tokoh yang berhadapan itu memang tampak
aneh. Sura Ampal tampak begitu mantap dan gagah dalam berbagai langkahnya sementara Nini lemah gemulai dan makin lama serasa makin
tampak cantik dan muda. Tetapi terlihat dalam kelemahgemulaian itu tersembunyi kegesitan luar biasa. Serangan-serangan beruntun dan bertenaga dari Sura Ampal sama sekali tak berhasil mendekati
tubuhnya. Dan sementara Nini memang hanya terus menghindar. Namun kemudian ketika tangan kirinya mulai bergerak, tali di tangan itu bagaikan hidup, bagaikan
ular terbang yang mengam-bang dan mengejar ke mana pun lari Sura Ampal - atau
menghadang serbuan cambuknya.
Inilah sesungguhnya Rahula Arani, ilmu cambuk milik Nyai Rahula. Nini
sesungguhnya paling tidak suka pada ilmu ini karena pemiliknya menjadi istri
Candika Dewi Penyebar Maut X I I I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kakaknya, dan menurut pikirannya, mencuri kasih sayang sang
kakak. Tetapi ia sering melihat Nyai Rahula berlatih hingga sedikit-sedikit ia
mengerti. Bagian yang tidak di-ketahuinya diisinya dengan gerakan Tan Trasanana
yang penuh rahasia itu.
Tak lama kemudian segera tampak bahwa Sura Ampal telah terdesak. Ledakan-ledakan cambuknya sudah
hampir tidak terdengar lagi sementara tali di tangan Ni-ni makin lama makin
menggetarkan sukma. Dengung
tali itulah yang sungguh membingungkan Sura Ampal.
Lebih dari itu Kaki juga ikut mengacaukan pikirannya dengan iringan suaranya,
"Tak tung, tung tak tung
tung, tung tak tung tung tung tung tung tung... e, e, e, e, yaaaaaaa! He ho he,
he ho he, he ho he... e, e, e, yaaaaa!"
Tapi ada yang lebih membuatnya kacau pikiran.
Agak jauh dari tempat pertempuran mereka, anak muda
yang tampak linglung itu juga lama kelamaan ikut 'menari' dengan irama yang
diteriakkan oleh Kaki. Tetapi gerakan Tole sama sekali tidak sama dengan gerakan
Sura Ampal. Hei! Sura Ampal melihat sesuatu!
"Ugh!" Hampir saja kepala Sura Ampal tersambar
oleh ujung tali Nini. Ia terpaksa berguling berputar, menggelinding, dan
melompat mundur.
"Hihihihi... Kaki, lihat, agaknya ia ingin segundul
kamu!" Nini tertawa tak mengejar Sura Ampal.
Tapi Sura Ampal tidak berhenti. Ia langsung menyerang lagi. Namun kini ia lebih waspada. Ia tadi memperhatikan betapa Tole ternyata tak terpengaruh oleh Iringan teriakan Kaki sementara dia, yang memang
bergerak seirama dengan gerakan tadi, 'terpaksa' mengikutinya. Dan dilihatnya
juga betapa gerakan Tole selalu berlawanan dengan gerakan yang diiringi oleh
lagu Ka-ki - pada tempat di mana Kaki berteriak 'Tak' biasanya ia memang
menyerang, maju, menendang, atau menghantam dengan cambuknya. Sedang 'Tung,
tung, tung' melambangkan langkah ke samping kiri atau ke kanan.
'E, e, e!' selalu mengiringi gerak langkah maju-mundur yang mendahului serangan.
Dan biasanya, gerakan Tole yang sesungguhnya menirukan gerakan Nini, berlawanan
dengan ini semua. Ia juga merasakan betapa semakin ia memusatkan pikiran pada Nini, maka semakin
berat tekanan Nini. Namun begitu ia lebih santai, misalnya dengan sedikit
melirik ke Tole, maka tekanan itu terasa berkurang. Ini memang sesungguhnya
kelemahan Nini. Ia memakai ilmu cambuk Rahula Arani yang bukan miliknya.
Karenanya sambil bergerak ia mengingat-ingat ilmu tersebut. Saat Sura Ampal
bersungguh- sungguh, maka ia dengan bersungguh-sungguh pula
mempelajari berbagai kemungkinan yang akan terjadi.
Dan dengan ketinggian ilmunya, maka perkiraannya selalu tepat. Begitu Sura Ampal berlaku acuh tak acuh, segala perkiraannya kacau
dan serangan anak muda ini mulai tak terduga dan sangat mengganggu. Merasakan
keberhasilan ini, Sura Ampal mulai bersemangat lagi.
Gerakannya terlihat makin kacau, tetapi sesungguhnya
malah lebih ampuh. Dua-tiga kali kaki Nini nyaris ter-sabet.
Kaki juga melihat perubahan ini. Beberapa saat ia
tak mengerti apa yang terjadi. Tetapi matanya yang tajam segera tahu bahwa Sura
Ampal sesungguhnya memantau gerakan Tole untuk mempersiapkan diri dari
serangan Nini. "Ha, Anak tolol, mengapa kau menari tidak sesuai
iramaku?" katanya tiba-tiba, memutuskan 'gamelan'
mulutnya. Dan mendadak saja ia menyerang Tole!
Tole terkejut, tetapi dengan wajar ia langsung menggunakan gerakan yang baru dipelajarinya dari Nini. Dan hebat juga, beberapa
terjangan Kaki ternyata berhasil dihindarinya sementara kepalannya beberapa kali
mengancam kepala gundul Kaki.
"Eh, kau berani, ya! Gemas aku!" Kaki makin beringas. Tiba-tiba ia berguling dan mendadak terdengar
Sura Ampal menjerit.
Rupanya Sura Ampal juga terkejut sewaktu Tole diserang. Bukan saja gerakannya dikacau, tetapi ia bahkan ikut meloncat-loncat
seperti Tole tanpa memperhatikan serangan Nini!
Akibatnya tali Nini berhasil melibat kakinya, dan ketika tali itu ditarik keras,
Sura Ampal jatuh terbanting!
Dan kemudian, dengan sekali lecutan tali, cambuk di
tangan Sura Ampal tercabut keras dan lepas.
Semua terdiam. Tali Nini mendengung di udara dan
mendadak melesat menghantam sebatang tiang pendapa. Tiang itu hancur berkeping-keping.
"Hihihihi... Anak tolol, sekarang bagaimana" Aku bisa dengan mudah menghancurkan kepalamu!" kata Nini, tertawa. "Huhuhuhuhu!" Kaki juga tertawa, meninggalkan
Tole yang terpukau oleh perkembangan ini. "Jadi aku
tak jadi dibunuh, ya?"
"Kau boleh membunuhku!" kata Sura Ampal ketus
tanpa bangkit dari tanah. "Hanya... ampuni anak buah-ku. Jika mereka ingin
pergi, biarkan pergi."
"Sura Ampal, aku suka padamu," tiba-tiba Tole berkata. "Kau setia pada ayahmu. Setia pada kawanmu.
Dan cukup cerdas untuk mengetahui kelemahan lawanmu. Sayang terlambat."
"Lalu kenapa?" tanya Sura Ampal.
"Kau bukan orang tolol. Apa gunanya mati selagi muda" Padahal kau begitu cerdas. Lebih baik kau minta
untuk diberi hidup oleh Nini. Agar kau bisa belajar lagi.
Dan kelak datang untuk menuntut balas."
"Wuah! Siapa kaukira kau ini, seenaknya memberi
nasihat begitu?" Nini geram melecutkan talinya ke arah Tole. Tole tak bergerak
karena tahu tali itu tak akan mengenai dirinya.
"Aku tahu Nini akan mengabulkan permintaan seperti itu," kata Tole.
"Enak saja!" dengus Nini. "Siapa berani memaksaku?" "Aku."
"Kau" Hihihihi... sekali tiup saja kau roboh!" kata
Nini. "Memang. Tapi aku akan membela dia."
"Kurang ajar!" Tiba-tiba Nini melecutkan talinya. Kali ini Tole cepat menggeser
kaki, menghantam bawah lengan Nini, dan merenggut ujung tali di udara. Nini
terkejut. Jika ia meneruskan cambukannya, maka bagian
bawah lengannya terhantam telak. Ia terpaksa menurunkan lengan, tetapi Tole telah mencengkeram ujung
tali dan mengentakkannya.
"Eh, kau berani adu tenaga?" Nini tertawa. Sesaat
Tole merasa seolah tangannya tak memegang apa-apa,
tetapi kemudian sebuah entakan keras membuatnya
terbanting! Sesaat kemudian Tole telah berdiri. Dan tangannya
tetap memegang ujung tali Nini!
"He, kadal ini cukup tangguh, Nini, tak kalah dari si Tantri, ya, hehehe," kata
Kaki mendekat. Agaknya ia
melihat sinar amarah hebat di mata Nini.
Redup seketika amarah Nini yang merasa telah 'ditantang' oleh seorang anak ingusan seperti Tole ini.
"Hihihi... benar... bandel sekali!" katanya.
"Ingat waktu kecil pernah kaulempar dia ke danau
hanya karena ia rewel?" tanya Kaki.
"Ya. Ia tak mau makan karena nasinya terlalu putih.
Dan ia berusaha keras berada di dalam air selamalamanya karena ingin membuktikan ia bisa melawan
kehendakku, yang menghendakinya timbul!" Nini manggut-manggut. Matanya terus mengawasi Tole. Tetapi tali di tangannya mengendur.
"Baiklah. Aku ampuni kau.
Aku ampuni dia." Ia berpaling pada Sura Ampal. "Dengan syarat."
"Apakah syarat itu, Nini?" tanya Tole.
"Ya mana aku tahu," kata Nini berpaling pada Kaki.
"Kamu tahu nggak syaratnya apa?"
"Wah, pertanyaan sulit. Aku harus garuk-garuk kepala, nih...." Kaki benar-benar garuk-garuk kepala. "Aku tahu. Mereka masih
boleh terus merampok, merompak,
membajak, maling, dan sebagainya! Hebat, bukan?"
"Bagus sekali!" Nini bertepuk tangan. "Aku tahu kau
pasti tak akan mengecewakan mereka!"
"Jelas! Dengan syarat mereka tak boleh membunuh,
tak boleh menyerang, tak boleh memaksa. Kecuali kalau mereka dibunuh lebih dulu.
Nah, hebat toh" Jadi akhirnya mereka tetap tak bisa membunuh, ya toh?" kata
Kaki. "Setuju!" Nini meletuskan talinya di udara.
"Mereka harus jadi perampok baik hati!" kata Kaki
dengan megah. "Setuju!"
"Mereka harus menyediakan makanan di sini. Harus
lengkap. Makanan apa saja ada. Termasuk makanan
negeri seberang! Daging panggang Galijao! Sayur negeri Atas Angin. Pokoknya
lengkap! Siapa pun datang, boleh langsung makan. Dan perampok-perampok ini
semua, tak boleh menampakkan diri!"
"Bagus sekali! Ini tugas yang sangat sulit. Kalau mereka gagal, mereka kita
bantai!" teriak Nini.
"Tapi biar mereka senang, semua orang yang lewat
sini, harus mampir. Harus makan. Dan waktu pergi harus meninggalkan harta benda untuk pembayaran. Jika
tidak, mereka boleh dibantai!" kata Kaki bersemangat.
"HOREEEEEE!" bahkan para perompak ikut bersorak. "Terima kasih, terima kasih, terima kasih!" Kaki
gundul ini manggut-manggut gembira. "Pokoknya kalau
tamunya kurang ajar, boleh digampar! Begitulah syarat-syaratnya."
"SETUJUUUUUU!" teriak para perampok kecuali Sura Ampal yang telah berdiri dan tampak kebingungan.
"Tunggu. Bagaimana dengan kadal kecil ini?" tanya
Nini, menunjuk pada Sura Ampal.
"Dia" Dia boleh hidup. Dia boleh jadi pimpinan baru
di sini. Terserah. Barangkali dia mau jadi saudagar ya terserah. Lebih baik dia
jadi pimpinan di sini. Bagaimana, Saudara-saudara?" tanya Kaki pada para
perampok. "SETUJUUUUUUUUU!" teriak para perampok gemuruh. "Terima kasih," kata Sura Ampal sambil mengangkat
tangan hingga semua sunyi senyap. "Aku gembira bisa
diampuni oleh kedua tetua ini. Aku gembira bisa memimpin kawan-kawan semua. Aku senang atas semua
persyaratan yang aneh itu. Tetapi aku merasa belum
cukup kuat untuk menggantikan ayahku. Apalagi untuk membalas dendam kematian ayahku. Lebih baik
aku pamit untuk mencari guru dan kelak kembali kemari!" "O, tidak perlu, tidak perlu! Kau boleh berguru pada-ku. Aku jamin dalam tiga
tahun kau paling tidak bisa mengalahkan si kadal itu. Habis itu, jika kau mau
belajar sendiri, kau pasti bisa membunuh istriku, gampang sekali, kok!" kata
Kaki. "Kurang asem! Begini saja. Kauajar anak gila itu, aku ajar anak tampan ini, tiga
tahun lagi kita adu. Jika mu-ridmu menang. Dia boleh bunuh aku," tukas Nini.
"Itu juga bagus! Itu juga bagus! Dan kalau dia berani membunuh kau, dia akan aku
bunuh! Hihihi! Bagaimana, he, kadal! Kau berani?" tanya Kaki pada Sura Ampal. Beberapa saat Sura Ampal termenung. Tak pelak lagi
kedua orang ini memang orang-orang sakti yang jarang ia temui. Bahkan mereka
melebihi kakek gurunya, jika sang kakek guru itu masih ada. Ilmu si Nini ini,
walaupun tampak kacau, merupakan ilmu cambuk yang bakal bisa sangat diandalkan. Dan agaknya cara mengajar mereka juga luar biasa.
Murid mereka yang tampak tolol itu pun agaknya tak bisa dibuat main-main.
Akhirnya dia mengangguk. Dan tiba-tiba duduk bersimpuh menyembah Kaki. Serentak para perampok
anak buahnya juga bersimpuh, dan para saudagar tamu beberapa saat kebingungan, namun mereka pun
kemudian duduk.
"Hamba, Sura Ampal, menghaturkan hormat kepada
Guru... mohon diterima!" sembahnya.
"Huahahahahaha!" Kaki berlompat-lompatan gembira. "Aku punya murid, aku punya murid, huahahaha...
Nini, kau tidak punya murid!"
"Tole muridku!" teriak Nini berang, ragu-ragu memandang Tole. Anak itu pernah menolak diambil murid
olehnya. Tetapi ternyata Tole pun duduk bersimpuh dan
menghaturkan sembah.
"Hore, aku juga punya murid, heeeee!" Nini mengejek
Kaki. "Tapi muridku lebih hebat. Dia adalah pemimpin perampok di Sendang Ampal ini. Dan untuk mengingat
ayahmu, he, kadal, kau kuberi nama Kiai Sendang Ampal! Hebat, bukan?"
5. DUA ORANG MURID
SEJAK saat itu, lembah Sendang Ampal tak seperti biasanya. Para 'pengunjung' tempat istirahat di tengah rimba lebat itu makin
banyak. Nini dan Kaki membuat
tempat itu jungkir balik. Mula-mula Nini mau tempat
itu mirip pasar: semua perampok jadi pedagang makanan, minuman, tukang pijat, tukang cuci, penari, dan bahkan 'penunjuk jalan'
yang berkeliaran di hutan-hutan sekitar tempat itu untuk memaksa orang-orang
mampir ke Sendang Ampal. Ternyata orang-orang yang
terakhir itu terlalu bersemangat, bukannya hanya mencari orang-orang yang
bepergian, tetapi juga masuk ke desa-desa di sekeliling hutan untuk memaksa
orang-orang desa bepergian dan mampir ke Sendang Ampal.
Ini tentu mengganggu Tole yang memang tak suka paksa-memaksa. Mendengar pertentangan antara Tole dan
Nini, Kaki sangat gembira. Untuk membuat Nini makin
gemas, ia juga menyuruh 'murid'-nya, Sura Ampal alias
Kiai Sendang Ampal Muda, untuk ikut menggiring
orang-orang desa. Tetapi ternyata Kiai Sendang yang
masih muda ini sependapat dengan Tole, dan ia menolak. Hampir terjadi bentrokan antara Nini dan Kaki tentang ini. Akhirnya
pasangan aneh ini bisa dibujuk untuk menyerahkan keputusan kepada Kiai Sendang
se- bagai penguasa Sendang Ampal. Setelah lama berunding berempat - di mana Tole dan Kyai Sendang berusaha keras untuk berunding dengan bersungguhsungguh, sementara Kaki dan Nini berusaha untuk
membuat berbagai peraturan yang lucu - akhirnya dicapai kesepakatan:
1.
Candika Dewi Penyebar Maut X I I I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pimpinan Sendang Ampal, sekali lagi ditetapkan, adalah Kiai Sendang.
2. Nini dan Kaki berhak memberi usulan, karena
mereka adalah guru, tetapi tidak boleh marah
jika usulannya ditolak. (Jika ini dilanggar, murid masing-masing berhak untuk meninggalkan gurunya.) 3. Semua kegiatan Sendang Ampal dipusatkan di
Sendang Ampal saja, tak usah mengirim orang
ke mana-mana. 4. Agar tidak terjadi paksaan dalam jenis apa
pun, para perampok Sendang Ampal tak boleh
memperlihatkan dirinya, kecuali untuk menggantikan makanan atau minuman atau kemudahan lainnya. Bahkan para penabuh gamelan
juga tak boleh tampak.
5. Para tamu harus menunjukkan sikap wajar,
bersahabat, dan tidak curiga, di samping harus
menyerahkan sumbangan. Jika ini dilanggar,
maka para tamu boleh diserang.
Kesepakatan ini, walaupun tak terlalu memuaskan
baik bagi Nini ataupun Kaki, terpaksa disetujui, mengingat sanksinya.
Dengan bergaul seperti itu, Tole melihat bahwa sesungguhnya Kiai Sendang yang muda itu tidak terlalu
buruk atau jahat. Anak muda itu agaknya memang punya bakat memimpin yang baik. Dia juga seorang murid yang rajin. Dengan tekun ia
mempelajari apa saja yang diajarkan oleh Kaki, walaupun sering tidak masuk akal.
Dan jelas sekali ia sangat ingin menguasai ilmu cambuk, ilmu yang merupakan andalan ayahnya dahulu.
Ini sesungguhnya menyulitkan Kaki. Ilmu Rahula Arani bukanlah ilmunya. Tetapi
karena tak mau kehilangan
murid, maka ia terpaksa menciptakan berbagai jurus
baru, disesuaikan pula dengan ilmu Sura Ampal dahulu. Hasilnya memang jadi sangat berbeda dari Rahula Arani. Di dalamnya juga
diselipkan berbagai pukulan bertenaga dalam hingga segala gerak Kiai Sendang
sungguh ampuh. Dan Kaki memberi ilmu 'baru' ini nama baru juga, Taksaka Kroda, atau Sang Ular Marah.
Tetapi nama jurus-jurusnya sama sekali tidak memakai nama ular, melainkan dengan
kata hewan kesukaan-nya, 'kadal'. Memang gerak-gerak tersebut sangat
mengandalkan kegesitan, dan di situlah letak perbedaannya dengan ilmu cambuk
Kiai Sendang Ampal yang terdahu-lu. Jika dulu yang diandalkan adalah
keperkasaan, sekarang kelincahan menjadi andalan.
Tole sendiri mendapat kemajuan yang sangat berarti.
Daya pikir Tole masih terganggu oleh kesalahan perawa-tan Kaki dan Nini dulu. Ia
masih mencurigai Nini dan Kaki, tetapi sesuatu menyatakan padanya bahwa ajaran
yang diberikan Nini sangat berguna baginya - Nini tidak hanya tidak menyadap
ilmunya, tetapi malah memper-kuat dasar-dasar yang telah dimilikinya. Kadang-kadang ia merasa bahwa nenek berwajah muda ini mungkin sekali adalah pengejawantahan gurunya yang entah
di mana. Atau mungkin malah gurunya sendiri yang
menyamar. Tole tak pernah berpikir lebih jauh dari itu.
Kepalanya begitu pusing jika harus memikirkan hal-hal tentang masa lalunya.
Ia sering termenung dan memikirkan seorang gadis.
Ia tahu namanya Tari. Sesama murid Rahtawu. Tetapi
ia tak ingat, atau otaknya tak mau mengingat-ingat apa pun tentang gadis itu.
"Ehm!" terdengar suara berdeham.
Tole berpaling.
Ia sedang duduk di atas sebuah batu di sungai kecil
yang bersumber di sumber air Ampal. Udara sejuk, pepohonan rindang, yang terdengar adalah gemercik air
dan sayup-sayup suara gamelan. Kelompok penabuh
agaknya sedang berlatih. Mungkin tadi ia agak mengantuk. Di atas tebing sana, di
antara semak-semak hijau segar, berdiri Kiai Sendang Ampal Muda, bertelanjang
dada. Dan walaupun hawa dingin, tampak dada yang
bidang itu berkeringat. Agaknya pemuda itu baru melakukan latihan paginya.
"Boleh aku turun?" tanya Kiai Sendang.
"Ya," jawab Tole.
Kiai Sendang melompat, berputar di udara, dan turun lembut di samping Tole.
"Kakang Tole tahu itu tadi gerakan apa?" Kiai Sendang yang muda itu bertanya.
"Tidak," jawab Tole.
"Kadal Terpeleset," kata Kiai Sendang, mengangkat
bahu dan duduk di sebuah batu di hadapan Tole, mencelupkan kedua kakinya ke dalam air.
Tole kembali memperhatikan air di bawahnya. Apa
yang sedang dipikirkannya tadi" Ya. Seorang murid perguruannya. Perguruannya.
Siapa gurunya. Bukan Nini
yang tidak keruan ini. Gurunya sangat bersungguhsungguh. Tak pernah bercanda. Bijaksana. Siapa namanya" Ya. Dari Rahtawu. Ah.
"Engkau tak tertarik, Kakang?" suara Kiai Sendang
kembali memecah pikiran Tole. Mereka memang berbicara dengan bahasa kasar.
"Tertarik apa?" tanya Tole.
"Gerakanku tadi. Kadal Terpeleset. Kata Kaki gerakan itu akan sanggup menjegal gerakanmu. Yang mana
pun." "Mungkin."
"Pasti!"
"Mungkin."
"Bagaimana kau tahu" Melihat pun tidak."
"Aku dengar suaranya. Gerakan kaki kirimu terlalu
lemah. Dengan mudah aku bisa menyapu kaki itu. Dan
kau akan kesulitan."
Kiai Sendang tertegun. Berpikir sebentar. Kemudian
meloncat ke darat. Memasang kuda-kuda. Dan dengan
gesit melakukan beberapa gerakan. Dan ia tertegun.
Memang. Ia juga merasa kedudukan kaki kirinya begitu lemah.
Kyai Sendang menggelengkan kepala. Kembali duduk
di batu. Mencelupkan kakinya ke air.
"Kau cerdas. Dan teliti. Dan mungkin akan jauh lebih sakti dari aku," kata Kiai Sendang kemudian. Merenung. "Tetapi, aku yakin
kelak aku akan mengalahkanmu. Jika kita harus bertarung."
"Oh, ya?" sambut Tole.
"Ya. Karena kau seperti ini, Kakang."
"Seperti apa?"
"Seperti ini... tak punya perhatian sama sekali. Tak punya semangat. Persis
seperti kedua guru kita."
"Kenapa mereka?"
"Lihat mereka. Aku yakin, mereka adalah salah satu
orang-orang tersakti di zaman ini. Aku melihat mereka bertarung dengan ayahku.
Aku mengenal mereka selama ini. Jika mereka mau, mereka bisa mengabdi di
Wilwatikta dan mengukir nama besar. Mereka bahkan...
mampu berontak dan mendirikan kerajaan sendiri. Lalu apa yang mereka lakukan"
Huh." Kiai Sendang memijit
pecah batu yang didudukinya, dan melemparkan kepingannya sedemikian rupa sehingga dapat meluncur
dan berkelak-kelok melewati tiga batang pohon jauh di atas mereka.
"Apa yang mereka lakukan?" tanya Tole heran.
"Mereka cuma bersendau-gurau setiap hari. Mereka
tak tahu harus berbuat apa. Mereka tak punya tujuan.
Mereka datang kemari... coba... dengan tujuan apa?"
"Aku... aku tidak tahu.".
"Dan setelah mereka kemari, mereka lalu mau apa?"
"Aku tak tahu."
"Itulah. Apa gunanya semua kesaktian itu jadinya"
Mereka sama sekali tak punya tujuan!"
"Sedang kau?" tanya Tole setelah beberapa saat Kiai
Sendang berdiam diri.
"Aku?" Kiai Sendang merenung lagi sejenak. "Kedatangan Sang Guru mungkin memang dikirim dewata
padaku. Aku yakin, dengan kesaktian yang nanti kuperoleh, dengan harta yang nanti kuperoleh, aku akan
mampu mendirikan daerah bebas di hutan ini. Kemudian aku akan memperluas pengaruhku ke selatan. Aku
dengar para penguasa di sana sudah banyak yang mulai resah dan tak setia pada Wilwatikta. Mereka akan mudah tunduk pada seorang
penguasa kuat yang ada
di dekat mereka. Dan orang itu adalah aku." Lama Kiai Sendang menatap Tole.
"Dalam hal ini, kau bisa jadi
pendukung yang sangat besar. Atau penghalang yang
sangat kuat. Aku tak banyak berharap dari kedua guru
kita. Mereka betul-betul angin-anginan. Tapi kau kadang-kadang punya pikiran yang aneh. Mungkin kau
tak akan setuju tindakanku dan kau akan menghalangiku." Tole tak menjawab.
"Ada yang meramal bahwa dari Pantai Selatan ini kelak akan muncul kekuatan baru. Orang mengira bahwa
kekuatan itu adalah keturunan Sang Bhre Wirabhumi.
Orang mengira kekuatan itu adalah putra Kumbini,
yang pernah hampir berhasil memberontak pada Wilwatikta. Tapi aku percaya, kekuatan itu bisa saja muncul dari lapisan bawah. Dari
rimba Ampal ini. Aku."
Bersambung ke jilid 14.
Sayang sekali, tidak ada Jilid ke 14, terhenti
begitu saja cerita ini.
Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
Document Outline
CANDIKA: DEWI PENYEBAR MAUT-13
1. TARA 2. KAKI DAN NINI
3. KIAI SENDANG AMPAL
4. PENGUASA BARU
5. DUA ORANG MURID
Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong 7 Suling Pualam Dan Rajawali Terbang Karya Peng An Petualangan Manusia Harimau 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama