Ceritasilat Novel Online

Ratu Pemikat 3

Joko Sableng Ratu Pemikat Bagian 3


kemudian tubuhnya mental ke belakang sampai
dua tombak! Pada saat bersamaan, terdengar orang berucap.
"Manusia hidup punya tujuan dan langkah.
Siapa salah melangkah dan salah menuju hidupnya akan sia-sia. Manusia dicipta dengan
takdir sendiri-sendiri. Siapa mengingkari takdirnya apalagi meminta sesuatu yang
ditakdirkan pada
orang lain, bukan saja akan sengsara tapi akan
merana sepanjang hidupnya. Jangan salah melangkah, jangan keliru menuju. Lebih-lebih
jangan meminta yang tidak ditakdirkan. Hidup
akan tenang. Dunia akan damai...."
Maut Mata Satu, Dewi Seribu Bunga, Pendekar
Pedang Tumpul 131, lebih-lebih Ratu Pemikat
serentak palingkan kepala masing-masing ke arah datangnya suara. Dari tempat
masing-masing mereka melihat seorang laki-laki berusia lanjut sedang duduk bersila tanah.
Mengenakan pakaian
jubah tanpa leher warna kuning. Rambutnya yang
putih dan panjang dikelabang serta dikalungkan di lehernya. Raut wajahnya bulat
dengan alis mata
saling bertaut. Bibirnya selalu bergerak gerak
mengucapkan sesuatu. Sementara kedua telapak
tangannya saling ditakupkan dan tegakkan di
bawah dagu, membuat gerakan seperti orang
menyembah. *** SEMBILAN ATA masing-masing orang di tempat Itu
membelalak lebar-lebar. Memperhatikan Mdan mengawasi segala gerak-gerik kakek
mirip seorang biksu itu. Tiba-tiba sepasang kaki Ratu Pemikat tersurut satu
tindak. Matanya
menyipit lalu melebar, alis matanya naik sesaat.
"Manusia Dewa...! Tokoh Budha yang terjun
dalam rimba persilatan dan memiliki kepandaian
yang sulit dijajaki. Kudengar dia telah lama tak muncul lagi, malah ada yang
memberitakan bahwa
dia telah undur diri. Apa karena santernya berita tentang pedang pusaka itu yang
membuatnya muncul lagi" Atau ada hal lain..."! Hem.... Yang pasti,
dengan kemunculannya di sini dan mendengar ucapannya, maka urusan di sini akan
jadi panjang"!" membatin Ratu Pemikat mengenali siapa adanya kakek yang duduk
bersila. Tak beda dengan Ratu Pemikat, Maut Mata Satu
pun diam-diam berkata dalam hati begitu mengenali siapa adanya si kakek.
"Manusia Dewa! Sulit dipercaya jika manusia ini muncul lagi. Terakhir kali aku
bertemu dengannya kira-kira dua puluh lima tahun silam. Urusan ini tak akan
selesai jika dia turut campuri. Jahanam betul! Keadaanku tidak lagi memungkinkan
jika harus bentrok dengannya!"
Sementara Joko dan Dewi Seribu Bunga hanya
bengong karena keduanya tidak mengenai! siapa
adanya sang kakek. Namun Joko Sableng sedikit
banyak bisa menduga siapa adanya orang dari
kata-kata yang diucapkannya. Malah dengan begitu mudahnya membuat Ratu Pemikat terlempar jauh padahal si kakek berada jauh dari tempatnya, murid Pendeta
Sinting yakin jika kakek itu berkepandaian sangat tinggi sekali.
"Kek..!" kata Joko seraya menjura dalam-dalam
"Terima kasih atas pertolonganmu...."
Kakek mirip biksu yang tidak lain adalah tokoh
rimba persilatan berkepandaian amat tinggi dari kalangan Budha yang beberapa
puluh tahun lalu
sempat menggegerkan kancah rimba persilatan
karena peranannya yang ikut serta membasmi
kejahatan, anggukkan kepalanya.
Melihat sikap bersahabat dari kakek yang
digelari kalangan rimba persilatan dengan julukan Manusia
Dewa, Joko bergerak melangkah mendekat. Namun lankahnya tertahan tatkala
terdengar bentakan.
"Tetap di tempatmu! Sekali melangkah putus nyawamu!" yang keluarkan bentakan
adalah Maut Mata Satu. Habis membentak, laki-laki mata satu ini hadapkan mukanya
pada Manusia Dewa.
"Manusia Dewa! Harap kau tak melibatkan diri dengan turut campur urusan ini!"
"Dan cepat tinggalkan tempat ini!" Ratu Pemikat menimpali.
Manusia Dewa yang selalu dikenai sebagai tokoh
berilmu tinggi juga dikenal sebagai tokoh yang
aneh ini keluarkan tawa ngakak, membuat semua
mata di situ terbeliak, karena meski suara tawanya keras
menyakitkan gendang telinga, namun mulutnya hanya terbuka sedikit!
Begitu suara tawanya berhenti, dia berkata.
Kedua tangannya terus menakup di bawah dagu.
"Manusia dicipta untuk menjadi pimpinan di bumi. untuk mengelola bumi. Manusia
berhak mendiami bumi di mana dia suka. Tak seorang pun mempunyai kuasa untuk memerintah
orang lain meninggalkan bumi yang disukai. Tahan mulut
Tahan kemarahan. Di situ akan ditemukan keselamatan!"
"Jahanam! Kataksn saja apa maumu sebenarnya, Manusia Dewa!" hardik Maut Mata Satu.
Manusia Dewa palingkan wajahnya pada Maut
Mata Satu. Bibirnya yang selalu bergerak-gerak
terhenti. Kepalanya menggeleng perlahan.
"Kata-kata bukan hal yang sebenarnya, Maut Mata Satu! Seringkaii kata-kata
adalah kebalikan apa yang di hati. Jangan pandang manusia dari
kata-katanya. Hati adalah cermin. Dari situlah
manusia diukur!"
"Keparat! Kuperingatkan sekali lagi, Manusia Dewa! Kau tinggalkan tempat ini
atau menemui ajal ditempat ini!" bentak Maut Mata Satu marah.
"Manusia tidak dapat menentukan di tempat
mana dia mati."
Maut Mata Satu habis kesabaran. Namun diamdiam laki-laki ini sebenarnya merasa kecut, karena dia terluka dalam sedangkan
Manusia Dewa bukanlah tokoh sembarangan. Dia sadar, dalam
keadaan tidak terluka saja dirinya bukan tandingan Manusia Dewa. Apa yang ada dalam
benak Maut Mata Satu tampaknya bisa dibaca oleh Ratu Pemikat yang sebenarnya
juga mempunyai perasaan yang sama.
Ratu Pemikat tiba-tiba berkelebat dan tegak lima langkah di samping Maut Mata
Satu. "Kita punya tujuan sama. Tapi kita juga punya penghalang
yang sama. Bagaimana kalau sementara ini kita singkirkan dulu penghalang
itu"!" bisik Ratu Pemikat tanpa berpaling pada Maut Mata Satu.
"Hem.... Ternyata dia keder juga menghadapi Manusia Dewa. Tapi tawarannya adalah
jalan satu-satunya...," batin Maut Mata Satu. Lalu laki-laki bermata satu ini
melirik pada Ratu Pemikat.
"Kita dalam keadaan terluka. Manusia itu
memang terlalu tangguh jika kita hadapi sendiri-sendiri. Aku setuju dengan
usulmu!" Belum usai ucapan Maut Mata Satu, Ratu
Pemikat telah tarik kaki kirinya ke belakang.
Tubuhnya dilorotkan. Bersamaan dengan itu kedua tangannya dihatamkan ke arah
Manusia Dewa. Di sampingnya, melihat Ratu Pemikat telah
lepaskan pukulan, Maut Mata Satu segera pula
hantamkan kedua tangannya.
Tempat Itu mendadak berubah menjadi panas.
Hamparan sinar, biru pukulan sakti 'Hamparan
Langit' milik Ratu Pemikat bersatu dengan bungabunga api dan gelombang hitam
pukulan sakti 'Api Seribu Bunga' dan 'Gelombang Kematian' milik
Maut Mata Satu menderu dahsyat menuju Manusia Dewa! Melihat ganasnya pukulan, Pendekar Pedang
Tumpul 131 dan Dewi Seribu Bunga cepat-cepat
menjauh. Mereka telah merasakan bagaimana
ganasnya tiga pukulan tadi saat bentrok di udara.
Kini tiga pukulan sakti itu bersatu, mereka tak dapat membayangkan apa jadi nya.
Di depan sana, melihat datangnya serangan yang
begitu dahsyat, Manusia Dewa sesaat jadi terkesiap Dan sadar akan dahsyatnya
pukulan, kakek yang
rambutnya dikelabang dan dikalungkan ke lehernya ini segera angkat kedua tangannya ke
atas kepala. Kedua telapak tangannya yang saling menakup dibuka lalu didorong
perlahan ke depan
dengan telapak tangan masih berdekatan satu
sama lain. Weeesss! Dua gulungan cahaya melesat tanpa keluarkan
suara. Namun bersamaan dengan Itu angin
dahsyat menghempas. Gulungan cahaya berputarputar aneh makin lama makin besar.
Maut Mata Satu dan Ratu Pemikat terpana
seketika tatkala melihat bunga-bunga api serta
sinar hitam dan hamparan sinar biru pukulan
mereka terhenti di tengah jalan dan sesaat
kemudian masuk dalam gulungan cahaya! Gulungan cahaya yang telah menggulung pukulan
Maut Mata Satu dan Ratu Pemikat terus melesat ke atas. Kira-kira lima belas
tombak di atas udara, gulungan cahaya itu meledak keluarkan suara
menggelegar dahsyat!
Maut Mata Satu dan Ratu Pemikat sama-sama
keluarkan pekikan tegang. Sosok keduanya mencelat melayang ke belakang sampai beberapa
tombak lantas sama-sama terkapar di atas tanah
dengan mulut keluarkan darah! Masing-masing
orang merasakan dadanya laksana dibakar, aliran darah seakan tersumbat. Hingga
otot-otot di sekujur tubuh keduanya
bersembulan keluar
membentuk guratan-guratan!


Joko Sableng Ratu Pemikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di seberang, begitu ledakan terjadi, sosok
Manusia Dewa terseret deras ke belakang. Namun
tiba-tiba kakek ini membuat gerakan berputar.
Sosoknya yang masih bersila melenting ke udara
lalu perlahan-lahan turun di atas tanah dengan
tangan menakup di bawah dagu dan tetap bersila!
Tubuh kakek Ini sesaat bergoyang-goyang keras
dengan wajah pucat pasi. Namun sekejap kemudian goyangan tubuhnya berhenti. Kedua
kelopak matanya membuka memandang pada
Maut Mata Satu dan Ratu Pemikat.
Sejenak Manusia Dewa menghela napas dalamdalam. Lalu mengusap wajahnya dengan telapak
tangan kanan. "Manusia-manusia tak beruntung.... ilmunya tinggi.
Namun hawa nafsu yang mengendalikannya.
Hem.... Sayang sekali...,"
gumamnya seraya takupkan kembali tangan kanannya di bawah dagu. Matanya pun perlahanlahan mengatup dengan mulut bergerak-gerak
perdengarkan suara tak jelas. Sekail dia gerakkan bahunya, tubuhnya melesat ke
belakang lalu lenyap! Sesaat setelah suasana reda, Dewi Seribu Bunga
yang sedari tadi terus mengkhawatirkan keadaan
Joko sapukan pandangan berkeliling. Seketika
gadis cantik ini terkejut. Joko tak ada lagi di tempat itu! Tak
percaya dengan pandangan matanya, juga menduga Joko Sableng sembunyi di
balik semak belukar di sekitar tempat itu, gadis ini segera berkelebat ke tempat
di mana Pendekar
Pedang Tumpul 131 tadi berada. Dan hingga
matanya lelah mencari, ternyata yang dicari
memang sudah tidak ada di tempat itu.
"Ke mana dia?" gumamnya seraya menarik napas panjang. Pandangannya lalu
membentur pada sosok gurunya yang terkapar. Buru-buru gadis ini melangkah mendekat.
"Guru...," desis Dewi Seribu Bunga sambil menolong gurunya bangkit.
Maut Mata Satu sejenak memandang muridnya.
Lalu beralih ke arah Ratu Pemikat yang saat itu juga bergerak-gerak bangkit,
saat dia berpaling ke arah depan laki-laki bermata satu ini keluarkan dengusan
keras. "Jahanam itu lenyap!"
Maut Mata Satu lalu sapukan pandangannya
berkeliling. Rahangnya tiba-tiba terangkat membatu tatkala matanya tak mendapati Joko.
"Keparat! Pemuda itu juga lenyap!" dia lalu menoleh pada Dewi Seribu Bunga yang
ada di sampingnya. "Ke mana lenyapnya pemuda itu"!"
Dewi Seribu Bunga menggeleng. "Waktu terjadi bentrok
pukulan aku menjauh. Begitu aku kembali, dia sudah tak ada lagi!"
"Keparat! ini gara-gara laki-laki tua jahanam itu!"
maki Maut Mata Satu sambil hantamkan tangannya ke tanah saking marahnya. Tanah itu
langsung melesak membentuk lubang.
"Larasati! Kita tinggalkan tempat ini!" bentak Maut Mata Satu. Mungkin karena
belum hilang rasa jengkelnya pada sang murid hingga untuk
beberapa saat dia pandangi muridnya dengan mata berkilat dan mulut berkomatkamit. Dan tanpa
memandang lagi pada Dewi Seribu Bunga, Maut
Mata Satu melangkah meninggalkan tempat itu.
Dewi Seribu Bunga menghela napas dalam,
pandangannya sekali lagi diputar, takut kalaukalau Joko Sableng masih berada di tempat itu.
Begitu merasa bahwa Joko telah tidak ada lagi di tempat itu, gadis ini
berkelebat mengikuti gurunya.
Sesaat setelah Maut Mata Satu dan Dewi Seribu
Bunga pergi. Ratu Pemikat bangkit. Dia terhenyak dengan sepasang mata serentak
mendelik besar tatkala mengetahui tinggal dirinya sendiri di
tempat itu. "Apa mungkin Maut Mata Satu berhasil merebut pedang it Hem.... Tak
mungkin. Aku tak
mendengar behtrok lagi. Jadi mereka pergi sendiri-sendiri...."
Sambil memutar kepalanya perempuan berwajah
cantik ini keluarkan makian panjang pendek.
"Aku harus mencari bantuan! Manusia Dewa
harus mati di tangankul Gara-gara laknat itu,
urusan jadi berantakan begini rupa!" perempuan ini
menghela napas dalam, lalu mengusap wajahnya yang keringatan. Tiba-tiba dia teringat pada Joko. Dahi perempuan
mengernyit dengan
kepala tengadah.
"Heran....
Aku rasa-rasanya pernah jumpa dengan pemuda itu, setidak-tidaknya
pernah melihatnya.... Pedang Tumpul 131. Hem.... Sebelum rahasia ini terbuka, orang yang dicari-cari yang diduga kuat menyimpan
rahasia di mana
tersimpan pedang itu adalah Bandung Bandawangsa tokoh bergelar Malaikat Lembah
Hijau...,"
berpikir sampai di situ tiba-tiba perempuan' tersentak. "Astaga! Tak salah lagi.
Pemuda itu adalah anak kecil yang beberapa tahun lalu
masuk jurang bersama Bandung Bandawangsa! Melihat bahwa dia telah berhasil
mendapatkan senjata pusaka itu, dugaanku tak
mungkin salah! Bandung Bandawangsa juga anak
itu selamat. Lalu Bandung Bandawangsa memberikan petunjuk pada anak itu. Hem....
Bandung Bandawangsa mungkin mengambil anak
itu sebagal murid. Jika demikian, anak itu
sekarang pasti sedang menuju ke tempat Bandung
Bandawangsa di Lembah Hijau. Aku akan secepatnya menyusui ke sana...." Sebelum bangkit, Ratu
Pemikat teringat
pada seseorang yang beberapa tahu silam mengejar Bandung Bandawangsa dengannya.
"Hantu Makam Setan.... Sejak peristiwa pengejan itu, aku tak pernah lagi
berjumpa dengan manusia menjijikkan itu. Tak ada salahnya aku meminta
bantuan padanya...," gumam sang ratu seraya mengusap mulut dengan punggung
tangannya. "Dia pasti tak akan menolak permintaanku...."
Seperti dituturkan dalam episode 'Pesanggrahan
Keramat', seorang tokoh bergelar Malaikat Lembah Hijau tiba-tiba diburu dan
diintai oleh beberapa tokoh rimba persilatan, karena Malaikat Lembah
Hijau diduga berat menyimpan petunjuk tentang
beradanya pedang pusaka yang sejak lama diperebutkan. Di antara para pemburu itu adalah Hantu Makam Setan serta Dewi
Asmara. Kedua orang ini akhirnya dapat menemukan Malaikat
Lembah Hijau. Namun Malaikat Lembah Hijau
yang tak merasa memiliki petunjuk itu mengadakan perlawanan. Pada akhirnya Malaikat
Lembah Hijau terluka parah. Dia meloloskan diri.
Di tengah hutan dia tertolong oleh seorang anak laki-laki.
Saat anak laki-laki ini melakukan pertolongan, Hantu Makam Setan dan Dewi
Asmara datang. Untuk menyelamatkan nyawa si
anak laki-laki, Malaikat Lembah Hijau akhirnya
membawa serta anak itu. Setelah terjadi kejarkejaran, pada akhirnya Bandung Bandawangsa
alias Malaikat Lembah Hijau dan si anak laki-laki masuk ke jurang.
Peristiwa itu telah delapan tahun berlalu, namun Ratu Pemikat masih
mengingatnya, karena salah
seorang dari pengejar yang menyebabkan Malaikat Lembah Hijau dan si anak lakilaki masuk jurang adalah dirinya sendiri! Yakni Dewi Asmara.
Setelah peristiwa itu, Dewi Asmara memang
terus mengadakan penyelidikan. Karena cara yang digunakan
Dewi Asmara dengan menggaet beberapa tokoh menggunakan kecantikan dan
tubuh, lambat laun Dewi Asmara lebih dikenal
orang dengan gelar Ratu Pemikat.
Ratu Pemikat perlahan-lahan bangkit. Kepalanya
tengadah memandang ke sebelah barat. Terlihat
cahaya kuning telah menyemaraki langit di belahan barat pertanda senja telah datang dan tak lama lagi malam akan
menjelang. "Tiga hari cukup untuk memulihkan tenaga
sebelum menemui Hantu Makam Setan...,"
desisnya seraya meninggalkan tempat itu.
***

Joko Sableng Ratu Pemikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

SEPULUH ENDEKAR 131 Joko Sableng tak mampu
berlari kencang karena dadanya masih
Pterasasesakjikadibuat berlari akibat
bentrok dengan Resi Mahayana dan Maut
Mata Satu. Namun murid Pendeta Sinting ini
sedikit merasa lega karena dirinya merasa berada pada suatu tempat yang aman,
lebih dari itu dekat dengan tempat yang dituju, yakni jurang Tiatah
Perak, tempat di mana Pendeta Sinting gurunya
berada. Pada hamparan ilalang dekat jurang Tiatah
Perak, Joko hentikan larinya. Lalu melangkah
pelan sambil mengurut dadanya yang sesak ke
arah jajaran pohon rindang. Pantatnya segera
dihenyakkan begitu sampai pada salah satu pohon.
Bersandar punggung pada batang pohon dengan
kaki diselonjorkan. Tiba-tiba Joko ingat sesuatu, ia meraba
pinggangnya. Napasnya berhembus panjang ketika tangannya masih merasakan sembulan senjata di balik pakaiannya.
"Aku harus lebih berhati-hati. Siapa pun juga saat ini pasti menginginkan
senjata ini...," ingat hal demikian, menjadikan murid Pendeta Sinting ini
teringat akan kejadian yang baru menimpa dirinya.
Mendadak dia melengak sendiri dengan tangan
menepuk jidat. "Aku ingat sekarang. Perempuan bergelar Ratu Pemikat Itu.... Ah, betul. Dia
adalah perempuan yang beberapa tahun lalu mengejar Bandung
Bandawangsa dan aku. Hingga aku dan Bandung
Bandawangsa kecebur masuk ke dalam jurang!"
Ingat hal itu dada murid Pendeta Sinting ini
berdebar keras. Sepasang matanya berkiiat-kiiat dengan wajah membesi menahan
marah. Selagi Pendekar Pedang Tumpul 131 dilanda
kemarahan begitu rupa, tiba-tiba ilalang di depan sana tampak bergoyang-goyang
keras laksana dilanda angin kencang.
"Di sini tak ada angin, aneh jika ilalang itu bergoyang-goyang...." Merasa ada
yang tak beres dan mencium gelagat tak enak, murid Pendeta
Sinting sepat gulingkan tubuh lalu mendekam di
balik pohon. Apa yang di khawatirkan Joko Sableng tak lama
kemudian jadi kenyataan. Begitu dia mendekam di balik pohon dan baru saja
kepalanya diangkat
sedikit memandang ke arah ilalang, dari arah
belakang menderu angin kencang ke arahnya!
Seraya memaki tak karuan, Joko cepat balikkan
tubuh dan geser tubuhnya ke samping.
Praaasss! Tanah di samping Pendekar Pedang Tumpul 131
terbongkar muncrat membentuk lubang menganga!
Pohon di mana dia bersembunyi bergoyang keras
terkena sambatan angin yang berhasil dielakkan
Joko. "Jahanam! Tunjukkan dirimu! Jangan main
seperti pengecut!" teriak Joko Sableng seraya bangkit
dan putar kepalanya dengan mata mendelik mencari-cari,
Bukan terdengarnya suara atau munculnya
seseorang yang menjawab teriakan marah Joko,
sebaliknya gelombang angin lebih dahsyat menderu kembali ke arahnya! Membuat
murid Pendeta Sinting ini makin geram. Seraya berpaling ke arah dari mana datangnya gelombang
angin, Joko cepat hantamkan kedua tangannya sambil melompat
menghindari datangnya serangan.
Rimbun dedaunan di depan sana terabas rata
dan langsung berhamburan terkena hantaman
kedua tangan Pendekar 131. Namun hingga
hamburan dedaunan itu sirap, Joko Sabieng tak
melihat adanya seseorang!
"Pengecut Jahanam! Kenapa kau masih sembunyi tak berani unjukkan diri"!" kembali Joko berteriak.
Belum lenyap gema teriakan Joko, dari arah
depan membersit sinar kuning membawa hawa
panas. Sekitar tempat itu mendadak berubah
semburat warna kuning.
Pendekar Pedang Tumpul 131 tersentak, dahinya
berkerut. Namun dia tak dapat berpikir panjang
karena sinar itu telah melesat dua tombak di
depannya, membuat murid Pendeta Sinting ini
mau tak mau harus menghadang serangan. Kedua
tangannya segera ditakupkan. Kedua tangan Joko
serentak berubah menjadi laksana dilapis warna
kuning keperakan. Pertanda murid Pendata Sinting ini telah kerahkan pukulan
'Lembur Kuning'.
Pendekar Pedang Tumpul 131 tak menunggu
lama, kedua tangannya segera saja didorong ke
depan. Blaaammm! Ledakan segera mengguncang tempat itu tatkala
sinar kuning yang melesat dari dorongan tangan
Joko menghajar sinar kuning yang datang.
Bersamaan dengan terdengarnya ledakan, ilalang
di depan sana semburat berhamburan. Tanahnya
beterbangan menutupi pemandangan. Tubuh Joko
Sableng terhuyung-huyung ke belakang sebelum
akhirnya jatuh terduduk. Namun sekilas sepasang matanya
menangkap berkelebatnya sesosok bayangan melayang turun dari pohon jauh di
depan, di antara semburatan ilalang dan hamburan tanah.
Begitu suasana sirap, Joko melihat seorang
kakek duduk bersila sepuluh langkah di depannya.
Karena tipisnya kulit yang membungkus wajahnya, hingga kerutan wajahnya hanya
merupakan garis
samar-samar. Rambutnya putih dan dibiarkan
menjulai menutupi hampir seluruh wajah dan
lehernya. Orang tua ini mengenakan jubah besar
bertambal-tambal dari beberapa kain berwarnawarni. Untuk beberapa lama Joko tercekat. Dan begitu
sadar siapa adanya kakek di hadapannya, pemuda
ini cepat membungkuk dalam-dalam seraya berseru. "Guru....!"
Si orang tua komat-kamitkan mulutnya. Lalu
mulutnya terbuka perdengarkan suara tawa bergelak. Karena tawa itu bukan tawa biasa,
namun mengandung tenaga dalam tinggi, membuat
Joko Sableng tekap kedua telinganya. Tatkaia
suara tawa sang orang tua yang bukan lain adalah Pendeta Sinting, tokoh sakti
rimba persilatan yang berdiam di jurang Tiatah Perak berhenti, Joko
kembali menjura.
"Guru. Maafkan ucapanku yang tadi memakimu!"
Pendeta Sinting memandang sejurus pada Joko.
"Sudah! Jangan banyak basa-basi! Aku sengaja menghadangmu
di sini sekaligus untuk mengujimu. Tenaga dalammu masih harus terus
kau latih. Demikian juga gerakanmu! Sekarang aku ingin tahu bagaimana dengan
tugasmu!" Joko Sabieng kemudian menuturkan perjalanannya sejak keluar dari jurang Tiatah
Perak hingga sampai mendapatkan Pedang Tumpul
131 dan sampai di tempat itu.
"Hem.... Bagus! Coba perlihatkan pedang itu!"
perintah Pendeta Sinting setelah mendengar cerita muridnya.
Joko keluarkan Pedang Tumpul 131 dari balik
pakaiannya. Lalu dia bangkit dan melangkah
mendekat. Pedang Tumpul 131 diberikan pada
gurunya. Untuk beberapa saat lamanya Pendeta Sinting
menimang-nimang pedang di tangannya. Pedang
ditarik dari sarungnya, lalu diamati dengan seksama. Lalu memandang pada Joko dan berkata.
"Joko. Kau harus bersyukur, hanya karena kemurahan-Nya kau akhirnya berhasil mendapatkan pedang ini. Namun kau juga harus
ingat, dengan keberhasilanmu mendapatkan senjata pusaka ini, beban di pundakmu makin
berat! Selain mempertahankan senjata ini dari
gerayangan tangan-tangan kotor, kau juga dituntut untuk
dapat menggunakan senjata ini sebagaimana mestinya!"
Pendeta Sinting masukkan kembali Pedang
Tumpul 131 dalam sarungnya lalu diberikan pada
Joko yang segera menyimpannya lagi di balik
pakaiannya. "Hem.... Mendengar ceritamu, rupanya makin banyak tokoh lama yang muncul kembali
juga tokoh-tokoh yang belum kukenal...,"
Pendeta Sinting sejenak manggut-manggut, lalu teruskan
ucapannya. "Melihat gelagatnya, aku menangkap adanya
sesuatu di balik munculnya tokoh-tokoh itu...."
"Apa bukan karena mereka memperebutkan
pedang ini, Guru"!" Joko coba menduga-duga.
"Kemungkinan itu bisa saja. Namun aku merasa ada sesuatu lain daripada sekadar
memburu pedang itu. Munculnya Manusia Dewa menandakan hai itu! Manusia Dewa
adalah seorang tokoh yang jarang sekali muncul. Kalau
dia memang muncul, pertanda akan adanya
sesuatu yang besar! Kau tahu, selain dikenai
sebagai tokoh sakti berkepandaian tinggi, dia juga dikenal sebagai
orang yang mampu melihat sesuatu yang kemungkinan besar bakal terjadi!"
"Maksudmu, dia seorang perama!"!"
"Bukan. Peramal adalah orang yang mereka-reka apa yang akan terjadi. Sedangkan
Manusia Dewa tidak. Dia melihat apa yang bakal terjadi dengan tanda-tanda alam yang ada! Apa


Joko Sableng Ratu Pemikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

namanya aku tak
tahu.... Hanya saja, dengan kemunculannya pasti akan segera disusul dengan
munculnya tokoh-tokoh sakti lainnya.... Hm.... Kegegeran apa lagi yang akan
mengguncang rimba persilatan ini?" ujar Pendeta Sinting seraya menarik napas
dalam tapi lantas dia tertawa mengekeh panjang, membuat
Joko Sableng nyengir.
"Rimba persilatan memang dunia giia! Kegegeran satu belum selesai, kegegeran
lebih besar sudah menghadangi.
Hingga tak heran jika orang- orangnya banyak yang mirip seperti orang giia!
Ha.... Ha.... Ha...," Pendeta Sinting kembali tertawa bergelak-gelak.
Namun tiba-tiba tawanya dipenggal. Kakek sakti dari jurang Tiatah Perak ini dongakkan
kepala. Rambut yang menutupi telinganya bergerak-gerak
pertanda telinga di
baliknya mempertajam pendengaran. Tiba-tiba kepalanya berpaling ke arah utara. "Ada seseorang menuju tempat ini...,"
desisnya seraya kerutkan dahi. Joko jadi ikut-ikutan berpaling ke arah mana sang
guru memandang.
Belum sampai di antara keduanya ada yang
buka mulut iagi, kedua orang ini melihat ilalang jauh di sebelah utara bergerak
menyibak. Lalu terlihat sesosok tubuh melayang lurus menerabas ilalang! Anehnya, iialang yang
hendak diterabas menyibak terlebih dahulu sebelum sosok tersebut lewat seakan
membentuk jalan setapak! Bukan
hanya sampai di situ. Ternyata sosok yang
menerabas ilalang duduk bersila dengan kedua
tangan menakup di bawah dagu!
Empat tombak di depan Pendeta Sinting, sosok
yang menerbas ilalang berhenti. Perlahan-lahan
tubuhnya turun ke atas tanah dengan sikap masih bersila dan tangan menakup di
bawah dagu. Orang ini seorang laki-laki berusia lanjut. Parasnya bulat dengan
kedua alis mata saling bertaut. Bibirnya tiada henti bergerak-gerak mengucapkan
sesuatu. Rambutnya panjang dikelabang dan dikalungkan
ke lehernya. Mengenakan jubah warna kuning
tanpa leher. Orang ini bukan lain adalah tokoh
rimba persilatan yang digelari orang Manusia
Dewa! *** SEBELAS EBERAPA saat lamanya Pendeta Sinting
terdiam seraya memandang tak berkedip ke
arah Manusia Dewa. Di hadapannya Joko
Bbergumamtakjelasmengisyaratkanbahwa
dia terkejut bercampur kagum.
Tiba-tiba kesunyian di tempat itu disentak
dengan suara tawa yang keluar dari mulut Pendeta Sinting.
Melihat Pendeta Sinting tertawa, mendadak Manusia Dewa buka mulut dan ikutikutan tertawa bergelak. Hingga sekejap kemudian di tempat itu riuh rendah
dengan suara tawa
bergelak-gelak, membuat Joko Sableng gelenggeleng kepaia. "Busyet! Apakah demikian sapaan jumpa antara tokoh-tokoh rimba persilatan"
Berha... ha... ha..., dulu sebelum berkata"!"
Begitu tawa keduanya berhenti, Pendeta Sinting
usap-usap kumisnya. Lalu terdengar suaranya.
"Hari baik, bulan baik. Hingga tak disangka kita jumpa lagi. Rasanya sudah lama
kita tak jumpa,
bagaimana" Apa kau baik-baik saja selama ini
sobatku, Manusia Dewa?"
Manusia Dewa condongkan kepalanya ke depan
dengan sedikit menunduk. Saat kepalanya ditarik kembali, terdengar dia berucap.
"Selama angin masih berhembus. Selama laut masih
bergelombang. Selama takdir manusia masih menggantung di langit. Tak ada yang tak
mungkin bila Dia menghendaki. Banyak perubahan
terjadi, namun seperti yang kau lihat tubuh tua ini baik-baik saja! Kau
sendiri"!"
"Ucapannya tak berubah dari dulu! Padahal aku tak mengerti maksud ucapannya.
Berhadapan macam orang begini mulutku jadi ngilu...," kata Pendeta Sinting. Lalu guru Joko
Sableng ini angkat bicara iagi.
"Begitulah. Seperti halnya kau, aku baik-baik saja...," sejenak Pendeta Sinting
putuskan kata-katanya. Sesaat kemudian menyambung. "Aku
sangat gembira bertemu denganmu lagi. Namun
tentunya ada hal penting sampai kau jauh-jauh
datang ke sini!"
Manusia Dewa tengadahkan kepala. Saat itu
matahari sudah hampir tenggelam, namun pantulan cahayanya masih menyeruak, dan perlahan-lahan rembulan tampak menapak langit
dari balik gumpalan awan di sebelah utara. Untuk beberapa lama Manusia Dewa
menatap bulan yang
baru muncul. "Takdir telah membawaku ke sini. isyarat alam menuntun pikiranku bahwa arakan
awan kelam mengambang di langit biru! Bumi jadi gelap
meskipun matahari bersinar! Rembulan bercahaya.
Tapi warna merah membuat cahayanya pudar!"
Pendekar Pedang Tumpui 131 terkesiap mendengar ucapan Manusia Dewa. Diam-diam dia
menduga-duga arti ucapan orang tua Itu. "Hem....
Nampaknya apa yang baru
saja dibicarakan
Pendeta Sinting benar adanya. Mendengar katakata kakek itu, sesuatu akan terjadi. Tapi apa..."!"
Joko berpaling pada gurunya. Yang dipandang
geleng-geieng kepala seakan menjawab apa yang
hendak ditanyakan Joko.
"Sobatku, Manusia Dewa," kata Pendeta Sinting pada akhirnya setelah diam
beberapa lama. "Apakah ucapanmu itu pertanda akan terjadi sesuatu hai yang luar biasa"!"
Manusia Dewa palingkan wajahnya menghadap
Pendeta Sinting. Kedua telapak tangannya tetap
menakup di bawah dagu.
"Sobatku, Pendeta Sinting. Aku tak berhak
menjawab ya atau tidak atas pertanyaanmu, itu
bukan kuasaku! Hanya saja, tanda-tanda alam tadi menunjuk ke arah pertanyaanmu.
Peristiwa besar!
Tanda-tanda itu mengarah ke sana!"
Pendeta Sinting memandang lekat-lekat pada
sahabatnya itu. Mulutnya komat-kamit dan bergetar, namun di lain kejap mulutnya telah
membuka perdengarkan suara tawa perlahan.
"Sobatku, Manusia Dewa. Anggaplah memang
Suatu peristiwa besar akan terjadi. Yang jadi
pertanyaan sekarang adalah peristiwa apa"! Apa
kau juga menangkap peristiwa besar apa yang
hendak terjadi"!"
"Jangan tanya apa yang akan terjadi, Sobatku.
Aku mungkin bisa menjawab semua pertanyaanmu, tapi menjawab apa yang akan
terjadi adalah bukan jadi hakku! Namun demikian, tanda-tanda zaman sedikit
banyak bisa menjawab
apa sebenarnya yang akan terjadi!"
"Sontoloyo benar! Ngomong sama dia aku jadi pusing sendiri!" rungut Pendeta
Sinting yang rupanya tak sabar dengan segala ucapan Manusia
Dewa. Penghuni jurang Tiatah Perak ini lantas
jerengkan sepasang matanya. Mulutnya membuka
hendak berkata, namun sebelum ucapannya keluar, Manusia Dewa telah berujar.
"Kau pernah dengar cerita tentang hura-hura besar yang terjadi ratusan tahun
silam di Pulau Biru"!"
"Pulau yang katanya dihuni oleh seorang sakti yang memiliki Kitab Serat Biru
itu" Memang, aku pernah dengar ceritanya. Tapi kurasa cerita itu hanya
mengada-ada saja! Ternyata hingga sekarang aku tak dengar seorang pun yang
mendapatkan kitab itu! Bahkan lambat laun cerita itu lenyap!" kala Pendeta
Sinting pula. Manusia Dewa tertawa pelan mendengar ucapan
Pendeta Sinting.
"Boleh aku tahu, sudah berapa tahun kau
mengasingkan diri tak terjun dalam belantara
persilatan"!"
Pendeta Sinting terdiam sejenak seolah mengingat. Lalu bergumam.
"Menurut perhitunganku sudah kurang lebih
dua puluh empat tahun!"
"Sobatku. Dua puluh empat tahun bukan waktu yang pendek. Masa selama itu telah
cukup untuk membuat suasana benar-benar berubah!"
"Maksudmu..."!"
"Dalam lima belas tahun terakhir ini, rimba persilatan diramaikan dengan
perburuan kaum persilatan untuk mendapatkan Pedang Tumpul
131 serta Kitab Serat Biru. Mungkin karena
Pedang Tumpul 131 sulit membuka rahasianya
karena si pembawa petunjuk lenyap berpindahpindah, orang rimba persilatan mengarahkan
pandangan dan telinganya pada Kitab Serat Biru, meski dengan diam-diam juga
menyelidik tentang
pedang pusaka itu!"
Pendeta Sinting dan Joko Sabieng terkejut.
"Manusia Dewa. Pedang Tumpui 131 sekarang .,"
Pendeta Sinting tidak meneruskan ucapannya.
"Aku tahu.... Pemuda di depanmu itu telah
berhasil mendapatkan pedang pusaka itu. Karenanya secara diam-diam aku mengikutinya.
Dan tak diduga jika dia orang yang dekat
denganmu. Aku gembira karenanya. Sengaja aku
mengikutinya untuk mengetahui siapa dia adanya.
Terus terang, mula-mula aku merasa cemas. Aku
khawatir pedang pusaka itu jatuh ke tangan orang yang tidak kita inginkan...."
"Dia muridku!" sahut Pendeta Sinting.
Manusia Dewa arahkan pandangannya pada
Pendekar Pedang Tumpul 131. Memperhatikan
lekat-lekat sebelum akhirnya berkata. "Syukur jika demikian. Hatiku sekarang
tenteram!"
"Kembali pada Kitab Serai Biru itu...," ujar Pendeta Sinting seakan tak sabar.
"Aku rasanya masih menyangsikan adanya!"
"Justru aku hampir
yakin adanya!" tukas
Manusia Dewa. "Dan entah siapa yang memulai, akhir-akhir ini beberapa tokoh
rimba persilatan telah muncul dan berbisik-bisik mencari jalan
mendapatkan kitab itu, malah sebagian telah
berada di sekitar pulau!"
"Kau tahu banyak tentang kitab itu"!" tanya Pendeta Sinting.
Manusia Dewa gelengkan kepalanya. "Tentang kitabnya, aku buta sama sekali. Hanya
yang kutahu sedikit tentang orang sakti itu. Menurut yang pernah kudengar dari orang
terpercaya, orang sakti itu bernama Ki Ageng Mangir Jayalaya. Tak jelas apa Ki
Ageng telah mati atau belum. Yang
pasti suatu keanehan melekat padanya!"
"Keanahan" Keanehan apa"!"
"Orang itu tubuhnya sebagian berada di atas dan sebagian di dalam tanah!"


Joko Sableng Ratu Pemikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendeta Sinting dan Joko Sableng tersentak
kaget mendengar keterangan Manusia Dewa. Mereka berdua seakan tak percaya.
Rupanya Manusia Dewa menangkap perasaan
orang, hingga tak lama kemudian dia mendehem
beberapa kali sebelum berkata.
"Inilah rimba persilatan. Dunia yang tak henti-hentinya
diselimuti beberapa keanehan yang rasanya tak masuk akal. Namun begitulah kenyataannya! Herannya, semakin aneh, semakin
menyedot perhatian orang dan mengundang orang
berlomba-lomba menguak misteri keanehan itu.
Mereka tak sadar, bahwa semakin terkuak, semakin remang-remang yang tampak. Lebih-lebih
mereka jadi lupa jika Sang Pencipta Alam lebih
daripada segala misteri di alam ini!"
"Ucapanmu benar...," desis Pendeta Sinting.
"Lantas apa yang terbaik yang harus kita lakukan sekarang"!"
"Manusia punya tugas mendamaikan umat.
Rimba persilatan tak akan damai jika masalah
Pulau Biru tak cepat diselesaikan!"
Pendeta Sinting komat-kamitkan mulut. "Jelasnya, kau mengajakku memburu kitab itu.
Begitu"!"
"Aku tidak mengajak. Manusia diberi kemampuan berbeda-beda. Hanya saja jika merasa
mampu kenapa tidak digunakan"!"
Pendeta Sinting menyeringai lalu menganggukangguk. Berpaling pada Joko Sabieng dan berkata.
"Kau telah dengar semua penuturannya. Bagaimana pendapatmu"!"
Pertdekar 131 tersenyum-senyum
sambil membatin daam hati. "Aku tahu. Dia akan
melimpahkan tugas ini kepadaku...."
"Sontoloyo!
Jangan cengengesan. Aku bersungguh-sungguh!"
bentak Pendeta Sinting meski kejap kemudian dia ikut-ikutan tersenyum.
"Sebaiknya kita memang menyelidik Pulau Biru itu
Guru..., rasa-rasanya ucapanmu tadi sebenarnya tidak menanyakan bagaimana pendapatku, namun menanyakan kesiapanku! Benar bukan?"
"Sontoloyo! Ternyata kau bisa menebak siratan ucapanku! Bagus kalau kau telah
mengerti!"
gumam Pendeta Sinting. "Kau bersedia bukan"!"
"Pedang Tumpul 131 ada di tanganku. Apa pun yang terjadi, aku siap
melakukannya!" ujar Joko pula.
Manusia Dewa mendehem, membuat Pendeta
Sinting dan muridnya berpaling.
"Anak Muda. Kuasai pikiran. Jangan mengandalkan benda ciptaan. Pedang di tanganmu
memang hebat, tapi jika pedang itu lenyap apa lagi yang kau andalkan" ilmu..."
ingat, Anak Muda. Di atas langit masih ada langit. Semakin dalam kita menggali
lubang semakin gelap yang kita lihat!"
"Kau dengar ucapannya, Sontoloyo"! Kau jangan sombong,
itu akan membawamu ke arah kegelapan!" desis Pendeta Sinting pada Joko, membuat Joko terpekur dan anggukanggukkan kepala. "Kurasa sudah lama kita bicara. Sekarang aku harus pergi. Jika guratan masih
menggariskan, tentu kita akan jumpa iagi...," habis berkata demikian, tiba-tiba Manusia Dewa
keluarkan suara tawa bergelak, membuat Pendeta Sinting dan JOKO
Sableng sama-sama tengadahkan kepala seraya
kerahkan tenaga dalam menangkis suara tawa
yang menusuk gendang telinga.
Karena suara tawa itu terus menggema tak
henti-henti, Pendekar Pedang Tumpul 131 segera
palingkan kepala ke arah di mana tadi Manusia
Dewa berada, sepasang mata Joko jadi terbeliak
dengan mulut menganga. Ternyata Manusia Dewa
tidak ada lagi di tempat itu! Padahal suara tawanya masih terdengar!
"Dia sudah tidak ada lagi, bukan"!" gumam Pendeta Sinting tanpa berpaling pada
Joko. "Benar. Padahal suaranya
masih terdengar
hingga sekarang!"
"Itulah. Manusia satu itu kepandaiannya memang sulit diukur!"
Sang guru lantas arahkan pandangannya pada
Joko. "Hem.... Kau memikirkan sesuatu"!"
"Aku kagum dengan ketinggian Ilmunya. Waktu terjadi bentrok tempo hari dia hanya
mendorong kedua telapak tangannya untuk menangkis serangan ganas. Nyatanya lawan dapat dibuat
roboh terluka dalam...."
"Aku tahu, kau menginginkan ilmu seperti itu bukan" Hem..,. Mudah saja asalkan
kau sudah dapat membutakan sepasang mata dan mata
hatimu! Mendengar ceritamu tadi, tampaknya
memerlukan waktu sangat panjang bagimu untuk
sampai ke sana...."
"Kenapa bisa begitu, Guru..."!"
"Selama hati masih kotor, selama mata masih tergiur melihat paha dan dada
apalagi pinggul yang bergoyang-goyang, simpan dulu keinginanmu!"
Joko Sableng menyeringai sambil garuk-garuk
leher. Dalam hati dia berbisik.
"Rasanya keinginan bukan saja hanya tersimpan, namun tak akan terjadi kenyataan.
Mataku rasanya gatal jika melihat dada dan paha.
Apalagi pinggul besar yang bergoyang-goyang.
He.... He....He...!"
"Sontoloyo! Apa kau sekarang sudah siap"!" tiba-tiba Pendeta Sinting
menyentakkan lamunan Joko.
"Kalau tak ada yang ingin dibicarakan lagi, aku siap, Guru!"
"Hem.... Mendengar keterangan Manusia Dewa apa yang akan kau hadapi bukan urusan
ringan! Selembar nyawamu jadi taruhannya. Muslihat licik dan tipu daya keji akan
menghadangmu! Meski
matamu tidak bisa dicegah dari melihat paha
mulus, dada membusung serta lenggak-lenggoknya
pinggul, tapi pikiran jernih dan kepala dingin
jangan sampai tergadai!"
"Akan kuingat selalu ucapanmu, Guru.... Aku pamit sekarang...."
Habis berkata, joko menjura dalam. Lalu bangkit dan di kejap kemudian lenyap
meninggalkan tempat Itu. "Mudah-mudahan
Sontoloyo itu kuat menghadapi tantangan! Hem.... Menurut Manusia
Dewa sekarang telah banyak muncul tokoh rimba
persilatan, membuatku ingin tahu. Memang tak
ada salahnya aku melihat-lihat dunia iuar yang
telah lama kutinggalkan. Gila! Kenapa aku jadi
ikut-ikutan bingung..." Apakah aku memang orang bingung" Bukan, bukan bingung,
tapi sinting. Ha.... Ha.... Ha...," Pendeta Sinting tertawa sendiri, lalu bangkit dan
berkelebat tinggalkan tempat itu.
*** DUABELAS AYANGAN biru berkelebat cepat laksana
busur anak panah melewati sela-sela jajaran
Bpohonhutanbelantaradisebelahtenggara
bukit Wono Ayu. Sampai pada ujung hutan yang
berbatasan dengan sebuah dataran luas dengan
gundukan tanah di sana-sini, bayangan biru
hentikan larinya.
Cahaya bulan yang menggantung di langit
membantu memperjelas siapa adanya sosok ini.
Ternyata dia adalah seorang perempuan berwajah
cantik jelita. Usianya kira-kira empat puluh
tahunan. Namun demikian, tubuhnya terlihat jauh lebih
muda dari usianya. Dadanya besar menantang dengan pinggul padat menggoda. Kulitnya putih dengan mata bulat. Rambutnya
panjang bergerai. Mengenakan pakaian warna biru tipis dan ketat dengan bagian
dada dibuat begitu rendah, seakan ingin menampakkan sembulan
payudaranya. Sejenak perempuan cantik yang tak lain Dewi
Asmara alias Ratu Pemikat ini menghela napas
panjang dalam-dalam. Dadanya bergerak turun
naik. Tangan kanannya lalu mengusap keringat
yang membasahi lehernya yang jenjang. Melihat
gerak-geriknya dia saat itu amat letih pertanda baru saja melakukan perjalanan
jauh. Namun keletihan itu tiba-tiba saja lenyap begitu sadar apa yang dilihat di hadapannya!
Malah tak sadar, dari mulutnya terlontar seruan tertahan.
"Gila! Apa aku tak salah alamat"!" gumamnya seraya beliakkan sepasang matanya
tak berkedip memandang pada dataran di depannya.
Dataran itu luasnya kira-kira delapan puluh
tombak berkeliling. Di sana sini banyak terlihat gundukan-gundukan tanah yang
panjangnya satu
setengah tombak membujur mirip gundukan makam. Memang itu adalah dataran yang dipenuhi
dengan makam, namun anehnya mayat yang
dimakamkan di situ tidak ditimbun masuk ke
dalam gundukan. Melainkan dibiarkan berserakan
di kanan kiri gundukan tanahi. Hingga dataran itu selain menyeramkan karena
banyaknya tulang dan
tengkorak yang berserakan, bau busuk melingkupi tempat itu!


Joko Sableng Ratu Pemikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gila! Bagaimana mungkin seorang anak manusia dapat tinggal di tempat yang begini
menyeramkan dan busuk. Aku saja rasanya ingin
muntah!" desis Ratu Pemikat seraya menahan napas.
"Seandainya tak ada masalah penting, aku ingin cepat pergi saja!" Ratu Pemikat
terus bergumam seraya arahkan pandangannya berkeliling. Meski
saat itu malam, namun karena rembulan bersinar
terang, sepasang mata Ratu Pemikat dapat melihat sampai
ujung dataran. Tapi sekian lama memandang rupanya dia tak menemukan apa yang
dicari di tempat itu.
"Aku tak melihat adanya sebuah tempat yang patut dihuni. Di mana aku dapat
menemukan Hantu Makam Setan itu" Atau jangan-jangan dia
telah berpindah tempat! Atau.... Ah, lebih baik aku mencoba berkeliling...."
Sambil membekap hidung dan telapak tangannya, perempuan cantik bertubuh montok ini melangkah memasuki dataran. Bulu
kuduknya merinding melihat berserakannya
tulang dan bangkai, namun perempuan ini terus melangkah
ke tengah-tengah dataran.
Sampai tengah dataran, kepalanya diputar berkeliling. Namun baru saja kepalanya bergerak setengah putaran, dari sebuah
lubang yang hanya samar-samar karena terlindung oleh gundukan di
kanan kirinya menderu gelombang angin dahsyat!
Mengarah pada perempuan berwajah cantik yang
tegak membelakangi lubang itu.
Meski terkesiap kaget karena tak menyangka
akan mendapat serangan, namun karena dia
sudah makan asam garam dan bertahun-tahun
malang-melintang
dalam rimba persilatan, membuatnya segera sigap dan seraya melirik dari mana asalnya serangan, perempuan
ini berkelebat ke samping. Serangan gelap menghajar angin
setengah tombak di samping kanan Ratu Pemikat
lalu menghantam gundukan tanah makam. Gundukan itu langsung terbongkar dan tanahnya
berhamburan! Tulang belulang di sekitar tempat
itu ikut tersapu dan kontan hancur berkepingkeping. "Sialan! Apakah dia..."!" desis Ratu Pemikat lalu seraya siapkan pukulan, dia
melangkah ke arah
datangnya serangan tadi. Baru saja kepalanya
melongok ke dalam lubang, dari arah belakangnya kembali menderu angin lebih
dahsyat dari yang
pertama! "Keparat!" maki sang ratu seraya berbalik dan buru-buru menyingkir. Mungkin karena geram,
kedua tangannya yang sudah siap lepaskan
pukulan dihantamkan ke arah sumber serangan.
Wuuuttt! Bluuurrr! Lubang di mana serangan tadi bersumber
langsung porak-poranda. Gundukan di sekitar
lubang pun ambyar ke udara. Bersamaan dengan
itu dari dalam lubang yang terbongkar melesat
sesosok bayangan dengan perdengarkan dengusan
keras lalu makian panjang pendek.
Ratu Pemikat tengadahkan kepala mengikuti
lesatan sang bayangan. Ketika matanya menangkap gerakan tangan sang bayangan yang
hendak lepaskan pukulan, Ratu Pemikat segera
berseru keras. "Hantu Makam Setan! Tahan serangan. Aku Ratu Pemikat!"
Bayangan yang masih melayang di udara kembali perdengarkan makian tak karuan, namun
kedua tangannya yang tadi hendak lepaskan
pukulan diurungkan.
"Dia mengenaliku Hem.... Dia sebutkan diri Ratu Pemikat. Aku dengar tentang
gelar itu. Tapi ada apa dia menggangguku" Padahal aku belum
pernah jumpa dengan yang namanya Ratu Pemikat!" sang bayangan membatin, lalu turun dan tegak sembilan langkah di
hadapan Ratu Pemikat.
"Hem.... Memang dia!" ujar Ratu Pemikat lirih tatkala
sang bayangan tadi telah tegak di hadapannya dan dia dapat mengenalinya.
Dia adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi
besar. Mengenakan jubah warna merah. Parasnya
bulat besar dengan kulit amat tipis. Matanya besar dan menjorok masuk dalam
cekungan tulang yang
dalam. Alis Matanya tebal dengan rambut disanggul ke atas. Laki-laki ini makin angker jika orang memandang hidungnya.
Karena ternyata
laki-laki ini hanya memiliki hidung separo. Separonya hanya merupakan cekungan dalam!
Namun demikian, dari cekungan hidungnya itu
menghembus angin deras ketika dia bernapas!
Laki-laki ini bukan lain adalah dedengkot rimba persilatan yang sangat ditakuti,
yakni Hantu Makam Setan. Untuk beberapa saat, sepasang mata Hantu
Makam Setan memandang tak berkedip ke arah
Ratu Pemikat. Alis matanya terangkat, mulut
komat-kamit. Dadanya berdebar keras melihat
busungan dada satengah menyembul dari perempuan di hadapannya.
"Kau!" tiba-tiba Hantu Makam Setan keluarkan suara setelah agak lama terdiam
menguasai debaran dadanya.
Begitu Ratu Pemikat melihat Hantu Makam
Setan telah mengenalinya, perempuan ini tersenyum. "Bukankah kau Dewi Asmara...?"
"Tak salah!"
"Tadi kau sebutkan diri dengan Ratu Pemikat.
Jadi...," Hantu Makam Setan tak teruskan ucapannya. "Ratu Pemikat
adalah Dewi Asmara. Tapi sudahlah! Soal gelar tak perlu diperdebatkan. Ada masalah lain yang lebih
penting!" sahut Ratu Pemikat
seraya maju tiga langkah. Dada perempuan ini terlihat naik turun karena sejak tadi menahan bau busuk yang
menebar di tempat itu.
Membuat Hantu Makam Setan makin membeliakkan mata.
"Hantu Makam Setan. Kau masih ingat pengejaran kita terhadap Malaikat Lembah Hijau
beberapa tahun silam?"
"Hemmm...," Hantu Makam Setan menggumam.
"Bangsat yang tewas masuk jurang itu"!"
"Ingatanmu masih bagus! Tapi dugaanmu salah!"
tukas Ratu Pemikat.
Hantu Makam Setan terperanjat. Sebelum d!a
berkata lagi, Ratu Pemikat telah menyambung
ucapannya. "Ternyata Malaikat Lembah Hijau tak tewas!"
"Dari mana kau mengetahuinya" Kau jumpa
dengannya"!"
Ratu Pemikat gelengkan kepalanya. Lain ajukan
pertanyaan lagi. "Apa kau juga masih ingat anak laki-iaki yang ikut masuk jurang
bersama Malaikat Lembah Hijau"!"
"Aku ingat! Lalu apa hubungannya"!"
"Aku menduga Malaikat Lembah Hijau masih
hidup dari anak laki-laki itu. Anak itu masih hidup dan kini telah besar. Dia
tampaknya membekal
ilmu tinggi. Labih dari itu semua, dia ternyata berhasil mendapatkan Pedang
Tumpui 131!"
Ratu Pemikat sudah menduga jika Hantu Makam
Setan akan terkejut mendengar keterangannya.
Namun dugaannya meleset. Hantu Makam Setan
tak menunjukkan rasa terkejut, membuat Ratu
Pemikat kernyitkan kening dan menduga-duga apa
sebabnya. "Apa kau telah mendengar semua ini sebelumnya"!"
tanya Ratu Pemikat coba menyelidik. Hantu Makam Setan gelengkan kepala. "Sudah hampir empat belas bulan aku
menyendiri. Dan
baru malam ini aku keluar dari tempatku!"
"Kau dulu tampaknya begitu menggebu untuk
merebut pedang itu. Hal apa yang membuat kau
sekarang berubah" Pedahal pedang itu sekarang
tinggal merebutnya!" Ratu Pemikat terus mendesak ingin tahu perubahan pada lakilaki berhidung sebelah ini. Hantu Makam Setan tertawa pelan namun
panjang. Seraya menatap pada dada perempuan di
hadapannya, dia berujar.


Joko Sableng Ratu Pemikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pedang Tumpul 131 boleh hebat. Tapi belum tentu menang jika dibanding dengan
Kitab Serat Biru!" "Aha.... Tampaknya kau termakan juga dengan cerita isapan jempoi itu!
Jadi itukah yang membuatmu berubah" Dengar, Sobatku. Pedang
Tumpui 131 sudah nyata adanya. Sedangkan Kitab
Serat Biru masih teka-teki. Adakah kau memilih
yang kedua"!"
Hantu Makam Setan tertawa kembali seraya
menggeleng-geleng.
"Apakah jika tokoh-tokoh dedengkot rimba persilatan rela menyabung satu-satunya nyawa
yang dimiliki demi sesuatu, sesuatu itu masih
teka-teki..." Tidak! Sesuatu itu pasti adanya!
Mereka yang mengatakan bahwa cerita tentang
kitab itu isapan jempol pasti bertujuan agar jalan mereka mulus tanpa banyak
orang yang terlibat!"
Mendengar ucapan Hantu Makam Setan, Ratu
Pemikat terdiam. Keyakinannya semula jika Kitab Serat Biru cerita isapan jempol
perlahan-lahan sirna. Apalagi jika ditambah dengan kabar yang
kini terdengar santer jika para dedengkot persilatan mulai kasak-kusuk membicarakan kitab itu. Malah beberapa tokoh yang
telah lama menghliang kini banyak berkeliaran lagi. Di antara yang jelas ditemuinya adalah
Manusia Dewa dan
Maut Mata Satu.
"Dewi Asmara...," kata Hantu Makam Setan menyentak lamunan sang perempuan.
"Tentunya ada maksud penting hingga kau jauh-jauh datang
ke dataran Makam Setan ini. Katakan apa
maksudmu! Atau kau hanya ingin memberitahukan tentang telah diketemukannya
pedang itu"!"
Sesaat Ratu Pemikat berpikir. Dia sebenarnya
ingin minta bantuan setidak-tidaknya mengajak
bergabung Hantu Makam Setan untuk merebut
Pedang Tumpul 131 dan membunuh Manusia
Dewa, namun sebagai tokoh yang lama malangmelintang dia pantang berterus terang mengatakannya. Dia tak mau dikatakan sebagai
orang yang kurang ilmu, apalagi oleh orang satu golongan!
Melihat Ratu Pemikat tak segera menjawab
pertanyaannya, Hantu Makam Setan segera dapat
menangkap apa yang dipikirkan perempuan itu.
Seraya menyeringai dia akhirnya berkata.
"Aku menduga kau ingin mengajakku bergabung untuk memburu pedang itu. Benar"!"
"Karena orang yang memburu Maiaikat Lembah Hijau hingga orang itu masuk jurang
adalah kau dan aku, maka aku pikir tak ada salahnya jika kita menyelidik bersama-sama!
Kalau sekarang ada dua masalah besar, itu sangat kebetulan sekali. Kalau kau
menginginkan kitab itu aku akan membantu,
sebaliknya kau juga harus membantuku untuk
merebut pedang itu!"
Hantu Makam Setan kembali keluarkan tawa
bergelak. "Aku meiihat nada ketakutan pada ucapanmu.
Mau mengatakan apa sebabnya" Karena terus
terang empat belas bulan terakhir ini aku tak tahu perubahan dalam rimba
persilatan. Biasanya,
dalam situasi berselimut begini, satu hari saja bisa terjadi perubahan besar!"
"Hantu Makam Setan!" tiba-tiba Ratu Pemikat berkata
dengan suara agak tinggi, karena dikatakan takut. "Aku tak pernah takut menghadapi segaia hal! Aku punya kepandaian!
Hanya yang perlu kau ketahui, sekarang telah
muncul beberapa tokoh rimba persilatan yang
sebelumnya diduga orang tak mungkin muncul
lagi!" "Hem.... Begitu" Berarti kegegeran besar benar-benar akan segera terjadi.
Peristiwa besar ratusan tahun yang lalu akan terulang kembali...," gumam Hantu
Makam Setan acuh tak acuh dengan
kegeraman Ratu Pemikat.
"Hantu Makam Setan! Bagaimana" Apa kita jadi menyelidik bersama-sama?"
"Hem.... Perempuan macam dia banyak tipu
muslihatnya. Dulu waktu mengejar Maiaikat Lembah Hijau dia mengatakan punya dendam
dengan Malaikat Lembah Hijau. Sekarang tanpa
disadari dia membuka kedoknya sendiri jika
pengejaran itu karena ingin pedang pusaka itu.
Bergabung dengannya akan menyusahkan saja.
Apalagi urusan Kitab Serat Biru bukan masalah
main-main. Hem.... Sebenarnya dengan bergabung, setidaknya aku bisa mencicipi
tubuhnya, tapi sementara ini Kitab Serat Biru lebih dari segalanya!" kata Hantu Makam Setan dalam hati.
Lalu tengadahkan kepala dan berkata.
"Dalam banyak hal, kita memang punya kepentingan sama. Tapi tidak untuk urusan Kitab Serat Biru. Biarlah untuk
masalah ini aku
menyelidik sendiri!"
"Jahanam! Dia menolak tawaranku. Atau mungkin dia pura-pura menolak karena di balik itu ingin...," Ratu Pemikat tak
meneruskan kata hatinya. Bibir perempuan berwajah cantik Ini
sunggingkan senyum. Laiu dia melangkah ke arah
Hantu Makam Setan dengan bibir setengah dibuka
dan mata sedikit memejam. Dadanya dibusungkan,
hingga makin menyembul!
Perempuan ini bersikeras mengajak bergabung
Hantu Makam Setan karena dia sadar, tokoh yang
bakal menghadang adalah para dedengkot rimba
persilatan yang kemampuannya tidak disangsikan
lagi. Tiga langkah di depan Hantu Makam Setan, Ratu
Pemikat hentikan langkah. Dari sudut matanya
yang setengah memejam dia memandang lekatlekat pada laki-laki berhidung sebelah ini.
"Kau menolak menyelidik bersama-sama, Hantu Makam Setan...?"
"Bededah! Dia rupanya mulai pasang perangkap.
Tapi jangan mimpi aku akan masuk jaring labalabanya!" "Dewi Asmara...," bisik Hantu Makam Setan dengan suara bergetar menindih gejolak
nafsu yang mau tak mau mendera dadanya juga melihat
tingkah perempuan di hadapannya. "Urusan di depan begitu besar. Kalau kau mau
bersenang-senang denganku, datanglah setelah urusan ini
selesai. Aku akan membuatmu tak sempat mengenakan pakaian selama satu purnama penuh!" Dada Ratu Pemikat bergerak turun naik dengan
keras. Bukan karena gejoiak nafsu meiainkan
geram mendengar kata-kata Hantu Makam Setan.
Tanpa buka suara lagi, kedua tangannya bergerak menghantam ke depan!
Wuuuttt! Wuuutit!
Namun Ratu Pemikat tersentak sendiri. Kedua
tangannya hanya menghantam angin. Karena
waktu menghantam kedua matanya setengah
memejam, perempuan ini tak tahu jika begitu
Hantu Makam Setan selesai berkata, laki-laki ini cepat melompat ke belakang lalu
masuk dalam lubang dan lenyap seakan ditelan bumi!
Seraya memaki, Ratu Pemikat buka kedua matanya. Begitu tak melihat Hantu Makam Setan,
kemarahan perempuan ini makin menggebu. Sejenak matanya liar memandang kian kemari.
Lalu berkelebat ke arah lubang di mana Hantu
Makam Setan keluar. Perempuan ini terlihat
bimbang, karena lubang itu tampak gelap dan
berkelok. "Tak ada gunanya kukejar masuk. Aku masih
bisa mencari orang iain untuk urusan ini. Bangsat ini tak lama lagi pasti keluar
menyelidik Kitab Serat Biru. Hem...," Ratu Pemikat condongkan kepalanya ke
lubang. Di kejap kemudian terdengar teriakannya.
"Hantu Makam Setan! Kau akan menyesal
karena tindakan bodohmu! Ingat! Saat kau keluar dari lubang busuk ini, Ratu
Pemikat adalah orang pertama yang menginginkan selembar nyawamu!"
Ratu Pemikat mengharap ada sahutan dari
dalam lubang. Namun apa yang diharap tak jadi
kenyataan, membuat perempuan bertubuh sintal
ini makin marah.
"Keparat Jahanam!" bentaknya seraya menarik kepalanya. Kemarahannya dilampiaskan
pada apa yang ada di depannya. Kedua tangannya diangkat
tinggi-tinggi. Karena di depannya adalah lubang di mana Hantu Makam Setan masuk,
lubang itu segera dihantamnya!
Byuuurrr! Lubang itu langsung terbongkar. Tanahnya
berhamburan ke udara dan sebagian jatuh menimbun ke dalam lubang, hingga tatkala suasana sirap, lubang itu lenyap berganti dengan tanah berserakan. Sosok Rat
Pemikat pun tak
tampak lagi di dataran Makam Setan itui
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Molan_150
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
PENDEKAR PEDANG TUMPUL 131
JOKO SABLENG Segera terbit: seriai Joko Sableng Pendekar Pedang Tumpul 131
dalam episode :
RAHASIA PULAU BIRU
Seruling Samber Nyawa 1 Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo Pendekar Super Sakti 20

Cari Blog Ini