Ceritasilat Novel Online

Iblis Edan 2

Gento Guyon 18 Iblis Edan Bagian 2


pakan senjata juga mengandung racun ganas.
Si kakek sejenak memandang ke arah Gento, setelah itu perhatiannya beralih pada Karma Sudira. Bibirnya yang hitam
sunggingkan seringai aneh. "Tepat seperti dugaanku tadi, kau tentu bekas adipati
pecundang Karma Sudira. Bagaimana
kau bisa lolos dari penjara dan kini berkeliaran bersama monyet gondrong edan
ini?" tanya si kakek. "Ha ha ha. Aku monyet gondrong budiman tentu tidak tega
membiarkan orang tak bersalah
hidup sengsara dibalik tembok pengap. Lalu kau
sendiri bapak moyang gorila apa tidak malu menjadi kacung hina Suryo Lagalapang?"
"Gondrong jahanam. Kau diam disitu, aku
hendak menyelesaikan urusan dengan Karma
Sudira. Setelah itu baru giliranmu!" maki si kakek. "Aneh, menyelesaikan urusan
saja harus menunggu giliran. Seperti menunggu hukum
pancung saja." Gento kembali menyeletuk.
Si kakek tak memperdulikan berlagak tuli.
Kini dia kembali menghadap Karma Sudira.
"Karma Sudira siapa yang menolongmu
kabur dari penjara!" hardik si kakek.
Karma Sudira menanggapi. "Siapa yang
menolongku keluar dari penjara kau tak perlu ta-hu, Wisang Banto Oleng."
"Jadi gorila dekil ini namanya Wisang Banto Oleng. Pantas kulihat tadi jalannya miring."
Gento menimpali disertai seringai mengejek.
"Gondrong kurang ajar. Rupanya aku merasa perlu menyingkirkanmu lebih cepat! Kau
dengar! Karma Sudira salah satu dari tiga orang yang harus kusingkirkan dari
muka bumi ini!"
"Dia salah satunya, jadi yang duanya lagi
siapa?" tanya Gento.
Sambil kertakkan rahang Wisang Banto
Oleng menyahuti. "Yang dua lagi adalah anaknya.
Tapi sekarang ada satu sebagai tambahan."
"Hebat. Membunuh sampai nambah segala,
seperti orang makan saja! Kalau boleh aku tahu, siapa lagi yang hendak kau
jadikan tambahan"!"
"Sebagai tambahan adalah monyet gondrong edan yang kini jual lagak di depanku." seru si kakek. Cengengesan
mendengar ucapan orang
Gento Guyon seka wajahnya yang keringatan. Sejenak dia melirik ke arah Karma Sudira, kepada
orang tua itu enak saja dia berkata. "Paman....
rupanya gorilla dekil anjing upahan adipati ini sudah terlalu kaya. Dia mau
memberikan pesan-gon pada kita. Setelah diberi sangu kita hendak
dikirimnya ke akherat. Aku sih senang saja, apalagi konon di sana tinggal para
bidadari cantik.
Paman, aku tak keberatan menemanimu, ayo
tunggu apalagi?"
"Bocah edan. Jangan terus bergurau. Apa
yang dia katakan bukan bualan kosong!" kata Karma Sudira dengan mata mendelik.
"Kalau begitu, menyingkirlah. Aku ingin
tahu apakah gorilla tua ini masih bisa unjukkan gigi di depanku. Kurasa dia malu
memperlihatkan giginya, karena tadi sempat kulihat gigi gorilla ini hitam berbau
busuk air comberan! Ha ha ha."
Lenyaplah sudah kesabaran di hati Wisang
Banto Oleng mendengar segala ucapan Pendekar
Sakti 71 yang terasa menyakitkan telinga. Kemarahannya tidak lagi dapat dibendung. Sekali dia melompat ke depan. Tangan kiri
menyambar ke dada Karma Sudira, sedangkan tangan kanan
bergerak menyambar wajah Gento.
Dua serangan itu bukan serangan biasa.
Sekali sepuluh kuku mengenai sasaran, dada
Karma Sudira bisa dibuatnya robek, bagian yang
terluka langsung meleleh membusuk keracunan.
Seandainyapun lawan dapat bertahan hidup dia
akan menderita cacat mengerikan berupa koreng
yang tak mungkin dapat disembuhkan. Gento sadar betul akan hal itu. Karenanya sambil melompat ke samping menghindari serangan lawan,
tangan kirinya dipergunakan untuk mendorong
bahu Karma Sudira.
Orang tua ini terjungkal roboh bergedebukan. Walau bahunya yang jatuh ke tanah terasa
sakit, namun dia selamat dari hunjaman kuku
lawan yang sangat beracun.
Gento sendiri akibat menyelamatkan Karma Sudira, wajahnya nyaris menjadi sasaran tangan kanan lawannya. Dengan tubuh menghuyung
dia membungkuk, sedangkan tangannya digerakkan dari bawah ke atas tepat di bagian siku.
"Keparat!"
Wuuus! Wisang Banto Oleng tarik tangannya yang
hendak menjadi sasaran kepalan tinju si pemuda.
Dia rupanya menyadari jika tangannya sampai
dihantam lawan, persendian tangannya bisa terlepas, copot tanggal tidak berfungsi lagi.
Dalam kejutnya tak menyangka si gondrong memiliki gerakan tubuh yang demikian cepat, Wisang Banto Oleng melompat mundur. Wajah hitamnya sempat memucat. Mulut terkatup,
pelipis bergerak-gerak, sedangkan mata mencorong tajam memancarkan kegeraman.
Di depan sana Gento berdiri berkacak
pinggang, mulut tersenyum hidung dikembang
kempiskan. "Gorilla tua, aku sudah berbaik hati hendak memotong kukumu, lalu
mengapa kau menolak kebaikan orang?" tanya Gento.
6 Di depan sana mendengar canda ejek Gento, wajah Wisang Banto Oleng berubah hitam
mengkelerep. "Kau memang pemuda tolol yang ingin mencari mampus!" habis berkata si kakek silangkan kedua tangan di depan
dada, salah satu
kaki yang membentuk kuda-kuda digerakkan,
mendadak tubuhnya melesat setinggi satu tombak kemudian meluncur deras ke arah Gento. Begitu lawan berada dalam jangkauannya kaki si
kakek melesat menghantam kepala Gento. Serangan ini ternyata hanya tipuan karena begitu Gen-to rundukkan kepala, tubuh
Wisang Banto Oleng
meluncur turun, sambil jejakkan kaki, tangan
yang bersilangan tadi menyodok ke depan dengan
gerakan menggunting.
Gento jadi terkesiap, jika dua tangan itu
dapat dielakkannya, paling tidak ujung kuku lawan pasti mengenai tubuhnya. Tidak ada pilihan
lain, pemuda ini pun kemudian melompat mundur. Walaupun gerakan yang dilakukannya berlangsung sangat cepat, tak urung bagian ujung
kuku lawan masih menyambar bagian lehernya.
Greng! Terhuyung Gento melengak, bagian lehernya nampak mengepulkan asap tipis. Gento cepat
memandang dan mengusap lehernya. Dia jadi
menarik nafas lega begitu melihat kenyataan
bahwa yang terkena sambaran kuku lawan ternyata adalah bagian batu mata kalung Raja Langit. Sesaat lamanya batu kalung bergetar, warnanya yang putih pudar nampak menghitam, tapi
begitu tebaran asap lenyap mata kalung berubah
kembali ke warna aslinya, putih buram cokelat
kekuningan. Di lain pihak Wisang Banto Oleng juga tak
kalah kagetnya. Dengan mata membeliak dia
memandang ke bagian leher dimana kalung Batu
Raja Langit tergantung. Setelah itu dia memperhatikan kuku jari tangan kanannya. Tiga kuku ja-ri kelingking sampai ke jari
tengah hangus gosong. Si kakek tercengang. Dia tahu batu kalung di leher lawan itulah yang
menjadi penyebabnya.
"Kurang ajar! Tanganku terasa ngilu, panas bagai terpanggang. Tiga kuku jariku
hangus. Kalung batu dileher pemuda itu ternyata bukan kalung sembarang. Mata kalung itu pasti adalah ba-tu sakti. Aku harus bisa
merampasnya sekalian
menghabisi pemuda itu!" batin Wisang Banto Oleng dalam hati.
"Hei tua bangka, mengapa kau diam seperti
patung bego" Atau kau tengah berfikir mencari
cara untuk merampas kalung ini?" kata Gento disertai senyum mengejek.
"Gondrong edan, Kau boleh punya seratus
kalung batu butut. Tapi kau kujamin tidak dapat menyelamatkan diri dari
tanganku!" teriak si kakek. Orang tua ini sambil keluarkan gerungan
pajang segera melakukan gerakan aneh. Tubuhnya berputar, sosoknya terangkat naik, mengambang di udara seolah tanpa bobot. Setelah itu dia lakukan gerakan berjumpalitan
di udara. Gerakan ini jelas menuju ke arah si pemuda. Gento tidak tinggal diam,
dengan jurus Belalang Terbang dia hindari serangan lawannya. Mula-mula dia
jatuhkan diri, cengkeraman tangan lawan di bagian
kepala luput. Si kakek meluncur ke bawah, kakinya yang berkuku panjang menyambar. Gento
tak mau mengambil resiko. Dengan cepat dia bergulingan menjauh dari kaki lawan. Dengan kedua
kaki bertumpu pada tanah, Gento lalu lentikkan
tubuhnya, setelah berdiri dia berbalik lalu dorongkan kedua tangan ke arah lawan.
Sinar merah berkiblat, angin panas menderu. Si kakek yang dalam keadaan mengambang di
atas tanah tentu jadi kaget, tapi dia cepat mengambil tindakan. Sambil miringkan
tubuh dia mendorong tangannya siap menangkis serangan
lawan. Serangan yang dilakukannya ternyata kalah cepat dengan datangnya pukulan yang dilepaskan oleh murid si gendut Gentong Ketawa.
Tak ayal lagi pukulan Gento menghantam
tubuh si kakek hingga menimbulkan ledakan hebat. Sesaat si kakek menjerit, tubuhnya lenyap
tenggelam dalam kepulan asap tebal yang memenuhi udara. Tapi begitu asap tebal yang menyelimuti
berangsur lenyap. Tiga tombak di depan sana Wisang Banto Oleng tegak berdiri. Pakaian hitamnya hancur di beberapa bagian,
hangus gosong menjadi bubuk.
Kini Gento yang dibuat tercengang, bagaimana tidak. Tadi dia menghantam lawan dengan
pukulan Iblis Tertawa Dewa Menangis. Salah satu pukulan simpanan yang
diwarisinya dari sang
guru Gentong Ketawa. Jangankan pohon atau batu karang, sedangkan besipun dapat dibuat leleh bila terkena pukulan itu. Tapi
sekarang dia melihat satu kenyataan hanya pakaian lawan saja
yang dibuat hangus, sedangkan kakek tua itu
sendiri nampaknya tidak terluka. Hal yang sebenarnya Wisang Banto Oleng akibat terkena pukulan Gento sempat mengalami guncangan di bagian dalam, namun dia tidak menghiraukan dan
bersikap seolah tubuhnya tidak mempan pukulan. Kini melihat Gento lengah, kesempatan
yang hanya sesaat itu langsung dipergunakannya
untuk melakukan satu gebrakan. Laksana kilat
Wisang Banto Oleng berkelebat, dua tangan dihantamkan, satu kebagian dada, sedangkan satunya lagi mengarah ke bagian kepala.
Gento menyadari akan kesalahan yang dia
buat sendiri. Melihat bagaimana tangan lawan
menyambar kebagian kepala, dia miringkan tubuh lalu menarik kepala ke samping. Serangan
yang menghantam kepala tidak mengenai sasaran, tapi hantaman yang seharusnya mengenai
dada kini menyambar bahunya.
Dess! "Akh...!"
Satu jeritan merobek udara. Sosok Gento
terpental, bergulingan beberapa kali, lalu terkapar sambil mengerang pendek.
Melihat apa yang terjadi pada si gondrong
dan menyangka jiwa pemuda itu tak dapat diselamatkan, Karma Sudira yang sejak tadi mengawasi jalannya perkelahian sengit itu tak dapat lagi membendung kemarahannya.
"Gento, kau...!" Karma Sudira berteriak
memanggil si pemuda. Si orang tua hanya mendengar suara erangan Gento sebagai jawaban.
Orang tua ini berpaling pada Wisang Banto Oleng dengan tatap penuh kebencian.
"Tua bangka terkutuk. Aku akan mengadu jiwa denganmu!" Diba-rengi teriakan keras
Karma Sudira tanpa menghiraukan keselamatannya berkelebat ke depan. Selagi tubuhnya melesat di udara, tangan kanan
Karma Sudira mencabut sesuatu dari balik pinggangnya. Setelah itu tangan kanan digerakkan ke depan. Satu benda hitam berupa
mata tombak yang dihubungkan dengan seutas tali yang lebih
keras dari seutas baja menderu menyambar ke
sekujur tubuh lawan dari atas ke bawah.
Sambaran mata tombak membuat Wisang
Banto Oleng terhuyung, namun matanya yang
awas membuatnya menyadari senjata di tangan
lawan bukan senjata sembarangan. Sambil berseru dan mendorong kedua tangan menangkis senjata lawan si kakek melompat mundur. Segulung
angin menderu membuat serangan mata tombak
yang seharusnya menghantam dada dan bagian
perut lawan melenceng. Karma Sudira menggerendeng, tali tombak dikedutkan. Kini laksana
mata kail mata tombak kembali meluncur lurus
ke depan sesuai dengan yang diinginkan pemiliknya. Mendapat serangan bertubi-tubi, walaupun
hatinya sempat tergetar, namun Wisang Banto
Oleng ganda tertawa. "Tombak Pembalik Raga Penumpas Nyawa, sudah lama aku
mendengar sen-

Gento Guyon 18 Iblis Edan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jata butut karatan ini. Sekarang aku baru melihat
rupa dan kehebatannya!"
Wuut! Suara si kakek terputus, mata tombak
hampir saja merobek mulutnya. Tercekat dan
dengan tubuh keluarkan keringat dingin Wisang
Banto Oleng jatuhkan diri, namun ujung mata
tombak masih sempat menyambar dan merobek
lengannya. Si kakek menjerit, tangan yang tergores
senjata lawan terasa panas mendenyut. Tapi dia
terus bergulingan, begitu lawan berada dalam
jangkauanya, tubuh si kakek disentakkan ke
atas. Begitu bagian punggung mengambang dua
jengkal di atas tanah, tangannya bergerak menyambar ke bagian perut Karma Sudira.
Raaaaak! Breeeet! Perut lawan robek besar, Karma Sudira
menjerit keras begitu isi perutnya berbusaian keluar. Tombak terlepas, sambil
mendekap perutnya yang menganga Karma Sudira bermaksud lanjutkan serangan dengan
melepaskan pukulan
tangan kosong. Tapi tubuh si orang tua ambruk,
perut yang robek leleh sampai keusus-ususnya,
asap berbau amis mengepul dari luka itu dan
Karma Sudira pun tidak dapat diselamatkan lagi.
Sambil tertawa tergelak-gelak melihat kematian lawan, Wisang Banto Oleng pungut benang pengikat mata tombak. Senjata itu dipandanginya beberapa jenak, lalu dia balikkan badan menghadap langsung ke arah
Gento yang masih
terkesima melihat kematian bekas adipati Purbolinggo. "Satu nyawa telah kuberangkatkan ke langit. Seperti kataku tadi, kau
orang berikutnya
yang harus menyusul Karma Sudira." kata kakek itu dengan suara lantang.
Seakan baru terjaga dari sebuah mimpi
yang amat buruk Gento tersentak. Bahu kirinya
yang kena dihantam lawan nampak merah memar, untung tidak remuk dibagian dalam. Termiring-miring Gento bangkit, kematian Karma Sudira, orang tua yang dianggapnya telah mengalami
perlakuan tidak adil selama belasan tahun membuat tampang polos, sikap konyol senda gurau si pemuda seolah lenyap. Kini
dengan wajah tegang
dan tatapan dingin dia memandang ke arah si kakek. Mulut Pendekar Sakti 71 Gento Guyon
membuka berucap. "Kau mengira segalanya akan menjadi mudah bagimu, gorilla
rongsokan. Yang
aku khawatirkan saat ini akibat terlalu memandang rendah orang lain membuat jiwamu tidak
ketolongan.!"
"Ha ha ha! Aku sudah meraba sejauh mana
ilmu kesaktian yang kau miliki. Apa susahnya
membunuh kunyuk edan sepertimu"!"
"Yang kau raba cuma kulitnya, gorilla butut. Aku sama sekali tidak dapat disamakan dengan paman Karma Sudira!" sahut Gento disertai seringai mengejek.
"Gondrong sial, makan mata tombak ini!"
teriak Wisang Banto Oleng. Orang tua ini cepat
menyerbu ke depan. Di tangan si kakek mata
Tombak Pembalik Raga Penumpas Nyawa menjadi
sebuah senjata yang lebih berbahaya bila dibandingkan ketika berada di tangan pemiliknya sendiri. Mata tombak kini meliuk, mencecar sepuluh bagian mematikan di tubuh Gento,
tidak jarang tombak itu menghantam dari atas ke bawah mengincar batok kepala lawan. Dan setiap gerakan
yang berlangsung terjadi dengan sangat cepat sekali. Hal ini tentu dapat
dimaklumi mengingat
tingkat kesaktian, tenaga dalam maupun ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki Wisang Banto
Oleng berada jauh di atas mendiang Karma Sudira. Dalam lima belas jurus dimuka Gento terdesak hebat. Padahal saat itu dia sudah mengerahkan jurus Congcorang Mabuk yang digabungkan lagi dengan jurus warisan Tabib Setan. Satu saat mata tombak menderu ke
bagian kaki, Gento
melompat ke udara. Serangan luput, tak disangka lawan kedutkan tali pengikat
mata tombak. Kini
senjata maut berwarna hitam melesat ke atas, la-lu menyambar bagian punggung
belakang. Serangan ini sudah tak dapat lagi dihindari oleh lawan.
Tapi Gento masih berusaha bungkukkan tubuhnya. Tidak urung mata tombak masih sempat
menggores kulit punggungnya.
Cres! Gento mengeluh tertahan, punggung yang
terluka terasa panas laksana terbakar. Ada cairan darah yang meleleh. Gento tak
tahu apakah senjata itu mengandung racun ganas atau tidak, namun untuk menjaga hal yang tidak diinginkan dia
cepat keruk saku celananya. Dari dalam saku celana dia mengambil dua obat mujarab pemberian
Tabib Setan. Begitu obat amblas ke dalam perut
Gento merasakan hawa panas berangsur lenyap.
Tapi belum lagi dia siap dalam posisinya, kini Wisang Banto Oleng tanpa memberi
hati kembali lancarkan serangan. Malah kini disamping menggunakan tombak Pembalik Raga Penumpas Nyawa dia juga melepaskan pukulan saktinya.
Serangan mata tombak itu saja sudah
membuat repot kalang kabut murid kakek gendut
Gentong Ketawa. Apalagi kini disamping serangan tombak lawan juga mengumbar
pukulan maut-nya. Dalam waktu singkat suara desing senjata
berbaur dengan suara ledakan akibat pukulan
Wisang Banto Oleng mengenai tempat kosong.
Gento sendiri mengandalkan gerak cepat disamping ilmu meringankan tubuhnya untuk menghindari serangan gencar lawannya.
Pada suatu kesempatan selagi tubuhnya
berjumpalitan di udara, lawan menghantam arah
gerakan pemuda itu, kemudian tali tombak dikedutkan hingga mata tombak meluncur, menyambar dari bawah ke atas tepat dibagian punggung
Gento. "Setan laknat!" maki Gento begitu menyadari posisinya dalam keadaan
terjepit. Satu tangan didorongkan ke depan menangkis pukulan
lawan, tangan kanan digerakkan ke bagian punggung celana. Setelah itu tangan diputar. Seketika angin menderu, sinar kuning
berkilauan berkelebat, bergulung-gulung membentuk perisai diri.
Berkelebatnya sinar kuning semakin lama semakin melebar dan tambah membesar. Lalu terjadi
benturan disertai ledakan dan dentring beradunya senjata. Bersamaan dengan itu Wisang
Banto Oleng terlempar. Namun dengan cepat dia
bangkit berdiri. Si kakek terkesiap begitu melihat senjata yang dipergunakan
untuk menyerang tadi
kini cuma tinggal talinya saja. Sedangkan mata
tombak terpental entah kemana.
Dengan perasaan kaget si kakek pandang
ke depan. Empat tombak di depan sana tegak
berdiri si gondrong. Di tangan pemuda itu kini
tergenggam satu senjata berupa sebuah gada
berwarna kuning. Begitu mengenali senjata itu si kakek keluarkan satu seruan.
"Penggada Bumi!
Bagaimana senjata itu bisa berada di tanganmu"
Ada hubungan apa kau dengan Tabib Setan"!"
tanya Wisang Banto Oleng dengan mata mendelik.
Seperti diketahui, senjata sakti milik Gento itu memang pemberian Tabib Setan.
Untuk lebih jelasnya (baca episode Tabib Setan).
"Katanya kau manusia hebat, silahkan
nanti kau tanyakan pada setan kuburan! Ha ha
ha!" jawab Gento lalu tertawa mengekeh.
"Kecoak keparat! Mampuslah kau!" Selesai berkata, Wisang Banto Oleng adu dua
tangannya satu sama lain.
Laap! Cahaya putih laksana kilat mendadak berkelebat dari dua tinju si kakek. Lidah api langsung menderu, namun semakin
bertambah besar
begitu berada di udara. Sinar putih kemudian
menyungkup Gento dari arah atas kepala. Seketika Gento merasakan satu sengatan hawa dingin
yang sangat luar biasa. Sadar betapa berbahayanya seandainya dia sampai tergulung sinar
putih yang menebar bagaikan jala ini, Gento sege-ra putar senjata ditangannya.
Angin bergulunggulung, hawa panas menerjang sinar putih yang
siap meringkusnya itu.
Lalu terdengar suara.
Dess! Dees! Sinar putih bulat lebar yang hendak meringkus Gento mengalami kehancuran di dua
tempat. Gento begitu melihat celah menganga
langsung menerobos keluar, setelah itu melesat
ke atas lawan sambil ayunkan gada di tangan.
"Jahanam bagaimana dia bisa lepas dari
Jala Sukma?" rutuk si kakek. Begitu dua tangan dipergunakan untuk menangkis, di
depan sana sinar putih yang mengembang seperti jala ditebarkan langsung lenyap. Si kakek terkesima begi-tu sadar atas kekeliruan yang
telah dia lakukan, dengan cepat dua tangannya ditarik, tapi gerakan tangan kiri
kalah cepat dengan gerakan senjata
lawan. Tak ampun lagi gada lawannya menghantam tangan itu.
