Joko Sableng 30 Pengadilan Neraka Bagian 1
SATU PEREMPUAN setengah baya berparas cantik itu tegak terpaku dengan mata memandang ke satu jurusan. Beberapa untaian bunga yang terdapat pada rambutnya tampak bergerak-gerak ditiup angin. Sesekali
perempuan ini mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Selain di rambutnya, ternyata pada sela antara jari telunjuk dan
jari tengah kedua tangan perempuan ini juga terdapat sekuntum bunga. Perempuan ini mengenakan pakaian berwarna putih sebatas
dada mirip pakaian yang dikenakan seorang penari.
Di belakang perempuan berparas cantik walau
usianya tidak muda lagi itu, berdiri satu sosok tubuh milik se-orang laki-laki
berusia lanjut. Pakaiannya lusuh. Se-pasang matanya agak sayu. Kakek ini seperti
halnya si perempuan, tampak berdiri dengan arahkan
pandang matanya ke satu jurusan.
Untuk beberapa lama kedua orang ini sama kancingkan mulut. Mereka seolah tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hingga pada
akhirnya si kakek buka
mulut. "Nyai Tandak Kembang.... Kau telah memutuskan.
Biarlah mereka melakukan apa yang hendak dilakukan!" Perempuan berwajah cantik walau usianya tidak
muda lagi dan bukan lain adalah Nyai Tandak Kembang ada-nya, berpaling pada laki-laki di belakangnya.
"Kigali.... Aku memang telah memutuskan memberi
izin pada Pitaloka dan Beda Kumala pergi sementara
waktu sebelum kembali ke lereng Gunung Semeru. Tapi sebenarnya aku melakukan hal itu dengan terpaksa.
Dan begitu mereka benar-benar pergi, aku sekarang
jadi bimbang dan cemas. Entah apa sebenarnya.... Aku
mendapat firasat tidak baik!"
Laki-laki di belakang Nyai Tandak Kembang dan ternyata adalah Kigali alihkan pandang matanya pada
Nyai Tandak Kembang. Orang tua ini mau buka mulut,
tapi Nyai Tandak Kembang sudah sambungi ucapannya. "Apa selama bersamamu Pitaloka pernah mengatakan satu rencana"!"
Kigali termenung sesaat sebelum akhirnya angkat
suara. "Terlalu banyak yang kubicarakan dengan Pitaloka, hingga aku tidak bisa ingat lagi apakah Pitaloka pernah mengatakan satu
rencana atau tidak.... Tapi terus terang, sebenarnya aku curiga padanya. Dan
kalau saja aku tidak bertemu dengan kau, mungkin aku sudah meminta pada Pitaloka
untuk terus bersamaku di
hutan ini. Tapi kau adalah neneknya. Dan kau telah
memutuskan agar Pitaloka kembali ke lereng Gunung
Semeru.... Apa hendak dikata...."
"Kigali.... Aku menghargai permintaanmu. Tapi setelah peristiwa ini, aku benar-benar takut!" Nyai Tandak Kembang tampak menghela
napas. Lalu lanjutkan
ucapan. "Mau kau mengatakan apa kecurigaanmu"!"
"Pitaloka baru saja mengalami peristiwa buruk yang
tak mungkin dapat dilupakan sepanjang hidupnya.
Aku khawatir kepergian Pitaloka kali ini untuk membalaskan sakit hatinya...."
"Hem.... Sebenarnya aku sudah berpikir ke arah sana. Tapi apakah anak itu akan begitu bodoh mengambil tindakan" Apakah dia tidak berpikir siapa gerangan yang akan dihadapi"!"
"Nyai.... Orang yang sudah terluka tidak akan terlalu banyak pikirkan akibat! Yang ada dalam benaknya
hanya membalas dan membalas! Apalagi Pitaloka masih muda...."
"Hem.... Benar juga ucapan orang tua ini.... Apa
yang harus kulakukan sekarang?" kata Nyai Tandak
Kembang dalam hati. Lalu bertanya.
"Kau tahu di mana letak Kampung Setan"!"
"Aku pernah hidup di sana.... Tapi kalau benar keterangan Pitaloka, berarti saat ini Kampung Setan sudah kosong! Percuma kau akan
ke sana. Kalaupun kau
ingin pergi, lebih baik menuju Bukit Kalingga. Seperti keterangan Pitaloka pada
Pendekar 131 Joko Sableng."
Seperti diketahui, Nyai Tandak Kembang sudah
memutuskan untuk melarang Pitaloka dan Beda Kumala alias Putri Kayangan turun dari lereng Gunung
Semeru begitu nanti mereka pulang dari Lembah Patah
Hati. Namun tampaknya Pitaloka dan Putri Kayangan
merasa keberatan dengan keputusan Nyai Tandak
Kembang. Tapi keberatan kedua gadis ini punya alasan masing-masing. Pitaloka
masih ingin membalas sakit
hatinya pada orang yang telah memperkosanya, sementara Putri Kayangan takut tidak bisa bertemu lagi dengan Pendekar 131. Karena
gadis ini telah jatuh hati pada murid Pendeta Sinting.
Putri Kayangan tidak berani mengutarakan keberatannya pada Nyai Tandak Kembang. Tapi Pitaloka berterus terang dan minta izin pada neneknya agar diberi waktu sebelum balik ke
lereng Gunung Semeru. Pada
dasarnya Nyai Tandak Kembang ragu-ragu dengan
permintaan Pitaloka, apalagi setelah peristiwa yang terjadi. Lagi pula Pitaloka
tidak mau mengatakan apa sebenarnya yang hendak dilakukan sebelum pulang ke
lereng Gunung Semeru.
Karena Pitaloka bersikeras, akhirnya Nyai Tandak
Kembang tidak bisa menghalang-halangi. Hanya saja
Nyai Tandak Kembang memerintahkan pada Putri
Kayangan untuk mendampingi. Pitaloka tidak keberatan. Sementara Putri Kayangan sendiri tampak gembira, karena berarti masih ada kesempatan untuk bertemu dengan Pendekar 131 sebelum nanti pulang ke
lereng Gunung Semeru.
Begitu pemakaman bayi Pitaloka dan Umbu Kakani
serta Lingga Buana selesai, Pitaloka dan Putri Kayangan berangkat meninggalkan
Lembah Patah Hati.
"Kigali.... Sekali lagi aku ucapkan terima kasih atas semua yang kau lakukan
selama ini. Sekarang aku harus pergi!" kata Nyai Tandak Kembang setelah agak
lama terdiam. "Kalau tak keberatan, mau mengatakan padaku.
Kau hendak langsung ke lereng Gunung Semeru atau
mengikuti kedua cucumu"!" Kigali ajukan tanya.
Beberapa saat Nyai Tandak Kembang terdiam. Lalu
alihkan pandangan dan menghela napas panjang. "Sebenarnya aku ingin segera pulang ke lereng Gunung
Semeru karena aku sudah tak ingin libatkan diri dalam urusan dunia persilatan. Tapi saat ini aku
mengkhawatirkan keselamatan Pitaloka dan Beda Kumala. Mungkin aku akan menyusul dahulu keduanya...." "Nyai.... Tidak keberatan kalau aku ikut serta"!"
Nyai Tandak Kembang menoleh. "Bukannya aku keberatan atau tidak menghargai perhatianmu. Tapi kurasa aku bisa pergi sendiri...."
"Nyai.... Bukannya aku mau ikut campur urusan.
Hanya saja aku telah menganggap Pitaloka seperti
anakku sendiri. Kalau kau sebagai neneknya sangat
khawatir dengan keselamatannya. Aku tidak jauh berbeda.... Jadi harap kau mengerti dan tidak keberatan pergi bersama denganku!
Lagi pula aku tahu banyak
tentang Kampung Setan. Mungkin kau nanti membutuhkan beberapa keterangan dalam perjalanan kali
ini.... Apalagi semua urusan ini tidak terlepas kaitannya dengan Kampung
Setan...."
"Hem.... Kalau kau berpikir begitu, aku menyerahkan semuanya padamu. Hanya saja kuharap kau mengerti, perjalanan ini bukannya tanpa risiko!"
Kigali tersenyum. Lalu berucap. "Nyai.... Separo dari hidupku habis bergelimang
dengan kejahatan. Kalaupun nanti aku harus menyerahkan nyawa, aku ingin
berakhir untuk kebaikan. Ini sebagai penebus atas
perbuatanku di masa lalu. Selain itu aku ingin berte-mu dengan teman-teman
lama...." "Semua manusia telah digariskan jalannya.... Dan
kita tidak tahu apa yang akan terjadi...," ujar Nyai Tandak Kembang dengan
tersenyum. Perempuan dari
le-reng Gunung Semeru ini dongakkan sedikit kepalanya lalu bertanya.
"Kau tahu mana arah menuju Bukit Kalingga"!"
"Sudah beberapa puluh tahun aku tidak keluar dari
hutan. Aku juga sudah lupa nama-nama tempat. Tapi
kita nanti bisa bertanya sambil jalan...."
Habis berkata begitu, Kigali melangkah menjajari
Nyai Tandak Kembang lalu anggukkan kepala memberi
isyarat. Nyai Tandak Kembang luruskan kepala. Saat
lain kedua orang ini berkelebat meninggalkan hutan
yang berbatasan dengan Lembah Patah Hati.
Setelah menempuh perjalanan selama dua hari dua
malam, dan setelah bertanya ke sana kemari, akhirnya Kigali dan Nyai Tandak
Kembang sampai di perbatasan
hutan yang dari tempat mereka kini berada terlihat julangan satu bukit yang
menurut beberapa orang bukit
itu adalah Bukit Kalingga.
Nyai Tandak Kembang dan Kigali berdiri berdampingan sambil arahkan mata masing-masing ke arah
bukit di depan sana. Nyai Tandak Kembang menghela
napas dalam-dalam. Dalam hati perempuan dari lereng
Gunung Semeru ini berkata.
"Mereka berdua tidak ada di sana.... Kalau mereka
di sana, sejarak ini tentu aku mampu mencium aromanya.... Ke mana mereka pergi" Aku tidak bisa menjaja-ki dengan penciumanku.
Berarti mereka berdua jauh
dari tempat ini!"
"Kau tampak gelisah.... Ada sesuatu yang kau pikirkan"!" tanya Kigali seraya melirik.
Nyai Tandak Kembang gelengkan kepala. Kigali tidak tahu kalau Nyai Tandak Kembang punya kemampuan untuk menangkap keberadaan orang dengan
penciumannya. "Aku hanya menduga.... Mungkin mereka berdua tidak ada di bukit itu!" kata Nyai Tandak Kembang.
"Bagaimana kau bisa menduga begitu"!"
"Aku tak bisa mengatakannya padamu. Tapi aku
hampir bisa memastikan. Bahkan aku bisa menduga
kalau bukit itu kosong!"
Kigali tersenyum. "Nyai.... Kita tengah mengkhawatirkan keselamatan nyawa orang yang kita cintai. Jadi jangan menggantungkan pada
dugaan. Menduga boleh
saja, tapi sebaiknya kita selidiki dahulu! Lagi pula Pendekar 131 pasti juga
berada di sini!"
Nyai Tandak Kembang anggukkan kepala. Saat lain
dia sudah berkelebat mendahului. Karena sudah dapat
memastikan tidak ada orang lain di tempat itu, Nyai
Tandak Kembang melesat tanpa kebimbangan. Sebaiknya Kigali tampak berhati-hati bahkan sesekali dia
masih putar pandangan berkeliling.
Setelah berputar di kaki bukit, mereka berdua menemukan lobang mulut goa. Tanpa banyak bicara lagi
Nyai Tandak Kembang berkelebat masuk kemudian di
susul Kigali yang tampak makin khawatir dengan tindakan Nyai Tandak Kembang yang begitu percaya diri
tanpa menghiraukan keadaan sekeliling. Namun sejauh ini Kigali belum berani menegur. Dia hanya bertanya-tanya dalam hati.
Begitu memasuki goa, mereka menemukan satu
pintu terbuka di pojok ruangan goa. Lagi-lagi tanpa
melihat sekeliling, Nyai Tandak Kembang sudah melesat masuk. "Tindakannya sangat berbahaya.... Tapi kurasa dia
tahu apa yang dilakukannya!" gumam Kigali yang sejenak tegak di tengah ruangan goa dengan mata mengedar berkeliling. Begitu yakin tidak ada orang, baru Kigali melesat masuk
menyusul Nyai Tandak Kembang.
Kigali dan Nyai Tandak Kembang akhirnya menemukan sebuah lobang besar menganga diselimuti kabut setelah mereka menaiki tangga batu di balik pintu.
Namun meski Kigali sudah memperhatikan dengan
seksama ke seantero tempat itu, dia tidak melihat sia-pa-siapa!
"Dugaannya benar.... Putri Kayangan dan Pitaloka
tidak ada di tempat ini! Malah benar juga ucapannya
jika tempat ini kosong! Heran, bagaimana dia bisa
menduga dengan tepat"!" Diam-diam Kigali bertanya
dalam hati. Dia sebenarnya ingin bertanya. Namun sebelum sempat buka mulut, Nyai Tandak Kembang sudah berkata. "Sebenarnya tempat ini tidak kosong.... Hanya saja
baru ditinggalkan penghuninya! Kita harus mencari
mereka di tempat lain!"
Karena sudah membuktikan kebenaran dugaan
Nyai Tandak Kembang, Kigali tidak buka mulut lagi
untuk bertanya. Dia balikkan tubuh lalu berkelebat
mengikuti Nyai Tandak Kembang yang sudah terlebih
dahulu melesat keluar.
"Ke mana kita sekarang"!" Kigali baru bertanya begitu mereka berdua telah berada di luar goa.
Nyai Tandak Kembang tidak segera menjawab. Melainkan menghela napas dalam-dalam. "Aku tak mampu mencium jejak keduanya. Berarti mereka telah jauh
dari tempat ini. Hem.... Urusan ini masih ada hubungannya dengan Kampung Setan. Apa tidak mungkin
mereka tengah menuju ke sana"!" Nyai Tandak Kembang berkata dalam hati lalu bertanya.
"Kau masih ingat jalan menuju Kampung Setan"!"
Kigali tampak sedikit terkejut. Namun segera menjawab. "Aku sudah lupa-lupa ingat. Tapi aku masih ta-hu arahnya!"
"Baik.... Kita menuju ke Kampung Setan!"
"Kau yakin mereka menuju ke sana"!"
"Aku hanya menduga.... Tapi kemungkinan besar
dugaanku tidak salah.... Bukankah kau tadi mengatakan urusan ini tidak bisa diputuskan dengan urusan
Kampung Setan" Kalau mereka tidak berada di sini, ke mana lagi kalau tidak ke
sana"!"
Entah karena sudah membuktikan kebenaran du
Joko Sableng 30 Pengadilan Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gaan Nyai Tandak Kembang, meski masih diselimuti
kebimbangan, akhirnya Kigali berkelebat juga. Nyai
Tandak Kembang mengikuti di belakangnya.
*** DUA PEMUDA berparas tampan dan gadis berwajah cantik itu berlari tidak begitu kencang. Malah sesekali mereka berdua berhenti lalu
melangkah perlahan. Si gadis tampak terus kembangkan senyum dan tangan-nya
melingkar pada pinggang si pemuda begitu mereka melangkah. Sementara si pemuda terlihat sering melirik pada si gadis dengan
sesekali menghela napas panjang. Parasnya jelas membayangkan ketidakenakan
hati. Tapi si pemuda tampak sembunyikan ketidakenakan hatinya dan sunggingkan senyum kala si gadis
memandangnya. Pada satu tempat, kedua orang muda ini hentikan
langkah. Si gadis sandarkan kepala pada dada si pemuda. Lalu sedikit tengadahkan kepalanya seraya berkata. "Joko.... Kita hendak ke mana"!"
Si pemuda yang ternyata bukan lain adalah Pendekar 131 Joko Sableng tersenyum. Namun dia belum
menyahut pertanyaan si gadis. Dia hanya memandang
sejenak lalu alihkan pandang matanya jauh ke depan.
Dalam hati dia berkata. "Bagaimana ini"! tidak mungkin aku mengajaknya ke Kampung Setan.... Ini sangat
berbahaya! Tapi bagaimana aku harus memberi pengertian padanya"!"
Karena agak lama tidak juga menjawab, si gadis
kembali angkat suara.
"Joko.... Kau terlihat gelisah. Ada sesuatu yang
mengganjal"!"
Joko gelengkan kepala. Namun belum juga angkat
bicara membuat si gadis makin curiga. Gadis cantik
bermata bulat bersinar ini tarik kepalanya dari dada murid Pendeta Sinting.
Dengan menatap tajam, dia
berkata. "Joko.... Kau jangan berdusta padaku. Sikapmu
lain.... Kau menyembunyikan sesuatu padaku! Katakanlah terus terang.... Atau kau keberatan pergi bersamaku"! Atau ada gadis lain
yang membuatmu gelisah"!"
"Saraswati.... Jangan terlalu jauh menduga. Aku
senang pergi bersamamu.... Hanya saja...."
Si gadis yang ternyata bukan lain adalah Saraswati
cepat menyahut tatkala Joko tidak lanjutkan ucapan.
"Hanya apa" Kau keberatan, bukan"!"
"Masalahnya bukan keberatan atau tidak. Kau tahu
hendak ke mana aku sebenarnya?"
"Aku tidak peduli kau hendak ke mana!"
"Itulah masalahnya...."
"Aku sudah mengatakannya tidak peduli kau hendak ke mana! Berarti tidak ada masalah, bukan"!"
"Justru karena kau tidak peduli aku hendak ke
mana itulah masalahnya!"
Saraswati kerutkan dahi. Seperti diketahui, Saraswati yang selama ini masih menduga jika orang yang
melakukan perbuatan tidak senonoh padanya adalah
murid Pendeta Sinting terus mencari-cari. Akhirnya dia menemukan Joko di goa
Bukit Kalingga di mana dahulu Saraswati pernah mengalami peristiwa buruk.
Setelah diberi pengertian oleh Joko, akhirnya Saraswati sedikit sadar meski belum sepenuhnya percaya
pada keterangan Joko. Saraswati baru benar-benar
percaya setelah dia dan murid Pendeta Sinting menemukan ruangan rahasia di balik goa. Dan pada akhirnya menemukan mayat ibunya serta Ni Luh Padmi.
Setelah mengubur ibu Saraswati yang tidak lain
adalah Lasmini dan Ni Luh Padmi, Joko memutuskan
hendak mencari sosok di balik Jubah Tanpa Jasad ke
Kampung Setan. Tapi dia kebingungan bagaimana mengutarakannya pada Saraswati. Dia ingin pergi ke
Kampung Setan tanpa Saraswati, karena dia maklum,
perjalanan menuju Kampung Setan sangat berbahaya
apalagi orang yang hendak dicari bukan orang sembarangan. Selain mengenakan Jubah Tanpa Jasad, orang
ini juga membekal Kembang Darah Setan. Dua pusaka
mustika peninggalan leluhur Kampung Setan.
"Joko! Katakan terus terang. Apa masalah sebenarnya!" kata Saraswati pada akhirnya setelah agak lama kedua orang ini saling
berdiam diri. "Aku akan ke Kampung Setan!"
"Hem.... Bagiku pergi ke Kampung Setan bukan masalah! Malah sebenarnya aku selama ini mencari-cari
keterangan di mana letak Kampung Setan!"
"Saraswati.... Kampung Setan bukanlah tempat
yang aman untuk sekarang ini! Lebih baik aku pergi
sendiri...."
"Kalau kau tak ingin aku ikut, mengapa sedari tadi
kau tidak mengatakannya malah coba mencari-cari
alasan"!"
"Aku tidak mencari-cari alasan! Apa yang kukatakan benar adanya! Aku tak mau kau nanti mendapat
celaka!" "Itu hanya alasanmu! Aku sudah mengatakan tak
peduli kau hendak ke mana!"
"Saraswati...."
"Sudahlah!" tukas Saraswati. "Kalau kau tak menginginkan aku bersamamu, aku tidak akan memaksa!
Tapi sebelum kita berpisah, aku ingin tanya padamu!"
Murid Pendeta Sinting tersenyum mendengar Saraswati mau mengerti. Dia segera saja berkata. "Apa yang hendak kau tanyakan"!"
"Harap kau jawab dengan jujur. Di mana letak Kampung Setan"!"
Pendekar 131 jadi terlengak mendengar pertanyaan
Saraswati. "Busyet! Ini namanya sama saja! Dia tidak akan ikut, tapi tanya di
mana Kampung Setan! Berarti dia akan pergi ke sana juga kalau kuberi tahu...,"
kata Joko dalam hati.
"Saraswati.... Bukannya aku tak mau menunjukkan
di mana Kampung Setan. Tapi sebenarnya tempat itu
sangat berbahaya!"
"Aku tidak ingin keterangan tempat itu bahaya atau
tidak. Aku tanya di mana letak Kampung Setan?" kata
Saraswati dengan suara agak tinggi.
Tanpa disadari oleh Pendekar 131 dan Saraswati,
sejak tadi tampak dua sosok tubuh mengendap-endap
seraya mencuri dengar. Mereka adalah dua gadis berpakaian warna merah-merah. Mereka mengendap tanpa ada yang buka suara dan tanpa berani membuat
gerakan. Hanya sesekali mereka berdua saling berpandangan. Di sebelah kanan terlihat agak geram malah
matanya membelalak dengan rahang sedikit terangkat.
Sementara yang satu tampak agak murung dan tidak
berani langsung memandang ke arah murid Pendeta
Sinting. Mereka berdua tidak lain adalah Pitaloka dan Putri Kayangan.
Seperti dituturkan, Pitaloka minta izin pada Nyai
Tandak Kembang untuk menyelesaikan satu urusan.
Nyai Tandak Kembang sebenarnya merasa keberatan.
Namun karena Pitaloka bersikeras, akhirnya Nyai Tandak Kembang memberi izin, tapi dia meminta Putri
Kayangan untuk mendampingi Pitaloka.
Setelah pemakaman bayi Pitaloka dan Umbu Kakani
serta Lingga Buana di Lembah Patah Hati, Pitaloka dan Putri Kayangan
meninggalkan Kampung Setan. Pitaloka sengaja tidak memberitahukan pada Nyai
Tandak Kembang juga pada Putri Kayangan hendak ke mana.
Sementara Putri Kayangan sendiri meski masih bertanya-tanya hendak ke mana tujuan Pitaloka, tapi yang
paling menjadi beban pikirannya adalah keputusan
Nyai Tandak Kembang yang telah memutuskan melarang Pitaloka dan dirinya untuk turun lereng Gunung
Semeru begitu mereka nanti pulang. Maka kesempatan
yang diberikan Nyai Tandak Kembang pada dirinya untuk mendampingi Pitaloka tidak disia-siakan. Dia ingin sekali bertemu dengan
Pendekar 131 karena mungkin
setelah itu mereka tidak bisa berjumpa lagi.
Namun begitu Pitaloka dan Putri Kayangan sampai
di Bukit Kalingga, tempat di mana dulu Pitaloka pernah hampir diperkosa oleh Kiai Laras yang mengenakan Jubah Tanpa Jasad, mereka berdua menemukan
Pendekar 131 tengah bermesraan dengan Saraswati.
Pitaloka sangat geram, karena dia sebenarnya ingin
agar Pendekar 131 bisa berdampingan dengan Putri
Kayangan. Sementara Putri Kayangan sendiri tampak
masih bisa menahan diri walau hatinya didera rasa kecewa dan cemburu.
Ketika Pendekar 131 dan Saraswati meninggalkan
Bukit Kalingga, Pitaloka mengajak Putri Kayangan untuk terus mengikuti. Sebenarnya Putri Kayangan merasa enggan. Selain akan menambah rasa kecewa dia
juga tak akan tahan melihat terus-terusan murid Pendeta Sinting berkasih-kasihan dengan gadis lain di depan matanya. Namun Pitaloka
bersikeras mengajak
Putri Kayangan karena dia berpikir tujuan Pendekar
131 pasti mencari sosok manusia yang mengenakan
Jubah Tanpa Jasad yang kini tengah dicarinya.
"Pitaloka...!" bisik Putri Kayangan. "Lebih baik kita tinggalkan tempat ini.
Tidak ada artinya kita terus
mengikuti mereka!"
"Kuharap kau tabahkan hati melihat semua ini! Bukan hanya kau saja yang merasa sakit. Aku lebih sakit lagi melihat dia
bermesraan dengan gadis sialan itu!"
"Pitaloka.... Kau jangan menyalahkan mereka....
Mungkin mereka sudah jadi kekasih sebelum ini. Hanya saja kita tidak tahu.... Justru akulah yang salah....
Untung aku belum terlambat untuk mengetahuinya.
Jika terlambat, mungkin aku dituduh merebut kekasih
orang...."
"Kau terlalu menyudutkan diri sendiri! Kalau pemuda itu sebelumnya sudah punya kekasih, seharusnya
dia tidak memberi harapan padamu! Kau lihat sendiri
tatkala di Lembah Patah Hati. Dia seolah-olah masih
belum punya seorang kekasih.... Dialah sebenarnya
yang patut disalahkan! Dia pengecut! Sudah punya kekasih tapi masih juga berlagak...."
Belum sampai Pitaloka teruskan ucapan, Putri Kayangan sudah memotong. "Sudahlah, Pitaloka.... Tak
ada gunanya lagi kita perdebatkan soal itu! Aku dapat menerima semua ini....
Sekarang yang penting adalah
segera menyelesaikan urusanmu dan segera kembali
ke lereng Gunung Semeru...."
Pitaloka berpaling pada Putri Kayangan. "Ucapan itu
keluar dari hati nuranimu" Bukan karena kecewa dengan semua yang kau lihat"!"
Putri Kayangan tersenyum walau terlihat dipaksakan. "Pitaloka.... Untuk apa harus kecewa" Urusan ha-ti tidak boleh terlalu
dipaksakan...."
Pitaloka menatap Putri Kayangan dengan wajah
yang sulit dimengerti. Putri Kayangan sendiri alihkan pandang matanya ke jurusan
lain. Walau gadis ini tadi berucap seolah tidak merasa kecewa dan dapat menerima
kenyataan apa yang terlihat, namun paras wajahnya tidak dapat menyembunyikan perasaan kecewa.
"Pitaloka.... Sebenarnya apa maksudmu minta waktu pada Eyang.... Kurasa bukan untuk mengikuti kedua orang itu bukan"!"
"Pada mulanya memang tidak, tapi sekarang kita
harus terus mengikutinya! Aku telah bersumpah untuk membalas dendam pada manusia yang bertindak
menjijikkan itu! Kalau dia tidak ada di Bukit Kalingga, hanya satu tempat yang
mungkin didiaminya! Tempat
itu adalah Kampung Setan!"
"Ucapanmu bukan hanya karena kau mendengar
percakapan pemuda dan gadis itu tadi, bukan"!"
"Aku tahu siapa jahanam pemerkosa itu. Dia sering
kali mengatakan sebagai penguasa baru Kampung Setan! Jadi kalau dia sudah enyah dari Bukit Kalingga, satu-satunya tempat yang
dihuni adalah Kampung Setan! Dan kau tahu.... Aku tidak tahu di mana letak
Kampung Setan! Sementara kita sendiri mendengar
kalau Pendekar 131 akan menuju Kampung Setan. Berarti dia tahu di mana Kampung Setan! Bagaimana kita akan menemukan Kampung Setan kalau tidak terus
mengikutinya"!"
"Tapi...."
"Aku tahu...," ujar Pitaloka menukas ucapan Putri
Kayangan. "Orang yang akan kuhadapi adalah manusia berkepandaian sangat tinggi karena dia mengenakan Jubah Tanpa Jasad dan memegang Kembang Darah Setan. Tapi satu-satunya benda untuk menghadapi jahanam itu telah ada! Aku tak akan bertindak bodoh untuk menghadapinya kalau tidak tahu bagaimana cara menghadapinya!"
"Tapi bukankah benda itu telah berada di tangan
Pendekar 131?"
"Itu pula sebabnya mengapa aku mengajakmu untuk terus mengikutinya!"
Baru saja Pitaloka menyahut ucapan Putri Kayangan, tiba-tiba kedua gadis ini menangkap satu sosok
bayangan berkelebat dan tahu-tahu satu sosok tubuh
telah tegak tidak jauh dari murid Pendeta Sinting dan Saraswati.
Bukan hanya Pitaloka dan Putri Kayangan yang terkejut. Namun Saraswati dan Pendekar 131 tak kalah
melengaknya! Joko dan Saraswati saling pandang sejenak. Lalu
hampir bersamaan mereka berdua arahkan pandangannya pada sosok yang baru muncul. Sementara dari tempat persembunyiannya, Pitaloka dan Putri Kayangan sama memandang tak berkesip pada orang
yang tiba-tiba muncul.
Semua mata di tempat itu melihat seorang gadis
berparas jelita mengenakan pakaian warna merah.
Rambutnya yang hitam lebat dikuncir ekor kuda. Hidungnya mancung dengan mata berbinar.
Joko Sableng 30 Pengadilan Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku pernah bertemu dengan gadis ini! Malah dia
pula yang mengusulkan agar aku memberi kesempatan pada Pendekar 131 untuk membuktikan bahwa
bukan dia yang melakukan semua tindakan menjijikkan itu! Hem.... Tampangnya aneh.... Ada apa ini" Apa karena dia tahu aku
bersama Pendekar 131"!" Diam-diam Saraswati membatin seraya perhatikan gadis
yang baru saja muncul.
"Aku pernah melihatnya!" Dari balik persembunyiannya Putri Kayangan berbisik pada Pitaloka.
"Siapa dia"!" tanya Pitaloka.
"Kalau tak salah.... Dewi Seribu Bunga!"
Di depan sana, murid Pendeta Sinting diam-diam
juga berkata sendiri dalam hati. "Melihat gelagat, tentu dia akan meneruskan
kisah lama! Hem.... Urusannya
tambah sulit. Apalagi pandangannya terasa tidak
enak.... Matanya bukan saja masih menuduh, tapi juga bercampur pandangan
cemburu!" "Pendekar 131!" Tiba-tiba gadis yang baru muncul
angkat suara dengan keras. "Kesempatan yang kuberikan padamu untuk membuktikan bahwa bukan kau
manusianya yang melakukan tindakan tidak terpuji
itu! Bukan untuk hal-hal lainnya!"
"Benar dugaanku!" batin Joko. "Dia cemburu.... Dikira aku selama ini pergunakan waktu untuk bersenang-senang!"
Saraswati rupanya maklum akan arti ucapan si gadis yang bukan lain memang Dewi Seribu Bunga adanya. Paras Saraswati sedikit merah. Sebelum murid
Pendeta Sinting sempat angkat suara, dia telah menyahut. "Harap tidak cepat menuduh! Dia telah pergunakan
waktunya selama ini untuk menyingkap siapa manusia
di belakang semua tindakan keji itu!"
Dewi Seribu Bunga mendengus pelan. Tanpa berpaling pada Saraswati, dia bersuara. "Aku tidak bicara
padamu! Aku ingin keterangan dari dia!"
"Tapi ucapanmu tadi seolah-olah menuduh bahwa
kesempatan itu digunakan untuk hal-hal yang bukan
semestinya!" kata Saraswati menyahut dengan tampang tidak senang.
"Aku bicara apa adanya! Karena selama ini aku
mendengar belum ada kabar perubahan yang berarti!
Lalu kulihat kalian enak-enakan di tempat Ini!" Kali ini seraya bicara, Dewi
Seribu Bunga berpaling memandang tajam pada Saraswati. Saraswati sendiri balas
pandangan orang dengan mata berkilat. Untuk beberapa lama dua pasang mata berperang pandang.
"Dengar! Kami bukan tengah enak-enakan! Kami
justru tengah mencari biang petaka jahanam itu!" Saraswati sambuti ucapan Dewi Seribu Bunga.
"Hem.... Begitu" Jadi kalian berdua berada di tempat sepi begini kau anggap tengah mencari biang peta-ka itu"! Lihat berkeliling!
Kau ada di mana"! Apa yang bisa kau dapatkan di tempat seperti ini"! Kau juga
tidak sadar.... Kalau kau diintai oleh mata-mata di balik tempat tersembunyi!
Apakah ini bukti bahwa kalian
berdua memang tengah mencari seseorang atau sebaliknya"!"
Saraswati dan Pendekar 131 sama terkejut. Untuk
beberapa saat keduanya sama saling pandang lalu
arahkan pandang mata masing-masing ke seantero
tempat itu. Sementara di balik tempat persembunyiannya, Pitaloka dan Putri Kayangan juga saling pandang. "Gadis
itu telah tahu kehadiran kita dan apa yang kita lakukan!" Putri Kayangan
berbisik dengan dada berdebar
tidak enak. "Sebelum kita mendapat malu, lebih baik
kita pergi saja dari tempat ini!"
Pitaloka mencekal lengan Putri Kayangan. "Menghadapi urusan kali ini lenyapkan semua pikiran yang
berhubungan dengan perasaan! Jika tidak, kita akan
kembali ke lereng Gunung Semeru dengan tangan
hampa! Bila itu terjadi, aku tak akan bisa hidup tenang di sana!"
"Tapi mereka akan menuduh kita melakukan sesuatu yang kurang pantas!"
"Persetan dengan semua itu! Mereka sebenarnya
yang melakukan pekerjaan kurang pantas! Bukan kita!" "Apa benar ucapan Dewi Seribu Bunga jika di tempat ini ada orang lain"!
Siapa" Apa orang itu mengiku-ti"! Celaka.... Kalau orang itu belum kukenal masih
lumayan! Tapi bagaimana kalau orang itu adalah orang yang kukenal" Sialnya lagi
kalau orang itu sebenarnya telah mengikutiku sejak dari Bukit Kalingga! Aduh....
Pasti dia tahu apa yang kulakukan bersama Saraswati...." Pendekar 131 terus edarkan mata dengan hati
berkata sendiri. Namun sejauh ini dia dan Saraswati
belum juga bisa menemukan orang lain.
Melihat sikap murid Pendeta Sinting dan Saraswati,
Dewi Seribu Bunga tertawa pendek dengan nada mengejek sebelum akhirnya berujar.
"Kalau kalian tidak berlaku enak-enakan mana
mungkin kalian sampai tidak sadar kalau tengah diintip mata?"
Mungkin merasa jengkel dengan ucapan Dewi Seribu Bunga, Saraswati cepat berteriak. "Siapa pun kau
yang bersembunyi, mengapa takut perlihatkan diri"!"
"Kita akan dianggap manusia pengecut kalau tidak
keluar tunjukkan diri!" bisik Pitaloka merasa dadanya terbakar mendengar
teriakan Saraswati. Apalagi sejak dari Bukit Kalingga sebenarnya Pitaloka sudah
menahan perasaan tidak sabar.
"Tunggu, Pitaloka!" tahan Putri Kayangan. Kali ini
ganti Putri Kayangan yang mencekal lengan Pitaloka
karena saat itu juga Pitaloka hendak melompat keluar.
"Kalau perturutkan ucapan orang, aku khawatir akan
terjadi keributan yang tidak berarti!"
"Hem.... Lalu apa kemauanmu"!" tanya Pitaloka.
"Sebaiknya kita berlalu saja dari tempat ini!"
"Kau takut menghadapi perempuan itu"!"
Putri Kayangan geleng kepala. "Bukan karena takut.
Tapi sebaiknya kita menghindari keributan yang tidak berguna!"
"Justru kalau kita menghindar, urusannya jadi makin berlarut-larut! Aku tak mau itu terjadi! Kita harus tuntaskan sekarang juga!
Bahkan kalau perlu, aku
akan meminta kembali benda merah di tangan Pendekar 131!" "Pitaloka! Kau telah memberikan benda itu!"
"Betul! Tapi kalau dia tidak bisa menggunakannya,
bukankah lebih baik kuambil kembali"!"
"Bukannya dia tidak bisa menggunakannya, tapi
waktunya belum tiba!"
"Kapan waktu itu akan tiba kalau dia terus-terusan
dikejar urusan perempuan"!" jawab Pitaloka agak sengit. "Bukankah kalau kita keluar berarti menambah urusannya dengan perempuan"!" balik Putri Kayangan.
"Tapi urusan kita berbeda! Bukan untuk...."
Pitaloka tidak lanjutkan ucapan, karena saat itu
kembali terdengar teriakan Saraswati. "Hai.... Aku tahu di mana kalian berada!
Jangan sampai aku menyuruh
kalian keluar dengan cara lain!"
Teriakan Saraswati makin membakar dada Pitaloka.
Dia cepat sentakkan cekalan tangan Putri Kayangan.
Saat lain dia telah berkelebat dan tegak berjarak sepuluh langkah dari tempat
Dewi Seribu Bunga. Sepasang mata Pitaloka langsung menghujam tajam pada
sosok Saraswati.
Putri Kayangan sebenarnya sudah coba menahan.
Tapi terlambat. Dan karena dipikir tak ada gunanya
lagi bersembunyi, juga khawatir akan terjadi keributan dan salah paham, dengan
muka sedikit merah padam
akhirnya Putri Kayangan ikut berkelebat keluar dan
tegak di samping Pitaloka. Hanya saja begitu tegak,
Putri Kayangan tidak langsung memandang pada Saraswati atau Pendekar 131, melainkan arahkan pandang matanya pada Dewi Seribu Bunga.
Mendapati siapa yang muncul, Saraswati tampak
tersenyum dingin walau sejenak tampak terkejut. Dewi Seribu Bunga sendiri tak
bisa sembunyikan rasa kaget.
Gadis cantik bekas murid tunggal tokoh hitam bergelar Maut Mata Satu yang
akhirnya diambil murid oleh De-wi Es ini memang tahu ada orang yang sembunyi di
sekitar tempat itu. Namun dia sama sekali tidak menduga kalau orang itu adalah Pitaloka dan Putri Kayangan. Namun yang paling
terlihat terkesiap adalah Pendekar 1311 Malah dia tampak salah tingkah dan bingung, hingga untuk beberapa saat dia bengong dan
memandang silih berganti pada empat gadis yang berada di tempat itu!
"Aku sudah turuti permintaanmu! Sekarang katakan apa maumu!" Pitaloka sudah angkat suara dengan
keras. Matanya terus saling berperang dengan mata
Saraswati. Saraswati sesaat pandang silih berganti pada Pitaloka dan Putri Kayangan. Dia tampak sedikit kebingungan. "Aneh.... Ternyata ada dua gadis yang rupanya sama persis. Aku tak bisa memastikan mana
yang per-nah kutemui beberapa waktu yang lalu!" Diam-diam Saraswati membatin. Dia memang pernah
bertemu dengan Putri Kayangan. Namun karena tidak
tahu kalau Putri Kayangan punya saudara kembar
yang wajah dan pakaiannya sama, membuat dia tidak
bisa menentukan siapa yang sempat bertemu dengannya! Sama seperti halnya Saraswati, Dewi Seribu Bunga
juga tidak bisa menentukan mana gadis yang pernah
jumpa dengannya. Sebenarnya Pendekar 131 juga
agak sulit membedakan. Namun dengan sikap Pitaloka, Joko segera saja bisa membedakan. Karena dia
tahu sikap Putri Kayangan sedikit lembut dibanding
Pitaloka. Hingga dia bisa segera menebak jika yang ba-ru angkat bicara pada
Saraswati adalah Pitaloka. Sementara gadis yang muncul belakangan adalah Putri
Kayangan. Dugaannya makin kuat, begitu dia melihat
sikap Putri Kayangan yang tidak memandang ke arahnya maupun ke arah Saraswati. Namun di balik semua
itu, sebenarnya murid Pendeta Sinting merasa tidak
enak dengan kehadiran Putri Kayangan. Karena tidak
tahu harus berbuat bagaimana, akhirnya Joko memutuskan. "Urusan di depan masih banyak! Kalau aku larut
dengan urusan di sini, perjalananku akan makin lama!" Berpikir begitu, akhirnya Joko balikkan tubuh lalu
berkelebat tinggalkan tempat itu.
Namun baru saja Pendekar 131 balikkan tubuh dan
belum sempat bergerak lebih jauh, sudah terdengar
suara teguran keras.
"Pendekar 131! Jangan jadi manusia pengecut tinggalkan urusan sebelum selesai!" Yang angkat suara
ternyata Pitaloka.
*** TIGA "ANEH. Di antara kita ada urusan apa"!" gumam
Joko seraya urungkan niat dan putar tubuh kembali.
Walau dia tadi tahu yang perdengarkan teguran adalah Pitaloka, namun begitu
berbalik Joko bukannya memandang ke arah Pitaloka melainkan pada Putri Kayangan yang saat itu juga tengah memandangnya.
Sikap murid Pendeta Sinting membuat dada Saraswati sedikit panas. Dia arahkan pandang matanya pada Putri Kayangan. Sementara Pitaloka menatap tajam
pada Pendekar 131 dan berucap lagi.
"Setelah keluar dari Lembah Patah Hati, kurasa di
antara kita memang tidak ada urusan lagi! Tapi begitu aku tahu apa yang kau
lakukan, rasanya sulit untuk
mengatakan jika di antara kita tidak ada urusan yang harus diselesaikan! Tapi
tunggulah dahulu, aku akan
bertanya apa kemauan gadismu itu!" Selesai berkata,
Pitaloka arahkan pandangannya pada Saraswati. Lalu
berkata. "Aku tak mau menunggu terlalu lama! Katakan apa
maumu!" Sambil gerakkan kepala menoleh, Saraswati menyambut. "Mengapa kalian berdua mengikuti kami"!
Kalau tidak punya maksud jahat, mana mungkin kalian sembunyi-sembunyi"!"
Pitaloka tertawa pendek mendengar ucapan Saraswati. "Aku tidak bermaksud mengikutimu! Aku mengikuti pemuda itu! Karena ada yang harus kuselesaikan
dengannya!"
Kini ganti Saraswati yang tertawa pendek. Lalu berkata. "Kalau benar kalian mengikutinya, seharusnya
kalian menunggu sampai kami berpisah!"
"Hem.... Lalu sampai kapan kami harus menunggu"! Apa kau kira aku tak tahu.... Kau enggan berpisah dengannya! Padahal dia sudah memintamu untuk pergi!"
Paras wajah Saraswati berubah merah padam. Pitaloka tersenyum mengejek. Lalu sambungi ucapannya.
"Kalian manusia-manusia tak tahu diri dan tak tahu
tempat! Apakah pantas orang bercumbu di dekat makam, hah"!"
"Pitaloka!" seru Putri Kayangan mencoba menahan
agar keributan tidak makin seru. Lagi pula dia merasa malu dikira telah
mengintip orang. Tapi sebelum Putri Kayangan sempat lanjutkan ucapan, Pitaloka
sudah memotong tanpa memandang.
"Beda Kumala! Kau jangan ikut bicara! Orang-orang
seperti mereka akan berbuat makin gila jika dibiarkan tanpa teguran!"
Mendengar kata-kata Pitaloka, selain makin merah
padam, dada Saraswati seakan bergemuruh meledakledak. Di sebelahnya, murid Pendeta Sinting makin salah tingkah. Kini bukan saja
tidak berani memandang
pada Putri Kayangan, tapi juga makin bingung tak tahu apa nanti yang harus dikatakan. Karena dia sudah
maklum jika Pitaloka dan Putri Kayangan telah tahu
apa yang dilakukannya bersama Saraswati di kaki Bu
Joko Sableng 30 Pengadilan Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kit Kalingga setelah pemakaman Lasmini dan Ni Luh
Padmi. Saraswati menarik napas panjang. Saat lain dia berucap dengan suara keras.
"Kau terlalu usil mencampuri urusanku! Dan kau
tahu! Justru kalian yang tak tahu diri! Mengintip orang dan terus mengikuti
dengan sembunyi-sembunyi! Jangan-jangan kalian gadis-gadis yang kerjanya cuma tu
kang intip! Kasihan...." Saraswati gelengkan kepala.
"Kalian gadis-gadis berwajah cantik. Mungkin banyak
pemuda yang tertarik dengan kecantikan kalian. Cuma
mungkin kalian punya kerja suka ngintip, mereka segan pada kalian!"
"Kami tidak akan jual murah tubuh kami pada setiap pemuda sepertimu!" sahut Pitaloka.
"Hem.... Manusia kadang sering sembunyikan diri di
balik ucapan sok sucinya! Apa kau kira aku tak tahu
kalau kau baru saja melahirkan anak tanpa diketahui
siapa laki-lakinya, he"! Apa perbuatanmu itu tidak lebih gila" Apa dengan begitu
kau masih menganggap
tubuhmu kau jual mahal"! Kasihan...." Saraswati kini ganti yang gelengkan kepala
seraya tersenyum mengejek. "Kau bisa menegur orang, tapi kau sendiri tidak bisa
kuasai nafsu! Kalau aku jadi kau, jangankan berkata menasihati orang, bertatap
muka dengan orang
saja kurasa aku malu mengangkat kepala!"
"Tutup mulutmu!" teriak Pitaloka setengah menjerit.
Dada gadis ini menggelegak dengan tubuh bergetar
keras. Kini pandangannya dialihkan pada Pendekar
131 yang makin salah tingkah. Apalagi setelah mendengar ucapan Saraswati. Dia sama sekali tidak menduga kalau Saraswati akan mengucapkan hal itu.
"Kau!" Tiba-tiba Pitaloka berteriak dengan telunjuk
diluruskan pada Joko. "Mulutmu ternyata lebih busuk
dari mulut perempuan liar! Tak kusangka kalau kau
berani menebar berita tak benar ini! Sebelum mulutmu makin menebar berita, lebih
baik kuhancurkan sekarang juga!"
Pendekar 131 memang telah menceritakan apa yang
dialaminya selama ini pada Saraswati kala berada di
dekat pemakaman ibunya. Namun ceritanya itu semata-mata bukan untuk menebarkan berita yang tak sedap itu, melainkan agar Saraswati lebih percaya pada dirinya.
Sementara itu, sebenarnya Saraswati sendiri tidak
tahu mana gadis yang bernama Pitaloka. Namun begitu mendengar Putri Kayangan tadi menyebut nama Pitaloka, Saraswati segera bisa menebak. Dan begitu
mendengar sambutan Pitaloka, Saraswati makin yakin
bahwa gadis yang diceritakan Pendekar 131 adalah
gadis yang ada di hadapannya.
Mungkin karena merasa tahu kelemahan orang, Saraswati segera pula menyahut ucapan Pitaloka. "Jangan berharap bangkai busuk dapat ditutupi-dengan
ucapan dan perbuatan sok suci! Itu hanya akan membuat orang makin curiga dan berita makin tersebar
luas! Lebih baik kau akui terus terang dan tunjukkan siapa dirimu sebenarnya!
Orang akan menghargai manusia yang tidak sembunyikan diri di balik ucapan sok
sucinya!" "Kalau kau terus buka bacot, mulutmu akan kuhancurkan juga!" Pitaloka menghardik tanpa berpaling pada Saraswati. Sebaliknya
terus memandang ke dalam bola mata Pendekar 131 yang makin salah tingkah. Sementara Dewi Seribu Bunga tampak bengong dan
hanya bisa memandang silih berganti tanpa buka mulut. Putri Kayangan mau mencegah, tapi karena sudah
tahu tabiat Pitaloka, dia akhirnya hanya bisa diam.
"Pitaloka...." Akhirnya Joko angkat bicara. "Maaf....
Bukan aku sengaja menebar berita. Tapi semua itu harus kuceritakan, karena...."
Belum sampai murid Pendeta Sinting lanjutkan
ucapan, Pitaloka sudah menukas.
"Karena kau tertarik pada gadis itu! Aku tidak mau
membicarakan segala macam budi, tapi kau adalah
manusia bodoh kalau berlaku begini setelah kau dapatkan apa yang kau perlukan!"
"Pitaloka.... Aku paham maksudmu. Kuakui kau telah banyak berjasa padaku. Tapi kuharap kau juga
mengerti. Semua ini kulakukan karena aku tidak mau
terus-terusan dituduh macam-macam! Lagi pula aku
tahu siapa Saraswati. Dia tak akan menebarkan berita ini pada orang lain...."
"Mana ada orang mencela gadisnya di hadapan
orang lain!" sahut Pitaloka masih dengan suara keras.
"Sekarang hanya ada satu jalan untuk menyelesaikan
urusan ini! Serahkan kembali benda merah itu!"
Joko terkesiap mendengar permintaan Pitaloka. Sementara Saraswati kerutkan dahi. Dia bertanya-tanya
benda apa yang dimaksud Pitaloka, karena Pendekar
131 memang tidak sebut-sebut benda merah dalam keterangannya saat menceritakan tentang musibah yang
dialami Pitaloka. Di lain pihak, Dewi Seribu Bunga
makin tidak mengerti.
"Pitaloka.... Sekali ini kuminta pengertianmu. Kalaupun kau minta kembali benda itu, akan kuberikan
setelah semuanya selesai...."
Pitaloka geleng kepala. "Mulanya aku memang percaya padamu hingga rela menyerahkan benda itu. Tapi
melihat tingkahmu, kepercayaanku jadi luntur! Kau
bukannya segera menyelesaikan urusan, sebaliknya
kau enak-enakan bercumbu-ria dengan gadis itu! Kalau hal ini kau teruskan, sampai kapan aku harus menunggu"! Padahal kau tahu, kami harus segera kembali ke lereng Gunung Semeru!"
Mendengar ucapan Pitaloka, gemuruh dada Saraswati yang sejenak tadi sedikit mereda bergolak lagi.
Dengan mata berkilat, anak gadis Lasmini ini buka suara.
"Sedari tadi kau terus mengurusi perbuatan orang!
Aku tahu kau cemburu. Tapi seharusnya kau sadar
siapa dirimu! Mana mungkin ada laki-laki yang menaruh perhatian padamu jika kau pernah hamil malah
melahirkan dan tidak diketahui siapa laki-lakinya"!"
"Jahanam!" teriak Pitaloka. "Aku memang bukan
orang baik-baik! Tapi aku tidak akan bertindak gila di depan makam orang!"
