Ceritasilat Novel Online

Jejak Tapak Biru 3

Jodoh Rajawali 13 Jejak Tapak Biru Bagian 3


ma Tua Usil Itu. Menurutmu bagaimana?"
Pertanyaan bernada manja itu tidak digubris
oleh Tua Usil yang termenung menahan ketegangan jiwa, Nini Bungkuk Renta belum tahu bahwa orang yang
bersamanya sejak tadi itu adalah orang yang dicari dan bernama Tua Usil. Nini
Bungkuk Renta juga tidak ta-hu, bahwa sejak tadi ia bersama pusaka yang diburunya. Perempuan tua itu hanya mengenal nama Tua
Usil sebagai Pancasona. Ia tidak pernah dengar sebutan Pancasona sebagai Tua Usil. Sebab sebutan dan
julukan itu timbul setelah Pancasona mengenal Pendekar Rajawali Putih. Gadis itulah yang memberinya
julukan nama Tua Usil, yang sampai sekarang lebih
kondang ketimbang nama aslinya: Pancasona.
"Hei, mengapa melamun" Kau cemburu aku
menyebut pria lain?" tegur Nini Bungkuk Renta sambil bergelendot di lengan dan
pundak Pancasona seperti
gadis manja berusia tujuh belas tahun. Pancasona segera tarik napas dan menjawab,
"Tidak. Aku tidak cemburu."
"Syukurlah kalau kau bukan seorang pencemburu. Tapi, menurutmu bagaimana dengan kebingungan ku tadi, Pancasona" Apakah aku datang ke Perguruan Gerbang Bumi untuk menanyakan tentang pisau
itu" Jika ternyata jawaban mereka tertuju pada lelaki
bernama Tua Usil, maka aku harus mencari orang
bernama Tua Usil itu?"
"Terserah kamu saja," jawab Tua Usil dengan
suara gemetar. "Kalau aku harus mencari lelaki itu, kau mau
dampingi aku dalam memburu orang bernama Tua
Usil, Pancasona" Kau mau, bukan?" "Lihat saja nanti."
Nini Bungkuk Renta tersenyum girang. "Aku
tahu, kau tak akan tega meninggalkan aku. Kau tak
akan berani biarkan aku kesepian, tapi kau malu
mengutarakannya, Pancasona. Hek, hek, hek, hek...!
Indah sekali berduaan bersamamu. Kau lelaki yang
malu-malu tapi mau! Hek, hek, hek, hek...!"
Tua Usil salah tingkah dan tak mengerti harus
berbuat apa pada saat itu. Lengannya selalu dipegangi
oleh Nini Bungkuk Renta, seakan nenek tua itu tak
mau di tinggalnya walau sebentar.
Ternyata banyak juga orang yang mencari Tua
Usil. Selain Nini Bungkuk Renta, Raga Dewa, Dewi Gita Dara, juga Ketua Partai Pengemis Liar yang bernama
Paku Juling itu berusaha temukan Tua Usil. Ia ingin
balas dendam atas kematian adiknya; si Rencong Geni.
Tapi ia belum pernah bertemu dengan Tua Usil dan tak
tahu seperti apa wujud Tua Usil itu.
Buat Paku Juling, pertemuannya dengan Raja
Tipu adalah suatu hal yang kebetulan sekali. Raja Tipu menaruh dendam kepada Tua
Usil karena pernah dihajar. habis-habisan di atas semak-semak berduri
hingga sekujur tubuhnya penuh luka. Maka ketika Paku Juling menanyakan ciri-ciri Tua Usil, Raja Tipu
memberikan keterangan selengkap-lengkapnya. Selain
ia menjelaskan ciri-ciri Tua Usil sampai pada hal yang terkecil sekalipun.
Ia pun tambahkan kata,
"Jika kau bilang Tua Usil telah bunuh Rencong
Geni, itu memang benar. Sebab aku sempat dengar
percakapan Tua Usil dengan seseorang yang tidak kukenal." "Apa katanya?"
"Dia memang rencanakan mau bunuh Rencong
Geni. Bahkan bilamana perlu kakaknya Rencong Geni
pun akan dibunuhnya. Dia bernafsu sekali untuk
menjadi Ketua Partai Pengemis Liar, dan mengecam
kepemimpinan mu tak becus hadapi perkembangan
dunia persilatan, sehingga Partai Pengemis Liar dianggapnya sekelompok golongan tanpa isi alias ompong!"
"Kurang ajar dia!" geram Paku Juling, panas
hatinya kian bertambah, dan Raja Tipu semakin girang
karena ia memang sengaja membakar hati Paku Juling
agar tak tanggung-tanggung membunuh Tua Usil.
Maka ketika Paku Juling lewat tak jauh dari
tempat Tua Usil dan Nini Bungkuk Renta beristirahat,
pandangan matanya sempat terkesiap. Seseorang yang
punya ciri seperti disebutkan Raja Tipu itu terlihat
olehnya. Paku Juling ingat, Tua Usil punya nama Pancasona menurut penjelasan Raja Tipu. Karenanya, ketika ia hendak hampiri Tua Usil, terlebih dulu ia pancing dengan panggilan nama
asli Tua Usil, "Pancasona!"
"Ya!" Tua Usil menjawab dengan cepat, di luar kesadarannya. Ia pun segera
palingkan wajah ke belakang, dan dilihatnya seorang berpakaian kumal dan
compang-camping itu berdiri menatapnya. Tua Usil
berdiri dan kerutkan dahi ketika Paku Juling berjalan
mendekatinya. Ia merasa asing dengan kehadiran Paku
Juling. Tapi Nini Bungkuk Renta ternyata lebih mengenali Paku Juling sebagai Ketua Partai Pengemis Liar.
Maka dengan cepat Nini Bungkuk Renta menyapa,
"Sudah setua itukah dirimu, Pengemis Liar"!
Ku sangka kau masih semuda dulu! Hek, hek, hek,
hek...! Rupanya kali ini kau datang untuk selesaikan
masalah yang sudah lama terkubur ditelan zaman,
hah"!" Paku Juling segera ingat Nini Bungkuk Renta.
Ia pernah terlibat bentrokan dengan Nini Bungkuk
Renta ketika tiga anak buahnya dibantai dengan kejam
oleh nenek bungkuk itu. Paku Juling tahu, Nini Bungkuk Renta berilmu tinggi dan juga adik seperguruan
Malaikat Gelang Emas. Tapi ia segera besarkan hati
karena merasa punya urusan dengan lelaki bernama
asli Pancasona itu, bukan dengan perempuan bungkuk
tersebut. Maka Paku Juling pun berkata,
"Maaf, Nini Bungkuk Renta. Aku hanya ingin
berurusan dengan orang di sampingmu itu! Bukan
dengan dirimu, Nini Bungkuk Renta."
"Aku tak kenal siapa kau, dan merasa tak
punya urusan denganmu!" Tua Usil cepat menyahut.
"Aku Paku Juling, kakak kandung dari Rencong
Geni! Kau yang membunuh Rencong Geni itu, bukan"!
Sekarang aku menuntut balas padamu!"
"O, Rencong Geni..."! Ya, ya... aku pernah bunuh dia. Tapi hanya satu kali. Setelah itu tak pernah
lagi!" jawab Tua Usil dengan sikap tak khawatir sedikit pun. Ia tak sadar
ucapannya itu membuat Paku Juling
kian merah telinganya dan bertambah mendidih darahnya. "Sekarang aku akan membalaskan kematian
adik ku! Secepatnya akan kutagih hutang nyawamu
sekarang juga! Heaaah...!"
Paku Juling membuka jurus pertama dengan
matanya menjadi juling dan tongkatnya diurut dengan
cepat, lalu berubah menjadi paku besar berujung
runcing. Nini Bungkuk Renta maju selangkah dengan
tubuh meliuk bagai mau jatuh, tapi segera ditahan
oleh tangan Tua Usil. Ia segera lantunkan tembang lirih bersyair polos:
"Rembulan gading, rembulan berkabut. Jangan
adu tanding, jika tak ingin tersambar maut Tajamnya
paku tak setajam sembilu, jika kau ingin serang kekasihku, hadapilah dulu diriku. Oooohhh... juwita pujaan hati, tiada pernah kau
ingkar janji Sekali coba kau ancam pati, tak kan luput dirimu dari mati...."
Tua Usil memandang Nini Bungkuk Renta sebentar dengan perasaan heran. Dalam hatinya Tua
Usil bertanya-tanya, "Untuk apa dia melantunkan
tembang seperti itu" Apa artinya syair demikian?"
Tetapi Tua Usil segera mendapat jawaban setelah ia melihat tubuh Paku Juling bergetar. Semakin
lama getaran tubuhnya semakin kencang. Mata Tua
Usil melihat kulit tubuh Paku Juling bergerak-gerak
bagai melepuh di beberapa tempat. Tubuh yang segera
berminyak itu semakin merah warnanya. Mata Paku
Juling bukan lagi juling tapi terbeliak-beliak putih
semua. Rupanya ia sedang menghadapi serangan kekuatan tenaga dalam yang disalurkan oleh Nini Bungkuk Renta lewat tembangnya.
Tiba-tiba Paku Juling berteriak bagai membuang rasa sakitnya.
"Haaaahhh...!" dan tongkatnya yang sudah berubah menjadi besi runcing besar itu dihunjamkan ke
dada Nini Bungkuk Renta. Wuuut...!
Dengan gerakan tak terlihat, tongkat rotan Nini
Bungkuk Renta berkelebat menghantam besi runcing
itu. Traaang...! Seperti suara besi beradu dengan besi.
Lalu, arah runcing besi tersebut berbalik dan bergerak cepat menuju ke
pemiliknya sendiri.
Wuuut...! Traaang...! Tangan Paku Juling menghadang
gerakan tongkat runcingnya. Tangan itu bagaikan berubah menjadi baja yang mampu menahan luncuran
besi runcing tersebut. Begitu besi runcing itu menghantam telapak tangannya, Paku Juling cepat menyambar dengan tangan kiri, dan memutarkan besi
tersebut ke sekeliling kepalanya. Wuuung...!
Dari ujung besi runcing itu keluar semacam
serbuk putih yang menyebar ke segala penjuru. Semakin cepat berputar semakin banyak serbuk-serbuk putih yang menyebar. Angin berhembus menerbangkan
serbuk putih itu, hinggap di batang-batang pohon,
daun-daun serta dahan-dahan lainnya. Alam sekitarnya ternyata berubah menjadi dingin. Serbuk putih itu
rupanya busa-busa salju yang menyebarkan hawa dingin menggigilkan tubuh manusia.
Tetapi Nini Bungkuk Renta hanya diam sambil
celingak-celinguk mencari-cari sesuatu di tanah, mulutnya seperti mengunyah makanan. Namun rumput
yang diinjaknya menjadi hangus terbakar. Api mulai
menjalar membakar rumput lainnya dan merayap
mendekati tempat Paku Juling berdiri memutarmutarkan tongkat besinya itu.
"Inilah kesempatan untuk lari!" pikir Tua Usil.
Maka, selagi Paku Juling sibuk hadapi perlawanan Nini Bungkuk Renta, Tua Usil pun cepat larikan diri,
tinggalkan tempat itu tanpa diketahui oleh siapa pun.
Ia tak tahu lagi apa yang terjadi terhadap rumput dan
tanah yang dipijak oleh Nini Bungkuk Renta.
Tua Usil bahkan tak melihat bahwa sebagian
kaki Paku Juling telah dibungkus api, dan ternyata api itu sukar dipadamkan.
Paku Juling merasa dalam bahaya besar jika tidak segera tinggalkan lawannya yang
berilmu jauh lebih tinggi darinya itu. Maka, dengan cepat Paku Juling pergi
larikan diri tanpa pamit lagi. Hatinya hanya membatin,
"Kurang ajar! Pancasona alias si Tua Usil itu
dibela oleh Nini Bungkuk Renta! Jelas aku tak bisa
membunuhnya. Lebih baik kutunggu saat yang baik
untuk melakukan balas dendam ku ini, terutama jika
kutemukan Tua Usil sendirian, tanpa Nini Bungkuk
Renta...!"
Paku Juling sendiri tak sadari bahwa Tua Usil
sudah tidak ada di belakang Nini Bungkuk Renta. Nenek tua itu menjadi kebingungan sendiri ketika lawannya lari tinggalkan pertarungan dengan menahan malu. Nini Bungkuk Renta mencari-cari Pancasona, memanggil-manggilnya dengan suara lirih, melongok setiap semak-semak sambil jalannya tertatih-tatih tak
bisa lurus. "Ke mana kau, Sayangku..."! Jangan takut, lawan mu telah pergi!" ucapnya sambil masih mencari.
Tua Usil lari ke arah utara, sedangkan Paku
Juling ke arah selatan. Tentu saja mereka tidak bertemu dan itu suatu keberuntungan bagi Tua Usil. Semakin cepat ia berlari, semakin cepat rasanya senja menua. Rasa lega di hati Tua Usil, ternyata hanya sebentar. Karena kejap berikutnya, ia terpaksa harus kurangi kecepatan larinya, karena ia melihat Nini Bungkuk Renta sudah berada di jalan depan yang akan dilaluinya. Tua Usil terperanjat melihat nenek tua itu
sudah ada di sana seakan menghadang larinya. Dengan nada kecewa ia hempaskan napasnya, karena ia
tahu akan sulit lagi menghindar dari nenek tua yang
sedang diserang masa puber itu.
"Kau tak perlu takut. tak perlu lari, siapa pun
yang ingin celakai dirimu, aku akan menghajarnya habis-habisan!" kata Nini Bungkuk Renta ketika akhirnya Tua Usil hentikan langkah
berjarak tujuh tindak. Tua
Usil hanya diam, tak bisa bilang apa-apa ketika Nini
Bungkuk Renta tersenyum-senyum sambil bermanja
menggelendot di pundaknya.
* * * 7 SAMBIL mempertimbangkan langkah yang harus diambil. Yoga terpaksa dampingi perjalanan Dewi
Gita Dara yang telah kehilangan empat pengawalnya
itu. Baik Yoga maupun Bocah Bodoh masih belum
mengaku sebagai orang yang kenal baik dengan Tua
Usil, sehingga Dewi Gita Dara tidak mengetahui siapa
orang yang menyertai perjalanannya itu. Dewi Gita Dara sengaja tidak mau masuk ke dalam tandu, sekalipun tandu sudah diperbaiki. Ia lebih memilih berjalan
dengan di dampingi Yoga dan Bocah Bodoh di kanankirinya. "Sudah lama aku mencari pisau Pusaka Hantu
Jagal itu," tutur Dewi Gita Dara. "Tetapi tak seorang pun bisa menolongku.
Padahal aku sudah membuka
sayembara, barang siapa yang bisa serahkan Pusaka
Hantu Jagal kepadaku, bagaimanapun keadaan
orangnya, aku mau menjadi istrinya atau saudara
angkatnya."
Bocah Bodoh melirik Yoga sebentar, tapi Yoga
tidak sedang memperhatikannya. Yoga memandang ke
arah depan dan bertanya,
"Mengapa kau sampai membuka sayembara se

Jodoh Rajawali 13 Jejak Tapak Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perti itu?"
"Selama ini, aku sulit merasa tertarik dengan
seorang pria. Tapi aku sadar, bahwa aku sudah menjadi perawan tua dan sudah waktunya untuk menikah.
Hanya saja, karena ada satu masalah yang belum kuselesaikan, maka aku bersumpah pada diriku sendiri,
bahwa aku tidak akan kawin sebelum masalah ku itu
bisa kuselesaikan," jawab Dewi Gita Dara dengan suara tegas dan jelas. Bocah
Bodoh hanya manggutmanggut, sementara Pendekar Rajawali Merah diam
sebentar mencerna arti kata-kata itu. Kemudian, ia
kembali ajukan pertanyaan,
"Boleh ku tahu apa masalah mu itu?"
"Mendapatkan pisau Pusaka Hantu Jagal."
"Untuk apa pusaka itu?"
"Untuk membunuh seekor naga," jawab Dewi
Gita Dara dengan polos. Jawaban itu membuat Yoga
dan Bocah Bodoh memandanginya, lalu kembali terdengar suara Yoga ajukan tanya,
"Apakah yang kau maksud benar-benar binatang berbentuk seekor naga atau hanya nama julukan
saja?" "Benar-benar seekor naga," jawab Dewi Gita Dara sambil menatap Yoga
sebentar, lalu ia sambung
kata dengan teruskan langkahnya yang terkesan santai dan tidak terburu-buru itu,
"Sudah cukup lama penduduk Teluk Gangga di
ganggu oleh kemunculan seekor naga yang bernama
Naga Bara. Setiap bulan purnama tiba, Naga Bara
muncul dan menelan korban lima sampai sepuluh
orang. Bisa dilakukan dalam satu malam atau dua malam. Hanya setiap bulan purnama muncul, Naga Bara
pun muncul. Kian lama penduduk Teluk Gangga semakin habis binasa menjadi santapan Naga Bara."
"Apakah tak ada yang bisa bunuh itu naga?"
tanya Bocah Bodoh.
"Dulu pernah ku sayembarakan, tapi tak satu
pun ada yang bisa bunuh itu naga, bahkan mereka
menjadi santapan Naga Bara sendiri. Lama-lama ku
hapuskan sayembara itu, walau secara tak resmi, karena tak ada lagi orang yang mencoba melawan Naga
Bara. Padahal dulu aku sudah sediakan diri untuk rela
menjadi istri orang yang bisa bunuh naga tersebut.
Tapi usaha itu sia-sia. Lalu, seorang begawan kutemui
dan beliau menjelaskan bahwa Naga Bara tak bisa dibunuh karena ia jelmaan dari Ratu Gaib."
"Siapa itu Ratu Gaib?" tukas Yoga dengan ber-semangat dan tertarik akan cerita
tersebut. Dewi Gita
Dara segera jelaskan,
"Ratu Gaib dulu penguasa Selat Mati, yang letaknya tak jauh dari Teluk Gangga. Ratu Gaib mempunyai dendam kepada leluhurku dan ingin menjadi
penguasa Teluk Gangga. Tapi Ratu Gaib dikalahkan
oleh leluhurku, dan ia menitis menjadi seekor naga untuk balas dendam kepada setiap penguasa Teluk
Gangga." Yoga menggumam sambil manggut-manggut.
Lalu, Bocah Bodoh bertanya dengan polosnya,
"Besarkah naga itu, Nona?"
"Sangat besar. Menurut para saksi mata naga
itu besarnya seukuran badan seekor singa jantan, bertanduk dan bermata lebar. Panjangnya seukuran pohon kelapa, ekornya buntung, namun bersisik tajam.
Ia mempunyai tanduk di tengah kepalanya. Dari hidungnya sering semburkan uap panas yang membuat
tubuh manusia melepuh. Ia mempunyai enam kaki
pendek yang berkuku tajam, namun jika berlari cepatnya seperti seekor rusa. Ia cukup tangkas dan ganas.
Mulutnya sesekali keluarkan semburan api yang bisa
mencapai jarak tujuh langkah jauhnya. Kulitnya sangat keras dan tak bisa dilukai dengan senjata apa
pun." Bocah Bodoh bergidik membayangkan bentuk
dan ukuran naga tersebut. Sama halnya dengan Yoga,
Bocah Bodoh sedikit sangsi, antara percaya dan tidak.
Bahkan Yoga berkata,
"Naga seperti itu hanya ada dalam dongeng saja." "Setahuku memang begitu. Tapi naga yang satu
ini boleh dikata adalah naga siluman. Jelmaan dari roh jahat dapat berbentuk
makhluk aneh yang mengeri-kan. Tujuannya hanya ingin menghabisi penduduk Teluk Gangga dan merongrong penguasa setempat dengan kekejamannya. Mungkin cerita ini sulit dipercaya,
tapi jika kalian datang sendiri dan melihat jejak-jejak naga tersebut di sekitar
gua tempat persembunyiannya, kalian baru akan percaya."
"Mengerikan sekali," gumam Bocah Bodoh.
"Begawan yang ku hubungi itu menjelaskan;
Naga Bara tak bisa dibunuh jika tidak gunakan pisau
Pusaka Hantu Jagal. Sebab itu aku ingin bertemu dengan orang yang bernama Tua Usil dan meminjam pisau
pusakanya itu jika benar ia adalah orang yang membawa Pusaka Hantu Jagal tersebut. Setelah Naga Bara
mati, pusaka itu akan kukembalikan."
Hati pendekar tampan itu merasa lega. Rupanya Dewi Gita Dara tidak punya maksud jahat untuk merebut pisau Pusaka Hantu Jagal dari tangan
Tua Usil, namun ingin meminjamnya secara baik-baik.
Setidaknya, dengan begitu Yoga bisa simpulkan bahwa
seandainya ia bantu Dewi Gita Dara untuk bertemu
dengan Tua Usil, hal itu tidak membahayakan keselamatan si Tua Usil.
"Mengapa harus gunakan pisau Pusaka Hantu
Jagal?" tanya Yoga. "Apakah begawan yang kau temui itu tahu persis kekuatan
pisau pusaka tersebut?"
Dewi Gita Dara menjawab, "Ya. Dia tahu persis
tentang pusaka tersebut, karena dia berhasil melacak
kekuatan pusaka itu dengan indera keenamnya. Menurutnya, naga titisan Ratu Gaib itu akan kalah jika
berhadapan dengan pisau tersebut. Sebab semasa hidupnya, Ratu Gaib adalah kekasih Hantu Jagal. Dia
sangat mencintai Hantu Jagal. Tapi karena cintanya
tak sampai, akhirnya ia menjadi liar dan sesat, ganas
dan kejam. Dia hanya bisa ditundukkan oleh Hantu
Jagal, karena baginya lebih baik mati di tangan Hantu
Jagal daripada di tangan orang lain. Karena itu, begawan tersebut mengatakan bahwa kelemahan Naga Bara terletak di tangan orang yang membawa Pusaka
Hantu Jagal. Begawan itu pun berkata, bahwa jika pisau Pusaka Hantu Jagal telah menggores tubuh Naga
Bara, maka kesaktian Naga Bara itu sendiri akan mengalir dalam tubuh orang yang menikamkan pisau tersebut. Dan sebagai tanda kematiannya, maka sang
rembulan pada saat itu akan menjadi merah bagaikan
berdarah, sebagai perlambang bahwa darah Naga Bara
yang terkena pisau Pusaka Hantu Jagal akan memercik hingga melumuri rembulan. Sebab, kekuatan Ratu
Gaib semasa hidupnya ada dalam cahaya sinar bulan
purnama." Cerita itu bukan sekadar cerita menarik yang
layak dituturkan menjelang tidur kepada anak-cucu,
melainkan juga cerita yang mempunyai kekuatan tersendiri, membuat seseorang menjadi ingin tahu. Begitulah perasaan Yoga pada saat itu; ingin melihat seper-ti apakah Naga Bara yang
diceritakan perempuan berusia sekitar dua puluh tujuh tahun itu.
Pendekar Rajawali Merah akhirnya berterus terang tentang hubungannya dengan Tua Usil. Ia pun
menceritakan riwayat Tua Usil mendapatkan pisau Pusaka Hantu Jagal itu. Cerita itu dituturkan ketika mereka beristirahat di sebuah lembah yang teduh, dalam
sebuah tenda yang didirikan oleh anak buah Dewi Gita
Dara. Tenda itu khusus untuk beristirahat sang penguasa yang oleh mereka disebutnya: Gusti.
Pendekar Rajawali Merah sedikit heran, karena
pada saat ia menuturkan cerita tentang riwayat Tua
Usil mendapatkan pisau pusaka itu. Bocah Bodoh tidak ikut berada di dalam tenda tersebut. Bocah Bodoh
duduk termenung di bawah sebuah pohon rindang,
menyendiri di seberang sana. Melihat Bocah Bodoh
melamun sejak tadi, Yoga tertarik untuk mendekatinya
dan menanyakan penyebabnya. Bocah Bodoh menjawab dengan ragu,
"Saya... saya kagum dengan kecantikan Dewi
Gita Dara, Tuan Yo!"
Pendekar Rajawali Merah tertawa dengan suara
tertahan, tapi tubuhnya bergerak-gerak kecil. Bocah
Bodoh menunduk karena malu ditertawakan. Pendekar Rajawali Merah menangkap arti sikap tersebut, lalu ia pun ajukan tanya,
"Kau menyukai kecantikannya?"
"Ya. Saya... saya bahkan kepingin punya istri
seperti dia."
"Sebuah keinginan yang bagus!" kata Yoga
membesarkan semangat Bocah Bodoh yang tampak
minder. "Setiap lelaki punya hak untuk berkeinginan sepertimu, Bocah Bodoh."
"Tapi... apakah dia mau punya suami bodoh
seperti aku, Tuan Yo?"
"Kau bisa tanyakan sendiri kepadanya."
"Saya... saya tidak berani, Tuan Yo. Saya malu
dan takut kalau Nona Dewi Gita Dara itu marah dengan ucapan saya. Saya takut disangka bersikap kurang ajar kepadanya."
"Laki-laki bukan hanya berani bertarung dengan lawan saja, namun harus berani utarakan cintanya di depan gadis yang dicintainya!"
"Begitukah"!" Bocah Bodoh memandang Yoga,
dan Yoga anggukkan kepala dengan senyum yang
meyakinkan. Bocah Bodoh termenung sebentar, kemudian berkata lagi,
"Tidak, Tuan. Saya belum sanggup untuk bicara tentang perasaan saya kepadanya. Saya... saya cuma punya satu keinginan untuk mencapai harapan hati saya." "Apa keinginanmu?"
"Saya akan kalahkan Naga Bara. Saya harus
bisa bunuh Naga Bara dengan Pedang Jimat Lanang
ini!" "Kau gila! Itu bukan pekerjaan yang mudah.
Bukankah kau dengar sendiri bahwa Naga Bara hanya
bisa dibunuh oleh pisau Pusaka Hantu Jagal"!" kata Yoga mengingatkan Bocah
Bodoh. "Saya harus mencobanya, Tuan! Saya akan kalahkan dengan pedang pusaka ini!"
"Berarti kau bunuh diri di depan naga siluman
itu!" "Saya tak keberatan mati demi memperjua-ngkan kebebasan Dewi Gita Dara,
Tuan Yo! Saya siap
mati untuknya!"
Yoga menghela napas panjang. Dia mulai sadar
bahwa orang sebodoh Cola Colo pun ternyata punya
cinta yang berkobar-kobar. Orang sepolos Bocah Bodoh ternyata punya hasrat untuk membuktikan cintanya di depan gadis yang dicintainya. Yoga tahu, tekad Bocah Bodoh bukan semata-mata tekad yang
tumbuh hanya semusim, namun sebuah tekad yang
tumbuh dari hati nuraninya. Sebenarnya Yoga tidak
berhak menghalangi niat dan tekad itu. Tapi demi keselamatan yang tidak diperhitungkan. Yoga terpaksa
harus cegah keinginan hati yang membabi buta itu. Ia
harus ajarkan kepada Cola Colo untuk gunakan perhitungan yang matang setiap kali ingin bertindak.
Tiba-tiba percakapan Yoga dengan Bocah Bodoh itu terhenti sejenak karena kedatangan seorang
pengawal berkuda yang kala itu datang menghampiri
Yoga tanpa kuda. Ia berkata dengan wajah tegang,
"Tuan, Gusti Dewi Gita Dara terluka oleh serangan gelap seseorang dari kerimbunan semak sebelah barat!"
"Terluka"!" Bocah Bodoh terpekik dan cepat
bangkit. Bahkan ia berlari lebih dulu sementara Yoga
bergegas menemui Dewi Gita Dara.
Dewi Gita Dara terkena senjata rahasia di bagian punggungnya. Tubuh wanita cantik itu menjadi
panas karena racun senjata rahasia. Salah seorang
pengawalnya mengatakan, senjata rahasia itu milik
orang-orang Partai Bajak Samudera. Mereka mengenali
senjata tersebut.
Bocah Bodoh melesat pergi menerabas rerumputan tinggi dan kerimbunan semak di sebelah barat.
Yoga tahu, Bocah Bodoh menjadi marah melihat Dewi
Gita Dara dalam keadaan tak berdaya. Bocah Bodoh
ingin kejar orang yang lemparkan senjata rahasia itu.
Sementara Yoga mencoba mengobati luka di punggung
Dewi Gita Dara dengan ilmu 'Tapak Serap'.
Beberapa saat kemudian, Bocah Bodoh kembali
lagi ke tempat Yoga yang lakukan pengobatan di luar
tenda, karena saat itu Dewi Gita Dara terluka ketika
ingin temui Yoga dan Bocah Bodoh. Dengan napas terengah-engah dan wajah merah karena marah, Bocah
Bodoh berkata, "Saya tidak berhasil mengejar orang itu, Tuan
Yo! Tapi saya akan cari Raga Dewa sampai ketemu sekarang juga."
"Tak perlu," cegah Yoga dengan kalem, "Nona Dewi sudah sembuh. Lihat... wajahnya
telah kembali segar. Biarkan mereka lari, suatu saat pasti akan jumpa dengan kita!"
Rona merah di wajah Bocah Bodoh mulai surut.
Ia merasa lega melihat Dewi Gita Dara telah segar
kembali dan tidak rasakan sakit sedikit pun. Dewi Gita Dara berkata,
"Untung dalam rombongan ini ada tabib sakti,
kalau tidak, sudah pasti nyawaku melayang karena racun ganas senjata rahasia itu!"
Pendekar Rajawali Merah tersenyum sambil


Jodoh Rajawali 13 Jejak Tapak Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

alihkan pandang, tak berani tatap perempuan cantik
berdada sekal terlalu lama. Dewi Gita Dara ingin
ucapkan terima kasih. Namun baru saja ia buka mulutnya yang berbibir ranum itu, tiba-tiba angin berhembus kencang dari arah atas. Disusul suara seekor
burung memekik membuat kuda-kuda menjadi beringas, meringkik, dan melompat-lompat. Dewi Gita Dara
tak jadi ucapkan kata-katanya, karena terkesima melihat seekor burung rajawali putih berukuran besar
mendarat di depan tempat peristirahatannya.
Lili turun dari punggung rajawali dengan wajah
cemberut. Ia melihat Yoga tampak dekat dan akrab
dengan seorang gadis cantik yang belum dikenalnya.
tingkah Lili yang cepat dan tegas itu membuat Yoga
sembunyikan senyum dan berbisik kepada Bocah Bodoh, "Gawat! Guru pasti ngamuk melihat aku berde-katan dengan Dewi Gita Dara."
"Terima saja nasib yang ada, Tuan Yo," balas Bocah Bodoh berbisik.
Kehadiran Lili dihadang oleh empat pengawal
bersenjata, namun dengan satu kali kibasan tangan,
angin kibasan itu membuat keempat pengawal terjungkal tak tentu arah; Dewi Gita Dara sempat tersinggung dengan sikap itu, lalu hendak menyerang Lili.
Tapi Yoga menghadang dan menahannya.
"Dia guruku, Pendekar Rajawali Putih. Jangan
serang dia!"
Lili memandang Dewi Gita Dara dengan sinis,
berkesan nada cemburu. Dengan ketus ia berkata kepada Yoga, "Apa kerjamu di sini?"
"Jangan marah, Guru. Biar Bocah Bodoh yang
jelaskan...."
Lalu, Bocah Bodoh pun terpaksa memberi penjelasan kepada Lili dengan panjang lebar. Kemarahan
Lili sedikit berkurang, dan ia segera berkata kepada
Yoga, "Aku dapat undangan untuk datang ke Pulau
Kana. Wisnu Patra telah mempunyai bayi, tapi tali pusarnya tak bisa putus. Dia meminta tolong padaku.
Kau harus ikut denganku ke sana sekarang juga, Yo!"
"Baik. Aku ikut denganmu. Guru. Tapi bagaimana dengan Tua Usil" Dia sedang diburu oleh Raga
Dewa dan...."
"Dan dia memang dalam bahaya," sahut Lili.
"Lintang Ayu beritahukan padaku, Tua Usil sedang dicari-cari oleh tokoh sakti yang berjuluk Tapak Biru.
Konon tokoh itu sangat berbahaya dan bisa bunuh Tua
Usil. Tapi aku tak tahu siapa yang berjuluk Tapak Biru itu?" Dewi Gita Dara
tiba-tiba menyahut, "Tapak Bi-ru adalah Nini Bungkuk Renta, adik seperguruan
den- gan Malaikat Gelang Emas!"
Lili terperanjat tegang, demikian juga Yoga. Lili
berkata, "Bahaya! Aku justru meninggalkan dia bersama
Nini Bungkuk Renta!"
* * * 8 PAGI-PAGI sekali, Tua Usil sengaja pergi tinggalkan rumah kuno yang dipakainya bermalam dengan
Nini Bungkuk Renta. Rumah itu kotor dan tak berpenghuni lagi, karenanya digunakan bermalam oleh
Nini Bungkuk Renta dan Tua Usil. Itu pun atas desakan dan rengekan Nini Bungkuk Renta.
Tua Usil hanya berhasil tidur sebentar, karena
Nini Bungkuk Renta mengganggunya dengan hasrat
masa pubernya yang menggelora. Tua Usil terpaksa
menolaknya berulang kali dengan cara halus, sampai
akhirnya Nini Bungkuk Renta tertidur menjelang fajar.
Saat itulah Tua Usil punya kesempatan untuk lari dari
cengkeraman nenek tua yang diserang hasrat masa
pubernya kembali itu.
Namun pelarian Tua Usil tak bisa mulus, karena ketika matahari mulai meninggi dan burungburung telah hentikan kicaunya, mendadak langkah
Tua Usil terpaksa harus berhenti, karena di depannya
berdiri seorang lelaki berusia enam puluh tahun lebih, mengenakan jubah abu-abu
dan bertubuh tinggi kurus. Tua Usil sempat ingat siapa lelaki berwajah lonjong itu yang tak lain adalah si Jubah Jangkung. Tapi
Tua Usil sungguh tak tahu jika ternyata lelaki itu pun sedang mencari-carinya.
Jubah Jangkung perdengarkan suaranya yang
besar dan bulat itu, "Kucari kau ke kolong semut, ternyata kutemukan di sini!
Rasa-rasanya memang sudah
waktunya aku membalas kematian calon istriku yang
kau bunuh itu, Pancasona!".
"Apa maksudmu bicara begitu, Jubah Jangkung"!" Orang berambut kucai dengan ikat kepala putih dan wajah sedingin es itu
berkata dengan nada bicara
datar, "Jangan berlagak menjadi orang tak berdosa, Pancasona! Kutemukan jenazah
calon istriku; dan ku-lihat di manik matanya ada bayangan mu bersama sepasang pendekar tampan dan cantik. Kulihat di manik
matanya, kau menyerangnya dan membunuhnya!"
"Siapa orang yang kau maksud itu?" Tua Usil
kerutkan dahi. "Nyai Kuku Setan! Dan... ternyata jari tanganmu pun mempunyai kuku-kuku yang sama dengan
kuku milik calon mempelai istriku itu!" sambil Jubah Jangkung pandangi jari-jari
tangan Tua Usil.
Mata Tua Usil terkesiap mendengar nama itu
disebutkan oleh Jubah Jangkung, lalu ia berkata,
"Maafkan aku, Aku tidak tahu kalau dia calon istrimu, Jubah Jangkung."
"Ku maafkan kau, tapi pembalasan tetap harus
tiba pada saatnya! Sekaranglah saat yang terbaik untuk lepaskan dendam ku padamu!" kata Jubah Jangkung dengan wajah tidak tampakkan kebencian atau
keramahan. Datar-datar saja, bahkan berkesan dingin
dengan sorot mata cekungnya yang seolah-olah ingin
membekukan darah lawannya.
"Kurasa kau perlu dengar dulu penjelasan ku,
Jubah Jangkung...."
"Tak perlu!" sahut Jubah Jangkung, lalu kedua tangannya diangkat naik dan
terdengar suara angin
berat berkelebat, wuuuukk...! Baru angkat dua tangan
saja suaranya sudah cukup membuat lawan merinding. Dari kedua tangan itu terlepaslah sinar merah
bergelombang-gelombang yang menghantam tubuh
Tua Usil. Wuuuung...! Tapi tiba-tiba di depan Tua Usil muncul sosok tubuh tua
dan bungkuk yang tak lain
adalah Nini Bungkuk Renta. Ia muncul begitu saja, tak
terlihat gerakannya. Bahkan ia segera angkat tongkatnya ke depan dan bergerak memutar dengan cepat di
antara sela-sela jemarinya. Gerakan tongkat memutar
itu memancarkan sinar hijau bening bagai membentengi tubuhnya. Akibatnya sinar merah bergelombang
itu menghantam sinar hijau bening, membuat tubuh
Jubah Jangkung terlempar ke belakang bersamaan
dengan suara ledakan yang dahsyat. Blaaar...!
"Tubuh Nini Bungkuk Renta dan Tua Usil tetap
tegak berdiri tanpa terganggu oleh hentakan gelombang ledak tadi. Namun tubuh Jubah Jangkung terlihat jelas membentur pohon, dan pohon itu menjadi hitam hangus dalam waktu kurang dari satu helaan napas. Tubuh itu pun jatuh ke tanah. Namun mata Tua
Usil segera mendelik, karena tubuh Jubah Jangkung
lenyap bagai ditelan bumi. Zlaaap...! "Aku di sini, Nini Bungkuk Renta!"
Tua Usil berpaling ke belakang, ternyata Jubah
Jangkung sudah berdiri tegak di sana dalam keadaan
segar bugar. Tua Usil bingung dan menjadi takut
menghadapi lawannya. Ia segera berpaling memandang
Nini Bungkuk Renta. Tapi orang yang dipandangnya
itu pun telah lenyap dari tempat semula. Tua Usil semakin bingung, ia segera memandang Jubah Jangkung yang hendak melepaskan pukulan dari dua jarinya itu. Namun tiba-tiba, jleeg...! Nini Bungkuk Renta
sudah ada di belakang Jubah Jangkung dan berkata,
"Aku di sini, Jubah Jangkung!"
Wuurrt...! Beehg...!
Tubuh Jubah Jangkung tersentak ke depan karena disodok dengan ujung tongkat Nini Bungkuk Renta. Tubuh jangkung yang melayang cepat itu hampir
saja menabrak Tua Usil secara total. Tua Usil berkelit ke samping, namun tengkuk
kepalanya terkena kibasan dua jari Jubah Jangkung. Taab...! Dan tubuh Jubah Jangkung pun terjungkal berjumpalitan di tanah.
Sementara itu, Tua Usil menjadi sulit gerakkan seluruh anggota tubuhnya. Semuanya terasa kaku sekali.
Rupanya ia telah tertotok oleh dua jari Jubah Jangkung yang berkelebat menyambarnya secara cepat tadi. Tua Usil hanya bisa lihat apa yang ada di depannya dan mendengar apa yang
ada di sekelilingnya.
"Kalau kau ingin bunuh dia, kau harus langkahi dulu mayatku, Jubah Jangkung! Tak akan kubiarkan siapa pun melukai kekasihku!" kata Nini Bungkuk Renta sambil maju untuk
lakukan serangan tadi. Tapi
tubuh Jubah Jangkung cepat lenyap bagai tersedot ke
dalam tanah. Tubuh bungkuk renta itu pun lenyap dalam satu kali lakukan lompatan ke arah samping.
Zlaaap...! Kemudian Tua Usil tak bisa lihat lagi
apa yang terjadi, tapi ia dengar suara berbaku hantam
dan pekikan tertahan yang seakan-akan ada di depannya. Suara beradunya tangan dengan tangan pun terdengar jelas: plak, plak, plak, buuhg...! Plak!
Suara gaduh itu pun segera hilang setelah terdengar suara pekik tertahan dari mulut seorang lelaki.
Kejap berikutnya mata Tua Usil dapat melihat sesosok
tubuh bagai terlempar dari suatu tempat yang tak jelas asalnya. Buuuhhg...!
Ternyata tubuh Jubah Jangkung
yang menderita memar di bagian wajahnya, membiru
legam bagai terbakar parah. Orang jangkung itu menyeringai sambil berusaha bangkit. Pada pakaian dalamnya yang berwarna kuning lusuh itu terdapat bekas dua telapak tangan menghitam. Itu pertanda dia
terkena pukulan dahsyat dari Nini Bungkuk Renta.
"Tunggu pembalasanku!" terdengar Jubah
Jangkung lontarkan kata ancaman, tapi dirinya segera
melompat ke satu arah dan lenyap begitu saja. Sementara itu, Nini Bungkuk Renta terlihat muncul dari balik pohon dengan mata
memandang kepergian Jubah
Jangkung. Tua Usil hanya bisa melihat dan melihat saja, tanpa bisa bicara dan bergerak.
Tua Usil juga melihat rona kemarahan di wajah
Nini Bungkuk Renta. Dan yang membuatnya terkejut,
ia melihat telapak kaki Nini Bungkuk Renta kepulkan
uap putih tipis. Tiap ia melangkah selalu tinggalkan jejak biru di tanah. Bekas
telapak kakinya yang bagaikan mengandung serbuk biru itu membuat Tua Usil
kian cemas dalam hatinya, karena ia ingat kata-kata
Lili bahwa dirinya sedang dicari-cari oleh seorang yang dikenal dengan nama
Tapak Biru. Rupanya Nini Bungkuk Renta itulah orang yang mencari-carinya selama
ini dan yang bergelar Tapak Biru.
"Kalau tak ingat keadaanmu begitu, akan kukejar si Jubah Jangkung dan kubunuh di mana saja kutemukan dia!" kata Nini Bungkuk Renta. "Tapi aku lebih berat meninggalkan
dirimu, walaupun kau tidak
berat meninggalkan diriku di rumah kosong itu, Kekasihku! Hek, hek, hek!"
Di salah satu sisi tempat itu, Raga Dewa sedang
kasak-kusuk dengan seorang lelaki pendek berpakaian
abu-abu, mengenakan ikat kepala kuning. Orang tersebut tak lain adalah Raja Tipu, yang sedang menunjuk ke arah Tua Usil dan Nini Bungkuk Renta.
"Itu...! Itu orang yang bernama Tua Usil. Nah,
selamat merebut pusaka itu, Tuan. Pasti pusaka itu
akan jatuh di tangan Tuan!"
Raja Tipu cepat tinggalkan tempat setelah mendapat upah dari Raga Dewa. Pada waktu itu, Nini
Bungkuk Renta akan bebaskan pengaruh totokan pada
diri Tua Usil. Namun tiba-tiba tubuhnya terasa bagai
diterjang angin badai yang cukup kencang hingga ia jatuh terjengkang. Rupanya Raga Dewa bergerak cepat
bagaikan hembusan badai dan menerjang Nini Bungkuk Renta. Bruuus...! Bluuhg....!
Dua orang pengikut Raga Dewa tetap diam di
balik persembunyian sesuai dengan isyarat Raga Dewa
tadi. Kini Raga Dewa berbalik arah dan segera cabut
senjata kapak dua mata dari pinggangnya sambil serukan tawa terbahak-bahak,
"Huah, ha, ha, ha....! Sekarang saatnya kita
bertemu, Tua Usil! Rupanya kau ada di sini dengan
nenekmu, hah"!"
Tua Usil melirik sedikit. Ia melihat wajah Raga
Dewa tapi tidak mengenalinya. Ia ingin bicara tapi mulutnya bagaikan dipatri dan rahangnya tak bisa bergerak. Nini Bungkuk Renta segera bangkit dengan terhuyung-huyung. Telapak kakinya semakin tebal keluarkan asap dan tinggalkan bekas biru di tanah yang dipijaknya. "Bocah jalang!" geram Nini Bungkuk Renta.
"Mengapa kau menerjang ku sampai jatuh, hah"! Tak tahukah kau bahwa orang jatuh
itu sakit"!"
"Huah, ha, ha, ha, ha...! Maaf, Nek. Kau menghalangi langkahku yang ingin menerjang si Tua Usil
itu, jadi kau yang kena sasaran! Sekarang, minggirlah!
Akan ku penggal kepala si Tua Usil itu kalau tak mau
serahkan pisau Pusaka Hantu Jagal itu!"
"Tunggu dulu...!" Nini Bungkuk Renta berkerut dahi dan pandangi Tua Usil
beberapa saat. "Jadi... kau yang bernama Tua Usil, Pancasona" Kau yang memiliki
pusaka itu, Sayang"!"
Tua Usil tak bisa menjawab karena masih dalam pengaruh totokan. Tapi detak jantungnya semakin
kuat dan tubuhnya cucurkan keringat dingin. Ia ngeri
dipandangi Nini Bungkuk Renta beberapa saat la

Jodoh Rajawali 13 Jejak Tapak Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

manya. "Nenek budek! Lekas menyingkir darinya, aku akan paksa dia agar mau
serahkan pusaka itu! Aku
sangat membutuhkannya untuk membalas sakit hatiku atas penolakan lamaranku oleh Dewi Gita Dara!"
Nini Bungkuk Renta diam memandang Raga
Dewa. Sorot pandangan matanya itu tampak biasabiasa saja. Tapi tiba-tiba bola mata Raga Dewa menjadi merah. Makin lama semakin
basah, dan basahnya itu
karena darah. Raga Dewa segera sadar bahwa ia telah
diserang oleh nenek bungkuk itu dengan menggunakan kekuatan pada matanya.
"Jahanam kau, Nenek Peot! Heaaah...!" Raga
Dewa segera tarik gagang kapaknya menjadi rantai
panjang, lalu ia memutarkan rantai itu hingga mata
kapaknya mengeluarkan suara dengung memekakkan
telinga manusia biasa. Suara dengung itu membuat
beberapa dahan pohon menjadi retak secara susulmenyusul. Wuuungngng...!
Trak! Kraak...! Praaak...! Rekatak...! Kraaak...!
Nini Bungkuk Renta masih diam saja, memandangi Raga Dewa yang pejamkan matanya sambil masih memutar-mutar kapaknya yang dialiri tenaga dalam cukup tinggi, hingga meretakkan pepohonan. Kejap berikutnya, Nini Bungkuk Renta lemparkan tongkat rotannya ke arah putaran kapak tersebut.
Wuuutt...! Zraaak...!
Putaran kapak terhenti akibat dililit tongkat.
Pada saat itulah tubuh kurus kering itu melompat bagaikan terbang. Kedua kakinya terarah ke depan dan
menghantam dada Raga Dewa. Baaahg...!
"Uuhg...!" Raga Dewa tersentak ke belakang dan jatuh di kerimbunan semak. Dari
tubuhnya keluar
asap tipis. Warna biru membekas jelas di dada Raga
Dewa yang mengenakan baju pelapis dada merah itu.
Ia berkelojotan di semak-semak itu bagaikan ayam disembelih karena terkena racun biru dari telapak kaki
Nini Bungkuk Renta.
Kedua anak buahnya segera menolongnya,
mengangkat dan membawanya lari menjauhi nenek
bungkuk yang berbahaya itu. Pada saat tubuh Raga
Dewa diangkat, tampaklah wujud kulit tubuhnya yang
tersayat-sayat bagai habis dihajar dengan cambuk
berpisau. Pakaiannya pun tersayat pula, bahkan sampai bagian wajahnya bergaris-garis merah seperti luka
bekas sayatan, lebih dari lima puluh sayatan. Ia tak
dapat bicara sedikit pun kecuali matanya terbeliakbeliak dengan napas tersentak-sentak.
Raja Tipu ternyata belum jauh dari tempat itu,
karena ia ingin mengintip kematian Tua Usil. Ternyata
justru Raga Dewa yang menderita luka parah dari dibawa lari oleh dua anak buahnya. Raja Tipu segera
temui mereka dan berkata,
"Bawalah tuanmu itu ke Gerojogan Gaib! Di sebelah selatan arahnya. Di sana ada air terjun yang
mempunyai kekuatan gaib, bisa sembuhkan luka seseorang dengan cara memandikannya di sana!"
"Kami tidak tahu tempatnya. Antarkanlah kami!" "Boleh saja, asal upahnya sama dengan yang
diberikan pada tuanmu tadi. Kalau kau setuju, kuantarkan ke sana!"
"Soal upah, nanti kubicarakan dengan sang Ketua. Yang penting beliau harus segera tertolong!"
Raja Tipu dan dua anak buah Raga Dewa itu
segera lari ke arah selatan. Kalau saja mereka berlari ke arah timur, maka akan
berpapasan dengan rombongan tandu Dewi Gita Dara. Sayang mereka bergerak ke selatan sehingga tak melihat bahwa rombongan
tersebut akhirnya tiba di tempat Tua Usil dan Nini
Bungkuk Renta berada. Pada saat itu, Nini Bungkuk
Renta sedang pertimbangkan untuk memaksa Tua Usil
dengan kasar agar mau serahkan pisau Pusaka Hantu
Jagal itu atau membujuknya dengan kelembutan dan
kemesraan. Ia belum lepaskan totokan Tua Usil, sementara dalam hati Tua Usil menjerit-jerit minta dilepaskan dari pengaruh totokan jalan darahnya itu.
"Tua Usil...!" seru Bocah Bodoh begitu melihat sosok Tua Usil sedang diam
mematung di samping nenek tua itu. Bocah Bodoh segera berkata tegang kepada Dewi Gita Dara,
"Nona... itu dia yang bernama Tua Usil!"
Dewi Gita Dara segera suruh pengusung tandu
berhenti, kemudian ia melompat turun dari dalam tandu tersebut. Tapi langkahnya sempat terhenti melihat
seorang nenek ada di dekat Tua Usil. Ia kenal dengan
wajah nenek itu, sehingga mulutnya menggumam,
"Celaka! Dia bersama Nini Bungkuk Renta"!"
"Diakah yang bernama Tapak Biru, Nona?"
"Benar," jawabnya pelan, lalu berkata kepada para pengawalnya, "Kurung tempat
ini!" Wuuurrrt...! Dalam sekejap tempat tersebut telah dikepung oleh sisa anak buah Dewi Gita Dara. Hal
itu menarik perhatian Nini Bungkuk Renta, sehingga ia
memandang berkeliling dengan penuh curiga yang tak
kentara. Bocah Bodoh segera berlari dekati Tua Usil.
Tapi ia dipandang tajam oleh Nini Bungkuk Renta. Ia
menjadi takut dan gemetar, bahkan lupa bahwa dirinya membawa Pedang Jimat Lanang. Bocah Bodoh
pun segera undurkan diri dan dekati Dewi Gita Dara.
Ia berbisik, "Nona, apakah saya harus serang nenek bungkuk itu?" "Jangan. Ilmunya sangat tinggi. Kau kalah dengannya. Sebaiknya, aku bicara dengannya secara baikbaik saja!"
Bocah Bodoh menjadi jengkel. Matanya memandang ke sana-sini mencari Yoga. Tetapi saat itu
Yoga dan Lili tidak ikut bersama rombongan. Mereka
berpencar mencari Tua Usil. Berada di atas punggung
rajawali putih berduaan.
"Siapakah kau, Gadis Cantik"!" tanya Nini
Bungkuk Renta dengan mata sedikit menyipit ketika
Dewi Gita Dara mendekatinya.
"Aku penguasa Teluk Gangga, Nini. Namaku,
Dewi Gita Dara!"
"Lho, bukankah penguasa Teluk Gangga adalah
Padmi Gana?"
"Itu nenekku, sekarang beliau sudah wafat!
Akulah penggantinya!" sambil berkata demikian mata Dewi Gita Dara melirik ke
telapak kaki nenek kurus
itu. Ternyata kepulan asap yang ada di kedua telapak
kakinya sudah menjadi biru. Itu pertanda hati Nini
Bungkuk Renta sedang diliputi kemarahan yang tertahan. Racun yang keluar dari telapak kakinya lebih
berbahaya dibanding saat kaki itu kepulkan asap putih. Itulah sebabnya Dewi Gita Dara tak berani bersikap kasar kepada Nini Bungkuk Renta.
"Apa maksudmu datang menemuiku kemari?"
"Saya ingin bicara dengan Tua Usil, Nini!"
"Aku harus tahu, kau mau bicara apa" Tua Usil
ini kekasihku, tapi bisa juga jadi musuhku jika dia tak mau serahkan Pusaka
Hantu Jagal padaku! Katakan,
kau mau bicara apa?"
"Aku mau minta tolong padanya untuk... membunuh seekor naga yang ada di Teluk Gangga, Nini!
Naga itu...."
Kata-kata Dewi Gita Dara terhenti karena hembusan angin kencang datang dari atas. Rupanya seekor burung rajawali putih melintas di atas mereka. Bocah Bodoh segera berteriak keras-keras,
"Tuan Yooo...! Kami di sini dalam bahayaaa...!"
Seruan itu tertangkap oleh telinga Lili, kemudian kedua pendekar itu sama-sama memandang ke bawah
dan melihat Tua Usil ada di sana. Maka burung rajawali putih itu pun merendah lalu hinggap di tanah tak
seberapa jauh dari tempat mereka berkumpul. Lili serta Yoga lekas berlari temui Dewi Gita Dara dan Bocah
Bodoh. Lili terperanjat melihat Tua Usil diam mematung di belakang Nini Bungkuk Renta. Mata nenek
peot itu mulai terbuka dan berkata,
"Kau datang tepat pada waktunya, Lili! Saatnya
telah tiba untuk membalaskan sakit hati muridku yang
kau lenyapkan semua ilmunya!"