Kraaak! Terdengar suara tulang bergerak hancur.
Wisang Banto Oleng melolong kesakitan. Selagi
dia terhuyung, satu hantaman menghantam dada
membuat sedikitnya empat tulang iga berpatahan.
Menyadari keselamatan dirinya berada dalam ancaman bahaya besar si kakek melompat mundur,
lalu meraih sesuatu dari balik kantong celananya.
Ternyata yang diambil adalah sebuah benda hitam, benda itu langsung dibanting, meledak dan
mengepulkan asap tebal memenuhi udara. Gento
melompat menjauh dari kepulan asap, rupanya
dia khawatir asap tebal mengandung racun jahat.
Begitu asap biru yang memenuhi udara sirna,
maka sosok Wisang Banto Oleng lenyap pula dari
pandangan mata.
"Kurang ajar. Rupanya dia sengaja mencari
kesempatan untuk melarikan diri. Mestinya tadi
kuhantam remuk kepalanya!" gerutu pemuda itu kesal. Dia lalu menarik tenaga
dalam yang dialir-kannya ke badan gada. Begitu tenaga dalam ditarik balik gada itu berubah menyusut dan mengecil keujud aslinya yang cuma sebesar jari kaki se-panjang sejengkal. Sambil
memasukkan gada ke
balik celana dia menghampiri mayat Karma Sudira. Keadaan orang tua itu sungguh menggenaskan sekali, tubuh utuh tapi bagian perut robek besar. "Paman, aku menyesal tak dapat menolongmu. Tapi aku berjanji akan mencari kedua
anakmu!" kata si pemuda. Tak lama kemudian pemuda itu balikkan badan lalu
melangkah pergi!
7 Empat kuda kurus berlari kencang dengan
posisi saling berhimpitan. Keempat kuda itu dilihat sepintas lalu bagai kuda
liar yang tidak ber-penunggang sama sekali.
Sebenarnya tidak, karena di atas ke empat
punggung kuda tergeletak menelentang seorang
pemuda berpakaian serba putih. Pemuda berambut gondrong ini nampaknya tengah tertidur lelap, dua mata terpejam. Sedangkan kedua tangan
bersilangan di depan dada.
Dalam keadaan berlari kencang tak perduli
segala rintangan, sesekali tubuh si pemuda bergoyang keras, tak jarang tubuhnya terangkat naik kemudian jatuh kembali di atas
punggung kuda. Di satu tempat setelah melewati tikungan
jalan yang diapit dua tebing tinggi, ke empat kuda mendadak berhenti serentak.
Keempatnya keluarkan suara ringkikan, kaki depan sama diangkat.
Hingga pemuda yang tidur memberlintang di atas
ke empat punggung meluncur ke bawah dan jatuh bergedebukan. Hempasan yang keras membuat pemuda itu menggeliat disertai keluhan
pendek. "Setan alas, lagi enak tidur mengapa dibanting?" rutuk pemuda itu sedangkan tangan mengusap kedua matanya. Si gondrong
kemudian bangkit berdiri. Masih dengan mata mengantuk
dia memandang ke arah empat ekor kuda yang
mengangkat kaki depannya.
"Eeh... eh.... kuda kurus sialan, rupanya
kalian pikun semua. Tidak ada orang yang menyuruh berhenti, mengapa kalian berhenti. Kaki
diangkat seperti menghormat. Siapa yang kalian
hormati!" damprat si pemuda. Dia lalu melirik ke arah kantong perbekalan dimana
beberapa kendi tuak keras tersimpan disitu.
Pemuda gondrong yang suka berganti-ganti
pakaian ini mengusap perutnya. "Hmm, panas di siang ini memang panas sekali. Aku
jadi haus. Lebih baik kucicipi tuak harum sekalian istirahat melepas lelah." Lalu si pemuda
menghampiri kantong perbekalannya. Setelah mengambil sekendi
tuak besar dia tepuk ke empat pinggul kuda. "Turunkan kaki kalian dan
bersikaplah yang manis!"
Empat kuda turunkan kaki depannya, tapi


Gento Guyon 18 Iblis Edan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

para binatang itu tetap keluarkan suara ringkik gelisah. Bersikap tak perduli si
pemuda melangkah ke arah tebing, lalu duduk sambil menyandarkan tubuhnya di bawah tebing itu. Si pemuda
kemudian meletakkan kendi besar di atas pangkuan. Penutup kendi dibuka, dari mulut kendi
yang terbuka tercium aroma wangi tuak yang menyengat. Caping hidung si pemuda bergerak-gerak.
Mulutnya berguman. "Hmm, harum sekali."
Tak berselang lama mulut kendi diangkat
dan didekatkan ke mulutnya. Terdengar suara
bercelegukan penuh nikmat. Setelah isi kendi
hanya tinggal setengah saja si gondrong letakkan kendi di atas tanah. Dengan
punggung tangan dia menyeka mulutnya yang berselemotan tuak. Wajah pemuda itu
berubah kemerahan, matanya juga secara perlahan ikut memerah. Hawa panas
mengalir menghangati sekujur tubuh pemuda itu.
Kini dia merasakan tubuhnya menjadi enteng.
Si gondrong yang bukan lain Setan Sableng
adanya tertawa gelak-gelak.
"Ha ha ha. Kucari sampai pusing kepala
ini, orang itu tidak kunjung aku temukan. Agaknya aku merasa perlu segala sesuatunya berlalu
begitu saja. Hmm, Mbah Setan juga manusia
edan. Memberi keterangan tidak pernah komplit.
Akhirnya aku dibuat pusing. Ayahku konon dijebloskan ke dalam penjara oleh Suryo Lagalapang.
Aku tidak tahu apakah sekarang dia masih hidup
atau sudah jadi almarhum. Mestinya kucari dia,
tapi aku tidak tahu dia dipenjarakan di tempat
mana" Guruku Mbah Setan malah menganjurkan
agar aku mencari saudaraku. Namanya aku tidak
tahu, menurut keterangan Mbah Setan di bagian
ketiak saudaraku itu ada tahi lalatnya. Bagaima-na aku bisa mengenali jika
seandainya di semua
ketiak laki-laki ada bulunya" Ha ha ha. Mbah Setan memang setan ngacok,
berbelit-belit seperti angin yang melewati usus. Uuh, panas sekali.
Pusing kepalaku lebih baik aku minum lagi."
Cengengesan seorang diri Setan Sableng angkat
kendinya. Mulut dibuka...
Gluk! Gluk! Gluk!
"Sedap betul!" kata pemuda itu dengan mulut mendecap-decap.
"Minum tuak memang enak, apalagi jika
mau berbagi dengan sahabat. Sayang kerakusan
terkadang membuat manusia lupa diri, lupa saudara lupa pula pada teman.!" kata satu suara me-nyambuti ucapan Setan Sableng.
Terkejut pemu- da itu hingga membuatnya memutar kepala,
edarkan pandang. Si pemuda jadi tercengang ketika tatap matanya membentur satu sosok bertelanjang dada berambut gondrong bercelana hitam. "Eeh, kau bukankah pemuda edan yang
pernah bertemu denganku beberapa hari yang lalu" Mana sahabatmu orang tua pikun itu?" tanya Setan Sableng sambil mengumbar
tawa. "Kau betul Setan. Meskipun sableng rupanya otakmu yang miring itu masih mampu
mengingat dengan baik!" sahut si gondrong bertelanjang dada. Pemuda itu tertawa.
Setan Sableng menunjuk-nunjuk ke arah si gondrong.
"Sekarang aku baru ingat, bukankah kau
yang menyandang gelar Pendekar Sakti 71 Gento
Guyon" Aaaa.... tampang tidak meyakinkan begitu menyandang gelar Pendekar Sakti segala." Setan Sableng berkata mencemo'oh,
lalu kembali meneguk tuaknya.
"Sedap betul!" celetuk Gento meniru ucapan Setan Sableng.
"Ha ha ha. Rupanya aku yang minum kau
yang menikmati rasanya. Hebat, baru kali ini aku melihat ada orang memiliki
kelebihan seperti dirimu." kata Setan Sableng mengolok.
"Setan, kalau minum jangan dinikmati
sendiri. Sejak tadi tenggorokanku kering. Aku
haus, jika kau mau memberi barang sedikit, tentu aku sangat berterima kasih
sekali!" "Oh oh, aku lupa. Beberapa hari yang lalu
aku sudah berjanji akan mengajakmu minum.Eh, temanmu orang tua itu kemana"! Lebih baik
kau panggil kesini, kita ajak minum bersama."
Gento terdiam, wajahnya muram. "Orang
tua itu sudah menjadi almarhum. Dia terbunuh
ditangan Wisang Banto Oleng."
Mata Setan Sableng terbuka lebar. "Apa
kau bilang, dia sudah mati. Aku tidak tuli, tapi coba kau ulang sekali lagi
ucapanmu tadi?"
"Setan Sableng, orang tua itu sudah mati!
Kau dengar?" kata Gento Guyon.
Setan Sableng tepuk keningnya. "Akh, tak
kusangka. Menyedihkan sekali nasibnya. Biarlah
aku mengucapkan turut berduka cita. Untuk
mengenang arwahnya kuteguk tuak ini.
Gluk...gluk...gluk...!"
"Setan Sableng bukan begitu cara mengenang kepergian orang!" teriak Gento Guyon, dia lalu bangkit berdiri kemudian
melangkah lebar
mendatangi Setan Sableng.
"Jadi bagaimana?" tanya Setan Sableng.
Kendi tuak diturunkan lalu diletakkan di atas tanah kembali.
"Kau harus berdoa!"
Setan Sableng tepuk keningnya. "Kau betul, aku sampai lupa." Kemudian pemuda itu angkat kedua tangannya, wajah
tengadah memandang ke langit sedangkan mulut komat-kamit
seperti orang yang membaca doa. Tidak menunggu lebih lama, Gento sambar kendi tuak di samping Setan Sableng, kemudian dia meneguk isinya.
Gluk! Gluk! Gluk!
"Hei...!" Setan Sableng hentikan doa dan langsung berseru. "Mengapa kau meminum
tua- kku selagi aku berdoa?"
"Ha ha ha. Kau yang berdoa dan aku yang
minum tuakmu!" sahut Gento. Setan Sableng terdiam. Tapi kemudian dia manggutmanggut. "Aku berdoa, kau minum tuak." gumam Setan Sableng. "Satu pekerjaan yang tidak
lucu, tapi buat apa aku mendoakan orang yang sama sekali
tidak kukenal. Semua itu hanya membuang waktu sia-sia. Padahal aku sendiri saat ini sedang mencari seseorang."
Terdiam beberapa jenak sambil meletakkan
kendi ke atas tanah Gento menatap tajam ke arah Setan Sableng. "Sobat Setan
Sableng apakah seseorang yang kau cari itu dalam ujud manusia
adanya atau makhluk lelembut jejadian?"
"Kurang ajar, tentu saja manusia seperti
halnya diriku." dengus pemuda itu dengan mulut terpencong.
"Kalau dia manusia siapa orangnya?"
Setan Sableng gelengkan kepala. "Aku tidak kenal. Guruku mengatakan dia saudaraku
satu-satunya."
"Namanya siapa" Apa kau pernah bertemu
dengan saudaramu itu?" tanya Gento.
"Aku tidak pernah bertemu, namanya pun
aku tak mengenalnya."
"Aneh, bertemu belum pernah, namanya
juga kau tidak tahu. Agaknya kegilaanmu membuat kau tidak mengenal saudara sendiri. Ha ha
ha. Bagaimana kau bisa menemukannya kalau
nama saja tidak kenal?"
Setan Sableng kemudian ikut pula tertawa.
"Sobatku, bagaimana aku bisa mengenal orang, sedangkan pada waktu itu aku masih
bayi yang tidak bisa mengenali siapapun?"
"Oh, jadi kau terpisah dengan saudaramu
sejak masih kecil" Kasihan sekali. Jadi bagaima-na kau bisa menemukan saudaramu,
memang kau ini anak siapa?" tanya Gento.
"Walaupun aku tak mengenalnya, menurut
guruku Mbah Setan saudaraku itu mempunyai
tanda berupa tahi lalat di bagian bawah ketiaknya. Sedangkan mengenai ayahku, guru tidak
pernah menjelaskan."
Pendekar Sakti 71 Gento Guyon begitu Setan Sableng menyebut ciri-ciri orang yang dicarinya jadi melengak kaget.
Dia memandang pada Setan Sableng beberapa jenak lamanya dengan tatapan tak berkesip. 8
Setan Sableng sendiri yang menjadi pusat
perhatian orang tentu jadi salah tingkah. "Sobatku gondrong, matamu mendelik,
mulutmu ternganga seperti orang tolol. Apakah dimatamu
aku ini sudah berubah menjadi bidadari cantik,
atau seorang dara berbadan montok?"
"Sama sekali tidak. Segala keteranganmu
itu mengingatkan aku pada seseorang. Seseorang
yang baru saja meninggal." kata Gento dengan wajah muram.
"Ah, banyak amat temanmu yang meninggal" Heh, sobatku jangan membuat aku jadi bingung. Coba katakan siapa temanmu yang meninggal itu?"
"Sahabatku yang tewas adalah mendiang
paman Karma Sudira. Orang yang telah kuceritakan tadi. Dia bekas adipati Purbolinggo. Hidup
orang tua itu penuh penderitaan. Sejak badai fitnah melanda kehidupannya, sejak
kekuasaannya digulingkan oleh Suryo Lagalapang. Dia bukan
saja kehilangan jabatan dan terpaksa meringkuk
di penjara selama belasan tahun. Tapi paman
Karma Sudira juga kehilangan mata rantai penting dalam hidupnya. Sampai ajal datang menjemputnya dua mata rantai yang hilang itu belum di-temukannya. Aku sebagai orang
yang diberi amanat, sebagai sahabatnya tetap akan mencari dua
anak turunnya yang hilang." ujar Gento.
Setan Sableng nampak bingung mendengar
penjelasan Gento. Dalam bingungnya dia meneguk tuak. Setelah beberapa tegukkan dia letakkan kendi tuak di depan Gento.
Dengan suara bergetar Setan Sableng ajukan pertanyaan. "Sahabat Gento, mendengar
penjelasanmu hatiku jadi tidak enak. Konon kudengar diriku ini juga masih ada
hubungan darah dengan adipati Purbolinggo yang
lama. Tapi aku Setan Sableng tidak berani mengakui sebagai anak turun manusia terhormat.
Guruku hanya mengatakan aku punya saudara
yang memiliki tanda di bagian ketiaknya."
"Paman mendiang Karma Sudira juga mengatakan anaknya yang paling sulung mempunyai
tanda seperti yang kau katakan. Hanya dia tidak tahu bagaimana anaknya yang
nomor dua, apa masih hidup atau sudah berpulang. Kalau masih
hidup apakah dia sudah menjadi orang sakti,
atau malah menjadi manusia edan. Waktu itu dia
belum sempat memberinya nama ketika seseorang yang agaknya memiliki kepandaian tinggi
menyelamatkan bocah itu dan membawanya pergi." jelas murid kakek gendut Gentong Ketawa se-rius. Segala uraian yang
diucapkan Gento ini
membuat Setan Sableng merasa dadanya menjadi
sesak, sekujur tubuhnya menggigil, wajah basah
oleh keringat. Setan Sableng tundukkan wajahnya, sepasang matanya berkaca-kaca. Dia mencoba hendak mengatakan sesuatu, tapi hanya bibirnya saja yang bergetar, tenggorokan mendadak kering dan lidah kelu tak dapat
digerakkan. Melihat ada air mata yang menetes dari sepasang mata Setan Sableng, Gento jadi tersenyum.
"Eeh, sobatku Setan Sableng. Apakah temanmu ada yang mati hingga kau jadi sedih malah titikkan air mata segala. Orang mati tak usah kau tangisi. Lebih baik kita
adakan pesta tuak, biar lenyap segala kegundahan dan kesedihan hidup yang
mengganjal di dalam hatimu. Ha ha ha."
Tak terduga Setan Sableng gerakkan tangannya ke arah Gento.
Wuuus! Angin menderu menghantam tubuh pemuda itu. Tak menyangka mendapat serangan yang
tidak terduga ini Gento tak sempat menyelamatkan diri. Pemuda itu jungkir balik lalu jatuh terkapar di atas tanah.
"Setan sialan. Teganya kau menyerang diriku?" damprat Pendekar Sakti 71 Gento Guyon sambil bangkit duduk dia mengusap
dadanya yang mendenyut.
"Sahabat Gento." Setan Sableng berkata li-rih, bersikap tenang seolah tidak
pernah terjadi sesuatu diantara mereka. "Orang tua yang kau sebutkan itu
pastilah ayahku. Akulah anak yang
belum diberinya nama. Kemudian ketika Suryo
Lagalapang menyerang kadipaten dengan bantuan prajurit kerajaan, Mbah Setan membawaku
pergi. Menyesal sekali ketika kau datang bersamanya waktu itu aku malah menghinanya. Huk
huk huk." Setan Sableng tiba-tiba menangis menggerung.
"Setan Sableng, jangan kau tangisi orang
yang sudah mati. Semua itu hanya membuat
rohnya tidak tenang. Masih bagus lagi kita bikin acara selamatan."
"Hu hu hu. Bapak... emaak.... ayah....
ohooo...!" Tidak menghiraukan ucapan Gento Setan Sableng terus saja menangis
sejadi-jadinya.
Gento beringsut mendekati. Setelah dekat diusapnya rambut Setan Sableng yang hitam lebat.
Tangis Setan Sableng semakin terguguk. Entah
dia merasa terharu atas perlakuan Gento atau
sedih ditinggal mati orang yang juga dalam penca-hariannya selama ini.
"Setan Sableng, engkau ini laki-laki atau
banci" Kalau laki-laki mengapa secengeng ini?"
"Setan kau. Orang bersedih mengapa dilarang?" dengus Setan Sableng. Seketika Setan Sableng hentikan tangisnya. Laksana
kilat pemuda itu gerakkan tangan kanannya. Dilain saat rambut gondrong Gento sudah kena dijambaknya.


Gento Guyon 18 Iblis Edan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gento jadi kelabakan. "Hei, apa-apaan
kau" Apa sudah gila" Lepaskan cengkeramanmu.!" hardik si pemuda.
Bukannya dilepas, Setan Sableng malah
memperkuat jambakannya hingga Gento meringis
kesakitan. "Rambutmu akan kubetot jika kau tidak
mau mengatakan siapa orang yang membunuh
ayahku"!"
"Setan gila. Otakmu pasti miring, tadi juga aku kalau tak salah sudah aku
katakan padamu bahwa yang membunuh paman Karma Sudira
adalah Wisang Banto Oleng. Wisang Banto Oleng
adalah kaki tangan Suryo Lagalapang. Kau paham"!" habis berkata Gento cengkeram tangan orang yang menjambaknya. Setan
Sableng menjerit, lalu lepaskan cengkeramannya pada rambut
Gento. "Sialan kau, modol rambutku!" maki pemuda itu sambil beringsut menjauh.
Setan Sableng tersenyum, namun wajahnya tetap menunjukkan tampang sedih. Dengan
sikap acuh Setan Sableng berucap. "Jadi penyebab kesengsaraan dan penderitaan
sekaligus ke- matian ayahku adalah Suryo Lagalapang" Kurang
ajar, aku tidak akan membiarkan adipati itu hidup lebih lama. Aku juga akan mencari Wisang
Banto Oleng, aku harus membuat perhitungan
dengannya!" geram Setan Sableng sambil kepal kedua tinjunya.
Gento menyahuti. "Membuat perhitungan
dengan Suryo Lagalapang adalah persoalan yang
gampang. Apa lagi aku telah membuat remuk
tangan Wisang Banto Oleng. Orang tua itu adalah tangan kanan sekaligus orang
yang paling diandalkan oleh Suryo Lagalapang. Dua kakek yang
kau bunuh beberapa hari yang lalu juga merupakan kaki tangannya. Aku belum tahu berapa
orang kaki tangannya yang bercokol di Kadipaten.
Hanya menurutku setelah para pentolan yang
menjadi andalan adipati kita singkirkan, untuk
menyeret adipati ke tiang gantungan kurasa kita tidak akan menemui banyak
kesulitan. Tapi seperti katamu tadi, kukira untuk sementara ini
memang ada baiknya jika kita mencari saudaramu dulu. Nanti bila kita sudah menemukannya
baru secara bersama-sama kita buat perhitungan
dengan adipati." kata Gento mengajukan usul.
Setan Sableng manggut-manggut, apa yang
dikatakan Gento mungkin memang ada benarnya.
Karena itu dia berkata. "Seperti yang kau lihat, kudaku ada empat ekor. Tapi
semuanya kurus.
Aku tak mungkin meminjamkan salah satu diantaranya kepadamu. Satu kupinjamkan padamu,
tiga temannya bisa marah besar. Jadi kau tetap
berjalan kaki, sedangkan aku tetap menunggang
kuda itu."
"Ha ha ha. Bagiku buat apa menunggang
kuda kurang makan begitu. Tubuhnya menebar
bau pesing. Lebih baik aku berjalan dengan kedua kakiku sendiri. Tapi aku tidak akan pergi
bersamamu," ujar Gento.
Setan Sableng jadi heran. "Jadi kau pergi
dengan siapa?"
"Sendiri saja. Aku ke arah timur, sedangkan kau ke arah utara. Apapun yang terjadi, dua hari yang akan datang kuharap
kau mau me-nungguku di gerbang sebelah selatan kadipaten.
Kuharap salah seorang bisa menemukan saudaramu." "Aku setuju. Tapi nampaknya kita akan repot." "Apa maksudmu?" tanya
Gento. Setan Sableng tertawa lebar. "Bagaimana
tidak repot. Untuk menemukan tanda di bawah
ketiak bukan pekerjaan mudah. Kau harus memeriksa ketiak setiap orang yang lewat. Jika pe-runtunganmu bagus orang kita
cari pasti cepat
kita temukan, tapi jika apes kau harus rela
menghitung bulu ketiak orang. Ha ha ha!"
"Setan sial. Kukira apa." damprat Gento sambil mengusap wajahnya. Setan Sableng
bangkit berdiri. Dia menepuk bahu Gento. Murid si
gendut Gentong Ketawa ikut pula berdiri. Sebelum pergi Setan Sableng berkata. "Atas segala ke-baikanmu aku tidak dapat
memberikan sesuatu
yang berarti." Setan Sableng lalu merogoh saku celananya. Begitu tangan ditarik
dalam kepalan tangan pemuda itu tergenggam sesuatu. Gento
kerutkan keningnya sambil membatin. "Eh, si sableng ini rupanya hendak memberiku
apa?" Di depannya Setan Sableng ulurkan tangannya. "Kau terimalah! Jangan kau tanya apa yang kuberikan padamu, jangan pula
kau buka sebelum aku pergi. Jangan lupa, dua hari mendatang kau kutunggu di selatan Kadipaten. Selamat tinggal Gento, selamat
menikmati!" berkata begitu Setan Sableng sambil tertawa mengekeh sambar
kendi tuaknya. Dilain kejab tubuhnya berkelebat.
Sebentar kemudian dia sudah rebah menelentang
di atas punggung kuda. Masih dengan tertawatawa Setan Sableng berseru ditujukan pada ke
empat kuda yang menjadi tunggangannya. "Kudaku kuda kurus. Kuda pembawa berkah
kuda sangat berguna! Mari kita tinggalkan Si gondrong gila!" Empat kuda meringkik
keras, laksana terbang berlari cepat meninggalkan Gento. Dilain kejab empat kuda
dan Setan Sableng lenyap dari
pandangan mata.
Sepeninggalan Setan Sableng, Gento memperhatikan buntalan kecil yang terbungkus daun
pisang kering. Begitu bungkusan terbuka tercium bau harum semerbak. Gento
menyengir lalu men-gendus benda dalam bungkusan yang cuma sebesar ibu jari itu.
"Dasar Setan Sableng, memberi gula-gula
saja seperti orang memberi batu permata. Dari
mana Setan Sableng mendapatkan makanan ini.
Baunya saja sudah wangi, apalagi rasanya.
Hemm...!" Pendekar Sakti 71 masukkan gula-gula berwarna cokelat kehitaman.
Setelah itu dia men-gunyah dan menelannya.
"Enak, sedap sekali." katanya seorang diri.
Tapi tak berapa lama kemudian mendadak wajah
Gento berubah, kening mengernyit mata melotot.
Bersamaan dengan itu Gento mendekap
perutnya yang mules mendadak.
"Sialan....uuh, suakitnya perutku. Kurang
ajar, Setan Sableng mengerjai aku...!" rutuk Gento.
Semakin lama rasa mulas semakin menjadi-jadi. Terbungkuk-bungkuk Gento merintih.
"Setan...isi perutku serasa mau ambrol. Aku, walah aku seperti mau buang hajat.
Kurang ajar Setan Sableng. Manusia edan yang satu itu sungguh keliwatan. Aku
jadi tak tahan...!" terbungkuk-bungkuk Gento Guyon pergi ke balik semak belukar di sebelah kiri lamping bukit. Celana diturunkan ke bawah. Tubuhnya kemudian
lenyap, men- dekam dibalik semak belukar. Dari balik semak
pula Gento menggerutu. "Setan edan, awas! Aku pasti akan balas semua apa yang
kau lakukan padaku hari ini!"
9 Berlari dengan tubuh terhuyung sambil
membawa cidera hebat di bagian tangan dan tulang iganya Wisang Banto Oleng seakan tidak
menghiraukan arah tujuan.
Tanpa disadari langkah kaki orang tua itu
telah membawanya ke Kadipaten. Saat itu matahari baru saja tenggelam di upuk sebelah barat.
Begitu si kakek menginjakkan kaki di halaman
Kadipaten beberapa penjaga gedung langsung
mengurungnya, namun segera mundur teratur
begitu mengenali siapa orang yang datang.
Malah kepala penjaga yang berada disitu
keluarkan seruan kaget melihat cidera hebat ditangan kiri juga dibagian dada orang itu. "Kakek Wisang Banto Oleng, apa yang
terjadi dengan dirimu?" Si kakek sambil menyeringai kesakitan mendengus.
"Manusia sialan, sudah tahu aku mendapat luka begini rupa mengapa kalian tidak
membantuku. Cepat gotong aku. Saat ini aku sudah hampir tidak kuat berjalan!"
Karena takut pada kakek angker yang selama ini mereka anggap memiliki segudang ilmu
hebat, maka tanpa menunggu lebih lama lagi kepala penjaga dengan dibantu tiga penjaga lainnya langsung menggotong Wisang
Banto Oleng. Tangan kiri si orang tua nampak terkulai gondalgan-dil begitu para
penjaga itu mendukungnya. Dari
mulut si kakek terdengar suara erangan tak berkeputusan. "Bawa aku ke ruangan pertemuan, panggil
Suryo Lagalapang untuk menemuiku segera!!" perintah si kakek dengan suara
tersendat, sedang
nafas megap-megap.
"Baik kek." sahut kepala penjaga. Tak lama begitu selesai membaringkan orang tua
itu kepala penjaga bergegas pergi. Tiga penjaga menunggu
disitu. Barulah setelah adipati muncul, tiga penjaga beranjak keluar untuk
melaksanakan tugasnya. Suryo Lagalapang tertegun begitu melihat
keadaan si kakek, manusia yang selama ini paling diandalkannya kini terkapar
tidak berdaya dalam keadaan tangan patah dan tiga tulang iga remuk.
Sungguh apa yang dia lihat seolah merupakan
suatu kenyataan yang sulit dipercaya.
"Suryo Lagalapang, kau berdiri tegak disitu tak melakukan sesuatu, seakan kau
tak mengenal sesuatu. Cepat lakukan sesuatu, ambil tiga lembar daun bakung, kau sediakan darah tiga ekor
ayam hitam, apa yang aku pinta tadi lekas bawa
kemari!" hardik Wisang Banto Oleng.
"Jahanam tua keparat ini, sudah mau
mampus begini juga masih suka membentakku!"
maki Suryo Lagalapang geram. Walau begitu dia
cepat berpaling pada kepala penjaga. "Kau dengar apa yang diminta orang tua ini.
Lekas kau sediakan tiga lembar daun bakung dan darah tiga
ayam hitam!" dengus laki-laki itu dengan mata mendelik.
Kepala penjaga jadi ciut nyalinya. Dengan
terbungkuk-bungkuk dia balikkan badan, lalu segera tinggalkan ruangan.
Suryo Lagalapang datang menghampiri,
kemudian duduk bersimpuh tak jauh dari tempat
pembaringan si kakek. Sebenarnya banyak yang
ingin ditanyakannya pada kakek itu, termasuk
juga siapa yang telah membuatnya menderita cidera hebat begitu rupa. Namun melihat keadaan
si kakek yang lemah, Suryo Lagalapang telan
kembali keinginannya.
"Suryo.... bantu aku duduk.!" kata si kakek. Adipati lakukan apa yang diminta kakek
itu. Setelah duduk, Wisang Banto Oleng tatap
orang disampingnya dengan pandangan sulit ditebak. Setelah itu dia perhatikan lengan kirinya yang patah juga tiga tulang
iganya yang mencuat keluar. Tubuh si kakek menggigil, matanya berki-lat aneh.
Mulutnya menggumankan sesuatu, lalu
berkemak-kemik seperti membaca mantra. Setelah itu tangan kanannya diangkat, telapak tangan dikembangkan, kemudian ditiup
tiga kali. Segala apa yang dilakukan Wisang Banto Oleng disaksikan oleh Suryo
Lagalapang. Tapi adipati itu tak berani bersuara atau ajukan pertanyaan. Dia
yakin tokoh sesat yang satu ini tengah berusaha
menyembuhkan luka hebat yang dideritanya.
Suryo Lagalapang terus menunggu apa kiranya
yang hendak diperbuat atau yang bakal terjadi
pada orang tua itu.
Wisang Banto Oleng setelah meniup telapak tangan kanannya langsung mengusapkan
tangan itu ke bagian tangan kiri yang remuk.
Sambil mengusap tangannya Wisang Banto Oleng
berseru. "Kemana perginya pengawal penjaga ta-di" Mengapa lama amat"!" teriak
Wisang Banto Oleng tidak sabar. Baru saja Suryo Lagalapang
hendak menjawab, penjaga kepala muncul membawa apa yang diminta oleh kakek itu. Darah
ayam hitam yang sudah diletakkan di dalam sebuah piring tanah berikut tiga lembar daun bakung di depan si kakek.
Piring tanah berisi cairan darah diangkat,
kembali mulut Wisang Banto Oleng berkemakkemik. Tak berapa lama tangan kanan yang memegang piring mengepulkan asap tipis merah,
menebarkan bau amis luar biasa. Tubuh si kakek
kemudian bergetar hebat. Seiring dengan itu si
kakek mengerang. Darah dalam piring tanah yang
mengepulkan asap dan laksana mendidih langsung ditumpahkan ke tangan dan iga yang patah.
Piring diletakkan dilantai, lalu tangan yang me-megang piring tadi digerakkan ke
lengan dan ba- gian iga yang patah.
Kraak! Kraak! Satu sentakan dilakukan si kakek, orang
tua yang sekujur tubuhnya diselimuti asap tebal menjerit. Tiga daun bakung satu
ditempelkan di bagian iganya, sedangkan dua yang lainnya langsung dibalutkan ke bagian lengan yang patah.
Tak berapa lama kemudian asap tebal yang
menyelimuti sekujur tubuh si kakek lenyap. Di
depannya Suryo Lagalapang tercekat, mata membeliak. Segala sesuatu yang terjadi di depan sang adipati memang sulit
dipercaya. Bagaimana
mungkin luka berupa patahnya tulang yang mengerikan itu bisa kembali seperti semula"
"Orang tua, tangan dan tulang igamu..."!"
seru Suryo Lagalapang. Di depannya sana Wisang
Banto Oleng tertawa tergelak-gelak. Kepala penja-ga yang juga ikut menyaksikan
semua kejadian itu bergidik ngeri.
"Orang tua ini sungguh luar biasa" Punya
ilmu apa dia" Mengherankan, tulang lengan dan
iganya yang dapat dia sembuhkan hanya dalam


Gento Guyon 18 Iblis Edan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

waktu sekejap?" batin kepala penjaga takjub. Dia lalu pergi dari ruangan itu.
Sementara si kakek yang bagian tulangnya berpatahan hentikan tawa.
Sejenak lamanya dia memandang tajam ke
arah Suryo Lagalapang. Orang itu ajukan pertanyaan. "Orang tua yang kuhormati. Jika tidak salah penglihatanku bukankah engkau
baru saja menggunakan ilmu Bubut Putih untuk menyambung lagi tulangmu yang remuk. Padahal kudengar ilmu langka ini hanya dimiliki oleh salah seorang tokoh sesat yang berdiam
di pesisir pantai selatan. Bagaimana kau bisa memiliki ilmu itu?"
"Orang yang kau maksud tentu Kanjeng
Romo Bantar Gading. Terus terang, dia adalah
orang tuaku." jawab Wisang Banto Oleng.
"Ah...!" Suryo Lagalapang keluarkan seruan tertahan. Selama ini dia tak tahu
kalau Wisang Banto Oleng, kakek yang selalu dimintai bantuannya masih punya hubungan darah dengan
Kanjeng Romo Bantar Gading. Dedemit nomor satu dari selatan yang sepak terjang dan kejahatannya membuat para setan sekalipun
merinding. Pantas saja Wisang Banto Oleng dapat menyembuhkan cidera berat pada tangan dan beberapa
tulang iganya, tak disangka kiranya dia merupakan anak momok dari pantai selatan itu.
"Orang tua, aku merasa bangga bersahabat
baik denganmu. Segala bantuanmu tak pernah
kulupakan. Tapi kalau boleh aku tahu, siapa
orangnya yang membuatmu menderita cidera begitu parah"!" tanya sang adipati memberanikan diri. Orang tua itu terdiam
sesaat, dua matanya yang seolah tenggelam ke dalam rongga berputar
liar, pipi menggembung, pelipis bergerak-gerak.
Jelas sekali si orang tua berusaha meredam gejolak amarah yang menyesakkan
dadanya. Sambil
menggeram Wisang Banto Oleng menjawab. "Aku telah melaksanakan apa yang kau
minta. Sayang ketika sampai di Wadaslintang orang yang kau
perintahkan padaku untuk membunuhnya tidak
berada di situ lagi. Aku cuma bertemu dengan gu-runya, aku labrak dia. Ketika
aku berhasil mencidera orang tua ini dia melenyapkan diri seperti setan.
Kemudian aku pergi mencari sasaran lainnya. Aku berjumpa dengan Karma Sudira...!"
Mendengar si kakek menyebut nama Karma Sudira, Suryo Lagalapang berjingkrak kaget.
Dengan suara bergetar dia bertanya. "Bagaimana bangsat tua itu bisa berkeliaran
bebas, padahal seharusnya dia meringkuk di penjara Ladang Wadas Cimangu."
Si kakek gelengkan kepala.
"Mengenai kebebasannya mana aku tahu.
Yang jelas dia bersama seorang pemuda sinting.
Pemuda itu bergelar Pendekar Sakti 71 Gento
Guyon. Akhir-akhir ini aku memang sering mendengar nama pemuda itu. Tak kusangka ternyata
ilmunya sangat tinggi. Konon dia murid seorang
kakek aneh bernama Gentong Ketawa, orang tua
sakti yang berdiam di lereng Merbabu." menerangkan si kakek.
Dengan cepat Suryo Lagalapang memotong.
"Tokoh sakti bertabiat seperti orang kurus, bertu-buh besar lebih dari dua ratus
kati. Apakah mungkin bangsat gendut itu masih hidup?"
"Mengenai hidup matinya bangsat gendut
itu mana aku perduli. Yang jelas senjata yang dipergunakan pemuda edan itu bukan
milik Gen- tong Ketawa. Atau kau pernah mendengar senjata
aneh bernama Penggada Bumi, Suryo?" tanya si kakek menyebut nama kecil sang
adipati. Kembali wajah Suryo Lagalapang menunjukkan rasa kaget. "Penggada Bumi, tiga puluh tahun yang lalu senjata itu pernah
menimbulkan kegegeran di timur tanah Jawa. Kehebatan senjata itu dapat membesar dan memanjang seperti...!"
Sang Adipati tidak meneruskan ucapannya, tapi
dekap mulutnya agar tidak tertawa.
Wisang Banto Oleng menanggapi. "Aku tahu maksudmu. Ketika terjadi kegegeran di timur
Jawa senjata itu ada di tangan Tabib Setan. Tabib gila yang sama memiliki watak
aneh sebagaimana
halnya Gentong Ketawa. Aku tidak tahu Pendekar
Sakti 71 punya hubungan apa dengan Tabib Setan. Yang jelas senjata itulah yang telah mematahkan tangan kiri dan menghancurkan tiga rusukku sebelah kiri!" geram si kakek.
"Artinya kita sekarang ini mendapat satu
kesulitan besar?" kata Suryo Lagalapang setengah bergumam.
Sambil menyeringai kecut si kakek anggukkan kepala. "Lalu bagaimana dengan Karma Sudira?"
Si kakek angker tersenyum sinis. "Orang
itu nyawanya sudah terbang ke neraka."
"Tapi aku akan melakukan sesuatu. Aku
akan memanggil lima bocah serigala untuk berjaga-jaga disini. Lima bocah serigala akan menjadi pelindungmu yang akan menjaga
dirimu dari jangkauan tangan siapapun."
"Bagaimana dengan dua anak Karma Sudira?" tanya Suryo Lagalapang begitu teringat dengan dua anak musuh besarnya.
"Keduanya akan kucari."
Dalam hati se-benarnya adipati tua ini merasa tidak puas mendapat jawaban seperti itu.
Bagaimanapun dia tak mungkin bisa hidup tenteram sebelum anak keturunan bekas adipati yang
lama dapat dibunuh selekas mungkin. Kedua pemuda itu pasti kelak bisa menimbulkan malapetaka baginya. "Suryo.... aku telah banyak membantu. Sekarang aku ingin tahu, apakah gadis yang kuinginkan dan hendak kupersunting menjadi istriku
itu sudah dapat kau tangkap?"
Pertanyaan Wisang Banto Oleng sempat
membuat adipati terkejut. Hanya sesaat saja rasa kagetnya lenyap, mulutnya
mengurai senyum.
"Orang tua, aku telah mengutus tiga orang keper-cayaanku untuk mencari Mutiara
Pelangi alias Puteri Kupu Kupu Putih. Harap kau mau bersabar karena orangku belum kembali. Lagipula sesuai perjanjian, kau harus membunuh dua orang
anak Karma Sudira. Jadi diantara kita masih ada ganjalan, artinya kita masih
belum menyelesaikan
apa yang menjadi tugas dan kewajiban masingmasing. Bukankah begitu"!" ujar sang adipati.
Dalam hati orang tua itu memaki. "Kewajiban belum lagi kau jalankan secara
penuh, kini kau me-nuntut apa yang menjadi hakmu. Apa kau kira
aku manusia tolol?"
Di depannya sana si kakek membelai jenggotnya, sedangkan tatap matanya memandang
tak berkesip pada adipati. Dalam hati dia berkata.
"Apa yang ada dibalik batok kepala manusia licik ini" Awas, jika ternyata dia
menipuku, nyawanya pasti tidak kuampuni. Malam nanti akan kukirim
kelima bocah serigala itu untuk menjadi pengawas di sini. Aku sendiri akan minta pada ayah
untuk memberiku pinjaman salah satu senjata
yang mungkin dapat kugunakan untuk menandingi Penggada Bumi milik Pendekar Sakti 71
Gento Guyon."
"Orang tua adakah kau keberatan dengan
ucapanku tadi?" tanya Suryo Lagalapang, diam-diam merasa khawatir.
"Sama sekali tidak. Aku tetap membantumu." "Aku merasa berterima kasih, orang tua."
Wisang Banto Oleng mendengus sinis.
"Hanya kau harus ingat, Suryo. Sekali kau
menyalahi janji, aku pasti akan minta upahku di-tambah dengan kepala dan
jantungmu. Ha ha
ha!" Tengkuk sang adipati mendadak menjadi dingin. Dia percaya ucapan kakek itu
bukan suatu bualan kosong. Ancamannya selalu dibuktikan.
Apalagi Adipati merasa kakek itu sudah begitu
banyak membantunya, sejak dulu ketika dia merampas jabatan adipati dari tangan Karma Sudira sampai sekarang.
"Baiklah orang tua. Aku tidak lupakan janjiku. Tapi kuminta kau membereskan dua pemuda itu secepatnya. Atau engkau membutuhkan
peta penunjuk jalan untuk menemukan mereka?"
Wisang Banto Oleng tertawa ngakak. "Mataku tidak buta, telinga belum tuli, buat apa segala macam peta" Aku harus pergi
sekarang!" kata si kakek. Orang tua itu kemudian bangkit berdiri.
Kemudian dia memutar tubuh tanpa menghiraukan sang adipati dia jejakkan salah satu kakinya ke lantai.
Duuk! Dess! Seketika Wisang Banto Oleng raib dari hadapan Suryo Lagalapang. Laki-laki itu berdecak
kagum, tapi hatinya digelayuti rasa cemas. Dia
tak berani membayangkan bagaimana andainya
tak dapat memenuhi keinginan si kakek. Apalagi
bila mengingat tiga orang utusan yang diperintahkannya untuk menangkap Mutiara Pelangi
sampai saat ini belum juga kembali.
10 Kembali pada kejadian di pinggir jalan yang
diapit dua tebing curam, Pendekar Sakti 71 Gento Guyon nampak keluar dari balik
semak belukar sambil membenahi pakaian bawahnya. Masih
dengan perasaan diwarnai kejengkelan pemuda
itu sandarkan tubuhnya di bawah sebatang pohon rindang. Bagian perutnya yang mulas kini
sudah terasa lega, tapi sekujur tubuhnya memang masih terasa lemas.
Dalam keadaan bersandar demikian rupa,
tiada henti Gento mengomel, tampangnya nampak cemberut. "Setan Sableng, rasanya aku tak bisa melupakan kejadian ini.
Sekali kau menga-dali aku, kelak kau akan tahu rasa." Gento mengusap wajahnya
yang pucat berkeringat. Dalam
keadaan seperti itu dia jadi teringat pada mendiang Karma Sudira. "Paman Karma Sudira, nalu-ri seorang ayah ternyata tidak
keliru. Kau pernah mengatakan ketika bertemu dengan Setan Sableng perasaanmu
jadi gelisah, hati tidak tenang.
Ternyata kau benar, Setan Sableng ternyata
anakmu. Tidak kusangka orang sewaras dirimu
mempunyai anak sableng. Walaupun dirimu kini
sudah almarhum, kau boleh bangga karena
anakmu punya kepandaian serta memiliki ilmu
sebagaimana yang kau harapkan. Tapi semoga
kau tidak kecewa karena disamping ilmu, dia juga mempunyai kelainan otak. Kalau
dia waras mana mungkin dia mengerjai teman sendiri." kata Gento bersungut-sungut.
Gento kembali terdiam, otaknya berfikir.
Dia jadi ingat dengan satu tugas lagi yang harus diselesaikannya. "Rumbapati,
pemuda yang satu itu juga harus kutemukan secepat mungkin. Adipati tidak bisa
kubiarkan duduk anteng di atas
singgasananya lebih lama. Orang tua itu harus
segera dipindahkan ke atas singgasananya yang
ada di neraka." kata si pemuda.
Sekali lagi dia mengusap wajahnya, dia baru saja berniat tinggalkan kawasan itu ketika
sayup-sayup dia mendengar suara langkah kuda
dari arah timur jalan.
"Rupanya ada lagi setan yang lewat di tempat ini!" Gento lalu memutar kepala memandang ke
arah suara kuda yang datang. Tak berselang lama di tempat itu muncul seekor kuda
besar berbulu cokelat. Kuda sebagus dan sebesar itu diperkirakan Gento hanya dimiliki oleh
kalangan orang penting Kadipaten.
Dengan seksama si gondrong memandang
ke atas punggung kuda. Ternyata penunggang
kuda besar itu adalah seorang pemuda berpakaian serba biru. Pemuda ini jadi kaget begitu
mengenali wajah si baju biru. Pemuda yang kini
menghentikan kuda tak jauh dari tempat Gento
berdiri bukan lain adalah pemuda yang telah
membunuh Ki Lurah Wanayasa dan yang telah
melarikan peta rahasia penunjuk jalan tentang
keberadaan anak almarhum Karma Sudira.
"Ular mencari pentung. Waktu itu dia lolos dari tanganku. Tapi kali ini aku tak
membiarkan hal itu sampai terjadi.!" batin Gento dalam hati.
Sementara itu si baju biru sebenarnya merasa heran melihat begitu banyak jejak kaki kuda di jalan yang dilaluinya. Dia
sendiri seperti sama diketahui sedang melakukan tugas mencari
orang-orang yang diperintahkan adipati untuk
membunuhnya, sekaligus menyelidik tentang
raibnya tiga orang kepercayaan adipati yang dipercaya untuk menangkap seorang gadis bernama
Mutiara Pelangi.
"Jejak kaki kuda ini nampaknya masih baru. Tapi siapa mereka. Kurasa perjalanan ke Wadaslintang masih jauh. Aku beruntung sempat
membawa kuda ini setelah berada di luar gedung
Kadipaten. Kalau tidak tentu waktuku terkuras
habis diperjalanan." berkata begitu si baju biru kitarkan pandang. Selagi si
pemuda sibuk memperhatikan keadaan disekelilingnya pada saat
yang bersamaan dia dikejutkan dengan terdengarnya satu suara keras menggelegar.
"Baju biru, pembunuh keji pencuri licik!
Agaknya dunia ini terlalu sempit bagi kita. Waktu itu kau berhasil lolos dari
tanganku. Dasar jodoh kini Tuhan mempertemukan kita! Ha ha ha."
Pemuda baju biru tercekat, sekaligus memandang ke arah mana suara yang terdengar berasal. Dia terperangah begitu melihat satu bayangan melesat dari bawah pohon,
bergerak lurus membubung tinggi ke atas sedang kaki melayang
siap menghantam remuk kepalanya.
Kalau si baju biru tidak jatuhkan diri hing

Gento Guyon 18 Iblis Edan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ga tubuh dan kepalanya sama rata dengan punggung kuda, tentu detik itu juga dia menemui ajal.
"Kurang ajar, tidak ketahuan ujung pangkal enak saja menyerang orang?" maki si baju bi-ru sambil memandang ke arah
berkelebatnya sosok yang menendang bagian kepalanya tadi.
Di sebelah kiri jalan si baju biru melihat
seorang pemuda berambut gondrong bertelanjang
dada. Yang membuat si baju biru jadi terkejut karena dia merasa pernah bertemu
bahkan sempat bentrok dengan pemuda itu. "Kk....kau...?"
Gento menyeringai, dengan suara perlahan
dia menyahut. "Ya... aku. Aneh bukan" Kita ini seperti saudara saja selalu
dipertemukan oleh
Tuhan. Sayang walaupun sering bertemu namun
aku tidak pernah tahu namamu. Agar lebih enak
dan terasa lebih akrab bagaimana kalau kau kupanggil kadal biru saja" Ha ha ha."
Sepasang mata pemuda baju biru itu mendelik, pelipis bergerak-gerak. Dengan marah dia membentak. "Pemuda edan aku
tidak punya waktu untuk melayanimu?"
"Kau tidak punya waktu" Hem, rupanya
adipati sudah memberimu satu jabatan penting
yang membuatmu benar-benar sibuk. Kau boleh
pergi, tapi tinggalkan dulu peta rahasia itu berikut nyawamu sebagai pengganti
nyawa Ki Lurah!"
ujar Gento tegas.
"Kau kira semudah itu. Jika beberapa hari
yang lalu aku terpaksa menghindar darimu semata-mata bukan karena takut, tapi karena aku ingin menyelamatkan peta itu. Sekarang kau ingin
minta nyawaku, kalau kau mampu ambil sendiri.!" tantang si baju biru.
Pendekar Sakti 71 Gento Guyon tersenyum. "Kau kelewat takabur bunglon biru. Apakah begitu aku menuliskan namamu
dibatu nisan kuburmu nanti, atau kau punya nama lain?"
"Kau rupanya penasaran. Dengar baikbaik, namaku Menak Sangaji. Aku akan cabut
nyawamu agar tidak usil lagi ikut campur segala urusanku!" dengus si baju biru.
Murid kakek gendut Gentong Ketawa berjingkrak kaget bahkan sempat surut satu langkah. Sepasang matanya mendelik seperti melihat
setan. "Aku belum tuli, kujamin pendengaranku masih bagus. Tapi coba kau ulangi
siapa namamu tadi?" tanya si pemuda.
Si baju biru dongakkan kepala ke langit,
kemudian dia tertawa tergelak-gelak.
"Aku Menak Sangaji. Kau dengar"!"
Mendengar si baju biru sebut namanya,
Gento Guyon mendadak mengumbar tawanya.
Menak Sangaji tentu saja menjadi terheran-heran.
Dengan suara keras dia menghardik. "Gondrong sinting apakah namaku kau anggap
sebagai sesuatu lelucon?"
Tawa Gento sirap mendengar pertanyaan
itu. Kini dia memandang lurus ke depan dengan
tatapan tajam menusuk.
Setelah itu dia menjawab. "Namamu memang tidak lucu, tapi begitu kau menyebut namamu sendiri aku jadi ingat seseorang. Seorang
guru yang bergelar Raja Pengemis. Dia punya seorang murid keparat, murid yang
tak tahu berteri-ma kasih dan membalas kebaikan orang. Aku ditugaskan oleh orang itu untuk mencari muridnya
yang telah mencuri Jimat Sakti Lisus Sukmo.
Orang tua itu berpesan jika aku bertemu dengannya aku dimintanya untuk mengambil Jimat Sakti Lisus Sukmo dari tangannya. Tapi aku ingin
membantu meringankan beban Raja Pengemis.
Aku bukan saja hanya sekedar mengambil jimat
sakti itu, tapi juga akan menguras seluruh ilmu kesaktian orang itu hingga
keadaannya tidak
ubahnya seperti kere dipasar."
Wajah si baju biru mendadak berubah
memutih laksana mayat begitu mendengar ucapan Gento. Semua ini tentu saja sempat dilihat
oleh pemuda itu. Sehingga pemuda itu ajukan
pertanyaan. "Kadal biru itulah tugas yang harus kujalankan. Yang membuat aku
tertawa karena namamu dan nama pemuda kadal murid murtad
itu sama persis. Apakah ini hanya satu kebetulan, atau kau memang orangnya"!"
Dengan cepat si baju biru menjawab. "Banyak orang didunia ini yang memiliki kemiripan
wajah dan persamaan nama. Mengapa kau begitu
merasa yakin kalau diriku ini adalah orang yang kau cari?" dengus si baju biru.
Gento tertawa pendek. "Aku tidak berpendapat begitu. Aku cuma ingin bertanya apakah
kau pernah merasa punya seorang guru bergelar
Raja Pengemis?"
Menak Sangaji gelengkan kepala. "Tidak.
Aku tidak punya guru dengan gelaran jelek seper-ti itu!" "Salah satu ucapan
manusia murtad memang begitu. Untuk membuktikan benar tidaknya
pengakuanmu ini hanya ada satu cara, aku akan
geledah tubuhmu. Jika ternyata ditubuhmu tidak
kudapatkan Jimat Sakti Lisus Sukmo berarti
pengakuanmu itu memang benar adanya."
Menak Sangaji yang masih duduk di atas
punggung kuda tertawa terbahak-bahak. "Kau ingin menggeledah diriku, lakukanlah.
Aku sama sekali tidak merasa memiliki apa yang kau katakan, jadi untuk apa aku takut.?" kata pemuda itu. Selesai bicara Menak Sangaji
melompat turun dari atas punggung kuda. Sikapnya seperti orang pasrah dan
terkesan mengalah. Gento terdiam
berfikir, mata menatap pada si baju biru. Tak la-ma kemudian dia pun menghampiri
Menak San- gaji. Sejarak dua tombak di depan pemuda baju
biru Gento berhenti. Menak Sangaji sunggingkan
senyum bersahabat. "Mengapa ragu, aku sama sekali tak bermaksud melakukan
kecurangan. Kau mau memeriksa diriku, lakukanlah. Jika
benda yang kau maksudkan tadi memang ada ditanganku kau boleh mengambilnya. Aku bahkan
tidak akan melawan seandainya pun kau menguras ilmuku." ujar pemuda itu perlahan. Tapi di-am-diam sebenarnya dia sudah
menyiapkan pu- kulan keji bertenaga dalam tinggi di tangan kiri kanannya. Bagaimanapun dia tak
mau kehilangan benda sakti yang dicari si gondrong karena
jimat itu memang ada ditangannya.
Di depannya sana tanpa merasa ragu lagi
Gento segera mendekati. Sejarak satu setengah
tombak tanpa pernah diduga oleh sang pendekar
laksana kilat dua tangan Menak Sangaji berkelebat ke depan menghantam murid Gentong Ketawa. Gento terkejut luar biasa, dalam keadaan
seperti itu dan tak menyangka lawan menyerang
dirinya, Gento tentu tak mungkin dapat selamatkan diri. Dalam kagetnya dia hanya sempat
dorongkan kedua tangan yang berisi sepertiga da-ri seluruh tenaga dalam yang dia
miliki. Tapi pukulan lawan yang mengandung hawa dingin luar
biasa membuat tangkisan yang dilakukannya tak
dapat diharapkan berbuat banyak dalam menolong dirinya. Tak dapat ditahan lagi Gento pun jatuh
terpelanting. Pemuda itu keluarkan jerit tertahan.
Di depan sana Menak Sangaji tertawa tergelakgelak. "Gento Guyon pendekar bodoh, kau mengira dengan semudah itu aku
menyerahkan Jimat
Sakti Lisus Sukmo. Nyawamu dulu serahkan padaku, setelah itu baru kuserahkan barang yang
kau minta!" dengus si pemuda sinis.
Gento mengerang, sekujur tubuhnya terasa
dingin laksana beku. Kepala berdenyut sakit laksana mau pecah, pandangan
berkunang-kunang,
sedangkan dada sakit seperti ditindih batu gunung. Sambil menahan derita sakit yang sungguh
luar biasa sekali coba kerahkan tenaga sakti berhawa panas yang bersumber dari
bagian pusar- nya. Sekali dia mencoba, gagal. Sekali dicobanya lagi. Pada kali yang kedua
perlahan Gento dapat merasakan adanya hawa panas yang mengalir deras dari bagian
pusarnya. Hawa panas menjalar
serentak, sebagian mengarah pada bagian kaki,
sebagian lagi ke atas hingga sampai keseluruh
tubuhnya. Terhuyung-huyung sambil katubkan bibirnya Gento bangkit berdiri. Dari sudut mulutnya
yang meneteskan darah keluar satu erangan.
Dengan pandangan nanar Gento menatap lurus
ke depan. Saat itu dia melihat Menak Sangaji
membuka kancing baju dibagian atas, dari balik
baju di bagian dada dia menarik sesuatu berwarna hitam berbentuk empat persegi.
"Manusia jahanam. Pasti benda itu yang
menghantam Ki Lurah. Ya, aku ingat, saat itu da-ri dada pemuda ini memancar
cahaya putih. Kiranya jimat Lisus Sukmo tersimpan disitu!" batin Gento. Di depan sana Menak
Sangaji sesungguh-nya jadi terkejut melihat lawan masih bertahan
hidup setelah terkena pukulan saktinya. "Pemuda ini sungguh memiliki daya tahan
yang luar biasa.
Seharusnya dia mampus terkena pukulan saktiku. Tapi kenyataannya dia dapat bertahan dan
cuma mengalami luka dalam saja!" fikir Menak Sangaji geram
"Jimat itu!" teriak Gento Guyon. "Cepat serahkan padaku jika kau tak ingin satu
malapeta- ka besar melanda dirimu!"
"Ha ha ha. Percuma saja kau mengancam
diriku. Hari ini akan kita buktikan siapa diantara kita yang paling layak hidup
di dunia ini. Aku
atau dirimu!" dengus Menak Sangaji sinis.
"Manusia sombong. Kau ingin membunuhku, lakukanlah!" sahut Gento.
Menak Sangaji menyeringai. Mulutnya kemudian keluarkan desisan panjang sedang jimat
sakti yang tergenggam ditangan kanannya diputar sedemikian rupa. Hanya dalam
waktu sekian detik, sinar putih menyilaukan mata berkiblat disertai dengan suara
gemuruh laksana badai topan
yang siap memporak porandakan apa saja yang
dilaluinya. Memang itulah yang kemudian terjadi.
Dari jimat Lisus Sukmo yang tergenggam ditangan Menak Sangaji menderu badai topan seperti
angin lisus yang berputar menggulung apa saja,
bahkan membuat tanah yang dilaluinya terbakar
menimbulkan lubang besar menganga. Gento
Guyon yang bertahan di depan sana tidak ubahnya seperti pucuk cemara yang diguncang topan
prahara. Tubuhnya meliuk-liuk, kedua kakinya
terseret ke belakang, sedang sekujur tubuh pemuda itu terasa perih seperti disayat-sayat. Sambil kerahkan sebagian tenaga
dalam ke kakinya
Gento silangkan dua tangan di depan dada. Tak
perduli lagi rambut panjangnya yang acak-acakan Gento pejamkan matanya. Saat itu
kaki si pemuda sudah amblas sedalam mata kaki. Tapi mendadak saja sosok Gento kini mengembar. Seolah
dari tubuhnya keluar Gento yang lain. Dua sosok Gento bergerak ke kiri sedangkan
yang dua lagi bergerak ke kanan.
Kini sosok pemuda itu telah menjadi kembar sebanyak lima orang. Di depan sana Menak
Sangaji terkesiap. Dari mulutnya keluar ucapan.
"Ilmu Menitis Bayangan Raga"!"
Lima sosok Gento keluarkan suara tawa
berbarengan. Bersamaan dengan itu pula kelima
sosok Gento menghantam ke depan.
"Heaaa...!"
Wuuuut! Wuuut! Sepuluh larik sinar menderu, suara gemuruh angin topan yang keluar dari Jimat Sakti Lisus Sukmo seolah tenggelam
tertindih suara gemuruh pukulan yang dilepaskan oleh Gento dan
empat kembarannya.
Terdengar suatu ledakan berdentum yang
sangat dahsyat sekali. Menak Sangaji menjerit,
tapi jeritannya tak terdengar tertindih dahsyatnya suara ledakan.
Pemuda itu terjungkal, tergeletak tewas
dengan sekujur tubuh mengucurkan darah. Di
lain pihak lima sosok kembaran Gento nampak
terhuyung. Kelimanya sama mendekap dada.
Agaknya Gento mengalami guncangan di bagian
dalam. Tak lama setelah itu kelima sosok gento
sama silangkan kedua tangannya ke depan dada.
Satu demi satu sosok kembaran Pendekar
Sakti Gento Guyon lenyap seolah menyatu kembali dengan diri Gento yang sebenarnya.
Setelah kembali dalam keadaan seperti semula si pemuda langsung menghampiri Menak
Sangaji. Keadaan pemuda itu sungguh menyedihkan. Gento gelengkan kepala, dia memandang ke
tangan kanan Menak Sangaji yang sudah tidak
bernyawa. Jimat Sakti Lisus Sukmo ternyata masih berada dalam genggaman pemuda itu. Gento
membungkuk, jimat itu diambilnya. Dia merasakan jimat itu bergetar.
"Benda ini bisa jadi malapetaka jika tidak
cepat kukembalikan pada paman Raja Pengemis!"
batin si pemuda. Dia lalu masukkan jimat Lisus
Sukmo ke dalam saku celananya. Setelah itu
sambil mendekap dadanya Gento berkelebat pergi. Bersamaan dengan lenyapnya Gento sayupsayup dikejauhan sana terdengar suara siulan
panjang tak beraturan.
*** Kepekatan malam membungkus suasana di


Gento Guyon 18 Iblis Edan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekitar pantai selatan. Hembusan angin yang
menderu bagaikan suara setan yang menyanyikan
senandung kematian dalam gelapnya suasana.
Sesekali terdengar suara gemuruh ombak
dan deburan air yang, menghempas karang disepanjang pesisir pantai. Di bawah sebatang pohon beringin putih yang diapit dua
puncak bukit karang, dicelah sempit permukaan batu rata satu
sosok serba hitam duduk diam disana. Dua kaki
bersilangan, yang sebelah kiri ditumpangkan di
atas kaki kanan. Kedua tangan terjulur menjuntai diletakkan di atas dua
lututnya. Walau kedua matanya terpejam rapat, tapi sosok seperti arca bud-ha ini
sama sekali tidak tidur. Dua telinganya dipasang, mencoba menangkap dan
membedakan setiap suara yang terdengar. Sedangkan mulutnya yang hitam tertutup kumis putih
menjuntai panjang nampak berkemak-kemik tak ada henti.
"Kepada ratu penguasa pantai ini, aku mohon maafmu. Diriku Wisang Banto Oleng mohon
diberi restu bertemu dengan ayahku, Kanjeng
Romo Bantar Gading. Dia masih salah satu hambamu. Orang yang berada dibawah pengaruh kuasamu." kata sosok itu yang ternyata adalah si kakek jahat Wisang Banto Oleng.
Sejenak orang ini terdiam, mata tetap terpejam, dua telinga tetap pula dipasang. Sayupsayup terdengar gemuruh ombak, sementara angin dingin menderu tiada henti membuat hati si
kakek dicekam perasaan gelisah dan tegang.
"Kanjeng Romo Bantar Gading. Aku anakmu, Wisang Banto Oleng ingin bertemu. Ada satu
hajat hendak kusampaikan, ada sesuatu yang ingin kupinta.!" Sekali lagi si kakek ulangi ucapannya. Setelah mengulang katakata yang sama sebanyak tiga kali mendadak sontak kilat menyambar disertai geletar petir yang menghantam permukaan air laut. Seiring dengan gelegar petir
yang terdengar, di tengah laut dimana petir tadi menyambar muncul satu cahaya
putih menyilaukan mata. Si kakek buka matanya. Mata itu mendadak jadi kesilauan begitu dia memandang ke
tengah laut yang membentang tak jauh di depannya. Bersamaan dengan memancarnya cahaya
putih menyilaukan mata, dari mana cahaya putih
itu berasal muncul sesuatu yang bergerak cepat
menuju ke bagian pantai dimana Wisang Banto
Oleng menunggu. Ternyata sosok yang melaju di
tengah laut yang seolah terbelah di mana airnya tersibak ke kiri dan ke kanan
itu adalah sebuah kereta kuda. Kereta kuda berwarna hitam, sedangkan dua kuda
penarik kereta juga berbulu
hitam. Bersamaan melesatnya dua kereta yang
muncul dari dasar laut itu terdengar pula suara gemerincing aneh.
Sekali Wisang Banto Oleng yang dilanda
rasa takjub kedipkan matanya, maka kini di depan si kakek yang duduk di bawah pohon beringin putih kereta kuda tadi telah berada disitu.
Tirai penutup kereta dibagian depan yang
juga berwarna hitam tersibak. Satu sosok kepala muncul disertai kemunculan
bagian tubuh lainnya. Kemudian sosok tinggi yang munculkan diri
dari dalam kereta berdiri tegak di atas kereta, memandang langsung ke arah si
kakek. Terkecuali pakaiannya yang berwarna hitam, sosok ini wajahnya tidak terlihat jelas terlin-dung kepekatan malam. Cahaya
satu-satunya adalah cahaya putih yang memancar di tengah
laut dimana kereta kuda tadi munculkan diri.
"Wisang Banto Oleng, aku ayahmu Kanjeng
Romo Bantar Gading. Kau mengusik ketenanganku di dasar samudera. Waktuku tidak lama, katakan apa yang menjadi keperluanmu!" kata sosok hitam yang berdiri dibagian
depan kereta ku-da.
Wisang Banto Oleng rangkapkan dua
tangannya. Dia gembira karena sang ayah berkenan menjumpainya. Setelah itu tanpa menunggu
lama si kakek berkata. "Kanjeng Romo Bantar Gading. Saya sedang menghadapi satu
kendala. Saya ingin membantu seseorang, tapi mungkin
tak dapat kuselesaikan dengan baik jika aku tidak memiliki bekal yang pantas!"
Sosok hitam yang wajahnya tertutup tudung hitam memandang ke arah si kakek. Dia
kemudian berucap. "Tak usah kau jelaskan aku sudah tahu apa kendalamu dan apa
pula yang kau minta. Ketahuilah anakku, pendekar yang
sempat meremukkan tangan dan tulang dadamu
itu bukan manusia sembarangan. Dia berada dalam lindungan manusia Seribu Tahun. Gada itu
adalah satu dari sekian kehebatan yang dia mili-ki. Aku tidak mau mencegah apa
yang menjadi keinginanmu. Sekarang kalau kedatanganmu ingin meminjam senjata, aku telah memohonkannya pada Kanjeng Sri Ratu penguasa pantai ini.
Kau boleh membawa Pedang Tumbal Segara untuk menyerang pemuda itu. Tapi ingat sungguh
pun senjata yang hendak kuberikan ini sangat
hebat, namun kau tidak boleh menyombongkan
diri apalagi takabur. Sifat takabur hanya akan
menghancurkan manusia itu sendiri dan menyeretnya ke lembah kebinasaan." kata kakek di atas kereta kuda. Kemudian tanpa
memberi kesempatan pada Wisang Banto Oleng bicara orang berjubah hitam lambaikan tangannya ke udara. Dilain
saat sebilah pedang dengan hulu berukir gelombang laut dengan rangka terbuat dari kain hitam sudah berada di tangan sosok
tinggi di atas kereta kuda. Si kakek ulurkan tangannya dan serahkan
Pedang Tumbal Segara pada Wisang Banto Oleng.
Dengan tangan gemetar si kakek menanggapi. Dia meletakkan senjata itu di atas pangkuannya. Dua tangan kembali dirangkapkan, kepala menunduk sedangkan mulut Wisang Banto
Oleng berucap. "Ayahku Kanjeng Romo Bantar Gading. Budi baikmu tak akan saya
lupakan. Jika aku telah berhasil menumpas musuhku pedang
ini akan kembalikan padamu!" ujar si kakek.
Si tinggi berpakaian hitam tidak menanggapi. Hanya matanya memancarkan kilatan aneh
yang sulit ditebak. "Aku kembali anakku, menuju ke istana mengabdikan diri pada
paduka Sri Ra-tu!" "Kanjeng Romo..."!"
Wisang Banto Oleng tidak teruskan ucapannya karena detik itu kereta kuda telah berputar dan kembali menghadap ke arah
mana mere- ka berasal. Selanjutnya kereta kuda melesat ke arah
mana sinar putih memancar. Sampai di tengah titik sinar putih kereta kuda mendadak lenyap. Di langit, kilat menyambar petir
menggelegar. Sinar putih yang memancar dari dalam laut lenyap. Setelah itu
kegelapan kembali menyelimuti. Si kakek bangkit berdiri. Pedang Tumbal Segara
digenggam di tangan kiri. Sambil menyeringai dia berkata.
"Pendekar Sakti 71 Gento Guyon. Saat ini kau boleh berpuas diri atas apa yang
terjadi padaku.
Aku pasti akan mencarimu. Aku akan membuat
perhitungan denganmu sampai segalanya menjadi
impas!" kata si kakek.
Si kakek lalu tertawa panjang. Sambil menenteng pedang di tangan kanan, bagaikan hantu
gentayangan sosoknya berkelebatan menyusuri
batu karang tinggalkan pesisir pantai selatan.
TAMAT SEGERA TERBIT: DEWA SINTING Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-AbuKeisel/511652568860978
Pendekar Wanita Penyebar Bunga 10 Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Han Bu Kong 6

Cari Blog Ini