Ceritasilat Novel Online

Tanah Kutukan 1

Gento Guyon 2 Tanah Kutukan Bagian 1


GENTO GUYON TANAH KUTUKAN GENTO GUYON TANAH KUTUKAN 1 ENTO UYON GG Sebuah benda berwarna putih
kehitaman melesat dari dalam lubang kubur. Benda bulat lonjong itu lalu melayang
dan jatuh, menggelinding dekat kaki kakek tua berblangkon dekil yang berdiri
berkacak pinggang dalam keadaan kaku tertotok. Setelah
memperhatikan benda itu maka pucatlah wajah si kakek berpipi cekung berwajah
tirus ini. "Bangsat! Apa sebenarnya yang kau cari di kubur tua ini" Mengapa
tengkorak sesepuh Pendekar Walet Putih kau keluarkan dari dalam kuburnya?"
hardik si kakek juru kunci makam marah bukan main.
Dari dalam kubur di mana tengkorak kepala manusia tadi melayang
terdengar gumaman tak jelas disertai racau aneh. Lalu ada benda hitam tipis
besar berkelebat di dalam lubang
kubur. Wing! Crak! Crok! Tanah pun lalu berhamburan keluar dari dalam makam. Setelah itu bagian tulang
rusuk dan tulang belulang
lainnya ikut pula berhamburan. Sebagian menimpa blangkon butut si kakek.
Sebagian lagi mengenai dada, kaki
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN dan wajah. "Kurang ajar. Kwalat... kau pasti akan kwalat. Semua arwah yang berada dalam
kubur itu mengutuki dirimu."
"Sambar geledek. Tua bangka, jika mulutmu tak mau diam aku akan
menyumpalnya dengan tengkorak yang baru kulempar tadi. Kau mau?" terdengar suara
dari dalam makam menyahuti.
"Dulu aku juga pernah mengutuki orang yang pernah membuat sengsara
kekasihku. Aku berdoa agar kekasihku kembali kepadaku. Tapi apa yang
terjadi" Kurang ajar... orang itu malah panjang umur dan kekasihku
hilang sampai kini. Doaku sia-sia, Tuhan jauh dariku, bahkan setan pun tak
mendengar doa."
"Semua itu karena hatimu tidak bersih, jiwamu kotor. Doamu tidak iklas, kau
pembohong, atau selama hidup mungkin kau selalu memakan
barang-barang yang bukan menjadi
hakmu!" kata si kakek juru kunci makam.
Dari dalam lubang kubur terdengar suara gerengan marah. Tulang belulang kembali
melesat menghantam tubuh kaku si kakek, termasuk juga menghantam bibirnya hingga
bengkak mengeluarkan darah. Si kakek juru kunci Kubur Tua menjerit kesakitan.
Jeritan dibalas dampratan. "Juru kunci sial. Sekali lagi kau bicara yang
mengusik hati dan
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN membuat darahku mendidih kurobek
mulutmu. Mana kau tahu hatiku bersih.
Mana kau tahu dulu aku tak pernah bicara dusta. Semua yang kumakan
bersih semua. Satu hal yang kau tidak tahu, bahwa sesungguhnya seseorang yang
dosanya selangit tembus selalu panjang umur. Kau lihat orang jujur, kebanyakan
umurnya pendek. Tubuh kurus kering. Sudahlah... aku harus
menemukan barang itu, jika tidak buat apa aku menggali kubur keluarga
Pendekar siapa ini." dengus orang di dalam lubang kubur. Yang ditanya diam
membisu. Selanjutnya terdengar suara pacul menghantam tanah keras diselingi
dengan melesatnya potongan tulang belulang ke arah juru kunci Kubur Tua.
Setelah itu sepi sejenak, terdengar suara tarikan nafas lelah.
"Sudah lima kubur yang kugali.
Aku hanya mendapatkan tengkorak dan tulang belulang tak berguna. Jadi di mana
beradanya tiga benda yang kucari itu?" batin orang yang berada di dalam kubur.
"Aku harus mencarinya di tempat lain." pikirnya. Setelah itu orang yang
membongkar seluruh makam sesepuh Pendekar Walet Putih melompat keluar.
Ternyata dia adalah seorang kakek tua berambut putih berkepala botak di sebelah
kiri sampai ke bagian belakang kepala. Sebagaimana kepalanya, maka
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN alis mata di sebelah kiri juga tidak tumbuh barang sehelai pun. Selain rambut
dan alis, kumis serta
jenggotnya yang putih di sebelah kiri juga tidak tumbuh. Tubuh orang ini kurus
kering. Jauh bertolak belakang dengan pacul yang tersampir di
bahunya. Pacul itu besarnya bukan main, dengan sisi tajam bergerigi.
Begitu dia berdiri di bibir kubur dengan muka murung dan perasaan bosan dia
pandangi kakek juru kunci Kubur Tua. Dari mulutnya keluar suara.
"Orang tua katakan siapa namamu?"
"Buat apa kau tanya namaku tua bangka tak tahu kramat?" dengus juru kunci makam
sinis. "Sekarang aku sudah letih dan kesal. Kau memilih menjawab pertanyaan atau pilih
kukuburkan hidup-hidup di lubang ini?" Sambil berkata si kakek kurus bersenjata
pacul besar menunjuk ke lubang kubur. "Aku Pemacul Iblis tak pernah ragu
melakukan apa yang aku mau. Hayo jawab!" hardik si kakek.
Sekali lompat dia telah sampai di hadapan juru kunci Kubur Tua. Melihat sikap
Pemacul Iblis yang bersungguh-sungguh, dengan perasaan kesal
akhirnya kakek itu terpaksa menjawab juga. "Aku... namaku Ki Rekso Monggo Jolodo
Mbeo Ora Iso Ra Ketoro, putra Raden Mas Inggil Langit cucu Priyayi Bentet Mangku
Burni dan...!"
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN "Cukup! Namamu sepanjang jalan.
Penggalan nama kelak akan kutulis di atas makammu. Sekarang aku berterima kasih
karena kau telah memberi izin padaku menggali Kubur Tua. Sebelum aku pergi dan
lupa untuk mengingat,
sebenarnya makam keluarga siapa yang kau jaga ini?" tanya Pemacul Iblis.
"Kau manusia durhaka yang tak pernah menghormat arwah orang yang sudah mati.
Dengar... kau baru saja menggali kubur keluarga Pendekar Walet Putih!" jelas Ki
Rekso Monggo Jolodo.
Dia berharap Pemacul Iblis jadi kaget dan minta maaf atas kesalahan yang telah
dilakukannya. Tapi kenyataannya wajah Pemacul Iblis tidak menunjukkan perubahan
apapun. Tetap tenang
bersikap seakan tak mengenal nama besar Pendekar Walet Putih.
Dia kemudian berkata. "Walet itu binatang yang kecil, aku bahkan pernah membunuh
seribu elang dan gagak hitam.
Nama besar, pangkat dan kedudukan seseorang tidak pernah harus membuatku
berjalan dengan terbungkuk-bungkuk di hadapannya. Apalagi dia sudah mati, huh."
dengus Pemacul Iblis. "Jika Tiga Permata Langit tak kutemukan di sini, aku akan
mencarinya di kubur lain.
Selamat tinggal Ki Rekso Jolodo.
Semoga mulutmu lodo lumer benaran karena terlalu banyak memaki dan
menyumpah! Ho... ho... ho!" Selesai
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN berkata sambil tertawa Pemacul Iblis tinggalkan Ki Rekso Monggo Jolodo begitu
saja. "Hei... bebaskan totokan ini.
Bagaimana pun aku harus menguburkan tulang belulang itu kembali." seru si kakek.
"Kelak ada setan yang akan
membebaskan totokanmu itu. Lagipula kau tak mungkin bisa memisahkan tulang yang
sudah bercampur aduk." sahut Pemacul Iblis sayup-sayup di kejauhan.
Mungkin benar apa yang dikatakan kakek sinting Pemacul Iblis. Dia sendiri sudah
berusaha membebaskan totokan dengan pengerahan tenaga dalam sejak dirinya
tertotok tadi. Namun usahanya tak pernah berhasil. Di luar semua itu dalam hati
sesungguhnya juru kunci Kubur Tua keluarga Pendekar Walet Putih jadi kaget
karena tidak mengira kedatangan Pemacul Iblis kiranya
mencari Tiga Permata Langit.
"Entah untuk apa dia mencari senjata maut Tiga Permata Langit itu.
Tapi aku merasa beruntung karena dia tak bisa menemukannya!" batin Ki Rekso
Jolodo. Baru saja juru kunci Kubur Tua
menarik nafas lega mendadak sontak terdengar suara gelak tawa dan
sempritan seperti yang terbuat dari batang padi.
"Ha... ha... ha. Hidungku mana
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN kena ditipu. Dia pernah datang ke sini, penciumanku mengatakan semuanya ada di
sini!" Belum juga gema suara orang lenyap di tempat itu muncul seorang laki-laki
berbadan pendek setinggi pinggang. Wajah laki-laki berbadan dan bertingkah laku
seperti bocah ini dipenuhi kerut merut. Bukit hidungnya tinggi dan besar sekali.
Mulut kecil seperti mulut bocah.
Sedangkan di sudut bibir terselip sempritan dari batang padi. Begitu bocah
berwajah orang tua ini jejakkan kaki, dia nampak gelengkan kepala berulang kali
melihat begitu banyak kubur tua di tempat itu dalam keadaan menganga. Pada
akhirnya dia tak mampu menahan tawa begitu melihat Ki Rekso Monggo Jolodo
berdiri tegak dekat gubuk buruk dalam keadaan kaku
tertotok. Dengan langkah tergesa-gesa bocah berwajah tua ini ayunkan kaki
mendatangi. Si bocah tua kerutkan keningnya begitu melihat di bagian leher si
kakek digantungi selembar kulit berisi pesan. Melihat tulisan itu si bocah tua
tersenyum lebar.
"Cacing kurus itu rupanya sudah pula sampai ke sini." gumamnya.
Kemudian kulit yang bertali dan
digantungkan di leher juru kunci makam disentakkan. Sekali dia meniup, sempritan
batang padi berbunyi, hidung
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN kembang kempis mengendus.
"Tidak salah. Pesan konyol
apalagi yang dia tinggalkan?" kata si bocah tua seakan tak menghiraukan Ki Rekso
Monggo Jolodo. Kulit direntang, untuk selanjutnya dia pun mulai
membaca. Kepada Bocah Tua alias Hidung Setan
Saat ini aku sedang mencari Tiga Permata Langit. Aku tak tahu kau berada di
mana. Semula dengan
penciumanmu yang setajam penciuman setan kuharapkan bantuanmu. Tapi aku tak tahu
kau sudah mampus atau masih hidup. Jika kau temukan pesan ini harap bantu aku
mencari Tiga Permata Langit. Kau tahu urusan besar yang bakal kuhadapi di Tanah
Kutukan. Tanda Terima Kasih Sobatmu
Pemacul Iblis "Ha... ha... ha. Dasar Iblis linglung. Buat apa bersusah payah menggali?"
celetuk Si Bocah Tua alias Hidung Setan. Lalu sempritan batang padi ditiup.
Setelah itu bocah pendek berwajah tua pandangi kakek di
depannya. "Eeh... kakek. Mengapa kau mau diperlakukan seperti ini oleh Pemacul
Iblis?" tanya si bocah sambil kembang kempiskan cuping hidungnya yang besar.
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN Yang ditanya tidak menjawab,
melainkan katupkan bibirnya sedangkan kedua pipi menggembung besar. Si bocah
berwajah tua tersenyum begitu
melihatnya. "Aneh, pertanyaanku belum lagi kau jawab. Sekarang kau sudah
unjukkan muka marah. Siapa yang hendak kau marahi" Aku..."!" Bocah Tua menunjuk
dirinya sendiri.
"Siapa kau" Sahabatnya iblis pembawa pacul laknat tadi" Lekas
minggat dari hadapanku jika tidak ingin kubunuh!" hardik Ki Rekso Monggo Jolodo
berang. "Walah galak amat kek. Apa kau ingat membebaskan totokan saja dirimu tak
sanggup" Ha... ha... ha." kata Bocah Tua. Dengan acuh dia kembali meniup
sempritan yang terselip di bibirnya.
Semakin bertambah kesal saja juru kunci Kubur Tua ini mendengar ucapan si bocah.
Apalagi ketika mendengar Bocah Tua itu berkata. "Kau telah ketitipan pesan dari
Pemacul Iblis. Pesan sudah diterima amanat harus dijalankan. Kau tahu kek, Pemacul Iblis tidak
mungkin melakukan pekerjaan sia-sia dengan menggali makam itu jika tidak ada
sesuatu yang amat
penting dicarinya."
Ki Rekso Monggo Jolodo delikkan
matanya. "Apa maksudmu?" hardik kakek itu
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN sinis. Tapi diam-diam hatinya berdebar gelisah.
Bocah Tua tersenyum. "Apakah kakek tahu tentang Tiga Permata
Langit. Senjata maut yang dulu pernah dipergunakan Pendekar Walet Putih untuk
menghancurkan musuhnya yang hebat?" Terkejutlah juru kunci Kubur Tua mendengar
ucapan si bocah. Namun dia cepat menukas. "Benda itu tak ada di sini. Pemacul
Iblis telah mencarinya tapi dia tak menemukan.
Bahkan nama benda yang kau sebutkan itu baru kali ini aku mendengarnya, bocah
berwajah kakek tua"!"
Bocah Tua terbahak-bahak.
"Pemacul Iblis manusia dungu, dia tidak punya hidung sebagaimana
hidungku. Hidung Setan tak dapat
ditipu. Jika tadi sobatku membongkar kubur, maka sekarang pondok burukmu yang
akan kubongkar! Aku mencium Tiga Permata Langit ada di dalam sana.
Ha... ha... ha!" Sambil kembang kempiskan cuping hidungnya Bocah Tua berkelebat
masuk ke arah gubuk.
Gusarlah Ki Rekso Monggo Jolodo
melihat apa yang akan dilakukan oleh Si Bocah Tua. "Berani kau menghancurkan
pondokku, kubunuh kau!"
"Boleh saja. Tapi nanti setelah aku menemukan benda yang dicari oleh sahabatku
itu." sahut Si Bocah Tua.
Hanya beberapa saat kemudian juru
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN kunci Kubur Tua dikejutkan oleh suara berderak dan hancurnya pondok. Ketika Ki
Rekso Monggo Jolodo memandang ke arah pondok tinggalnya. Maka pondok itu hancur,
atapnya yang terbuat dari ilalang berpelantingan. Bagian dinding terbang ke arah
timur, kayu pondok mental ke arah barat.
Di tengah-tengah pondok yang
telah hancur Bocah Tua berdiri tegak sambil mengapit sebuah kotak kayu batu yang
baru dibongkarnya dari bawah lantai tanah. Dia mengacungkan kotak berwarna
coklat itu ke arah Ki Rekso Monggo Jolodo. Melihat kotak si kakek langsung
menggerung. "Setan alas. Kembalikan kotak itu. Kembalikan...!!" teriak sang juru kunci.
Priiiiiit! Bocah Tua tiup sempritan batang
padinya hingga mengeluarkan suara aneh melengking."Tidak usah gusar. Kelak aku
akan mengembalikan kotaknya
padamu. Sedangkan isinya terserah pada sobatku Pemacul Iblis. Satu hal yang kau
patut ketahui orang tua. Saat ini aku dan Pemacul Iblis sedang
menghadapi masalah besar. Dia punya dendam berkarat pada seseorang. Jika tidak
diselesaikan, mana mungkin dia dapat tidur dan mati dengan tenang.
Begitu juga halnya aku. Istriku


Gento Guyon 2 Tanah Kutukan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dikawin orang, bagaimana aku bisa enak
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN makan enak tertawa" Kau harus punya rasa persaudaraan denganku! Ha...
ha... ha...!"
"Persetan dengan segala
urusanmu!" dengus Ki Rekso Monggo Jolodo berang.
"Betul. Aku memang si Hidung Setan. Ha... ha... ha!" sahut Si Bocah Tua sambil
tertawa terpingkal-pingkal.
"Sudahlah, kau tak usah marah-marah begitu. Kemarahan hanya memperpendek umur.
Aku pinjam Tiga Mutiara Langit.
Kelak aku akan kembalikan padamu."
berkata begitu sambil berkelebat pergi dia usap tengkuk si kakek penjaga makam.
Setelah itu Bocah Tua langsung menghilang dari pandangan juru kunci Kubur Tua.
Usapan yang dilakukan Bocah Tua
ternyata membuat Ki Rekso Monggo
Jolodo terbebas dari totokan Pemacul Iblis. Tapi untuk melakukan pengejaran
rasanya sudah tak berguna. Karena dia menyadari di samping ilmu kesaktian Bocah
Tua itu pasti memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat sempurna.
Akhirnya dia hanya berlutut dan
menangis di depan tulang belulang yang bertumpuk di hadapannya.
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN 2 ENTO UYON GG Setelah sekian lama berlari
menjauhkan diri dari Tabib Sesat
Timur, pemuda itu memperlambat larinya. Sesekali dia menoleh ke belakang, sedang
mata jelalatan memandang ke setiap sudut. Kemudian pemuda tampan polos berambut
gondrong itu pun
tersenyum sendiri. Dia membuka baju, setelah itu baju diikatkan ke
pinggang. Masih dengan tersenyum si pemuda
berkata. "Dia kira bisa memperlakukan aku seperti dulu" Dulu aku dibuatnya
sengsara dengan kaki digantung di ujung bambu. Siapa sudi" Jika dia macam-macam
kuikat tangan dan kakinya, setelah itu kuseret dengan kuda.
Sekarang aku sudah aman. Sebaiknya aku istirahat di bawah pohon ini!" Si pemuda
tampan yang bukan lain adalah Gege alias Gento Guyon segera duduk bersandar di
batang kayu berdaun
lebat. Selagi duduk tiba-tiba Gento
ingat pada gurunya. Waktu itu melihat kehadiran Tabib Tapadara Gento memang
sangat takut sekali. Apalagi selama ikut dengan tabib itu dia sering
mendapat perlakuan kasar dan disiksa lahir batin.
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN Mengenai kekejaman Tabib
Tapadara, dapat diikuti dalam episode
'Tabib Setan'. Ketika dia berlari menghindari Tabib Sesat Timur, Gento tak tahu
apakah gurunya si Gentong Ketawa mengikutinya atau tidak. Yang jelas kini
setelah tidak melihat
gurunya si pemuda jadi celingukan bingung sendiri.
"Ke mana perginya kakek gendut.
Mustahil dia tidak bisa mengikuti aku.
Biar badannya besar luar biasa,
biasanya dalam hal ilmu lari dia masih lebih cepat dibandingkan diriku.,"
pikir Gento Guyon.
Selagi dia tenggelam dalam
pikirannya sendiri. Dari pucuk pohon yang terlindung daun-daun lebat
meluncur sebuah benda berwarna kuning.
Pluk! Benda itu jatuh di samping
Gento. "Eeh, ada jambu. Bagaimana pohon kokosan ini bisa berbuah jambu.
Daripada mubajir lebih baik kumakan saja. Paling juga sisa kampret. Bau kampret
sedikit tidak mengapa!" Sambil menyengir seorang diri setelah
celingak celinguk takut dilihat orang, Gento memungut jambu itu. Diperhatikan
jambu tersebut ternyata masih bagus.
Baru saja dia hendak menggigit jambu yang baru dipungutnya, mendadak.
Pluuk! Kali ini yang jatuh di samping kanannya adalah buah rambutan hutan.
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN Melihat ini Gento Guyon tak dapat menahan tawanya.
"Ha... ha... ha. Pohon ajaib, atau mungkin di atas pohon ada kampret ajaib" Tadi
jambu yang jatuh, sekarang aku diberi rambutan. Baik sekali. Tapi bagaimana jika
makanan ini ada
racunnya?" gumam Gento Guyon. Dia lalu dongakkan kepala memandang ke atas pohon,
ternyata di atas pohon tak ada siapapun.
"Ada kampret, kampret baik
rupanya yang bersembunyi di situ!"
kata Gento Guyon dengan suara sengaja dikeraskan.
Belum lagi dia sempat berbuat
sesuatu di hadapannya berdiri tegak seorang kakek tua berambut putih
berjenggot dan kumis serba putih.
Kakek itu memakai pakaian serba hitam, di pinggangnya tergantung kantong
perbekalan dan obat-obatan. Melihat kedatangan orang tua ini wajah si pemuda
berubah pucat. "Tabib Setan...!" desis Gento Guyon siap mengambil langkah seribu.
Namun Tabib Sesat Timur cepat angkat tangan kanannya.
"Gento, kuharap kau tidak lari lagi dariku. Percayalah, aku tidak bermaksud
jahat, aku sudah tobat.
Kuharap kau mau mengerti. Sejak kau tidak bersamaku lagi aku merasa sangat
kehilangan. Huk... huk... huk." Si
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN kakek tabib menangis sesunggukkan. Air matanya bergulir menuruni pipinya yang
keriput. "Ternyata Tabib Setan ini kalau lagi menangis mukanya jelek sekali."
batin Gento dalam hati. Tapi dia
kemudian mendengus. "Huh, air mata buaya."
"Gento, aku datang kepadamu ingin member-kan sesuatu yang sangat besar artinya
bagi dirimu." ujar si kakek suaranya halus perlahan.
Gento Guyon delikkan matanya.
"Apa" Kau hendak mengajariku bagaimana caranya meramu obat" Tanpa kau ajari
sekalipun aku sudah bisa.
Karena diam-diam semasa bersamamu dulu aku mengintip bagaimana caranya meramu
obat." Tabib Sesat Timur gelengkan
kepala. "Bukan itu. Seperti yang pernah kukatakan pada gurumu, aku berjanji hendak
menurunkan barang sejurus dua jurus ilmu silat yang kumiliki.
Sebagai penebus rasa sesalku bukankah sekarang waktunya yang tepat untuk
melakukannya?"
"Ha... ha... ha. Tabib Setan...!"
"Kumohon kau jangan lagi
memanggilku Tabib Setan. Aku malu Gento!" sergah Tabib Tapadara sedih.
"Baik, bagaimana kalau kupanggil kakek tabib gila?" tanya si pemuda
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN disertai senyum mencemooh.
"Tolong kata gilanya jangan ikut disertakan."
Gento Guyon tersenyum sinis.
"Permintaanmu banyak amat, dulu kau tak pernah memberiku kesempatan untuk
melepas lelah sama sekali. Tapi baiklah, sekarang apa yang hendak kau berikan
padaku?" "Pertama, aku akan menurunkan jurus-jurus silat ampuh padamu. Jika jurus yang
kuturunkan ini sudah kau kuasai, maka aku akan memberimu sebuah senjata yang
sangat hebat dan sangat berguna bagimu." berkata si kakek tabib dengan mimik
bersungguh-sungguh.
"Senjata hebat belum tentu
berguna jika pemiliknya tidak hebat.
Apalagi kalau lawannya hebat-hebat semua." kata Gento.
"Kau betul. Tapi... sebelum itu apakah kau mau menunjukkan padaku jurus apa saja
yang telah diwariskan kakek itu padamu" Kalau tidak
keberatan kau tentu boleh memperlihatkan salah satu di antaranya!"
"Tidak bisa. Apa yang diberikan oleh guruku tidak boleh dilihat
olehmu, pula siapa yang berani
menjamin kau tak akan mencuri jurus-jurus silatku. Lagipula aku sudah tahu akal
licikmu!" kata Gento Guyon dengan mata berkedip-kedip.
"Ah, rupanya kau masih belum
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN percaya. Baiklah, sekarang sebaiknya kau perhatikan baik-baik. Kau hanya punya
kesempatan sekali, makanya ingat baik-baik. Aku tak pernah mengulang apa yang
telah kutunjukkan padamu!"
kata si kakek tabib.
Masih dengan tetap bersandar pada batang pohon Gento Guyon pentang
matanya memandang pada si kakek. Di depan sana Tabib Sesat Timur sudah menarik
kaki kirinya ke belakang.
Sedangkan kaki depan ditekuk. Tangan kanan dikepal dan diangkat ke atas
sedangkan tangan kiri sambil melompat ke udara dihantamkan ke depan.
Hawa dingin menderu disertai
berkiblatnya sinar hitam di udara.
Ketika sinar itu menghantam rumpun semak belukar, Maka semak-semak yang jadi
sasaran langsung hangus menjadi debu. Si kakek teruskan gerakannya dengan
berputar di udara. Setelah berjumpalitan dia hantamkan tangan kanannya yang
terkepal. Begitu tangan kanan membuka, maka dari telapak
tangan itu memancar sinar merah.
Sebagaimana tadi sinar
maut itu kembali menghantam semak belukar
menghijau. Begitu kena hantaman
terjadi ledakan berdentum. Si kakek jejakkan kakinya dengan kedua tangan
ditadahkan. Di bawah pohon Gento
perhatikan semua itu dengan terkagum-kagum. Bagaimana tidak" Semak belukar
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN yang terkena pukulan kedua daunnya langsung rontok layu dan mengeriput, begitu
juga bagian batang yang terkena pukulan. Tapi begitu melihat ke arah si kakek
tabib, dia tak dapat menahan senyum. "Jurus apa itu tadi kakek tabib" Buntutnya
kok tangan menadah seperti pengemis?"
Walaupun merasa ada ganjalan
mendengar Gento seakan mengejek jurus hebat yang baru diperagakannya, namun
dengan sabar kakek tabib menjawab juga. "Yang kau lihat tadi adalah jurus Dewa
Memandang Dari Menara
Langit. Siapapun yang menjadi sasaran jurus tadi tubuhnya pasti seperti yang kau
lihat tadi."
"Hebat juga, tapi adakah yang lebih hebat dari itu?" tanya si pemuda lagi.
"Ada dan ini merupakan pukulan satu-satunya yang pantas kuwariskan padamu.
Namanya Dewa Awan Mengejar Iblis!" sahut Tabib Sesat Timur.
"Hem, rupanya di awan banyak iblisnya. Coba kau perlihatkan padaku kek!" pinta
Gento Guyon. Tabib Sesat Timur menyeringai.
"Kau lihatlah pohon di mana kau berdiri." Sesuai dengan perintah si kakek, maka
Gento pun memandang ke atas di mana jambu dan rambutan tadi jatuh dari sana.
Tabib Sesat Timur kemudian genjot kakinya. Laksana kilat
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN tubuh si kakek berkelebat di udara.
Kemudian terdengar suara menderu
disertai gemeretaknya ranting dan daun-daun laksana diterabas pedang.
Seiring dengan itu pula di atas ada semburan hawa panas membakar. Rantingranting dan daun berguguran.
"Hebat luar biasa. Aku bahkan hampir tak dapat mengikuti gerakan tubuh dan
tangannya dengan mataku!
Ternyata dia bukan hanya sekedar
tabib, tapi orang sakti yang mempunyai ilmu tinggi." memuji Gento Guyon sambil
berdecak kagum.
Belum lagi lenyap rasa takjubnya, di bagian pucuk pohon yang rambas gundul dan
gosong hangus terdengar suara mengaduh disertai melayangnya satu sosok gemuk
besar luar biasa dalam keadaan kalang kabut.
"Celaka betul. Orang tidur kok berani-beraninya mengganggu." Gerutu orang tua
berbadan gendut besar luar biasa, berwajah bulat berkening lebar.
Belum lagi suara gerutuannya lenyap.
Bluuk! Bagai karung yang penuh berisi padi jatuh terhempas di atas tumpukan
ranting dan daun. Melihat siapa yang jatuh, maka pucatlah wajah Gento Guyon
seketika. Sekarang dia tahu orang yang telah melemparnya dengan jambu dan
rambutan tadi pastilah si kakek
berbadan besar gendut luar biasa yang bukan lain adalah Gentong Ketawa
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN gurunya. "Bagaimana guru bisa bersembunyi di atas sana tanpa kuketahui. Dia pasti marah
besar Tabib Tapadara telah menghancurkan tempat ketidurannya."
batin Gento dengan perasaan ciut. Tapi apa yang dikhawatirkannya itu ternyata
tidak terjadi. Karena begitu jatuh di atas tumpukan ranting dan daun yang
berguguran akibat pukulan yang
dilepaskan Tabib Sesat Timur, maka si kakek gendut besar tidur lagi.
"Untung saat ini dia sedang
mengantuk berat. Kalau tidak alamat celaka diriku!" kata si pemuda.
"Kalau dia sampai terjaga akupun jadi tidak enak telah menurunkan
ilmuku kepadamu. Itu sebabnya kuminta kau merahasiakan semua ini!" satu suara
terdengar di belakang Gento Guyon membuat pemuda ini cepat menoleh dan jadi
kaget ketika melihat si kakek telah berdiri satu langkah di
belakangnya. Jika Tabib Sesat Timur bermaksud jahat sebagaimana yang
disangkakannya tentu sejak tadi dia sudah kena ditotok oleh kakek tabib itu.
"Kau betul kek. Lalu apakah ada lagi pukulan yang lebih hebat dari yang kulihat
tadi?" tanya Gento Guyon.
"Ha... ha... ha. Kau manusia serakah. Apa yang telah kutunjukkan tadi lebih dari
cukup. Selagi gurumu
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN tidur, sekarang sebaiknya kau duduk di hadapanku. Aku akan memindahkan tenaga
sakti yang kumiliki padamu agar kau dapat mengamalkan jurus Dewa Memandang Dari
Langit dan juga ilmu pukulan Dewa Awan Mengejar Iblis!"
"Ha... ha... ha. Bagaimana kalau kau menipuku lagi" Atau menggantungku di pucuk
pohon yang telah kau gunduli dengan ilmu anehmu itu?"
"Bocah goblok, tidak tahukah kau selama ini aku teramat menyesal
mengenang apa yang telah kulakukan terhadapmu dulu?" kata Tabib Sesat Timur
dengan wajah muram.
"Aku setengah percaya setengah tidak dengan ucapanmu. Tapi jika kau nantinya
menipuku, aku tidak akan mengampuni. Aku pasti membuat
perhitungan yang lebih menyakitkan!"
kata si pemuda. Dengan sikap waspada Gento menuruti perintah Tabib Sesat Timur.
Dia duduk di hadapan si kakek dengan kaki bersila, tangan ditum-pangkan di atas
lutut. Sedang matanya melirik terus mengawasi gerak-gerik si kakek tabib. Dan
ternyata Tabib Sesat Timur memang punya niat baik. Terbukti setelah menempelkan
kedua tangannya di punggung Gento Guyon dia salurkan hawa saktinya ke tubuh
Gento. Mula-mula pemuda itu menggigil kedinginan di saat hawa sakti yang


Gento Guyon 2 Tanah Kutukan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengalir di punggungnya menjalar ke sekujur tubuh
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN si pemuda. Gento Guyon menggigil, sedangkan dari bagian ubun-ubunnya mengepul
kabut putih tipis yang
kemudian bergulung-gulung di udara.
Selanjutnya hawa dingin lenyap
berganti dengan hawa panas yang
membuat si pemuda mengerang dan
menggeliat. "Oh, gila amat. Panas bukan main, aku hampir tidak tahan. Tubuhku
seperti dibakar atas bawah luar
dalam." desis si pemuda.
"Diam! Jangan melakukan gerakan yang bisa membuat kita berdua jadi celaka!"
gumam Tabib Sesat Timur memberi ingat.
Gento menyadari apa yang
diucapkan kakek tabib itu memang ada benarnya. Hingga dia tak berani
bergerak, bahkan bernafas pun
dilakukannya sangat perlahan sekali, hingga ekspresi wajahnya nampak lucu dan
kaku. 3 ENTO UYON GG Setelah berlangsung kurang lebih
setengah jam lamanya. Tabib Sesat Timur tarik kedua tangannya dari
punggung Gento Guyon, Si tampan
berwajah lugu, namun panjang akal ini langsung memutar badan. Masih dalam
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN keadaan bersila dia tersenyum saat dilihatnya
pakaian maupun sekujur
tubuh si kakek basah bersimbah
keringat. "Kek apakah tenaga dalam yang kau salurkan tadi sewaktu-waktu tidak berubah
menjadi angin?" Tabib Sesat Timur matanya mendelik. "Gento, aku tahu kau suka
bercanda. Mungkin lagak dan tawamu yang membuat si gendut besar memberimu nama
Gento Guyon. Tapi ingat! Apa yang hendak kuberikan
padamu ini bukan sesuatu yang dapat kau jadikan barang mainan," tegas orang tua
yang ketika Gento masih kecil selalu membuatnya menderita.
"Maksud kakek tabib, engkau
hendak memberiku senjata" Senjata apa"
Pedang, keris, tombak atau golok"
Kuharap bukan satu dari yang telah kusebutkan itu. Karena aku pasti tak mau
menerimanya. Tolong katakan
senjatanya panjang atau pendek. Besar atau kecil, tajam atau tumpul" Kalau yang
tumpul kurasa aku sudah tidak butuh. Ha... ha... ha." Gento Guyon tertawa
tergelak-gelak.
"Bocah edan. Sejak tadi aku sudah bicara apa padamu" Sekali seumur hidup bertemu
denganku kuharap kau bersikap serius." hardik Tabib Sesat Timur marah. Di atas
tumpukan ranting dan daun-daun, Gentong Ketawa nampak
komat-kamit. Namun matanya tidak juga
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN terbuka. Dia tetap tidur malah
terdengar suara dengkurannya.
"Baiklah. Sekarang katakan saja apa yang hendak kakek sampaikan. Dua telingaku
siap mendengar." ujar si pemuda.
Tabib Sesat Timur menarik nafas
pendek, memperbaiki posisi duduknya baru kemudian berkata. "Aku punya senjata
sakti, namanya Penggada Bumi.
Senjata itu diciptakan oleh tiga tokoh di masa ratusan tahun yang silam.
Senjata maut itu baru dapat kau
pergunakan dalam keadaan terdesak. Kau baru tahu manfaatnya jika telah
menyalurkan tenaga dalammu ke hulu senjata. Kekuatannya semakin bertambah
dahsyat bila kau memukulkannya ke bumi. Ketika kau memukulkan Gada ke bumi, kau
cukup menyebut Tiga nama Kebo. Pertama Kebo Ireng, Kebo Abang dan Kebo Putih.
Mereka inilah yang menciptakan senjata Penggada Bumi.
Dengan menyebut namanya ketika kita menggunakan senjata itu, berarti kita mohon
keberkahan serta doa restu
mereka!" jelas Tabib Tapadara.
Gento Guyon angkat telunjuknya.
"Tanya kek." ucap Gento. Tabib Tapadara anggukkan kepala. "Bagaimana seandainya
aku gugup dan jadi salah sebut?"
"Maksudmu?" Tabib Sesat Timur kernyitkan alisnya.
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN "Misalnya aku menyebutnya begini.
Kebo budek, kebo lumpuh dan kebo bogel?"
"Mudah-mudahan gada sakti itu akan mengemplang kepalamu sendiri biar otakmu yang
sinting jadi benar." sahut kakek tabib tak dapat menahan senyum.
Beberapa saat kemudian orang tua itu lanjutkan ucapannya. "Tentu saja kau tak
boleh salah menyebut. Bagaimana pun kau harus menghormati hasil
ciptaan mereka, walau kau tak pernah berjumpa langsung dengan orangnya."
tegas si kakek.
"Kalau begitu aku akan menghapal-nya." Sesaat kemudian mulut Gento Guyon nampak
komat-kamit seperti dukun membaca mantra. Hidung kembang kempis sedangkan mata
tak hentinya berkedap-kedip. Setelah itu dia buka telapak tangan. Tangan ditiup
lalu dikemp-langkan ke bagian kening. Si kakek jadi terheran-heran.
"Eeh, apa yang baru saja kau lakukan?" Si pemuda menyengir.
"Dibaca, ditiupkan ke telapak tangan baru diletakkan di kening supaya ingat
kek!" Tabib Tapadara menghembuskan
nafas sambil geleng kepala melihat tingkah laku Gento Guyon.
"Bertahun-tahun ikut bersamanya kau bukan jadi orang benar, sebaliknya malah
bertambah edan nggak ketuluGENTO GUYON TANAH KUTUKAN ngan!" gerutu kakek tabib. "Tapi baiklah. Waktuku tak begitu lama, lagipula kau
jangan bilang pada gendut gurumu bahwa aku telah memberimu
senjata." "Aku paling bisa menjaga rahasia.
Sekarang aku mau melihat mana senjata itu?" Dalam hati Gento Guyon menduga yang
namanya gada pasti sangat besar sekali. Seperti gada milik para
prajurit kraton. Namun kening si
pemuda berkerut tajam ketika melihat Tabib Sesat Timur membuka kantong
perbekalan yang baru diambil dari balik pakaiannya. Selanjutnya ikat kantong
dibuka. Ketika mulut kantong dijungkirkan ke bawah, maka mengge-lindinglah
sebuah benda berwarna
kuning keemasan dan memancarkan cahaya kemilau menyilaukan. Benda itu besarnya
tidak lebih besar dari ibu jari tangan. Panjang tak lebih dari dua jengkal
dengan ujung agak besar dan hulu sebesar kelingking. Melihat
senjata itu Gento Guyon jadi lemas tak bersemangat.
"Inikah barangnya kek?"
"Betul." menyahuti Tabib Sesat Timur.
"Kalau yang ini dibandingkan dengan punyaku pasti masih lebih besar lagi aku
punya!" gerutu si pemuda bersungut-sungut
"Bocah edan. Sekali lagi kau
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN bicara ngaco, kupecahkan mulutmu!"
hardik Tabib Sesat Timur.
"Kalau itu kau lakukan aku pasti minggat!" ancam Gento Guyon.
"Wah edan. Jadi pendekar itu tidak boleh besar ngambeknya. Dari tadi sudah
kukatakan kau jangan bicara apapun sebelum mendapat penjelasan dariku." kata si
kakek dengan suara perlahan membujuk. "Seperti yang telah kukatakan, kesaktian
senjata ini baru terlihat bila kau mengerahkan tenaga dalammu ke bagian hulu
senjata. Penggada Bumi semakin bertambah
dahsyat bila kau memukulkannya ke atas tanah. Mengerti?" tanya seorang tua
sambil pandangi wajah pemuda itu
lekat-lekat. "Mengerti kek. Walau senjata ini besarnya seperti alat untuk mengupil, tapi aku
masih punya kewarasan untuk menghargai karya orang lain. Untuk itu dengan senang
hati aku menerimanya!"
kata Gento Guyon sambil menjura
hormat. Ini dilakukannya untuk pertama kali, sehingga sedikit banyaknya Tabib
Sesat Timur merasa senang juga.
"Nah kau terimalah Penggada Bumi ini. Simpan dia baik-baik, jangan sampai
ketahuan gurumu." pesan si kakek, seraya memungut gada itu lalu menyerahkannya
pada Gento. Mengira gada kecil itu ringan, enak saja dia menanggapi. Namun diamdiam Gento GENTO GUYON TANAH KUTUKAN Guyon jadi kaget, karena gada yang besarnya seibu jari dan sepanjang dua jengkal
tersebut beratnya hampir sama dengan sembilan pedang baja. Lebih aneh lagi,
Gento merasakan tangannya yang memegang Gada terasa bagai
tersengat gumpalan es.
Setelah menyimpan senjata
pemberian Tabib Sesat Timur di balik pinggang celananya dia kembali
menjura. "Kek apakah aku harus
memanggilmu guru juga?" tanya Gento Guyon.
Si kakek gelengkan kepala.
"Tak usah. Cukup kau mengingatku di dalam hati sebagai orang yang
pernah berbuat salah, namun menebus kesalahan yang kulakukan dengan
penyesalan." sahut Tabib Sesat Timur sambil berdiri. "Sekarang aku harus pergi."
"Eeh, kau hendak pergi ke mana?"
tanya Gento Guyon kaget.
"Aku hendak menemui saudaraku Sesat Barat dan Sesat Selatan."
"Ah, aku turut prihatin karena ternyata banyak saudaramu yang tersesat. Semoga
setelah bertemu denganmu mereka akan menemukan jalan yang
lurus!" ujar si pemuda.
"Kuharap begitu. Jika gurumu terjaga sampaikan salamku padanya!"
pinta Tabib Sesat Timur. Selesai
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN berucap sang tabib memutar langkah dan berkelebat pergi meninggalkan Gento yang
terpana seorang diri.
Hanya beberapa saat setelah Tabib Sesat Timur pergi Gentong Ketawa
menggeliat. Mulutnya menguap lebar, namun matanya masih terpejam.
"Huaaah... aku bermimpi melihat kebo kurus dan kebo lumpuh. Kemudian aku juga
mimpi melihat ada Tabib Setan yang konon sudah bertobat menemuimu.
Ahhh... klekerr... kleker...!" Sambil bicara si kakek gendut malah mengorok.
Gento yang semula kaget menyangka gurunya mengetahui
bahwa Tabib Tapadara telah menurunkan beberapa jurus dan memberikan sebuah senjata akhirnya
jadi tersenyum sendiri.
"Kakek gemuk penidur. Hidupnya seperti musang. Kalau sudah makan kenyang dia
bisa tidur seharian."
cibir si pemuda.
Dia sendiri kemudian bermaksud
meninggalkan gurunya seorang diri.
Tapi baru saja dia hendak melangkah pergi, si kakek tiba-tiba menggeliat dan
membuka matanya. "Ah sudah siang rupanya. Tapi eh... seingatku tadi aku tidur di
atas pohon. Mengapa kini sudah pindah di bawah pohon.
Gentong Ketawa kemudian bangkit
berdiri. Ketika dia dongakkan kepala ke atas, maka kagetlah orang tua ini
dibuatnya. Pohon berdaun lebat itu
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN kini telah gundul seperti dibabat senjata. Selain itu pohonnya sendiri hangus
hitam seperti dibakar. Gentong Ketawa gelengkan kepala.
"Hebat luar biasa. Ada penebang pohon yang langsung membakar pohonnya.
Tapi sedikit pun dia tidak mengusik tidurku, baik betul dia. Gege siapa orang
itu?" "Eeh, apa maksud guru?" tanya si pemuda pura-pura kaget.
"Apakah kau tak melihat siapa adanya orang hebat yang melakukan semua kegilaan
ini?" tanya si kakek.
Dia kemudian menghampiri muridnya.
"Mana aku tahu. Ketika aku sampai di sini sehabis makan jambu dan
rambutan aku langsung tidur di situ."
jawab si pemuda berlagak seperti orang kaget.
"Jambu dan rambutan" Kalau tak salah ingat bukankah aku yang
memberikannya padamu." ujar si kakek.
"Betul begitu. Semula kukira ada kampret yang baik hati memberiku
makanan, tidak kusangka ternyata
kaulah orangnya. Ha... ha-ha."
"Bocah kurang ajar, berani kau mengatakan aku kampret sekali lagi tidak kujamin
keselamatanmu." seru Gentong Ketawa. Dia sendiri kemudian tertawa terkekehkekeh. "Apalagi yang ditertawakan oleh gendut pesek ini?" batin si pemuda.
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN "Apakah dia hanya pura-pura tak tahu kalau Tabib Sesat Timur sudah datang ke
mari?" "Gege kau tahu mengapa aku
tertawa?" tanya si kakek gendut besar kemudian.
"Aku tahu. Mungkin ada kerusakan pada syaraf tawamu, hingga penyakit gila guru
sekarang kambuh lagi. Ha...
ha... ha!"
"Murid sialan. Enak betul kau bicara. Perlu kau ketahui saat ini aku sedang
memikirkan Tabib Setan. Kurasa sekarang ini dia tersesat di rumah orang yang
hendak melahirkan. Jadi dia diminta pertolongannya oleh orang yang punya hajat
untuk menolong istrinya."
"Yang guru katakan masih lumayan, bagaimana jika dia diminta membantu sapi yang
hendak beranak oleh bapak sapi?"
Mendengar ucapan muridnya tawa
Gentong Ketawa makin bertambah keras.
"Kau termasuk beruntung karena dia tak menemukanmu. Aku tahu kurasa dia ingin
menurunkan ilmunya padamu.
Kalau itu sampai terjadi aku sangat tidak setuju sekali. Aku yakin ilmu tabib
itu selain jahat tentu jelek sekali. Itulah sebabnya seumur hidup kuminta kau
jangan pernah menemuinya."
"Guru goblok. Bagaimana dia bisa mengatakan ilmu tabib itu jelek. Aku sendiri
sudah melihat kedahsyatannya.
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN Bahkan jurus dan pukulan saktinya sudah diturunkan padaku." kata Gento dalam
hati. Namun untuk menyenangkan hati Gentong Ketawa, pemuda itu
berkata. "Apa yang guru katakan memang benar. Aku pun tidak mau mempunyai guru
bekas orang jahat."
Gentong Ketawa tersenyum, merasa
senang mendengar ucapan muridnya. "Nah seperti itu yang aku suka. Lagipula
seorang murid mempunyai dua guru itu kurang bagus. Nanti salah satu gurunya
merasa diguru tirikan!"
"Ha... ha... ha, kau ada-ada saja guru." kata Gento Guyon disertai tawa
terkekeh-kekeh.
"Sudahlah, sekarang sebaiknya kita pergi!"


Gento Guyon 2 Tanah Kutukan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pergi ke mana?"
"Ke suatu tempat sesuai dengan mimpiku!"
"Hah...!" Si pemuda tersentak kaget mendengar ucapan gurunya. Tapi dia lebih
kaget lagi ketika hendak ajukan pertanyaan ternyata gurunya sudah tak berada di
tempat itu lagi.
"Orang tua aneh, dia hendak
mendatangi tempat yang ada dalam
mimpinya?" gumam Gento Guyon sambil gelengkan kepala.
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN 4 ENTO UYON GG Laki-laki itu tersenyum ketika
melihat lima gadis yang dalam keadaan kaku tertotok selesai dibaringkan di atas
batu. Kelima gadis cantik itu sama sekali tak mengetahui apa yang bakal terjadi
atas diri mereka.
Sementara suasana senja kini telah berganti dengan kegelapan malam. Dan di
sekeliling lapangan pasir yang luas itu sebagaimana biasanya kilat mulai
menyambar menyelingi kegelapan. Hal ini sebenarnya merupakan sesuatu yang aneh.
Karena saat itu langit cerah tanpa mendung dan cuaca dalam keadaan baik.
Sementara itu diatas altar, lakilaki berwajah angker berpakaian serba merah dan berjubah putih nampak mulai
memeriksa kelima gadis yang menjadi tawanannya.
"Selamat datang di Tanah Kutukan.
Bila telah sampai di sini tidak ada kemungkinan bagi kalian untuk kembali ke
dunia luar. Karena aku akan
mengorbankan kalian semua di Tanah Kutukan ini demi kesempurnaan ilmu yang
kumiliki." kata laki-laki itu dengan suara dingin menusuk.
"Manusia iblis, apa maksud dari ucapanmu?" tanya salah seorang dari
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN kelima gadis yang telah diberi pakaian warna merah memberanikan diri.
"Maksudku sudah jelas. Hampir setiap tiga purnama sekali aku harus mencari
gadis-gadis perawan untuk kujadikan tumbal di tempat ini. Kelak jika semua ilmu
yang kumiliki sudah mencapai tarap di atas sempurna
barulah aku akan meninggalkan Tanah Kutukan ini untuk mencari Tiga Mutiara
Langit. Hanya senjata itu yang paling kutakuti di dunia ini. Jika senjata itu
telah berada dalam genggamanku, maka aku sudah dapat memastikan
kekuasaan dunia ini sudah pula berada dalam genggamanku. Ha... ha... ha!"
"Terkutuk keji. Tindakanmu itu sungguh akan mendapat ganjaran yang setimpal dari
Gusti Allah!" maki gadis yang terbaring di ujung altar
persembahan. Laki-laki yang rambut panjangnya
berdiri tegak ini berjingkrak kaget mendengar ucapan si gadis. Sudah
berpuluh-puluh kali dia melakukan korban persembahan. Namun baru kali ini calon
korbannya berani bicara lantang. Kagum juga penasaran atas keberanian si gadis
maka laki-laki itu datang menghampiri.
"Hebat luar biasa." berkata laki-laki itu setelah dekat dan berjongkok di depan
si gadis. Sekilas dia
memperhatikan wajah gadis itu.
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN "Kau seorang gadis yang sangat pemberani. Aku Braga Swara merasa kagum padamu.
Hem... aku ingat
sekarang. Aku menculikmu di sebuah penginapan. Aku yakin kau bukan gadis
sembarangan, Kau memiliki ilmu dan juga kepandaian silat. Siapa namamu?"
tanya laki-laki itu sinis.
"Buat apa kau
tahu namaku?"
dengus si gadis. "Jika kau memang bukan laki-laki pengecut cepat
bebaskan totokanku ini, mari kita bertarung sampai seribu jurus!"
"Hebat. Tapi ketahuilah, sehebat apapun ilmu yang kau miliki, jelas kau bukan
tandinganku. Aku sendiri
sebenarnya sangat menyukai gadis
pemberani sepertimu. Tapi sayang
waktuku sangat sempit." berkata begitu Braga Swara dongakkan wajahnya ke langit.
Bulan sabit terlihat
mengambang di puncak bukit. Selebihnya langit bertabur bintang. "Sekejap lagi
segala sesuatunya
harus segera dimulai. Aku harus menyalakan peiita dan pendupaan. Nanti bila bulan sabit telah
bergerak meninggi, di saat itu acara persembahan tumbal dimulai.
Setan dan roh gentayangan akan turut menyaksikan sekaligus menjadi saksi dari
semua pengorbanan yang telah kulakukan. Sekarang tenang sajalah kalian semua di
sini. Aku hendak
melakukan sesuatu di bawah sana. Ha...
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN ha... ha!" sambil tertawa-tawa Braga Swara melompat dari altar batu tinggi itu.
Ketika kedua kakinya menyentuh permukaan pasir, maka tubuhnya amblas dan raib ke
dalam tanah pasir itu.
Gadis di sudut altar melihat
semua keanehan ini. Dalam hati dia sempat menjadi kaget ketika melihat kenyataan
yang terjadi. "Apa yang dilakukannya" Mengapa tubuh orang itu mendadak lenyap begitu menyentuh
tanah?" batin si gadis. Tak lama kemudian setelah lelah memikirkan keanehan itu
namun tak menemukan
jawaban, si gadis akhirnya memandang ke samping di mana empat gadis lainnya
dalam keadaan yang sama berada.
"Kalian semua dengar. Nasib kita akan sama jika tidak melakukan sesuatu
secepatnya." berkata gadis itu.
Suaranya lirih namun dapat didengar dengan jelas.
Sepi sejenak, lalu gadis yang
terbaring di sudut kiri altar
menyahuti. "Bagaimana kami harus bersikap. Kami tak memiliki kepandaian apapun.
Kami hanya gadis desa biasa.
Seandainya saja kami dapat berbuat sesuatu pasti sejak tadi kami sudah
meninggalkan tempat ini!" jawab gadis itu mewakili tiga temannya.
"Aku Ararini merasa prihatin dan tak kuasa membayangkan apa yang bakal terjadi.
Tapi aku akan berusaha
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN menolong kalian jika itu dapat
kulakukan!" kata si gadis. Diam-diam Ararini kerahkan tenaga dalamnya untuk
membebaskan totokan Braga Swara yang telah menculiknya. Namun akhirnya si gadis
jadi kaget ketika mendapat
kenyataan totokan yang dilakukan Braga Swara ternyata sulit dimusnahkan.
"Celaka. Totokan ini saja sulit kumusnahkan. Bagaimana aku bisa
menolong mereka?" batin si gadis dalam hati. "Aku harus kembali ke
penginapan. Setelah itu aku akan
menemui guru. Sebelum Braga Swara datang ke sini, aku harus menggunakan ilmu
Tapak Awan untuk meninggalkan tempat ini!" Beberapa saat kemudian bibir mungil
si gadis nampak berkomat-kamit. Sekujur tubuhnya bergetar, kemudian dalam waktu
yang tidak begitu lama seluruh tubuh gadis itu telah diselimuti asap putih.
Bersamaan dengan melesatnya asap putih di udara, maka sosok Ararini ikut pula
terangkat. Satu keajaiban terjadi.
Begitu tubuhnya mengambang di udara dia pun atas bantuan tabir kabut gaib
melesat pergi meninggalkan altar
persembahan. "Hei... mengapa kau tinggalkan kami. Katanya kau hendak menolong, kenyataannya
kau malah pergi seorang diri!" teriak gadis yang terbaring di sudut kiri altar.
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN "Maafkan aku. Saat ini aku
sendiri tak mampu membebaskan totokan ini. Bagaimana aku bisa menolong
kalian" Mungkin kelak aku akan kembali bersama guruku...!" kata Ararini.
"Ha... ha... ha...! Saat itu kau hanya menemukan tulang belulang gadis ini!"
Satu suara menyahuti. Di atas altar satu sosok tubuh jejakkan
kakinya. Ternyata yang datang adalah Braga Swara. Laki-laki itu sendiri jauh di
dalam hatinya jadi terkejut.
Dia ingat di rimba persilatan hanya ada satu tokoh yang memiliki ilmu ajian
Telapak Awan. Sebuah ilmu langka yang dapat dipergunakan apabila
pemilik ilmu itu dalam keadaan
terdesak. "Dia masih hidup" Tidak mungkin.
Saat itu aku menghantamnya dengan pukulan mematikan. Tubuhnya terperosok ke
dalam jurang, lagipula dia dalam keadaan hamil besar. Pasti dia mampus di dasar
jurang Randu Blatung. Jahanam betul, mengapa aku bisa kecolongan seperti ini.
Padahal tadi seharusnya kutanyakan apakah dia muridnya Sari Lukita atau bukan?"
Sekali lagi Braga Swara dongakkan wajahnya ke langit.
Ararini ternyata sudah tidak terlihat lagi.
Laki-laki itu jadi geram dan
kepalkan tinjunya. Selanjutnya dia bangkit berdiri. Satu demi satu calon
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN korban persembahan diperiksanya. Ke empat gadis nampak ketakutan sekali.
"Sudah menjadi suratan nasib.
Kalian akan menjadi korban mahluk iblis di sini. Ha... ha... ha. Namun sebelum
iblis muncul, saat ini aku membutuhkan darah kalian!" kata Braga Swara.
"Kumohon... kumohon lepaskan kami." rintih salah satu dari ketiga gadis dengan
wajah tegang dan suara memelas.
Braga Swara menyeringai.
"Sebentar lagi waktu pembebasan tiba.
Tunggu dan harap bersabar!" kata laki-laki itu dingin.
Merasa yakin Braga Swara berniat
membebaskan mereka. Maka para gadis itu nampak gembira sekali. Sementara Braga
Swara kini sudah mengelilingi sebuah pendupaan yang baru saja
dinyalakan. Di atas pendupaan besar berbentuk kerucut setinggi lutut
sebilah pedang kecil nampak mulai menyala dikobari api.
Tidak seorangpun ada yang tahu
apa yang akan dilakukan oleh Braga Swara. Yang jelas tidak berselang lama lakilaki itu mulai menari berlenggang lenggok mengelilingi pendupaan
sedangkan mulutnya berkomat-kamit membaca mantra-mantra gaib.
"Cikalang tanah ilmuku, ilmu iblis kekuatan sesat. Aku adalah
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN pemuja setan. Bumi sebagai tempatku bernaung dan berlindung. Bila kekuatan iblis
sudah berkuasa dan menjadi
pelindungku. Aku tidur di atas api, aku menari di atas awan. Kukencingi laut,
segara jadi asin. Lalu aku
gentayangan di atas bumi menebar
malapetaka. Wahai para lurah dan
penghulu kejahatan. Aku datang
menghadap. Malam ini ilmu Cikalang Tanah harus kau sempurnakan. Korban
persembahan telah kusediakan. Kuhirup darah mereka dan kau berhak atas jasad
yang tidak berguna!"
Sambil membaca mantra disertai
suara racau tak karuan, Braga Swara terus menari. Tubuhnya melejang tak karuan
seperti orang yang kesurupan, sedangkan sepasang matanya kini telah berubah
memerah, memancarkan cahaya aneh dalam gelapnya altar. Kemudian dari delapan
penjuru arah terdengar suara raungan aneh disertai langkah yang menimbulkan
getaran laksana
gempa. Seiring dengan itu pula Braga
Swara menyambar pedang pendek yang dipanggang di atas pendupaan. Pedang yang
telah berubah memerah laksana bara itu dibolang-balingkannya di udara. Kemudian
sambil menggerung, dia menyambar pedang yang berputar aneh di udara. Selanjutnya
Braga Swara berkelebat ke arah empat gadis sambil
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN berteriak. "Sekarang saatnya kebebasan itu!" Sinar merah berkelebat menyambar
leher mulus keempat gadis malang.
Tidak ada pekik atau jerit kesakitan.
Keempat gadis ini hanya mampu delikkan mata saking kagetnya. Setelah itu darah
menyembur dari bagian leher yang menganga tersambar mata pedang.
Dengan lahap Braga Swara menyedot darah keempat gadis itu. Sebagian darah itu
bahkan sengaja dimandikan ke sekujur tubuhnya. Begitu Braga Swara selesai
menghirup darah korbannya maka dari sekujur tubuhnya memancarkan cahaya merah
berhawa panas bukan
kepalang. Laki-laki itu tertawa
terkekeh-kekeh. Empat gadis yang
bergeletakan tanpa nyawa dengan luka mengerikan di lehernya tidak
dihiraukannya lagi. Sinar merah yang memancar di tubuhnya lenyap. Dia pun
berjingkrak kegirangan.
"Ilmu aneh, kekuatan aneh. Aku telah menguasai ilmu Cikalang Tanah.
Setiap saat aku bisa menyatu dengan bumi. Mereka yang menyimpan dendam padaku
pasti akan menjadi kecewa
begitu mendapatkan kenyataan ini.
Ha... ha... ha." Braga Swara tertawa terbahak-bahak. Dia kemudian duduk berlutut
setelah mengembalikan pedang pendek di atas pendupaan. Setelah itu kedua tangan
dirangkapkan. Dia
bungkukkan badan menjura ke delapan
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN penjuru arah. "Sahabatku. Aku kini percaya kau telah menepati janji. Sekarang tiba giliranku
menepati janjiku. Telah kusediakan empat mayat perawan. Kau berhak memilikinya.
Datanglah mendekat ke mari. Di atas altar korban
persembahan hidangan telah menunggu!"
seru Braga Swara dengan suara
bergetar. Getaran keras kembali
terjadi. Tanah pasir di sekeliling altar nampak bergerak aneh seperti ada mahluk
bergerak di dalamnya.
"Hrauuuugkh...!"
Lalu terdengar suara lengkingan
aneh. Dari empat penjuru sudut altar muncul empat kepala berbentuk aneh seperti
kepala ular dengan leher
panjang seperti jerapah, namun
badannya sama sekali tak terlihat.
"Sahabat iblis terima kasih kau akhirnya mau datang." kata Braga Swara. Dia
kemudian menunjuk ke arah empat mayat gadis yang baru saja
dibunuhnya. "Hrauuung...!" kembali terdengar suara empat mahluk yang munculkan kepalanya
dari empat sudut altar itu.
Empat kepala terjulur dengan mulut besarnya yang menganga lebar. Sekali sentak
empat mayat gadis itu jatuh di atas pasir. Ketika empat kepala mahluk iblis itu
lenyap di bawah permukaan pasir, maka masing-masing mayat yang
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN berada di bawah ke empat sudut altar ikut pula lenyap terseret ke dalam tanah.
Braga Swara tertawa dingin
menyeramkan. Di atas langit sana bulan sabit
sudah tak terlihat lagi.
5 ENTO

Gento Guyon 2 Tanah Kutukan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

UYON GG Dua pemuda berpakaian serba putih berkepala botak mondar-mandir di dalam kamar
penginapan yang terdapat di sebuah kota kecil Tawangharjo. Salah seorang
diantaranya yang membekal golok besar di bagian punggung
kemudian nampak sibuk memeriksa
jendela serta langit-langit kamar yang jebol. Sedangkan yang satunya lagi
setelah memeriksa senjata berupa roda-roda kembar akhirnya buka suara.
"Senjata kakak Taktu Ararini, tempat perbekalannya semua ada di sini. Mana
mungkin bertindak seperti orang linglung dengan meninggalkan senjatanya di
sini." "Kau betul adik Takga. Aku telah melihat bagaimana langit-langit itu jebol serta
jendela yang rusak. Jelas menurutku ada seseorang berkepandaian tinggi
menyelinap masuk ke tempat ini, lalu menculik kakak Taktu. Aku
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN khawatir saat ini dia berada dalam bahaya besar. Seperti yang dipesan oleh guru
Peri Tanpa Bayangan, musuh besarnya yang bernama Braga Swara adalah manusia
licik berkepandaian sangat tinggi yang saat ini sedang mengamalkan ilmu keji.
Salah satu syarat untuk menguasai ilmu iblis itu adalah dengan meminum darah
perawan...!"
"Maksudmu kakak Taktu diculik oleh Braga Swara?" tanya Takga alias botak ketiga.
"Tepat." jawab Takwa alias Botak kedua serius.
"Tidak mungkin, Tanah Kutukan masih sangat jauh dari sini. Menurutku tidak
mungkin Braga Swara berkeliaran sampai sejauh ini." bantah Takga.
Botak kedua usap-usap kepalanya
yang plontos tanpa rambut.
Dia menyeringai di saat
ketegangan merayapi dirinya.
"Ada sesuatu yang kau lupa, adik Takga. Pada waktu tertentu seperti yang kita
dengar tiga purnama sekali Braga Swara gentayangan mencari calon korban. Dia
tidak mencari perawan jelek korengan apalagi ingusan. Tapi yang hendak dijadikan
korbannya pasti perawan cantik. Menurutmu apakah kakak Takga tidak cantik?"
tanya Takwa. Yang ditanya tersenyum. "Waktu kepalanya dibotaki oleh guru, dia
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN memang mirip laki-laki tampan seperti kita. Tapi setelah rambutnya dibiarkan
tumbuh memanjang, ternyata dia sangat cantik. Celakanya akibat mengamalkan ilmu
Rintihan Kematian dan ilmu
Melangkah Di Atas Mendung rambut di kepala kita sejak dibotaki pertama kali
hingga sekarang tidak mau tumbuh lagi. Sedangkan kakak Takwa karena mengamalkan
ilmu yang lain setelah dewasa rambutnya bagus badannya juga mulus. Maunya kakak
Taktu Ararini jadi istriku. Ha... ha... ha."
"Hus bicaramu ngawur suka mencla-mencle. Kau harus ingat saat ini kakak Taktu
pasti berada dalam bahaya besar.
Kita harus melakukan sesuatu untuk menolongnya." ujar pemuda berkepala botak itu
serius. "Semua ini salahmu, coba kalau kita tidak terlalu banyak bermain di perjalanan,
tentu kita sampai di
penginapan ini bersama-sama. Sekarang kita hendak menuju ke Tanah Kutukan.
Jika betul kakak Taktu ada di sana itu tak jadi soal, tapi jika ternyata tidak.
Berarti kita hanya membuang tenaga sia-sia." sahut Takga.
"Lalu sekarang apa yang harus kita lakukan" Menunggu sampai guru menyusul ke
mari menggebuk kita.
Atau...?" Belum lagi Takwa sempat melanjutkan ucapannya. Tiba-tiba
terdengar suara mengerang disertai
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN hancurnya bagian langit-langit. Satu sosok melayang bersama hancurnya
langit-langit ruangan. Melihat siapa yang jatuh, Takwa dan Takga berebut
menyelamatkan mereka. Tapi akibatnya mereka bertubrukan satu sama lain sehingga
kepala mereka benjut benjol sedangkan yang hendak ditolong malah jatuh
bergedebukan di atas lantai.
"Kakak Taktu... apa yang terjadi denganmu?" seru Takwa dan Takga hampir
bersamaan. Di atas lantai gadis cantik yang
pakaiannya telah diganti dengan
pakaian merah merintih.
Asap tebal yang menyelubungi diri gadis itu kini berangsur lenyap dan hilang
sama sekali. "Kau... Takwa dan adik Takga, hampir saja kita tidak dapat bertemu selamanya."
kata si gadi yang bukan lain adalah Ararini alias Taktu.
"Rupanya apa yang telah terjadi?"
tanya Takwa. "Braga Swara menculikku di saat aku menunggu kedatangan kalian di sini. Untung
aku punya ajian Tapak Awan hingga aku dapat meloloskan diri.
Jika tidak, mungkin nasibku sam
seperti dengan keempat gadis malang itu. Kemudian Taktu Ararini
menceritakan segal sesuatu yang
terjadi di Tanah Kutukan.
"Kurang ajar. Jadi benar seperti
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN yang dikatakan guru, Braga Swara saat ini sedang mengamalkan ilmu sesat dengan
mengorbankan gadis perawan sebagai tumbalnya?" desis Takga sambil mengepalkan
tinjunya. "Apa yang dikatakan guru memang benar. Aku sendiri bahkan hampir
menjadi korbannya" sahut Ararini yang semasa kecil dikenal sebagai Taktu alias
botak kesatu. Untuk lebih jelas, ikuti serial Gento Guyon episode
'Tabib Setan'. "Sekarang sebaiknya kita pergi ke Tanah Kutukan. Kita bertiga aku yakin mampu
membunuhnya!" ujar Takwa.
"Kita tidak bisa gegabah. Tanah Kutukan merupakan tanah pasir yang bagian
dalamnya selalu bergerak. Tanah itu tidak bisa kita pijak. Kita harus menunggu
perintah dari guru. Bagaimana pun Braga Swara bukan manusia
sembarangan. Aku sendiri sampai
sekarang ini tak mampu membebaskan totokannya."
"Hah... jadi kakak masih dalam keadaan tertotok?" seru Takwa dan Takga kaget.
"Kau pikir aku mau jatuh
sedemikian rupa?" dengus Ararini.
"Lalu bagian mana yang ditotok?"
tanya Takga. "Bagian punggung dan leherku."
jawab Ararini. "Itu sih gampang, biar aku yang
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN membebaskannya!" ujar Takga. Pemuda beralis tebal ini lalu duduk di depan si
gadis. Setelah mengetahui di bagian mana yang kena ditotok, maka Takga dengan
tangan kanannya segera
melakukan usapan beberapa kali. Tapi betapa kagetnya pemuda berkepala botak yang
pitak di bagian belakang ini ketika menyadari usahanya untuk
membebaskan totokan sama sekali tak berhasil.
"Kakak Takwa, totokan yang
dilakukan iblis itu alot amat.
Sebaiknya kita gabungkan tenaga
dalammu dan tenaga dalamku untuk
menolong kakak Taktu." pinta Takga.
Sambil bersungut-sungut Takwa
datang menghampiri. Dia lalu duduk di belakang adiknya. "Jadi orang jangan
sombong, mulut besar kemampuan tak ada. Hayo sekarang lakukan!" berkata begitu
Takwa menempelkan kedua tangan di bagian punggung adik seperguruannya yang
paling bungsu. Begitu Takga
merasa mendapat tenaga tambahan. Maka dengan dua jari tangan dia menyentuh leher
dan punggung Taktu.
Plash! Totokan itu lenyap. Begitu merasa bebas Taktu melompat bangkit berdiri, lalu
meraih roda-roda terbangnya yang tergeletak di atas balai tempat tidur.
Senjata diletakkan di bagian punggung.
Setelah itu dia pandangi kedua pemuda
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN di depannya. "Kita tidak mungkin datang ke sana bertiga, seperti yang kukatakan tadi paling
tidak kita harus menunggu petunjuk guru." Sekali lagi Taktu memberi penegasan.
"Apakah kita tidak dapat
mengambil keputusan sendiri. Apa-apa minta petunjuk" Kalau tidak memalukan
kurasa mau buang hajat pun harus minta petunjuk." kata Taktu tidak sabaran.
Taktu dan Takwa saling pandang,
lalu sama tersenyum.
"Satu hal yang membuatku heran sampai kini, mengapa guru dan Braga Swara itu
bermusuhan" Kebenciannya pada laki-laki itu tampaknya begitu mendalam." sergah
Takwa. "Jadi kau belum tahu apa yang membuat guru bersikap seperti itu?"
tanya Taktu alias Ararini.
Bukan hanya Takwa yang gelengkan
kepala, Takga juga ikut menggeleng.
"Jadi kakak Taktu tahu?" tanya Takga.
Si gadis anggukkan kepala. Dia
lalu kerutkan keningnya, mencoba
mengingat segala sesuatu yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Sampai
kemudian Taktu berkata. "Malam itu kulihat guru menangis, ketika aku datang
kulihat wajahnya begitu sedih.
Akupun lalu bertanya gerangan apa yang telah terjadi." sampai di sini Taktu
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN hentikan ucapannya.
"Lalu bagaimana, kau ikut
menangis juga?" tanya Takwa tidak sabaran.
Taktu gelengkan kepala.
"Katanya guru sangat bersedih karena meninggalkan suaminya dan pergi dengan
pemuda lain. Entah mengapa dia begitu tergila-gila dengan pemuda itu.
Mereka kemudian mengembara, hingga guru hamil. Tapi pemuda mata keranjang itu
kemudian malah bermaksud
membunuhnya dengan memukul guru sampai akhirnya masuk ke dalam jurang. Guru
selamat, namun anak dalam kandungannya meninggal. Sedangkan pemuda itu
kemudian pergi dengan wanita lain.
Bertahun-tahun guru menyesali nasib.
Menyesal karena telah meninggalkan suaminya. Dendamnya pada pemuda yang tak
bertanggung jawab itu begitu
mendalam. Di sisi lain dia juga merasa dikejar-kejar dosa. Karena itu dia
kemudian membotaki kepalanya dan
menjadi seorang rahib. Namun rasa penasaran membuatnya meninggalkan biara,
kemudian memperdalam ilmu
silatnya guna untuk membalas dendam.
Rupanya setelah melakukan penyelidikan pemuda yang bernama Braga Swara
setelah malang melintang melakukan berbagai kejahatan termasuk juga
menodai gadis-gadis serta istri orang.
Dia kemudian mengasingkan diri di
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN Tanah Kutukan untuk memperdalam ilmu baru yang dimilikinya. Terbukti
kemudian dengan keyakinannya yang menyesatkan dia banyak menculik para gadis
diambil darahnya kemudian mayat gadis itu diberikan pada mahluk iblis yang
tinggal di bawah tanah pasir."
"Huk... huk... huk. Jahanam betul laki-laki itu. Kasihan sekali guru.
Memangnya wajah suaminya jelek hingga dia meninggalkannya begitu saja!"
tanya Takga sambil mengusap matanya yang memerah.
"Entahlah, mungkin itu menyangkut masalah yang sangat pribadi sekali.
Sekarang ini sebaiknya kita bersiap-siap untuk berangkat." kata Taktu pada kedua
adik seperguruannya.
"Kita bertiga berangkat ke sana, apakah itu namanya tidak membuang nyawa siasia?" tanya Takwa sambil memutar toya di tangannya.
"Apapun yang terjadi kita
tanggung bersama." jawab Taktu dan Takga. Merasa tak punya pilihan lain,
akhirnya Takwa terpaksa mengikuti kedua saudara seperguruannya.
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN 6 ENTO UYON GG Sampai di satu tempat si gendut
besar luar biasa ini hentikan larinya.
Matanya yang sipit berputar memandang jelalatan ke setiap sudut tanah
lapangan luas di hadapannya. Si kakek monyongkan bibirnya. Wajahnya yang
keringatan perlihatkan rasa kecewa.
"Jelas bukan di sini tempat yang kulihat dalam mimpiku itu. Dalam mimpi aku
melihat lapangan pasir yang sangat luas. Di tengah lapangan itu terdapat sebuah
altar dari batu hitam.
Sedangkan lapangan ini dikelilingi pohon besar, batu-batu cadas, sarang landak
dan juga beberapa jenis ular berbisa. Hemm, aku datang ke alamat yang salah."
kata si kakek gendut Gentong Ketawa.
Selagi si kakek dilanda kebingungan, maka pada saat itu pula
mendadak sontak dia mendengar suara orang di belakangnya. "Inikah tempat yang
kau lihat dalam mimpimu guru.
Tempat seperti ini kadal buntung pun kurasa tidak mau tinggal di sini!"
Mendengar suara yang sangat
dikenalnya, Gentong Ketawa langsung menoleh. Dia jadi kaget begitu melihat tahutahu Gento Guyon telah berdiri tegak di belakangnya.
"Kau... bagaimana ilmu lari cepat
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN dan ilmu meringankan tubuhmu jadi sehebat ini?" tanya Gentong Ketawa dengan
kening berkerut.
"Ha... ha... ha. Aku bukan
pemalas sepertimu guru. Setiap hari aku berlatih, sedangkan kau enak-enakan
tidur. Sudahlah, jangan pula sekarang kau hendak mengalihkan
perhatian. Menurutmu guru melihat lapangan pasir yang luas. Di tengah lapangan
itu ada sebuah altar
pemujaan. Apakah tempat seperti ini yang kau maksudkan?" tanya Gento.
Gentong Ketawa buru-buru
menjawab. "Bukan... tempatnya jelas bukan seperti ini. Kita keliru lagi."
"Sudah sepuluh kali kita keliru.
Yang aku herankan kau percaya dengan segala macam mimpi, sungguh edan.
Bagaimana jika sekarang kita pergi ke tempat lain saja sambil melatih ilmu yang
baru." "Mana boleh begitu. Kau dengar...
yang kulihat dalam tidurku bukan hanya sekedar mimpi, tapi semacam petunjuk.
Aku melihat pembunuhan keji di sana.
Aku juga melihat mahluk aneh berleher panjang berkepala empat. Semua ini
merupakan suatu bukti aku bukan hanya sekedar mimpi." kata Gentong Ketawa tetap
bersikeras. Gento Guyon gelengkan kepala.
Rasanya percuma saja dia memberi
pengertian pada gurunya. karena
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN

Gento Guyon 2 Tanah Kutukan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagaimana pun kakek itu tetap
bersikeras pada pendiriannya.
Tapi mungkin apa yang dikatakan
kakek Gentong Ketawa memang ada
benarnya. Kalau tidak mana mungkin gurunya ngotot seperti itu.
"Sekarang apa" Setelah mendatangi sarang kecoak ini selanjutnya kita ke mana?"
tanya si pemuda dengan mata berkedip-kedip.
Si kakek jadi bingung dan merasa
pusing sendiri. Beberapa saat lamanya dia terdiam. Berpikir sejenak namun
otaknya tidak menemukan suatu
kesimpulan apapun. Akhirnya Gentong Ketawa jadi bicara sesuka hati
sendiri. "Tempat itu yang pasti masih di sekitar tanah Jawa juga. Jika kita mau
menelusuri atau mencarinya secara teliti lama kelamaan pasti akan kita ketemukan
juga. Ha... ha... ha."
Gento Guyon belalakkan mata dan
jadi kesal mendengar ucapan gurunya.
Dengan mulut terpencong dia keluarkan suara. "Guru... berapa lama kita harus
melakukannya" Tanah Jawa ini luas. Dua purnama kita melakukan pelesiran
perjalanan tak akan usai. Kurasa
sampai botak sariawan sekalipun kita tidak menemukan tempat yang guru
maksud. Terkecuali kita berpindah tempat."
"Eeh, apa maksudmu"! Pindah
tempat juga tak jadi apa asal kita
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN menemukan daerah yang kulihat dalam mimpiku itu." ujar si kakek yang tidak
mengerti arah ucapan muridnya.
"Ha... ha... ha. Pasti akan
membuatku sangat repot dan aku sendiri belum tentu bersedia melakukannya.
Karena tempat itu ada di akherat. Ha..
ha... ha." kata Gento Guyon disertai tawa bergelak.
Mata sipit si kakek mendelik.
Pelipisnya bergerak-gerak, rahang menggembung, sedangkan wajahnya yang bulat
nampak memerah. "Gege murid edan. Mengapa kau tidak terus terang mengatakan agar
aku mati!"
"Hal itu sudah kukatakan tapi dalam doa yang kupanjatkan! Ha...
ha... ha." sambil memegangi perutnya si pemuda,kembali tertawa.
"Bocah edan anak kampret.
Kupecahkan batok kepalamu sekarang juga!" hardik Gentong Ketawa. Lupa bahwa di
antara mereka adalah murid dan guru yang mempunyai watak serta sifat aneh.
Dengan gerakan seringan kapas secepat angin berhembus. Sosok tinggi besar luar
biasa ini melesat ke arah si pemuda. Salah satu tangan mencengkeram dada
sedangkan tangannya yang lain dihantamkan ke bagian kepala muridnya.
"Bagus. Sintingnya lagi angot, murid sendiri pun hendak dibunuhnya.
Ha... ha... ha!" Kemudian enak saja
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN Gento Guyon gerakkan tangan kanan menangkis kedua tangan si kakek dengan gerakan
dari bawah ke atas.
Terjadi benturan yang membuat
Gento terhuyung. Namun cepat sekali dia susupkan tangan kiri ke perut gurunya.
Jemari tangan menggelitik hingga membuat si kakek tertawa
tergelak-gelak.
"Sudah... sudah. Aku paling tidak tahan bila kau gelitiki." Tubuh besar si kakek
terhuyung-huyung, sedangkan kedua tangan menekab bagian perutnya.
Gento surut, dia lalu membolak-balik tangan yang memang membiru akibat bentrok
dengan tangan gurunya tadi.
Sebaliknya Gentong Ketawa sendiri jadi heran. Rasanya dia merasa asing dengan
gerakan silat yang dilakukan muridnya. "Kau tadi menggunakan jurus apa. Rasanya
aku belum pernah
mengajarkan jurus seaneh itu padamu?"
"Ah, mengapa aku berlaku ceroboh"
Mestinya tidak kuperlihatkan jurus warisan Tabib Sesat Timur padanya."
batin si pemuda. Namun dasar otaknya cerdik dan panjang akal. Tenang saja dia
menjawab. "Yang guru lihat tadi jurus Belalang Mabuk yang kugabung dengan jurus
ciptaanku sendiri.
Hasilnya seperti yang guru lihat.
Ha... ha... ha." kata Gento disertai tawa terkekeh-kekeh.
Si kakek terdiam, berpikir sesaat
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN lalu manggut-manggut. Walau kurang yakin betul, namun dia percaya
muridnya mampu melakukan hal itu
mengingat muridnya memang cerdik dan banyak akalnya.
"Kau memang lain dari yang lain.
Kelak aku yakin kau pasti lebih hebat dariku." puji si kakek.
"Dasar pikun, apa yang kukatakan langsung dipercaya begitu saja." batin si
pemuda merasa geli sendiri.
"Hu... hu... hu.. Hidup di dunia lebih lama menunggu apa" Setiap
langkah penuh kesialan karena ulahku sendiri. Suamiku... maafkanlah diriku yang
bodoh dan penuh dosa ini." Selagi Gento dan gurunya saling pandang dan tenggelam
dalam pikiran masing-masing.
Mereka dikejutkan dengan terdengarnya suara tangis.
"Ada setan menangis?" desis Gento.
"Bukan setan. Bangsa setan tak pernah menangis. Suaranya datang dari arah sana!"
kata si kakek. Murid dan guru ini kemudian berkelebat ke arah datangnya suara.
Mereka berdiri di balik kerimbunan semak belukar,
mengintai dari balik semak-semak itu.
Tidak jauh di depan mereka tepat di atas batang kayu yang roboh duduk sosok
nenek tua berpakaian serba putih dan berkepala botak. Melihat kepala si nenek,
Gento langsung menyeringai,
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN sedangkan Gentong Ketawa nyaris tak mampu menahan tawanya. Untung Gento cepat
bekap mulut gurunya. Kalau tidak kehadiran mereka pasti diketahui oleh nenek
botak yang sedang menangis.
"Guru apa yang dilakukannya di sini" Menangis bersedih-sedih seorang diri.
Jangan-jangan dia peri gundul."
bisik si pemuda dekat telinga gurunya.
"Bukan... kurasa dia neneknya tuyul." sahut gurunya.
"Memangnya nenek tuyul gundul begitu?" tanya Gento heran.
"Mana aku tahu dia nenek tuyul apa emak tuyul. Melihat tuyul saja aku belum
pernah." jawab Gentong Ketawa.
Lagi-lagi dia hampir tak kuasa menahan tawanya.
Gento Guyon terdiam, dia lalu
julurkan kepala memperhatikan nenek di atas batang kayu dengan seksama.
Sejenak kemudian tangis si nenek
terdengar lagi. Kali ini lebih keras tersendat-sendat.
"Dia menangis lagi guru. Kalau tidak coba guru bujuk sana. Elus-elus kepalanya
agar dia merasa disayang.
Siapa tahu dia baru saja habis
ditinggal mati suaminya. Kalau kalian berjodoh kurasa guru dan dia merupakan
pasangan yang serasi." kata Gento sambil tersenyum.
"Serasi gigimu meletus." dengus si kakek cemberut. "Enak saja kau
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN menyuruh dan menjodoh-jodohkan orang.
Biar jelek begini mencari gadis
perawan aku masih sanggup."
Gento Guyon tidak menanggapi
melainkan menyengir. Sementara nenek itu sudah hentikan tangisnya. Mulutnya
berucap. "Braga Swara, Tanah Kutukan bukan berarti apa-apa bagiku. Aku pasti
datang ke sana untuk menuntut balas atas segala dosamu. Manusia keparat, lakilaki durjana. Kau tak akan lolos dari kematian!" Selesai berkata begitu tanpa
menghiraukan kehadiran Gento dan gurunya si nenek bangkit kemudian berkelebat
pergi. Gentong Ketawa tak kuasa lagi menahan tawa yang ditahannya sejak tadi.
"Apa yang kau tertawakan guru.
Bukankah nenek itu ada menyebut Tanah Kutukan. Kurasa lebih baik kita
mengikutinya. Mumpung bau keringatnya masih tercium sehingga kita tidak
kehilangan jejak." ujar si pemuda. Si kakek hentikan tawanya. "Perempuan itu
kurasa putus asa berat. Mungkin saja dia bingung, kau lihat tadi kepalanya jadi
gundul begitu." kata si kakek.
"Aku jadi ingat tiga bocah botak yang kita temukan dulu ketika aku masih kecil.
Mungkin mereka punya hubungan tertentu dengan nenek itu.
Kurasa sebaiknya kita ikuti saja dia.
Siapa tahu kita bisa sampai ke tempat yang ada dalam mimpimu!" ujar Gento.
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN "Aku setuju. Mari kita pergi."
kata Gentong Ketawa.
7 ENTO UYON GG Empat kubur yang berada di bawah
pohon rindang itu nampaknya baru saja digali. Tiga dari kubur itu sama
sekali tidak diberi batu nisan.
Sedangkan yang terletak di sudut kanan menancap tegak sebuah nisan yang di
atasnya bukan tertera nama orang yang dikuburkan melainkan nama benda.
Pemacul Iblis mengamat-amati
keempat makam satu persatu, mulutnya menyeringai ketika melihat makam yang
terletak di sudut kanannya.
"Di sini terkubur dengan damai Tiga Permata Langit'."
Begitu bunyi tulisan di batu
nisan. Pemacul Iblis berdecak penuh rasa kagum. Dia jatuhkan diri,
berlutut di samping makam sambil
mengelus-elus nisan kepala makam tidak ada henti dia berucap. "Oh, dewa mana
yang begitu berbaik hati padaku. Susah payah aku mencari Tiga Permata Langit.
Tidak tahunya dengan mudah kutemukan di sini." Kata laki-laki berambut botak,
beralis licin berjenggot dan berkumis licin tanpa rambut masingGENTO GUYON TANAH KUTUKAN masing di sebelah kiri ini sambil berjingkrak girang.
Namun beberapa saat kemudian
keningnya berkerut tajam. Dia berpikir mungkinkah semudah itu untuk
mendapatkan Tiga Permata Langit" Dia sendiri telah mencari tiga senjata maut itu
di tempat pemiliknya, yaitu Kubur Tua para keluarga Pendekar Walet Putih.
Seperti diketahui setelah
seluruh makam digali Pemacul Iblis tidak mendapati benda yang dicarinya berada
di salah satu makam tersebut.
Jadi mungkinkah seseorang telah
memindahkan benda itu" Siapa" Juru kunci makam"
Rasanya mustahil sekali. Pemacul
Iblis meninggalkan Ki Rekso Monggo Jolodo dalam keadaan tubuh kaku
tertotok. Tidak mudah membebaskan totokannya terkecuali orang itu
memiliki tenaga dalam lebih tinggi dari tenaga dalam yang dimiliki oleh Pemacul
Iblis. "Mengapa harus ragu" Keraguan tidak pernah menyelesaikan semua
masalah. Sebaiknya kugali tiga makam lainnya, baru setelah itu makam yang ada
nisannya." pikir kakek berbadan kurus kering ini.
Pacul besar berwarna hitam
kemudian diturunkan. Dengan cepat dia mulai menggali kubur pertama. Ternyata
kubur ini dalamnya cuma selutut.
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN Pemacul Iblis harus menelan keke-cewaannya karena tidak menemukan apa-apa di
situ. Sambil mengerutu kesal karena merasa tertipu, si kakek
berpindah ke makam yang satunya lagi.
Dengan kecepatan luar biasa Pemacul Iblis mulai melanjutkan pekerjaannya
menggali. Hasilnya tetap kosong.
Begitulah yang terjadi di makam
ketiga. "Bangsat kurang ajar siapa yang berani menipuku?" maki Pemacul Iblis dengan muka
merah padam. Beberapa saat lamanya si kakek memandang ke segenap penjuru arah,
kenyataan yang dia
hadapi membuat Pemacul Iblis rupanya jadi curiga. Namun dia tidak melihat ada
tanda-tanda mencurigakan di tempat itu. Kini perhatiannya beralih pada makam
satu-satunya yang belum digali.
"Di sini satu-satunya harapanku.
Jika tidak kutemukan Tiga Permata Langit di sini entah ke mana lagi harus
kucari." kata kakek tua itu seorang diri.
Dengan perasaan diliputi rasa
penasaran Pemacul Iblis kembali
mengayunkan pacul besarnya. Ketika pacul itu melesat menghantam tanah kubur,
angin berkesiuran disertai suara mendesing tajam pertanda si kakek mengerahkan
tenaga dalam yang dimilikinya.
Tanah berhamburan, sekejap makam
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN pun tergali cukup dalam. Sampai
akhirnya pacul si kakek membentur sesuatu. Craak! Benturan keras yang terjadi
membuat hati Pemacul Iblis berdebar keras. Dengan hati-hati dia menggali sisa
tanah dengan kedua
tangannya hingga kemudian dia melihat sebuah kotak hitam berbentuk empat
persegi. Kotak diangkatnya. Si kakek menyeringai.
"Akhirnya kudapatkan juga. Ha...
ha... ha." Pemacul Iblis melompat keluar dari dalam lubang. Dia merasa yakin
sekali isi kotak bukan lain adalah Tiga Permata Langit. Mungkin inilah yang
membuatnya tertawa.
Dengan sangat berhati-hati,
sambil duduk di bawah pohon Pemacul Iblis mulai membuka kotak itu. Mulut
tersenyum, kumisnya yang cuma sebelah berjingkrak. "Dasar kalau sudah rejeki,
terkadang tidak perlu mencari dia akan datang sendiri. Ho... ho...
ho." kata si kakek. Lalu penutup kotak dibukanya. Ketika penutup kotak dibuka
tercium bau busuk menyengat. Hidung si kakek mengendus-endus, bau busuk
semakin menyengat. Meskipun mulai ragu si kakek membuka penutup kotak yang
kedua. Begitu terbuka seluruh kotak
dicampakkannya. Perut Pemacul Iblis terasa mual.
"Kurang ajar keparat. Siapa yang
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN berani mempermainkan aku dengan
menaruh kotoran manusia ke dalam
kotak" Huek... huek...!" Pemacul Iblis semburkan muntahan dari dalam
perutnya. Dalam kesempatan tu mendadak sontak terdengar suara tawa cekikikan
dari balik gundukan batu yang terdapat di belakang pohon. Pemacul Iblis yang
sudah sangat marah karena merasa
dipermainkan orang tekab mulutnya. Dia memandang ke arah datangnya suara.
Tanpa bicara lagi sambil katupkan bibirnya dia menghantam ke arah
gundukan batu. Sinar hijau berkiblat, hawa panas menebar. Di balik gundukan batu
terdengar suara pekikan disertai dengan berkelebatnya satu sosok
berbadan kecil pendek berpakaian
kuning. Di saat sosok itu melesat di udara terdengar suara sempritan aneh.
Pukulan yang dilepaskan si kakek
menghantam pinggang gundukan batu.
Batu besar hancur berkeping-keping. Di depan Pemacul Iblis kini berdiri satu
sosok dengan tinggi sepinggang
berhidung besar, bermulut kecil


Gento Guyon 2 Tanah Kutukan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedangkan wajahnya dipenuhi keriput seperti wajah seorang kakek tua.
"Bocah tua keparat. Kau rupanya yang punya kerja. Kurang ajar! Kubunuh kau!!"
berkata begitu si kakek kurus yang merasa tertipu ini sambar pacul besarnya.
Pacul diayunkan mengeluarkan suara menderu, cahaya hitam berkelebat
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN menghantam ke bagian kepala si Bocah Tua alias Hidung Setan. Jika tidak
menghindar secepat yang dapat
dilakukan bocah berwajah kakek renta ini, pastilah kepalanya jadi terbelah.
Tapi sambil tertawa cekikikan enak saja Bocah Tua menggeser tubuhnya ke samping.
Pacul besar amblas ke dalam tanah tidak mengenai sasarannya.
Melihat serangannya gagal,
Pemacul Iblis menggerung marah. Sambil mencabut pacul dia hantamkan tangan
kirinya ke arah si Bocah Tua. Serangan ini bukan pukulan biasa. Karena
siapapun yang menjadi sasaran tubuhnya akan hangus gosong dan tewas seketika.
"Tua bangka gila. Kau memukulku dengan pukulan Petir Neraka"!" Si Bocah Tua
keluarkan seruan kaget.
Sadar betapa ganasnya pukulan yang dilepaskan si kakek, maka Si Bocah Tua
gulingkan dirinya ke samping, lalu berjumpalitan menjauh selamatkan diri.
Sinar merah bara menderu,
menghanguskan apa saja yang dilaluinya sampai kemudian mengeluarkan suara
berdentum begitu menghantam pohon besar di atas makam. Pohon hangus menyala dan
mengeluarkan suara
gemeretak mengerikan.
"Tobaaaat...!"
"Heem, lekaslah kau bertobat sebelum aku memukulmu dengan pukulan Halilintar
Iblis!" seru Pemacul Iblis.
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN Kakek yang gampang naik darah dan pernah gila akibat kekasihnya diculik oleh
Braga Swara ini angkat kedua tangannya yang sudah berubah merah kehitaman.
"Tobat jangan kau lakukan itu.
Aku... aku bisa mampus! Aku minta maaf, sungguh aku mohon maaf." berkata begitu
Si Bocah Tua rangkapkan kedua tangannya sambil membungkuk hormat.
Melihat sikap yang ditunjukkan oleh Si Bocah Tua, kemarahan Pemacul Iblis jadi
surut. Perlahan dia turunkan kedua tangannya. Dia lalu melangkah maju sambil
membentak. "Katakan mengapa kau mengerjai aku?"
"Aku... aku hanya bercanda.
Maafkanlah." ujar Si Bocah Tua jadi salah tingkah.
"Jadi betul kau
yang membuat makam-makaman?"
"Benar."
"Kau juga yang telah membuang hajat dalam kotak, kemudian
menguburkan kotak itu"!" bentak Pemacul Iblis masih tak mampu memendam rasa
kesalnya. "Iya. aku.... Semua itu karena iseng. Kulihat setiap tempat yang kau lalui pasti
kau gali. Semua kubur kau buat porak poranda. Jadi tiba-tiba timbul keisenganku
untuk mengerjaimu."
kata Si Bocah Tua.
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN "Kurang ajar betul. Tidak tahukah kau bahwa sejak dulu aku
punya keinginan besar untuk membalas dendam pada Braga Swara. Aku tak mau mati konyol
sebelum dendam terbalaskan mengingat ilmu kesaktian yang dimiliki oleh Braga
Swara kini semakin
bertambah tinggi." tegas si kakek.
Si Bocah Tua gelengkan kepala.
Dia tersenyum, tapi wajahnya unjukkan tampang sedih. "Kau baru kehilangan
kekasih, itupun sempat membuat
linglung selama bertahun-tahun.
Sedangkan aku! Huk... huk... huk.
Istriku malah dibawa kabur oleh Braga Iblis. Dasar nasib, namun aku masih dapat
tertawa-tawa sebagaimana yang kau lihat. Hi... hi... hi!"
Pukulan Naga Sakti 9 Kuda Putih Karya Okt Bloon Cari Jodoh 16

Cari Blog Ini