Pendekar Bodoh 4 Ratu Perut Bumi Bagian 1
Hak cipta dan copy right
pada penerbit di bawah lindungan
undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1 ANGIN berhembus kencang, terasa menampar
wajah dan membeset kulit. Gemuruh suaranya menepuk-nepuk gendang telinga.
Butiran pasir berhamburan, menyerbu ke segenap penjuru. Bongkah-bongkah
batu pun berpentalan, menambah dahsyatnya suara
gemuruh yang terdengar.
Badai yang sedang berlangsung di Padang Angin Malaikat seakan telah mengawali
datangnya hari kiamat. Apalagi, di tengah tanah luas berpasir itu mulai muncul serbuan angin
puting beliung. Maka, semakin tebal butiran pasir yang berhamburan menutup
pandangan mata. Semakin banyak pula bongkahbongkah batu yang berpentalan.
Hingga, suasana di
Padang Angin Malaikat benar-benar amat mengiriskan.
Anehnya, di atas hamparan tanah luas yang
amat jarang dijamah manusia itu tampak gumpalan
cahaya kuning yang terus melayang dan berputarputar di angkasa. Lesatan gumpalan
cahaya yang cukup terang dan menyilaukan mata itu menimbulkan
suara bersiut keras seperti suara puluhan pedang yang
disabetkan bersamaan.
Beberapa kejap mata kemudian, tampaklah
pemandangan yang lebih mengiriskan. Bongkahbongkah batu yang terlontar mendekati
gumpalan cahaya kuning terlihat meledak hancur menjadi debu halus yang segera
lenyap terbawa putaran angin puling
beliung. Mendadak, gumpalan cahaya kuning yang
mempunyai daya penghancur luar biasa itu melesat
cepat ke utara. Suara bersiut yang ditimbulkan pun
semakin keras terdengar. Dan ketika gumpalan cahaya
itu mengambang di udara, sekitar tiga tombak dari
permukaan tanah, terdengar teriakan seorang lelaki.
Menggema panjang di seantero Padang Angin Malaikat...
"Jahanam! Memancing kemarahan Raja Penyasar Sukma sama artinya dengan mengundang
Malaikat Pencabut Nyawa!"
Suara teriakan yang menyiratkan kemarahan
itu terus berkumandang sampai beberapa tarikan napas. Hebatnya, di seputar
gumpalan cahaya kuning,
hembusan angin melemah. Putaran angin puting beliung pun tampak melesat menjauh.
Namun, beberapa
bongkah batu malah meledak hancur berkepingkeping. Agaknya, suara yang terdengar
dari dalam gumpalan cahaya kuning itu mempunyai daya penghancur yang luar biasa pula.
"Haram jadah! Tidak juga kau mau menunjukkan batang hidungmu! Kembalikan Kodok
Wasiat Dewa kepadaku! Atau, kau akan menghadapi ilmu pukulan 'Dewa
Penghancur'...!"
Suara yang muncul dari dalam gumpalan cahaya kuning itu terdengar lagi. Putaran
angin puting beliung semakin melesat menjauh. Selain bongkahbongkah batu yang masih melayang
di udara, bongkah-bongkah batu yang telah jatuh ke tanah pun turut
meledak hancur. Pecahannya kembali menutupi pandangan mata. Sinar mentari pun
tak mampu menembus, hingga kegelapan merajai suasana siang di Padang Angin
Malaikat.... "Setan alas! Keparat! Apa aku harus menampakkan diri, heh"! Hmmm.... Baik! Baik
kalau begitu! Jemari tanganku akan segera meremas batok kepalamu!"
Tiba-tiba, gumpalan cahaya kuning yang mengambang di udara tampak melesat berputar-putar lagi.
Tapi, kali ini putarannya terus bergerak ke bawah.
Hingga sesaat kemudian....
Wesss...! Splasss...! Gumpalan cahaya kuning itu menyentuh permukaan tanah berpasir, lalu lenyap tanpa
bekas. Sebagai gantinya, di tempat mendaratnya gumpalan cahaya kuning muncul
sebuah bayangan kuning yang
tak lain sesosok tubuh manusia!
Seperti ada keajaiban, tiba-tiba badai yang melanda Padang Angin Malaikat reda,
lalu lenyap hingga
suasana menjadi sunyi lengang. Hanya desau angin
yang terdengar. Butiran pasir pun hanya beterbangan
sekitar dua jengkal di atas permukaan tanah, sehingga
keadaan Padang Angin Malaikat yang tandus dapat dilihat dengan jelas.
Sosok manusia yang baru muncul ternyata seorang kakek berpakaian serba kuning.
Anehnya, kulit dan rambut lelaki tua itu berwarna sama dengan pakaiannya, kuning seperti
dilumuri perasan kunyit. Lebih aneh lagi, ternyata si kakek duduk di atas batu
persegi pipih yang terus melayang di udara!
Menilik dari garis-garis wajahnya, dapatlah dipastikan bila kakek berusia enam
puluh tahunan itu
adalah Banyak Langkir alias Raja Penyasar Sukma.
Tapi, bagaimana dia bisa memiliki kesaktian yang sedemikian hebat"
Lima tahun yang lalu, sebenarnya kulit dan
rambut Banyak Langkir tidak berwarna kuning seperti
dilumuri air perasan kunyit. Namun karena dia telah
berhasil mempelajari isi Kitab Tiga Dewa yang dicurinya dari Istana Mahespati,
maka kehebatan ilmu kesaktian yang terdapat dalam kitab itu telah mengubah
warna kulit dan rambutnya. Dab karena dia pun, telah
berhasil menguasai dengan sempurna ilmu 'Dewa Angkasa' yang merupakan salah satu
bagian dari isi Kitab
Tiga Dewa, kakek itu mampu menerbangkan tubuhnya
sambil duduk bersila di atas lempengan batu. Kemampuan itu diperolehnya dengan
mengerahkan kekuatan
tenaga dalam yang bersifat mendorong, dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga
dia dapat membuat tubuhnya seolah-olah memang terbang di angkasa. Sambil
mengeluarkan kemampuannya itu, Banyak Langkir
membungkus tubuhnya dengan ilmu 'Sinar Kuning
Penyamar Raga', sehingga tubuhnya tersamar oleh
gumpalan cahaya kuning yang terus memancar.
"Segera tampakkan batang hidungmu, Keparat!" seru Banyak Langkir atau Raja
Penyasar Sukma,
keras menggelegar.
Wajah kakek itu tampak menegang dengan bola
mata melotot besar. Bahunya terlihat naik turun terbawa dengus nafasnya yang
memburu karena desakan
hawa amarah. "Kembalikan Kodok Wasiat Dewa kepadaku,
Keparat!" Raja Penyasar Sukma berteriak lebih lantang.
Tapi, tetap tak ada orang lain yang menampakkan diri.
Setelah membahana beberapa lama, teriakan kakek
yang pernah menjadi orang kepercayaan Prabu Wira
Parameswara itu segera lenyap tertelan desau angin
padang. Mendengus gusar Raja Penyasar Sukma. Dia
menarik napas panjang, lalu menempelkan telapak
tangan kirinya ke lempengan batu yang didudukinya.
Timbul suara mendesis seperti bara api tersiram air.
Lempengan batu pipih yang diduduki Raja Penyasar
Sukma tampak berputar di angkasa.
"Bedebah! Agaknya, orang yang telah melarikan
Kodok Wasiat Dewa itu telah meninggalkan tempat
ini...," gumam Raja Penyasar Sukma sambil mengedarkan pandangan ke segenap
penjuru. Mendadak, kakek bertubuh tegap berisi itu
menggerendeng keras. Kedua telapak tangannya diangkat tinggi-tinggi ke atas.
Ketika bertepuk di atas
kepala, timbul ledakan dahsyat. Butiran pasir dan
bongkah-bongkah batu yang berada di bawah Raja Penyasar Sukma yang tengah duduk
di atas lempengan
batu pipih tampak beterbangan bagai dihempas angin
topan. Ketika kedua telapak tangan Raja Penyasar
Sukma yang menyatu diturunkan di depan dada, sekujur tubuh kakek itu tiba-tiba
memancarkan cahaya hijau berkilat, semakin lama semakin terang dan menebal.
Lalu.... Blarrr...! Blarrr...! Dua ledakan dahsyat menggelegar. Semakin
banyak butiran pasir yang beterbangan. Hebatnya, cahaya hijau berkilat yang
memancar dari tubuh Raja
Penyasar Sukma bertambah luas pancarannya. Hingga
di sekitar Raja Penyasar Sukma, sejauh sepuluh tombak lebih, keadaan menjadi
terang-benderang namun
amat menyilaukan mata.
Sesaat kemudian, Raja Penyasar Sukma menggerendeng lagi. Cahaya hijau berkilat
yang memancar dan tubuh kakek itu tiba-tiba memanas. Akibatnya,
suhu udara di Padang Angin Malaikat naik beberapa
kali lipat dari suhu udara semula. Cuilan-cuilan kayu
yang kebetulan berada di tempat itu langsung terbakar
hangus menjadi abu!
Itulah ilmu kesaktian lain yang diperoleh Raja
Penyasar Sukma dari Kitab Tiga Dewa. Dengan ilmu
pukulan 'Dewa Penghancur', dia bisa menciptakan cahaya panas yang bisa
melelehkan apa saja, termasuk
balok besi ataupun baja!
Tapi agaknya, pameran kekuatan yang tengah
ditunjukkan oleh Raja Penyasar Sukma itu sia-sia saja.
Tak ada orang lain yang menyaksikan. Maka, semakin
memuncaklah amarah Raja Penyasar Sukma. Dia lesatkan lempengan batu yang
didudukinya ke sana-sini
sambil terus mengedarkan pandangan. Namun, orang
yang dicarinya memang sudah tak ada lagi di Padang
Angin Malaikat....
*** Sementara itu, di pinggir sebelah timur Padang
Angin Malaikat, seekor katak raksasa tampak melompat-lompat Suara berdebam keras
terdengar memekakkan gendang telinga setiap tubuh katak berkulit hijau kehitaman
dan kasar bergerigi itu mendarat di tanah.
Bummm...! Bummm...!
"Khrokkk...! Khrokkk...!"
Sang katak raksasa terus melompat-lompat
sambil mengeluarkan suara ngorok yang tak kalah keras. Bola matanya yang
berwarna merah berkilat memandang lurus ke kejauhan. Agaknya, satwa raksasa
itu tengah mencari sesuatu.
"Kita berputar ke selatan, Adiguna!"
Terdengar suara keras menggelegar yang mengandung makna memerintah. Sang katak
raksasa langsung memutar tubuh. Arah lompatannya pun
langsung menuju ke selatan.
Suara perintah tadi ternyata berasal dari mulut
seorang pemuda berpakaian serba merah yang sedang
duduk menggantungkan kaki di leher sang katak raksasa! Pemuda itu bertubuh
tinggi tegap. Wajahnya
tampan, namun sorot matanya menyiratkan kekejaman dan keangkaramurkaan. Dia
Mahisa Lodra! Usia lelaki itu sebenarnya telah lewat enam puluh tahun. Tapi karena memiliki
ilmu 'Selaksa Wajah
Berganti-ganti', dia mengubah raut wajahnya hingga
mirip seorang pemuda tiga puluh tahunan. Dengan ilmu yang berasal dari salah
satu bagian Kitab Sanggalangit itu, Mahisa Lodra dapat mengubah raut wajah
dan bentuk tubuhnya sekehendak hati. Bahkan, menjadi seorang wanita sekalipun!
Karena itulah orang-orang di rimba persilatan
menjulukinya dengan sebutan Setan Selaksa Wajah.
Dan kalau sekarang dia berada di Padang Angin Malaikat, pasti karena mempunyai
urusan penting. Hal itu
terbukti setelah dia berkata...
"Agaknya, kita harus memutar haluan lagi, Adiguna. Orang yang telah melarikan
Kodok Wasiat Dewa
itu tentu bermaksud mengecoh kita...."
Kodok Wasiat Dewa yang dimaksud oleh Setan
Selaksa Wajah adalah sebuah benda ajaib yang semula
berada di dalam perut Ikan Mas Dewa. Siapa pun yang
menelan benda ajaib itu akan mendapat kekuatan luar
biasa, sama halnya dengan melatih ilmu silat selama
dua puluh tahun!
Sebenarnya, Setan Selaksa Wajah telah berhasil
mendapatkan Kodok Wasiat Dewa. Dengan akal bulusnya, dia memaksa Seno Prasetyo
atau Pendekar Bodoh menyerahkan benda ajaib itu. Sementara, Pendekar Bodoh
sendiri mendapatkannya berkat kebaikan
Ikan Mas Dewa. Ikan raksasa yang menyimpan Kodok
Wasiat Dewa di dalam perutnya itu membalas budi
baik Pendekar Bodoh karena Pendekar Bodoh melepaskan jeratannya. (Baca serial
Pendekar Bodoh dalam
episode: "Kemelut Di Telaga Dewa").
"Ayo cepat, Adiguna!" seru Setan Selaksa Wajah, tak sabaran. "Kita harus
mendapatkan kembali
benda ajaib itu. Tak seorang pun boleh memilikinya,
termasuk Raja Penyasar Sukma!"
Mendengar perintah Setan Selaksa Wajah yang
menyiratkan kegusaran itu, bergegas sang katak raksasa bernama Adiguna memutar
tubuh. "Khrokkk...! Khrokkk...!"
Setelah mengeluarkan suara ngorok panjang,
sepasang kaki Adiguna menjejak tanah. Tubuhnya
yang sebesar gajah dewasa tiba-tiba melesat ke atas.
Usai menempuh jarak sepuluh tombak, tubuh katak
raksasa itu mendarat lagi di tanah. Namun, begitu
menyentuh permukaan tanah berpasir, tubuhnya
langsung melesat lagi. Dan, dengan cara melompatlompat seperti itu, dia menuruti
setiap perintah Setan
Selaksa Wajah yang tengah duduk menggantungkan
kaki di lehernya.
Sementara, di bagian lain Padang Angin Malaikat, Raja Penyasar Sukma juga
berusaha keras untuk
mencari orang yang telah melarikan Kodok Wasiat Dewa.
Dengan caranya masing-masing, Setan Selaksa
Wajah dan Raja Penyasar Sukma seakan tengah berlomba untuk mendapatkan kembali
benda ajaib yang
amat langka itu.
Mereka memang sama-sama bernafsu untuk
memiliki benda ajaib itu. Semula, Setan Selaksa Wajah
rela menyerahkan Kodok Wasiat Dewa kepada Raja
Penyasar Sukma karena dia tengah menyusun siasat
yang amat licik. Tapi sebelum siasat itu terlaksana,
Pendekar Bodoh 4 Ratu Perut Bumi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kodok Wasiat Dewa berhasil dirampas dan dilarikan
oleh Ksatria Topeng Putih. (Agar lebih jelas, silakan
simak serial Pendekar Bodoh dalam episode: "Setan Selaksa Wajah").
"Astaga...!"
Mendadak, Setan Selaksa Wajah berseru kaget.
Tanpa sadar, kedua telapak tangannya menekan kepala Adiguna. Akibatnya sang
katak raksasa menghentikan lompatannya.
Bola mata Setan Selaksa Wajah tampak melotot
besar. Demikian pula dengan Adiguna. Kedua makhluk
berlainan jenis itu sama-sama menatap permukaan
tanah yang meletup-letup seperti ada kekuatan aneh
yang mendorong dari dalam. Dari jarak sekitar dua puluh tombak, mereka terus
mengarahkan pandangan
tanpa berkedip. Hingga sampai akhirnya....
Brummmm...! Swosss...! Permukaan tanah yang meletup-letup tadi jebol
karena memang ada kekuatan dahsyat yang mendorong dari dalam. Lalu bersamaan
dengan gumpalan
tanah dan butiran pasir yang menyembur ke atas, melesat sesosok bayangan besar
panjang berwarna hijau
kehitaman. "Khrokkk...!"
Adiguna mengeluarkan suara ngorok keras.
Tubuhnya bergetar karena terhantam keterkejutan. Setelah Setan Selaksa Wajah
yang duduk di leher katak
raksasa itu pun tampak membelalakkan mata semakin
lebar. Sambil mengatur jalan nafasnya yang tiba-tiba
kacau, Setan Selaksa Wajah terus mengarahkan pandangan ke depan.
Sosok makhluk yang baru muncul dari dalam
tanah ternyata seorang wanita berparas cantik menawan mengenakan pakaian merah gemerlap seperti seorang ratu. Di kepalanya
bertengger sebuah mahkota
emas bertahtakan intan berlian. Anehnya, dari pinggang ke bawah, sosok makhluk
itu berupa ekor ular
yang panjang melingkar, berwarna hijau kehitaman
dan tampak berkilat-kilat karena tertimpa sinar matahari.
"Ratu Perut Bumi...!" desis Setan Selaksa Wajah
dalam keterkejutannya.
Bola mata kakek berwajah pemuda itu semakin
melotot besar saat melihat sosok tubuh lain yang berada dalam gendongan makhluk
setengah manusia setengah ular yang memang Ratu Perut Bumi adanya. Di
punggung makhluk aneh itu bergayut seorang pemuda
berpakaian biru-biru dengan ikat pinggang merah terbuat dari kain tebal. Si
pemuda bertubuh tinggi tegap.
Berwajah tampan, namun menyiratkan keluguan.
Pemuda tujuh betas tahunan yang melingkarkan lengan di leher Ratu Perut Bumi itu
tak bergerak sama sekali. Sementara, kelopak matanya pun tertutup rapat. Agaknya, dia dalam
keadaan tak sadarkan
diri. "Pendekar Bodoh...!" desis Setan Selaksa Wajah
lagi, menyebut julukan pemuda dalam gendongan Ratu
Perut Bumi. Pemuda berpakaian biru-biru itu memang Seno
Prasetyo atau Pendekar Bodoh. Ratu Perut Bumi telah
membawanya masuk ke dalam tanah dan menempuh
jarak ratusan tombak untuk menemui Setan Selaksa
Wajah karena Ratu Perut Bumi mempunyai urusan
dengan kakek berwajah pemuda itu. Sementara, untuk
menyelesaikan urusan itu, Ratu Perut Bumi merasa
perlu untuk meminta bantuan Pendekar Bodoh. (Pertemuan antara Ratu Perut Bumi
dengan Pendekar Bodoh bisa disimak pada episode: "Setan Selaksa Wajah").
"Khrokkk...! Khrokkk...!"
Sang katak raksasa Adiguna mengeluarkan suara ngorok berulang kali. Bola matanya
yang berwarna merah terus memelototi Ratu Perut Bumi. Kedua kakinya bergeser-geser, membuat
butiran pasir beterbangan menutupi pandangan. Rupanya, satwa raksasa
berkulit kasar berduri itu telah bersiap sedia untuk
menyerang. Namun, Setan Selaksa Wajah menenangkan. Telapak tangan kanan murid
murtad Dewa Dungu itu mengelus-elus leher Adiguna. Hingga, sang katak raksasa
dapat menahan diri.
Sementara, Ratu Perut Bumi tampak menggerak-gerakkan ekornya, lalu melepas
lengan Pendekar
Bodoh yang melingkar di lehernya. Sebelum diturunkan ke tanah, Ratu Perut Bumi
memberikan beberapa
totokan di tubuh pemuda itu.
"Uhhh...!" keluh si pemuda lugu Seno Prasetyo,
tersadar dari pingsannya.
"Tenanglah...," ujar Ratu Perut Bumi, "Lihatlah
siapa yang berdiri di hadapanmu...."
Sambil menegakkan kedua kakinya di atas tanah, Seno mengucak-ucak matanya.
Begitu kekaburan
yang menutupi pandangannya lenyap, dia melonjak
kaget. "Ya, Tuhan...," sebut Seno, melihat wujud sang
katak raksasa Adiguna.
Namun, keterkejutan dalam diri Seno segera
berubah menjadi hawa amarah setelah melihat Setan
Selaksa Wajah yang tengah duduk menggantungkan
kaki di leher katak sebesar gajah dewasa itu.
"Mahisa Lodra keparat!" geram Seno, menyebut
nama kecil Setan Selaksa Wajah.
"Ha ha ha...!" Setan Selaksa Wajah tertawa bergelak. "Kenapa kau malah datang ke
sini, Pemuda Geblek"! Apa kau telah dapat memecahkan kata-kata sandi yang
kuberikan" Kenapa pula kau mengajak makhluk buruk rupa itu, heh"! Apa kau tidak
sayang pada nyawa Kemuning"!"
Sebelum Pendekar Bodoh menyahuti ucapan
Setan Selaksa Wajah, Ratu Perut Bumi meluruskan
ekornya. Tiba-tiba tubuh manusia setengah ular itu
melesat cepat ke depan. Segera Setan Selaksa Wajah
mempersiapkan diri untuk menghalau segala kemungkinan buruk. Tapi agaknya, Ratu
Perut Bumi tidak
bermaksud menyerang. Lesatan tubuh manusia setengah ular itu berhenti tiga
tombak dari hadapan Adiguna.
"Serahkan cermin 'Terawang Tempat Lewati
Masa'...!" seru Ratu Perut Bumi.
Walau manusia setengah ular itu tidak menyerang, tapi ucapannya menyerupai
sebilah pedang yang
langsung menusuk jantung Setan Selaksa Wajah.
Hingga sampai beberapa saat, Setan Selaksa Wajah
cuma dapat membelalakkan mata dengan mulut terbuka lebar. Sementara, jantungnya
pun berdegup kencang sekali!
*** 2 SOSOK bayangan itu berkelebat cepat sekali.
Meloncat-loncat di antara bongkahan batu besar. Bahkan, sesekali melesat tinggi,
melewati jajaran pohon
yang menghadang di depan. Menilik arah kelebatannya, dapat dipastikan bila dia baru keluar dari Padang
Angin Malaikat.
Setelah melewati sebuah hutan kecil yang berada di kaki Bukit Pralambang, sosok
bayangan itu memperlambat kelebatan tubuhnya. Deru angin yang
ditimbulkan tak lagi terdengar. Namun demikian, di
belakang kelebatan bayangan itu selalu dipenuhi debu
tebal. Sesaat kemudian, si bayangan benar-benar
menghentikan kelebatan tubuhnya. Dia lalu berjalan
perlahan menyusuri aliran sungai yang terletak di utara Kota Gambiran. Ternyata,
dia seorang lelaki bertubuh tinggi tegap, mengenakan pakaian putih-putih
dengan ikat pinggang kain berwarna biru. Kulitnya putih bersih seperti kulit
seorang bangsawan yang biasa
merawat tubuh. Sementara, rambutnya yang panjang
diikat dengan sehelai sapu tangan sutera merah.
Sayangnya, dia mengenakan topeng yang terbuat dari
baja putih, sehingga wajahnya tak dapat dikenali. Namun, dari dua lubang yang
terdapat pada topeng itu,
dapatlah dilihat bila dia memiliki sepasang mata bening yang bersinar tajam,
menandakan ilmu kepandaiannya yang sudah sangat sulit untuk diukur.
Menilik ciri-cirinya itu, siapa lagi dia kalau bukan Ksatria Topeng Putih!
"Walau aku belum berhasil merampas kembali
Pusaka Pedang Naga, tapi aku tak patut bersedih hati.
Kodok Wasiat Dewa berada di tanganku. Kedua manusia jahat itu tak mungkin lagi
memanfaatkannya untuk
mengumbar keangkaramurkaan...," gumam Ksatria
Topeng Putih. Dari balik topeng baja putihnya, lelaki yang
sengaja menyembunyikan jatidirinya itu menatap mentari yang tengah memayung di
atas kepala. Merasakan
jalannya waktu yang berputar cepat, dia menarik napas panjang seraya melanjutkan
gumamannya. "Aku harus segera menemui Seno Prasetyo. Kodok Wasiat Dewa harus kuserahkan
kepadanya. Dia memang berhak."
Ksatria Topeng Putih mengeluarkan sebuah
kantong putih dari balik bajunya. Hati-hati sekali dibukanya tali pengikat
kantong itu. Ternyata, di dalamnya terdapat gumpalan cahaya putih, dan di dalam
gumpalan cahaya putih itu terdapat gumpalan cahaya
lain yang menyerupai seekor katak berwarna emas.
Gumpalan cahaya itulah yang disebut sebagai Kodok
Wasiat Dewa! Sebentar saja Ksatria Topeng Putih mengamati
benda ajaib yang berasal dari dalam perut ikan Mas
Dewa itu. Tali kantong segera diikatnya kembali. Lalu,
kantong putih berisi Kodok Wasiat Dewa disimpannya
lagi di balik pakaiannya.
"Benda ajaib ini tidak boleh terlalu lama berada
di tanganku. Terlalu berbahaya!" kata hati Ksatria Topeng Putih. "Aku memang
harus segera menemui Seno
Prasetyo. Tapi..., di mana aku harus menemui pemuda
itu...?" Sambil memutar otak, Ksatria Topeng Putih
melangkahkan kakinya. Sementara, angin yang bertiup
sepoi-sepoi membuat burung-burung terlena dalam
kebisuan. Mereka tak peduli pada lambaikan rantingranting pohon yang seperti
mengajak untuk bercanda.
"Kasihan sekali pemuda itu...," desah Ksatria
Topeng Putih tiba-tiba. "Waktu untuk menyelamatkan
Kemuning semakin pendek. Kalau sampai dia tak berhasil menyelamatkan gadis itu,
Mahisa Lodra benarbenar dapat mengelabuinya mentah-mentah...."
Ksatria Topeng Putih menghentikan langkah
kakinya. Ditariknya napas panjang berulang kali. Lalu,
sambil menunduk, memutar otak lagi untuk dapat
menemui orang yang dimaksudkannya. Mendadak, lelaki bertopeng itu berseru
girang. Ketika mengangkat
wajah, kedua bola matanya yang berada di balik topeng tampak berbinar-binar.
"Hmmm.... Selama lima tahun ini, bukankah
aku terus berlatih mempertajam indera keenam" Kenapa tidak kucoba ilmu 'Mencari
Jejak Tunjukkan
Tempat'?" Menuruti pikiran di benaknya, lelaki bertopeng
itu melangkah ke atas lempengan batu yang terlindungi oleh rimbunan daun pohon
perdu yang cukup besar.
Setelah mengambil sikap semadi, segera dia menyatukan segenap pikiran dan
kekuatan batinnya untuk dapat menerapkan ilmu 'Mencari Jejak Tunjukkan Tempat'.
Ilmu 'Mencari Jejak Tunjukkan Tempat' adalah
sebuah ilmu pelacak jejak yang bersumber pada ketajaman indera keenam. Siapa pun
yang dapat menguasai ilmu itu dengan sempurna akan dapat melacak jejak seseorang
yang dicarinya, asalkan orang yang dicarinya itu pernah berjumpa sebelumnya.
Namun, jarang sekali ada orang yang dapat menguasai ilmu 'Mencari
Jejak Tunjukkan Tempat'. Selain memiliki ketajaman
indera keenam, orang yang bermaksud menguasainya
harus pula memiliki jiwa bersih tanpa ternodai oleh segala nafsu buruk.
Lewat dua puluh tarikan napas kemudian, tubuh Ksatria Topeng Putih yang tengah
duduk bersila di
atas lempengan batu tampak bergetar. Semakin lama
getarannya semakin kuat. Hingga sampai akhirnya,
dari tengkuk dan kepala Ksatria Topeng Putih mengepul asap tipis.
Namun, ketika asap itu berhenti mengepul,
berhenti pula detak jantung dan tarikan napas Ksatria
Topeng Putih! Apa yang terjadi" Agaknya, roh lelaki
bertopeng itu telah lepas dari badan kasarnya!
*** Trang...! Trang...! Dua senjata tajam berbenturan di udara. Bersamaan dengan terdengarnya suara
berdentang keras,
bunga api berpijar dan memercik ke mana-mana. Sementara, dua sosok bayangan
terlihat melayang sekitar
empat tombak dari permukaan tanah. Setelah bersalto
beberapa kali di udara, kedua bayangan itu mendarat
dengan sigap. Salah satu dari kedua orang yang baru mengadu ketajaman senjata itu ternyata
seorang nenek berpakaian serba kuning. Rambutnya yang telah berwarna dua
digelung ke atas. Walau sudah tua, tapi tubuhnya masih tampak montok berisi.
Raut wajahnya pun masih jelas menggambarkan garis-garis kecantikannya.
Dia Dewi Pedang Halilintar!
Tepat lima belas tombak di hadapan nenek
yang memegang pedang berbilah kuning itu berdiri
seorang lelaki berpakaian serba putih, namun masih
mengenakan baju luar berwarna merah yang terdapat
sulaman benang emas bergambar sepasang elang. Sosok tubuhnya tinggi tegap dan
tampak gagah. Kulitnya
pun putih halus seperti kulit wanita. Tapi, wajahnya
tak dapat dikenali karena tertutup topeng yang terbuat
dari sejenis logam berwarna putih.
"Jahanam kau, Hantu Pemetik Bunga!" umpat
Dewi Pedang Halilintar. "Tak dapat kau menculik
dayang-dayang istana, kini kau sengaja mencari garagara denganku. Huh! Apa kau
pikir dirimu memiliki
kesaktian dewa, sehingga kau berbuat seenak perutmu
sendiri"!"
Lelaki bertopeng yang disebut sebagai Hantu
Pemetik Bunga menyabetkan pedang yang dibawanya.
Gerakannya pelan saja. Tapi, sabetan pedang yang dihiasi ukiran elang itu sudah
Pendekar Bodoh 4 Ratu Perut Bumi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cukup mampu untuk
menciptakan serangkum angin pukulan.
Wusss...! Melihat ada bahaya yang tengah meluruk ke
arahnya, Dewi Pedang Halilintar mendengus gusar. Ditirukannya gerakan Hantu
Pemetik Bunga. Sabetan
pedang di tangan nenek itu menciptakan serangkum
angin pukulan pula. Akibatnya....
Blarrr...! Sebuah ledakan cukup keras menggelegar di
angkasa. Gumpalan tanah dan bebatuan berhamburan
menutupi pandangan mata. Dan, ketika keadaan menjadi tenang kembali, di dekat
pusat ledakan tadi telah
terbentuk kubangan besar sedalam dua depa!
"Ha ha ha...!" tawa gelak Hantu Pemetik Bunga.
"Kiranya, kehebatan ilmu 'Pedang Halilintar Rontokkan
Awan' bukan cuma bualan semata. Tapi..., aku masih
ragu. Apakah ilmu itu sanggup meredam ilmu 'Sabetan
Pedang Memenggal Naga' ini" Hmmm.... Kita buktikan
saja!" Di ujung kalimatnya, Hantu Pemetik Bunga
menarik kaki kiri ke belakang. Pedang tajam berkilat
yang berada di cekalan jemari tangan kanan siap disabetkan. Agaknya, lelaki
bertopeng itu sengaja pamer
kepandaian. Tapi sebelum dia benar-benar memperlihatkan ilmu 'Sabetan Pedang
Memenggal Naga', Dewi
Pedang Halilintar mengangkat telapak tangan kirinya
seraya berseru lantang.
"Tunggu...! Di antara kita sebenarnya tidak ada
silang sengketa, kenapa kau tampak begitu bernafsu
untuk mengadu kepandaian" Di kotapraja tadi, aku
memang memergoki dirimu yang hendak membawa lari
seorang dayang. Tapi, bukankah aku sama sekali tak
mencampuri urusanmu itu?"
"Hmmm.... Kau memang tidak mencampuri
urusanku, Nenek Gendeng. Tapi, kehadiranmu di kotapraja tadi merupakan awal
kegagalan ku! Hmmm....
Kau harus menebus kesalahanmu itu sekarang! Bersiap-siaplah!"
Hantu Pemetik Bunga menyilangkan pedang di
depan dada. Dengan kaki sedikit ditekuk, dia mengalirkan kekuatan tenaga dalam
ke bilah pedangnya.
Namun, sekali lagi Dewi Pedang Halilintar berseru lantang.
"Tunggu...! Sebenarnya, aku bukan tak mau
meladeni sikap sombong dan congkak mu ini. Tapi karena aku mempunyai urusan yang
amat penting, harap
kau sudi membiarkan aku pergi."
"Ha ha ha...!" Hantu Pemetik Bunga tertawa
bergelak. "Di kotapraja, kau telah meneriaki ku dengan
sebutan 'Penjahat Culas Penculik Dayang'. Tentu kau
tahu dengan mata kepala sendiri. Sebelum aku berhasil melarikan wanita yang
kuinginkan, puluhan prajurit telah datang mengepung ku. Hmmm.... Kini, aku telah
menjadi seorang buronan. Semua itu gara-gara
ulah mu, Nenek Gendeng!"
"Ngaco belo!" maki Dewi Pedang Halilintar, keras menggelegar. Mendengar tuduhan
Hantu Pemetik Bunga, nenek yang punya sifat keras kepala ini agaknya mulai naik pitam. "Pandai
sekali kau menjatuhkan
kesalahan pada orang lain, Lelaki Busuk! Sejak dulu
kau telah menjadi buronan kerajaan! Itu bukan salahku! Siapa pun tahu kalau kau
adalah seorang penjahat
edan yang suka menculik dan merenggut kehormatan
seorang wanita. Tapi..., kalau sekarang memang punya
maksud menjajal kepandaianku, baiklah kulayani!"
Dengan pandangan berapi-api, Dewi Pedang
Halilintar menatap Hantu Pemetik Bunga. Hawa amarah telah membuatnya lupa pada
sebuah urusan yang
harus segera diselesaikannya. Sambil menggerendeng,
dia memasang kuda-kuda dengan pedang ditegakkan
di depan dada. Sementara, Hantu Pemetik Bunga yang
memang menyimpan rasa benci terhadap nenek itu
langsung mempersiapkan lagi ilmu 'Sabetan Pedang
Memenggal Naga'. Dan sekejap mata kemudian....
"Hiahhh...!"
Bet...! Hantu Pemetik Bunga menggembor keras. Bilah
pedang yang telah dialiri kekuatan tenaga dalam disabetkan ke depan. Seberkas
sinar putih melengkung
melesat untuk segera membelah tubuh Dewi Pedang
Halilintar! "Walet Menerjang Badai...!"
Mendadak, Dewi Pedang Halilintar berseru keras sekali. Saat sinar putih yang
melesat dari bilah pedang Hantu Pemetik Bunga baru menempuh jarak dua
tombak, Dewi Pedang Halilintar menjejak tanah. Secepat kilat, tubuh nenek itu
melesat ke depan. Sambil
berjumpalitan empat kali di udara, dia mengibaskan
bilah pedangnya. Selarik sinar kuning menggidikkan
tiba-tiba meluruk deras ke arah Hantu Pemetik Bunga!
Rupanya, Dewi Pedang Halilintar sengaja
menggabungkan jurus 'Walet Menerjang Badai' dengan
ilmu 'Pedang Halilintar Rontokkan Awan'. Ilmu Pedang
Halilintar Rontokkan Awan adalah salah satu ilmu andalan Dewi Pedang Halilintar.
Sinar kuning yang melesat dari bilang pedang nenek itu sudah cukup mampu
untuk menghancurkan sebongkah batu sebesar gajah,
apalagi tubuh manusia yang cuma terdiri dari susunan
tulang dan daging empuk!
Di lain kejap, terdengar dua ledakan keras yang
membahana panjang di angkasa. Sinar putih yang melesat dari bilah pedang Hantu
Pemetik Bunga yang tak
mengenai sasaran tampak menerpa pohon. Akibatnya,
batang pohon bergaris tengah satu depa itu langsung
tumbang bagai ditebas sebilah pedang yang amat tajam.
Dan, selarik sinar kuning yang melesat dari bilah pedang Dewi Pedang Halilintar
cuma mampu membuat lubang besar di tanah. Sebelum sinar yang
mempunyai daya penghancur dahsyat itu mengenai
sasaran, Hantu Pemetik Bunga telah melentingkan tubuhnya sekitar lima tombak ke
samping kiri. "Jahanam kau, Nenek Gendeng!" maki Hantu
Pemetik Bunga yang sempat terpukau melihat kehebatan ilmu pedang Dewi Pedang
Halilintar. "Kaulah yang jahanam!" balas Dewi Pedang Halilintar, tak kalah keras. "Kau
jangan cuma berani
memaki orang. Coba buka topengmu! Ingin kulihat wajah burukmu yang pastilah
mirip monyet buduk!"
"Keparat! Agaknya, sebelum membunuhmu,
aku harus merobek-robek bibirmu yang nyinyir itu!"
Sambil menggembor keras, Hantu Pemetik Bunga menerjang ganas. Dikeluarkannya
jurus-jurus andalan.
Karena lelaki bertopeng itu memiliki ilmu peringan tubuh tingkat tinggi, maka
tubuhnya segera berubah
menjadi segumpal asap putih yang terus berkelebatan.
Bilah pedangnya pun senantiasa mengeluarkan sinar
putih berkilat yang dibarengi suara gemuruh keras bagai hempasan badai.
Menghadapi serangan yang dilancarkan penuh
kesungguhan itu, mau tak mau Dewi Pedang Halilintar
mesti mengeluarkan seluruh daya kemampuannya.
Maka, sebentar saja pertempuran antara kedua
anak manusia berlainan jenis itu telah berlangsung seru. Mereka sama-sama
bernafsu untuk segera menghentikan perlawanan lawan. Dewi Pedang Halilintar
yang juga memiliki ilmu peringan tubuh tingkat tinggi
mampu mengimbangi kecepatan gerak Hantu Pemetik
Bunga. Hingga sampai sepuluh jurus, pertempuran
masih tampak seimbang.
Tetapi setelah memasuki jurus kesebelas, Hantu Pemetik Bunga yang biasa berlaku
licik mulai menjalankan tipu muslihat yang telah tersusun dalam benaknya. Saat
terjadi bentrokan senjata di udara, sambil melentingkan tubuh ke kiri, dia
menebarkan bubuk
racun! Bubuk itu amat halus dan hampir tak dapat dilihat. Namun demikian, Dewi Pedang
Halilintar yang
sudah cukup kenyang makan asam garam rimba persilatan cepat menyadari keadaan.
Dia curiga pada aroma
harum yang tiba-tiba menyebar. Maka tanpa pikir panjang lagi, nenek yang
tubuhnya masih tampak sintal
itu mengempos tenaga untuk dapat meloncat jauh ke
belakang. "Dasar penjahat licik tak tahu malu!" semprot
Dewi Pedang Halilintar. Sambil berkata, nenek ini
mengeluarkan sebutir pil penawar racun dari lipatan
baju, dan langsung ditelannya.
Hantu Pemetik Bunga cuma mendengus gusar.
Matanya menatap tajam sosok Dewi Pedang Halilintar
yang berdiri enam tombak dari hadapannya. Dengan
pedang ditudingkan, dia berkata, "Kalau dalam lima
jurus lagi aku tidak bisa menjatuhkan mu, akan kupenggal leherku sendiri!"
"Baik! Buktikan kata-katamu itu!" sambut Dewi
Pedang Halilintar, tersenyum sinis.
"Hmmm.... Bila kau pernah melihat orang dibakar hidup-hidup, kau akan segera
merasakan siksaan
seperti itu! Lihatlah!"
Usai berkata, lelaki bertopeng itu menyarungkan bilah pedangnya. Sebagai
gantinya, dia mengeluarkan seutas tali dari balik baju luarnya. Sambil
menggerendeng, tali lentur sepanjang dua depa lebih itu
disabetkannya ke atas.
Cletarrr...! Aneh sekali! Tiba-tiba, tali di tangan Hantu Pemetik Bunga yang semula berwarna
putih berubah menjadi merah membara dan diselubungi api biru
yang panas menyala-nyala. Terkena hawa panas cambuk itu, rerumputan yang berada
di dekat Hantu Pemetik Bunga kontan mengering layu. Bahkan, sebagian
malah terbakar hangus!
"Cambuk Api Neraka...!" kejut Dewi Pedang Halilintar, menyebut nama senjata di
tangan Hantu Pemetik Bunga.
Bola mata Dewi Pedang Halilintar melotot besar. Jantungnya mendadak berdegup
kencang. Bayangan buruk pun berkelebatan di benaknya. Bukan karena gentar
melihat kehebatan senjata lawan, tapi karena ingatannya melayang ke sosok orang
yang pernah sangat berarti dalam hidupnya.
"Kau terkejut melihat senjata yang kubawa ini?"
cibir Hantu Pemetik Bunga. "Kau ingat pada kakek
jompo bergelar Dewa Keadilan" Hmmm.... Ketahuilah,
Nenek Gendeng, bekas kekasihmu itu telah menerima
keadilannya sendiri. Tubuhnya telah kucincang untuk
menjadi santapan tikus-tikus pemakan daging di Lembah Kebencian! Dan...,
hemmm..., beruntung sekali diriku. Dewa Keadilan mati, senjata andalannya
menjadi milikku! Ha ha ha...!"
Hantu Pemetik Bunga tertawa sombong penuh
kegembiraan. Dewi Pedang Halilintar yang tak pernah
menyangka bila Dewa Keadilan telah menemui ajal di
tangan lelaki bertopeng itu tampak menundukkan kepala. Batinnya terpukul. Telah
lama dia berpisah dengan Dewa Keadilan yang pernah mengukir kenangan
indah di dalam ingatannya. Tapi sekarang yang muncul justru berita kematiannya.
Maka, siapa yang tak
akan menjadi sedih dan berduka" Tanpa terasa, air
bening bergulir dari sudut mata Dewi Pedang Halilintar. Beban batinnya bertambah
lagi. Dewi Pedang Kuning muridnya yang hilang diculik orang belum dapat
ditemukan, lelaki yang sampai saat ini masih sangat
dicintainya pun malah pergi untuk selama-lamanya.
"Jahanam! Kubunuh kau...!"
Terbawa rasa sedih di hatinya, Dewi Pedang
Halilintar memekik parau. Butiran air mata memercik
di tanah. Pandangannya berubah nanar penuh nafsu
membunuh. Rasa sedih dan kehilangan membuat Dewi
Pedang Halilintar lupa diri. Dadanya menjadi sesak karena terdesak oleh hawa
amarah yang harus segera ditumpahkan. Maka, dia pun menerjang ganas. Bila
pedangnya berkelebat cepat diiringi ledakan keras!
Hantu Pemetik Bunga yang pada dasarnya telah menyimpan segudang rasa benci
terhadap nenek itu balas menerjang. Cambuk Api Neraka di tangannya
disabetkan ke sana-sini, berusaha membakar hangus
tubuh Dewi Pedang Halilintar!
Cletarrr...! Jderrr...!
*** 3 APA" Kau meminta cermin 'Terawang Tempat
Lewati Masa'?" ujar Setan Selaksa Wajah untuk menutupi debar-debar di hatinya.
"Tahukah kau, heh Manusia Ular, cermin ajaib milikmu itu telah kuhancurkan"!
Segeralah enyah dari tempat ini! Bila terlalu lama berada di hadapanmu, aku bisa
mati kehabisan napas.
Bau busukmu terlalu menyengat!"
Mendengar kata-kata yang sangat menghina
itu, Ratu Perut Bumi malah tersenyum. Dengan suara
lembut, manusia setengah ular itu menyahuti, "Saat
aku pergi ke Lembah Kebencian, diam-diam kau masuk ke Liang Hawa Dingin. Kau
curi cermin 'Terawang
Tempat Lewati Masa' milikku yang kusimpan di sana.
Agaknya, kau memang seorang durjana yang tak sedikit pun punya sifat ksatria.
Tapi hari ini tak mungkin
kau dapat mengelabui aku lagi. Dengan ilmu tembus
pandang bernama 'Menatap Gelap Ciptakan Terang',
aku tahu bila cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa'
berada di balik bajumu. Serahkan benda yang bukan
hak milikmu itu. Aku akan melupakan semua kebusukan yang pernah kau perbuat
terhadapku...."
"Ha ha ha...!" mendadak Setan Selaksa Wajah
tertawa bergelak. "Mendaki gunung bersemak pedang,
menyeberangi lautan bertepi api adalah perbuatan sulit dan menaruhkan nyawa.
Setelah dapat kumiliki apa
yang kuinginkan, kenapa aku mesti melepaskannya?"
Kakek berwajah pemuda yang berpakaian serba
merah itu masih saja menunjukkan sikap congkak dan
sombong. Namun, dalam hati dia melengak heran melihat kemampuan Ratu Perut Bumi
yang dapat mengetahui cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa' yang tersimpan di
balik lipatan bajunya.
"Kau mendaki gunung bersemak pedang atas
kemauanmu sendiri. Kau menyeberangi lautan bertepi
api, tak ada yang mendesak dan meminta. Kau berlaku
demikian hanya sekadar menuruti nafsu tak baikmu...," sahut Ratu Perut Bumi,
tetap dengan suara
Pendekar Bodoh 4 Ratu Perut Bumi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lembut. "Tapi, bila ada orang yang dirugikan karena
ulah mu itu, tak mungkin dia tinggal diam melihat apa
yang menjadi haknya dirampas dan dicuri. Sama halnya dengan aku, Mahisa Lodra.
Cermin 'Terawang
Tempat Lewati Masa' adalah hak milikku, kenapa kau
berkeras kepala untuk tak mau mengembalikannya?"
Mendengus gusar Setan Selaksa Wajah. Murid
murtad Dewa Dungu itu sadar benar akan ketinggian
ilmu Ratu Perut Bumi. Walau belum pernah bentrok
secara langsung, tapi menurut desas-desus yang tersiar di rimba persilatan,
Setan Selaksa Wajah mengetahui bila Ratu Perut Bumi adalah manusia titisan
siluman ular. Oleh karenanya, Ratu Perut Bumi memiliki ilmu kesaktian yang
hampir bisa disejajarkan dengan siluman ataupun dewa.
Perasaan tak enak yang menggeluti hati Setan
Selaksa Wajah semakin terasa. Rasa gentar dan khawatir turut menggelutinya.
Apalagi, luka dalam akibat
pukulan tak kasar mata yang dilancarkan oleh Raja
Penyasar Sukma masih belum dapat diatasinya. Lain
itu, di belakang Ratu Perut Bumi pun berdiri Pendekar
Bodoh. Walau pemuda itu terkesan amat lugu dan kebodoh-bodohan, tapi Setan
Selaksa Wajah sadar pula
akan ketinggian ilmu kesaktiannya.
Oleh karena itu, diam-diam Setan Selaksa Wajah menepuk leher satwa tunggangannya, memberi
isyarat agar katak raksasa itu menghimpun tenaga
'Mengolah Api Guncangkan Bumi' di dalam perutnya.
"Ratu.... Ratu...," sebut si pemuda lugu Seno
Prasetyo sambil meloncat mendekati Ratu Perut Bumi.
"Sebelum mengajakku ke padang yang amat tandus
ini, kau katakan bila batu mustika 'Menembus Laut
Bernapas Dalam Air' dibawa kakek jelek yang menyamarkan wajahnya itu. Kenapa tak
kau minta sekalian,
Ratu" Aku memerlukannya untuk menyelamatkan
Kemuning...."
Pemuda berjuluk Pendekar Bodoh itu berkata
lugu dan jujur. Nada ucapannya jelas menyiratkan rasa khawatir akan keselamatan
Kemuning. Terlebih lagi,
menyiratkan pula rasa kasih sayang terhadap murid
Dewi Pedang Halilintar itu.
Setan Selaksa Wajah yang mendengar Seno
menyebut batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' tampak terkesiap.
Ucapan Seno benar adanya.
Setan Selaksa Wajah memang membawa batu mustika
'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' yang tersimpan
pula di balik bajunya. Seperti cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa' yang
dicurinya dari Liang Hawa Dingin, batu mustika itu juga hasil curian.
Batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam
Air' adalah milik Raja Penyasar Sukma yang semula
tersimpan di suatu tempat bernama Lembah Rongga
Laut. Setan Selaksa Wajah yang punya seribu akal bulus berhasil mencurinya tanpa
sepengetahuan Raja
Penyasar Sukma.
Satu pertanyaan segera timbul dalam benak Setan Selaksa Wajah. Bagaimana mungkin
ada orang lain yang tahu kalau dirinya membawa batu mustika
'Menembus Laut Bernapas Dalam Air'"
"Hmmm.... Pemuda lugu itu tahu kalau aku
membawa batu mustika 'Menembus Laut Bernapas
Dalam Air' karena diberi tahu oleh Ratu Perut Bumi.
Sungguh aku tak menduga. Kiranya, Ratu Perut Bumi
benar-benar memiliki mata siluman yang bisa melihat
apa yang tidak bisa dilihat oleh manusia biasa...," pikir
Setan Selaksa Wajah.
Karena khawatir kata-kata Seno tadi didengar
oleh Raja Penyasar Sukma, Setan Selaksa Wajah mengedarkan pandangan ke segenap
penjuru. Namun,
kekhawatirannya tidak beralasan karena Raja Penyasar Sukma tak terlihat.
"He, kenapa kau malah tengok sana tengok ini,
Mahisa Lodra"!" tegur Seno. "Jangan buat dosa lebih
banyak lagi. Segera serahkan cermin ajaib yang diminta oleh Ratu Perut Bumi!
Serahkan pula batu mustika
'Menembus Laut Bernapas Dalam Air'! Kemuning yang
tidak bersalah apa-apa harus segera kuselamatkan...."
Ucapan Pendekar Bodoh ditimpali Setan Selaksa Wajah dengan tawa bergelak.
"Ha ha ha...! Kau meminta seperti seorang raja
yang punya kuasa besar. Huh! Kau tak punya hak untuk meminta apa-apa dariku,
Bocah Tolol!"
Mendengar tolakan itu, Seno nyengir kuda sejenak, talu menatap lekat wajah Ratu
Perut Bumi. "Bagaimana ini, Ratu" Dia tak mau menyerahkan apa
yang kita inginkan...."
Tersenyum Ratu Perut Bumi melihat keluguan
Pendekar Bodoh. "Aku tahu Kemuning disandera lelaki
itu di Lembah Rongga Laut. Dia memang dalam bahaya. Kau tak punya waktu banyak
untuk menyelamatkannya. Apa boleh buat, tunjukkan kepandaianmu, Seno. Paksa
durjana itu agar bersedia menyerahkan batu mustika yang kau inginkan. Rampas
pula cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa' milikku...."
"Kau sendiri bagaimana, Ratu?" ujar Seno, seperti ragu-ragu.
"Aku akan berdiam di tempat ini sampai kau
berhasil mendapatkan kedua benda langka itu."
"Berdiam diri" Tanpa berbuat apa-apa?"
Mendengar ucapan Seno yang terkesan menyelidik itu, air muka Ratu Perut Bumi
mengelam. Untuk
beberapa lama, manusia setengah ular itu cuma diam
tanpa mengucap sepatah kata pun.
"Ratu..., kau kenapa?" tanya Seno, heran.
"Maafkan aku, Seno..." desah Ratu Perut Bumi.
"Aku berada dalam kutukan seseorang. Kutukan itu
membuatku tak bisa melakukan pertempuran. Aku tak
bisa mengerahkan tenaga dalam. Kalau ku langgar, aliran darahku akan berbalik.
Jantungku akan pecah...."
Ratu Perut Bumi berkata pelan sekali. Dia takut ucapannya akan didengar oleh
Setan Selaksa Wajah. Setelah menarik napas panjang, dia melanjutkan
perkataannya. "Tentang siapa aku dan bagaimana aku bisa
terkena kutukan, lain waktu akan ku jelaskan. Bergegaslah kau paksa Mahisa Lodra
untuk menyerahkan
kedua benda yang amat langka itu. Bukankah Kemuning harus segera kau
selamatkan?"
Seno menatap lekat wajah Ratu Perut Bumi. Tidak ada lagi rasa ngeri ataupun
jijik melihat wujud
manusia setengah ular itu. Yang ada dalam hatinya
kini malah rasa iba dan kasihan. Namun setelah ingat
akan sosok Kemuning yang berada dalam bahaya, dia
melangkah tiga tindak ke depan. Wujud satwa tunggangan Setan Selaksa Wajah yang
berupa seekor katak
raksasa tak lagi membuatnya giris. Lalu, dengan suara
lantang dia berkata....
"Kulihat wajahmu pucat. Aku tahu kau tengah
menderita luka dalam. Bila kau masih berkeras kepala,
jangan salahkan aku jika menambah parah luka dalammu itu, Mahisa Lodra!"
Menggerendeng Setan Selaksa Wajah. Leher
Adiguna ditepuknya seraya memerintah, "Bakar bocah
sok pandai itu!"
Sang katak raksasa Adiguna yang telah menghimpun tenaga 'Mengolah Api Guncangkan
Bumi', menegakkan kepalanya. Setelah mengeluarkan suara
ngorok keras, satwa berkulit kasar bergerigi itu menyemburkan gumpalan api merah
menyala-nyala! "Awasss...!" teriak Ratu Perut Bumi.
Pendekar Bodoh yang sempat terpukau melihat
kehebatan Adiguna, bergegas meloncat jauh ke samping kiri. Sementara, Ratu Perut
Bumi tampak menggerakkan ekornya seraya melesat tiga tombak ke samping kanan.
Gumpalan api yang keluar dari mulut Adiguna
menerpa tanah berpasir. Diiringi suara ledakan cukup
keras, lidah-lidah api berhamburan ke mana-mana.
Akibatnya, suhu udara di Padang Angin Malaikat yang
sudah panas semakin bertambah panas.
Dari dalam perut Adiguna terdengar suara bergemuruh seperti suara bergejolaknya
kawah gunung berapi. Sekali lagi, katak raksasa itu membuka mulutnya lebar-lebar seraya
menyemburkan gumpalan api
yang lebih besar!
Swosss...! Blammm...! Si pemuda lugu Seno Prasetyo yang menjadi
sasaran dapat berkelit dengan mudah. Kali ini, permukaan tanah berpasir yang
terhantam gumpalan api
tampak berkubang dalam. Semakin banyak lidah api
yang berhamburan. Suhu udara pun meningkat semakin panas.
"Bakar dia hidup-hidup!" seru Setan Selaksa
Wajah. Mulut Adiguna mengeluarkan suara ngorok keras, lalu menyemburkan lagi gumpalan
api. Seno yang menjadi sasaran tentu saja tak mau dipaksa berloncatan ke sana-sini. Cepat dia
keluarkan Tongkat Dewa
Badainya. Senjata berupa tongkat putih sepanjang dua
jengkal itu langsung dikibaskan.
Set...! Wusss...! Serangkum angin pukulan yang memperdengarkan suara bergemuruh keras tiba-tiba
menerjang ganas ke arah Adiguna. Gumpalan api yang menyembur dari mulutnya tertelan lenyap
tanpa bekas. Sementara, serangkum angin pukulan yang timbul akibat
kibasan Tongkat Dewa Badai terus meluruk, berlipat
ganda beberapa kali dari kekuatan tiupan angin topan!
"Haram jadah!" umpat Setan Selaksa Wajah.
Tak mau melihat tubuh Adiguna dan tubuhnya
sendiri terlontar oleh serangkum angin pukulan yang
tampak amat mengiriskan itu, Setan Selaksa Wajah
menghentakkan kedua telapak tangannya ke depan.
Dua larik sinar biru berkeredapan langsung melesat
menebarkan hawa panas luar biasa. Rupanya, Setan
Selaksa Wajah tak mau tanggung-tanggung. Kakek
berwajah pemuda itu telah mengeluarkan ilmu pukulannya yang terhebat, yaitu ilmu
pukulan 'Pelebur
Sukma'! Maka, bentrokan dua kekuatan dahsyat tak
dapat dibendung lagi. Sebuah ledakan keras menggelegar di angkasa. Tenaga
ledakan itu mampu melontarkan tubuh Ratu Perut Bumi belasan tombak dari kedudukannya semula. Untunglah walau manusia setengah siluman itu tak dapat
melindungi tubuhnya dengan kekuatan tenaga dalam, dia tak sampai menderita
luka yang berarti,
Sementara, tubuh Pendekar Bodoh tampak jatuh berguling-guling di tanah berpasir.
Namun, dia segera bangkit dalam keadaan segar bugar.
Berlainan dengan Setan Selaksa Wajah. Ketika
melancarkan pukulan 'Pelebur Sukma' tadi, dia lupa
pada luka dalam yang masih dideritanya. Pengerahan
tenaga dalam yang terlalu besar menyebabkan aliran
darah menjadi kacau. Akibatnya Setan Selaksa Wajah
merasakan jantungnya bagai terjepit dua bilah baja.
Walau dia berhasil meredam angin pukulan senjata
mustika Seno, tak urung darah segar meleleh dari sudut bibirnya. Itu tandanya
bila luka dalam yang diderita Setan Selaksa Wajah telah bertambah parah.
Namun, sebagai tokoh tua yang sudah punya
nama besar di rimba persilatan, tentu saja Setan Selaksa Wajah tak sudi
dipecundangi oleh seorang tokoh
muda yang belum begitu ternama macam Pendekar
Bodoh. Maka, dicarinya daya upaya untuk dapat memukul roboh pemuda lugu itu.
"Luka dalam yang ku derita tak memungkinkan
aku untuk bertempur," kata hati Setan Selaksa Wajah.
"Jalan satu-satunya untuk dapat meloloskan diri adalah dengan mengandalkan
kekuatan Adiguna."
Mengikuti pikiran di benaknya, kakek berwajah
pemuda itu menepuk lagi leher sang katak raksasa
Adiguna seraya memerintah, "Keluarkan Lidah Mautmu, Adiguna! Rampas senjata di
tangan bocah geblek
itu! Lalu, potong-potong tubuhnya sesukamu!"
"Khrokkk...! Khrokkk...!"
Sang katak raksasa Adiguna membuka mulutnya lebar-lebar, memperlihatkan jajaran giginya yang
bagai susunan bongkah batu runcing. Begitu mengatup kembali, melesat sebuah
benda pipih panjang berwarna merah berkilat. Itulah Lidah Maut Adiguna yang
dapat membelit sekuat tali baja dan membabat setajam
pedang! "Awasss...!" teriak Ratu Perut Bumi yang melihat Seno tampak berdiri terpaku.
Tapi, sebenarnya teriakan manusia berdarah siluman itu tak perlu. Pendekar Bodoh
memang sengaja menanti ujung Lidah Maut Adiguna mendekat. Murid
Dewa Dungu yang baru beberapa candra berkecimpung di rimba persilatan itu
percaya benar pada kehebatan senjata mustika di tangannya.
Bet...! Swik...! Swik...!
Lidah Maut Adiguna berhasil melilit batang
Tongkat Dewa Badai di tangan Seno. Dari jarak sekitar
sepuluh tombak, Ratu Perut Bumi tampak membelalakkan mata penuh rasa khawatir.
Karena, sambil tetap melilit Tongkat Dewa Badai, ujung Lidah Maut Adiguna terus
meluncur dibarengi suara berdesing mirip
desingan pedang. Lidah katak raksasa yang memang
setajam pedang itu hendak menebas putus leher si
pemuda lugu Seno Prasetyo!
"Khroookkkk...!"
"Astaga...!"
Tiba-tiba, sang katak raksasa Adiguna mengeluarkan pekik parau berupa suara
ngorok panjang.
Sementara, Setan Selaksa Wajah pun berseru kaget,
dan langsung memucat wajahnya. Bola mata lelaki
berpakaian serba merah itu melotot besar bagai hendak keluar dari rongganya.
Hatinya tergeluti sejuta rasa tak percaya!
Apa yang terjadi"
Ketika Lidah Maut Adiguna tinggal seusapan
untuk dapat segera mengenai sasaran, cepat sekali
Seno mengeluarkan ilmu kebalnya yang bernama
'Perisai Dewa Badai'. Seno pun percaya benar pada ketangguhan ilmu yang
dipelajarinya dari Kitab Sanggalangit itu karena telah beberapa kali diuji. Jika
Seno mengeluarkan ilmu yang bersumber dari pengerahan
tenaga dalam tingkat tinggi itu, asal bukan senjata
mustika, maka tak ada satu pun senjata tajam yang
mampu melukai Seno.
Dan, kekebalan tubuh Seno itu memang terbukti. Lidah Maut Adiguna tak mampu
Pendekar Bodoh 4 Ratu Perut Bumi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memenggal leher Seno, bahkan menggores pun tidak. Lidah katak
raksasa itu seperti membentur balok baja yang amat
keras sehingga menerbitkan suara berdentang yang
memekakkan gendang telinga.
Keterkejutan Adiguna tampak pada bola matanya yang melotot besar. Namun sebelum
satwa tunggangan Setan Selaksa Wajah itu mengulangi serangannya, batang Tongkat
Dewa Badai yang masih terbelit Lidah Maut-nya tiba-tiba dikibaskan ke kiri oleh
pemiliknya! Srattt...! "Krooookkkkk...!"
Sang katak raksasa mengeluarkan suara ngorok lebih panjang dan lebih keras pula.
Bola matanya yang berwarna merah tampak berair. Rupanya, dia
tengah menahan rasa sakit yang sangat menyiksa. Lidah Maut-nya telah terpotong
oleh kibasan Tongkat
Dewa Badai! "Celaka! Celaka!'
Berseru kaget Setan Selaksa Wajah. Adiguna
menggeliat-geliat seraya melonjak kesakitan, membuat
tubuh Setan Selaksa Wajah yang duduk di leher katak
raksasa itu berguncang-guncang.
Dengan menepuk-nepuk leher Adiguna, Setan
Selaksa Wajah berusaha menenangkan satwa tunggangannya itu. Tapi tampaknya,
Adiguna tak ambil peduli lagi pada Setan Selaksa Wajah. Rasa sakit telah
membuat beku akal pikirannya.
"Adiguna...!" tiba-tiba Setan Selaksa Wajah menyebut nama satwa tunggangannya,
keras menggelegar. "Kita pergi dari tempat ini!"
Mendengar perintah Setan Selaksa Wajah yang
menyiratkan rasa penasaran dan hawa amarah itu, sekali lagi Adiguna mengeluarkan
suara ngorok panjang.
Sambil menahan rasa sakit, katak raksasa itu menjejak tanah seraya melompat jauh
untuk mencari selamat!
"Durjana licik! Mau pergi ke mana kau"!"
Seno menggembor keras. Dengan mengerahkan
ilmu 'Lesatan Angin Meniup Dingin', pemuda tampan
itu langsung mengempos tenaga untuk mengejar. Kecepatan gerak tubuh Seno luar
biasa sekali. Sosok tubuhnya laksana dapat menghilang!
"Haram jadah!"
"Khrokkk...!"
Setan Selaksa Wajah dan sang katak raksasa
Adiguna sama-sama menumpahkan keterkejutannya
dengan berseru keras. Sosok Pendekar Bodoh tiba-tiba
telah berdiri menghadang di hadapan mereka!
"Tinggalkan dua benda yang kuinginkan!" seru
Seno sambil mengacungkan Tongkat Dewa Badai. Bagian ujungnya yang runcing tampak
berkilat tertimpa
sinar mentari. "Boleh! Kali ini, kau boleh meminta sesuatu dariku. Terimalah...!" sahut Setan
Selaksa Wajah. Mendadak, kakek berwajah pemuda itu meniup. Karena tiupan si kakak disertai
pengerahan tenaga dalam, timbul serangkum angin pukulan yang
cukup kuat. Anehnya, serangkum angin pukulan itu
berwarna hijau gelap!
Untuk kesekian kalinya, Ratu Perut Bumi
membelalakkan mata melihat Pendekar Bodoh yang terancam bahaya. Maka, dia pun
berteriak lantang mengingatkan.
"'Racun Pembunuh Naga'! Awassss...!"
*** 4 DENGAN menggunakan ilmu 'Pedang Halilintar
Rontokkan Awan', Dewi Pedang Halilintar berusaha
mendesak Hantu Pemetik Bunga. Namun, kehebatan
Cambuk Api Neraka di tangan lelaki bertopeng itu benar-benar luar biasa. Setiap
disabetkan menimbulkan
ledakan keras yang amat memekakkan gendang telinga. Sementara, suhu udara
semakin meningkat panas
karena api biru yang menyelubungi tali cambuk itu
memercik ke mana-mana.
Lima jurus telah berlalu dengan cepat. Tampaknya, sangat sulit bagi Dewi Pedang
Halilintar untuk
segera dapat merobohkan Hantu Pemetik Bunga. Walau pedang nenek yang rambutnya
digelung ke atas itu
terbuat dari logam pilihan, tapi tetap saja tak mampu
meredam kehebatan Cambuk Api Neraka.
Tak dapat mendesak lawan, Dewi Pedang Halilintar semakin naik pitam. Nenek keras
kepala itu menerjang semakin ganas dan kalap. Seluruh kekuatan
tenaga dalamnya disalurkan ke batang pedang. Hingga, suara ledakan hingar-bingar
semakin berkuasa di
ajang pertempuran itu. Setiap disabetkan, senjata Dewi Pedang Halilintar dan
Hantu Pemetik Bunga samasama menerbitkan ledakan keras. Namun, hawa amarah
seringkali membuat orang jadi kehilangan kewaspadaannya. Begitu pula dengan Dewi
Pedang Halilintar. Hawa amarah dalam diri guru Dewi Pedang Kuning
itu membuatnya jadi mata gelap. Dalam benaknya
hanya punya satu keinginan, yaitu membunuh Hantu
Pemetik Bunga secepatnya. Tapi, dia sendiri lupa bila
Hantu Pemetik Bunga juga punya keinginan yang sama. Hingga sampai suatu saat....
Trang...! Wuttt...! Bentrokan senjata terjadi. Dewi Pedang Halilintar mendelikkan mata melihat
pedang kuningnya terbelit oleh Cambuk Api Neraka. Sambil mendengus gusar, Dewi
Pedang Halilintar mengempos seluruh tenaganya untuk dapat melepas belitan. Tapi,
tali cambuk pusaka itu bagai punya perekat yang amat kuat, terus
membelit senjata Dewi Pedang Halilintar tanpa dapat
dilepaskan lagi!
"Ha ha ha...!" Hantu Pemetik Bunga tertawa
pongah. "Ayo, terus kerahkan tenagamu, Nenek Gendeng! Semakin banyak kau
mengeluarkan tenaga, kau
akan segera merasakan kehebatan cambuk ini! Ha ha
ha...!" "Jahanam!" sentak Dewi Pedang Halilintar. "Boleh kau berkata semaumu, tapi kau
juga harus mau melihat kekuatanku! Hiahhh...!"
Menggembor keras Dewi Pedang Halilintar. Dia
kerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Tapi...,
mendadak wajah nenek itu memucat. Bola matanya
melotot besar. Belitan Cambuk Api Neraka tak dapat
dia lepaskan, tenaga malah tersedot!
"Ha ha ha...!" Hantu Pemetik Bunga tertawa
pongah lagi. "Kau sudah merasakan kehebatan cambuk ini, bukan" Kalau masih
penasaran, teruslah kerahkan tenagamu. Kau akan segera mati lemas! Ha ha
ha...!" Semakin melotot bola mata Dewi Pedang Halilintar mendengar ucapan Hantu Pemetik
Bunga. Rasa kalut dan bingung segera menggeluti batin nenek itu.
Bagaimana mungkin dia melepaskan belitan tali Cambuk Api Neraka pada bilah
pedangnya tanpa mengerahkan tenaga" Tapi, kalau dia benar-benar mengerahkan
tenaga, tubuhnya justru menjadi lemas karena
tenaga yang dia keluarkan tersedot oleh tali Cambuk
Api Neraka! Dalam kebingungannya, tiba-tiba Dewi Pedang
Halilintar berbuat nekat. Kakinya menjejak tanah seraya melesatkan tubuhnya ke
depan! "Mati kau, Jahanam!"
Ujung pedang Dewi Pedang Halilintar melesat
cepat untuk menusuk jantung Hantu Pemetik Bunga.
Namun, Hantu Pemetik Bunga yang sudah menduga
akan datangnya serangan itu tampak melentingkan
tubuhnya ke kiri. Begitu menginjak tanah, lelaki bertopeng itu mengibaskan
cambuk pusaka di tangannya!
"Hiahhh...!"
Wuttt...! Tubuh Dewi Pedang Halilintar bergetar kencang
dan hendak terlontar mengikuti arah kibasan Cambuk
Api Neraka. Tentu saja Dewi Pedang Halilintar tak mau
membiarkan hal itu terjadi pada dirinya. Terpaksa Dewi Pedang Halilintar melepas
cekalannya pada hulu
pedang kuning! "Ha ha ha...!" Hantu Pemetik Bunga tertawa
mengejek. "Kau lepaskan pedangmu. Rupanya kau sudah menyerah untuk menerima
ajalmu, Nenek Gendeng!"
Usai berkata, lelaki bertopeng itu mengibaskan
lagi cambuk pusaka di tangannya. Bilah pedang kuning yang masih terbelit tibatiba melesat cepat untuk
segera membelah tubuh pemiliknya sendiri!
Semakin memucat wajah Dewi Pedang Halilintar. Kedudukannya sudah tak
memungkinkan lagi untuk menghindar. Namun demikian, dia masih mencoba
mempertahankan nyawa dengan melancarkan pukulan
jarak jauh! Wusss...! Prang...! Selarik sinar kuning yang melesat dari telapak
tangan Dewi Pedang Halilintar cepat menghantam bilah pedangnya sendiri. Tapi
karena tenaga nenek itu
sudah berkurang banyak, pukulan jarak jauhnya cuma mampu menggetarkan bilah
pedang kuning. Sekejap mata kemudian, bilah pedang yang terbuat dari logam
pilihan itu meluruk lagi!
Set...! "Ih...!"
Memekik kaget Dewi Pedang Halilintar. Walau
bilah pedang kuning tak sampai merenggut nyawanya,
tapi bahu kiri nenek itu terserempet. Darah segar
muncrat karena ada sebagian daging yang terkoyak!
Hantu Pemetik Bunga tertawa bergelak-gelak
menatap Dewi Pedang Halilintar yang sedang meringis
kesakitan sambil menekap bagian tubuhnya yang terluka. Namun sebelum Hantu
Pemetik Bunga mengucap kata-kata ejekan, Dewi Pedang Halilintar mendahului
dengan suara geram kemarahan.
"Keparat kau, Lelaki Durjana! Aku memang telah terluka, tapi jangan harap kau
dapat membunuhku dengan mudah!"
Sambil mengucapkan kalimat itu, Dewi Pedang
Halilintar membalut lukanya dengan sehelai sapu tangan lebar berwarna kuning.
Untung, Dewi Pedang Halilintar tak pernah melumuri bilah pedangnya dengan
cairan racun, sehingga nenek itu tak perlu khawatir dirinya akan keracunan.
Sementara, Hantu Pemetik Bunga yang melihat
keberanian dan kenekatan Dewi Pedang Halilintar malah tertawa senang.
"Ha ha ha...! Sebelum kau mati, tentu kau ingin
memegang terlebih dulu hulu pedangmu. Nah! Sekarang, terimalah...!"
Walau Dewi Pedang Halilintar bukanlah orang
yang takut mati, tapi saat melihat Hantu Pemetik Bunga hendak mengibaskan
kembali tali Cambuk Api Neraka, hatinya bergetar juga. Tanpa sadar, nenek
berpakaian serba kuning itu tersurut mundur.
Namun..., Hantu Pemetik Bunga yang sudah
bersiap-siap menjatuhkan tangan maut tiba-tiba tersurut mundur pula beberapa
langkah. Dengan bola mata
melotot besar, raut wajahnya yang tersembunyi di balik topeng langsung memucat
seperti mayat! Tentu saja Dewi Pedang Halilintar terkejut dan
heran. Sikap yang ditunjukkan Hantu Pemetik Bunga
benar-benar mirip orang yang digeluti perasaan takut.
Sampai beberapa tarikan napas, Dewi Pedang
Halilintar terus menatap tanpa tahu apa gerangan
yang telah terjadi pada Hantu Pemetik Bunga. Dewi
Pedang Halilintar semakin heran melihat lelaki bertopeng itu tak henti-henti
melangkah mundur dengan
keringat dingin bercucuran.
"Dewa Geli...! Dewa Geli...!" seru Hantu Pemetik
Bunga berulang kali.
Tubuh Hantu Pemetik Bunga tampak gemetaran. Tanpa sadar, dia melepas aliran
tenaga dalam pada Cambuk Api Neraka. Lidah api biru yang menyelubungi cambuk
pusaka itu langsung lenyap, dan bentuknya berubah lagi menjadi seutas tali pipih
berwarna putih. Pedang kuning milik Dewi Pedang Halilintar
kontan jatuh ke tanah.
"Jangan! Jangan!" seru Hantu Pemetik Bunga
sambil memegangi celana bagian dalamnya.
Tiba-tiba, seruan lelaki bertopeng itu disahuti
oleh suara seorang bocah lelaki.
"Tidak di sana, tidak di sini, rupanya kau masih
saja suka berbuat macam-macam! Hayo! Kemari kau!
Aku sudah siapkan pisau untukmu!"
Dewi Pedang Halilintar menoleh. Ternyata, di
belakang nenek itu telah berdiri seorang bocah lelaki
berumur sepuluh tahunan. Tubuh mungil si bocah
terbungkus pakaian putih berkembang-kembang.
Tampaknya, pakaian yang dikenakan bocah itu untuk
ukuran orang dewasa, sehingga kain lengan baju dan
celananya kedodoran. Namun, hal itu malah menambah kejenakaan yang terpancar
dari wajah si bocah.
"Dewa Geli...," desis Dewi Pedang Halilintar
yang telah mengenal sosok bocah berpakaian kedodoran.
Kalau Dewi Pedang Halilintar berseru girang dalam hati melihat kehadiran Dewa
Geli, berlainan benar
dengan Hantu Pemetik Bunga. Betapa takutnya lelaki
bertopeng itu saat Dewa Geli mengacungkan sebilah
pisau ke arahnya.
"Jangan! Jangan!" Hantu Pemetik Bunga berseru lagi sambil menekap celana bagian
depannya. "Aku
berjanji.... Ya, aku berjanji....!"
"Hi hi hi...!" bocah yang disebut sebagai Dewa
Geli tertawa cekikikan. "Aku sudah bosan mendengar
janji-janji manis mu! Hayo! Cepat kemari! Kau harus
disunat lagi sampai habis! Sudah berapa banyak gadis
yang kau renggut kehormatannya" Hukuman itu sangat cocok untukmu!"
Dewa Geli menutup perkataannya dengan suara tawa mengikik. Hantu Pemetik Bunga
terus melangkah mundur. Agaknya, lelaki bertopeng itu menyimpan
perasaan takut yang berlebihan terhadap Dewa Geli.
Bagaimana bisa begitu"
Walau wujud lahir Dewa Geli hanya berupa
seorang bocah yang masih tampak ingusan, tapi sebenarnya dia telah berusia
seratus tahun! Selama sembilan puluh tahun, dia tinggal bersama kaum siluman di
sebuah tempat bernama Istana Abadi.
Istana Abadi adalah sebuah tempat yang letaknya berada di luar tempat kediaman
manusia biasa. Dewa Geli yang punya nama kecil Jaka Tunggal bisa
berada di tempat itu karena dia diambil anak angkat
oleh ratu Istana Abadi yang bernama Ayu Raseksi,
yang tak lain dari ibu kandung Ratu Perut Bumi. (Tentang hubungan antara Ayu
Raseksi dengan putrinya
Pendekar Bodoh 4 Ratu Perut Bumi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang berupa manusia setengah ular akan diceritakan
pada episode lain).
Istana Abadi tidak mengenal apa yang dinamakan dengan putaran waktu. Sehingga,
walau tinggal di
tempat itu selama sembilan puluh tahun, wujud Jaka
Tunggal tak berubah, tetap berwujud seorang bocah
sepuluh tahunan. Meski begitu, jiwa dan pikiran Jaka
Tunggal dapat berkembang sebagaimana mestinya.
Dengan kata lain, Jaka Tunggal yang berupa seorang
bocah sepuluh tahunan punya jiwa dan pikiran kakekkakek yang telah berusia seratus tahun.
Diangkat oleh anak seorang ratu siluman macam Ayu Raseksi tentu saja Jaka
Tunggal mendapat
gemblengan ilmu kesaktian yang pilih tanding. Keperluan sehari-harinya pun serba
tercukupi tanpa kurang
suatu apa. Namun, bocah itu tetap tak bisa lepas dari
hasrat nuraninya sebagai manusia biasa. Dia pun
memutuskan untuk kembali ke alam kehidupannya
semula. Dan, Ayu Raseksi tak keberatan.
Tapi sebelum pergi, Jaka Tunggal diberi tugas
yang ada hubungannya dengan Ratu Perut Bumi, putrinya. (Hal ini juga akan
diceritakan pada episode
lain). Hingga sampai sekarang, Jaka Tunggal telah
tinggal di alam kehidupan manusia biasa hampir satu
tahun. Namun, belum pernah sekalipun dia bertatap
muka dengan Ratu Perut Bumi yang biasa tinggal di
dalam tanah. Sehingga, dia pun belum dapat melaksanakan tugas yang diberikan
oleh Ayu Raseksi, ratu Istana Abadi.
Sebagai seorang anak manusia yang punya ilmu kesaktian tingkat tinggi, Jaka
Tunggal tak dapat
membendung hasrat hatinya untuk turut berkecimpung di rimba persilatan. Dan,
selama hampir setahun
itulah orang-orang mengenal Jaka Tunggal sebagai
seorang bocah aneh yang suka tertawa cekikikan walau tanpa sebab.
Namun, tak satu pun kaum rimba persilatan
yang berani memandang rendah kepadanya karena dia
memiliki ilmu kesaktian yang hampir dapat disejajarkan dengan dewa. Oleh
karenanya, Jaka Tunggal dijuluki orang sebagai Dewa Geli.
Dalam pengembaraannya untuk mencari Ratu
Perut Bumi, sepak terjang Dewa Geli selalu berada di
jalan kebenaran. Tanpa diajari oleh siapa pun, dia tahu kalau kebenaran mesti
dijunjung dan keadilan
mesti ditegakkan.
Banyak tokoh jahat yang telah dipecundangi
Dewa Geli. Dia antara mereka, banyak yang kemudian
sadar untuk menjadi orang baik-baik. Namun, banyak
pula yang cuma bermanis mulut belaka. Berjanji tak
akan mengulangi perbuatan jahat, tapi di belakang
Dewa Geli, mereka tetap saja mengumbar nafsu rendah. Dan, salah satu dari
mereka-mereka yang hanya
bermanis mulut itu adalah Hantu Pemetik Bunga.
Dalam suatu pertempuran, Hantu Pemetik
Bunga pernah dipukul roboh dengan mudah oleh Dewa Geli. Karena takut dibunuh,
lelaki bertopeng itu
meratap, mengiba, dan berjanji untuk tak mengulangi
perbuatan jahatnya yang suka menculik gadis-gadis
cantik kemudian merenggut kehormatannya.
Dewa Geli yang pada dasarnya punya sifat welas asih mau melepaskan Hantu Pemetik
Bunga. Tapi di lain hari, dia mendengar kabar bila Hantu Pemetik
Bunga masih suka melakukan perbuatan buruknya.
Oleh karena itu, Dewa Geli bermaksud menghukum lelaki bertopeng itu dengan
memotong bagian tubuhnya
yang paling berharga sebagai seorang lelaki.
*** Melihat Hantu Pemetik Bunga yang terus melangkah mundur dan seperti hendak
melarikan diri,
Dewa Geli meloncat maju. Diiringi suara tawa mengikik panjang, tubuh bocah
berpakaian kedodoran itu
melesat cepat, lebih cepat dari luncuran anak panah
lepas dari busur!
"Jangan! Jangan!"
Hantu Pemetik Bunga berseru lantang. Kedua
telapak tangannya semakin rapat menekap bagian depan celananya. Sementara, Dewa
Geli yang telah berdiri satu tombak di hadapan lelaki bertopeng itu tampak
mengacung-acungkan pisau yang tercekal di tangan
kanannya. "Hi hi hi...! Hayo! Cepat buka celana mu! Setelah ku potong 'senjata'-mu,
bolehlah kau pergi. Hi hi
hi...! Kalau sudah ku potong, kau pasti kapok! Hi hi
hi...!" Mendengar ucapan itu, Hantu Pemetik Bunga
menggigil ketakutan. Keringat dingin semakin mengucur deras. Apalagi, Dewa Geli
tampak melangkah
menghampirinya!
"Jangan! Jangan!" seru Hantu Pemetik Bunga
untuk kesekian kalinya.
Hilang sudah semua kesombongan dan kecongkakan lelaki bertopeng itu. Yang ada
dalam benaknya hanyalah perasaan takut dan gentar.
Namun mendadak, Hantu Pemetik Bunga mengalirkan tenaga dalam ke Cambuk Api
Neraka yang masih tercekal di tangan kanannya. Dalam sekejap
mata, tali cambuk pusaka itu diselubungi lidah-lidah
api berwarna biru. Lalu....
Jderrr...! Jderrr...! Dua kali Hantu Pemetik Bunga menyabetkan
Cambuk Api Neraka. Tapi, Dewa Geli yang menjadi sasaran malah tertawa cekikikan
dan sengaja menadahi.
Dewi Pedang Halilintar yang berada di belakang
bocah lelaki itu tampak membelalakkan mata karena
terkejut. Tapi, kekhawatiran di hati nenek itu sungguh
tak beralasan. Tubuh Dewa Geli yang terhajar sabetan
Cambuk Api Neraka tak mengalami luka sedikit pun!
Bocah lelaki itu tetap berdiri tegak di tempatnya. Bahkan, kain bajunya tak
sobek ataupun terbakar. Padahal, sabetan Cambuk Api Neraka yang dilancarkan oleh
Hantu Pemetik Bunga tadi sudah cukup mampu untuk
menghancurkan bongkah batu sebesar gajah!
"Hmmm.... Rupanya, sebelum disunat, kau masih ingin main-main dulu...," ujar
Dewa Geli. "Hi hi
hi...! Boleh! Boleh saja! Agar kau nanti tak penasaran
setelah 'barang'-mu itu benar-benar ku potong habis!"
Rasa takut dalam diri Hantu Pemetik Bunga
membuatnya jadi nekat. Sekali lagi, dia sabetkan
Cambuk Api Neraka di tangannya!
Jderrr...! Seperti tadi, Dewa Geli menadahi sabetan cambuk pusaka itu. Dia pun tetap
berdiri tegak di tempatnya tanpa kurang suatu apa. Namun, ketika Hantu
Pemetik Bunga hendak mendaratkan sabetan berikutnya, Dewa Geli mengangkat tangan
kirinya. jari-Jari
mungil bocah berpakaian kedodoran itu berkelebat cepat sekali. Tahu-tahu Cambuk
Api Neraka telah berpindah tangan.
"Senjata ini kuserahkan kepadamu, Nenek Budiman.... Kupikir, kau lebih berhak,"
ujar Dewa Geli.
Cambuk Api Neraka yang telah berhasil dirampasnya
dia lemparkan ke arah Dewi Pedang Halilintar.
Bergegas Dewi Pedang Halilintar menangkap
cambuk pusaka yang telah kembali ke wujud aslinya,
berupa seutas tali pipih berwarna putih.
Sementara, Hantu Pemetik Bunga semakin dilanda rasa takut. Namun, dia belum mau
menyerah. Dia hunus bilah pedang berukir yang terselip di punggungnya. Dengan sekuat
tenaga, disambitkannya pedang itu ke dada Dewa Geli!
Zing...! Tep...! "Hi hi hi...!" Dewi Geli tertawa cekikikan. Pedang Hantu Pemetik Bunga berhasil
ditangkapnya dengan mudah. Sejenak pedang itu ditimangtimangnya.
"Pedang bagus! Pedang bagus! Sayang, digunakan di jalan yang tak benar. Hi hi
hi...! Lebih baik dihancurkan saja!"
Sambil melanjutkan tawanya, Dewa Geli menyabetkan bilah pedang di tangannya.
Hantu Pemetik Bunga meloncat jauh ke belakang karena menyangka
sabetan itu ditujukan kepada dirinya. Tapi ternyata,
Dewa Geli memang tidak bermaksud menjatuhkan
tangan maut. Dewa Geli cuma mau menunjukkan kekuatan
tenaga dalamnya. Bilah pedang yang disabetkannya tiba-tiba meleleh jadi cairan
putih kental yang tumpah
ke permukaan tanah, seperti sebatang lilin yang meleleh karena terbakar api!
"Astaga...!" kejut Hantu Pemetik Bunga.
"Hayo! Kini tiba saatnya aku memotong milikmu itu. Hi hi hi...!"
Sambil tertawa cekikikan, Dewa Geli melangkah
perlahan. Pisau di tangan kanannya siap untuk memotong habis 'senjata' Hantu
Pemetik Bunga yang biasa
digunakan untuk mengumbar nafsu setan!
*** 5 TANPA diberi peringatan oleh Ratu Perut Bumi
pun sebenarnya Pendekar Bodoh sudah tahu kalau Setan Selaksa Wajah tengah
menyerangnya dengan ilmu
mengolah racun dalam perut bernama 'Racun Pembunuh Naga'. Pendekar Bodoh yang
juga murid Dewa
Dungu tentu saja tahu kedahsyatan ilmu yang amat
berbahaya itu. Bila seseorang telah menghirup 'Racun
Pembunuh Naga', tidak sampai tiga tarikan napas kemudian, jiwa orang itu pasti
Pendekar Panji Sakti 5 Rajawali Hitam Karya Kho Ping Hoo Sumpah Palapa 23
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama