Ceritasilat Novel Online

Rahasia Sumur Tua 2

Pendekar Bodoh 11 Rahasia Sumur Tua Bagian 2


berapa lama tubuhnya meluncur turun dari
permukaan tanah. Sudah berkali-kali dia
mencoba memperlambat luncuran tubuhnya
dengan mengatur jalan napas. Namun, usahanya
itu sia-sia belaka. Tubuhnya tetap saja meluncur
cepat. Tak mau menerima kematian begitu saja,
Seno mementangkan kedua pergelangan tangannya, berusaha menggapai dinding lubang.
Tapi, usaha itu pun tak membuahkan hasil.
Dicobanya pula menekuk pergelangan kaki seraya
berjumpalitan untuk dapat bergerak mendekati
dinding lubang. Tapi..., kegagalan pula yang dia
dapatkan. Tubuhnya tetap saja meluncur turun
dan terus mendekati kematian!
Namun sebelum sesuatu yang tak diinginkan benar-benar terjadi, telinganya yang
tajam dapat menangkap suara berdebum. Suara
itu berasal dari beberapa bongkah batu yang telah
jatuh mencapai dasar lubang. Hal itu menandakan bila malaikat kematian semakin
dekat mengintai nyawa Pendekar Bodoh!
"Astaga!" seru si pemuda dalam hati. "Aku
hampir mencapai dasar lubang. Mati aku! Oh!
Kudengar pula suara desis ratusan ular! Oh! Aku
tak mau mati dikeroyok binatang-binatang
menjijikkan itu!"
Dengan membulatkan tekad dan mengumpulkan daya pikirannya yang masih
tersisa, Seno mencabut Tongkat Dewa Badai yang
terselip di ikat pinggangnya. Senjata mustika
berupa tongkat sepanjang dua jengkal itu
ditusukkan ke kanan-kiri sambil berjumpalitan.
Namun, dinding lubang tetap tak terjangkau.
Semakin ke dalam ternyata lubang jebakan
semakin melebar. Sehingga, Seno tak dapat
berbuat banyak dengan senjata andalannya.
Maka, keringat dingin segera membanjiri
tubuh si pemuda. Membayangkan apa yang akan
segera terjadi pada dirinya, dia pun memekik
ngeri tanpa sadar.
Untunglah, pada saat-saat terakhir nyawa
Seno bagai telur di ujung tanduk, dia mendapat
gagasan cemerlang. Cepat sekali dia melepas ikat
pinggangnya yang terbuat dari kain tebal
berwarna merah.
Ketika dialiri tenaga dalam, mendadak ikat
pinggang itu mengejang kaku laksana telah
berubah menjadi sebatang tombak. Hingga
kemudian, dalam kegelapan yang menyelimuti
pandangannya, Seno menghujamkan ujung ikat
pinggangnya ke dinding lubang.
"Hih...!"
Blusss...! Kali ini usaha Seno membuahkan hasil.
Salah satu ujung ikat pinggangnya dapat
mencapai dinding lubang dan menancap sampai
beberapa bagian. Namun, ikat pinggang yang
hanya terbuat dari selembar kain panjang itu tak
mampu menahan luncuran tubuh Seno, walau si
pemuda telah mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya untuk membuat ikat pinggangnya terus
mengejang kaku. Hingga di lain kejap, tubuh
Seno terpelanting membentur dinding lubang.
Tapi sebelum ujung ikat pinggangnya terlepas,
cepat dia tusukkan ujung Tongkat Dewa Badainya.
"Hih...!"
Pruk...! Bersorak girang Seno dalam hati. Tusukan
Tongkat Dewa Badai tepat menghujam ke
permukaan batu. Sehingga, ujung senjata
mustika itu dapat menancap dengan kuat, dan
mampu menahan luncuran tubuhnya.
"Syukurlah.... Syukurlah...," desis pemuda
remaja berparas tampan itu. Kedua tangannya
berpegangan erat pada batang Tongkat Dewa
Badai yang menancap di bongkahan batu yang
menonjol dari dinding lubang. Sementara, kedua
kakinya terus bergerak untuk mencari pijakan.
Setelah menarik napas lega beberapa kali,
mulailah Seno merayap ke atas. Dengan
menghujam-hujamkan ikat pinggang dan Tongkat
Dewa Badai-nya bergantian, dapatlah si pemuda
bergerak naik. Hingga sampai kemudian....
"Astaga...!"
Berseru kaget Seno. Tanpa disadarinya dia
telah menemukan lubang lain. Lubang itu cukup
besar untuk dapat dimasuki, sehingga Seno
berharap akan dapat mencapai permukaan tanah
dengan jalan yang lebih cepat dan lebih aman
pula. Dan ternyata ketika Seno menyusurinya,
lubang itu memang menuju ke atas. Seno pun
jadi girang bukan main. Dia tak peduli pada dasar
lubang yang basah dan becek. Tak peduli pula dia
pada bau tanah menusuk hidung. Si pemuda
terus merayap naik menyusuri lubang temuannya
yang mirip lorong gua bawah tanah.
Namun demikian, Seno mencekal erat
batang Tongkat Dewa Badai di tangan kanan.
Siapa tahu ada ular atau binatang berbisa lain
yang menghadang di depan.
"Syukurlah.... Syukurlah...," ungkap rasa
girang di hati Seno. "Kegelapan tak lagi menutupi
pandanganku. Aku melihat seberkas sinar di
kejauhan. Sinar mataharikah itu?"
Seperti mendapat tambahan tenaga baru,
semangat hidup Seno jadi berkobar-kobar. Tak
sabaran dia menyusuri lubang temuannya yang
memang berupa lorong gua bawah tanah.
Semakin jauh bergerak, Seno jadi tahu bila
lorong gua yang ditelusurinya berupa tanah
berongga yang diapit dua tebing tinggi. Kedua
permukaan tebing dilapisi lumut berair, membuat
tangan yang memegangnya terasa licin sekali.
Sementara, di dasar lorong terdapat sebuah aliran
air kecil. Dengan mengikuti aliran air itu, dan
dengan bantuan sinar yang menerobos jauh di
depan, Seno terus bergerak naik. Hingga tak lama
kemudian, Seno dapat mengetahui bila sinar yang
dilihatnya bukan sinar matahari. Sinar itu berasal
dari sekeping batu pipih lonjong berwarna biru.
"Batu Aneh! Batu Aneh!" seru Seno seperti
anak kecil"
Murid Dewa Dungu itu memberanikan diri
untuk memungut Batu yang memancarkan sinar
itu ternyata bandul kalung. Sementara, tali
kalung terbuat dari sejenis benang yang amat
kuat dan tak mudah putus.
"Kalung bagus! Kalung bagus!!" seru Seno
disertai lonjakan girang.
Sambil cengar-cengir, pemuda lugu itu
mengamati kalung temuannya. Senang sekali dia,
sehingga kalung itu dia kenakan di lehernya.
Setelah ikat pinggangnya dikenakan lagi,
sepasang kakinya mulai bergerak kembali
menyusuri lorong gua.
Tak banyak mendapat kesulitan dia.
Bandul kalung di lehernya dapat memberikan
penerangan cukup. Sinar itu pun berwarna
kebiruan dan terasa lembut di mata, sehingga
Seno tidak khawatir akan terjadi apa-apa pada
dirinya. Akan tetapi....
"Ya, Tuhan..."
Seno memekik kaget tiba-tiba. Detak
jantungnya berdetak amat cepat. Tubuhnya pun
bergetar kencang. Tanpa sadar mulutnya
ternganga lebar dengan bola mata melotot besar!
Matahari telah berada di dekat garis
cakrawala barat. Cepat sekali waktu berlalu.
Namun demikian, pertempuran antara Mahendra
Karnaka melawan Wanara Kadang masih
berlangsung seru. Belum tampak tanda-tanda
siapa di antara kedua tokoh tua itu yang akan
segera keluar sebagai pemenang.
Mahendra Karnaka yang tak mau bersentuhan kulit dengan Wanara Kadang
menggunakan sarung pedangnya untuk memainkan Jurus 'Memburu Jiwa Mengejar Roh'.
Walau senjata di tangan Mahendra Karnaka tidak
tajam dan tidak pula berujung runcing, tapi
Wanara Kadang sempat dibuat kerepotan.
Beberapa kali tubuhnya kena gebuk yang
mendatangkan rasa sakit hebat. Ilmu kebalnya
sama sekali tak berguna karena tenaga dalam
Mahendra Karnaka lebih unggul satu tingkat.
"Keparat!" geram Iblis Pemburu Dosa.
"Cukuplah kita bermain-main. Aku tak mau
memberi hati lagi. Lihat apa yang akan segera
kulakukan!"
Di ujung kalimat itu, mendadak tubuh Iblis
Pemburu Dosa melesat tinggi. Selagi melayang di
udara, dia berjumpalitan beberapa kali. Dan
ketika meluncur turun lagi, terkejutlah Hati
Selembut Dewa. Kedua telapak tangan Iblis
Pemburu Dosa memancarkan sinar merah
menyala-nyala! "'Tenaga Selaksa Roh'...!" desis Mahendra
Karnaka, tak sadar berdiri terpaku tanpa berbuat
apa-apa. Tampak kemudian, kakek berwajah teduh
itu tersurut mundur dua langkah. Sejuta
bayangan buruk segera berkelebatan di benaknya. 'Tenaga Selaksa Roh' adalah suatu
ilmu penghimpun tenaga dalam aliran sesat yang
sangat sulit untuk diukur kedahsyatannya.
Untuk memiliki 'Tenaga Selaksa Roh',
dibutuhkan sepuluh ribu manusia hidup untuk
digunakan sebagai latihan sekaligus korban.
Manusia sebanyak itu mati dibunuh secara
berkala, sedikitnya tiga orang sehari.
Sebelum dijadikan korban, mereka dicekoki
cairan sejenis racun yang dapat melipatgandakan
kekuatan dan daya tahan tubuh. Setelah itu,
mereka akan dihajar dengan pukulan beruntun
sampai mati. Selanjutnya, orang yang bermaksud mendapatkan 'tenaga Selaksa Roh' akan mengisap bau bangkai para korbannya sampai
bangkai-bangkai itu tinggal tulang-belulang.
Tentu saja hal itu membutuhkan waktu
bertahun-tahun. Namun, waktu yang sedemikian
lama cukup sebanding dengan hasil yang
didapatkan. Walau 'Tenaga Selaksa Roh' tidak meningkatkan kekuatan tenaga dalam seseorang
yang mendalaminya, tapi orang itu akan memiliki
satu kekuatan aneh di luar jangkauan akal
pikiran manusia pada umumnya. Dengan 'Tenaga
Selaksa Roh', seseorang akan dapat menahan
ilmu pukulan sehebat apa pun. Walau lawan


Pendekar Bodoh 11 Rahasia Sumur Tua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memiliki kekuatan tenaga dalam tiga kali lipat,
orang tersebut tetap tak akan mampu menghadapi kedahsyatan 'Tenaga Selaksa Roh'.
Jadi, wajar saja bila Hati Selembut Dewa
tampak begitu terkejut ketika melihat Iblis
Pemburu Dosa memperlihatkan ilmu itu. Dan
memang, berkat ilmu penghimpun tenaga dalam
itulah Iblis Pemburu Dosa dapat menyempurnakan ilmu 'Lima Pukulan Pencair
Tulang' dan 'Mengadu Tenaga Menjebol Perut'.
"Ha ha ha...!" tawa gelak Wanara Kadang.
"Wajahmu tampak sangat pucat, Mahendra. Aku
tahu apa yang ada di hatimu. Kau merasa gentar
dan takut, bukan" Tapi, jangan coba-coba
melarikan diri! Kau lari sampai ke kolong langit
pun, aku akan terus mengejarmu, karena
kematianmu adalah cita-cita hidupku!"
"Hmmm.... Siapa yang gentar dan takut"
Aku bukan pengecut yang mudah dipecundangi
orang. Kalaupun aku benar-benar mati di
tanganmu, bukankah kematianku adalah kematian seorang ksatria" Dan kau pun harus
tahu, mati sebagai ksatria adalah cita-cita hidup
seorang pendekar sejati!"
"Bagus! Bagus sekali! Kalau memang
seperti itu tekadmu, semakin mudah aku
mewujudkan keinginanku. Bersiap-siaplah! Tak
akan ada keajaiban yang dapat menyelamatkan
nyawamu!" Dengan telapak tangannya yang memancarkan sinar merah menggidikkan, Iblis
Pemburu Dosa menyerang ganas. Tentu saja Hati
Selembut Dewa tak mau mati konyol. Sarung
pedang di tangan kanannya berkelebatan untuk
dapat terus menjaga jarak.
Hati Selembut Dewa memang tak boleh
bersentuhan kulit dengan Iblis Pemburu Dosa.
Kalau hal itu sampai terjadi, 'Tenaga Selaksa Roh'
pasti akan merenggut jiwanya.
Karena ilmu peringan tubuhnya lebih
unggul, dapatlah Hati Selembut Dewa menghajar
lagi tubuh Iblis Pemburu Dosa. Berulang kali
tubuh lawannya itu jatuh bergulingan dan
membentur bongkah batu.
Hal demikian membuat amarah Iblis
Pemburu Dosa meledak-ledak. Semakin bernafsu
dia untuk segera dapat menyudahi riwayat Hati
Selembut Dewa. Dan tampaknya, keberuntungan tak selalu
berpihak pada Hati Selembut Dewa. Batang
usianya yang sudah lapuk membuat tenaganya
cepat terkuras. Sementara, tusukan dan gebukan
sarung pedangnya tak begitu berpengaruh pada
Iblis Pemburu Dosa. Hingga di lain kejap,
terbelalaklah mata Hati Selembut Dewa.
Sarung pedang si kakek dapat ditangkap
oleh jemari tangan lawan. Dan ketika Iblis
Pemburu Dosa mengeluarkan suara menggerendeng, sarung pedang yang terbuat dari
kayu jati itu langsung hancur luluh menjadi
serbuk halus! "Ha ha ha...!" tawa girang Wanara Kadang.
"Setelah senjatamu kuhancurkan, ingin kulihat
sampai berapa lama kau dapat bertahan.... "
"Jahanam!" sahut Mahendra Karnaka.
"Aku percaya, kebenaran akan selalu dapat
menekan kejahatan. Jika aku tak bisa menghentikan kejahatanmu, suatu saat nanti
pasti akan muncul sinar kebenaran yang akan
mengantar jiwamu ke pintu neraka!"
Usai berkata, kakek berpakaian serba
putih itu menerjang nekat. Telapak tangan
kanannya terjulur lurus ke depan untuk
memukul hancur isi dada Wanara Kadang!
Namun, yang diserang malah tertawa
bergelak. Tanpa menggeser kedudukan tubuh, dia
sorongkan pula telapak tangan kanannya untuk
menapaki pukulan yang tertuju ke dadanya.
Terkejut tiada terkira Hati Selembut Dewa.
Walau kekuatan tenaga dalamnya unggul satu
tingkat, tapi bila sampai terjadi adu tenaga, tidak
mustahil nyawanya akan melayang saat itu juga.
Namun... untuk menarik lagi pergelangan
tangannya, sudah tak ada kesempatan.
Maka, yang dapat dilakukan Hati Selembut
Dewa hanyalah mengerahkan seluruh kekuatan
tenaga dalamnya seraya mengharap datangnya
keberuntungan. Akan tetapi....
Blarrr...! Bentrokan dua kekuatan tenaga dalam
tingkat tinggi benar-benar terjadi. Ledakan keras
menggelegar terdengar membahana panjang.
Karena kalah tenaga, tubuh Iblis Pemburu Dosa
terpental jauh. Namun dengan bersalto beberapa
kali di udara, dia dapat mendarat sigap tanpa
kurang suatu apa.
Sebaliknya, Hati Selembut Dewa cuma
tersurut mundur tiga langkah. Tapi..., wajahnya
terlihat amat pucat, bahkan lebih pucat dari
wajah orang yang sudah dijemput ajal.
Sementara, bola matanya melotot besar seperti
hendak meloncat keluar dari rongganya.
Kedua tangan kakek berkulit kuning itu
menekan perutnya yang tampak menggembung
besar seperti balon yang baru ditiup sekuat
tenaga. Dan..., perut si kakek memang hendak
meletus! "Ha ha ha...!" tertawa bergelak lagi Iblis
Pemburu Dosa. "Kau baru merasakan kehebatan
Ilmu 'Mengadu Tenaga Menjebol Perut'! Kau akan
segera mati dengan perut pecah berantakan.
Tapi..., aku tak mau melihatmu mati sebelum kau
menerima 'Lima Pukulan Pencair Tulang'-ku!
Hiaahhh...!"
Tubuh Wanara Kadang berkelebat cepat.
Dan, Mahendra Karnaka yang sudah berada di
ambang kematian tak dapat menghindar manakala lelaki berbulu lebat itu menghujani
lima pukulan beruntun. Satu pukulan menerpa
dahi, dua di bahu, dan dua pukulan lagi tepat
bersarang di lutut!
Akibatnya sungguh amat menggiriskan!
Diiringi jeritan panjang menyayat hati, tubuh
Mahendra Karnaka jatuh ke tanah tanpa nyawa.
Seluruh tulang-belulang tubuhnya langsung
mencair. Sementara, perutnya yang masih
menggembung langsung meledak!
Bau anyir menebar bersama isi perut yang
berhamburan ke berbagai penjuru. Hati Selembut
Dewa mati dengan tubuh berubah menjadi
segumpal daging tipis tanpa tulang sedikit pun!
7 MEMANG bukan hal sewajarnya bila Seno
melihat seorang kakek berjubah merah yang
tengah duduk bersila di dalam gua bawah tanah.
Permukaan tanah yang becek dan lembab sudah
cukup membuat orang tak betah tinggal berlamalama. Tapi, kenapa kakek berjubah
merah itu terus duduk tenang dalam sikap semadi"
Berkat bantuan sinar yang memancar dari
bandul kalungnya, Seno dapat melihat sosok si
kakek dengan jelas. Kelopak mata kakek yang
sudah sangat uzur itu terpejam rapat. Raut
wajahnya yang sudah dipenuhi kerut-merut
malah menyiratkan sifat welas asih dan
keluhuran budi. Dan karena duduk bersila di atas
lempengan batu besar, tak ada rembesan air yang
mengotori jubah maupun kulit tubuhnya.
Rambutnya yang telah memutih semua
digelung ke atas dengan ikatan gelang perak,
mirip dandanan punggawa tinggi kerajaan.
Sementara, kumis dan jenggotnya yang juga telah
memutih semua tampak bersih tanpa noda.
Sepertinya, si kakek memang pandai merawat
keadaan dirinya.
"Heran aku. Kalau cuma untuk memperdalam ilmu kesaktian, kenapa kakek itu
mesti menyiksa diri dengan tinggal di tempat
menyedihkan seperti ini?" gumam Pendekar
Bodoh, memberanikan diri mendekati. "Hmmm....
Aneh sekali! Kenapa aku tak mendengar
hembusan napas dan detak jantungnya" Atau,
telingaku sendiri yang telah tuli?"
Seperti orang yang benar-benar berotak
amat bebal, Seno menepuk-nepuk kedua
telinganya. Dia ingin membuktikan bahwa
telinganya masih normal.
Dan terbawa rasa penasaran, pemuda lugu
itu melangkah lebih dekat. Dia pertajam lagi
indera pendengarannya yang memang masih
normal. Tapi..., hembusan napas dan detak
jantung si kakek tetap tak terdengar!
"Jangan-jangan... dia telah mati...," pikir si
pemuda, bulu kuduknya tiba-tiba berdiri
meremang. Setelah menarik napas panjang untuk
menekan debar-debar di hatinya, Seno hendak
memeriksa detak jantung si kakek. Tapi...,
alangkah terkejutnya dia. Begitu jari tangannya
menyentuh dada, tubuh si kakek langsung jatuh
terjengkang! Anehnya, walau telah jatuh terjengkang,
sikap tubuh si kakek tetap dalam keadaan
bersemadi. Kedua tangannya tetap bersedekap.
Dan, kakinya pun tetap bersila seperti semula!
"Ya, Tuhan...," sebut Pendekar Bodoh. Mata
murid Dewa Dungu itu terbelalak lebar melihat
kain jubah si kakek yang perlahan hancur
menjadi serpihan kecil. Agaknya, kain jubah si
kakek sudah sedemikian tuanya, sehingga
menjadi lapuk. Dengan mengumpulkan segenap keberaniannya, Seno memeriksa keadaan kakek
yang tampak amat aneh itu. Hingga....
