Pendekar Gila 36 Balada Di Karang Sewu Bagian 2
Sejenak suasana menjadi hening seketika.
Mereka diam tak berkata-kata lagi, seakan bicara
dalam hati masing-masing.
Nyi Ranti yang sarat dengan kasih, menciumi bayinya dengan mata berlinang. Wanita itu
seakan sudah merasakan kalau umurnya tak akan
lama lagi. "Jangan berpikir yang tidak-tidak, Nisanak.
Semua nasib dan umur, Gusti yang menentukan.
Sudahlah, jangan terus menangis. Kasihan bayimu. Dia jadi ikut sedih...," tutur Nyi Oji sambil mengusap rambut Nyi Ranti.
"Kalau boleh aku tahu, sebenarnya apa
yang terjadi pada dirimu, Ranti?" tanya Sena tiba-tiba. Nyi Ranti perlahan
berpaling ke arah Sena.
Ditatapnya wajah pemuda tampan ini beberapa
saat. Lalu kembali dipandanginya si bayi dengan
senyum pahit Saat itu, muncul Ki Oji yang membawa
bungkusan ramuan obat. Lalu segera diberikannya
kepada istrinya.
"Nyi Oji segera masuk ke dapur untuk menyiapkan ramuan obat. Sedangkan Ki Oji setelah
melihat sebentar ke arah Nyi Ranti, lalu melangkah keluar lagi
"Rasanya... waktuku sudah dekat.... Meski
hanya selintas, aku bahagia masih sempat melihat
dan membelai bayiku.... Betapa senang hati Kakang Panji...! Kerinduannya mempunyai seorang
putra sebagai pewaris dan penyambung keturunannya, telah terwujud...," tutur Nyi Ranti membuka suara.
Sena mendengar penuh perhatian kata-kata
Ny Ranti yang penuh haru. Pemuda itu sejenak teringat pada ibunya. Sesaat dihelanya napas dalamdalam, Murid Singo Edan itu sangat terharu mendengar ucapan wanita muda yang baru melahirkan
ini. "Alangkah bahagianya saat awal-awal bersama Kakang Panji.... Tapi, kebahagiaan itu secara tiba-tiba lenyap begitu
saja," tutur Nyi Ranti lemah, sambil menatap Sena. Sejenak dia menghela
napas. "Siang Nyi Ranti mulai bercerita pada Se-na....
4 Siang itu, sebuah kereta yang ditarik empat
ekor kuda putih, membawa seorang gadis ayu ke
sebuah bangunan yang cukup megah dengan pelataran luas dan bertembok tinggi, bagai kerajaan.
Itulah kediaman Raden Panji, orang terkaya di
daerah itu. Perangainya tidak sombong dan pemurah, penuh kasih. Tindakannya bijaksana, seperti
almarhum ayahnya.
Seorang pengawal yang berumur sekitar
empat puluhan dengan gagah mengawal kereta itu.
Dia adalah Mang Jarot
Kereta kuda itu kini memasuki pintu gerbang, dan berhenti di halaman bangunan yang
luas dan megah itu.
Di teras, penumpang kereta kuda itu disambut Nyi Ageng, istri pertama Raden Panji dan
para emban. Di sisi Nyi Ageng, berdiri seorang lelaki berumur lima puluh tahun. Pandangan matanya tajam, sedikit sinis. Kelihatannya lelaki ini memiliki ilmu silat yang
cukup tinggi. Dia tak lain Sengkala Sekti, yang diakui Nyi Ageng sebagai
pamannya. "Mulai sekarang, hidupmu akan tersingkir.
Apalagi kalau madumu telah memberi keturunan
bagi Panji. Berarti, kiamat bagimu! Aku sangat
prihatin atas nasibmu!" bisik Sengkala Sekti pada Nyi Ageng.
Nyi Ageng berpaling ke arah Sengkala Sekti
dengan pandangan dingin.
"Lihat saja! Dia, atau aku yang kiamat!"
tandas Nyi Ageng, juga berbisik.
Sengkala Sekti tersenyum sinis sambil mengusap-usap jenggotnya, mengerti akan maksud
ucapan Nyi Ageng tadi. Dan tiba-tiba wajahnya berubah berseri-seri, ketika Raden Panji muncul. Penumpang kereta kuda yang memang Nyi Ranti segera menghaturkan sembah.
"Terimalah adikmu ini, Nyi. Namanya Nyi
Ranti...," kata Raden Panji, memperkenalkan istri mudanya pada istri tuanya.
"Dengan segala hati dan jiwaku, Kang," jawab Nyi Ageng diiringi tawa renyah,
untuk menu- tupi sakit hatinya.
Nyi Ageng tampak begitu sangat ramah dan
langsung akrab dengan Nyi Ranti. Malah dengan
keramahannya yang dibuat-buat, Nyi Ageng menuntun madunya ke dalam bangunan bagai istana
ini. Sementara Raden Panji tersenyum senang,
menyaksikan keakraban kedua orang istrinya.
"Semoga keakraban keduanya terus berlanjut sampai tua," Sengkala Sekti yang memakai
nama Raden Kowara pura-pura ikut bangga.
"Ya. Itu yang aku harapkan, Paman Kowara.
Nampak Dinda Nyi Ageng dapat memaklumi dan
mengerti akan kebutuhanku. Sungguh bahagia hatiku saat ini," jawab Raden Panji polos.
"Aku pun ikut senang dan bangga melihat
sikap keponakanku, Ageng...," tutur Raden Kowa-ra, atau si Sengkala Sekti dalam
kepura- puraannya. Raden Panji bertambah gembira mendengarnya. Dipeluknya Raden Kowara erat-erat. Sengkala Sekti membalas pelukan Raden Panji. Nampaknya keduanya begitu akrab. Tapi sebenarnya
hanya nampak luarnya saja. Dan Raden Panji yang
benar-benar polos tidak merasakan apa-apa. Apalagi untuk mengetahui dalam hati Sengkala Sekti.
Malah sebenarnya keadaan Raden Panji sangat
gawat. Kedudukannya sewaktu-waktu bisa dirampas oleh Raden Kowara atau si Sengkala Sekti dan
Nyi Ageng. * * * Sudah empat bulan lewat Nyi Ranti istri kedua Raden Panji satu atap dengan Nyi Ageng. Keadaan masih biasa-biasa saja. Nampaknya seperti
rukun dan damai. Tapi tanpa sepengetahuan Raden Panji atau Nyi Ranti sendiri, sebenarnya Nyi
Ageng sudah mulai cemas dan merasa mulai kurang bebas. Apalagi, Raden Kowara mulai menggosok
atau memanas-manasi hati Nyi Ageng. Dan Nyi
Ageng mulai termakan oleh kata-kata Raden Kowara. Apalagi kini, dia melihat kehamilan Nyi Ranti sudah bertambah tua.
Siang itu di taman rumah, Raden Panji sedang duduk bermesraan dengan Nyi Ranti di taman. Dengan penuh kasih sayang, dibelainya perut istri mudanya yang sudah makin besar, hampir
bulannya. "Aku berharap, anak dalam kandunganmu
nanti laki-laki, Dinda Ranti...," kata Raden Panji, lembut. Hatinya begitu
bahagia. "Mudah-mudahan harapan Kakang Panji
terkabul. Semoga Hyang Widhi mendengar permintaan Kakang...," ucap Nyi Ranti, dengan suara lembut dan merdu. Nampak begitu
manja dan lu-gu sekali.
Nyi Ranti lalu merebahkan kepala perlahan
di dada bidang Raden Panji. Dan dengan penuh
kasih sayang, laki-laki itu terus mengusap-usap
lembut rambut Nyi Ranti. Begitu mesra.
Tanpa diketahui keduanya, sejak tadi Nyi
Ageng dan Raden Kowara mengintai, mengamati
dari balik pepohonan. Wajah Nyi Ageng, tampak
penuh kecemburuan yang berat dan dendam.
"Jangan tunggu sampai jabang bayi itu lahir. Bakal lebih repot! Aku dengar, besok Raden
Panji akan pergi untuk beberapa hari. Itulah kesempatan paling baik bagimu untuk merencanakan sesuatu. Dan aku akan membantumu, Nyi
Ageng," bisik Raden Kowara pada Nyi Ageng.
Tak jauh dari tempat Nyi Ageng dan Raden
Kowara yang mengintip, di belakang nampak Mang
Jarot mendengar rencana busuk dua orang itu.
Baru setelah itu, Mang Jarot segera cepat berlalu
pergi dari tempat ini.
* * * Malam itu suasana di kediaman Raden Panji nampak tenang-tenang saja. Keadaan seperti biasanya, tak ada keganjilan terlihat di malam yang
diterangi bulan purnama ini.
Sikap Nyi Ageng yang malam ini menemani
Nyi Ranti yang sedang beristirahat di kamarnya,
nampak seperti biasa. Tetap nampak ramah. Mereka berdua kelihatan penuh tawa. Sepertinya kedua wanita itu, sedang membicarakan hal lucu dari pengalaman masing-masing. Siapa pun yang
melihat, tak akan menyangka bila salah satu
mempunyai maksud jahat
Sementara, di tempat yang agak jauh, di
rumah ayahnya Nyi Ranti sedang terjadi pemaksaan. Gondam bersama anak buahnya dengan kasar memaksa ayahnya Nyi Ranti. Orangtua itu dipaksa menandatangani surat yang seolah-olah dia
sendiri yang menulis-nya. Isinya tak lain, memanggil putrinya yaitu Nyi Ranti agar segera pulang dengan alasan sakit keras.
"Jangan paksa aku.... Tolong... aku tak ingin mendustai putriku..., tolong...," pinta ayahnya Nyi Ranti yang bernama Ki
Rangun sambil menyembah.
"Aaahh! Orang tua! Jangan banyak bacot!
Tanda tangani saja. Atau, kau tidak akan pernah
lagi melihat putrimu dan calon cucumu! Huh...!"
bentak Gondam. Seketika ditendangnya Ki Rangun
dengan keras. "Aaakh...!" pekik Ki Rangun kesakitan.
"Apa maksudnya ini" Panji tidak mungkin
menyuruh kalian melakukan ini...."
Gondam yang mendengar ucapan Ki Rangun semakin geram dan marah. Dengan garang
kembali dihajarnya lelaki tua itu hingga roboh ber-kali-kali. Maka di bawah
ancaman golok di leher,
akhirnya Ki Rangun terpaksa menandatangani surat palsu itu. "Ha ha ha... Kau ternyata lelaki tua yang bijaksana. Aku senang. Ha ha ha. Untuk itu, terimalah hadiah ini agar kau tetap bungkam...!"
Selesai dengan kalimatnya, Gondam cepat
membacokkan goloknya ke tubuh Ki Rangun tanpa
ada rasa kasihan sedikit pun.
Crass, crasss! "Aaakh...!"
Ki Rangun ayahnya Nyi Ranti tewas seketika. Darah pun membasahi lantai rumah orang tua
itu. Sementara Gondam dan anak buahnya tertawa-tawa puas sambil melangkah pergi, melangkahi
mayat Ki Rangun.
Lolong anjing hutan tiba-tiba terdengar melengking, menyibak suasana malam yang sepi dan
mencekam. Sehingga menambah keadaan di sekitar rumah ayahnya Nyi Ranti nampak mencekam.
* * * Esok harinya, Nyi Ageng dengan wajah ramah memberi surat palsu pada Nyi Ranti yang sedang berada di kamarnya.
"Adik Ranti, ada surat untukmu. Nampaknya seperti dari ayahmu...," kata Nyi Ageng, lembut Dan Nyi Ranti menerimanya
dengan agak ragu. Dipandanginya surat itu sejenak, lalu dibukanya perlahan.
Nyi Ranti segera membaca isi surat palsu
itu. Dan wajahnya pun mendadak berubah tegang.
Seketika matanya berkaca-kaca.
"Ada berita apa, Dik Ranti...?" tanya Nyi Ageng, pura-pura ikut kaget dan cemas
sambil memegang bahu Nyi Ranti.
"Ayahku sakit keras. Dan aku disuruh segera pulang...," jelas Nyi Ranti, dengan suara lemah.
Air matanya mulai berlinang.
"Lantas... apakah adik akan pulang juga...?"
Tanya Nyi Ageng. Wajahnya dibuat sedemikian rupa, agar nampak benar-benar sedih.
Nyi Ranti yang lugu tak mengerti kalau semua itu adalah rencana Nyi Ageng dan antekanteknya. Wanita itu malah terus menangis sambil
memeluk Nyi Ageng. Dan Nyi Ageng sendiri tersenyum puas, merasa menang. Karena, rencananya
sebentar lagi akan berhasil!
"Sudahlah jangan terus menangis, kakak
bersedih. Biar kakak yang mengantarmu, Ranti...,"
kata Nyi Ageng berpura-pura berbaik hati.
"Tak usah, Kak.... Nanti Kakang Panji akan
marah kalau di rumah tidak ada siapa-siapa," ujar Nyi Ranti dengan isak
tangisnya. Lalu dilepasnya
pelukan pada Nyi Ageng.
Nyi Ageng merasa lega. Ditariknya napas
panjang. Sebab kalau saja Nyi Ranti menyetujui,
tentunya Nyi Ageng sendiri yang jadi repot. Bisabisa rencananya gagal.
"Baiklah, kalau itu maumu. Kau harus segera pulang. Nampaknya sakit ayahmu cukup berat, Ranti. Nanti kalau Kakang Panji pulang, kakak akan sampaikan berita duka ini."
Pada saat itu, muncul Raden Kowara atau
Pendekar Gila 36 Balada Di Karang Sewu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sengkala Sekti. Lelaki itu pura-pura kaget melihat Nyi Ranti menangis.
"Ada apa rupanya ini..." Ranti, Ageng..."!"
tanya Raden Kowara sambil mengerutkan kening.
"Tidak ada apa-apa, Paman. Ayahnya Nyi
Ranti sakit keras. Dan dia harus segera pulang,"
tutur Nyi Ageng.
"Ya, Gusti.... Kasihan. Jadi, kau akan pulang hari ini juga, Ranti...?" tanya Raden Kowara kalem. "Ya, Paman Kowara...,"
jawab Nyi Ranti lemah, diiringi isak tangisnya.
"Baiklah. Kalau begitu, aku perintahkan
Mang Jarot mengawalmu nanti," kata Raden Kowara. Raden Kowara lalu menyuruh seorang punakawan yang ada di ruangan untuk memanggil
Mang Jarot. Tak beberapa lama, punakawan tadi kembali bersama Mang Jarot. "Raden memanggilku?"
tanya Mang Jarot, setelah memberi hormat pada
Nyi Ageng dan Raden Kowara.
"Mang Jarot, tolong kawal adik maduku pulang. Ayahnya sakit keras," ujar Nyi Ageng.
Wajah Mang Jarot yang mendengar itu
nampak berubah. Dia kaget dan ada rasa tidak
percaya mendengar ucapan Nyi Ageng. Karena belum beberapa lama, Mang Jarot menemui ayahnya
Nyi Ranti. Dan ternyata keadaan Ki Rangun sehatsehat saja. "Aneh..."! Rasanya...," gumam Mang Jarot lirih seperti bicara pada diri sendiri.
"Ada apa, Mang" Kelihatannya kau..."
"Tidak apa-apa. Aku hanya terkejut mendengar berita ini. Tapi, apa sebaiknya menunggu
Raden Panji dulu, Nyi...?" potong Mang Jarot men-gusulkan.
"Tidak usah, Mang. Kakang Mbok akan menyampaikan pada Kakang Panji, nanti. Dan aku
tak ingin ayah menunggu lebih lama.... Aku khawatir...," Nyi Ranti tak meneruskan ucapannya. Air matanya kembali membasahi
pipi. Tangannya
mengusap-usap lembut perutnya yang sudah besar. Nyi Ageng segera memeluknya sambil berpura-pura ikut menangis.
Mang Jarot hanya bisa menuruti apa yang
telah diucapkan Nyi Ranti. Apalagi kecurigaannya
juga tak ingin ditampakkan di mata Raden Kowara
dan Nyi Ageng. Namun tiba-tiba, Raden Kowara yang merasakan gerak-gerik dan perubahan wajah Mang Jarot, tahu. Bibirnya lantas tersenyum.
"Oh, ya. Aku lupa... Panji berpesan padaku,
bahwa Mang Jarot harus ada di rumah dan tidak
boleh pergi ke mana-mana, sebelum dia datang...."
Kening Nyi Ageng berkerut pura-pura kaget.
Sementara kecurigaan Mang Jarot semakin besar.
Namun lelaki ini tak berani berkata apa-apa,
hanya dapat menahan kesal dan kasihan pada Nyi
Ranti yang dalam keadaan hamil tua itu.
"Apakah Paman Kowara tidak salah"! Nyi
Ranti adik maduku ini harus ada yang mengawal.
Kalau Mang Jarot tidak boleh mengantar, lalu siapa?" kata Nyi Ageng dengan nada agak tinggi, seakan menentang Raden Kowara.
"Ada pengganti Mang Jarot, si Jawara Bakora. Aku bisa menyuruhnya...," jawab Raden Kowa-ra tegas.
Nyi Ageng pura-pura berpikir keras. Lalu
kepalanya mengangguk tanda setuju.
"Baik kalau begitu. Dan aku hanya minta
Paman Kowara memberi wejangan pada Bakora,
agar selalu waspada. Aku tidak ingin ada apa-apa
terhadap Ranti...," kata Nyi Ageng tegas.
"Itu sudah tentu, Ageng...," jawab Raden Kowara tegas. "Mang Jarot, kalau begitu
tolong panggilkan Bakora. Dan tolong siapkan segala se-suatunya."
Sementara itu, Nyi Ranti melangkah ke
ruangan lain. Dan Mang Jarot disertai rasa berat
dan kasihan terhadap Nyi Ranti, meninggalkan
ruangan itu dengan bimbang.
Sedangkan Nyi Ageng dan Raden Kowara
saling melirik dan senyum penuh arti.
* * * Tandu yang membawa Nyi Ranti bergegas
melalui jalan di pinggir hutan sepi. Bakora, jawara bertampang angker, dan
berbadan tinggi besar,
dengan gagahnya berjalan di sisi tandu. Tangan
kanannya tampak menggenggam kelewang besar.
Dua orang terus menggotong tandu dengan
hati-hati, menelusuri jalan di pinggir hutan itu.
Udara siang itu, tak begitu panas. Angin
semilir bertiup menerpa wajah-wajah mereka,
hingga sedikit sejuk. Namun keringat para tukang
tandu tetap bercucuran. Sementara Nyi Ranti yang
ada di dalam tandu nampak cemas. Matanya tampak masih berkaca-kaca. Dan kedua tangannya
memegangi perutnya yang hamil.
Ketika sampai di dataran yang agak luas di
dalam hutan, tiba-tiba terlihat sesosok tubuh tegap berkelebat gesit di antara pepohonan, mengikuti iringan tandu itu. Gerakannya begitu cepat terus membayangi perjalanan
tandu. Tak seorang
pun yang mengetahuinya.
"Hm..."!" gumam jawara yang bernama Bakora. "Nampaknya angker juga hutan ini. Bulu
kudukku tiba-tiba berdiri...!" Kedua mata Bakora yang besar dan garang, menyapu
sekeliling tempat.
Dan tiba-tiba pula, Bakora memerintahkan untuk
berhenti. "Berhenti dulu...!"
Bakora lalu mencabut kelewangnya. Dihampirinya tandu, dan dibuka tutupnya.
Nyi Ranti jadi kaget bukan main ketika melihat Bakora yang tampak menyeringai. Mata Bakora yang nakal menyapu tubuh Nyi Ranti penuh
nafsu. "Ohh..."!" pekik Nyi Ranti ketakutan, sambil memegangi perutnya dan
beringsut ke belakang.
"Heh heh heh... cantiknya seperti bidadari.
Tapi sayang, sedang hamil tua! He he he...! Sepuluh ringgit buat kepala yang begitu molek, rasanya terlalu murah! Nyi Ageng
betul-betul keterlaluan
pelitnya! Ya, apa boleh buat" Rejeki tidak boleh di-tolak...!" ucap Bakora
sambil terus matanya memandang penuh nafsu ke arah Nyi Ranti.
Namun kemudian, Bakora mengangkat kelewangnya. Dan ini membuat Nyi Ranti semakin
ketakutan. "Aaakh...!"
Saat yang mendebarkan dan gawat, tibatiba.... Crasss!
"Aaawww...!"
Sebuah sabetan golok sosok yang berpakaian biru tua nyaris membuat bahu Bakora putus. Dan sosok yang tadi terus mengikuti tandu
langsung berkelebat, kembali, menyerang Bakora.
Bakora berteriak kesakitan dan terus melompati mundur. Sosok lelaki yang bagian mukanya tertutup topeng kain biru itu tak memberi
kesempatan pada Bakora. Langsung dilancarkannya sebuah tendangan berantai, membuat Bakora
tak dapat mengelak.
"Heaaat...!"
"Aaaa...!"
Bakora kembali menjerit. Tubuhnya terpental beberapa tombak ke belakang, langsung membentur pohon besar.
Brakkk! Bakora setengah kelenger. Sedangkan orang
berkedok kain biru kemudian menghampiri jawara
yang masih terduduk dengan wajah pucat dan
berkeringat. Sebentar saja, kedoknya dibuka. Bakora kontan kaget, dengan mata terbelalak.
"Hah..."! Mang Jarot"! Am... ampuuun,
Mang...!" ratap Bakora yang berbadan seperti rak-sasa itu sambil menyembah Mang
Jarot Sementara itu, para pengusung tandu yang
memang tak memiliki ilmu silat hanya mampu
berdiri terlongong. Mereka seperti terpaku, tak ta-hu harus berbuat apa.
Mang Jarot rupanya sudah tak bisa lagi
memberi ampun pada manusia macam Bakora.
Hanya karena uang sepuluh ringgit dia sampai tega akan membunuh Nyi Ranti. Maka dengan wajah
geram, goloknya diangkat ke atas. Dan....
Crasss! "Aaaa...!"
Maka putuslah kepala Bakora tertebas golok Mang Jarot. Kepalanya langsung menggelinding di tanah berumput dan berbatu yang kini dibanjiri darah. Mang Jarot lalu dengan tenang
mengelap goloknya dengan dedaunan. Lalu cepat
melangkah mendekati tandu.
"Nyi Ranti... "!" tegur Mang Jarot sambil menghormat
"Ooh... Gusti.... Kau, Mang Jarot.... Terima
kasih, Gusti.... Kau telah mengirim penolong untukku...," desah Nyi Ranti dengan sangat lega.
Namun dia masih nampak agak gugup dan gemetar. "Tenang, Nyi. Tenang, Iblis itu telah kule-nyapkan...," kata Mang Jarot
sambil berusaha menenangkan Nyi Ranti.
Perlahan-lahan Nyi Ranti mulai bisa tenang.
Sementara itu, para pengusung tandu juga nampak lega. Mereka berdiri di samping tandu.
"Mang.... Bagaimana Mang Jarot bisa tahu
apa yang akan dilakukan mereka terhadapku?"
tanya Nyi Ranti setelah hatinya tenang.
"Aku sudah tahu rencana busuk Nyi Ageng
dan Raden Kowara," jelas Mang Jarot.
Nyi Ranti jadi kaget mendengar penjelasan
Mang Jarot. Kepalanya menggeleng perlahan. Dan
air matanya mulai mengembang di kelopak matanya. Wanita muda yang cantik itu nampak begitu pedih dan memelas.
Mang Jarot jadi iba melihatnya. Dihelanya
napas panjang. Sesaat keduanya tak berkata apaapa. "Mang.... Lalu, bagaimana keadaan ayahku sebenarnya" Mungkin Mang Jarot
tahu...?" tanya Nyi Ranti, seakan mempunyai firasat tak enak.
Mang Jarot tidak langsung menjawabnya.
Lelaki setengah baya itu nampak agak kebingungan ditanya seperti itu. Karena jika dikatakan yang sebenarnya, pasti hati Nyi
Ranti semakin terpukul.
Apalagi saat ini Nyi Ranti sedang hamil tua. Namun jika tidak, akan bertambah buruk akibatnya.
Akhirnya.... "Aku mohon Nyi Ranti tabah menerima berita ini...," sejenak Mang Jarot menatap wajah Nyi Ranti yang memelas itu.
"Ayahnya Nyi Ranti tewas setelah dipaksa untuk menandatangani surat palsu
itu...." "Oooh!" pekik Nyi Ranti kaget bukan main mendengar berita dari Mang Jarot
Wanita itu menangis tersedu-sedu. Jari-jari
tangannya meremas kuat-kuat kain tandu.
Mang Jarot yang melihat itu, mendekat dan
berusaha memegangi Nyi Ranti. Dia takut kalaukalau Nyi Ranti tak sadarkan diri.
"Maafkan aku, Nyi."
Nyi Ranti masih terus menangis tersedusedu. Begitu pilu hatinya saat ini.
"Aku telah mengorek keterangan dari salah
seorang anak buah Gondam, kepala garong yang
diupah Nyi Ageng dan Raden Kowara. Sekarang,
sebaiknya kau kuantar ke Raden Panji di Rajamandala. Beliau masih beberapa hari di sana," ka-ta Mang Jarot setelah
menenangkan Nyi Ranti.
Nyi Ranti tak menjawab. Wajahnya lesu. Air
matanya tak bisa dibendung, dan terus membasahi pipinya yang halus dan mulus. Wanita muda ini
hanya menganggukkan kepala perlahan.
"Ayah.... Mengapa begitu malang nasibmu.
Semua ini gara-gara anakmu ini. Aku yang bersalah dan berdosa, Ayah. Maafkan aku.... Oh, Gusti.
Beri aku kekuatan. Juga, lindungi bayi dalam
kandunganku ini," desah Nyi Ranti.
Sementara itu hari mulai menjelang senja.
Para pengusung tandu mulai melanjutkan perjalanan membawa Nyi Ranti agar sampai tujuan sebelum hari gelap. Mereka dikawal Mang Jarot
5 "Kasihan Mang Jarot, dia begitu setia. Garagara melindungi aku dan bayi ini, dia harus mengorbankan nyawanya!" kata Nyi Ranti, mengakhiri ceritanya.
"Kebanggaan seorang pendekar sejati, adalah rela berkorban demi menolong orang lemah.
Itulah suatu kehormatan yang tidak bisa dijual,"
tandas Pendekar Gila, terbawa suasana haru mendengar cerita Nyi Ranti.
Sementara itu di luar, beberapa sosok
bayangan tampak mengendap-endap mendekati
pondok Ki Oji yang ditinggali Nyi Ranti dan Pendekar Gila. Dan pendengaran Sena yang sangat peka,
mengetahui kalau ada bahaya. Pendekar Gila segera waspada. Sementara sang bayi yang sejak tadi
diam, tiba-tiba menangis. Nyi Ranti berusaha
mendiamkan. Diusap-usapnya bayi itu. Namun
bayi itu tidak langsung diam.
Sena merasakan detak jantung Nyi Ranti
semakin lemah, ketika bayinya mulai diam. Pendekar Gila mendekati, menatap wajah wanita muda yang cantik itu agak lama. Dan perasaannya
pun agak tak tenang.
Tiba-tiba Nyi Ranti memegang lengan Sena.
"Tolong selamatkan bayiku dari tangan jahat..," pinta Nyi Ranti. Suaranya terdengar lemah sekali. Matanya sudah mulai
semakin sayu, seperti
Pendekar Gila 36 Balada Di Karang Sewu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang ngantuk. Tiba-tiba saja kepala Nyi Ranti tergolek ke
sisi. Dan napasnya pun terhenti. Sena langsung
tertunduk sedih....
"Nyi... Ranti..."! Oh, Hyang Widhi...! Tolong jangan ambil dia...," gumam Sena
lirih. Perlahan-lahan tangan Nyi Ranti diletakkan bersilang di dadanya yang terluka.
"Tenangkanlah jiwamu, Nyi Ranti. Aku berjanji akan melindungi bayimu ini, sampai ke tangan ayahnya."
Sementara itu, muncul Ki Oji yang baru keluar dari kamarnya, karena mencium bau asap
yang membuatnya mual. Laki-laki setengah baya
itu lalu berlari ke dapur. Langsung dia sadar akan penyebabnya. Maka segera
diangkatnya kuali berisi obat ramuan itu.
Tepat pada saat itu, sesosok bayangan sedang mengintai melalui celah-celah jendela dapur.
Dan seketika kepalanya merunduk ke bawah, ketika jendela dibuka Ki Oji. Dan seketika air obat ramuan itu dibuang Ki Oji, dan
tepat menyiram muka pengintai, yang justru sedang mendongak.
Byurrr...! Karena pada saat yang sama mulut orang
itu sedang menganga, maka tertelanlah air ramuan
obat itu. Sesaat dia terbengong, namun tiba-tiba
tersentak dan melintir-lintir di tanah. Dan sebelum dia mampu berteriak,
seseorang telah cepat mendekap mulutnya.
Sementara itu, Sena atau Pendekar Gila
masih menunggui Nyi Ranti yang sudah meninggal
dunia. Namun telinga pendekar muda itu tetap
waspada, siap menghadapi apa yang akan terjadi.
Dan Pendekar Gila nampak seperti acuh akan kejadian di dapur. Sena mendengar suara-suara kematian di sana. Dia yakin, Nyi Oji yang menjadi
korbannya. Demikian pula Ki Oji.
Sena mulai tak sabar. Dia merasakan kalau
dirinya bersalah membiarkan Ki Oji dan Nyi Oji jadi korban. Tiba-tiba saja, Pendekar Gila bergerak
ke dekat dinding. Dan dengan gerakan cepat pula,
tangan kanannya menghantam dinding bilik. Maka
seketika itu pula, terdengar pekik kematian. Dan
darah segar muncrat ke dinding.
"Aaa...!"
Sesosok tubuh itu roboh terjengkang.
Di luar sosok bertubuh kekar yang mendengar jeritan, menjadi kaget. Segera diisyaratkan
anak buahnya mengepung pondok.
"Bakar...!" perintah sosok yang ternyata Gondam dengan mata melotot lebar.
Segera beberapa anak buah Gondam langsung menyulut obor dari bambu. Kemudian dilemparkannya ke arah pondok. Sekejap api berkobar,
membakar pondok Nyi Oji.
Sementara di dalam pondok itu, Pendekar
Gila segera meraih bayi yang terbungkus kain.
"Maafkan, Ranti.... Aku terpaksa meninggalkanmu...," gumam Sena, penuh kesedihan. Tapi itu harus dilakukan, demi
menyelamatkan bayi
itu. Dengan hati berat, Sena meninggalkan mayat
Nyi Ranti, Ki Oji, dan Nyi Oji menerobos kepungan
api sambil menggendong bayi.
"Aku harus menerobos kepungan setansetan laknat itu, sebelum aku jadi ikan bakar di
sini!" gumam Sena.
Gondam dan kawan-kawannya terus mengepung pondok itu dengan ketat. Dan tiba-tiba saja dari atap yang terbakar melesat satu sosok,
membuat para bajingan jadi tertegun. Setelah berputaran beberapa kali, sosok yang keluar dari
pondok itu turun di tengah pelataran. Lengan kirinya tampak mendekap bayi yang terbungkus rapat-rapat. Sedangkan tangan kanan sosok yang
tak lain Pendekar Gila ini menggenggam Suling
Naga Sakti yang mempunyai keampuhan luar biasa. Empat anak buah Gondam menyerang Sena
dengan senjatanya. Namun dalam sekejap saja,
keempat orang itu ambruk dengan kepala retak.
Sungguh cepat gerakan Pendekar Gila. Sehingga
sebelum ada yang menyadari, dia telah melancarkan serangan. Dan Godam yang melihat itu kaget.
"Setan Alas! Manusia atau jin, pemuda
itu..."!" gumam Gondam sambil menghunuskan
goloknya. "Kalau bayi itu masih hidup, kepala kita semua yang akan jadi tumbal.
Ayo, habisi setan
itu...!" "Seribu batok kepala macam kalian, tak ada
harganya dibanding sehelai rambut di kepala bayi
ini!" seru Sena dengan nada mengejek!
Gondam dan anak buahnya langsung menyerbu Pendekar Gila dengan ganas. Namun gesit
dan tangkas sekali pemuda itu dapat mengelakkan
semua serangan. Dan tubuhnya kini melenting ke
udara, dan secepat itu pula melancarkan serangan
balik yang cepat lewat tendangan dan hantaman
Suling Naga Saktinya.
Desk! Desk! Prakk! Prakkk! "Aaakh...!"
Jeritan terdengar susul-menyusul dari anak
buah Gondam. Mereka kontan roboh dan tak bergerak lagi. Kedua mata Gondam jadi terbelalak lebar. Dia kaget dan mulai ngeri.
"Edan! Pemuda ini jangan-jangan turunan
hantu!" gumam Gondam dengan wajah terbengong. Mendadak pada saat itu sebuah tendangan
kilat meluncur ke arah dada Gondam. Begitu cepat
gerakan Pendekar Gila, sehingga laki-laki itu tak
sempat menghindarinya. Dan....
Desss...! "Aaakh...!"
Telak sekali tendangan Pendekar Gila
menghantam dada Gondam, hingga terjengkang ke
belakang Gondam mengerang kesakitan. Dia tak lagi
melawan Pendekar Gila, karena sudah merasa
ngeri. Maka setelah memberi aba-aba pada anak
buahnya, dia segera kabur.
Sena tak mengejar, membiarkan mereka
kabur. Ditariknya napas dalam-dalam. Kemudian
kepalanya menoleh ke arah pondok yang terbakar
nyaris musnah. "Sungguh menyedihkan nasibmu, Ranti.
Maafkan aku.... Hyang Widhi, terimalah arwah
Ranti di sisi-Mu...," gumam Sena. Pendekar Gila lalu menunduk, memandangi bayi
dalam gendongannya. Bayi itu seakan mengerti, diam tak menangis lagi. Malah sudah tertidur dalam gendongan Sena. Sepertinya, bayi itu merasa aman bersama Pendekar Gila.
Sena tersenyum, jari tangan kirinya mengusap perlahan pipi bayi itu, lalu meninggalkan tempat dengan langkah perlahan. Api masih berkobar
bagai berada di neraka.
Malam semakin sunyi. Pendekar Gila sudah
jauh meninggalkan pondok yang kini semakin habis terbakar. * * * Pagi itu tampak cerah. Nampak di bawah
pohon rindang, seorang pemuda berpakaian rompi
kulit ular duduk bersila sambil bersandar. Di
pangkuannya, tampak bayi terbungkus kain lusuh, sedang menangis. Pemuda tampan berpakaian kulit ular itu mencoba mendiamkan, namun
si jabang bayi tetap saja menangis.
"Cup, cup, cup.... Kau lapar, ya...?" tanya pemuda berpakaian rompi kulit ular
yang tak lain Sena Manggala atau Pendekar Gila.
Sena nampak kebingungan. Kedua matanya
segera menyapu ke sekitarnya.
"Nah, di sana kelihatannya ada desa. Yuk,
kita ke sana...," kata Sena bicara pada bayi dalam pangkuannya.
Bayi itu tiba-tiba berhenti menangis, membuat Sena mulai lega. Segera Pendekar Gila beranjak dari tempatnya, dan dengan cepat berlari menuju arah barat, ke arah sebuah perkampungan
kecil yang sudah kelihatan.
Berkat ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat tinggi, dalam sekejap Pendekar Gila
sudah sampai di sebuah perkampungan yang
nampaknya penuh kedamaian. Sena menyusuri jalan setapak mencari-cari kedai di kampung ini.
"Mudah-mudahan ada kedai minum di sana...,' gumam Sena, sambil melangkah.
Tiba-tiba bayi itu menangis lagi, membuat
Sena kaget. Dicobanya mendiamkan dengan segala
cara namun bayi yang rupanya sudah haus dan
lapar itu terus saja menangis. Sena terus berusaha menidurkannya sambil terus
mencari kedai. "Celaka! Rupanya kau mulai lapar, ya"
Sayang aku tidak punya susu. Tak sabar, ya Adik
Manis...! Kau pasti minta susu...," ujar Sena sambil tertawa-tawa sendiri mirip
orang gila. Pendekar Gila berusaha menghilangkan rasa ketegangannya dengan berdendang-dendang.
Dan pada saat itu, tiga orang gadis desa dari arah berlawanan muncul menuju ke
Sena yang sedang
berdendang sambil menimang bayi.
Ketiga gadis yang nampaknya baru pulang
dari sungai, jadi geli melihat Pendekar Gila. Dan
pemuda itu lantas berhenti, ketika ketiga gadis de-sa ini sampai di dekatnya.
Sena langsung menghadang ketiga gadis itu.
"Dik. Dik... maaf. Boleh aku minta tolong?"
tanya Sena sambil menggoyang-goyang bayi itu
perlahan. Ketiga gadis itu tak langsung menjawab.
Mereka malah tertawa-tawa sambil memandangi
Sena. "Lho, kok malah tertawa" Memangnya lucu...?" tanya Sena sedikit kesal.
"Hm.... Bayi siapa itu?" tanya salah seorang gadis diiringi tawa lebar.
"Ke mana ibunya! Dia tentu lapar," sahut gadis yang berbadan langsing dan
berparas lumayan. Rambutnya panjang hampir sampai pantatnya, dengan kulit hitam manis.
"Barangkali sakit. Kasihan," tambah gadis yang bertubuh agak gemuk, sekal sambil
senyum-senyum. "Hm.... Tolong kalian susui dia!" kata Sena seenaknya, asal nyeplos. Sehingga
membuat ketiga gadis itu kaget, dan kembali tertawa-tawa geli.
"Lho..."! Kenapa kalian tertawa" Bukankah
kalian bisa menyusui bayi ini. Dan kalian tadi bilang kasihan, bukan...?" kata Sena lugu.
"Mana mungkin" Kami ini masih perawan,
kok. Hi hi hihi...," kata gadis berambut panjang dan bertubuh langsing.
Sementara itu, orang lain yang lewat begitu
saja, terus memandangi Sena dan ketiga gadis itu.
"Oh, ya. Mbak Tarsih kan juga punya bayi"
Dia tentu mau...," sahut gadis berbadan agak gemuk sambil mencolek bahu gadis
yang bertubuh langsing. "Ya. Sebaiknya kita antar ke rumah Mbak
Tarsih saja. Mungkin dia mau menyusui bayi ini.
Kasihan...," sambar gadis yang bermata bulat
"Oh! Jadi, kalian mau antar aku ke tempat
orang yang bisa menyusui...?" tanya Sena, dengan wajah cerah.
Ketiga gadis itu mengangguk berbarengan
sambil tertawa geli, melihat tingkah Sena. Kemudian kakinya melangkah mendahului Sena. Dan
Pendekar Gila pun segera mengikuti.
"Kau akan dapat susu banyak nanti, Adik
Manis. Cup cup cup... bah...."
Sena menghibur si bayi. Dan bayi itu ternyata mendadak diam, tak nangis lagi, sehingga
membuat pemuda itu senang.
Setelah berada di luar perkampungan, Pendekar Gila melihat sebuah rumah agak terpencil
dari penduduk lainnya. Di beranda rumah yang
nampak bersih, duduk seorang wanita berusia sekitar dua enam tahun. Dia sedang menyusui
anaknya yang usia dua tahun.
Dan ketiga gadis tadi segera mendekati wanita itu "Mbak Tarsih, tolonglah. Kasihan bayi itu tidak ada ibunya...," pinta
gadis berambut panjang. "Ya, Mbak. Bayi itu tadi terus menangis...
mau kan Mbak?" tambah wanita berbadan agak
gemuk sambil memegang bahu Tarsih.
"Tentu saja. Apa salahnya kita menolongnya.... Suruh pemuda itu kemari...," kata Tarsih, senang hati. Lalu anaknya yang
sudah tertidur diletakkan di atas sebuah tikar usang, namun bersih. Salah seorang gadis lalu memanggil Sena
dengan lambaian tangan. Dan Pendekar Gila nampak lega dan gembira. Wajahnya yang tampan,
membuat ketiga gadis itu saling bisik dan tersenyum-senyum penuh arti. "Mari, bawa sini...," ujar Tarsih pada Sena. "Oh...
terima kasih, terima kasih, Nyi...," kata Sena segera memberikan bayi pa-da
Tarsih. Kemudian Tarsih segera menyusui bayi itu.
Sementara Pendekar Gila segera berpaling dan melangkah mendekati ketiga gadis yang hendak pergi.
"Aku sangat berterima kasih pada kalian....
Semoga cepat dapat jodoh, dan bisa menyusui. He
he he...," ucap Sena bernada canda dan bertingkah seperti orang gila.
"Ha ha ha hi hi...."
Ketiga gadis itu jadi tertawa-tawa geli. Ru
Pendekar Gila 36 Balada Di Karang Sewu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
panya mereka senang dengan ucapan Sena. Dan
mereka segera berlalu sambil terus tertawa-tawa
genit. Sementara itu Tarsih memandangi sampai
mereka hilang ditikungan. Kepalanya menggelenggeleng sambil tertawa.
Sena melirik ke belakang sejenak. Tampak
Tarsih masih menyusui bayi. Dan Pendekar Gila
cepat berpaling lagi ke arah semula, lalu duduk di sebuah lesung. Dia menunggu
sampai Tarsih selesai menyusui bayi itu.
"Masih merah begitu sudah ditinggal
ibunya. Cerai?" tanya Tarsih pada Sena.
Sena yang mendengar pertanyaan Tarsih
jadi gugup dan kebingungan. Kepalanya digarukgaruk sambil cengengesan.
"Suami istri cekcok itu lumrah! Biasa...,"
tambah Tarah lagi, polos dan gamblang, sebelum
Sena dapat menjawab.
Sena semakin bingung. Tapi....
"Ibunya, ibunya baru saja... meninggal,
Nyi...," jawab Sena, dengan suara agak tertahan.
"Hah..."! Kasihan. Ya, Gusti. Laki-laki tak
bisa mengurus bayi. Sudah berikan padaku saja,
ya...?" kata Tarsih semangat
"Dia keponakanku, Nyi. Akan kubawa kepada ayahnya," kata Sena.
Tarsih manggut-manggut, tanda mulai
mengerti. Sambil memandangi Sena dengan menyipitkan kedua mata, Tarsih berusaha menyelidik
kebenaran ucapan Sena.
"Oh, iya. Apakah Rajamandala jauh dari
Nyi...?" tanya Sena tiba-tiba.
Pada saat itu, Tarsih sudah selesai menyusui. Dan bayi itu kini tidur.
"Lumayan jauh! Lewat bukit sebelah sana...," jawab Tarsih sambil menunjuk ke satu arah, di mana kejauhan terbentang
bukit yang nampak
angker. Lalu diberikannya bayi itu pada Sena.
"Terima kasih, Nyi. Ini sekadar tanda terima
kasihku padamu...," ucap Sena sambil menerima bayi itu dan memberikan kepingan
uang pada Tarsih. "Tak usah. Air susuku tak diperjualbelikan.
Simpanlah uang itu, Kisanak. Aku dengan tulus
memberikan susuku pada bayi itu," tolak Tarsih, polos. "Sungguh mulia hatimu.
Semoga Hyang Wi-di memberi rejeki berlimpah padamu," kata Sena.
"Kalau begitu terima kasih, Nyi. Permisi...."
Tarsih menganggukkan kepala disertai senyum lebar. Wajahnya nampak menunjukkan kesabaran yang besar.
Sena mengangguk memberi hormat, lalu
melangkah pergi meninggalkan tempat itu.
Dan Tarsih pun memandangi kepergian Sena dengan senyum penuh arti.
"Jarang ada pemuda seperti dia. Dan baru
kali ini aku menemukan pemuda gagah, tampan
mau membawa-bawa bayi ke tujuan yang jauh,"
gumam Tarsih. Sementara itu Sena sudah jauh berjalan.
Langit kembali mulai memerah, pertanda akan datang senja. * * * Di dalam sebuah pondok yang terletak di
atas bukit, nampak seorang kakek tua berpakaian
serba putih berlengan panjang lebar duduk bersila
di atas batu besar berbentuk bulat telur.
Di depannya, tampak seorang gadis berpakaian serba hijau. Kepalanya memakai ikat warna
hijau pula. Dan gadis itu sedang berlatih silat. Gerakannya agak kaku, sehingga
sering mengulangulang gerakan pertamanya. Keringat membasahi
muka dan bagian tubuhnya yang lain.
"Kau tak akan bisa secepat itu melakukan
ilmu silat, Marni. Paling tidak, orang macam kau
harus tiga atau lima tahun, baru bisa menyerap
ilmu yang kuberikan," kata kakek berambut panjang sebahu, berwarna putih bagai
kipas. Kedua matanya masih tajam menatap ke arah gadis yang
ternyata Sumarni.
Sementara Sumarni nampak jadi kesal dan
putus asa mendengar kata-kata itu. Dan memang,
Sumarni baru empat bulan berlatih, sejak lari dari Sena yang ketika itu
menolongnya dari maut. Dan
laki-laki yang dikenal bernama Ki Ramulan adalah
kakeknya sendiri.
"Kau termasuk cucuku yang paling malas
belajar ilmu silat. Lain dengan Retno saudara sepupumu, yang ikut aku sejak berumur lima tahun.
Kini, dia sudah menguasai ilmu-ilmu silat yang
cukup tinggi," kata Ki Ramulan.
Dan pada saat itu, dari pintu pondok yang
semuanya terbuat dari kayu-kayu hutan dan beratapkan daun kelapa, muncul seorang wanita yang
masih muda. Parasnya yang cukup cantik, bertubuh padat. Sorot matanya sedikit tajam. Dia memakai pakaian silat ringkas berwarna ungu. Rambutnya yang panjang melewati bahu diikat kain
warna ungu pula.
Perempuan muda itu memberi hormat pada
Ki Ramulan. "Maaf aku terlambat," ucap wanita muda itu dengan suara lembut
"Hm.... Duduk, Retno," terdengar suara Ki Ramulan berat berwibawa.
Sementara itu, Sumarni menyusut keringat
dengan kainnya.
"Bagaimana" Nampaknya Kakak begitu semangat. Aku senang sekali kalau Kakak terus
tinggal bersamaku di sini," kata Retno dengan penuh manja.
"Tentu, Retno. Tapi aku rasanya masih harus menunggu lama, agar cita-citaku untuk membalas dendam pada Sengkala Sekti yang telah
membunuh kedua orangtuaku...," kata Sumarni
serak. "Dendam bukan jalan yang terbaik, Marni.
Jangan mendendam pada seseorang walau dia
pernah menyakiti hatimu. Yang penting sekarang
kau harus sering berlatih. Lupakan dulu dendammu," ujar Ki Ramulan penuh wibawa
"Biar aku yang membalas, Kak. Aku pun
memiliki sakit dan dendam sepertimu. Tentunya
kau lebih tahu. Untuk itu, ijinkanlah aku pergi,
kakek guru," kata Retno dengan suara sedikit lantang. "He he he.... Cucuku yang
satu ini juga cepat naik darah. Sifat seperti itu harus dikurangi
Retno. Tapi persoalanmu memang sama dengan
Marni," tutur Ki Ramulan.
Sejenak kakek tua itu menarik napas dalam-dalam dan menatap kedua cucunya.
"Khususnya untuk kau Retno. Aku mengizinkanmu untuk menuntut kebenaran dan menyelidiki atas kematian saudara kembarmu," tambah Ki Ramulan lagi.
"Tapi aku harus cari orang itu, Kakek. Menurut Mang Jarot ada yang tidak beres dalam keluarga Raden Panji. Mang Jarot banyak cerita pula
tentang Nyi Ageng," tegas Retno.
"Betul. Aku pun mendengar dari Mang Jarot, sebelum kejadian mengerikan menimpa kedua
orangtuaku. Kita harus cepat bertindak, agar
orang-orang berkedok Raden Kowara bisa dibasmi," tutur Sumarni kemudian dengan nada ketus.
"He he he.... Aku mengerti perasaanmu,
Marni. Tapi aku tak mengijinkanmu untuk bertindak saat ini. Biarlah Retno yang mengatasi persoalan ini dengan rencananya. Aku hanya melindungi
dari jauh. Kau harus berlatih lebih giat, Marni,"
sanggah Ki Ramulan.
Sumarni menghela napas panjang. Nampak
wajahnya diwarnai kekecewaan yang dalam. Namun dia tak berani melawan nasihat kakeknya. Air
matanya mulai mengembang di pelupuk mata.
"Aku dapat mengerti, Kek Ramulan. Maafkan aku...," ucap Sumarni lemah.
6 Setelah naik turun bukit batu, Pendekar Gila sampai di sebuah daerah yang asing. Daerah itu
nampak gersang, bagai tak berpenduduk. Di sanasini pepohonan tampak meranggas. Tanah yang
dipijaknya retak-retak.
"Huh..."! Daerah gersang rupanya! Celaka!
Bisa kelaparan dan kehausan bayi ini," kata Sena bicara pada diri sendiri sambil
menggaruk-garuk
kepala. "Hoa hoa hoaaaa....!"
Bayi itu mulai menangis.
"Cup cup cup. Diam, Adik Manis.... Panas,
ya?" kata Sena coba menenangkan, namun bayi
itu terus menangis bertambah keras.
Tanpa disadari oleh Sena, sepasang mata
tengah mengintai dari balik pepohonan yang berdaun kering. Sosok sepasang mata itu terus bergerak. Sementara Sena masih nampak kebingungan. Sebisanya mencoba mendiamkan si bayi.
"Wah, bisa kacau!" keluh Sena sambil
menggoyang-goyang dan mengipasi bayi dengan
daun pisang yang sudah mengering.
Saat itu sosok bayangan yang tadi berkelebat, cepat terus membuntuti Sena, yang melangkah menuruni jalan tanah gersang.
"Oh, ya. Aku masih menyimpan makanan.
Tapi, mana mungkin makanan ketela yang keras
kuberikan bayi ini.... Celaka...!" keluh Sena lagi.
Sementara itu, langit yang semula terang
mulai gelap. Dan angin pun bertiup kencang sekali. Hawa dingin sekejap menyelimuti daerah ini.
Sena yang melihat keadaan kurang menyenangkan, segera menggunakan lari 'Sapta Bayu' untuk
mempercepat waktu.
Namun pada saat itu, hujan pun mulai turun, membuat Pendekar Gila jadi basah kuyup.
Sedangkan sosok bayangan yang mengikuti Sena,
kini menjadi banyak, kira-kira sebelas orang lelaki berpakaian serba hitam.
Sedangkan sepuluh lainnya berpakaian macam-macam.
Petir dan guntur saling bersautan, menjadikan hari semakin mencekam. Pendekar Gila terus
melesat cepat, dan akhirnya sampai di suatu daerah yang agak subur. Namun, dia belum menemukan satu orang pun yang lewat
Dalam hujan, Sena terus melanjutkan perjalanan. Dan dia berharap akan cepat menemukan
rumah atau gubuk.
"Wah...! Kalau di depan sana juga tidak ada
rumah atau gubuk, matilah aku...!" rutuk Sena.
Dalam jarak agak jauh, sebelas orang terus
mengikuti Pendekar Gila.
Sena dan bayi kini berteduh di bawah pohon rindang. "Lumayan berlindung di sini," gumam Sena.
Pendekar Gila melindungi bayi agar tidak terkena
hujan, dengan kain pembungkus ditutupkan di
atas bayi. Petir menyambar, menimbulkan cahaya kilat terang dalam sekejap. Dan pada saat itu, pandangan Sena yang tajam melihat sebuah bangunan tak jauh dari tempatnya berteduh.
"Hah" Ada rumah di sana...!" seru Sena.
Lalu tanpa banyak bicara lagi, Pendekar Gila lesat pergi menuju arah bangunan yang nampak
seperti rumah. Tapi setelah sampai, ternyata sebuah kandang. Mungkin bekas kandang kambing atau sapi.
"Ah, masa bodoh. Yang penting, tidak kehujanan ya, Adik Manis...!" seru Sena bicara pada si bayi. Pendekar Gila pun
segera masuk setelah
mendorong pintu dengan kaki kanannya.
Kandang itu lebih mirip gudang. Namun,
dinding-dindingnya yang hanya separo, sudah banyak yang usang. Atapnya dari sirap kayu.
"Lumayan, Adik Manis. Kita beristirahat di
sini saja, ya?" kata Sena sambil mendekap si bayi dengan kain. Anehnya si bayi
tetap tenang, tak
menangis lagi Sena nampak lega. Dia duduk bersandar di
dinding kayu kandang, dan mulai menutup mata.
Sementara di luar, sosok bayangan mulai
mengepung kandang itu. Dengan berbagai macam
senjata di tangan, mereka siap bertindak.
Pendekar Gila sepertinya tak mengetahui
keadaan di luar kandang. Sikapnya tenang-tenang
saja, masih nampak seperti orang tidur sambil
mendekap bayi Hujan semakin deras jatuh ke bumi. Guntur kembali menggelegar. Angin pun bertiup makin
kencang, hingga atap kandang itu sebagian terbang terbawa angin.
Orang-orang di luar kandang mulai merapat. Kemudian salah seorang mendekati kandang,
melangkah di tanah becek sangat hati-hati. Orang
yang mendekat itu tiba-tiba melemparkan tombaknya ke arah bayi yang ada dalam tangan Pendekar Gila. Sena yang sebenarnya sudah tahu sejak tadi, dengan gerakan kilat merebahkan tubuhnya ke
samping. Lalu kaki kanannya menendang tombak
yang melayang di atasnya. Maka, tombak itu malah berbalik me-luncur ke arah pemiliknya.
Jlep!
Pendekar Gila 36 Balada Di Karang Sewu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aaaakh...!"
Terdengar teriakan seseorang, dibarengi
ambruknya sosok tubuh dengan dada tertancap
tombak. Orang itu kontan menggelepar, lalu tewas
seketika itu juga.
Beberapa orang sekaligus menerjang masuk
dengan babatan-babatan golok. Namun Pendekar
Gila bergerak lebih cepat. Tubuhnya berkelebat
sambil membabatkan Suling Naga Sakti.
"Heaaa...!"
Begitu cepat gerakan Pendekar Gila, sehingga para pengeroyoknya tak ada yang bisa menghindar. "Aaakh...!"
"Aaaww...!"
"Orang-orang Keparat..!" seru Sena, langsung melompat ke samping, siap
menghadapi se- rangan berikutnya.
Pendekar Gila terus menggendong bayi,
sambil terus bergerak amat cepat Murid Singo
Edan itu tak nampak tegang, tapi malah cengengesan. Sementara itu hujan masih terus turun
mengguyur tempat itu.
"Heaaatt...!"
"Kepung pemuda gila itu...!" seru orang yang berpakaian serba hitam.
Beberapa orang kembali menerjang Sena.
Namun Pendekar Gila cepat berkelit dan menangkis dengan Suling Naga Sakti. Bahkan senjatasenjata pengeroyoknya sampai patah jadi dua. Dan
dengan gerakan tak terduga, Sena menghajar empat orang sekaligus. Kakinya terus bergerak sambil berputar mencari sasaran.
Tanpa ampun lagi,
keempat orang itu terjengkang dan tak berkutik
lagi. "Hah..."!"
Laki-laki berbaju hitam yang sejak tadi
hanya melihat dari luar kandang, mulai kecut hatinya. "Edan...! Celaka. Lebih baik aku lari saja!"
kata orang itu.
Namun baru saja orang berpakaian serba
hitam itu akan lari, Sena sudah melenting cepat.
Dan setelah berputaran beberapa kali, Pendekar
Gila sudah menghadang laki-laki berbaju hitam
ini. "He he he.... Lucu sekali orang ini. Mau bu-ru-buru ke mana, Sobat..."!"
ledek Sena sambil cengengesan. Segera Suling Naga Saktinya dis-elipkan di
pinggang. "Orang edan! Minggir, sebelum tubuhmu
kucincang!" seru orang berpakaian hitam yang sebagian wajahnya tertutup kain
hitam. "Aha! Rupanya kau tukang jagal. Kebetulan,
silakan cincang aku, Sobat. Ha ha ha...!" ejek Sena dengan tingkah aneh.
"Heaaatt...!"
Tanpa bicara lagi orang berpakaian hitam
itu menyerang Pendekar Gila dengan babatan goloknya. Wutt, wuttt! "Ha ha ha...!"
Sena hanya tertawa sambil mengelak. Tubuhnya melompat ke samping dan miring ke belakang. "Mampus kau Orang Edan...!" dengus orang berpakaian serba hitam itu terus
mencecar dengan
bacokan goloknya. Namun pada saat yang bersamaan, Pendekar Gila sudah cepat melenting ke
atas. Dan begitu berada di udara, tubuhnya meluruk dengan tangan mengibas ke wajah orang bertopeng itu. Plak, plakk! Brettt! "Aaakh...!"
Orang berpakaian serba hitam itu pun kontan memekik keras. Malah penutup mukanya sudah terbuka oleh tarikan tangan Sena. Sehingga
kini jelas terlihat siapa orang di balik kain hitam itu. Siapa lagi kalau bukan
Gondam"! Gondam yang merasa sudah kecut dan takut diketahui jati dirinya, cepat melarikan diri.
"Ha ha ha...!"
Sena tertawa-tawa sambil menggaruk-garuk
kepala. "Orang-orang Edan!" rutuk Sena. "Adik Manis, kalau hujan sudah reda kita
teruskan perjalanan lagi, ya...?"
Dan si bayi sepertinya mengerti. Tangannya
digerak-gerakkan dan mulutnya dibuka. Sena
langsung menciumnya dengan penuh kasih
sayang. Lalu, dia kembali masuk ke kandang itu.
Di sana sini terlihat mayat-mayat bergelimpangan.
"Aku sebenarnya tidak ingin membunuh
mereka. Adik Manis. Tapi mereka orang-orang kejam dan hendak membunuh kita. Jadi, aku terpaksa melakukannya...," kata Sena lagi.
Si bayi kembali seperti mengerti. Mulutnya
dibuka sambil menggerak-gerakkan kedua tangannya ke atas. Seakan ingin memegang wajah
Sena yang menunduk.
Hujan mulai reda. Petir dan guntur tak lagi
terdengar. Hanya angin bertiup semilir, membuat
cuaca semakin dingin. Sena mendekap bayi dalam
kain, agar mendapat kehangatan.
* * * Cuaca kembali terang benderang. Pendekar
Gila tampak berjalan di pinggir sungai berair jernih. Suasana di tempat itu cukup sunyi. Di sekeliling sungai nampak pepohonan
bermacam-macam jenis. Sena menghentikan langkahnya, mengamati
keadaan sekeliling dengan sapuan kedua matanya
yang tajam. Pendengarannya pun dipasang tajamtajam. Bibirnya lantas tersenyum dan menunduk
memandangi si bayi.
"Adik Manis, kita membersihkan tubuh sebentar, ya. Biar segar...," ucap Sena, dengan penuh kesabaran. Pendekar Gila berjongkok mengambil air
sungai dan membasuh wajah dan badan bayi itu.
Orok dari Nyi Ranti dan Raden Panji ini merengek
sebentar, lalu diam tertawa-tawa.
"Kau memang anak manis. Dan kelak, kau
akan menjadi pengganti ayahmu, Adik Manis," ka-ta Sena sambil terus mengelap
tubuh bayi. Bayi itu kemudian diletakkan di pinggiran
sungai, beralaskan dedaunan yang diambil dari
pepohonan. Dan Pendekar Gila segera mencuci
kain pembungkus bayi. Sebentar-sebentar diciumnya kain itu, kalau-kalau masih bau pesing. Kepalanya menoleh sesekali, ke arah bayi. Bibirnya lantas tersenyum, melihat bayi
itu masih terbaring lu-cu sekali. Kedua kakinya terangkat ke atas. Kedua
tangannya saling menggenggam. Suaranya terdengar lucu. Diiringi tawa senang, Pendekar Gila melangkah menjemur kain yang sudah dicuci di atas
daun pohon yang ada di situ.
"Nah, Adik Kecil. Sekarang aku akan mencuci muka dulu biar segar," kata Sena sambil melangkah agak jauh dari tempat
bayi berbaring. Dipilihnya tempat yang lebih nyaman, untuk mencuci muka dan lengannya.
Tanpa ada perasaan apa-apa Sena membasuh muka dan tubuhnya dengan air sungai yang
jernih. "Asyik juga.... Segar sekali... huh," gumam Sena sambil mengelap muka,
lengan, dan dadanya
dengan kain. Namun begitu Pendekar Gila berpaling ke
arah bayi. "Hah..."!"
Sena terkejut begitu menyadari kalau si jabang bayi sudah tak terlihat lagi. Pendekar Gila
cepat melompat, menggunakan ilmu meringankan
tubuh yang sangat sempurna. Dalam sekejap saja,
tubuhnya sudah berada di tempat bayi tadi ditinggalkan. "Edan...! Bodoh sekali aku. Orang yang menculik si adik manis pasti
memiliki ilmu cukup
tinggi. Edan...!" keluh Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Tingkahnya persis
orang gila. Pendekar Gila nampak begitu cemas. Segera
dikerahkannya daya pendengaran yang sangat peka. Namun sia-sia. Telinganya tak mendengar sesuatu yang mencurigakan. Sena cepat melompat
ke tempat yang agak tinggi. Kedua matanya menyapu sekeliling, tapi tak menemukan apa-apa.
Bayi seakan-akan telah lenyap ditelan angin.
7 Siang ini hari agaknya semakin panas. Pendekar Gila nampak berdiri tertunduk di pinggiran
jalan, Desa Bangunsari. Indera pendengarannya
dikerahkan untuk memperhatikan setiap orang
yang lalu lalang di pasar desa ini. Sena mencurigai setiap orang yang membawa
keranjang di pung-gungnya. Bahkan tanpa ragu diperiksanya, sehingga membuat orang-orang jadi kebingungan
dan marah. Apalagi kalau terdengar tangisan bayi.
Segera pemuda itu menghampirinya dan memeriksa. Ternyata, Pendekar Gila tidak menemukan bayi
yang dimaksud. "Pemuda itu kok seperti orang gila...! Edan!"
gerutu ibu-ibu di desa ini sambil beringsut, menjauhi Sena yang bertingkah seperti orang gila.
"Dasar bocah gendeng!" seru salah seorang
ibu berwajah judes, lalu mengambil langkah seribu
dengan wajah ketakutan.
"Kacau...! Ke mana lagi aku harus mencarinya. Oh, Adik Manis.... Maafkan aku. Tapi aku
pasti akan menemukanmu...," gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Murid Singo Edan itu terus menyusuri jalan
dengan berbagai perasaan. Terkadang melompat
dan berlari kencang bagai terbang. Sikapnya menandakan kalau sangat cemas atas hilangnya bayi
itu. Padahal, pemuda itu sudah berjanji pada
mendiang Nyi Ranti, untuk membawanya ke hadapan Raden Panji, ayah si bayi itu.
Tanpa terasa hari sudah terperosok memasuki senja. Dan kini di dalam sebuah gubuk yang
terpencil dari Desa Bangunsari duduk seorang lelaki bertampang culas. Dia tak lain dari Gondam
yang duduk di sebuah kursi kayu sambil mengoncang-ngoncang kaki di atas meja. Di tangan kirinya menggenggam bambu berisi minuman arak.
Wajahnya sudah merah, mulai mabuk. Dan tak
jauh dari tempatnya, di atas sebuah bale-bale
tampak seorang bayi tidur beralaskan tikar lusuh.
Dari arah pintu muncul seorang wanita
muda berparas cantik berpakaian silat ringkas
berwarna jingga. Rambutnya panjang lurus. Kakinya melangkah mendekati Gondam.
"Kau melaksanakan tugasmu dengan baik,
Retno. He he he...!" kata Gondam, seraya mengeluarkan sekantong uang dan
diletakkan di atas meja.
"Terimalah ini, sekadar imbalan jerih payahmu....
He he he.... Mau minum..."!"
Wanita cantik yang dipanggil Retno maju
melangkah, lalu berdiri membelakangi Gondam.
"Simpan saja uang itu," ujar Retno tegas.
Gondam kaget mendengar ucapan wanita
itu, namun tertawa-tawa kecil.
"Jangan main-main. Ini benar-benar uang
asli, bukan palsu...!" kata Gondam bercanda. "Ini hanya sebagian. Dan Nyi Ageng
akan memberi lebih banyak!" Gondam kemudian berdiri ingin mengambil bayi itu.
"Jangan sentuh bayi itu!" bentak Retno.
Langkah Gondam terhenti. Dan laki-laki itu nampak kaget dengan bentakan Retno tadi. Namun dia
lantas menyeringai, menatap Retno dengan pandangan aneh. "Nyi Ageng ingin melihat bukti bayi ini, hidup atau mati!" tandas Gondam dengan nada parau sambil berbalik menghadap Retno.
Retno mendekati meja. Kemudian, diambilnya beberapa uang logam dari dalam kantong itu.
"Nah, begitu.... Jangan suka sok tak doyan
duit! Orang kaya yang rumah dan tanahnya berhektar-hektar pun masih doyan duit. He he he...!"
tutur Gondam disertai tawa bergelak sambil mengusap-usap perutnya.
Retno ikut tertawa. Seakan-akan, wanita
muda yang berparas cantik itu sependapat dengan
Gondam. Apalagi, Retno kini mempermainkan
uang logam di telapak tangannya.
"Aku sendiri yang akan menyerahkan kepada..., Raden Panji!" tegas Retno. Matanya yang ta-dinya sayu, kini terbelalak
tajam menatap Gondam. Wajah Gondam seketika berubah, mendengar nama Raden Panji disebut
"Kau ingin meminta tebusan" Ha ha ha!
Encer juga otakmu! Kita bisa minum dari dua sumur. Ha ha ha...!" kata Gondam gembira.
Retno ikut juga tertawa-tawa" Namun tibatiba.... "Ini bagianmu!" seru Retno sambil melemparkan beberapa keping uang
Pendekar Elang Salju 11 Pengemis Tua Aneh Ouw Bin Hiap Kek Karya Kho Ping Hoo Eng Djiauw Ong 13
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama