Pendekar Bodoh 6 Muslihat Sang Durjana Bagian 1
Hak cipta dan copy right
pada penerbit di bawah lindungan
undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1 PADANG Angin Malaikat...
Hanya orang gila atau orang yang sudah bosan
hidup, berani menginjakkan kaki di tanah luas berpasir yang senantiasa siap
merenggut nyawa siapa pun
itu. Tiupan angin kencang tiada henti menerbangkan
butiran pasir ke sana-sini. Butiran pasir itu sudah cukup mampu untuk membeset
kulit dan membutakan
mata. Suara gemuruh yang ditimbulkan sudah cukup
mampu pula untuk memecahkan gendang telinga. Keganasan Padang Angin Malaikat
yang tak pernah mau
bersahabat dengan makhluk hidup, masih ditambah
lagi dengan seringnya muncul putaran angin puting
beliung. Apabila putaran angin ganas itu muncul, bongkah batu sebesar gajah pun akan
terbawa melayang
berputar-putar lalu terlontar jauh. Begitu mendarat di
tanah, bongkah batu itu akan langsung pecah berkeping-keping. Apalagi, tubuh
manusia yang cuma terdiri
dari susunan tulang dan daging empuk!
Namun anehnya, di tengah Padang Angin Malaikat yang sedang tersiram sinar
mentari pagi, tampak
sebentuk kepala manusia yang tak bergeming sedikit
pun walau angin bertiup amat kencang. Tubuh bagian
bawah orang itu menancap ke dalam tanah sampai sebatas leher. Rambutnya riapriapan dan selalu berkibar karena dipermainkan tiupan angin.
Dia seorang lelaki berusia sekitar enam puluh
tahun. Tapi..., wajahnya yang sudah keriputan sesekali
berubah menjadi wajah seorang pemuda dua puluh lima tahunan. Sesekali pula,
berubah menjadi wajah
seorang gadis cantik!
Melihat kehebatan lelaki yang bisa berubahubah itu, siapa lagi dia kalau bukan
Mahisa Lodra atau Setan Selaksa Wajah!
Dan agaknya, dalam menjalani siksa yang amat
menyakitkan itu, salah satu ilmu Mahisa Lodra yang
bernama 'Selaksa Wajah Berganti-ganti' bekerja tanpa
disadarinya. Mahisa Lodra sendiri tak tahu kalau wajahnya senantiasa berubahubah. Ketika wajah lelaki itu berubah menjadi wajah
aslinya, wajah seorang kakek-kakek enam puluh tahunan, mendadak kelopak matanya
terbuka. Dengan
sinar mata nyalang, ditatapnya sang baskara yang baru terbit di ufuk timur.
Diedarkannya pandangan ke
depan. Badai terus mengganas di Padang Angin Malaikat yang luas seakan tiada
bertepi.... Setan Selaksa Wajah sama sekali tak takut butiran pasir yang beterbangan akan
membutakan matanya. Dia terus mengedarkan pandangan dan terus
mengedarkan pandangan....
"Jahanam kau, Banyak Langkir!" geram murid
murtad Dewa Dungu itu. "Kau siksa aku seperti ini...,
kau buat aku menderita seperti ini..., apa kau lupa
bahwa aku pernah menanam budi baik kepadamu" Di
antara kita pernah terjalin tali persahabatan..., kenapa
kau lupakan persahabatan itu" Berkali-kali kau memperlakukan aku sebagai
budakmu! Berkali-kali kau
berbuat sewenang-wenang terhadapku! Namun..., perbuatanmu kali ini benar-benar
amat kelewatan! Binatang laknat kau, Banyak Langkir! Kalau kau tidak segera
membebaskan aku, seribu setan akan mencabikcabik tubuhmu! Kalau aku mati karena
siksa ini, rohku yang penasaran akan terus mengejarmu ke mana
pun kau pergi!"
Saat mengumpat dan berteriak, butiran pasir
yang berada di hadapan Setan Selaksa Wajah tampak
menyembur ke depan, lalu berhamburan karena tertiup angin yang muncul dari mulut
si kakek. Agaknya,
Setan Selaksa Wajah menyertai ucapannya dengan aliran tenaga dalam.
Namun..., rentetan kata kakek berambut riapriapan itu segera lenyap tertelan
suara gemuruh angin
yang terus bertiup di Padang Angin Malaikat. Tak ada
orang lain yang muncul. Justru dari belakang Setan
Selaksa Wajah tampak putaran angin puling beliung!
Wesss "Wuahhh...!"
Memekik parau Setan Selaksa Wajah. Kepalanya yang menyembul ke permukaan tanah
terasa amat pening luar biasa, bagai terhantam palu godam.
Putaran angin puting beliung yang menimpa, memelintir lehernya. Andai kakek itu
tidak mempunyai kekuatan tenaga dalam tingkat tinggi, dapat dipastikan bila
lehernya akan putus, dan kepalanya akan terbawa putaran angin puting beliung!
"Setan alas kau, Banyak Langkirrr...!" teriak Setan Selaksa Wajah, keras
menggelegar. Kakek itu berusaha menahan rasa sakit yang
mendera kepala dan sekujur tubuhnya. Dia melampiaskan kekesalan dan hawa
amarahnya dengan berteriak mengumpat-umpat. Sumpah serapah dan katakata kotor
segera tertumpah dari mulutnya.
Namun, sosok Banyak Langkir atau Raja Penyasar Sukma tetap tak muncul. Maka,
semakin memuncaklah amarah Setan Selaksa Wajah. Darahnya
menggelegak naik sampai ke ubun-ubun. Hingga, air
mukanya menjadi merah-padam.
Tanpa sadar, dia mengeluarkan ilmu 'Selaksa
Wajah Berganti-ganti'. Akibatnya, sebentar dia berwajah kakek-kakek, sebentar dia berwajah pemuda tampan, lalu berwajah gadis
cantik, kemudian menjadi kakek-kakek lagi! Seiring berlalunya waktu, wajah murid
murtad Dewa Dungu itu terus berganti dan berubahubah tiada henti...
"Jahanam kau, Banyak Langkirrr...!" geram Setan Selaksa Wajah untuk kesekian
kalinya. "Jika aku
benar-benar akan mati karena siksa ini aku bersumpah..., rohku yang penasaran
akan terus mengejarmu
ke mana pun kau pergi! Rohku tak akan pernah puas
sebelum mencongkel keluar kedua biji matamu! Rohku
tak akan pernah tenang sebelum bisa membetot jantungmu! Rohku akan terus
penasaran sebelum bisa
mencabik-cabik tubuhmu! Aku bersumpah...! Aku bersumpah...! Semoga selaksa setan
dan iblis mau membantuku mewujudkan sumpahku ini! Keparat kau,
Banyak Langkirrr...!"
Sambil berteriak-teriak, Setan Selaksa Wajah
menghimpun seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Kedua tangan dan kakinya yang
berada di dalam tanah
berusaha digerakkan. Dia hendak keluar dari tanah
berpasir yang menimbun tubuhnya. Tapi..., tenaga dalamnya seperti membentur satu
kekuatan gaib mana
dahsyat yang tak dapat dilawan. Kedua tangan dan
kakinya tak dapat digerakkan. Itu berarti, tubuhnya
pun tak dapat dikeluarkan dari dalam tanah!
Sementara, tiupan angin kencang terus menghajar kepala Setan Selaksa Wajah yang
menyembul ke permukaan tanah. Angin puting beliung yang beberapa
kali muncul turut menghajar pula! Walau si kakek
memiliki daya tahan tubuh yang kuat luar biasa, tapi
kalau didera rasa sakit terus-terusan, maka semakin
melemahlah daya tahannya.
Hingga di lain kejap, butiran pasir mulai menancap di kulit wajah kakek itu. Titik-titik darah keluar lewat lubang-lubang
yang terbentuk.
Tentu saja, rasa sakit semakin menyiksa. Perih... pedih tiada terkira!
Perlahan..., kesadaran Setan
Selaksa Wajah mulai lenyap. Kepalanya yang semula
tegak, kini tampak jatuh tertunduk tiada daya....
Gemuruh suara angin terus terdengar.
Gendang telinga pekak terhajar....
*** Di bagian lain Padang Angin Malaikat.... Di sela-sela tiupan angin kencang yang
menerbangkan butiran pasir, terlihat gumpalan cahaya kuning yang terus
melayang dan berputar-putar di angkasa. Setiap gumpalan cahaya yang amat
menyilaukan mata itu melesat
berpindah tempat, timbul suara berdesing keras seperti suara puluhan pedang yang
disabetkan bersamaan.
Bongkah-bongkah batu yang dilontarkan putaran angin puting beliung langsung
meledak hancur saat mendekati gumpalan cahaya kuning itu. Hingga
suara gemuruh angin di Padang Angin Malaikat kerap
ditimpali suara ledakan keras. Bongkah-bongkah batu
yang telah pecah menebar ke berbagai penjuru. Namun, tak jarang di antara
bongkah-bongkah batu yang
membentur gumpalan cahaya kuning hancur luluh
menjadi debu yang kemudian lenyap begitu saja terbawa tiupan angin!
Tiba-tiba..., gumpalan cahaya kuning yang
mempunyai daya penghancur dahsyat itu melesat cepat ke timur, menuju ke tempat
Mahisa Lodra yang sedang menjalani siksa. Kalau bongkah batu yang amat
keras saja bisa hancur menjadi debu, bisa dibayangkan akibat yang akan diterima
Setan Selaksa Wajah
apabila gumpalan cahaya kuning itu menerpa kepala si
kakek.... Wusss...! Werrr...! Lesatan cahaya kuning ternyata berhenti sekitar lima tombak dari hadapan Setan
Selaksa Wajah. Sementara, Setan Selaksa Wajah yang mendengar suara lesatan benda aneh cuma
membuka sedikit kelopak
matanya. Namun, wajah si kakek yang kebetulan sedang berupa wajah seorang pemuda
dua puluh lima tahunan langsung menegang. Jelas sekali bila dia tengah menyimpan geram
kemarahan di hati. Dengan kelopak mata yang sedikit terbuka, rahang si kakek
tampak menggembung hingga berbentuk balok persegi.
Dari mulutnya keluar suara desis keras yang merupakan wujud kemarahannya. Kulit
wajahnya yang telah
ternoda cairan darah terlihat sangat mengerikan!
"Setan alas kau, Banyak Langkirrr...!" umpat
Setan Selaksa Wajah kemudian, keras menggelegar.
Umpatan kakek yang sudah tak berdaya itu
tersahuti suara dengus penasaran. Tepatnya berasal
dari gumpalan cahaya kuning.
Sesaat kemudian, gumpalan cahaya yang mengambang di udara itu berputar di
tempat. Putarannya
amat cepat. Selain memperdengarkan suara gemuruh
keras, juga menimbulkan tiupan angin kencang.
Memekik parau Setan Selaksa Wajah. Anakanak rambutnya yang berkibar terasa
hendak mengelupas kulit kepalanya. Kulit wajahnya pun terasa semakin perih bagai
diiris-iris sebilah pisau tajam!
"Jahanam kau, Banyak Langkirrr...!" teriak Setan Selaksa Wajah untuk kesekian
kalinya. "Lepaskan
aku! Lepaskan aku, keparattt...!"
Tepat di ujung suara teriakan Setan Selaksa
Wajah, mendadak putaran cahaya kuning berhenti. Lalu, gumpalan cahaya itu
bergerak ke bawah..., dan
langsung lenyap manakala menyentuh permukaan tanah!
Namun sebagai gantinya, di tempat mendaratnya gumpalan cahaya itu muncul sesosok
tubuh manusia! Anehnya, badai yang tengah melanda Padang
Angin Malaikat reda perlahan-lahan, hingga akhirnya
suasana menjadi sunyi lengang. Angin hanya bertiup
semilir. Butiran pasir pun tak lagi beterbangan.
Bola mata Setan Selaksa Wajah melotot besar,
menatap sosok manusia yang berada di hadapannya
dengan segudang dendam kemarahan meluap-luap....
Sosok manusia yang baru muncul itu ternyata
seorang kakek berpakaian serba kuning. Kulit wajah
dan tubuhnya berwarna kuning pula seperti dilumuri
air perasan kunyit. Demikian juga dengan rambutnya.
Hebatnya, lelaki tua itu tengah duduk bersila di atas
lempengan batu pipih yang terus mengambang di udara!
Dia Banyak Langkir atau Raja Penyasar Sukma!
"Hmmm.... Berkali-kali kau mengumpat dan
meneriaki ku dengan sumpah serapah mu. Mestinya
sekarang ini juga aku harus memecahkan batok kepalamu, Mahisa Lodra...," ujar
Raja Penyasar Sukma
dengan suara berat menggeram, menyimpan kemarahan pula.
"Bedebah!" semprot Setan Selaksa Wajah. "Kalau berani kau melakukan itu, rohku
yang penasaran akan membalas semua perbuatan kejimu ini!"
"Ha ha ha...!" Raja Penyasar Sukma tertawa
bergelak-gelak. Lempengan batu yang didudukinya
bergerak turun-naik. "Siapa takut pada ancamanmu
itu, Mahisa Lodra" Kalau aku berniat membunuh
orang, tak pernah aku berpikir apa pun akibatnya!
Namun..., hmmm... aku masih mau mengampuni nyawamu...."
"Jahanam! Andai benar apa yang kau katakan,
cepatlah kau keluarkan aku dari siksa ini!"
"Ha ha ha...!" Raja Penyasar Sukma tertawa lagi. "Sabar! Sabar dulu, Mahisa
Lodra! Siksa yang tengah kau rasakan ini sebenarnya amat pantas kau terima!
Karena, kau benar-benar telah mengecewakan
aku! Kodok Wasiat Dewa gagal kau serahkan kepadaku! Entah berada di tangan siapa
benda ajaib itu sekarang...."
"Jangan banyak mulut, Keparat! Segera keluarkan aku!" desak Setan Selaksa Wajah.
"Sabar! Sabar dulu, Mahisa Lodra! Aku tahu
kau telah mencuri batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' milikku. Aku
tahu kini batu mustika
itu berada di tangan Pendekar Bodoh! Dan..., tahukah
kau, Mahisa Lodra, bocah geblek itu telah masuk ke
Lembah Rongga Laut?"
Setan Selaksa Wajah terdiam. Mendengar ucapan Raja Penyasar Sukma, tiba-tiba
hatinya berdebardebar tak karuan. Debar-debar itu mampu mengalahkan rasa sakit
yang tengah menderanya.
"Ketahuilah, Mahisa Lodra...," lanjut Raja Penyasar Sukma. "Pendekar Bodoh bukan
saja berhasil menyelamatkan Kemuning yang kau sekap di Lembah
Rongga Laut, bocah geblek itu juga berhasil membawa
pergi Setan Bodong! Bahkan, ilmu kesaktian guruku
itu dapat pula dia kembalikan...! Semua ini karena kesalahanmu, Mahisa
Lodra...!"
Kulit wajah Raja Penyasar Sukma semakin
menguning. Bola matanya menatap berapi-api. Bahunya naik-turun terbawa desakan hawa amarah di
dada.
Pendekar Bodoh 6 Muslihat Sang Durjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kontan debar-debar di hati Setan Selaksa Wajah semakin terasa. Dia tak berani
membayangkan apabila Raja Penyasar Sukma benar-benar akan memecahkan batok kepalanya. Hingga
untuk beberapa lama, Setan Selaksa Wajah yang didera rasa takut cuma dapat memejamkan mata
dengan mulut terkunci
rapat. Geram kemarahannya sudah tak terlihat lagi.
Semua kata-kata kotor dan sumpah serapahnya tak
terdengar pula.
"Mahisa Lodra...!" sebut Raja Penyasar Sukma
kemudian. "Buka matamu lebar-lebar! Buka akal pikiranmu baik-baik! Melihat
kesalahanmu yang demikian
besar, hukuman yang kujatuhkan ini amatlah pantas
kau terima! Bahkan, mestinya aku membiarkan dirimu
berada di tempat ini sampai mati! Tapi..., kupikir jika
aku membunuhmu, tak ada manfaat apa-apa yang
kudapatkan. Oleh karena itu, aku masih mau memberikan kesempatan. Biarlah kali
ini kau kuampuni. Tapi..., dengan satu syarat! Buka telingamu lebar-lebar.
Mahisa Lodra! Setelah kau kubebaskan, bunuh Pendekar Bodoh dan Setan Bodong!
Tiga hari lagi, aku menantimu di tempat ini. Kau jangan lagi mengecewakan
aku! Kau harus datang dengan membawa kepala mereka!"
Usai berkata, Raja Penyasar Sukma meluruskan telunjuk jari tangan kanannya ke
bawah. Selarik sinar kuning tiba-tiba melesat!
Cusss...! Setan Selaksa Wajah memejamkan mata penuh
rasa takut dan ngeri. Dia menyangka Raja Penyasar
Sukma hendak memecahkan batok kepalanya.
Ternyata tidak. Selarik sinar kuning yang melesat dari ujung jari telunjuk Raja Penyasar Sukma cuma menerpa permukaan tanah di
depan kepala Setan
Selaksa Wajah. Dan tiba-tiba, dari dalam tanah terdengar suara mendesis keras
seperti ada ratusan ular
yang tengah meleletkan lidah....
"Astaga...!" kejut Setan Selaksa Wajah. Kakek
berwajah seorang pemuda itu merasakan tubuhnya terangkat. Permukaan tanah
terkuak, dan muncullah
tubuh si kakek yang semula terbenam sebatas leher....
Satu pemandangan mengerikan segera terlihat.
Ternyata, tubuh Setan Selaksa Wajah berada di dalam
mulut seekor binatang raksasa bertubuh panjang tak
berkaki. Binatang melata yang besar tubuhnya melebihi
batang pohon kelapa itu berkulit putih kemerahan dan
dilapisi lendir. Rupanya, dia seekor cacing raksasa!
Swosss...! "Wuahhh...!"
Setan Selaksa Wajah memekik panjang saat tubuhnya disemburkan keluar dari mulut
cacing raksasa. Dan, ketika tubuh si kakek jatuh bergulingan, cacing raksasa itu
bergerak cepat, masuk kembali ke tanah!
"Aku selamat! Aku selamat!" seru Setan Selaksa
Wajah, girang bukan main.
Murid murtad Dewa Dungu itu mengedarkan
pandangan ke segenap penjuru. Namun, sosok Raja
Penyasar Sukma sudah tak tampak lagi.
Tersentak Setan Selaksa Wajah manakala mendengar bisikan Raja Penyasar Sukma
yang dikirim dengan menggunakan ilmu pengirim suara dari jarak
jauh.... "Ingat, Mahisa Lodra! Jangan buat kesalahan
lagi! Kau hanya punya waktu tiga hari! Bawa kepala
Pendekar Bodoh dan Setan Bodong ke hadapanku!"
Setan Selaksa Wajah mendesah panjang.
Tugas teramat berat datang menghadang....
*** 2 SEJAK langit baru tercipta.
Dan, bumi baru terbentuk.
Manusia tak pernah berhenti
Membuka mata dan hati
Lebih lebar....
Namun, rahasia alam tak pernah dapat terkuak
Rahasia Tuhan tak pernah dapat terjangkau
Oleh akal pikiran manusia...
Memang.... Ada banyak kejadian yang tak pernah bisa dimengerti manusia
Sering kali kekuasaan dan segala hiasan dunia
Membuat manusia lupa
Pada kodratnya sebagai manusia
Lupa diri dan berlaku seenaknya
Bukan cermin hidup manusia di dunia
Kesenangan adalah awal dari kesusahan
Kebahagiaan adalah awal dari penderitaan
Tuhan menciptakan dua 'teman' bagi hidup manusia
Di dunia Orang hidup pasti mati
Ada budi, ada balas
Maka, manusia mesti pandai-pandai membawa
diri kau Walau rahasia alam tak pernah dapat terkuak
Walau rahasia Tuhan tak pernah dapat terjangSetiap perbuatan pasti ada akibat
dan balasan Yang baik akan menerima pahala
Yang jahat akan menerima dosa
Dan.... Salah satu dosa besar adalah....
Durhaka kepada orangtua
Pemuda remaja berpakaian biru-biru itu terkesiap. Dengan kening berkerut rapat,
dia mengedarkan
pandangan. Kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri. Lalu, dia cengar-cengir
penuh rasa kecewa. Sosok
orang yang dicarinya tak dapat ditemukan.
"Hmmm.... Jelas sekali bila kata-kata terakhir
dari syair tadi sengaja menyindir diriku...," pikir si pemuda. "Apakah si
pelantun syair itu tahu kalau aku
akan membuat perhitungan dengan ayah kandungku
sendiri?" Saat berpikir-pikir, wajah tampan pemuda tinggi tegap itu jadi tampak kebodohbodohan. Sinar kejujuran dan keluguan semakin terpancar dari sorot matanya.
Dia cengar-cengir lagi. Sambil terus mengedarkan pandangan, kakinya terayun.
Dimasukinya Hutan
Saradan yang sunyi lengang. Disibaknya semak belukar yang menghadang. Dia yakin
bila orang yang tengah dicarinya berada di antara jajaran pohon jati di dalam
hutan itu. "He, Ksatria Seribu Syair...!" teriak si pemuda
yang tak lain Seno Prasetyo atau Pendekar Bodoh.
"Ksatria Seribu Syair...! Kenapa kau lari setelah melihat diriku"! Aku jadi
semakin yakin bila kau memang
seorang pengecut! Keluarlah! Ada satu urusan yang
harus segera kuselesaikan denganmu!"
Teriakan pemuda berambut panjang tergerai itu
membahana panjang. Satwa-satwa hutan tersentak
kaget. Mereka langsung lari berserabutan karena gendang telinga mereka terasa
pekak. Agaknya, Pendekar
Bodoh menyertai teriakannya dengan aliran tenaga dalam.
Namun, teriakan pemuda lugu itu cuma tersahuti lambaian daun jati yang tertiup
angin. Tak ada orang lain yang muncul.
Kembali Seno mengayunkan langkah. Terus
dimasukinya Hutan Saradan yang cukup luas. Dia tetap yakin bila orang yang
tengah dicarinya berada di
dalam hutan itu. Tapi..., belum seberapa jauh kakinya
melangkah, lamat-lamat terdengar sebuah syair lagi....
Bila orang terlalu menuruti isi hati
Tanpa berpikir untung dan ruginya
Apa akibatnya yang akan didapat"
Tak lebih dari penyesalan di kelak hari
Berpikir sebelum bertindak
Adalah salah satu ciri orang bijaksana
Hati-hati dalam bersikap
Patut dikerjakan setiap manusia
Waspada di setiap tempat
Akan banyak mendatangkan manfaat
Karena tak sabaran, bergegas Seno mengempos
tenaga. Dikerahkannya ilmu peringan tubuh 'Lesatan
Angin Meniup Dingin' ajaran Dewa Dungu.
Hingga, tubuh pemuda remaja itu berubah
menjadi segumpal asap yang melesat cepat di antara
jajaran pohon jati. Tiupan angin yang ditimbulkan
membuat sulur-sulur semak belukar tercabut dari dalam tanah, lalu melayang
berhamburan ke kanan-kiri.
Seno baru menghentikan lesatan tubuhnya setelah sampai di sebidang tanah cukup
luas. Dua batang pohon jati kering tampak tergeletak di tanah.
Dan..., di salah satu batang pohon jati yang tumbang
karena tiupan badai itu, Seno melihat seorang lelaki
berpakaian putih-putih dengan ikat pinggang kain biru. Wajahnya tertutup sebuah
topeng yang terbuat dari
baja putih. "Ksatria Topeng Putih...," deals Pendekar Bodoh, menyebut gelar lelaki bertopeng
yang telah dikenalnya.
"Ya. Aku memang Ksatria Topeng Putih, Seno...," sahut lelaki bertopeng seraya
melangkah menghampiri Pendekar Bodoh. "Air mukamu tampak keruh.
Aku tahu pikiranmu kusut. Tentu ada masalah yang
membuatmu jadi bingung. Karena masalah yang ada di
benakmu itukah kau memasuki hutan jati ini, Seno?"
Ksatria Topeng Putih yang sebenarnya tak lain
dari Ksatria Seribu Syair merubah nada dan warna suaranya. Berbeda dengan ketika
memakai gelar Ksatria
Seribu Syair, kali ini suara lelaki setengah baya itu
terdengar lebih berat dan berwibawa. Dia memang belum mau membuka jatidirinya
kepada Pendekar Bodoh. Oleh karenanya, Ksatria Topeng Putih menggunakan ilmu
'Mengganti Suara Merubah Getaran' agar jati
dirinya tak diketahui oleh pemuda lugu itu.
Sementara, Pendekar Bodoh yang tengah mencari Ksatria Seribu Syair terlihat
nyengir kuda. Untuk
beberapa lama, dia tak bisa membuka suara. Namun,
dari sorot matanya, jelas sekali bila dia berkeinginan
mengetahui wajah asli Ksatria Topeng Putih.
"Siapa Paman sebenarnya...?" tanya Seno, lirih.
"Memangnya ada apa?" Ksatria Topeng Putih
balik bertanya.
Seno nyengir lagi.
Ksatria Topeng Putih tersenyum.
"Aku tahu kau baru keluar dari Lembah Rongga
Laut," ujar lelaki bertopeng itu kemudian. "Kau telah
berhasil menyelamatkan Kemuning, bukan" Tapi, kenapa gadis itu tidak bersamamu
sekarang ini?"
"Berkat bantuan Ratu Perut Bumi dan Paman
juga, aku memang telah berhasil menyelamatkan Kemuning. Tapi, gadis itu ku
tinggalkan karena dia telah
berjumpa dengan Dewi Pedang Halilintar gurunya. Sementara, aku pun harus
menyelesaikan urusanku
sendiri...," sahut Pendekar Bodoh.
"Hmmm.... Begitu" Kalau boleh aku tahu, urusan apa itu?" tanya Ksatria Topeng
Putih. "Aku tengah mencari seorang lelaki bergelar
Ksatria Seribu Syair," jawab Seno, terus terang. "Apakah Paman tadi melihat
lelaki yang kucari itu lewat di
hutan ini?"
"Aku tak melihat siapa-siapa, kecuali dirimu
dan diriku sendiri, Seno...," beri tahu Ksatria Topeng
Putih. "Melihat sikapmu ini, sepertinya kau menyimpan rasa tak suka pada orang
yang kau cari itu. Kenapa?"
Mendengar pertanyaan Ksatria Topeng Putih,
Seno terdiam. Tapi setelah berpikir-pikir, dia berkata,
"Karena Paman pernah menanam budi kepadaku, kupikir tak ada jeleknya apabila aku
berterus terang kepada Paman. Ketahuilah, Paman, Ksatria Seribu Syair
adalah ayah kandungku...."
Terharu tiba-tiba Ksatria Topeng Putih mendengar pengakuan Seno. Ingin rasanya
dia memeluk Seno saat itu juga. Sebagai seorang ayah, tentu saja
Ksatria Topeng Putih menyimpan rasa kasih dan rindu
terhadap putra tunggalnya yang telah lama berpisah.
Namun, cepat Ksatria Topeng Putih menekan
keinginan itu. Pertemuannya dengan Seno tidak pada
waktu yang tepat. Seno yang masih hijau dan amat lugu tentu belum matang dalam
berpikir dan menentukan sikap. Seno pasti menganggap kesengsaraan dan
penderitaan hidup Ibunya semata-mata hanya karena
perbuatan Ksatria Seribu Syair. Dengan kata lain, Seno belum dapat berpikir
jauh, bahwa seseorang tak
mungkin dengan sengaja membuat sengsara orang
yang amat dicintainya. Seperti apa yang pernah dilakukan Ksatria Topeng Putih
atau Ksatria Seribu Syair
terhadap mendiang ibunya Seno, Dewi Ambarsari.
"Menilik dari nada suaramu, aku semakin yakin
bila kau memang menyimpan rasa tak suka terhadap
ayah kandungmu sendiri, Seno...," ujar Ksatria Topeng
Putih kemudian. "Ada perkara apa gerangan" Dan, apa
yang akan kau perbuat jika kau telah berjumpa dengan ayahmu itu?"
Seno tak menjawab. Walau dalam dirinya tersimpan rasa kagum dan hormat, tapi
tatapannya terhadap Ksatria Topeng Putih tampak menyelidik.
"Maafkan aku andai pertanyaanku tadi tak berkenan di hatimu...," ucap Ksatria
Topeng Putih yang
merasa tak enak melihat tatapan Seno.
"Aku juga minta maaf, Paman...," sahut Pendekar Bodoh. "Aku tidak bisa menjawab
pertanyaan Paman. Masalah yang Paman tanyakan itu terlalu pribadi...."
"Hmmm.... Kau tak menjawab pun, tak jadi
apa. Kau tak perlu meminta maaf. Tapi ingat, seperti
yang dulu pernah kukatakan padamu..., pandaipandailah kau dalam menggunakan otak
untuk me- nimbang dan berpikir. Jangan sampai kau menyesal di
akhir perbuatanmu...."
"Ya! Ya, aku akan mengingat nasihat Paman,"
sambut Pendekar Bodoh. "Tapi, Paman..., apakah Paman tadi juga mendengar
rentetan kata syair yang berasal dari dalam hutan ini?"
Ksatria Topeng Putih mengangguk. Tak ingin
dia berbohong. Yang mengucapkan kata-kata syair tadi
memang dia sendiri. Tentu saja dia turut mendengarnya.
"Aku yakin, si pelantun syair itu adalah Ksatria
Seribu Syair," ujar Pendekar Bodoh. "Tapi..., benarkah
Pendekar Bodoh 6 Muslihat Sang Durjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Paman tidak melihat orang lain di dalam hutan ini?"
"Sudah kukatakan tadi, aku tidak melihat siapa-siapa kecuali dirimu dan tentu
saja diriku sendiri,"
jawab Ksatria Topeng Putih.
Lelaki bertubuh tinggi tegap itu tetap tak berbohong. Namun, Pendekar Bodoh yang
belum tahu Ksatria Topeng Putih adalah Ksatria Seribu Syair,
mengartikan lain ucapan lelaki yang sengaja menyembunyikan jatidirinya itu.
"Sayang..., sayang sekali...," desis Seno akhirnya. "Sejak tadi malam, aku
mengejar orang itu. Tapi
jerih payahku tampaknya akan sia-sia belaka...."
Setelah berpikir-pikir sejenak, Seno menatap
sosok Ksatria Topeng Putih penuh selidik lagi. "Walau
sekilas, aku dapat melihat bila Ksatria Seribu Syair
memakai pakaian putih-putih seperti pakaian yang
kenakan ini, Paman. Potongan tubuhnya pun persis
sama dengan potongan tubuh Paman. Jangan-jangan
Paman adalah...."
"Aku tahu jalan pikiranmu, Seno," sela Ksatria
Topeng Putih. "Potongan tubuh dan warna pakaian bisa sama. Jangan tergesa-gesa
mengambil kesimpulan...." "Ah! Kalau begitu, maafkan aku, Paman...,"
ucap Pendekar Bodoh yang merasa keliru menyangka
orang. "Sudahlah. Tak jadi apa...," sergap Ksatria Topeng Putih. "Semoga Tuhan selalu
bersamamu, Seno.
Aku yakin, di kelak kemudian hari kau akan dapat
menemukan Ksatria Seribu Syair.... Aku juga punya
urusan penting, Seno. Aku tak dapat menemanimu lagi...."
Usai berkata, Ksatria Topeng Putih menjejak
tanah seraya berkelebat pergi.
"Tunggu...!" cegah Pendekar Bodoh.
Namun, sosok Ksatria Topeng Putih keburu hilang dari pandangan Pendekar Bodoh.
Lelaki bertopeng
itu terus berlari mengerahkan seluruh kemampuan ilmu peringan tubuhnya. Rasa
galau dan kalut menerjang hati sanubarinya.
Walau dia telah berlari sekuat tenaga, sosok
Pendekar Bodoh terus membayang di kelopak matanya. Bayangan pemuda itu semakin
membuat hatinya pedih teriris-iris. Perasaan bersalah semakin berkuasa dalam
dirinya. "Maafkan aku, Seno...," ucap Ksatria Topeng
Putih dalam hati. "Aku belum dapat membuka jati diriku sebenarnya kepadamu.
Untuk beberapa lama, lebih baik kau tetap mengenalku sebagai Ksatria Topeng
Putih...."
Lelaki bertopeng itu mendesah panjang. Rasa
sedih terus menyerang....
*** 3 KAKEK berperut gendut itu berdiri celingukan
di tepi hutan. Dengan tatapan matanya, dia berusaha
menembus rimbunan semak belukar yang tumbuh
subur di antara jajaran pohon jati. Namun, berkali-kali
kakek bertubuh tinggi besar itu mendesah panjang seraya menggerutu panjangpendek. "Kelebatan bayangan bocah itu menghilang di
sekitar sini. Mungkinkah dia masuk ke hutan?" tanya
si kakek kepada dirinya sendiri. "Bagaimana kalau aku
turut masuk" Tapi..., kalau dia tidak kutemukan, bukankah aku hanya akan
membuang-buang waktu saja?"
Kakek yang wajahnya tampak jenaka itu melangkah tiga tindak ke depan. Dia
celingukan lagi. Disibaknya sulur-sulur semak belukar yang menutupi
pandangan. Tapi, segera dia mendesah panjang lagi.
Gerutuan yang keluar dari mulutnya menyembur tiada
henti. Tertimpa sinar mentari, kepala si kakek yang
gundul tampak berkilat karena terlapisi air keringat.
Tubuhnya yang tambun hanya terbungkus rompi dan
celana pendek berwarna putih kusam. Sehingga, perutnya yang gendut terlihat
menonjol ke depan. Anehnya, si kakek memiliki pusar yang berupa gumpalan
daging sebesar buah terong tua! Gumpalan daging itu
berwarna merah dan dapat bergerak-gerak seperti seekor binatang!
Melihat wujud lahir si kakek, siapa lagi dia kalau bukan Setan Bodong!
Plok! Plok! Mendadak, Setan Bodong menepak kepalanya
sendiri seraya merutuk, "Huh! Kenapa aku bisa jadi
amat tolol seperti ini"! Kalau cuma berdiri celingukan,
bukankah sama artinya dengan membuang-buang
waktu pula"! Ah! Apa boleh buat! Aku harus masuk!
Aku harus masuk!"
Mengikuti pikiran di benaknya, kakek yang baru keluar dari Lembah Rongga Laut
itu melangkah cepat, memasuki Hutan Saradan yang telah terbentang
di depan matanya. Namun tiba-tiba..., dia melonjak
kaget. Indera pendengarannya yang tajam menangkap
suara berisik yang muncul dari dalam hutan.
"Aku mendengar suara langkah kaki manusia,"
kata hati Setan Bodong. "Mungkinkah dia?"
Dengan kening berkerut rapat, Setan Bodong
berjalan mengendap-endap. Dipergunakannya ilmu peringan tubuh agar langkah
kakinya tak mengeluarkan
suara. Hebat sekali kakek itu!
Sulur-sulur semak belukar yang terinjak kakinya sama sekali tak melengkung
ataupun putus. Agaknya, ilmu peringan tubuh Setan Bodong sudah
mencapai taraf sempurna. Dia mampu merubah berat
tubuhnya menjadi seringan kapas.
Mendadak, Setan Bodong tertawa terkekehkekeh. "He he he.... Dia sudah kutemukan!
He he he.... Aku harus membuatnya melonjak kaget setengah mati
dulu, baru aku melaksanakan rencana yang telah ku
susun. He he he...."
Sambil tertawa terkekeh-kekeh, Setan Bodong
mengintip dari balik semak belukar. Di antara jajaran
pohon jati ternyata ada seorang pemuda remaja sedang
berjalan gontai. Pemuda berwajah tampan itu mengenakan pakaian biru-biru dengan
ikat pinggang kain
merah. Dia Seno Prasetyo atau Pendekar Bodoh!
Karena sedang berpikir-pikir dengan benak kusut, Seno jadi tidak waspada. Dia
tak tahu kalau dirinya tengah diintip orang. Bahkan, indera pendengarannya yang
biasanya amat tajam pun tak dapat menangkap suara tawa Setan Bodong. Hingga di
lain kejap.... "Astaga...!"
Seno berseru kaget. Tatapan matanya jadi nyalang. Puluhan ular tiba-tiba muncul
dari balik semak
belukar, merayap cepat menuju ke arahnya! Dan...,
langsung mengepung!
Ular-ular yang tampak ganas itu mendesisdesis dengan lidah melelet keluar. Bola
mata mereka berkilat menatap penuh nafsu membunuh. Kulit tubuh
mereka yang beraneka warna menambah rasa ngeri di
hati Seno! Tak mau mati konyol dikeroyok puluhan ular
berbisa, bergegas Seno menggerakkan tangan kanannya untuk mencabut Tongkat Dewa
Badai yang terselip
di ikat pinggangnya. Namun tanpa diketahui oleh Seno, dari belakang pemuda itu
melesat seekor ular pohon!
Sssttt...! "Ih...!"
Terkejut setengah mati Pendekar Bodoh. Pergelangan tangan kanannya tiba-tiba
telah terbelit seekor
ular berkulit hijau berkilat. Dan..., ular pohon sepanjang satu depa itu
berusaha membelit tangan Pendekar
Bodoh yang lainnya.
Tentu saja Pendekar Bodoh tak mau membiarkan hat itu terjadi. Sambil menekan
rasa jijik dan ngeri, dia menarik tangan kirinya ke belakang. Lalu, dia
kerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya untuk
membentengi tubuhnya dengan ilmu kebal 'Perisai Dewa Badai'!
"Astaga...!"
Seno berseru kaget lagi. Ternyata, dia tak
mampu menghimpun tenaga dalamnya. Dan..., itu berarti ilmu 'Perisai Dewa Badai'
tak dapat pula dia keluarkan! Padahal, ular pohon yang telah membelit tangan
kanannya mulai bergerak ganas. Moncongnya terbuka lebar memperlihatkan dua
taring runcing berkilat!
"Mati aku! Mati aku!" desah Seno dengan perasaan kalut tak karuan.
Puluhan ular yang bergerak di permukaan tanah sudah mulai pula membelit kedua
kaki Seno. Ular-ular pohon yang terdapat di antara mereka tampak melesat, dan langsung
membelit tubuh bagian atas
sang pendekar! Tampak kemudian, tubuh murid Dewa Dungu
itu benar-benar dikerumuni oleh puluhan ular beraneka jenis!
Pendekar Bodoh berteriak keras penuh rasa
ngeri. Dia memberontak sekuat tenaga. Berkali-kali dia
berusaha mengeluarkan ilmu 'Perisai Dewa Badai' untuk membuat tubuhnya kebal.
Tapi..., kekuatan tenaga
dalamnya benar-benar telah lenyap entah ke mana!
Seno jadi sulit bernapas ketika belitan ular-ular
itu semakin kuat. Tulang-belulang tubuh Seno mulai
mengeluarkan suara berkerutukan karena hendak remuk!
Anehnya, puluhan ular yang sedang membelit
dan mengepung Pendekar Bodoh itu tak mau mematuk. Sebagian di antara mereka
malah hanya bergerak
mengitari tubuh Pendekar Bodoh yang berdiri terhuyung-huyung.
"He he he.... Kau pergi tanpa berpamitan dulu
kepadaku. Itulah akibatnya! He he he...."
Tiba-tiba, Setan Bodong muncul dari persembunyiannya. Tenang-tenang dia
melangkah menghampiri Seno. Beberapa ekor ular yang masih melata di tanah
langsung diraupnya seraya diselempangkan di kedua bahunya
"He he he..." tawa kekeh Setan Bodong."Sudah!
Sudah, Kawan! Lepaskan bocah itu!"
Di ujung kalimat Setan Bodong, mendadak
ular-ular yang tengah membelit tubuh Pendekar Bodoh
langsung mengendorkan belitannya. Lalu, perlahan
mereka turun ke tanah dan menghampiri Setan Bodong!
"Kalian memang amat penurut. Terima kasih.
Terima kasih...."
Sambil berkata demikian, Setan Bodong meraup lagi beberapa ekor ular yang berada
di dekatnya. Ular-ular itu lalu diselempangkan pula ke kedua bahunya.
Pendekar Bodoh yang sudah terbebas dari belitan ular tampak membelalakkan mata
penuh rasa tak percaya. "Apa... apa yang kau lakukan, Pak Tua...?"
tanyanya, tergagap.
"He he he...," Setan Bodong tertawa lagi. "Kau
terkejut, bukan" Kau kaget, bukan" He he he.... Itulah
hukuman ku! Kenapa kau meninggalkan aku tanpa
pamit?" Seno tersurut mundur beberapa langkah saat
melihat Setan Bodong berjalan menghampirinya. Jelas
sekali bila murid Dewa Dungu itu masih merasa ngeri
melihat ular-ular yang bergelantungan di leher dan
bahu Setan Bodong.
"Kau jangan mendekatiku, Pak Tua...," pinta
Seno sambil mengangkat kedua tangannya.
Setan Bodong geleng-geleng kepala seraya tertawa terkekeh-kekeh lagi. Namun,
melihat sorot mata
Pendekar Bodoh yang benar-benar menyiratkan rasa
ngeri, kakek gendut itu lalu menurunkan ular-ular
yang bergelantungan di tubuhnya.
"Hayo! Sekarang, kalian harus pergi! Hayo!
Hayo! Pergi semua!"
Setan Bodong mengusir dengan mengibasngibaskan kedua telapak tangannya. Puluhan
ular yang masih melata di permukaan tanah menatap sosok
Setan Bodong sebentar, lalu mereka membalikkan badan seraya merayap lenyap ke
balik semak belukar.
"Kau... kau... Kenapa kau mempermainkan
aku, Pak Tua"!" tegur Seno dengan mata melotot.
Kentara sekali bila murid Dewa Dungu itu marah karena merasa dilecehkan. Dia
tahu kalau ularular yang membelutnya tadi atas perintah Setan Bodong. Padahal,
Setan Bodong baru ditolongnya keluar
dari Lembah Rongga Laut, termasuk mengembalikan
ilmu kesaktian kakek gendut itu yang lenyap akibat
ulah Raja Penyasar Sukma. (Baca serial Pendekar Bodoh dalam episode: "Ksatria
Seribu Syair").
Melihat Pendekar Bodoh memelototinya, Setan
Bodong malah tertawa lagi. "He he he.... Aku tahu jalan
pikiranmu, Bocah Bagus. Kau menganggap aku manusia yang tak tahu membalas budi,
bukan" Hmmm....
Jangan salah mengerti dulu. Justru kedatanganku ini
hendak berbuat baik kepadamu...."
"Tapi..., kenapa kau mempermainkan aku"!
Ular-ular itu amat menjijikkan...!" sembur Pendekar
Bodoh. "Apa yang kulakukan tadi sudah pantas kau terima. Bukankah kau pergi dariku
tanpa pamit" Dan,
perlakuanmu itu membuatku tersinggung!" kilah Setan
Bodong. "Aku tak punya waktu untuk berpamitan kepadamu, Pak Tua!" bentak Seno. "Aku
harus mengejar seseorang!"
"Ksatria Seribu Syair" Hmmm.... Lupakan dulu
urusanmu dengan orang itu. Apakah kau belum tahu
kalau tenaga dalammu telah lenyap?"
Seno terdiam. Pemuda remaja itu merasakan kebenaran katakata Setan Bodong. Tenaga dalamnya
memang telah lenyap. Hal itu terbukti saat dia tak dapat menerapkan
ilmu 'Perisai Dewa Badai'.
"Kau tentu mempunyai sebuah ilmu pukulan
yang menjadi andalanmu," ujar Setan Bodong kemudian. "Untuk memastikan apakah
tenaga dalammu telah lenyap atau tidak, cobalah kau keluarkan ilmu pukulanmu
itu...." "Tak perlu!" tolak Seno. "Aku sudah tahu kalau
tenaga dalamku telah lenyap."
"Tapi, tetaplah kau turuti kata-kataku!" desak
Setan Bodong. "Aku tak sudi!" tolak Seno lagi, mulai naik pitam.
Pendekar Bodoh 6 Muslihat Sang Durjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setan Bodong geleng-geleng kepala seraya tertawa terkekeh. Lalu dia berkata,
"Kau turuti saja apa
kataku! Akan kutunjukkan suatu hal kepadamu!"
"Boleh! Boleh!" terima Seno kemudian. "Tapi,
kalau aku dapat menghimpun tenaga dalamku, jangan
menyesal kalau kepalamu yang gundul itu kubuat pecah berantakan!"
Setan Bodong menyambut ucapan Seno dengan
tertawa panjang terkekeh-kekeh. Dia tak berucap lagi.
Kepalanya cuma mengangguk-angguk.
Pendekar Bodoh yang masih kesal mendengus
gusar. Dicobanya untuk mengeluarkan ilmu pukulan
'Dewa Badai Rontokkan Langit'. Tapi..., tenaga dalamnya benar-benar telah
lenyap. Ilmu pukulan yang berasal dari Kitab Sanggalangit itu tak dapat
dikeluarkannya!
"Kenapa bisa begin!" Kenapa bisa begini?" seru
Seno, tak mengerti.
"Aku akan menjelaskan apa yang telah terjadi
pada dirimu. Tapi tidak di tempat ini...," sahut Setan
Bodong seraya berkelebat keluar dari Hutan Saradan.
Seno nyengir kuda sejenak. Namun, bergegas
dia mengekor langkah Setan Bodong....
*** Di tepi Hutan Saradan, Setan Bodong tertawa
terkekeh-kekeh melihat Pendekar Bodoh tampak kepayahan. Napas pemuda remaja itu
memburu dan terdengar ngos-ngosan. Kulit wajahnya memerah dengan
peluh berlelehan....
Namun..., saat langkah Pendekar Bodoh telah
dekat, Setan Bodong terkesiap. Hidungnya mencium
aroma wangi kayu cendana. Aroma yang menebar dari
kain baju Pendekar Bodoh itu membuat kepala Setan
Bodong jadi pening.
"Hmmm.... Baju bocah itu mengandung kekuatan 'Penakluk Wanita'. Bila kain
bajunya terkena air
keringat akan menebarkan aroma wangi yang bisa
membuat wanita lupa daratan...," pikir Setan Bodong.
"Hmmm.... Untung aku lelaki. Kalau tidak, pastilah
aku akan jatuh tak berdaya dalam pelukannya...."
Setan Bodong menggeleng-geleng seraya mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi
kepalanya dari rasa pening. Sementara, Pendekar Bodoh yang telah berdiri di hadapan Setan
Bodong tampak terbatukbatuk karena terlalu memaksakan diri untuk mengeluarkan
tenaga. "Aku... aku.... Kenapa aku bisa seperti ini...?"
ujar Seno di antara dengus nafasnya yang memburu.
"Ilmu peringan tubuhku turut hilang. Apa... apa yang
telah terjadi...?"
"Sabar! Atur jalan nafasmu dulu," sahut Setan
Bodong. Seno menarik napas panjang beberapa kali.
Disekanya peluh yang membasahi wajahnya. Tak lama
kemudian, tubuh pemuda tampan itu terasa lebih segar.
"Kau ingat ketika aku mengeluarkan batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam
Air' dari dalam
perutmu, Seno?" tanya Setan Bodong kemudian.
"Ya! Ya..., aku ingat, Pak Tua," jawab Seno.
"Untuk mengeluarkan batu mustika itu, aku telah memukul tengkukmu dengan 'Tenaga
Inti Es Biru'. Kau ingat?"
"Ya! Aku juga ingat! Kenapa?"
"Tahukah kau, Seno, bila Kodok Wasiat Dewa
yang telah kau telan mempunyai satu kekuatan luar
biasa yang bersifat panas?"
Seno menggeleng.
Karena Setan Bodong tak langsung memberi
penjelasan atas sesuatu yang telah terjadi pada dirinya, pemuda berambut panjang
tergerai itu membentak, "Jangan bertele-tele, Pak Tua! Cepat katakan, bagaimana
aku bisa menjadi seperti ini"! Apakah pukulanmu pada tengkuk ku kemarin itu
sengaja untuk membuatku celaka"!"
"Uts! Jangan seenaknya main tuduh, Bocah
Bagus...," tegur Setan Bodong. "Kalau aku punya niat
mencelakakanmu, bagaimana aku bisa keluar dari
Lembah Rongga Laut?"
"Lalu, kenapa tenaga dalamku bisa lenyap?"
buru Seno, tak sabaran.
"Ketahuilah, Bocah Bagus, sebelum tengkukmu
ku pukul dengan 'Tenaga Inti Es Biru' yang bersifat
dingin, dalam tubuhmu telah tersimpan tenaga lain
yang bersifat panas. Tenaga panas itu berasal dari Kodok Wasiat Dewa yang kau
telan..." tutur Setan Bodong. (Agar lebih jelas dalam mengikuti jalan cerita
ini, silakan simak serial Pendekar Bodoh dalam episode:
"Ratu Perut Bumi" dan "Ksatria Seribu Syair").
Seno cuma diam. Tak tahu arti ucapan Setan
Bodong. "Ketika kau ku pukul dengan 'Tenaga Inti Es
Biru', sebuah tenaga yang bersifat dingin masuk ke tubuhmu. Tenaga dingin itu
lalu bentrok dengan tenaga
panas yang berasal dari Kodok Wasiat Dewa...," lanjut
Setan Bodong. "Lalu?" kejar Seno sambil menggaruk pantatnya
yang tiba-tiba terasa amat gatal.
"Bentrokan tenaga yang berlainan sifat itu
membuat tenaga dalam yang telah kau miliki lenyap
perlahan-lahan...."
"Ah! Begitukah...?"
"Ketika masih berada di dalam Lembah Rongga
Laut, kau belum merasa kalau tenaga dalammu telah
berkurang. Tapi sekarang ini, kau sudah tahu sendiri,
bukan?" Pendekar Bodoh nyengir kuda beberapa lama.
"Celaka! Aku benar-benar celaka!" desah murid
Dewa Dungu itu kemudian. "Aku belum dapat menyelesaikan kewajibanku, kenapa aku
harus menerima nasib seperti ini...?"
Lalu, Pendekar Bodoh mendongak. Ditatapnya
langit biru yang ditebari awan perak. Di atas sana, dia
seakan dapat melihat sosok Ibunya yang telah meninggal.
"Ibu...," sebut pemuda lugu itu, tetap mendongak. "Maafkan aku, Bu.... Entah
kapan aku dapat
membalaskan sakit hati Ibu.... Aku kini tak punya kekuatan apa-apa lagi, Bu.
Maafkan aku, Bu...."
Melihat Pendekar Bodoh berkata-kata seorang
diri, Setan Bodong tertawa geli.
"He he he.... kau ini aneh, Bocah Bagus.... Di
atas langit sana tidak ada orang! Siapa yang kau ajak
bicara" Jangan-jangan otakmu sudah tak waras...."
"Aku tidak gila!" bentak Seno tiba-tiba. "Garagara kau, aku jadi seperti ini!"
"Uts! Jangan naik darah dulu! Aku justru ingin
menolongmu!" cetus Setan Bodong.
"Mengembalikan tenaga dalamku?"
"Tentu saja!"
"Bagaimana bisa?"
"Tentu saja bisa!"
"Kalau begitu, cepat lakukan!"
"He he he.... Jangan keburu nafsu! Itu tak baik!
Bersabarlah! Semua pasti beres. He he he...."
Seno nyengir kuda lagi.
Tapi, dia percaya bila Setan Bodong benarbenar akan dapat mengembalikan tenaga
dalamnya.... Namun..., benarkah Setan Bodong dapat dipercaya" Apakah kakek gendut yang banyak
akal itu tidak sedang menjalankan siasat liciknya untuk memperdayai sang pendekar"
*** 4 SETELAH memulihkan keadaan tubuhnya dan
mengatasi pula luka dalamnya, Setan Selaksa Wajah
bergegas menuju ke Lembah Dewa-Dewi. Dia hendak
menemui seorang tokoh sakti bergelar Bidadari Alam
Kelam. Setan Selaksa Wajah hendak meminta uluran
tangan anggota Komplotan Lembah Dewa-Dewi itu untuk membantu menyelesaikan
persoalan yang tengah
dihadapinya. Lembah Dewa-Dewi adalah sebuah tempat berupa dataran berbatu-batu yang amat
tersembunyi. Terletak di dekat muara sebuah sungai yang berarus
deras. Kecuali anggota Komplotan Lembah Dewa-Dewi,
tak seorang pun tokoh rimba persilatan yang tahu letak tempat itu. Sebab, selain
keadaan alamnya yang
tak bersahabat dengan manusia, Lembah Dewa-Dewi
juga dipagari dengan suatu benteng kekuatan gaib
yang sulit ditembus. Benteng kekuatan gaib ciptaan
Bidadari Alam Kelam itu dapat menyesatkan setiap
manusia yang datang, bahkan bisa mendatangkan ancaman kematian. Oleh karenanya,
kaum rimba persilatan cuma dapat mendengar keberadaan Lembah DewaDewi tanpa
pernah tahu di mana letak tempat itu sebenarnya.
"Kalau Bidadari Alam Kelam bersedia menuruti
apa yang kuinginkan, aku yakin semuanya akan berjalan dengan baik...," gumam
Setan Selaksa Wajah.
"Mudah-mudahan perempuan itu masih menyimpan
rasa hatinya terhadapku, sehingga aku dapat memanfaatkan ilmu kepandaiannya...."
Sambil berkata-kata dengan dirinya sendiri, Setan Selaksa Wajah menggerakgerakkan tongkat bambu ke dalam air sungai untuk menjaga keseimbangan
rakit yang menopang tubuhnya. Kakek yang telah merubah raut wajahnya menjadi
seorang pemuda tampan
itu mengarahkan pandangan lurus ke depan. Namun,
tak jarang dia mengedarkan pandangan ke kanan-kiri
sungai. Di pinggir aliran sungai yang menuju ke Lembah Dewa-Dewi itu banyak terdapat
bongkah-bongkah
batu besar. Dan, di sela-sela bongkah batu yang tersamar sulur-sulur semak
belukar itu terdapat ratusan
ular bertubuh kecil pipih berwarna putih berkilat. Sebagian di antara mereka
tampak berenang mengambang di permukaan air. Walau gerakan mereka terlihat
lemah dan tampak amat jinak, jangan dikira ular-ular
itu tidak berbahaya. Siapa pun yang terpatuk atau terpagut jangan harap masih
dapat melihat mentari esok
hari. Patukan atau pagutan ular-ular itu mengandung
bisa yang amat mematikan. Semua korbannya, baik
manusia maupun binatang lain, akan mati seketika
dengan cairan darah mengering dan jantung membeku.
Oleh karena itulah, Setan Selaksa Wajah tampak berhati-hati sekali saat
menggerakkan tongkat
bambunya. Selain untuk mengatur keseimbangan dan
arah laju rakit, tongkat bambu kakek berpakaian merah-merah itu juga digunakan
untuk mengusir ularular putih yang mencoba mendekati. Namun, sering
kali Setan Selaksa Wajah memukul hancur tubuh ularular itu karena mereka
telanjur membelit balok-balok
kayu rakit si kakek.
Semakin mendekati Lembah Dewa-Dewi, arus
sungai semakin deras. Hingga, Setan Selaksa Wajah
tak perlu lagi mendorong rakitnya dengan tongkat
bambu. Tongkat bambu si kakek cuma digunakan untuk mengatur arah laju rakit agar tidak membentur
bongkah batu besar ataupun tersangkut sulur-sulur
semak belukar. Namun sesaat kemudian, air muka Setan Selaksa Wajah terlihat menegang. Arus
sungai mendadak
berubah amat deras luar biasa. Akibatnya, rakit yang
ditumpangi Setan Selaksa Wajah melesat cepat, bagai
lesatan anak panah yang lepas dari busur!
Walau telah berkali-kali menempuh perjalanan
sulit seperti itu, tapi kali ini Setan Selaksa Wajah merasa khawatir juga. Dia
tak dapat mengendalikan laju
rakitnya lagi. Hingga di lain kejap, rakit si kakek membentur bongkah batu besar
yang menyembul di tengah
aliran sungai! Brakkk..,! "Haram jadah!"
Sambil mengumpat gusar, Setan Selaksa Wajah
melentingkan tubuhnya ke atas. Saat masih melayang
di udara, kakek berwajah pemuda dua puluh lima tahunan itu dapat melihat
rakitnya yang telah pecah berantakan. Tapi, sebagai seorang tokoh tua yang sudah
matang pengalaman, dia tak menjadi panik atau gugup. Dengan menggunakan ilmu
peringan tubuh 'Angin Pergi Tiada Berbekas', dia bersalto di udara tiga
kali. Lalu, dia mendaratkan sepasang kakinya di salah
satu balok kayu pecahan rakit.
"Hihhh...!"
Byarrr... Setan Selaksa Wajah mengalirkan beberapa bagian kekuatan tenaga dalam ke tangan
kanannya. Dia tancapkan tongkat bambunya ke dasar sungai untuk
menghentikan luncuran balok kayu yang ditumpanginya. Tapi..., tongkat bambu
sepanjang tiga depa itu
langsung melengkung karena membentur bongkah batu yang terdapat di dalam air sungai!
Mendengus gusar Setan Selaksa Wajah.
Sambil menjaga keseimbangan tubuh, sekali
lagi kakek berpakaian merah-merah itu menancapkan
tongkat bambunya ke dasar sungai. Kali ini usaha si
kakek berhasil. Tongkat bambu menancap ke tanah di
dasar sungai. Laju balok kayu yang menopang tubuh
Setan Selaksa Wajah langsung terhenti.
Namun..., karena arus sungai teramat deras,
tongkat bambu yang menahan luncuran balok kayu
penopang tubuh Setan Selaksa Wajah tampak melengkung, lalu patah menjadi dua.
Akibatnya, balok kayu
pecahan rakit meluncur lagi, mengikuti arus sungai.
Tubuh Setan Selaksa Wajah yang berdiri di atasnya
kontan terhuyung-huyung hendak jatuh tercebur ke
dalam sungai. "Setan alas!"
Kata-kata kotor segera menyembur dari mulut
Setan Selaksa Wajah. Dengan mengeluarkan seluruh
daya kemampuannya, dia berusaha menjaga keseimbangan tubuhnya agar tidak jatuh
dari balok kayu.
Dan ternyata, murid murtad Dewa Dungu itu memiliki
keseimbangan tubuh yang cukup hebat. Dia dapat
Pendekar Bodoh 6 Muslihat Sang Durjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berdiri tegak walau balok kayu yang ditumpanginya
meluncur amat cepat mengikuti arus sungai yang deras luar biasa
Sebentar kemudian satu pemandangan aneh
terlihat. Luncuran balok kayu yang ditumpangi Setan
Selaksa Wajah berhenti tiba-tiba. Padahal, air sungai
terus mengalir deras. Agaknya, balok kayu pecahan
rakit itu tertahan oleh benteng kekuatan yang tak kasat mata!
Setan Selaksa Wajah yang masih berdiri tegak
di atas balok kayu pecahan rakit tidak terkejut ataupun menjadi panik. Justru dia merasa girang. Kakek
bertubuh kekar itu tahu kalau dirinya telah berada di
dekat Lembah Dewa-Dewi yang menjadi tujuan kedatangannya.
Sejenak, lelaki yang rambutnya diikat dengan
kain merah itu mengarahkan pandangan ke depan. Di
sisi kanan aliran sungai terlihat kabut tebal yang bergerak membubung tiada
henti. Aneh! Matahari telah
naik tinggi, tapi kenapa di tempat itu masih terdapat
kabut tebal"
Namun, Setan Selaksa Wajah merasa tak melihat keanehan apa-apa. Dia tahu kalau
kabut yang dilihatnya adalah kabut gaib ciptaan Bidadari Alam Kelam yang berguna
untuk menutupi Lembah Dewa-Dewi
agar tidak mudah dimasuki orang luar.
Andai ada orang berhasil menembus benteng
gaib buatan Bidadari Alam Kelam yang melintang di
aliran sungai, orang itu tetap akan menemui kesulitan
untuk dapat memasuki Lembah Dewa-Dewi. Kabut
yang menutupi tempat itu bukan saja membuat pandangan jadi terhalang hingga
menyesatkan langkah,
tapi juga mengandung suatu hawa aneh yang bila terhirup terus-menerus akan
membuat saluran napas jadi buntu. Dan, kalau saluran napas seseorang sudah
buntu, tentu saja kematianlah akibatnya.
"Manisku, Bidadari Alam Kelam...!" seru Setan
Selaksa Wajah, keras menggelegar, "Bukalah 'Gerbang
Kelam'-mu, Manisku! Ini aku yang datang..., Setan Selaksa Wajah!"
Teriakan kakek berwajah pemuda itu membahana beberapa lama, mengalahkan suara
gemuruh arus sungai yang deras. Tapi, balok kayu yang menopang tubuh si kakek tetap
tertahan oleh benteng kekuatan gaib yang melintang di aliran sungai. Bidadari
Alam Kelam pun tak menampakkan diri.
Setan Selaksa Wajah yang pada dasarnya
punya sifat tak sabaran dan lekas naik darah, menggerendeng penuh rasa gusar.
Sekali lagi, dia berteriak lebih keras....
"Aku yang datang, Manisku Bidadari Alam Kelam...! Cepat buka 'Gerbang Kelam'mu...!" Mencoba bersabar Setan Selaksa Wajah beberapa saat. Namun, yang menyambutnya
cuma rasa kecewa belaka. Benteng gaib ciptaan Bidadari Alam Kelam tetap tak
terbuka. Juga, tak ada sosok manusia
lain yang muncul. Hanya gemuruh arus sungai yang
menyahuti teriakan Setan Selaksa Wajah.
"Hmmm.... Tak dapat aku menunggu terlalu
lama," dengus si kakek, "Lebih baik benteng kekuatan
gaib ini kuhancurkan saja!"
Mengikuti pikiran di benaknya, Setan Selaksa
Wajah mengalirkan kekuatan tenaga dalam ke tangan
kanannya. Di lain kejap, pergelangan tangan kanan
kakek berpakaian merah-merah itu berubah warna
menjadi biru berkeredapan. Agaknya, Setan Selaksa
Wajah hendak menghancurkan benteng kekuatan gaib
Bidadari Alam Kelam dengan pukulan 'Pelebur Sukma'!
"Hiahhh...!"
Blarrr...! Sambil menggembor keras, Setan Selaksa Wajah menghentakkan telapak tangan
kanannya ke depan. Selarik sinar biru yang menebarkan hawa panas
luar biasa langsung melesat tanpa dapat dibendung lagi.
Namun..., sinar biru yang keluar dari telapak
tangan Setan Selaksa Wajah itu tak dapat menjebol
benteng kekuatan gaib Bidadari Alam Kelam. Pukulan
'Pelebur Sukma' hanya mampu menciptakan lidahlidah api biru yang menebar ke berbagai penjuru. Lidah-lidah api itu berpentalan
setelah membentur benteng tak kasat mata yang melintang di aliran sungai.
"Haram jadah! Setan alas!"
Mengumpat-umpat Setan Selaksa Wajah. Terpaksa kakek berwajah pemuda itu
menggerakkan balok kayu yang ditumpanginya ke sana-sini untuk
menghindari hujan lidah api. Setan Selaksa Wajah
mesti mengerahkan tenaga dalamnya lagi. Karena, untuk dapat menggerakkan balok
kayu yang ditumpanginya, dia harus melawan arus sungai yang teramat
deras. Geram kemarahan murid murtad Dewa Dungu
itu terus terdengar. Kembali dia alirkan kekuatan tenaga dalam ke tangan
kanannya. Hendak dia keluarkan pukulan 'Pelebur Sukma' tingkat tertinggi.
Namun sebelum Setan Selaksa Wajah melaksanakan niatnya, tiba-tiba terdengar
suara seorang wanita....
"Dari dulu, kau tetap saja tak berubah, Mahisa
Lodra.... Tak dapatkah kau bersabar sebentar saja?"
Mendengar suara itu, mata Setan Selaksa Wajah kontan berbinar. Dia tarik lagi
kekuatan tenaga dalam yang telah dialirkan ke tangan kanannya.
"Manisku, Bidadari Alam Kelam...," sebut si Kakek. "Siapa yang bisa bersabar
bila harus menunggu di
tempat menggiriskan seperti ini" Cepatlah kau buka
'Benteng Kelam'-mu ini! Ada sesuatu yang harus kubicarakan denganmu!"
"Tunggulah sebentar! Aku sedang melakukan
sesuatu yang tak bisa ku tinggalkan...," sahut suara
wanita yang berasal dari tempat berkabut tebal di sebelah kanan depan aliran
sungai. Menggerendeng marah Setan Selaksa Wajah.
Karena tak mau menunggu, kakek keras kepala
itu mempersiapkan kembali pukulan 'Pelebur Sukma'nya. Dalam sekejap mata,
pergelangan tangan kanan si
kakek berubah warna lagi menjadi biru berkeredapan.
"Dasar keras kepala!"
Suara wanita yang muncul dari balik kabut terdengar membentak. Sebelum Setan
Selaksa Wajah melepaskan pukulan 'Pelebur Sukma' untuk kedua kalinya, mendadak
balok kayu yang menopang tubuh si
kakek terseret arus ke depan. Itu berarti benteng gaib
ciptaan Bidadari Alam Kelam telah terbuka.
Tapi..., Setan Selaksa Wajah malah terhantam
keterkejutan seraya memekik parau. Tubuh si kakek
tiba-tiba terangkat lepas dari balok kayu yang ditumpanginya!
Tubuh murid Dewa Dungu itu tersedot masuk
ke balik gumpalan kabut! Untuk beberapa lama, jerit
ngeri Setan Selaksa Wajah membahana panjang....
Lembah Dewa-Dewi....
Di sisi kanan altar pemujaan, berdiri kokoh sebuah patung manusia berkepala
kerbau. Patung yang
terbuat dari batu pualam itu besarnya dua kali lipat
tubuh manusia dewasa. Namun, karena dipahat dalam
keadaan duduk bersila, tingginya jadi terlihat cuma
sekitar enam kaki.
Suasana ruang pemujaan yang hening terpecah
manakala terdengar suara orang merapal manteramantera. Si perapal mantera itu
adalah seorang wanita
cantik bertubuh sintal montok. Mengenakan pakaian
kuning-merah yang dipenuhi pernik-pernik gemerlap.
Rambutnya yang hitam panjang digelung ke atas dengan hiasan tiga tusuk konde
emas bermata intan. Sepuluh jari tangannya yang lentik tampak memegang
sebuah gelas emas berukir.
Wanita itulah yang disebut sebagai Bidadari
Alam Kelam! Sementara Bidadari Alam Kelam merapal mantera-mantera, belasan lelaki-perempuan
yang berdiri di
belakang wanita itu terlihat tengah menyanyikan lagu
pujaan. Namun, lagu pujaan yang dinyanyikan orangorang berjubah dan berkerudung
hitam itu tak karuan
kalimatnya, seperti orang menggumam yang tak jelas
apa maksudnya. Nada lagunya pun naik-turun tak
menentu. Hanya anehnya, walau tak enak didengar,
tapi suara belasan orang itu bisa serempak bersamaan.
Di bagian lain, tetap di ruang pemujaan, Setan
Selaksa Wajah tampak berdiri di sudut ruangan. Si
kakek Cuma menatap apa yang tengah dilakukan Bidadari Alam Kelam dan para
pengikutnya, tanpa berbuat apa-apa. Tapi, dilihat dari sorot matanya, jelas bila
Setan Selaksa Wajah sudah tak sabaran lagi untuk
segera menyampaikan apa yang ada di benaknya kepada Bidadari Alam Kelam.
Bagaimana Setan Selaksa Wajah bisa berada di
tempat itu"
Beberapa saat tadi, ketika benteng gaib yang
melintang di aliran sungai dibuka oleh Bidadari Alam
Kelam, Setan Selaksa Wajah tak dapat menahan tubuhnya yang tersedot sebuah
kekuatan tak kasat mata
yang muncul dari balik kabut. Kekuatan gaib yang tercipta dari ilmu 'Penarik
Raga' Bidadari Alam Kelam itu
membawa tubuh Setan Selaksa Wajah masuk ke ruang
pemujaan di sebuah Istana yang terletak di Lembah
Dewa-Dewi. Namun, karena Bidadari Alam Kelam tak
mau menunda-nunda lagi upacara persembahannya,
wanita itu membiarkan Setan Selaksa Wajah berdiri
terlongong bengong di sudut ruangan.
Dan tampaknya, Setan Selaksa Wajah pun tak
mau mengganggu Bidadari Alam Kelam walau kesabarannya sudah hampir habis.
Sebagai sesama anggota
Komplotan Lembah Dewa-Dewi, Setan Selaksa Wajah
tahu benar sifat dan tabiat Bidadari Alam Kelam. Apabila wanita cantik itu
tengah melakukan upacara persembahan, dia tak mau diganggu oleh siapa pun. Kalau
diganggu, dia bisa berubah ganas dan bisa membunuh siapa saja yang berada di
dekatnya. Sesaat kemudian, Bidadari Alam Kelam berhenti merapal mantra. Belasan orang
berjubah dan berkerudung hitam yang berdiri di belakang wanita cantik
itu turut menghentikan nyanyian mereka. Sementara,
Setan Selaksa Wajah mendesah terus. Dengan tatapan
matanya yang tajam menusuk, kakek berwajah pemuda itu seakan menyuruh Bidadari
Alam Kelam untuk
menyelesaikan upacara persembahannya.
"Wahai kau Dewa Langit, penguasa alam kegelapan..., sampailah saatnya aku
memberikan kepadamu sebuah persembahan berupa darah bayi yang baru
lahir...," ucap Bidadari Alam Kelam seraya mengangkat
gelas di tangannya tinggi-tinggi.
Suara wanita bertubuh amat menggiurkan itu
terdengar penuh getaran, dan seakan dapat membawa
orang ke suatu tempat di alam sihir. Belasan orang
berjubah dan berkerudung hitam terdengar menyanyikan lagu pujaan lagi. Tapi,
kali ini terdengar lebih pelan dan hampir tidak terdengar.
"Setelah ku persembahkan apa yang kau minta,
dapatkah nanti kau tetap menjadikan aku sebagai wakil jagat gelap di dunia,
wahai kau Dewa Langit...!"
ucap Bidadari Alam Kelam lagi.
Usai berkata, wanita berkulit kuning langsat itu
mendekatkan gelas yang tercekal sepuluh jari tangannya ke kepala patung yang
disebut sebagai Dewa Langit.
Terdengar suara mendesis seperti bara api tersiram air saat cairan darah segar
yang berada di dalam
gelas ditumpahkan ke kepala Dewa Langit. Aneh! Cairan darah segar itu langsung
mengering! Lalu..., tubuh
Dewa Langit yang hanya berupa batu pualam tampak
bergetar! "Ha ha ha...!" Bidadari Alam Kelam tertawa bergelak. "Rupanya kau sangat menyukai
persembahan ku ini, wahai kau Dewa Langit.... Di antara kita memang harus terjalin satu
hubungan timbal balik. Aku
menjadikan mu sebagai raja Junjungan ku di mana
aku akan selalu menuruti permintaanmu. Dan sebaliknya, kau harus terus menambah
kekuatanku agar
aku dapat menjadi wakil jagat gelap yang perkasa di
dunia ini! Ha ha ha...!"
Sambil tertawa bergelak-gelak, Bidadari Alam
Kelam mengangkat telapak tangan kanannya. Belasan
orang berjubah dan berkerudung hitam langsung melangkah keluar dari ruang
pemujaan. "Ada urusan apa kau datang kemari?" tanya
Bidadari Alam Kelam kepada Setan Selaksa Wajah,
tanpa membalikkan badan.
"Tentu saja ada urusan penting," jawab Setan
Selaksa Wajah. "Urusan apa?"
"Kita bicara di tempat lain saja."
Bidadari Alam Kelam diam beberapa lama. Lalu, tanpa menatap sosok Setan Selaksa
Wajah yang berdiri di sisi kirinya, dia membalikkan badan seraya
melangkah keluar. Sementara, Setan Selaksa Wajah
langsung mengekor langkah wanita berpakaian gemerlapan itu.
"Aku butuh bantuanmu, Manisku Bidadari
Alam Kelam...," ujar Setan Selaksa Wajah sesampai di
ruangan lain. Kakek yang telah merubah raut wajahnya menjadi seorang pemuda tampan itu duduk
berhadapan meja dengan Bidadari Alam Kelam. Ruangan yang mereka tempati tampak remangremang karena terletak di
bagian dalam istana. Dua buah lampu yang menggantung di atap ruangan sengaja tak
dinyalakan. "Aku butuh bantuanmu, Manisku...," ulang Setan Selaksa Wajah.
Bidadari Alam Kelam tetap tak menyahuti.
Wanita berparas cantik menawan itu Cuma diam menatap wajah tampan Setan Selaksa
Wajah. Tentu saja Setan Selaksa Wajah jadi tak enak hati karena
tatapan Bidadari Alam Kelam tampak menyelidik.
"Kenapa kau menatap ku seperti ini?" tegur si
kakek kemudian. Suaranya terdengar datar tanpa tekanan. Rupanya, murid murtad
Dewa Dungu ini takut
menyinggung perasaan Bidadari Alam Kelam.
"Hmmm.... Setelah lama tak berjumpa, tampaknya kau sengaja ingin pamer kepandaian
di hadapanku, Mahisa Lodra...," ujar Bidadari Alam Kelam.
"Tidak!" sahut Setan Selaksa Wajah, cepat. "Untuk apa aku pamer kepandaian di
hadapanmu" Maksud kedatanganku ini Cuma satu, yaitu meminta bantuanmu,"
Tersenyum tipis Bidadari Alam Kelam. "Kau datang tidak seperti dulu lagi,"
katanya. "Raut wajahmu
kali ini amat tampan.... Agaknya, ilmu 'Selaksa Wajah
Berganti-ganti' yang kau miliki telah dapat kau sempurnakan."
"Terima kasih atas pujian mu. Kulihat raut wajahmu pun bertambah cantik. Bentuk
tubuhmu juga bertambah menggiurkan. Hmmm.... Aku tahu umurmu
tak berbeda jauh denganku. Hebat sekali ilmu 'Mengganti Kulit Sempurnakan
Pendekar Bodoh 6 Muslihat Sang Durjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bentuk' yang kau miliki, Manisku.... Tapi, kedatanganku ini bukan untuk
membicarakan perihal ilmu semacam itu. Aku benar-benar
membutuhkan bantuanmu, Manisku Bidadari Alam
Kelam...."
"Hmmm.... Sedari tadi kau menyebut gelarku
dengan sangat mesra. Apakah bantuan yang kau butuhkan itu berhubungan dengan
tubuhku atau ilmu
kepandaianku?"
Bidadari Alam Kelam tersenyum manis. Namun, tatapan matanya tetap tajam
menyelidik. Setan
Selaksa Wajah yang sempat terpesona oleh senyuman
wanita cantik itu cepat mengusir debar-debar di hatinya.
"Bertahun-tahun kita menjadi sepasang kekasih. Bertahun-tahun pula kita mereguk
kebahagiaan bersama...," ucap Setan Selaksa Wajah. "Mengingat
hubungan kita yang teramat dekat itu, aku yakin kau
akan bersedia menuruti apa yang kuinginkan. Buatkan aku 'Benteng Rajah Abadi'...."
Bidadari Alam Kelam geleng-geleng kepala.
"Hmmm.... Tidak mudah membuat rajah penyekap orang sampai mati itu. Kalau tidak
untuk tujuan yang amat penting, mana aku mau...."
"Kau harus mau!" sergap Setan Selaksa Wajah.
"Kau hendak memaksa?"
"Tidak! Tapi..., aku harus membunuh dua
orang tokoh yang punya ilmu kesaktian hebat luar biasa. Mereka adalah Pendekar
Bodoh dan Setan Bodong!"
"Pendekar Bodoh" Siapa itu?"
"Dia seorang tokoh muda yang baru muncul di
rimba persilatan. Walau masih muda belia, ilmu kesaktiannya sudah sangat sulit
diukur! Aku pernah dipecundanginya!"
"Hmmm.... Begitu" Lalu, kenapa Setan Bodong
harus dibunuh pula" Bukankah guru sang pemimpin
itu telah disekap di Lembah Rongga Laut" Kakek gendeng itu sudah tak punya ilmu
kesaktian lagi! Apa untungnya dia dibunuh?"
"Pendekar Bodoh telah membawanya keluar dari Lembah Rongga Laut. Bahkan, orang
tua ceriwis itu
telah mendapatkan ilmu kesaktiannya lagi!"
"Hmmm.... Begitu" Lalu, apa urusannya denganku?"
"Kau harus membantuku, Manisku. Sang pemimpin memerintahkan aku membunuh mereka.
Dan, aku Cuma diberi waktu tiga hari!"
"Ha ha ha...!" mendadak Bidadari Alam Kelam
tertawa bergelak. "Siapa yang percaya pada bualan
mu, Mahisa Lodra"! Aku tahu kau amat membenci
sang pemimpin! Kenapa kau tiba-tiba berubah amat
penurut seperti ini?"
"Terpaksa! Hanya karena terpaksa! Aku tak
mau mati konyol!" sahut Setan Selaksa Wajah penuh
kesungguhan. "Oleh karena itu, kau harus mau membantuku, Manisku. Buatkan aku
'Benteng Rajah Abadi'...."
"Kalau aku menolak?"
"Kau harus mau! Aku mohon!"
"Kalau aku menolak permohonan mu?"
Terdiam Setan Selaksa Wajah.
Murid murtad Dewa Dungu itu jadi bingung
mendengar tolakan Bidadari Alam Kelam. Namun, dia
tak kurang akal. Perlahan dia beringsut dari kursi
yang didudukmya. Lalu....
"Kau cantik sekali, Manisku...."
Sambil berkata demikian, Setan Selaksa Wajah
menerkam tubuh Bidadari Alam Kelam. Langsung dilumatnya bibir wanita cantik
itu.... Sementara, Bidadari Alam Kelam tampak
menggelinjang merasakan ciuman ganas Setan Selaksa
Wajah. Wanita cantik itu semakin menggelinjang kuat
manakala jemari tangan Setan Selaksa Wajah bermain
nakal di sekitar dadanya.
"Uh! Kau! Apa yang kau lakukan?"
Bidadari Alam Kelam masih mencoba menegur.
Tapi anehnya, wanita cantik itu membiarkan saja jemari tangan Setan Selaksa
Wajah yang terus bermain
nakal di sekitar dadanya. Bahkan, dia pun tampak
menikmati benar ciuman si kakek.
Hingga di lain kejap, tubuh sintal Bidadari
Alam Kelam telah tergeletak di atas lantai. Sementara,
Setan Selaksa Wajah berusaha menanggalkan pakaian
wanita cantik itu satu persatu....
*** 5 KALAU memang bisa mengembalikan tenaga
dalamku, kenapa tidak segera kau lakukan?" desak
Pendekar Bodoh. "Malah tampaknya, kau hendak
mengulur-ulur waktu.... Aku percaya kepadamu, Pak
Tua. Tapi, Jangan buat aku penasaran seperti ini...."
"He he he...," tawa kekeh Setan Bodong. "Sabarlah! He he he.... Perlu kukatakan
dulu kepadamu...,
setelah aku berhasil mengembalikan tenaga dalammu,
kau akan punya dua macam ilmu pukulan dahsyat!
Yang satu bersifat dingin, dan yang satunya lagi bersifat panas luar biasa!"
"Benarkah itu?" seru Pendekar Bodoh, melonjak
girang. "He he he.... Aku tak bohong! He he he.... Tapi,
ada syaratnya...."
"Apa?"
Setan Bodong cuma tertawa. Seno nyengir kuda.
Pemuda lugu itu tak tahu apa yang ada di benak Setan Bodong. Namun, dia tetap
percaya bila Setan Bodong bermaksud baik kepadanya. Hanya saja,
dia menjadi tak sabaran setelah melihat si kakek terus
tertawa beberapa lama.
"Kenapa kau tertawa terus, Pak Tua" Ayolah!
Cepat katakan apa syarat yang kau minta...," desak
Pendekar Bodoh kemudian.
Setan Bodong masih saja tertawa terkekehkekeh. Pusarnya yang berupa gumpalan
daging tampak bergerak-gerak tiada henti. Namun, setelah melihat tatapan
Pendekar Bodoh yang penuh pengharapan,
akhirnya dia berkata
"Aku tak mau kehilangan ilmu kesaktian untuk
kedua kalinya. Aku tak mau menjadi orang lemah yang
tak bisa apa-apa! Batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' masih kau
bawa?" "Kau minta batu itu?" sahut Seno, kebodohbodohan. "Untuk apa?"
"Jawab dulu pertanyaanku!"
"Ya! Ya, batu mustika itu masih kubawa!"
"Berikan kepadaku!"
"Untuk apa?"
"He he he...," Setan Bodong tertawa lagi. "Kalau
ada orang mencopot lagi pusar ku, Ilmu kesaktianku
akan hilang selama-lamanya...."
"Begitukah" Tapi..., apa hubungannya batu
mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' dengan
pusar mu?"
"Kecuali senjata pusaka, tak sebilah pun senjata tajam yang dapat memotong pusar
Naga Jawa Negeri Di Atap Langit 5 Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Harimau Mendekam Naga Sembunyi 16
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama