Jaka Sembung 2 Si Gila Dari Muara Bondet Bagian 1
SERIAL JAKA SEMBUNG
Karya Djair Warni
Judul asli Si Gila Dari Muara Bondet
Alih versi Syahlendra Maulana
Penerbit SARANA KARYA
Cetakan pertama 1991
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit
Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh, tempat atau pun peristiwa
hanyalah kebetulan belaka
Parmin menempuh perjalanan melalui pedalaman. Ia tidak mau melalui jalan yang dibuat sebagai jalan perintis oleh
Kumpeni Belanda yang meminta banyak korban rakyat jelata. Sudah cukup jauh jalan
yang ditempuhnya. Sepanjang jalan hanya pohon-pohon besar dan semak-semak
belukar yang ia jumpai. Sekali-sekali Parmin juga menemui satu dua orang yang
sedang menebang
pohon untuk dijadikan kayu bakar. Belum satupun ia menjumpai pondok perkampungan. Parmin terus berjalan menelusuri hutan sampai akhirnya ia tiba di sebuah tempat yang terbuka.
Hari itu teramat panas dirasakan Parmin.
Apalagi sekarang ia sudah meninggalkan hutan.
Tiada lagi pohon-pohon yang menghalangi sinar
matahari yang menyengat ubun-ubunnya dan sekarang sinar matahari terasa membakar ubunubunnya. Peluh membasahi sekujur tubuhnya.
Rasa haus menggerogoti kerongkongannya. Parmin ingin sekali beristirahat untuk sekedar membasahi kerongkongannya yang
terasa kering dan
ia berharap akan menemukan sebuah warung.
Dengan sabar Parmin terus berjalan perlahan-lahan dengan harapan ia menemukan sebuah warung. Akhirnya tak seberapa jauh ia melangkahkan kaki dari kejauhan terlihat sebuah
warung. Parmin segera mempercepat langkahnya
menuju warung itu. Setelah sampai, Parmin langsung duduk sambil melepaskan capingnya dan ditaruhnya diatas bangku kayu yang terletak didepan warung itu. Ia menyeka peluh di keningnya
dengan kain sarung yang menyilang di dadanya.
Suasana warung itu benar-benar nyaman
dan dikelilingi oleh pohon-pohon yang besar dan rimbun. Angin bertiup sepoisepoi di daerah sekitarnya membuat orang betah duduk berjam-jam
lamanya di warung itu. Pemiliknya seorang bapak-bapak yang berumur sekitar tujuh puluhan
dengan kumis dan jenggot yang hampir memutih
semuanya. "Pak, apakah ini yang namanya kampung
Celancang?" tanya Parmin sambil terus mengipasi dirinya dengan caping.
"O ya! Ya! Kira-kira satu jam lamanya dengan berjalan kaki." jawab pemilik warung itu sambil mengaduk kopi.
"Tolong buatkan teh tubruk manis, pak!"
pinta Parmin. "Baik nak." sahut pemilik warung sambil memberikan segelas kopi tersebut kepada
seorang pembeli yang duduk di bangku sebelah kiri meja
dagangannya. Dari ruang dalam terdengar gelak tawa
yang sangat nyaring. Sekelompok orang laki-laki sedang asyik main domino. Mereka
berempat. Dua orang bertampang seram dan bertubuh tegap
mengenakan kain sarung yang menyilang di dadanya. Satu orang bertubuh gendut memakai belang-belang dan satunya lagi bertubuh kurus
memakai baju putih dengan golok terselip dipinggangnya. Mereka masing-masing
memakai ikat kepala dengan berbagai corak warnanya.
"Wah, hari ini nasibku sedang sial! Aku selalu mati!" teriak si gendut
membanting kartu domino yang berada di tangannya ke atas meja.
"Tentu saja karena kau belum mandi!" ledek si kurus sambil memonyongkan
bibirnya. Melihat bibir si kurus yang monyong, kontan saja teman-temannya tertawa terbahakbahak. Demikian juga dengan pemilik warung itu, ia tertawa terpingkal-pingkal
sehingga hampir sa-ja gelas berisi kopi yang dibawanya hampir tumpah. Parmin hanya tersenyum melihat tingkah laku mereka dan ia kembali menikmati teh tubruknya. Sementara itu dari kejauhan terlihat seorang laki-laki berjalan memanggul sebuah peti
yang besar dipundaknya yang terbuat dari kayu
jati mendekati warung tersebut. Peti yang dibawanya kelihatan sangat berat, tetapi ia tenang sa-ja berjalan seperti membawa
peti kertas yang berisi kapas.
Dengan lirikan matanya, Parmin dapat melihat gerak langkah pemuda itu sangat ringan
tanpa menimbulkan suara!
Orang itu masih sangat muda. Hanya saja
ia kelihatan tua karena tubuhnya kotor tak terurus. Rambutnya panjang sebatas pinggang dan
sebuah golok panjang terselip di pinggangnya.
Kain sarung menyilang di dadanya yang bidang.
Kepalanya berikat kain yang serupa dengan kain
yang menyilang didadanya. Pakaian yang melekat
di tubuhnya sudah sangat kumal. Tatapan matanya begitu kosong seperti orang yang dilanda
kesedihan dan putus asa.
Parmin agak terkejut ketika ia melihat dengan lirikan mata bagaimana cara orang itu berjalan tanpa menimbulkan suara
sedikitpun. Pasti
ia memiliki tenaga dalam yang tinggi dan menguasai ilmu silat yang tinggi pula.
Pemuda pembawa peti itu berhenti sejenak
di depan warung kopi.
"Aku haus sekali...! Berilah aku air dingin segelas!!" katanya dengan lirih
kepada pemilik warung itu.
Kemudian ia berjalan menghampiri sebuah
pohon yang terletak didepan warung tersebut. Ia lalu menaruh peti yang
dipanggulnya ke atas tanah dan ia sendiri duduk seenaknya di bawah
pohon yang teduh itu.
Selang beberapa saat kemudian terdengar
ia mengoceh sendirian dengan suara yang lirih
sambil mengelus-elus peti itu. Ia seperti membelai sesuatu yang sangat
disayanginya dan perka-taannya seperti ditujukan kepada isi peti kayu
itu. "Kita beristirahat dulu ya, sayang" Kita haus sekali, bukan" Bersabarlah
sedikit, aku sedang memesan segelas air putih. Sepanjang hari
ini tampaknya kau sangat gelisah, mengapa?" katanya dengan penuh kelembutan dan
matanya seakan-akan menembus ke dalam peti kayu itu.
Parmin memperhatikan semua itu. Di hatinya terbersit rasa iba terhadap pemuda itu.
"Siapakah orang itu, pak" Barangkali bapak kenal?" tanya Parmin.
"Ah, kasihan dia! Biarlah kuberi minum
anak muda yang miring otaknya itu!" kata pemilik warung sambil menuangkan air
putih dalam teko
ke dalam gelas. Kemudian ia berjalan meninggalkan warungnya dan Parmin yang sedang makan
kue serabi menghampiri anak muda itu.
Beberapa orang anak kecil bertelanjang baju datang mendekati pemuda itu sambil berolokolok. "Guik! Guik! Ciluuuuuuuuuuuk.....
Baaaaa!! Orang gila! Pakaian mu bau apek!
Weeeeee.....!" teriak salah seorang anak yang bertubuh kurus sambil menjulurjulurkan lidahnya
ke arah pemuda lusuh yang sedang beristirahat
itu. Seorang anak kecil yang berkopiah membungkukkan tubuhnya memperhatikan peti kayu
yang terletak disebelahnya.
"Apa isi peti itu, hai orang gila" Boleh ku-tukar dengan singkong bakar?"
Tapi ia nampak tenang saja seraya tersenyum-senyum tanpa menghiraukan ocehan anakanak nakal itu.
Seorang anak kecil berkepala botak berdiri
di belakang pemuda gila itu sambil memperhatikan semua yang ada pada dirinya.
"Lihat! Dia bawa pedang! Bagus juga pedangnya. Buat apa, ya" Idiiiiiiih....!" seru anak itu takut kepada temantemannya dan ia menyembunyikan dirinya di balik pohon.
"Oee! Oeee! Jelek! Jelek! Weeee...!" ledek yang satunya sambil terus menjulurjulurkan lidahnya.
Pemuda itu kembali tersenyum.
Anak-anak kecil itu tiba-tiba dikejutkan
oleh datangnya si pemilik warung yang membawa
segelas air putih.
"Hei! Bocah-bocah cilik! Ayo pergi! Pergi
semua! Jangan ganggu dia, ayo! Nanti kalau dia
marah, rasain lho!" bentak orang tua tersebut menakut-nakuti mereka. Anak-anak
itu kemudian kabur sambil tertawa cekikikan dan mencari tempat bermain yang
lain. "Ini air yang kau minta. Jika kau masih
haus nanti boleh tambah lagi!"
Pemilik warung itu mengulurkan tangannya untuk memberikan gelas yang dipegangnya
kepada pemuda gila itu. Tetapi tiba-tiba sebuah bayangan golok berkelebat
menyambar dan gelas
tersebut jatuh ke tanah pecah berantakan menumpahkan air yang berada di dalamnya.
Ketika pemilik warung itu menoleh ke belakang ia terperanjat melihat empat orang pendekar yang bertubuh kekar dan
berwajah bengis telah berdiri di situ. Tanpa banyak bicara lagi ia segera mundur beberapa langkah
dan berlari menuju warungnya dengan wajah diliputi kecemasan.
Ia membayangkan peristiwa keji bakal terjadi.
"Ha ha ha ha ha ha ha! Lihat monyet ini
ternyata masih ada di dunia! Aku telah lama
mencarimu untuk kubuat sate!" kata salah seorang di antara mereka sambil
menyarungkan goloknya setelah menyabet gelas, tadi. Ia rupanya menaruh rasa dendam terhadap
pemuda lusuh itu. Di antara mereka agaknya ada persoalan yang belum terselesaikan.
Si Gila hanya tersenyum menatap orang di
depannya. "He, ayo bangun monyet! Jangan tidur di
situ!!" teriak orang itu marah melihat calon kor-bannya tak merasa gentar
sedikitpun disusul sebuah tendangan ke wajah pemuda.
Tetapi apa yang terjadi" Seketika terdengar
suara kaki yang beradu keras dengan batang pohon. Ternyata pemuda itu sudah tidak berada di
tempatnya. Begitu gesit gerakannya, hingga tahu-tahu ia sudah berdiri di
belakang mereka, tanpa mereka sendiri sempat melihat kapan pemuda itu
berkelebat. Keempat pendekar itu memandang Si Gila
setengah heran dan kaget bukan main. Sementara pemuda itu berdiri tegak memandang mereka
dengan sinar mata yang menyala-nyala.
"Dulu kalian boleh menghinaku seperti anjing kurap!! Karena aku lemah dan aku bodoh! Tetapi sekarang jangan coba-coba menganggap remeh orang yang kelihatan lemah!" katanya dengan lantang.
Mendengar kata-kata yang dilontarkan Si
Gila kepada mereka, keempat pendekar itu seketika menjadi marah bukan main. Agaknya perkataan itu merupakan suatu tantangan bagi mereka. Sekilas wajah mereka merah padam.
"Bangsat!" teriak pemimpin mereka dengan gigi yang gemeretuk.
Kemudian keempat pendekar itu segera
mengurung Si Gila dengan cepat dari segala arah.
Masing-masing membentuk kuda-kuda dengan
golok yang terhunus. Sedangkan pendekar yang
berkepala botak memutar-mutarkan senjata rante
bandulnya sehingga menimbulkan suara yang
menderu-deru seperti angin puyuh. Tetapi Si Gila tetap berdiri tak bergeming.
Sinar matanya yang tajam siap menghadapi segala kemungkinan yang
terjadi. "Siap kawan-kawan!! Aku tidak akan pernah puas kalau belum memusnahkan
bangsat ini! Dialah orang yang menghancurkan semua harapanku!" teriak seseorang diantara mereka yang bernama Badar dan menjadi pemimpin
dari ketiga orang pendekar lainnya.
Si Gila tetap berdiri tak bergerak. Namun
bersikap siap siaga.
"Karena kaulah semua rencanaku menjadi
gagal! Kau tikus laknat yang telah mengacaukan
hidupku! Kini terimalah ajalmu, monyet gembel!"
serunya sambil menyilangkan goloknya ke depan
siap menyerang. Suaranya menggeram membentuk raungan akibat dari luapan rasa dendam
yang begitu besar memenuhi dadanya terhadap
lawan yang sudah sekian lama dilacak dan diburunya dari kampung ke kampung.
Si Gila tetap saja berdiri tenang ditengahtengah kepungan mereka. Angin bertiup menerpa
rambutnya yang panjang. Terlihat betapa gagahnya dia! Wajahnya yang masih belia itu dihiasi
bulu-bulu halus yang meremang di atas bibir dan dagunya.
Di saat-saat seperti itu seakan-akan ia
menjelma menjadi seorang pendekar tangguh
yang gagah perkasa dan bukan lagi seorang pemuda yang tidak waras.
"Bagiku semua ini adalah takdir yang rela
kuterima. Semua telah selesai, Badar! Walaupun
hatiku sakit, tapi membalas dendam adalah pantang bagiku! Tak ada gunanya dan tak akan me
Jaka Sembung 2 Si Gila Dari Muara Bondet di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rubah jiwaku yang sudah hancur! Juga tidak
akan membuat kekasih-ku Nuraini hidup kembali!" katanya lirih.
"Aku enggan meladenimu, Badar! Biarlah
kuterima semua penghinaanmu, karena aku memang dilahirkan ke dunia sebagai orang yang hina-dina. Biarlah aku berlalu membawa duka hatiku..." lanjut Si Gila. Namun ucapan yang penuh keikhlasan dan kerendahan diri
itu justru membuat hati Badar seperti tersundut api.
"Eiiiiiiit... kau menghinaku, monyet! Tahukah kau" Aku tidak akan bisa hidup
tenang jika golokku ini belum bermandikan darahmu bangsat...!!" teriak Badar dengan napas yang membu-ru.
Sementara itu mendengar ribut-ribut di
luar, orang-orang yang berada dalam warung itupun segera berhamburan keluar untuk menyaksikan perkelahian tersebut. Mereka rela meninggalkan permainan dominonya yang asyik. Demikian juga dengan Parmin. Ia segera berdiri dan
meninggalkan bangku tempat duduknya beberapa
langkah ke depan untuk menyaksikan perkelahian itu lebih dekat. Entah mengapa nalurinya
menyatakan simpati kepada pemuda yang dijuluki Si Gila dari Muara Bondet itu.
"Hei, lihat ! Itu bukankah Si Gila yang sering luntang-lantung di desa ini" Si
Gila dari Muara Bondet!! Mengapa orang-orang itu memusuhinya?" tanya salah seorang yang berada didepan warung kepada teman-temannya
sambil bersandar tangan pada tiang penyangga warung. Tapi
rupanya tiang itu sudah rapuh ikatannya dan ia
terjengkang bersama robohnya tiang tersebut.
Segera Badar mengisyaratkan kepada kawan-kawannya agar serempak menyerang! Dengan satu teriakan yang keras dan panjang, keempat pendekar itu terbang berbarengan menyerang
Si Gila dengan senjatanya masing-masing.
"Sikaaaaaaaaaat!!"
"Oh, kalian mencari mati" Maaf, ini bukan
salahku!" gumam Si Gila di sela teriakan keempat pendekar itu.
Tubuh Si Gila dari Muara Bondet dengan
lincahnya menghindari serangan senjata rantai
bandul itu. Tiba-tiba secepat kilat Si Gila mencabut
pedang dari sarungnya membabat perut dari dua
orang penyerang itu dengan satu gerakan yang
tak terduga. Kedua orang itu memekik keras dan
langsung roboh ke tanah dengan isi perut yang
berhamburan keluar. Kemudian Si Gila melesat
ke atas menghindari serangan rante bandul si botak yang selalu mengikuti kemana
tubuhnya ber- gerak. Baru saja ia hendak menginjakkan kakinya di atas tanah, kembali rante
bandul itu menyong-songnya. Dengan bersalto di udara Si Gila segera melesat
kearah Badar yang sedang mengibas-ngibaskan golok dengan kelebatan sinarnya
membentuk perisai di depan tubuhnya. Dengan
satu sabetan yang cepat Si Gila menembus pertahanan Badar, langsung menebas lehernya. Badar
memekik tertahan. Dari lehernya yang hampir putus menyembur darah segar ke segala penjuru
dan tubuhnya terjungkal ke balik Semak-semak
menggelepar-gelepar seperti seekor ayam yang
disembelih kemudian diam tak berkutik untuk selama-lamanya. Melihat teman-temannya tewas secara
mengerikan ditangan Si Gila, si botak menjadi ka-lap bukan main. Ia memutarmutarkan senjatanya menyerang Si Gila secara membabi buta,
udara di sekitar pertarungan itu menjadi panas
akibat desingan yang ditimbulkan oleh rante bandulnya yang membelah udara dengan
disertai te- naga dalam yang cukup tinggi.
"Ha ha ha ha ha ha! Mungkin kau bisa
mengalahkan tiga orang murid dari perguruan silat Ori Malang. Tetapi kau tak dapat mengalahkan aku si rante bandul! Terimalah
seranganku, hiaaaaat...!" teriak si botak nyaring seraya melun-curkan senjatanya ke arah Si
Gila dengan cepat.
Si Gila melesat menghindari senjata si botak yang seolah-olah mempunyai mata. Tetapi
terhadap Si Gila serangan itu selalu mengenai
tempat kosong alias terkena angin belaka tanpa
dapat melukai tubuh Si Gila. Pohon-pohon kecil
banyak yang tumbang akibat terkena hantaman
senjata aneh dan mengerikan itu.
Tubuh Si Gila meliuk-liuk di udara menghindari gempuran senjata si botak. Begitu ringan ia melakukan gerakan itu
bagaikan segumpal kapas yang melayang. Namun sejauh itu ia belum
dapat membalas serangan.
Sementara itu Parmin memperhatikan jalannya pertarungan itu dengan seksama dan perasaan kagum. Ternyata pemuda tak waras itu
memiliki ilmu meringankan tubuh yang setingkat
berada di atas ilmu meringankan tubuhnya.
"Memang hebat si rante bandul ini! Tetapi
aku berani bertaruh bahwa Si Gila akan bisa menyelesaikannya dalam satu atau dua jurus lagi!"
Pertarungan itu sudah berlangsung cukup
lama dan menelan puluhan jurus silat. Mereka
mengerahkan semua ilmu yang mereka miliki si
botak ternyata mulai kelihatan kewalahan menghadapi serangan balasan yang dilancarkan Si Gila. Melihat Si Gila semakin gencar melancarkan
serangan, si botak mengeluarkan jurus andalannya membentuk lingkaran yang melindungi dirinya dari sambaran pedang Si Gila. Putaran
rante bandul demikian cepatnya, sehingga dari
jauh kelihatan seperti membentuk lapisan cahaya yang membungkus seluruh tubuhnya
bagaikan sebuah selimut logam yang begitu ketat membentengi dirinya. Tetapi tiba-tiba dengan satu teriakan histeris, Si Gila berhasil
menyusup ke dalam desingan rante bandul si botak dan membabatkan
pedangnya membobol perut lawannya.
Si botak memekik keras. Perutnya berhamburan darah segar dan isi yang berada didalamnya. Untuk beberapa saat lamanya ia masih tegak berdiri memegang senjatanya
dengan gigi yang
gemeretak menahan sakit yang teramat hebat.
Tubuhnya bergetar. Dan secara tidak terduga ia
meloncat kembali menyerang Si Gila yang sudah
siap dengan jurus barunya menyambut si botak.
Tetapi di tengah langkahnya tiba-tiba si botak
ambruk seperti sebuah nangka busuk yang jatuh
ke tanah sebelum dapat menyentuh kulit Si Gila, tewas menyusul teman-temannya.
Si Gila menghela napas panjang sambil
menyarungkan pedangnya.
Semua mata melotot kagum! Betapa tidak,
orang yang kelihatan lemah, berotak miring dan
menjadi bahan ejekan anak-anak ternyata ia adalah seorang jago silat yang luar biasa. Hanya
Parmin yang bersikap tenang. Semua orang dalam
warung itu diam tak bergeming menyaksikan seluruh kejadian itu dimana Si Gila dalam sekejap mata menghabisi musuh-musuhnya.
"Sungguh hebat! Siapakah pemuda gila
itu" Mungkin jarang ada seorang jago silat seperti dia!" desis Parmin kagum.
Si Gila memandangi mayat keempat pendekar itu dengan perasaan menyesal. Wajahnya
tertunduk dan suaranya terdengar parau.
"Aku menyesal mengapa kalian tetap saja
membandel" Selamat tidur kawan-kawan yang
malang...! Sekali lagi maaf...!" katanya sambil membalikkan tubuh menuju pohon
rindang itu. Kemudian ia menghenyakkan tubuhnya di samping peti kayu jati yang selama ini selalu dibawanya kemana pergi.
Dari balik semak-semak keluarlah suara
kagum bercampur takut dari anak-anak kecil
yang tadi memperolok-olok Si Gila.
"Hiiiiiii...orang gila itu membunuh orang
seperti membabat rumput saja! Hiiii!" teriak salah seorang anak yang bertubuh
gendut sambil menyembunyikan wajahnya di balik rerimbunan pohon. Jari-jari tangannya menutup muka, sementara tanah di bawah kedua kakinya banjir oleh air kencingnya sendiri.
"Hiiiiii...! Aku takut!!" teriak anak-anak itu
gemetaran. Mereka bergerombol seperti anakanak tikus yang saling berpelukan karena takut
melihat seekor kucing.
Si Gila lalu mengangkat peti kayu jati itu
dan dengan tenang memanggulnya ke atas pundak sambil mengayunkan langkahnya berlalu.
Seakan-akan barusan tidak terjadi sesuatu
terhadap dirinya.
"Pantas kau merasa gelisah saja, sayang"
Rupanya kau mendapat firasat buruk bahwa kita
akan bertemu dengan orang yang membenci kita!"
katanya lirih berbisik kepada peti itu.
Si Gila berhenti sejenak seolah-olah ia sedang mendengarkan sesuatu dari dalam peti kayu
itu. Lagaknya persis seseorang yang sedang mendengarkan orang lain bicara dari dalamnya.
"Ya, ya! Mari kita pergi! Kita cari tempat yang tenang, bukan" Di mana-mana
selalu saja ada perusuh!" sahut Si Gila. Wajahnya bersungut-sungut dan kembali melanjutkan
langkahnya yang terhenti semakin jauh meninggalkan pohon
rindang itu. Ia berjalan perlahan-lahan meneruskan perjalanannya entah kemana. Peluh
membasahi sekujur tubuhnya akibat pertarungan
tadi. Anak-anak kecil yang sedang bersembunyi
di balik semak-semak, segera lari tungganglanggang melihat Si Gila berjalan menuju dekat
persembunyian mereka.
"Lari! Lariiii...! Nanti kita dibunuhnya kalau tidak cepat lari...!!" teriak
mereka semrawut sambil berlari seperti sedang dikejar-kejar setan. Salah seorang dari mereka
melorot celananya ketika berlari, sehingga ia menjadi repot sambil berusaha
memegangi celananya terus mempercepat
langkahnya menerobos kebun jagung yang berada
didepannya. Berkali-kali ia terjatuh.
Si Gila tersenyum melihatnya.
Lalu ia kembali berjalan menelusuri pinggiran belukar kian jauh meninggalkan perkampungan itu. Sementara itu Parmin segera membayar
minuman dan makanan tanpa menghiraukan si
pemilik warung yang tegak mematung karena masih terhanyut dalam peristiwa yang baru saja dilihatnya.
Ketika ia tersadar, segera ia memberikan
uang kembalian tetapi Parmin sudah lebih dulu
melesat menuju hutan mengejar Si Gila. Pemilik
warung itu hanya menggaruk-garukkan kepalanya yang tidak gatal. Hari ini ia telah bertemu dengan seorang pembeli yang
tiba-tiba saja menghilang dari pandangan seperti asap.
Parmin mengerahkan ilmu meringankan
tubuhnya menyusul Si Gila dan langsung bersembunyi di balik sebuah pohon sambil terus
memperhatikan Si Gila dengan cermat. Ia berusaha sedapat mungkin supaya tidak mengejutkan
pemuda aneh itu.
Sementara Si Gila melangkahkan kakinya
dengan tenang. Kepalanya menunduk lesu. Dari
mulutnya keluar kata-kata yang aneh. Agaknya ia
sedang bercakap-cakap dengan seseorang yang
sangat disayanginya. Kadang-kadang ia tersenyum dan tertawa sendiri. Dia terus berjalan menuju arah selatan.
Dia terus berjalan dan terus berjalan.....
Seakan-akan tak peduli walau sampai ke
ujung dunia sekalipun.
*** Parmin berjalan mengendap-endap di balik
semak-semak terus membayangi Si Gila dari jauh.
Ia berusaha agar dirinya tak terlihat oleh pemuda itu. "Aku harus tahu siapakah
pemuda itu sebenarnya" Aku harus hati-hati membuntutinya
jangan sampai ketahuan!"
Tak terasa mereka telah jauh menyusup
kedalam hutan. Udara sejuk dirasakan Parmin.
Angin bertiup dengan lembutnya. Riak-riak dedaunan terdengar begitu merdu di telinga seperti merdunya irama kehidupan.
Burung-burung ber-kicau dan berlompatan kesana-kemari menambah
indah suasana dalam hutan itu. Sinar matahari
telah mulai menyongsong senja penuh rona ceria.
Semua itu kurang dinikmati oleh Parmin
karena matanya terus mengawasi gerak-gerik Si
Gila. Dalam hatinya ia bertanya.
"Apakah isi peti yang dibawanya itu" Dan
mau dibawa kemana peti itu" Dia manusia yang
luar biasa pertama kujumpai!"
Tiba-tiba suara kicauan burung-burung diatas dahan pohon berhenti, seolah-olah mereka
mengisyaratkan sesuatu pada Parmin. Tempat itu
menjadi begitu sunyi. Hanya suara derit pohon
bambu yang bergesekan dan riak-riak ranting pohon yang tertiup angin mewakili detak jantung
dan urat nadi. Sunyi mencekam.
Parmin merasakan suatu firasat buruk
yang akan terjadi di hutan ini. Ia segera memusatkan panca inderanya memantau seluruh keadaan hutan ini.
Demikian juga halnya dengan Si Gila. Ia
memusatkan pikirannya terhadap isyarat alam
yang didengarnya. Mulutnya tetap berbicara aneh kepada peti kayu yang
dipanggulnya. Sekan-akan
Jaka Sembung 2 Si Gila Dari Muara Bondet di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ia membisikkan suasana yang ia rasakan kepada
seseorang di dalamnya.
Tiba-tiba berkelebat sebuah benda meluncur secepat kilat membelah dan menyambar ke
arah Si Gila. Dengan satu gerakan yang memukau ia meloncat menghindari serangan yang tak
terduga itu. Tubuhnya bergerak ringan dan lincahnya seperti tak membawa apa-apa di atas
pundaknya. Benda gelap itu tak mengenai sasarannya,
dan menancap pada batang pohon di dekatnya.
Ternyata benda itu adalah sebuah kapak besi.
Kapak itu hampir seluruhnya menancap ke dalam
batang pohon. Berarti orang yang melemparkan
senjata tersebut memiliki tenaga dalam yang hebat. Bayangkan kalau saja kapak itu mengenai
tubuh Si Gila! Dari balik semak-semak melompat sesosok
tubuh tinggi besar dengan brewok yang menghiasi wajahnya tertawa terbahak-bahak.
Ia tegak berdiri menghadang Si Gila sambil memegang sebuah
kapak besi di tangan kirinya, tangan kanannya
menyilang di dadanya yang berbulu. Kepalanya
memakai ikat dari kulit ular. Kedua kakinya mantap berpijak di atas tanah.
"Kalau kau ingin tetap memiliki nyawamu,
serahkan peti itu kepadaku! Tentu di dalamnya
berisi emas atau perhiasan berharga yang kau cu-ri dari orang-orang Kumpeni
Belanda! Cepat!!" teriak laki-laki itu dengan keras. Suaranya membuat unggas-unggas dalam hutan itu terbang ketakutan. Si Gila memasang kuda-kudanya dengan
sigap menjaga kalau-kalau ada serangan mendadak yang ditujukan kepadanya. Merasa orang itu
bermaksud merampas peti yang disayanginya,
maka Si Gila segera menaruh peti kayu itu di bawah pohon dan ia mencabut
pedangnya membuka
jurus untuk meladeni laki-laki bertampang angker itu. "Tapi bila kau membandel, ketahuilah
bahwa sepasang kapak mautku siap membikin
tubuhmu menjadi perkedel!" ancam pendekar sepasang kapak maut itu dengan pasti
kepada Si Gila. Napasnya terdengar bergemuruh akibat dari nafsu membunuhnya yang meluapluap. Parmin terkejut melihat orang itu. Ia ingat
pesan gurunya agar berhati-hati bila melewati
daerah sekitar sungai bondet, karena disitu ber-cokol seorang begal yang berilmu
tinggi dan sangat ganas.
Si Gila marah mendengar ancaman begal
itu. "Peti ini sama harganya dengan nyawaku!
Kalau kau menginginkan peti ini berarti kau harus melangkahi mayatku dahulu!" sahut Si Gila mengibaskan pedangnya.
Merasa ditantang begitu si begal brewok
menjadi marah bukan kepalang.
"Aha! Rupanya kau sudah bosan hidup, ya
baiklah aku tidak usah lama-lama lagi berbicara.
Sekarang yang penting terimalah seranganku ini.
Ciaaaaaaaaaat!!" teriak si begal menggelegar merangsak Si Gila. Kapak besinya
berputar-putar mencecar tubuh Si Gila dari segala penjuru. Si
Gila berkelit kian-kemari menghindari serangan yang bertubi-tubi itu. Sampai
suatu saat ia meloncat melewati kepala si begal dan mendarat di belakangnya.
Ternyata si begal sengaja mendesak Si Gila agar dapat mengambil kapak besi
satunya lagi yang tertancap pada batang pohon tadi. Tepat ketika Si Gila melesat
ke belakang melewatinya
dengan cepat ia meraih kapak besi tersebut dan
mencabutnya. Si Gila dari Muara Bondet berkelit dan sepasang kampak maut itu menghantam pohon besar itu. "Tak seorangpun bisa lolos dari si dua sejo-li kapak mautku ini dan sudah
berpuluh-puluh nyawa orang yang melewati daerah ini kucabut!!
Dan sekarang giliranmu...!" pekik si begal kembali menyerang Si Gila dengan
cepat. Parmin mengawasi pertarungan itu dari balik sebuah pohon yang besar. Diameter pohon itu menelan sosok tubuhnya dari
pandangan orang
lain. "Dua senjata dimainkan sekaligus! Hebat!
Sepasang senjata silat yang berbahaya! Aku sang-si apakah Si Gila mampu
mengalahkannya. Aku
membantu Si Gila bilamana perlu! Aku tak boleh
membiarkan begal itu melukainya!" gumam Parmin. Wajahnya cemas menyaksikan
pertarungan tersebut. Ia merasa dirinya berada pada posisi Si Gila dari Muara Bondet.
"Ilmu silat mereka sebanding! Tetapi ada
keunggulan sedikit pada si begal. Ia bertenaga besar dan menggunakan dua buah
senjata! Sedangkan Si Gila telah kehabisan tenaga sehabis bertarung dengan keempat pendekar di
kampung itu, walaupun jurus-jurus pedang Si Gila sangat cepat dan aneh! Tetapi sepasang kapak
itu sepertinya menyerang Si Gila dari segala penjuru!" desis Parmin.
Pertarungan itu telah berlangsung berpuluh-puluh jurus. Keduanya saling melancarkan
serangan dengan gencar. Suara bentrokan dua
senjata yang terbuat dari logam itu antara kapak
si begal dengan golok panjang milik Si Gila terdengar nyaring membelah udara dan
menimbul- kan bunga-bunga api. Si begal meliuk-liukkan
kapaknya seperti kincir angin terus mendesak Si Gila. Ia semakin gencar
melancarkan serangannya ketika Si Gila mulai terlihat melemah. Tenaga dalamnya
dilipat gandakan. Itu bisa dilihat dari otot-otot tubuhnya yang kencang menegang
dan kulit wajahnya yang semakin memerah beringas.
Tetapi didalam keadaan terdesak, Si Gila
masih sempat membalas serangan. Dalam suatu
kesempatan ia dapat membabatkan pedangnya
merobek baju si begal. Melihat bajunya terkena
babatan pedang Si Gila, ia segera mengeluarkan
jurus andalannya dengan memutar-mutarkan kapaknya mencerca tubuh Si Gila dari atas sampai
ke bawah berulang-ulang dalam tempo yang sangat cepat dan secara bersamaan.
Benar-benar pengerahan tenaga dalam
yang berlipat ganda. Si Gila tampak kepayahan
menghadapi si begal. Ia kalah napas dan mulai
kelelahan. Tak lama kemudian terdengar satu teriakan yang keras, dan kapak si begal merobek dada Si Gila tanpa ampun. Darah
mengucur deras dari
luka yang menganga di dadanya akibat serangan
pada jurus kesepuluh dari rangkaian jurus maut
si begal. Si Gila terhuyung-huyung ke belakang
meringis kesakitan sambil mendekap dadanya.
"Mampus kau setan alas! Sekarang terimalah ajalmu...!" teriak si begal sambil meloncat ke
atas seperti burung elang yang akan menyambar
mangsanya dengan kapak besi yang siap membelah kepala Si Gila.
Seketika Parmin terkesiap dan keluar dari
persembunyiannya.
"Si Gila dalam keadaan bahaya! Aku harus
cepat bertindak...!" Parmin melihat saat-saat kri-tis itu. Maka dengan satu
sentakan yang kuat
Parmin melesat menyambar kapak besi yang dipegang si begal hingga terpental sebelum menghantam batok kepala Si Gila yang sudah terpojok tak berdaya.
"He!!" pekik si begal terkejut dan kapak besinya meluncur jauh hilang dibalik
semak-semak. Disusul oleh kelebatan sesosok tubuh seorang
pemuda. Parmin berpijak diatas dengan ringannya
dan pasang kuda-kuda siap menghadapi si begal
yang masih terkejut.
"Eiiiiiitt! Siapakah kau monyet busuk! Menyerang secara sembunyi-sembunyi! Apa hubunganmu dengan gembel yang hampir mampus ini"
Apakah kau juga menginginkan isi peti kayu itu?"
bentak si begal dengan lantang. Napasnya ngosngosan dengan urat leher menyembul keluar. Sepasang matanya merah seperti saga, sedangkan
butir-butir keringat sebesar biji jagung membasa-hi keningnya yang sebagian
tertutup ikat kepala.
"Si Gila minggirlah anda! Hei, begal! Akulah lawanmu yang sebenarnya!" seru
Parmin menatap si begal dengan pandangan yang menantang.
Sementara Si Gila mengangkat kepalanya
sebentar memperhatikan dengan pandangan yang
penuh tanda tanya mencoba menerka siapa gerangan orang yang tiba-tiba muncul dan membela
dirinya" Tangan kirinya tetap memegangi dadanya yang terus-menerus mengeluarkan
darah, sedangkan tangan kanannya menggenggam erat pedangnya yang digunakan untuk menyanggah tubuhnya yang semakin melemah. Ia perlahanlahan beringsut menggerakkan langkahnya yang
terseok-seok menjauhi pertarungan menuju peti
kayu miliknya. Tantangan Parmin membuat darah si begal
mendidih naik ke ubun-ubunnya dan biji mata
yang sudah merah semakin membara.
"Coba katakan namamu, anak muda! Sebelum kepalamu yang besar itu menggelinding kubabat dengan kapakku!!" bentak si begal.
"Aku adalah pembela kaum yang lemah
tanpa mengharapkan balas jasa!" sahut Parmin seenaknya. Si begal menggeram
merasa tersing-gung mendengar perkataan Parmin yang bernada
ejekan sengaja menusuk perasaannya. Ia mendengus sengit seraya merangsak Parmin dengan
bengis. Jari tangannya diarahkan ke leher Parmin dan kapak besi yang dipegangnya
mengarah ke perutnya. Serangan itu sangat cepat dan tak terduga. Parmin melejit ke atas
berkelebat menghindari serudukan si begal yang sangat berbahaya
itu dan pada saat yang sama ia mengirimkan tendangan ke bahu si begal sehingga terjungkal beberapa tombak ke belakang. Dengan sigap si begal kembali berdiri langsung membuka jurus baru.
"Oh...boleh juga! Boleh! Ilmu silatmu lebih tinggi dari gembel itu! Siapa
gurumu, hei" Rasa-rasanya aku kenal dengan gaya silatmu!" tanya si begal
merentangkan tangannya sebagai tanda untuk memberi kesempatan bicara kepada
lawannya sekaligus mencari kemungkinan untuk menyerang lagi. "Guruku adalah Ki Sapu Angin! Tahukan
kau" Kata guruku dulu kau hampir mampus ketika kau coba-coba membegal guruku! Agaknya
kau belum kapok juga!" sambut Parmin dibarengi dengan gerakan tangannya
membentuk jurus ba-ru. Kaki kirinya agak menekuk dan kaki kanannya diayunkan ke depan berpijak dengan mantap
di atas tanah. Mendengar Ki Sapu Angin adalah guru lawannya, si begal tertawa terbahak-bahak sekuat
tenaga hingga merontokkan daun-daun kering
disekitar tempat itu. Dan Si Gila yang sedang duduk terkulai segera mengatur
napasnya ketika
suara tawa dahsyat itu menerpa telinganya.
"Ya benar! Ha ha ha ha ha ha ha! Aku ingat!" seru si begal terbahak tapi lantas wajahnya segera berubah bengis dan
seram. Matanya berpi-jar mencerminkan dendam yang membusuk dalam dadanya. "Tapi itu lima tahun yang lalu, bukan" Kini suruh gurumu datang melawan aku
kembali. Pasti akan kutebus kekalahanku dulu!"
"Mulutmu terlalu besar, begal! Hadapi saja muridnya dulu..." ejek Parmin dengan
senyum sinis sengaja membangkitkan amarah lawannya.
Begal seketika mendengus keras. Wajahnya
merah tembaga. Ia merasa diremehkan oleh pemuda ingusan dihadapannya.
"Bangsaaaaaaat!!"
Ia segera menghujamkan kapaknya mendesak Parmin dengan napas yang bergemuruh ke
perut lawannya. Tangan kanannya menyabet celah-celah paha Parmin seperti seekor babi hutan yang menyeruduk mangsanya.
Parmin melesat sambil membabatkan goloknya membelah dada si
begal dengan sekuat tenaga dan secepat kilat
tanpa dapat ditangkis oleh lawannya. Parmin kemudian salto di udara dengan gerakan yang sangat indah dan menjejakkan kakinya di atas tanah begitu ringan, berdiri tegak
seraya memasukkan
golok kembali ke sarungnya.
Sementara itu si begal memekik keras dalam posisi membelakangi Parmin. Darah lukanya
menetes jatuh ke tanah membasahi rumputrumput di ujung kakinya. Tubuhnya bergetar hebat. Tak lama kemudian tubuh tinggi besar itu
roboh ke bumi seperti gunung gugur. Tanah di
sekitarnya ikut bergetar menahan guncangan
yang ditimbulkan olehnya. Napasnya terdengar
menggeros seperti seekor kerbau yang sedang sekarat. Kemudian beku tak berkutik lagi.
Maka tamatlah riwayat seorang begal yang
ganas dan sangat kejam yang menjadi momok bagi orang-orang yang melewati daerah Celancang
dan daerah sekitarnya. Bagi Parmin sendiri kematian begal brewok adalah termasuk
suatu rang- kaian tugas yang telah dipesankan oleh gurunya
Ki Sapu Angin. Parmin menarik napas panjang.
"Dosamu sebagai begal sudah terlalu banyak dan golokku hanya diperuntukkan bagi
orang-orang yang tidak bisa diinsyafkan lagi!"
gumam Parmin menatap mayat si begal yang ber
Jaka Sembung 2 Si Gila Dari Muara Bondet di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kubang darah dengan hati lega.
Sedangkan Si Gila duduk bersandar pada
sebuah pohon dengan tubuh yang lunglai menatap Parmin kagum. Sinar matanya sudah mulai
meredup dan wajahnya terlihat pucat pasi karena banyak mengeluarkan darah dari
luka didadanya yang menganga. Parmin segera menghampiri Si Gila yang
mulai kepayahan itu.
Si Gila mengangkat wajahnya.
"Aku tak bisa membalas apa-apa untukmu!" desahnya pelan.
Parmin tersenyum kepada Si Gila seraya
membuka baju pemuda itu perlahan-lahan untuk
melihat luka yang dideritanya. Sekali-sekali Si Gi-la meringis kesakitan karena
secara tak sengaja bajunya yang dibuka Parmin bergesekan dengan
lukanya. "Aku hanya menunaikan kewajibanku terhadap sesama manusia. Kau adalah orang yang
baik. Mari kuperiksa lukamu. Untung tak terlalu
dalam dan tidak sampai melukai jantungmu, tetapi mungkin beberapa tulang rusukmu ada yang
putus!" kata Parmin sambil meletakkan baju Si Gila di atas akar pohon yang
menyembul dari dalam tanah.
Si Gila hanya tertunduk diam. Parmin
mengerti apa yang hendak disampaikan Si Gila
melalui sorot matanya yang sayu.
Parmin bergegas ke dalam hutan untuk
mencari tanaman sebagai bahan ramuan obat
yang diperlukan untuk luka bacok itu secepatnya dan sebagai seorang jago silat
ia mempunyai ilmu pengobatan yang didapat dari gurunya sebagai
bekal untuk menjaga kesehatan tubuhnya sendiri. Setelah sekian lama mencari, akhirnya Parmin menemukan tanaman itu.
"Daun-daun ini bisa ditumbuk halus lalu
dicampur sedikit air, dan luka Si Gila pasti bisa kering dalam tempo singkat!"
gumamnya sambil memetik daun-daun itu secukupnya. Lalu ia bergegas ke sungai
untuk mengambil air. Daun talas hutan dipergunakan untuk menampung air sungai
dan ia segera menemui Si Gila yang masih
duduk terkulai bersandar pada batang pohon itu.
Parmin menumbuk daun-daun yang sudah dicampur dengan air itu di atas sebuah batu. Dalam beberapa saat ramuan tersebut telah siap dipakai. Kemudian Parmin melumuri
dan menutup luka Si Gila yang menganga dengan ramuan itu
seluruhnya. Ia merawat Si Gila dengan cermat dan penuh rasa kasih sayang sebagai sahabat.
"Jangan banyak bergerak dulu! Tetaplah
bersandar di bawah pohon ini. Mudah-mudahan
besok pagi luka anda berangsur-angsur sembuh.
Daun-daun ini sangat mujarab untuk mengobati
luka-luka bacokan!" ujar Parmin sambil membo-rehi luka itu dengan lembut.
Si Gila hanya diam saja.
Ia memandang jauh menembus dalam hutan. Sinar matanya agak ceria. Sebentar-sebentar matanya melirik peti kayu jati
yang terletak di sebelahnya.
Sinar matahari mulai meninggalkan bumi.
Cahayanya yang keemasan tampak berkilauan di
ufuk barat menyongsong sang rembulan yang tersenyum menyembul ke bumi. Burung-burung sudah enggan bernyanyi dan kembali ke sarangnya
masing-masing. Hanya serangga-serangga malam
yang begitu gembira menyambut datangnya malam. Angin bertiup lembut menyapu dedaunan
sehingga menimbulkan suara berirama seperti
senandung musik malam hari.
*** Parmin menguburkan mayat si begal. Peluh
bercucuran di seluruh wajahnya yang tampan.
Kemudian ia mengayunkan langkahnya menuju
sungai untuk mengambil air wudhu menunaikan
khodo sholat maghrib yang disambung dengan
sholat isya. Rupanya pertarungan sengit yang baru saja berlalu telah menelan waktu cukup panjang. Malam ini ia terpaksa menginap di dalam
hutan menemani Si Gila. Selesai melakukan sholat Parmin melipat kain sarung yang digunakan
sebagai sajadah. Si Gila memperhatikan semua
yang dilakukan Parmin sambil bertanya-tanya dalam hati. Agaknya ia sedang mempertanyakan untuk apa orang itu begitu patuh melakukan sholat lima waktu"
Malampun tiba. Bulan mengambang di
angkasa yang kelabu. Angin bertiup sepoi-sepoi.
Mendesir membelai hati yang rindu terhadap sang kekasih. Bisu dalam kenikmatan.
Kumandang burung hantu menambah suasana malam itu
menjadi kian beku. Perasaan itu menghantui kedua pendekar muda itu.
Parmin duduk dibawah pohon menatap indahnya bulan purnama. Ia teringat kepada Roijah, si Bajing Ireng kekasihnya, membuat hatinya ingin melantunkan lagu kiser
kesayangannya. Ia
mengeluarkan seruling bambu dari balik bajunya.
Kemudian ditiupnya seruling dengan irama yang
mendayu-dayu. Rasa rindunya kepada Roijah
yang datang merasuk kalbunya membuat irama
seruling yang dialunkan Parmin betul-betul meresap ke dalam hati setiap orang
yang mendengarkannya. Apalagi bagi mereka yang sedang dimabuk asmara. Parmin tidak mengetahui bahwa lagu yang dibawakannya membuat Si Gila teringat
kembali kepada kekasihnya Nuraini yang telah
tiada. Tak terasa air mata meleleh membasahi kedua pipinya. Mengalir seperti air dari cucuran
atap jatuh ke pelimbahan.
Parmin semakin tenggelam dalam senandung lagunya. Ia mencoba membunuh rasa rindunya lewat seruling bambu itu dan Si Gila juga semakin hanyut dalam kenangan
masa lalunya yang begitu pahit dan menyedihkan. Rasa sakit
yang baru dialaminya sama sekali tak dirasakannya. Yang ada hanya kesedihan berkepanjangan
dan duka nestapa yang mewarnai hidupnya selama ini. Sebuah sisa hidup yang tak berarti lagi baginya.
Parmin sempat melirikkan matanya ke
arah Si Gila. Ia dapat merasakan kesedihan yang sedang dirundungnya. Seketika
serulingnya berhenti dan Parmin segera melompat berdiri tersentak tatkala
terdengar olehnya isak tangis Si Gila yang tersedu-sedu seperti anak kecil yang
kehilangan barang mainannya. Lalu ia menghampiri
Si Gila yang mengelamkan kepalanya di balik kedua kakinya yang menekuk menghimpit kepalanya. "U...uh...uuh...h! Mengapa aku tidak kau biarkan mati saja di tangan
begal itu?" ratapnya penuh penyesalan.
"Kadang-kadang aku merindukan kematian! Ohhh...Nuraini!" teriaknya tersendat-sendat sambil mengangkat kepalanya
menengadah ke atas seakan-akan mengadu pada sang rembulan.
Tapi pada penglihatannya ternyata bulan hanya
diam membisu. Parmin mendekati Si Gila. Lalu berlutut di
sebelahnya. Ia merasa berdosa telah membuat Si
Gila larut dalam masa lalunya akibat irama seruling yang dimainkannya.
Si Gila memalingkan wajahnya ketika dirasakan Parmin duduk di sebelahnya.
"Oh, untuk apakah aku hidup" Aku tak ingin hidup lagi!" desahnya lirih. Seluruh wajahnya basah oleh keringat dingin dan
deraian air mata.
Parmin memegang bahu Si Gila.
"Tenanglah, kawan! Sudilah kau menceritakan apa yang telah jadi beban pikiranmu" Ceri-takanlah!" pinta Parmin berharap
dapat meringankan penderitaan jiwa yang dialami Si Gila.
Si Gila kembali menatap begitu sedihnya
sambil menelungkupkan dirinya di atas peti kayu jati yang dibawanya. Air mata
membasahi peti itu.
Parmin hanya bisa memandangi punggung Si Gila
dengan perasaan iba dan turut berduka. Ia melihat betapa masalah asmara merupakan segalagalanya bagi kehidupan orang muda seusia Si Gila dari Muara Bondet ini. Lenyaplah sudah sifat gagah seorang jago silat.
Si Gila begitu melankolis, cengeng dan rapuh! "Oh, Nuraini! Mengapa kita harus berpisah, sayangku" Mengapa hidup ini cuma
sebagai mimpi" Lenyap begitu saja seperti dipupus oleh
angin?" Si Gila kembali meratapi kekasihnya yang telah tiada dan ia mengadu pada
isi peti kayu itu seperti berdialog langsung dengan orang yang dicintainya. Parmin diam terpaku tanpa bisa berbuat
apa-apa. Lalu ia menghela napas dan berlalu meninggalkan Si Gila yang masih meratap.
"Biarlah ia memuaskan tangisnya! Hanya
itu satu-satunya jalan yang terbaik. Dia tadi menyebut-nyebut nama seorang
wanita" Aku harus
mengetahui rahasia apa yang menyelubungi dirinya dan darimana ia memperoleh ilmu pedang
yang hebat itu!" gumam Parmin dalam sambil menyandarkan tubuhnya ke batang
pohon. Ia sebenarnya ingin bertanya pada Si Gila lebih jauh tetapi di saat ini
tidak mungkin untuk menanyakan hal itu kepadanya.
"Biarlah ia menumpahkan segala perasaannya!" desah Parmin seraya berjalan mencari tempat untuk memejamkan matanya
yang mulai diserang kantuk.
Dan malam semakin larut. Bulan dengan
setia menyinari alam seluruhnya dan malam itu
kedua pendekar muda itu tidur bertikar rumput
beratap langit dibuai oleh nyanyian seranggaserangga malam.
Karena lelah menempuh perjalanan sehari
suntuk Parmin akhirnya tertidur juga. Tetapi sebagai seorang jago silat
nalurinya tetap bekerja memantau daerah sekitar hutan itu menjaga kemungkinan
yang dapat saja terjadi mengancam
jiwa mereka berdua.
Ia dapat melihat juga Si Gila gelisah dan
sering mengigau dalam tidurnya.
"Peti kayu itu sebentar-sebentar dipeluknya. Apakah takut dicuri orang" Apakah di dalamnya berisi emas permata seperti kata si begal tempo hari, atau...apa?" Parmin
bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Akhirnya ia tak tahan lagi melawan rasa
kantuk yang kembali menghantui
dirinya. Tak lama kemudian Parmin dapat memejamkan matanya dan tertidur lelap.
Sementara itu di lain fihak Si Gila duduk
terpaku menatap sang rembulan yang seolaholah tersenyum simpul kepadanya. Pikirannya
menerawang. Dan malam terus berputar seiring
detak jantungnya mengikuti perjalanan sang waktu. *** Pagi-pagi sekali Parmin bangun. Setelah
melakukan sholat subuh, dengan diam-diam ia
pergi mencari makanan ke kampung terdekat
atau mencari bahan makanan apa saja yang dapat ditemuinya dalam hutan itu. Parmin berjalan menembus hutan berselimut kain
sarungnya untuk berlindung dari hawa dingin yang menusuk.
Udara pagi itu terasa menggigit tulang
sumsumnya. Sepanjang jalan Parmin terhibur
oleh kicauan burung-burung melantunkan irama
ceria menyambut datangnya sang mentari. Ia tersenyum sendiri melihat seekor burung yang sedang belajar terbang di salah satu cabang pohon.
Berkali-kali ia terpeleset dari ranting pohon dalam perjuangannya agar dapat
terbang lebih jauh.
"Paling cepat setengah jam aku baru menemukan pinggiran kampung karena hutan ini
ternyata tak ditumbuhi pohon buah-buahan untuk bisa dimakan. Kasihan Si Gila! Tentu ia sangat lapar akibat perkelahian
sengit dan begadang hampir semalam suntuk!" gumam Parmin terus melangkahkan
kakinya menelusuri hutan.
Tak lama ia berjalan sampailah dipinggir
hutan. Terlihat sebuah rumah penduduk beratapkan rumbia. Parmin segera menghampiri seorang nenek-nenek yang sedang mengikat kayu
bakarnya diteras pondok itu.
Tanpa berpikir panjang lagi Parmin menyapa nenek-nenek itu.
"Assalamualaikum...!" salam Parmin sambil melipat kain sarungnya dan disampirkan
diatas bahu. Mendengar ada seseorang yang memberi
salam kepadanya si nenek menoleh ke asal suara
itu. "Waalaikum salam...!" jawabnya tertahan.
Ia heran melihat seorang pemuda tiba-tiba berdiri di dekatnya pagi-pagi begini.
"Ada apa anak mu-da?" Parmin tersenyum menatap nenek-nenek itu.
"Maaf nek mengganggu! Bolehkah aku minta makanan apa saja sekedar untuk sarapan?"
tanya Parmin sambil membungkukkan tubuhnya
memberi hormat kepada orang tua itu.
"Oh! Ada nak! Silakan masuk!" sahutnya
meninggalkan pekerjaannya menuju ke dalam
gubuknya. Langkahnya tertatih-tatih dengan tulang punggung yang sudah melengkung.
Parmin mengikuti langkah nenek-nenek itu
masuk ke dalam. Ia kemudian tanpa sungkansungkan menceritakan dirinya dan sekaligus
mengutarakan maksud kedatangannya kemari.
Nenek itu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya seraya bergegas ke dalam dapur untuk
mengambil segala yang dibutuhkan Parmin. Setelah selesai, Parmin segera mohon diri dan sangat berterima kasih kepada nenek
itu untuk kembali
ke dalam hutan menemui Si Gila yang mungkin
Jaka Sembung 2 Si Gila Dari Muara Bondet di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
telah bangun. Matahari mulai menampakkan cahayanya
menerangi hutan dan alam sekitarnya. Kokok
ayam hutan bersahut-sahutan menyongsong terangnya hari. Dilihatnya Si Gila sedang termangu-mangu
dan masih merenung di sebelah peti kayu jati itu.
"Lagi-lagi peti kayu itu!" desah Parmin seraya menghampiri Si Gila.
"Maaf, aku tadi meninggalkan anda sebentar. Tampaknya anda sudah mulai sehat?" tanya Parmin menyapa.
Si Gila menoleh. Wajahnya tampak mulai
ceria. Tetapi matanya terlihat sembab akibat menangis semalaman. Namun ia
mencoba untuk tersenyum kepada kawan barunya yang telah menolongnya itu. Parmin duduk bersila disebelah Si Gila yang masih saja diam
membisu. Lalu Parmin
memeriksa luka pemuda itu dengan cermat dan
luka yang diderita Si Gila sudah kering. Ternyata telah terbukti betapa
mujarabnya ramuan obat
itu. Perubahan pada luka itu terjadi begitu cepat dan membuat wajah Si Gila
mulai terlihat segar.
Matanya bercahaya dan ia mulai mendapatkan
rasa percaya terhadap dirinya.
"Mari kita makan!" Parmin membuka nasi yang terbungkus daun jati pemberian
nenek-nenek tadi.
"Nasi bungkus ini masih hangat, sangat cocok untuk pagi yang dingin seperti ini!" katanya sambil menyerahkan sebungkus
nasi pada Si Gila
dan ia menerimanya tanpa mengucapkan sepatah
katapun. Ia lebih banyak bercerita melalui sinar matanya. Parmin mengerti dan memakluminya.
"Banyak-banyaklah anda makan, agar kesehatan anda cepat pulih kembali!" ujar Parmin sambil menyuap nasi yang masih
berasap itu kedalam mulutnya. Ia teringat, nenek itu menolak
uang pemberiannya sebagai imbalan.
*** Melihat Parmin mulai makan, Si Gila tanpa
malu-malu turut menyuapkan nasi kedalam mulutnya. Dikunyahnya pelan-pelan meyakinkan diri betapa pulen nasi itu dan betapa
gurih rasa ikan asin.
Kemudian barulah ia menyantapnya dengan lahap. "Anda begitu baik kepadaku yang hinadina ini. Apa yang harus kulakukan untuk membalas budi anda?" tanya Si Gila sambil mengunyah nasi yang berada dalam
mulutnya. Dalam
sekejap nasi itu tinggal separuhnya.
Parmin agak terkejut mendengar Si Gila
menyapanya. Sepertinya ia ingin berbagi rasa kepada orang yang baru dikenalnya
dan sekaligus dipercaya olehnya.
"Terus terang, aku mengagumi ilmu pedang
yang anda miliki dan kalau boleh aku ingin mengetahui siapa anda dan darimana anda berasal."
tanya Parmin penuh harap.
Si Gila terdiam sejenak sambil menghabiskan nasinya hingga tak tersisa sebutirpun diatas daun jati itu.
"Ceritanya sangat panjang! Akupun merasa
gembira bilamana anda mau mendengarkannya.
Aku senang, bahwa di dunia ini masih kutemui
orang yang peduli kepada gembel gelandangan
seperti aku...!" sahut Si Gila mulai menceritakan asal muasal dirinya hingga
memiliki ilmu pedang yang sangat dikagumi oleh Parmin.
Sedangkan Parmin mendengarkan Si Gila
dengan penuh antusias seraya membenahi daundaun jati bekas ajang nasi yang kemudian di
tumpuk jadi satu dan dilipatnya sebelum dibuang. *** Lima tahun yang lalu...ya, lima tahun yang
lalu... jauh agak ke hulu sungai bondet, terdapat sebuah desa yang bernama Ori
Malang. Dinamakan demikian mungkin dahulu di sana banyak di
tumbuhi pohon duri yang malang melintang atau
bagaimana ia sendiri tidak tahu. Si Gila dari Muara Bondet itu mempunyai nama
asli Karta berasal dari keluarga yang miskin. Sejak kecil ia sudah ditinggal ibu
dan bapaknya. Ia seorang anak ya-tim-piatu. Ia dipungut oleh seorang juragan
yang kaya di desa itu yang merasa kasihan padanya
karena tidak mempunyai saudara satupun di desa itu. Ia sebatang kara. Juragan Benjar, demikian namanya, mengangkat Karta bukan sebagai
anak, tetapi sebagai pesuruh. Kerjanya setiap hari adalah menggembalakan kerbaukerbau milik juragannya. Pagi-pagi sekali ia menggembalakan
kerbau-kerbau itu ke tempat yang banyak ditumbuhi rumput bila menjelang sore barulah ia pulang. Semuanya itu dilakukan sampai menjelang
remaja dan sampai kerbau-kerbau juragannya
berkembang biak semakin banyak jumlahnya.
Karta sangat rajin dan cekatan dalam menjalankan pekerjaannya membuat hati juragan Benjar
menjadi sangat senang.
Ketika menginjak masa remaja Karta jatuh
cita kepada seorang dara yang cantik jelita. Namanya Nuraini. Wajahnya bundar
bak bulan pur- nama. Alisnya hitam tebal. Rambutnya panjang
sebatas pinggang dengan tubuh yang ramping
menawan. Sinar matanya bening bagai air telaga.
Ia adalah anak majikannya sendiri. Cinta itu di-pupuknya sejak masih kecil.
Mereka sering bertemu dan bercanda di pinggir sungai Jamblang
apabila Karta sedang memandikan semua kerbaukerbau majikannya dan Nuraini mencuci pakaiannya di sungai. Mereka saling mengutarakan
perasaannya masing-masing di bawah sebuah
pohon waru yang tumbuh condong dipinggiran
sungai Jamblang tempat mereka bermain. Tiada
hari tanpa cinta, tiada hati tanpa kemesraan.
Sungai Jamblang dan pohon waru itu merupakan
saksi bisu dari hubung an asmara kedua remaja
itu. Hal itu membuat Nuraini selalu pulang telat berjam-jam lamanya setelah
selesai mencuci
hingga juragan Benjar merasa curiga melihat
anaknya selalu pulang terlambat yang kadangkadang membuat ayahnya merasa cemas. Tapi
berkat kecerdikannya Nuraini dapat meyakinkan
ayahnya dengan berbagai macam alasan sampai
ayahnya tidak lagi mencurigainya. Karena bagi juragan Banjar apa yang dikatakan
anaknya yang tercinta dan buah hatinya itu adalah benar.
Di pohon waru condong di tepi kali Jamblang itulah mereka sering bertemu dan memadu
kasih. Tetapi kisah percintaan keduanya mengalami suatu rintangan!
Suatu hari sehabis mencuci pakaian di
sungai, Nuraini melihat ayahnya sedang menerima tamu seorang yang sangat kaya dari desa lain.
Tamu itu adalah seorang juragan tua dan anak
laki-lakinya yang bertubuh tegap bernama Badar.
Ternyata maksud kedatangan mereka tidak lain
dan tidak bukan untuk melamar dirinya.
Nuraini rupanya mendengarkan semua
percakapan mereka dari balik gorden yang membatasi ruang tamu dengan ruang keluarga. Mereka menjanjikan mas kawin yang sangat banyak
dan mahal-mahal sehingga ayahnya langsung setuju dan menerima lamaran mereka hari itu juga.
Direncanakan hari perkawinan sesudah
panen tahun depan. Saat itu juga Nuraini merasa sangat kecewa karena ayahnya
tidak membicara-kan dan minta pendapat semua itu kepadanya.
Ayahnya begitu mudah memutuskan semua itu
tanpa menanyakan kepadanya apakah ia suka
atau tidak dengan calon suaminya. Yang jelas ia tidak mau dikawinkan dengan
orang lain kecuali
Karta seorang! Kemudian ia berlari sambil menangis menuju kamar tidurnya dan mengunci diri. Hanya isak tangis saja yang ia curahkan sebagai tanda protes yang tidak
tersampaikan. Keesokan harinya seperti. biasa Karta
menggembalakan kerbau-kerbau majikannya di
sungai Jamblang. Ia duduk di atas punggung salah satu kerbaunya yang sedang mengunyah
rumput dengan santai. Tiba-tiba ia melihat kekasihnya berjalan menggendong
Pedang Kiri 1 Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Pengelana Rimba Persilatan 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama