Ceritasilat Novel Online

Ratu Peri Selat Sunda 1

Dewi Ular Ratu Peri Dari Selat Sunda Bagian 1


Seri Dewi Ular-Tara Zagita
Ratu Peri Dari Selat Sunda
Karya : Tara Zagita
Sumber DJVU : Anuraga
Editor : Anuraga
Ebook oleh : Dewi KZ
TIRAIKASIH WEBSITE
http://kangzusi.com/ & http://dewikz.com
http://kang-zusi.info
RATU PERI DARI SELAT SUNDA
oleh Tara Zagita
Cetakan pertama
Gambar sampul oleh Cici
Penerbit Sinar Matahari, Jakarta
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
All rights reserved
-o0o))((dw))((o0o1 Awang mempunyai seorang kakek yang aneh. Setiap kakek itu mati, dan mayatnya
terkena tetesan air hujan, ia dapat hidup kembali. Sampai akhirnya Kakek Somo
berhasil dikubur dengan sempurna walau mereka harus berpacu dengan hujan.
Apa sebenarnya yang membuat Kakek Somo sam-pai mati empat kali" Kata Badri, di
dalam kamar peninggalan bekas Kakek Somo itu pasti ada benda pusaka.
Satu-satunya barang peninggalan Kakek Somo adalah kacamata hitam model kuno.
Awang mengalami keanehan pada saat ia
mengenakan kacamata tersebut. Sosok wanita cantik muncul memikat hati dan
membuat Awang jadi rindu setengah mati. Tapi sekarang kacamata itu dicuri
seseorang, dan rhenjadi bahan rebutan, sehingga menimbulkan banyak
Apa kehebatan kacamata hitam itu sebenarnya"
Awang merahasiakannya, namun toh para pencuri kacamata itu mengetahuinya,
sehingga timbul pula korban-korban cinta, tumbal-tumbal kemesraan. Dan yang
terakhir, Awang sendiri yang akan menjadi tumbal berikutnya. Lalu, bagaimana
cara menghindarinya jika Awang hanya punya tempo seperempat hari"
-o0o))((dw))((o0oJenazah diturunkan ke liang kubur. Awan hitam semakin tebal menggantung. Hujan
belum turun. Para
pelayat berwajah cemas. Ada apa" Seolah-olah mereka tergesa-gesa. Mereka yang
bertugas menurunkan jenazah tampak gelisah. Sebentar-sebentar memandang ke atas.
Sepertinya mereka takut kehujanan. Atau barangkali mereka berpacu dengan hujan"
"Wah, gawat nih...!"
Gumam lirih dari mulut Awang terdengar. Nadanya cemas. Matanya melirik ke
langit. Hal itu membuat Badri heran. Badri teman kampus Awang. Badri berdiri di
sebelah Awang. Ia melihat sekejap, lalu berbisik dengan mata kembali
memperhatikan para petugas pemakaman mayat.
"Kenapa sih kok kayaknya orang-orang tegang menghadapi pemakaman ini?"
Belum sempat Awang menjawab, ada seseorang yang nyeletuk agak keras, "Cepat
sedikit, Bang. Nanti kita terlambat lagi!"
Yang nyeletuk itu dikenal sebagai pamannya Awang.
Badri semakin heran. Wajah-wajah duka tak tampak jelas di keluarga Awang. Awang
sendiri sepertinya hampir lupa dengan kedukaannya."Udah, buruan ditimbun tanah!"
celetuk seorang lelaki yang dikenal sebagai saudara sepupu Awang.
Entah apa yang terjadi, tampaknya para petugas penguburan menjadi resah dan
sedikit gaduh. Ada kesibukan yang tampaknya terjadi di luar dugaan. Ricuh di
sekitar liang kubur. Beberapa orang yang hadir di situ juga ikut ricuh, ikut
melongok ke liang kubur.
"Ada apa tuh...?" bisik Badri kepada Awang. Mereka tetap berada di bawah pohon
kamboja besar, agak jauh dari liang kubur.
Keadaan itu membuat Badri penasaran dan ingin mendekat, tapi tangan Awang
mencekal lengannya.
"Di sini aja!"
"Gue pingin lihat kericuhan apa yang terjadi di sana itu!"
"Biasa!"
"Biasa gimana sih?"
Ada sesuatu yang ingin dijelaskan Awang, tapi agaknya pemuda berambut ikal itu
ragu-ragu. Badri menunggu penjelasan tersebut sambil menatap Awang.
Lama-lama Awang risih ditatap terus, karenanya ia pun berkata, "Lihat saja sana
deh...!" Badri memang penasaran. Perintah itu seperti sebuah dorongan yang membuat lebih
penasaran. Maka, Badri pun mendekati liang kubur. Ia melongok di sela kepala
orang-orang. Oh, rupanya liang yang dipakai mengubur kakeknya Awang itu mengeluarkan mata
air. Becek. Bahkan sekarang sudah menggenang. Badri heran. Hujan belum datang
tapi air sudah menggenang di dalam liang kubur.
Kok bisa begitu"
"Air dari mana sih itu?" tanya seeorang yang tidak dikenal oleh Badri, lalu
orang lain menjawab, "Dari dalam tanah!"
Seorang perempuan separuh baya mengeluh, "Ah, lagi-lagi begini!"
"Jangan-jangan batal lagi nih?" ujar seorang ibu berkerudung kain hitam,
tetangganya Awang.
Mendengar percakapan itu, Badri segera menemui Awang yang sejak tadi tidak mau
mendekati liang kubur.
Sebelumnya Badri sempat melihat liang kubur itu semakin banyak digenangi air.
Mayat terpaksa dinaikkan kembali. Seseorang berseru memerintahkan agar air
tersebut dikeringkan dulu. Dikuras. Kemudian, petugas penggali kubur yang
berbadan kurus dan bermuka cekung itu mengambil ember kecil. Ember plastik.
Lalu, ia mengeluarkan air yang menggenang di tempat di mana jenazah akan
disemayamkan. "Wang," bisik Badri. "Kuburan kakek elu digenangi air!"
Awang hanya menggumam. Mulai tampak sedikit dongkol. Pasti dongkol dengan
keadaan sore itu.
Sebentar-sebentar ia memandang ke langit. Mendung makin tebal. Hitam. Gelap
suasananya. Kilatan cahaya petir sesekali berkerlip, bagai menoreh langit.
Sementara angin bertiup cukup kencang. Namun tidak menjadi badai.
Selendang dan kerudung hitam para pelayat
perempuan tertiup angin. Malahan tadi ada yang terbang dari kepalanya. Rambutrambut panjang pun meriap-riap dipermainkan angin. Seorang bapak yang tadi
mengenakan topi, sekarang sudah tidak lagi, sebab topinya ikut terbang dan jatuh
di tempat becek.
"Suasana ini cukup aneh bagiku," ujar Badri pelan.
"Apakah kamu pernah mengalami suasana penguburan kayak gini?"
"Sudah empat kali!" jawab Awang datar.
"Empat kali" Maksudmu..."!" Badri berkerut dahi.
"Sudah empat kali kakekku mati dan pada saat dikuburkan suasananya jadi begini."
"Ah, masa'" Apakah dulu juga liang kuburnya digenangi air?"
Awang mengangguk.
"O, pantas wajah-wajah kalian pada cemas. Takut kalau jenazah kakekmu bangkit
lagi, ya?"
Awang mengangguk dan berkata, "Jangan sampai hujan turun aja!"
"Kalau hujan turun bagaimana?"
"Dia bangkit lagi!"
"Ah...!" Badri mulai merinding. "Apa biasanya begitu?"
Napas ditarik panjang-panjang. Agaknya Awang tidak bisa menyembunyikan sesuatu
yang jadi rahasia keluarganya. Ia pun berkata kepada Badri dengan suara pelan,
"Kek Somo pernah berpesan kepada keluargaku, kalau dia mati, usahakan jenazahnya
jangan sampai kena air hujan. Mulanya kami tidak terlalu menghiraukan kata-kata
itu. Pertama ia meninggal, pada dua tahun yang lalu. Jenazahnya kehujanan
sewaktu dibawa ke pemakaman. Dan mayat itu bangun lagi. Ia hidup kembali sampai
tiga bulan kemudian ia kembali meninggal. Pada waktu mau dimasukkan ke liang
kubur, hujan turun dan ia hidup kembali. Begitu seterusnya sampai empat kali."
"Gila...!" gumam Badri pelan, seperti gumam. Ia makin merinding mendengar cerita
itu. Awang melanjutkan kata-katanya, "Saat ini adalah kematiannya yang kelima. Kalau
sekarang ia terkena air hujan, maka ia akan hidup kembali. Padahal usianya sudah
hampir seratus lima puluh tahun kurang sedikit."
"Ck, ck, ck...!" Badri berdecak sambil geleng- geleng kepala.
"Biasanya liang kuburnya akan mengucurkan air dari dalam tanah, air akan
menggenang. Orang-orang terpaksa menguras air tersebut, supaya mayat Kakek tidak
kebasahan. Tapi biasanya, pada saat mereka sibuk menguras air, hujan turun
rintik-rintik... dan mau tidak mau jenazah Kakek kehujanan. Kalau sudah begitu,
maka ia akan bangkit lagi. Tak jadi mati. Entah untuk berapa bulan ia hidup."
"Kakekmu orang sakti, ya?"
Awang diam. Tak bisa menjawab, la hanya menghela napas lagi.
Seseorang berseru di dekat liang kubur, "Udah, udah...! Cukup deh! Sekarang
mayatnya dimasukkan...!"
Badri buru-buru mendekati liang, melongok ke bawah.
Oh, masih ada sisa air. Rupanya para pengubur bersepakat untuk nekat menguburkan
mayat Kakek Somo dalam keadaan tanah tidak sekering biasanya.
Gelegar suara guruh bersahutan. Angin makin kencang. Mereka benar-benar cemas.
Takut hujan turun.
Tak heran jika mereka bergerak cepat. Mayat diletakkan
pada posisi semestinya, kemudian papan-papan penutup ditata rapi di bagian atas
mayat. "Wah, sudah gerimis nih...!" seseorang berseru sambil melihat butiran air yang
jatuh di lengan kirinya.
Para pengubur semakin bergerak cepat. Papan selesai ditutupkan secara rapat dan
teratur. Lalu, mereka buru-buru pula menimbun liang kubur itu dengan tanah di
sekelilingnya. Bahkan beberapa orang, termasuk pamannya Awang, ikut membantu
menimbunkan tanah supaya cepat.
Memang, dalam waktu singkat akhirnya kuburan tersebut rapat ditimbuni tanah.
Menggunduk. Lalu, bunga pun ditaburkan di atas kuburan baru itu. Dan, hujan
mulai turun berupa gerimis. Tak sempat ada acara ini-itu. Mereka bergegas ke
tempat teduh. Ada yang langsung masuk ke mobilnya, ada yang berdiri di bawah
pohon, menunggu para penggali kubur selesai merapikan makam.
Kurang dari dua menit, kilat berkelebat bagai merobek langit. Suaranya
menggelegar mengagetkan. Lalu, gemuruh hujan terdengar datang dari arah selatan.
Suara itu semakin dekat, dan akhirnya tempat tersebut diguyur air hujan dengan
deras. Bresss...! "Cepat masuk ke mobil ambulans itu!" kata Awang.
"Ke mobil jenazah, maksudmu" Ah, jangan ke sana!
Kita berteduh di warung ujung jalan itu saja yuk! Aku ngeri masuk ke mobil yang
habis dipakai mengangkut jenazah kakekmu...!"
Malam tiba. Badri ingin menemui Awang di rumahnya.
Tapi ada perasaan takut. Ya. Takut kalau tahu-tahu Kakek Sumo datang ke rumah
itu dalam keadaan berlumur tanah kuburan. Ih, mengerikan sekali jika
dibayangkan. Karenanya, Badri lebih baik pamit, pulang ke tempat kostnya.
Kakek Somo sebenarnya bukan kakek kandung
Awang. Kakek Somo adalah kakak dari kakek
kandungnya Awang. Jadi, papanya Awang punya paman Kakek Somo. Sedangkan kakeknya
Awang yang asli sudah lama meninggal,yaitu sewaktu Awang masih di bangku SMU.
Setahu Awang, kakak dari kakek kandungnya itu sejak dulu tidak punya tempat
tinggal. Konon hidupnya selalu numpang di rumah-rumah saudaranya. Yang terakhir
numpang ikut papanya Awang sejak Awang masih di bangku kelas satu SMP.
Kabarnya, Kakek Somo sejak dulu tidak pernah menikah. Waktu Awang masih SMU
pernah bertanya apa sebab Kakek Somo tidak menikah" Kakek berbadan kurus itu
menjawab, "Kakek pernah patah hati. Sampai sekarang tidak punya minat untuk
mempunyai seorang istri."
Jawaban itu sebenarnya jawaban klise. Tapi anehnya waktu itu Awang tidak
mendesak atau membantah.
Awang hanya manggut-manggut saja. Percaya bulat-bulat apa yang dikatakan oleh
Kakek Somo. Apalagi Kakek Somo waktu itu bilang, "Biar Kakek tidak punya istri,
tidak punya anak, tidak punya cucu, tapi papa dan mamamu itu sudah Kakek anggap
anak sendiri, dan
kamu serta adik-adikmu itu sudah Kakek anggap cucu sendiri...."
Awang juga tidak punya pikiran apakah kakeknya itu orang sakti atau orang biasabiasa saja. Sebab, sejak ia hidup bersama Kakek Somo, ia juga belum pernah
melihat kesaktian kakeknya itu. Yang ia tahu, Kakek Somo adalah seorang
pensiunan masinis kereta api, yang tiap bulan dapat jatah uang pensiun. Uang itu
pun tidak digunakan untuk membeli rumah, atau membeli kebutuhan hidupnya,
melainkan diserahkan kepada mamanya Awang.
Hanya saja yang pernah diingat oleh Awang,
sepanjang hidup Kakek Somo tidak pernah sakit. Batuk, itu sekali dua kali saja.
Pilek atau flu, itu kalau kehujanan. Dan biasanya tak pernah sampai tiga hari
sudah sembuh. Sakit kencing manis, tidak pernah. Darah tinggi, ginjal, lever,
dan yang lainnya, tidak pernah.
Malahan pada waktu beliau berusia seratus tahun, beliau masih bisa membaca tanpa
menggunakan kacamata.
Awang juga ingat, kesukaan Kakek Somo adalah jalan-jalan di sore hari dengan
menggunakan kacamata hitam.
Sering Awang meledeknya jika Kakek Somo memakai kacamata hitam sambil jalanjalan. "Tuh lihat... Kakek sedang ngeceng...!"
Kadang jalan pagi, jalan malam, kacamata hitam itu sering dipakainya. Agaknya
merupakan suatu
kebanggaan tersendiri buat, Kakek Somo jika ia mengenakan kacamata hitam. Ia
sering tertawa atau tersenyum sendiri, dan tidak menghiraukan ejekan cucucucunya. "Kakek mengenang masa mudanya," kata papanya Awang ketika itu. "Sebab, menurut
kakek kalian yang asli, Kek Somo waktu masih mudanya gemar nampang pakai
kacamata hitam. Biasanya kalau sudah pakai kacamata hitam beliau jalan-jalan di
depan asrama KNIL, atau di depan rumah noni-noni Belanda."
Satu hal lagi yang diingat oleh Awang tentang kebiasaan Kakek Somo adalah sering
bersiul-siul sendirian, walaupun usianya sudah seratus tahun lebih.
Awang menganggap, bersiul adalah salah satu hobi Kakek Somo yang tak bisa
ditinggalkan. Pernah Awang mendengar percakapan antara Mira, adiknya nomor dua, dengan Kakek
Somo di suatu hari, ketika Kakek Somo masih hidup. Waktu itu Mira bertanya,
"Kakek punya ilmu nggak sih?"
Kakek Somo menjawab seenaknya, ' Ya tentu saja punya. Kalau nggak punya ilmu,
bagaimana aku bisa menghitung uang pensiunku?"
"Maksudku, ilmu mistik!"
Kakek Somo tertawa terkekeh. "Kenapa kamu tanya-tanya begitu?"
"Kalau punya, aku ajarin dong. Aku kepingin punya ilmu deh!"
Lalu, waktu itu Awang menimpali, "Hei, ngapain cewek kepingin punya ilmu mistik"
Mau melet cowok, ya"
Huhhh..... !"
"Suka-suka gue dong!" kata Mira kepada kakaknya.
Kemudian Kakek Sumo ketawa lagi. Kakek Somo bilang, "Belajar yang rajin, tekun,
maka kamu akan jadi
orang pintar. Itulah ilmu yang menjadi bekal hidupmu nanti...!"
Siapa yang tahu latar belakang kehidupan Kakek Somo semasa mudanya, adalah kakek
kandung Awang sendiri, yang sering dipanggi Kakek Dipa. Sayang sekali Kakek Dipa
lebih dulu meninggal dunia, sehingga sekarang Awang tidak bisa memperoleh cerita
lengkap tentang masa lalunya Kakek Somo.
Tetapi Awang ingat kata-kata Badri, "Pasti di kamar itu ada pusaka peninggalan
Kakek Somo. Coba cari deh!"
Itulah sebabnya malam itu Awang secara diam-diam masuk ke kamar Kakek Somo. Ia
merinding saat baru saja masuk dan menutup pintu. Jelas pintu harus ditutup
lagi, supaya tidak ada adik-adiknya yang melihat bahwa ia ada di bekas kamar
Kakek Somo. Barang-barang peninggalan Kakek Somo tidak banyak, duga tidak punya harga jika
dijual di tukang loak. Paling-paling yang berharga hanyalah pakaian-pakaian
bekas, itu pun berpotongan kuno. Satu-satunya kemeja yang masih baru adalah
kemeja lengan panjang warna krem.
Itu kemeja pemberian dari pamannya Awang, setahun yang lalu.
Di bekas kamar Kakek Somo ada dua koper. Keduanya termasuk jenis koper butut.
Ada juga sebuah tas kulit, isinya hanya alat-alat pancing. Awang jadi ingat,
bahwa Kakek Somo dulu punya kegemaran memancing sambil pakai kacamata hitam.
Tapi sejak sekitar usia sembilan puluh tahun, hobi mancingnya itu sudah lebur.


Dewi Ular Ratu Peri Dari Selat Sunda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Paling-paling ia membaca koran atau majalah di serambi samping.
Ada meja kecil. Di atas meja kecil itu ada jam beker.
Kuno. Warnanya sudah banyak yang mengelupas.
Logamnya berkarat, tapi jarumnya masih berjalan normal. Andai dijual hanya laku
lima ratus rupiah, itu sudah untung.
Awang mencoba membuka koper warna biru lusuh, yang pinggirannya sudah jebol
sedikit. Koper itu berisi pakaian dan buku-buku kuno, semacam catatan harian.
Tulisannya sudah kabur dan tak bisa dibaca lagi.
Sebagian pakaiannya ada yang sudah dimakan ngengat.
Di koper itu juga ada almanak tahun seribu sembilan ratus empat puluh enam.
Entah apa maksudnya almanak itu disimpannya. Awang tidak bisa memahami, sebab
tidak ada tulisan atau catatan apa-apa.
Koper kedua dibuka. Koper itu warnanya merah tua, lusuh, dan robek bagian
belakangnya. Isi koper itu adalah pakaian seragam semasa beliau menjadi masinis
kereta api, sebuah kotak kayu yang berisi kacamata hitam dan korek api berkarat.
Mungkin sebuah kenang-kenangan dari seorang sahabat.
Kolong ranjang diperiksa, tidak ada apa-apa. Almari dibuka, tidak ada benda apa
pun kecuali pakaian dan kaos sehari-hari. O, ada pipa tembakau, tapi sudah
patah. Tidak berharga. Dari semua barang yang ditemukan di kamar itu, hanya
kacamata hitam yang sedikit menarik bagi Awang.
Bingkai kacamata terbuat dari campuran plastik dengan atom. Keras dan mudah
patah. Kacanya yang hitam kelam, benar-benar terbuat dari beling hitam.
Bukan plastik atau mika. Bentuknya memang cukup
kuno. Tapi justru model seperti itulah yang sekarang ini sedang digemari anakanak muda. Lumayanlah... bisa buat nampang di kampus atau di tempat lain, pikir Awang. Ia
segera mengantongi kacamata tersebut.
Pelan-pelan ia membuka pintu, lalu keluar
meninggalkan kamar tersebut, tanpa menguncinya. Ia berjalan berjingkat-jingkat,
karena ia sempat melihat Gita dan Mira ada di ruang makan. Ia tak ingin
diketahui oleh adik-adiknya bahwa ia baru saja keluar dari bekas kamar Kakek
Somo. Baru pukul delapan kurang. Malam tidak sekelam dan sesunyi malam kemarin.
Agaknya malam sudah kembali normal, seperti malam-malam biasanya.
Tidak ada kecemasan dan ketegangan di antara keluarga Awang, bahkan di antara
tetangga pun tampaknya tenang-tenang saja.
Di kamarnya, Awang mengeluarkan kacamata hitam dari saku celananya. Kacamata itu
diamat-amati dengan teliti. Entah mengapa ia begitu tertarik dengan kacamata
tersebut. Apakah hanya karena modelnya yang lagi trendy untuk masa sekarang,
atau memang ia belum pernah mempunyai kacamata kuno warna hitam seperti itu"
Ia bergegas berdiri di depan cermin yang dipasang menempel dinding. Ia
mengenakan kacamata itu. Oh, cukup ganteng. Rambutnya yang ikal disisir ala
kadarnya pakai jemari tangan. Ia mematut-matut diri di depan cermin itu.
Ahai... alangkah tampannya aku jika memakai kacamata ini! Pikir Awang sambil
tersenyum- senyum. Ia
bergegas keluar dari kamar. Mau pamer sama adik-adiknya. Tapi waktu ia
membalikkan badan, "Hahhh..."!"
Awang terkejut. Badannya sempat bergerak mundur sedikit. Ia melihat seorang
gadis berdiri di pintu, punggungnya sedikit bersandar pada tepian pintu.
Menatap ke arah Awang dengan senyum indah berlesung pipit yang amat memikat
hati. "Hai...," Awang mencoba menenangkan diri, menutupi rasa malu karena kagetnya,
menutupi rasa herannya, dan menutupi debar-debar di dalam hatinya. Awang
berusaha untuk tidak merasa kikuk, seakan sudah terbiasa menghadapi gadis
secantik itu. Senyum gadis itu mekar kian memikat hati. Itulah jawaban dari sapaan Awang.
Lalu. Awang bertanya,
"Sejak kapan kamu masuk kamarku?"
"Sejak tadi," jawab gadis itu.
"Disuruh Mira, ya" Pasti Mira yang menyuruhmu menggoda aku!"
"Mira..."! O, Mira adikmu maksudmu?"
"Ya," jawab Awang pendek.
Gadis itu tertawa pelan sambil melangkah, duduk di kursi yang biasa dipakai
Awang untuk belajar. Duduknya santai, membuat Awang tambah terheran-heran kagum
kepadanya. Tentu saja Awang terheran-heran kagum, sebab gadis itu memang cantik. Rambutnya
panjang sebatas pinggang, disisir ke samping, sebagian rambut dibiarkan meriap
di dada kiri. Bagus sekali rambut itu. Hitam bening.
Belum lagi wajahnya. Wow... Brooke Shields aja putus sama kecantikannya.
Hidungnya mancung, serasi dengan bentuk wajahnya yang sedikit oval. Matanya
bening, tidak terlalu lebar, tapi juga tidak terlalu sipit. Bulu matanya lentik,
sesuai dengan bentuk alisnya yang tebal rapi, di kedua ujung alis kanan kiri ada
rambut yang rae-mercik-mercik tipis. Bola matanya selain bening juga hitam
mengagumkan. Kulitnya kuning langsat. Dan bibirnya" Duhai...!
Bibir itu bak delima merekah. Merah segar. Bak buah yang belum terlalu tua.
Tampak selalu basah. Tidak tipis sekali tapi juga tidak tebal. Bibir yang bawah
sedikit lebih tebal dari bibir yang atas Kata orang, itulah bentuk bibir yang
sensual. Gadis itu mengenakan gaun terusan. Semacam
longdrees tapi bercorak kuno. Lengannya panjang, tapi tidak menutup pergelangan
tangan. Lengan gaun itu lebar, komprang-komprang. Kain yang digunakan sebagai
bahan gaun itu berwarna pink, dari jenis kain sutera halus, lembut, tanpa manikmanik kecuali renda putih kecil di bagian dadanya.
"Namamu siapa" Boleh kenalan dong...!" goda Awang masih tetap nampang dengan
kacamata hitamnya.
"Anjar...."
"Ah, masa' namanya Anjar" Shelvina, kali?"
Gadis itu tertawa kecil. Aduh, manis sekali. Sungguh manis. Hanya orang bodoh
dan orang gila yang bilang tawa itu tidak manis. Awang saja jadi gregetan dan
memancing godaan itu.
"Atau... namamu pasti Sonia!"
"Anjar," jawabnya sambil tersenyum dan tertawa tipis.
"Nggak pantas namamu Anjar. Pantasnya Nency, atau Veronica!"
"Sungguh," matanya menatap tak berkedip. Sungguh indah. Luar biasa indahnya.
"Aku tidak bohong. Namaku Anjar Kusuma!"
"Anjar Kusuma..." Kok kayak nama orang kuno sih?"
"Lengkapnya, Dewi Anjar Kusuma. Tapi... kau cukup memanggilku Anjar saja...."
Suaranya.... Wow, merdu dan sangat enak didengar.
Empuk-empuk gimanalah...! Susah dikatakannya. Tentu saja hati Awang bersorak.
Menurutnya, gadis itu bisa diajak bercanda. Punya selera humor. Ia tetap mengaku
tidak mengenal Mira.
"Memang aku tahu, Mira itu adikmu. Tapi aku berani bertaruh nyawa, bahwa dia
tidak akan kenal aku,"
katanya. "Hmmm... kalau gitu kamu pasti temannya Handi!"
"Handi" Adikmu yang ketiga itu" Oh, bukan. Handi juga tidak akan mengenal aku."
"Lantas, kamu tahu aku di sini dari siapa" Yang mengizinkan kamu masuk ke kamar
ini siapa?"
"Jadi, kamu marah aku masuk ke kamar ini?"
"Bukan soal marah sih. Tapi...."
"Kamu tidak suka aku berada di sini?"
"Bukan soal nggak sukajugasih. Cuma... ya... gimana, ya...?" Awang garuk-garuk
kepala. Bingung ia menjawab.
Bingung harus berkata apa.... Ia berpikir, mencari kata yang enak untuk
menjawab. Sangat disayangkan sebelum ia bisa menjawab, terdengar suara bel tamu berbunyi.
Tak berapa lama suara Handi, adiknya terdengar memanggil nama Awang.
"Wawang...! Ada teman elu nih...."
Awang sebenarnya mau berlagak cuek. Pura- pura tidak mendengar. Tapi Handi
berteriak sambil ketuk-ketuk pintu, sedikit kasar. Awang terpaksa menyahut
dengan seruan, "Iya, ya...! Sebentar...!" sambil merasa khawatir kalau Handi
membuka pintu. Awang segera berkata kepada Anjar, "Tunggu sebentar, oke" Jangan ke mana-mana,
nanti aku kembali lagi. Jangan keluar dulu, ya?"
"Ya," jawab Anjar sambil mengangguk dalam senyum yang memikat.
Awang buru-buru membuka pintu kamarnya. Eit, ia lupa masih pakai kacamata Kakek.
Buru-buru dilepaskan kacamata itu dan dikantongi. Ia melangkah setengah berlari
ke arah ruang tamu. Gerakan dan wajahnya tampak bahwa ia dalam suasana ceria.
"Hai, kamu Dri...!" sapanya kepada Badri.
"Farok tadi ke sini, ya?"
"Nggak tuh. Eh... kebetulan kamu datang. Yuk, kukenalkan sama teman baruku. Elu
pasti teler deh ngeliatin wajahnya...!"
Tangan Badri ditariknya. Badri bingung. Ia ikut masuk ke kamarnya Awang. Namun,
begitu sampai di kamar Awang yang menjadi kebingungan.
"Lho..." Ke mana dia..."!"
Gadis itu hilang. Dicari ke mana-mana tidak ada.
Awang kecewa, la berseru memanggil, "Anjar..."
Anjaaar..."!"
"Siapa Anjar itu, Wang?" tanya Badri, dan Awang hanya bisa bengong.
-o0o))((dw))((o0o2 Ada ungkapan yang berbunyi, "Sekali melihat akan terpikat." Ungkapan itu layak
ditujukan buat Anjar.
Begitulah menurut Awang pada saat ia menjelaskan kepada Badri.
"Berani digantung sampai mati aku, kalau kamu nggak akan terpikat melihat
kecantikan si Anjar itu."
"Iya. Oke deh aku hakalan terpikat. Tapi aku kepingin tahu, siapa Anjar itu"
Kenapa sampai tiga hari ini kamu jadi kayak orang gila, selalu mencari-cari yang
bernama Dewi Anjar Kusuma?"
Setiap dihadapkan dengan pertanyaan seperti itu, Awang selalu terbengong. Ingin
menjelaskan sesuatu, tapi tidak tahu harus bilang apa kepada yang bertanya.
Apa yang bisa dilakukan Awang hanya berkata, "Dia cantik. Sumpah mati, dia
cantik! Aku terpikat padanya.
Aku suka sama dia! Sumpah mampus tujuh turunan, berani deh!"
Awang memang seperti orang gila. Setiap orang ditanyai, apakah mereka mengenal
yang bernama Anjar"
Bahkan karena curiganya kepada Mira, Awang sampai bertengkar dengan adik
perempuannya itu.
"Elu sinting kali, ya" Orang gue nggak punya teman yang namanya Anjar kok
disuruh ngaku punya teman namanya Anjar. Gila lu!" kata Mira saking jengkelnya.
"Nggak mungkin elu nggak kenal dia! Dia tahu bahwa elu adik gue!" bantah Awang,
ngotot. Mira juga nggak mau kalah ngotot, "Tante Sofi, tetangga kita itu, juga
tahu kalau aku adikmu. Kenapa kamu nggak
menanyakan tentang Tante Sofi aja?"
"Konyol lu!"
"Elu yang konyol!" balas Mira.
Mamanya keluar dari kamar, menengahi, "Eh, eh, eh...
ada apa sih" Mama dengar sudah tiga hari ini kalian ribut terus!"
"Tahu tuh si Awang, udah mulai sinting kali!" Mira cemberut.
"Husy! Sama kakaknya kok gitu sih kamu, Mir" Nggak boleh!"
"Habis, dia maksain aku. Dikasih tahu malah ngotot.
Dibilangin kalau aku nggak punya teman cewek yang namanya Anjar, kok dia masih
desak terus, nyuruh aku ngaku. Malah pakai ngancam mau nampar segala" Apaan tuh"
Kalau nggak orang sinting kan nggak ada yang begitu, Ma!"
Mamanya menatap Awang. Saat itu Awang
menundukkan kepala. Menahan kejengkelan hatinya.
Tiba-tiba ia mengangkat wajah dan berkata kepada mamanya, "Pasti Mama yang kenal
sama Anjar!"
Mira menyahut, "Tuh... Mama aja sampai dituduh begitu"!"
"Iya, kan" Ngaku aja, Ma! Ngaku!"
"Eh, eh... kok malah mau melotot sama Mama?" ujar mamanya dengan sabar. "Anjar
siapa sih?"
"Dewi Anjar Kusuma!" jawab Awang cepat.
"Mama nggak kenal gadis bernama begitu!"
"Bohong!" bentak Awang.
"Buat apa Mama bohong" Apa Mama mau mendidik anaknya agar ikut jadi tukang
bohong juga?"
"Habis siapa dong yang kenal dengan Anjar" Siapa dong yang menyuruh Anjar masuk
ke kamarku"!"
"Masuk ke kamarmu"!" gumam mamanya, berkerut dahi. "Kalau itu kenalan Mama,
nggak mungkin Mama suruh masuk ke kamarmu" Nggak sopan amat"!"
Handi juga tidak merasa punya teman yang bernama Anjar. Handi juga diajak adu
debat dulu oleh Awang.
Hampir-hampir mereka berkelahi pukul-pukulan.
Sedangkan papanya juga tidak merasa punya kenalan yang bernama Anjar.
Awang jadi kacau. Sungguh otaknya menjadi kusut, karena hati kecilnya menuntut
ingin bertemu dengan gadis cantik itu. Jiwanya berharap sekali untuk dapat
melihat kecantikan yang amat mengagumkan itu. Tapi ke mana Awang harus
mencarinya" Mungkinkah Anjar itu temannya Gita" Pasti tidak mungkin. Gita anak
SD sedangkan Anjar minimal sudah sarjana muda. Sama dengan Awang.
Lesu dan murung terus Awang jadinya. Wak- tu Badri datang dan diajak masuk ke
kamarnya, Badri juga nyaris tidak bisa berkata apa-apa. Sebal), Awang bilang,
"Carikan Anjar sebelum aku nekat bunuh diri jika tidak ketemu dia. Katakan
padanya, aku rindu dan ingin bertemu dia!"
Yang bisa dilakukan Badri hanyalah garuk-garuk kepala. Menarik napas panjangpanjang. Geleng-geleng kepala memandangi keseriusan Awang.
Setelah bungkam beberapa saat, Badri bilang,
"Tujuanku kemari sebenarnya mau ngajak kamu nonton pameran lukisan di TIM, tapi
kok kamu malah kasih tugas edan-edanan gitu?"
"Gue nggak mau tahu soal lukisan. Itu bukan bidang gue, tapi bidang elu! Gue
cuma butuh Anjar. Cuma butuh melihatnya saja. Nggak nyentuh dia juga nggak apaapa!" "Iya. Tapi ke mana gue mesti cari si Anjar, Bego!" kata Badri dengan jengkel.
"Ya pokoknya cari. Ke mana aja, cari dia!"
"Elu kayak komandan polisi aja! Main perintah!" gerutu Badri. "Masa bodohlah!
Gue mau lihat pameran lukisan...," Badri bangkit mau keluar dari kamar itu.
Awang menahan tangannya dan berkata, "Cari dia di tempat pameran. Siapa tahu dia
ada di sana!"
"Iya, iya deh...! Eh, gue pinjam kacamata hitamnya, ya?"
"Ambil. Asal pulangnya elu sama-sama si Anjar!"
"Moga-moga aja...!" kata Badri sambil nyelonong. Ia masuk ke mobilnya sambil
menggumam, "Antik juga kacamata si Awang ini. Dapat dari mana dia?"
Lalu, mobil pun distarter. Sebelum mobil bergerak, Badri mengenakan kacamata
hitam itu. Wuuuus... mobil pun meluncur, meninggalkan rumah Awang.
"Ini... itu orang kok gila amat sih" Jalan-jalan tanpa pakai selembar benang
pun" Hi, hi, hi...!" Badri tertawa sendiri melihat seorang lelaki berambut rapi,
membawa tas kerja, berjalan tanpa pakaian.
"Wah..." Kok ada lagi"!" Badri terperangah. Sebab kali ini ia melihat seorang
perempuan, separuh baya, jalan sambil menenteng tas plastik berlebel
supermarket, tanpa pakaian. Polos sama sekali. Jalannya tenang saja, tanpa ada
rasa kikuk sedikit pun.
"Wah, wah, wah... kok jadi gini?" gumam Badri kebingungan sendiri, sebab ia
melihat orang-orang yang ada di jalan raya itu semuanya telanjang, tanpa
selembar benang pun melekat di tubuh mereka. Namun tangan mereka memegangi
barang-barang bawaan secara serius. Malahan ada seorang gadis yang berjalan
tanpa pakaian, tapi rambutnya disanggul rapi, wajahnya ber-make up, menenteng
tas kecil, seperti mau kondangan.
"Ya, ampuuun...! " Badri menghentikan mobilnya.
Beberapa pengendara motor tidak pakai pakaian melintas di samping kanannya. Yang
tua, yang muda, yang lelaki, yang wanita. Bahkan yang kecil pun ikut-ikutan
tidak berpakaian. Buktinya, Badri melihat anak SD pulang sekolah menenteng tas
tanpa memakai sepatu, topi, dan pakaian seragam.
Badri berpaling ke sana-sini dengan bingungnya. Siapa yang harus dipandang, ke
mana arah mata sebenarnya, ia tidak tahu. Ia seperti hidup di kota nudis.
Telanjang semua.
"Lho... itu kok seperti Bu Mardi..."!" gumam Badri.
Seorang perempuan sedikit gemuk, usianya sekitar empat puluh tahun, sedang
menyeberang jalan. Seolah-olah sedang mendekati mobil yang dikemudikan Badri.
Mobil itu masih berhenti di pinggiran jalan. Mata Badri memandangi Bu Mardi
dengan tidak berkedip, sebab perempuan itu tanpa busana sama sekali, menenteng


Dewi Ular Ratu Peri Dari Selat Sunda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rantang susun dari logam almunium.
"Bu... Bu Mardi!" panggil Badri. Perempuan itu menoleh dan berhenti sejenak.
"Bu... kenapa telanjang"!" seru Badri.
Perempuan itu terperanjat, seperti baru ingat siapa yang memanggilnya. Ia buruburu mendekati mobil Badri.
"Eh, kamu Dri..."! Mau ke mana" Ibu numpang, ya?"
"Hmmmm... eh... anu...," Badri gugup karena melihat wujud tubuh Bu Mardi yang
polos itu. "Hmmrn... Ibu mau ke mana sih?"
"Mau ke rumah saudara, di Jalan Merpati. Kamu lewat sana nggak" Kalau lewat sana
Ibu numpang deh. Habis mau naik bus kota tanggung, mau jalan kaki kejauhan."
"Hmmrn... anu... saya nggak lewat sana kok, Bu.
Saya... saya... belok ke kiri kok!"
"O, ya sudah. Kalau gitu, Ibu duluan ya" Salam buat Bu Toba, ya" Kamu masih kost
di rumah Bu Toha itu, kan?"
"Mmm... masih. Masih, Bu. Nanti... nanti saya sampaikan deh!"
Bu Mardi pergi, melangkah dengan santai. Seakan tidak menghiraukan keadaan
tubuhnya. Budri tertegun. Bengong di tempat tanpa bergerak.
Karena pada saat itu benaknya teringat sesuatu dan hatinya berkata dengan
gemetar, "Lho, Bu Mardi kan sudah meninggal sebulan yang lalu"!" kontan bulu
kuduk Badri merinding. Jantungnya makin berdetak-detak.
Panik. Dan semakin panik setelah ia menyadari, ternyata di dalam mobilnya ia
tidak sendirian. Ada seseorang yang duduk di jok belakang sopir.
"Triana...?" gumam mulut Badri dengan bergetar.
Gadis berkulit sawo matang itu tersenyum, lalu berkata, "Kupikir kau sudah lupa
sama aku, Dri...!"
Gemetar sekujur tubuh Badri. Suasana siang terasa seperti suasana menjelang
magrib. Mungkin karena kacamata hitam itu terlalu memberikan warna gelap untuk
mata pemakainya. Itu sebabnya Badri merinding lagi sekujur tubuhnya, bahkan
tidak bisa menggerakkan kakinya untuk menginjak pedal gas.
"Mau ke mana kamu, Dri?"
"Ke... ke... ke... pameran... di... di TIM...," Badri menjawab dengan gugup.
Soalnya Triana dalam keadaan polos tanpa selembar benang. Dadanya dibiarkan
terbuka polos. Tampak jelas
gumpalan dagingnya yang sekal itu. Malahan Triana duduknya sangat santai, seakan
tidak mempedulikan keadaan tubuhnya yang tanpa penutup sedikit pun itu.
Semuanya tampak jelas di mata Badri yang menoleh ke belakang dan susah memandang
ke depan kembali itu.
"Aku ikut deh! Aku juga sudah lama nggak nonton pameran lukisan...!"
Badri tidak bisa menjawab. Hanya, ah uh ah, uh...!
Berulang kali ia menelan ludah, antara takut dan tergoda. Sebab, sekalipun
keadaan Triana menimbulkan daya rangsang yang cukup besar, namun Badri ingat
bahwa Triana sudah meninggal tiga bulan yang lalu akibat tabrakan dengan Jeep,
di Puncak. Badri ingat, bahwa ia juga hadir dalam upacara pemakaman jenazah
Triana. Karena takutnya, Badri memejamkan mata. Ia ingin menghapus wajahnya yang
berkeringat. Ia melepas kacamata hitam dengan tangan gemetar, dan
menghapus keringat di wajahnya dengan telapak tangan.
Kemudian ia mencoba membuka matanya kembali.
"Oh..."!"
Wajah Badri terperangah, matanya membelalak lebar.
Mata itu memandang ke sana-sini dengan liar. Lalu, ia kembali mengerjapngerjapkan mata.
Oh, rupanya ia telah melihat suasana berubah total.
Triana tak ada di tempatnya. Orang-orang telanjang juga tidak ada. Seorang
penjual rokok di seberang jalan yang tadi dilihatnya telanjang bulat, kini dalam
keadaan mengenakan kaos putih dan celana pendek hitam. Para
pengendara motor juga mengenakan busana
sebagaimana layaknya.
"Gila! Apa yang telah kualami tadi?" gumam Badri sambil napasnya masih sedikit
ngos-ngosan. Ia melirik arlojinya, oh... sudah pukul dua siang. Suasananya tidak
menakutkan. Sama sekali tidak menakutkan. Maka, Badri pun segera menjalankan
mobilnya. Pelan-pelan. Sambil ia merenungi tentang apa yang barusan dialami itu.
Seperti mimpisaja, baginya.
Sampai di depan TIM, Badri tidak langsung menuju ke gedung pameran, melainkan
mencari tukang es. la minum teh botol sampai habis dua gelas, la merenung di
situ. Terbengong seperti orang linglung Tapi batinnya terus berkecamuk dan
bertanya-tanya, mengapa aku tadi mengalami hal yang amat aneh"
Dalam keadaan sedang terbengong melompong itu.
Tiba tiba punggungnya ada yang menepuk dari belakang.
"Hai..,!"
"Anjing. !" ceplos Badri sambil melompat. Ia terlonjak kaget..
Mukanya pucat pasi. Ia mendelik kepada orang yang menepuknya. Orang itu tertawa
kegelian melihat tingkah Badri yang kaget itu.
"Ngepet lu!" caci Badri setelah sadar bahwa orang itu adalah temannya sendiri.
Dharma. "Ngapain sih elu sampai kayak orang kesetanan begitu?" tanya Dharma sambil
menghabiskan sisa tawanya.
"Sekali lagi elu ngagetin gue, gue keprak pakai botol lu!"
Setelah beberapa saat, emosi Badri pun reda. Dharma tidak menanggapi emosi itu,
melainkan justru mengajak bicara soal lukisan. Sebab Badri dan Dharma sama-sama
seorang mahasiswa yang punya obyek sampingan menjadi ilustrator sebuah novel
atau di majalah-majalah remaja. Kadang kadang mereka mengorbankan waktu
kuliahnya demi mengejar pesanan seseorang tentang ilustrasi untuk sebuah cerita
yang mau diterbitkan.
"Elu mau lihat pameran kan?" tanya Dharma.
"Ya. Tapi...."
"Pakai tapi segala" Memangnya kamu takut kalau ketemu Ririn?"
"Ah, gue nggak mikirin soal Ririn. Gue habis mengalami suatu keanehan, Ma!"
Dharma tersenyum-senyum, menyepelekan kata-kata Badri. Tapi rupanya ia ingin
tahu juga, sehingga ia pun bertanya, "Keanehan apaan" Lihat makhluk planet"
Lihat piring terbang?"
"Bukan itu. Aku... aku melihat dunia yang asing bagiku."
Dharma berkerut dahi sambil tetap tersenyum menyepelekan.
"Dunia yang hilang, maksudmu" Semacam Pompei..."
Atlantik"!"
"Bukan, bukan...! Aku.... Aku melihat orang-orang pada telanjang dan mereka yang
kukenal sudah mati, seakan hidup lagi. Mereka masih mengenali aku. Seperti
misalnya, Triana...! Eh, kamu masih ingat Triana, yang matinya tabrakan di
Puncak?" Dharma mengangguk. Santai.
"Nah, aku melihat Triana dalam keadaan telanjang, tanpa pakaian sedikit pun. Ia
tahu-tahu ada di dalam mobilku...."
"Terang aja, soalnya dulu elu nafsu sama Triana!"
sambil Dharma tertawa. Badri memendam kedongkolan.
Ia sedikit membentak.
"Bukan soal itu! Malahan aku melihat tetanggaku yang sebulan yang lalu telah
mati. Juga telanjang, menenteng rantang susun!"
"Aaaah... sudah, sudah! Jangan ngaco! Yuk, masuk aja! Kayaknya sih Abbas juga
ada di ruang pameran!
Tadi gue lihat dia masuk sama ceweknya. Pakai motor!"
Badri tak punya pilihan lain. Untuk menghilangkan kekacauan otaknya, memang
lebih baik ia segera masuk ke ruang pameran. Tapi sebelumnya ada sesuatu yang ia
kerjakan. "Gue kunci mobil gue dulu, ah...!"
Sambil mengunci pintu mobil, Badri mengambil kacamata hitam yang tadi diletakkan
di jok samping kirinya. Kacamata itu dicantelkan di sela kancing bajunya Di
dada. Kemudian ia melangkah menuju ruang pameran bersama Dharma.
"Antik juga kacamata lu!" kata Dharma, memandang penuh selera.
"Pinjam punya teman kok."
"Kenapa nggak elu pakai?"
"Kayak orang gila! Masuk ruang pameran kok pakai kacamata hitam. Malu dong!"
"Ah, cuek aja! Sini gue yang pakai!"
Dharma mengambil kacamata itu, Badri diam saja.
Mereka tiba di pintu ruang pameran. Ada beberapa teman Badri yang dikenalnya
yang sedang mengamati lukisan-lukisan naturalis karya pelukis muda dari
Yogyakarta. Abbas memang ada. Berjejeran dengan pacarnya yang keturunan orang
bule itu. Bahtiar juga ada. Malah seorang dosen dari sebuah perguruan swasta
yang dikenal Badri juga ada di situ."Astaga!" tiba-tiba Dharma terpekik kaget.
Badri menoleh seketika. Ia heran melihat mulut Dharma terperangah. Melompong.
Tubuhnya tidak bergerak karena mengalami keterkejutan yang cukup kuat.
"Kenapa sih" Jangan malu-maluin dong. Bikin orang-orang pada ngeliatin kamu
tuh!" kata Badri berbisik.
"Dri... aku... aku... aku melihat kamu telanjang, Dri...."
"Apa..."!" Badri mulai tegang.
"Kamu, Abbas, pacarnya Abbas, dan mereka yang ada di sini pada telanjang. Semua
telanjang bulat, Dri...!"
"Ah, kamu...!" Badri menggerutu, menganggap bercanda.
"Sumpah mampus! Mereka telanjang!"
Badri buru-buru melepas kacamata hitam yang dipakai Dharma dengan menariknya
secara kasar. Bret...!
Kacamata terlepas. Napas Dharma terhempas lepas.
Seperti mengalami kelegaan.
"Elu jangan bercanda kayak gitu, ah! Nggak enak dong!"
"Sum... sumpah mampus semampus-mampusnya deh!" Dharma ngotot. Badri segera
menarik tangan Dharma, mengajak keluar dari ruang pameran. Mereka kini ada di
tempat sepi, di pojokan.
'Yang bener aja lu ngomong, Ma!"
"Ya, ampun... gue mesti sumpah apaan lagi! Gue melihat elu sendiri telanjang.
Gue juga melihat... melihat Triana berdiri di samping pacarnya Abbas. Juga tanpa
busana. Tapi begitu elu jambret kacamata itu, mereka jadi berbusana semua.
Triana hilang. Dan... wah, gue nggak tahu deh! Ada apa dengan kacamata itu,
Dri?" "Kacamata..."!" gumam Badri dengan berkerut dahi, lalu ia memandangi kacamata
tersebut. Mengamat amati beberapa saat dengan perasaan heran dan tak yakin.
Kemudian, Dharma menyuruh Badri memakai
kacamata itu, "Coba elu pakai deh...!"
Badri menurut Kacamata dipakai. Dan, ia terperangah seperti Dliarma tadi.
"Ya, ampun., benar, Ma! Elu kelihatan telanjang-!"
Buru buru Badri melepas kacamata hitam kuno itu. la terbengong, mulutnya masih
melompong, matanya tak berkedip menatap Dharma.
"Benar kan" Pasti kacamata itu bukan sembarang kacamata...!"
Badri masih tidak bisa bilang apa-apa. Justru jantungnya berdebar-debar,
batinnya bertanya-tanya.
Mengapa Awang melepaskan kacamata ini" Mengapa
Awang mengizinkan kacamata misterius itu dipinjam olehku" Apakah Awang belum
tahu bahwa kacamata ini punya keistimewaan yang sungguh tidak masuk akal"
Badri buru-buru mengantongi kacamata tersebut. Ia bertahan walaupun Dharma
memaksa untuk meminjamnya, sampai mereka bersitegang.
-o0o))((dw))((o0o3 Rindu kepada Anjar adalah rindu yang menjengkelkan.
Rasanya seperti terkena penyakit bisul di ketiak. Atau barangkali mirip orang
sakit 'anyang-anyangan', sebentar-sebentar kencing.
Begitulah rindu yang ada di hati Awang. Ia pernah berpikir, apakah aku jatuh
cinta pada Anjar" Ah, tidak mungkin! Baru sebentar bertemu, baru satu kali
melihatnya, masa' sudah jatuh cinta" Nonsens, ah!
Tapi nyatanya hati itu menuntut ingin ketemu Anjar lagi. Paling tidak ingin
melihat kecantikan yang sungguh mempesona itu. Awang berharap Badri bisa
menolongnya. Namun karena Badri tidak pernah muncul lagi, sejak pamit mau nonton
pameran lukisan itu, maka Awang pun bergegas ke rumah kostnya Badri.
Rumah kost itu terdiri dari tujuh kamar. Berpetak-petak. Tiap kamar punya teras
kecil yang biasa dipakai untuk kongkow-kongkow. Kamarnya Badri ada di paling
ujung. Jauh dari pintu pagar. Pojok. Mulanya Badri satu kamar dengan Ranu. Tapi
sebulan yang lalu Ranu pindah, sehingga sekarang Badri sendirian di kamar itu.
Selain meja tulis dan almari buku-buku, ada pula meja lukis berukuran kecil.
Badri sering mengerjakan lukisan ilustrasinya di meja tersebut. Waktu Awang
datang, meja itu ditutup dengan kain sarung. Awang menganggap Badri bertingkah
aneh-aneh saja, dan ia langsung duduk di kursi setelah melemparkan majalah
kepada Badri, yang saat itu masih tiduran di dipannya, malas-malasan.
Kemunculan Awang tidak disambut dengan ceria, melainkan dengan sikap ogahogahan. "Gimana, Dri" Elu ketemu sama yang namanya Anjar nggak waktu di pameran kemarin
lusa?" "Ah, nggak tahu! Mungkin cewek yang namanya Anjar itu tukang cuci di warung
depan TIM itu. Aku nggak nanyain!"
"Tapi dia cantik?"
"Nggak tahu. Orangnya gemuk, bulat kayak tong, hitam kulitnya, pesek hidungnya
dan...." "Ah, ngaco aja lu! Gue serius nih! Gue butuh ketemu Anjar!"
"Ya cari sendiri dong. Kok jadi aku yang elu kejar-kejar" Memangnya gue kakeknya
Anjar"!" Badri bersungut-sungut. "Eh, elu mau ngopi nggak?"
Awang menghempaskan napas, rada kesal. "Ngopi juga boleh deh."
Badri keluar, membawa dua gelas kotor yang mau dicuci. Awang tertegun beberapa
saat. Kegelisahannya masih tetap membekas di wajah. Ia sendiri, melangkah ke
jendela yang terbuka lebar, memandang suasana di belakang rumah kost itu. Kebun
pisang. Entah milik
siapa. Pokoknya kurang sedap dipandang mata. Awang jenuh. Kembali ia melangkah
ke kursi semula. Lalu, pikirannya iseng. Tangannya membuka sarung yang dipakai
menutup meja lukis. Wusss...!
"Haaah..."!"
Kontan saat itu juga Awang mendelik. Tersentak kaget ia melihat lukisan yang
ditutup kain sarung itu. Sebuah gambar sketsa wajah seorang gadis cantik
terpampang pada selembar karton putih. Wajah cantik itu tak lain adalah wajah
Anjar. Ya. Dewi Anjar Kusuma ada dalam lukisan sketsa hasil karya Badri. Jantung Awang
jadi menyentak-nyentak, seakan ingin menjebol dadanya. Gemetar tangan Awang,
karena saat itu darahnya bagai mengalir cepat, naik ke ubun-ubun.
"Bangsat si Badri ini...!" geramnya. "Pasti dia sudah ketemu sama Anjar. Pasti
dia ngumpetin si Anjar.
Bangsat super itu anak...!" Awang pun berteriak dari pintu, "Driii...!
Badri...!"
Sebenarnya tanpa dipanggil pun Badri memang sudah selesai dari nyuci gelas. Ia
sedang melangkah menuju kamarnya. Namun melihat Awang berdiri di pintu dengan
wajah memerah, Badri jadi memperlambat langkahnya.
Heran melihat perubahan ekspresi Awang.
"Dri, cepetan... sini!" agak kasar Awang berkata begitu.
"Ngapain lu" Kesurupan?" Badri kalem.
"Dri, elu pasti udah ketemu sama Anjar! Pasti! Ngaku aja!"
"Ketemu gundulmu!" sentak Badri sambil cemberut, la menerobos masuk ke kamar
tanpa curiga apa-apa.
"Iya. Pasti elu udah ketemu Anjar, atau... elu memang kenal sama cewek itu!"
"Kok ngotot gitu lu"!" Badri menatap Awang dengan dahi berkerut cukup tajam,
menampakkan rasa jengkelnya.
"Buktinya elu bisa melukis wajahnya!" sambil Awang menuding ke meja gambar.
Badri bertambah bingung. Sepertinya memang benai benai bingung, la meletakkan
kedua gelas itu di meja, lalu menatap Awang dengan sikap mau protes. Tapi Awang
sudah lebih dulu bilang, "Elu jangan main-main sama gue deh! Maunya apa sih elu,
Dri"!"
"Eh, yang mestinya tanya begitu bukan kamu tapi aku, elu maunya apa" Kok tahutahu sewot begitu?"
"Gue mau ketemu sama Anjar! Ngerti" Dan elu tahu di mana dia, tapi elu nggak mau
kasih tahu sama aku!
Setan lu!"
"Ya, ampun Wang... gua nggak tahu di mana Anjar"!
Gue belum pernah ketemu! Bego!"
"Buktinya elu bisa melukis dia! Nih... nih...!" lukisan itu diketok-ketok pakai
telunjuk. Awang menampakkan kejengkelannya kepada Badri.
Sambil setengah berpikir bengong, Badri bilang,


Dewi Ular Ratu Peri Dari Selat Sunda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Memangnya cewek dalam lukisan itu bernama Anjar?"
"Alaaah... nggak usah pura-pura bego gitu deh!"
"Sumpah mampus gue nggak tahu kalau tuh cewek namanya Anjar!"
Kesungguhan wajah Badri membuat Awang menahan keinginan ngototnya. Ia jadi
sedikit heran mendengar sumpahnya Badri. Nada suaranya pun mulai menurun.
"Memangya elu nggak tahu kalau nama cewek yang elu lukis ini adalah Dewi Anjar
Kusuma?" Badri menggeleng. Polos. Memang benar-benar tidak tahu. Lalu. ia bilang, "Gue
nggak sempat tanya nama tuh cewek."
"Di mana elu ketemu dia?"
Badri diam sebentar. Ada sesuatu yang sedang dipikirkannya. Setelah itu ia
menjawab dengan suara pelan, "Gue ketemu dia di... di depan ruang pameran,
kemarin lusa!"
"Nah, terus..." Dia elu ajak kemari kan?"
Badri menggeleng. "Gue cuma mengingat- ingat wajah cantiknya aja. Gue nggak
sempat negur dia atau bersapaan sama dia. Gue nggak sempat kenalan."
"Kok elu bisa melukis dia dengan persis begini?"
"Elu kan tahu kalau aku punya otak seperti kamera foto. Gue ingat-ingat wajah
dia, lalu gue tuangkan dalam kertas itu, sebab gue kagum sama wajah yang kayak
gitu." Keduanya akhirnya sama-sama diam. Sama-sama memandangi lukisan tersebut. Wajah
mereka tampak sama-sama merasa kagum terhadap kecantikan yang ada di situ.
"Ooo... jadi dia namanya Dewi Anjar Kusuma...?"
gumam Badri, seakan bicara pada dirinya sendiri.
"Ya cewek ini yang bikin gue penasaran dan kebingungan!" Awang pun bicara
seperti ditujukan untuk dirinya sendiri. Pelan dan lesu.
"Pantas kalau kamu tergila-gila sama dia," sambil Badri manggut-manggut. Awang
diam, tak berkedip menatap lukisan itu.
-o0o))((dwkz))((o0oWajar kalau Badri sampai berani sumpah mampus segala, sebab memang dia tidak
tahu nama gadis yang dilukisnya itu. Kebingungan Awang ternyata justru menolong
dia untuk mengetahui nama gadis tersebut.
Karena, pada malam itu Badri benar-benar sempat seperti orang bego.
Waktu pulang dari TIM, ia masih bersitegang dengan Dharma yang ngotot kepingin
pinjam kacamata hitam.
Badri berusaha menahannya, bahkan sampai terlontar kalimat untuk mengusir
Dharma, "Pulang aja lu! Jangan ganggu aku!"Dharma tidak sakit hati oleh kalimat
itu. Ia hanya menjadi dongkol karena niatnya tidak dituruti Badri. Bahkan Dharma
sempat bilang dengan nada ketus,
"Elu sekarang pelit amat sih ama gue" Elu nggak ingat kalau dulu yang minjemin
duit buat modal elu beli alat-alat lukis adalah aku! Sampai sekarang elu belum
bisa melunasi duit pinjaman itu, tapi aku toh nggak minta kekurangannya"
Sekarang aku cuma mau pinjam kacamata itu aja elu nggak boleh" Apa gitu caranya
orang berteman?"
"Persetan dengan omongan elu deh! Yang penting, elu cepetan pergi dari kamar
gue. Cepetan pulang ke kostmu sendiri! Gue kesel lihat tampang elu!"
Akhirnya Dharma benar-benar pergi dengan sebaris gerutu dan kedongkolan hati.
Badri merasa lega, dan tidak peduli lagi tentang perasaan Dharma yang kecewa
berat padanya. Yang ada dalam otak Badri adalah kacamata hitam itu. Ia mengamatamati benda tersebut, entah untuk yang keberapa kalinya. Ia mencoba memeriksa
bagian kacanya sambil hati bertanya, ada campuran logam apa sih di kaca ini..."!
Badri akhirnya tertidur. Kacamata hitam jatuh di dadanya. Sewaktu ia terbangun,
oh... sudah gelap.
Jendela belum ditutup. Ia menengok arlojinya, ternyata sudah pukul tujuh malam
lewat. Kacamata disimpan dalam koper, di bawah pakaian.
Badri mandi sambil berpikir soal kemisteriusan kacamata tersebut. Malahan
selesai mandi, Badri sempat bikin kopi dan beli nasi bungkus dulu. Ia ingin
menenangkan pikirannya sebentar, sebelum kembali berkecamuk tentang kacamata
hitam ajaib itu.
Eh, rupanya Dharma datang lagi tepat selesai Badri makan. Mulai hati Badri
dongkol. Kesal banget dia sama Dharma.
"Gini aja deh, Dri," ujar Dharma, ".... Gue punya kacamata rayban asli, bekas
kepunyaannya prajurit AU
Amerika. Gue tukar aja deh dengan kacamata hitam kuno itu."
-------- Gak jelas ------- Perdebatan itu memakan waktu cukup lama. Dharma pulang pada saat jam menunjukkan
pukul sepuluh malam lewat. Suasana tempat kost sudah sepi. Cuma Ode, teman
sebelah kamarnya, yang masih melintas dari kamar mandi menuju kamarnya sendiri.
Ode, sempat menegur Badri sewaktu Badri mau menutup pintu kamarnya, "Apaan sih
tadi ribut-ribut?"
"Si Dharma...! Konyol tuh anak! Mau pinjam kacamata gue kok ngotot"! Ngajakin
berantem segala!"
"Dharma memang gitu anaknya. Konyol dan tengil.
Dulu waktu gue kost barengan dia di Jalan Margonda, dia banyak dimusuhin anakanak kost. Ya gitu, konyol dan tengil."
"Iya. Lama-lama ngelunjak tuh anak!"
"Jangan kasih kesempatan buat ngelunjak, bahaya dia! Dulu dia pinjam gitarnya
teman, eh .... dijual. Kan konyol itu namanya. Pinjam tas gue aja sampai
sekarang belum pernah dikembaliin, belum pernah ngomong apa-apa sama gue. Cuek
cuek aja, kayak nggak merasai pinjam barang kita!"
"Makanya gue sangsi mau mmjemin kacamata sama dia!"
Ode tertawa kecil, sambil masuk ke. kamarnya dia bilang, "Kalau elu nggak Mau
rugi, jangan sampai ada barang elu yang dipinjam sama dia. Ditanggung nggak
bakal balik lagi deh ....!"
Pikir-pikir, benar juga omongan Ode itu. Sebab, dua bulan yang lalu Dharma
pernah pinjam buku diktatnya Badri dan dua kuas lukisan, tapi sampai sekarang
belum pernah dikembalikan. Badri merasa sangat beruntung
atas usahanya yang berhasil untuk tidak meminjamkan kacamata ajaib itu kepada
Dharma. Sekarang, waktu malam benar-benar sunyi, kacamata itu kembali diamat-amati oleh
Badri. Bahkan kacamata itu dipakainya, sambil ia bercermin di depan kaca duduk.
Ia tersenyum Sendiri melihat tampangnya di cermin dalam mengenakan kacamata itu.
"Kayak dukun pijat...!" ujarnya sendiri sambil tertawa geli.
Dan tiba-tiba Badri terkejut, bahkan sampai terlonjak dari tempatnya ketika ia
berpaling ke kanan, ke arah pintu, oh... di sana telah berdiri seorang gadis
cantik dengan gaun lembut warna pink. Rambutnya terurai indah, senyumnya begitu
memukau jiwa, seakan membuat jantung Badri terhenti dua-tiga detik.
"Sss.. sii... siapa kamu"!" Badri gemetaran. Gadis itu hanya tersenyum,
melangkah santai, kalem, duduk di tepian dipan. Matanya memandang sekeliling,
merasa asing dengan suasana kamar Badri yang cenderung berkesan acak-acakan itu.
Tak sadar Badri masih tetap mengenakan
kacamatanya. Mungkin karena rasa takut, shock dan terkagum-kagum melihat
kecantikan Anjar, hingga dia lupa melepas kacamata. Ia hanya memandangi Anjar
dengan mulut ternganga, bibir gemetaran dan keringat dingin mulai membasah di
tubuhnya. "Kenapa kamar ini nggak kamu rapikan, Badri?"
Oh, dia tahu namaku" Pikir Badri semakin tegang.
Lalu, Anjar menarik selimut yang mirip cucian basah itu.
la melipat selimut tersebut, merapikan seprainya,
menggantungkan handuk yang semula ada di tepian kasur. Menata buku-buku yang ada
di meja dan berserakan sampai ada yang jatuh di lantai.
"Kamar yang berantakan begini akan menimbulkan rasa jenuh pada diri kita," kata
Anjar dengan suaranya yang sangat enak didengar.
Enak sekali, sampai-sampai Badri menahan napas hanya sengaja agar bisa mendengar
suara Anjar tanpa gangguan desah napasnya.
Ada tumpahan kopi di meja. Anjar mengambil lap dan membersihkan tumpahan air
kopi tersebut. Ada pula piring kotor bekas makan tadi masih tergeletak di tepian
meja, Anjar segera mengemasi. Membuang bungkus nasi, dan hendak membawa piring itu keluar kamar.
Buru-buru Badri bergerak dan berkata, "Ja... jangan...!
Jangan keluar. Hmmm... biar.., biar aku saja yang menaruh piring kotor itu di
luar kamar...!"
Anjar tersenyum. Aduuuh... indahnya. Senyum seseorang yang berkarisma dan penuh
kesabaran. Senyum seorang ratu kecantikan yang mahal harganya bagi sebuah iklan. Badri
terpaku sejenak sambil memegangi piring kotor dengan gemetar.
"Kau seorang pelukis, ya?" sambil berkata begitu, mata Anjar memandangi tiga
buah lukisan cover yang dipajang Badri pada bagian dinding. depan meja.
Badri hanya pringas-pringis, masih kikuk dan gugup.
Anjar tersenyum sambil manggut-manggut, seakan merasa kagum dengan lukisan
Badri, walau berupa lukisan sketsa.
"Bagus sekali lukisanmu. Garis-garisnya kuat dan tegas."
"Hmmm... apakah... apakah kamu juga pelukis?"
"Bukan," jawab Anjar kalem. "Tapi aku tahu nilai sebuah lukisan."
"Hmmm ... anu... bagaimana kalau... kalau aku ingin melukis kamu" Apakah kamu
bersedia?"
"O, sangat bersedia! Tapi apakah wajahku pantas dijadikan sebuah lukisan?"
"Sangat, sangat pantas!"jawab Badri dengan bersemangat.
Anjar hanya menyunggingkan senyum. Manis sekali.
Mendebarkan hati,siapa pun yang memandangnya.
Badri segera menyiapkan kertas lukis, la melukis dengan menggunakan potlot
hitam. la melukis dengan terburu-buru. Gerakan tangannya walau masih gemetar
tapi cepat. Karena semangatnya, Badri sampai lupa melepas kacamata pada waktu
melukis Anjar. Dan anehnya, ia bisa melukis dengan gerakan cepat, seakan tanpa
dipikir dan ditimbang-timbang lagi ke mana ia harus menarik garis atau
mencoretkan pensilnya.
Sangat singkat Badri mengerjakan lukisan tersebut.
Napasnya sampai terengah-engah. Keringatnya mengucur membasahi badan. Ketika
Anjar memeriksanya, gadis itu tersenyum puas dan berkata,
"Bagus sekali. Tapi sebenarnya kau bisa melukisku lebih bagus lagi."
"Maksudmu..,?"
Anjar membuka sedikit gaunnya, belahan dadanya ditampakkan, kulit pundaknya
diperlihatkan, dan ia berpose sambil duduk di tepian dipan. Agak miring, dan
tetap menyunggingkan senyum.
"Nah, lukislah aku dalam keadaan, seperti ini.... ''
Oh..." Merangsang sekali posenya. Jantung Badri berdebur-debur. Darahnya bagai
mendidih. Dalam dadanya ada yang bergejolak kuat; Desir-desir birahi pun
menjalar di sekujur tuj buh. Sungguh tak kuat Badri memandang gaya Anjar seperti
itu. -o0o))((dw))((o0o"Hmmm... maaf... aku... aku kencing dulu. ya...?"
Badri bergegas keluar dari kamar. Ia berlari menuju kamar mandi. Hampir saja ia
lupa, melepas kacamatanya. Maka, ia pun segera melepas kacamata itu. Setelah buang air
beberapa saat di kamar mandi, setelah menenangkan napasnya yang terengah-engah,
Badri pun kembali ke kamar.
"Lho..."!" ia terbengong. Anjar sudah tak ada. Ia bingung mencarinya sampai ke
luar pekarangan. Sampai ke ujung pertigaan jalan, la bertanya kepada tukang
rokok vang ada di situ.
"Abang melihat seorang gadis pakai gaun pink dan rambutnya panjang, nggak;?"
Pedagang rukuk itu menggeleng, "Nggak tuh...!"
Kecewa hati Badri. Termenunglah ia. Kemudian, teringat ia akan kacamata
hitapmy.a" Dipandangi kacamata itu, lalu ditemukanlah,sebuah kesimpulan yang
mengatakan, kacamata inilah yang bisa dipakai melihat
gadis itu...! Badri mencoba mengenakan kacamata tersebut. Ia memandang
sekeliling kamar. Lalu, napasnya tersentak berhenti sejenak, karena pandangan
matanya menemukan sosok gadis cantik yang berbaring di ranjangnya. Tidur dengan
kedua tangan bersedekap di dada. Matanya terpejam, menampakkan kelentikan
bulunya. Badri hanya bisa memandangi dengan perasaan kagum yang luar biasa. Tak
berani ia menyentuh gadis itu.
Rahasia tersebut yang disembunyikan Badri. Dharma tidak diberi tahu, bahkan
kepada Awang pun ia punya cerita sendiri tentang gadis dalam lukisannya. It ulah
sebabnya Awang masih belum tahu keistimewaan dari kacamata tersebut. Namun,
waktu ia pulang dari rumah Badri untuk yang kedua kalinya, ia sempat bertemu
Dharma di perjalanan. Ini itu terjadi di luar kesengajaan.
Dan dalam kesempatan itu, Dharma sempat bilang, "Dari mana kamu, Wang" Dari
rumah Badri, ya?"
"Ya," jawab Awang singkat.
"Jangan berteman lagi sama Badri deh! Dia sudah gila tuh!"
"Gila gimana?"
"Dia sudah nggak bisa diajak berteman lagi. Yah...
sejak dia punya kacamata setan, dia jadi kayak orang gila."
"Kacamata setan..."!" Awang berkerut dahi. Sempat lupa bahwa ia pernah
meminjamkan kacamata kepada Badri.
Dharma buka kartu, "Badri punya kacamata kuno.
Kacamata itu bisa dipakai untuk melihat suatu keajaiban.
Aku sendiri pernah mencobanya Jadi, kalau kita pakai kacamata itu, kita akan
melihat semua orang yang ada di depan kita ini telanjang bulat, nggak peduli
pria maupun wanita. Semuanya polos. Kita bisa lihat gadis secantik apa pun
berjalan dengan tanpa busana...."
"Ah, masa' dia punya kacamata kayak gitu sih?"
"Sumpah!" tegas Dharma. "Katanya sih kacamata itu punya temannya. Pinjam. Tapi.
waktu aku ingin meminjamnya, dia mempertahankan mati-matian. Malah lebih baik
memilih putus persahabatan denganku ketimbang meminjamkan kacamata itu. Kalau
nggak percaya, coba deh elu sendiri yang pinjam sama dia...."
Awang jadi ingat tentang kacamata kunonya itu, lalu ia bilang, "Kenapa harus
meminjamnya, orang kacamata itu adalah kacamataku sendiri kok. Gue berhak
memintanya dong! Kalau perlu merebutnya!"
-o0o))((dw))((o0o4 Mulanya ada kesangsian di hati Awang. Benaknya bertanya-tanya, apa benar
kacamata itu punya keistimewaan yang amat misterius" Lalu, dalam perjalanan ko
rumah Badri ingatan Awang kembali pada keganjilan-keganjilan pada saat ia
mengenakan kacamata itu. Juga, keganjilan pada malam setelah jenazah Kakek Somo
dimakamkan, yaitu tentang cahaya terang dari dalam bekas kamar Kakek Somo.
"Jangan-jangan memang kacamata itulah yang dikatakan pusaka peninggalan Kek
Somo" Kalau benar
kacamata itu bisa dipakai untuk melihat ketelanjangan setiap orang, maka
pantaslah kalau Kek Sumo semasa hidupnya suka mengenakan kacamata itu sambil
jalan-jalan. Dan...o, ya... Badri bisa melukis wajah Anjar. Pasti gara-gara ia
memakai kacamata itu, lalu ia bisa melihat Anjar. Buktinya, waktu aku memakai
kacamata itu, aku juga melihat Anjar. Lalu... siapakah Anjar sebenarnya"
Mengapa ia hanya bisa dilihat dengan menggunakan kacamata itu saja?"
Kedatangan Awang kali ini bukan untuk menanyakan tentang di mana rumah Anjar,
melainkan untuk meminta kembali kacamata hitam tersebut. Namun, rupanya Badri
sudah mempunyai konsep sendiri untuk menghadapi hal demikian.
"Wah, sorry berat deh, Wang.... Kacamata itu hilang waktu aku menambalkan ban
mobil. Mungkin jatuh pada saat kukantongi di saku celana samping ini...!"
"Aduuuuh... kamu gimana sih" Masa' nggak ada tanggung jawabnya sedikit pun.
Kacamata itu kan pinjaman dari aku, masa' sampai hilang sih" Gimana kalau gini?"
"Hmmm... kuganti dengan kacamata lain aja, ya?"
"Nggak bisa! Aku tetap minta kacamata yang itu!" kata Awang tegas. Ia mulai
curiga dengan tipu daya Badri.
"Pokoknya bisa nggak bisa, gue minta kacamata itu elu pulangin!" Awang makin
kasar bicaranya.
"Kalau hilang mau diapain lagi"!" Badri ngotot.
Awang pun ikut ngotot, "Gue nggak mau tahu!
Pokoknya harus dipulangin kacamata itu!"
"Gue sih mau-mau iya mulanginnya, cuma kalau udah hilang gimana" Udah gue cari
ke bengkel itu, tapi nggak ada. Mungkin udah ditemukan oleh orang lain!"
Awang seperti nyaris kehilangan kesabarannya. Ia berkata dengan nada rendah,
namun bersifat mengancam, "Dengerin, Dri... gue nggak mikir lagi siapa elu, pokoknya kalau
kacamata itu hilang, gue minta ganti nyawa elu! Ngerti"!"
"Terserah apa mau lu deh...!" Badri membiarkan Awang pergi dengan memendam
kemarahan dan ancaman. Badri tidak takut kepada Awang. Badannya sama-sama berotot, sama-sama


Dewi Ular Ratu Peri Dari Selat Sunda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kekar, malah Badri sedikit lebih tinggi dari Awang. Bagaimanapun juga, apa pun
juga ancaman Awang, Badri tetap berkeras hati untuk mengatakan demikian.
Kacamata itu tidak hilang. Sebenarnya ada di bawah pakaian di dalam koper. Tapi
Badri tetap mempertahankan agar kacamata itu jangan sampai jatuh ke tangan orang lain..
Kenapa begitu"
Karena Badri pun mulai bisa menyimpulkan, bahwa kacamata itulah yang bisa
membawanya bertemu dengan Anjar. Tanpa kacamata itu, Badri yakin tidak akan bisa
melihat kecantikan Anjar yang Lelah berhasil memikat hatinya.
Terus terang saja, sejak pertemuannya dengan Anjar yang kedua, Badri sudah jatuh
cinta. Kecantikan Anjar telah membuat imajinasi Badri melambung tinggi.
Kemulusan tubuh, ke-sexyannya, telah membuat Badri punya bunga-bunga rindu yang
indah. Badri sering merasa rindu kepada Anjar. Badri sermg kangen dengan canda dan
tawanya Anjar. Karena pertemuannya dengan Anjar yang ketiga kalinya membuat
Badri merasa hidup berlimpah kebahagiaan dan kedamaian.
Namun Badri tetap belum berani menyentuh Anjar.
Setiap kali Anjar muncul, ia hanya mau memandangi keelokan tubuh wanita itu.
Bahkan pernah Anjar berkata,
"Dekaplah aku. Peluklah. Untuk apa kau memandangiku dan memujiku kalau kau tak
mau memelukku?"
Apa yang membuat Badri tidak mau menyentuh Anjar sekalipun gaun sudah
disingkapkan dan mata sudah disayukan" Bukan karena Badri kehilangan kejantanan,
melainkan karena Badri tahu siapa Dewi Anjar Kusuma itu.
Dalam pertemuannya yang kedua, terjadi percakapan yang cukup serius antara Badri
dengan Anjar. "Siapa dirimu sebenarnya?"
"Aku Ratu Peri. Aku hanya bisa kau lihat dengan menggunakan kaca di matamu itu."
"Ratu... peri..."!" Badri merinding saat itu, jantungnya menghentak-hentak. Ia
gemetar walaupun ia berusaha untuk bersikap tenang. Namun dalam hatinya, Badri
sempat berkata, wah, bisa mati gue kalau terlalu dekat sama dia....
Apalagi, sewaktu Anjar menyentuh dagu Badri dan minta dicium, sentuhan itu
terasa membuat darah Badri mendidih. Sorot pandangan mata Anjar bagai menusuk
kedalaman hati Badri yang paling dalam, sehingga Badri merasa seperti nyaris
kehilangan nyawanya. Aneh.
Itulah sebabnya ketika Anjar minta dipeluk, Badri hanya menggeleng dan berkata,
'Ak... aku... aku belum siap... "
Dewi Anjar berkata dengan nada kecewa. "Tiga kali kita sudah bertemu, tapi kau
tidak mau mencumbuku.
Untuk yang keempat kalinya, aku tak mau bersabar hati lagi, Badri. Kau...
harus...."
Karena takut melihat mata indah itu samar-samar berubah menjadi merah, maka
Badri pun segera melepas kacamatanya. Plas...! Perempuan cantik itu lenyap
seketika. Badri tidak melihat wajah cantik itu, juga tidak mendengar suaranya.
Badri hanya mendengar napasnya yang terengah-engah dicekam perasaan ngeri.
Apa maksudnya 'aku tak mau bersabar hati lagi' itu..."
Pikir Badri. Oh, bagaimana ini" Sepertinya dia punya ancaman pada pertemuan yang
keempat nanti. Wah, gawat! Jangan-jangan dia tega membunuhku"
Memang membingungkan buat Badri. Ia ingin
bertemu, ingin tetap bisa melihat Anjar, tapi ia takut diajak bercinta. Ia takut
ada risiko yang membawa maut.
Padahal rindunya bukan hanya sekadar rindu sebuah kekaguman saja sekarang,
melainkan rindunya hati yang menuntut ketenangan jiwa.
-o0o))((dw))((o0oAwang benar-benar habis kesabarannya, karena hatinya sendiri menuntut harus
bertemu dengan Anjar.
Ia mengeluarkan pisau berburu dari dalam laci almarinya.
"Gue mampusin tuh anak kalau nggak mau mulangin kacamata sekarang juga...!"
geramnya tanpa pikir panjang lagi.
Awang sengaja ingin menemui Badri malam hari. Saat itu sudah pukul tujuh lewat
dua puluh empat menit.
Awang bersiap meluncur ke rumah kostnya Badri. Pisau berburu yang punya gerigi
di bagian ujungnya itu diselipkan di balik jaket kulitnya. Sarung tangan karet
juga disiapkan.
Gue tikam dia sampai mati, lalu gue acak-acak kamarnya sampai gue temuin
kacamata itu...! Pikirnya penuh emosi.
Namun baru saja ia keluar dari kamarnya, tiba-tiba bel tamu berbunyi. Oh,
ternyata Badri yang datang. Awang bersikap tenang. Untuk sementara ia harus bisa
menutupi emosinya, memendam niat untuk membunuh Badri.
"Mana kacamataku?" tagih Awang dengan suara datar.
Namun Badri tak langsung menjawab. Badri duduk di teras dengan napas terengahengah. Ia sedang mengendalikan napasnya itu. Matanya menatap Awang dengan tajam,
sepertinya ia juga menyimpan dendam buat Awang.
"Mana kacamata itu!" sentak, Awang.
"Elu takut dituduh sudah nuduh lebih dulu, ya?"
Awang berkerut dahi, kurang paham dengan maksud Badri.
"Ah, jangan berlagak ngaco omongan lu! Mana"!"
tangan Awang diacungkan ke depan, meminta kacamata.
Badri sendiri rupanya berusaha keras menahan kemarahannya la berkata dengan
suara sedikit gemetar dan menggeram jengkel, "Mau main licik lu ya" Pura-pura
minta kacamata padahal kamu telah mencurinya sendiri dari kamarku"!"
"Udah deh, jangan macam-macam," Awang mendekat, makin geram. "Pulangin kacamata
gue atau elu tebus pakai nyawa elu"!"
"Elu ngaku aja terus terang, bahwa elu yang nyuri kacamata itu, kan" Elu
berlagak begini biar gue nggak nuduh elu, kan?"
"Nyuri..."!" Awang makin tajam berkerut dahinya.
"Ngaku ajalah! Nggak usah berlagak minta kacamata!"
"Nyuri pala elu"!" bentak Awang. "Gue baru mau berangkat ke rumah elu dan mau
bunuh elu kalau nggak mau nyerahin kacamata itu! Kok malah dituduh nyuri
kacamata!"
"Habis, siapa dong yang masuk ke kamarku dan nyuri kacamata itu" Siapa dong yang
ngobrak-abrik kamar gue dengan cara mencongkel jendela kamar"!"
Ya. Kamar Badri memang diacak-acak oleh pencuri.
Maling itu masuk lewat jendela. Kamar Badri disatroni pencuri pada siang hari,
ketika Badri ada urusan sebentar di kampusnya. Waktu ia pulang dari kampus, ia
melihat kamarnya sudah seperti kandang kambing. Berantakan semua. Dan sialnya
lagi... kacamata itu hilang dari koper.
Hanya ada dua orang yang dicurigai Badri, kalau bukan Awang, pasti Dharma.
Karena hanya dua orang ini yang menghendaki kacamata tersebut sampai ngototngotot segala. Makanya Badri langsung menuju ke rumah Awang dengan kemarahan
yang hampir meluap itu ditahannya mati-matian.
Setelah tahu bahwa Awang tidak mencuri kacamata tersebut, maka kecurigaan Badri
beralih kepada Dharma.
Ia menemui Dharma. Dan Awang ikut juga. Sebab ia merasa berhak merebut kacamata
tersebut dari tangan siapa pun juga orangnya.
"Kalau Dharma nanti nggak mau ngaku, biar aku yang tusuk dia!" kata Awang dalam
perjalanan ke tempat, kostnya Dharma. Badri bilang. "Jangan dulu. Ntar kalau dia
mati, kita nggak bisa tahu di mana dia simpan barang itu. Lebih baik kita siksa
dulu anak itu!"
Kecurigaan yang sama. fokus pikiran yang searah kepada Dharma. membuat Awang dan
Badri jadi berteman kembali. Berteman untuk berusaha merebut kacamata itu dari
tangan Dharma. Saat itu, Badri pun sempat mengakui kebohongannya dan
menceritakan pertemuannya dengan Anjar. Badri juga sempat bilang kepada Awang
bahwa Anjar itu Ratu Peri.
"Gue nggak peduli dia Ratu Peri atau Ratu Kidul, yang jelas gue suka sama dia.
Gue kangen sama dia. Gue jatuh cinta banget sama dia. Dan... gue harus dapatkan
kembali kacamata itu!" kata Awang terang-terangan.
Maka, ketika sampai di rumah Dharma, Awang maju lebih dulu Dengan kasar ia
Rajawali Sakti Dari Langit Selatan 19 Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen Pedang Pembunuh Naga 12

Cari Blog Ini