"Yo, bersiaplah hadapi dia!" bisik Lili. "Dialah yang berjuluk Tapak Biru yang
kuceritakan tadi!"
"Baik, akan kuhadapi sendiri dia!"
Seet...! Blaaar...! Petir menggelegar ketika Yoga
cabut pedang pusakanya dari punggung. Pedang Lidah
Guntur membuat semua orang terperangah karena
memancarkan cahaya kemerah-merahan dengan kilatan lidah petir kecil yang bergerak memutar mata pedang tersebut. Sedangkan Nini Bungkuk Renta segera
terperanjat dan berseru,
"Pedang Lidah Guntur! Oh, rupanya kau murid
si Dewa Geledek"!"
Yoga berkata dengan tenang, "Lepaskan Tua
Usil dan jangan ganggu lagi dia! Lupakan tentang pusaka itu."
Wajah Nini Bungkuk Renta mulai kelihatan
memerah. Kemarahannya mulai timbul. Ia menggeram
dengan suara lirih tapi memanjang. Tongkatnya yang
sudah diambil sejak tadi itu kini dalam keadaan digenggam dengan satu tangan. Tongkat itu menyala sinar biru bening yang membuat sekujur tubuh Nini
Bungkuk Renta menjadi bersinar biru pula.
"Kau tak akan bisa halangi kemauanku, Anak
Muda! Pusaka itu harus ada di tanganku, karenanya
jangan coba-coba dekati Tua Usil ini! Pergilah semua!
Atau kulepaskan murka ku sekarang juga!"
"Kami akan pergi jika bersama Tua Usil!"
"Keparat! Heaaaahhhh...!" Nini Bungkuk Renta yang tadi tubuhnya lemah dan
jalannya terhuyung-huyung itu, kini berubah menjadi gesit dan lincah dalam keadaan tubuh menjadi biru. Ia mampu melompat
dengan gerakan cepat dan menebaskan tongkatnya
dengan cepat. Wuuus! Cahaya biru menyebar, tapi segera dilawan oleh tebasan pedang Yoga yang memercikkan sinar merah berkelok-kelok. Zlaaap...! Blaaar!
Yoga terpental hampir saja jatuh karena ledakan tersebut, sedangkan Nini Bungkuk Renta tetap
berdiri setelah pijakkan kakinya ke tanah. Ia memainkan jurus tongkatnya dengan lincah dan membuat beberapa dahan retak serta patah akibat gelombang angin yang di timbulkan dari kibasan tongkat berkali-kali itu. Beberapa anak buah
Dewi Gita Dara pun terpental
mundur, bahkan ada yang terpelanting jatuh karena
angin gelombang bertenaga dalam tinggi.
Claaap...! Tiba-tiba Lili sentakkan kedua tangannya ke depan dan dari telapak tangan itu keluar
dua tarik sinar ungu. Sinar tersebut melesat dan bertemu di pertengahan jarak, berubah menjadi sinar putih keperakan yang segera menghantam pinggang Nini
Bungkuk Renta. Melihat sinar berbahaya Itu, Nini Bungkuk
Renta segera lepaskan pukulan dahsyatnya melalui
ujung tongkat yang menyala biru itu. Ujung tongkat itu keluarkan sinar merah
terang melebar membentuk
lingkaran bagai piring besar yang menghadang sinar
putih perak tersebut. Tetapi Yoga segera lakukan lompatan cepat dengan pedang mengarah ke dada Nini
Bungkuk Renta. Nenek itu bingung menghadapi serangan ganda dari Lili dan Yoga. Akibatnya, ia lebih khawatir dengan serangan Pendekar Rajawali Merah yang
hendak menembus dadanya itu. Maka, pukulan sinar
merah sebagai penangkis sinar putih perak itu dibatalkan, tangannya cenderung menghadang ujung pedang
yang membara merah tersebut. Namun rupanya Yoga
segera tarik pedang tersebut dan ia tolakkan kakinya
ke pohon sehingga bergerak balik dalam lingkaran bersalto. Wuuut...! Nini Bungkuk Renta merasa tertipu
oleh serangan Pendekar Rajawali Merah yang hanya
mengacaukan pusat pikirannya saja. Tetapi ia telah
terlambat tak bisa lagi tahan sinar putih perak itu. Sinar tersebut akhirnya
menghantam pinggang kanan
Nini Bungkuk Renta.
Zlaaap...! Dalam sekejap sinar putih perak menguasai sekujur tubuh Nini Bungkuk Renta. Lalu sinar itu padam, dan tubuh Nini Bungkuk Renta pun jatuh terkulai di tanah. Ia berusaha untuk bangkit walaupun sinar putih perak yang membungkus tubuhnya telah
padam seketika. Namun ia tidak berhasil lakukan hal
itu. Bahkan ketika ia berusaha sentakkan tangannya,
ternyata tangannya sangat lemas dan tidak berkekuatan seperti semula. Beberapa hal ia coba lakukan, namun tetap gagal, Akhirnya ia meraung dalam tangisnya
sambil berseru,
"Ilmuku hilaaang...! llmuku hilaaang...!"
Semua orang yang ada di situ memandang dengan tertegun dan iba. Nenek sakti itu akhirnya mengalami nasib seperti muridnya juga, yaitu kehilangan ilmu karena pukulan 'Sirna Jati' yang dilepaskan oleh
Lili tadi. Nenek sakti itu akhirnya tak ubahnya seperti
manusia jompo yang tak mampu gerakkan kakinya untuk bangkit sedikit pun. Ia menangis meraung-raung
dan tak mau hiraukan bujukan siapa pun. Ia benarbenar berubah seperti anak kecil yang baru berusia
antara dua atau tiga tahun. Bicaranya pun menjadi
cadel, dan hal itu semakin mengharukan hati mereka.
"Kurasa itu lebih baik daripada harus membunuhnya!" kata Dewi Gita Dara yang agaknya setuju
dengan langkah yang diambil Lili. Tambahnya lagi, "Ilmumu cukup tinggi, aku


Jodoh Rajawali 13 Jejak Tapak Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kagum padamu, Pendekar
Rajawali Putih!"
"Kurasa biasa-biasa saja. Kalau jurus pancingan Yoga tadi tidak dilakukan, belum tentu aku berhasil melepaskan jurus 'Sirna Jati' dan kena pada sasaran. Kulihat dia punya jurus penangkis yang hampir
saja menggagalkan jurus 'Sirna Jati'-ku."
Yoga selesai melepaskan totokan Tua Usil. Kemudian Tua Usil membujuk agar Nini Bungkuk Renta
diam dari tangisnya. Ternyata memang hanya Tua
Usil-lah yang mampu redakan tangis nenek tua itu,
dan hal itu membuat beberapa orang menertawakannya. Tua Usil bagai bermain dengan bocah cilik yang
amat menurut kepadanya.
"Kalau sudah begini mau diapakan orang ini?"
tanya Tua Usil kepada Bocah Bodoh. Dan Bocah Bodoh menyahut, "Ajak pulang saja ke rumahnya! Atau serahkan
kepada muridnya, jadikan satu dengan Iblis Mata Genit di Bukit Kematian!"
"Benar," kata Yoga. "Aku akan antarkan kamu ke sana Tua Usil."
Dewi Gita Dara segera menyahut, "Bagaimana
dengan Pusaka Hantu Jagal itu" Bolehkah aku meminjamnya untuk keperluan yang amat penting itu, Tua
Usil?" Tua Usil diam, memandangi Dewi Gita Dara
dengan tak mengerti harus bersikap bagaimana dalam
hal ini" Serahkan, atau tidak"!
Selesai Segera menyusul:
REMBULAN BERDARAH
E-Book by Abu Keisel https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari 2 Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana Harpa Iblis Jari Sakti 19

Cari Blog Ini