Ceritasilat Novel Online

Tumbal Pusar Merah 2

Joko Sableng 29 Tumbal Pusar Merah Bagian 2


ke dada. Dengan tangan kiri menopang sosok si bayi,
tangan kanan Joko bergerak ke arah pusar bayi. Tangan dan dadanya berdebar kala dia teringat kegagalan
Umbu Kakani dan Kigali serta Pitaloka untuk mengambil benda merah pada pusar bayi.
"Hilangkan perasaan bimbang dan ragu, Anak Muda!" Kigali kembali berucap melihat keraguan pada sikap Joko. "Kau belum mencobanya! Tiap orang diciptakan punya kelebihan dan kekurangan. Siapa tahu
kau punya yang lebih dalam urusan ini!"
Dengan salurkan tenaga dalam pada tangan kanan,
Joko mulai menyentuh benda merah di pusar bayi. Lalu menariknya perlahan-lahan. Sesaat pusar bayi tampak terangkat. Kigali, Putri Kayangan, Pitaloka, dan Nyai Tandak
Kembang yang telah luruskan kepala menatap bersama dengan wajah tegang dan menahan napas. Saat
lain keempat orang ini menghela napas lega tatkala
melihat kulit di sekitar pusar bayi yang tadi terangkat telah kembali ke
asalnya. Dan benda merah bulat sebesar kelereng itu telah lenyap berpindah ke
tangan kanan Pendekar 131.
Kigali segera melangkah maju. "Pendekar 131....
Saat Pitaloka mengandung, dia telah memberikan bayi
dalam kandungannya padaku. Walau dia sudah tidak
bernyawa lagi, izinkan aku untuk menggendong dan
menguburkannya...."
Murid Pendeta Sinting memandang pada Pitaloka
dan Nyai Tandak Kembang. Di sebelahnya Kigali sudah
ulurkan kedua tangannya dengan mata berkaca-kaca.
Pitaloka anggukkan kepala. Nyai Tandak Kembang
tak kuasa untuk buka mulut. Hingga dia pun hanya
memberi isyarat dengan gerakkan kepala mengangguk.
Perlahan-lahan Pendekar 131 Joko Sableng berikan
bayi dalam pelukannya pada Kigali yang kemudian
mendekapnya. Pitaloka dan Nyai Tandak Kembang tak
bisa menahan haru. Kedua perempuan cucu dan nenek ini sama teteskan air mata lalu saling berpelukan.
Putri Kayangan yang sejak tadi sudah sesenggukan segera pula merangkul sosok Pitaloka dan Nyai Tandak
Kembang. "Pitaloka.... Beda Kumala.... Kita harus segera tinggalkan tempat ini. Kita kembali ke lereng Gunung Semeru. Hidup di luar lereng Gunung Semeru nyatanya
tidak menambah kedamaian! Justru mendatangkan
bencana dan malapetaka...." Nyai Tandak Kembang
berbisik pada Pitaloka dan Putri Kayangan yang sama
merangkul dirinya.
"Eyang.... Kalau kau masih memberiku kesempatan
untuk hidup, kuharap Eyang mau menuruti satu permintaanku...." Pitaloka berkata dengan usap air matanya. "Dari dulu mana aku pernah tidak turuti permintaan kalian berdua"!" sahut Nyai Tandak Kembang lalu
perlahan-lahan melepaskan rangkulan Pitaloka dan
Putri Kayangan. Memandang sejenak pada kedua cucunya lalu sambung ucapan. "Tapi setelah kejadian ini, aku akan turuti
permintaan kalian selain minta untuk
turun dari lereng Gunung Semeru...."
Pitaloka dan Putri Kayangan sama terdiam. Namun
dada kedua gadis ini dilanda perasaan berlainan. Diam-diam Pitaloka membatin.
"Aku sudah bersumpah untuk membalas pada manusia keparat pemakai Jubah Tanpa Jasad! Maksudku
tidak akan tercapai kalau Eyang tidak mengizinkan
aku turun lereng Gunung Semeru lagi.... Hem.... Sebelum pulang ke lereng Gunung Semeru, aku harus dapat melakukan maksudku! Apa pun caranya akan kulakukan...."
Kalau Pitaloka membatin begitu, diam-diam Putri
Kayangan juga berkata dalam hati. "Kalau Eyang tidak
mengizinkan lagi turun lereng Gunung Semeru, berarti
aku tidak bisa bertemu dengan...." Putri Kayangan tak lanjutkan kata hatinya.
Dia melirik pada murid Pendeta Sinting yang saat itu tengah selinapkan tangan
ka- nan ke balik pakaiannya.
Putri Kayangan menghela napas panjang. "Mungkinkah aku bisa memendam perasaan di lereng Gunung Semeru yang sunyi"! Seandainya aku tidak bertemu dengan Pendekar 131.... Mungkin aku senang
hidup damai di sana. Tapi kini.... Sanggupkah aku melakukannya?"
"Kalian mungkin keberatan dengan ucapanku!" Nyai
Tandak Kembang berkata seolah bisa menangkap benak Pitaloka dan Putri Kayangan. "Tapi itu harus kalian lakukan.... Aku tidak mau lagi menerima malapetaka lebih besar! Aku sudah tua... Aku tak ingin akhir usiaku dipenuhi dengan
ketegangan apalagi bencana!
Kuharap kalian mengerti...."
"Eyang.... Aku mengerti!" ujar Pitaloka pelan seraya
melirik pada Putri Kayangan. Saat itu Putri Kayangan
tengah melirik pada Pendekar 131. "Hemm.... Beda
Kumala pasti merasa keberatan jika harus berpisah
dengan pemuda itu.... Ini gara-gara aku...." Pitaloka membatin lalu berkata
teruskan ucapannya. "Tapi sebelum kembali ke lereng Gunung Semeru, aku minta
waktu pada Eyang! Ada sesuatu yang harus kuselesaikan!" "Apa pun urusannya, kalau memang ada kita selesaikan bersama-sama!"
Pitaloka gelengkan kepala. "Tidak, Eyang. Ini harus
kuselesaikan sendiri!"
Kini ganti Nyai Tandak Kembang yang geleng kepala. "Aku tak ingin kau lakukan sesuatu tanpa kuketahui!" "Eyang.... Aku telah melakukan kesalahan dan tahu
apa akibatnya! Adalah tolol bila aku mengulangi kesalahan yang kedua kalinya! Harap Eyang kali ini percaya padaku!"
"Baik! Tapi katakan dahulu apa yang akan kau lakukan!" "Eyang.... Untuk yang satu ini biarlah aku sendiri
yang tahu.... Percayalah. Bila telah selesai, aku akan segera menyusulmu ke
lereng Gunung Semeru. Jika
tidak, rasanya aku tak bisa hidup tenang di sana!"
"Pitaloka! Kau akan membalas dendam"!" tanya
Nyai Tandak Kembang dapat menebak maksud Pitaloka. Namun tampaknya Pitaloka maklum jika mengaku
terus terang maka Nyai Tandak Kembang akan menghalangi. Seraya gelengkan kepala perlahan dia berucap. "Dendam dalam dadaku memang tidak akan punah
sampai aku menutup mata. Tapi adalah bodoh jika
aku melakukan hal itu, Eyang! Aku tahu siapa manusia keparat itu. Hanya buang-buang nyawa jika aku
melawannya! Lebih-lebih lagi kurasa Pendekar 131 tidak akan tinggal diam...."
Nyai Tandak Kembang kerutkan dahi coba menduga-duga apa maksud sebenarnya Pitaloka. "Kau
punya seorang kekasih"!"
Pitaloka tersenyum datar. Namun justru paras Putri
Kayangan yang berubah. Dada gadis ini berdebar dan
alihkan pandangannya seraya menunggu jawaban Pitaloka. "Eyang.... Seandainya pun aku punya seorang kekasih, aku tak pantas lagi untuk menemuinya! Aku
sadar siapa diriku sekarang.... Bahkan mungkin aku
sudah tak ingin lagi punya pendamping sampai akhir
usiaku nanti...."
Nyai Tandak Kembang merasa trenyuh mendengar
ucapan Pitaloka. Dia menarik napas panjang. Lalu berucap pelan. "Pitaloka.... Aku mengerti perasaanmu. Tapi kuharap kau mau berterus terang padaku. Aku tak ingin
menantimu dengan perasaan cemas dan khawatir!"
"Eyang.... Kau tak perlu khawatir. Atau kalau kau
belum percaya padaku, izinkan Beda Kumala untuk
pergi bersamaku...."
Beda Kumala alias Putri Kayangan terkejut. Nyai
Tandak Kembang berpikir sesaat. Lalu berkata. "Baiklah.... Kalian berdua kuizinkan menyusul. Tapi kalian cuma kuberi waktu satu
purnama! Selesai atau tidak
urusanmu, kalian harus kembali ke lereng Gunung
Semeru!" Saat itulah tiba-tiba dari arah depan terdengar bentakan. "Mengapa kau diam saja"! Mengapa tidak kau
lakukan apa yang kuperintahkan"!"
Yang perdengarkan bentakan ternyata Lingga Buana. Begitu dia terhuyung-huyung laki-laki berambut
putih jabrik ini sempat melihat Pendekar 131 memberikan bayi Pitaloka pada Kigali.
Malaikat Berkabung sendiri sebenarnya melihat bagaimana murid Pendeta Sinting mengambil bayi dari
tangan Pitaloka. Dia sudah hendak berkelebat. Namun
tiba-tiba hatinya bimbang apalagi tatkala melirik pada rombongan Dayang Sepuh.
"Aku mungkin dapat berkelebat ke sana. Tapi jahanam-jahanam tua bangka itu tentu tidak akan tinggal
diam! Aku telah terluka.... Kalau aku memaksakan diri, aku hanya akan mati konyol!" Malaikat Berkabung
membatin. Hingga pada akhirnya dia hanya bisa tegak
melihat tanpa berbuat apa-apa.
Lingga Buana pentangkan mata menatap pada Pendekar 131. Walau tidak tahu persis apa yang terjadi,
namun dia tampaknya sudah bisa membaca gelagat
orang. "Kalau bayi itu sudah dikembalikan pada orang
lain, berarti apa yang diinginkannya sudah diambil!
Keparat betul! Ini gara-gara perempuan itu!" Lingga
Buana alihkan pandang matanya pada Umbu Kakani.
Semua kemarahannya kini ditumpahkan pada perempuan yang beberapa puluh tahun silam pernah mencintainya. Sementara di hadapannya, Umbu Kakani tersenyum
dingin. "Lingga Buana! Kau masih berprasangka hitunganmu benar"!" Umbu Kakani gelengkan kepala.
"Jangankan untuk mengambil benda itu, menyentuh
pun kau tak akan sampai!"
Dada Lingga Buana laksana terbakar. Namun orang
tua ini masih berpikir tenang. "Kalau aku turuti perempuan ini, aku tak akan mendapat benda itu!" Perlahan-lahan niat semula yang hendak langsung menghabisi Umbu Kakani ditangguhkan. Sebaliknya ia melirik pada Pendekar 131.
Tanpa diduga, tiba-tiba Lingga Buana berkelebat ke
depan. Bukan ke arah Umbu Kakani, melainkan ke
arah murid Pendeta Sinting!
*** LIMA UMBU Kakani tidak tinggal diam, dia segera hentakkan pantat. Sosoknya berkelebat memotong gerakan Lingga Buana.
Lingga Buana marah besar. Dia kerahkan hampir
segenap tenaga dalamnya. Didahului bentakan menggelegar, dia sentakkan kedua tangannya. Dia tidak
mau lagi bentrok langsung. Dia lepas pukulan jarak
jauh meski jarak keduanya hanya lima langkah!
Wuutt! Wuuuutt!
Dua gelombang kabut tipis putih mencuat menggidikkan ke arah sosok Umbu Kakani yang berkelebat
memotong. Pendekar 131 sudah hendak berkelebat
menghadang. Namun apa pun yang akan dilakukan
sudah terlambat untuk bergerak. Selain cuatan gelombang itu begitu cepat, sosok Umbu Kakani terus melaju, membuat jarak pukulan dengan sasaran makin cepat dan dekat. Hingga akhirnya murid Pendeta Sinting
hanya dapat memandang dengan perasaan khawatir.
Pitaloka tak kalah cemasnya. Dia juga sudah berniat
membantu. Namun tangan Nyai Tandak Kembang cepat menghalangi.
"Pitaloka.... Percuma! Jarak mereka sudah terlalu
dekat! Bahkan kalau salah, akan lebih celaka!"
Di depan sana. Umbu Kakani bukannya merubah
arah kelebatan. Sebaliknya teruskan kelebatan lurus
ke arah Lingga Buana. Hingga tanpa ampun lagi gelombang kabut putih tipis mengarah tepat ke arahnya!
Setengah depa lagi kabut putih tipis menggebrak,
tiba-tiba Umbu Kakani tarik dadanya ke belakang.
Saat lain seraya perdengarkan seruan garang, dia sentakkan dadanya ke depan.
Betttt! Satu gelombang berkiblat dari dada Umbu Kakani
menghadang kabut putih tipis. Hebatnya dan sungguh
di luar dugaan semua orang, begitu sentakkan dada,
Umbu Kakani sentakkan bahunya. Hingga sosoknya
makin kencang berkelebat ke depan menyusuli gelombang dari dadanya!
Bummm! Ledakan keras terdengar bergemuruh. Kabut tipis
dan gelombang sama semburat dan menebar ke Seantero ruangan. Semua mata membelalak. Bukan karena
melihat bentroknya dua pukulan, melainkan memandang bagaimana sejengkal lagi dua pukulan bertenaga
dalam itu bertemu, Umbu Kakani sekali lagi hentakkan
bahu. Hingga sosoknya melesat melewati dua pukulan
yang hendak bentrok!
Begitu terdengar gelegar, sosok Umbu Kakani mencelat lurus ke depan seolah mengejar sosok Lingga Buana yang juga mental ke belakang.
Lingga Buana terkesiap kaget. Karena sosok Umbu


Joko Sableng 29 Tumbal Pusar Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kakani lebih dekat dengan terjadi benturan, maka
mentalan sosok Umbu Kakani lebih deras lesatannya
dibanding mentalan sosok Lingga Buana.
Lingga Buana cepat kelebatkan kedua tangannya.
Namun karena harus imbangi diri agar tidak jatuh terkapar, gerakannya terlambat.
Bukkkk! Kepala Umbu Kakani menghantam deras dada Lingga Buana. Namun Lingga Buana masih sempat hantamkan kedua tangannya ke arah lambung Umbu Kakani. Bukkkk! Bukkkk!
Sosok Umbu Kakani mencelat lagi ke belakang. Darah sudah tampak menyembur dari mulutnya sebelum
sosoknya sendiri melayang jatuh. Dan karena sudah
tak dapat kuasai diri, perempuan ini tidak berusaha
membuat gerakan apa-apa meski tahu sosoknya hendak jatuh menghantam lantai.
Saat itulah satu bayangan putih berkelebat menyongsong sosok Umbu Kakani. Lalu menurunkan perempuan itu perlahan-lahan ke atas lantai.
"Kau sudah dapatkan benda itu, Pendekar 131"!"
tanya Umbu Kakani tersendat karena banyaknya darah yang menyembur dari mulutnya.
Pendekar 131 yang ternyata telah menghadang
menghantamnya sosok Umbu Kakani dan kini letakkan Umbu Kakani di atas pangkuannya gerakkan kepala mengangguk.
"Jangan banyak bicara dahulu, Nek! Aku akan alirkan tenaga dalam untuk...."
Umbu Kakani gelengkan kepala pelan. "Tak ada gunanya, Pendekar 131. Aku sudah tahu apa akibat-nya.
Tapi aku merasa lega. Setidaknya aku bisa me-lakukan
sesuatu untuk arwah guruku.... Satu pintaku.... Jangan biarkan jahanam itu merebut benda itu dari tanganmu.... Aku tahu.... Dia masih menyimpan ilmu....
Berhati-hatilah menghadapinya!"
Habis berucap begitu, sepasang mata Umbu Kakani
memejam. Sosoknya mengejang sesaat sebelum akhirnya diam tak bergerak-gerak lagi.
Pitaloka segera melompat disusul kemudian oleh
Putri Kayangan. Pitaloka berteriak memanggil-manggil
seraya mengguncang sosok Umbu Kakani.
Joko menahan tangan Pitaloka. "Dia sudah meninggal, Pitaloka...."
Pitaloka menahan napas lalu rebahkan kepalanya
pada dada Umbu Kakani. Tangisnya meledak. "Dia
dengan susah payah menolong kelahiran anakku....
Padahal dia tidak bisa gunakan kedua tangannya....
Aku belum bisa membalas budinya.... Tapi...."
"Sudahlah, Pitaloka.... Bahaya belum selesai. Harap
kau dan Putri Kayangan membawanya ke samping
orang tua yang membawa bayimu!" ujar murid Pendeta
Sinting. Pitaloka angkat kepalanya lalu berpaling ke arah
Lingga Buana. Pendekar 131 Joko Sableng segera mencekal lengan Pitaloka begitu mengetahui maksud gadis
itu. "Kau masih perlu istirahat.... Biar aku yang menyelesaikannya!"
Putri Kayangan memandang pada Joko. Joko anggukkan kepala. Paras si gadis berubah. "Rasanya sulit aku akan bisa
melupakannya...." Diam-diam Putri
Kayangan membatin. Lalu menoleh pada Pitaloka dan
berkata. "Benar, Pitaloka. Tubuhmu masih lemah.... Jangan
paksakan diri! Nenek ini perlu dikuburkan.... Begitu
juga anakmu!"
Seraya berucap, tangan Putri Kayangan lepaskan
cekalan tangan Joko pada lengan Pitaloka. Ada getaran aneh yang menjalar hingga
dadanya. Diam-diam Putri
Kayangan teringat saat bergenggaman tangan dengan
Joko di dalam hutan namun belum sampai lama mendadak muncul Nyai Tandak Kembang. Ingat hal itu Putri Kayangan jadi tersenyum sendiri. Dia memandang
pada murid Pendeta Sinting. Saat itu Joko sendiri tengah pandangi wajah Putri
Kayangan. Untuk beberapa
saat kedua orang ini saling pandang tanpa ada yang
buka suara. "Kuharap kalian nanti berbahagia!" Tiba-tiba Pitaloka bergumam pelan. Tangan kanannya terangkat lalu
diletakkan di atas tangan Putri Kayangan yang saat itu tengah memegang tangan
Pendekar 131. Putri Kayangan tak bisa menahan perasaan. Parasnya merah padam. Namun dia tidak berusaha menarik
tangannya. Di lain pihak, Joko jadi salah, tingkah.
Apalagi dia tahu Nyai Tandak Kembang pasti melihatnya. "Setan!" Tiba-tiba terdengar teriakan dari seberang
sana. "Sekarang bukan saatnya main pegangpegangan!" Yang berteriak bukan lain adalah Dayang
Sepuh. "Benar! Musim bercinta belum datang! Tunggulah
sampai semuanya beres. Percayalah.... Angin pasti berlalu! Eh, maksudku badai
pasti berlalu!" timpal Dewi Ayu Lambada.
"Lagi pula tak pantas mengiringi perkabungan dengan kemesraan begitu! Simpan dahulu masing-masing
rasa di dalam dada! Yakinlah.... Ini rindu ha-nya
buatmu!" Iblis Ompong menyahut.
"Ukkk! Uuukkk! Uuukkk!" Dewa Uuk ikut buka mulut. Kedua tangannya diangkat ke atas membuat gerakan seperti orang tengah melantunkan nyanyian syair.
Putri Kayangan tersentak dan buru-buru tarik tangannya dengan raut merah padam. Joko tak kalah kagetnya dan jadi salah tingkah. Dia tarik pula tangannya sambil cengar-cengir dan melirik pada Nyai Tandak Kembang. "Angkat nenek Umbu Kakani menjauh dari sini...,"
kata Joko. Pitaloka dan Putri Kayangan segera lakukan ucapan
murid Pendeta Sinting. Mengangkat pelan-pelan sosok
mayat Umbu Kakani mendekat pada Kigali dan Nyai
Tandak Kembang.
Di seberang depan sana, sosok Lingga Buana tampak tegak bersandar pada kedua tangan Malaikat Berkabung. Ketika Lingga Buana mencelat terhuyung akibat benturan kepala Umbu Kakani pada dadanya, sosok Lingga Buana memang mencelat terhuyung ke belakang. Saat itulah Malaikat Berkabung melompat lalu
menahan sosok Lingga Buana. Hingga selamatlah
Lingga Buana dari benturan dengan lantai ruangan.
Namun benturan kepala Umbu Kakani tak urung
membuat parasnya berubah dan mulutnya kucurkan
darah lagi! "Kau kurang waspada!" kata Lingga Buana pada
Malaikat Berkabung. "Benda itu sekarang ada pada
Pendekar 131! Ini akan membuat usaha makin sulit!"
"Tapi kita masih mampu merebutnya!" sahut Malaikat Berkabung. "Hanya dengan jurus 'Tangga Bertingkat' kita mampu melakukannya! Cepat siapkan tenaga dalam! Kita
hantam dia dengan jurus 'Tangga Bertingkat'!" kata
Lingga Buana. Malaikat Berkabung melepas tahanan kedua tangannya pada punggung Lingga Buana. Lalu melompat
dan tahu-tahu telah duduk bersila di hadapan Lingga
Buana dengan kedua tangan menakup di depan dada.
Sepasang matanya terpejam rapat.
Lingga Buana pandangi sesaat sosok Pendekar 131
yang bergerak bangkit di depan sana. Saat lain orang
tua berambut putih jabrik ini membuat gerakan satu
kali. Sosoknya tiba-tiba sudah berada di atas tubuh
Malaikat Berkabung. Kedua kakinya mengapit leher si
pemuda dan masuk ke sela antara dada dan kedua
tangan Malaikat Berkabung. Kedua tangannya disatukan terbuka di depan dada. Matanya sudah terpejam.
"Hem.... Mungkin inilah yang dikatakan Nenek Umbu Kakani. Lingga Buana-masih menyimpan ilmu!" kata Joko dalam hati. "Kalau aku menggunakan pukulan
'Lembur Kuning', mungkin belum bisa menghalau mereka! Akan kuhadang dengan 'Serat Biru'!"
Berpikir begitu, murid Pendeta Sinting cepat kerahkan tenaga dalam pada tangan kirinya. Kejap itu juga
tangan kiri Joko laksana dialiri sinar biru terang. Inilah tanda kalau murid
Pendeta Sinting siap lepaskan
pukulan 'Serat Biru'.
Nyai Tandak Kembang memandang dengan picingkan sedikit matanya. Pitaloka sedikit cemas. Tapi yang paling terlihat gelisah
adalah Putri Kayangan. Dia memandang tak berkesip. Bila turutkan kata hati
rasanya dia ingin melompat dan membantu. Namun dia sadar
hal itu tak mungkin dilakukannya. Apalagi ada Nyai
Tandak Kembang. Tapi diam-diam dia kerahkan pula
tenaga dalam dan berbisik pada Pitaloka. "Pitaloka!
Kau pegangi erat-erat nenek ini!"
Tanpa bertanya rupanya Pitaloka sudah maklum
apa yang akan dilakukan saudara kembarnya. Hingga
dia hanya anggukkan kepala.
Di tempat lain, Dayang Sepuh berpaling pada Dewi
Ayu Lambada. "Tegak berbaris ini sudah tak perlu lagi!
Sekarang kita tinggal nonton setan-setan itu!" Dayang Sepuh melompat.
Karena kedua tangan Dewi Ayu Lambada masih
menekan punggung Dayang Sepuh dan Dayang Sepuh
melompat secara tiba-tiba, membuat Dewi Ayu Lambada terlengak. Sosoknya terhuyung ke depan dan hampir saja menyusup ke lantai ruangan. Untung si nenek
cepat kuasai diri. Sebelum sosoknya menghantam lantai, dia kebutkan julaian bagian bawah kerudung hitamnya yang ada di bagian perut. Sosoknya membal ke
udara lalu melayang turun dan tegak di samping
Dayang Sepuh. "Kalau mau hindarkan orang, bilang-bilang dulu!"
Dewi Ayu Lambada sudah mengomel begitu tegak.
"Kau lihat sendiri, hampir saja aku cekakakan! Eh,
maksudku hampir saja aku kecelakaan!"
Di lain pihak, karena pantat Iblis Ompong yang menungging menempel dan bersandar pada pantat Dewi
Ayu Lambada, begitu sosok Dewi Ayu Lambada terhuyung ke depan, Iblis Ompong tersentak. Karena tangannya tidak lagi mencekal pundak Dewa Uuk yang
duduk di hadapannya melainkan tekap hidungnya
akibat bau kencing dari tubuh Dewa Uuk, membuat
sosok Iblis Ompong tertarik ke belakang dan akhirnya
sosok orang tua tak bergigi ini terjengkang di atas lantai. Yang sial adalah
Dewa Uuk. Dengan Iblis Ompong
terjengkang, maka kedua kakinya terjungkat ke atas.
Padahal Dewa Uuk tepat duduk di hadapan Iblis Ompong hingga tanpa ampun lagi kedua kaki Iblis Ompong yang terangkat ke atas menghantam sosok Dewa
Uuk! Bukkkk! "Uuukkk!" Dewa Uuk perdengarkan suara. Sosoknya mencelat ke belakang dengan kedua kaki terjungkat. Namun Dewa Uuk tampaknya tak mau tinggal diam. Saat kedua kakinya terangkat akibat tubuhnya
terdorong, Dewa Uuk cepat luruskan kedua kakinya
dan ditengadahkan ke arah kedua kaki Iblis Ompong
yang baru saja menghantam tubuhnya.
Bukkk! Kedua kaki Iblis Ompong yang berada di atas udara
terpental, membuat sosok Iblis Ompong jungkir balik
di atas lantai ruangan! Namun begitu jungkir balik dua kali, Iblis Ompong
sentakkan kedua tangannya menekan ke atas lantai. Sosoknya melesat dan tahu-tahu
telah tegak di samping Dewi Ayu Lambada. Namun orang
tua ini bukannya menghadap ke depan melainkan ke
belakang! Sementara di belakang sana Dewa Uuk juga terguling-guling. Tapi begitu sosoknya hendak terhenti,
mendadak orang tua bisu dan tuli ini membuat gerakan satu kali. Wuuuttt! Tubuh Dewa Uuk berkelebat ke depan lalu duduk
bersila di samping Iblis Ompong.
"Kau tak apa-apa"!" teriak Iblis Ompong pada Dewa
Uuk. Dewa Uuk menoleh dengan tadangkan kedua tangan di belakang kedua telinganya. Lalu tertawa sambil anggukkan kepala.
"Untung adikmu tidak mendapat cedera! Kalau
main-main jangan keterlaluan! Kalau dia tadi mendapat cedera, pasti aku yang disalahkan! Padahal kau
yang buat ulah!" Iblis Ompong menyemprot pada Dewi
Ayu Lambada. "Sialan! Mengapa kau salahkan aku"! Dia yang
memulai! Melompat tanpa bilang-bilang!" sahut Dewi
Ayu Lambada membela diri dengan suara keras. Lalu
berpaling pada Dayang Sepuh.
"Gara-gara kau, aku disalahkan orang katanya
hendak mencelakai adik sendiri!"
Dayang Sepuh menoleh dengan mata dipentangkan.
Bukan ke arah Dewi Ayu Lambada melainkan pada
Dewa Uuk. "Setan macam begitu rupanya pandai juga mengadu! Akan kubuat mulut setannya tak bisa mengadu
dan membuat orang saling bermusuhan!" bentak
Dayang Sepuh. "Sudah! Sudah! Lihat pertunjukan akan segera dimulai!" Iblis Ompong menengahi seraya tekuk tubuhnya hingga membuat sikap menungging dan memandang ke depan lewat sela kedua kakinya yang dibuka
lebar-lebar! Dayang Sepuh sentakkan kepala menghadap ke depan seraya rapikan poni rambutnya. Sementara tangan
satunya kibas-kibaskan kelabangan rambutnya.


Joko Sableng 29 Tumbal Pusar Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dewi Ayu Lambada ikut pula hadapkan wajahnya
ke depan. Kedua tangannya diangkat betulkan kerudung hitam di atas kepalanya.
Dewa Uuk angkat bahu lalu hadapkan muka ke depan namun sepasang matanya dipejamkan dan raut
wajahnya membuat mimik ngeri!
*** ENAM DI DEPAN sana, tiba-tiba hampir bersamaan Malaikat Berkabung dan Lingga Buana sama sentakkan kedua tangan masing-masing ke arah murid Pendeta
Sinting. Wuutt! Wuutt! Wuuuut! Wuutt! Terdengar deruan gelombang dahsyat laksana amukan badai. Kabut hitam dan putih tipis berkiblat
menggidikkan. Hebatnya, begitu gelombang kabut hitam dan putih melesat, saat lain dari kedua tangan
masing-masing orang kembali cuatkan gelombang kabut hitam dan putih! Itu pun tak lama, kejap lain
kembali kabut hitam dan putih melesat! Inilah kehebatan jurus 'Tangga Bertingkat'. Hanya dengan sekali
sentakan, namun pukulan yang melesat keluar tiga
kali berturut-turut!
Mendapati hal demikian, kalau pada mulanya Joko
hanya siapkan pukulan 'Serat Biru' pada tangan kirinya, kini dia salurkan tenaga dalam pula pada tangan
kanannya dan siapkan pukulan 'Lembur Kuning'.
Hingga ketika kedua tangannya mendorong, dari tangan kiri Joko melesat serat-serat biru laksana benang.
Tidak perdengarkan suara atau gelombang angin yang
dahsyat. Sementara dari tangan kanan murid Pendeta
Sinting menderu gelombang laksana hamparan ombak
disertai melesatnya sinar kuning terang yang membawa hawa menyengat panas luar biasa.
Dentuman-dentuman dahsyat memekakkan gendang telinga memecah ruangan di bawah Lembah Patah Hati itu. Ruangan laksana digoyang gempa luar biasa dahsyat. Dinding-dinding ruangan perdengarkan
suara gemeretak rengkah. Lobang di atas sana kembali
longsor hingga lobangnya semakin lebar.
Kabut hitam dan putih bertebaran ke Seantero
ruangan disusul bertaburnya serat-serat biru dan kilauan sinar kuning. Sosok murid Pendeta Sinting mencelat sampai tiga tombak ke belakang dan menghantam dinding ruangan sebelum akhirnya jatuh terduduk
dengan punggung bersandar pada dinding. Dari mulutnya semburkan darah. Air mukanya pucat pasi laksana tidak dialiri darah. Kedua tangannya lunglai seperti tak punya tenaga. Dadanya turun naik berguncang-guncang. Mulutnya yang-semburkan darah mgap-megap! Di seberang sana, sosok Lingga Buana terpental dahulu disusul kemudian oleh Malaikat Berkabung. Wajah guru dan murid ini pias putih. Dari masing-masing mulutnya kucurkan darah.
Sosok mereka bergetar hebat. Sepasang mata mereka terpejam terbuka dengan
mulut perdengarkan erangan tertahan.
Karena sebelumnya sudah terluka dalam, mereka
memerlukan waktu agak lama untuk dapat bergerak
bangkit. Malah sesaat keduanya terhuyung-huyung
saat kakinya tegak. Sementara di depan, dengan tumpukan kedua tangannya ke dinding di belakangnya,
Joko sudah merambat tegak terlebih dahulu dan kerahkan tenaga dalam mengatasi rasa sakit pada dada.
Lalu menutup jalan mulutnya hingga aliran darah terhenti. Beberapa saat berlalu. Puti Kayangan yang semakin
gelisah mendapati Joko terluka tampak mondar-mandir dan sesekali melirik pada Nyai Tandak Kembang.
Rupanya Nyai Tandak Kembang bisa melihat kegelisahan cucunya. Sambil memandang pada Joko dia berucap. "Beda.... Kau tak perlu berlaku seperti itu.... Kurasa dia masih mampu mengatasi
diri sendiri! Dan apa kau
kira aku akan diam saja jika aku tahu dia tak mampu
menghadang pukulan orang"!"
Putri Kayangan hentikan gerakan kakinya yang melangkah mondar-mandir. Walau kini merasa agak lega
mendengar ucapan Nyai Tandak Kembang, namun kegelisahannya tidak bisa pupus semua.
"Lingga Buana!" Joko angkat bicara. "Turut keterangan Umbu Kakani, seharusnya kau tidak pantas lagi berpijak di atas bumi! Tapi kali ini kau dan Malaikat Berkabung masih kuberi
kesempatan untuk memper-baiki diri! Tinggalkan tempat ini segera!"
Sambil berkata, Pendekar 131 melangkah maju. Entah untuk menggertak orang, dia angkat kedua tangannya. "Aku sudah terlalu tua untuk digertak apalagi takut
mati, Pendekar 131! Kau dan teman-temanmu yang
harus enyah dari tempat ini! Tapi tanpa harus membawa benda merah itu!" Lingga Buana menyahut dengan suara keras dan mata mendelik.
"Kau tak akan mendapatkan apa-apa, Lingga Buana! Bahkan kesempatan untuk hidup pun seharusnya
tidak layak kau miliki!"
"Ucapan itu pantas kau katakan pada anak bawang,
Pendekar 131! Dan aku bukan anak ingusan!"
"Kalian dengar ucapannya"!" Tiba-tiba Dayang Sepuh angkat suara. "Setan jabrik itu mengatakan bukan
anak ingusan! Padahal baru saja ingusnya menyembur
dari mulut setannya! Hik.... Hik.... Hik...!"
"Kakek-kakek biasanya memang punya penyakit lupa! Malah kadang-kadang sudah beristri tapi masih juga terbirit-birit mengejar nenek-nenek! Eh.... Maksud-ku terbirit-birit mengejar
gadis ayu!" Dewi Ayu Lamba-da menimpali.
"Husss! Enak saja kau bicara! Kalau kakek-kakek
sudah terbirit mengejar gadis, itu bukan karena lupa!
Tapi sengaja! Kalau nenek-nenek mengejar pemuda itu
baru namanya lupa diri!" Iblis Ompong menyahut.
"Bukankah begitu"!" Iblis Ompong berpaling pada Dewa Uuk. Dewa Uuk terperanjat lalu tadangkan kedua tangan
di belakang telinganya dan manggut-manggut.
"Lingga Buana!" Joko kembali perdengarkan suara.
"Kita masih punya acara lain. Jadi lekas ambil kesempatan yang kuberikan!"
"Kau tak akan teruskan acaramu! Karena acara
perkabunganmu akan tiba!"
Suara Lingga Buana belum selesai, orang tua berambut putih jabrik ini sudah melesat ke depan. Dari
bentrokan tenaga dalam tadi, tampaknya dia sudah
sadar kalau tenaganya tak mungkin lagi menghadapi
tenaga dalam murid Pendeta Sinting, apalagi dia telah terluka dalam cukup parah.
Maka dia kini melesat co-ba bertarung jarak dekat.
Joko tidak mau bertindak ayal. Meski Lingga Buana
sudah terluka dalam, namun bagaimanapun juga pukulannya terlalu berbahaya jika dibiarkan. Maka begitu Lingga Buana melesat ke depan, Joko segera menyongsong. Lingga Buana angkat kedua tangannya. Joko ikut
angkat kedua tangan. Namun kali ini Joko tertipu. Secepat kilat Lingga Buana bergerak ke bawah. Tapi ini
adalah kesalahan fatal yang dibuat Lingga Buana.
Tangan kiri kanannya memang berhasil menggebuk
lambung murid Pendeta Sinting. Namun saat itu juga
kedua tangan Joko yang terangkat tidak terhalang lagi
untuk menggebrak kepala dan dada Lingga Buana.
Bukkk! Bukkk! Prakkk! Prakkk!
Pendekar 131 berseru tertahan. Sosoknya terpental
dan jatuh terduduk. Pakaian bagian lambung kanan
kirinya robek menganga. Joko cepat kerahkan tenaga
dalam lalu selinapkan tangan kanan ke balik pakaian.
Dia menarik napas lega ketika tangannya masih menyentuh benda merah yang tadi diambil dari pusar
bayi Pitaloka. Sementara di depan, sosok Lingga Buana tampak
limbung lalu jatuh terkapar dengan kepala kucurkan
darah. Mulut dan hidungnya pun semburkan darah
kental. Malaikat Berkabung cepat melompat. Namun
begitu kedua tangannya menyentuh tubuh Lingga Buana, orang tua berambut jabrik ini berseru tertahan.
Kedua kakinya meregang. Saat lain seruannya terputus dan kedua kakinya diam kaku! Nyawa laki-laki
yang pernah dicintai Umbu Kakani ini melayang.
Kuduk Malaikat Berkabung merinding dingin. Dia
melirik pada Joko yang telah bangkit dan melangkah
ke arahnya. Malaikat Berkabung cepat tegak. Nyalinya
sudah menciut. Namun karena keadaan, akhirnya dia
kerahkan tenaga dalam dan nekat hendak menghadapi
murid Pendeta Sinting.
"Malaikat Berkabung!" kata Joko. "Cukup sampai di
sini saja urusan antara kita! Tinggalkan tempat ini dan lupakan apa yang telah
terjadi!" Karena sudah maklum tak mungkin menghadapi
Joko, diberi kesempatan begitu rupa Malaikat Berkabung cepat putar diri, malah lupakan apa yang harus
dilakukan pada sosok mayat Lingga Buana.
Namun Malaikat Berkabung tidak teruskan gerakan. Melainkan arahkan pandang matanya pada rombongan Dayang Sepuh. Dada pemuda ini berdebar ketika melihat Dayang Sepuh pasang tampang angker
dengan kedua tangan diletakkan pada pinggang kiri
kanan. Di sampingnya, Dewi Ayu Lambada tak tinggal diam. Dia rangkapkan kedua tangan di depan dada. Sepasang matanya membelalak besar. Lalu angkat kaki
kanannya dan diletakkan bersilang di atas betis kaki
kirinya. Mulutnya menyeringai dingin.
Iblis Ompong cepat balikkan tubuh. Kalau biasanya
mulut dibuka lebar-lebar walau tidak perdengarkan
suara, kali ini si orang tua tak bergigi ini katupkan mulut rapat-rapat. Kedua
tangannya diangkat ke atas.
Kedua kakinya membuat kuda-kuda siap melompat.
Di sebelah Iblis Ompong, Dewa Uuk yang sedari tadi
pejamkan matanya perlahan-lahan buka kelopak matanya. Saat bersamaan dia melompat bangkit. Sosoknya disorongkan ke depan. Tangan kanan diangkat ke
atas tangan kiri diluruskan dengan telapak terbuka lurus ke arah Malaikat
Berkabung. Malaikat Berkabung tercekat. Sosoknya bergetar.
Dia hendak buka mulut namun yang dilakukannya justru menggigit atas bawah bibirnya!
"Aku datang bersama air kencing!
Aku datang dengan naungan air kencing dan
air kencing lagi!
Aku datang dari lembah air kencing!
Air kencing akan jadi saksi mati.
Saksi dari aliran air kencing anak manusia! "
Dayang Sepuh berucap lantunkan syair seperti yang
biasa diucapkan Malaikat Berkabung. Namun sebagian
kalimatnya dirubah. Saat lain Dayang Sepuh tertawa
bergelak. Dewi Ayu Lambada sesaat pandangi Malaikat
Berkabung pada bagian bawah tubuhnya. Tiba-tiba
tawa nenek berkerudung hitam ini meledak keras!
Iblis Ompong cepat tekap hidungnya dengan tarik
kedua tangannya yang tadi terangkat. Lalu mengomel.
"Sialan! Sialan kau! Sudah gede masih juga terkencing-kencing di celana!"
"Uuukkk! Uuukkk! Uuukkk!" Dewa Uuk angkat suara. Tangan kirinya yang tadi terbuka dikepalkan dengan telunjuk ditegakkan dan menunjuk-nunjuk pada
celana Malaikat Berkabung. Lalu tawanya menyentaknyentak! Malaikat Berkabung pelan-pelan melirik ke bawah.
Parasnya merah padam antara takut dan malu. Ternyata karena saking takutnya tanpa terasa dia sudah
keluarkan air kencing di celana!
Semua orang di ruangan bawah Lembah Patah Hati
sama tertawa bergelak-gelak.
"Jahanam! Apa boleh buat.... Kalau mereka tak
membiarkan aku pergi, aku akan menghadapi mereka!" desis Malaikat Berkabung lalu diam-diam kerahkan tenaga dalam. Dan mulai melangkah ke arah lobang. Tepat di samping Dayang Sepuh, Malaikat Berkabung sudah siap. Namun ternyata Dayang Sepuh tidak
membuat gerakan apa-apa, melainkan makin keraskan
gelakan tawanya.
Malaikat Berkabung teruskan langkah. Dan baru
berhenti tepat di bawah lobang yang telah makin menganga lebar karena longsor beberapa kali. Malaikat
Berkabung arahkan pandang matanya ke atas. lalu ke
arah beberapa orang di tempat itu yang masih tertawa
berbahak-bahak.
"Kalian kelak akan merasakan akibatnya!" gumam
Malaikat Berkabung lalu jejakkan kedua kakinya. Sosoknya melenting ke atas.
Namun baru saja kepalanya hendak melewati lobang, tiba-tiba....
"Brusss! Brusss! Brusss!"
Terdengar bersinan tiga kali berturut-turut. Malaikat Berkabung tersentak kaget. Bukan saja karena
terdengarnya suara bersinan, namun bersamaan dengan itu sosoknya laksana dilabrak gelombang angin
dahsyat. Hingga sosoknya kembali melayang ke bawah
makin deras! Bukkk! Malaikat Berkabung terjengkang jatuh. Serentak
Dayang Sepuh dan Dewi Ayu Lambada putar diri. De

Joko Sableng 29 Tumbal Pusar Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mikian juga Dewa Uuk. Hanya Iblis Ompong yang tetap
hadapkan tubuh ke depan. Namun saat itu juga tubuh
bagian atasnya menukik ke depan dengan kedua kaki
direnggangkan. Lalu memandang orang di belakangnya
dari sela kedua kaki seraya menungging!
Dada Malaikat Berkabung bergemuruh marah. Namun dia tak bisa berbuat apa-apa. Apalagi kini tahu di atas sana masih ada orang
lain. Entah karena tak mau
terus dipermalukan orang, dia kerahkan tenaga dalam
dan kembali melesat ke atas dengan kedua tangan siap
lepaskan pukulan.
Namun bersamaan dengan melesatnya Malaikat
Berkabung dari atas lobang meluncur satu sosok tubuh. Untuk kedua kalinya si pemuda terkejut. Ini
membuatnya lengah dan tak sempat lagi lepaskan pukulan. "Bruss! Brusss!"
Kembali terdengar bersinan. Lalu sosok yang melayang turun terlihat gerakkan kaki.
Bukkkk! Sosok Malaikat Berkabung kembali melayang deras
ke bawah, malah kini terpental sebelum akhirnya
menghantam dinding di belakang sana dan jatuh terkapar! "Brusss! Brusss! Aku heran.... Mengapa ada orang
terus menghalangiku!" kata orang yang baru bersin.
Dia bukan lain adalah Datuk Wahing.
Malaikat Berkabung bangkit tegak terhuyunghuyung. Melihat Datuk Wahing tidak memandangnya
bahkan terus arahkan pandang matanya pada rombongan Dayang Sepuh, si pemuda cepat berkelebat lalu tegak di bawah lobang. Tanpa menunggu lama lagi
Malaikat Berkabung segera melesat ke atas. Karena
tergesa-gesa dan menyangka sudah tidak ada orang lagi dia enak saja melesat.
Tapi tiba-tiba satu sosok bayangan besar meluncur
dari lobang di atas. Saling terkejutnya dan takut hantaman orang, Malaikat
Berkabung tak dapat kuasai diri. Hingga sosoknya limbung dan jatuh melayang lagi
ke bawah! Bukkkk! Sosok Malaikat Berkabung untuk kesekian kalinya
terjengkang di atas lantai.
"Ada apa, Anak Muda"!" Bertanya sosok besar yang
baru saja melayang turun dan kini telah tegak di
samping Dayang Sepuh. Dia adalah seorang kakek berambut putih disanggul tinggi bermata putih. Dia mengenakan pakaian gombrong warna hijau. Sosoknya
tambun besar. Pinggangnya dililit ikat pinggang besar yang pada bagian perutnya
terdapat cermin bulat.
Orang tua ini tidak lain adalah Gendeng Panuntun.
"Maaf.... Aku tidak berbuat apa-apa padamu! Kau
jatuh sendiri...," kata Gendeng Panuntun.
Malaikat Berkabung kancingkan mulut tidak menyahut. Sebaliknya cepat bangkit. Dan tanpa memandang pada orang dia melesat sekali lagi ke atas. Kali ini karena khawatir masih
ada orang, dia kerahkan segenap tenaga dalam yang dimiliki. Namun Malaikat Berkabung merasa lega, karena sampai sosoknya melewati
lobang, dia tidak menemui hadangan!
*** TUJUH BEGITU sosok Malaikat Berkabung lenyap di atas
lobang, Gendeng Panuntun balikkan tubuh menghadap ke arah Pendekar 131 di depan sana.
"Sahabat muda.... Masih ada yang harus kau kerjakan! Jangan lama-lama di tempat ini, meski terasa berat kau harus berpisah untuk sementara waktu!"
"Busyet! Dia tampaknya sudah tahu kalau aku berat meninggalkan Putri Kayangan apalagi setelah ini
mungkin tak bisa bertemu lagi!" Murid Pendeta Sinting membatin tahu arah
pembicaraan Gendeng Panuntun.
Tanpa sadar kepalanya berpaling pada Putri Kayangan.
"Bruss! Bruss! Berpisah dengan kekasih memang
berat.... Apalagi tidak ada kepastian kapan bisa berjumpa lagi! Brusss! Tapi adalah mengherankan kalau
seseorang harus tenggelam pada kesedihan hati padahal ada tugas penting di pundaknya demi kepentingan orang banyak!" Datuk Wahing sambungi ucapan
Gendeng Panuntun.
"Bukan saja mengherankan, tapi dia adalah setan
tolol kalau sampai mendahulukan cinta daripada kepentingan orang banyak yang tengah terancam!"
Dayang Sepuh sudah menyahut.
"Betul! Kerjaku akan sia-sia kalau akhirnya hanya
tergusur urusan cinta!" Dewi Ayu Lambada ikut ambil
suara. Dan iblis Ompong tak tinggal diam. Dia buka
mulut pula tanpa angkat kepalanya.
"Urusan cinta memang gampang-gampang susah!
Tapi kalau aku punya murid yang mendahulukan cinta
daripada tugas, akan kugebuk dia sampai terkencingkencing!" Mendengar ucapan-ucapan beberapa orang di tempat itu, Joko segera berkelebat ke depan. Lalu arahkan pandang matanya pada satu
persatu orang dan berkata. "Aku berterima kasih atas bantuan kalian semua!
Dan harap tidak khawatir atau salah duga. Aku tahu
apa yang harus kulakukan sekarang!"
Pendekar 131 putar diri, memandang pada Pitaloka,
Nyai Tandak Kembang, Kigali, dan terakhir pada Putri
Kayangan. Untuk beberapa saat dia pandangi si gadis
lalu tersenyum dan anggukkan kepala tanpa berkata
apa-apa. Saat lain murid Pendeta Sinting balikkan lagi tubuh, lalu berujar.
"Aku akan berangkat sekarang!"
Rombongan Dayang Sepuh tersenyum lalu sama
anggukkan kepala. Hanya Dewa Uuk yang kerutkan
dahi dengan kepala tetap diam karena tak mendengar
ucapan Joko. Namun tiba-tiba Joko urungkan niat berkelebat.
Sebaliknya balikkan tubuh lagi menghadap rombongan
Nyai Tandak Kembang. Kali ini pandang matanya bukannya mengarah pada Putri Kayangan, melainkan
pada Pitaloka. Putri Kayangan berdebar. Dia menduga-duga dengan gelisah. Joko tersenyum lalu angkat bicara.
"Pitaloka.... Kau tahu di mana manusia pemakai
Jubah Tanpa Jasad itu"!"
Putri Kayangan menarik napas lega. Pitaloka anggukkan kepala dan menjawab.
"Terakhir kali aku melihatnya di kaki Bukit Kalingga...." Pendekar 131 tersentak. "Bukit Kalingga.... Astaga!
Bukankah aku pernah bertemu Kiai Laras di sana..."
Apakah...." Joko tidak lanjutkan gumamannya. Sebaliknya cepat berbalik, lalu berkelebat. Dia berhenti sejenak di bawah lobang.
Memandang pada semua orang
di ruangan, lalu melesat dan lenyap di atas lobang.
Gendeng Panuntun kerjapkan sepasang matanya
yang putih. Lalu berkata.
"Nyai Tandak Kembang.... Aku sebagai wakil dari
sahabat-sahabat yang ada di sini minta maaf kalau selama ini bertindak kurang sopan padamu!"
"Ah.... Lupakan semua itu. Justru aku yang berterima kasih padamu serta sahabat-sahabat sekalian!"
sambut Nyai Tandak Kembang seraya anggukkan kepala menjura. "Setan! Aku tidak merasa bertindak kurang sopan
pada setan perempuan itu!" Dayang Sepuh bergumam
dengan cibirkan mulut.
"Aku pun merasa begitu!" Dewi Ayu Lambada menimpali gumaman Dayang Sepuh.
"Aku juga demikian!" Iblis Ompong ikut-ikutan bergumam. "Brusss! Brusss! Ah.... Mengherankan sekali. Apa
kalian tak tahu bahasa basa-basi"!" Datuk Wahing
mengingatkan. Dayang Sepuh sudah hendak angkat bicara menyahut. Namun Gendeng Panuntun mendahului buka mulut. Bukan sambuti gumaman beberapa orang di sampingnya, melainkan bicara seraya hadapkan wajah lurus ke arah Pitaloka.
"Gadis cantik.... Aku punya satu saran untukmu!
Sebaiknya kau turuti saran eyangmu Jangan perturutkan kata hati!"
Hem.... Apakah dia tahu rencanaku" Lalu mengapa
dia mencegahku"!" Pitaloka diam-diam berkata sendiri
dalam hati. Mungkin tak mau berpanjang lebar dan bisa-bisa Nyai Tandak Kembang menarik izinnya, Pitaloka buka suara menyahut.
"Terima kasih atas saranmu. Aku akan berusaha
melakukannya...."
"Brusss! Brusss! Rasa-rasanya aku ingat siapa kau
sekarang!" Datuk Wahing berkata seraya hadapkan
wajah dan memandang pada Kigali. "Tapi aku masih
ragu dan heran. Apakah benar penglihatanku ini?"
"Aku memang Kigali.... Apa kau hendak teruskan
ucapan usang, Galaga"!" Kigali berterus terang sambil menyebut nama asli Datuk
Wahing. Seperti diketahui, Kigali pernah menjadi orang kepercayaan Maladewa alias Setan Liang Makam pada
beberapa puluh tahun silam. Bahkan Kigali punya tugas untuk mencari sekaligus membunuh Galaga alias
Datuk Wahing. "Brusss! Jangan berkata mengherankan, Sahabat!
Aku tak ingin membangkitkan kisah lama. Malah aku
bersyukur bisa bertemu kau lagi...."
"Datuk.... Sudah saatnya kita pergi dari sini! Lagi
pula mereka masih punya pekerjaan...." Gendeng Panuntun berkata seraya menoleh pada Datuk Wahing.
Datuk Wahing berpaling pada rombongan Dayang
Sepuh. "Bruss! Brusss! Kalian juga sudah waktunya tinggalkan tempat ini! Walau bagaimanapun kita tidak bisa membiarkan seorang anak
pergi sendirian! Kita pergi
bersama-sama sekarang...."
"Nyai Tandak Kembang...,!" kata Gendeng Panuntun
lagi. "Kami harus pergi sekarang. Kelak mudahmudahan kita bisa bertemu lagi...."
Nyai Tandak Kembang anggukkan kepala. Gendeng
Panuntun balikkan tubuh lalu perlahan melangkah.
Datuk Wahing anggukkan kepala pada beberapa orang
di depan sana. Lalu putar diri dan melangkah mengikuti Gendeng Panuntun.
Dayang Sepuh, Dewi Ayu Lambada, Iblis Ompong,
dan Dewa Uuk saling pandang satu sama lain. Tanpa
ada yang buka suara keempatnya berbalik kecuali Iblis Ompong yang memang dari
tadi memunggungi beberapa orang di depan. Mereka berempat melangkah berjajar. Gendeng Panuntun membuka satu gerakan disusul Datuk Wahing. Sosok keduanya melenting lalu
lenyap keluar lobang.
Dayang Sepuh bergumam tak jelas. Lalu melesat
menyusul. Di belakangnya Dewi Ayu Lambada membuntuti yang tak lama kemudian diikuti Iblis Ompong.
Dewa Uuk adalah orang terakhir yang meninggalkan
ruangan bawah Lembah Patah Hati.
"Kita harus kuburkan dahulu bayi Pitaloka dan
Umbu Kakani, juga mayat Lingga Buana!" Nyai Tandak
Kembang berkata.
Kigali anggukkan kepala. Lalu serahkan bayi Pitaloka pada Nyai Tandak Kembang. "Pitaloka dan Putri
Kayangan biar membawa mayat Umbu Kakani. Aku
akan mengangkat mayat Lingga Buana. Meski mereka
berdua pada akhirnya harus bermusuhan, tapi pada
mulanya mereka berdua adalah sepasang kekasih. Tak
ada salahnya kalau mereka kita kuburkan berdampingan!" Kigali melangkah mendekati sosok mayat Lingga
Buana. Pitaloka dan Putri Kayangan mengangkat
mayat Umbu Kakani. Lalu mereka melangkah tanpa
ada lagi yang buka suara.
*** Kita tinggalkan dahulu rombongan Dayang Sepuh
dan rombongan Nyai Tandak Kembang. Juga kepergian
Pendekar 131. Kita kembali dahulu ke sebuah bukit di
sebelah timur sebuah hutan.
Saat itu matahari baru saja menapak dari bentangan kaki langit sebelah timur. Cahayanya menerabas
sela dedaunan jajaran pohon di sebuah kaki bukit di
mana terlihat satu sosok tubuh tengah duduk bersila
di bawah pohon besar dengan punggung bersandar
pada batangan pohon.
Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut berambut putih agak panjang. Mengenakan pakaian warna
putih. Di pangkuan orang tua ini tampak sebuah jubah hitam yang dipegang erat-erat seolah takut jubah
hitam itu terbang terbawa angin. Padahal saat itu angin berhambus semilir dan tak mungkin mampu menerbangkan jubah hitam di pangkuan orang.
Orang tua ini sesekali arahkan pandang matanya ke
satu jurusan jalan menuju arah bukit di mana dia kini berada. Dari sikapnya
jelas orang tua ini tengah menanti seseorang.
"Hem.... Ke mana keparat-keparat itu pergi"! Seharusnya mereka sudah datang ke tempat ini! Apa mereka mendapat halangan atau barangkali mampus"!" Si
orang tua di bawah pohon bergumam sendiri.
"Aneh.... Sudah hampir satu purnama lebih aku tak
mendengar kabar berita tentang Pendekar 131 dan teman-temannya! Ke mana mereka"! Pitaloka juga tak
ada beritanya! Hem.... Gadis itu menggairahkan! Seandainya dia tidak pergi meloloskan diri dari tanganku, tentu malam-malamku tak


Joko Sableng 29 Tumbal Pusar Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan merasa kedinginan
lagi! Pitaloka.... Hem...." Si orang tua sunggingkan senyum. Di sepasang matanya
tiba-tiba terpampang seorang gadis muda berparas cantik mengenakan pakaian
warna merah. Saat itulah tiba-tiba entah dari mana sumbernya
terdengar suara.
"Siapa pun kau adanya. Kelak kau akan mengambil
buah dari perbuatanmu! Kau boleh punya Kembang
Darah Setan dan Jubah Tanpa Jasad. Tapi Sang Pencipta akan menciptakan pamungkasnya! Dan pamungkas itu akan hadir dari darah dagingmu sendiri!"
Suara itu menggema ke seantero kaki bukit. Anehnya suara itu laksana diperdengarkan dari tempat
yang sangat jauh dan dalam!
Si orang tua di bawah pohon tersentak. Dia sentakkan kepalanya berputar. Namun dia tidak melihat siapa-siapa! "Kala Marica! Itu suara Kala Marica!" gumam si
orang tua. "Bagaimana ini bisa terjadi! Sudah dua kali ini dia perdengarkan
suara! Apa dia belum tewas"!"
Seolah untuk yakinkan diri, si orang tua kembali putar pandangan berkeliling.
Namun sampai matanya lelah
memandang, dia tidak juga melibat adanya orang lain
di tempat itu. "Keparat! Mungkin ini hanya tipuan telingaku saja!"
sentak si orang tua. "Lagi pula apa yang perlu ditakutkan! Kembang Darah Setan dan Jubah Tanpa Jasad berada di tanganku!"
Entah karena apa, meski dia tadi percaya suara
yang baru didengar adalah tipuan telinganya, si orang tua ini tengadahkan kepala
lalu berteriak.
"Kala Marica! Kalau kau bukan manusia pengecut,
mengapa tidak berani unjuk tampang"! Dan jangan
mimpi kau bisa menggertak Kiai Laras! Keluarlah dari
tempatmu dan perlihatkan nama besarmu!"
Si orang tua yang tidak lain adalah Kiai Laras putar
pandangan sekali lagi. Namun sejauh ini dia lagi-lagi tidak melihat siapa-siapa.
Bahkan dia juga tidak mendengar suara sahutan!
"Ah.... Mengapa aku tolol turuti tipuan telinga"!"
Kiai Laras akhirnya sadar akan tindakannya meski dadanya terus dibuncah perasaan tidak enak.
Seperti diketahui, Kiai Laras dengan muslihatnya
sendiri akhirnya dapat menguasai Kembang Darah Setan serta Jubah Tanpa Jasad. Pada satu saat, dia terlibat bentrok dengan seorang
tokoh tua yang dikenal dalam kalangan rimba persilatan berilmu sangat tinggi
dan punya ilmu langka. Dia adalah Kala Marica. Sebenarnya Kala Marica tidak mau meladeni Kiai Laras.
Namun Kiai Laras tak ambil peduli. Pada akhirnya Kiai Laras berhasil melukai
Kala Marica dan bahkan me-nendangnya masuk ke dalam jurang. Saat sosok Kala
Marica amblas masuk ke dalam jurang itulah, Kala
Marica sempat berucap seperti kata-kata yang didengar oleh Kiai Laras yang sedang termenung sendiri.
(Lebih jelasnya tentang Kala Marica silakan baca serial Joko Sableng dalam
episode : "Kutuk Sang Angkara").
Kiai Laras bergerak bangkit. Saat itulah sepasang
matanya menangkap satu bayangan berkelebat menuju arah bukit. "Hem.... Tampaknya dia datang membawa tangan
hampa!" desis Kiai Laras lalu kenakan jubah hitam
yang tadi diletakkan di atas pangkuannya.
Begitu jubah hitam telah terpakai, mendadak sosok
Kiai Laras raib tidak kelihatan! Yang terlihat sekarang hanyalah jubah hitam
yang terapung di atas udara di
bawah pohon. Inilah satu petunjuk kalau jubah hitam
yang dikenakan Kiai Laras adalah Jubah Tanpa Jasad.
Jubah peninggalan leluhur dari Kampung Setan. Jubah yang akan membuat sosok pemakainya tidak bisa
ditangkap dengan pandangan mata biasa.
Kiai Laras yang sosoknya tidak kelihatan lagi membuat satu kali gerakan. Jubah Tanpa Jasad bergerak
dan tahu-tahu telah berada di antara lebatnya rimbun
dedaunan pohon di mana tadi Kiai Laras duduk bersandar. Begitu sosok Kiai Laras lenyap dari bagian bawah
pohon, satu sosok tubuh berkelebat dan tegak sepuluh
langkah dari pohon di mana Kiai Laras berada. Orang
ini lirikan ekor matanya ke seantero tempat itu.
"Dia cepat sekali lenyap...," gumam orang yang baru
muncul. "Mengapa dia sembunyikan diri" Bukankah
aku datang untuk menemuinya dan dia menungguku"!"
Baru saja orang menggumam, Kiai Laras melayang
turun dan berdiri delapan tindak di hadapan orang.
"Kau tahu apa yang seharusnya kau katakan!" Kiai
Laras sudah buka suara.
*** DELAPAN ORANG di hadapan Kiai Laras terdiam beberapa lama. Dia adalah seorang laki-laki yang paras wajahnya
tidak mudah dikenali. Selain angker, laki-laki ini
punya raut muka sedikit aneh. Karena raut itu hanya
terdiri dari kerangka tanpa daging! Dan ternyata bukan hanya wajahnya saja yang tidak disamaki daging.
Sekujur tubuhnya pun hanya merupakan susu-nan
kerangka! Sepasang matanya besar berputar liar di dalam cekungan kerangka mata yang menjorok dalam.
Laki-laki ini tidak lain adalah Maladewa. Generasi
terakhir dari kerabat penghuni Kampung setan. Seperti diketahui, karena terburuburu dan marah pada ne-neknya si Nyai Suri Agung, Maladewa akhirnya meminta semua warisan leluhur Kampung Setan. Maladewa tidak hiraukan lagi nasihat Nyai Suri Agung.
Hingga pada akhirnya si nenek memberikan Kembang
Darah Setan, salah satu senjata mustika dari leluhur
Kampung Setan. Dengan Kembang Darah Setan di tangannya, Maladewa mulai merambah rimba persilatan, bahkan dia
berniat pula menghabisi Nyai Suri Agung dan Galaga,
saudara seperguruannya dari orang di luar kerabat
Kampung Setan. Untuk memenuhi niatannya, Maladewa bersekutu
dengan beberapa orang. Dua di antara orang kepercayaannya adalah Kigali dan Dadaka. Kedua orang ini
malah diberi tugas khusus untuk memburu Nyai Suri
Agung dan Galaga. Namun kedua orang ini gagal. Bahkan dengan muslihatnya, kedua orang kepercayaan
Maladewa ini bisa menjerumuskan Maladewa ke dalam
makam batu di Kampung Setan.
Maladewa harus menunggu selama tiga puluh enam
tahun kemudian untuk bisa keluar dari makam batu.
Tapi dia juga akhirnya harus merelakan Kembang Darah Setan lepas dari tangannya karena itulah satusatunya syarat. Begitu keluar dari makam batu, sosok
Maladewa telah berubah. Tiga puluh enam tahun dikurung di dalam makam batu membuat daging sekujur
tubuhnya mengelupas hingga tinggal kerangka. Saat
Maladewa keluar itulah dia menggelari diri dengan sebutan Setan Liang Makam.
Perjalanannya setelah mendekam dalam makam batu ternyata tidak lagi mulus, la harus berhadapan dengan beberapa tokoh yang
tiba-tiba muncul begitu tersiar kembali tentang senjata mustika Kembang Darah
Setan. Hingga sampai tertipu oleh muslihat Kiai Laras yang pada akhirnya Kiai
Laras-lah yang berhasil mendapatkan Jubah Tanpa Jasad, senjata mustika satunya lagi milik leluhur Kampung Setan.
Namun Setan Liang Makam tidak putus asa. Dia
bertekad merebut kembali dua pusaka Kampung Setan
yang telah jatuh ke tangan orang lain. Tapi tanpa senjata mustika di tangan,
Setan Liang Makam tidak bisa
berbuat banyak. Hingga sampai dia sendiri harus menjadi orang suruhan Kiai Laras!
"Setan Liang Makam!" Kiai Laras membentak ketika
Setan Liang Makam alias Maladewa tidak segera buka
mulut. "Jangan buat kesabaran hatiku pupus dan aku
berubah pikiran! Lekas katakan apa yang kau bawa
padaku!" Setan Liang Makam gelengkan kepala. "Aku sudah
menjelajah mencari Pendekar 131 dan beberapa temannya. Namun mereka tiba-tiba tak ada kabar beritanya pergi entah ke mana!"
"Hem.... Aku juga merasa heran! Keparat-keparat
itu lenyap begitu saja! Perturutkan hati rasanya ingin aku menghabisi manusia
setan itu! Tapi... walau bagaimana tenaganya masih kubutuhkan! Apalagi aku harus menyelidik ke mana keparat-keparat itu sembunyikan diri!" kata Kiai Laras dalam hati. Lalu bertanya.
"Selama perjalanan, apa kau sempat bertemu dengan gadis baju merah itu"!"
Setan Liang Makam geleng kepala. Sepasang matanya terus perhatikan Jubah Tanpa Jasad yang mengapung di udara karena sosok Kiai Laras tidak kelihatan.
"Hem.... Rasanya sulit merebut Jubah Tanpa Jasad
dan Kembang Darah Setan dari jahanam ini! Tapi aku
tetap menunggu! Satu saat pasti dia akan lengah!" Setan Liang Makam diam-diam juga membatin.
"Aku tahu bagaimana memancing keparat-keparat
itu tunjuk diri lagi!" gumam Kiai Laras pada akhirnya setelah berpikir beberapa
saat. "Setan Liang Makam! Seharusnya kau tidak pantas
hidup lagi karena kegagalanmu ini! Tapi kesetiaanmu
membuat pikiranku berubah! Kau kini kuangkat sebagai wakilku dan sebentar lagi kita akan melakukan pekerjaan besar! Kita akan bangun kembali kejayaan
Kampung Setan. Jalan pertama yang harus kita tempuh adalah mengubur semua tokoh rimba persilatan!"
Ucapan Kiai Laras membuat Setan Liang Makam
melonjak girang dalam hati. "Aku akan berada di belakangmu! Dan siap membantu sampai titik darah penghabisan!" Walau berucap begitu, sebenarnya lain dengan apa
yang terucap dalam hati. "Ini kesempatan baik! Kesempatanku makin terbuka lebar! Dan tak lama lagi
Kembang Darah Setan serta Jubah Tanpa Jasad akan
kembali ke tanganku!"
Kiai Laras manggut-manggut. Lalu berujar. "Aku tak
butuh ucapan kesetiaan, Setan Liang Makam! Tapi begitu aku tahu kau berkhianat, aku akan membunuhmu dua kali! Kau dengar itu"!"
Setan Liang Makam tersenyum dingin dengan anggukkan kepala. "Dan ingat. Jangan bantah apa yang
kuperintahkan padamu!" Kiai Laras sambungi ucapannya. Lalu balikkan tubuh. Jubah Tanpa Jasad berputar. "Sekarang pekerjaan itu kita mulai!"
Habis berkata begitu, Kiai Laras berkelebat mengitari bukit lewat sebelah timur. Tanpa banyak pikir Setan Liang Makam berkelebat
mengikuti di belakang.
Kiai Laras hentikan langkah di depan sebuah lobang
batu berbentuk goa. Dia menoleh sesaat pada Setan
Liang Makam. Lalu melompat dan masuk ke dalam
goa. Setan Uang Makam terus mengikuti tanpa buka
suara. Begitu berada di dalam ruangan goa, Kiai Laras cepat menuju pojok ruangan di mana terdapat tumpukan kayu arang bekas perapian. Setan Liang Makam
tak tahu apa yang dilakukan Kiai Laras. Yang terlihat olehnya adalah gerakan
pada tumpukan kayu perapian. Saat lain terdengar suara berderit.
Setan Liang Makam pentangkan mata memandang
ke pojok ruangan dari mana sumber suara deritan terdengar. Ternyata bagian pojok ruangan goa membuka
Naga Beracun 5 Pusaka Rimba Hijau Karya Tse Yung Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 3

Cari Blog Ini