"Aku tahu sekarang...," kata hati Seno
kemudian. "Rupanya, kakek itu telah mati
puluhan tahun lalu. Tubuhnya tidak sampai
membusuk hancur karena hawa di gua bawah
tanah ini selalu dingin. Tubuhnya memang telah
jadi beku.... Namun, ada kemungkinan bila kakek
ini mempunyai sebuah ilmu kesaktian yang
membuat jasadnya tak membusuk walau telah
lama dijemput ajal...."
Pendekar Bodoh tidak seberapa larut
dalam pikiran di benaknya karena perhatiannya
segera tertuju pada gambar dan tulisan yang
terukir di dinding gua sebelah kanan. Gambargambar yang sengaja diukir di
dinding cadas itu
memperlihatkan gerakan tangan yang terdiri dari
lima gerakan memukul. Sementara, deretan
tulisan di bawahnya memberi petunjuk dan
penjelasan bagaimana cara menguasai lima
gerakan memukul itu.
Setelah memperhatikan beberapa lama,
Seno jadi geleng-geleng kepala. Ada rasa ngeri
yang tiba-tiba muncul di hatinya. Walau telah
menemukan sebuah pelajaran ilmu pukulan, tak


Pendekar Bodoh 11 Rahasia Sumur Tua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbersit rasa senang sedikit pun. Karena, dia
menganggap ilmu pukulan itu terlalu ganas dan
kejam. Lebih-lebih, bisa merusak diri sendiri.
Berdiri cengar-cengir Seno. Pandangannya
beralih ke dinding gua sebelah kiri. Di sana, dia
juga melihat gambar dan tulisan yang juga
merupakan petunjuk untuk menguasai sebuah
ilmu pukulan. Namun karena ilmu pukulan itu
sama ganas dan kejam, Seno tak mau
memperhatikan dengan seksama. Tatapannya
malah beralih ke mayat kakek berjubah merah
yang masih duduk bersila dalam keadaan
terbaring. "Kasihan sekali kau, Kek...," desis Seno.
"Aku bisa menebak. Yang mengukir dua ilmu
pukulan di dinding gua ini pasti kau, dengan
maksud untuk kau wariskan kepada siapa saja
yang berjodoh. Tapi, maafkan aku. Walau telah
menemukan tempat yang amat tersembunyi ini,
aku merasa tidak berjodoh untuk mempelajari
dua ilmu pukulanmu itu. Bagiku, dua ilmu
pukulanmu itu terlalu ganas dan kejam.... Namun
sebagai manusia beradab, aku menghaturkan
rasa hormatku kepadamu. Siapa pun kau, aku
wajib menguburkan jenazahmu. Semoga kau
dapat hidup tenang di alam sana...."
Seno mengedarkan pandangan ke seluruh
ruangan gua. Dicarinya tempat yang cocok untuk
menguburkan jenazah kakek berjubah merah.
Namun, dia segera berdiri terpaku. Pandangannya
tertumbuk pada barisan huruf yang tertera di
atas lempengan batu.
Tulisan itu berbunyi:
Kalau ingin menguburkan badan kasar
yang tak berguna ini, pindahkan lempengan batu
tempat duduk ku. Selayaknya aku dikubur di
bawah batu. Cengar-cengir lagi Seno. Karena rasa iba
dan kasihan, dia tak merasa jijik atau ngeri ketika
memindahkan tubuh kakek berjubah merah dari
atas lempengan batu. Dibaringkannya tubuh
kaku beku itu di sudut ruangan yang tak becek.
Dan, mulailah Seno mengempos tenaga untuk
dapat menuruti wasiat si kakek.
Hanya dengan mengerahkan sebagian kecil
tenaga dalamnya, dapatlah Seno menggeser
lempengan batu bergaris tengah dua depa.
Namun, matanya segera terbelalak. Antara rasa
heran dan terkejut dia melihat sebuah kitab
bersampul merah yang semula tertindih lempengan batu.
Karena tertarik, Seno memungutnya. Kitab
itu sudah amat tua. Sampulnya sudah mulai
lapuk. Walau hidungnya mencium bau apek yang
menusuk, dibukanya juga halaman kitab itu.
Selamat. Dengan menemukan tubuhku yang
sudah menjadi mayat ini, kemungkinan besar kau
memang ditakdirkan untuk menjadi ketua
Perkumpulan Beruang Merah.
Setelah melihat dua pelajaran ilmu pukulan
yang terukir di dinding gua, pasti terbersit dalam
benakmu bahwa dua ilmu pukulan itu amat ganas
dan kejam. Memang demikianlah halnya. Apa
yang telah kau lihat bukan untuk dikuasai, tapi
kau wajib mempelajarinya. Agar nanti, kau dapat
menumpas orang-orang yang memiliki kedua ilmu
pukulan sesat itu dan menegakkan kembali panjipanji Perkumpulan Beruang Merah.
Ingat! Kau wajib mempelajari, bukan
menguasai! Kedua ilmu pukulan itu bernama 'Lima
Pukulan Pencair Tulang' dan 'Mengadu Tenaga
Menjebol Perut'
"Astaga...!" kesiap Seno dengan tubuh
bergetar. Kitab bersampul merah di tangannya
turut bergetar dan menebarkan debu.
Dua ilmu pukulan yang disebutkan dalam
kitab bersampul merah mengingatkan Seno pada
Iblis Pemburu Dosa. Menurut Hati Selembut
Dewa, Iblis Pemburu Dosa telah menguasai ilmu
"Lima Pukulan Pencair Tulang' dan 'Mengadu
Tenaga Menjebol Perut'. Jadi, si penulis kitab
mempunyai keinginan agar orang-orang jahat
seperti Iblis Pemburu Dosa dapat ditumpas. Oleh
karenanya, menyesal Seno telah berprasangka
buruk pada kakek berjubah merah.
Tapi, kenapa kakek itu menyebutkan
bahwa dirinya kemungkinan besar memang
ditakdirkan untuk menjadi ketua Perkumpulan
Beruang Merah" Perkumpulan apakah itu"
Kenapa dia belum pernah mendengar kabar
beritanya"
Seno jadi penasaran. Dibacanya lagi tulisan
pada kitab bersampul merah.
Jika seseorang memiliki 'Tenaga Selaksa
Roh', dia akan dapat menguasai ilmu 'Lima
Pukulan Pencair Tulang' dan 'Mengadu Tenaga
Menjebol Perut' dengan sempurna. Dunia akan
hancur dalam cengkeraman kejahatan. Oleh
karena itulah aku mengasingkan diri di tempat ini.
Hanya dengan satu maksud untuk mempelajari
kelemahan sekaligus menciptakan sebuah ilmu
atau jurus yang bisa mengatasi kedahsyatan 'Lima
Pukulan Pencair Tulang' dan 'Mengadu Tenaga
Menjebol Perut'.
Pasti kau bertanya-tanya siapa diriku
sebenarnya. Dapatlah kukatakan bahwa aku
adalah ketua ketiga Perkumpulan Beruang Merah.
Sejak Perkumpulan Beruang Merah didirikan oleh kakekku, Buana Seta, telah
berkobar api permusuhan dengan Saka Wanengpati terikat sumpah yang harus memusuhi
dan membinasakan keturunan Buana Seta. Dan
karena Buana Seta adalah pendiri Perkumpulan
Beruang Merah, maka semua anak buah serta
ketua selanjutnya juga dimusuhi oleh Saka
Wanengpati beserta keturunannya.
Dua tahun setelah aku diangkat menjadi
ketua perkumpulan, aku tahu bila salah satu
keturunan Saka Wanengpati berhasil menguasai
ilmu 'Lima Pukulan Pencair Tulang' dan 'Mengadu
Tenaga Menjebol Perut' dengan sempurna. Aku tak
mau seluruh anggota perkumpulanku jadi korban.
Terpaksa Perkumpulan Beruang Merah kububarkan. Tapi, seluruh anggota dan keturunannya akan terus terikat sumpah bahwa
mereka akan tetap setia pada perkumpulan
sampai kemudian muncul ketua baru.
Demikianlah. Aku lalu mengasingkan diri di
tempat ini. Ketika aku berhasil mendapatkan apa
yang kuinginkan, usia tua telah menggerogoti
kekuatan ku. Lebih buruk lagi, separo tubuhku jadi
lumpuh. Aku tak bisa lagi kembali ke dunia bebas.
Hingga kutinggalkan semua yang telah kudapatkan dalam bentuk kitab dan ukiran di
dinding gua. Selamat. Aku yakin kau memang ditakdirkan untuk menjadi ketua Perkumpulan
Beruang Merah yang keempat. Untuk mengetahui
takdir itu, sebelum menemukan jenazahku, kau
pasti telah menemukan kalung 'Permata Dewi
Matahari'. Kalung itulah lambang kekuasaan Perkumpulan Beruang Merah. Hanya orang yang
berjodoh yang bisa menemukannya.
Dengan kalung mustika itu, kau akan dapat
menegakkan kembali panji-panji perkumpulan
besar yang sebentar lagi akan kau pimpin. Namun
sebelumnya, kau harus menumpas dulu orangorang yang memiliki ilmu 'Lima Pukulan
Pencair Tulang' dan 'Mengadu Tenaga Menjeboli Perut'.
Mereka semua orang jahat. Kau akan dapat
membuktikannya nanti.
Salya Tirta Raharja.
Menghela napas panjang Seno setelah
membaca halaman pertama sampai kelima kitab
bersampul merah. Mengikuti rasa hatinya yang
semakin penasaran, Seno membuka halaman
berikutnya seraya membaca lebih teliti.
Karena kau telah menggeser lempengan
batu tempat duduk ku, alat rahasia yang
kupasang di gua ini akan bekerja. Gambar dan
tulisan yang tertera pada dinding akan terhapus.
Dan karena kitab ini telah tersentuh telapak
tangan, kitab ini pun akan segera hancur. Kau
harus dapat mempelajari isinya hanya dalam
waktu sehari semalam.
Inilah ujian yang sengaja kubuat untukmu.
Jadi pemimpin tidak mudah. Kau harus siap
dalam segala hal. Dalam keadaan seperti apa pun,
kau harus siap menghadapi tantangan dan
cobaan. Seno menggaruk-garuk kepalanya yang tak
gatal. Mampukah dirinya menempuh ujian itu"
"Tuhan..., berilah aku kekuatan...," desis
Seno, membulatkan tekat.
Dan..., berpaculah pemuda itu dengan
waktu! *** Melonjak kaget Seno.
Dinding gua di kanan-kirinya tiba-tiba
bergetar. Disertai suara gemuruh, dinding berupa
tanah cadas itu retak-retak, lalu mengelupas
menjadi debu halus. Tentu saja gambar dan
tulisan yang tertera di permukaan dinding itu
lenyap tanpa bekas!
Lebih terkejut lagi Seno.
Kitab bersampul merah yang tercekal di
tangan kanannya tiba-tiba terasa amat panas.
Sehingga, tanpa sadar Seno melepas cekalannya.
Dan... sebelum jatuh ke lantai gua yang
becek, mendadak kitab warisan Salya Tirta
Raharja itu hancur-luluh menjadi serpihanserpihan kecil yang tak mungkin
disatukan lagi!
"Astaga...!" seru Pendekar Bodoh dalam
keterkejutannya. "Luar biasa! Luar biasa! Pesan
kakek itu benar-benar menjadi kenyataan.
Hmmm.... Untung aku telah selesai mempelajari
isi kitab dan gambar di dinding gua ini."
Seno cengar-cengir beberapa lama.
Usaha kerasnya tidak sia-sia. Kini dia
dapat mengetahui di mana letak kelemahan ilmu
'Lima Pukulan Pencair Tulang' dan 'Mengadu
Tenaga Menjebol Perut'. Dia pun jadi yakin akan
bisa menuruti wasiat Salya Tirta Raharja. Namun,
benarkah dirinya memang ditakdirkan untuk
menjadi ketua Perkumpulan Beruang Merah"
Selagi Seno berpikir-pikir, keterkejutan
menghantamnya lagi. Kali ini dia sampai
melompat ke belakang dan berseru keras sekali.
Jenazah Salya Tirta Raharja tiba-tiba dapat
bergerak tanpa sebab. Kedua tangan dan kakinya
yang semula terlipat tampak bergerak perlahan
menjadi lurus! Sehingga, tubuh si kakek tidak
melengkung lagi.
"Ya, Tuhan...," sebut Pendekar Bodoh. "Apa
yang kulihat ini apakah sebuah pertanda bila
arwah kakek itu turut merasa senang melihat
keberhasilanku?"
Seno cengar-cengir lagi. Tapi ketika ingat
akan kewajibannya, dia segera menggali lubang
untuk menguburkan jenazah Salya Tirta Raharja,
persis seperti pesan si kakek yang tertulis di


Pendekar Bodoh 11 Rahasia Sumur Tua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lempengan batu.
8 PAGI baru datang mengantar terang
manakala nenek berpakaian putih penuh
tambalan itu keluar dari gubuk bambunya. Tegap
sekali dia melangkah walau batang usianya telah
mencapai delapan puluh tahun.
Tatapan matanya tertuju lurus ke depan,
nyaris tak pernah berkedip. Dia pun tak peduli
pada hembusan angin yang mengibarkan anakanak rambutnya. Sepasang kakinya terus
melangkah seiring rasa hatinya yang panas
bergelora. Nenek berkulit putih itu baru menghentikan langkahnya ketika telah sampai di
dekat sumur tua yang sudah tak berair lagi. Dari
bibir sumur setinggi pinggang, dilongoknya
kedalaman sumur. Lubang sumur yang telah
berumur lebih dari satu abad itu ternyata amat
dalam. Sinar matahari tak mampu menerobos
masuk. Setajam apa pun mata memandang, yang
terlihat hanyalah kegelapan. Namun demikian,
nenek berkulit putih tak pernah bosan menatap
ke bawah sampai beberapa lama.
Setelah berulang kali menarik napas
panjang, nenek yang raut wajahnya menyiratkan
sejuta duka itu mundur dua langkah. Raut
wajahnya semakin muram-durjana. Setitik demi
setitik air bening bergulir dari kedua sudut
matanya. Entah apa yang ada di benak nenek
berambut panjang tergerai itu. Yang jelas sinar
matanya pun menyiratkan kesedihan mendalam.
Sekuat tenaga dia menahan diri agar tak
terisak. Dia paksa rasa hatinya agar tak semakin
larut dalam kesedihan. Usai menghapus air mata
dengan ujung lengan baju, dia membungkuk
hormat tiga kali ke arah sumur.
Begitu khidmat dia menghormat. Dia
seakan berada di hadapan seorang petinggi atau
penguasa yang amat layak untuk diberi
penghormatan. "Tuan Salya Tirta Raharja...," desis nenek
berkulit putih dengan suara bergetar haru.
"Empat puluh tahun lebih aku menanti, namun
belum ada tanda-tanda nyata yang menunjukkan
bila Tuan akan segera muncul. Jika Tuan
bermaksud menguji kesetiaanku, bukankah
penantian selama empat puluh tahun cukup bisa
dijadikan ukuran" Keturunan Saka Wanengpati
sudah waktunya untuk ditumpas! Panji-panji
Perkumpulan Beruang Merah harus segera
ditegakkan kembali!"
Sinar mata si nenek mendadak berubah
terang menyala-nyala. Sepertinya, timbul suatu
pengharapan besar dalam hatinya. Dan, dia yakin
bila pengharapan itu akan menjadi kenyataan.
"Tuan Salya Tirta Raharja...," desis si
nenek lagi. "Bukan aku hendak berani menasihati
Tuan. Tapi, Tuan harus tahu bila salah satu
keturunan Saka Wanengpati telah banyak
meminta korban nyawa manusia yang tak
berdosa. Sudah saatnya Tuan menampakkan
diri.... Ataukah seluruh pengharapanku akan siasia belaka" Apakah aku memang
harus menunggu sampai mati di tempat ini...?"
Di ujung kalimatnya, nenek bernama
Kembang Andini itu menekuk lutut seraya
membenturkan dahinya ke tanah tiga kali.
Mendadak, sinar matanya meredup kembali.
Sedih di hatinya terasa lagi....
"Ketika masih muda, ketika nama Perkumpulan Beruang Merah masih harum dan
jaya, orang-orang memberiku gelar Dewi Cinta
Kasih yang terkenal setia,... Jika Tuan benarbenar hendak menguji kesetiaanku,
wajiblah aku menunjukkannya..."
Tiba-tiba, nenek yang sebenarnya punya
nama besar pada masanya itu mengeluarkan
sebilah pisau kecil dari balik bajunya. Tubuh si
nenek tampak bergetar karena detak jantungnya
berdegup amat cepat. Pisau kecil berujung lancip
dicekalnya erat di tangan kanan, lalu diangkat
tinggi-tinggi....
"Untuk menunjukkan kesetiaanku, aku
akan menyumbang darah untuk panji-panji
Perkumpulan Beruang Merah yang pernah
menjadi tempat bernaungku. Semoga setiap tetes
darahku dapat memberi jalan terang bagi
kebangkitan perkumpulan. Semoga pengorbananku ini tidak sia-sia...."
Dengan sinar mata nanar, Kembang Andini
atau Dewi Cinta Kasih menggenggam gagang
pisaunya lebih erat. Tekadnya sudah bulat untuk
mati di ujung pisaunya sendiri. Dan..., bilah pisau
itu benar-benar bergerak cepat. Ujungnya yang
lancip berkilat berkelebat untuk menusuk
jantung si nenek!
Set...! Ting...! Alangkah terkejutnya Dewi Cinta Kasih.
Pisau kecil yang sudah siap mencabut nyawanya
tiba-tiba terlepas dari genggamannya dan
terpental jauh. Sebutir kerikil yang dilemparkan
dengan disertai aliran tenaga dalam tingkat tinggi
telah menggagalkan niat si nenek untuk
melakukan bunuh diri!
"Eyang! Apa yang hendak Eyang lakukan"!"
Terdengar sebuah teguran yang dibarengi
kelebatan sesosok bayangan. Ketika berhenti di
hadapan Dewi Cinta Kasih, sosok bayangan itu
ternyata seorang gadis berusia dua puluh tahun.
Rambutnya yang hitam panjang diikat dengan
penjepit emas, sebagian dibiarkan tergerai ke
bahu. Kedua bola matanya bersinar bening.
Cantik sekali dia. Dan, kecantikannya semakin
terpancar karena dia mengenakan pakaian putih
berkembang-kembang yang terbuat dari sutera
halus. Dia Sekar Telasih atau Putri Hati Lurus,
yang tak lain cucu Dewi Cinta Kasih sendiri.
Di punggung gadis bertubuh tinggi
semampai itu terikat sebuah senjata berupa alat
musik kecapi. Sementara, tangan kirinya
mencekal ikatan dua ekor kelinci gemuk yang
sudah tak bernyawa.
"Eyang! Sungguh aku tak pernah menduga
bila Eyang akan berbuat seperti ini!"
Sekar Telasih yang baru menyelamatkan
jiwa neneknya, menegur lagi. Ditatapnya wajah
Dewi Cinta Kasih penuh tanda tanya dan rasa tak
percaya. Tanpa sadar, dua ekor kelinci hasil
buruannya yang telah siap dipanggang jatuh ke
tanah. Dewi Cinta Kasih tak kuasa membalas
tatapan cucunya. Kepalanya tertunduk. Butiran
air mata yang bergulir lagi jatuh ke pangkuannya.
"Eyang...," sebut Sekar Telasih, duduk
bersimpuh dihadapan neneknya. "Jika Eyang
benar-benar hendak mengakhiri hidup dengan
bunuh diri, mana keyakinan Eyang yang pernah
Eyang katakan kepadaku" Panji-panji Perkumpulan Beruang Merah akan tegak kembali!
Eyang juga pernah mengatakan, Eyang punya
firasat bila Perkumpulan Beruang Merah akan
jaya kembali seperti dulu. Kalau sekarang Eyang
bunuh diri, berarti Eyang tak percaya pada diri
Eyang sendiri" Seburuk-buruknya orang adalah
yang tidak bisa mempercayai dirinya sendiri.
Bukankah itu keyakinan yang selalu Eyang
tekankan kepadaku?"
Terisak haru Dewi Cinta Kasih. Dengan air
mata terus bercucuran, dipeluknya erat tubuh
Sekar Telasih. Mendengar kata-kata cucunya,
menyesal sekali dia telah melakukan apa yang
sebenarnya tidak boleh dilakukan. Penantian
panjang yang tak kunjung membuahkan hasil
memang seringkali mendatangkan rasa putus
asa. Namun, apakah keputusasaan mesti
berakhir dengan kematian dengan cara yang tak
benar" "Cucuku...," desis si nenek, menumpahkan
segala sedih hatinya ke dalam pelukan Sekar
Telasih. "Sudahlah, Eyang. Aku bisa merasakan
kesedihan Eyang. Eyang tidak seorang diri. Sejak
kecil aku telah menemani Eyang di tempat ini.
Dan sampai kapan pun, aku akan tetap
menemani Eyang. Aku akan turut menunggu
sampai sang ketua menampakkan diri...?"
"Oh! Sekar cucuku...."
"Sudahlah. Eyang lihat dua kelinci gemuk
itu. Aku baru saja menangkapnya. Pagi ini aku
ingin merasakan masakan Eyang yang paling
enak. Eyang tak akan mengecewakan cucu Eyang
yang semata wayang ini, bukan?"
Kalimat Sekar Telasih terdengar begitu
manja. Namun, justru karena itulah Kembang
Andini dapat melupakan kesedihannya walau
cuma untuk beberapa waktu. Si nenek
melepaskan pelukannya. Setelah menghapus
butiran air mata, dia bangkit seraya berjalan
memungut dua ekor kelinci hasil buruan Sekar
Telasih. "Jangan khawatir, Sekar. Mana aku pernah
mengecewakan cucuku yang amat cantik dan
baik hati?"
"Ya! Ya, Eyang juga baik hati. Sementara
Eyang memasak, aku akan membersihkan
halaman ini."
"Ya! Ya!"
*** Setelah mengubur jenazah Salya Tirta
Raharja, Seno segera menyusuri sebuah lorong
yang ditemukannya. Kali ini lorong yang
disusurinya lebih panjang dan berliku-liku. Tak
jarang dia menemukan gua-gua bawah tanah
lainnya. Karena ingin cepat keluar menghirup udara
segar, dia tak mau berhenti atau beristirahat
walau cuma sebentar. Tak peduli dia pada
keadaan tubuhnya yang amat lelah dan mulai
terasa ngilu di beberapa tempat. Tak peduli juga
dia pada rasa lapar yang membuat perutnya
tersiksa melilit-lilit. Kalaupun ada keinginan
untuk berhenti dan makan, apa yang harus
dimakannya"
Seno jadi heran. Menurut perkiraannya,
Salya Tirta Raharja telah tinggal di gua bawah
tanah selama puluhan tahun. Lalu, apa yang
dimakan kakek itu untuk dapat menyambung
hidup" Apakah lumut hijau licin yang banyak
terdapat di dinding gua"
Sementara berpikir-pikir, tak terasa Seno
telah merayap tegak lurus ke atas. Dan, samarsamar dilihatnya setitik sinar
putih terang yang
diperkirakannya sebagai sinar matahari. Maka,
tak sabaran lagi dia mengempos tenaga agar
segera dapat mencapai permukaan tanah.
Tongkat Dewa Badai di tangannya terus
menghujam ke dinding lubang. Dia pun terus
merayap naik dengan sejuta pengharapan.
Sampai akhirnya..., Pendekar Bodoh benarbenar mencapai permukaan tanah. Dapat
dilihatnya sinar matahari yang nyata bersinar
terang. Dapat dilihatnya pula sebuah puncak
gunung yang tinggi menjulang, jajaran pohon
hijau subur, dan burung-burung dadali yang
beterbangan di angkasa luas. Tapi..., keadaan
tubuhnya yang sudah sedemikian lemah memaksanya untuk jatuh pingsan....
"Astaga...!"
Menggerigap kaget Seno.
Telinganya mendengar suara orang yang
menyatakan keterkejutan. Terpikir akan adanya


Pendekar Bodoh 11 Rahasia Sumur Tua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahaya yang bisa merenggut jiwanya, Seno
menguatkan tekad agar tak jatuh pingsan. Dalam
keadaan terbaring lemah, dia edarkan pandangan. Tongkat Dewa Badai dicekalnya erat
di tangan kanan. Dia pun siap menghadapi segala
kemungkinan buruk yang akan segera terjadi.
Sementara itu, Sekar Telasih atau Putri
Hati Lurus yang tengah beristirahat di bawah
naungan pohon rindang, terkejut luar biasa.
Napasnya terasa telah berhenti beberapa lama.
Dia melihat seorang pemuda remaja berpakaian
biru-biru keluar dari lubang sumur yang selama
ini dirawatnya dengan baik bersama Kembang
Andini neneknya.
Tapi, alangkah kecewanya Sekar Telasih.
Orang yang keluar dari lubang sumur kenapa
hanya seorang pemuda remaja" Apakah ketua
ketiga Perkumpulan Beruang Merah, Salya Tirta
Raharja, dapat mengubah bentuk tubuh dan raut
wajahnya menjadi muda kembali"
"Bukan! Dia bukan Eyang Tirta Raharja,"
tegas Sekar Telasih dalam hati. "Jangan-jangan...
dia orang usil yang punya tujuan tak baik.
Hmmm.... Aku harus melumpuhkannya dulu
untuk kemudian kukorek keterangan!"
Mengikuti jalan pikirannya, bergegas Sekar
Telasih bangkit seraya berkelebat menyerang.
Tangan kanannya bergerak cepat sekali untuk
menjatuhkan totokan di tubuh pemuda berpakaian biru-biru, yang tak lain si Pendekar
Bodoh; Seno Prasetyo!
Walau keadaannya sudah amat payah,
Seno masih dapat melihat kelebatan sosok
bayangan Putri Hati Lurus yang menuju ke
arahnya. Dia pun dapat mendengar desir halus
yang merupakan suara gerakan yang bermaksud
menjatuhkan totokan.
Selagi masih bisa, tentu saja Seno tak mau
diam saja. Cepat dia kibaskan Tongkat Dewa
Badai. Gelombang angin pukulan yang akan
muncul dimaksudkan untuk membuat terpental
tubuh si penyerang. Tapi....
Duk...! "Uh...!"
Cepat sekali Sekar Telasih mengubah
gerakannya. Dia berhasil memukul siku kanan
Seno. Sehingga, batang Tongkat Dewa Badai si
pemuda terlepas dari cekalan sebelum sempat
digunakan. Terkejut setengah mati Seno.
Telinganya yang tajam menangkap lagi suara
desir halus. Dada kiri dan kanannya menjadi
sasaran totokan. Maka, cepat dia usir rasa ngilu
di pergelangan tangan kanannya. Dan tanpa pikir
panjang, dia gunakan gerakan 'Lima Pukulan
Pencair Tulang' untuk meredam serangan lawan.
Seno hanya menggunakan sebagian kecil
tenaga dalamnya agar tak berakibat buruk bagi si
penyerang. Bagaimanapun, dia tak boleh
bertindak gegabah. Dia belum tahu siapa
penyerangnya. Untuk apa mesti menjatuhkan
tangan maut" Lagi pula, si penyerang tidak
bermaksud membunuhnya, hanya menjatuhkan
totokan yang dimaksudkan untuk membuatnya
lumpuh sementara waktu.
Kaget bukan main Putri Hati Lurus yang
dapat mengenali gerakan Seno. Serta-merta dia
gagalkan serangannya seraya meloncat mundur.
"'Lima Pukulan Pencair Tulang'...!" seru si
gadis dengan raut wajah tegang.
"Eh! Eh..., aku...."
Tergagap Seno melihat si penyerang
ternyata seorang gadis berparas cantik jelita. Dia
cuma dapat berdiri terpaku menatap sosok Putri
Hati Lurus yang memang tanpa cacat.
Sementara, Sekar Telasih juga berdiri
terpaku beberapa lama. Dia pun tak menyangka
bila pemuda yang diserangnya memiliki wajah
sedemikian tampan. Namun, cepat si gadis
mengusir rasa terpesona di hatinya.
"Pemuda itu baru saja memperlihatkan
gerakan 'Lima Pukulan Pencair Tulang'. Hanya
orang jahat yang bisa menguasainya," kata hati
Sekar Telasih. "Hmmm.... Dia pasti punya
hubungan dengan Iblis Pemburu Dosa! Aku harus
bertindak cepat sebelum dia membuatku celaka!"
Cekatan sekali Putri Hati Lurus melepas
ikatan kecapi di punggungnya. Dawai-dawai
senjata berupa alat musik itu segera disentilnya!
Tring! Crang! "Argh...!"
Seno memekik keras. Dadanya terasa amat
sesak. Kepalanya pun terasa amat pening luar
biasa. Cepat dia kerahkan ilmu kebal 'Perisai
Dewa Badai' untuk melindungi dirinya dari suara
sentilan dawai kecapi yang menyerangnya. Tapi
apa daya" Keadaan tubuhnya terlalu lemah.
Dan..., dia pun jatuh terjengkang ke tanah
berdebu! 9 SIAPA itu?" Kembang Andini atau Dewi
Cinta Kasih bertanya heran. Si nenek sempat
dikejutkan oleh suara petikan kecapi Sekar
Telasih. Dia tinggalkan kesibukan di gubuk
bambunya yang tak seberapa jauh dari sumur tua
tempat Seno keluar dari lorong dan gua bawah
tanah. "Entah. Dia datang dari dalam sumur,"
sahut Sekar Telasih sambil mengikat lagi senjata
kecapinya ke punggung.
"Apa" Dia datang dari dalam sumur?"
Begitulah. Untung aku dapat segera
melumpuhkannya. Dia menyerangku dengan
'Lima Pukulan Pencair Tulang'."
"Hah"!"
Keterkejutan di hati Dewi Cinta Kasih
semakin menjadi-jadi. Sinar matanya berkilat
menatap sosok Pendekar Bodoh yang terbaring
lemah telentang. Mendadak, si nenek melancarkan tujuh totokan jarak jauh!
Tiga totokan menyadarkan Seno dari
pingsannya. Namun yang empat lagi memaksa
Seno untuk tetap terbaring di tanah karena kedua
tangan dan kakinya berhasil dilumpuhkan.
"Katakan siapa dirimu! Bagaimana kau
bisa datang dari dalam sumur"!" bentak si nenek,
melangkah menghampiri.
Pendekar Bodoh cuma berkeluh kesah.
Dadanya terasa sesak sekali. Tapi, dia tak bisa
berbuat apa-apa kecuali mengeluh dan mengaduh. Dia pun tak dapat melihat sosok Dewi
Cinta Kasih dengan jelas karena pandangannya
terhalang sinar matahari yang sangat menyilaukan. "Jangan berlagak bodoh, Anak Muda!
Katakan siapa dirimu! Benarkah kau datang dari
dalam sumur"!" bentak Kembang Andini lagi.
"Uh! Dadaku sesak sekali.... Kau siapa?"
Menggeram marah Kembang Andini mendengar ucapan Pendekar Bodoh yang balik
bertanya. Dipunggutnya Tongkat Dewa Badai
yang tergeletak tak jauh dari tempat Seno
terbaring. Hendak diancamnya Seno dengan
tongkat pendek yang salah satu ujungnya runcing
itu. Namun mendadak, si nenek memekik lirih.
"Ih...!"
"Eyang!" teriak khawatir Sekar Telasih,
bergegas meloncat ke dekat neneknya.
"Tak apa-apa," sahut Dewi Cinta Kasih.
"Aku hanya terkejut. Tongkat ini mengalirkan
hawa dingin ke tubuhku."
"Itu pasti senjata mustika," cetus Sekar
Telasih. "Hei! Kembalikan! Tongkat itu milikku!"
seru Seno, berusaha bangkit, namun tidak bisa.
Pengaruh totokan Kembang Andini benar-benar
tak sanggup dilawannya.
"Aku tahu ini milikmu. Tapi, jangan paksa
aku membunuhmu dengan senjatamu sendiri!"
sergap Dewi Cinta Kasih, menodongkan ujung
Tongkat Dewa Badai ke dada Seno. "Katakan
siapa kau! Bagaimana kau bisa datang dari dalam
sumur"!"
"Uh! Untuk menjawab pertanyaanmu, aku
perlu bercerita panjang. Bagaimana dapat
bercerita kalau kau menotok dan mengancamku
seperti ini?" desah Seno dengan wajah kebodohbodohan.
Plak! "Aduh!"
Memekik kesakitan Seno. Tubuhnya berguling ke kanan. Kembang Andini mendaratkan tamparan cukup keras, yang tentu
saja tak dapat dielakkan oleh Seno.
"Sinar matamu seperti orang berotak bebal.
Tapi ternyata, kau pandai bicara!" dengus si
nenek. "Jangan harap kau dapat mengelabuiku!
Bukankah kau tadi hendak membunuh cucuku
dengan 'Lima Pukulan Pencair Tulang'" Kalau
kulepaskan pengaruh totokan di tubuhmu, kau
pasti akan membunuhku dengan ilmu sesat itu!"
"Tidak! Siapa yang mau membunuh orang"
Aku bukan orang jahat!" elak Seno, amat lugu.
Dewi Cinta Kasih tak mau percaya begitu
saja. Dianggapnya Seno sengaja hendak mengadu
ketajaman lidah. Maka karena desakan rasa
kesal, sekali lagi telapak tangan kirinya bergerak
menampar. Kontan tubuh Pendekar Bodoh bergulingguling karena tamparan si nenek kali ini
lebih keras. "Kau! Kau...! Kejam benar kau, Nek! Aku
bukan orang jahat! Aku tak pernah berniat
membunuh muridmu! Apa yang kulakukan hanya
untuk membela diri.... Cucumu itulah yang tibatiba menyerangku!" sembur Pendekar
Bodoh, menahan sakit. Walau panas rasa hatinya, raut
wajahnya tetap terlihat kebodoh-bodohan.
"Membela diri" Kenapa kau gunakan "Lima
Pukulan Pencair Tulang' yang begitu ganas dan
kejam" Dari mana kau dapatkan ilmu itu"!"
sergap Sekar Telasih, turut memojokkan Seno.
"'Lima Pukulan Pencair Tulang' memang
ganas dan kejam. Tapi..., aku sungguh-sungguh
tak berniat membunuhmu, Gadis Galak! Aku
baru mempelajari ilmu itu, dan aku tak sengaja
ketika memainkannya!" kilah Seno lagi, membalas
tatapan Sekar Telasih.
Tatapan Pendekar Bodoh tampak begitu
lugu, tapi terasa menghujam ke relung hati Sekar
Telasih. Oleh karenanya, cepat Sekar Telasih
memalingkan muka.
Mendadak, timbul debar-debar aneh di hati
gadis cantik jelita itu. Tanpa disadari, pipi si gadis
jadi merah merona. Sementara, detak jantungnya
terasa berdetak lebih cepat, membuat aliran
darahnya berdesir tak karuan.
"Hmmm.... Mana aku mau percaya pada
bualanmu!" bentak Dewi Cinta Kasih. "Kau
katakan bila dirimu bukan orang jahat. Tapi,
kenapa kau mau mempelajari ilmu sesat itu?"
"Ucapanmu begitu ketus, Nek! Tidak


Pendekar Bodoh 11 Rahasia Sumur Tua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisakah kau bersikap sopan sedikit" Dua kali kau
menamparku. Coba kalau aku tidak tertotok,
mana berani kau menamparku?"
"Hmmm.... Punya otak juga kau, Bocah
Gemblung! Kau memancingku untuk membebaskan pengaruh totokan di tubuhmu.
Setelah bebas, seperti yang kukatakan tadi,
bukankah kau hendak membunuhku dengan
'Lima Pukulan Pencair Tulang'" Aku tak mau mati
konyol! Justru kaulah yang akan segera dijemput
ajal kalau tidak segera menceritakan siapa
dirimu!" Seno nyengir kuda beberapa saat. Karena
sinar matahari tak mengganggu pandangannya
lagi, ditatapnya lekat wajah Dewi Cinta Kasih.
Kini dia tahu. Walau tampak galak dan tega hati,
Kembang Andini punya sifat welas-asih. Hal itu
terpancar dari sorot mata si nenek.
"Baik! Baik!" ujar Seno akhirnya. "Kalau
kau memang ingin tahu siapa diriku dan
bagaimana aku bisa melakukan gerakan 'Lima
Pukulan Pencair Tulang', baiklah aku ceritakan...."
Sementara Seno menarik napas panjang,
Kembang Andini menunggu tak sabar. Sekar
Telasih bergeser ke belakang tubuh si nenek.
Sepertinya, dia hendak menyembunyikan diri dari
tatapan Seno. "Namaku Seno Prasetyo. Orang-orang
memberiku gelar Pendekar Bodoh...."
"Apa" Pendekar Bodoh?"
Terkesiap heran Kembang Andini. Julukan
Seno terdengar aneh di telinganya. Namun karena
belum mengenal siapa Seno dan bagaimana sepak
terjang pemuda remaja itu, tetap saja Kembang
Andini memasang muka ketus.
Lebih dari empat puluh tahun Kembang
Andini mengasingkan diri. Wajar kalau dia tak
mengenal keharuman nama Pendekar Bodoh yang
pernah beberapa kali menggemparkan rimba
persilatan. "Kenapa"
Kau heran mendengar julukanku" Bagiku, apalah arti julukan. Asal aku
tidak benar-benar bodoh, terserah kalau orangorang memberiku julukan Pendekar
Bodoh." "Tak perlu kau jelaskan panjang-lebar
tentang julukanmu itu! Ceritakan cepat, bagaimana kau bisa memainkan 'Lima Pukulan
Pencair Tulang'!"
Mendengar bentakan Dewi Cinta Kasih itu,
Pendekar Bodoh malah cengar-cengir beberapa
lama, Namun karena tak mau tetap disangka
orang jahat, cepat murid Dewa Dungu itu
menyadari keadaan. Segera dia berkata....
"Sebenarnya, apa yang kualami ini benarbenar di luar dugaanku. Aku berjumpa
dengan seseorang yang membutuhkan bantuanku. Namun sebelum sempat memberi bantuan, aku
terjerumus ke lubang jebakan yang amat dalam.
Untung aku tak mati. Setelah mengikuti loronglorong bawah tanah, aku menemukan
jenazah seorang kakek yang sudah beku. Menurut tulisan
yang tertera dalam kitab peninggalannya, jenazah
itu ternyata bekas ketua Perkumpulan Beruang
Merah. Namanya...."
Plak...! "Uuhh...!"
Tak dapat Seno melanjutkan ucapannya.
Kembang Andini tiba-tiba menampar amat keras.
Si nenek sama sekali tak percaya pada ucapan
Seno, membuat amarahnya bangkit.
Akibat tamparan si nenek, tubuh Seno
langsung bergulingan sejauh dua tombak. Untung
Kembang Andini hanya menggunakan tenaga
luar. Kalau tidak, pastilah kepala Seno pecah
berantakan! "Jangan me.... Eh!"
Kembang Andini tak jadi menghardik.
Matanya terbeliak lebar melihat kalung yang
melingkar di leher Seno. Semula, kalung itu tak
terlihat karena tertutup kain baju si pemuda.
Sekali lihat, Kembang Andini dapat
memastikan bila kalung yang dikenakan Seno
adalah kalung 'Permata Dewa Matahari', lambang
kekuasaan Perkumpulan Beruang Merah!
"Astaga! Benarkah apa yang kau ucapkan"
Tuan... Tuan Salya Tirta Raharja telah meninggal"
Dan, kau... kau berjodoh dengan kalung 'Permata
Dewa Matahari'...?" ujar si nenek dengan bola
mata tetap melotot, seperti tak percaya pada apa
yang tengah terjadi.
"Uh! Kepalaku pening sekali!" keluh
Pendekar Bodoh. "Jika aku mengatakan hal yang
sebenarnya, apakah kau akan menamparku lagi,
Nek" Apakah aku harus berbohong?"
"Ba... bagaimana kau bisa mendapatkan
kalung itu?" buru Kembang Andini dengan hati
berdebar tak karuan.
Melihat perubahan sikap si nenek, Seno
menarik napas panjang beberapa kali. Lalu, dia
ceritakan semua kejadian yang baru dialaminya
ketika terjerumus ke lubang jebakan.
Dan begitu Seno selesai bercerita, air mata
Dewi Cinta Kasih langsung jatuh bercucuran.
Dengan segudang rasa sesal, dia bebaskan
pengaruh totokan di tubuh Seno. Tongkat Dewa
Badai langsung pula dia sodorkan ke hadapan si
pemuda. "Aku yang bodoh ini menyatakan rasa sesal
yang mendalam atas perbuatanku yang tak
terpuji tadi...," ujar si nenek seraya berlutut dan
membentur-benturkan dahinya ke tanah. "Segala
hormat dan kesetiaan kuaturkan kepada Ketua
Baru! Semoga Perkumpulan Beruang Merah jaya
kembali...."
"En! Apa-apaan ini?" tegur Seno. "Kau
kenapa, Nek" Kenapa sikapmu begitu cepat
berubah-ubah?"
"Aku adalah Kembang Andini dan bergelar
Dewi Cinta Kasih. Aku pengikut setia Tuan Salya
Tirta Raharja. Ketika beliau mengasingkan diri di
gua bawah tanah untuk menciptakan jurus atau
ilmu yang bisa mengatasi ilmu 'Lima Pukulan
Pencair Tulang' dan 'Mengadu Tenaga Menjebol
Perut', aku menunggu di dekat sumur tua itu
sampai sekarang.... Dari sumur itulah Tuan Salya
Tirta Raharja masuk ke gua bawah tanah."
"Berapa lama kau menunggu, Nek" Pasti
sudah bertahun-tahun...," cetus Seno, cengarcengir lagi.
Kembang Andini yang masih duduk
bersimpuh, merendahkan tubuhnya. Lalu menyahuti, "Memang. Aku yang bodoh ini
memang telah menunggu lebih dari empat puluh
tahun." "Apa" Selama itu kau menunggu?"
"Demikianlah."
"Eh! Kau tak perlu bersikap seperti ini,
Nek. Aku... aku bukan orang yang pantas diberi
penghormatan. Aku hanya seorang pemuda
miskin papa. Aku tak punya apa-apa...."
Mendadak, timbul rasa kasihan di hati
Seno melihat Kembang Andini terus menguras air
mata. Disentuhnya bahu si nenek agar berdiri
tegak. Tapi, nenek berpakaian putih penuh
tambalan itu menolak.
"Tuan Seno telah ditakdirkan untuk
menjadi ketua keempat Perkumpulan Beruang
Merah. Mana aku berani berdiri sejajar dengan
Tuan...?" "Ah! Dari mana kau tahu kalau aku
memang ditakdirkan menjadi ketua Perkumpulan
Beruang Merah" Siapa tahu tulisan Kakek Salya
Tirta Raharja di kitabnya itu salah?"
"Tidak! Tuan Salya Tirta Raharja tidak
salah. Kalung 'Permata Dewa Matahari' adalah
sebuah benda mustika yang mengandung daya
gaib. Kalau tidak berjodoh, sampai kapan pun
orang lain tak akan bisa mendapatkannya...."
Seno menggaruk-garuk kepalanya yang tak
gatal. Diamatinya bandul kalung yang melingkar
di lehernya. Bandul kalung yang bisa memancarkan sinar terang bila berada di tempat
gelap itu berwarna putih bening mirip intan.
Terasa dingin jika disentuh dengan telapak
tangan. "Eh! Di mana Sekar Telasih" Kenapa dia
tak berada di sisiku?" ujar Kembang Andini tibatiba.
Perlahan nenek yang pernah menjadi
pengikut setia Salya Tirta Raharja itu memberanikan diri untuk mengedarkan pandangan. Tapi, sosok Sekar Telasih tetap tak
terlihat. Si gadis memang telah pergi beberapa
waktu lalu. "Kau cari siapa, Nek?" tanya Seno. Raut
wajahnya terlihat kebodoh-bodohan lagi.
"Cucuku," jawab Kembang Andini.
"Cucumu" Gadis cantik itu?"
Mengangguk Kembang Andini.
"Aku melihat dia tiba-tiba berkelebat pergi.
Tampaknya, dia tak suka terhadapku."
"Ah! Mana boleh begitu" Aku akan
mengajar adat kepadanya!"
"Ah! Sudahlah. Perutku lapar sekali. Kau
punya makanan, Nek?" ucap Seno, sama sekali
tak sakit hati walau dirinya baru ditampar
Kembang Andini tiga kali.
"Ya! Ya, Tuan! Aku baru saja memasak
daging kelinci yang lezat. Tuan pasti suka!"
"Benarkah itu?" bola mata Seno langsung
bersinar senang. "Tapi..., jangan panggil aku
tuan. Panggil saja Seno...."
"Ya! Ya!"
10 BERI aku waktu satu candra untuk
mengumpulkan anggota Perkumpulan Beruang
Merah yang masih ada beserta anak keturunan
mereka. Aku yakin, nama Perkumpulan Beruang
Merah akan harum kembali seperti dulu...," ujar
Dewi Cinta Kasih yang sedang duduk beralas
tikar di gubuk bambunya, yang ternyata amat
bersih dan senantiasa terawat.
Pendekar Bodoh diam beberapa lama.
Tubuhnya terasa amat segar setelah mandi di air
pancuran sore itu. Daging kelinci masakan si
nenek pun benar-benar sesuai dengan seleranya.
Bukan saja telah membuat laparnya hilang, tapi
juga memberikan rasa puas berlebih-lebih.
"Terserah apa yang akan kau lakukan, Nek.
Tapi kau mesti tahu, aku tak pernah merasa
sebagai Ketua Perkumpulan Beruang Merah...,"
kata Seno akhirnya.
"Ah! Tuan Seno! Kenapa Tuan bersikap
seperti ini" Kalung 'Permata Dewa Matahari' yang
Tuan pakai adalah suatu tanda bila Tuan adalah
Ketua Perkumpulan Beruang Merah selanjutnya.
Kalung itu

Pendekar Bodoh 11 Rahasia Sumur Tua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adalah amanat tiga Ketua Perkumpulan Beruang Merah terdahulu."
"Aku tak bisa memimpin orang banyak,
Nek. Aku tak tahu bagaimana caranya mengatur
orang. Lagi pula, aku tak berpengalaman dalam
segala hal."
"Tuan...."
"Ah! Jangan panggil aku 'tuan'. Aku jadi
amat risih dan tak enak hati...."
"Ya! Ya, Seno. Aku bisa menduga-duga isi
hatimu. Mungkin kau belum percaya bila
Perkumpulan Beruang Merah benar-benar ada
dan pernah berjaya puluhan tahun silam. Andai
aku dapat mengumpulkan kembali orang-orang
yang masih setia pada perkumpulan itu,
bersediakah kau berjanji untuk menjadi pemimpin kami...?"
Seno nyengir kuda.
"Baiklah...," putus murid Dewa Dungu itu
untuk menyenangkan hati si nenek yang tampak
amat ngotot. "Tapi sekali lagi kukatakan, aku tak
berpengalaman. Bagaimana kalau nantinya aku
mengecewakan orang-orang yang telah kau
kumpulkan" Tapi walau bagaimanapun, aku akan
tetap menuruti wasiat Kakek Satya Tirta Raharja
untuk menumpas keturunan Saka Wanengpati,
yang memiliki ilmu 'Lima Pukulan Pencair Tulang'
dan 'Mengadu Tenaga Menjebol Perut'. Maksud
tujuanku ini hanya untuk menumpas kejahatan.
Lain itu tidak...."
"Syukurlah kalau kau mau berjanji, Seno.
Urusan kepemimpinan di perkumpulan, bisa
dirundingkan nanti. Kau tidak harus memimpin
seorang diri. Banyak tokoh berkepandaian tinggi
dan matang pengalaman yang akan membantumu
dengan penuh kesetiaan. Dan soal menumpas
keturunan Saka Wanengpati seperti yang tertulis
dalam kitab peninggalan Tuan Salya Tirta
Raharja, dapatlah kukatakan jika orang yang
harus kau tumpas tinggal satu orang saja. Yaitu,
Wanara Kadang alias Iblis Pemburu Dosa."
"Iblis Pemburu Dosa?"
"Ya! Kenapa?"
"Kebetulan sekali! Aku memang berniat
menumpas orang itu!"
"Kau pernah berjumpa?"
Seno menggeleng. Namun, segera dia
ceritakan pertemuannya dengan Hati Selembut
Dewa yang meminta bantuannya untuk turut
menumpas Iblis Pemburu Dosa.
"Dia sudah tak ada," beri tahu Kembang
Andini di akhir cerita Seno.
"Apa"
Maksudmu Kakek Mahendra Karnaka telah meninggal?" kejut Pendekar Bodoh.
"Demikianlah. Dia mati di tangan Iblis
Pemburu Dosa. Akulah yang menguburkan
jenazahnya."
"Bagaimana bisa begitu?"
"Aku tak tahu peristiwanya. Tapi melihat
tubuh Mahendra Karnaka yang tinggal daging
tipis tanpa tulang, aku bisa memastikan bila
pemilik Pondok Matahari itu mati akibat 'Lima
Pukulan Pencair Tulang'. Dan, hanya Iblis
Pemburu Dosa yang bisa melakukannya."
Terdiam Seno. Sedih rasa hatinya mendengar berita kematian Hati Selembut Dewa.
Belum sempat dia memberi bantuan seperti yang
diminta, ternyata si kakek keburu dijemput ajal.
"Hampir setiap hari, aku selalu datang ke
Gurun Selaksa Batu untuk mengamati gerakgerik Iblis Pemburu Dosa. Sayang,
kedatanganku tempo hari terlambat. Aku tak bisa berbuat apaapa untuk mencegah Mahendra
Karnaka agar tak
bentrok dengan manusia kejam itu...."
"Dia keturunan Saka Wanengpati?" tanya
Seno, kebodoh-bodohan.
"Ya! Seperti yang kukatakan tadi, hanya
dialah keturunan Saka Wanengpati. Kedua
orangtua manusia kejam itu mati dibunuh Iblis
Pemburu Dosa sendiri!"
"Ah! Sebegitu kejamkah dia?"
"Begitulah. Iblis Pemburu Dosa punya
wajah dan bentuk tubuh amat buruk. Dia amat
menyesali keadaan dirinya itu. Dia menyalahkan
kedua orang tuanya. Dan, dia pun tega
membunuh mereka. Bukan hanya itu. Dia juga
merasa iri melihat orang lain memiliki kesempurnaan wajah dan bentuk tubuh.
Akibatnya, dia selalu mencari gara-gara dan
mengumbar nafsu sesat. Dia tak akan pernah
puas sebelum membantai semua orang yang
dijumpainya. Wajar saja kalau dia pun
membunuh Mahendra Karnaka. Selain untuk
menuruti nafsu sesatnya. Iblis Pemburu Dosa
juga menyimpan dendam permusuhan dengan
Mahendra Karnaka sejak lama...."
Seno mengangguk-angguk. Kini semakin
yakin hatinya bila Iblis Pemburu Dosa memang
seorang tokoh jahat yang amat layak untuk
dienyahkan dari muka bumi.
Mendadak, raut wajah pemuda lugu itu
berubah tegang. Kepalanya berpaling ke kiri. Si
pemuda tengah menajamkan pendengaran.
"Kau dengar suara itu?" ujar Seno
kemudian, hendak memastikan suara yang
didengarnya. "Aku juga mendengar. Tak usah khawatir.
Aku tahu tabiat cucuku itu. Itu ulahnya," sahut
Kembang Andini seraya bangkit berdiri untuk
beranjak ke luar.
Sementara itu, di halaman gubuk bambu
tampak seorang gadis bertubuh tinggi semampai
sedang berjalan dengan muka kusut. Begitu
langkahnya terhenti, dia lepas ikatan senjata
berupa alat musik kecapi yang tersandang di
punggungnya. "Hei! Keluar kau pemuda tolol yang
mengaku bernama Seno Prasetyo!" teriak si gadis
yang tak lain Sekar Telasih atau Putri Hati Lurus.
"Sekar!" tegur Kembang Andini, meloncat
keluar dari gubuk bambu. "Apa yang baru kau
ucapkan, hei"! Tidak tahukah kau bila Seno
adalah Ketua baru Perkumpulan Beruang Merah"
Dia membawa amanat Tuan Salya Tirta Raharja!"
Sekar Telasih menggeleng-gelengkan
kepalanya. Matanya menatap tajam sosok
Pendekar Bodoh yang telah berdiri di sisi kanan
Dewi Cinta Kasih.
"Eyang jangan terkecoh olehnya!" seru
gadis berwajah cantik jelita itu. "Aku tak habis
mengerti, bagaimana mungkin Eyang bisa begitu
saja percaya bila kalung yang dikenakannya
adalah kalung 'Permata Dewa Matahari'..." Lagi
pula, Ketua Perkumpulan Beruang Merah
haruslah seseorang yang memiliki ilmu kesaktian
tinggi. Bukankah Eyang melihat sendiri, betapa
mudahnya beberapa waktu tadi aku merobohkannya"
Pantaskah dia menjadi pemimpin perkumpulan kita?"
Seno cuma cengar-cengir mendengar
ucapan Putri Hati Lurus yang nyerocos panjang
bak air hujan mengguyur deras. Melihat sikap si
gadis yang begitu ketus, mendadak Seno teringat
pada Kemuning, si buah hatinya. Di manakah
gadis itu sekarang" Apakah dia juga merasakan
apa yang tengah dirasakannya"
"Lihat itu, Eyang!" tambah Putri Hati
Lurus. "Kalau dia tak bermaksud mengelabui
kita, kenapa dia cuma diam saja" Kenapa dia tak
membela diri?"
"Eh! Kenapa kau marah-marah?" sergap
Seno. Tolol sekali pertanyaan pemuda lugu itu.
Sepertinya, dia tak mendengar tuduhan Sekar
Telasih. "Sekar!" tegur Kembang Andini dengan
muka merah padam. "Aku memang sudah tua,
Sekar! Tapi, aku belum buta. Aku bisa melihat
bila kalung yang dikenakan Seno benar-benar
kalung 'Permata Dewa Matahari'!"
"Eyang boleh percaya! Aku tidak!"
"Kurang ajar! Sejak kapan kau berani
kepadaku heh"!"
Kesal bukan main Kembang Andini. Dia
merasa malu pada Pendekar Bodoh yang telah
dianggapnya sebagai Ketua baru Perkumpulan
Beruang Merah. Maka karena terdesak suasana
hatinya yang tak karuan, meloncatlah si nenek
untuk menampar wajah Sekar Telasih!
Namun, Pendekar Bodoh meloncat lebih
cepat. Dihadangnya kelebatan tubuh Kembang
Andini. Sehingga, terpaksa si nenek mengurungkan niatnya.
"Sudahlah, Nek...," ujar Seno. "Sejak
semula aku memang tak pernah merasa diriku
sebagai ketua perkumpulan apa pun. Daripada
kau bersitegang dengan cucumu sendiri, kuserahkan saja kalung ini kepadamu. Anggap
saja kau tak pernah berjumpa denganku, Nek.
Tapi jangan khawatir, menghentikan keangkaramurkaan Iblis Pemburu Dosa adalah
kewajibanku...."
Di ujung kalimatnya, Seno menyodorkan
kalung 'Permata Dewa Matahari' kepada Kembang
Andini. "Ah! Bagaimana bisa begini?" sahut si
nenek seraya berlutut, tak menerima kalung
pemberian Seno.
"Kenapa kau ini, Nek" Aku bukan raja yang
patut disembah. Hanya karena aku, kau tega
hendak menyakiti cucumu sendiri. Aku hanya
perusak kebahagiaan orang...," ujar Seno dengan
penuh kesungguhan, namun kata-katanya terdengar amat lugu. "Kalau kau tak mau
menerima kalung ini, kuserahkan saja pada
cucumu itu!"
Dengan beban perasaan di hati, Seno
melemparkan kalung 'Permata Dewa Matahari' ke
arah Putri Hati Lurus. Si gadis malah mendelik
bengong. Sikap dan perbuatan Seno sama sekali
tak diduganya. Gadis berpakaian putih berkembangkembang itu berdiri terpaku. Kalung 'Permata
Dewa Matahari' membentur dadanya, lalu jatuh
ke tanah. Sementara, Seno bergegas meloncat
untuk berkelebat pergi.
"Tunggu...!" cegah Sekar Telasih.
Terpaksa Seno menghentikan kelebatan
tubuhnya. Lalu katanya, "Tak ada lagi yang perlu


Pendekar Bodoh 11 Rahasia Sumur Tua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dibicarakan, bukan" Aku sudah mengakui bila
aku memang bukan Ketua Perkumpulan Beruang
Merah atau perkumpulan lainnya. Kalung
mustika itu pun sudah kuserahkan kepadamu.
Tak ada lagi persoalan di antara kita!"
"Tunggu!" cegah Sekar Telasih waktu
melihat Seno hendak meninggalkan tempat. "Kau
pikir tidak ada urusan di antara kita" Huh! Kau
bermaksud menipu! Kemungkinan besar kau
kaki-tangan Iblis Pemburu Dosa! Terkutuklah aku
kalau membiarkan dirimu pergi dari tempat ini!"
Geleng-geleng kepala Seno. Tanpa sadar
dia menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
Sampai beberapa lama dia cuma diam.
Bagaimana harus membela diri" Bagaimana
harus memberi penjelasan"
Otak Seno jadi buntu. Yang dapat
dilakukannya cuma berdiri cengar-cengir.
Ketika itulah Sekar Telasih menyentil
dawai-dawai kecapinya. Gelombang suara yang
mempunyai daya bunuh hebat segera menyerang
Seno! Cepat Pendekar Bodoh menyadari keadaan.
Dikeluarkannya ilmu 'Perisai Dewa Badai' untuk
membentengi tubuhnya. Dan kekuatan si pemuda
yang sudah pulih kembali, benar-benar dapat
menunjukkan kehebatannya. Gelombang suara
petikan kecapi Sekar Telasih tak berakibat apaapa pada diri si pemuda!
Menggeram marah Putri Hati Lurus.
Disentilnya berkali-kali dawai kecapinya lebih
kuat. Gelombang suara yang menyerang Seno
pun semakin hebat menghajar. Tapi, ilmu kebal
'Perisai Dewa Badai' lebih hebat lagi. Si pemuda
tetap dapat berdiri tenang sambil terus cengarcengir!
"Jahanam! Punya kepandaian juga kau
rupanya! Lihat serangan! Hiaaahhh...!"
Tiba-tiba, Sekar Telasih menerjang. Kecapi
di tangan kanannya berkelebat cepat dan
mengeluarkan suara bergemuruh keras. Hendak
mengepruk pecah kepala Seno!
"Sekar!" cegah Kembang Andini seraya
melompat. Namun Sekar Telasih tak mau peduli.
Terus dia gerakkan kecapinya. Sementara, Seno
langsung meloncat jauh untuk menghindari
serangan si gadis.
Dan tampaknya, Sekar Telasih tak mau
membiarkan Seno lolos. Dicecarnya murid Dewa
Dungu itu dengan serangan-serangan mematikan.
Dewi Cinta Kasih jadi bingung. Sampai
beberapa lama si nenek cuma diam terpaku tanpa
berbuat apa-apa. Melihat Sekar Telasih yang
menyerang Seno dengan penuh kesungguhan,
hatinya jadi ragu. Benarkah Seno mengelabuinya"
Benarkah pemuda itu kaki-tangan Iblis Pemburu
Dosa" Dengan benak kusut, si nenek melangkah
dan memungut kalung 'Permata Dewa Matahari'
yang tergeletak di tanah. Sesaat dia terkesiap.
Bandul kalung 'Permata Dewa Matahari' mengalirkan hawa dingin ke telapak tangan
kanannya. Tapi, si nenek tak mau peduli.
"Aku harus membuktikan keaslian kalung
ini...," pikir nenek berpakaian putih penuh
tambalan itu. Mendadak, melonjak kaget Dewi Cinta
Kasih. Ketika mengalirkan tenaga dalam, bandul
kalung 'Permata Dewa Matahari' memancarkan
sinar bening berkilauan!
"Sekar!" seru si nenek. "Kalung ini asli!
Seno memang ketua baru perkumpulan kita!"
Tanpa sadar Putri Hati Lurus menghentikan serangannya. Dia berdiri terpaku
dengan mata terbelalak lebar.
"Kalung 'Permata Dewa Matahari'...!"
desisnya. Rasa hati Sekar Telasih jadi berdebar tak
karuan. Dia merasa telah melakukan dosa besar.
Oleh karenanya, segera dia menjatuhkan
tubuhnya untuk menyampaikan sembah sujud
dan sejuta sesal. Tapi..., Pendekar Bodoh telah
berkelebat pergi!
SELESAI Segera menyusul!!!
MUNCULNYA SANG PEWARIS
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 43 Kisah Dewi Kwan Im Karya Siao Shen Sien Pedang Golok Yang Menggetarkan 6

Cari Blog Ini