"Mana aku tahu..."! Mungkin ucapanmu itu hanya
sebagai tutup! Yang jelas tindakanmu sampai hamil
adalah lebih gila!"
Saking marahnya, Pitaloka langsung angkat kedua
tangannya. Tubuhnya diputar sedikit menghadap Saraswati. Saraswati tidak tinggal diam. Dia cepat angkat kedua tangannya.
"Tahan!" Hampir bersamaan Pendekar 131 dan Putri Kayangan berteriak. Murid Pendeta Sinting melompat dan menahan kedua tangan Saraswati, sementara
Putri Kayangan mencekal kedua lengan Pitaloka dan
tegak menghalangi di depannya.
"Beda Kumala.... Jangan halangi aku! Gadis liar
macam dia perlu sesekali mendapat hajaran agar bisa
jaga mulut!" Pitaloka tepiskan cekalan tangan Putri
Kayangan. "Kau jangan ikut campur, Pendekar 131! Atau kau
laki-laki yang menghamili gadis itu, hah"!" desis Saraswati dengan bibir
bergetar. Dia cepat pula mendorong tubuh Joko hingga tersurut dua langkah.
"Saraswati.... Jangan memperkeruh masalah!"
"Dia yang bikin masalah! Bukan aku!" jawab Saraswati dengan ketus.
"Pitaloka...," ujar Putri Kayangan di seberang depan.
"Tidak ada gunanya masalah ini diteruskan. Sebaiknya kita tinggalkan saja tempat
ini!" Pitaloka gelengkan kepala. "Aku tak akan pergi tanpa benda merah itu di tanganku! Itu benda milikku!
Aku yang berhak menggenggamnya! Bukan manusia
bodoh yang hanya perturutkan kesenangan!"
Habis berucap begitu, tanpa diduga Putri Kayangan,
kedua tangan Pitaloka mendorong ke depan. Sosok Putri Kayangan terjajar ke samping. Saat bersamaan, Pitaloka angkat kembali kedua
tangannya dan sertamerta disentakkan ke arah Saraswati.
Di seberang depan, karena tidak tertahan lagi oleh
sosok murid Pendeta Sinting, Saraswati tidak berdiam diri. Kedua tangannya
segera pula didorong menghadang pukulan yang telah dilepas Pitaloka!
Walau Pendekar 131 dan Putri Kayangan sudah sama bergerak hendak menahan, tapi gerakan keduanya
sudah sangat terlambat. Hingga bentrok pukulan antara Pitaloka dan Saraswati tak dapat dihindarkan lagi.
Blaarr! Terdengar ledakan dahsyat kala pukulan yang dilepas Pitaloka dihadang pukulan Saraswati. Kedua sosok gadis ini sama mental ke belakang lalu sama jatuh terduduk dengan tubuh
masing-masing bergetar dan
paras pias. Namun karena masing-masing orang sudah diamuk
gejolak hawa amarah, baik Pitaloka maupun Saraswati
segera bergerak bangkit. Putri Kayangan segera melompat. Di seberang sana, Joko ikut pula bergerak. Putri Kayangan menghalangi
Pitaloka sementara Pendekar 131 mencegah Saraswati.
"Beda Kumala! Kalau kau ingin pergi, tinggalkan
aku sendiri di sini! Tapi kalau kau ingin tetap bersa-ma-ku, jangan coba-coba
mencegah apa yang akan kulakukan!" kata Pitaloka seraya angkat kedua tangannya dan matanya menusuk tajam pada Saraswati.
Sementara di depan sana, Saraswati juga arahkan
pandang matanya menyengat pada Pitaloka seraya berucap pada murid Pendeta Sinting yang berada di depannya "Pendekar 131! Kalau kau inginkan gadis liar itu selamat, suruh dia hengkang dari tempat ini!"
"Saraswati.... Sebaiknya kita bicarakan semua ini
dengan kepala dingin. Urusan di depan masih besar
dan banyak. Kalau urusan sepele ini harus dibesar-be-sarkan, kurasa kita akan
rugi sendiri!"
"Kau sudah dengar ucapanku! Suruh gadis liar itu
hengkang! Jika tidak jangan harap tak akan ada darah mengalir di sini! Dan
jangan kira urusan ini cuma sepele! Kalaupun dia hengkang, kelak kalau bertemu,
aku akan meneruskan urusan sampai tuntas!"
"Saraswati! Sebaiknya kita saja yang tinggalkan
tempat ini.... Nanti akan kujelaskan lagi masalahnya!"
"Kau selalu membelanya!" hardik Saraswati. "Aku
makin yakin kau adalah laki-laki yang menghamilinya!" "Saraswati...."
Joko tidak bisa lanjutkan ucapan, karena saat Itu
juga Saraswati sudah lepaskan satu tendangan pada
dada murid Pendeta Sinting.
Karena tidak menduga, Joko terlambat untuk
menghindar atau menghadang tendangan Saraswati.
Bukkk! Pendekar 131 terhuyung-huyung ke belakang. Saat
lain Saraswati sudah sentakkan kedua tangannya.
Wuutt! Wuutt! Dua gelombang luar biasa dahsyat menggebrak ganas ke arah Pitaloka. Dari ganasnya gelombang yang
melesat, jelas Saraswati tidak main-main lagi.
Pitaloka terkesiap. Kedua tangannya segera didorong kembali ke arah Putri Kayangan yang tegak menghalangi di depannya. Sementara Putri Kayangan yang
sudah maklum kalau Saraswati telah lepaskan pukulan lagi, segera menyergap tubuh Pitaloka agar tidak terjadi lagi bentrok
pukulan dan hindarkan pukulan
Saraswati. Namun sergapan dan niat Putri Kayangan ditangkap lain oleh Pitaloka. Hingga dia tarik pulang kedua tangannya yang mendorong
tubuh Putri Kayangan.
Saat lain ketika Putri Kayangan menyergap, Pitaloka
berkelit ke samping seraya doyongkan sedikit bagian
atas tubuh. Saat lain kakinya melesat.
Bukkkl Meski kedua tangan Putri Kayangan sempat melakukan hadangan, tapi tendangan kaki Pitaloka lebih
cepat datangnya. Hingga tanpa ampun lagi sosok Putri Kayangan terjajar beberapa
langkah. Kejap lain, Pitaloka tekuk sedikit lututnya lalu didahului bentakan
garang, dia sentakkan kedua tangannya dengan kerahkan hampir segenap tenaga dalam yang dimiliki.
Wuuttl Wuutt! Dua gelombang yang tak kalah ganasnya dengan
pukulan Saraswati tampak berkiblat menghadang.
"Celaka! Mereka pasti akan terluka...," gumam Joko
lalu cepat angkat kedua tangannya untuk menghadang
agar dua gelombang pukulan tidak saling berbenturan.
Karena benturan gelombang pukulan pasti akan membuat Pitaloka dan Saraswati terluka sebab kedua gadis ini telah melepas pukulan
dengan pengerahan tenaga
dalam tinggi. Tapi belum sempat kedua tangan murid Pendeta
Sinting bergerak, terdengar suara orang bersin-bersin.
Saat yang sama satu deruan angin melesat ke arah gelombang pukulan Saraswati. Hampir berbarengan dengan melesatnya deruan angin, satu cahaya putih berkiblat ke arah gelombang pukulan Pitaloka!
*** EMPAT "BUSSSS! Busss!"
Terdengar suara laksana api terkena siraman air.
Gelombang yang melesat dari kedua tangan Saraswati langsung mental ke samping dan menghantam
beberapa jajaran pohon. Tiga pohon agak besar tampak perdengarkan derakan, saat lain jatuh tumbang!
Saat berikutnya gelombang yang berkiblat dari kedua tangan Pitaloka semburat bertaburan terkena sergapan cahaya putih.
Gagalnya benturan pukulan yang dilancarkan Saraswati dan Pitaloka memang membuat kedua gadis ini
terhindar dari luka. Tapi sergapan yang tiba-tiba muncul dan bisa menggagalkan
benturan dan pukulan
mau tak mau masih membuat Saraswati dan Pitaloka
Joko Sableng 30 Pengadilan Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sama terjajar meski tidak mengalami cedera yang berarti. "Bruss! Bruss! Satu laki-laki empat perempuan. Aku
tidak heran, pasti pangkal sebab adalah perasaan cemburu!"
Terdengar suara orang bersin dua kali disusul dengan terdengarnya suara. Lalu ditingkah dengan suara tawa panjang.
Anehnya, semua orang yang ada di situ tidak bisa
menentukan dari mana sumber suara-suara tadi terdengar, karena suara-suara itu laksana diperdengarkan dari delapan penjuru mata angin! Malah suara itu terus pantul memantul tak
putus-putusnya!
"Kakek Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun!" desis murid Pendeta Sinting tahu benar siapa orang yang baru saja menggagalkan
bentroknya pukulan Saraswati dan Pitaloka. Namun karena belum bisa melihat di
mana kedua orang itu berada, Joko beberapa saat putar kepala dengan mata mengedar berkeliling.
Sementara Saraswati, Pitaloka, Putri Kayangan, dan
Dewi Seribu Bunga juga sempat terkesiap. Mereka lebih terkejut lagi tatkala kepala masing-masing gadis ini sudah bergerak memutar
tapi tidak juga melihat siapa-siapa.
Saat itulah, tiba-tiba terdengar suara.
"Kuharap kalian tunda dulu urusan. Masih ada sesuatu yang harus dilakukan oleh pemuda itu!"
Walau tidak tahu di mana beradanya orang yang
bersuara, namun Pitaloka segera menyahut.
"Dia akan kubiarkan melakukan apa yang kau katakan! Tapi sebelum dia pergi, aku ingin dia mengembalikan benda milikku!"
"Bruss! Bruss! Jangan membuat orang merasa heran, Anakku.... Kudengar kau telah memberikan benda
itu. Mengapa kau kini hendak memintanya kembali"!"
terdengar sahutan. Kalau suara yang pertama tanpa
didahului bersinan tadi mungkin masih bisa ditebak
dari mana sumbernya, namun suara yang kedua dan
didahului suara bersinan, siapa pun tidak bisa menebak dari mana sumbernya! Apalagi gema suara itu memantul ke segenap tempat!
"Dia bukannya segera menggunakan benda itu! Tapi
lebih tertarik untuk bersenang-senang dengan gadis
binal itu!" Pitaloka menyahut dan seolah orang melihat, ia arahkan telunjuknya lurus-lurus ke arah Saraswati.
Saraswati tak bisa lagi menahan hawa amarah. Dia
kini angkat tangan kiri dan jari telunjuk ganti diarahkan pada Pitaloka.
"Kalau aku yang bersenang-senang saja kau sebut
gadis binal, lalu kata apa yang pantas untuk menyebut gadis hamil tanpa lakilaki sepertimu"!"
"Keparat!" maki Pitaloka. Untuk kesekian kalinya
kedua tangannya diangkat ke udara tinggi-tinggi. Saraswati ikut-ikutan angkat kedua tangannya. Tampaknya bentrok pukulan tak dapat dihindarkan lagi.
Namun sebelum sempat kedua gadis ini sentakkan
tangan masing-masing, terdengar suara bersinan tiga
kali berturut-turut. Kemudian disusul dengan suara.
"Aku akan merasa heran jika sebuah salah paham
bisa selesai dengan cara kekerasan! Kalaupun selesai,
justru itu adalah awal sebuah urusan besar! Jadi harap bisa menahan diri...!"
"Dia yang memulai!" teriak Pitaloka. Tangannya tetap berada di atas udara.
"Kau yang mulai! Kau sengaja mengintipku lalu mengikuti ke mana aku pergi dengan secara diam-diam!
Seharusnya kau sadar dan mengaca siapa dirimu! Pemuda mana pun tak akan ada yang mendekatimu!
Percuma kau mengikuti dia!" sambut Saraswati dengan
kepala menoleh pada murid Pendeta Sinting. "Kalaupun ada pemuda yang mendekatimu mungkin pemuda
itu manusia bodoh!"
Pitaloka sudah hendak angkat bicara, namun sebelum ucapannya terdengar, satu suara sudah menyahuti dari tempat lain.
"Sudahlah.... Tak ada artinya perselisihan ini diteruskan! Sekarang masih ada hal penting yang mungkin masih menjadi tanggung jawab kalian juga! Untuk
Pitaloka, kuharap kau merelakan benda itu sementara
di tangan sahabat muda itu! Percayalah.... Kalau sampai dia mempergunakan untuk
hal-hal lain, aku yang
akan mengambilnya sendiri dan menyerahkannya padamu!" Baik Pitaloka maupun Putri Kayangan rupanya sudah dapat menebak siapa adanya kedua orang yang
baru saja perdengarkan suara. Karena mereka berdua
baru saja bertemu di Lembah Patah Hati dan masih
hafal suaranya meski tidak melihat orangnya.
Entah karena apa, Pitaloka perlahan-lahan turunkan kedua tangannya. Saat bersamaan Putri Kayangan
segera melompat mendekat dan berbisik.
"Pitaloka.... Sebaiknya kau turuti ucapan orang itu
tadi!" Pitaloka pandangi saudara kembarnya. "Baik.... Ini
kulakukan bukan karena permintaan orang atau turuti ucapan Pendekar 131. Ini semata kulakukan karena kau!"
Murid Pendeta Sinting mendekati Saraswati. "Saraswati.... Kuharap salah paham ini selesai sampai di sini.... Dan sekarang aku
harus pergi!" Tanpa menunggu sahutan Saraswati, Joko hadangkan wajah ke
arah Pitaloka yang tegak berdampingan dengan Putri
Kayangan. "Pitaloka.... Terima kasih atas pengertianmu. Maaf
kalau aku telah melakukan sesuatu yang kau anggap
keliru. Aku harus pergi...."
Seraya berkata begitu, mata Joko terus pandangi
Putri Kayangan yang saat itu juga tengah memandangnya. Diam-diam murid Pendeta Sinting berkata
sendiri dalam hati. "Mungkin dia punya pikiran yang
tidak-tidak. Tapi satu waktu kelak aku akan menjernihkan persoalan ini.
Kalau Pendekar 131 membatin begitu, ternyata Putri Kayangan juga berkata dalam hati. "Sebenarnya,
apa pun yang dilakukan aku dapat memahaminya.
Hanya saja mengapa dia sepertinya memberi harapan
padaku.... Padahal dia sudah punya kekasih.... Mungkinkah aku masih harus menaruh harapan padanya"
Apakah dia tidak tahu. Kalau aku begitu gembira mendapat kesempatan sebelum kembali ke lereng Gunung
Semeru. Semula aku mengharap kesempatan ini akan
kujadikan kenangan indah bersamanya.... Tapi sekarang, apakah mungkin hal itu akan terjadi..."!"
"Putri Kayangan...." Entah sadar atau tidak, murid
Pendeta Sinting bergumam. Tapi ucapannya terhenti
sampai di situ walau mulutnya terus membuka. Putri
Kayangan putuskan kata hatinya dan menunggu. Namun sampai sekian jauh gadis cantik salah satu cucu
dari Nyai Tandak Kembang ini tidak mendengar lanjutan suara Pendekar 131. Sebaliknya habis berkata begitu, murid Pendeta Sinting balikkan tubuh lalu berkelebat tinggalkan tempat
itu. Sikap murid Pendeta Sinting mau tak mau membuat dada Saraswati mulai terbakar kecemburuan. Dia
menatap tajam pada Putri Kayangan dengan mata berkilat-kilat. Sementara Putri Kayangan sendiri merasakan dadanya berdebar dan
memperhatikan terus kelebatan sosok Joko hingga lenyap di depan sana.
Semua orang di situ tidak tahu, jika semenjak tadi
Dewi Seribu Bunga yang tegak diam dan hanya mendengarkan, tampaknya gigit kedua bibirnya.
"Begitu banyak gadis cantik yang coba menarik hatinya...," Dewi Seribu Bunga membatin. "Jadi percuma selama ini aku selalu
mengenangnya! Apakah dia tidak tahu kalau kepergianku ini semata-mata hanya
karena aku rindu padanya.... Hem.... Dia sama sekali memandang sebelah mata padaku. Bahkan dia seolah tidak
melihat keberadaanku di tempat ini! Dia pergi begitu saja tanpa berkata sepatah
kata padaku!" Dengan berbagai perasaan akhirnya Dewi Seribu Bunga balikkan
tubuh. Dan tanpa buka mulut lagi dia melesat pergi.
Namun berjarak lima belas tombak, gadis murid Dewi
Es ini berbalik lalu berkelebat ke arah mana tadi murid Pendeta Sinting pergi!
Saraswati melirik pada Pitaloka. "Sebenarnya saat
ini kesempatanku memberi hajaran pada gadis itu! Tapi kalau itu kulakukan, aku akan kehilangan jejak
Pendekar 131. Aku harus segera menyusulnya!"
Pendekar Buta 11 Pedang Ular Merah Karya Kho Ping Hoo Tongkat Rantai Kumala 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama