Ceritasilat Novel Online

Terdampar Di Pulau Hitam 2

Jaka Sembung 12 Terdampar Di Pulau Hitam Bagian 2


akhirnya Parmin menemukan tempat yang di-carinya.
Sebuah celah di antara kobaran api yang sedang bergolak. "Di tempat itu lowong! Kita harus bergerak cepat Yulia, berdoalah!" ungkap Parmin sambil menunjuk ke arah yang akan mereka
lewati. "Sesaat kemudian mereka berdo'a dengan cara
mereka masing-masing, Yulia segera menggenggam
Rosarionya. "Demi Bapa, Putra dan Roh Kudus... Amin" Yulia mengawali dilanjutkan oleh Awom
dengan caranya sendiri, sedangkan Jaka Sembung dengan membaca,
"Bismi-llah...!"
Maka dengan tekad bulat ketiga orang itu menerobos api yang berkobar-kobar dengan ganasnya.
Dengan sekuat tenaga Parmin menggotong tubuh Yulia
agar bisa melewati tembok api itu. Dengan sekali hentak dan diikuti Awom, mereka
berhasil keluar dari neraka itu.
Teori Parmin memang benar. Di balik tembok
api yang dahsyat itu terlihat membentang hamparan
tanah kosong yang ter-diri dari medan abu dan arang, bekas hutan yang telah
musnah. Mereka tertatih-tatih menahan hawa panas dari asap yang masih mengepul
dari tanah gundul itu. Butir-butir keringat keluar dari tubuh mereka. Kulit
mereka kebiru-biruan karena
asap panas dan sengatan matahari yang tepat di atas
ubun-ubun. Asap mengepul hitam ke langit, cahaya matahari lenyap ditelan kepulan asap, langit pun keruh dibuatnya. Angin meniup
kencang mendorong kobaran
api semakin jauh di belakang mereka, sehingga ketiga orang itu terbebas dari
bahaya api. "Uu... uh! Panas! Aku tak sanggup!" keluh gadis bule itu.
Dia tak tahan dengan panasnya api, kulitnya
yang putih berubah menjadi merah kebiru-biruan.
"Mari cepat! Sebentar lagi pasti kita terbebas
dari hawa panas ini," hibur Parmin sambil menggendong sang gadis yang sudah tidak sabar.
Sedikit demi sedikit mereka telah cukup jauh
menempuh dataran abu yang panas itu. Awom sang
panglima terus mengikuti jejak-jejak Parmin dari belakang, sementara daun-daun
pembungkus kaki mereka mulai mengering tertembus abu dan arang sisasisa kebakaran tersebut.
Sementara itu dari suatu tempat manusia bertopeng menyeringai puas. Pikirnya dengan membakar
hutan, dia yakin ketiga orang musuhnya yang ada di
dalam hutan itu pasti sudah hangus dilalap kobaran
api. "Ha., ha., ha., ha., ha! Tentu mereka sudah
mampus diberengus api atau setidak-tidaknya mereka
sudah tak berbentuk manusia lagi!" si topeng seram berkata dalam hati sambil
mencampakkan obor bekas
alat penyulut kebakaran itu.
"Angin kencang di musim kemarau ini telah
membantuku untuk melampiaskan dendam."
Tapi dugaannya benar-benar meleset, karena
Jaka Sembung, gadis bule atau panglima suku itu selamat, walau harus menderita luka-luka kecil.
"Kau tak apa-apa, Awom?" tanya Parmin kepa-da panglima suku.
"Tak apa-apa, hanya terbakar sedikit!" jawabnya singkat.
Setelah menempuh perjalanan yang menegangkan itu, Parmin mengajak mereka untuk beristirahat di tempat yang cukup teduh.
Ternyata masih ada sebuah
pohon yang tersisa dari amukan api karena terletak di sebuah dataran yang
tinggi. Sambil merebahkan tubuh
Yulia yang digendongnya itu, dia berkata kepadanya,
"Kuharap kau baik-baik juga, Yulia!"
Sambil mencium Rosarionya dia menjawab,
"Tuhan telah menyelamatkan kita, Parmin!"
Mereka melepaskan lelah di bawah pohon tersebut sambil melucuti daun-daun pembungkus kaki
mereka. Seketika Parmin dapat memastikan diri sambil melepaskan arah
pandangannya ke arah kobaran api
itu, seraya berkata:
"Aku yakin ini perbuatan seseorang untuk
membunuh kita! Tapi sungguh keji. Untuk membunuh
dan melenyapkan tiga orang saja harus membakar hutan!" *** 7 Setelah cukup istirahat, mereka kembali meneruskan perjalanan dengan niat semula mencari ayah
Yulia dan pendeta Jorgen.
Di bawah teriknya sinar matahari, mereka terus
melangkah. Suasana sunyi lengang terasa di tengah
padang abu dan arang tersebut.
Tak seekor binatang pun menampak-kan batang hidungnya. Tak terdengar siul-an burung. Segenap penghuni hutan seakan berkabung dengan apa
yang baru saja terjadi. Sengat matahari bertambah panas karena kini tidak ada
lagi pohon-pohon tempat
berteduh. Rasa gatal dan kering menggerogot kerongkongan. Mereka ingin segera menemukan sumber air
untuk sekedar membasahi kerongkongan. Setelah berjalan cukup lama di ujung tanah gersang kerontang
itu, akhirnya mereka menemukan sebuah danau.
"Anda lelah, Yulia" Baiklah kita istirahat di sini untuk melepas dahaga sambil
membersihkan luka-luka!" ajak Jaka Sembung kepada kepala suku dan panglima suku
Kaimana. Seakan mengerti situasi,
Awom sengaja memisahkan diri dari pasangan mudamudi itu, ia merebahkan dirinya di bawah pohon raksasa yang daunnya lebat serta batangnya sebesar tiga kali pelukan manusia.
Yulia turun ke pinggiran danau dan membersihkan tubuh serta wajahnya yang telah dicorengmoreng abu dengan air danau yang jernih dan sejuk
itu. Begitu juga halnya dengan Parmin.
"Biarkan kubersihkan luka-lukamu, Parmin!"
pinta Yulia. "Tak usah repot-repot, Yulia! Biarlah kulakukan sendiri!"
Dengan halus Jaka Sembung menolak, tapi Yulia bergegas menghampiri Parmin dan menggosokkan
air dengan jari-jarinya yang halus ke bagian tubuh
Parmin yang kotor karena abu.
"Pedih?"
"Tidak!"
Sesaat mereka berdua beradu pandang. Dengan
matanya yang biru Yulia menatap Parmin. Sinar mata
gadis itu seakan berusaha menembus bola mata Jaka
Sembung. Di pihak lain, ditatap seperti itu Parmin
menjadi rikuh juga.
"Mengapa, Yulia" Kau seperti hendak mengatakan sesuatu padaku!" tanya Parmin untuk menghilangkan rasa serba salah.
"Parmin...! Oh, aku begitu mengagumimu! Belum pernah aku menjumpai seorang laki-laki segagah
dan setangkas engkau!"
"Keadaanlah yang memaksa bangsa kami untuk menjadi laki-laki tangkas dan cekatan!" ujar Parmin coba merendahkan diri.
"Ya, aku mengerti. Karena bangsamu tertindas!
Tapi pada dirimu kulihat segala-galanya, Parmin! Gagah, tangkas, halus perasaanmu... Dan kulihat kau
sangat taat menjalankan agamamu di saat apapun
atau di mana pun!" puji kepala suku Kaimana dengan nada ketulusan.
"Ah, itu memang sudah kewajiban seorang pemeluk agama! Engkau pun setiap saat berdo'a dan
ta'at kepada agamamu, bukan?"
"Kurasa kau terlalu memujiku... Kita hanya
bertiga di tengah hutan belantara yang luas dan
sunyi... Oleh karena itu kau tentu melihatku sebagai manusia yang paling hebat!"
Parmin tetap merendahkan diri "Tidak, Parmin...! Aku kadang-kadang merin-dukan
seorang pria yang sanggup melindungiku dengan segala kesukaran dan keresahanku!"
Belum lagi selesai Yulia berkata. Parmin cepat
memotongnya, karena Jaka Sembung melihat suatu
gejala yang tidak ia inginkan dari gadis kulit putih ini.
"Maaf... Jangan kau teruskan kata-katamu, Yulia! Jangan!"
"Kau terlalu baik untukku dan bukan itu saja,
kau ibarat Musafir di padang pasir yang sedang kehabisan bekal air, dan kau belum banyak menjumpai telaga!" lanjut Parmin agar Yulia mau mengerti apa yang diharapkannya. Namun
kenyataannya tidak, bahkan
Yulia seakan tidak mau tahu terhadap sikap Jaka
Sembung. "Oh, tidak! Aku telah banyak melihat telaga tetapi tidak sebening dan sesejuk air telagamu!"
Kata-kata Yulia laksana deburan om-bak besar
yang menghantam onggokan batu karang. Namun batu
karang yang satu ini keras dan begitu tegar tak tergoyahkan, maka ia berusaha menjawab dengan katakata halus dan hati-hati agar si gadis bule itu tidak merasa tersinggung. Belum
selesai Parmin mengutara-kan sikapnya, tiba-tiba ia melihat benda-benda kecil
berkilat menukik ke arah Awom. Parmin berteriak
memperingatinya.
"Awom! Awas!...."
Terlambat, beberapa anak panah yang telah
melesat dari busurnya itu menancap ke tanah memagari tubuh Awom dengan ketatnya, sehingga membuat
panglima suku Kaimana itu tak berdaya seakan-akan
tubuhnya terpatok kuat-kuat di atas tanah.
Nasib yang sama segera dialami pula oleh Parmin dan Yulia. Anak-anak panah itu bagaikan belenggu yang meringkus tubuh mereka.
Baru saja Jaka Sembung hendak bergerak, tiba-tiba dari semak belukar di sekitar mereka bermunculan sekawanan suku Papua yang masih buas dengan tombak-tombak yang mengancam. Tetapi dalam
keadaan seperti itu, mendadak Parmin menghentak
dengan diiringi kibasan kedua tangannya yang mencabut anak-anak panah dan sekaligus melemparkannya
kembali. Anak-anak panah itu berdesing menuju tuannya masing-masing.
Mereka menjerit tertahan disusul dengan tumbangnya tubuh mereka berguguran ke bumi dan tak
berkutik lagi. Awom yang sudah terbebas dari belenggu anakanak panah itu tak tinggal diam, dengan meniru apa
yang diperbuat Parmin dia berhasil menghalau, sebagian kecil pasukan penyerang itu.
"Hiyaaaaat...!" Awom begitu cepat menyerap il-mu Parmin si Jaka Sembung.
Sekali hentak lima orang suku Kanibal yang hidungnya berhias tulang belulang itu ambruk seketika.
Tak ayal lagi nyawanya melayang oleh anak panah mereka sendiri. Namun baru saja Awom dan Parmin merasa bisa bernafas, mendadak dari atas pohon beberapa
orang suku pemakan daging manusia itu menjerat tubuh mereka dengan tali yang terbuat dari akar-akar
pohon raksasa. Secepat kilat tubuh Parmin dan Awom terhentak ke atas. Keduanya bergelantung-an dengan kepala
di bawah. Yulia yang sejak tadi memperhatikan pertarungan kedua kawannya, juga tak lepas dari sergapan
orang-orang buas dan menyeramkan itu.
Dalam waktu yang tak seberapa lama mereka
sudah tertangkap sebagai tawanan.
Mereka menurunkan tubuh Parmin dan Awom
yang bergelantungan itu. Lalu setelah tiba di bawah
mereka segera mengikat keduanya dengan akar-akar
pohon dan langsung menyeret ketiga orang itu menuju
ke perkampungan mereka.
Di bawah teriknya matahari mereka diseret bagai binatang hasil buruan.
Beberapa saat setelah menelusuri hutan belantara, akhirnya mereka sampai di sebuah perkampungan. Para penduduknya bersorak ramai menyambut
kedatangan para pemburunya yang telah datang dengan membawa hasil yang tak kepalang tanggung, tiga
orang sekaligus.
Parmin, Yulia dan Awom segera diikat, masingmasing pada sebuah tonggak kayu yang terpancang di
tengah halaman perkampungan suku primitif itu.
Hari mulai gelap, beberapa wanita penghuni
perkampungan itu menyiapkan kayu bakar yang telah
disediakan dan diletakkan di hadapan mereka bertiga.
Yulia mulai gelisah. Dia menoleh ke arah Awom dan
Parmin sambil bertanya
"Mau diapakan kita ini, Parmin?"
Dengan tenang Parmin menjawab:
"Sabar saja, kita lihat apa yang akan mereka
perbuat!" Kayu-kayu yang tertumpuk mulai dibakar dan
perlahan-lahan api itu menjalar dan berkobar dengan
mengeluarkan kepulan asap tebal.
Malam sudah lama turun, api unggun menerangi seluruh perkampungan itu. Di tengah-tengah halaman kini berlangsung upacara yang dimeriahkan
oleh teriakan gegap gempita. Ada yang menari sambil
mengitari api unggun yang berkobar-kobar dan ada
pula yang menabuh gendang, berbaur hingga menimbulkan kebisingan.
Para wanitanya pun tak tinggal diam, mereka
turut memeriahkan upacara dengan menari-nari sambil menambah tumpukan kayu yang mulai habis termakan api. Sebagian laki-laki yang lain duduk bersila membuat lingkaran di
tengah halaman. Sementara itu
Parmin, Yulia dan Awom terikat kuat-kuat tak berdaya.
Mendadak sorak sorai itu berhenti. Ternyata
sang kepala suku kanibal berdiri mengangkat kedua
tangannya tinggi-tinggi dan berpidato di hadapan war-ganya dengan bahasa mereka,


Jaka Sembung 12 Terdampar Di Pulau Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

disambut dengan sorak
sorai dengan riuh rendah.
Setelah sedikit memberi ulasan, sang kepala
suku duduk kembali sambil mengarahkan jari telunjuknya kepada Yulia yang terikat di tonggak upacara.
Dengan cepat dua orang yang duduk mengelilingi arena upacara itu bangkit mendekati Yulia, dan melepaskan tali belenggu
pengikat tubuh gadis-itu.
Parmin bertanya dalam hati:
"Mau diapakan dia, mengapa wanita dulu?"
Setelah bergumam begitu, dia menoleh ke arah
Awom seraya bertanya:
"Kau mengerti bahasa mereka, Awom?"
"Ya, sebelum dijadikan santapan, para tawanan
harus menghibur mereka dulu! Kepala suku Kaimana
akan diadu dengan jago-jago wanita dari suku ini!!" jelas Awom singkat.
Betul saja, diiringi sorak-sorai, muncullah di
tengah gelanggang tiga wanita suku Papua kanibal dan mengurung Yulia.
Wanita bertampang beringas dengan buah dada
seperti pepaya dan hanya memakai cawat dari kulit binatang itu agak-nya memang
sudah dilatih untuk berkelahi dalam upacara-upacara tradisionil seperti ini.
Dengan hiasan tulang belulang di leher serta
hidungnya membuat wanita-wanita itu bertambah seram dipandang. Mata Yulia begitu gugup dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
"Oh, Tuhan apa yang harus kuperbuat, mereka
hendak merobek-robek tubuh-ku...!"
Dengan garang ketiga wanita itu menyerang Yulia, kukunya yang panjang dan runcing itu siap merobek kulit Yulia yang putih mulus.
Dalam keadaan kritis itu Parmin membisikkan
kata-kata dari kejauhan.
"Jangan gugup, Yulia! Hadapi dia dengan tenang! Ketengangan akan lebih mudah mengatasi segala kesulitan."
Bagaikan diguyur seember air segar, semangat
Yulia sekonyong-konyong bangkit kembali, sekarang
dia telah siap untuk menghadapi serangan ketiga lawannya itu. Yulia tak lupa berdo'a...
"Aku tidak takut karena Tuhan adalah pelindungku." Baru saja dia mengucapkan do'a, ketiga lawannya yang ganas itu menyergap Yulia. Parmin dari kejauhan dengan cepat memberi aba-aba:
"Yulia! Lompat ke kiri dan gaet kakinya!"
Yulia mempraktekkan apa yang dikatakan
Parmin, tak ayal lagi tubuh orang hitam itu terjerembab jatuh. Yulia melihat suatu kenyataan yang menggembirakan hati.
"Benar juga kata Parmin, dia jatuh tapi yang
dua orang lagi bagaimana?"
Ketika Yulia mengamati lawannya yang sudah
tersungkur, tiba-tiba Parmin berteriak...
"Awas, Yulia!! Ah!"
Yulia tak sempat berbuat apa-apa karena dia
lengah sehingga dengan mudah tubuhnya disergap
wanita suku primitif itu. Permulaan terjadi, keduanya berguling-guling. Para
lelaki yang sedang asyik menonton pergumulan itu mau tak mau diam, mereka bersorak sorai memberi semangat kepada jagoan mereka.
"Ayo hajar! Gigit tengkuknya!"
"Patahkan kakinya yang gurih itu!"
Yulia dihajar habis-habisan. Rambutnya dijambak kuat-kuat, sementara tubuhnya tersingkap, sehingga pahanya yang putih mulus itu semakin mengundang selera mereka untuk cepat-cepat makan daging manusia. Batang leher Yulia yang jenjang dicekik, untuk sesaat nafasnya
serasa hampir putus oleh
cengkraman tangan perempuan hitam itu.
Para penonton gembira melihat jago mereka
hampir memenangi pertarungan. Namun Parmin tak
henti-hentinya memberikan petunjuk kepada Yulia.
"Yulia! Jepit pinggangnya kuat-kuat dengan kakimu! Lalu lemparkan tubuhnya ke samping!"
Ucapan Jaka Sembung dipraktekkan lagi. Dengan sisa-sisa tenaganya Yulia menghempaskan tubuh
lawan yang menindihnya itu sehingga tubuh hitam itu
terpental. Namun Yulia kembali terperangah dengan
apa yang dihadapi ketika tiba-tiba Parmin berteriak la-gi,
"Cepat bangkit, Yulia! Awas di belakangmu!"
Terlambat... Kedua tangan hitam yang berkuku
panjang itu telah bersarang di batang lehernya. Yulia berusaha berkelit untuk
melepaskan cengkeraman lawan wanitanya itu. Tapi sepasang tangan wanita hitam
itu bagaikan terpatri dan sulit untuk dilepaskan.
Yulia merasakan nafasnya semakin sesak. Keringat bercucuran dari tubuhnya sehingga kulit yang putih itu kini berkilat
seperti pualam. Di saat-saat menegangkan itu Jaka Sembung berontak dan tali-tali
pengikat tubuhnya putus seketika. Dengan teriakan
yang membahana ia melompat.
Seketika itu juga orang-orang kanibal yang sedang menonton pertarungan men-jadi terperangah kaget. Namun panglima suku segera memerintahkan agar
menghujani Parmin dengan senjata mereka.
Bagaikan kilat, tombak-tombak itu melesat dari
tuannya. Tetapi dengan cekatan Jaka Sembung menangkis tombak-tombak itu dengan tonggak kayu yang
dicabutnya. "Jep.....!Jep...!"
Kemudian tonggak kayu itu digunakan Parmin
untuk menyerang orang-orang kanibal yang menghadangnya. "Hiyaaaaaaat...."
Tubuh mereka ambruk seketika bersama tonggak kayu yang menimpanya. Dengan sigap Parmin
berkelebat untuk menolong Yulia yang sedang menanti
saat kematiannya.
Bagaikan binatang buas dan ganas wanita hitam itu tak mau melepaskan tubuh lawannya. Maka
sebuah tendangan keras dari Parmin mendarat di tubuhnya. Dengan jerit keras, tubuh hitam itu terpental dan nyawanya pun lenyap
seketika. Parmin tak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan cekatan Jaka Sembung membopong tubuh Yulia
yang hampir kehabisan nafas, sambil menyarangkan
kakinya kepada siapa pun yang coba-coba menghalanginya. Tak ayal lagi mereka pun ambruk berpelantingan. Nasib baik yang menyertai Awom yang sejak tadi masih berusaha melepaskan ikatannya, tahu-tahu
sebilah tombak nyasar memutuskan tali tersebut.
"Bagus!" ujarnya gembira.
Kesempatan baik itu digunakan Awom untuk
menggunakan balok kayu di hadapannya untuk digunakan sebagai senjata seperti apa yang dilakukan oleh Jaka Sembung.
"Uuuh! Berat betul! Kok tidak kuat"!"
Ternyata balok yang tertancap dalam tanah itu
tak berhasil diangkatnya. Di saat itu beberapa orang suku kanibal datang
menyerang Awom yang masih penasaran ingin dapat mencabut balok kayu tersebut.
"Sial, tonggak ini tak bisa ku bedol...!"
Dalam pada itu serangan telah mengancam jiwanya tetapi Awom, dengan cepat membalikkan badannya menirukan gaya Jaka Sembung.
"Hiyaaaat...!"
Dengan tangan dikibaskan ke samping, kemudian kaki menerjang ke depan menghantam dada lawan yang menyerangnya. Tak ayal lagi tubuh-tubuh
itu terpental jauh dari hadapan Awom untuk tak berkutik lagi selamanya.
"Heh, sekali tepuk tujuh nyawa! Hebat betul!"
ucapnya bangga dalam hati.
Di saat sedang memandangi tubuh-tubuh lawannya yang telah menjadi mayat, Awom melihat sesosok bayangan berkelebat dengan bersenjatakan sebuah
kapak ke arah Parmin.
"Aya, kepala suku kanibal itu hendak membokong Parmin!"
Baru saja kapak itu hendak diayunkan ke batok kepala Parmin alias Jaka Sembung, mendadak kakinya tersangkut. Betapa kagetnya kepala suku itu,
ternyata yang menggaetnya adalah Awom.
Tak bisa disangkal lagi, tubuh kepala suku kanibal itu ambruk. Ketika ia berusaha bangkit, dengan cepat Awom menghantam tubuh
kepala suku itu bertubi-tubi dengan tendangan geledek gaya Jaka Sembung yang berhasil ditirunya.
Kepalan tangan Awom yang keras bertubi-tubi
dihujamkan ke wajah serta sikutnya bersarang telak di perut kepala suku kanibal
itu. "Nih, pukulan gaya Parmin! Tiga sekaligus.
"Dan ini tendangan geledek Parmin. Hiyaaaaat!"
Seketika tubuh kepala suku terhuyunghuyung. Baru saja Awom hendak bertindak lebih jauh,
ia mendengar suatu gerakan orang yang akan membokongnya dengan sebilah tombak.
"Aya, ada yang menyerangku dari belakang!"
Dengan gerakan reflek, kakinya di-ayunkan ke
belakang menendang tubuh si penyerang. itu. "Gedebuk!" Tepat bersarang di perut.
Orang hitam itu berteriak keras karena perutnya mulas, tubuhnya terhuyung-huyung menyebabkan tombak yang digenggamnya lepas. Dengan cepat Awom menyambar tombak yang masih melayang di udara, "Tap...!" Awom langsung menyarangkan tombak
tersebut ke perut lawan. Untuk sesaat si pembokong itu berkelojotan meregang nyawa, kemudian terkulai tak berkutik lagi.
Kepala suku yang baru sadar dari pingsannya
kini bangkit lagi siap menyerang Awom. Dia melompat
dengan cepat laksana seekor serigala lapar sambil
mengayunkan kapaknya ke batok kepala Awom. Tapi
Awom berkelit dengan cepat sambil menangkis serangan lawannya dengan tombak yang baru saja digunakannya. "Heit!"
Bersamaan dengan patahnya tombak akibat
hantaman kapak, Awom mengibaskan tangan kirinya
sambil berteriak penuh percaya diri.
"Masuk...!"
Tak ayal lagi tubuh hitam kelam itu termakan
patahan batang tombak di tangan Awom, darah menyembur dari lambungnya, dan tubuhnya terhuyunghuyung ke belakang.
Dengan gemilang Awom berhasil merobohkan
sang kepala suku kanibal itu. Serentak Awom berteriak keras sambil menepuk-nepuk
dadanya sendiri seperti
seekor gorila yang menang bertanding. Hal ini sengaja ia lakukan agar anggota
suku kanibal yang tersisa
menjadi ngeri kepadanya.
"Berhentiiiiiiii! Berhenti semua! Kepala suku
kalian sudah mampus di tanganku!!" teriaknya dengan penuh kewibawaan.
Suasana hening sejenak, orang-orang suku kanibal yang sedang mengeroyok Parmin, seketika berbalik memandangi Awom seperti tak percaya dengan kenyataan yang terjadi.
?"Kalian tak percaya"! Lihatlah ini!" Awom berteriak sambil memperlihatkan apa
yang sedang dipegangnya. Sementara Awom sedang mendemontrasikan,
Parmin merebahkan tubuh Yulia dari gendongannya
dan segera menolongnya memberikan pernafasan buatan. Dengan cara meniupkan udara dari mulut ke mulut, Yulia telah siuman.
"Oh...!! lenguhnya dengan lirih.
"Untunglah masih bisa tertolong!" ucap Parmin.
Tapi agaknya pertolongan darurat itu telah menimbulkan kesan dan prasangka lain pada diri gadis Belanda ini, kelembutan bibir Jaka
Sembung telah membuatnya melambung ke alam impian yang sudah lama ia
nantikan. Oleh karena itu begitu siuman, Yulia serta merta memeluk tubuh Parmin.
"Oh! Parmin! Aku takut...!!
"Tenanglah, Yulia! Kita selamat!" Jaka Sembung berusaha melepaskan pelukan gadis
jelita itu. Terasa sekali betapa getaran tubuh Yulia seakan menuntut
kejantanan pemuda yang dikaguminya.
"Bagaimana mungkin kita bisa selamat dari taring-taring suku kanibal itu"!" tanya Yulia dengan tatapan mata menantang.
"Panglima perangmu itu berhasil memenggal
kepala suku buas itu dan sedang meyakinkan mereka
bahwa kita utusan dewa!" Benar kata Parmin, Yulia mendengar suara Awom sedang
berbicara di depan rakyat itu persis seperti gaya Yulia sendiri ketika
meyakinkan suku Kaimana dulu.
"Biar kulitku sama dengan kalian, aku adalah
utusan dewa!!"
"Aku adalah dewa hitam! Dewa yang memerintah sekalian binatang di hutan belantara ini! Beliau yang itu," sambil menunjuk
ke arah Parmin. "Adalah dewa coklat yang menguasai bumi yang berwarna coklat
ini! Sedangkan yang satu lagi dewa putih yang
menguasai langit dan awan putih yang bergumpalgumpal di atas sana!"
Namun agaknya mereka tidak gampang percaya
dan puluhan suku kanibal telah mengurung mereka.
Perhatian mereka ter-utama ditujukan kepada Awom
yang diang-gap telah memperdayakan mereka.
"Kita cincang!"
"Kupingnya untukku, disambal go-reng!!"
"Bikin sate!"
Mereka masing-masing berkata sekehendak perutnya dan segera menyerang Awom dengan ganasnya.
Awom yang memang tak banyak berbuat banyak gelagapan dengan keroyokan orang-orang itu.
"Wah! Celaka aku bisa mampus dibuatnya!!"
Nyawa Awom bagai di ujung tanduk. Di saat
yang genting itu tiba-tiba Parmin si Jaka Sembung
bersalto ke udara menuju tonggak kayu yang masih
terpancang di tengah-tengah arena.
Dengan mengerahkan ilmu yang sangat dah

Jaka Sembung 12 Terdampar Di Pulau Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

syat, dia menghajar tonggak pohon raksasa itu dengan menggunakan telapak tangan
miring. "Hiyaaaaaaa!!"
Tonggak kayu yang cukup besar itu hancur
berkeping-keping seperti dibelah kapak dan jatuh ber-serakan di hadapan mereka.
Parmin tak diam hingga di situ dan dengan
menggunakan kepingan kayu itu ia mendemontrasikan
kebolehannya. Maka bagaikan anak-anak panah yang
melesat dari busurnya, patahan kayu itu menancap
menghiasi batang-batang pohon raksasa di sekitar halaman perkampungan itu.
Suku kanibal terperanjat melihat kehebatan
Parmin. Ada yang melotot seakan mau keluar biji matanya dan sebagian dari mereka ada yang menggigil
karena ketakutan.
Dalam kesempatan itu Awom berkhotbah lagi
walau sebenarnya ia masih merasa khawatir apakah
Jaka Sembung sudah meyakinkan mereka. Tapi kecerdikan pemuda Kaimana ini sanggup menguasai keadaan. "He, he., he., he! Apa aku kata" Jangan main-main!" Sambil menunjuk ke
arah kepingan balok yang menancap di batang-batang pohon besar itu dia berkata:
"Coba lihat! Batok kayu yang besar dan keras
seperti itu saja bisa bobol, apalagi batok kepala kalian semua...!"
"Kalian tidak percaya bahwa kami semua ini
utusan dewa! Ayo kalian bersujud semua! Menyembah!!" Bagaikan gerak sebuah ombak laut, orang-orang suku primitif itu menurut
apa yang diucap
Awom, lalu mereka menjatuhkan diri untuk bersujud
ke hadapan mereka. Pada saat itulah Yulia melihat
bahwa salah seorang di antara mereka mengenakan
sebuah rosario.
Suasana sunyi sejenak lalu pada saat itu Jaka
Sembung menyuruh Awom untuk menanyakan sesuatu kepada suku kanibal itu.
"Awom, tanyakan kepada mereka, di mana mereka mendapatkan kalung salib itu?"
Spontan Awom bertanya kepada salah seorang
yang berada di barisan paling de-pan.
"Dewa coklat berbicara dalam bahasa kahyangan, beliau bertanya di mana kalian mendapatkan kalung orang kulit putih itu!"
Sambil menunjuk ke arah bukit yang menjulang tinggi, orang itu berkata:
"Di bukit hulu sungai sebelah Timur!"
Setelah mendapat keterangan Parmin dan kawan-kawannya segera melanjutkan perjalanannya. Yulia meminta Rosario itu dari mereka dan ia segera
mengenali bahwa kalung salib itu adalah milik ayahnya sendiri. "Cepat! Kita pergi dari sini untuk menyelidiki
tempat itu," ajak Yulia, Baru saja satu langkah, Awom berbalik dan berkata:
"Dewa-dewa mengampuni jiwa kalian! Kami
akan segera pergi dari sini dan kalian boleh mengangkat kepala suku baru!"
"Cepat kita pergi sebelum mereka tahu kita dewa-dewa palsu, Awom!" teriak Parmin memberi peringatan. Parmin dan Yulia terus melangkah, sedangkan
Awom masih penasaran terhadap apa yang baru dilakukan Parmin terhadap tonggak kayu yang terpancang
di tengah arena upacara. Ia segera menghampiri tonggak kayu lain yang masih berdiri tegak.
"Hebat sekali.;.! Bismillah," kemudian teriaknya, "Ciaaaat...!
Dengan suatu loncatan dan teriakan dia menghajar tonggak kayu itu dengan pukulan telapak tangan dimiringkan. Kalau Parmin
bisa berbuat begitu karena memiliki ilmunya, sedangkan Awom yang hanya meniruniru, maka akibatnya menjadi sangat fatal, tangan itu menjadi bengkak seketika.
Dia berusaha menahan
sakit dan menyembunyikan tangan yang babak belur
itu ke dalam celah pahanya dari penglihatan orangorang suku kanibal sambil cepat berlalu sambil terbungkuk-bungkuk. Orang-orang suku kanibal yang
sedang memperhatikan mereka bertiga, seketika kaget
melihat tingkah laku Awom yang konyol tersebut. Mereka saling pandang dan bertanya-tanya.
Belum lagi suku kanibal itu mengerti permasalahannya, Awom cepat berkata:
"Uuuh! Kalian jangan heran! Dewa juga kadang
suka melucu, he., he., he., he!"
Akhirnya sambil berlari dan nyengir nyengir
bajing menahan sakit, Awom memaki-maki mereka dalam bahasa melayu.
"Selamat tinggal kerbau-kerbau dungu!"
*** 8 Tiga hari sudah mereka meninggalkan perkampungan suku Papua pemakan daging manusia itu. Beberapa kali pula mereka beristirahat untuk melepaskan lelah. Kadangkala mereka bercerita tentang
kampung halamannya masing-masing sampai larut
malam. Mereka tidur secara bergantian. Itu juga kalau suasana memungkinkan, atau
kadangkala mereka tidak tidur sama sekali.
Pagi itu cuaca cerah sekali, sang fajar mulai
menampakkan kemilau sinarnya. Binatang hutan berlarian hilir mudik.
Pagi berganti siang, matahari mulai bergeser ke
titik Kulminasinya. Binatang yang pagi hari berkeliaran kini tak nampak lagi.
Mereka berteduh di tempatnya
masing-masing dari sengatan matahari,
Nampak Awom dan Parmin yang menggandeng
tangan Yulia berjalan tertatih-tatih menuruni perbukitan setelah keluar masuk
hutan belantara. Dengan susah payah akhirnya mereka di tepi sungai dengan kedua tepinya agak gundul tak terdapat pohon-pohon
tinggi. "Ini sungainya!" Awom memberitahu-kan Parmin sambil menyapu pandang ke
tempat yang jauh di
seberang sana. "Mungkin bukit di depan itu yang mereka maksud!" Setelah berhenti sejenak, mereka melanjutkan perjalanan menuju bukit
tersebut. Mereka berputar
mencari bagian sungai yang agak dangkal untuk mereka seberangi. Kira-kira beberapa ratus meter melangkahkan kaki, akhirnya mereka mene-mukan bagian sungai yang banyak terdapat batu-batu besar.
Setelah menyeberangi sungai itu mereka sampai di kaki sebuah tebing yang agak terjal. Parmin, Yulia dan Awom naik merambat
ke atas dan sampailah
mereka ke suatu tempat yang mereka tuju.
Mereka terus melangkah sambil mengamati bekas jejak-jejak sepatu yang cukup banyak terdapat di sana. Tanpa mereka sadari
sepasang mata dari balik
bebatuan mengintai mereka.
"Apakah kau yakin ayahku masih hidup, Parmin?" tanya Yulia.
"Aku tak bermaksud mendahului keputusan
Tuhan, tapi firasatku mengatakan demikian, Yulia,"
jawab Jaka Sembung mantap.
Sepasang mata yang mengintai mereka bertiga
mengarahkan mulut bedil lalu mengokangnya. Parmin
yang memang sudah terlatih pendengarannya segera
bergerak untuk bertindak.
"Tiaraaaaap!" teriak Parmin.
Dengan cepat mereka menjatuhkan diri masing-masing, hingga sebuah timah panas luput dari sasaran. Namun demikian orang asing yang di atas sana
tak cuma sekali memuntahkan pelurunya, bahkan semakin membabi buta. "Dar... dor... dor!!"
"Awas, Yulia!" teriak Parmin sekali lagi.
"Auww...!"
Hampir saja Yulia terserempet peluru. Dalam
situasi seperti itu, Parmin segera mengatur siasat.
"Lari ke sungai, Awom! Cepat!"
Awom melompat sambil berguling-guling menuju ke arah sungai.
Baru saja ia sampai di tepi sungai, sebuah peluru berdesing nyaris menyambar-nya. Untung saja ia
langsung menjatuhkan tubuhnya ke sungai. "Byur...!"
Berondong-an peluru bedil itu terus mencecarnya.
Awom menyelam lebih dalam untuk menghindari timah panas itu. Ketika merasa tak ada lagi bunyi tembakan, Awom segera menyembulkan kepalanya ke atas
permukaan air. Selang berapa lama dia berenang, tiba-tiba bahaya yang lebih ganas datang menghadangnya. Awom
terkejut, binatang yang ternyata ular yang sebesar batang pisang mendadak
melilit tubuhnya.
Pergumulan tak dapat dielakkan lagi. Ular itu
terus melilit seakan hendak meremukkan tulangbelulang pemuda kulit hitam ini. Awom mencengkeram
leher ular dan mencekiknya kuat-kuat. Air sungai yang semula tenang, kini
bergejolak menimbulkan deburan
ombak dan gelombang-gelombang air.
Parmin dari kejauhan menyaksikan pertarungan antara hidup dan mati itu.
"Yulia! Awom diserang ular!"
Yulia yang sudah kenal keahlian orang suku
Kaimana dengan tenang menjawab:
"Biarkan saja! Suku Kaimana terkenal sebagai
penakluk binatang buas dan berbisa!"
Benar saja apa yang diucapkan Yulia. Kini
Awom sudah dapat menguasai keadaan. Tangannya
dengan cekatan memukulkan kepala ular ke sebuah
batu besar hingga batok kepala binatang reptil itu pe-cah seketika tak berkutik
lagi. Namun baru saja lolos dari lobang jarum, beberapa tembakan kini datang
mengarah kepadanya. Awom berkelit sambil melemparkan ular itu ke si penembak gelap yang berada di
atas bukit. Ular besar yang masih dalam sekarat itu kini
segar kembali dan melilit mangsanya. Orang asing itu berusaha melepaskan lilitan
itu dari tubuhnya. Namun usahanya itu sia-sia, bahkan jepitan ular itu semakin
keras dan masih dapat mematuk tepat mengenai peli-pisnya, Tak ampun lagi tubuh
orang asing itu kaku
dan ambruk berguling-guling dari atas bukit ke lembah tempat Parmin dan Yulia
berada. Parmin dan Yulia menghampiri tubuh itu dan
membalikkannya, ternyata tubuh itu sudah tak bernyawa lagi. Parmin mengamati tubuh orang kulit putih itu dan bertanya,
"Apakah itu ayahmu?"
"Kurasa bukan! Pakaian ayahku adalah seragam kelasi!" sahut Yulia.
Sengatan matahari kian bertambah hebatnya,
apalagi ditambah hawa panas dari dalam bumi yang
gundul berbatu-batu itu membuat mereka mandi keringat. Parmin dan Yulia memanfaatkan kesempatan
yang ada untuk membasahi tubuh dengan sungai. Segar rasanya setelah terkena siraman air.
Setelah itu Parmin mengajak Yulia dan Awom
untuk menaiki bukit batu di atas, dengan maksud agar mereka lebih leluasa
mengamati sekeliling tempat tersebut. "Coba kita agak ke atas! Dari sana mungkin
ki-ta lebih leluasa melihat ke sekeliling kita!"
Baru saja beberapa langkah mereka menaiki
bukit, Parmin mendengar suara orang berbicara. Dengan berlindung di balik sebuah batu besar, mereka me-longok ke bawah.
"Sssst!! Coba lihat di bawah sana! Ada dua
orang asing sedang menggali tanah!" ucap Parmin sambil menunjuk ke arah dua
orang asing yang dilihatnya. Yulia seakan tak percaya dengan apa yang baru dilihatnya. Dua orang asing dengan pakaian compang-camping sedang menggali tanah, Yulia terus
mengamati dua orang asing itu yang tak lain adalah
orang sebangsanya sendiri yang memiliki warna kulit
sama dan rambut yang sama pula. Sedang mencari
apa mereka menggali tanah di tempat gersang seperti
ini! Pikirnya. Ingin rasanya Yulia memanggil dan berteriak
siapa mereka itu sebenarnya. Baru saja hendak dilakukannya, dengan cepat Parmin mendekap mulut Yulia, seraya berkata:
"Tenang, Yulia! Jangan bertindak gegabah!
Nanti mereka mengetahui kedatangan kita sebelum kita sendiri menguasai situasi lembah ini," jelas Parmin.
"Oh, maafkan aku, Parmin. Aku sudah tidak
dapat menahan rindu kepada ayahku!" keluh Yulia.
"Ya.. ya... ya. Aku mengerti perasaanmu, tapi
bersabarlah sebentar!" pinta Parmin.
Sambil berusaha menenangkan hati gadis Belanda itu, mereka juga melihat beberapa orang kulit
putih dengan pakaian serdadu Kompeni Belanda memegang bedil dan bertindak sebagai seperti sedang
mengawal budak-budak yang sedang kerja paksa.
"Godverdom zeg! Ayo kerja terus!" bentak salah seorang dari mereka sambil
menenggak air untuk
membasahi tenggorokannya.
"Berilah aku minum! Aku haus!" rintih salah seorang pekerja sambil memohon agar
diberi seteguk air untuk membasahi kerongkongan yang kering. Namun permintaannya itu tak dihiraukan oleh serdadu
penjaga itu dan berbalik membentak, "Kerja dulu, baru minum!!"
Yulia yang sejak tadi memperhatikan tingkah
orang yang memegang senjata tak dapat menahan
emosinya ketika ternyata pekerja yang minta minum
itu ternyata adalah orang yang selama ini sedang dicarinya. "Oh Tuhan! Itu...
Itu ayahku!" teriak Yulia.
Terlambat Parmin mendekap mulut Yulia yang
terlanjut berteriak memanggil ayahnya. Saking kerasnya teriakan Yulia, orang-orang berseragam serdadu
itu ter-perangah dan menoleh ke arah mereka berada,
"Hei, suara siapa di atas"! Raf!! Rafles"!!" orang bersenjata itu memanggil nama temannya namun tak ada jawaban. Merasa teriakannya tak dapat jawaban, dia
sengit dan naik pitam. Sambil mengancam dia membentak, "Menyahut atau kutembak! Cepaaaaaaat!"
Baru saja dia akan menarik pelatuknya, tibatiba dia mendengar suara batu-batu yang berguguran


Jaka Sembung 12 Terdampar Di Pulau Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari atas bukit.
"Godverdom zeg!" teriaknya.
Ternyata penyebabnya adalah sekumpulan kelelawar yang keluar dari sebuah lobang di atas tempat ia berdiri. Terdengar ia
memaki lagi dengan bahasa Belanda. Setelah kelelawar itu berlalu, tiba-tiba dia
ingat kepada temannya yang disuruh ambil air di sungai,
"Godverdom zeg! Lama sekali si Rafles mengambil air di sungai!" gerutunya dengan kesal.
Sambil bersungut-sungut matanya berputar
untuk melihat bukit tandus itu. Tiba-tiba dia mendengar percakapan orang yang
sedang menggali tanah,
"Hah"! Apa ini"..,! Huh"! Bongkahan kuning bercahaya... Tapi bukan belerang!"
Belum lagi si penggali tanah mengamati temuannya, mendadak orang yang bersenjata itu telah
berada di hadapannya, seraya menodongkan moncong
senjatanya. "Hah, apa kau bilang"! Berikan batu-batu itu
padaku!!" Ia segera mengamati benda alam yang kekuning-kuningan itu.
"Ha... ha... ha! Ini bongkahan emas! Tambang
emas! Sudah kukatakan bahwa di sini banyak terdapat
emas!" Sambil menendangkan kakinya ke tubuh orang
yang menggali tanah itu, dia dengan kasar memberikan perintah, "Ayo kerja terus, zeg! Gali lagi biar banyak! Kita akan menjadi kaya raya! Ha...
ha... ha... ha!"
Saking asyiknya orang itu dengan kegembiraannya, dia tak menyadari bahwa beberapa pasang
mata terus mengintainya.
"Benar itu ayahku!! Sengsara betul keadaannya!" tanpa sengaja Yulia mengeluarkan suara keras hingga terdengar oleh penjaga
yang bersenjata itu, "Eit!
Ada suara orang dari atas bukit! Aku yakin itu bukan suara Rafles!!"
"Jangan-jangan ada yang memata-matai tambang mas kita! Kau tunggu di sini! Aku akan mengontrol ke atas bukit!"
Ia terus menaiki bukit sambil mengendapendap dan akhirnya sampai tepat di belakang Parmin
dan Yulia. Dari tempat ketinggian ia bermaksud membokong para pengintai itu. Baru saja dia mengokang
dan mengarahkan senapannya ke arah Parmin dan Yulia mendadak dari belakang ada orang yang menyergapnya. Senapan itu pun meletus lepas mengarah ke
langit yang tinggi, "Dor!" Mendengar suara tembakan itu, Yulia dan Parmin
membalikkan badan dan bersiap-siap untuk menghadapi segala kemungkinan.
"Oh, itu Awom di atas! Ia berusaha menyelamatkan kita!" teriak Yulia.
Awom tak memberi kesempatan orang kulit putih itu, ia terus memitingnya dengan sekuat tenaga.
Tapi tubuh besar itu terus-menerus meronta hingga
Awom tidak bisa mengimbangi lawannya.
"Orang kulit putih ini punya tenaga raksasa,
aku bisa dibantingnya!"
Saat itu Awom terus berpikir bagaimana cara
untuk melumpuhkan lawannya yang besar itu. Akhirnya ia menemukan sesuatu sebagai jalan keluar dan
serta merta ia meraih sebuah benda yang tak lain sebuah kelewang yang tersandang di pinggang serdadu
itu... "Nah pedang ini harus memakan tuannya!" pikir Awom sambil menancapkan
pedang itu ke perut
tuannya sendiri.
Suara teriakan kencang keluar dari mulut
orang kulit putih itu, "Aaaaaaaa...!" Seketika itu pula Awom menghempaskan tubuh
raksasa itu ke bawah
bukit yang terjal berbatu-batu kerikil yang runcing dan tajam. Melihat kejadian
itu penggali tanah kaget bukan main, sementara tubuh serdadu kumpeni Belanda
itu ambruk ke bumi dengan kepala remuk. Tubuh itu
menegang beberapa saat sebelum terkulai untuk selama-lamanya. Melihat itu, si penggali tanah segera berlari
sambil menjerit-jerit dengan paniknya.
"Simon! Simooooooon!! Kau... Kau mati"! Oh,
jangan tinggalkan aku sendiri, Simon! Aku takut!" Dia terus merangkul tubuh
kawannya yang sudah terbujur
kaku. Belum lagi hilang rasa takut menghantui dirinya, tiba-tiba seorang pemuda kulit hitam telah berada di hadapannya. Orang
bule bertubuh kurus dan
kotor itu terperangah melihatnya.
"Hah, orang kulit hitam!" pekiknya "Aaaaaaaa...
Jangan bunuh aku! Jangan!!" orang bule itu memohon dengan penuh ketakutan.
Namun Awom tetap diam berdiri mematung tak
mengeluarkan sepatah kata, bahkan terus memandang
dengan garang. Orang bule itu menjadi ketakutan apalagi Awom lebih menampakkan keangkeran dengan sorot mata yang tajam.
"Aaaaa!! Jangan!!"
Ketika rasa takutnya kian memuncak, Yulia
berlari menghampirinya diiringi Parmin dari belakang.
Sambil teriak-teriak,
"Ayah!! Ayah!!"
Namun panggilan Yulia itu tak membuat orang
bule berpakaian compang camping itu sadar, justru
rasa takutnya semakin menjadi-jadi dengan tubuh
yang gemetar hebat.
"Jangan!! Jangan bunuh aku!!" teriaknya sambil tangan kirinya ke belakang untuk
mengambil be- lencong yang digunakan menggali tanah tadi siap akan dihantam-kan ke tubuh Awom.
Sementara si bule bertubuh kurus itu jadi ketakutan sendiri, tak kuasa
menggunakan belencong terse-but.
Yulia kini berada beberapa langkah dari orang
tua kulit putih sambil merentangkan kedua tangannya. "Ayah!! Ayah!! Ini Yulia, ayah...!"
Tapi agaknya orang Belanda ini sudah tak
mengenali siapa lawan siapa kawan lagi bahkan ia berubah menjadi kalap dan beringas.
Parmin segera maklum bahwa ayah Yulia telah
mengalami goncangan jiwa yang sangat berat sehingga
menjadi sakit ingatan. Van Boerman semakin menjauh
dan bergegas menaiki bukit.
"Pergi! Pergi!! Atau kubunuh kalian!" teriaknya dengan sinar mata liar.
"Ayah! Ini aku! Anakmu!" Yulia berteriak dengan tangisan berharap kepada ayahnya
agar dia men- genalinya sebagai anaknya sendiri yang hilang terpisah se-lama ini.
Parmin pendekar Gunung Sembung yang sejak
tadi memperhatikan suasana memprihatinkan itu
menghampiri Yulia sambil memberikan gambaran agar
dia dapat memahami keadaan ayahnya.
"Sabar, Yulia! Jangan kau dekati dia! Pikirannya mungkin telah terganggu akibat tekanan batin
yang dialaminya selama ini!"
Orang tua kulit putih itu terus melangkah, ia
berusaha melarikan diri ke atas bukit yang menjulang tinggi itu sambil
berteriak-teriak seperti orang keseta-nan. "Pergi! Pergi!!"
Yulia hanya dapat memandang dengan sedih
dan pilu dari kejauhan, ia benar-benar merasa prihatin melihat kenyataan bahwa
orang yang dirindukannya
selama ini ternyata sudah tak mengenalinya lagi.
Dengan tangis tertahan, ia membenamkan diri
ke dada Parmin.
"Oh!!!" isaknya menggebu.
"Yulia, tenang! Ia akan membunuhmu dengan
belencong di tangannya itu jika kau mendekat!" Parmin menasihati Yulia dengan
sabar. Lalu dia menoleh ke
belakang ke arah Awom yang masih berdiri di tempatnya karena tak tahu mesti berbuat apa untuk menghadapi situasi seperti itu.
"Awom! Kau ikuti dia! Cegat dari atas dan ingat, jangan sampai mengejutkan dia!
Hati-hati!" perintah Parmin kepada panglima suku yang setia itu.
Dengan mengangguk, ia pergi ke arah yang berlawanan dengan bukit di depan-nya. Akalnya yang
cerdas membuat ia mengambil inisiatif itu.
Sementara Van Boerman terus melangkah jauh
meninggalkan Yulia dan Parmin dengan langkah terseok-seok sambil ngoceh dan memaki. Keringatnya
bercucuran karena sengatan matahari di atas bukit
yang tandus itu. Tak lama kemudian orang Belanda
kurus itu telah sampai di atas puncak bukit. Dia tidak menghiraukan apa yang
bakal terjadi pada dirinya. Tangannya mengacung ke atas sambil menggenggam belencongnya. Matanya mendelik seakan mau ke luar
dan mulutnya tak henti-hentinya berteriak,
"Ha., ha., ha., ha! Kalian jangan cari mampus!
Naiklah! Belencong ini akan berbicara! Ayo naik!"
Mungkin menurut anggapannya ketiga orang
pendatang itu bermaksud hendak membantainya. Itu
ia ketahui dari kematian kawannya yang berseragam
serdadu Kumpeni Belanda tadi. Kini dia harus menyelamatkan diri, terutama dari ancaman seorang pemuda
kulit hitam yang menurut anggapannya pastilah seorang suku primitif yang suka makan daging manusia.
Sementara itu Awom sendiri sudah mengambil
jalan pintas memutar dan sedang menaiki bukit itu da-ri arah belakang. Dengan
sangat hati-hati ia merayap agar tidak diketahui oleh lelaki tua kulit putih
yang sedang kalap itu.
Awom kini sudah berada tepat di belakang Van
Boerman yang sedang dihantui oleh pikirannya sendiri.
Perlahan-lahan Awom mendekati orang tua itu dan pada kesempatan yang baik, dia menyergap tubuh kurus
kering dan kumal itu. "Hep!!" "Raaaaaa"!"
Orang itu berteriak sambil meronta-ronta serta
mengibas-ngibaskan belencongnya dengan sepasang
tangannya yang sangat kokoh.
Awom mendekap dengan sekuat tenaga. Tetapi
di luar dugaannya tubuh kurus itu seperti memiliki
kekuatan yang luar biasa. Dengan sebuah hentakan
keras, ia meronta dan berhasil meloloskan diri dari be-kukan Awom.
Kenyataan yang mengejutkan itu membuat
Awom kehilangan keseimbangan dan kakinya tergelincir di bibir tebing. Maka tak ayal lagi tubuh mereka berdua terhempas ke bawah,
merosot di dinding bukit
yang penuh dengan tonjolan batu runcing dan tajam.
Awom merasakan tersenggol sesuatu dan akhirnya kesempatan itu dia gunakan tangannya untuk menjambret benda yang ternyata akar pohon liar yang tumbuh
di dinding bukit sebagai tempat bertahan sementara.
Yulia yang sejak tadi memperhatikan adegan
menegangkan itu semakin bertambah cemas. Betapa
tidak tubuh orang yang dikasihi dan panglima suku
yang setia itu nyaris hancur jatuh ke bawah. Dia menutup matanya yang tak kuasa menyaksikan hal itu.
Dia berusaha untuk tetap tabah sambil berdo'a.
Parmin tak tinggal diam. Ia melompat dengan
cepat menyambar belencong yang masih melayang di
udara. "Tap! Tap...!"
Kedua tubuh yang sedang bergelayut di akar
pohon tampak sudah kehabisan tenaga karena harus
menahan bobot tubuh sendiri.
Sementara Parmin yang telah berhasil menyambar belencong, berlari ke kaki bukit seraya melemparkan belencong itu sekuat tenaga agar dapat tertancap kuat-kuat di dinding
tebing. "Awom! Peganglah ini!"
"Dep.. dep!" Bersamaan dengan tertancapnya belencong di dinding bukit, akar
tempat bergelayut itu pun patah. Kraak! Untunglah Awom dengan cekatan
menyambar gagang belencong tersebut. Tab! Kini tubuh mereka telah bergelantungan pada gagang belencong, seketika itu Parmin berteriak.
"Awom, lepaskan tubuh orang kulit putih itu!!
Belencong yang kau pegang itu tak mampu menahannya!" Segera Awom melepaskan tubuh dalam dekapannya. Serta merta tubuh itu melayang laksana kapas yang ditiup angin. Parmin si Jaka Sembung yang
benda di bawah kaki bukit itu telah siap untuk menangkap tubuh kerempeng itu dengan memasang kuda-kuda yang cukup kuat sedangkan Yulia lagi-lagi
menutupi mukanya karena tak kuasa melihat adegan
yang mengerikan itu.
Dengan pengaturan nafas dan keyakinan yang
kuat Parmin menangkap tubuh Van Boerman dengan
selamat. "Hep! Tab!"
Sedangkan Awom mulai berdebar-de-bar melihat belencong yang sebentar lagi akan lepas dari tan-capannya di dinding tebing
itu. "Oh, Dewa! Mengapa manusia tidak mempunyai
sayap seperti burung"! Dan mengapa kejadian seperti
ini terjadi pada diriku!" Awom berdo'a menanti datangnya dewa penolong yang akan
membebaskannya. Sementara itu Parmin sedang meletakkan tubuh kerempeng yang sudah tak sadarkan diri itu di hadapan Yulia. Kini dia bergegas untuk menolong Awom yang sedang dalam keadaan kritis.
"Sekarang giliranmu, Awom! Ayo lepaskan peganganmu!" teriak Jaka Sembung.
Tanpa berpikir panjang lagi Awom langsung
melepaskan tangannya dari gagang belencong yang dipegangnya. Seketika itu tubuhnya melayang. Parmin
dengan tegap dan kokoh memasang kuda-kuda sambil
merentangkan kedua tangannya siap menyambut tubuh Awom yang melayang deras ke bawah. Tubuh pemuda hitam itu dengan selamat ditangkapnya.
Peristiwa yang menegangkan itu kini telah berlalu. Parmin dan Awom segera menghampiri Yulia yang
sedang memeluk tubuh Van Boerman yang belum sadarkan diri. Tubuh lelaki itu diguncang-guncangnya
perlahan-lahan.
"Ayah! Ayah! Sadarlah, ayah! Ini aku Yulia
anakmu!" Beberapa saat kemudian Van Boerman membuka kelopak matanya perlahan-lahan, Yulia berteriak gembira.
"Ayah! Ini aku Yulia anakmu!" Namun apa yang


Jaka Sembung 12 Terdampar Di Pulau Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diharapkan oleh gadis Belanda ini belumlah tercapai.
Van Boerman tiba-tiba mendelik dengan sinar mata
liar. "Waw! Jangan bunuh aku! Pergi! Pergi! Aku tak
mau dicincang! Seperti kalian mencincang kawankawanku!" Van Boerman masih saja dibayangi oleh peristiwa yang terjadi pada diri ka-wan-kawannya di waktu yang lampau.
"Ayah! Sadar! Aku ini Yulia anakmu bukan suku kanibal yang kau maksud itu!"
"Oh, tidak! Tidak!" jawabnya sambil mengangkat kepala dan memandang Yulia. Dia
belum juga be- rada dalam kewarasannya. Yulia mengeluarkan sebuah
benda yang menurut pendapatnya akan menyembuhkan ingatan ayahnya.
"Lihatlah! Salib suci ini, ayah!"
Betapa kagetnya lelaki tua itu setelah melihat
rosario yang dikenalnya sebagai pembangkit spiritual bagi dirinya.
Bagaikan disiram seember air orang itu mulai
ingat akan dirinya.
"Oh, Bapa yang di surga! Ampunilah aku!"
Ingatannya mulai membaik dan memandangi
seorang gadis cantik bermata biru di hadapannya dengan serius. "Yulia! Kaukah anakku?" tanya Van Boerman
dengan bergetar.
Betapa gembiranya Yulia mendengar kata-kata
seperti itu, dia langsung mendekap erat-erat tubuh
ayahnya yang setelah sekian lama terpisah darinya.
Dengan linangan air mata yang membasahi pipi, Yulia
tak henti-hentinya menciumi ayahnya.
"Ayah!! Oh, ayah betapa gembiranya hatiku!"
"Yulia! Syukurlah kau selamat, sayang! Aku
sudah putus asa mencari dirimu!" jawab sang ayah dengan luapan rindu yang tak
terbendung lagi.
Matahari yang mulai bergeser ke ufuk Barat kelihatan cerah seakan turut gembira serta bahagia melihat pertemuan anak dan bapak tersebut. Mereka terus berpelukan tanpa menghiraukan orang-orang di
sekelilingnya. Parmin dan Awom juga turut terharu melihat
peristiwa yang menggembirakan itu. Air mata berkacakaca di pelupuk mata mereka. Sejenak ingatan Jaka
Sembung melayang ke tempat nan jauh di sana, pulau
Jawa tempat ia berasal. Ia ingat Eretan tempat tinggal gurunya. Ia ingat Kandang
Haur tempat tinggal keka-sih hati yang sangat dicintainya. Entah kapan ia dapat
bertemu kembali dengan Roijah yang telah lama di-tinggalkannya. Lamunan Parmin
tiba-tiba tersentak,
karena mendengar orang tua yang bernama lengkap
Yan Van Boerman itu berbicara sambil tak lepas dari
dekapan anak gadisnya.
"Terima kasihku tak terhingga kepada anda
berdua, tuan pendekar yang gagah!" ucapnya dengan bergetar menahan luapan rasa
gembira dan rasa syu-kur yang sangat dalam.
"Entah bagaimana jadinya seandainya tidak
ada tuan berdua, kami tentu akan terpisah untuk selama-lamanya," sambungnya sambil menahan isak
tangis. "Semuanya adalah berkat rahmat Ilahi, tuan Boerman! Tuhan telah
mempersatukan anda berdua
melalui usaha kami," jawab Parmin dengan rendah ha-ti.
"Anda telah menolong orang asing yang justru
berasal dari bangsa yang sedang menjajah tanah air
anda sendiri, anak muda!" sambung Van Boerman.
"Bangsa kalian memang sedang menjajah bangsa kami. Tetapi kami tidak memusuhi siapa pun karena kami cinta damai. Kalaupun kami berperang melawan Kompeni Belanda, itu kami lakukan karena lebih
mencintai kemerdekaan!" jawab Parmin si Jaka Sembung dengan mantap.
"Sesungguhnya kami bukan memerangi bangsa
Belanda, tetapi memerangi bangsa mana pun yang
bermaksud menjajah tanah air kami. Oleh karena itu
kami ikhlas memberikan pertolongan kepada anda
berdua atas dasar kewajiban sebagai makhluk Tuhan,
bukan atas dasar sebagai dua bangsa yang sedang
bermusuhan!" sambung Jaka Sembung dengan tegas
namun sangat diplomatis.
Semua ucapan Jaka Sembung terdengar begitu
berkesan bagi seorang pemuda Papua yang berjiwa patriot seperti Awom. Sosoknya memang masih primitif,
namun jiwanya dengan cepat menyerap peradaban dan
sikap mental yang diperlihatkan oleh pendekar muda
dari pulau Jawa itu.
Dalam hati Awom kini tumbuh suatu keyakinan
baru bahwa penjajahan itu sesuatu yang harus diperangi. Bukan memerangi orangnya, tetapi memerangi
sifat jahat yang ada padanya! Dengan kata lain,
biar pun Yulia dan ayahnya adalah orang Belanda, tetapi bukan musuhnya karena mereka tidak bersifat
menjajah. TAMAT Pembaca Yang Setia, Parmin si Jaka Sembung
telah berhasil mempertemukan Yulia dengan ayahnya
Yan Van Boerman, tetapi bagaimana dengan nasib
pendeta Yorgen yang tak tentu rimbanya itu"
Dapatkah mereka menemukan pendeta itu"
Bagaimana pula dengan manusia misterius bertopeng tengkorak yang menyeramkan itu" Siapa sebenarnya dia"
Ikutilah episode berikutnya yang berjudul:
Pertarungan Terakhir!
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Kitab Ilmu Silat Kupu Kupu Hitam 4 Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi Misteri Pulau Neraka 10

Cari Blog Ini