Ceritasilat Novel Online

Ratu Peri Selat Sunda 3

Dewi Ular Ratu Peri Dari Selat Sunda Bagian 3


diam saja, karena dia belum mengerti apa yang harus ia lakukan saat itu. Bahkan
ketika Venna mencium pipinya, Dharma justru kelabakan, takut, dan malu jika
sampai ada yang melihatnya. Namun toh mereka yang ada di taman itu hanya cuekcuek saja. Seakan tidak mau menghiraukan apa pun yang dilakukan Dharma dan
Venna. "Kenapa kau takut padaku?" bisik Venna.
"Kenapa kau tidak sepanas dulu lagi, Dharma?"
"Venna... kau... kau telah tiada...."
"Sekarang toh aku ada di depanmu,Dharma?"
Dharma sendiri untuk membasahi kerongkongannya yang kering. Ia mencoba bicara,
walaupun ia merasa ada keringat yang meleleh dari pelipisnya.
"Venna..., aku... takut kepadamu...."
"Jangan takut. Kenapa mesti takut sih" Aku masih Venna yang dulu kok. Yang suka
kau gelitik pinggangku, yang suka kau kecup bibirku, dan yang suka terkulai
pasrah kalau kamu sudah merengek dengan napas terengah-engah...," gadis itu
tertawa kecil. Tangannya bergelayutan di pundak Dharma.
"Kita jalan-jalan yuk...?" ajak Venna.
Dharma tidak bisa menolak, karena tangannya segera digandeng oleh Venna,
kemudian diajak melangkah bersama.
Lama-kelamaan Dharma pun terbiasa dengan
pemandangan berkacamata. Lama-lama Dharma pun terbiasa melangkah di sisi Venna.
Bahkan ia mulai bisa
menghilangkan perasaan dan anggapannya tentang kematian Venna. Ia merasa seakan
Venna masih hidup dan tidak punya niat jahat untuk balas dendam.
"Aku menyesal sekali atas perbuatan dan sikapku tempo hari. Nenni memang benarbenar racun! Racun paling ganas untuk hubungan cinta kasih. Sebab Victor pun
dirusak cintanya dan pisah sama Melina gara-gara tertarik sama Nenni."
"O, jadi Victor sudah pisah sama Melina" Ah, kasihan...."
"Itulah sebabnya aku merasa waktu itu aku seperti diguna-gunai oleh Nenni.
Bahkan kalau aku ingat kata-kataku dulu, aku sering ingin menangis sendiri.
Ingin meminta maaf padamu
"Sudahlah," hibur Venna. "Semuanya toh sudah berlalu. Lupakan saja itu. Yang
penting sekarang kita sudah bisa saling bertemu lagi. Dan... percayalah, aku
masih menyimpan cinta yang seperti dulu, Dharma. Aku masih ingin kau peluk
sambil kita melangkah di senja hari, menyusuri pantai, lalu berakhir di
rerumputan bersemak. Hi hi hi.." kau ingat hal itu, Dharma?"
Dharma tertawa kecil. Kini ia merasakan ada bunga-bunga indah yang mekar di
balik keharuannya. Bunga itu adalah bunga rindu, yang sebenarnya sudah sekian
lama terpendam dan tak mungkin bisa terlampiaskan. Untung ada kacamata hitam.
"Ya, untung kau punya kacamata itu," kata Venna, seakan mengetahui rahasia
kacamata setan itu. "Jangan kau lepas, Dharma. Nanti kalau kau melepas kacamata
itu, kau nggak bisa lihat aku lagi. Kau... kau nggak akan bisa menyentuhku
lagi." Memang, Dharma tidak ingin kehilangan Venna lagi.
Bahkan dia berkala dengan jujur, "Aku nggak mau kehilangan kamu, Ven. Aku kapok
hidup tanpa kamu."
Venna Melangkah, lalu berhenti setelah tersenyum ceria. Ia mencium pipi Dharma
pada saat dua orang pemuda lewat di sampingnya. Dalam pandangan Dharma, pemudapemuda itu lewat dengan cuek saja, walaupun toh mereka juga tidak berpakaian
seperti Venna. Tak satu pun dari mereka yang melirik ke arah Venna, atau mencari
pandang untuk melihat kemulusan tubuh Venna.
Langkah mereka terhenti di depan sebuah rumah berpagar besi tinggi, warna putih
bersih. Rumah itu sangat indah. Berdinding dari keramik hitam bergaris-garis
putih. Halamannya mempunyai taman kecil yang tertata rapi dan punya seni
keindahan tersendiri. Rumah itu juga dilengkapi dengan garasi yang cukup untuk
dua mobil. Sebagian dindingnya terbuat dari kaca rayben warna biru.
"Rumah siapa ini, Venna?"
"Rumahku," jawab Venna sambil tersenyum. Mereka berhenti melangkah setelah Venna
membawa masuk Dharma sampai di depan teras. Mata Dharma
memandang kagum rumah yang mempunyai balkon di bagian atasnya.
"Indah sekali rumah ini," gumam Dharma.
"Sengaja kubuat untuk kita berdua."
"Kau dan aku?"
"Ya. Kau dan aku! Masuklah...!" sambil Venna tersenyum bangga. Lalu, dengan
masih digandeng tangannya oleh Venna, Dharma pun masuk ke rumah tersebut.
Sebelum pintu disentuh, pintu itu sudah terbuka sendiri. Sistem otomatis pintu
seperti itu tidak mengherankan buat Dharma. Yang lebih mengherankan adalah isi
perabot di dalam rumah itu. Wow...! Serba mewah dan berkesan luks. Dharma yakin
tidak ada satu pun perabot yang asli buatan Indonesia.
Itulah sebabnya Dharma tercengang-cengang
mengagumi kemewahan yang ada. Dalam hatinya ia merasa heran, justru setelah
Venna mati, kenapa gadis itu mampu memiliki kekayaan seperti ini" Mungkinkah
semua ini adalah amal baiknya semasa ia hidup"
"Dengan siapa kau di sini, Ven?"
"Sendirian. O, ya... aku punya tiga pembantu yang selalu melayaniku. Nantinya
juga mereka akan melayani kamu."
Plok, plok, plok...!
Venna tepuk tangan tiga kali. Lalu, ketiga pembantu itu muncul dari ruang makan
yang tembus ke ruang dapur. Mereka adalah wanita-wanita cantik, punya keindahan
yang berbeda wajahnya. Dan ketiganya juga tanpa busana, sama seperti Venna.
Bahkan salah satu di antara mereka ada yang mempunyai bentuk dada lebih
menantang ketimbang Venna. Menggairahkan sekali.
"Dia adalah suamiku yang sering kuceritakan kepada kalian," kata Venna kepada
ketiga pelayannya. Mereka pun menganggukkan kepala sambil tersenyum ramah.
Kemudian, mereka bertiga melayani Dharma dan Venna. Gadis itu tidak mengajak
Dharma duduk-duduk di ruang tamu, melainkan di dalam kamar tidur. Sebab di kamar
itu pun ada seperangkat mebel mewah yang lantainya berlapis permadani lembut.
Dharma ingin melepas kacamatanya, tapi tangan Venna buru-buru menahan sambil
berkata, Mangan.
Nanti kamu kehilangan aku!"
"O, iya...!" Dharma meringis.
"Aku tahu selama ini kau menyimpan rindu. Selama ini aku sering menemuimu, tapi
kau tidak bisa melihatku."
"Begitukah?"
"Ya. Jika aku kangen kamu, aku sering datang ke tempat kostmu. Kadang-kadang aku
melihat kamu sedang bercumbu dengan seorang perempuan."
"Kau cemburu?"
Gadis manis itu menggeleng. "Karena aku sadar bahwa cinta adalah memberikan
kebahagiaan lahir batin kepada orang yang dicintai."
Dharma tersenyum, antara malu dan geli. Setelah meneguk minuman yang menyerupai
anggur merah itu, Dharma berkata, "Dulu, hampir tiga kali dalam sebulan aku
mimpi ketemu kamu."
"Itu memang karena aku hadir dalam mimpimu."
"O, ya" Jadi... waktu aku... waktu aku mimpi bercinta dengan kamu di atas
ranjang, apakah...."
"Memang itu kita sedang bercinta."
"Sungguh-sungguh?"
Venna mengangguk. "Sungguh-sungguh. Bagaimana rasanya" Sama saja kan?"
Dharma tertawa lebar. Semakin berani ia menjamah Venna, semakin dekat Venna
beringsut dari duduknya.
Bahkan ketika Venna mendekatkan wajahnya sambil kedua matanya menjadi sayu,
Dharma pun segera mengecup bibir Venna. Lembut, penuh kemesraan dan sentuhan
batin. Rupanya kecupan itu telah membuat rindu menuntut birahi. Venna membiarkan tangan
Dharma bergerak nakal. Kenakalan tangan itulah yang.membuat napas Dharma mulai
terputus-putus.
Debar-debar jantungnya adalah pergolakan darah yang mendidih, pergolakan birahi
yang membara. Namun, ketika Dharma ingin melangkah lebih dalam, Venna segera mencegahnya. Ia
menolak ajakan Dharma untuk bercumbu.
"Kenapa?"
"Kita harus menikah. Tanpa melalui pernikahan, kita akan terpisah lagi."
"Pernikahan yang bagaimana maksudmu?"
"Pernikahan yang agung. Aku sudah siapkan semuanya, tinggal kita datang ke
tempatnya. Dan sekarang di sana pun sudah banyak orang menunggu
kehadiran kita, sebagai mempelai yang ingin mereka saksikan pernikahannya."
"Haaaah..." Jadi... jadi kamu sudah merencanakan hal ini?"
"Sejak kau memiliki kacamata itu, aku sudah menyiapkan pernikahan bersama
pestanya."
Kemudian, Dharma pun diajak pergi ke sebuah gedung yang layaknya gedung olah
raga. Luas dan besar. Dharma belum pernah melihat gedung itu sebelumnya.
Ketika ia diajak memasuki halaman gedung, tiba-tiba beberapa orang tanpa busana
muncul menyambut mereka. Musik pun terdengar mengalun, mengiringi sepasang
pengantin. Dharma dan Venna dikalungi bunga. Kepala mereka diberi mahkota dari
bunga harum warna putih indah. Maka, mereka pun segera digiring menuju ke
pelaminan. Ternyata gedung itu sudah penuh orang, semuanya tanpa selembar benang
pun. Pesta sudah disiapkan, lengkap dengan pembawa acaranya, seorang lelaki tua,
berjenggot dan berambut panjang putih. Usianya mungkin sudah ratusan tahun, tapi
suaranya masih lantang, masih seperti anak muda.
Seorang penghulu yang kondisi fisiknya jauh lebih tua dari pembawa acara segera
meresmikan pernikahan tersebut. Tepuk tangan dan alunan musik terdengar
bergemuruh menandakan resminya Venna menjadi istri Dharma.
"Peluk aku dan ciumlah...," bisik Venna dengan senang hati.
Dharma melakukan permintaan Venna. Ia
memeluknya hingga beberapa saat. Dan anehnya, ia jadi terserang rasa kantuk.
Sungguh rasa kantuk itu tidak bisa ditahan lagi, sampai akhirnya ia jatuh
tertidur sambil memeluk Venna. Nyenyak, dan lelap sekali, sampai tak ingat apaapa lagi. Kenapa bisa begitu" Pengaruh apa yang membuat Dharma sampai tak
sadarkan diri lagi"
-o0o))((dw))((o0o9 Kembali masyarakat dibuat heboh dengan
ditemukannya sesosok mayat. Badannya membiru. Ada bekas-bekas luka seperti luka
bakar. Mayat itu ditemukan dalam posisi memeluk batu nisan sebuah kuburan. Dan
di batu nisan itu tertulis nama: Venna Verina.
Mayat siapa lagi kalau bukan mayat Dharma. Mulutnya ternganga, bagai orang
tercengang, matanya mendelik.
Tampak putih. Seorang juru kunci kuburan yang menemukannya. Anehnya, mayat
Dharma sudah berbau busuk. Sepertinya sudah lima hari ia mati tanpa diketahui
orang. Bagian lubang mulutnya dikerumuni beberapa ekor lalat, juga pada bagian
luka yang mirip bekas luka melepuh itu. Menjijikkan sekali, juga mengerikan.
Juru kunci kuburan itu berkata kepada salah seorang yang dikenalnya, "Kemarin
sore nggak ada mayat di situ.
Hampir magrib aku di sini sama si Mursan, tapi nggak ada apa-apa. Kok pagi-pagi
mayat itu sudah ada?"
"Jangan-jangan ada yang membunuhnya lalu dibuang ke sini?"
"Nggak tahu juga sih. Mungkin memang gitu. Tapi kok nggak ada tanda-tanda yang
mencurigakan. Pintu gerbangnya masih utuh terkunci. Satu-satunya benda yang
mencurigakan cuma kacamata ini!"
"Kamu dapat dari mana kacamata itu?"
"Tergeletak di dekat tubuh mayat itu!" jawab juru kunci.
Lalu, ia bergegas karena dipanggil seorang petugas kepolisian yang hadir di situ
untuk menangani kasus tersebut.
Pada saat peristiwa itu terjadi, Awang sedang berada di Bogor, mengantarkan
adiknya yang ingin masuk IPB.
Pulang dari Bogor, ternyata ia sudah ditunggu Resti di rumahnya.
"Dharma, Wang...," tahu-tahu Resti bicara begitu, tentu saja Awang jadi
kebingungan. "Dharma" Maksudmu bagaimana?"
"Dharma terbunuh."
"Hah...?" Awang terpekik.
"Serius kamu, Res"!"
"Serius!" lalu, Resti pun menceritakan informasi yang sempat diterimanya dari
beberapa teman. Hal itu membuat Awang tertegun bengong untuk beberapa saat.
Resti berkata, "Aku ke sini bukan hanya sekadar mau menyampaikan berita itu
saja, Wang."
"Lalu...?"
"Aku mau ke Bandung. Ada bisnis kecil yang harus kuselesaikan. Tapi... nggak ada
teman yang bisa kuajak ke sana. Kamu mau nggak nganterin aku ke sana, Wang"
Kira-kira lagi repot nggak?"
Awang diam sebentar. Otaknya masih sedikit kacau.
"Kalau kira-kira kamu ada kesibukan tersendiri, ya sudah. Nggak usah aja.
Mungkin aku mau minta diantarkan Lelly saja. Cuma, aku nggak tahu apakah Lelly
mau apa nggak."
"Hmmm... kapan sih?"
"Besok pagi, Wang. Sebenarnya urusannya cuma sebentar kok. Nggak lebih dari dua
jam. Yang lama kan di perjalanannya tuh...!"
"Oke deh! Aku bisa!" jawab Awang mantap. "Tapi sekarang aku minta tolong dulu
padamu." "Soal apa?"
"Aku nggak ada kendaraan nih. Lagi pada dipakai.
Tolong anterin aku ke tempat kostnya Badri dong. Bisa kan?"
Mereka meluncur ke rumah Badri. Sialnya, ternyata Badri tidak ada di tempat.
Awang jadi curiga, apakah Badri sudah mendengar tentang kematian Dharma" Atau
barangkali justru Badri sendiri yang membunuh Dharma, lalu menghilang bersama
kacamata setan itu"
Tanpa Resti, Awang pun segera datang ke tanah kuburan yang dipakai membuang
mayat Dharma. Tentu saja di sana Awang tidak menemukan mayat Dharma.
Mayat itu sudah diangkut ke rumah sakit polisi unt uk proses pemeriksaan
berikutnya. Masih ada tiga-empat orang yang berkasak-kusuk di kuburan itu. Awang diam-diam
menyelidiki daerah sekitar ditemukannya mayat Dharma. Mata Awang memandang kian
kemari, mencari kacamata hitam. Jelas, ia tidak akan menemukan apa-apa di situ.
Tapi ia sempat terkejut ketika membaca tulisan pada batu nisan hitam.
Venna..."! Lho... ini kan kuburannya Venna, bekas pacarnya Dharma yang mati
gantung diri"!
Mulailah Awang menemukan kejanggalan tersebut.
Mulailah benaknya berandai-andai mencari kesimpulan atas kematian Dharma. Sebab,
ia pernah mendengar cerita tentang Venna dari Badri, dan ia pernah melihat wajah
gadis itu satu kali, itu pun sudah cukup lama.
Entah berapa waktu yang lalu.
"Kuburan itu kan kuburan bekas pacarnya Dharma, Pak!" kata Awang kepada juru
kunci. "O, jadi itu makam pacarnya korban"! Ooo...
pantas...!"
Semakin heboh suasana itu, karena juru kunci menyebarkan cerita baru yang
datangnya dari Awang.
Tapi Awang tidak mau banyak bicara lagi. Titik konsentrasinya sedang mencari di
mana kacamata hitam itu. Jika ada yang mengambilnya, siapa orangnya"
Kepada siapa Awang harus meminta informasi tersebut"
Mungkinkah kepada pihak kepolisian" Lalu, apa alasan yang baik jika ia ditanya
tentang hubungannya kacamata itu dengan kematian korban"
-o0o))((dw))((o0oAwang kalah cepat. Itu kenyataan yang belum disadari oleh Awang sendiri. Awang
tidak tahu, bahwa Badri lebih
dulu mendapat kabar tentang kematian Dharma dari salah seorang kenalannya. Ia
segera datang ke lokasi kejadian. Ia mencari kacamata setan.
Badri lebih cerdas dalam berpikir untuk kasus kali ini.
Ia tahu siapa orang pertama yang menemukan mayat Dharma, yaitu sang juru kunci
kuburan. Maka ia segera menghubungi orang tersebut.
"Saya bukan apa-apanya," jawab Badri waktu juru kunci itu menanyakan hubungan
Badri dengan korban.
Sambungnya lagi, "Tapi saya bisa merasakan ada sesuatu yang terlepas dari bagian
tubuhnya. Entah kancing bajunya, atau dompetnya, atau apa saja. Dan melalui
benda itu saya bisa melihat dengan kekuatan batin saya tentang apa dan bagaimana
sebenarnya korban itu" Saya bisa melihat siapa yang membunuhnya, jika memang ia
dibunuh...."
Pokoknya Badri pintar membuat juru kunci itu terpengaruh dan percaya dengan


Dewi Ular Ratu Peri Dari Selat Sunda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengakuan Badri. Juru kunci itu menganggap Badri orang pintai-. Paranormal muda.
"Pasti Bapak menemukan mayat itu secara tiba-tiba, bukan?"
"Benar."
"Pasti ada sesuatu, atau barang yang menjadi milik korban yang jatuh di sekitar
mayat korban. Benar?"
"Hmmmm... iiiy... iya. Benar."
"Tunggu, saya tebak benda apa itu...!" Badri diam, memejamkan mata, berlagak
meneropong dengan
kekuatan batinnya. Setelah itu ia berkata, "Nah, tahu saya! Pasti benda itu
adalah kacamata hitam!"
"Astaga! Iya. Benar. Memang kacamata hitam!" Juru kunci itu semakin kagum kepada
Badri. "Nah, sekarang di mana kacamata hitam itu" Pasti ada pada Bapak, bukan?"
Sifat tebak untung-untungan itu membawa
kemenangan Badri. Juru kunci itu tidak berani berbohong. Ia pun menyerahkan
kacamata hitam kepada Badri dengan tangan gemetar.
"Bapak sudah memakai kacamata itu tadi" Kalau sudah memakainya saya tidak berani
menerima."
"Belum. Sumpah. Belum saya pakai kok. Baru saya kantongi saja. Sumpah deh...."
"Baiklah. Kalau begitu, saya akan teropong lewat kacamata ini, apa sebenarnya
yang terjadi pada diri korban sebelum tewas...!"
Dalam hatinya Badri ingin tertawa keras-keras. Geli sendiri dengan lagaknya.
Dalam hatinya ia juga melonjak kegirangan, karena kini kacamata setan itu telah
berhasil dimiliki. Badri bukan orang bodoh. Ia tidak mau pulang ke rumah
kostnya, sebab ia tahu jika Awang mendengar kematian Dharma ini, pasti ia akan
datang. Awang pasti akan mencari kacamata. Dan jika Awang mendapat informasi
dari juru kunci itu bahwa kacamata sudah diserahkan pada seseorang, pasti Awang
tahu orang itu adalah Badri.
Ia harus bersembunyi.
Ya. Memang harus begitu. Tapi di mana ia harus bersembunyi" Haruskah ia pulang
ke kampungnya"
Malang" O, tidak. Terlalu jauh. Masih ada tempat baginya untuk bersembunyi. Yang
penting bisa dipakai untuk bertemu dengan Dewi Anjar Kusuma. Itu saja. Untuk
selanjutnya bisa dipikirkan nanti.
Badri punya kenalan seorang waria. Namanya Elsye.
Ia kenal akrab dengan Elsye, karena dulu Badri sering membawa teman cowoknya
yang 'diumpankan untuk Elsye, tapi Badri sendiri belum pernah menjadi 'santapan'
Elsye. Waria itu punya salon, rumahnya juga cukup dibilang besar. Ia tinggal di situ
dengan beberapa 'pacarnya'. Di rumah itu, seingat Badri ada pavilyunnya. Badri
mengincar pavilyun itu. Karenanya, ketika ia datang dan bertemu Elsye, Badri pun
bilang, "Gue butuh tempat untuk beberapa hari. Pikiran gue lagi kusut, El. Gue
mau nenangin diri dulu. Kalau bisa gue mau tempati pavilyunmu itu untuk tigaempat hari, kira-kira."
"Aduuuh... pavilyun itu udah ai sewain, Dri. Disewa sama Mas Kusman. Orangnya
ganteng deh, Dri. Ai suka ngeliatin kumisnya yang keren, sesuai sama body-nya
yang kekar."
Badri tidak mengomentari tentang Mas Kusman, tapi ia segera memainkan wajah
kecewanya. Keluhannya terdengar lirih, "Wah, gimana, ya...?"
"Gini aja deh, Dri. Ai ada kamar kosong di belakang, dekat kamar pembantu. Kamu
bisa tempati untuk beberapa saat deh. Itu sebenarnya kamar belajarnya Denis,
tapi Denis lagi pulang kampung."
"Denis itu siapa?"
"Biasa... ai punya cowok dong...," sambil Elsye tertawa genit.
Nah, di situlah Badri akhirnya bersembunyi dari kejaran Awang. Di kamar itulah
Badri memperoleh kesempatan untuk bertemu dengan Dewi Anjar Kusuma.
Malam, ketika nyanyian sepi mengalun dan
melelapkan mereka yang tertidur, Badri mulai mengenakan kacamata itu. Angin
bertiup dengan menimbulkan suara deru. Suasana malam sungguh merupakan suasana
yang sepi dan mencekam. Aneh.
Tidak seperti malam-malam sebelumnya.
Di kamar lain, Elsye sedang bercumbu dengan
'cowoknya' yang baru. Mereka semakin hanyut dalam amukan hasratnya ketika malam
menjadi aneh, dan kesunyian membuai mereka. Elsye tidak tahu apa yang dilakukan
Badri di dalam kamarnya.
Elsye tidak tahu bahwa di kamar itu telah muncul seorang perempuan cantik, bak
bidadari turun dari kayangan. Kehadiran perempuan cantik itu membuat Badri
berdebar-debar kegirangan. Tak dapat dilukiskan lagi keindahan yang dirasakan
Badri pada malam itu.
Padahal ia baru melihat kehadiran Anjar, belum melakukan apa-apa. Padahal ia
baru menatap kagum senyuman indah Anjar, belum menyentuh bibirnya yang tampak
memikat sekali itu.
"Oh, akhirnya kau datang juga, Anjar. Akhirnya kutemukan juga seraut wajah ayumu
di sini...," kata Badri lirih.
Dewi Anjar duduk pelan-pelan di atas kasur. Satu kakinya ditekuk, satunya lagi
dilonjorkan. Punggungnya bersandar pada dinding. Belahan gaunnya tersingkap,
sehingga kemulusan pahanya terlihat menantang.
Jantung Badri semakin menyentak-nyentak, seakan ingin ikut keluar menerobos
tulang dadanya.
"Aku tahu, kau merindukan aku, Badri."
"Ya, aku rindu sekali padamu. Boleh aku duduk di sampingmu?"
"Datanglah... mendekatlah sayang...," sambil satu tangan Anjar diulurkan. Badri
pun mendekat dengan lutut gemetaran. Lalu, tangan Anjar meraih lengan Badri.
Ouhhh... lembutnya. Kehangatan sentuhan itu seakan membuat darah Badri mendidih
dan berjalan mengedari tubuhnya dengan cepat. Siiirrr...!
"Pertahankan agar kacamata itu jangan jatuh di tangan orang lain, Badri. Aku
tidak mau dimiliki oleh orang-orang seperti Dharma, Farok. Ode atau yang
lainnya." "Tentu. Tentu aku akan mempertahankan kacamata ini. Karena aku tidak bisa
dipisahkan lagi dari dirimu.
Anjar...."
Anjar mendekatkan wajah, duduknya tidak lagi bersender pada dinding. Ia
memandangi Badri dengan telapak tangan mengusap pelan wajah Badri. Sedangkan
Badri pun tidak berkedip dalam menatap Anjar. Semakin lama semakin kagum,
semakin terjerat cinta hatinya.
"Jangan gemetar, Badri. Jangan takut. Aku tidak ingin menyakiti kamu, karena aku
adalah istrimu."
"Kau mencintai aku. Anjar?"
Gadis itu mengangguk. Matanya bergerak indah.
Senyumannya makin meremas hati, membuat Badri menjadi gemas.
"Ciumlah aku...," bisik Anjar, lalu ia sedikit memejamkan mata.
Badri pun pelan-pelan menempelkan mulutnya ke pipi Anjar. Wajah perempuan itu
sengaja bergeser pelan, hingga kini mulutnya bertemu dengan mulut Badri.
Bibirnya yang legit itu mulai berani diusapkan ke bibir Badri. Darah Badri
bertambah deras mengalirnya. Bibir itu pun segera dilumatnya, pelan-pelan. Penuh
kelembutan. Namun agaknya tuntutan batin Badri tidak bisa diajak kompromi. Gerakan itu
menjadi brutal. Badri menciumi wajah Anjar tanpa kelembutan lagi. Ia tak mampu
berpura-pura sabar. Bahkan kini tangan Badri mulai berani menjamah bagian-bagian
yang peka pada tubuh Anjar.
Dewi Anjar Kusuma terengah dalam erang gairah.
Wajahnya terdongak karena Badri menciumi lehernya.
Tangan Anjar meremas rambut kepala Badri, menekan kepala itu agar lebih rapat lagi di lehernya.
Dan Badri seperti mendapat perintah untuk lebih ganas lagi. Maka, kini mulut itu
pun merayap sampai turun ke dada Anjar.
Gaun tipis tersingkap bagian atas dan bawahnya. Wajah Badri membenam di antara
dua bukit yang sekal dan mulut tanpa cacat sedikit pun itu.
Badri benar-benar sudah tidak sabar lagi. Napasnya terengah-engah ketika ia
bergegas ingin melepas apa
yang melekat di tubuhnya. Namun, tangan Anjar Kusuma segera menahan gerakan
tangan Badri itu.
"Tunggu, jangan sekarang!" katanya.
"Oh, Anjar... jangan permainkan aku...," pinta Badri bernada mengeluh. Tapi
gadis cantik berambut panjang itu segera turun dari ranjang. Ia menjauhi Badri
dengan langkah mundur. Badri ingin mengejarnya, tapi Anjar Kusuma segera memberi
isyarat dengan tangan agar Badri berhenti di tempat.
"Tahan dulu, Badri! Aku tidak mau melakukannya!"
"Anjar, bukankah aku kau anggap suamimu..." Oh, berilah aku seteguk ketenangan
untuk batinku, Anjar.
Mari, Sayang... mari kupeluk kau dalam kasihku...."
Anjar Kusuma tersenyum sambil menghindari langkah Badri. Ia berkata, "Ada
sesuatu yang harus kau lakukan sebelum kau peroleh surga cinta dariku, Badri."
Napas Badri terhempas panjang. Nadanya kesal. Ia duduk di sebuah kursi plastik.
Matanya tidak memandang Anjar, menampakkan kekecewaannya.
"Badri, malam ini kau hanya bisa menyentuhku dan menciumiku. Tapi kau tidak bisa
mendapatkan puncak kemesraan kita."
"Kenapa?"
"Kau belum menyiapkan korban."
"Apa..."!"
Karena Badri duduk di kursi, maka Anjar Kusuma kembali duduk di tepian ranjang,
la menatap Badri dalam hiasan senyumnya.
"Aku tidak bisa mencapai puncak asmara jika kau tidak menyediakan tumbal
buatku." Merinding bulu kuduk Badri setelah menyadari hal itu.
Hampir saja ia melepas kacamata yang sejak tadi dipakainya, namun Anjar buruburu mengingatkan. Badri tak jadi melepas kacamatanya. la memandang Anjar yang
bicara dengan suara begitu enak didengar.
"Pilihlah seseorang yang akan menjadi korban persembahan cinta kita. Buatlah
janji kepadanya, dan anak buahku akan datang mengambilnya. Kemesraan dan
keindahan asmara yang ada padaku hanya bisa ditebus dengan satu nyawa. Ya, satu
nyawa untuk satu kemesraan yang begitu indah dan akan membuatmu terkesan
sepanjang masa, Badri. Itu sudah merupakan ketentuan yang tidak bisa diubah atau
disanggah oleh siapa pun."
"Satu nyawa...?" gumam Badri.
"Ya. Satu nyawa satu cinta. Kapan saja kau boleh menikmati cintaku, asal kau
sudah siap dengan satu nyawa yang akan menjadi tebusan kasihku."
"Jadi, malam ini juga aku harus membuat janji pada seseorang?"
"Terserah. Bisa malam ini, bisa besok, bisa kapan saja.
Tapi yang jelas, sebelum kau memilihkan korban aku tidak bisa bercinta denganmu.
Aku tidak akan mencapai kebahagiaan yang sempurna."
Badri garuk-garuk kepala. Ia sudah tidak bisa menahan hasrat ingin bercumbu
dengan perempuan secantik Ratu Peri itu. Untuk menundanya sampai besok
saja sudah tak bisa. Karenanya ia harus bisa mencari calon korban malam itu
juga. Ya. Malam ini juga!
"Bagaimana jika kupilih Elsye?"
"Terserah...," jawab Anjar Kusuma. "Tampaknya itu sebuah gagasan yang bagus.
Buat janji padanya, katakan kau akan datang. Dan anak buahku yang datang
menjemputnya."
Maka, tanpa menunggu lebih lama lagi, Badri pun segera bergegas keluar dari
kamar. Ia memberanikan diri mengetuk pintu kamar Elsye. Kebetulan saat itu Elsye
dan 'cowoknya' yang bernama Rudy itu belum tertidur.
Hanya sayangnya, yang membukakan pintu bukan Elsye sendiri, melainkan cowok
ganteng yang bernama Rudy itu. Cowok itu hanya menongolkan wajah dari balik
pintu yang dibuka sedikit.
"Ada apa?"
"Hmmm... anu... eeeh...," Badri gugup. Ia kebingungan mengatakannya.
"Ada apa sih kamu ini" Kok wajahmu pucat gitu" Mau apa"!" desak Rudy yang
tampaknya agak keki tapi juga merasa heran melihat kepucatan wajah Badri.
"Hmmm... anu, Rud... apa bisa nanti aku datang kemari?"
"Maksudmu?"
"Ada yang mau kubicarakan denganmu. Pribadi. Tapi, nanti saja. Beberapa menit
lagi aku ke sini menemui kamu deh."
"Wah, nggak bisa! Aku mau tidur. Ngantuk!"
"Terserah. Pokoknya nanti aku ke sini menemui kamu!" setelah bicara begitu,
Badri segera pergi. Ia mendengar Rudy menggumam, "Sinting lu...."
Tapi Badri tidak peduli. Yang jelas begitu ia kembali masuk ke kamar dengan
mengenakan kacamata hitam lagi, ia melihat wajah Anjar Kusuma tersenyum lebih
ceria, lebih kegirangan lagi.
-o0o))((dw))((o0o10 Sebenarnya Elsye yang dijadikan sasaran. Tapi ternyata Rudy yang bernasib
malang. Betapa tidak"
Pada waktu Elsye terkantuk-kantuk sambil memeluk Rudy, tiba-tiba cowok itu
tersedak, seperti ingin batuk.
Matanya sempat terbuka lebar.
"Heggggh...!"
Elsye masih cuek. Masih ingin hanyut dalam
kantuknya, la hanya menggumam, "Jangan bercanda, ah. Udah capek aku, Rud...."
Elsye tidak tahu bahwa saat itu tubuh Rudy
mengejang, seperti ada yang menarik otot-otot tubuhnya. Bahkan sekarang cowok
itu tersentak-sentak, kejang-kejang dengan gigi menggeletuk rapat, meringis.
Mata mulai terpejam kuat-kuat, seakan ia sedang menahan rasa sakit yang tidak
kepalang tanggung.
"Rud... ah! Udah malam nih, jangan bercanda dong!"
kata Elsye dengan gaya warianya.
Tubuh Rudy tetap tersentak-sentak. Wajahnya jadi pucat. Semua keringat keluar.
Elsye yang segera menyadari hal itu jadi tegang. Mulailah ia merasa panik.
"Rud...! Rudy, kenapa kamu" Kenapa sih"!"Jelas tak bisa ada jawaban dari Rudy.
Giginya semakin menggeletuk kuat-kuat. Tubuhnya bertambah kejang dan tersentaksentak. "Uuuuhhh...!" terdengar suara Rudy seperti orang merintih dengan gigi merapat,
menahan rasa sakityang sangat berat. Bahkan ranjang pun ikut-ikutan bergetar
seirama dengan getaran tubuh Rudy.
Lolong anjing terdengar mengalun panjang, bagai menyambut kedatangan roh yang
dilihatnya melintas di sekitar situ.
Elsye kebingungan. Ia tidak tahu bahwa saat itu adalah saat-saat yang paling
bahagia dirasakan oleh Badri. Elsye tidak tahu bahwa di kamarnya, Badri dan
Anjar Kusuma telah sama-sama mencapai puncak tertinggi dari sebuah kemesraan
yang luar biasa indahnya. Bahkan Badri sempat memeluk Anjar kuat-kuat sambil
merintih indah di sela leher perempuan itu, sedangkan perempuan itu sendiri
meremas pundak Badri dengan mata terpejam kuat-kuat, bibir digigit sesekali
bergantian dengan mulut yang terengah.
-o0o))((dw))((o0oMerinding sekujur tubuh Badri melihat keadaan mayat Rudy yang mengejang kaku,
seperti ayam terbakar.
Tubuhnya menjadi hitam dan berminyak. Baunya busuk.
Tak satu pun anggota tubuhnya yang bisa dilemaskan atau diluruskan kembali.
Kesepuluh jarinya tertekuk kaku, pergelangan tangannya melengkung kaku, lehernya
terdongak kaku, semuanya serba kaku.
Keadaan seperti itu jelas membuat heboh masyarakat setempat. Tak satu pun tahu
penyebab kematian Rudy selain Badri. Malahan ada dugaan bahwa Rudy mati diracun
oleh Elsye. Kasihan Elsye, ia diperiksa oleh pihak kepolisian, dibawa ke kantor
polisi dan diinterogasi hingga kelelahan, akhirnya ia tertidur di kantor polisi.
Sebenarnya kasihan, gumam Badri dalam hatinya.
Tapi semua itu demi Anjar Kusuma. Tanpa begitu, aku tidak bisa memperoleh
kebahagiaan dan kehangatan darinya. Oh, luar biasa perempuan itu. Sungguh luar
biasa. Ia mampu membawaku melayang tinggi sekali dan menggapai puncak keindahan
yang belum pernah kurasakan dengan perempuan lain. Tinggal sekarang, siapa lagi
orang yang akan kupilih untuk menjadi korban cintaku dan cintanya" Ah, enaknya
aku ke kampus aja deh! Di sana banyak korban yang bisa kupilih. Mereka pasti
tidak curiga jika kukatakan bahwa nanti malam aku akan datang padanya...!
Begitulah akhirnya, Badri ketagihan merasakan kenikmatan bercinta dengan Ratu
Peri. Semakin terjerat ia dari kemesraan sang ratu, semakin brutal pula jalan
pikirannya. Tak segan-segan ia melangkah memasuki kampusnya.
Satu demi satu wajah yang ada di situ dipandanginya.
Dipilih sesuai dengan beberapa pertimbangan hati Badri.
"Dri... kamu dicariin Awang!" seru Gagan, teman kostnya dulu.


Dewi Ular Ratu Peri Dari Selat Sunda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mau apa dia nyariin aku?"
"Cuma mau kasih tahu aja, kalau temanmu yang namanya Dharma itu udah mati! Mati
terbunuh secara misterius!"
"O, ya..."! Kapan itu"!" Badri berlagak kaget.
"Dua hari yang lalu!"
Dalam hati Badri bertanya pada dirinya sendiri.
Bagaimana jika Gagan yang jadi korban nanti malam"
Ah, tapi... kasihan dia. Anak itu nggak pernah punya dosa sama aku. Dia baik
kok. Tiba-tiba dari arah belakangnya ada yang mendorong kepalanya dengan kasar. Badri
sempat tersentak ke depan.
"Ke mana saja sih lu"! Lagi bertapa"!"
"Brengsek!" gumam Badri agak jengkel. Orang yang mendorong kepalanya tadi adalah
Devi, cewek yang sering menganggap remeh kepada Badri. Dalam hati Badri langsung
berkata. Nah, ini dia...!
"Kamu dicariin Awang lho. Dri!" kata Devi.
"Iya, gue tahu. Gagan sudah bilang tadi. Eh, Dev...
nanti malam gue ke rumahmu ya" Gue ada bisnis kecil-kecilan nih."
"Bisnis apaan" Elu aja bisnis! Uuuh... apa nggak bangkrut dalam sedetik"!" Devi
dan Gagan tertawa, Badri ikut-ikutan tertawa.
"Bener kok! Gue yakin elu pasti bisa tanganin bisnis gue ini!"
"Untungnya gede nggak?"
"Yah... kalau elu berhasil kerja sama ama gue, pasti cukup gede untungnya."
"Bisnis apaan dulu dong" Jangan-jangan elu ajak gue bisnis jualan celana
monyet..."!"
Mereka tertawa. "Pokoknya, menyenangkan deh buat kamu."
"Hmmm... elu mau datang jam berapa" Kalau bisa jangan malam-malam. Papa dan mama
gue nggak suka kalau aku terima tamu malam-malam. Apalagi tamu cowok yang nggak
keren kayak elu, entar gue bisa ditabok tujuh kali sama Babe!" lalu Devi
mengikik geli. Pada dasarnya, Devi tidak keberatan jika Badri memang datang untuk urusan
bisnis. Dan hati Badri sendiri menjadi lega. Cukup dengan bilang begitu, sudah
membuat Ratu Peri senang hatinya. Dan mulailah terbayang dalam benak Badri
keindahan-keindahan dalam cumbuan si cantik Anjar Kusuma.
Badri harus buru-buru pergi dari kampus, takut kepergok Awang. Malas memberi
alasan dan malas berpura-pura tidak tahu jika Awang menanyakan tentang kacamata
itu. Bagaimanapun juga. Badri tidak ingin melepaskan kacamata itu ke tangan
Awang, walau dengan alasan dipinjam. Tidak bisa.
-o0o))((dw))((o0oKalau saja Awang tidak mengantar Resti ke Bandung, mungkin dia tidak akan
memperoleh pengalaman baru dari gadis itu. Mulanya, Awang tidak tahu bisnis di
Bandung yang sedang digarap Resti. la hanya menduga, bisnis itu adalah tentang
show musik, sebab Resti ingin menemui seorang artis musik yang beraliran jazz.
Namanya Umai, cewek blaster Belanda berdarah ibu Pasundan.
Memang Umai lagi melejit-melejitnya di kalangan musisi jazz. Tapi Awang sama
sekali tidak tertarik, karena pikirannya masih diliputi tentang ke mana perginya
Badri dan ke mana perginya kacamata iblis itu.
Mereka sampai di rumah Umai sudah siang. Awang bersikap pasif dalam pembicaraan
tersebut. Ia bertekad tidak ikut campur untuk masalah kontrak showbis itu. Ia
bahkan menampakkan diri sebagai pengantar atau sopir dari Resti.
Tapi lama-kelamaan dahi Awang berkerut. Merasa aneh mendengar percakapan mereka.
Waktu itu Umai didampingi oleh papa dan mamanya, dan ada juga seorang lelaki
muda di situ yang menjadi kakak Umai.
Tadi diperkenalkan bernama Oce. Hal yang membuat Awang heran pertama kalinya
adalah pertanyaan dari Resti sendiri yang ditujukan kepada Umai, "Sudah berapa
lama Umai pacaran sama Rolan?"
"Dua tahun kurang. Tapi udah lebih dari setahun setengah," jawab Umai.
Oce menyabut, "Dulunya, Rofan teman satu grup dengan saya, Res. Tapi, kami
segera bubar karena salah satu anggota band kami membentuk grup sendiri."
"Ooo... kalau gitu, Oce hafal dengan wajah Rofan dong."
"Sangat hafal! Sekarang pun kalau dia muncul mungkin langsung saya tancep dia!
Urusan belakangan deh!"
"Sebenarnya itu bukan penyelesaian," ujar papanya Umai yang masih tampak wajahwajah Belanda-nya.
"Kami cuma ingin, semua masalah ini selesai dengan baik-baik. Tidak pakai
kekerasan."
"Sudah lapor ke polisi?"
"Sudah," jawab Umai. "Tapi sampai hampir satu bulan ini belum ada hasil. Polisi
belum bisa mengetahui di mana Rofan berada."
Resti manggut-manggut. Tenang. Awang
memperhatikan Resti sambil memendam keheranan. Ia masih belum tahu persis
permasalahan yang dibicarakan, namun sudah bisa meraba bahwa kehadiran Resti di
situ bukan untuk urusan showbis.
Resti berkata kepada Umai, "Jadi, kalau boleh saya tahu, apa saja yang dibawa
lari oleh Rofan?"
"Uang tunai sebesar empat juta dua ratus ribu. Tas kecil saya berisi perhiasan
senilai lima jutaan, koper pakaian-pakaian saya senilai yaaah... kira-kira duatiga juta lah...."
Oce menyahut, "Selama ini Rofan yang menangani masalah shownya Umai. Dia juga
merangkap sebagai pengawal Umai dan... pokoknya segala sesuatu tentang shownya
Umai kami percayakan pada dia."
"Dan satu hal lagi,!' celetuk papanya, "Rofan harus bertanggung jawab dengan
bayi dalam kandungan Umai."
"Oh..."!" Resti terkejut Umai menundukkan wajah.
Murung sedih. Oce nyeletuk lagi, "Itulah yang membuat aku nggak bisa sabar lagi, Res. Soal
harta yang dibawa kabur sih bisa dimaafkan. Tapi soal kehormatan dan tanggung
jawabnya itu yang membuat aku nggak suka lihat dia masih hidup."
Oce tampak geram sekali. Awang kini tahu
masalahnya. Umai terkena 'musibah' hasil perbuatan pacarnya yang bernama Rofan.
Tapi, apa hubungannya sehingga keluarga Umai sepertinya sengaja memanggil Resti
untuk menangani kasus tersebut" Bisa apa si Resti itu"
Awang tetap tutup mulut dan mengikuti pembicaraan selanjutnya.
Kata Resti, "Saya minta fotonya Rofan...."
Segera Umai memberikan selembar foto cowok yang bernama Rofan itu. Resti diam
saja. Foto itu dipandangi beberapa saat. Kemudian Resti memejamkan mata.
Tangannya memegangi foto itu, tangan yang satunya memegangi dahi, dekat pelipis.
Dahinya sedikit berkerut.
Napasnya teratur. Awang jadi semakin heran.
Suasana jadi hening. Sepi. Semua mulut terbungkam.
Ada yang diam sambil sesekali memperhatikan Resti. Ada yang diam sambil
menundukkan wajah, terutama Umai.
Ada yang bungkam sambil memandang ke arah lain.
Hanya Awang saja yang sejak tadi memperhatikan Resti dengan hati bertanya-tanya
sendiri. Kepala Resti bergerak-gerak pelan, lamban Seperti menengok ke sana-sini mencari
sesuatu Kadang miring ke kiri, miring ke kanan seperti sedang mengamati
sesuatu dalam bayangan benaknya. Tapi kedua matanya tetap terpejam.
Cukup lama hal itu ia lakukan. Oce sampai
menghabiskan rokok satu batang. Lalu, pelan-pelan mata Resti akhirnya dibuka. Ia
menghempaskan napas panjang. Foto diletakkan di meja. Semua mata memandang ke
arahnya, menunggu apa yang akan dikatakannya.
"Apakah Rofan punya cewek lain yang tubuhnya agak pendek dan lebih gemuk dari
kamu?"' Umai berkerut dahi, memikir-mikir. Sebelum
menjawab Resti sudah berkata lagi, "Cewek itu beralis tebal, matanya sedikit,
besar, tapi bukan berbentuk bundar helok. Biasa saja. Di ujung dagu kirinya ada
tahi lalat kecil...."
Oce langsung menjawab, "Natasa!"
Umai menggumam heran, "Natasa"!"
"Ya. Bekas pacarnya yang sewaktu dia ngegrup sama aku!"
Umai, mama dan papanya manggut-manggut. Mereka kembali menatap Resti. Menunggu
apa yang dikatakan Resti.
"Siapa namanya" Natasa?" ulang Resti kepada Oce.
"Ya. Natasa. Itu nama samaran. Nama aslinya aku nggak tahu!"
Kembali Resti memejamkan mata. Tangan kanannya memegangi pelipis, bibirnya
bergerak-gerak menyebut lirih sekali nama Natasa.
"Natasa... Natasa... Natasa... Natasa...," makin lama makin hilang. Diam. Sepi
lagi. Setelah beberapa saat, Resti melepaskan
konsentrasinya. Ia berkata kepada Oce, "Apakah Natasa itu anak Jakarta?"
"Ya. Tinggalnya di Jalan Perdatam. Aku tahu rumahnya kok."
"Kalau begitu," kata Resti. "Kalian bisa datang ke sana, ke rumah Natasa. Sebab,
aku melihat Rofan ada di sana...!"
Awang berkata dalam hati, sok tahu amat si Resti ini"!
Tapi nyatanya Umai sekeluarga sangat percaya dengan kata-kata Resti. Terbukti
wajah-wajah mereka tampak lega. Walaupun belum lega secara total. Paling tidak
mereka merasa sudah menemukan titik cerah dalam kasus ini.
"Aku akan mengerahkan teman-teman biar menyeret Rofan dari rumah Natasa
kemari...!" kata Oce yang bertemperamen tinggi.
"Jangan!" cegah mamanya. "Selesaikan dengan baik.
Kalau ada apa-apa, kasihan bayi dalam kandungan Umai ini, Oce!"
"Ya, saya rasa memang begitu," sambung Resti.
"Salah seorang saja menengok ke Jakarta, apakah benar Rofan ada di rumah Natasa.
Bujuk dia secara baik-baik.
Jika memang dia tidak mau dan bersikap kasar, tinggalkan dia. Biar nanti saya
yang akan membuat dia datang sendiri ke sini, meminta maaf kepada Umai sampai
kalau perlu mencium-cium kaki Umai, bersujud di hadapan Oom dan Tante...!"
"O, bisa begitu, Nak Resti?" tanya mamanya Umai.
"Bisa, Tante. Tapi... terlebih dulu dicoba menemui dia secara baik-baik."
"Biar aku saja yang menemui dia!" kata Oce.
"Sama Papa, Ce!" sahut papanya. Rupanya lelaki berusia enam puluh satu tahun itu
merasa khawatir jika anak lelakinya hertindak kasar terhadap Rofan.
Oce hanya angkat bahu. "Kalau gitu, sekarang saja kita berangkat ke sana, Pa! O,
ya... kamu mau langsung pulang ke Jakarta atau mau santai dulu di sini"
Barangkali mau keliling kota Bandung atau menemui keluarga yang ada di sini?"
"Tidak, Ce. Aku langsung saja pulang bersama Awang.
Kurasa masalahnya sudah jelas. Dan... o, ya... kalau boleh aku akan mengikuti
kamu ke Jalan Perdatam itu.
Siapa tahu ada sesuatu yang bisa kulakukan setelah kita bisa bertatap muka
dengan Rofan."
"Wah, senang sekali kami kalau kamu mau ikut menemui Rofan!"
Oce dan papanya dalam satu mobil. Resti dan Awang dalam mobil sendiri. Awang
yang menyetir mobil itu, mengikuti mobilnya Oce. Sementara sambil
mengemudikan mobil Awang masih belum habis pikir tentang hal-hal yang didengar
dan dilihatnya tadi.
Akhirnya ia nyeplos, berkata kepada Resti, "Elu paranormal ya?"
"Kata orang-orang yang tahu sih begitu," jawab Resti santai.
"Gila! Nggak sangka kalau kamu punya potensi seperti itu!"
Resti hanya tersenyum. Berkesan lebih merendahkan diri.
"Sejak kapan kamu punya potensi kayak gitu, Res?"
"Sudah lama. Hal ini kurasakan sejak aku kelas enam SD, tapi baru bisa disadari
oleh orangtuaku setelah aku kelas tiga SMP."
Awang berdecak sambil tersenyum, antara geli dan kagum. Ia juga geleng-geleng
kepala sambil berkata,
"Kenapa nggak ngomong dari dulu sih?"
"Ngomong soal apaan" Orang nggak ada yang perlu diomongkan!"
Awang melirik Resti lagi. Gadis itu tersenyum. Malah merasa malu dilirik dengan
penuh rasa kagum. Ia sempat buang muka, memandang ke arah kirinya.
"Ilmu dari siapa itu, Res?"
"Nggak tahu! Kayaknya ilmu tiban."
"Ilmu tiban bagaimana?"
"Yaaah... semacam sudah kodratnya begini. Nggak pernah ada yang menurunkan ilmu
ini padaku. Nggak pernah ada yang ngajarin. Nggak pernah pakai puasa segala.
Pokoknya, tahu-tahu aku sudah bisa meneropong ke masa silam maupun ke masa lalu
dengan kekuatan supernaturalku."
"Banyak yang tahu tentang hal itu?"
"Teman-teman kampus hanya ada tiga orang yang tahu. Oce tahu tentang aku karena
ku ini dulu pernah sama-sama show di Ancol dan ada suatu peristiwa yang membuat
aku terpaksa menggunakan potensi seperti itu.
Sejak itu Oce kenal baik denganku."
"Hmmm...," Awang manggut-manggut. "Dia pacarmu?"
"Siapa?" Resti berpaling menatap Awang.
"Oce itu...!"
Resti tertawa kecil. "Pacar...!" gumamnya sambil mencibir.
"Dia ganteng kan?"
"Memang ganteng."
"Masa' kamu nggak tertarik sama dia?"
"Kalau tertarik apa kamu cemburu?"
Awang terbungkam. Hanya ketawa tanpa arti. Tapi sebenarnya ia bingung
menjawabnya. Dan sesuatu yang semakin membuat ia tambah bingung setelah mereka
tiba di Jakarta. Mereka langsung ke rumah Natasa. Dan ternyata cowok yang
bernama Rofan itu memang ada di rumah itu. Persis seperti apa kata Resti dari
Bandung. Juga tentang gadis yang bernama Natasa itu punya ciri-ciri yang persis kata-kata
Resti di depan Umai. Awang melihat gadis itu dengan mata tak berkedip. Bukan
tertarik dengan kecantikan Natasa, tapi terkesima dengan kebenaran ucapan Resti.
"Rupanya selama ini aku dibayang-bayangi oleh cewek yang punya kekuatan batin
luar biasa," kata Awang dalam perjalanan pulangnya. "Bodoh sekali aku ini!
Kenapa tidak mengetahui keadaanmu dari dulu" Kenapa baru sekarang?"
"Memang kamu bodoh," ujar Resti dalam selorohnya.
Ia tertawa sendiri.
Lalu, Awang bilang, "Kalau begitu aku bisa minta tolong padamu dong!"
"Minta tolong apaan" Mencari kacamata setan?"
"Astaga"! Kamu tahu soal kacamata itu?" Awang terkejut.
"Sejak kematian Farok aku sudah mengetahuinya. Dan aku juga merasakan adanya
energi besar dalam kacamata itu."
"Jadi... kau tahu sekarang kacamata itu ada di mana?"
Resti menatap Awang. Ia ragu, apakah harus
menjawab secara apa adanya, atau harus merahasiakan supaya Awang tidak terjebak
dalam pelukan Ratu Peri itu" Bingung juga Resti jadinya.
-o0o))((dw))((o0o11 Desakan Awang membuat Resti akhirnya mengaku. Itu pun terjadi setelah sehari
mereka pulang dari Bandung.
Dalam sehari itu, ternyata Badri sudah berhasil merenggut korban nyawa Devi.
Kematian Devi sama persis dengan kematian Rudy. Tubuhnya menghitam dan
berminyak. Serba kaku. Ia mati di kamar tidurnya, tanpa diketahui siapa pun
proses menjelang ajal itu.
Kematian Devi pula yang membuat Resti akhirnya berkata kepada Awang, "Coba cari,
siapa di antara teman kita yang tidak hadir dalam upacara pemakaman ini?"
"Badri...," jawab Awang setelah berpikir beberapa saat.
"Nah, dialah pembunuhnya," kata Resti.
"Badri"! Jadi... oh, tapi bagaimana caranya Badri bisa membunuh Devi dalam
keadaan mayat seperti itu"
Apakah disiram air keras terlebih dulu?"
Resti menggelengkan kepala sambil menyunggingkan senyum tipis, berkesan sinis.
Bukan sinis kepada Awang, tapi sinis kepada bayangan wajah Badri. Ia pun segera
bergeser mencari tempat sepi. Awang mengikutinya.
Mereka menunggu upacara pemakaman mayat Devi itu selesai.
"Kau yakin Badri yang membunuh Devi?"
"Bukan Badri langsung yang melakukannya, tapi Peri Penguasa Selat Sunda itu yang
melakukannya."
Makin tercengang Awang mendengarnya, karena ia ingat dulu Kakek Nayom pernah
menyinggung-nyinggung Ratu Peri anak keturunan penguasa Krakatau. Ternyata Resti
mengetahui juga hal itu, dan ini sama sekali mengejutkan bagi Awang, sama sekali
tak pernah diduga oleh Awang bahwa Resti pun tahu hal itu.
Sekarang Awang tahu, kacamata itu ada di tangan Badri. Bahkan Resti sudah
menceritakan bagaimana kekuatan yang ada dalam kacamata itu, yang semuanya sama
persis dengan cerita dari Kek Nayom. Tapi bagaimana cara merebutnya, Awang belum


Dewi Ular Ratu Peri Dari Selat Sunda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

punya konsep yang baik. Ia masih memakai konsep adu kekuatan.
"Kamu kalah kalau adu kekuatan dengan Badri sekarang ini. Soalnya dia bisa minta
bantuan kekuatan dari anak buah Dewi Anjar. Dan kamu tidak akan mampu melawan
para siluman yang besar dan tingginya melebihi tiang listrik itu."
"Astaga..."!" Awang merinding seketika. "Lalu, apa yang harus kulakukan, Res"
Pokoknya aku bertekad untuk menghancurkan kacamata itu daripada menjadi
malapetaka bagi siapa saja. Jika kacamata itu tidak hancur, maka akan tumbuh
korban-korban berikutnya, entah hasil perbuatan Badri atau orang lain yang
memegang kacamata itu. Aku sendiri takut kalau aku terlalu lama menyimpan
kacamata itu, nanti aku bisa menjadi pembunuh seperti Badri."
Resti tersenyum menyindir, "Takut jadi pembunuh apa takut kehilangan Dewi Anjar
Kusuma?" Awang tidak menjawab, hanya menampakkan
kegelisahannya saja. Lalu, Resti berkata, "Bujuk si Badri supaya mau meminjamkan
kacamata itu, lalu kau tukar dengan kacamata palsu yang sudah disiapkan persis
dengan kacamata tersebut."
"O, iya... begitu saja, ya" Tapi... bagaimana aku bisa memperoleh kacamata
palsu?" "Pesan di optik, tentukan design-nya, supaya persis dengan yang asli dari bentuk
dan warnanya."
Sebuah ide yang sederhana tapi bernilai tinggi menurut Awang. Ia pun segera
memesan kacamata palsu ke sebuah optik. Ia masih ingat bentuk dan warna
kacamata iblis itu. Bahkan kepada pihak optikal yang bersangkutan, Awang minta
dibuatkan kacamata itu dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Biaya tinggi tidak
masalah baginya.
Dua hari kemudian, kacamata itu selesai. Persis dengan kacamata setan aslinya.
Cuma ada sedikit beda ukuran tangkainya. Beda setengah centi meter. Lebih
panjang tangkai yang asli. Tapi Awang yakin, hal itu tidak akan kentara.
Selama dua hari ini, Awang selalu mencari berita tentang Badri. Namun yang
ditemukan hanya korban-korban berikutnya yang mempunyai ciri kematian sama
dengan Devi. Jelas bagi Awang, Badri semakin gila dengan kacamata itu, sebab
yang dipilih adalah teman-teman kampusnya sendiri untuk dijadikan korban
percintaannya. Badri tidak tahu bahwa Awang telah menyiapkan kacamata palsu. Awang memakai
celana yang bersaku lebar. Sedikit komprang. Kedua saku ada di kanan kiri
pahanya. Di sebelah kanan itulah kacamata palsu telah siap menunggu
penggantinya. "Bisa deh pokoknya...," pikir Awang. "Begitu kacamata setan itu berhasil
kupinjam, langsung kumasukkan ke saku kiri, dan beberapa saat kukeluarkan yang
palsu dengan pura-pura tidak jadi tertarik. Atau, jika Badri ngotot tidak boleh,
kurebut kacamata setan itu, dan kumasukkan ke dalam saku kanan. Kalau dia makin
ngotot, kukembalikan kacamata itu, tapi sudah kuganti dengan yang palsu. Dia
tidak akan tahu kalau yang asli masih ada di dalam saku celana yang kanan ini.
Ah, mudah saja sih mencari akal buat merebut kacamata itu.
Tapi bagaimana kalau Badri tidak mengeluarkan kacamatanya..." Bagaimana aku
harus merebutnya kalau aku tidak tahu di mana ia menyimpan kacamata itu...?"
Sambil mengendarai motor bebek milik adiknya, Awang berkecamuk terus dalam hat
i, mencari jalan terbaik bagi misinya. Beberapa alternatif dipikirkan, tapi
belum tahu yang mana yang bakal dipakai. Sampai akhirnya ia tiba di kampus, ia
belum bisa menentukan langkah yang terbaik untuk mengambil kacamata itu .
"Wang... elu katanya nyariin Badri?" ujar Gagan di tempat parkir motor.
Awang bersemangat "Iya. Mana dia" Mana...?""
"Tadi gue lihat dia jalan sama Teja ke lantai dua!"
Tanpa banyak komentar. Awang langsung mengejar dengan berlari-lari. Sampai di
lantai dua, ia bertemu dengan Teja yang sedang berdiri di depan papan
pengumuman. "Ja, lihat Badri nggak?"
"Barusan turun! Baru aja!"
"Lewat tangga ujung kali!" jawab Teja. "Ada apa sih?"
"Nggak...," hanya itu jawab Awang, kemudian ia bergegas turun kembali. Kali ini
ia tidak berlari, karena takut dicurigai teman-teman yang lain, juga takut
mengundang kecurigaan bagi Badri.
Awang jadi jengkel sendiri. Di lantai bawah ia gagal menemukan Badri. Bahkan
sampai ke kantin ia cari anak itu, yang ada cuma teman-teman yang lain. Awang
menanyakannya, tapi mereka tidak ada yang melihat Badri masuk ke kantin.
"Ngepet...! Ke mana anak itu?" gerutu Awang sambil ngos-ngosan.
"Ngapain sih nafsu amat nyariin Badri?" tanya Eka.
"Mau nagih hutang sama dia, ya?"
"Ah...!" Awang mendesah jengkel, lalu meninggalkan kantin. Ia melangkah cepat ke
ruang rektorat. Di sana ia bertemu dengan Resti.
"Badri...," kata Awang dengan ketegangan yang semakin jelas.
Resti tenang. Ia hanya menjawab, "Tadi dia ada di sini, tapi sekarang menuju ke
tempat parkir bersama Yoyok. Kejar aja ke sana!"
Baru saja Awang mau bergegas lari, tangan Resti menahan lengannya. Mereka saling
beradu pandang.
Resti berkata pelan, "Hati-hati...."
Ucapan itu seakan meresap sampai ke dasar hati Awang. Ia tahu gadis itu amat
mencemaskan dirinya, tapi ditutup dengan ketenangan. Awang juga tahu, Resti
punya perhatian khusus kepadanya, tapi gadis itu pandai menyembunyikannya.
Tatapan mata tadi membuat Awang bagai mendapat setetes embun sejuk di sela
hatinya yang gundah mengejar Badri.
Di tempat parkir memang ada Badri. Mau pergi bersama Yoyok. Badri sudah memakai
helm. Ia mau membonceng Yoyok. Awang segera berlari dan
memanggilnya, "Badri...!"
Melihat kedatangan Awang, Badri sempat
menggeragap tegang. Bahkan helm yang sudah
dipakainya mau dilepaskan. Ia mau lari. Tapi tiba-tiba
ada sesuatu yang membuat ia menjadi tenang. Bahkan di bibirnya tersungging
senyum yang amat tipis dan bernada sinis. Ia tetap diam di tempat, menunggu
kedatangan Awang.
Yoyok menstarter motornya. Badri naik di boncengan.
Awang mempercepat larinya. Sempat didengar oleh Yoyok yang tidak tahu masalak
apa-apa, bisikan Badri yang berbunyi, "Satu kali aku bicara dengannya, cepatcepatlah tancap gas. Dia pasti mau pinjam duit sama aku!"
"Oke...," jawab Yoyok.
Benar. Begitu Awang tiba di situ, ia langsung berkata,
"Dri... ada yang ingin kubicatakan sebentar denganmu. Nggak lebih dari dua menit
deh!" "Nanti malam saja aku datang ke rumahmu. Oke"
Cabut, Yok!"
Dan Yoyok pun mulai tancap gas, keluar dari kampus.
"Dri.... Tunggu sebentar! Hoooi....!" Awang berusaha mengejarnya.
Motornya segera distarter dan ia pun tancap gas tanpa memakai helm. Deru
motornya membuat anak-anak di depan gedung saling bertepuk tangan dan bersuitsuit melecehkan Awang. Bahkan ada yang berseru, "Hoi, adu balapnya di Sentul
dong, bukan di kampus...!"
"Kayak dia sendiri yang punya motor!" gerutu yang lain.
Persetan dengan celoteh mereka. Yang penting Awang harus bisa mengejar Badri. Ia
mulai membabi buta dalam mengendarai motor dijalan raya. Meliuk-liuk menghindari
kendaraan lain, sebab tampaknya Badri tahu kalau dikejar dan ia menyuruh Yoyok
menambah kecepatan.
Mereka saling kebut tanpa merasa takut kena tilang.
Ciiit...! Rem terpaksa diinjak oleh Awang. Nyaris motornya terpelanting.
"Bangsat!" geramnya sambil memukul stang motor.
Awang tertahan oleh pintu persimpangan jalan kereta api. Sedangkan Yoyok dan
Badri lolos, mereka melesat terus dengan kecepatan tinggi. Jaraknya sudah tidak
memungkinkan untuk dikejar. Mau tak mau Awang membatalkan niatnya, kembali lagi
ke kampus dengan wajah merah menahan kemarahan.Sampai di kampus, Resti
menyambutnya. Wajah Resti tampak menyimpan kecemasan, la bertanya, "Bagaimana?"
"Gagal!" Awang turun dari motor yang sudah ditaruh di tempat parkir. Resti tahu
kekecewaan Awang. Ia segera membawa pemuda itu ke kantin. Mengajaknya minum,
membuat supaya Awang menguasai
ketenangannya. Setelah beberapa saat mereka saling bungkam, barulah Resti bicara
lebih dulu. "Dia tahu kalau kau ingin mengambil kacamata itu."
"Kurasa begitu. Dan dia sudah siap-siap untuk kabur.
Buktinya begitu aku mendekatinya, dia langsung ngomong kalau nanti malam mau
datang ke rumahku.
Habis itu dia cabut dan menghilang. Aku yakin dia nggak bakalan ke rumah. Malah
sembunyi makin rapat...."
Resti diam.Tapi wajahnya menjadi tegang. Matanya tak berkedip menatap Awang.
Mulutnya ternganga sedikit. Hal itu membuat Awang curiga. Sepertinya ada
sesuatu yang menakutkan pada diri Awang. Maka, hal itu pun segera ditanyakan,
"Kenapa...?"
"Dia bilang apa?"
"Dia janji mau datang ke rumahku nanti malam."
"Oh... celaka...," gumam Resti semakin tambah cemas. "Itu tandanya kaulah yang
akan jadi korban berikutnya."
"Haaah..."!" Awang tersentak kaget . Lalu, ia ingat cerita Kek Nayom tentang
Kakek Somo dalam mencari tumbal buat kemesraannya dengan Ratu Peri. Hanya dengan
sebuah janji, dan kemesraan itu akan diperoleh sedangkan orang yang diberi janji
akan mati saat itu juga.
"Astaga..."!" semakin tegang Awang menatap Resti.
"Jadi dia telah memilih aku sebagai korbannya untuk nanti malam" Aduh, gimana
ini, Res..."! Gue harus cari anak itu dan harus dibunuh lebih dulu!"
"Tunggu...! Mungkin masih ada jalan lain!" kata Resti.
"Jalan apa" Jalan apa, Res"! Jelas aku yang akan jadi korban seperti Devi. Kalau
dia tidak dibunuh dia bisa bermesraan dengan Ratu Peri itu...!"
Resti tidak memberikan komentar apa-apa. Ia diam, memejamkan mata, tangan
kanannya memegangi pelipis kanan. Dahinya sedikit berkerut. Beberapa saat
kemudian, ia baru berkata lagi, "Ada jalan lain!"
"Jalan apa?"
"Minta bantuan almarhum kakekmu yang menjadi pemilik kacamata itu. Cuma dia yang
bisa menghancurkan kacamata itu sebelum dipakai oleh Badri."
"Kakekku kan sudah mati?"
"Bangkitkan dari kuburnya!"
"Ah, gila lu!"
Resti menelan napas dulu, baru berkata lagi, "Gali makam kakekmu itu, biarkan
kena air hujan. Lalu, mintalah bantuan kepadanya jika mayat itu sudah bangkit
lagi." "Bagaimana kalau dia bangkit seterusnya?"
"Nggak mungkin. Aku bisa mengembalikan keadaan dia."
"Kau berani jamin"!"
"Ya! Aku berani menjamin dia tidak akan bangkit selamanya!"
"Oke, tapi... eh... bagaimana dengan hujan" Belum tentu saat kuburan sudah
kugali, hujan akan turun?"
Resti menepuk pundak Awang. "Kamu nggak sendirian, Wang. Kamu bersama aku."
Masih sulit mengartikan kata-kata Resti. Tapi Awang menurut saja apa perintah
gadis itu. Ia menyiapkan cangkul. Juga sebuah skop tanah berukuran besar.
Cangkul dan skop dimasukkan ke bagasi mobil. Mereka akan berangkat ke kuburan
Kakek Somo dengan menggunakan mobil nya Resti. Mereka harus berangkat setelah
hari menjadi petang. Itu saran Resti. Supaya penggalian kuburan itu tidak
diketahui oleh siapa pun.
Pukul setengah tujuh malam, Awang dan Resti meluncur ke makam Kakek Somo.
Suasana di sana memang sepi. Mencekam. Kendaraan masih ramai berlalu lalang,
tapi jarak kuburan dengan jalan raya lebih dari seratus meter, sehingga
kesunyian tetap saja mencekam dan menimbulkan suasana seram. Apalagi Awang ingal
bahwa malam itu adalah malam Jumat.
Semakin merinding bulu kuduk Awang pada saat ia turunkan cangkul dan skop dari
bagasi mobil . Memang langit tampak cerah. Bintang Ikii taburan dan rembulan mengintip kecil di
sudut sana. Suasana seperti itu justru membuat Awang jadi tambah seram
memandang batu batu nisan yang bertonjolan dalam keremangan cahaya. Malahan saat
itu angin bertiup membawa udara busuk. Bau bangkai tercium oleh Awang dan Resti.
Awang mau meludah, tapi Resti melarang,
"Jangan meludah! Biar cepat hilang bau busuk ini!"
Detak-detak jantung Awang semakin
mengguncangkan persendian. Keringat dingin keluar.
Lemas rasa sekujur tubuh. Tapi ia dipaksa harus menggali makam Kakek Somo itu.
Sementara Resti hanya diam saja, berdiri antara tiga langkah dari makam Kakek
Somo. Kedua tangannya terlipat di dada. Matanya memandang ke sana- sini, seakan
dialah yang menjaga agar jangan sampai ada gangguan yang datang.
"Aooouuung...!" lolong anjing terdengar di kejauhan pada saat Awang berhasil
menggali kuburan itu, lima cangkulan. Ia berhenti menggali, merasa kaku
pundaknya akibat mendengar suara lolong anjing.
"Teruskan, Wang...," bisik Resti.
Jluk... jluk... jluk... kuburan itu dicangkul, dibongkar gundukannya. Suara
burung hantu terdengar
mengejutkan Awang, membuat Awang semakin
terengah-engah. Ia berhenti sebentar, lalu menggali lagi.
Sampai akhirnya galian itu menjadi dalam. Awang bertambah gemetaran. Ayunan
cangkulnya limbung.
Krak.! Ada papah yang terkena cangkulnya. Ia terpekik kaget.
"Bongkar terus sampai terlihat mayatnya...!" kata Resti dengan suara bernada
tegang juga. "Busuk, Res.!"
"Jangan meludah. Tahan...! Aku akan mendatangkan hujan...."
Gila! Resti mau mendatangkan hujan" Apa bisa"
Apakah dia pawang hujan, yang bisa menolak dan mendatangkan hujan sewaktu-waktu"
Entahlah. Awang tidak berpikir begitu. Namun yang jelas, papan-papan itu segera
dibongkar Awang. Bau busuk makin menyebar tajam. Tampak mayat Kakek Somo dalam
keremangan cahaya bintang. Tak jelas. Tapi dari bentuk onggokannya. Awang yakin
itu jasad mayat Kakek Somo.
Awang buru-buru naik dari liang. Susah payah ia naik ke situ, karena tubuhnya
lemas, bagai tak punya kekuatan.
Setelah sampai di atas liang kubur, ia terengah-engah, dan memandang heran
kepada Resti yang memejamkan mata dengan tangan kanan ditempelkan di pelipis
kanannya. Tak berapa lama, langit menjadi gelap. Sedikit pun tak ada kecerahan. Oh,
rupanya mendung mulai datang.
Makin lama makin tebal. Makin gelap suasana di kuburan itu. Awang se makin
ketakutan. Ia merangkak, mendekati kaki Resti. Tapi ia tak berani menyentuh atau
me manggil Resti yang sedang berkonsentrasi memanggil hujan.
Lalu, terasa di tangan Awang ada tetesan air Tes...!
Nah, gerimis mulai tiba. Dalam waktu singkat, gerimis itu menjadi nyata. Lalu,
breeess...! Hujan turun dengan deras. Awang dan Resti membiarkan tubuhnya
diguyur air hujan.
Resti sudah tidak berkonsentrasi. Resti berbisik kepada Awang, ia ikut jongkok,
"Nah bicaralah dengan mayat kakekmu, suruh dia menghancurkan kacamata tersebut
sekarang juga...."
Awang hanya mengangguk. Ia tak bisa menjawab karena dari liang kubur itu ia
melihat bayangan jari tangan yang memegang tepian liang. Suara gemuruh dari
dalam liang pun terdengar. Awang semakin menggigil. Dan mulutnya tambah kelu
pada saat dari dalam liang itu ia melihat kemunculan mayat Kakek Somo yang sudah
membusuk dan rusak-rusak itu.
"Awang...!" terdengar suara mayat Kakek Somo yang serak memanggil cucunya. Awang
berlindung di belakang punggung Resti. Keduanya sama-sama menggigil.
"Mengapa kau membangunkan aku, Awang...?"
Resti menyuruh Awang bicara. "Lekas... lekas...!
Ngomong!" Awang terbata-bata. Mayat Kakek Somo hanya diam berdiri di tepian liang kubur,
menunggu kata-kata cucunya. Lalu, Awang pun berusaha menggerakkan bibirnya yang
gemetaran, "Ka... kacamata... kacamata Kakek... ada yang... mencurinya... dan...
dan aku mau dijadikan korban, Kek...."
"Siapa yang berani mengambil istriku, hah..."!" suara serak itu bernada marah.
Awang nyaris tak bisa menghentikan gerakan tangan dan kakinya yang menggigil
tersiram hujan dan merasa takut.
"Kek... to... tolong... selamatkan aku... hancurkan kacamata itu sekarang juga,


Dewi Ular Ratu Peri Dari Selat Sunda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kek...." "Hhhhrrmmmm...!" Kakek Somo menggeram, hujan yang mengguyurnya dari langit
ditatap. Kepalanya didongakkan, kedua tangannya yang telah rusak itu diangkat,
dan tiba-tiba kedua tangan itu mengeluarkan kilatan cahaya merah dan biru.
Seperti kilatan petir.
Cahaya merah dan biru itu bertemu menjadi satu di udara, dan melesai pergi, lalu
hilang. Duaaar...! Terdengar sebuah ledakan di kejauhan entah di mana. Yang jelas, pada
saat itu sebenarnya Badri sedang bersiap memakai kacamata hitam itu. Ia ingin
bercinta dengan Anjar Kusuma di dalam kamar kostnya. Namun, ketika kacamata
dipakai, tiba-tiba ada petir yang menerobos masuk ke kamarnya lalu menghantam
kacamata tersebut. Praaak...! Kacamata pecah, dan Badri terpekik satu kali,
"Aaaakh...!"
Habis itu tak terdengar lagi suaranya. Ia jatuh.
Wajahnya hancur bagai habis terkena petasan. Ia menggelepar-gelepar sejenak,
lalu diam untuk
selamanya. Mati. Sedangkan kacamata itu menjadi serpihan-serpihan kecil yang tak
bisa dihitung jumlahnya.
Di makam Kakek Somo, mayat itu berkata,
"Pulanglah... kuhancurkan keduanya. Kau selamat, Awang...."
"Te... terima kasih, Kek...," yang menjawab begitu Resti. Lalu. Resti memejamkan
mata, memegang pelipisnya, dan mayat Kakek Somo masuk ke dalam liang kuburan
kembali. hujan reda Tanah yang tadinya berserakan karena digali Awang, secara
ajaib menimbun liang itu hingga menjadi seperti semula. Itulah kekuatan yang ada
pada Resti. Itulah yang membuat Awang semakin kagum padanya.
Dalam keadaan masih basah kuyup, mereka segera meluncur ke tempat kost Badri.
Lalu, mereka menemukan Badri sudah dikerumuni banyak orang dalam keadaan tak
bernyawa. Wajahnya rusak, menimbulkan banyak dugaan dan cerita dari mulut ke
mulut yang berlainan.
Hanya Awang dan Resti yang tahu sebab kematian Badri. Hanya Awang dan Resti yang
menjauhi kerumunan itu. Masuk ke dalam mobil, lalu, di dalam mobil itu Resti
menggenggam tangan Awang dan berkata lirih,
"Syukurlah, kau telah selamat...."
"Kau yang menyelamatkan aku," kata Awang.
"Mungkin juga. Dan... mungkin juga hal itu kulakukan karena aku tidak ingin
kehilangan kamu."
Awang tersenyum ketika gadis manis itu menatapnya.
Resti bangga bercampur seribu keindahan telah
membuat hati Awang berdebar-debar. Lalu, ketika tangan Resti makin
menggenggamnya kuat-kuat, Awang berbisik lirih, "Boleh aku menciummu?"
Resti mengangguk. Dan sebuah kecupan lembut mendarat di kening Resti. Kecupan
itu, telah sampai ke dasar hati Resti, sehingga gadis itu semakin takut
kehilangan Awang. Itulah sebabnya sejak saat itu, Resti selalu menggenggam hati
Awang dalam perjalanannya meniti pematang kasih.
SELESAI -o0o))((dw))((o0o Pedang Langit Dan Golok Naga 42 Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Pendekar Panji Sakti 25

Cari Blog Ini