Ceritasilat Novel Online

Bencana Pedang Asmara 1

Pendekar Hina Kelana 24 Bencana Pedang Asmara Bagian 1


BENCANA PEDANG ASMARA Oleh D. Affandy
? Penerbit Mutiara, Jakarta
Pintu Besi baru Plaza Lt. II, B52/69
Samanhudi No. 14-16, Jakarta Pusat
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama, 1991
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit
D. Affandy Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode: Bencana Pedang Asmara
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
1 Perguruan Kerudung Biru merupakan sebuah
perguruan silat beraliran putih, yang memiliki sejumlah murid yang terdiri dari kaum wanita. Sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu, perguruan yang terletak di kaki bukit Arjuna ini
sangat disegani baik oleh kawan maupun lawan, justru karena kehebatan Jurus
Pedang Delapan Penjuru Mautnya. Tak seorang pun berani
mengusik ataupun mencari perkara dengan Perguruan
Kerudung Biru yang dipimpin oleh nenek sakti berjuluk Bidadari Pedang Maut ini. Kalaupun ada, mereka
itu tak lebih merupakan manusia-manusia nekad yang
ingin mencari mati.
Pagi itu bukit Arjuna diguyur hujan lebat, keadaan seperti ini memang sering terjadi di daerah yang sangat subur ini. Tanahtanah di sekitarnya nampak
lembab dan becek. Dalam keadaan hujan lebat seperti
itu, biasanya murid-murid Perguruan Kerudung Biru
lebih suka berada di dalam pondok perguruan, mengurung diri dalam bilik kamar masing-masing. Atau berkumpul dengan sesama anggota perguruan sambil
menikmati singkong rebus, yang mereka peroleh dari
kebun di belakang pondok. Tradisi seperti itu telah
berlangsung sejak puluhan tahun yang lalu.
Namun tidak demikian halnya yang terjadi pada
saat itu. Dalam keadaan hujan lebat, tiga sosok tubuh berjubah hitam nampak
bermunculan dari balik bukit
Arjuna. Mereka ini dengan mempergunakan ilmu mengentengi tubuh terus berlari-lari mendekati pondok.
Ketika jarak mereka sudah berada begitu dekat dengan
pondok Perguruan Kerudung Biru. Serta merta mereka
hentikan langkah, tiap pasang mata berkilat-kilat aneh langsung memusatkan
perhatiannya di seputar pondok
yang lengang. "Shinta...! Menurut laporanmu, murid-murid
Perguruan Kerudung Biru jumlahnya mencapai belasan orang... tapi tak kulihat seorang pun di luar sana...?" tanya salah seorang yang memiliki tubuh ramping dengan wajah coreng
moreng. "Tiga orang diantaranya pasti berada di dalam
pondok itu. Sedangkan lainnya seperti yang kuketahui
selalu pulang ke tempat tinggal masing-masing tidak
jauh dari tempat ini...!" jawab gadis yang bernama Shinta. Perempuan bertubuh
ramping yang memiliki
nama Peri Lingga nampak mengeluarkan suara gumanan yang tak begitu jelas.
"Satu kemudahan bagi kita! Tak perlu mengotori tangan dengan banyak darah...!"
"Bagaimana kalau perawan-perawan yang berada di dalam itu mengadakan perlawanan sengit?"
tanya Jubah Hitam wajah coreng moreng yang lainnya.
"Kau tak perlu resah Santy, aku telah mempelajari semua situasi di tempat ini. Pula guru mereka Bidadari Tangan Maut sedang
tak berada di tempat! Wakil ketua, Lingga! Lebih baik kita memulainya sekarang juga...!" "Sebuah usul
yang sangat baik! Mari kita urus orang-orang yang berada di dalam pondok
itu...!" Tiada jawaban, tapi secara serentak tubuh jubah hitam wajah coreng
moreng bergerak mengepung pondok. Pada
saat mereka melakukan pengepungan itu, hujan lebat
nampak sudah mulai reda. Walaupun gerakan mereka
tidak menimbulkan suara mencurigakan, sebagai murid-murid yang sudah terlatih baik. Mereka yang berada di dalam pondok seperti mengetahui kehadiran mereka. "Hhh. Dengar! Seperti ada sesuatu di luaran
sana?" sentak salah seorang murid yang paling tua.
Kemudian memberi isyarat pada tiga orang kawannya.
"Mungkin guru yang datang...!" sahut yang
lainnya. Sambil berkata begitu gadis berpakaian kuning ini melangkah ringan ke sudut kamarnya untuk
mengambil senjatanya yang berupa pedang Kembar.
"Kepulangan guru masih begitu lama, mereka
pastilah orang-orang yang mempunyai maksudmaksud tak baik. Mari kita keluar...!"
Belum lagi langkah mereka mencapai pintu, satu pukulan yang begitu keras dari arah bagian luar
pondok telah melabrak pintu itu sehingga hancur berkeping-keping. Secepatnya empat murid Perguruan Kerudung Biru membuang tubuhnya ke belakang dengan
jalan bersalto beberapa kali. Tiada terduga-duga, dari bagian pintu belakang
pukulan yang sama pun membuat porak poranda pintu yang terletak di bagian
belakang. "Pendatang-pendatang tengik, siapakah kalian ini...?" Bentak murid
tertua bernama Sekar Asih, lalu membuang tubuhnya ke samping kiri untuk
menghindari sambaran pukulan yang menebarkan rebawa aneh
itu. "Jangan banyak mulut! Perguruan Kerudung
Biru telah kami kepung...! Sebaiknya kalian menyerah
saja...!" perintah Peri Lingga sambil menyeruak mema-suki pondok itu.
"Kurang ajar! Manusia muka hantu jubah hitam! Enyahlah...!" Sebuah bentakan nyaring terdengar.
Empat orang murid Perguruan Kerudung Biru langsung menyongsong kedatangan Jubah Hitam dengan
sambaran pedang kembar mereka. Tapi tiga orang
pendatang itu lihainya bukan main, dengan gerakan
yang sangat gesit mereka selalu berhasil menghindari
serangan jurus Pedang Delapan Penjuru Maut, yang
selama ini dikenal karena pamornya yang tinggi. Gebrakan-gebrakan seru terus berlangsung, menjelang
pertarungan lima belas jurus, empat orang murid Kerudung Biru sudah mulai nampak terdesak.
"Hemm! Tak disangka hanya segitu saja kehebatan jurus Pedang Delapan Penjuru Maut yang sangat
ditakuti oleh tikus-tikus persilatan itu...!" gumam si tubuh ramping, terus
merangsak dalam jarak yang
sangat dekat sambil lancarkan totokan-totokan ganas.
Pada satu kesempatan yang kritis, murid-murid
Perguruan Kerudung Biru, dengan satu lompatan
langsung menerjang ke arah lawan-lawannya. Gerakan
serentak itu sebenarnya merupakan titik awal untuk
membuka jurus 'Delapan Penjuru Maut" yang mereka miliki. Demikianlah dengan
dimulainya gerakan berbareng seperti itu, maka senjata di tangan mereka pun
bergerak cepat. Tusukan senjata maupun babatan pedang yang bertubi-tubi. Membuat lawan yang bertangan kosong untuk beberapa jurus di depan hanya
mampu mengelak dan menangkis. Empat murid Perguruan Kerudung Biru merasa mendapat angin, serangan
senjata mereka pun semakin lama semakin bertambah
gencar. Tanpa disadari oleh murid Kerudung Biru kiranya tiga orang lawan wajah coreng moreng sedang
mencari titik lemah jurus pedang yang mereka miliki.
"Hiih....! Breeet...!"
Satu sambaran pedang kembar di tangan gadis
itu berhasil merobek pangkal lengan salah seorang si
jubah hitam. Orang itu terhuyung-huyung, muridmurid Kerudung Biru merasa mendapat angin untuk
melakukan gebrakan berikutnya. Tapi tiada mereka
sangka-sangka, lawannya yang bernama Peri Lingga
yang sudah mengetahui kelemahan jurus pedang mereka lancarkan serangan balasan.
"Haiit...!"
"Tuuk...!"
"Gabruuk...!"
Satu totokan berhasil mengenai jalan gerak di
bagian tubuh lawannya. Sehingga membuat salah seorang murid Kerudung terjatuh dengan keadaan tertotok. "Keparaat...!" maki Sekar Asih merasa semakin terdesak.
"Gebrak murid-murid Kerudung Biru. Jangan
lukai, ketua pasti menyukai orang-orang yang cantikcantik ini...!"
Sadarlah Sekar Asih dan kawan-kawannya, apa
yang bakal terjadi andai sampai mereka tak dapat
memenangkan pertarungan itu. Kenyataannya, sungguhpun mereka sudah berusaha mengerahkan segenap kepandaian yang mereka miliki, namun dengan
gerakan-gerakan menghindar yang sangat manis. Serangan gencar yang mereka lancarkan selalu saja
mencapai sasaran yang kosong. Bahkan secara hampir
bersamaan si jubah hitam tubuh ramping berhasil menotok urat gerak di tubuh mereka.
"Tuuuk! Tuuuuk! Tuuuk...!"
"Ahhh...!"
Tiga orang murid Kerudung Biru kembali terjengkang dalam keadaan tertotok. Jubah hitam muka
coreng moreng sunggingkan senyum sinis. Lalu memberi perintah pada dua orang lainnya.
"Mereka tak mungkin kita bawa semua! Pilih
saja yang tercantik di antara keempat gadis ini...!"
Tanpa membantah, orang-orang itupun langsung mengadakan pemeriksaan atas diri empat orang murid Kerudung Biru. Sekar Asih, Sekar Taji dan Sekar Kencana ternyata gadis-gadis yang termasuk dalam daftar orangorang yang mereka anggap cantik. Akhirnya dengan
gerakan yang gesit dengan memanggul tubuh gadisgadis itu. Tiga orang perempuan wajah coreng moreng
berlari-lari cepat meninggalkan bukit Arjuna.
Tinggallah Sekar Sari, yang terus bergulingguling di atas lantai pondok dalam keadaan tertotok
dan menangisi kepergian saudara-saudaranya yang telah dibawa lari oleh si jubah hitam.
*** Kematian Seranggana, Tapak Api dan belasan
prajurit Katemenggungan ketika sedang melakukan
tugas penyitaan di rumah saudagar Legawa. Membuat
semua kerabat Jayeng Rono dan Lesmana menjadi
gempar. Siang itu dalam suasana tegang, pembicaraan
berlangsung di ruangan tengah. Dalam keadaan berkabung, Tumenggung Jayeng Rono. Lesmana dan Jelatu nampak berkumpul mengelilingi sebuah meja berukuran panjang. "Paman Jelatu! Coba ceritakan padaku mengapa tugas yang telah saya perintahkan kepada rombongan yang dipimpin oleh Uwa Senggerana sampai mendapat musibah seperti ini...?" Tanya Tumenggung
Jayeng Rono, dengan muka merah. Namun hatinya diliputi oleh kedukaan yang mendalam. Jelatu yang
sempat luput dari kematian nampak menundukkan
wajahnya. Ada rasa penyesalan membersit di sana.
"Begini tetua! Saat kami sampai di rumah saudagar Legawa, nampak-nampaknya saudagar itu memang tak ingin menyerahkan harta bendanya begitu
saja. Hal ini terbukti saudagar yang telah membuat
malu keluarga Katemenggungan itu telah pula menyiapkan para pembantunya dengan senjata lengkap.
Dugaan saya kemudian terbukti dengan kemunculan
seorang pemuda yang tidak kami kenal di tempat
itu...!" "Pemuda tak dikenal! Bagaimanakah yang paman maksudkan?" tanya Lesmana merasa curiga.
"Pemuda itu berpakaian kumal, bagai sudah
berbulan-bulan nggak pernah ganti. Wajahnya sangat
tampan sekali. Rambutnya panjang dikuncir menjela
sampai ke bahu. Sedangkan di bagian pinggangnya
tergantung sebuah periuk berjelaga, pemuda itu memiliki senjata yang memancarkan sinar merah menyala,
dan senjata itu pulalah yang telah menewaskan Kakang Senggerono dan Adik Tapak Api...!" Mendengar laporan Jelatu Tumenggung
Jayeng Rono semakin
memerah wajahnya karena dilanda kemarahan yang
meluap-luap. Sebaliknya, putranya yang bernama
Lesmana sedang berusaha mengingat-ingat siapakah
gerangan pemuda yang disebut-sebut sebagai pembunuh orang-orang katemenggungan. Namun ciri-ciri
yang disebutkan oleh Jelatu memang sama sekali tidak
di kenalinya. Bahkan bertemupun rasa-rasanya belum
pernah. Setelah lebih dari sepemakan sirih mereka saling berdiam diri, akhirnya
suara Lesmana pun terdengar memecah keheningan.
"Paman Jelatu, dan ayahanda...! Aku merasa
tak pernah mengenali orang yang baru saja disebutsebut oleh paman...! Mungkin pemuda itu sengaja disewa dari daerah lain oleh saudagar Legawa yang telah
menipuku itu. Ananda tau, saudagar keparat itu pastilah tidak menginginkan harta bendanya disita oleh pihak Katemenggungan. Bahkan secara terang-terangan
mereka telah membunuh orang-orang kita. Ini benarbenar sangat keterlaluan sekali. Mereka telah mengobarkan api peperangan pada pihak kita. Sebagai anak
yang tahu berbakti pada orang tua dan bumi persada,
ananda tidak akan tinggal diam. Dalam waktu dekat
ini, ananda akan mengumpulkan seluruh sahabat
kaum persilatan untuk menggantung saudagar Legawa, dan pemuda yang telah bergabung dengan sauda

Pendekar Hina Kelana 24 Bencana Pedang Asmara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gar itu...!"
"Usul yang sangat baik! Memang sesungguhnya, sekarang ini sudah saatnya bagimu untuk menunjukkan bakti pada orang tua. Pula ini menyangkut
persoalan pribadimu, layak saja kalau kau berusaha
mengatasinya...!"
"Tat... tapi Den Lesmana! Orang berperiuk itu
memiliki ilmu kepandaian yang bermacam-macam.
Saya takut, kalau pasukan kita tidak benar-benar
tangguh. Usaha kita hanya akan menjadi sia-sia...!"
"Jangan memandang remeh. Paman Jelatu belum mengetahui tokoh-tokoh yang akan kuhubungi
itu. Lihatlah! Tak sampai dua minggu mendatang mereka telah berkumpul di Katemenggungan ini...!" sahut Lesmana. Ada rasa kurang
senang dalam nada uca-pannya.
"Sudahlah, anakku Lesmana! Aku tak menginginkan kalian berbantahan dengan orang-orang sendiri. Kalau memang benar saudagar Legawa memiliki kekuatan yang tangguh. Ada baiknya mulai saat sekarang kita mempersiapkan diri...!"
"Baiklah tetua! Katemenggungan telah mendapat satu penghinaan yang sangat besar. Hal ini tidak
mungkin kita biarkan begitu saja...!" kata Jelatu. Tumenggung Jayeng Rono dan
Lesmana nampak mengangguk setuju. Setelah mereka menganggap tidak ada
lagi pembicaraan yang perlu. Lesmana segera bermohon diri pada ayahandanya untuk pergi menghubungi
tokoh-tokoh persilatan yang dikatakan oleh Lesmana
sebagai sahabat baiknya. Entah tokoh persilatan yang
bagaimana yang akan dihubungi oleh putera Tumenggung Jayeng Rono yang memiliki watak aneh ini.
Hanya Lesmana sendirilah yang tahu. Sementara itu
Jelatu dan Tumenggung Jayengrono, mulai saat itu
mulai mempersiapkan pasukannya dalam jumlah yang
lebih besar. *** 2 Di atas kubur belasan orang prajurit-prajurit
Katemenggungan, sudah hampir tiga hari pemuda
berwajah tampan itu berada di sana. Pabila dilihat se-pintas lalu, maka pemuda
ini tak ubahnya bagai sebuah arca berdiri tegak, tak pernah bergeming walau
sengatan panas matahari dan dingin angin malam melanda tubuhnya hampir setiap waktu. Sesungguhnya
apakah yang sedang dilakukan oleh pemuda itu, di
tempat sunyi seperti di daerah pekuburan keramat ini"
Setelah menguburkan jenazah prajurit-prajurit
Katemenggungan beberapa hari bersama Legawa dan
Indah Dewi. Entah mengapa secara tiba-tiba pemuda
berbaju merah dengan rambut dikuncir ini teringat
kembali pada almarhum gurunya, Si Bangkotan Koreng Seribu. Lalu teringat pula olehnya akan sebuah
kematian. Teringat kematian, teringat pula olehnya
tentang dirinya sendiri. Di sepanjang pengembaraannya selama ini, sudah beratus-ratus jiwa melayang di
tangannya. Mereka semua terdiri dari berbagai golongan sesat yang selama hidupnya selalu membuat resah
kaum persilatan dan masyarakat banyak. Namun pabila dia kembali berpaling pada dirinya sendiri. Benarkah pembunuhan-pembunuhan yang telah dilakukannya tidak membawa dosa" Satu koreksi diri yang dilakukannya di tempat itu hanyalah ingin bertemu dengan roh si Kakek Bangkotan Koreng Seribu. Cara satusatunya yang dapat dilakukannya adalah hanya dengan mempergunakan ajian Tinggal Rogo, yang sebenarnya masih belum dia kuasai dengan baik.
Tidak seperti waktu dulu, kali ini dia merasa
begitu sulit untuk memisahkan diri antara raga yang
kasar dengan rohnya yang tiada terlihat. Sungguhpun
hal itu telah dia lakukan berulang kali. Hingga tanpa disadarinya pekerjaan
konyol seperti itu telah berlangsung hampir tiga hari. Karena selama itu pemuda
ke- turunan Raja Ular dari negeri alam gaib (Bunian) sudut-sudut matanya pun nampak cekung.
Roh di dalam jiwa yang tenang Sesaat aku ingin
bertemu dengan guruku. Guru tua yang sudah tiada
memiliki jasad. Dan tak terlihat dengan kasat mata....
Berilah aku Ridho, hai Sang Hyang Widi Perkenankanlah hajat seorang hamba Adalah
diri kasarku si Hina Kelana Pertemukanlah dengan guruku, Bangkotan Koreng
Seribu... Sekejap tubuh pendekar ini nampak menggeletar bagai orang yang sedang dilanda badai salju. Alam pikiran kosong dari segala
permasalah yang berhu-bungan dengan keduniawiaan, kosong tanpa beban
apapun yang memberati. Sampai pada klimaksnya:
"Plaaass...!"
Roh Buang Sengketa meninggalkan jasad kasarnya, namun baru saja dalam jarak yang tak dapat
diperhitungkan, di hadapan pemuda itu. Kakek Bangkotan Koreng Seribu dalam tubuh halusnya sudah
menghadang perjalanan roh Pendekar Hina Kelana.
Sebagaimana tabiat kakek aneh itu. Maka kini setelah
bertemu terjadilah dialog alam gaib:
"Bocah Guoblok! Sekali lagi kau bertingkah konyol seperti dulu, ada apa kau memanggil-manggil diriku...?" tanya badan halus si Bangkotan Koreng Seribu.
"Eee... anu kek! Aku cuma ingin bertemu denganmu, sekalian jalan-jalan melihat alam asing yang
sebelumnya tak pernah dilihat oleh siapapun terkecuali orang-orang yang sudah mati...!" ujar si pemuda je-naka. "Weiii...! Bocah ini
benar-benar semakin keblin-ger...! Tahukah kau resiko apa yang bakal kau hadapi
andai jasad kasarmu sampai diketahui oleh orang
lain...?" Bentak Kakek Bangkotan Koreng Seribu, semakin bertambah murung.
"Tau kek! Tapi salah kakek sendiri, nggak mau
muncul! Mencari tempat tapa ayah juga sejak dulu belum ketemu... hidupku selalu diwarnai dengan kesepian kek...!" kata pemuda itu mengeluh.
"Tolol! Kita sudah berada dalam alam yang berbeda, mana mungkin aku bisa menemuimu. Pula kalau aku masih hidup siapa sudi menjumpai murid berperiuk sepertimu...!"
"Ah kakek! Aku sendiri sekarang bisa menemuimu. Mengapa engkau tidak...?"
"Semua itu berkat ilmu Tinggal Rogo yang kau
pelajari. Andai tidak jangan harap kau dapat berbuat
seperti sekarang ini...! Pula kalau kamu merasa kesepian, mengapa nggak cepat-cepat kawin saja...?"
"Siapa sudi dengan pemuda Hina seperti ini,
Kek! Hanya seorang pengelana yang tiada berharta, kesetiaan dan kejujuran di jaman ini mana dipandang
mata oleh kaum wanita, Kek...!"
"Hhh. Bicara denganmu selamanya memang
membuat kuping berdenyut-denyut...!" sentak Kakek Bangkotan Koreng Seribu gusar.
"Kek...!" Buang Sengketa merengek seperti anak kecil.
"Ada apa...?" dengus si kakek.
"Menurutmu, benarkah apa yang telah kulakukan selama ini...?" tanya si pemuda, ragu-ragu.
"Kalau tidak benar! Sungguhpun aku sudah berada di alam lain pasti akan menegurmu...!" ujar si kakek begitu yakin.
"Kalau sekarang aku membela saudagar Legawa, apakah tindakanku itu juga benar?" Kakek Bangkotan Koreng Seribu terdiam
beberapa saat lamanya.
Kemudian dengan berwibawa diapun berkata: "Selama pertolonganmu itu tanpa pamrih
dan mengharapkan
imbalan atas jerih payahmu, aku menganggap hal itu
baik. Sebab akupun tahu kalau saudagar yang baru
insap dari gemerlapnya dunia itu memang sedang diliciki oleh putranya katemenggungan. Nah tunggu apa
lagi, cepat-cepatlah merat dari hadapanku. Sebentar
lagi tentu anak saudagar yang patah hati itu telah datang menyusulmu...!"
"Baa... baik kek...! Akupun tak pernah mengharapkan apa-apa dari mereka. Kalaupun aku mengajukan persaratan seperti yang pernah kuucapkan itu, hal ini semata-mata hanya
untuk mengetahui seberapa
jauh niat saudagar Legawa dengan segala keinginannya..." Si Bangkotan Koreng Seribu yang memang sudah begitu hapal dengan watak
muridnya, hanya mendengus. "Sudah muak aku melihatmu! Cepat kembali ke dalam jasadmu, orang-orang
itu segera sampai di tempat ini...!" Tanpa berkata-kata lagi, pendekar dari
negeri Bunian segera kembali pada jasadnya.
"Plaaas...!"
Roh dan jasad itupun kembali menyatu, sebentar kemudian tubuh pemuda itu sudah bergerak-gerak
kembali. Lalu sepasang matanya yang terpejam pun telah membuka pula.
Kenyataannya memang benar seperti apa yang
dikatakan oleh roh Kakek Bangkotan Koreng Seribu.
Tak lama setelah bersatunya antara jasad dan roh si
pemuda, dari jalan setapak pinggiran kuburan itu,
muncul beberapa orang berkuda yang sudah sangat
dikenali oleh si pemuda.
"Kakang Kelana...!" seru wanita berpakaian un-gu, lalu melompat dari atas
punggung kudanya diikuti
oleh empat orang pengiring.
"Indah Dewi! Mengapa kau justru menyusulkan
kemari...?" tanya si pemuda keheranan. Gadis yang di-hianati oleh suami yang
tidak dicintainya itupun hanya tersenyum dikulum, kemudian dia mendekati si
pemuda. (Untuk jelasnya siapa Indah Dewi, terdapat pada
episode terdahulu dalam judul 'Ksatria Pedang Asmara') Setelah mereka saling berhadap-hadapan: "Ayah yang menyuruhku menyusulmu!
Sudah tiga hari kakang tidak pulang. Ayah khawatir kalau ada sesuatu
yang terjadi denganmu...!"
"Ternyata aku tak kekurangan sesuatu apapun.
Ada baiknya kalau kau pulang duluan saja."
"Apa yang kau lakukan di tempat ini...?" tanya Indah Dewi curiga.
"Aku tidak apa-apa...!" ujar Buang Sengketa tawar. "Tapi ayah mengharap agar
kakang bisa pulang ke rumah saat ini juga, katanya dia takut kalau sewak-tuwaktu orang-orang dari Katemenggungan datang
menyerbu...!" Pemuda dari negeri Bunian itu geleng-geleng kepalanya: "Ayahmu tak
perlu khawatir. Setidak-tidaknya orang dari Katemenggungan masih perlu
waktu yang agak lama untuk melakukan penyerangan.
Aku tak bisa pulang ke rumahmu sekarang, karena
aku perlu melakukan penyelidikan terlebih dahulu...!"
"Baiklah kalau kakang Kelana sudah memutuskan begitu, maka sekarang juga aku akan kembali.
Tapi ingat, jangan terlalu lama bepergian, tanpamu
kami pasti akan mengalami nasib yang sulit untuk dibayangkan...!" katanya wanti-wanti.
"Aku akan menepati janjiku...!" jawab Buang Sengketa tanpa ragu-ragu lagi.
Setelah memberikan
perbekalan buat si pemuda, Indah Dewi kemudian
membalikkan langkah. Berjalan cepat menghampiri
kudanya dengan diikuti oleh empat orang pembantu.
Setelah melompat ke punggung kuda masing-masing,
Indah Dewi pun langsung membedal kudanya tanpa
menoleh-noleh lagi.
"Ah, gadis malang! Korban keegoisan orang tua
yang selalu silau dengan harta benda, pangkat serta
kedudukan. Tak disangka-sangka kalau akhirnya malah menimbulkan malapetaka...!" gumam pemuda itu, selanjutnya menjauh
meninggalkan Kuburan Kramat
menuju ke arah Tenggara.
*** Langit terang resik tiada berawan, di langit lepas bintang berkerlap kerlip memancarkan cahaya putih kebiruan. Dan bulan purnama, baru saja menampakkan diri dari balik bukit.
Pada saat itu di sebuah gua batu cadas yang
terletak tidak begitu jauh dari lereng bukit. Suasana di dalam sana nampak
lengang, seolah gua yang selalu
diterangi dengan cahaya lampu minyak yang berwarna
merah tiada berpenghuni. Keadaan itu berlangsung selama beberapa jam sampai akhirnya beberapa orang
berjubah hitam wajah coreng moreng menyeruak memasuki gua itu. Orang-orang tersebut kemudian duduk di sebuah altar yang berukuran sangat luas. Dalam waktu yang sangat singkat jumlah merekapun semakin bertambah banyak hingga mencapai belasan
orang. Orang bercadar dengan jubah hitamnya yang
menjela sampai ke tanah itu. Kemudian secara serentak seperti sedang mengucapkan kalimat doa. Tapi kata-kata yang keluar dari mulut mereka tak begitu jelas.
Bagai suara gumanan.
Sementara itu di dalam sebuah ruangan lain,
tiga orang gadis nampak terbaring lemah di atas ranjang dalam keadaan tertotok dan tubuh menelentang.
Tiga orang gadis berwajah cantik itu tak lain, Sekar
Asih, Sekar Taji dan juga Sekar Kencana. Yang merupakan murid-murid Perguruan Kerudung Biru yang
bermarkas di kaki bukit Arjuna. Sebagaimana diketahui tiga orang murid Bidadari Pedang Maut ini berhasil diculik oleh wakil
kerudung Hitam dan kawannya setelah kalah dalam pertarungan yang cukup sengit.
Kini dalam ruangan yang hanya diterangi oleh
beberapa lampu minyak itu, tiga orang gadis murid
Perguruan Kerudung Biru seperti sedang menunggu
ponis hukuman mati. Hati masing-masing diliputi berbagai tanda tanya bagaimanakah rupanya laki-laki
yang menjadi ketua perserikatan jubah hitam.
Dalam menunggu dengan diliputi ketegangan
ini, mendadak muncul seorang laki-laki berusia sangat muda, dengan wajah coreng
moreng dan juga mengenakan jubah hitam menjela. Laki-laki muda bertampang dingin ini nampak berjalan menghampiri mereka
bertiga. Beberapa saat pemuda itu memperhatikan calon-calon korbannya satu persatu.
"Gadis-gadis cantik! Tubuhnya padat berisi...
sayang aku tak pernah mendambakan kehangatan tubuh gadis manapun! Darah mereka sangat pantas untuk kupersembahkan pada Pedang Asmara...!" gumam pemuda bernama Andika dalam
hati. Namun apa yang sedang bergolak di dalam hatinya, serta merta pemuda berjubah hitam ini nampak


Pendekar Hina Kelana 24 Bencana Pedang Asmara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengatupkan gerahamnya erat-erat, lalu terdengar pula suaranya yang begitu pelan, namun membuat
mengkirik bulu kuduk tiga orang gadis itu:
Gadis-gadis malang...
Dulu pernah kusimpan cinta di selembar harap
Saat kasih sayang selalu kudamba
Tapi mengapa semuanya membuat aku kecewa
Kini lihatlah mataku yang tiada tetes tangis
Dan luka-luka yang dulu tiada kunjung sembuh
Karena asmara celaka
Yang telah membawa sebuah derita teramat
panjang... Usai berkata begitu, pemuda wajah coreng moreng jubah hitam ini menatap sinis pada ketiga gadis
yang terlentang di atas ranjang tiada berdaya.
"Sriiing...!"
Serta merta Andika mencabut senjatanya yang
menggelantung di bagian pundaknya. Pedang itu berwarna hitam kebiru-biruan, yang membuat gadis-gadis
yang dalam keadaan tertotok itu menjadi ketakutan setengah mati justru karena Pedang Asmara di tangan
Andika nampak menggeletar dan menimbulkan bunyi
yang sangat aneh.
"Bocah-bocah cantik! Sesungguhnya aku ingin
meniduri kalian satu persatu. Sering kubayangkan betapa indahnya bersama-sama seorang wanita. Namun
keinginan seperti itu kini tiada lagi. Anak-anak manis... lantunkanlah doa, sebelum maut menyambut.
Semoga kematian tak ubahnya bagai sebuah tidur
yang teramat panjang... Hiaaat...!"
Seusai mengucapkan segala sesuatunya, tubuh
Andika nampak berputar-putar. Di salah sebuah ranjang calon korbannya. Pandangan matanya yang kosong dan dingin itu memandang tiada berkedip ke sekujur tubuh gadis yang bernama Sekar Taji. Yang dipandang kelihatan semakin bertambah ketakutan, jantung berdetak kian cepat. Nafas tersengal-sengal, hing-ga membuat bagian dadanya
yang padat berisi itu terguncang-guncang turun naik. Tiada rangsangan birahi
atas diri pemuda ini, sebaliknya sorot matanya berubah menjadi sinis. Pelan namun cukup pasti, pemuda
jubah hitam menjela-jela ini menggerakkan senjatanya
ke arah bagian dada.
"Breet...!"
"Auuu...!"
Gadis yang bernama Sekar Taji itupun keluarkan jeritan tertahan saat mana, pakaiannya di bagian dada robek lebar di sambar
pedang. Yang membuat
wajahnya semakin memerah adalah akibat terobeknya
pakaian di bagian depan itu membuat dua bukit kembarnya yang halus mulus padat dan berwarna putih
itu tersingkap, menantang. Tapi pemuda dari Lembah
Patah Hati ini nampaknya tiada menghiraukan pemandangan seperti itu. Sekar Taji yang dalam keadaan
tertotok bagian urat geraknya hanya mampu menjeritjerit. "Lepaskan kami, laki-laki keparat! Kami akan mengadu jiwa atas
perlakuanmu yang memalukan
ini...?" teriak gadis itu, namun tetap tak memiliki kemampuan untuk menutupi
bagian dadanya yang tersingkap begitu lebar.
"Jangan banyak tingkah! Tak banyak pilihan
yang dapat kulakukan untuk kalian. Darah perawan
memang sangat dibutuhkan oleh Pedang Asmara milikku. Agar lebih ampuh untuk membasmi siapapun
yang coba-coba berani menghalangi sepak terjangku...!" gumam si pemuda. Selanjutnya tanpa ampun lagi pedang di tangan pemuda
itupun terangkat tinggi-tinggi, kemudian laksana kilat. Senjata itu melesat ke
arah bagian dada si gadis. Gadis itu hanya membelalakkan matanya saat pedang di
tangan Andika meluncur. Cepat ke tengah-tengah dada.
"Haaiiit...!"
"Jrooos...!"
"Ahhkkgh...!"
Hanya pekik tertahan yang terdengar, saat mana senjata di tangan Andika menembus bagian dada
Sekar Taji. Tiada pula darah yang menetes, tubuh Sekar nampak berkelojotan untuk sesaat lamanya. Lalu
diam tiada berkutik-kutik lagi.
Melihat kematian kawannya, Sekar Asih dan
Sekar Kencana nampak membelalakkan kedua matanya. Sama sekali mereka tiada menyangka kalau
pemuda yang mereka hadapi kiranya tak ubahnya bagai seorang pembunuh berdarah dingin. Namun mereka juga nampaknya tiada memiliki pilihan lain. Tubuh
mereka tertotok, ini yang membuat mereka tak memiliki kemampuan untuk berbuat banyak.
"Manusia terkutuk...! Begitu kejam perbuatanmu itu... Sang Hyang Widi pasti tak pernah mengampuni dosa-dosamu...!" teriak Sekar Asih, dengan kemarahan yang tiada tertahankan
lagi. "Kaummu juga pernah berbuat lebih dari apa
yang kulakukan. Wajar saja kalau kini aku melakukan
sesuatu yang sesuai dengan apa yang pernah ku rasakan dulu! Hemm...!" kata Andika, lalu dari sela-sela bi-birnya terdengar suara
geraman yang begitu aneh. Tubuh kembali bergetar hebat, pedang di tangannya
mendengung-dengung dan mulai terasa sulit untuk dikendalikan. "Baiklah! Kuturuti segala keinginanmu, hei Pedang Asmara...!" teriak Andika bagai sedang berbicara dengan sesuatu yang tiada
terlihat. Selanjutnya dengan disertai satu bentakan yang sangat keras. Tubuh
pemuda itu melompat ke atas, dan sebelum bagian kepalanya menyentuh langit-langit gua. Maka tubuh lakilaki wajah coreng moreng itu telah kembali melesat ke bawah sambil lakukan dua
babatan menyilang dalam
waktu berbarengan:
"Hiaaat...!"
"Jrooos! Jreees...!"
Luka akibat sabetan senjata Andika nampak
begitu memanjang, tapi sama seperti yang terjadi atas korban yang pertama tadi.
Kali ini pun bekas luka itu tiada berdarah sama sekali. Mungkin inilah kharisma
yang dimiliki Pedang Asmara di tangan Andika. Dan
anehnya setelah pedang itu menghirup darah korbankorbannya, maka senjata yang memancarkan prabawa
aneh itupun tidak lagi mengeluarkan bunyi mendengung-dengung seperti pertama tadi. Dengan gerakan
yang sangat cepat Andika memasukkan senjata itu ke
dalam sarungnya. Selanjutnya terdengarlah suara tawanya yang begitu dingin, lalu menjauh dan menuju
ke arah ruangan lain.
Sesampainya di ruangan lain, suara bergemuruh menyambut kehadirannya. Mereka itu merupakan
anak buah dan pembantunya sendiri. Orang-orang itu
sama seperti dirinya juga mengenakan jubah berwarna
hitam. "Terima kasih atas bakti yang telah kalian lakukan selama ini! Tetapi aku
tak pernah puas sebelum
semua kalangan persilatan bertekuk lutut di bawah
kakiku...!" kata pemuda itu, setelah agak lama memperhatikan anggotanya yang
berjumlah lebih dari duapuluh orang. "Ketua! Beberapa murid maupun guru di kalangan persilatan telah kita culik. Bahkan hampir semua orang-orang itu telah kita bunuh pula...! Sebenarnya yang manakah di antara sekian banyak kaum
persilatan yang menjadi musuh besar ketua...?" tanya perempuan berwajah cantik,
tubuh ramping yang bernama Peri Lingga. Andika tidak buru-buru menjawab,
sebaliknya sepasang matanya terbuka lebar-lebar. Ada
rasa tidak senang yang terpancar lewat tatapan mata
itu. "Kau benar! Peri Lingga... memang telah begitu
banyak kaum persilatan berbagai golongan yang telah
tewas di tanganku. Tapi aku tak pernah merasa puas
atas kematian mereka...?"
"Justru mengapa ketua membunuh mereka begitu saja tanpa ada keinginan untuk merasakan kehangatan tubuh mereka...!"
"Heeh... kau tau apa! Sisa-sisa hidupku tak
pernah membutuhkan kehangatan apa-apa. Satu yang
ingin kulakukan bahwa setiap wanita yang berada di
kolong langit ini harus patuh di bawah perintahku...!"
Pemuda bertubuh tegap itu pun mendengus.
"Sebuah ide yang bagus ketua! Tapi cuma sebegitukah cita-citamu...?" tanya Peri Lingga lebih jauh la-gi.
"Hoo... tentu tidak...! Dalam waktu tidak begitu lama lagi aku ingin menunjukkan
bakti pada orang tuaku yang telah tiada... ha... ha... ha...! Keparat saudagar
Legawa! Selain begitu tega menghinakan diriku, kiranya dia juga telah membunuh
kedua orang tuaku...!
Mereka adalah orang-orang yang telah masuk dalam
daftar kematian. Begitu pun halnya dengan Lesmana
dan Tamenggung Jayeng Rono yang telah menghancurkan semua harapanku... ya mereka memang pantas
mati... harus...!" geram pemuda itu dengan geraham berkerokotan.
"Kami selalu mendukung segala rencanamu,
ketua yang kami hormati...!" teriak pengikut-pengikut Andika secara serentak.
"Bagus...! Namun sebelum rencana besar itu kita mulai, alangkah baiknya kekuatan lain yang tiada
seberapa itu kita hancurkan...!"
"Kami pun mendukung gagasan baru yang ketua rencanakan itu...!" ujar Peri Lingga merasa setuju.
"Hhh. Kurasa untuk saat ini, hanya itulah dulu
yang perlu kusampaikan pada kalian. Dan jangan lupa, mulai dari sekarang hancurkan kaum persilatan
golongan manapun. Seret setiap perempuan yang kalian jumpai, hingga berhadapan dengan aku...!" kata pemuda itu begitu tandas.
"Kami akan melakukannya, ketua...!" sahut mereka hampir bersamaan.
"Heiii... jangan semuanya yang berangkat! Tinggalkan beberapa orang untuk tetap menemaniku di sini...!" "Aku hanya membutuhkan enam orang yang memiliki kepandaian tinggi...!"
ujar Peri Lingga, sambil menunjuk pada orang-orang yang dimaksudkan.
"Kalau begitu, cepatlah kalian pergi... kukira
saatnya sekarang ini kita mulai melakukan kejutankejutan itu...!" katanya dengan suara semakin bertambah dingin menggidikkan.
Tak lama setelahnya, rombongan itu pun berangkat meninggalkan gua merah yang merupakan
markasnya orang-orang patah hati. Sesungging senyum sinis menyertai kepergian orang-orangnya. Entah apa makna dari senyum itu, hanya Andika sendirilah yang mengetahuinya.
*** 3 Tiga kawan-kawan persilatan berhasil dihubungi oleh Lesmana dalam upayanya untuk menghancurkan saudagar Legawa bekas mertuanya sendiri.
Adapun orang-orang yang berhasil dihubungi oleh
Lesmana antara lain, Baja Kuning yaitu kelompok
Begal dan bajak sungai dari daerah sungai Bilah Hulu.
Kemudian Roda Paksi, yaitu sekelompok pemburu wanita yang dikenal karena kejahatannya dalam menculik dan memperkosa anak istri orang. Sedangkan satu
kelompok lagi adalah merupakan kelompok Maling
Durjana. Tak jauh bedanya dengan maling-maling
lainnya, maka pekerjaan mereka pun mencuri segala
bentuk harta benda.
Dapat dibayangkan orang yang bagaimana putranya Tumenggung Jayeng Rono ini. Kawankawannya di dunia persilatan saja kebanyakan terdiri
dari golongan hitam. Yang pasti berbagai kelicikanlah yang selalu bercokol di
dalam hati Lesmana. Demikianlah siang itu, orang-orang yang telah berhasil dihubungi oleh Lesmana nampak sedang berkumpul di halaman rumah Kincir Mabur, yaitu salah seorang tokoh
sesat yang sangat sakti dan merupakan sahabat baik
Lesmana sejak puluhan tahun. Sebagaimana pembicaraan terdahulu, yang telah sama-sama mereka sepakati. Kincir Angin mengatakan kesanggupannya untuk
membantu Lesmana dalam menyelesaikan masalahnya
dengan saudagar Legawa.
Demikianlah ketika mereka telah berkumpul di
halaman rumah Kincir Angin yang begitu luas, maka
pembicaraan seriuspun berlangsung: "Kami sengaja mengumpulkan saudara-saudara
sekalian di rumah
kediaman Paman Kincir Angin, tak lain karena saya
membutuhkan uluran tenaga saudara-saudara sekalian untuk menghadapi saudagar Legawa yang telah
membuat malu bahkan berani menentang kewibawaan
Katemenggungan...!"
"Eee... iiyee... mulutku yang tua bangka ini...
saudagar Legawa merupakan seorang saudagar yang
tiada memiliki kepandaian apa-apa..! Jadi bagaimana
mungkin orang-orang Katemenggungan dapat dikalahkan oleh orang itu..."!" tanya si Kincir Angin dengan suaranya yang agak sengau.
"Mestinya orang-orang kepercayaan ayahanda
tidak mungkin dapat dikalahkan oleh saudagar Legawa
dan pembantunya, Paman Kincir Angin...! Namun karena ada seorang pemuda tak dikenal dengan penampilannya yang aneh telah turut membantu saudagar
Legawa. Maka mau tak mau orang-orang kepercayaan
ayahanda menjadi kucar kacir...!" jawab Lesmana ber-bohong, karena yang
sesungguhnya hampir seluruh
orang-orang kepercayaan ayahandanya tewas, ketika
sedang berusaha melakukan penyitaan di rumah saudagar Legawa beberapa hari yang lalu.
"Tuan Lesmana!" Kali ini yang membuka suara adalah ketua dari Kepala Bajak
Sungai Bilah Hulu
yang bernama Baja Kuning. "Maksud tuan menghubungi kami, telah dapat kami mengerti maknanya.
Namun setiap kerja sama pasti akan ada balas jasa sebagai imbalannya. Maaf... kami tanyakan hal ini dengan arti bukan kami tak mempercayai Tuan Lesmana!
Tapi kami kira itu perlu demi menghindari terjadinya
sesuatu yang tidak diingini terjadi di kemudian hari...!"


Pendekar Hina Kelana 24 Bencana Pedang Asmara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wajah Lesmana maupun, Kincir Angin, Roda
Paksi maupun Maling Durjana nampak memerah seketika begitu mendengar kata-kata yang baru saja diucapkan oleh Baja Kuning. Walau bagaimana pun mereka sesama golongan sendiri pertanyaan yang baru
saja diucapkan oleh Baja Kuning sebagai kata-kata
yang dianggap sangat keterlaluan sekali.
"Saudara Baja Kuning! Mengumbar kata-kata
seperti itu, adalah sesuatu yang tak pantas diucapkan oleh seorang sahabat
sesama kaum kepada sahabatnya yang sedang ditimpa kesusahan...!" tukas Roda
Paksi nampak sangat marah. Dan memang pada kenyataannya, kelompok Bajak Sungai
ini memang termasuk kalangan persilatan segolongan yang banyak
menentang segala tindak tanduk kawan yang lainnya.
"Ah... Saudara Roda Paksi terlalu polos dan jujur. Masakan anda tidak tahu, bahwa apa yang akan
diperjuangkan ini menyangkut sejumlah harta yang
tak pernah habis walau dimakan tujuh turunan...!" tukas Baja Kuning dengan
sesungging senyum licik.
"Memang tidak salah! Tapi apa yang diperjuangkan adalah menyangkut nama baik keluarga Katemenggungan. Kalaupun harta itu ada, semuanya juga
tidak dapat diganggu gugat. Karena merupakan barang
sitaan...!" kilah Lesmana semakin merasa tak enak sa-ja hatinya.
"Hemm. Sungguhpun terhadap sahabat sendiri,
kami tak ingin membantu tanpa pamrih apa-apa, terkecuali kami menolong orang-orang yang hendak masuk ke liang kubur!" kata Baja Kuning tanpa memperhitungkan akibatnya.
"Keparat! Kau benar-benar telah menghinaku
kaummu sendiri, Baja Kuning...!" teriak Kincir Angin.
Sambil berkata begitu laki-laki berumur lima puluh li-ma tahun ini dorongkan
telapak tangannya ke depan.
Begitu tangan itu berkiblat, maka serangkum gelombang angin pukulan yang begitu dingin menusuk tulang sungsum Baja Kuning dan sepuluh orang anggotanya. Laki-laki yang memiliki tampang mirip Tikus
Warok itu keluarkan seruan tertahan. Namun dia pun
tidak tinggal diam. Dengan satu gerakan yang manis
tubuhnya melenting ke udara. Masih dalam keadaan
seperti itu Baja Kuning berucap:
"Tak pernah kusangka, kalau akhirnya memilih
jalan kekerasan hanya untuk membela orang yang selama ini telah menyuapi kalian dengan janji yang muluk-muluk."
"Baja Kuning! Sedari dulu kau dan kaummu
memang merupakan orang-orang yang paling suka
membangkang pada kawan sendiri. Maka tidak salah
andai hari ini kami berusaha memberi sedikit gambaran atas kecerobohanmu itu,..!" sentak Maling Durjana. Dan nampaknya orang itu
pun tidak tinggal diam.
Dengan cepat Maling Durjana hantamkan tinjunya
mengarah pada bagian dada Baja Kuning. Sambaran
angin yang sangat kencang menyertai datangnya pukulan yang dilakukan oleh Maling Durjana.
Seperti diketahui, selama ini Maling Durjana
sangat disegani oleh lawan-lawannya justru karena
pukulan Tinju Guntur yang mampu membuat remuk
dada setiap lawannya. Baja Kuning nampaknya maklum akan kelebihan yang dimiliki oleh lawannya. Itu
sebabnya begitu mengelak dia langsung cabut senjatanya dan memapaki datangnya pukulan menggeledek
yang dilancarkan oleh Maling Durjana.
"Weees! Cleeeng...!" terdengar satu benturan yang sangat keras begitu, pedang di
tangan Baja Kuning yang juga memiliki warna kuning saling berbenturan dengan pukulan lawannya. Baja Kuning menjadi
tercengang justru pedang di tangannya dia rasakan tak ubahnya bagai membentur
batu gunung. Secara kenyataan Maling Durjana kiranya sangat kebal terhadap
berbagai senjata tajam.
"Minggir saudara-saudara semua! Sekali sekali,
begal dari sungai Bilah Hulu ini memang perlu diberi
pelajaran...!" teriak Maling Durjana memberi peringatan pada orang-orang yang
hadir di situ. "Sekali waktu, seorang maling pengecut memang perlu berhadapan dengan seorang bajak sungai
sepertiku...!" guman Baja Kuning dengan sesungging seringai sinis.
"Jangan banyak bacot! Majulah...!" tantang
Maling Durjana sambil bersiap-siap membangun sebuah serangan. "Hiaaat...!"
Sekali saja tubuh Baja Kuning menerjang ke
depan. Maka pedang ditangannya pun berbicara. Maling Durjana tergelak-gelak begitu melihat berkelebatnya senjata di tangan Baja Kuning yang nyaris membabat buntung bagian kakinya. Dengan gerakan yang
manis Maling Durjana membuang tubuhnya ke samping kiri. Serangan lawan luput, sebagai gantinya Maling Durjana kirimkan satu tendangan dengan disertai
satu jotosan mengarah bagian pelipis lawannya.
"Sial...!" maki Baja Kuning begitu berhasil menghindari tendangan yang dilakukan
oleh Maling Durjana, sebaliknya satu jotosan keras yang datang
menyusul tendangan itu tak dapat di hindari oleh laki-laki muka tikus warok dari
Sungai Bilah Hulu ini.
"Dess...!"
"Gusraak...!"
Tubuh Baja Kuning terpelanting tiga tombak,
bagian wajahnya yang kena dijotos oleh Maling Durjana, memar bengkak dan membiru. Namun orang ini
nampaknya sudah tiada menghiraukan rasa sakit yang
mendera tubuhnya. Secepat kilat dia bangkit kembali,
dan langsung kirimkan satu pukulan 'Si Raja Air Menerjang Pusara.' Begitu cepat sekali pukulan yang dilepas oleh Baja Kuning.
Sehingga dalam waktu hanya
sekedipan mata, serangkum gelombang sinar yang
menimbulkan hawa panas luar biasa telah mengancam
diri si Maling Durjana. Namun seperti meremehkan
pukulan yang dilakukan oleh pihak lawannya untuk
kali ini pun Maling Durjana keluarkan suara tawa tergelak-gelak. Hal ini membuat orang-orang yang menyaksikan pertandingan itu menjadi kebat kebit hatinya. Di luar dugaan, Maling Durjana julurkan tangannya ke depan. Selanjutnya melakukan satu gerakan memukul. "Weeer...!"
"Deeerr...!"
Maling Durjana nampak terhuyung-huyung tiga
tindak. Sebaliknya tubuh Baja Kuning kembali terpelanting tujuh tombak. Begitu tubuh gembong bajak
sungai itu membentur batu, maka tak ayal lagi, dari
mulut, lubang hidung serta dari bagian telinganya
mengalir darah kental.
"Baja Kuning! Kuperingatkan bagimu untuk
menyudahi pertengkaran yang tiada arti ini. Jika tidak aku takkan pernah mau
mengampuni jiwamu lagi...!"
bentak Maling Durjana ketika menyadari pihak lawan
yang sebenarnya masih kawan sendiri ini tak mungkin
mampu menahan pukulan berikutnya. Namun Baja
Kuning sungguhpun telah menderita luka dalam yang
cukup parah tidak pernah mengindahkan peringatan
Maling Durjana. Dengan tubuh terhuyung-huyung. Baja Kuning memberi isyarat pada kawan-kawannya.
"Berhenti! Jangan kalian turuti keinginan ketua
kalian. Berhenti kataku...!" bentak Kincir Angin dengan suaranya yang tak begitu
jelas. Antara memenuhi ke-wajiban dan mematuhi perintah tokoh kosen yang bernama Kincir Angin itu. Membuat belasan orang anak
buah Baja Kuning menjadi ragu-ragu. Dalam keadaan
seperti itu. Baja Kuning kembali keluarkan suara bentakan menggelegar:
"Orang-orang tolol! Jangan hiraukan perintah
mereka. Lebih baik kita mengadu jiwa dengan seorang
maling yang telah melakukan penghinaan terhadap
kaum bajak sungai...!" teriak pemimpinnya. Benar saja seperti dugaan Kincir
Angin dan Roda Paksi, orang-orang dari Sungai Bilah Hulu ini kemudian menuruti
segala perintah atasannya. Namun nampaknya Kincir
Angin dan Roda Paksi tidak tinggal diam begitu saja.
Dengan masih tetap berdiri tegak di tempatnya, secara bersamaan kedua orang itu
kirimkan pukulan mengarah pada anak buah Baja Kuning yang sedang berusaha membantu ketuanya. "Wuuut...!"
Karena pukulan yang dilepas oleh dua tokoh
sesat itu hanya dengan tujuan untuk menghalau
orang-orang Baja Kuning, tanpa maksud melukai. Maka akibatnya cuma membuat belasan orang begal sungai terpelanting roboh tanpa mengalami luka dalam
yang cukup serius. Dengan kerengkangan mereka berusaha bangkit kembali, namun satu bentakan keras
kembali terdengar: "Kalian harus berhenti menyerang!
Andai tidak, nyawa kalian tidak pernah kami ampuni...!" Yang berkata sekali ini adalah Kincir Angin, yaitu orang yang memiliki
pengaruh tinggi di antara mereka.
Mau tak mau orang-orang bajak sungai itu menghentikan serangannya.
Namun lain halnya lagi dengan Baja Kuning
yang sudah dilanda kemarahan besar. Dengan mempergunakan jurus Sekawanan Bajak membunuh Anai
Anai, pedang di tangan laki-laki muka tikus itu berputar cepat membentuk perisai
diri. Detik-detik selanjutnya senjata itu menerjang Maling Durjana dengan tujuan mengincar bagian punggungnya. Lagi-lagi secara
nekad Maling Durjana yang kebal terhadap senjata jenis apapun ini, hantamkan tinjunya secara beruntun.
"Traak...!"
"Ihhk...!"
Karena saat menghantamkan pukulan itu disertai dengan tenaga dalam yang cukup tinggi, begitu
juga halnya yang dilakukan oleh lawannya. Maka saat
pukulan tangan dengan pedang itu saling bertemu,
maka tubuh mereka sama-sama tergetar hebat. Bahkan Maling Durjana sendiri merasakan tangannya
sampai terasa sakit dan berdenyut-denyut nyeri. Akan
tetapi di luar dugaan, Maling Durjana kirim satu tendangan satu pukulan susulan yang memiliki kecepatan
luar biasa. Baja Kuning yang masih dalam keadaan
terhuyung-huyung itu kiranya masih belum siap dengan posisinya. "Weees...!"
"Deees...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, akibat pukulan yang
dilakukan lawannya membuat tubuh Baja Kuning terlempar begitu jauh. Sangat telak sekali pukulan yang
dilakukan oleh Maling Durjana, sehingga membuat Baja Kuning tak mampu bergerak-gerak lagi untuk selama-lamanya. Mengetahui ketuanya tewas di tangan si
Maling Durjana. Pucatlah wajah belasan anak buah
Baja Kuning. "Hemm...! Hanya kalian yang masih hidup,
apakah kalian ingin panjang umur atau mau mampus
sekarang menyusul ketua kalian?" sentak Kincir Angin bukanlah hanya gertakan
kosong. "Kami ingin panjang umur, Tuan...! Jangan bunuh kami... kami bersedia melakukan semua perintah
yang akan tuan-tuan berikan kepada kami. Asal saja
kami diberi hidup untuk melihat hari esok...!" ujar salah seorang di antara
mereka terbata-bata.
"Baik. Kalau kalian memang ingin tetap hidup,
mulai dari sekarang harus mengikuti semua perintah
yang kami berikan pada kalian... dan jangan sekali-kali
meninggalkan kami terkecuali ada ijin dari kami...!"
"Kami semua akan patuh kepada tuan...!" janji orang-orang sungai itu dengan
kepala mengangguk-angguk. Roda Paksi untuk selanjutnya memandang
pada kawan-kawannya yang berada di tempat itu.
"Kakang Kincir Angin, Adi Maling Durjana dan
Adi Lesmana...!" Semua-semuanya telah terjadi dengan keadaan yang begini
menyedihkan! Kakang Baja Kuning telah tewas, di tangan Adi Maling Durjana...!
Hal itu kukira tak perlu di sesalkan. Apa yang sekarang ini mengganggu pikiranku
adalah, apakah kita masih menunggu waktu terbaik untuk menyerang saudagar Legawa itu...?" tanyanya, lalu melirik pada Lesmana yang sedari tadi hanya diam
saja. "Ttt... tidak begitu Kakang Roda Paksi! Menurutku karena tak ada lagi persoalan di antara kita,
maka ada baiknya kalau kita berangkat sekarang juga...!" jawab Lesmana.
"Usul yang baik! Akupun merasa setuju kalau
kita berangkat sekarang juga...!" kata Kincir Angin.
Nampaknya masing-masing mereka yang berada di
tempat itu saling menyetujui apa yang baru saja dikatakan oleh Lesmana. Itu makanya tak begitu lama kemudian berangkatlah rombongan itu, untuk bergabung
dengan orang-orang Katemenggungan yang sudah tentu telah pula bersiap-siap untuk melakukan penyerangan ke rumah kediaman Saudagar Legawa.
*** 4 Matahari mengintip di upuk Timur, embun
yang menempel di ujung-ujung dedaunan luruh satusatu. Dan burung-burung masih tetap bermalasmalasan di dalam sangkarnya. Udara memang terasa
begitu sejuk, karena daerah sekitarnya merupakan dataran tinggi yang sangat langka oleh musim kemarau.
Karena daerahnya yang subur. Maka tak begitu heran
jika di daerah itu tumbuh bermacam-macam kayu hitam dan tumbuh-tumbuhan lainnya. Dalam suasana
pagi seperti itu biasanya daerah Cagak Langit ini sunyi sepi. Tak seorang pun
kelihatan sedang melakukan ke-sibukan di sana.
Namun tidak demikian halnya yang terjadi di
pagi itu, dari kejauhan nampak berkelebat sesosok
bayangan tubuh menuju ke arah Utara. Orang yang
sedang melakukan1 perjalanan itu nampaknya dalam
keadaan tergesa-gesa. Terbukti, hampir sepanjang jalan yang di tempuhnya. Secara terus-menerus dia
mengerahkan ilmu lari cepatnya. Kalau dilihat secara
seksama, maka semakin jelaslah bahwa orang yang


Pendekar Hina Kelana 24 Bencana Pedang Asmara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedang melakukan perjalanan itu ternyata seorang
wanita, dengan rambut disanggul, badan kurus kering.
Sedangkan di bagian punggungnya menggelantung dua
bilah pedang yang tidak seberapa panjang dan besarnya. Karena badannya sedemikian kurus, maka dalam
keadaan berlari seperti itu tubuhnya nampak seperti
melambai-lambai ditiup angin. Namun perempuan tua
berusia sekitar lima puluh lima tahun ini sudah tiada menghiraukan hal itu. Dia
terus berlari-lari, semakin lama tubuhnya semakin menjauh melewati hutan-hutan
di sekitarnya. Di luar sepengetahuan si nenek, kiranya dalam
jarak yang tak begitu jauh. Nampak berkelebat pula
bayangan merah mengikuti kemana saja si nenek berlari. Semakin lama jarak di antara mereka nampaknya
sudah semakin bertambah dekat. Sampai pada satu
kesempatan yang tiada dapat diduga-duga, sambil berlari-lari. nenek bertubuh kerempeng itu menggempos
badannya. "Weeess...!"
Mendadak saja tubuh perempuan itu lenyap
bagai ditelan bumi. Orang yang menguntit di belakangnya merasa kehilangan jejak. Kemudian celingukan memandang ke arah sekelilingnya. Tapi pemuda
berkuncir itu tak melihat siapapun bersembunyi di
tempat itu. Sambil garuk-garuk kepalanya, pemuda ini
pun kemudian berucap seperti untuk dirinya sendiri:
"Wei... perempuan itu lenyap begitu saja. Padahal aku belum melihat tampangnya. Entah neneknenek atau masih perawan... Sayang semestinya aku
tanyakan hal itu ketika masih berlari tadi. Janganjangan orang itu sebangsanya kuntilanak kesiangan...!" gumam si pemuda masih tetap memperhatikan suasana di sekelilingnya.
"Tapi kuntilanak biasanya rambutnya panjang,
sedangkan orang itu disanggul. Pula di bagian punggungnya menyandang dua bilah pedang...!"
"Bocah! Sejak tadi kau mengikuti terus, apa
yang kau inginkan!"
"Ee... aku hanya ingin melihat-lihat pemandangan di sini...!" sahut si pemuda yang tak lain Buang Sengketa adanya.
"Hanya ingin melihat-lihat, tapi mengikuti aku
terus ke mana pun aku melangkah...?"
"Mungkin kita hanya kebetulan belaka...!" jawab si pemuda, lalu tersenyumsenyum. "Kurang ajar... kau bilang hanya kebetulan..."
Kau kira aku tak tau sejak tadi kau terus mengekor di belakangku...?"
"Maaf orang tua! Sungguh aku tak punya niat
apa-apa, walau aku mengikutimu sejak tadi...!" ujar Pendekar Hina Kelana, lalu
mengangguk hormat.
Perempuan tua itu hentakkan kakinya beberapa kali. Di luar dugaan tanah di sekitar tempat itu terasa bergetar bagai
dilalui lintasan gempa. Tingkah si nenek yang semula dianggap hanya iseng saja
oleh si pemuda sudah tentu berbalik dengan rasa kagumnya
terhadap tenaga dalam yang dimiliki oleh perempuan
ini. Dan akhirnya dia mengetahui bahwa nenek yang
sedang berdiri di hadapannya itu tak dapat dianggap
sembarangan, maka dengan gugup pemuda ini kembali
menjura hormat beberapa kali. Kemudian lanjutnya:
"Siapakah engkau ini orang tua" Maafkan aku karena aku yang bodoh ini telah
begitu berani mempermain-kanmu...!" Yang diajak bicara nampak diam saja,
sebaliknya matanya yang cekung menjorok ke dalam rongga itu memandang sinis pada Buang Sengketa dari
ujung rambut hingga ke ujung kaki.
"Melihat tampangmu, rasanya aku baru kali
bertemu dengan seorang gembel berperiuk sepertimu!
Kalau kulihat lagi dengan mata hatiku, sungguhpun
gembel namun kau bukan pemuda sembarangan. Aku
si Bidadari Pedang Maut yang telah kehilangan beberapa orang murid kesayangan jadi ingin tahu. Apakah
kau cukup pantas melakukan sebuah penculikan
ataukah lebih pantas lagi untuk bersedia membantuku
dalam mencari murid-muridku yang hilang...!" kata si nenek berpedang kembar yang
ternyata ketua Perguruan Kerudung Biru yang berjuluk Bidadari Pedang
Maut. Buang Sengketa yang masih baru satu purnama
berada di daerah yang masih merupakan kekuasaan
Tumenggung Jayeng Rono, sudah barang tentu tidak
mengenal siapa adanya 'Bidadari Pedang Maut' ini. Apa yang dia ketahui dari
setiap gelagat yang tak baik adalah, mempertahankan diri dari segala kemungkinan
yang dapat mencelakakan dirinya sendiri.
"Orang tua, kurasa aku tak memiliki kesalahan
apa-apa denganmu, tapi mengapa secara tiba-tiba kau
malah bermaksud menyerangku...?" Nampaknya siasia saja kata-kata bernada memberi peringatan yang
diucapkan oleh Buang Sengketa. Si nenek bagai orang
tuli sudah membuka jurus-jurus silatnya.
"Ah... orang tua ini agaknya jenis manusia sinting! Susah diajak kompromi, dan bukan tak mungkin
dia memiliki maksud untuk membunuhku...!" batin
Buang Sengketa. Masih dalam keadaan terlolonglolong. "Bocah geblek! Kau jangan merasa mampu
mengatasi jurus-jurus silatku. Bersiap-siaplah!
Hiaaaat...!"
"Wuuus...!"
Begitu melakukan gebrakan pertama, Bidadari
Pedang Maut telah pula menurunkan pukulan tangan
kosong yang bernama, 'Bidadari Cakar Seribu'. Buang
Sengketa merasakan adanya sambaran angin pukulan
mengancam bahu sebelah kiri. Namun hatinya yang
dalam keadaan ragu-ragu itu, kiranya juga tidak mendukung posisi kuda-kuda si pemuda. Akibatnya sambaran angin yang sangat keras membuat tubuh si pemuda terdorong ke belakang dan terjengkang. Bidadari
Pedang Maut dari Perguruan Kerudung Biru ini nampaknya merasa belum puas sampai di situ saja. Dia terus memburu, dan hantamkan pukulan-pukulan
mautnya secara gencar. Melihat gelagat yang ada,
Buang Sengketa menyadari bahwa nenek ceking ini
memang bermaksud untuk mengakhiri hidupnya. Siapapun adanya nenek berkepandaian tinggi ini, yang jelas Buang Sengketa tak mungkin mau menerima begitu saja. Selanjutnya dengan mempergunakan jurus
'Membendung Gelombang Menimba Samudra', Buang
Sengketa nampak mulai membuat satu pertahanan
yang sangat kokoh dengan jalan memutar kedua tangannya sedemikian cepat. Sedangkan bagian kaki kanan melakukan sapuan yang telak pada bagian pertahanan tubuh lawan bagian bawah.
Bidadari Pedang Maut kembali lakukan satu
sodokan keras, kaki si pemuda datang menyambut.
"Deees...!"
"Gubraaak...!"
Kali ini tubuh kurus Bidadari Pedang Maut terlempar dua tombak. Celakanya bagian kepala perempuan itu ini menghantam sebatang pohon, dan pohon
sebesar dua pelukan orang dewasa itu pun tergetar,
tapi bukan itu yang membuat Bidadari Pedang Maut
menjadi uring-uringan, tetapi karena akibat benturan
dengan pohon tadi dia mendapat benjol di kepalanya
sebesar telur angsa. Bahkan selain itu, kepalanya juga jadi berkunang-kunang.
"Sudahlah orang tua! Di antara kita tak ada
permusuhan, untuk apa kita bertengkar?" kata Buang Sengketa mengingatkan. Tapi
sebaliknya Bidadari Pedang Maut menjadi gusar dan marah atas teguran
Buang Sengketa. Kemudian dengan rahang gemertakan menahan amarah, nenek berbadan ceking ini
mencabut pedang kembarnya, "Sriiing... Sriiing...!"
Pedang di tangan Bidadari Pedang Maut nampak berkilat keemasan ditimpa cahaya matahari yang
baru saja menampakkan diri di upuk Timur.
"Kau harus merasai dulu kehebatan jurus pedang yang kumiliki...!"
"Aku tak memiliki kepandaian apa-apa, orang
tua. Aku bisa celaka di tanganmu...!"
"Kalau kau tak memiliki kepandaian apa-apa...!
Mungkin kau luput dari daftar orang-orang yang kucurigai, namun tak pernah lepas dari maut...!" teriak Bidadari Pedang Maut.
Belum sempat si pemuda mengucapkan katakata protes, senjata kembar di tangan ketua Perguruan Kerudung Biru itupun telah
berkelebat menyambar
bagian-bagian tubuh si pemuda dengan gencarnya.
Mempergunakan jurus Si Gila Mengamuk, pendekar
keturunan raja Ular Piton Utara ini mencoba menghindari setiap babatan maupun tusukan pedang yang datangnya secara sambung menyambung dan tiada kunjung henti. Tubuh Buang Sengketa terkadang nampak meliuk-liuk, di lain saat terhuyung-huyung dan bagai
orang yang akan terjerembat. Tetapi di saat lain, dengan gerakan yang tiada
terduga-duga pemuda ini menerjang lawannya dengan kecepatan yang sangat sulit
untuk diikuti kasat mata.
"Hiaat...!"
"Weuuus...!"
"Kurang ajar! Nyeploss lagi...!" teriak si nenek begitu mengetahui serangannya
berhasil dihindari oleh pihak lawannya.
"Nih jurus Bidadari Menimba Sumur...!" gumam Bidadari Pedang Maut. Lalu sekali
saja tubuhnya melompat ke udara dengan satu gerakan yang sangat
manis, maka ketika tubuh kurus itu kembali melayang
turun. Dengan gerakan secepat Burung Walet menyambar ikan. Bidadari Pedang Mautpun hantamkan
pedangnya mengarah pada bagian kepala si pemuda.
Buang merasakan adanya satu sambaran angin yang
sangat keras dari bagian atas kepalanya. Tanpa merasa sungkan-sungkan lagi pemuda ini hantamkan tangannya ke arah atas. Serangkum gelombang Ultra Violet melesat sedemikian pesatnya ke arah si nenek ceking yang hampir saja membacok bagian kepala lawannya. Namun akhirnya dia harus mengurungkan niatnya, lalu membuang tubuhnya ke samping kiri saat dia
sendiri merasakan adanya sambaran hawa yang begitu
panas ke arah bagian dadanya.
"Weiii...!"
"Zeeet... serr...!"
Pukulan yang dilepas oleh Buang Sengketa lenyap begitu saja ditelan udara. Sebaliknya, begitu
menjatuhkan diri Bidadari Pedang Maut terus berguling-guling sambil babatkan pedang kembarnya ke arah
bagian kaki. "Wuuuk...!"
"Jreep...!"
Pedang yang menghantam kaki Buang Sengketa
melekat sedemikian erat, nenek ceking yang merupakan ketua Perguruan Kerudung Biru menjadi terkejut
bukan alang kepalang. Namun kiranya diapun menjadi
penasaran juga. Tanpa menunggu lebih lama perempuan ini hantamkan pedang yang satunya lagi.
"Creep...!"
Tak jauh bedanya dengan apa yang telah terjadi
pada pedang pertama tadi. Kali inipun senjata di tangan si nenek melekat sedemikian eratnya di bagian kaki si pemuda. Bidadari Pedang Maut nampaknya juga
tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Dengan mempergunakan sebagian tenaga dalamnya dia berusaha
menarik senjatanya yang semakin menempel erat di
kaki Buang Sengketa.
Namun sehebat apapun Bidadari Pedang Maut
mengeluarkan tenaga untuk membetot senjatanya. Tapi tetap saja tidak mendatangkan hasil yang sebagaimana dia harapkan. Bahkan serang ketua Perguruan
Kerudung Biru itu mulai merasakan kehilangan tenaga
yang begitu besar. Pada kenyataannya saat itu Buang
Sengketa memang telah mempergunakan jurus Koreng
Seribu, peninggalan terakhir almarhum Gurunya, Si
Bangkotan Koreng Seribu.
"Heh...! Ilmu iblis... mengapa sekarang ini aku
menjadi sedemikian bodoh. Aku merasakan sejak tadi
tenagaku tersedot keluar. Ini berarti sifat ilmu yang dimiliki oleh pemuda aneh
ini menarik sebanyak
mungkin tenaga dalam yang dimiliki oleh lawannya. Itu sama saja artinya dengan
membuang tenaga dalam
percuma. Seharusnya aku menarik balik tenagaku...!"
batin ketua Perguruan Kerudung Biru ini. Kemudian:
"Chaaat...!"
Dengan tiada mengerahkan kekuatannya, si
nenek ceking menyentakkan senjatanya. Pedang terlepas, tubuh Bidadari Pedang Maut terguling-guling
dengan wajah pucat seputih kain kapan. Namun perempuan ini segera pula bangkit, lalu memandang tajam pada Buang Sengketa yang tetap tegak di tempatnya sambil cengengesan.
"Bocah berperiuk! Siapakah engkau ini...?"
tanya ketua Perguruan Kerudung Biru tanpa merasa
malu. "Untuk apa kau tanyakan namaku, nenek pikun...!" tukas si pemuda bersungut-sungut.
"Ah... kau masih marah dengan segala tindakanku tadi...?"
"Mungkin saja tidak! Tapi karena engkau hampir saja membelah kepalaku, sudah selayaknya kalau
aku marah...!" Sambutnya ketus.
"Hemm...! Maafkanlah aku...! Karena aku telah
berperasangka buruk padamu. Penampilanmu yang tidak meyakinkan itu membuat aku mencurigaimu...!"
"Aku tak mengerti mengapa justru kau malah
mencurigaiku...! Padahal aku tak pernah membuat kesalahan di daerah ini...!"
"Omong kosong...! Pekerjaanmu membantu
saudagar Legawa saja sudah merupakan satu kesalahan bagimu. Masihkah kau mau mungkir...?"
"He... orang ini mengetahui, aku membantu
saudagar Legawa! Padahal sebelumnya aku tak pernah
bertemu dengannya...!" batin Buang Sengketa.


Pendekar Hina Kelana 24 Bencana Pedang Asmara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau tak perlu berpura-pura! Aku telah melihatnya...!"
"Tapi aku hanya ingin menjernihkan suasana
yang keruh dalam keluarga kedua belah pihak...!"
"Omong kosong...!" dengus Bidadari Pedang
Maut. "Mereka yang kau bela, dan mereka yang memu-suhi sama-sama memiliki sifat
tamak. Tak berguna
kau membela mereka mati-matian... kau harus ingat
Katemenggungan sebagaimana biasanya tentu tidak
tinggal diam melihat orang-orang kepercayaannya tewas di tanganmu..."
"Aku tak takut menghadapi siapapun...!" kata si pemuda ketus.
"Ah, sayangnya aku sedang banyak urusan
orang muda, kalau tidak aku ada minat melihat kehebatan seorang pendekar yang berjuluk, Si Hina Kelana
itu. Nantilah kalau urusanku mencari murid-murid
yang hilang sudah kutemukan. Dan nyawa masih melekat di badanku, mudah-mudahan kau dapat bertemu
denganku...!" kata nenek ceking ketua Perguruan Kerudung Biru, lalu seperti tak
pernah terjadi sesuatu apapun di tempat itu, Bidadari Pedang Maut segera
pergi meninggalkan tempat itu.
"Aku seperti mengenali suaranya...! Suaranya
seperti seorang gadis muda. Tapi wajahnya sudah keriputan dan tua... jangan-jangan dia merupakan...! Ah tak mungkin Wanti Sarati
berkeliaran di tempat ini...!"
batin si pemuda. (Untuk jelasnya siapa si Cantik Wanti Saraty, terdapat dalam
Episode Satria Penggali Kubur).
"Mudah-mudahan bukan dia...!" ujar si pemuda, kemudian tanpa menoleh-noleh lagi langkahnya
pun terayun menuju rumah kediaman Saudagar Legawa. 5 Di atas batu-batu yang terdapat di depan gua,
setiap hari mayat-mayat yang terdiri dari kaum wanita berumur belasan tahun
bergelimpangan. Dan setiap
kali pembunuhan itu terjadi. Selalu saja diakhiri dengan sebuah doa yang
diucapkan dengan gumamangumaman yang tak jelas. Biasanya setelah melampiaskan kemarahannya, Andika atau yang berjuluk Satria Pedang Asmara itu selalu menyunggingkan seulas
senyum puas. Selanjutnya terdengar pula untaian kata-katanya yang berpangkal dari galau masa lalunya:
Di sepanjang jalan berselimut kabut
Dalam lorong sepi tiada pelita...
Kegelapan menyambut datangnya sang Aku
Di sini ini... Dalam jurang nestapa,
Ada jiwa dibakar angkara murka.
Duh... Andai masih mungkin, ingin kugapai
bintang dan rembulan
Yang sunggingkan senyum mengejek,
Setiap diri berada dalam belengguh cinta...
Tapi mungkinkah"
Hari-hariku kini, sudah enggan bicara...
Tangan menyapa dengan ujung pedang berlumur darah... Oh... Angkara, kau datang coba tepiskan dendam
Sebuah dendam lama yang membuat jiwa bergelimang tanpa nyawa
Puaskah aku dengan semua yang kudapat"
Kujawab dengan kata puas...
Namun Pedang Asmara mengatakannya tidak
Lalu siapakah yang akan kuturut...
Andai setiap waktu maut datang menjemput...
Selalu saja seusai melantunkan bait-bait syairnya pemuda ini tergelak-gelak. Sebuah tawa yang sesungguhnya hanyalah merupakan penjelmaan rasa
pedih yang menyelimuti hatinya. Hanya dia sendiri
yang tau, apa sesungguhnya sedang terjadi di dalam
hatinya; Tak sampai sepeminum teh, pemuda berjubah
hitam dengan wajah coreng moreng ini memandangi
mayat-mayat tanpa darah yang saat itu sedang diusung oleh para anak buahnya, menuju jurang tempat
pembuangan mayat yang berada tak begitu jauh dari
tempat itu. "Peri Lingga!" sapanya, dingin. Perempuan yang berada tak begitu jauh dari
tempat si pemuda berdiri
nampak menoleh.
"Ada apa ketua...?" tanya perempuan wajah coreng moreng dengan sikap sungkan.
"Aku merasakan kehadiran tamu tak diundang
di sekitar tempat kita ini. Coba kalian periksa...!" perintah pemuda dari Lembah
Patah Hati ini dengan sikap acuh. "Kami akan melakukannya, Ketua...!" jawab Pe-ri Lingga. Selanjutnya dengan
gerakan yang sangat
ringan tubuh Peri Lingga dalam sekejaban saja telah
lenyap dalam kerimbunan pohon. Namun tiada disangka-sangka, dari arah lain nampak melompat beberapa sosok tubuh menghampiri si pemuda yang berdiri
tegak dengan sikap menunggu.
"Jleeek...!"
"Jliiik...!"
Begitu menjejakkan kakinya di atas tanah dua
orang pendatang yang terdiri dari seorang kakek dan
nenek tua renta langsung menyerang Andika dengan
senjatanya yang berupa sebuah ruyung berwarna kuning emas. Pemuda wajah coreng moreng ini memang
merasa terkejut dengan kehadiran dua tokoh ini. Namun dia tak begitu terkejut dengan adanya serangan
yang dilakukan secara tiba-tiba ini. Dengan gerakan
yang sangat indah, Andika geser tubuhnya ke samping
satu langkah. Tapi senjata di tangan lawannya terus
memburu ke arahnya. Satu sambaran angin yang ditimbulkan oleh senjata di tangan lawannya terasa menerpa bagian wajah Andika. Ada hawa keji yang menyertai berkelebatnya senjata itu.
"Haiiit!"
"Hemmm...!"
Dengan sekali lompatan yang tiada menimbulkan suara sedikitpun. Sepasang kakinya yang kokoh
berotot telah mendarat dengan mulus di atas sebongkah batu. Kakek nenek dengan ruyung mautnya terus
memburu. Dan secara hampir bersamaan hantamkan
ruyungnya ke arah bagian pinggang lawannya.
"Hiaaat...!"
Sekali lagi, pemuda wajah coreng moreng dengan sangat mudahnya menghindar. Senjata di tangan
Kisah Para Pendekar Pulau Es 12 Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto Pendekar Pengejar Nyawa 13

Cari Blog Ini