Ceritasilat Novel Online

Neraka Neraka 1

Pendekar Bloon 7 Neraka Neraka Bagian 1


Cerita ini adalah fiktif
Persamaan nama, tempat dan ide hanya kebetulan belaka.
NERAKA-NERAKA Oleh : D. AFFANDY
Diterbitkan oleh : Mutiara, Jakarta
Cetakan Pertama : 1994
Sampul : Ken Bangun
Setting Oleh : Sinar Repro
Hak penerbitan ada pada penerbit Mutiara
Dilarang mengutip, mereproduksi
dalam bentuk apapun tanpa ijin
tertulis dari penerbit.
D. Affandy Serial Pendekar Blo'on
Dalam episode Neraka-Neraka
SATU Sampai sejauh mana Prisma Permata berpendar" Dan seberapa hebat kekuatan yang dimilikinya" Hanya Datuk Alang Sitepu saja yang
mengetahuinya. Sebagaimana pembicaraan yang
sedang berlangsung di dalam ruangan pertemuan
itu. "Aku sekarang sudah menemukan cara untuk menggabungkan kekuatan yang
kumiliki den- gan kekuatan Prisma Permata ini. Hanya kita
memerlukan waktu dan tempat yang aman untuk
melakukannya."
"Datuk! Apakah tempat kediamanku ini tidak cukup aman?" tanya Diraja Penghulu Iblis.
Raja Penyihir ini menyeringai, Bibirnya
yang menggelambir dan nyaris tanggal dari tempatnya bergoyang-goyang.
"Harus kuakui tempat ini sudah tidak
aman lagi. Tamu-tamu yang tidak diundang berkeliaran disini pula."
"Aku menyediakan Ciruyung tempat tinggalku untuk menggabungkan dua inti kekuatan
antara Prisma Permata dengan ilmu sihir Datuk!"
Nyanyuk Pingitan menawarkan diri.
"Hmm, sebuah ide yang sangat baik. Aku
setuju. Tapi bagaimana dengan kawan Buto Terenggi dan Diraja Penghulu Iblis?" Si Bungkuk Lima memandang lurus pada dua
orang ini. "Aku setuju saja. Asalkan semuanya sesuai
dengan rencana kita!" Diraja Penghulu Iblis menyetujuinya. Hanya Buto Terenggi saja yang tidak memberikan jawaban. Namun ia menganggukkan kepala. Datuk Alang Sitepu tertawa. Sejenak setelah tawanya terhenti ia berkata:
"Kalau semuanya sudah setuju, sekarang
aku ingin mengajak Nyanyuk Pingitan pergi ke
rumahnya. Anda berdua boleh menunggu disini
untuk mengecoh musuh diluar! Sepekan mendatang anda boleh menyusulku jika aku tidak sempat datang kemari!" pesan Datuk Alang Sitepu.
"Baiklah. Aku meminta agar Diraja Penghulu Iblis dan Buto Terenggi menjaga keutuhan
bakal istana yang akan kita bangun ini."
Setelah berkata begitu Nyanyuk Pingitan
dan Datuk Alang Sitepu bangkit berdiri. Pada saat itu waktu sudah menjelang
subuh. Berangkatlah
kedua tokoh ini meninggalkan gunung Pangrangko. Sementara itu pada saat yang sama, Dewi
Bulan yang telah menyamar sebagai Pendekar
Blo'on ini tengah tertidur pulas. Ia memang tampak letih sekali menghindari
sikap Maya Swari
yang begitu manja dan mengajaknya melakukan
hubungan sebagaimana layaknya suami istri untuk yang kedua kalinya. Bagaimana mereka dapat
melakukannya. Sedangkan pendekar Blo'on palsu
mempunyai kelamin yang sama.
Dewi Bulan sebenarnya merasa geli sendiri,
tapi juga khawatir. Ia tidak dapat membayangkan
bagaimana jadinya jika Suro Blondo yang berada
di samping Maya Swari.
Paling tidak malam ini mereka sudah melambung ke surga. Walau sesungguhnya Suro
Blondo hanya berpura-pura saja menjadi suami
Maya Swari. Setabah-tabahnya laki-laki, siapa sih
orangnya yang tidak tergiur melihat kecantikan
Maya Swari"
Dengan alasan terlalu lelah, Maya Swari
rupanya mau mengerti juga. Ia pun kelelahan setelah lama membujuk demikian juga halnya dengan Suro Blondo palsu.
Dalam keadaan pulas sedemikian rupa,
kedua orang ini sama sekali tidak tahu bahwa
saat itu ada sosok bayangan mengendap-endap.
Bayangan itu tercipta dari api. Setelah sampai didepan pintu kamar Maya Swari.
Bayangan tersebut berhenti. Matanya memandang liar kesekelilingnya untuk memastikan keadaan aman-aman
saja. Tidak lama tangannya bergerak, tangan itu sama sekali tidak menyentuh
pintu. Tapi sungguh aneh, pintu terbuka. Si bayangan berkerudung
itu menyelinap masuk. Setelah mulutnya berkomat-kamit. Tidak lama ia telah mendekati Maya
Swari. Gadis ini sempat menggeliat, namun tidak terjaga.
Bayangan berpakaian gelap ini kemudian
menotok urat gerak dan jalan suara Maya Swari.
Gadis ini tersentak kaget dan terjaga. Matanya
pun terbelalak lebar. Tapi sayang sudah terlambat, jangankan bergerak bersuara saja Maya Swari tidak mampu.
Orang yang telah menotok gadis ini mempunyai maksud yang tidak baik. Bayangan itu
tanpa menunggu lebih lama lagi langsung memanggul Maya Swari di pundaknya. Lalu menyelinap pergi dengan membawa Maya Swari.
Melihat caranya, tentu bayangan itu memiliki kepandaian sangat tinggi sekali. Sebab Dewi Bulan yang memiliki kepandaian
tidak rendah sama sekali tidak terjaga dari tidurnya.
Kita tinggalkan Dewi Bulan yang tertidur
pulas memeluk mimpi. Ketika itu matahari mulai
meninggi. Di salah satu lereng gunung Pangrangko. Gajah Gemuk dan Gajah Krempeng tampak
terheran-heran melihat dandanan pendekar
Blo'on yang menjadi kacung itu. Rupanya tadi
malam mereka tidak sempat melihat keadaan si
pemuda berhubung begitu sibuknya mereka mengamankan Manusia Merah. Tapi kini setelah manusia Merah berada di tempat yang aman dan pulas pula. Mereka baru dapat melihat keadaan Suro Blondo yang sebenarnya.
"Kau...!"
"Ya, aku." Suro Blondo cengengesan sambil membetulkan topinya, berupa ikat
kepala model kacung. "Bukan itu maksudku. Siapa namamu"
Apakah kau punya gelar?" tanya Gajah Gemuk sambil uncang-uncang kaki, namun mata
tetap tertuju pada Manusia Merah yang tengah tertidur.
"Aku Suro Blondo?"
"Apa" Suro Blondo?" Gajah Krempeng bela-lakkan mata. Teringat nama depan si
pemuda, la- ki-laki kurus macam kurang makan ini teringat
pula kejadian sekitar delapan belas tahun yang
lalu. "Apakah kau terlahir di gunung Bromo pa-da malam satu Asyuro delapan belas
tahun yang lalu?" Gajah Gemuk ikut bicara.
"Kok tau...?"
"Ya tau... Pernah terjadi peristiwa besar
disana. Jika benarlah kau anak ajaib sebagaimana dikatakan oleh seorang resi di pantai selatan pulau Jawa. Berarti sesuai
dengan tanggal kelahiran kau manusia hebat. Tapi mengapa bertampang tolol seperti ini" Benarkah rambutmu merah?" Tanpa menunggu jawaban si pemuda Gajah Gemuk mencopot ikat kepala si
pemuda. Tapi apa yang diharapkannya tidak menjadi kenyataan. "Rambutnya hitam, kakang. Seperti bukan dia orangnya si bayi ajaib dulu."
Gajah Kurus menimpali.
"Apakah ciri-cirinya seperti itu?" Suro Blondo bertanya. Tiba-tiba ia menuangkan
air didalam kendi yang dibawanya. Rambutnya menjadi
basah. Ketika rambut diusap, maka kelihatanlah
warna yang asli.
"Hei... siapa kau ini yang sebenarnya anak
muda?" Hampir bersamaan Gajah Gemuk dan
Gajah Kurus bertanya.
"Namaku Suro Blondo, tidak punya ibu tidak punya bapak. Orang-orang yang telah membunuh orang tuaku kini masih dalam pengejaran.
Yang lain-lainnya aku tidak bisa katakan!"
"Ah malang benar nasibmu. Mengenai persoalanmu kita bicarakan saja nanti. Sekarang
aku ingin bertanya mengapa kau menyamar sebagai kacung?" tanya Gajah Gemuk heran.
"Seseorang yang memintaku begini. Karena
aku memang tidak mau menikah dengan anaknya
iblis." Suro Blondo berterus terang.
"Siapa yang menyuruhmu?"
"Seorang sahabat yang cukup lama kukenal." sahut Pendekar Blo'on, lalu tersenyum.
"Namanya" Sebutkan namanya?" desak
Gajah Gemuk. "Sssst, bicara jangan keras-keras. Jika
manusia Merah terjaga, mati kita semua." Si pemuda berbisik.
"Aku mengerti. Coba katakan siapa namanya?" Gajah Gemuk berbisik pula sehingga se-kilas terlihat lucu.
"Dewi Bulaan...!" jawab Suro Blondo dengan suara keras lalu tertawa ngakak.
Gajah Ge- muk sampai melompat kaget. Sebaliknya Gajah
Krempeng malah menoleh ke arah Manusia Merah. Rupanya ia takut laki-laki tinggi lima meter berkulit merah darah ini
terjaga. "Dewi Bulan! Sekarang dimana dia?" desak
Gajah Gemuk. "Eeh... setelah kakek ketahui namanya
mengapa sekarang malah jadi ngotot?"
"Bocah! Cepat katakan! Dan jangan pula
kau panggil aku kakek!"
"Bagaimana ini. Mana yang harus kujawab
duluan." tanya Suro Blondo sambil menyeka keningnya yang keringatan lalu garukgaruk kepala seperti monyet.
"Kau harus memanggilku paman. Karena
umurku paling baru sembilan puluh tahun...!"
Kini Suro Blondolah yang menjadi kaget.
Orang yang dihadapinya termasuk Orang sinting.
Masa' umur sudah bau tanah masih minta dipanggil paman" Pikir si pemuda.
"Baiklah paman. Dewi Bulan itu ahli dalam
menyamar, punya tahi lalat di dagu. Aku yakin
paman berdua akan tertarik padanya bila sudah
melihat lesung pipitnya...!"
Jawaban yang ngaco ini membuat Gajah
Gemuk jadi sewot. Sekali gebrak tangannya sudah mencengkeram krah baju si pemuda, lalu diangkatnya pemuda itu tinggi-tinggi.
"Wei... mati aku...!"
"Cepat Jawab!"
"Bagaimana bisa jawab kalau leherku dicekik begini?"
"Jika punya kepandaian mengapa tidak dipergunakan!" dengus Gajah Gemuk.
Karena merasa sulit bernapas dan kepala
serasa mau pecah akibat jepitan yang begitu
kuatnya. Suro Blondo terpaksa lepaskan tendangan. Buuk! Tendangan yang sangat keras itu membuat
cekalan Gajah Gemuk terlepas. Dan Suro Blondo
terbanting di tanah. Ia tercengang melihat Gajah Gemuk hanya usap-usap perutnya
yang kena ditendang. Memang Suro Blondo tidak mengerahkan tenaga dalamnya, karena ia merasa tidak
punya permusuhan dengan laki-laki berat dua ratus kati ini. Tapi tendangan yang dilepaskannya tadi dengan mempergunakan
seluruh tenaga luar.
Jika Gajah Gemuk tidak mengalami akibat apaapa. Ini sungguh menakjubkan bagi Suro Blondo.
"Duduk kurang ajar. Kau nakal sekali. Karena kau telah menendangku, sekarang aku harus memukulmu!" Gajah Gemuk cemberut.
Baru saja Gajah Gemuk hendak bergebrak.
Tahu-tahu ada tangan kurus kering yang menahannya. "Sabar kakang! Urusan kita masih banyak.
Mengapa kita harus bertengkar?" kata Gajah Krempeng.
Lagi-lagi terjadi sesuatu yang sangat sulit
dipercaya. Suro Blondo melihat Gajah Gemuk sudah mengerahkan tenaga dalamnya. Tapi begitu
tangan Gajah Krempeng yang hanya sebesar lengan bayi itu menahan. Gerakan Gajah Gemuk jadi
terhenti. Padahal si pemuda dapat memastikan,
kalau ada angin kencang sedikit-sedikit saja me-nerpa badan Gajah Krempeng.
Pastilah laki-laki
berbadan tipis ini jatuh tunggang langgang.
Tokh ia tidak dapat berpikir lagi, karena
saat itu Gajah Krempeng yang tampaknya lebih
penyabar ini telah menghadap kearahnya.


Pendekar Bloon 7 Neraka Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bocah...! Dewi Bulan adalah murid tunggal kami. Jika ada apa-apa, tentu kakangku ini
akan menuntut mu. Sekarang coba katakan dimana dia!" desah Gajah Krempeng. Barulah Pendekar Blo'on mengerti.
DUA "Dewi sendiri yang meminta untuk menggantikan kedudukanku sebagai pengantin. Karena saat ini dia sedang bersenang-senang dengan
putri Diraja Penghulu Iblis! Ha ha ha...!"
"Huh... kalau begitu dia dalam keadaan
berbahaya. Bagaimana ini adik Krempeng?"
"Kita bisa menyelamatkannya. Mari kita
kesana...!"
"Tapi manusia Merah ini bagaimana pula?"
"Untuk sementara biarkan Suro Blondo
yang menjaganya!"
"Mana aku bisa?" Pendekar Blo'on membantah. Tapi percuma saja, kedua gajah itu telah pergi. Sekarang tinggallah Suro
Blondo seorang diri. Ia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.
Terkecuali diam menunggu sampai Manusia Merah sadar dari pingsannya.
"Kalau aku tetap berada disini keadaan bisa jadi kacau. Manusia Merah ini pingsan seperti mendengkur dan mendengkur
seperti pingsan.
Aku tidak tahu apakah penyamaran sudah terbongkar atau belum. Tapi.... "
Suro tiba-tiba saja terdiam begitu melihat
Manusia Merah menggeliat.
"Oh... oh... moga saja jangan bangun sampai dunia kiamat!" desis Suro sambil mengurut dada. Apa yang diharapkannya itu
ternyata tidak kesampaian. Karena Manusia Merah begitu men-gerjabkannya matanya
langsung duduk. Begitu
tingginya dia, sehingga dalam posisi seperti itu tingginya sudah menyamai
Pendekar Blo'on yang
tengah berdiri.
"Laaa... ladalah... dimana aku. Dimana
musuh-musuhku. Kurang ajar, Prisma Permata
milikku diambil orang. Aku harus mencarinya.
Bau badannya aku tahu. Orangnya harus kutangkap!" kata Manusia Merah alias Soma Sastra.
Matanya mencari-cari. Ee... dia melihat ada seorang pemuda tidak dikenal
didepannya. "Kau siapa" Kaukah orangnya yang telah menyeretku?"
"Mati aku!" Suro Blondo keluarkan keringat dingin. Terbayang olehnya mulut Soma
Sastra dapat menyemburkan lidah api. Sehingga diamdiam ia bergidik seram. "Aku Suro Blondo, seorang kawan yang juga ingin
menangkap orang
yang telah mencuri Prisma Kristalmu."
"Heh... kawan" Seingatku aku tidak punya
kawan. Apakah kau bisa kupercaya?" Manusia Merah meragu.
"Harus. Kau harus percaya hanya padaku.
Karena didunia memang sangat jarang orang yang
bisa dipercaya. Selain aku kau tidak punya kawan lagi. Musuhmu ada dimana-mana!"
"Hmm, begitukah?"
"Iya. Kulihat kau mempunyai kecerdikan
yang lambat, kawan. Lihatlah aku juga begitu. Lihat tampangku pula... dimanamana kau tidak akan pernah bertemu dengan orang sepertiku.
Hanya manusia yang punya tampang sepertiku
ini saja yang dapat menjadi kawanmu!" kata Suro Blondo sambil tertawa-tawa.
Cuping hidung Soma
Sastra kembang kempis. Seakan ia mengendus
dan berusaha mengenali lawan bicaranya. Setelah itu Manusia Merah ini tertawa
ngakak. Kini giliran Suro Blondo yang dibuat pontang-panting. Suara tawa manusia merah tidak
ubahnya seperti rentetan halilintar yang Maha
Dahsyat. Sungguhpun Suro Blondo telah menutup indra pendengarannya. Tetap saja pengaruh
suara tawa itu membuat jantung dan isi kepalanya terguncang. Pendekar Blo'on jatuh bangun.
Kedua matanya telah berubah memerah karena
menahan rasa sakit yang sangat.
Patut diakui getaran suara Manusia Merah
ini menimbulkan gempa disana sini. Bahkan bangunan milik Diraja Penghulu Iblis pun sempat
tergetar. "Hentikan...!" teriak Pendekar Blo'on. Tidak kalah kerasnya pemuda itu
berteriak. Soma Sastra hentikan tawanya seketika. Ia kemudian berpaling dan
memandang tajam pada Suro.
"Mengapa harus berhenti kawan. Setelah
aku terkurung dibawah tanah selama seratus tahun. Mengapa tidak boleh tertawa?"
Suro sesungguhnya kaget juga. Tapi ia kemudian bicara apa adanya
"Suara tawamu membuat gunung runtuh
dan lautan bergelombang. Aku tidak kuat mendengarnya. Eeh... apakah kau bersungguhsungguh mau mengangkat sahabat denganku?"
"Hmm, kurasa begitu. Tapi aku perlu mencari Prisma Permata yang telah dicuri maling.
Tanpa prisma itu pulau Jawa bisa tenggelam."
"Jangan takut. Aku akan membantumu,
tapi bagaimana caranya?"
Manusia Merah menggelengkan kepala.
"Tidak akan semudah itu kawan. Sekarang
aku sudah tidak mengendus lagi bau si pencuri.
Mungkin ia sudah pergi ke suatu tempat! Aku harus menyusulnya sebelum bahaya besar mengancamku!" Soma Sastra bangkit berdiri. "Selamat tinggal kawanku. Ditengah jalan nanti aku
akan membantai siapa saja yang kutemui karena mereka musuhku!"
"Betul, golongan iblis memang musuh kita.
Selamat jalan!" Suro Blondo melambaikan tangannya persis diatas kuping. Manusia
Merah se- gera melangkah pergi. Langkah kakinya panjang
dan berat, hingga dalam waktu sekejap ia telah
tidak terlihat lagi.
Barulah pada saat itu Pendekar Blo'on teringat sesuatu. Ia tepuk-tepuk keningnya.
"Ah mengapa bodoh sekali aku ini. Kalau ia membantai semua orang yang ditemuinya
di jalan. Bukan tidak mungkin orang-orang tanpa dosa menjadi sasarannya. Tapi... eeh, apa pula
itu...?" Pemuda yang baru saja berniat menyusul Soma Sastra ini menjadi menunda
niatnya saat terdengar suara teriakan disertai beradunya senjata tajam membelah keheningan
pagi menjelang siang. "Siapakah yang sedang bertempur itu?" ba-tinnya dalam hati.
Laksana kilat ia bergegas pergi menuju
tempat terjadinya pertempuran tersebut. Hanya
dalam beberapa detik saja ia sudah sampai di
lingkungan bangunan besar milik Diraja Penghulu Iblis. Bangunan itu tetap utuh sebagaimana
mestinya. Padahal tadi malam bangunan ini seperti dimakan api. Tapi pendekar Blo'on segera
maklum bahwa apa yang dilihatnya tadi malam
hanyalah permainan sihir seseorang. Dalam arti
Manusia Merah telah tertipu. Hanya para pengawal yang bergelimpangan tanpa nyawa saja
yang kelihatan.
Kini ditempat yang sama telah terjadi pertempuran lagi. Orang yang terlibat pertempuran
itu adalah Dewi Bulan yang telah melepas penyamarannya dibantu dengan Gajah Gemuk dan
Gajah Krempeng. Sedangkan yang menjadi lawan
mereka adalah Buto Terenggi dan Diraja Penghulu Iblis. Suro Blondo melihat saat itu Dewi Bulan telah terluka pada bagian bahu
dan tangannya. Mengapa gadis itu sampai terlibat pertempuran dengan Buto Terenggi" Pagi-pagi sekali Diraja Penghulu Iblis memanggil
putrinya melalui
seorang pengawal yang tersisa. Ia memang ingin
membicarakan masalah yang tertunda tadi malam. Tapi begitu pengawal ini sampai dikamar
Maya Swari, gadis itu tidak berada ditempat. Dewi bulan yang menyaru sebagai
Suro Blondo yang
juga sempat terkejut melihat raibnya Maya Swari mengaku terus-terang bahwa Maya
Swari hilang. Spontan pengawal tadi melapor pada Diraja Penghulu Iblis. Tidak pelak lagi Dewi Bulan pun dipanggil dan terbongkarlah penyamarannya. Melihat kenyataan ini Diraja Penghulu Iblis menjadi panik, lalu ia memanggil algojo
untuk memenggal Dewi Bulan dihalaman depan.
Tapi lagi-lagi ia mendapat laporan bahwa
para algojo dan pengawal-pengawal lainnya berkaparan. Mati. Apa yang dialami oleh Diraja Penghulu Iblis
tidak ubahnya seperti mimpi buruk. Tadi malam
ia memang mendengar sendiri dari laporan Nyanyuk Pingitan tentang kehadiran manusia Merah.
Tapi ia menyangka selain bangunan istana miliknya yang dilindungi oleh raja penyihir, ia juga menyangka para pengawal dan juga
muridnya ju-ga dalam lindungan selubung gaib. Tidak dinyana para undangan yang
telah dijadikan pengawal
berkat Racun Pelemah Akal, cuma bertahan beberapa jam saja. Bagaimana pun Diraja Penghulu Iblis sangat sayang sekali pada putri satu-satunya. Jika Maya Swari yang mempunyai
kepandaian tinggi
itu diculik oleh orang lain. Pasti ini ada hubun-gannya dengan penyamaran Dewi
Bulan. Karena gadis itu menurutnya tetap tidak mau mengaku.
Maka akhirnya ia memutuskan untuk membunuhnya. Tapi ternyata diluar dugaannya Dewi Bulan memiliki kepandaian yang cukup tinggi.
Tidak pelak lagi terjadilah pertempuran
sengit. Jurus demi jurus berlalu. Tapi masih belum ada tanda-tanda sapa yang
bakal meme- nangkan pertarungan sengit itu.
Tapi ketika Diraja Penghulu Iblis mengerahkan jurus-jurus simpanannya. Maka disini
terlihatlah bahwa Dewi Bulan mulai terdesak.
Dua kali pukulan menghantam perut dan
dada si gadis. Hingga selain menimbulkan luka
dalam juga membuat Dewi Bulan menjadi murka.
Ia mencabut pedang pendeknya. Dengan mengerahkan jurus Kupu-Kupu Biru yang cukup terkenal itu ia merangsak lawannya.
Pertempuran menjadi sengit. Permainan
pedang Dewi Bulan hanya dapat berkembang selama lima belas jurus. Diraja Penghulu Iblis ternyata selain sangat licik dan
memang berpengalaman kini mulai melepaskan pukulan-pukulan
yang sangat keji.
Dalam pertempuran menjelang lima puluh
jurus, selain terdesak hebat. Keselamatan Dewi
Bulan benar-benar dalam keadaan terancam. Satu pukulan dahsyat yang dilepaskan oleh Raka
Tendra ini berhasil dihindari dengan tangkisan
pedang. Tapi akibatnya ia terpaksa melepaskan
pedangnya yang berubah panas seperti terbakar.
Pukulan kedua dilepaskan oleh lawannya lagi.
Namun pada saat-saat yang sangat kritis itu ada cahaya biru berkilauan
menghambat cahaya hitam membara yang melesat dari telapak tangan
Raka Tendra. Glaar! Glaar! Terjadi ledakan dahsyat. Diraja Penghulu
Iblis terguncang tubuhnya. Sebaliknya pada bagian lain tampak seorang laki-laki krempeng jatuh terduduk, sedangkan yang
berbadan gemuk hanya terguncang-guncang saja perutnya yang
berlapis lemak.
"Bangunlah muridku!" Gajah Gemuk langsung mendekap muridnya dan mengurut punggung gadis itu hingga memuntahkan darah kental
berwarna hitam. Yang kurus langsung berdiri dan mendamprat ditujukan pada Raka
Tendra: "Iblis-iblis pengecut! Beraninya cuma dengan bocah ingusan yang punya kepandaian tidak seberapa."
Raka Tendra tidak langsung menjawab.
Melainkan meneliti orang yang bicara petenteng
tangan dibawah ketiak.
"Ah... bukankah anda berdua Gajah Gemuk dan Gajah Krempeng. Maafkanlah kami yang
lupa menyambut dan mengundang majikan Merbabu waktu pesta kemarin!"
Gajah Gemuk mendengus. "Pesta apa" Siapa yang mau makan bangkai orang-orang yang
sudah mati. Lagipula kau punya dua kesalahan.
Pertama kau telah melukai muridku...."
"Maaf..." Raka Tendra memotong. "Aku tidak menyangka gadis itu murid kalian."
"Yang kedua." Gajah Gemuk menyambuti.
"Kau harus menyerahkan Buto Terenggi manusia daun itu kepada kami."
"Apakah salahnya?"
"Kesalahannya sudah sangat jelas. Dia telah mencuri ular-ular Kayangan milik kami. Dua
kesalahan dibandingkan satu kenakalan murid
kami kau masih utang satu, Raka Tendra!"
"Tapi...!"
"Tidak ada tapi-tapi. Kalau kau tidak ingin kami membakar singgasanamu ini
sebaliknya se-rahkan maling itu?"
"Tidak bisa. Terkecuali orang yang bersangkutan sudi menjumpai kalian!" Raka Tendra tetap bersikeras.
"Biarkan saudara Diraja Penghulu Iblis!
Aku telah datang menjumpai kalian. Sekarang
mau apa?" Tiba-tiba terdengar suara ketus dan yang
bicara tidak lain adalah Datuk Mambang Pitoka.


Pendekar Bloon 7 Neraka Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagus kau sudah datang! Sekarang serahkan ular-ular yang kau curi!" Gajah Gemuk mendengus marah.
Datuk Mambang Pitoka sebaliknya malah
tertawa ngakak. "Ambillah dari perutku kalau kalian mampu!" tantangnya.
Dan ini bagi kedua Gajah sungguh merupakan penghinaan besar. Mereka merasa lebih
terhina dan sakit lagi setelah melihat muridnya terluka terkena pukulan Raka
Tendra. "Iblis-iblis pengecut! Aku tahu siasat keji kalian dengan menyebar undangan
merah!" desis Gajah Krempeng sudah tidak sabar lagi.
Sementara Gajah Gemuk membawa Dewi
Bulan ke tempat yang aman. Dia sendiri langsung menyerang kedua tokoh sesat itu
secara bersamaan.
TIGA Tidak dapat dihindari lagi pertempuran
sengit segera terjadi. Pada hakekatnya masingmasing lawan adalah tokoh-tokoh angkatan tua
yang memiliki kepandaian tinggi. Sehingga begitu bergebrak, angin kencang
langsung menyambar.
"Hiya...!"
"Shaa...!"
Masing-masing fihak keluarkan teriakan
melengking tinggi. Lalu Gajah Krempeng lentikkan tubuhnya ke udara. Tangannya mendorong
kebagian dada lawan. Sekali lagi angin menderu
dahsyat, Inilah jurus 'Para Gajah Bersilahturah-mi'. Sungguhpun jurus ini
terkesan konyol, tapi tidak bisa dianggap main-main. Raka Tendra sendiri sempat
terdorong ke belakang. Ia hindari tangan Gajah Krempeng yang terus terulur
panjang. "Aiih...!" Buto Terenggi dan Diraja Penghulu Iblis sama-sama mengegoskan
tubuhnya ke samping kiri. Tangan Raka Tendra mengemplang
ke kepala lawannya. Gerakan menghindar sekaligus membalas serangan lawan ini benar-benar tidak terduga oleh Gajah Krempeng. Ia terpaksa tarik pukulan untuk selamatkan
kepala dari keplangan musuh. "Hmm, hebat juga kau iblis!"
"Tutup mulutmu!" bentak Raka Tendra.
Tokoh iblis itu sendiri kini kerahkan jurus
MENEPIS KABUT MENGUAK TABIR
Ini merupakan salah satu jurus pedang
tunggal yang diciptakan oleh Diraja Penghulu Iblis. Tapi jurus ini akan lebih
berbahaya lagi bila dimainkan dengan tangan kosong.
Diraja Penghulu Iblis tekuk kaki kanan ke
depan, tangan kiri menjulur ke samping sedangkan tangan kanan membentuk paruh. Dengan
bertumpu pada kaki kirinya tiba-tiba ia melompat ke depan lalu hantam ke kiri
dan hantam ke kanan. Cepat bukan main gerakannya. Sehingga
tangan lawan berubah menjadi banyak. Udara
disekitarnya menebar bau busuk menyengat.
Menghadapi serangan Raka Tendra saja
Gajah Krempeng sudah mulai kerepotan apalagi
dari bagian lain Buto Terenggi juga mencecarnya secara beruntun.
Jika Gajah Gemuk malah tertawa-tawa melihat keroyokan itu, sebaliknya pendekar Blo'on menjadi sangat marah. Sejak tadi
ia melihat pertempuran yang sengit itu. Tapi kini setelah melihat kedahsyatan
serangan Raka Tendra ia sudah
tidak sabar lagi. Ia menyeruak dari tempat persembunyian. Setelah itu terdengar pula suara
bentakannya. "Bukanlah tindakan orang gagah bertarung
main keroyokan! Manusia daun mata ikan lele.
Alangkah baiknya kalau kau bertarung dengan
aku. Aku jadi ingin merobek-robek pakaian yang
melekat di tubuhmu itu!"
Datuk Mambang Pitoka menoleh ke arah
Suro Blondo. Lalu terdengar gema suara tawanya.
"Huh... bukankah kau mantunya Diraja
Penghulu Iblis, mengapa kau malah mencaci golongan mertuamu?"
"Ha ha ha! Siapa sudi jadi mantu iblis.
Sampai mati pun aku tetap tidak setuju!" Suro Blondo pencongkan mulutnya lalu
meludah ke tanah. Karena angin kebetulan berhembus ke
arahnya. Maka ludahnya membasahi wajah sendiri. "Kalau begitu kau memang pantas kucin-cang!" Datuk Mambang Pitoka
menggembor ma- rah. Ia melompat ke depan, lalu lepaskan tendangan menggeledek ke dada lawannya. Karena
sudah mengetahui kehebatan pemuda ini ketika
adu Pibu beberapa hari yang lalu. Maka ketika lepaskan tendangan tadi ia
kerahkan setengah dari tenaga dalamnya.
Angin bersiut nyaring. Tapi Suro Blondo
keburu rundukkan kepala, tangannya menderu
menghantam perut lawan. Gerakan ini benarbenar diluar dugaan Buto Terenggi. Sehingga ia
tidak sempat menarik pulang kakinya, sementara
tinju Suro Blondo menggedor dengan telak.
Duuk! Habis memukul si pemuda langsung melompat mundur. Sehingga Buto Terenggi yang ingin menyamakan kedudukan jadi kecele.
Gusar bukan main melihat serangannya
hanya mengenai angin. Hanya dalam beberapa
gebrakan saja ia telah mempergunakan jurus andalan, 'MENGUKIR NAMA DI ATAS PUSARA'.
Ini merupakan salah satu jurus berbahaya
yang penuh dengan tipuan. Bila ia hantamkan
tangan kiri, maka yang diincar adalah kepala lawan. Tangan kanan yang memukul,
kaki menen- dang. Kiri-kanan, atas bawah disusul dengan
bentakan-bentakan menggeledek membuat Suro
Blondo terpaksa mengerahkan jurus 'SERIGALA
MELOLONG KERA SAKTI KIPASKAN EKOR'.
Gerakan si pemuda berubah secara total.
Tubuhnya tidak lagi hanya meliuk ke depan dan
belakang bagaikan pucuk cemara ditiup angin.
Melainkan telah melompat ke samping kiri, lalu
berjongkok, melompat atau garuk-garuk kepalanya. Apa yang dilakukan oleh si pemuda ternya-ta hanya membuat kemarahan Buto
Terenggi se- makin berkobar-kobar.
Ia semakin memperhebat serangannya. Kini kakinya melakukan tendangan beruntun ke
arah lawan yang terus berjingkrak-jingkrak.
Pendekar Blo'on tiba-tiba berbalik. Tendangan lawan tidak dielakkannya. Ia menunggu dengan sikap seakan gugup, lalu....
Wuuiis! Traaap! Buto Terenggi terbelalak. Sama sekali ia tidak menyangka lawan akan menangkap kakinya.
Karena kaki kirinya tertangkap, ia bermaksud
memukul kepala lawan yang berada dibawahnya.
Pada saat itu diluar dugaan pula tiba-tiba Suro Blondo mendorong kakinya.
Gubraak! Jika Buto Terenggi tidak punya ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat sempurna.
Pasti ia telah jatuh tunggang langgang
"Huuup!"
Dengan terhuyung-huyung ia mendaratkan
kedua kakinya. Wajahnya yang hitam berubah kelam membesi. "Pemuda bertampang tolol ini ternyata tidak bisa dianggap main. Gerakannya seradakseruduk seperti babi mabuk. Tapi..." pikirnya.
"Hanya segitukah kepandaianmu manusia
daun?" Suro Blondo tersenyum mengejek.
"Bangsat sombong!" maki Buto Terenggi dengan suaranya yang sember. Tiba-tiba
saja ia melompat ke depan, lalu melompat pula ke samping kanan, lalu kesamping kiri.
Melihat gerakan lawan yang sungguh sangat aneh dan lucu ini Suro Blondo hampir saja
tertawa. Pada saat itu pula ia mendengar Gajah
Gemuk mengisiki.
"Jangan kau pandang enteng dia. Sebentar
lagi kalau bukan perutmu, kepalamu yang dibikin ambrol. Sekarang dia telah
mengerahkan ajian
'MERUBAH RUPA MEMBENTUK BAYANGAN'!"
"Heeh...!" Suro Blondo sempat tertegun, la-lu menerjang ke depan saat lawannya
telah beru- bah menjadi empat orang. Tidak tanggungtanggung lagi ia menghantam ke depan. Tapi sasaran yang ditujukan hanya dengan sedikit
menggeser kaki berhasil menghindari serangan si pemuda. Serangan luput, dari
belakang pukulan
laksana palu godam mendera punggungnya secara beruntun. Pemuda berambut kemerah-merahan ini
terpelanting. Darah meleleh dari sudut-sudut bibirnya. Dengan bersusah payah ia
bangkit berdiri, matanya berkunang-kunang. Kemudian terdengar
suara lolongan dari mulutnya yang berdarah, suara lolongan itu kemudian berubah menjadi tangis yang begitu menyedihkan, selanjutnya secara
aneh berubah pula menjadi suara tawa berkepanjangan. Bukan hanya lawan saja yang dibuat terkejut. Sebaliknya Gajah Gemuk yang sedang berusaha menyembuhkan luka dalam yang diderita
oleh Dewi Bulan juga terkejut. Sementara dalam
keadaan tertawa-tawa itu Suro Blondo langsung
teringat pada nasehat gurunya.
"Jika kau dalam keadaan sakit, bersikaplah tenang untuk menahan rasa sakitmu! Jika
lawanmu tunggal tapi banyak, pejamkanlah matamu untuk menghadapinya. Karena permainan
sulap tidak dapat menipu mata hati!"
Suro Blondo menyeringai, dengan masih
terus tertawa dan menangis karena pada saat itu ia tengah mengerahkan jurus TAWA
KERA SILUMAN. Pendekar Blo'on tiba-tiba pejamkan
matanya. Kini ia bertarung hanya mengandalkan
ketajaman telinganya saja.
Wuut! "Hiyaa...!"
Buto Terenggi tiba-tiba merangsak ke depan. Empat bayangan berupa dirinya juga menyertainya. Keanehan segera dirasakan oleh laki-laki mata sipit ini. Karena
ternyata lawannya bukan mengincar bayangannya melainkan dirinya
sendiri. Deb! Bet! "Haaakgh!"
Tinju si pemuda mendarat dengan telak di
dada Buto Terenggi. Laki-laki ini terseret mundur.
Ia batuk-batuk, mukanya berubah pucat, lalu
menyemburlah darah dari mulutnya. Kalaupun
Datuk Mambang Pitoka ini kemudian menjadi
sangat murka, semata-mata bukan karena rasa
sakit yang dideritanya. Melainkan rasa malu yang sangat, karena ia tidak
menyangka ajian yang telah diyakininya selama bertahun-tahun dan
membuat geger orang-orang persilatan di wilayah timur kini dapat dihindari oleh
seorang pemuda bertampang tolol.
Ia ambil mata kail dibahunya, setelah itu
dengan mempergunakan mata kail yang dapat
menjulur panjang itu ia menyerang si pemuda.
"Hmm, maling itu kini mencoba memancing
lawannya dengan kail yang dipergunakan untuk
mencuri ular Kayangan!" desis Gajah Gemuk. Ia menoleh pada Dewi Bulan yang terus
mengawasi jalannya pertempuran. "Mari muridku. Sebaiknya kita pergi ke Ciruyung! Aku
khawatir Iblis penyihir itu sudah dapat memecahkan teka-teki Prisma Permata
untuk menghantam kaum lurus!"
Tap... tapi bagaimana dengan guru kurus
dan pemuda itu?" Dewi Bulan diam-diam menjadi khawatir.
"Ah... sudahlah aku bosan melihat permainan mereka. Aku yakin masing-masing pihak dapat menjaga diri, kalau pun tidak selamat paling-paling mampus! Ayo...!" ajak
Gajah Gemuk. Karena murid tidak memberikan reaksi.
Maka ia sambar muridnya, lalu didukung dibahunya. Selanjutnya Gajah Gemuk berlari dengan
kecepatan laksana terbang.
Apa yang diperhitungkan oleh Gajah Gemuk memang tidak meleset. Diraja Penghulu Iblis sendiri yang bertarung dengan
Gajah Krempeng jadi tidak bersemangat karena kosentrasinya sela-lu terpecah memikirkan
keselamatan anaknya.
Mereka sudah sama-sama terluka. Jika
Gajah Krempeng tubuhnya babak belur dan menderita luka bacokan pada keningnya, maka Diraja Penghulu Iblis juga menderita
luka dalam yang tidak ringan.
Jelas sekali jika kedua tokoh ini mempunyai kepandaian dan kesaktian hampir seimbang.
Setelah pertempuran sengit itu berlangsung selama hampir sembilan puluh jurus maka
Diraja Penghulu Iblis mulai berpikir untuk menyusul dua kawannya ke Lembah Ciruyung.
Sekejap kemudian ia mengeluarkan bola
kecil berwarna hitam. Bola itu dilemparkannya ke arah Gajah Krempeng secara
berturut-turut. Begitu bola hitam itu meletus. Maka asap tebal menebar dan
membuat gelap sekelilingnya.
"Aku belum kalah, Krempeng! Urusanku
juga banyak! Sampai ketemu di Lembah Ciruyung!" kata Diraja Penghulu Iblis.
"Bangsat kecoa. Mau mampus saja mengapa harus ke Lembah Ciruyung?" desis Gajah
Krempeng sambil terbatuk-batuk.
Dalam kesempatan itu Buto Terenggi juga


Pendekar Bloon 7 Neraka Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah sangat terdesak sekali mendapat serangan
balik yang membuat kepalanya menjadi semakin
bertambah pusing. Dalam keadaan sendiri seperti
itu. Menghadapi Pendekar Blo'on saja ia sudah
sangat terdesak sekali. Apalagi jika mengingat Gajah Krempeng ikut bergabung.
Akhirnya mau tidak mau ia harus mengikuti jejak Diraja Penghulu Iblis. Dalam keadaan begitu rupa ia segera
mempergunakan kelicikannya. Mula-mula mendesak Suro Blondo dengan serangan-serangan
yang sangat berbahaya. Setelah itu ia melepaskan pukulan 'PARA MAMBANG
BERSEDIH'. Seleret sinar kuning kemilau keemasan
menderu dari telapak tangannya hingga membuat
suasana disekelilingnya berubah menjadi panas
bukan main. Pendekar Blo'on tercekat. Kemudian ia lepaskan pukulan 'KERA SAKTI MENOLAK PETIR'.
Sepuluh ujung jemari tangan Suro Blondo memancarkan sinar putih kemilau laksana salju.
Pukulan ini menimbulkan udara dingin bagaikan
di padang es. Ketika dua pukulan sakti ini bertemu diudara. Maka terjadilah ledakan dahsyat. Suro
Blondo sempat tergontai-gontai. Dadanya sesak
bukan main, wajahnya berubah pucat. Ketika ia
melihat ke depannya. Dilihatnya Buto Terenggi
sudah tidak berada ditempat lagi.
Sambil memegangi dadanya dengan tangan
kiri, Suro Blondo garuk-garuk kepala dengan tangan kanan. Ia terduduk di bawah
sebatang pohon yang sangat rindang. Sementara Gajah Krempeng
datang menghampiri.
"Heh... wong gila kowe lawan. Akhirnya dia
kabur. Mengapa kau tidak membunuh manusia
daun itu?"
"Paman sendiri mengapa tidak bunuh
Penghulu Iblis?" Suro Blondo balik bertanya.
"Ah... dia" Seharusnya aku membunuhnya.
Tapi jika itu kulakukan, maka aku tidak akan
berjumpa lagi dengannya. Eeh... maksudku aku
tidak tega melakukannya. Bukankah dia mertuamu?" Bukannya marah, Suro Blondo sebaliknya malah tergelak-gelak. "Siapa sudi
menjadi mantunya. Sudahlah... jangan bicarakan masalah itu.
Urusanku masih banyak. Aku takut Prisma Permata itu tidak dapat kita ambil dari tangan Raja Penyihir jika ia berhasil
memecahkan rahasia
yang terkandung didalamnya."
"Kurasa mereka bergabung dengan kawankawannya di lembah Ciruyung. Tapi sebelum kita
berangkat kesana alangkah lebih baik lagi jika ki-ta bakar saja sarang iblis
ini!" "Aku setuju." kata Suro Blondo.
Mereka kemudian bahu membahu melakukan pembakaran besar-besaran. Bangunan berbentuk istana itu hanya dalam waktu yang sangat singkat saja telah berubah
menjadi lautan api.
"Sekarang tempat tinggalnya yang menjadi
lautan api. Besok orangnya akan kujadikan debu." "Jangan buang waktu! Sebaiknya kita berangkat sekarang!" kata Suro Blondo.
mengingatkan. "Hmm, baiklah!"
Mereka menuruni gunung Pangkrangko.
Tapi setelah sampai ditengah jalan mereka dikejutkan lagi dengan hadirnya para pengungsi seca-ra besar-besaran.
"Orang-orang pada membawa bungkusan.
Hendak kemanakan mereka, paman?"
"Gila... aku juga tidak tahu. Tapi alangkah baiknya jika kita tanyakan pada
mereka!" Gajah Krempeng kemudian menghampiri salah seorang
dari para pengungsi itu. Barulah mereka mengerti telah terjadi luapan lumpur
panas yang berasal
dari gunung Gede.
"Anak muda, seingatku dibawah gunung
gede bukankah ada Gua Darah. Apakah mungkin
Gua Darah hancur kemudian menyemburkan lahar panas karena kebangkitan manusia merah?"
"Aku tidak tahu, paman. Tapi sebaiknya kita kabarkan hal ini pada semua tokoh-tokoh persilatan yang ada."
"Mari kita susul kakangku...!"
Maka kedua laki-laki ini langsung berangkat menuju lembah Ciruyung.
EMPAT Maya Swari terus dibawa berlari dengan
kecepatan laksana terbang. Jika malam ia tidak
dapat mengenali siapa yang telah melarikannya
itu. Maka kini dalam keadaan siang tentu ia tahu dan kenal orang yang telah
menculiknya itu. Dia tidak lain adalah Datuk Alang Sitepu, Raja Penyihir dari
gunung Sibayak. Apakah raja penyihir ini memang ada dua" Bukankah sesungguhnya
Datuk Alang Sitepu tengah mengadakan perjalanan
menuju Lembah Ciruyung bersama Nyanyuk Pingitan" Marilah kita simak pada saat mereka meninggalkan Diraja Penghulu Iblis dan Buta Terenggi. Ketika pertama kali melihat kecantikan
Maya Swari diatas pelaminan. Datuk Alang Sitepu alias Bungkuk Lima ini sudah
merasa jatuh hati
dan terbangkit nafsunya. Tapi ia tidak mau bersikap gegabah. Karena ada hal yang
sangat besar yang perlu mendapat perhatiannya. Hal besar itu menyangkut Prisma Permata yang
berada ditangan Nyanyuk sebagai orang yang telah mencurinya dari Goa Darah.
Malam ketika kawan-kawannya mempercayakan Prisma Permata kepadanya. Tentu ini
merupakan satu kemenangan. Karena hanya ia
sendiri yang tahu sampai sejauh mana kegunaan
barang yang sangat langka itu. Setelah Prisma
Permata ada ditangannya ia mengatur siasat lagi dengan mencari dalih bahwa ia
memerlukan tempat yang aman untuk memecahkan rahasia yang
terkandung dalam Prisma tersebut. Padahal tanpa pemecahan apapun, sesungguhnya
Prisma Permata itu memang memiliki kesaktian yang dahsyat. Asal saja tahu cara penggunannya.
Apa yang dikatakan oleh Datuk Alang Sitepu sebenarnya hanya tipuan semata karena ia
sendiri memang ingin menguasai dan mendirikan
kerajaan persilatan tanpa ada orang lain, sungguhpun kawan-kawan segolongan sendiri.
Menjelang dinihari mereka berangkat ke
Lembah Ciruyung, baru lima puluh tombak meninggalkan istana Diraja Penghulu Iblis ia memberitahu Nyanyuk Pingitan bahwa disepanjang jalan nanti jangan bicara atau berkata apapun. Setelah merasa yakin. Berkat
kesaktian serta mantra-mantra sihirnya yang sangat ampuh. Datuk
Alang Sitepu menciptakan kembarannya. Sedangkan yang asli berbalik ke istana dan menculik
Maya Swari. Jadilah Nyanyuk Pingitan berjalan dengan
bayangan sang Raja Penyihir. Kini di pinggir hutan Jati Muyung laki-laki bongkok
berwajah han- cur sebelah dan bermata satu ini meletakkan
Maya Swari. Gadis itu selain sangat marah juga menjadi
ketakutan sekali. Ketika Datuk Alang Sitepu
membuka jalan suaranya. Maka menyemburlah
caci maki dari bibirnya yang mungil dan selalu
membasah. "Iblis keparat! Mengapa kau membawaku
kemari?" "Ah... jangan terlalu galak, Maya. Aku
membawamu kemari tentu ada tujuan. Setiap laki-laki menghendaki seseorang juga pasti ada tujuan tertentu. Kecantikanmu membuat jantungku
mpot-mpotan. Apakah kau tidak merasakannya?"
Datuk Alang Sitepu kemudian tergelak-gelak.
Tangannya dengan leluasa menjamah dan membelai pipi Maya Swari yang kemerah. Lalu belaian itu turun ke bagian lehernya
yang jenjang, kemudian turun lagi dibagian dadanya. Karena pakaian Maya Swari
menghambat gerakan tangannya,
maka tidak ampun lagi pakaian itu dicabiknya.
Terlihatlah payudara si gadis yang putih
tegak menantang. Datuk Alang Sitepu demi melihat pemandangan ini langsung menelan ludah.
Matanya yang cuma, tinggal sebelah berputarputar liar, tenggorokannya turun naik.
Dengan nafas terengah-engah diremasnya
dada si gadis yang kenyal itu berulang-ulang
hingga membuat Maya Swari menjerit-jerit kesakitan. Ia berusaha meronta dan membebaskan diri dari totokan. Tapi setelah ia mengerahkan tenaga dalamnya berulang-ulang apa
yang dilakukannya sia-sia saja.
"Bangsat! Manusia rendah... keparat...!"
"Hakk Hak Kak...! Percuma saja kau meronta dan menjerit, Maya. Gerakanmu hanya
membuat semangatku kian menggebu untuk menikmati kehangatan tubuhmu. Aku tahu kau masih suci. Tentu ini merupakan kenikmatan yang
tidak ada duanya." desis laki-laki berwajah mengerikan itu dengan suara sember.
"Lep.. lepaskan..! Oh... tidak...!" Maya Swari menjerit-jerit ketakutan.
Setiap geliatnya membuat darah tua Datuk
Alang Sitepu semakin panas berapi-api.
Bret! Bret! Celana panjang biru penutup aurat Maya
Swari terenggut lepas. Melihat tubuh telanjang
didepannya, jantung si datuk semakin mpotmpotan. Ia raba-raba bagian yang sangat peka
itu. Kini Maya Swari yang dalam keadaan terancam itu bukan lagi menjerit, melainkan sudah
menangis. Lebih ketakutan lagi ketika sang Datuk
membuka celananya sendiri. Nasib serta kehormatan putri iblis namun baik budi ini benarbenar berada di ujung tanduk.
Terlebih-lebih ketika melihat laki-laki bermuka busuk sebelah itu mulai menindihnya. Namun rupanya suratan nasib menentukan lain.
Pada saat-saat yang sangat kritis itu ada sinar putih yang datangnya dari balik
pohon menderu ke arah Maya Swari. Sinar putih tanpa rasa itu
langsung menembus ubun-ubun Maya Swari. Gadis itu menjadi kejang dan ia merasa tubuhnya
secara tiba-tiba seperti tersentak.
Tanpa diduga-duga kini dari bagian bawah
Maya Swari mencuat kepala ular berwarna putih.
Ular itu langsung mematuk kepala burung kramat Datuk Alang Sitepu, hingga membuatnya meraung dan lepaskan pelukan.
Sambil terguling-guling Datuk Alang Sitepu
pegangi burungnya yang dipatuk ular. Karena
ular itu masih lengket dikepala anunya. Maka
anunya yang bisa membengkak dan mengempis
itu mengucurkan darah.
Didera rasa sakit yang bukan alang kepalang. Sang Datuk terpaksa memencet badan ular
putih. Tapi ular itu tidak mati. Jalan satusatunya adalah memencet kepala ular tersebut.
Tapi ia juga bingung. Jika kepala ular itu dipen-cetnya, praktis kepala anunya
juga ikut tergencet.
Ini akan bertambah repot. Karena separoh kepala anunya berada didalam mulut sang
ular. Tidak ada jalan lain lagi. Datuk Alang Sitepu terpaksa memotong badan ular tersebut
dengan mempergunakan kuku-kukunya yang runcing.
Ular itu menggelepar, mulutnya terbuka,
dengan sendirinya ular itu jatuh bersamaan mengempisnya kepala anunya sang datuk.
Digeceknya ular itu sampai menjadi serpihan daging. Anunya jadi bengkak lagi karena bisa ular. Barulah pada saat itu ia
teringat mengapa tadi tidak mempergunakan ilmu sihir saja untuk
membunuh ular itu.
Cepat-cepat ia mengambil obat penawar bisa. Dalam hati ia berguman. "Bagaimana nanti ji-ka anunya tidak dapat
dipergunakan lagi. Jika
anunya loyo dan tidak bisa kembang kempis ini
bisa berabe, berarti setiap ada kesempatan menikmati kehangatan gadis ia harus gigit jari."
Kenyataan ini rupanya yang membuat Datuk Alang Sitepu menjadi marah sekaligus menoleh ke arah si gadis yang hampir mencelakakan
dirinya. Tapi alangkah terkejutnya dia karena gadis itu sudah tidak ada lagi di tempat terkecuali hanya pakaiannya saja yang
berserakan diatas re-rumputan.
"Dajal! Perempuan sundul... pemborosan
dan buang-buang waktu saja. Awas... aku tahu
ada yang menolongnya. Suatu hari nanti jika ketemu ia akan kuperkosa pulang pergi!" desis Bungkuk Lima sambil menyeringai
kesakitan. Begitu marahnya dia, sampai-sampai ia memukulkan tongkatnya yang berbulu kepala ular Cobra
ke tanah. Seketika dari bekas pukulan tongkatnya
itu menyembur mata air panas berbau amis. Datuk Alang Sitepu rupanya masih belum puas. Ia
melepaskan pukulan ke batu-batu gunung yang
terdapat disekelilingnya. Batu-batu itu hancur
berkeping-keping menerbangkan serpihan debu.
Maka akhirnya ia meneruskan perjalanannya
kembali. Tapi ia menghentikan langkah kaki keti-ka menyadari bahwa dari pusernya
ke bawah ti- dak berpenutup apa-apa.
"Sial! Gara-gara bukit kembar urusanku
jadi kapiran!"


Pendekar Bloon 7 Neraka Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seperti orang linglung tokoh yang biasanya
angker ini kembali mendapatkan celananya. Untung Prisma Kristal Permata masih berada ditempatnya. Setelah mengenakan pakaiannya kembali
kini ia melanjutkan perjalanannya ke Lembah Ciruyung. Sementara itu tubuh telanjang Maya Swari
terus melayang dalam keadaan rebah diudara.
Sinar putih kemilau itu terus menggerakkannya
ke satu arah. Sampai kemudian berhenti mengembang persis ditengah-tengah hutan Hutan Jati Muyung.
Lalu dari atas batu tidak jauh dari gadis itu
yang tengah mengapung diudara. Terlihat seorang kakek tua berambut serba putih,
wajahnya nyaris tertutup bulu-bulu warna putih. Alis matanya
yang juga berwarna putih itu tertutup caping
bambu. Si kakek yang semula hanya mempermainkan ranting kayu berwarna putih sambil bersiulsiul ini tiba-tiba hentikan siulannya. Ranting putih ditangannya digerakkannya
ke bawah. Hingga
membuat Maya Swari jatuh terduduk. Ia jentikkan ranting itu ke arah Maya Swari. Mengagumkan sekali dalam sekedipan mata Maya Swari telah berpakaian lengkap berwarna putih seperti
sutera halus. Si gadis dalam keadaan terkejut
bercampur takjub ini memandang ke sekelilingnya. Ia tidak melihat siapa-siapa disitu terkecuali dirinya sendiri dan juga
kakek bercaping yang
duduk diatas batu. Satu hal yang membuatnya
heran adalah sekujur tubuh si kakek memancarkan cahaya putih berpendar-pedar.
"Andakah yang telah menyelamatkan aku?"
tanya Maya Swari dengan penuh rasa terima kasih. Yang ditanya tidak langsung menjawab.
Melainkan angkat capingnya, pandangi wajah
Maya Swari dengan tatapan bosan.
"Gusti Allah yang telah menyelamatkanmu
dari nista. Bukankah kau putri Diraja Penghulu
Iblis?" Maya Swari merasa senang karena ternyata orang tua aneh ini kenal nama
ayahnya. Dengan
cepat ia menjawab.
"Anda kenal dengan orang tuaku, kakek?"
"Huh! Siapa yang tidak kenal dengan Diraja Penghulu Iblis. Karena undangannya
membuat aku turun gunung. Jika bertemu ayahmu pasti
kugebuk hingga babak belur!" dengus si kakek.
Jawaban si kakek benar-benar sangat bertolak belakang dengan apa yang diharapkannya.
"Apakah salah ayahku?" bentak Maya Swa-ri menjadi sewot. Sungguhpun ia sadar
karena kakek bercaping itu ia selamat dari aib yang sangat besar.
"Salah ayahmu" Huh... salah ayahmu sangat banyak sekali. Karena undangannya Prisma
Kristal Permata dicuri dari Goa Darah. Karena dicuri Goa Darah menjadi hancur
menyemburkan hawa panas. Manusia merah terlepas dari kurungan. Kini membantai penduduk yang tidak berdosa, orang-orang sengsara mengungsi menyelamatkan diri dari amukan lava dan amukan Manusia Merah. Raja Penyihir yang hampir menodaimu juga telah menyihir orang-orang yang tidak berdosa menjadi patung batu.
Siasat apa lagi
yang lebih keji, melebihi kejinya iblis berkepala ular?" "Benarkah apa yang
kakek katakan itu?"
tanya Maya Swari dengan terkejut.
"Aku tidak memintamu percaya, setan tetap setan. Iblis bukan anak setan. Karena hatimu baik. Itu sebabnya aku beri
kesempatan kau hidup. Tapi ingat jika kau mencampuri urusan
orang tua. Tidak segan-segan aku membunuhmu
kelak dikemudian hari."
"Tapi...!"
Kakek bercaping putih ini memotong. "Tidak ada tapi-tapi. Cepat minggat dari hadapanku!" Panas hati Maya Swari, memerah wajahnya karena menahan amarah. Laki-laki
gaek ini ang-kuhnya bukan main-main. Kalaulah tidak mengingat dia telah menolongnya. Tentu sudah dilabraknya sejak tadi.
"Baiklah, aku akan pergi. Tapi sebelumnya, sudilah kakek memberitahu siapa nama
dan ge-larmu."
"Hak hak hak! Gelar" Apa itu gelar" Aku
hanya punya nama Barata Surya Penghulu Siluman Kera Putih!"
Karena merasa tidak kenal dengan nama
itu, maka Maya Swari hanya diam saja. Jika saja Datuk Alang Sitepu yang
mendengar si kakek
menyebut nama, tentu ia akan berpikir dua kali
untuk bertatap muka dengan si kakek. Sebagaimana diketahui Barata Surya alias Penghulu Siluman Kera Putih adalah satu diantara dua guru
Pendekar Blo'on. Guru yang lainnya adalah Dewana atau Malaikat Berambut Api yang tinggal di
Pulau Seribu Satu Malam. Jika salah satu guru si pemuda sampai turun gunung,
sama artinya ada
persoalan besar akan terjadi.
Laki-laki yang punya sikap ugal-ugalan,
konyol dan angin-anginan ini lalu batuk-batuk.
"Tunggu apa lagi. Menyingkirlah kau dari
sini!" Semakin bertambah geram saja Maya Swari. Ia tanpa menoleh-noleh lagi
langsung melangkah pergi. Tidak lama Penghulu Siluman Kera Putih pun berlalu. Tapi bukan dengan berjalan kaki, melainkan mengambang diudara
selanjutnya melesat dengan bantuan hembusan angin kencang.
LIMA "Hraaak!" Sekali berteriak, sekali bergebrak. Orang-orang yang marah karena
melihat manusia merah melakukan pembunuhan disepanjang jalan yang dilaluinya berpelantingan roboh. "Cincang manusia gila itu!"
teriak salah seorang mengkomandoi kawan-kawannya.
Para penduduk yang telah dirasuk marah
ini bergerak kembali. Berbagai jenis senjata
menghantam kaki dan perut Manusia Merah. Tidak satupun dari senjata-senjata itu dapat menembus kulit manusia keturunan raja Jin ini.
"Hraaaaa! Hraaaaakh...!"
Kaki menendang, tangan menghantam kiri
dan kanan. Lalu orang-orang malang itu berpelantingan roboh.
"Wuaaarkh."
"Hekkkh...!"
Para korban berjatuhan, keadaan mereka
sungguh menyedihkan. Ada yang kepalanya dipotes, ada yang dipatahkan pinggangnya dan tidak jarang dibanting lalu diinjak-injak.
Kenyataan ini tentu tidak lepas dari perhatian seorang perempuan berpakaian kembang.
Rupanya perempuan cantik berusia sekitar tiga
puluhan ini terus mengikuti perjalanan Manusia
Merah Soma Sastra.
Setelah lama melihat kekejaman serta
pembantaian yang dilakukannya. Akhirnya perempuan baju kembang-kembang yang tidak lain
adalah Ratu Penyair tujuh Bayangan ini berusaha mendekati Soma Sastra.
Ia berkelebat-kelebat diantara kerumunan
orang-orang yang mengeroyok Manusia Merah.
Sampai kemudian terdengar suara bentakannya.
"Hei kalian semua! Apakah sudah pada gila" Dia jelas tidak dapat kalian kalahkan. Mundur... lebih baik mundur kataku!"
Peringatan ini paling tidak cukup berpengaruh dan menyadarkan sebagian diantara mereka. Tapi tidak bagi orang-orang yang telah kehi-langan sanak keluarganya.
Mereka malah menjadi nekad dan beringas.
Akibatnya mereka tidak ubahnya menciptakan
neraka bagi mereka sendiri.
Korban terus berjatuhan. Sampai kemudian Ratu Penyair Tujuh Bayangan bicara seperti orang yang sedang bersair dengan
suara keras merobek langit Tololnya manusia karena menuruti marah!
Marah adalah nafsu hewani!
Malang sungguh malang.
Kesadaran datangnya selalu terlambat.
Turut kata nafsu angkara murka jadinya!
Setan lawannya, iblis tandinganya.
Tolol! Bodoh! Bego!
Badai menggila mengapa dilawan"
Jika sayang badan harus tahu diri.
Jika sayang nyawa sebaiknya angkat kaki.
Pulang! Pulang!
Jangan-biarkan badan jadi tulang!
Biarkan anak jin ciptakan neraka karena
dia tidak tahu dosa
Dasar celaka....
Ratu Penyair Tujuh Bayangan hentikan
ucapannya. Ia memandang lurus ke arah Manusia Merah yang melotot kearahnya.
Laki-laki raksasa berkulit merah ini tibatiba menghentikan gerakannya lalu berkata.
"Kau... perempuan baju kembang-kembang
apa maksud ucapanmu itu?"
Ratu Penyair Tujuh Bayangan seketika
menutup indera pendengarannya ketika mendengar suara Manusia Merah yang tidak ubahnya seperti suara gelegar halilintar itu.
Sungguhpun ia telah menutup daun telinganya, tapi tetap saja jantungnya berdetak keras.
Orang-orang yang telah mulai menjauhi Manusia
Merah itu juga berkaparan mati. Telinga mereka
meneteskan darah, mata melotot juga mengalirkan darah. "Sobat merah! Aku tahu kau mencari Prisma Permata yang telah dicuri oleh Nyanyuk Pingitan. Orang yang kau cari sekarang
telah melari- kan diri ke Lembah Ciruyung. Kuharap kau tidak
membunuh manusia yang tidak memiliki dosa
dan salah apa-apa kepadamu!"
"Kau apakah Dewa" Aku bukan sobatmu,
didunia ini semua musuhku. Aku hanya punya
seorang sahabat. Suro Blondo namanya. Jadi kau
jangan mengaku-ngaku!" Manusia Merah mendengus marah. "Kalau Pendekar Blo'on itu sahabatmu,
perlu kau tahu dia juga sahabatku!"
"Tidak bisa. Tidak bisa! Di dunia hanya ada seorang sahabat. Kau hanya mengaku
dan bermaksud menipu! Puuuuh...!"
Tanpa diduga-duga Manusia Merah kecilkan bibirnya, mulutnya menggembung dan angin
laksana badai topan berhembus menerjang Ratu
Penyair Tujuh Bayangan. Serangan seketika ini
membuat Ratu Penyair Tujuh Bayangan tadi
tunggang langgang. Dengan mengerahkan seluruh
tenaga dalam yang dimilikinya ia mencacakkan
kakinya diatas tanah membentuk kuda-kuda.
Saat itu ia pun ingin melepaskan pukulannya ke
arah Manusia Merah.
Hanya niatnya itu diurungkannya ketika ia
mengingat sesuatu. Selanjutnya ia melompat ke
samping kiri. Manusia merah mengejar dan injakkan kakinya yang berat dan menimbulkan
gempa. "Kalau pulau Jawa ini tenggelam karena ulah para iblis yang sok berkuasa
aku tidak perduli. Tapi terus terang saja aku takut dengan
murka bapak angkat. Hiiiih.... diiekh...!"
Manusia Merah Soma Sastra pukulkan
tangannya ke arah Ratu Penyair Tujuh Bayangan.
Tapi begitu tangannya menderu, lawan sudah
menghindar. Praktis pukulannya menghantam
batu. Batu hancur dan meninggalkan lubang besar. Melihat Kenyataan ini Ratu Penyair Tujuh
Bayangan menjadi dingin tengkuknya. Tidak terbayangkan bagaimana jika dirinya yang terkena
tinju Manusia Merah. Paling tidak gepeng dan keluar taik muda.
"Gerakanmu menghindar sebagus walet api
di neraka. Aku ingin tahu apakah kau juga mampu menghindari lidah apiku!"
Usai berkata ia kempiskan perut, lalu tarik
nafasnya dalam-dalam. Setelah itu.
"Haaah...!"
Seketika dari mulut manusia merah menyembur lidah api. Titisan Raja Jin ini memang
memiliki banyak keanehan disamping terlalu lugu. Begitu api menyembur langsung menyambar
Ratu Penyair Tujuh Bayangan. Perempuan ini
terpaksa bersalto ke belakang untuk menghindari sambaran lidah api. Tapi anehnya
lidah api yang menyembur dari mulut Manusia Merah terus
mengejar kemana pun ia berusaha menghindar.
Tidak pelak lagi bangunan yang ada disekitarnya ikut terbakar. Hanya dalam waktu
singkat disekitar mereka telah menjadi lautan api.
"Gilaaa....! Jika aku hanya bertahan begini terus, mustahil aku dapat memberi
pengertian kepadanya. Jalan satu-satunya adalah dengan
sedikit unjuk kebolehan...." Pikir Ratu Penyair Tujuh Bayangan.Sekejap tubuhnya berkelebat lenyap. Ia
dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi terus berputar-putar diatas kepala Manusia Merah, hingga membuat laki-laki berumur lebih dari satu abad ini kelabakan. Adalah buta jika lawan
dianggap kawan Anak Jin menjadi picik karena kawan dianggap lawan Prisma Permata sekarang telah dikuasai
oleh Raja Penyihir
Mengapa membuang-buang waktu tidak


Pendekar Bloon 7 Neraka Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendapatkannya"
Pergi cepat pergi
Terlambat sedikit kembarannya bakal terlahir.... Seakan diingatkan Manusia Merah jadi tercekat. Apa yang baru saja diucapkan oleh Ratu
Penyair Tujuh Bayangan seakan memiliki kesan
yang mendalam baginya. Mendadak ia katupkan
mulutnya, tangannya berhenti menyerang, lalu
matanya yang berkilat-kilat aneh memandang tajam pada Ratu Penyair Tujuh Bayangan.
"Kau bagaimana bisa mengetahuinya" Apa
yang kau ucapkan itu memang benar adanya.
Aku harus segera pergi, tapi tidak tahu dimana
Lembah Ciruyung!" ujar Soma Sastra dengan bingung. "Aku tahu tempatnya. Kalau
kau mau aku bisa tunjukkan!"
"Baik! Aku setuju, tapi jika kau menipuku, rasakan sendiri akibatnya." ancam
Manusia Merah. "Kau harus percaya padaku jika segala urusan ini dapat
diselesaikan dengan baik!"
Manusia Merah mengangguk setuju. Dengan perasaan ngeri akhirnya Ratu Penyair Tujuh
Bayangan pergi bersama Manusia Merah menuju
Lembah Ciruyung.
Lembah Ciruyung merupakan lembah
sunyi berbatu. Ditengah-tengah lembah itu terdapat sebuah bangunan terbuat dari
batu. Dalam keadaan tertentu lembah ini selalu berselimut kabut tebal. Tidak jauh dari
samping bangunan terlihat sebuah pemandangan yang cukup unik lagi
menyeramkan. Tengkorak dan tulang belulang manusia
bertebaran dimana-mana. Tidak ada yang tahu
bahwa penghuni lembah Ciruyung ini pada setiap
bulan purnama selalu menculik kaum laki-laki
untuk dijadikan persembahan para roh dan makhluk lelembut yang diyakininya dapat menimbulkan malapetaka.
Suasana diluar bangunan memang terasa
sangat sunyi sekali ketika Diraja Penghulu Iblis dan Buto Terenggi sampai di
tempat itu. Sebagaimana di daerah Jawa lainnya. Suatu tempat
terkadang sangat diyakini memiliki kekuatan gaib yang dapat mendatangkan
kesenangan dan ke-sengsaraan.
Demikian juga halnya dengan lembah Ciruyung ini. Siapapun yang berada di tempat itu
bila satu aliran dengan penguasa lembah. Maka
kekuatannya jadi berlipat ganda. Kekuatan ini
merasuk dalam diri seseorang tanpa disadarinya.
Demikian juga halnya yang terjadi pada diri Dira-ja Penghulu Iblis dan juga
Datuk Mambang Pitoka. Ketika itu ada empat sinar yang merasuk
dalam diri mereka. Merah, kuning, hitam dan biru. Tanpa sadar mereka terus berjalan mendekati bangunan batu yang sudah tidak asing lagi
bagi mereka. "Lihatlah tumpukan tulang belulang itu,
Datuk. Rupanya sobat kita semakin tua semakin
rajin mengumpulkan korban persembahan."
"Betul. Tentunya orang-orang malang itu
dijadikan gundiknya dulu sebelum dijadikan korban persembahan terhadap para roh disini." Raka Tenda menimpali.
"Kepada sobat-sobat tamu diluar. Mengapa
hanya diam disitu?"
Tiba-tiba terdengar sebuah suara sember
dari dalam bangunan. Pintu batu terbuka. Dibalik pintu tidak ada siapa-siapa,
berarti pintu itu membuka dengan sendirinya.
Setelah melirik ke arah kawannya. Datuk
Mambang Pitoka kemudian melangkah masuk diikuti Raka Tendra.
"Hik hik hik...! Beginilah keadaan tempat
tinggalku. Tentunya sangat jauh berbeda dengan
singgasanamu, Diraja Penghulu!"
Setelah saling menjura penuh rasa hormat.
Maka tidak lama setelah itu mereka duduk mengelilingi meja terbuat dari batu hitam. Konon batu hitam memiliki kemukjijatan
untuk menyembuhkan gigitan binatang berbisa. Tapi Diraja Penghu-lu Iblis manalah
perduli dengan hal-hal semacam ini. Sekarang hatinya tetap gelisah mengingat
putri tunggalnya masih belum ditemukannya.
"Kalian mengapa cepat sekali datang kemari" Apakah keadaan di puncak Gunung Pangrangko sudah tidak layak lagi untuk dipertahankan?" tanya Nyanyuk Pingitan
sambil tertawa.
Sehingga deretan giginya yang hitam pekat terlihat begitu mengerikan.
Secara singkat Diraja Penghulu Iblis kemudian menceritakan perihal hilangnya Maya
Swari dan penyerbuan yang dilakukan oleh dua
tokoh Gajah dari Merbabu. Ia juga tidak lupa
membicarakan tentang Suro Blondo dan juga Dewi Bulan. Tidak ayal lagi Nyanyuk Pingitan menjadi marah. "Aku sangat yakin salah satu dari orangorang golongan putih telah menculik anakmu.
Tapi... kita tidak tahu siapa dia. Dan kemungkinan lainnya bisa saja pemuda
bertampang tolol
itu yang telah menyembunyikannya di suatu tempat. Keadaan ini kurasa dapat kita atasi, karena tidak sampai dua hari lagi,
Datuk Alang Sitepu telah berhasil memecahkan kehebatan yang tersembunyi dibalik Prisma Permata tersebut."
"Sudahlah, sekarang istirahat dulu. Musuh-musuh kita mustahil berani menyatroni lembah ini" kata Nyanyuk Pingitan dengan penuh keyakinan.
Kepada dua tamu ini Nyanyuk Pingitan
menyuguhkan tuak wangi. Ketika mereka baru
saja hendak melanjutkan pembicaraan.
Tiba-tiba saja terjadi guncangan yang sangat keras pada dinding ruangan. Guncangan ini
tentu sangat mengejutkan bagi orang-orang yang
berada didalamnya. Sehingga ketiga tokoh sesat
ini langsung menghambur keluar. Hanya datuk
Lentera Maut 8 Lencana Pembunuh Naga Karya Khu Lung Makam Bunga Mawar 32

Cari Blog Ini