Ceritasilat Novel Online

Mustika Lidah Naga 1 1

Mustika Lidah Naga 1 Bagian 1


MESTIKA LIDAH NAGA 1 Karya: Panjidarma
Copyright naskah ini di tangan penerbit LOKAJAYA
Hak cipta pengarang dilindungi undang-undang
ELAKI muda itu turun dari pedati di batas utara
LDe sa Tilugalur.
"Terima kasih, Mang. Benar-benar tak mau singgah
dulu di rumahku?" lelaki muda itu membetulkan letak gembolannya.
"Lain kali saja, Rangga. Aku harus tiba di Kawahsuling besok pagi," sais pedati itu menarik tali kenda-linya. Dan pedatinya
bergerak lagi ke arah timur.
Lelaki muda yang dipanggil Rangga itu melambaikan tangannya. Lalu melangkah ke selatan, dengan
senyum di bibirnya.
"Tineng pasti menyambutku dengan gembira," pikir
lelaki muda bernama Rangga itu, "Lima bulan aku me-ninggalkannya. Tapi sekarang
aku pulang dengan oleh-oleh yang tidak bisa didapatkan di Tilugalur ini. O,
ya... apakah Tineng sudah melahirkan" Waktu aku
pergi lima bulan yang lalu, dia sedang mengandung.
Mungkin sekarang kandungannya sudah tua... atau
mungkin juga sudah... Eh..." Kenapa kampungnya jadi sunyi begini?"
Rangga menoleh ke kanan kirinya, dan ia mulai menyadari keganjilan itu, bahwa kampung halamannya
begitu sunyi, sungguh lain dari biasanya.
Ketika Rangga melangkah terus ke selatan, di mana
rumah-rumah berderet di kanan-kiri jalan yang tengah dilangkahinya, suasana lain
dari biasanya itu semakin terasa olehnya.
"Pintu-pintu terbuka... tapi tidak tampak seorang
manusia pun!" Rangga mempercepat langkahnya, ingin segera tiba di rumahnya.
Mentari hampir terbenam di ufuk barat ketika
Rangga tiba di depan rumahnya.
"Pintu rumahku juga terbuka lebar. Tapi ke mana
Tineng?" Rangga bergegas memasuki pekarangan rumahnya. "Tineng! Aku pulang, Tineng!" Rangga berseru di
ambang pintu. Tidak terdengar sahutan. Rangga memanggilmanggil lagi, "Tineng! Tineng...!"
Dan... tiba-tiba saja Rangga memekik, karena dilihatnya sesosok tubuh perempuan hamil tergeletak di lantai, "Tineeeeng...!"
Rangga memburu tubuh yang tergeletak itu. Tubuh
istrinya itu. Dan Rangga menemukan satu kenyataan, perempuan hamil itu tak
bernyawa lagi! Rangga memeluk tubuh tak bernyawa itu. "Tineng...
oh, Tineng! Apa sebenarnya yang telah terjadi" Mengapa orang-orang membiarkanmu
tergeletak begini"
Mengapa tiada seorang pun yang mengurusi jenazahmu?" Rangga mengangkat mayat istrinya, lalu meletakkannya di atas dipan bambu. Kemudian ditutupnya
mayat itu dengan kain. Dan air mata berjatuhan dari kelopak mata lelaki muda
itu. "Oh, Tineng panutanku! Kalau aku tahu akan begini
jadinya, aku tidak akan meninggalkanmu sendirian,"
Rangga mulai menangis, benar-benar menangis.
Ketika tangisnya mulai reda, Rangga melangkah ke
luar rumahnya, pada saat udara mulai memburam.
"Aku harus memberitahu Juragan Lurah, sekalian
menanyakan kenapa kematian istriku tidak ada yang
mengetahui," Rangga berlari menuju rumah lurah Tilugalur. Pintu rumah lurah pun terbuka lebar. Tapi Rangga
tidak berani masuk begitu saja. Ia hanya berdiri di dekat pintu yang terbuka
itu, sambil berseru perlahan,
"Sampurasun!"
Tak terdengar sahutan.
Rangga agak memperkeras suaranya. "Sampurasuuuun...!"
Tak juga terdengar sahutan, sehingga Rangga memberanikan diri menengok-nengok ke dalam, lewat pintu yang ternganga itu.
Dan Rangga melihat pemandangan mengerikan di
dalam rumah itu... Lurah Tilugalur dan keluarganya bergeletakan di lantai dalam
keadaan tak bernyawa la-gi! "Agan Lurah!" pekik Rangga di ambang pintu rumah
lurah, tanpa berani masuk ke dalamnya.
Dalam kepanikannya, Rangga memukul-mukul kentongan yang tergantung di depan rumah lurah.
Trong... trong... tong.. tong.. tong.. tong.. tong...!
"Kumpul! Kumpuuul! Gan Lurah dibunuh orang!
Kumpuuul" Rangga berteriak-teriak sambil terusterusan memukuli kentongan itu.
Lama juga Rangga memukul kentongan di depan
rumah lurah itu. Tapi... tak seorang manusia pun datang! Padahal biasanya
penduduk Tilugalur sangat patuh, begitu mendengar bunyi kentongan langsung
berhamburan menuju rumah lurah, untuk mendengarkan
apa yang harus mereka lakukan.
Matahari sudah tenggelam. Rembulan baru memperlihatkan diri sebagian di ufuk timur.
Rangga lelah sendiri, memukuli kentongan tanpa
hasil. Kemudian ia meninggalkan pekarangan rumah
lurah sambil berteriak-teriak, "Rakyat Tilugalur! Ke mana kalian semua?"
Tilugalur tetap sunyi.
"Hai! Ke mana kalian" Agan Lurah sekeluarga dan
istriku dibunuh orang! Keluarlah!" Rangga berteriak-teriak terus sambil
melangkah ke salah satu rumah yang terletak paling dekat dengan rumah lurah.
Pintu rumah itu pun terbuka. Dan Rangga menghampiri pintu rumah itu. Ketika Rangga berada di ambang pintu yang terbuka itu,
lagi-lagi ia melihat mayat-mayat bergelimpangan di lantai!
"Waaak! Di rumah ini juga banyak mayat! Gustiiii...
apa sebenarnya yang telah terjadi?" Rangga bergegas meninggalkan rumah itu.
Lalu ia berlari ke rumah lain. Dan lagi-lagi ia menemukan hal yang sama. Hanya
mayat dan mayat saja
yang ditemukan olehnya.
"Seluruh penduduk Tilugalur mati! Oooh... di sanasini mayat!" Rangga berlari-lari dalam kepanikannya.
Dan lalu ia berteriak-teriak seperti orang gila,
"Mayaaat! Mayaaaat!"
Tak peduli dengan mayat istrinya yang belum dikuburkan, tak peduli dengan mayat-mayat penduduk Tilugalur yang bergeletakan di rumahnya masingmasing, Rangga berlari sekuat-kuatnya ke arah utara.
Ketika Rangga tiba di batas utara Desa Tilugalur, di tempat ia turun dari pedati
tadi, tiba-tiba terdengar suara menegurnya, "Ada apa, orang muda?"
Hampir saja Rangga memekik saking kagetnya, karena tahu-tahu seorang kakek-kakek berpakaian serba putih berdiri di depannya.
Sinar rembulan yang jatuh di wajah kakek-kakek berjanggut panjang putih itu,
memperlihatkan seraut wajah bijaksana dan mampu
menimbulkan ketentraman bagi siapa pun yang melihatnya. Termasuk Rangga.
"Ka... kakek si... siapa?" tanya Rangga tergagap.
Kakek-kakek berpakaian serba putih itu menjawab
"Siapa diriku, tidak penting bagimu. Yang jelas, tadi aku mendengar bunyi
kentongan bertalu-talu. Dan
aku yakin bunyi kentongan itu datang dari kampung
ini." "Benar. Akulah yang memukul kentongan itu. Aku
baru pulang dari kotaraja. Dan... aku melihat istriku sudah tergeletak mati...
seluruh penduduk kampung
ini sudah mati! Aku tidak tahu malapetaka apa sebenarnya yang telah terjadi di
kampung ini... Oh... aku pun tidak tahu apa yang harus kulakukan..." Rangga
tidak sanggup melanjutkan kata-katanya, karena hatinya terlarut dalam kesedihan
lagi. Tapi kakek-kakek berpakaian serba putih itu seperti tidak membutuhkan keterangan
Rangga lebih lanjut.
Ia meninggalkan Rangga begitu saja, lalu melangkah ke selatan, ke Desa Tilugalur
yang sudah dilanda malapetaka itu.
"Kakek!" Rangga mengejar kakek-kakek itu, "Mau
ke mana" Jangan tinggalkan aku, Kek. Aku... aku takut!"
Kakek-kakek itu melangkah terus tanpa menoleh ke
belakang. Tapi terdengar suaranya ditujukan kepada Rangga, "Seorang laki-laki
tidak boleh menyimpan rasa takut di dalam hatinya."
Dan Rangga tidak tahu bagaimana caranya, tahutahu si Kakek sudah memegang obor yang menyala!
Dengan obor itu si Kakek memasuki salah satu rumah yang terletak paling utara. Dan Rangga mengikutinya dari belakang.
Di dalam rumah itu ada dua sosok mayat. Dua-duanya mayat perempuan. Dan kakek-kakek itu terbelalak, lalu berkata, "Peristiwa dahsyat itu telah terjadi.
Dan aku terlambat datang ke kampung ini."
"Mak... maksud Kakek?" Rangga terheran-heran.
Kakek-kakek itu seperti sangat menyesal. Lalu katanya, "Bertahun-tahun aku menunggu di puncak Gunung Limagagak, hanya untuk sesuatu yang sia-sia.
Telur itu keburu menetas sebelum aku sempat memanfaatkan mukjizatnya. Hmm... nasibku memang
kurang mujur."
Rangga semakin tidak mengerti.
Dan tampaknya kakek-kakek itu memaklumi keheranan Rangga. Kata kakek-kakek itu lagi, "Lihatlah titik hijau di dahi perempuan
malang ini."
Memang benar. Di dahi kedua mayat perempuan itu
tampak titik hijau sebesar ujung lidi.
"Nanti semuanya akan kuterangkan," kata si kakek.
"Sekarang marilah kita cari korban lainnya, kalaukalau ada perempuan hamil tua."
"Perempuan hamil"!"
"Ya. Apakah kau melihat ada perempuan hamil
yang jadi korban?"
"Ada. Istriku sendiri!"
"Hah"! Ayo cepat kita ke sana! Jangan sampai terlambat!" Mereka lalu berlari menuju rumah Rangga.
Tetapi mereka benar-benar sudah terlambat. Jenazah Tineng masih berada di bangku bambu itu. Namun perut Tineng itu... sudah
kempes! "Tadi perutnya masih besar! Kenapa sekarang jadi
kempes?" Rangga mau menyentuh perut mayat itu, tapi si kakek menarik tangan Rangga.
"Jangan! Jangan sentuh mayat istrimu!"
Rangga terpana dan semakin tak mengerti.
"Sekarang semuanya sudah jelas bagiku. Marilah
kita tinggalkan kampung ini," kakek-kakek itu meraih lengan Rangga.
"Tapi... mayat istriku itu..." Rangga ragu-ragu mengikuti kakek itu.
"Biarkan saja. Besok pagi mayat-mayat di kampung
ini akan lenyap semuanya."
"Lenyap"!"
"Ya. Besok akan kuceritakan semuanya."
Bulan purnama tertutup awan tipis. Tapi cahayanya
masih mampu menyinari bumi. Dan Desa Tilugalur
tampak remang-remang, sebagai desa yang lengang
dan menyeramkan.
Semilir angin malam menggoyangkan daun-daun
bambu yang tumbuh di sana-sini, menimbulkan bunyi
gemerisik lembut.
Rangga dan kakek-kakek berpakaian serba putih
itu meninggalkan Desa Tilugalur, dengan kepala tertunduk.
*** EGITU tiba di batas utara Tilugalur, Rangga mengBalam i peristiwa yang aneh dan tidak masuk di
akalnya. Mula-mula ia merasa pergelangan tangannya digenggam oleh kakek-kakek
berpakaian serba putih
itu, kemudian ia mendengar si kakek mengucapkan
sesuatu yang tidak jelas dan... tahu-tahu ia merasa tubuhnya seperti melesat
demikian cepatnya, sehingga ia memejamkan matanya saking ngerinya. Ketika ia
membuka kembali matanya, ia sudah berada di daerah yang gelap dan dingin sekali.
"Kakek... di mana kita berada sekarang" Aku belum
pernah menginjak daerah ini!" Rangga menggigil kedinginan.
"Kita berada di puncak Gunung Limagagak," sahut
si kakek. "Gunung Limagagak"! Oh... bagaimana mungkin"!"
Rangga menggosok-gosok matanya dan memperhatikan lagi alam sekitarnya. Tidak tampak apa-apa, karena gunung tinggi itu selalu
diselimuti kabut.
Sebelum Rangga sempat bertanya lagi, tiba-tiba saja si kakek melemparkan sehelai
kulit binatang padanya, sambil berkata, "Pakailah kulit itu untuk selimut, lalu
tidurlah. Jangan bertanya apa-apa lagi."
Kulit binatang itu sangat lebar. Dan Rangga menyelimutkannya ke badannya. Tapi bagaimana mungkin ia bisa tidur di alam terbuka
sedingin itu"
Rangga lalu duduk di atas batu besar, sambil merenungkan kembali apa yang telah dialaminya. Dan si kakek tidak terdengar lagi
suaranya. Udara pun semakin dingin saja rasanya. Tapi Rangga yang sedang mengenang masa-masa indahnya bersama Tineng, tidak lagi mempedulikan kedinginan
puncak gunung berkabut di tengah malam itu.
Rangga bahkan mencucurkan air matanya lagi. Dan
ketika kesedihannya sudah mencapai puncaknya, ia
menangis tersedu-sedu.
Tidak terdengar suara si kakek. Mungkin ia sengaja membiarkan Rangga
melampiaskan kesedihannya dalam tangis.
Dan ketika pagi mulai tiba, ketika sinar matahari
berusaha menembus kepekatan kabut yang menyelimuti puncak Gunung Limagagak, Rangga masih belum
dapat memicingkan matanya.
"Siapa namamu, orang muda?" tanya si kakek yang
tiba-tiba saja muncul di depan Rangga.
"Namaku Rangga. Dan Kakek sendiri... mengapa tidak mau memperkenalkan nama padaku?"
Si kakek tersenyum lembut dan menjawab, "Aku
sudah melupakan namaku. Tapi orang-orang menjuluki aku sebagai Kudawulung."
"Kudawulung"!" Rangga terperanjat dan terundur
beberapa langkah.
"Benar," sahut Kudawulung. "Kenapa kau terkejut
mendengar namaku?"
"A... aku sering mendengar nama besar itu... seba

Mustika Lidah Naga 1 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gai nama yang sangat ditakuti orang-orang!"
"Apakah aku memang menakutkan?" tanya Kudawulung sambil tersenyum.
"Ti... tidak," sahut Rangga tergagap. "Ka... kakek kelihatannya ba... baik."
Kakek-kakek bergelar Kudawulung itu tertawa tergelak-gelak. Tapi ketika mulutnya masih tertawa-tawa itu, air matanya mengalir
dengan derasnya.
Tapi Rangga tidak memperhatikan keanehan itu.
Rangga juga tidak tahu bahwa tokoh besar bergelar
Kudawulung itu jauh lebih hebat daripada dugaannya.
Dan Rangga juga tidak tahu bahwa salah satu keanehan Kudawulung, adalah bisa tertawa sambil menangis! Rangga juga tidak memperhatikan bunyi tawa Kudawulung itu, yang sebenarnya
lebih mirip ringkikan seekor kuda!
Setelah tawa anehnya reda, Kudawulung berkata,
"Sebenarnya aku selalu menyendiri dalam menjalani
sisa-sisa hidupku ini. Tapi sekarang takdir mempertemukan kita, sebagai dua
orang yang senasib. Itulah sebabnya aku bermaksud untuk mengajakmu bersamaku,
Rangga." Siapa sebenarnya Kudawulung itu" Mengapa ia
berkata bahwa ia senasib dengan Rangga"
*** Pada masa mudanya, Kudawulung bernama Sudesa. Gelar Kudawulung sama sekali belum dikenal saat itu. Sudesa bekerja sebagai
pengurus kuda-kuda milik Adipati Nawanggana. Sebagai tukang kuda, tentu saja
Sudesa hanya dianggap sebagai manusia jelata. Tetapi ia dikaruniai wajah yang
tampan dan kulit yang cemerlang, laksana seorang putra bangsawan.
Kecemerlangan Sudesa diperhatikan secara diamdiam oleh putri Adipati Nawanggana, bernama Rupati.
Putri yang cantik jelita itu seringkali datang ke dekat istal (kandang kuda),
hanya untuk memandang ketampanan Sudesa.
Terlalu seringnya Rupati memperhatikan ketampanan Sudesa, membuat putri Adipati Nawanggana itu
jatuh hati. Sering Rupati berpikir, "Ah... sebenarnya Sudesa tidak kalah tampan
oleh putra-putra bangsawan mana pun. Terlebih lagi kalau ia diberi pakaian yang
pantas, pasti ia akan mirip dewa yang turun dari Kahyangan."
Sudesa sendiri belum menyadari bahwa dirinya sering diperhatikan oleh putri majikannya. Dan tentu sa-ja Sudesa tidak berani
membalas senyum manis Rupati yang seringkali dilayangkan padanya. Sudesa hanya mengira bahwa putri
majikannya itu seorang gadis
yang baik hati dan selalu memperhatikan hambahamba ayahnya. Sampailah pada suatu hari... Rupati meminta Sudesa mengantarkannya ke Telaga Darana. Sudesa merasa heran juga, karena seharusnya Rupati minta di-antarkan oleh dayang-dayang
kadipaten. Tidaklah wajar seorang tukang kuda mengantarkan putri seorang
adipati. Namun Rupati yang bisa membaca keheranan Sudesa, berkata, "Aku ingin membicarakan sesuatu padamu. Kebetulan sekarang Rama Adipati sedang pergi ke kotaraja bersama
ibundaku."
Maka tanpa bertanya apa-apa lagi, Sudesa mengikuti kehendak putri majikannya, menuju Telaga Darana yang letaknya tidak begitu jauh dari istana kadipaten.
Setibanya di tepi telaga yang berair bening itu, Rupati merebahkan diri di atas
rumput hijau, sambil berkata, "Duduklah di dekatku sini, Sudesa. Aku ingin
berbicara padamu. Tapi seekor semut pun tidak boleh ikut mendengarkan apa yang
akan kukatakan padamu."
Dengan heran dan ragu, Sudesa menghampiri putri
majikannya. Tapi tidak berani terlalu dekat.
"Ke sini..." tiba-tiba saja Rupati bangkit dan menggenggam pergelangan tangan
Sudesa, lalu tangan yang halus itu meraihnya.
"Gu... Gusti Putri...!" Sudesa gelagapan, karena ia diraih sedemikian rupa,
sehingga ia terduduk merapat di samping putri majikannya.
Sudesa berusaha untuk menjauhkan diri dari putri
majikannya. Tapi gadis jelita itu mencengkeram lengan Sudesa, sehingga akhirnya
Sudesa tertunduk dengan
jantung memukul-mukul kencang.
"Sudesa," kata Rupati setengah berbisik, "tahukah
kau bahwa selama ini aku selalu memperhatikanmu?"
"Be... betul... Gusti Putri ba... baik sekali kepada hamba," sahut Sudesa tanpa
berani memandang wajah
lawan bicaranya.
Rupati tersenyum manis. Lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Sudesa dan berbisik, "Sebenarnya aku mencintaimu, Sudesa."
"Gusti Putri"!" Sudesa terperanjat dan berusaha untuk menepiskan pelukan Rupati.
Namun pelukan itu
bahkan semakin erat.
"Tidak ada yang perlu kau herankan," kata Rupati.
"Seorang perempuan mencintai seorang laki-laki itu merupakan kodrat yang biasa
terjadi di mana-mana,
bukan?" "Be... betul. Tapi Gusti Putri bukanlah tandingan
hamba," sahut Sudesa sambil menundukkan kepalanya. "Kedudukan hamba jauh di bawah kehinaan, sedangkan Gusti Putri di puncak keagungan. Bagaimana mungkin hamba berani
melangkahi jarak itu"!"
"Tapi sekarang jarak itu sudah tidak ada lagi, bukan?" Rupati kembali menggenggam pergelangan tangan Sudesa. Dan kehangatan telapak tangan yang
halus lembut itu seakan-akan menjalar sampai ke ulu hati Sudesa.
Tapi Sudesa tetap tahu diri. Ia tidak berani membalas perlakuan mesra Rupati. Ia
hanya membiarkan semuanya itu berjalan sesuka hati putri majikannya,
tanpa berani menggerakkan anggota badannya sedikit pun.
Namun sebagai pemuda yang sedang menanjak remaja, Sudesa tidak bisa menipu dirinya sendiri. Jauh di dalam hatinya terselip
perasaan aneh, yang belum pernah dirasakan sebelumnya.
Dan sepulangnya dari Telaga Darana, Sudesa termenung-menung sendiri di istal Adipati, mengenang
kembali kejadian indah yang baru dialaminya. Ia tidak menyangkal bahwa secercah
kebahagiaan menyelusup
ke dalam sanubarinya. Tapi manakala ia menyadari
siapa dirinya dan siapa Rupati, kebahagiaan itu pun seolah-olah ditikam oleh
keperihan. Sudesa pun lalu teringat pada bisikan Rupati sebelum meninggalkan Telaga Darana tadi. "Besok pagi kita berjumpa lagi di sini.
Tapi sebaiknya kita jangan pergi bersama-sama dari kadipaten, supaya orang lain
tidak mencurigai kita."
Sudesa tidak tahu apakah bisikan itu perintah seorang putri majikan atau ajakan seorang kekasih. Yang
pasti, keesokan paginya Sudesa pergi seorang diri ke Telaga Darana, untuk
memenuhi keinginan Rupati.
Telaga yang dikelilingi hutan belukar itu tampak
sunyi. Dan Sudesa mengira bahwa ia harus lama menunggu di tepi telaga itu. Namun ternyata Rupati telah lebih dahulu tiba di
tempat sunyi itu. Rupati memanggil Sudesa dari balik semak-semak, "Sudesa!"
Sudesa menengok ke arah datangnya suara itu. Lalu dilihatnya tangan gadis melambai-lambai. Dengan jantung berdegup-degup Sudesa
menghampiri pemilik
tangan indah itu.
Dan... ah, betapa menggigilnya hasrat Sudesa demi
dilihatnya senyum Rupati yang sedang berlutut di balik semak-semak itu.
"Di sini sangat aman dan tersembunyi," desis Rupati sambil meraih tangan Sudesa demikian kuatnya, sehingga Sudesa terjerembab dan
terhempas ke dada
Rupati. "Gu... Gusti Putri...!" hanya itu yang terlontar dari mulut Sudesa ketika
pipinya bergeseran dengan pipi Rupati.
Tapi Rupati memang sengaja menggeserkan pipinya
yang hangat dan lembut itu ke pipi Sudesa. Dan hal itu diulanginya...
diulanginya terus, sehingga batin Sudesa serasa melayang-layang tak menentu,
dihem-bus badai asmara yang tak mengenal kasta!
Dan ketika badai asmara itu masih menderu-deru,
Sudesa mendengar suara Rupati, "Bagaimana sepulangnya dari sini kemarin" Apakah kau memikirkan diriku?"
Sudesa tidak berani menjawab.
"Kenapa kau diam" Apakah kau tidak memikirkan
diriku sedikit pun?" lagi-lagi Rupati merapatkan pipinya ke pipi Sudesa.
"Hamba hanya berani memikirkan Gusti Putri sebagai putri majikan hamba, yang harus hamba hormati
sedalam-dalamnya," kata Sudesa dengan kepala tetap tertunduk.
"Tidak lebih dari itu?" Rupati tampak kecewa.
"Hamba tidak berani berpikir lebih dari itu, Gusti Putri."
"Ah... kalau begitu jelaslah, aku ini hanya bertepuk sebelah tangan. Mungkin kau
telah menyimpan gadis
lain di dalam hatimu."
"Bukan begitu, Gusti Putri. Hamba hanya merasa
bahwa diri hamba terlalu hina untuk disejajarkan dengan Gusti Putri."
"Sekarang kita telah duduk sejajar. Mengapa kau
masih mempersoalkannya?"
"Ampun, Gusti Putri. Hamba memang tidak bisa
menentang kodrat hamba sebagai seorang laki-laki.
Tapi hamba merasa tidaklah pada tempatnya untuk
memikirkan Gusti Putri secara kodrat hamba."
Begitulah selalu jawaban Sudesa pada mulanya. Namun secara sadar atau tidak, ia selalu memenuhi keinginan Rupati untuk berjumpa
di tepi Telaga Darana pada hari-hari berikutnya. Dan hal itu membuat Sudesa
berubah sedikit demi sedikit. Bahkan beberapa
minggu berikutnya, Sudesa mulai membahasakan
"Rayi" (Dinda) kepada Rupati, sesuai dengan kehendak Rupati sendiri. Rupati pun
lalu membahasakan "Kakang" (Kanda) pada Sudesa.
Dan Telaga Darana jadi saksi bisu tentang pertemuan demi pertemuan Rupati dan Sudesa yang telah saling mencintai.
Ya, akhirnya Sudesa tidak dapat menyembunyikan
perasaannya lagi. Bahwa ia sudah sangat mencintai
Rupati yang rupawan. Sudesa pun tidak lagi menganggap dirinya sebagai hamba yang harus mengabdi kepa-da Rupati. Bahkan sebaliknya,
Rupatilah yang lalu memperlihatkan tekadnya untuk mengabdi kepada Sudesa.
Pernah pada suatu hari mereka bercakap-cakap dengan mesranya di tepi Telaga Darana...
"Rayi Rupati, sekarang kita telah saling mencintai begini dalamnya, sehingga aku
tak dapat membayangkan apa yang akan terjadi pada diriku seandainya Rayi
dipersunting oleh lelaki pilihan Gusti Adipati kelak."
"Jangan takut, Kakang. Walaupun apa yang akan
terjadi, aku tidak akan menerima lelaki lain sebagai calon suamiku, kecuali
Kakang sendiri."
"Tapi sampai kapan kita dapat menyembunyikan
hubungan kita ini" Rasanya pada suatu saat Gusti
Adipati akan mencium juga rahasia kita."
"Apa pun yang akan terjadi, akan kuhadapi dengan
tabah. Sekalipun aku diusir dari kadipaten, aku rela, asalkan aku tetap berada
di sampingmu."
Namun ternyata justru pada hari itulah cinta mereka mulai dinaungi awan mendung. Ketika Rupati pulang dari Telaga Darana, Adipati Nawanggana memanggilnya. "Rupati anakku," kata Adipati Nawanggana, "Rupanya nasib baik menerangi kehidupanmu. Aku bahagia
sekali dibuatnya."
"Kanjeng Rama, hamba tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Kanjeng Rama dengan nasib baik
yang menerangi kehidupan hamba itu," sahut Rupati sambil menyimpan kedua
tangannya di dahi.
"Tadi datang utusan dari Pangeran Gandaseta, yang
maksudnya mau melamarmu."
Rupati terkejut sekali mendengar ucapan ayahnya
itu. Namun ia tidak berani memperlihatkan perasaan tidak setujunya, karena
tatakrama di dalam lingkungan para bangsawan pada masa itu sangat keras. Rupati hanya berani bertanya sambil menyembah, "Kalau boleh hamba tahu, apakah
Kanjeng Rama sudah menerima lamaran itu?"
"Tentu saja," jawab Adipati Nawanggana. "Siapa
yang tidak senang anaknya dilamar oleh seorang pangeran yang sangat berpengaruh
seperti Pangeran Gandaseta?"
Rupati tertunduk dengan hati bingung. Ia tahu bahwa seandainya ia berterus terang kepada ayahnya,
bahwa ia sudah menjalin hubungan cinta dengan Sudesa, pastilah Sudesa yang akan menjadi korban kemarahan ayahnya. Dan itu tidak dikehendakinya. Ia
akan memilih dirinya sendiri yang jadi korban daripada membiarkan Sudesa menjadi
korban. Karena itu Rupati tidak mau menanggapi kata-kata
ayahnya. Rupati bersikap seakan-akan menyetujui keinginan ayahnya. Namun jauh di
dalam hatinya, Rupati menyimpan sebuah rencana, "Aku tidak mau dipersan-dingkan
dengan Pangeran Gandaseta. Tapi kalau aku
menolaknya secara terang-terangan, pasti Kanjeng Ra-ma akan murka. Maka jalan
yang terbaik, adalah melarikan diri bersama Kakang Sudesa!"
Cinta mampu membuat orang menjadi nekad. Demikian pula halnya dengan Rupati. Keesokan paginya ia memasuki istal, untuk
menemui Sudesa.
Setelah bertemu dengan Sudesa yang tengah memberi makan kuda-kuda sang Adipati, berkatalah Rupa-ti, "Kakang Sudesa, rupanya
sekaranglah saatnya bagiku untuk membuktikan cinta kasihku padamu. Kanjeng Rama akan menyandingkan aku dengan Pangeran
Gandaseta. Tapi aku akan memilih pergi selamalamanya dari kadipaten ini, asalkan aku tetap bisa bersamamu. Karena itu
bersiap-siaplah. Nanti malam
kita harus meninggalkan tempat ini. Tunggulah aku di pintu belakang. Kalau
orang-orang sudah tertidur, aku akan meninggalkan kamarku, lalu menjumpaimu di
pintu belakang dan... bersama-sama melarikan diri...!"
Setelah berkata demikian, Rupati cepat-cepat keluar dari istal, meninggalkan
Sudesa yang masih terlongong-longong.
Sudesa tidak tahu apakah rencana yang telah ditentukan oleh Rupati itu merupakan jalan keselamatan
atau jalan menuju malapetaka. Sudesa hanya tahu
bahwa ia merasa harus memenuhi keinginan Rupati,
kekasihnya. Maka ketika malam tiba, Sudesa mulai bersiap-siap
di dekat pintu belakang istana kadipaten.
Lalu... ketika para penghuni istana kadipaten sudah nyenyak tidur sementara para
penjaga sedang bercakap-cakap di dekat pintu gerbang, tampaklah sesosok tubuh
perempuan berjalan mengendap-endap menuju
pintu belakang. Itulah Rupati yang sudah bertekad bu-lat untuk meninggalkan
istana kadipaten, demi cintanya kepada Sudesa.
Di pintu belakang yang tidak dijaga, Sudesa menyongsong Rupati. Kemudian mereka melarikan diri ke arah selatan, di tengah
kegelapan malam.


Mustika Lidah Naga 1 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Esoknya dayang-dayang kadipaten terheran-heran
melihat kamar Rupati kosong. Padahal biasanya pagi-pagi sekali Rupati sudah
mengajak dayang-dayangnya mandi di kolam, lalu berjalan-jalan di taman. Memang
Rupati sering 'hilang', yakni bila sedang menjumpai Sudesa di tepi Telaga
Darana. Tapi kebiasaan 'hilang'
itu selalu terjadi setelah mandi dan duduk-duduk atau berjalan-jalan di dalam
taman bersama dayang-dayangnya.
Sampai tengah hari dayang-dayang kadipaten sibuk
mencari-cari Rupati. Namun mereka tak berhasil menemukan putri majikannya.
Dan akhirnya salah seorang dayang menghadap kepada sang Adipati yang sedang bercengkerama dengan istrinya di beranda timur.
Dayang itu menyembah di depan majikannya, sambil berkata dengan nada takut, "Ampunkan hamba,
Kanjeng Gusti..."
Adipati Nawanggana mengernyitkan dahinya. Lalu
bertanya, "Ada apa, Emban?"
"Gusti Dewi Rupati sejak tadi tidak ada di dalam istana ini. Hamba dan kawankawan hamba sudah mencarinya ke sana-sini, namun hamba semua tidak berhasil menemukannya, Kanjeng Gusti."
Belum sempat Adipati Nawanggana menanggapi laporan dayang itu, datang pula seorang prajurit pemeriksa lingkungan istana
kadipaten. Prajurit itu berkata, "Ampunkan hamba, Kanjeng
Gusti. Sejak tadi pagi kuda-kuda kesayangan Kanjeng Gusti tidak diberi makan.
Hamba sudah mencari-cari Sudesa, namun kemungkinan besar dia melarikan diri,
Kanjeng Gusti."
"Melarikan diri"!" Adipati Nawanggana terperangah.
"Benar, Kanjeng Gusti. Bahkan kemungkinan besar
dia melarikan diri bersama... bersama..."
"Bersama siapa?"
"Bersama Gusti Dewi Rupati, Kanjeng Gusti."
"Apa"! Sudesa melarikan diri bersama putriku"!"
Adipati Nawanggana terperanjat.
"Benar, Kanjeng Gusti. Baru saja hamba menerima
laporan dari seorang tukang kayu, yang mengaku berjumpa dengan Gusti Dewi Rupati
dan Sudesa di hutan sebelah selatan, Kanjeng Gusti."
Wajah Adipati Nawanggana merah padam. Sambil
menghentakkan kakinya di lantai, Adipati Nawanggana membentak prajuritnya,
"Kenapa ini bisa terjadi" Kenapa"!"
"Ampun, Kanjeng Gusti. Hamba pernah mendengar
desas-desus bahwa Gusti Dewi Rupati dan Sudesa sering mengadakan pertemuan rahasia di tepi Telaga Darana. Tapi tadinya hamba
kurang percaya, karena
hamba belum pernah membuktikannya sendiri. Barulah sekarang hamba percaya bahwa laporan itu benar, Kanjeng Gusti."
Adipati Nawanggana yang cepat menghubungkan
peristiwa itu dengan lamaran Pangeran Gandaseta, segera saja dapat menarik
kesimpulan bahwa putrinya
menjalin hubungan rahasia dengan Sudesa. Kesimpulan itu semakin kuat setelah sang Adipati teringat akan ketampanan Sudesa.
"Mungkin dengan modal ketampanannya, Sudesa
telah berhasil merayu putriku," pikir Adipati Nawanggana. "Kemudian putriku lupa
daratan dan terbujuk
oleh Sudesa untuk melarikan diri! Oh... malapetaka apa pula yang akan terjadi
sehingga putriku sudi pergi bersama seorang tukang kuda?"
Pada hari itu juga Adipati Nawanggana mengerahkan prajurit-prajurit kadipaten untuk mengejar Rupati dan Sudesa ke arah
selatan, sesuai dengan laporan
tukang kayu yang disampaikan kepada pemeriksa
lingkungan istana kadipaten.
Tiga hari kemudian, prajurit-prajurit itu sudah pulang dengan hasil yang
'gemilang'. Mereka berhasil memboyong Rupati dan menangkap Sudesa.
Sudesa diseret dalam keadaan terbelenggu, sementara Rupati mengikutinya sambil menangis meraungraung di sepanjang jalan. Rakyat yang tinggal di kota kadipaten berkerumun di
pinggir jalan dengan perasaan heran dan iba.
Pada umumnya rakyat Kadipaten Nawanggana merasa kasihan kepada Sudesa, yang mereka kenal sebagai pemuda yang baik. Mereka
pun terheran-heran melihat Rupati menangis di sepanjang jalan. Namun tak seorang
pun di antara mereka yang berani mengeluarkan komentar.
Disiplin kaku yang diterapkan pada zaman itu, menyebabkan mulut-mulut seperti beku. Memberi komentar atas 'kebijaksanaan' raja dan pembesarpembesar lainnya, dianggap sebagai suatu kejahatan!
Itulah sebabnya, rakyat Kadipaten Nawanggana
hanya terlongong dalam kebisuan, sekalipun mereka
menganggap tindakan prajurit-prajurit kadipaten itu sudah melewati batas
perikemanusiaan. Mereka hanya dapat memandang dengan mata berkaca-kaca, betapa
banyaknya darah yang mengucur dari sekujur tubuh
Sudesa, karena tukang kuda yang malang itu diseret oleh seekor kuda, sedangkan
kaki dan tangan Sudesa dibelenggu oleh tali kulit yang sangat kuat.
Memang memilukan, bahwa Sudesa bergulingguling dan terombang-ambing di sepanjang jalan yang
'mengasah' kulit dan dagingnya, sampai ke depan istana sang Adipati.
Namun ada sesuatu yang aneh dan kurang diperhatikan oleh rakyat Kadipaten Nawanggana, yakni kekuatan lahir-batin Sudesa itu... benar-benar luar biasa. Kalau orang biasa,
diseret dalam keadaan terbelenggu dari hutan menuju istana kadipaten, mungkin
sudah binasa di tengah jalan. Tapi Sudesa benar-benar mengherankan. Tubuhnya
sudah berlumuran darah,
namun ia tetap sadar, dan... tak sedikit pun terdengar rintihan dari mulutnya!
Setibanya di depan istana kadipaten, Rupati memeluk kaki ayahnya yang sedang berdiri di ambang pintu, sambil meratap, "Kanjeng
Rama! Hamba mohon ampun... hamba mohon Kakang Sudesa jangan dihukum,
karena hamba sudah terlanjur mencintainya. Semuanya ini kesalahan hamba. Kakang Sudesa tidak bersalah sedikit pun, Kanjeng
Rama...!" Gigi sang Adipati gemeletuk, karena menahan amarah yang seolah-olah hendak memecahkan dadanya.
Lalu terdengar suara sang Adipati, perlahan tapi tajam,
"Rupati, apakah kau sadar akan apa yang kau
ucapkan tadi"!"
"Hamba sadar, Kanjeng Rama," sahut Rupati sambil
menyembah kaki ayahnya.
"Dan apakah kau sadar di mana letak derajatmu?"
tanya sang Adipati lagi dengan suara yang agak keras.
"Hamba sadar bahwa hamba berderajat bangsawan." "Dan engkau tahu derajat Sudesa?"
"Kakang Sudesa adalah abdi kadipaten. Namun
hamba merasa bahwa dia memiliki jiwa yang tak kalah oleh putra-putra raja.
Sebagaimana Kanjeng Rama
saksikan, Kakang Sudesa diseret-seret dari dalam hutan selama sehari-semalam.
Tapi dia masih bertahan hidup dan tidak merintih sedikit pun. Hamba rasa, orang
biasa tidak mungkin mempunyai ketahanan seperti Kakang Sudesa. Dan itu semua
membuat hamba semakin mencintai Kakang Sudesa..."
Belum habis Rupati bicara, terdengar perintah sang Adipati yang gagal
mengendalikan amarah dan keben-ciannya, "Prajurit! Gantung tukang kuda itu di
alun-alun, sampai mati!"
"Kanjeng Rama!" pekik Rupati sambil memeluk kaki
ayahnya. "Jangan hukum Kakang Sudesa! Kalau mau
menghukum, hukumlah hamba! Hambalah yang bersalah dalam kejadian ini!"
Namun Adipati Nawanggana memanggil prajurit
yang lain. Dan kata sang Adipati kepada prajurit itu,
"Bawa putriku ke dalam keputren. Jaga dia baik-baik.
Hanya dengan izinku dia boleh keluar dari keputren!"
Sementara itu Sudesa sudah diseret ke tengah
alun-alun. Di situ ada sebuah tiang gantungan, yang hanya dipakai untuk
menghukum mati orang-orang
jahat atau pemberontak saja. Namun hari itu tiang
gantungan tersebut akan dipergunakan untuk menghukum seorang pemuda yang tidak berdosa.
Sang Adipati pun memasuki kamarnya, sambil berusaha meredakan amarahnya.
Lama juga Adipati Nawanggana termenung sendiri
di dalam kamarnya. Dan akhirnya ia merebahkan diri di atas peraduannya.
Baru saja beberapa saat sang Adipati memejamkan
matanya, tiba-tiba di luar istana terdengar suara hi-ruk-pikuk.
Adipati Nawanggana terbangun, lalu keluar lagi dari dalam kamarnya. Seorang
dayang dipanggil. "Apakah
kau tahu apa yang diributkan orang-orang di depan
pintu gerbang itu?"
Setelah menyembah, dayang itu menjawab, "Ampun, Kanjeng Gusti. Menurut berita yang hamba dengar, para prajurit telah salah menggantung orang. Tapi hamba sendiri belum
berani melihatnya ke alun-alun."
Adipati Nawanggana terheran-heran. Lalu katanya
kepada dayang itu, "Panggil salah seorang prajurit ke sini."
"Baik, Kanjeng Gusti," dayang itu mengundurkan
diri, lalu bergegas menuju pintu gerbang istana.
Tak lama kemudian seorang prajurit kadipaten datang menghadap.
"Apa yang telah terjadi?" tanya Adipati Nawanggana.
"Ampun, Kanjeng Gusti. Hamba semua sudah melaksanakan titah Kanjeng Gusti untuk menghukum
tukang kuda bernama Sudesa itu. Tapi... terjadi sesuatu yang sangat aneh,
Kanjeng Gusti."
"Ceritakanlah sejelas-jelasnya," kata Adipati Nawanggana. Prajurit itu lalu menceritakan peristiwa yang baru terjadi...
Bahwa para prajurit kadipaten sudah menyeret Sudesa ke tiang gantungan. Kemudian mereka menggantung Sudesa di tiang gantungan itu. Setelah mereka yakin bahwa Sudesa sudah
mati, mereka menurunkan
tubuh Sudesa yang dikira sudah menjadi mayat. Tapi mereka terkejut sekali
setelah melihat mayat yang mereka turunkan itu... ternyata mayat Murtiwi, selir
Adipati Nawanggana yang paling disayangi!
Baru saja selesai prajurit itu bertutur, tiba-tiba datanglah serombongan
prajurit yang mengusung mayat
Murtiwi. Salah seorang pembawa mayat itu bersimpuh di depan Adipati Nawanggana, sambil berkata, "Ampun,
Kanjeng Gusti. Hamba semua memasrahkan diri untuk menerima hukuman apa pun yang akan dijatuhkan oleh Kanjeng Gusti, karena hamba semua tidak
kuasa mencegah peristiwa aneh dan menyedihkan ini."
Kemudian mayat selir kesayangan sang Adipati itu
diletakkan di atas altar kadipaten. Adipati Nawanggana menciumi mayat wanita
cantik itu, dengan air mata
bercucuran. "Murtiwi kekasihku! Mengapa malapetaka ini mesti
terjadi" Dan mengapa justru kau yang harus jadi korban?" Adipati Nawanggana
meratap-ratap di dekat
mayat Murtiwi. Peristiwa itu sangat menggemparkan rakyat Kadipaten Nawanggana. Mereka tetap tidak mengerti apa sebabnya tubuh Sudesa bisa
berganti menjadi tubuh selir kesayangan Adipati Nawanggana.
Walaupun Murtiwi hanya seorang selir, bukan istri
utama sang Adipati, namun sang Adipati menetapkan
hari berkabung selama tujuh hari tujuh malam bagi
seluruh wilayah Kadipaten Nawanggana.
Peristiwa aneh itu tetap merupakan misteri tak terpecahkan bagi rakyat Kadipaten
Nawanggana. Sementara sang Adipati sendiri menilai peristiwa itu sebagai peringatan dewata
terhadap dirinya. Karena ia telah memutuskan untuk melenyapkan nyawa seseorang
yang dicintai oleh putrinya. Lalu terjadi yang sebaliknya, yakni bahwa selir
yang paling disayanginyalah yang menjadi korban.
Walaupun begitu, semuanya hanya menebaknebak, tanpa memiliki kepastian.
Sementara itu, Rupati hanya mampu menangis dan
menangis terus di dalam keputren yang senantiasa dijaga dengan ketatnya. Ia
sudah mendengar berita tentang peristiwa aneh itu. Namun ia pun tidak tahu apa
sebenarnya yang telah terjadi pada diri Sudesa, kekasihnya.
Pada suatu hari, datanglah Pangeran Gandaseta ke
Kadipaten Nawanggana, dikawal oleh sepasukan balatentara kerajaan, diiringi oleh beberapa ksatria dan penasihat.
Tentu saja Adipati Nawanggana sibuk menyambut
kedatangan tamu-tamu agung dari kotaraja itu. Pangeran Gandaseta dan rombongannya diterima di paseban kadipaten, dengan upacara kehormatan.
Setelah upacara resmi selesai, Adipati Nawanggana
berkata, "Sungguh besar hati hamba, karena Gusti Pangeran berkenan mengunjungi kadipaten yang serba
sederhana ini. Hamba mohon agar Gusti Pangeran sudi memaafkan atas segala
kekurangan dalam penyambutan ini."
Pangeran Gandaseta yang memiliki perawakan tinggi besar itu, lalu berkata, "Paman Dipati, sebenarnya kedatangan kami yang
mendadak ini disebabkan oleh
berita yang sampai ke telinga kami."
Dengan sikap yang angkuh, Pangeran Gandaseta
melirik ke arah para pengikutnya, kemudian melanjutkan kata-katanya, "Kami mendengar bahwa di kota kadipaten ini pernah terjadi
peristiwa menghebohkan.
Sedangkan sumber kehebohan itu berasal dari putri
Paman Dipati yang sudah dicanangkan sebagai calon
istriku. Maka dalam kesempatan ini, kami ingin mendengar penjelasan dari Paman
Dipati, supaya kami
mengetahui duduk perkara yang sebenarnya."
Pada mulanya agak ragu Adipati Nawanggana menceritakan peristiwa yang telah terjadi sebulan yang lalu itu, namun akhirnya
diceritakannya juga kejadian
yang sangat menggemparkan itu.
Di akhir penuturannya, Adipati Nawanggana berkata, "Demikianlah besarnya kesetiaan hamba kepada
Gusti Pangeran, sehingga dengan tegas hamba menjatuhkan hukuman mati kepada pemuda yang berani
menggoda anak hamba yang akan dipersunting oleh
Gusti Pangeran itu. Namun entah apa yang terjadi, karena tahu-tahu mayat pemuda
itu lenyap dan berganti menjadi mayat selir hamba sendiri."
Pangeran Gandaseta terheran-heran mendengarkan
penuturan itu. Dan salah seorang anggota rombongan sang Pangeran, tampak
terkejut sekali mendengar penuturan Adipati Nawanggana tadi. Orang itu adalah
Resi Badrapati.
Sebenarnya Resi Badrapati seorang pertapa berilmu
tinggi. Dan seharusnya, seorang pertapa yang telah bergelar resi seperti


Mustika Lidah Naga 1 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Badrapati, sudah mampu membebaskan diri dari segala pengaruh keduniawian. Namun
tidak demikian halnya dengan Resi Badrapati. Setelah memiliki ilmu yang cukup
tinggi, ia tergoda untuk
memperoleh kesenangan di dunia. Maka ketika datang tawaran dari Pangeran
Gandaseta, untuk menjadi penasihat dan pelindung sang Pangeran (tentu dengan
imbalan yang sangat tinggi), tergiurlah Resi Badrapati dibuatnya. Kemudian ia
meninggalkan pertapaannya,
untuk menikmati hidup mewah di lingkungan istana
kerajaan. Setelah tinggal di dalam lingkungan istana kerajaan, watak asli Resi Badrapati tidak dapat disembunyikan lagi. Ternyata ia
bukan hanya seorang manusia yang haus harta-benda dan kemewahan, melainkan
juga seorang lelaki yang gemar melampiaskan nafsu
birahinya. Pangeran Gandaseta sangat membutuhkan tenaga,
pikiran dan ilmu Resi Badrapati. Karena itu Pangeran Gandaseta sangat memanjakan
sang Resi. Apa pun
yang diinginkan oleh sang Resi, selalu dikabulkan oleh Pangeran Gandaseta,
termasuk kebutuhan sang Resi
dalam soal perempuan!
"Bagaimana pendapat Paman Resi mengenai peristiwa itu?" tanya Pangeran Gandaseta setelah mendengar uraian Adipati Nawanggana.
Resi Badrapati yang biasanya selalu yakin pada keampuhan ilmunya, kali ini memperlihatkan sikap agak kecut. Dan hatinya jauh
lebih kecut lagi. Namun ia segera mengubah sikapnya, karena merasa pamornya
jangan sampai jatuh di mata Pangeran Gandaseta.
Lalu kata sang Resi, "Rasanya sulit dipercaya bahwa Sekarpadma masih hidup dan masih mau mencampuri urusan di dunia ini."
"Sekarpadma"!" Pangeran Gandaseta semakin heran. "Siapa Sekarpadma itu, Paman Resi?"
Resi Badrapati menjawab, "Tidak ada yang tahu asal-usulnya secara pasti. Yang jelas, dia seorang wanita aneh dan sudah berhasil
menyatukan dirinya dengan
alam gaib, sehingga dia dapat mengubah-ubah wujud
sekehendak hatinya. Hal ini hanya diketahui oleh
orang-orang tertentu saja, termasuk diri hamba."
Orang-orang yang hadir di paseban kadipaten itu
tercengang. Lalu kata Badrapati lagi, "Setelah mendengar uraian Kanjeng Adipati tadi, hamba
yakin bahwa seandainya tukang kuda bernama Sudesa itu diselamatkan secara gaib
oleh seseorang... hanya Sekarpadma yang mampu melakukan pertolongan semacam itu.
Tapi hamba sendiri heran, karena Sekarpadma sudah duapuluh tahun tidak muncul di
dunia ramai. Dan tokoh-tokoh yang
pernah mengenal dia, semuanya sependapat bahwa dia sudah tiada lagi di dunia
ini." "Lalu?" kata Pangeran Gandaseta. "Seandainya dia
masih hidup, alasan apa yang membuatnya ingin menyelamatkan tukang kuda itu?"
Resi Badrapati menghela napas panjang-panjang,
lalu katanya, "Itulah yang membingungkan hamba.
Tapi sudahlah... untuk apa kita mempersoalkan peristiwa yang sudah berlalu"
Lagipula yang terpenting, putri Kanjeng Adipati masih ada dan bisa diboyong ke
kotaraja pada hari ini juga."
Pangeran Gandaseta tersenyum, lalu menoleh ke
arah Adipati Nawanggana sambil berkata, "Memang
benar. Yang terpenting bagiku, putri Paman Dipati dapat kami bawa ke kotaraja
pada hari ini juga. Untuk
itulah kami membawa usungan kosong dan pasukan
pengawal selengkapnya. Apakah Paman Dipati tidak
berkeberatan?"
"Oh, te... tentu saja hamba tidak berkeberatan,
Gusti Pangeran," sahut Adipati Nawanggana yang terkejut juga mendengar rencana
di luar dugaannya itu.
"Hahahahaa... Paman Dipati memang sangat baik
dan setia kepada kerajaan! Kalau aku berhasil menjadi putra mahkota nanti, aku
tidak akan melupakan ke-baikan Paman Dipati ini!"
Begitulah, pada hari itu juga Rupati dikeluarkan
dari keputren, didandani secantik-cantiknya, dinasiha-ti oleh ayah dan ibunya,
dinaikkan ke dalam joli kencana, lalu diusung ke luar istana kadipaten.
Adipati Nawanggana tidak merasa berat melepaskan
kepergian putrinya. Bahkan sebaliknya, ia merasa senang sekali, karena putrinya
akan dipersunting oleh seorang pangeran yang sangat berpengaruh di kotaraja.
Pangeran Gandaseta lebih senang lagi, karena ia sudah membayangkan betapa
menyenangkannya gadis
cantik yang berada di dalam joli kencana itu. Gadis yang akan dijadikan selir ke
40 itu. Ya, di samping istri resminya, Pangeran Gandaseta
telah mempunyai 39 orang selir. Dan bila ia berhasil memperselir Rupati,
genaplah himpunan selirnya menjadi 40 orang!
Dalam perjalanan pulang ke kotaraja itu, berulangulang Pangeran Gandaseta menyingkapkan kain tirai
joli, untuk memandang wajah Rupati yang jelita. Dan perbuatan yang dilakukannya
itu, menimbulkan ke-nikmatan tersendiri baginya. Karena dengan memandang kecantikan Rupati, sang Pangeran semakin jauh membayangkan apa yang akan ia
lakukan setibanya di
kotaraja nanti.
Bagaimana dengan Rupati sendiri"
Setiap kali tirai joli dibuka dan mata sang Pangeran berkeliaran memandangnya,
Rupati hanya dapat menundukkan kepalanya dengan hati pilu sedalam lautan. Seandainya ia memiliki kekuatan dan kekuasaan, mau saja rasanya ia
memberontak dari dalam joli itu, kemudian melarikan diri sejauh-jauhnya. Namun
ia menyadari bahwa dirinya hanya seorang perempuan
lemah. Dan ia tahu bahwa prajurit-prajurit kerajaan yang mengawal di kanankirinya, dengan mudah akan
menangkapnya kembali jika ia bertindak nekad dalam perjalanan itu.
Itulah sebabnya, Rupati seolah-olah sudah pasrah
untuk dijadikan selir Pangeran Gandaseta yang ke 40.
Padahal di dalam hatinya, Rupati sudah menyimpan
tekad, "Setibanya di kotaraja nanti, aku akan bunuh diri, sebelum pangeran mata
keranjang itu sempat
menjamah tubuhku!"
Namun setibanya rombongan itu di kotaraja, terjadilah peristiwa yang di luar dugaan dan sangat menghebohkan. Ketika joli
diturunkan di depan pintu puri para selir, Pangeran Gandaseta sudah tidak kuat
lagi mengekang nafsunya yang ditahan-tahan di sepanjang perjalanan. Tapi apa
yang dilihatnya" Rupati sudah lenyap dari dalam joli itu. Dan sebagai gantinya,
seorang nenek-nenek berada di dalam joli itu, dalam keadaan terikat dengan mulut
tersumpal! "Keparaaat!" Pangeran Gandaseta berteriak kaget
dan kesal sekali. "Kenapa putri yang cantik itu bisa menjadi nenek-nenek ini?"
Para anggota rombongan sang Pangeran terperanjat
menyaksikan kejadian itu. Demikian pula Resi Badrapati, bergegas melepaskan
belenggu nenek-nenek itu,
sekaligus melepaskan penyumpal mulutnya, lalu bertanya, "Perempuan tua renta!
Siapakah kau sebenarnya" Kenapa pula kau bisa berada di dalam joli
kencana ini?"
Pertanyaan Resi Badrapati itu sebenarnya bermaksud menyelidiki siapa yang menjadi dalang peristiwa aneh tersebut.
Nenek-nenek itu gelagapan menjawab pertanyaan
Resi Badrapati, "Ha... hamba sedang mencari kayu ba-kar di hutan... ti... tibatiba hamba merasa seperti di-terbangkan oleh angin yang sangat kencang... lalu
hamba seperti dibisiki oleh seseorang... yang mengatakan bahwa hamba akan
dijadikan selir Gusti Pangeran Gandaseta... lalu hamba tidak ingat apa-apa
lagi... dan tahu-tahu sudah berada di sini."
Pangeran Gandaseta menghentak-hentakkan kakinya saking geram dan jengkelnya. Beberapa pengikutnya terpaksa menahan tawanya
ketika mendengar si
nenek akan dijadikan selir sang Pangeran.
Tapi Resi Badrapati tidak melihat hal yang menggelikan dalam peristiwa itu. Bahkan sebaliknya, ia menganggap peristiwa itu
sebagai ancaman yang lebih mengerikan daripada ujung keris.
Lalu Resi Badrapati bertanya lagi kepada si nenek,
"Apakah kau masih ingat, suara yang membisikimu itu suara laki-laki atau suara
perempuan?"
"Su... suara perempuan! Suaranya begitu merdu...
laksana suara buluh perindu!" sahut si nenek sambil memejamkan matanya.
Wajah Resi Badrapati mendadak pucat pasi. Dengan
suara yang hampir tak terdengar, ia bergumam, "Perempuan bersuara merdu seperti buluh perindu... tak salah lagi... Dia telah
muncul kembali di dunia ramai ini."
"Apa yang kau ucapkan, Paman Resi?" tanya Pangeran Gandaseta dengan kemarahan yang masih meluap-luap. "Ti... tidak ada apa-apa. Gusti. Tapi... sebaiknya mulai hari ini kita harus
waspada, untuk menghadapi segala kemungkinan," sahut sang Resi dengan suara
bergetar. "Lalu bagaimana dengan putri Adipati Nawanggana
itu" Apakah persoalan ini harus dianggap selesai sampai di sini saja" Oh...
tidak!" Pangeran Gandaseta menghentakkan kakinya lagi di lantai. "Siapa pun yang
berani mempermainkanku, berarti telah menjadi mu-suh kerajaan! Dan aku tidak
akan puas sebelum bisa memenggal leher manusia keparat itu!"
Para pengikut Pangeran Gandaseta menyatakan
dukungan mereka atas tekad sang Pangeran itu.
Hanya Resi Badrapati yang berdiam diri. Bahkan jauh di dalam hatinya, sang Resi
berkata, "Berbicara memang mudah. Tapi melaksanakannya"! Aku saja tidak
sanggup memenggal leher Sekarpadma, apalagi orangorang yang belum pernah mengenal wanita sakti dan
aneh itu!"
Namun sejak saat itu tidak terdengar lagi berita tentang Rupati. Demikian pula
nasib Sudesa yang sesungguhnya, tidak ada orang yang tahu. Barulah beberapa tahun kemudian, muncul
seorang tokoh yang tidak mau menyebutkan nama aslinya. Orang-orang lalu menggelari tokoh tersebut
sebagai Kudawulung, karena tawanya mirip ringkikan kuda dan seringkali memegang tongkat yang terbuat dari batu wulung.
Munculnya Kudawulung sangat menggemparkan,
karena ia sering muncul secara tiba-tiba, untuk membela yang lemah dan
menegakkan kebenaran.
Tiada orang yang tahu bahwa sebenarnya tokoh
muda bergelar Kudawulung itu, adalah Sudesa.
Demikianlah sebagian riwayat masa muda Kudawulung. Dan riwayat masa lalu Kudawulung itu diceritakan juga kepada Rangga di
puncak Gunung Limagagak
yang selalu diselimuti kabut.
"Tapi, siapa sebenarnya yang telah menolong Kakek
dahulu" Mengapa pula Kakek mengatakan bahwa nasib Kakek sama dengan nasibku?" tanya Rangga setelah Kudawulung berhenti bicara.
Kudawulung memandang langit yang mulai tampak
cerah. Lalu katanya, "Memang benar, aku ditolong oleh sang Sekarpadma yang
sakti, lalu dijadikan muridnya.
Besok saja kulanjutkan ceritanya. Sekarang perutmu tentu lapar bukan?"
"Be... betul, Kek. Tapi di mana kita bisa mendapatkan makanan?"
"Tentu saja kita harus turun gunung dulu. Di lereng sana ada rumah seorang
petani yang baik hati yang selalu bersedia membagi makanannya untukku. Ayo kita
ke sana sekarang."
Rangga mengangguk, lalu mengikuti langkah Kudawulung menuruni gunung yang selalu diselimuti kabut itu. Pada waktu mengikuti
langkah Kudawulung itu, ba-rulah Rangga sadar bahwa permukaan Gunung Limagagak itu sebagian besar terdiri dari batu-batuan tajam yang ditutupi oleh lumut
tebal. Maka baru saja beberapa langkah menuruni gunung itu, Rangga sudah
tergelincir dan terjerembab, sehingga dahinya membentur batu tajam dan
mengeluarkan darah.
Rangga merintih perlahan, sambil menyeka darah
yang mengucur dari dahinya. Tapi ketika melihat Kudawulung yang tampak enak saja
melompat-lompat di
atas batu-batu tajam, Rangga seakan-akan dilecut.
Orang yang sudah tua saja begitu mudah menuruni
gunung ini, kenapa aku yang masih muda tidak sanggup" Rangga melangkah lagi. Tapi baru tiga langkah, ia
tergelincir lagi. Dan ketika melihat Kudawulung masih tenang-tenang saja
melangkah, semangat Rangga ber-kobar lagi. Kemudian melangkah lagi, dan...
tergelincir lagi!
Demikianlah seterusnya, Rangga terjatuh dan terjatuh lagi. Sehingga akhirnya Rangga berseru, "Kakek!
Bagaimana mungkin aku bisa menuruni gunung yang
licin sekali ini?"
Kudawulung menjawab sambil tertawa kecil, "Aku
saja yang sudah tua begini bisa berjalan dengan mudah. Kenapa kau yang masih
muda tidak sanggup?"
Rangga terkejut dan berpikir, "Gila! Dia bukan
hanya pandai melompat-lompat di atas bebatuan tajam dan licin, tapi juga pandai
menebak isi hati orang! Ilmu apa sebenarnya yang telah dimilikinya itu?"
Rangga pun lalu teringat pada pengalamannya tadi
malam. Ya, ia ingat benar bahwa tadi malam ia berjalan sampai di batas utara
Tilugalur. Di situ pergelangan tangannya digenggam oleh Kudawulung. Lalu ia
merasa tubuhnya seperti melesat dengan cepat sekali, sehingga ia memejamkan
matanya saking ngerinya.
Dan ketika ia membuka matanya kembali, tahu-tahu
ia sudah berada di puncak Gunung Limagagak.
Ingatan Rangga tentang peristiwa tadi malam mulai
menyadarkannya, bahwa Kudawulung bukan orang
sembarangan. Rangga memang belum pernah belajar
ilmu kedigjayaan. Tapi dari cerita orang-orang, ia sering mendengar tentang
tokoh-tokoh sakti dan dunianya yang penuh dengan teka-teki.
Ketika Rangga masih memikirkan hal itu, tiba-tiba
Kudawulung menghentikan langkahnya, lalu berkata,
"Di alam raya ini memang banyak hal yang tidak terpi-kirkan oleh akal dangkal.
Karena itu, makin tinggi ilmu seseorang, akan semakin menyadarkannya bahwa ia
tak ubahnya sebutir pasir di tengah samudera yang
mahaluas. Kenyataannya bahkan lebih dari itu, karena alam raya ini tiada
batasnya. Dan samudera yang luas itu pun tidak ada artinya kalau dibandingkan
dengan alam ciptaan Hyang Widhi ini."
Rangga tertunduk dan bergumam perlahan, "Benar... dibandingkan dengan gunung yang tinggi ini
pun, rasanya diriku bukan apa-apa. Rasanya diriku
kecil sekali."
"Ya," sahut Kudawulung. "Kau baru mengakui kebesaran gunung ini setelah kau memasuki wilayahnya, bukan"! Demikian juga dengan
ilmu, Rangga. Setelah kau mempelajari suatu ilmu, kalau kau bijaksana, kau akan
sadar bahwa dirimu bukan apa-apa. Itulah sebabnya orang-orang pandai sering
berkata ' makin banyak aku tahu, aku semakin tahu bahwa banyak yang belum
kuketahui'. Kau boleh mencamkan kata-kata bijaksana itu, sebagai pelajaran
pertamamu, kalau kau bermaksud menjadi muridku."


Mustika Lidah Naga 1 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rangga terperanjat dan kontan menjatuhkan dirinya di depan Kudawulung, lalu mencium kaki lelaki tua renta itu sambil
berkata, "Rama Guru, mulai saat ini hamba akan mematuhi segala petunjuk Rama
Guru." Kudawulung tersenyum dan mengelus-elus rambut
Rangga dengan penuh kasih sayang.
*** EBENARNYA kau kurang berbakat untuk menjadi
Sm uridku," kata Kudawulung keesokan harinya di
puncak Gunung Limagagak, "Tubuhmu kurang kuat,
semangatmu pun lemah. Aku menerimamu sebagai
muridku, semata-mata karena merasa bahwa kau senasib denganku."
"Lagi-lagi Rama Guru mengatakan bahwa hamba
senasib dengan Rama Guru. Tapi Rama Guru belum
juga menceritakan apa yang menyebabkan Rama Guru
merasa senasib dengan hamba."
Kudawulung mengelus-elus janggutnya yang putih
laksana kapas, lalu berkata, "Pada waktu aku masih sering mengadakan pertemuan
dengan putri Adipati
Nawanggana di Telaga Darana, sedikit pun aku tak
menduga bahwa setiap gerak-gerikku diperhatikan
oleh sang Sekarpadma yang bersemayam di telaga itu."
"Bersemayam di telaga?" Rangga tampak heran.
"Ya, beliau memang bersemayam di dasar Telaga
Darana. Dan hal itu tidak diketahui oleh orang banyak.
Aku pun baru mengetahuinya setelah ditolong oleh beliau."
Kemudian Kudawulung menceritakan kejadian demi
kejadian yang pernah dialami pada masa mudanya.
Seperti yang telah dikatakan oleh Kudawulung tadi, pada waktu ia masih sering
mengadakan pertemuan
dengan Rupati di tepi Telaga Darana (pada waktu ia masih bernama Sudesa), ia
tidak tahu bahwa gerak-geriknya selalu diperhatikan oleh seorang wanita sakti
yang telah berhasil menyatukan diri dengan alam gaib.
Sebenarnya sang Sekarpadma telah mengundurkan
diri dari segala urusan dunia nyata, lalu semata-mata ingin menyucikan dirinya
dalam alam yang tidak kelihatan oleh mata biasa. Namun setelah berkali-kali
melihat gerak-gerik Sudesa, terbetiklah perasaan sayang
sang Sekarpadma terhadap tukang kuda yang masih
muda belia itu.
Sang Sekarpadma pun tahu bahwa Sudesa dan Rupati telah saling mencintai, namun derajat mereka
berbeda, sehingga mereka hanya dapat mencurahkan
perasaannya masing-masing di tepi Telaga Darana.
Diam-diam sang Sekarpadma pun merasa kasihan
kepada Sudesa, yang dianggapnya kurang beruntung.
Derajat Sudesa yang rendah, menjadi penghalang cintanya terhadap Rupati. Dan
sang Sekarpadma ingin
melenyapkan penghalang itu. Ia ingin melihat Sudesa dan Rupati hidup bahagia dan
tetap saling mencintai.
Tapi sang Sekarpadma telah bertekad mengundurkan diri dari segala urusan dunia nyata. Hal itu lalu menjadi penghalang baginya
untuk menolong Sudesa
dan Rupati. Kalau sang Sekarpadma turun tangan untuk menyingkirkan Sudesa dan Rupati dari pandangan orang banyak, berarti sang
Sekarpadma ikut campur lagi dengan urusan dunia nyata. Dan itu berarti bahwa
sang Sekarpadma mengingkari janjinya sendiri. Itu pun berarti bahwa kesucian
yang didambakannya tidak akan tercapai secara sempurna.
Itulah sebabnya sang Sekarpadma tetap berpangku
tangan pada mulanya, ia hanya duduk menonton dari
alam gaibnya, dengan perasaan iba terhadap nasib Sudesa.
Tapi ketika penglihatan gaib sang Sekarpadma menyaksikan kekejaman balatentara kadipaten, waktu
menyeret Sudesa dari dalam hutan menuju kota kadipaten, sang Sekarpadma tidak dapat menahan diri lagi.
Ia segera memaparkan mantra keselamatan yang ditujukan untuk menolong Sudesa.
Itulah sebabnya Sudesa tampak tidak mengalami
kesakitan pada waktu tubuhnya diseret-seret oleh seekor kuda dari hutan ke kota
kadipaten. Padahal sekujur tubuhnya sudah berlumuran darah.
Itu baru campur tangan 'kecil-kecilan' dari sang Sekarpadma. Karena pada saat
itu sang Sekarpadma
masih membatasi diri, untuk tidak terlalu jauh mengingkari janjinya.
Ketika mengetahui Sudesa akan dihukum gantung,
sang Sekarpadma tak dapat membatasi diri lagi. Dengan cara yang tidak kelihatan oleh manusia biasa, sang Sekarpadma 'mencomot'
tubuh Sudesa, lalu
menggantikannya dengar selir kesayangan Adipati Nawanggana yang telah dipukau
terlebih dahulu.
Antara sadar dan tidak, Sudesa merasa dirinya dibawa melayang ke alam yang serba asing. Lalu kesada-rannya pulih setelah ia
berada di dasar Telaga Darana.
"Di mana aku berada sekarang ini?" gumam Sudesa
sambil menggosok-gosok matanya.
Lalu terdengar suara wanita yang begitu merdu,
"Kau berada di dasar Telaga Darana, Sudesa."
Sudesa terperangah, lalu memperhatikan wanita
itu, sang Sekarpadma itu. Sungguh silau mata Sudesa ketika memandang wajah
wanita itu. "A... apakah aku sudah mati dan berada di alam
kekal?" "Tidak, Sudesa. Kau masih berada di alam fana. Tapi dirimu sudah diselimuti oleh kekuatan dwiguna, sehingga kau bisa bernapas di
dalam air."
Sudesa terperanjat. Ia baru sadar bahwa ia berada
di dalam air, tapi ia tetap dapat bernapas secara wajar.
Sudesa pun lalu sadar bahwa luka-luka di tubuhnya telah lenyap tanpa bekas. Tapi ia tidak berani bertanya lebih jauh lagi. Dan
ia mulai menyadari bahwa dirinya sudah diselamatkan oleh wanita yang memancarkan cahaya menyilaukan dari wajahnya itu.
Setelah menyadari semuanya itu, Sudesa langsung
bersujud di depan sang Sekarpadma sambil berkata,
"Hamba menghaturkan terima kasih atas pertolongan
Gusti Dewi."
"Sudesa," ujar sang Sekarpadma, "aku bukan bidadari, bukan pula putri raja. Karena itu kau tak usah memanggilku dengan sebutan
dewi. Aku lebih senang
kalau kau memanggilku ibu, karena aku memang telah lama menyayangimu seperti
seorang ibu kepada anaknya." Kemudian sang Sekarpadma berkata lagi, "Sejak
pertama kali kau datang bersama Rupati ke tepi Telaga Darana, aku sudah mulai
menyayangimu. Karena aku
melihat sikapmu yang tetap merendahkan diri di depan gadis yang menggilaimu itu.
Aku pun melihat betapa kau mampu mengendalikan nafsumu dalam pertemuanpertemuanmu dengan Rupati di tepi Telaga Darana ini. Karena itu aku menganggap
bahwa kau patut menjadi anak angkatku. Maka sejak saat ini, kau boleh tinggal
bersamaku selama tiga tahun. Kau pun akan
memperoleh sebagian besar dari ilmu-ilmu yang kumiliki, supaya kau dapat menjaga
dirimu sendiri kelak."
Kemudian sang Sekarpadma bertepuk tangan tiga
kali, dan muncullah makhluk-makhluk aneh di depannya. Makhluk-makhluk aneh itu berwujud gadis-gadis
cantik dari kepala sampai pusat perutnya. Tapi dari pusat perut ke bawah,
berbentuk badan dan ekor
ular... dengan sisik-sisik yang gemerlapan laksana ta-buran permata intan!
Makhluk-makhluk aneh itu tampak begitu patuh
dan takut kepada sang Sekarpadma. Kemudian sang
Sekarpadma berkata kepada mereka, "Wahai para dayangipri! Ketahuilah bahwa sejak saat ini aku mempunyai anak angkat, bernama Sudesa, yang kini berada di sampingku."
Makhluk-makhluk yang disebut 'para dayangipri'
itu kontan bersujud di depan Sudesa.
Tentu saja Sudesa kebingungan dibuatnya. Karena
selain masih heran melihat bentuk para dayangipri itu, ia pun belum terbiasa
diperlakukan seperti putra raja begitu.
"Sudesa," ujar sang Sekarpadma, "tentu kau merasa
heran melihat para dayangipri ini, bukan"! Memang
Telaga Darana yang berair bening ini mengandung banyak teka-teki yang takkan
terpecahkan oleh akal
dangkal. Orang-orang yang berdiri di tepi Telaga Darana tidak akan melihat
bentuk para dayangipri ini. Mereka hanya akan melihat ikan-ikan besar yang tidak
bisa dipancing maupun dijaring. Padahal makhluk-makhluk yang tampak seperti ikan
di mata manusia
biasa itu, adalah para dayangipri ini."
Sudesa tercengang mendengar keterangan sang Sekarpadma yang sudah menjadi ibu angkatnya itu.
Namun apa yang Sudesa saksikan selanjutnya, lebih menakjubkan lagi. Sudesa melihat sang Sekarpadma menyingkirkan sebongkah batu besar hanya
dengan menggunakan ujung telunjuknya. Ternyata batu besar itu dipakai sebagai penutup mulut terowongan di dasar telaga. Dan
setelah batu besarnya digeserkan, tampaklah mulut terowongan itu.
Lewat terowongan itu Sudesa dibawa ke alam bawah tanah yang lebih menakjubkan. Di sini pun Sude-sa terheran-heran setelah
menyadari bahwa di dalam tempat yang jauh di bawah tanah itu, udaranya terang
benderang. Padahal jelas, cahaya matahari tidak bisa masuk ke situ.
Dengan agak ragu, Sudesa pun bertanya kepada
sang Sekarpadma, "Dapatkah Kanjeng Ibu menjelaskan, apa sebabnya tempat ini terang benderang?"
Sang Sekarpadma menjawab dengan senyum, "Sebenarnya tempat ini gelap gulita. Tapi aku telah mem-buatmu dapat melihat di
kegelapan."
"Oh!" Sudesa terperangah dan mengusap-usap matanya. "Banyak lagi hal lain yang belum kau ketahui," ujar sang Sekarpadma sambil
tersenyum. "Dan semuanya
itu akan kau dapatkan sedikit demi sedikit."
Demikianlah, Sudesa lalu tinggal di dasar Telaga
Darana dengan segala keanehan yang terdapat di dalamnya. Dan sang Sekarpadma membimbingnya dengan penuh kasih sayang, tak ubahnya seorang ibu
membimbing anak kandungnya.
Sang Sekarpadma juga maklum bahwa Sudesa sudah sangat mencintai Rupati. Dan pada suatu hari
sang Sekarpadma bertindak sendiri, menculik Rupati yang sedang diboyong ke
kotaraja, lalu menyimpannya di tengah hutan terpencil.
Di situlah sang Sekarpadma mempertemukan Sudesa dengan Rupati.
"Apakah putri Adipati Nawanggana itu juga dibawa
ke dasar Telaga Darana?" tanya Rangga ketika Kudawulung menghentikan penuturannya di tengah jalan.
"Tidak," Kudawulung menggeleng. "Sang Sekarpadma tidak mengijinkanku membawa Rupati ke dasar Telaga Darana."
Kemudian Kudawulung alias Sudesa menceritakan
bagaimana kisah yang ia alami selanjutnya.
Sudesa merasa bahagia sekali setelah dipertemukan
dengan Rupati di tengah hutan itu. Kemudian sang Sekarpadma membawa sepasang
muda-mudi itu ke puncak gunung Limagagak yang sangat sunyi dan selalu
diselimuti kabut tebal. Di situlah sang Sekarpadma menempatkan Sudesa dan
Rupati. Tidak hanya kebetulan sang Sekarpadma memilih
puncak gunung Limagagak untuk menempatkan Sudesa dan Rupati. Selain dianggap aman, dari gunung itu terdapat semacam terowongan
rahasia menuju ke dasar Telaga Darana.
Tapi tidak selamanya Sudesa dapat bersama-sama
Rupati (yang lalu diperistrikannya) di puncak Gunung Limagagak. Sudesa hanya
dapat sebulan sekali menje-nguk istrinya, yakni di setiap bulan purnama,
sementara waktu sisanya harus dihabiskan di dasar Telaga Darana. Hal itu adalah
untuk memenuhi janji sang Sekarpadma, bahwa Sudesa boleh tinggal di dasar Telaga
Darana selama tiga tahun. Tentu bukan cuma tidur-tiduran di situ, melainkan
untuk menimba ilmu dari sang Sekarpadma yang telah menjadi ibu angkatnya.
Selama tiga tahun itu, sang Sekarpadma seolaholah berkejaran dengan waktu, untuk menurunkan seluruh ilmu yang pernah dimilikinya kepada Sudesa.
Sampailah pada suatu hari, sang Sekarpadma memanggil Sudesa dan berkata dengan nada yang lain
dari biasanya, "Sudesa... hari ini genaplah tiga tahun kau berada di bawah
gemblenganku. Hari ini juga merupakan hari terakhir bagi setiap benda dan
makhluk bernyawa yang berada di dalam Telaga Darana... termasuk diriku."
Sudesa terperanjat, "Kanjeng Ibu! Hamba kurang
mengerti, apa yang Kanjeng Ibu maksudkan dengan
hari terakhir bagi diri Kanjeng Ibu?"
Sang Sekarpadma tersenyum lirih. Lalu katanya,
"Setiap makhluk bernyawa, pada akhirnya akan menemui kematian. Tiada suatu kekuatan pun yang dapat menentang kehendak Hyang Widhi ini. Bahkan
bumi yang kita pijak ini pun pada akhirnya akan mengalami kehancuran juga.
Demikian pula dengan diriku... pada akhirnya harus rela meninggalkan alam
yang fana ini, untuk menuju alam yang kekal."
Kemudian sang Sekarpadma membuka rahasia
yang selama itu tidak pernah diungkapkan pada Sude-sa, "Sebenarnya campur
tanganku pada urusanmu,
merupakan pelanggaran atas sumpahku sendiri. Karena aku pernah bersumpah untuk tidak ikut campur
lagi pada urusan duniawi, demi kesucian yang kudambakan. Dan jika aku melanggar
sumpah ini, berarti
aku hanya bisa hidup selama tiga tahun lagi sejak pelanggaran itu kulakukan.
Memang sumpah yang kuikrarkan sangat berat, karena ilmu yang kuperoleh pun bukan ilmu yang ringan. Dan
aku berusaha untuk
memegang teguh-teguh sumpahku pada mulanya. Tapi
begitu melihat kau dan Rupati, aku tak kuasa lagi
mempertahankan keteguhanku. Aku merasa kasihan
kepadamu yang ditakdirkan jadi manusia terhina. Aku juga merasa kasihan kepada
Rupati yang begitu dalam mencintaimu. Karena itu aku melanggar sumpahku
sendiri. Dan ini berarti bahwa aku harus memusnahkan diriku sendiri, tiga tahun setelah aku melanggar sumpahku. Walaupun begitu,
aku tidak menyesal, karena manusia yang kutolong tidak pernah mengecewakan hatiku."
Sudesa yang sudah digembleng untuk menjadi manusia tabah dalam menghadapi segala hal, saat itu tak dapat mengekang
keharuannya lagi. Dengan suara
sendu ia berkata, "Kalau begitu, Kanjeng Ibu rela mengorbankan hidup Kanjeng Ibu
Pendekar Laknat 9 Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Imam Tanpa Bayangan 4

Cari Blog Ini