Ceritasilat Novel Online

Lembah Patah Hati 1

Joko Sableng 28 Lembah Patah Hati Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang Joko Sableng telah
Terdaftar pada Dept. Kehakiman R. I.
Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan
Merek di bawah nomor 012875
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
SATU BERLARI kira-kira dua puluh tombak, orang tua berambut putih jabrik mendadak berhenti. Di belakangnya, Pendekar 131 Joko Sableng yang mengejar karena
penasaran dengan orang serta ucapan-ucapannya,
hentikan pula larinya. Si orang tua berambut putih jabrik tersenyum lalu putar
diri menghadap murid Pendeta Sinting. "Apa yang kau inginkan dariku, Pendekar 131"!" Si
orang tua angkat bicara.
Pendekar 131 perhatikan sesaat pada orang. Lalu
berucap. "Orang tua. Sebelum aku menanyakan sesuatu, sudi sebutkan diri"!"
"Permintaanmu memberi petunjuk kecurigaan hati!"
kata si orang tua seraya tertawa pendek. "Jika aku tidak memenuhi permintaanmu,
apakah kau urung bertanya"!"
"Bukan begitu. Kau telah mengenaliku walau aku
percaya kita belum pernah bertemu. Rasanya...."
Belum sampai murid Pendeta Sinting teruskan ucapan, si orang tua berambut jabrik telah memotong.
"Kau nanti akan mengetahuinya! Sekarang katakan
apa yang hendak kau tanyakan!"
Untuk kesekian kalinya murid Pendeta Sinting
memperhatikan orang dengan seksama. Seperti diketahui, setelah berpisah dengan Nyai Tandak Kembang dan Putri Kayangan, serta meninggalkan Dewi
Ayu Lambada, Iblis Ompong, dan Dewa Uuk, Joko melihat satu sosok berkelebat. Sebenarnya dia tak mau
ambil peduli. Namun karena kawasan hutan di mana
kini dia berada adalah tempat yang diduga beberapa
orang adalah kawasan orang yang dicari, lebih dari itu karena sosok yang
berkelebat sepertinya sengaja membuat Joko penasaran, akhirnya murid Pendeta Sinting
ikut berkelebat mengejar.
Ternyata sosok itu adalah seorang laki-laki berusia
lanjut berambut putih dipotong sangat pendek hingga
rambutnya tegak-tegak. Dia mengenakan pakaian putih diselempangkan mirip pakaian para biksu yang bagian dada kanannya terbuka. Di tangan kanannya
memegang sebuah tasbih pendek dari butiran kayu
warna coklat. Dia juga mengenakan kalung panjang
dari butiran kayu berwarna coklat pula.
Pendekar 131 yakin belum pernah bertemu dengan
si orang tua berambut putih jabrik itu. Anehnya, si
orang tua sudah mengenalinya. Dan yang menambah
Joko penasaran serta mengejar lagi begitu si orang tua berkelebat adalah ucapanucapannya. "Orang tua!" kata murid Pendeta Sinting setelah
perhatikan orang untuk yang kesekian kalinya seolah
ingin yakinkan kalau dia memang belum pernah berjumpa. "Aku tidak mengerti dengan ucapan-ucapanmu
tadi. Kau mau memberi penjelasan"!"
"Aku tidak bisa memenuhi permintaanmu! Tapi satu
hal yang pasti, saat ini kau laksana sudah menebar
darah di laut. Dan Itu berarti Ikan hiu akan mengejar-mu!"
"Orang tua! Kau pasti sudah tahu kalau aku tengah
mencari seseorang! Adalah aneh ucapanmu itu! Mengapa aku kau ibaratkan sudah menebar darah dan dikejar"! Justru sekarang aku tengah mengejar!"
Si orang tua tertawa. "Itulah mengapa aku tidak bisa memenuhi permintaanmu. Penjelasan apa pun tak
akan kau mengerti! Dan justru nanti akan kau mengerti sendiri bila tiba saatnya!"
"Baiklah! Sekarang apa kau masih tak mau sebutkan diri"!"
"Selain alasan aku sudah mengenalimu walau kita
belum pernah bertemu, apakah kau punya alasan lain
hingga kau begitu bernafsu"!"
Murid Pendeta Sinting terdiam beberapa lama. "Rupanya orang tua itu tak mau dikenali! Untuk sebutkan
diri saja minta beberapa alasan! Siapa pun dia aku tak peduli. Yang jelas dia
bukan orang yang kucari! Mana
ada laki-laki tua seperti dia bisa bunting"!" kata Joko dalam hati. Lalu
berkata. "Orang tua! Dari pertanyaanmu sebenarnya justru
kau yang punya curiga padaku! Tak apalah.... Aku
akan percaya pada ucapanmu jika kelak aku akan tahu siapa dirimu dan apa maksud ucapanmu!"
Murid Pendeta Sinting tidak menunggu sahutan
orang. Dia cepat balikkan tubuh. Namun entah karena
apa dia tidak segera berkelebat walau sejenak tadi kakinya sudah bergerak.
Sebaliknya dia segera buka mulut ajukan tanya.
"Orang tua! Kalau aku tanya kau hendak ke mana,
apakah kau juga akan tanyakan beberapa alasan"!"
"Tergantung...."
"Apanya yang tergantung"! Maksudku.... Tergantung apa"!" tanya Joko tanpa putar diri menghadap
orang. "Tergantung apa maksud keinginanmu hendak bertanya aku akan pergi ke mana!"
"Itu namanya alasan!"
"Terserah mau kau bilang apa! Yang pasti begitulah
adanya!" "Orang tua!" kata Joko dengan nada agak tinggi
namun diseling tertawa. "Kau tahu artinya 'busyet'"!"
Kali ini lagi-lagi murid Pendeta Sinting tidak menunggu jawaban orang. Dia segera berkelebat seraya
tertawa bergelak-gelak. Namun sebenarnya gelakan
tawa itu hanya untuk menutupi rasa penasaran dan
kecewa. Diam-diam dia membatin. "Jangan-jangan
orang tua itu adalah Kigali yang pernah diceritakan
Datuk Wahing. Bukankah Nyai Tandak Kembang berkata pernah bertemu dengan Kigali"!"
Kebimbangan yang kembali melanda dada Joko
membuat gerakan kakinya terhenti. Lalu sosoknya cepat memutar. Di depan sana si orang tua tetap tegak
memperhatikan dengan bibir tersenyum dan tangan
memutar-mutar tasbih pendeknya.
"Orang tua itu benar-benar bikin hati orang penasaran! Apakah aku harus mengikutinya" Tapi untuk
apa"! Pitaloka yang kucari, bukan dia! Namun siapa
tahu dia orang yang menyembunyikan Pitaloka"!
Ah...!" Joko terus membatin dan berperang dengan kebimbangan. Sementara si orang tua berambut putih
jabrik di depan sana tetap diam tegak namun kini
pandangan matanya mengarah ke jurusan lain.
"Akan kucoba sekali lagi bertanya padanya! Siapa
tahu dia mau buka mulut!" Akhirnya murid Pendeta
Sinting memutuskan setelah agak tema termenung.
Namun belum sampai dia bergerak mendekati, si orang
tua berambut jabrik putih sudah memutar tubuh lalu
tanpa berkata-kata lagi berkelebat tinggalkan tempat
itu. Pendekar 131 tidak urungkan niat. Dia berkelebat mengejar. Namun baru saja
hendak bergerak, ekor matanya menangkap satu bayangan yang berhari di sebelah samping sana.
"Ada orang lain lagi di tempat ini!"
Belum sampai habis gumaman murid Pendeta Sinting, berjarak dua belas langkah di seberang samping
sana telah tegak satu sosok tubuh.
Murid Pendeta Sinting cepat berpaling. Sesaat sepasang matanya membeliak. Dia melihat seorang nenek
berambut putih lebat yang dikelabang dua dan ujungnya diberi pita. Sementara rambut bagian depannya
diponi dan digeraikan di depan kening. Mengenakan
baju tanpa lengan dan amat cingkrang berwarna merah hingga ketiak dan pusarnya kelihatan. Pakaian
bawahnya berupa celana pendek di atas lutut, membuat pahanya yang berkulit hitam tampak nyata. Nenek ini membedaki wajahnya dengan tebal. Bibirnya
dipoles merah menyala. Pipi kiri kanannya diberi warna merah muda. Tangan kanannya memegang sebuah
bumbung bambu. Sedang tangan kirinya memegang
sebuah rumput ilalang agak panjang.
"Bibi Dayang Sepuh!" gumam Joko mengenali siapa
adanya si nenek berdandan mencorong. "Untuk apa
dia membawa bumbung bambu dan ilalang"!"
"Setan geblek!" Tiba-tiba si nenek berbaju tanpa
lengan dan bercelana pendek warna merah perdengarkan suara seraya melompat ke depan dan tegak enam
langkah di hadapan Joko. "Mana nyai setan dan putri
setan itu"!"
Murid Pendeta Sinting tidak segera menjawab. Sebaliknya arahkan pandang matanya ke arah berkelebatnya si orang tua berambut jabrik putih. Ternyata
sosok si orang tua sudah tidak kelihatan lagi.
Si nenek berdandan mencorong dan bukan lain
memang Dayang Sepuh adanya tampak geregetan
mendapati orang yang ditanya tidak segera menjawab
malah arahkan pandangan ke jurusan lain. Dia segera
buka mulut lagi. Tapi Joko keburu mendahului.
"Bibi.... Kau melihat orang tua itu tadi"!"
"Setan! Ditanya bukannya memberi jawaban tapi
balik bertanya!" Dayang Sepuh mendelik sembari
membentak. Karena sudah tahu watak si nenek, Joko tidak hiraukan bentakan Dayang Sepuh. Malah dia tersenyum
namun dalam hati berkata. "Rupanya dia tidak mengetahui adanya si orang tua itu tadi!" Lalu buka mulut
menjawab pertanyaan si nenek.
"Bibi.... Mereka berdua entah ke mana. Kami berpisah di sebelah utara sana!"
"Memang lebih baik kau berpisah dengan kedua setan perempuan itu! Kalau tidak, aku khawatir kau berubah jadi manusia setan yang bisu dan tidak kuasa
berbuat apa-apa!"
"Harap maafkan kalau tempo hari aku tidak menyambutmu. Karena aku telah terikat perjanjian dengan Nyai Tandak Kembang!"
Seperti dituturkan dalam episode: "Nyai Tandak
Kembang", murid Pendeta Sinting yang saat itu bersama Putri Kayangan dan Nyai Tandak Kembang sempat
bertemu dengan Dayang Sepuh yang saat itu bersama
Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun. Pendekar 131
memang tidak berkata apa-apa saat pertemuan itu, karena dia telah dipesan Nyai Tandak Kembang untuk tidak melakukan atau berkata selain yang diperintahkan si nyai. Joko terpaksa mengikuti aturan Nyai Tandak Kembang, karena dia yakin Nyai Tandak Kembang
akan menemukan Pitaloka dan dia sendiri ingin terus
bersama Putri Kayangan.
Di lain pihak, Dayang Sepuh sendiri tampak jengkel
pada Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun. Karena
saat mengintai Pendekar 131, Putri Kayangan, dan
Nyai Tandak Kembang, dan munculnya Dewi Ayu
Lambada, Iblis Ompong, serta Dewa Uuk, ternyata Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun sudah pergi tanpa
memberi tahu. Hingga dengan membawa dada yang
dongkol, Dayang Sepuh berkelebat pergi untuk mencari Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun.
"Aku mencium aroma seperti di sekitar tanah ketinggian itu!" Tiba-tiba murid Pendeta Sinting berkata dalam hati dengan hidung
kembang-kempis dan kepala berputar mencari sumber aroma. "Bau kencing...!
Aroma sedap ini tadi tidak ada, tapi bersamaan dengan munculnya nenek itu,
hidungku menciumnya! Jangan-jangan nenek itu terkencing di celana tanpa
disadari! Jelas bau ini berasal dari sana!" Joko angkat kepalanya lurus ke arah Dayang Sepuh. Matanya bukan
menatap ke arah paras wajah si nenek, melainkan pada celana pendeknya.
"Celananya tidak kelihatan basah! Atau aku sendiri
yang terkencing-kencing"!" Pendekar 131 kini gerakkan kepala menunduk dan memperhatikan bagian bawah pakaiannya. "Pakaianku juga tidak basah! Lalu
siapa yang kencing di sekitar tempat ini..." Atau jangan-jangan...." Entah
karena khawatir, tangan murid
Pendeta Sinting segera bergerak ke bagian bawah pakaiannya dan mengusap berulang kali lalu tangannya
ditarik ke depan hidungnya. Dia mengendus tangannya beberapa kali.
Di depan sana Dayang Sepuh tegak mengawasi
dengan mata melotot namun bahunya berguncang menahan tawa. Dan saat itu juga ilalang di tangan kanannya dimasukkan ke dalam bumbung bambu di
tangan kirinya. Lalu ditarik dan dikibas-kibaskan.
Bau aroma kencing makin santer. Joko yang masih
mengendus tangannya tampak kernyitkan dahi. Tampangnya sedikit tegang dan merah padam. "Aroma itu
makin gila! Jangan-jangan memang aku yang terkencing di pakaian tanpa sadar! Busyet betul!" Dia sudah hendak usapkan tangannya ke
pakaian bagian bawahnya lagi untuk meyakinkan. Namun diurungkan ketika
tiba-tiba tawa Dayang Sepuh meledak keras!
Karena ledakan tawanya, bahu si nenek makin berguncang, membuat tangan kanannya yang memegang
ilalang ikut bergerak-gerak, ilalang di tangan kanan
Dayang Sepuh muncratkan percikan air.
Pendekar 131 memperhatikan. Kejap itu juga dia
mendelik. "Busyet! Jadi dia biang bau kencing ini! Berarti bumbung bambu itu
terisi air kencing! Hem....


Joko Sableng 28 Lembah Patah Hati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku tahu sekarang. Aroma kencing di sekitar tanah ketinggian Itu pasti berasal dari dia! Berarti dia berada di sekitar tempat itu!
Tapi ke mana Kakek Datuk Wahing
dan Gendeng Panuntun" Tempo hari dia bersama kedua kakek itu! Lalu untuk apa dia membawa-bawa air
kencing"!"
Selagi murid Pendeta Sinting membatin, Dayang
Sepuh mendadak putuskan ledakan tawanya. Lalu
bertanya dengan suara keras.
"Setan geblek! Kau tidak melihat dua setan tua
bangka itu"!"
"Bibi! Kau ini aneh.... Bukankah mereka berdua
bersamamu" Mengapa sekarang kau bertanya padaku"!"
"Setan-setan itu memisahkan diri tanpa pamit!"
"Kalian bertengkar"!"
"Setan! Apa yang masih sedap dari kedua setan itu
hingga menimbulkan pertengkaran"! Kau jangan bicara tak karuan!"
"Ah.... Aku hanya menduga!"
"Hem.... Kau tadi menanyakan orang tua! Orang tua
mana yang kau maksud"!" Tanya Dayang Sepuh seraya edarkan pandangan matanya berkeliling.
"Dia sudah pergi begitu melihat kemunculanmu...."
"Kau tak mengenalinya"!"
"Kalau aku kenal, tak mungkin aku bertanya padamu! Anehnya, dia telah mengenaliku bahkan mengenalimu juga!" ujar Joko berdusta.
Tiba-tiba Dayang Sepuh berkelebat dan tegak tiga
langkah di depan Joko. Joko terkesiap. Entah karena
khawatir si nenek marah mendengar ucapannya, murid Pendeta Sinting segera surutkan langkah satu tindak. Namun dugaan Joko meleset. Dayang Sepuh bukannya marah, sebaliknya tersenyum lebar. Lalu tangan kanannya mengambil kelabangan rambutnya sementara tangan kiri merapikan poni di kening. Lalu
berkata. "Bagaimana tampang orang itu" Masih tampan dan
gagah" Menurutmu apakah serasi dengan diriku"!"
"Edan!" kata Joko dalam hati lalu tertawa ngakak.
Dayang Sepuh lepaskan kelabangan rambutnya
dengan kepala sedikit disentakkan hingga kelabangan
rambutnya meliuk dan perdengarkan desiran.
"Katakan padaku bagaimana tampang orang yang
kau katakan telah mengenalku itu!" pinta Dayang Sepuh. "Berusia sekitar tujuh puluh tahunan. Parasnya
masih lumayan. Rambutnya putih pendek dan beginibegini!" Joko angkat tangan kanannya. Telunjuk jarinya ditegakkan lalu digerakkan pulang balik ke bawah ke atas. "Pokoknya jabrik!" kata Joko menerangkan isyarat telunjuk tangannya. "Dia mengena-kan pakaian selempang warna putih yang terbuka bagian dada kanannya. Tangannya memegang tasbih warna coklat pendek. Di lehernya melingkar kalung panjang juga berwarna coklat!"
Mendengar keterangan Joko tiba-tiba kembali
Dayang Sepuh perdengarkan tawa bergelak.
"Kau mengenalinya, Bibi.... Siapa dia"!"
Dayang Sepuh putuskan gelakan tawanya. "Kau tidak berkata dusta, Setan Geblek!"
"Berkata denganmu, mana aku berani bicara tidak
benar"! Siapa dia, Bibi"!"
"Aku tidak kenal! Dan baru kali ini aku melihat
orang yang ciri-cirinya seperti baru saja kau katakan!"
Murid Pendeta Sinting menarik napas panjang. "Lagaknya saja tadi seperti kenal orang! Tak tahunya sama dengan diriku!" ujar Joko dalam hati dengan perasaan kecewa dan sedikit jengkel.
"Aku merasa ada yang tak beres di dalam hutan ini!
Sudah dua setan manusia yang tiba-tiba mengenaliku
padahal aku tidak kenal pada mereka!" gumam Dayang
Sepuh seperti berkata pada diri sendiri. Lalu bertanya.
"Apa pula yang dikatakan padamu"!"
"Aku diibaratkan sudah menebar darah di lautan.
Berarti ikan hiu akan mengejarku!" kata Joko menerangkan apa yang didengarnya dari si orang tua berambut putih jabrik. "Kau bisa menangkap arti ucapannya itu, Bibi"!"
"Ucapan setan begitu mana bisa ditangkap orang"!"
jawab Dayang Sepuh. "Tentang diriku, apa saja yang
sempat dikatakan"!" Si nenek kembali ajukan tanya.
"Dia tak bicara apa-apa tentang dirimu. Hanya dia
menyinggung-nyinggung jika kau tentu masih tetap
bergaya dan makin cantik!"
"Hem.... Begitu"!"
"Ya.... Begitu!"
"Ke mana dia perginya"!"
"Ke arah sana!" Tangan kanan Joko menunjuk ke
satu arah. "Kau di sini sedang menunggu seseorang"!"
Dengan kening berkerut, murid Pendeta Sinting
memberi isyarat jawaban dengan gelengan kepalanya.
"Bagus! Sekarang kita kejar setan jabrik itu!"
"Tunggu, Bibi!" tahan Joko melihat Dayang Sepuh
hendak bergerak. "Kurasa tak ada perlunya mengejar
setan jabrik itu! Karena jelas dia tidak bisa bunting dan berarti bukan dia
orangnya yang perlu dicari!"
"Memang betul! Tapi aku curiga padanya! Lebihlebih aku ingin membungkam mulutnya yang mengatakan padamu bahwa aku masih tetap bergaya dan
makin cantik! Jelas meski seperti memuji tapi sebenarnya dia menghinaku!"
"Walah.... Ini akan jadi masalah! Padahal orang tua
itu tadi tidak mengatakan demikian!" kata Joko dalam
hati. Lalu berucap.
"Bibi.... Lebih baik kita teruskan saja mencari Pitaloka! Waktu purnama sudah tidak lama lagi. Kalau kita kedahuluan orang, tentu akan berbahaya!"
"Itu alasan yang masuk akal! Tapi aku menangkap
ucapan lain di balik alasanmu itu!"
"Maksudmu..."!"
"Kau takut aku membuktikan apa yang diucapkan
setan jabrik itu padamu!"
Walau dalam hati membenarkan ucapan si nenek,
namun Joko tak mau kehilangan muka. Maka dia segera gelengkan kepala seraya berkata.
"Bukan begitu, Bibi! Dia mengatakan padaku, suatu
saat nanti pasti akan bertemu denganku lagi! Jadi
tanpa dicari pun mungkin kita kelak akan menemukannya! Sementara Pitaloka tidak akan ditemukan jika
tidak dicari!"
"Hem.... Kau pintar juga beralasan! Baiklah.... Sekarang kita teruskan perjalanan. Tapi kita mengikuti
jejak setan jabrik itu! Kemunculannya di hutan ini pas-ti masih ada sangkutpautnya dengan urusanmu!"
"Tapi seandainya kita nanti bertemu lebih dahulu
dengan setan jabrik itu, kuharap Bibi bisa menahan
diri sementara! Kita tidak usah mencari masalah sebelum urusan Pitaloka rampung!"
"Ucapanmu meyakinkan dugaanku, Setan Geblek!
Tapi usulmu sementara ini kuterima! Kau tahu mana
arah yang diambil setan jabrik itu, sekarang kau yang ada di depan!"
Joko anggukkan kepala. Namun belum juga dia
berkelebat. Dayang Sepuh sudah melotot. Namun sebelum bentakannya terdengar, Joko sudah perdengarkan pertanyaan.
"Bibi.... Boleh aku tanya"! Untuk apa bumbung
bambu berisi air setan itu"!" Joko ikut-ikutan menyebut kata setan seperti kebiasaan si nenek.
"Nanti saja kuterangkan sambil jalan! Jika tidak, jejak setan jabrik itu akan lenyap! Lekas lari!"
Tanpa menunggu lama, murid Pendeta Sinting segera berkelebat disusul kemudian oleh Dayang Sepuh.
*** DUA SEMENTARA di tempat lain di dalam hutan sebelah
barat, tampak dua sosok tubuh melangkah cepat menerabas semak belukar dan sela jajaran pohon. Sesekali kedua orang ini hentikan langkah lalu lanjutkan
perjalanan dengan pandangan selalu curiga pada setiap jengkal tanah yang dilewati.
Berjalan di bagian depan adalah seorang kakek berambut putih dan bermata sedikit sayu malah tak jarang sepasang matanya keluarkan air mata. Mengenakan pakaian agak lusuh berwarna putih. Sementara
orang di belakang si kakek adalah seorang gadis muda
berparas cantik namun tampak murung. Rambutnya
hitam dan tampak tidak teratur. Gadis ini mengenakan
pakaian warna merah. Kala berhenti, gadis muda ini
sesekali tengadah dengan menggigit bibirnya dan perdengarkan keluhan pendek. Kedua tangannya menakup perutnya yang ternyata telah membesar, satu tanda kalau gadis muda ini tengah mengandung.
Pada satu tempat, si kakek yang melangkah di depan hentikan tindakannya. Setelah memperhatikan
berkeliling, dia berpaling pada gadis di belakangnya.
"Pitaloka.... Kuharap kau bertahan...."
Si gadis yang perutnya besar dan bukan lain adalah
Pitaloka adanya, anggukkan kepala dengan menggigit
bibirnya. Dia berusaha untuk tidak perdengarkan keluhan meski perutnya terasa melilit sakit bukan main.
"Kakek.... Apakah perjalanan ini masih jauh"! Dan
ke manakah sebenarnya yang hendak kita tuju"!" Bertanya Pitaloka setelah dapat kuasai rasa melilit pada perutnya.
Si kakek yang tidak lain adalah Kigali, tersenyum
sembari menghela napas dalam. Dia tahu, walau Pitaloka anggukkan kepalanya tapi sebenarnya dia paksakan diri untuk tidak membuat kecewa dirinya.
Kigali melangkah mendekati Pitaloka yang kini duduk bersandar pada batangan pohon dengan selonjorkan kedua kakinya. Lalu duduk di samping si gadis
dan berkata pelan.
"Pitaloka.... Pada mulanya aku berencana pergi ke
sebuah dusun tidak jauh dari hutan ini. Namun firasatku tidak enak. Lagi pula kau tampaknya merasa
keberatan jika harus bertemu orang dalam keadaan
begini! Maka dari itu kuputuskan untuk pergi ke satu
tempat di bagian ujung hutan ini di sebelah barat. Di sana ada sebuah
lembah...."
"Kau pernah ke sana"!" tanya Pitaloka seraya paksakan diri tersenyum.
Kigali gelengkan kepala. "Aku tidak pernah sampai
ke lembah itu. Tapi aku sering berjalan sampai perbatasan lembah!"
"Kek.... Sebenarnya ada apa kau tiba-tiba mengajakku pergi"! Kurasa tempat kita semula sudah aman.
Atau barangkali kau punya musuh"!"
Kigali tidak segera menjawab pertanyaan Pitaloka.
Dia tengadahkan kepala memandang rimbun dedaunan. "Hem.... Aku tak boleh mengatakan apa sebenarnya yang telah terjadi di hutan sebelah sana! Itu akan membuat pikirannya
kalut!" Kigali berkata dalam hati.
Lalu berkata. "Anakku.... Separo dari masa hidupku terdahulu
memang penuh dengan tindakan jahat hingga aku banyak punya urusan dengan beberapa orang! Namun
separonya lagi masa hidupku hingga kini, kuhabiskan
di dalam hutan tanpa melibatkan diri dengan dunia
luar. Kalaupun masih ada beberapa orang yang dahulu
pernah punya urusan denganku, kurasa mereka telah
melupakannya. Malah mungkin mereka sudah tidak
mengenaliku lagi dan menduga aku sudah binasa ditelan tanah. Jadi jangan beranggapan kepergian kita ini karena menghindari musuh!"
"Lalu apa masalahnya"!"
Kigali tampak bimbang. Hingga untuk beberapa
saat dia terdiam. Pitaloka merasa curiga. Lalu berucap seraya tatap Kigali.
"Kek.... Katakanlah terus terang padaku. Kau sudah
kuanggap sebagai kakekku sendiri. Kau sudah menyelamatkan hidupku bahkan kehidupan bayi dalam perutku ini! Demi kau, nyawa pun akan kukorbankan!
Jadi jangan menyimpan masalah sendiri!"
"Pitaloka...," kata Kigali dengan suara bergetar karena haru mendengar ucapan Pitaloka. "Sebenarnya
aku telah bertemu dengan beberapa orang di hutan
saat itu.... Adalah aneh jika mendadak beberapa orang mendatangi hutan yang
berpuluh-puluh tahun tidak
menarik minat orang! Tentu mereka punya maksud
dengan kedatangannya!"
"Kek.... Kau kemarin telah mengatakan itu. Mau
kau mengatakan siapa mereka"!"
"Anakku.... Aku tidak mengenalnya!" jawab Kigali
berbohong. Seperti dituturkan dalam episode: "Nyai Tandak
Kembang", Kigali sempat bertemu dengan Nyai Tandak
Kembang juga dengan Datuk Wahing, Dayang Sepuh,
dan Gendeng Panuntun. Dari pembicaraan mereka, Kigali rupanya dapat menangkap apa maksud tujuan
mereka datang ke hutan. Malah Kigali sempat mengetahui kemunculan Putri Kayangan bersama Pendekar
131 Joko Sableng. Hanya saja Kigali tidak berusaha
untuk menemui keduanya.
"Kek.... Kau telah bertemu mereka dan kau tidak
mengenali mereka. Sekarang coba kau katakan bagaimana ciri-ciri mereka yang sempat kau temui!" ujar Pitaloka karena gadis ini
dapat menangkap jika Kigali
masih menyembunyikan sesuatu padanya.
Permintaan Pitaloka membuat Kigali tersentak kaget. Namun orang tua yang pada tiga puluhan tahun
silam memasukkan Maladewa alias Setan Liang Makam ke dalam makam batu di Kampung Setan ini ce

Joko Sableng 28 Lembah Patah Hati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pat kuasai diri dan berkata.
"Anakku.... Untuk sementara ini kau tak usah terlalu banyak berpikir. Itu akan kurang baik bagi pertumbuhan bayi dalam perutmu! Nanti bila kau telah melahirkan, semuanya akan kujelaskan padamu!"
"Lalu apakah kau menduga mereka mengenaliku"!"
kejar Pitaloka.
"Mereka memang tidak menyebut-nyebut namamu.
Tapi...." "Tapi apa, Kek"!" sahut Pitaloka seakan tak sabar
mendapati Kigali putuskan ucapannya.
"Dari pembicaraan mereka, mereka tengah mencari
seseorang! Aku tidak bisa memastikan siapa yang mereka cari. Namun daripada mereka membuat masalah
dengan kita, kuputuskan untuk mengajakmu pergi!"
Paras wajah Pitaloka tampak berubah. "Siapa gerangan mereka" Beda Kumala" Eyang Guru atau keparat manusia pemakai Jubah Tanpa Jasad itu" Atau
Jangan-jangan Pendekar 131.... Ah! Apa mungkin"!
Bagaimana mereka bisa menduga aku berada di hutan
ini"! Kalau benar Pendekar 131, apa yang harus kulakukan..."!" Pitaloka menduga-duga dalam hati.
Entah sadar atau tidak tiba-tiba Pitaloka bergumam. "Pendekar 131...."
Kigali berpaling dengan air muka sedikit heran. "Pitaloka.... Kau sepertinya pernah sebut-sebut nama itu Pendekar 131.... Siapa dia
sebenarnya" Kekasihmu...?"
Pitaloka terlengak. Dia tidak dapat lagi sembunyikan keterkejutan. Namun kepalanya segera menggeleng. "Kek.... Bagi orang seperti diriku, tidak ada kesempatan lagi untuk
mengharapkan seseorang!"
"Anakku.... Tidak semua orang memandang perempuan dari segi jeleknya! Apalagi musibah yang menimpamu bukanlah kau yang menghendaki! Jadi kau jangan terlalu memojokkan diri sendiri!"
Pitaloka angkat kepalanya dengan dada naik turun.
Entah apa yang dirasakan gadis saudara kembar Putri
Kayangan ini, yang jelas dia segera berucap.
"Kek.... Selagi hari belum begitu terik, lebih baik ki-ta lanjutkan perjalanan!"
Kigali tersenyum lalu beranjak bangkit dan buruburu menolong Pitaloka untuk berdiri. Saat lain kedua orang ini telah melangkah
menyusuri hutan menuju ke
arah barat. *** Karena sudah sering menuju ke arah lembah yang
dikatakan pada Pitaloka, Kigali bisa mencari jalan yang selain cepat juga aman.
Hingga begitu matahari terge-lincir dari titik tengahnya, Kigali dan Pitaloka
sudah sampai pada sebidang tanah terbuka. Memandang
agak jauh ke depan, terlihat sebuah lembah agak luas
yang dihiasi aneka bunga berwarna-warni. Di ujung
lembah tampak bentangan kaki langit cerah. Sementara di bagian samping kiri kanan lembah terlihat jajaran pohon besar seakan
membentengi. "Indah sekali lembah itu, Kek...!" kata Pitaloka seraya arahkan pandang matanya ke lembah di depan
sana. "Kalau menjelang purnama, aku sering berada di
tempat ini! Pemandangannya terlihat makin indah! Di
sinilah kadangkala aku merenungi diri. Di sini pulalah aku kemudian sadar
tentang segala perbuatanku di
masa lalu! Di sekitar ciptaan Yang Maha Pencipta ini
aku seakan menemukan diriku kembali...."
"Tapi mengapa kau tidak pernah sampai ke lembah
itu"!"
Kigali gelengkan kepala. "Aku sendiri tak tahu jawabannya. Kadangkala aku juga bertanya-tanya. Namun setiap kali keinginan untuk ke lembah itu muncul, seolah ada sesuatu yang membuatku urungkan
niat! Aku tak tahu apa itu! Mungkin hari inilah keingi-nanku terlaksana...."
"Atau barangkali kau punya firasat ada sesuatu di
lembah itu"!"
"Menurutku itu tak mungkin, Anakku! Selain pemandangan yang indah, kurasa lembah itu tidak menyimpan apa-apa! Kalau memang ada sesuatu di dalamnya, tentu hutan ini sudah dirambah banyak
orang! Kau tahu sendiri, dalam rimba persilatan orang-orangnya pantang menyerah
jika memperebutkan sesuatu! Dengan tidak munculnya orang di hutan ini, satu bukti bahwa lembah itu tidak ada apa-apanya!"
"Tapi bukankah kau telah bertemu dengan beberapa orang di hutan ini"! Jangan-jangan tanpa sepengetahuanmu di luar telah beredar kabar tentang sesuatu
yang tersimpan dalam lembah ini! Lalu mereka mulai
mencari!" "Ah.... Kau terlalu jauh berpikir. Kalau memang ada
sesuatu, seharusnya bukan sekarang lembah ini jadi
berita! Sebaliknya harus sudah tersebar pada ratusan
tahun yang lalu! Seperti misalnya kabar tentang Kampung Setan!"
"Kek! Dari pembicaraan-pembicaraanmu selama ini
sepertinya kau mengenal betul Kampung Setan. Siapa
kau sebenarnya, Kek"! Dari pembicaraanmu, aku
menduga kau masih ada kaitannya dengan Kampung
Setan. Apa benar dugaanku"!"
"Pitaloka.... Sebenarnya hal ini kurahasiakan dan
aku pernah berpikir tak akan kubuka pada siapa saja.
Kalaupun aku terpaksa mengatakannya padamu, aku
percaya kau akan menyimpannya sendiri!"
Pitaloka sempat terperangah mendengar ucapan Kigali. Ucapannya tadi sebenarnya hanya terdorong agar
Kigali mengatakan siapa dirinya sebenarnya. Karena
selama berdua hampir kurang satu setengah purnama,
Kigali selalu sembunyikan siapa dirinya. Dan kalaupun Pitaloka coba mendesak,
Kigali selalu alihkan pembicaraan.
"Kek.... Aku berjanji akan merahasiakan apa yang
akan kau katakan!" ujar Pitaloka setelah berpikir agak lama.
Sementara di sebelahnya Kigali tampak menatap
jauh ke hamparan lembah. Namun pandangannya sebenarnya lebih jauh melampaui hamparan lembah ketika dia mulai angkat bicara.
"Anakku.... Seperti yang sering kukatakan padamu,
separo dari masa usiaku bergelimang dengan kejahatan. Di masa itulah mulai tersiar kabar tentang Kampung Setan yang katanya menyimpan sebuah senjata
sakti bernama Kembang Darah Setan. Kampung Setan
memang pernah membuat gempar kalangan jagat persilatan pada puluhan tahun sebelumnya. Namun kegemparan itu lenyap begitu para tokoh dari golongan
hitam dan golongan putih bersatu menumpasnya. Namun begitulah dunia dan watak manusia-nya, di balik
penumpasan itu ada pula niat tertentu dari sebagian
tokoh. Dan niatan itu sebenarnya tak lebih daripada
untuk mendapatkan Kembang Darah Setan serta senjata lainnya yang pada akhirnya kuketahui sebagai
Jubah Tanpa Jasad."
Sesaat Kigali hentikan penuturan ceritanya. Lalu
melangkah ke sebuah pohon dan tegak bersandar dengan pandangan terus ke arah hamparan lembah. Di
sebelahnya Pitaloka ikut melangkah mendekati Kigali
dan duduk berselonjor.
"Tapi niatan sebagian tokoh itu menemui kegagalan.
Karena ternyata ada dua orang dari kerabat Kampung
Setan yang selamat dari penumpasan. Pada akhirnya
kuketahui kedua orang itu adalah Maladewa dan seorang nenek bernama Nyai Suri Agung! Entah bagaimana caranya mereka berdua dapat selamat, yang jelas setelah peristiwa penumpasan itu tanpa diketahui
oleh siapa pun kedua cucu dan nenek ini segera membangun kembali Kampung Setan secara diam-diam.
Malah tak lama kemudian, Nyai Suri Agung mengambil
murid dari kalangan orang di luar Kampung Setan.
Orang beruntung itu bernama Galaga."
Untuk kedua kalinya Kigali hentikan ceritanya seraya gerakkan kedua tangannya dan dirangkapkan di
depan dada. Lalu lanjutkan ucapan.
"Beberapa tahun kemudian, terjadi beda pendapat
antara Maladewa dengan Nyai Suri Agung. Sebenarnya
beda pendapat itu karena Maladewa tidak suka sama
neneknya yang ternyata telah menurunkan sebuah ilmu langka pada Galaga. Hingga akhirnya Maladewa
menuntut pada Nyai Suri Agung agar nenek itu memberikan semua warisan leluhur Kampung Setan padanya. Karena terus didesak, Nyai Suri Agung akhirnya memberikan Kembang Darah Setan pada Maladewa. Dengan Kembang Darah Setan di tangannya, Maladewa mulai bertingkah. Dan sasaran utamanya tidak
lain adalah saudara seperguruannya sendiri yakni Galaga dan tentu Nyai Suri Agung yang menurut Maladewa bisa jadi batu sandungan. Namun tindakan Maladewa menemui jalan buntu, karena Galaga dan Nyai
Suri Agung tiba-tiba lenyap. Saat itulah Maladewa mulai panjangkan tangan merambah keluar Kampung Setan. Dia mulai membunuh beberapa orang dan menarik beberapa orang untuk dijadikan sebagai anak
buahnya!" Kigali menghela napas panjang sebelum akhirnya
melanjutkan. "Saat itulah aku bersama sahabat baikku bernama Dadaka bertemu dengan Maladewa. Tidak
berapa lama, aku dan Dadaka sudah menjadi orang
kepercayaan Maladewa. Tugas kami berdua adalah
menemukan Galaga dan Nyai Suri Agung sekaligus untuk membunuh keduanya. Namun setelah sekian lama
mencari, kami berdua gagal mendapatkan apalagi
membunuh Galaga dan Nyai Suri Agung! Hal ini tampaknya membuat Maladewa tidak bisa menerima. Malah dia hendak menghukum aku dan Galaga dengan
tangan mautnya!"
"Aku dan Dadaka tidak menyerah begitu saja, apalagi kami berdua sudah mengerti seluk beluk Kampung
Setan. Di lain pihak, sebenarnya kami berdua menerima menjalankan tugas dan menjadi orang kepercayaan
Maladewa dengan niat semata-mata untuk merebut
Kembang Darah Setan! Perkelahian tak dapat dihindarkan lagi. Kemampuan kami memang jauh di bawah
Maladewa yang saat itu menggenggam Kembang Darah
Setan. Namun dengan cara kami, pada akhirnya aku
dan Dadaka berhasil memasukkan Maladewa ke dalam
sebuah batu di Kampung Setan. Namun aku sangat
kecewa dan terpukul. Karena Kembang Darah Setan
gagal kuperoleh! Kembang Darah Setan ikut amblas
masuk ke dalam makam batu bersama sosok Maladewa!" Kembali Kigali hentikan keterangannya. Kali ini dia
terdiam agak lama. Sementara Pitaloka tak berusaha
berucap. Dia menunggu Kigali lanjutkan ucapan.
"Setelah peristiwa itu aku dan Dadaka berpisah.
Aku tak tahu ke mana dia pergi dan apakah dia masih
hidup. Sementara aku sendiri pergi ke hutan Ini karena merasa kecewa dengan kegagalanku mendapatkan
Kembang Darah Setan. Di hutan inilah akhirnya aku
menemukan jati diriku hingga akhirnya aku dipertemukan denganmu!"
"Kek...." Untuk pertama kalinya Pitaloka angkat bicara. "Saat ini dalam rimba persilatan ada seorang tokoh bergelar Setan Liang
Makam yang mengatakan
bahwa dirinyalah sebenarnya pemilik Kembang Darah
Setan! Aku pernah bertemu dan bertarung dengannya.
Apakah mungkin dia cucu Nyai Suri Agung yang bernama Maladewa dan pernah berhasil kau masukkan
ke dalam makam batu"!"
"Menurut perhitungan manusia biasa, sebagai manusia adalah satu keajaiban jika Maladewa masih bisa
hidup selama puluhan tahun dalam makam batu. Namun segala sesuatu akan terjadi bila Yang Maha Kuasa menghendaki!"
"Tapi, Kek.... Dari tampangnya memang masuk akal
kalau dia baru saja bangkit dari makam batu!"
Kigali kerutkan kening. "Bagaimana tampangnya"!"
Pitaloka terdiam sesaat. "Sebenarnya aku pernah
menyinggung ini, tapi mungkin dia lupa," kata Pitaloka dalam hati lalu menjawab.
"Sosok tubuhnya tinggal susunan kerangka tanpa
daging!" "Hem.... Aku tak bisa memastikan dia Maladewa
atau bukan sebelum aku bertemu dengan orangnya!
Hanya saja aku bisa memastikan satu hal. Saudara
seperguruan Maladewa yang bernama Galaga itu masih hidup!"
"Dari mana kau tahu"!" Tanya Pitaloka sedikit terkejut dan palingkan kepala.
"Salah satu dari beberapa orang yang kutemui di
hutan ini beberapa waktu yang lalu adalah Galaga!
Saudara seperguruan Maladewa sekaligus murid Nyai
Suri Agung."
Sekali lagi Pitaloka tampak tersentak kaget. "Bagaimana kau tahu dia adalah Galaga"! Apakah dia
mengatakannya padamu"! Padahal bersama berlalunya
waktu, paras wajah orang pasti berubah. Apalagi sudah lama tak bertemu!"
"Dalam rimba persilatan, yang kutahu hanya dua
orang yang memiliki ilmu 'Pantulan Tabir'. Dia adalah
Nyai Suri Agung dan Galaga...."
"Jadi orang yang kau duga sebagai Galaga itu sempat menunjukkan ilmu 'Pantulan Tabir' saat bertemu
denganmu"!"
"Aku sendiri tak tahu. Dia memperlihatkan ilmu itu
untuk pamer atau hanya untuk memberi tahu padaku
kalau dia adalah Galaga karena sebenarnya dia telah
mengetahui dahulu siapa aku sebenarnya!"
"Kau bisa mengatakan bagaimana ilmu 'Pantulan
Tabir' itu"!"


Joko Sableng 28 Lembah Patah Hati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baik suara atau pukulannya akan pantulmemantul tiada henti ke seluruh penjuru mata angin!"
"Astaga! Apakah orang yang kau katakan itu sering
perdengarkan bersinan dan kepalanya selalu bergerakgerak ke depan ke belakang"!" tanya Pitaloka.
"Kau pernah bertemu dengannya"!" Kigali balik bertanya setelah anggukkan kepala.
"Benar! Dia adalah tokoh yang kini bergelar Datuk
Wahing!" Setelah berkata begitu, tiba-tiba paras wajah Pitaloka berubah. Kigali tampaknya dapat menangkap perubahan orang. Namun dia coba menahan diri untuk
tidak buka mulut bertanya.
*** TIGA KALAU Datuk Wahing sudah berada di hutan ini,
kemungkinan besar Pendekar 131 juga ada di sekitar
hutan ini pula. Dan barangkali Beda Kumala ada juga
di antara mereka.... Siapa yang dicari mereka"! Aku..."
Atau lainnya"!" Diam-diam Pitaloka bertanya-tanya
dengan hatinya sendiri. Di pelupuk matanya terbayang
paras murid Pendeta Sinting lalu wajah saudara kembarnya Beda Kumala alias Putri Kayangan.
"Mungkin Beda Kumala lebih beruntung dariku! Sikapnya saat bertemu dengan murid Pendeta Sinting itu
menunjukkan kalau dia tertarik dengan pemuda itu!
Ah.... Memang tak pantas bagiku mengharapkan cinta!
Aku sudah bukan Pitaloka yang dulu lagi. Aku manusia kotor!"
Dada Pitaloka tampak berguncang. Dan tanpa disadari air matanya jatuh membasahi pipi kanan kirinya.
Kigali tampak menarik napas.
"Kau teringat seseorang, Anakku?" tanya Kigali dengan suara dipelankan.
Pitaloka coba menahan isakan. Lalu berpaling pada
Kigali dengan kepala menggeleng. Saat lain dia sudah
ajukan tanya. "Kek.... Sekarang apa kau dapat menduga siapa gerangan sosok di balik Jubah Tanpa Jasad itu"!"
"Kalau benar Setan Liang Makam adalah Maladewa
dan kini tidak lagi menggenggam Kembang Darah Setan, aku yakin orang di balik Jubah Tanpa Jasad adalah orang di luar kerabat Kampung Setan! Herannya....
Bagaimana dia bisa tahu rahasia di balik Kampung Setan, bahkan tahu pula bagaimana bisa mengeluarkan
Maladewa dari makam batu!"
"Apa kira-kira bukan sahabatmu yang kau sebut
sebagai Dadaka itu"! Bukankah dia tahu banyak rahasia Kampung Setan"!"
Kigali terdiam sesaat sebelum akhirnya berucap.
"Kurasa tak mungkin Dadaka melakukan ini sendirian!
Apalagi harus mengeluarkan Maladewa dari makam
batu! Itu sangat berbahaya! Maladewa pasti punya rasa dendam dan tentu dia tak akan tinggal diam! Kalaupun ada orang luar yang tahu rahasia Kampung Setan, pasti orang itu mendapat keterangan dari Galaga
atau Dadaka. Namun mereka berdua tak mungkin
memberi keterangan pada orang lain!"
"Tapi buktinya orang itu telah mendapatkan Kembang Darah Setan dan Jubah Tanpa Jasad! Berarti ada
orang yang memberi keterangan!"
"Itulah yang membuatku masih merasa aneh.... Tapi masalah itu tak usah kita pikirkan terlalu jauh!
Lambat laun orang pasti bisa mengetahui siapa sebenarnya sosok di balik Jubah Tanpa Jasad itu! Kau tahu, Anakku.... Sebagai manusia biasa sosok di balik
Jubah Tanpa Jasad pasti ingin dikenali siapa dia sebenarnya! Apalagi dia hidup dalam lingkaran jagat persilatan! Yang mana di dunia
ini nama orang sudah
menjadi jaminan!"
"Kek.... Apakah di antara beberapa orang yang kau
temui ada seorang gadis yang pernah kuceritakan padamu"!"
"Maksudmu saudara kembarmu itu"!" tanya Kigali.
"Benar! Kau melihatnya"!"
Kigali coba menekan perasaan ketika kepalanya
bergerak menggeleng. "Sudahlah, Pitaloka. Kau tak
usah cemaskan urusan itu! Mereka katanya memang
tengah mencari seseorang, tapi aku yakin bukan kau
yang dicari!" Kigali tarik punggungnya dari batangan
pohon. "Sekarang kita lanjutkan perjalanan...."
Pitaloka perlahan-lahan bergerak bangkit. Lalu melangkah mengikuti Kigali yang sudah melangkah di depan. Setelah melangkah berjarak lima puluh tombak, Kigali berhenti. Tepat di depannya telah membentang sebuah lembah agak luas yang banyak dihiasi aneka
bunga. Di antara kerapatan tumbuhan bunga tampak
beberapa jalan setapak yang ditumbuhi rumput tebal
dan tinggi, tanda jika jalanan setapak itu tidak pernah diinjak telapak kaki
manusia. Sementara di sana-sini
terlihat luruhan aneka bunga yang sudah mengering.
Kigali berpaling pada Pitaloka yang telah tegak di
sampingnya. "Pitaloka, untuk sementara ini tahan
keinginanmu memetik bunga atau melakukan sesuatu!
Lembah ini masih asing bagi kita. Pengalaman bertahun-tahun dalam hutan telah membuatku mengerti jika kita harus waspada saat memasuki kawasan yang
masih asing!"
Pitaloka tersenyum dan anggukkan kepala. Lalu
berkata. "Tempat mana yang kita tuju, Kek...?"
Kigali arahkan pandang matanya pada salah satu
gundukan batu agak besar di depan sana. "Mungkin di
balik batu itu ada tempat untuk berlindung! Tapi ingat, kita harus tetap
berhati-hati...!"
Setelah berucap begitu Kigali mulai gerakkan kaki
dan mengambil jalan setapak berumput tebal dan tinggi. Pitaloka berjalan di belakangnya.
Baru saja melangkah lima tindak di atas rumput
tebal, tiba-tiba terdengar suara umpatan diseling jeritan menyayat. Suara itu
laksana diperdengarkan dari
tempat yang sangat jauh dan dalam.
Kigali dan Pitaloka sama tersentak kaget. Serentak
keduanya hentikan langkah masing-masing dan saling
berpandangan. Mereka belum bisa menentukan arah
sumber suara. Namun mereka bisa memastikan jika
suara itu diperdengarkan oleh seorang perempuan.
"Aneh.... Suara itu tadi tidak terdengar dari perbatasan lembah! Dan aku pun baru kali ini mendengarnya! Padahal aku sering berada di sekitar tempat ini bertahun-tahun lamanya! Tak
kusangka sama sekali
jika lembah ini berpenghuni! Atau jangan-jangan suara itu tadi hanya tipuan
pendengaranku saja!"
Seolah ingin meyakinkan, Kigali kembali pandangi
Pitaloka. Namun orang tua bekas orang kepercayaan
Maladewa ini tidak ajukan tanya. Sikap Pitaloka sudah cukup membuatnya yakin
kalau suara yang baru saja
terdengar bukan tipuan pendengarannya.
"Kek...!"
Kigali segera gelengkan kepala dengan telunjuk dilintangkan di depan bibir lalu berbisik. "Jangan tanyakan padaku! Aku tak akan
bisa menjawabnya. Bertahun-tahun aku sering mengunjungi kawasan sekitar
lembah ini. Tapi baru hari ini aku mendengar suara
itu! Kita harus makin waspada. Suara itu membuktikan kita tidak berada sendirian di lembah ini!"
"Kek! Bukannya aku takut.... Tapi kalau kau menduga bakal ada urusan, sebaiknya kita cari tempat
lain. Dengan perut besar begini, aku akan kesulitan
bergerak jika terjadi apa-apa! Setelah kelahiran anak ini, baru kita selidiki
ada apa di kawasan lembah ini!"
"Pitaloka.... Coba kau dengar sekali lagi suara perempuan itu!" ujar Kigali dengan suara dipelankan.
Saat itu suara makian dan jeritan menyayat memang
terus terdengar.
"Dari suaranya jelas perempuan itu tengah mengalami kesengsaraan! Siapa pun dia adanya, kita harus
menolong!"
"Tapi, Kek! Bagaimana kalau suara itu hanya tipuan
orang untuk memancing kita"!"
"Kita memang harus waspada, Pitaloka. Tapi dalam
hal ini kurasa dia tidak menipu! Lagi pula untuk apa
dia menipu kita" Tidak ada yang bisa diperoleh dari ki-ta berdua! Dan kalaupun
dia memancing kita, apa gunanya" Lembah ini hanya ditumbuhi bunga, ke mana
pun orang sembunyi akan mudah ditemukan...!"
Kigali putar kepalanya berkeliling dengan mata menyiasati keadaan. Sementara suara makian dan jeritan
menyayat terus terdengar.
"Pitaloka! Kau menunggu di luar jalan setapak itu.
Aku akan menyelidik!"
"Kek...."
Lagi-lagi sebelum Pitaloka teruskan ucapannya, Kigali sudah menukas. "Pitaloka, perutmu sudah besar.
Kau perlu banyak istirahat! Jangan cemaskan diriku.
Aku bisa melakukannya sendiri!"
Sebenarnya Pitaloka enggan menuruti permintaan
Kigali. Namun begitu si orang tua tersenyum dan anggukkan kepala, Pitaloka perlahan-lahan bergerak
mundur. Begitu kaki Pitaloka berada di luar jalanan setapak,
tiba-tiba gadis ini berkerut. Laksana dirobek setan, suara makian dan jeritan
menyayat sekonyong-konyong
lenyap! Pitaloka coba tajamkan pendengaran dan menunggu. Tapi suara makian dan jeritan memang tidak
terdengar lagi!
"Apa dia hentikan makian dan jeritannya" Tapi
mengapa diputus mendadak"!"
Karena penasaran, akhirnya Pitaloka angkat bicara.
"Kek! Kau masih mendengar suara itu"!"
Kigali yang saat itu tengah pusatkan pendengaran
untuk menentukan di mana sumber suara, berpaling
dengan wajah heran campur terkejut. Namun karena
tak mau buang-buang waktu, dia segera menjawab.
"Suara itu malah semakin keras!"
Kali ini ganti Pitaloka yang terkejut dan heran. Dia
melihat bagaimana mulut Kigali membuka. Anehnya
dia tidak mendengar suara!
Pitaloka sesaat pandangi Kigali yang telah kembali
pusatkan pendengarannya. Karena masih penasaran,
akhirnya kembali Pitaloka berteriak.
"Kek! Kau mendengar suaraku"!"
Untuk kedua kalinya Kigali berpaling dengan wajah
makin heran. Untuk beberapa saat dia pandangi Pitaloka. Di depan sana, Pitaloka tersenyum lalu berteriak lagi.
"Kek! Aku tidak mendengar suara itu lagi! Jawablah.... Apa kau masih mendengarnya"!"
"Aneh.... Apa dia tidak mendengar ucapanku tadi"!"
Kigali tak mau terus bertanya-tanya. Dia segera buka mulut dan berteriak.
"Aku masih mendengarnya! Aku juga dengar pertanyaanmu!" Pitaloka makin kerutkan kening. Lagi-lagi dia bisa
melihat gerakan mulut Kigali, namun dia tidak mendengar suara apa-apa!"
"Jangan-jangan dia bercanda! Pura-pura buka mulut tapi tidak perdengarkan suara! Namun rasanya dia
tidak pernah bercanda dalam menghadapi satu urusan!" Pitaloka membatin. Lalu berseru lagi.
"Kek! Aku tidak mendengar suaramu!"
"Aneh.... Main-main atau bagaimana anak itu"! Aku
sudah berteriak keras. Tapi dia mengatakan tidak
mendengar suaraku!"
Karena sama-sama merasa heran dan salah satu
menduga jika di antaranya bercanda, Pitaloka memutuskan berteriak lagi.
"Kek! Aku tidak berdusta. Aku tidak lagi mendengar
suara itu juga suaramu!"
Tanpa berkata menyahut, Kigali berkelebat. Baru
saja kakinya tegak di samping Pitaloka, orang bekas
kepercayaan Maladewa ini terkesiap. Suara makian
dan jeritan sirna dari pendengarannya!
"Benar! Di sini aku juga tidak mendengar suara itu
lagi!" gumam Kigali seraya tajamkan pendengaran.
"Ada yang aneh di lembah ini!"
Entah karena ingin buktikan, Kigali kembali berkelebat dan tegak di antara jalan setapak. Dia tersentak.
Suara makian dan jeritan terdengar lagi. Bahkan makin keras! "Hem.... Suara perempuan itu tidak bisa ditangkap
dari luar kawasan lembah. Demikian pula dengan suaraku!" Kigali bergumam lalu berkelebat lagi ke arah Pitaloka.
"Anakku.... Kau tunggu di sini! Aku akan memberi
isyarat jika menemukan sesuatu! Jangan alihkan pandanganmu dari tubuhku! Karena suaraku tak mungkin
kau dengar!"
"Jadi...."
"Ada kelainan di lembah ini! Suara yang keluar dari
kawasan lembah tidak bisa ditangkap di luar! Itulah
sebabnya mengapa aku tidak pernah mendengar suara
walau aku sering berada di sekitar kawasan ini!"
Habis berkata begitu, Kigali kembali berkelebat. Dalam beberapa saat sosoknya telah tegak di sebelah gugusan batu agak besar di depan sana. Pitaloka terus
perhatikan dengan mata tak berkesip dan dada dilanda
keheranan. Kigali tegak dengan sedikit tengadahkan kepala. Sepasang matanya yang sayu dipejamkan lalu menarik
napas dalam-dalam.
"Aneh.... Suara itu jelas dari sekitar tempat ini! Tapi di sini tak ada tempat


Joko Sableng 28 Lembah Patah Hati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbuka untuk berlindung orang!
Suara itu sepertinya dari tempat yang amat dalam! Padahal di sekitar sini tidak ada jurang atau lobang!"
gumam Kigali. Dia kembali pusatkan pendengaran.
"Benar! Suara itu bersumber dari sini! Tapi di mana"!" Kigali meneliti sekitar gugusan batu agak besar.
"Jangan-jangan di bawah batu ini ada lobang!"
Kigali memperhatikan gugusan batu di depannya.
Lalu perlahan-lahan mendekat. Dia tempelkan telinga
kanannya ke batu. Namun secepat kilat dia tarik pulang kepalanya. Saat telinganya bersatu dengan permukaan batu, orang tua ini rasakan getaran hebat,
malah gendang telinganya laksana ditusuk! Namun hal
ini memberi keyakinan padanya, jika suara itu benarbenar berasal dari bawah batu.
Tanpa menunggu lama lagi, kedua tangan Kigali segera ditempelkan pada permukaan batu lalu mendorong. Namun gugusan batu itu tidak bergeming. Kigali
melangkah mundur. Kedua tangannya diangkat. "Apa
boleh buat! Akan kuhancurkan batu itu!"
Di seberang luar lembah, Pitaloka tampak melotot
makin besar melihat gerakan Kigali. Dia sudah hendak
berteriak. Namun diurungkan ketika melihat kedua
tangan Kigali sudah bergerak menyentak ke arah batu.
Wuuttt! Wuuutt!
Dua gelombang angin deras melesat diiringi suara
deruan. Saat lain terdengar ledakan. Gugusan batu
langsung ambyar porak-poranda!
Kalau Kigali dapat mendengar deruan angin yang
melesat dari kedua tangannya serta ledakan batu, tidak demikian halnya dengan Pitaloka. Dia tidak mendengar apa-apa. Dia hanya bisa melihat ambyarnya batu dan kepingan-kepingan yang menebar ke udara.
Begitu gugusan batu ambyar, Kigali melihat lobang
menganga. Namun bersamaan itu suara makian dan
jeritan tidak terdengar lagi!
Dengan waspada, Kigali melangkah mendekati lobang di mana tadi tertutup oleh gugusan batu. Perlahan-lahan orang tua itu gerakkan kepala melongok ke
bawah. Berjarak lima tombak di bawah lobang yang
terlihat adalah tempat berbatu. Kigali melangkah mengitari lobang dengan kepala terus memperhatikan ke
bawah. Namun sejauh ini dia tidak menangkap adanya
sosok manusia. "Tempat di bawah itu terlalu luas kalau dilihat dari
sekitar lobang ini. Aku harus turun!"
Kigali angkat kepalanya dan berpaling ke arah Pitaloka. Saat bersamaan terdengar Pitaloka sudah berteriak. "Kek! Kau menemukan sesuatu"!"
Kigali tidak menjawab. Dia hanya memberi isyarat
dengan lambaian tangannya. Pitaloka segera melangkah cepat ke arah Kigali. Dan langsung longokkan kepala begitu berada di sekitar lobang.
"Kek.... Suara itu tidak terdengar lagi! Apa kau juga tidak mendengarnya"!"
tanya Pitaloka khawatir kalau
hanya dia yang tidak menangkap suara.
"Sejak batu itu terbongkar, suara perempuan itu
terputus! tapi aku merasa yakin sumbernya dari tempat di bawah itu! Aku harus turun! Kau tetaplah di
atas!" "Kek! Lobang ini tidak terlalu dalam. Aku bisa melewatinya!"
"Aku tahu. Tapi kita belum tahu siapa yang kita hadapi! Begitu keadaan aman, aku akan memberi tahu!"
Tanpa menunggu Pitaloka menyahut, Kigali sudah
berkelebat masuk ke bawah lobang dengan kedua tangan terangkat. Sementara diam-diam Pitaloka kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya, lalu memperhatikan sosok Kigali.
*** EMPAT KITA tinggalkan dulu Kigali dan Pitaloka yang berada di tengah lembah. Kita kembali pada murid Pendeta
Sinting, Pendekar 131 Joko Sableng. Seperti diketahui, dia bertemu dengan Dayang
Sepuh. Lalu keduanya
meneruskan perjalanan mencari Pitaloka. Namun
Dayang Sepuh mengusulkan mencari dengan Jalan
mengikuti Jejak orang tua berambut putih jabrik yang
diceritakan murid Pendeta Sinting. Sebenarnya Joko
agak enggan memenuhi usul Dayang Sepuh. Namun
setelah Dayang Sepuh berjanji tidak akan membuat
urusan dengan orang yang diikuti, akhirnya murid
Pendeta Sinting berkelebat juga mengikuti arah yang
diambil orang tua berambut jabrik putih.
Pada satu tempat mendadak Pendekar 131 yang
berkelebat di depan hentikan larinya. Dayang Sepuh
segera pula berhenti namun sambil membentak.
"Setan geblek! Mengapa berhenti"!"
Yang dibentak tidak segera menjawab. Melainkan
edarkan pandangannya berkeliling. Baru buka mulut
menjawab. "Bibi.... Kita gagal mendapatkan jejak orang tua berambut jabrik itu! Kau tahu sendiri. Dia raib laksana ditelan bumi! Sebaiknya
kita teruskan perjalanan tanpa harus mengikuti jejak orang itu!"
Dayang Sepuh ikut edarkan pandang matanya. Dia
memang tidak menangkap adanya sosok orang yang
dikejar. Apalagi hutan di mana mereka berada sangat
lebat diranggasi semak belukar dan batanganbatangan pohon besar berdaun rindang.
"Lalu ke mana kita sekarang"!" tanya Dayang Sepuh. Matanya terus jelalatan ke seantero tempat di
mana dia tegak.
"Aku sendiri bingung! Tapi daripada harus diam, kita berlari saja ke mana kaki ini bergerak! Siapa tahu hari ini adalah rejeki
besar bagi kita. Kita bisa menemukan orang yang kita cari dan...."
Pendekar 131 putuskan ucapan. Kepalanya berpaling ke samping kanan dengan mata mendelik. Di
samping kanannya Dayang Sepuh menoleh ke arah
Joko dengan melotot angker dan langsung membentak
garang. "Mengapa mata setanmu memandangku melotot,
begitu rupa, hah"!" Walau membentak begitu rupa,
namun saat itu juga si nenek rapikan poni di depan
keningnya. "Lihat di sebelah sana!" bisik Joko tanpa alihkan
pandang matanya lurus melewati pundak si nenek.
Meski dengan mengomel, akhirnya Dayang Sepuh
berpaling juga ke arah kanan. Tiba-tiba sepasang mata nenek berdandan mencorong
ini membelalak. Berjarak
sepuluh tombak di depan sana terlihat satu sosok tubuh tegak membelakangi. Dari rambutnya yang putih
tegak dan pakaian selempang putih serta untaian kalung di atas punggungnya, baik Joko maupun Dayang
Sepuh sudah bisa menduga siapa orang itu.
"Setan itu yang kau katakan sebagai setan jabrik
berambut putih"!" tanya Dayang Sepuh seolah Ingin
meyakinkan. "Benar! Tampaknya dia sengaja memancing kita!"
gumam Joko. "Pasti dia ada maunya! Jika tidak, tak
mungkin dia tunjukkan diri dengan cara begitu rupa!
Atau barangkali dia tertarik padamu, Bibi...!"
Dayang Sepuh cibirkan mulut namun segera rapikan kembali geraian poni rambutnya dan berkata agak
pelan. "Kita Ikuti dia! Aku ingin tahu bagaimana tampang
setannya!"
"Tapi, Nek.... Eh, Bibi...."
"Aku akan tetap memegang janji untuk tidak membuat urusan! Aku hanya ingin lihat tampang setannya!
Dan Jangan khawatir aku akan tertarik pada setan
itu!" Seolah mendengar percakapan orang, orang yang
tegak membelakangi di depan sana mendadak putar
diri menghadap murid Pendeta Sinting dan Dayang
Sepuh. "Bibi.... Sekarang kau perhatikan.... Dia memandang mu" bisik Joko. Dayang Sepuh benar-benar pentang matinya. Lalu bergumam pelan. "Masih lumayan!
Diajak jalan-jalan pun tidak membuat malu bila bertemu teman-teman!"
"Kau mengenalnya, Bibi"!"
"Tidak! Tapi apa benar dia mengenalku seperti keteranganmu"!" Dayang Sepuh balik bertanya.
Belum sampai Joko buka mulut menjawab, orang di
depan sana yang ternyata bukan lain adalah orang tua
berambut putih jabrik mengenakan pakaian selempang
putih yang dada kanannya terbuka dan tangannya
memegang tasbih pendek, sudah balikkan tubuh.
"Setan! Tunggu!" Dayang Sepuh sudah berteriak
melihat gelagat orang hendak berkelebat lagi. Bersamaan itu si nenek pun sudah melompat ke depan.
Namun si orang tua berambut jabrik putih seolah
tidak mendengar teriakan Dayang Sepuh. Begitu dia
balikkan tubuh, dia segera pula berkelebat.
"Setan!" maki Dayang Sepuh lalu percepat kelebatan mengejar. Sesaat murid Pendeta Sinting ragu-ragu.
Antara mengikuti berkelebat atau teruskan perjalanan
sendirian. Namun karena masih dilanda pena-saran
dengan sikap orang tua berambut jabrik putih, akhirnya Joko memutuskan untuk berkelebat mengejar pula. Setelah sekian lama saling kejar-kejaran, akhirnya pada satu tempat Dayang
Sepuh berhenti seraya mengomel dengan mulut megap-megap. Di sampingnya
murid Pendeta Sinting tegak dengan wajah basah oleh
keringat. "Mana dia, Bibi"!"
"Mengapa masih bertanya! Apa kau lihat sosok setannya"!"
"Bibi! Kita hanya dipermainkan orang! Rupanya dia
tahu kawasan hutan ini hingga dia bisa leluasa bergerak!" "Peduli setan dia tahu atau tidak kawasan hutan
ini! Yang jelas sikapnya membuatku curiga!"
"Curiga atau tertarik"!" tanya Joko dengan tersenyum namun tak berani memandang pada si nenek.
"Dia memang masih gagah dan tampan meski usianya sudah lanjut. Tapi hatiku ini hanya milik seseorang!" "Ah.... Jadi Bibi masih punya kekasih"!"
Dayang Sepuh berpaling dengan bibir sunggingkan
senyum lebar. "Jangan kaget bila kukatakan kekasihku masih sebaya denganmu bahkan lebih tampan dari
paras setanmu!"
"Hem.... Begitu"! Dia dari golongan manusia biasa
atau setan"!"
"Sialan! Mana mungkin aku bercinta dengan setan"!
Lagi pula mana ada setan bertampang keren"!"
Baru saja Dayang Sepuh selesai berucap, tiba-tiba
dari arah belakang terdengar suara deruan-deruan
dahsyat. Saat lain satu gelombang ganas menggebrak.
Rimbun dedaunan tampak tersapu bertaburan. Hebatnya luruhan dedaunan yang tersapu gelombang bukannya melayang ke udara lalu turun ke tanah, melainkan membentuk gumpalan dan laksana bola besar,
gumpalan dedaunan itu melesat ke arah murid Pendeta Sinting dan Dayang Sepuh!
Murid Pendeta Sinting dan Dayang Sepuh cepat
berpaling. Keduanya melengak kaget. Joko cepat angkat tangan kanannya. Namun sebelum tangan kanannya menyentak, si nenek telah mendahului dengan
lemparkan bumbung bambu di tangan kirinya.
Wuutt! Bumbung bambu yang masih berisi air kencing Itu
melesat cepat dan tampak berputar-putar di udara.
Anehnya air kencing di dalamnya tidak tumpah.
Brakkk! Gumpalan besar dari dedaunan perdengarkan suara
berderak ketika lesatannya tertahan bumbung bambu.
Gumpalan dedaunan langsung hancur berkepingkeping dan bertabur ke udara. Sementara bumbung
bambu langsung meledak pecah muncratkan air di dalamnya! Mungkin karena sudah menduga apa yang akan terjadi, begitu sentakkan bumbung bambu di tangan kirinya, Dayang Sepuh segera berkelebat ke samping.
Namun tidak demikian halnya dengan murid Pendeta
Sinting. Dia tetap tegak di tempatnya semula dengan
mata memandang berkeliling ingin tahu siapa gerangan yang membuat ulah.
Pyurrr! Tidak ada kesempatan lagi bagi murid Pendeta Sinting untuk berkelebat menghindari muncratan air kencing. Hingga tanpa ampun lagi sebagian air kencing di
dalam bumbung yang telah pecah membasahi sebagian
pakaian dan wajahnya!
"Busyet! Kalau air kencing gadis cantik masih lumayan! Ini air kencing nenek-nenek! Kulitnya hitam
lagi!" Joko mengumpat dalam hati lalu melompat
mundur dan cepat usap wajahnya dengan pakaiannya
yang tidak terkena muncratan air.
Di seberang samping, Dayang Sepuh tak bisa lagi
menahan ledakan tawanya. "Kau makin tampan saja
begitu terpercik air kebanggaan itu! Hik.... Hik....
Hik...!" "Jangan tertawa terus, Bibi! Kau nanti bisa terkencing-kencing di celana!" kata Joko setengah mendongkol lalu memandang pada si
nenek. Tiba-tiba Joko terlonjak dengan mata dipentang.
"Astaga! Celanamu sudah basah, Bibi!"
Dayang Sepuh putuskan ledakan tawanya. Kepa

Joko Sableng 28 Lembah Patah Hati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lanya cepat menunduk perhatikan celana pendeknya.
"Setan! Mana yang basah"!" bentak si nenek.
Murid Pendeta Sinting usap-usap kedua matanya.
"Hem.... Kalau tidak dibohongi begitu dia akan terus
ngakak tak ada putusnya!" kata Joko dalam hati lalu
tertawa dan berucap.
"Astaga ternyata aku salah pandang!"
"Dasar mata setan!" maki Dayang Sepuh lalu pentangkan mata dan jelalatan menebar berkeliling. Saat
yang sama Joko ikut-ikutan pentang mata dan edarkan pandang matanya juga. Namun setelah lama kedua orang ini tidak juga menemukan sosok orang di
sekitar tempat itu.
Karena tak sabar, Dayang Sepuh sudah berteriak
keras. "Keluarlah dari persembunyianmu, Setan! Atau
akan kuobrak-abrik hutan ini!"
Dayang Sepuh menunggu sahutan. Namun tidak
juga terdengar suara jawaban atau adanya orang yang
muncul di sekitar tempat itu.
"Apa mungkin Ini ulah kakek berambut putih jabrik
itu"!" gumam murid Pendeta Sinting.
"Di sekitar tempat ini tadi tidak ada setan lain selain setan tua berambut putih jabrik itu! Siapa lagi bi-angnya kalau bukan dia!
Dia telah berani kurang ajar
padaku, berarti perjanjian kita batal, Setan Geblek!"
"Batal bagaimana, Bibi set...." Pendekar 131 cepat
katupkan mulut lalu tertawa tertahan.
Dayang Sepuh berpaling dengan mata mendelik
angker mendengar Joko hendak sebut dirinya Bibi setan. Tapi tak lama kemudian justru nenek ini ikut tertawa tertahan dan berkata.
"Aku akan membuat perhitungan dengan setan berambut putih jabrik itu! Dua kali dia bertindak kurang ajar padaku! Pertama
menghinaku di depan hidung-mu. Kedua dia berani menyerang dari belakang!"
Baru saja Dayang Sepuh berkata begitu, mendadak
mereka berdua dikejutkan dengan terdengarnya suara
orang batuk-batuk berulang kali. Laksana disentak setan, kepala Dayang Sepuh dan murid Pendeta Sinting
segera berpaling.
Memandang ke depan, berjarak lima belas tombak
terlihat kakek berambut putih jabrik tegak menghadap
ke arah mereka dengan kepala sedikit bergerak-gerak
karena perdengarkan batuk.
"Setan itu di sana! Kali ini dia tak akan kubiarkan
lolos!" "Bibi.... Jangan tergesa-gesa menuduh orang! Pukulan tadi datangnya dari arah belakang. Secepat apa
pun kelebatan orang, mungkin aku masih bisa menangkapnya kalau waktu itu ada yang membuat gerakan! Sementara orang tua itu sudah berada di sana!"
"Hem.... Jadi kau kira ada setan lain yang melakukannya"!"
-Mungkin begitu, Bibi!"
"Aku tak percaya ada setan lain di tempat ini! Dialah biang pelakunya!"
"Bibi! Tunggu!" tahan murid Pendeta Sinting ketika
melihat Dayang Sepuh sudah berkelebat ke arah orang
tua berambut putih jabrik. Namun si nenek tidak pedulikan lagi teriakan Joko. Dia teruskan berkelebat.
Karena khawatir terjadi sesuatu, Joko cepat pula berkelebat menyusul si nenek.
Kali ini orang tua berambut putih jabrik tidak berusaha menghindar dengan berlari. Dia tetap tegak dan
seolah malah menunggu! Bahkan dia segera angkat bicara begitu Dayang Sepuh tegak lima langkah di depannya. "Dayang Sepuh! Ada sesuatu yang hendak kau utarakan"!"
Si nenek rapikan dulu geraian poni rambutnya.
Saat lain dia sudah perdengarkan bentakan keras.
"Kau pandai mengenali orang, Setan! Siapa kau sebenarnya"!"
Orang tua berambut putih jabrik sunggingkan senyum. Kepalanya menggeleng seraya berucap.
"Tentunya kau telah diberi tahu siapa diriku oleh
kekasihmu itu!" Mata orang berambut putih jabrik
mengarah pada murid Pendeta Sinting yang telah tegak
di samping Dayang Sepuh.
"Setan sialan! Pemuda macam begini belum layak
mendampingiku sebagai kekasih!" Tangan kanan si
nenek menunjuk pada murid Pendeta Sinting yang sudah tertawa mendengar ucapan Dayang Sepuh.
"Jangan bikin habis kesempatan dan kesabaranku,
Setan Berambut Putih! Katakan siapa dirimu sebenarnya"!"
"AKU juga tak punya kesempatan banyak, Dayang
Sepuh! Tapi satu hal yang pasti kau tak mungkin
mendapat jawaban sekarang! Kau kelak akan tahu
siapa diriku!"
Si nenek mendengus. "Aku tak mau menunggu kelak! Sekarang katakan atau...." Si nenek tidak lanjutkan ucapan. Melainkan tertawa pendek seraya memilin salah satu poni rambutnya. Lalu teruskan ucapan. "Kau akan kubuat mampus tanpa dikenali!"
"Aku tidak suka dipaksa, Dayang Sepuh! Dan urusan antara kita rasanya belum saatnya dimulai! Bersabarlah. Kita nanti pasti akan bertemu untuk selesaikan satu urusan!"
"Orang tua!" Kali ini Joko angkat bicara. "Kau
punya urusan dengan kekasihku ini"!"
Dayang Sepuh sudah membelalak. Namun murid
Pendeta Sinting tidak ambil peduli. Dia menatap tajam pada orang tua berambut
putih jabrik. "Urusannya bukan hanya dengan kekasihmu itu saja, Pendekar 131! Namun termasuk dengan dirimu juga! Tapi bukan sekarang saat yang tepat membuka
urusan itu! Tidak lama lagi.... Segalanya akan terjadi!"
Habis berkata begitu, mendadak si orang tua berambut putih jabrik jejakkan kedua kakinya. Sosoknya
melesat dua tombak ke udara. Di atas udara kakek ini
membuat gerakan sekali. Kejap itu juga sosoknya me Kuda Besi 2 Senopati Pamungkas I Karya Arswendo Atmowiloto Lembah Selaksa Bunga 7

Cari Blog Ini