Pendekar Kelana Sakti 11 Durjana Pemenggal Kepala Bagian 1
Cerita ini adalah fiktif.
Persamaan nama, tempat dan ide
hanya kebetulan belaka
DURJANA PEMENGGAL KEPALA
Oleh Buce L. Hadi
? Penerbit Mutiara, Jakarta
Pintu Besi Baru Plaza, lantai 2-B69
H. Samanhudi No. l4, Jakarta-Pusat
Cover oleh: David G.
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama
Hak Cipta ada pada Penerbit
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit.
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
1 Bangunan yang satu-satunya berdiri di atas
bukit itu nampak menyeramkan. Apalagi dalam suasana malam seperti ini. Bulan yang bulat penuh mengembang di balik bukit membuat bangunan itu makin
angker. Suara-suara binatang malam pun mengelilingi
penuh suasana bukit. Diselingi dengan suara mengerikan belasan burung hantu yang bertengger pada pohon kering yang ada di samping bangunan. Belasan
pasang mata mereka menyala bagai bara yang menerangi tiap-tiap cabang pohon kering.
Bangunan itu sendiri rupanya sudah tidak keruan. Meskipun besar sepertinya sudah tidak terurus
lagi. Sekelilingnya semrawut bekas puing-puing. Tatka-la angin berdesir, maka
bau busuk menyengat memenuhi bukit itu.
Di depan pintu bangunan berderet tangga batu
yang memanjang menurun ke bawah. Di sepanjang
kedua sisi tangga batu banyak berdiri tonggak-tonggak kayu. Sinar bulan dapat
menerangi dengan jelas apa
yang tertancap pada tiap-tiap kayu tonggak itu.
Mengerikan sekali. Kutungan bukit tersebut
menyebar bau busuk.
Dari kejauhan semuanya nampak dingin dan
menyeramkan. Terdengar juga daun jendela yang berderak-derak tertiup angin, juga kepak-kepak sayap kelelawar yang berterbangan keluar dari bangunan itu.
Namun semua pemandangan yang cukup
membangunkan bulu roma itu tidaklah membuat takut bagi kedua orang yang nampak menjajaki tangga
batu. Keduanya berjalan saling susul tanpa menoleh.
Langkah-langkah mereka sempoyongan. Orang yang
berjalan di belakang entah sudah berapa kali jatuh
bangun. Terkadang pula ia harus memanggil-manggil
orang yang berjalan mendahului.
"Kang... Aduuuuh, tunggu dulu, Kang.
Hoeeeek!" rintihnya sambil mengeluarkan muntah.
Pasti karena bau busuk itu.
"Rasanya aku hampir tidak sanggup berjalan
lagi. Aku tidak tahan dengan bau busuk begini." katanya lagi. Orang yang
berjalan di depan tidak menyahut. Mereka adalah kakak beradik yang akan menuju bangunan itu. Entah ada maksud apa mereka sampai berani mendatangi tempat semacam itu. Sebelumnya mereka sama sekali tidak mengetahui adanya sebuah bangunan di atas bukit. Meskipun mereka sekarang tahu betapa seramnya. Tidak kepalang mereka
nekad mendatangi juga.
"Itukah tempatnya, Kang"... Rasanya aku tidak
berani masuk. Kau sajalah yang menemui Eyang Tumbal Segara. Biar aku tunggu di luar." kata sang adik sambil menutup kedua lobang
hidungnya dengan jari.
Ketika mereka tiba di depan pintu bangunan, mereka
berdiri berdampingan. Di tempat setinggi itu rupa mereka kelihatan jelas.
"Kita harus masuk bersama, Ambali Songka.
Jelas tujuan kita sama. Jadi kita tidak perlu takut apa pun yang harus kita
hadapi." jawab lelaki itu menatap adiknya. Nampak wajah penuh berlumuran darah.
Sebelah kelopak matanya pecah. Untunglah tidak menembus sampai ke bola mata.
Keadaan Ambali Songka lebih parah lagi. Selain
tubuhnya bersimbah darah. Telinga serta mulutnya
sapat seperti kena babatan pedang. Tentu saja sakit
kalau ia bicara.
"Tapi aku tidak tahan dengan suasana yang begini, Kakang Basu Dewa. Keadaan di sini benar-benar
menjijikkan." kata Ambali Songka bergidik. Basu Dewa memandang geram.
"Kita sudah sampai pada tempat tujuan. Mau
apa lagi" Mau coba-coba balik" Itu sama saja kita bunuh diri. Bagi Eyang Tumbal Segara pantang gagal kedatangan tamu! Ayo masuk!" Basu Dewa menarik lengan Ambali Songka yang menutupi
lobang hidungnya.
Keduanya serentak masuk melalui pintu. Sekali
dorong daun pintu itu berderak menguak. Tanpa raguragu Basu Dewa menuntun adiknya. Cukup terang
ruangan itu. Karena sinar bulan dapat langsung masuk dari pintu dan jendela yang terbuka lebar.
Dan di dalam ruangan bangunan itu tidak ada
apa-apa. Dalam bangunan begitu lapang bagai sebuah
gudang. Lantainya dari susunan batu marmer. Di tengah-tengah ruangan itu pula terdapat sebuah kolam
dengan airnya yang hitam keruh.
Hati-hati sekali kakak beradik itu masuk semakin ke dalam. Mereka berhenti sampai terhalang oleh
kolam. Keduanya celingukan seperti mencari-cari seseorang. "Eyang... Eyang Tumbal Segara" Di mana kau"
Kami datang untuk memohon petunjukmu." kata Basu Dewa. Suaranya bergema dalam
ruangan itu. Ambali
Songka berpegangan erat ketakutan.
"Tidak ada siapa pun di sini. Pasti kita telah salah alamat." ujar Ambali
Songka. "Di sini tidak lebih seperti tempat pejagalan."
katanya lagi. Basu Dewa tidak perduli dengan ucapan
Ambali Songka. Ia terus memanggil-manggil. Matanya
memandang berkeliling.
"Eyang Tumbal Segara...."
Mendadak saja air kolam yang hitam keruh itu
menggelegak. Buih-buih muncul bergelombang di hadapan mereka. Ambali Songka hampir loncat karena
terkejut. Tapi Basu Dewa cukup tenang. Air kolam
makin bergelombang. Dari buih-buih muncul asap kebiruan mengepul, lalu terdengar juga suara parau berbicara.... "Selamat datang, Cucuku... Selamat datang...
Tempat ini memang selalu terbuka untuk siapa saja."
Tidak ada siapa pun di situ selain mereka berdua. Tapi jelas mereka dapat
mendengar suara itu. Dan yang lebih yakin lagi kalau sumber suara itu berasal
dari dasar kolam.
"E-E-Eyang... Kaukah itu?" Mata Basu Dewa
membelalak menatap yang tidak nampak ke arah kolam. "Ha ha ha ha...!" Terdengar suara tawa yang menggelegar menggetarkan
jantung mereka. Bersamaan dengan itu pula air kolam muncrat ke atas bagai
air mancur, kemudian...
"Siapa lagi yang mendiami tempat ini selain
aku, si Tumbal Segara... Hak hak hak hak..." Suara parau menggema nyaring.
"Eyang..." Basu Dewa hampir-hampir tidak percaya mendengar suara parau itu dari
dasar kolam. "Kakang Basu Dewa... Aku takut." bisik Ambali Songka.
"Hak hak hak hak hak... Kalau merasa takut
kenapa jauh-jauh nekad datang ke sini" Heh" Kalian
tahu bukan, aku selalu memenuhi apa pun permintaan kalian."
"Be-Benar, Eyang... Kami memang ingin meminta sesuatu pada Eyang..." jawab Basu Dewa memberanikan diri. Kedua matanya tidak berkedip menatap
air hitam yang mancur ke atas.
"Tidak usah kau sebutkan pun aku sudah tahu
maksud tujuanmu, Cucuku. Bagus-bagus... Tidakkah
kalian menyesal bersekutu denganku?" Suara Eyang Tumbal Segara terdengar lebih
menyeramkan. "Ti-Tid-tidak, Eyang. Kami sudah berpikir panjang lebar. Bagaimana pun kami harus membalas sakit
hati ini terhadap Amarsa Rawut. Dia pula yang membuat aku terluka parah begini." tutur Basu Dewa.
"Hal itu mudah. Kau bisa melakukannya nanti.
Tapi sudahkah kalian tahu apa syarat-syaratnya.
"Apa pun yang Eyang minta pasti aku penuhi."
jawab Basu Dewa.
"Betul, Eyang Tumbal Segara harus membantu
kami. Tidakkah Eyang lihat sendiri rupa kami" Aku
yang tolol harus kehilangan telinga dan mulutku pun
hampir tidak ada bibirnya. Sedangkan Kakang Basu
Dewa nyaris kehilangan sebelah matanya." Ambali
Songka mulai berani buka suara. Air kolam itu bergolak lagi.... "Setelah kalian bersekutu denganku, ka rupa
kalian akan kembali seperti semula. Juga tidak segansegan aku menurunkan ilmu paling dahsyat pada kalian. Bukankah itu yang kalian pinta?"
"Be-Betul, Eyang. Kami memang berniat balas
dendam terhadap si keparat Amarsa Rawut!" jawab
Basu Dewa penuh semangat.
"Itu mudah saja. Asalkan kalian menyetujui
persyaratannya."
Dua kakak beradik ini diam. Mereka saling
pandang mendengar penuturan Eyang Tumbal Segara
yang berdiam di dasar kolam.
"Kalian harus mengirim kepala orang-orang berilmu tinggi setiap tujuh hari sekali. Sanggup?"
"Sanggup!" jawab Basu Dewa cepat.
"Sebenarnya masih ada kesempatan untuk kalian berubah pikiran. Sebab dalam jangka waktu tujuh
hari tanpa menyerahkan sebuah kepala, maka kepala
kalian yang akan menjadi gantinya."
"Apapun resikonya akan kami sanggupi,
Eyang." jawab mereka bareng. Bersamaan dengan itu pula air kolam membuih hebat.
Asap kebiruan berbau
busuk mengepul lebih banyak. Terdengar juga suara
tawa parau yang menggelak-gelak...
"Hak hak hak hak hak hak hak hak hak hak...
Kalau begitu mulai sekarang kalian telah menjadi sekutu ku. Nah bukalah semua pakaian kalian, lalu bersila di hadapan kolam ini. Kalian akan menerima penyucian diri." Mendengar perintah Eyang Tumbal Segara, Basu Dewa dan Ambali
Songka langsung menuruti. Dalam waktu yang singkat, mereka sudah duduk
bersila telanjang bulat menghadap ke kolam.
Keduanya tidak berani membuka mata selama
bersila. Yang mereka rasakan hanyalah bau busuk
menyengat hidung. Mereka tak tahu kalau asap kebiruan itu mulai menyelubungi tubuh mereka berdua.
Terasa pula air kolam begitu dingin begitu menyiprat ke arah mereka. Air kolam
seakan menyiram mereka
berkali-kali. Tanpa sepengetahuan mereka pula sesuatu
muncul dari permukaan kolam yang menggolak. Sosok
tubuh berjubah hitam. Wajahnya tidak begitu jelas,
karena jubah itu langsung menutupinya. Ketika sosok
itu menyembul dan berdiri di atas permukaan air. Maka terlihatlah sosok menyeramkan. Kedua belah tangannya erat menggenggam dua buah kapak berkilat.
Kedua lengan itu terangkat ke atas saat ia tertawa
menggelegak. "Hak hak hak hak..." Suara tawa itu mengusir asap kebiruan dan masuk kembali ke
dasar kolam. Tempat itu menjadi terang dengan seketika. Sinar menyilaukan memancar memenuhi seluruh ruangan. Dua
sosok telanjang bulat menggigil. Ketika mereka membuka mata. Terlihatlah sosok tubuh berjubah hitam
berdiri di atas permukaan air.
"Beginilah rupa Eyang Tumbal Segara, cucuku... Dan kalian tidak perlu takut."
Sosok itu masih mengangkat kedua lengannya.
Terlihat dua buah kapak berkilat sangat tajam.
"Kalian telah ku sempurnakan sebagaimana
seutuhnya manusia." Mendengar ucapan itu, keduanya langsung memperhatikan tubuh mereka sendiri. Di
tubuh mereka tidak nampak lagi bekas-bekas lumuran
darah maupun luka. Ambali Songka tidak percaya saat
ia memegang luka-lukanya. Mulut serta daun telinganya yang semula sipat, kini telah utuh kembali. Begitu juga dengan Basu Dewa. Kelopak matanya yang
pecah telah sembuh tanpa bekas. Mereka tidak lebih
seperti bayi yang baru lahir. "Terima kasih, Eyang...
Terima kasih." "Hak hak hak hak hak... Mana pernah Eyang Tumbal Segara kepalang
tanggung dalam meno-long orang!" kata sosok berjubah hitam. Lalu tawanya
membahana lagi....
"Hak hak hak hak hak..." Suara tawa itu sampai terdengar keluar bangunan.
Burung-burung hantu
yang banyak bertengger di atas cabang pohon kering
beterbangan menyingkir. Juga kutungan-kutungan
kepala yang menancap pada tiap-tiap tonggak yang
berderet di sepanjang tangga batu bergetar hebat. Angin menderu-deru menimbulkan suara yang menakutkan. Bercampur aduk dengan suara tawa yang
menggelegak lantang. Sedangkan di kejauhan bangunan itu tetap tegar berdiri seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Entah apa yang
akan dilakukan Eyang Tumbal Segara terhadap dua kakak beradik di dalam bangunan itu. Yang jelas setelah suara tawa maupun angin berhenti, tempat itu kembali sunyi dan menyeram
Pendekar Kelana Sakti 11 Durjana Pemenggal Kepala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kan begitu dingin.
* * * 2 Dua kakak beradik itu sebenarnya murid-murid
dari Perguruan 'Bukit Sampar'. Mereka telah diusir
mentah-mentah dalam keadaan luka parah begitu oleh
guru besarnya sendiri. Liung Sanca guru besarnya merasa dipermalukan oleh perbuatan kedua muridnya
itu. Bagaimana tidak. Mereka kedapatan menganiaya dan memperkosa salah seorang murid perempuan dari Perguruan 'Guci Perak'. Untung saja kedua
perguruan itu berhubungan sangat baik. Kalau tidak,
sudah pasti orang-orang 'Guci Perak' tidak memberi
ampun terhadap dua pendekar cabul itu. Bagus pula
Nalantili belum terlanjur diperkosa. Meskipun begitu, Amarsa Rawut sebagai murid
tertua perguruan 'Guci
Perak' tidak kepalang tanggung memberi hajaran terhadap mereka. Liung Sanca sendiri tidak bisa bertindak apaapa melihat dua orang muridnya menerima hukuman
itu di depan mata. Terlebih lebih Amarsa Rawut menghajarnya dalam lingkungan Perguruan 'Bukit Sampar'.
Hal itu Liung Sanca sendiri yang meminta, karena sudah banyak kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh
Basu Dewa dan Ambili Songka. Tentunya perbuatan
mereka telah mencoreng nama besar Perguruan 'Bukit
Sampar'. Itulah sebabnya Liung Sanca mengusir mereka mentah-mentah. Dan juga tetap merahasiakan
keaiban itu. Tiap hari Liung Sanca mendatangi Perguruan
'Guci Perak' untuk sekedar meminta maaf dan memberi pengobatan terhadap gadis Nalantili. Atas dasar hubungan mereka yang sangat
erat, Ki Raka Banjaran
serta putranya Amarsa Rawut masih mau memandang
muka. Dan menganggapnya seolah-olah peristiwa itu
hanyalah kejadian kecil. Bagaimana pun Liung Sanca
merasa kikuk bila menghadapi para pentolan 'Guci Perak'. "Luka-luka Nalantili tidak begitu parah, Liung Sanca. Jangan terlalu
dipikirkan. Biar saja ini menjadi urusan kami." ujar Raka Banjaran setelah
melihat Liung Sanca memeriksa sekaligus mengobati gadis Nalantili. "Mana bisa
begitu... Kalau tidak ulah dua murid cabul itu. Nalantili tidak mungkin begini.
Sudah sewajarnya kalau aku sebagai guru mereka bertanggungjawab," tukas
Liung Sanca. Mereka berjalan beriringan menuju ruang tamu. Amarsa Rawut putra tunggal majikan
Perguruan 'Guci Perak' berada di situ.
"Sebenarnya aku merasa malu. Khususnya dihadapanmu, Ki... Sudah sewajarnya kalau Amarsa
Rawut anakmu menghajar mereka. Aku pun telah
mengusirnya." kata Liung Sanca lagi. Ki Raka Banjaran tersenyum.
"Kenapa harus demikian, seharusnya mereka
tidak perlu kau usir... Aku rasa sikap buruk mereka
masih bisa diatasi..." kata Ki Raka Banjaran. Ia mem-persilahkan Liung Sanca
duduk. Beberapa bantalan
empuk berlapis kain sutra sudah tersedia di ruangan
itu. "Paman Liung Sanca, maafkan atas kekasaran
yang telah kuperbuat terhadap Basu Dewa dan Ambali
Songka. Aku betul-betul sudah lupa daratan waktu
itu..." sapa Amarsa Rawut.
"Tidak! Tidak ada yang perlu disesalkan untuk
kedua murid cabul itu, Amarsa. Tindakanmu sangat
tepat. Kenapa tidak sekalian kau habisi saja keduanya.
Aku pun sudah merasa sangat dipermalukan oleh ulah
mereka " jawab Liung Sanca.
"Ah, mana boleh bertindak sampai sejauh itu."
tukas Amarsa Rawut. "Aku pun harus menjaga hubungan erat perguruan kita. Kalau pada hari itu sampai ada korban nyawa, apa kata rekan-rekan yang
lain?" sambung Amarsa Rawut lagi.
Liung Sanca terdiam mendengar ucapan putra
tunggal Ki Raka Banjaran. Pendapat itu memang benar. Peristiwa aib yang hampir menghancurkan kedua
perguruan itu tidak ada satu pun yang tahu. Dari kedua belah pihak sengaja merahasiakannya.
"Aku cukup bangga dengan putra tunggalmu
ini, Ki Raka Banjaran. Kau telah berhasil mendidiknya jadi manusia yang berguna.
Menyesal aku tidak memiliki anak seorang pun. Sekalinya punya dua murid andalan, malah melumuri mukaku dengan tahi." tutur Liung Sanca. Ucapan itu membuat
Ki Raka Banjaran
ngakak. "Ha ha ha ha... Itu salahmu sendiri, kenapa sejak kematian istrimu kau
tidak cepat-cepat kawin lagi.
Sekarang baru menyesalinya. Tapi jangan kau pikir
mengurus anak itu gampang. Satu orang macam
Amarsa Rawut saja aku sudah kewalahan." gurau Ki Raka Banjaran menimpali.
Merasa disinggung-singgung. Amarsa Rawut
menjadi salah tingkah. Ingin sebenarnya ia meninggalkan ruangan itu. Tapi ia tidak punya satu alasan pun.
Malah ia ikut terlibat dalam pembicaraan itu.
"Tentunya Perguruan 'Guci Perak' sudah punya
satu andalan. Dan bila terjadi sesuatu kau tidak perlu turun tangan, ki Raka
Banjaran." Liung Sanca memuji.
"Tidak juga, Paman." sela Amarsa Rawut.
"Ayah selalu merasa khawatir dan menganggap
aku masih bau kencur." Amarsa Rawut menggerutu.
"Masa anak sebesar ini masih belum dipercaya
untuk berdiri sendiri. Bukankah ayahmu sudah melihat bagaimana hebatnya kau sewaktu menghajar dua
muridku itu. Padahal ayahmu sendiri tahu, Basu Dewa
dan Ambali Songka cukup menguasai ilmu perguruan
'Bukit Sampar'. Aku sendiri pun hampir tidak percaya
akan kehebatanmu." Kata-kata Liung Sanca ditujukan pada Amarsa Rawut. Ki Raka
Banjaran mencibir.
"Jangan terlalu dipuji. Nanti tambah besar kepala. Baru memiliki ilmu seujung kuku sudah mau berontak dari pengawasan ku,"
"Tuh, Paman dengar sendirikan?" ujar Amarsa Rawut seraya bangkit dari bantalan
empuk. Ayahnya membiarkan anaknya melangkah meninggalkan ruangan. Tapi langkah-langkah Amarsa Rawut maupun
pembicaraan dua orang tua ini jadi terhenti mendadak.
Nalantili sudah keluar dari kamarnya dan sangat kebetulan sekali menemui mereka. Semuanya
nampak diam menatap gadis itu. Sebenarnya Nalantili
gadis yang cantik, namun dalam keadaan babak belur
begitu kecantikannya seakan hilang. Sudah lama pula
secara diam-diam Amarsa Rawut memperhatikannya.
Saat itu pun ia tidak lepas memandangi Nalantili. Gadis itu sendiri memandang penuh rasa dendam.
"Bagaimana perasaanmu, Nalantili. Aku tidak
bisa membayangkan betapa besar maluku." ucapan itu tulus keluar dari mulut Liung
Sanca. Ia lebih terpukul lagi karena Nalantili tidak menjawab. Ki Raka Banjaran
cepat mengatasi situasi bisu itu...
"Duduklah, Nalantili... Kau tidak boleh menyalahkan Liung Sanca. Jelas itu perbuatan Basu Dewa
dan Ambali Songka. Mereka sudah dihajar habis oleh
Amarsa Rawut. Dan aku rasa itu sudah lebih dari cukup." tegas Ki Raka Banjaran.
Setelah memberi hormat pada sang guru, gadis
itu duduk menggantikan posisi Amarsa Rawut. Putra
tunggal Ki Raka Banjaran tidak jadi keluar ruangan. Ia menatap terus sosok gadis
yang babak belur.
"Guru serta Paman Liung Sanca harus mengerti. Tidak mungkin bisa melupakan kejadian itu begitu
saja. Ingin rasanya aku sendiri turun tangan untuk
menghajar kekurangajaran mereka." ucap Nalantili menunduk. Ki Raka Banjaran
menghela nafas.
"Tidak perlu lagi diperpanjang. Liung Sanca sudah menyadari akan kesalahannya. Dan juga ia sudah
banyak membantu dalam mengobati luka-lukamu."
"Aku tidak memikirkan diriku, Guru. Semuanya
sudah terlanjur... Hanya aku khawatir kalau-kalau
perbuatannya akan terulang lagi terhadap gadis-gadis
lain, atau mungkin juga sudah ada yang menjadi korban nafsu binatang mereka." kata Nalantili hampir menangis. Ucapan itu cukup
menggedor jantung Liung
Sanca sebagai gurunya selalu menutupi tindak tanduk
mereka. Tapi kali ini....
"Terserah pada pendirianmu, Nalantili. Aku sebagai gurunya telah menghapus nama mereka di perguruan. Setelah kau sembuh betul, kau boleh membuat perhitungan dengan mereka. Aku sudah lepas
tangan. Mereka bukan tanggung jawab perguruan lagi." jawab Liung Sanca.
"Kalau begitu mereka akan kuhabisi!" Tiba-tiba saja Nalantili menggeram. Ki Raka
Banjaran sampai
terkejut. "Nalantili, keadaanmu masih belum pulih. Sebaiknya kembalilah ke kamar atau keluar menghirup
udara segar. Jangan memperuncing suasana. Aku tidak ingin pembicaraanku dengan Liung Sanca terganggu." Ki Raka Banjaran berkata tegas. Dengan lemah pula Nalantili bangkit.
Melihat itu pun Amarsa
Rawut mendapat kesempatan membantu gadis itu melangkah. Jalan yang ditujunya ke luar.
Di luar pekarangan itu pula banyak berkumpul
murid-murid Perguruan 'Guci Perak'. Mereka semua
memperhatikan langkah-langkah Amarsa Rawut begitu
hati-hati menuntun Nalantili menyusuri teras gedung.
Sampai menghadap ke arah kebun, Amarsa Rawut
menarik kursi kayu untuk Nalantili. Dengan hati-hati
pula laki-laki itu menuntun duduk. Dirasakan kesabaran Amarsa Rawut terhadap Nalantili. Gadis itu bukannya tidak tahu kalau putra tunggal gurunya ini sudah lama diam-diam memperhatikannya. Dan ia seperti bergetar setiap pandangan mereka bertemu. Apalagi
dalam keadaan seperti ini, sudah dua hari Amarsa Rawut mendampinginya. Pantas saja kalau putra tunggal
majikan Perguruan 'Guci Perak' itu sampai kalap turun tangan menghajar dua lakilaki hidung belang yang
menganiaya Nalantili. Sementara itu di dalam ruangan, Ki Raka Banjaran masih
duduk menghadap Liung
Sanca. "Maafkan kami, Liung Sanca. Semua muridmuridku memang keras kepala.. ujar Ki Raka Banjaran
mengusik kebisuaan mereka.
"Ah. Itu hak mereka. Aku pikir itu bukan keras
kepala namanya. Sudah sewajarnya kalau ia mengeluarkan isi hati di luar kesadarannya sendiri. Meskipun dengan kata-kata itu aku
sebenarnya terpukul. Mau
dibilang apa" Toh, aku hanya mengangkat bahu."
Liung Sanca mengeluarkan pendapat. Ki Raka Banjaran manggut-manggut.
"Untuk itulah kau jangan mengambil hati."
Liung Sanca tidak menjawab kecuali menggeleng mengumbar senyum. Pembicaraan mereka makin
hangat dan akrab. Memang begitulah sikap kedua pentolan perguruan itu. Baik Ki Raka Banjaran maupun
Liung Sanca selalu menjaga nama baik perguruan
yang mereka pimpin.
Hubungan erat dua perguruan itu sudah menjadi buah bibir dari perguruan-perguruan lain. Sudah
tentu hal ini membuat perguruan lain semakin iri. Tidak sedikit perguruan lain yang masuk untuk mempererat hubungan. Untuk itu pun Ki Raka Banjaran selalu menyambut dengan tangan terbuka. Dengan demikian persatuan rimba persilatan semakin kuat terjalin.
Dalam hal ini pun Perguruan 'Bukit Sampar'
ternyata lebih cocok berhubungan baik dengan orangorang 'Guci Perak'. Mereka saling bahu membahu menangani tugas. Antara murid-murid mereka pun semula berlangsung sangat baik. Seperti gadis Nalantili, sebelumnya memang akrab
dengan Basu Dewa dan Ambali Songka. Dua andalan Perguruan 'Bukit Sampar'
ini selain berilmu tinggi juga memiliki wajah yang sangat tampan. Itulah
sebabnya kalau dulu Nalantili selalu menghindar dari Amarsa Rawut putra tunggal gurunya. Tidak jarang Amarsa Rawut merasa cemburu
setiap Nalantili kedatangan dua orang murid dari Perguruan 'Bukit Sampai Tapi sekarang Amarsa Rawut
seperti mendapat kesempatan untuk lebih. dekat
menggiring Nalantili.
Gadis itu sendiri seperti sudah kehilangan pegangan. Ia tidak menyangka kalau dua kakak beradik
itu sampai tega menganiaya bahkan nekad bermaksud
memperkosanya. Keakraban itu seolah-olah sirna termakan api dendam.
"Aku telah salah menilai mu, Kakang Amarsa
Rawut. Tapi secepat ini pula bisa dirobah. Dua bajingan itu tidak akan lepas dari tanganku..." Nalantili memandang ke arah kebun.
Pandangannya kosong.
Amarsa Rawut tetap berdiri di sampingnya.
"Dua cecunguk itu bukan apa-apa dibanding
kita, Nalantili. Kau bisa melepaskan dendammu. Tapi
ayah menghendaki lain. Kalau mau bertindak, bertindaklah tanpa sepengetahuan ayahku... Percayalah aku
akan membantu." kata Amarsa Rawut memberi semangat. "Kakang lihat saja nanti. Hukuman yang pantas
untuk mereka adalah dikebiri!" Mata Nalantili berapi-api.
* * * 3 Bulan bersinar penuh menerangi pelataran Perguruan 'Guci Perak'. Murid-murid perguruan itu berkelompok-kelompok pada tiap-tiap ruang tidur mereka
yang menghadap halaman. Ada juga yang dudukduduk di depan teras membicarakan sesuatu. Tiga
Pendekar Kelana Sakti 11 Durjana Pemenggal Kepala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang nampak sedang membakar sampah di sudut pagar. Ketiga orang ini tidak henti-henti melirik ke
samping teras. Terkadang pula mereka saling bisik.
Seorang lagi nampak tertawa cekikikkan. Bagaimana
tidak" Sejak tadi mereka mengintip dua muda mudi
yang duduk berdampingan menghadap kebun. Mereka
tidak lain Amarsa Rawut bersama Nalantili. Hari itu
luka-luka memar di tubuh gadis itu mulai hilang... Itu berkat pengobatan rutin
dari Liung Sanca. Guru besar
dari Perguruan 'Bukit Sampar' ini hampir tiap hari
berkunjung. Kalau tidak untuk sekedar membicarakan soal
pendapat, paling-paling mereka mengisi kekosongan
dengan bermain catur jawa. Tidak ada yang berani
mengusik ketenangan mereka berdua. Apalagi keduanya berdiam pada tempat pribadi Ki Raka Banjaran.
Amarsa Rawut sendiri putra tunggalnya tidak berani
mengusik kalau tidak terpaksa betul.
"Ah, salah...! Salah besar. Tidak semestinya aku menjalankan mentri." pekik
Liung Sanca menghadapi papan catur. Ia mengepal tinjunya sendiri.
"Salah sendiri. Kenapa kurang hati-hati dalam
melangkah. Kalau begini rajamu terpaksa mati oleh
seorang prajurit." tukas Ki Raka Banjaran sambil mele-takkan buah catur. Liung
Sanca menarik nafas.
"Cukup saja sampai di sini permainan kita, Ki.
Aku merasa bukan tandinganmu lagi. Beberapa hari
ini kau selalu unggul." Liung Sanca memberesi semua buah catur yang berantakan.
"Itu karena kau kurang teliti. Sebenarnya langkah-langkahmu sudah bagus." jawab Ki Raka Banjaran. "Tapi nyatanya kau selalu
unggul, bukan?"
Liung Sanca tertawa mengekeh. Ia cepat bangkit. Lalu.... "Tidak terasa hari telah larut. Mengurusi permainan catur sampai lupa
pada urusan perguruan."
"Ah, kenapa mesti terburu-buru. Kita bisa main
sekali lagi."
"Percuma. Aku tidak bakal mampu menandingi
mu." jawab Liung Sanca. Terpaksa pula Ki Raka Banjaran mengantar sampai ke pintu
ruangan. Sampai di situ Liung Sanca berjalan sendiri menerobos pekarangan. Setelah Liung Sanca betul-betul lenyap dari pandangan mata, barulah Ki Raka Banjaran kembali masuk ke dalam kamar pribadinya. Maka tempat itu
kembali sunyi. Para murid yang tadi nampak dudukduduk di teras maupun di pekarangan sudah tidak
ada sama sekali. Begitu juga dengan Amarsa Rawut
serta Nalantili. Mereka sudah kembali ke kamarnya
masing-masing. Yang terdengar hanyalah letup-letup
api bakaran sampah.
Saat itu dalam keremangan sinar bulan, dua
sosok tubuh gesit melompati pagar halaman yang setinggi hampir tiga meter. Dua sosok itu langsung menyelinap pada bagian-bagian, paling gelap. Kedua mata mereka memandang mengitari
tiap-tiap kamar yang di
terangi dengan sebuah pelita. Suara merik binatang
malam tidak diperdulikannya. Keduanya menyusup
mengendap-endap semakin berani.
Tubuh mereka merapat ke tembok, tujuannya
sebuah kamar yang nampak lebih bagus dan terang
dari kamar lainnya. Dengan langkah-langkah yang halus mereka terus menyusuri teras mencapai ruangan
terang itu. Di pinggang mereka terselip masing-masing sebilah kapak berkilat.
Jelaslah kalau mereka berdua tidak lain Basu Dewa dan Ambali Songka.
"Biar aku yang memenggal kepala si keparat
Amarsa Rawut, Kakang." bisik Ambali Songka. Seperti biasa Basu Dewa jarang
sekali bicara. Namun begitu ia selalu memenuhi permintaan adiknya.
"Yang mana kamarnya" Di sini terlalu banyak
kamar. Sukar sekali kita menentukan adanya Amarsa
Rawut." Ambali Songka selalu banyak bicara. Basu Dewa memperhatikan ruangan
terang yang sudah berada depannya.
"Pasti ini kamarnya. Aku yakin betul." Sambil berkata demikian, Basu Dewa
melesat ke atas. Sebentar saja ia sudah berada di atas genting. Saat itu pun
Ambali Songka mengikuti. Ketika Ambali Songka berada di dekat kakaknya, Basu
Dewa sudah membuka
beberapa genting. Maka dengan mudah pula ia dapat
masuk melalui atap. Tanpa mengeluarkan suara keduanya tahu-tahu sudah berada dalam ruangan itu.
Ki Raka Banjaran terkejut bukan main. Belum
sempat ia memejamkan mata. Dia sudah melihat dua
orang tamu tak diundang. Apalagi kedatangannya itu
dengan cara yang tidak masuk diakal. Dua kakak beradik ini sendiri seperti tersentak. Mereka tidak mengira kalau di ruangan itu
ada Ki Raka Banjaran. Sudah
tentu mereka telah salah masuk. Dan Ki Raka Banjaran sudah terlanjur memergokinya.
"Tidak kusangka dua cecunguk keparat berani
datang ke sini. Apakah kalian sudah bosan hidup?"
hardik Ki Raka Banjaran. Basu Dewa maupun Ambali
Songka menyeringai. Dalam kesempatan itu majikan
Perguruan 'Guci Perak' menggertak pura-pura meraih
pedangnya. "Tua bangka keparat. Mulai detik ini umurmu
sudah tamat. Dan bakal menyusul pula anakmu
Amarsa Rawut." Kedua anak muda ini malah menarik gagang kapak. Keduanya bersikap
mulai menyerang.
Darah dalam dada Ki Raka Banjaran tersirat. Ia
seperti mengernyitkan alls. Ada sesuatu yang lain terhadap dua anak muda kakak
beradik ini. Ki Raka Banjaran masih ingat betul bagaimana Amarsa Rawut
menghajar mereka. Dalam ingatannya masih jelas saat
pedang anaknya menghantam putus telinga serta merobek mulut Ambali Songka. Basu Dewa pun demikian,
kelopak matanya sebelah hampir pecah nyaris buta.
Tapi sekarang yang dilihatnya seperti mimpi.
Tidak ada tanda-tanda bekas luka di bagian muka mereka. Ambali Songka tetap memiliki sepasang telinga
serta bibir yang masih mulus. Basu Dewa tetap dengan
sorot mata yang tajam tanpa cacat, mustahil sekali.
Bagaimana ini bisa terjadi" Ki Raka Banjaran melihat
sendiri Liung Sanca yang mengamuk menghajar mereka. "Tidak usah heran, Ki. Kami berdua memang
arwah-arwah gentayangan." kata Ambali Songka tidak kalah gertak.
"Kalau begitu kalian akan kukirim kembali ke
Akherat. Karena di sanalah tempat manusia-manusia
terkutuk macam kalian!" bentak Ki Raka Banjaran.
Lengannya cepat menyambar pedang. Maka sambaran
pedangnya langsung diarahkan pada posisi berdiri mereka... "Bweeet!" Desiran anginnya menderu nyaring.
Kedua kakak beradik ini cepat melompat ke atas
menghindari sambaran pedang laksana kilat.
Lalu secara berbarengan pula mereka menyambut dengan hantaman kapaknya Gerakan itu sangat
cepat. Sukar sekali bagi Ki Raka Banjaran untuk
menghindar, maka... "Craaas!" Sebelah lengannya ter-sambar kapak Basu Dewa.
Untung hanya tergores. Tapi ia cepat-cepat berbalik untuk menghadapi serangan
berikutnya. Ketika sambaran kapak Ambali Songka meluncur deras dari arah belakang. Ki Raka Banjaran memutar pedangnya ke belakang. Namun tangkisan dengan
pedang itu percuma. Saat senjata mereka beradu di belakang Ki Raka Banjaran. Benturan itu terdengar nyaring... "Traak!" Ki Raka Banjaran memekik, karena pedang dalam genggamannya patah
dua, bahkan kutungan pedangnya melukai punggungnya sendiri.
"Ha ha ha ha...! Sudah kubilang malam ini
nyawa rentamu akan berakhir!" kata Basu Dewa menyeringai. Kapaknya berkelebat lagi.
Ki Raka Banjaran cepat merunduk... "Weees!"
Hampir saja kepalanya putus. Hanya dalam beberapa
gebrakan saja majikan Perguruan 'Guci Perak' sudah
kewalahan. Ki Raka Banjaran sendiri benar-benar tidak mengerti. Kenapa mereka berdua tiba-tiba saja
mendadak hebat. Tiap serangan mereka selalu nyaris
merenggut nyawanya. Padahal Ki Raka Banjaran tahu
kepandaian Basu Dewa dan Ambali Songka jauh dibandingkan dengan anaknya. Kenapa malam ini justru
Ki Raka Banjaran yang bakal terpojok oleh babatanbabatan sepasang kapak maut.
Tentu saja dalam menghadapi dua kakak beradik yang sudah nekad ini, Ki Raka Banjaran harus
mengerahkan tenaganya. Tiap kali ia membalas serangan seakan sangat mudah dapat dielakkan. Ilmu pedang 'Guci Perak' seakan-akan tidak ada artinya sama
sekali. Basu Dewa makin gigih menyambarkan kapaknya ke arah kepala. Apalagi Ambali Songka. Serangannya menggebu-gebu berputar di sekitar tubuh Ki Raka
Banjaran. Meskipun pedang dalam genggaman Ki Raka
Banjaran telah buntung, ia tetap mempertahankan selembar nyawanya. Serangan-serangan mereka tidak
main-main lagi. Tiap babatan kapak mereka hampir
menyerupai sinar biru. Berkali-kali Ki Raka Banjaran
menyambut babatan-babatan kapak. Maka detik itu
juga pedangnya habis termakan.
Gerakan-gerakan Ki Raka Banjaran sendiri sudah bagaikan sebuah bola yang bergerak ke sana ke
mari berkelit menghindar setiap sambaran kapak. Dan
ia betul-betul sukar untuk membalas serangan. Manakala serangan kakak beradik ini tidak pernah ada habisnya. Sampai pada akhirnya tubuh Ki Raka Banjaran
terbanting keras membentur meja hingga berantakan.
Tubuh tua itu langsung kelojotan tanpa menjerit. Entah kapan kepala Ki Raka Banjaran menggelinding di
lantai. Tahu-tahu saja kedua kapak di tangan Basu
Dewa maupun Ambali Songka sudah bersimbah darah.
Begitu pun lantai di mana tubuh tanpa kepala Ki Raka
Banjaran berkelojotan. Lantai batu itu memerah banjir dengan darah.
Sebentar saja tubuh tanpa kepala itu kaku tak
berkutik. Dua kakak beradik yang masih menggenggam kapak seperti tertawa menyeringai. Basu Dewa
cepat menyambar kutungan kepala. Tanpa dibungkus
dengan kain atau apa mereka membawa pergi kutungan kepala Ki Raka Banjaran. Tentunya mereka melewati atap yang telah berlubang.
* * * 4 Masih pada malam yang sama, Liung Sanca belum juga dapat memejamkan mata. Mungkin karena
terlalu pusing akibat bermain Catur sambil minum
arak bersama Ki Raka Banjaran tadi. Sebentarsebentar ia mengeluh. Tenggorokannya pun terasa kering. Maka ia segera melangkah pada meja air yang ada
di sebelah pembaringannya.
Begitu jernih air yang jatuh ke dalam gelas, ia
sudah membayangkan akan begitu nikmat tenggorokannya yang kering tersiram air. Namun ketika ia
mengangkat gelas, tanpa sengaja pegangannya terlepas... "Trraaang!" Liung Sanca sendiri terkejut. Keluh-nya semakin panjang.
Tanpa memberesi pecahan beling ia mengganti dengan gelas yang lain.
Sementara itu pekarangan Perguruan 'Bukit
Sampar' betul-betul telah sepi. Semua penghuninya
sudah terlelap tidur. Pintu gerbang terkunci rapat.
Bangunan yang semuanya didirikan dengan kayu itu
dikelilingi dengan pagar bambu setinggi dua meteran.
Hanya beberapa lampu pelita yang menerangi pekarangan perguruan.
Bulan yang tadi bersinar penuh mendadak gelap tertutup awan tebal. Sekalipun dalam keadaan gelap, masih kelihatan dua sosok melompati pagar. Lesatan tubuh mereka begitu halus. Dan hampir-hampir
tidak mengeluarkan suara saat kaki mereka menyentuh tanah. Dengan sekali lesatan lagi pembicaraannya
itu. Siapa lagi orang yang berdiri dibalik pintu kalau bukan Basu Dewa dan
Ambali Songka. Bagaimana pun
Liung Sanca masih dapat mengenali suara itu.
"Kalian bukan lagi muridku. Untuk apa datang
di tengah malam buta begini. Pergi saja kalian. Orang-orang 'Guci Perak' tidak
akan memberi ampun lagi bila menemukan mu." bentak Liung Sanca sengit.
"Kataku buka pintu! Ada yang ingin ku persembahkan padamu!" jelas itu suara Ambali Songka.
"Keparat! Berani bicara sekasar itu padaku"
Lebih baik kalian kubikin mampus saja!" Liung Sanca makin geram. Sebelum membuka
pintu langkahnya
menuju pada senjata trisula yang tergantung di dinding. Namun sebelum Liung Sanca meraih senjatanya. Pintu kamar hancur berderak. Basu Dewa tidak
kepalang tanggung mendobrak pintu kamar dengan
kampaknya. Setelah menyambar trisulanya, Liung Sanca
cepat berbalik. Saat itu pun Basu Dewa melemparkan
sesuatu ke arah mantan gurunya. Diperlakukan demikian Liung Sanca cepat menyambut. Trisulanya menjurus ke depan. Sesuatu yang dilemparkan Basu Dewa
menembus tepat di ujung Trisula. Tapi setelah ia dapat melihat ujung trisulanya,
Liung Sanca memekik nyaring. Setengah jijik dan setengah tidak percaya kalau
kutungan kepala Ki Raka Banjaran telah berada di
ujung senjatanya masih bersimbah darah.
"Dasar terkutuk. Kalian apakan Ki Raka Banjaran ini!" Liung Sanca menghardik. Ia sendiri tidak berani menyentuh kutungan
kepala itu. Tubuhnya bergetar menahan amarah. Basu Dewa dan Ambali Songka
hanya tertawa melihat sikap Liung Sanca.
"Dia meminta agar mampus bersama denganmu, Liung Sanca! Hanya itu pesannya." Suara Ambali Songka datar. Kapaknya yang
berkilat tajam siap mengarah. "Bagaimana pun ini bukan perbuatan kalian.
Pendekar Kelana Sakti 11 Durjana Pemenggal Kepala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kalian tidak mungkin dapat melakukan ini. Majulah
manusia-manusia terkutuk! Rupanya kalian harus
mampus oleh tanganku sendiri!" Liung Sanca menarik Trisulanya, maka kutungan
kepala menjijikkan itu jatuh dengan sendirinya.
"Sebenarnya aku hanya membutuhkan kepalamu, Liung Sanca! Lain dari itu tidak!" kata Basu De-wa. Tubuhnya bergeser ke
samping. Begitu juga dengan Ambali Songka. Keduanya sama-sama menyingkir
menghindari terjangan Liung Sanca yang bagaikan
banteng. Senjata trisula berputar terus mengarah bergantian pada Basu Dewa dan Ambali Songka. Dua
anak muda itu dengan mudah dapat menghindar walau serangan Liung Sanca segencar apa pun. Hal itu
membuat mantan guru mereka jadi tercengang. Diamdiam Liung Sanca mengakui akan keganjilan kedua
bekas muridnya ini.
Setan apa gerangan yang menyanding di dalam
tubuh mereka. Sampai-sampai serangan Liung Sanca
yang paling dahsyat sekalipun dapat dihindari. Malah
kedua kakak beradik ini dengan tenang menyambut
setiap serangan. Terkejut pula pada satu kesempatan
Liung Sanca melihat sebelah telinga Ambali Songka
masih tetap utuh.
Sambil menyerang Liung Sanca masih teringat
di mana ia menguburkan kutungan sebelah telinga
Ambali Songka. Bagaimana mungkin sekarang bisa
utuh kembali. Masih dalam keterheranannya, mendadak sebuah hantaman bersarang telak di punggung
Liung Sanca. Ia dapat melihat siapa yang baru saja
melepaskan hantaman dahsyat itu. Basu Dewa.
Cepat Liung Sanca membalas serangan Trisulanya menyambar.
"Traang!"
Ambali Songka menyambut dengan sabetan
kapak. Terasa benturan senjata itu sampai berdenyut
di lengan Liung Sanca. Belum hilang getaran itu menyusul lagi sambaran kapak mengarah pada batang
leher... "Bweeet!" Sambaran itu luput karena Liung Sanca cepat merunduk. Namun
ia tidak dapat menge-lakkan tendangan dari Basu Dewa. Tak pelak lagi tubuh Liung Sanca berguling.
"Cepat, Kakang! Kita sudah tidak punya waktu
lagi!" teriak Ambali Songka. Maka dalam keadaan terguling itu Liung Sanca
mendapat serangan lagi. Leretan sinar biru yang berasal dari kapak Basu Dewa
mengarah deras. Liung Sanca dapat melihat betapa
cepat kapak itu tanpa berkedip. Tanpa merasakan apaapa pula saat kapak itu menyambar putus leher Liung
Sanca. Kepala kutung Liung Sanca langsung berdegum
di lantai. Hanya dengan sekali hentakkan kaki Basu
Dewa, kutungan kepala itu mencelat lagi ke atas. Maka dengan mudah Ambali Songka
menyambut dengan
tangkapan lengan kirinya.
Pada akhirnya mereka berdua bergegas ke luar
membawa dua kutungan kepala sekaligus. Satu kepala
Ki Raka Banjaran satu lagi kepala Liung Sanca. Namun langkah-langkah mereka mendadak terhenti. Mereka terhalang oleh belasan murid Liung Sanca yang
berdatangan setelah mendengar suara ribut-ribut di
dalam kamar sang guru.
Kedapatan pula Basu Dewa dan Ambali Sangka
yang bermaksud meninggalkan ruangan itu. Sudah
tentu semua murid-murid Liung Sanca dapat melihat
apa yang di bawa oleh kedua kakak beradik ini. Karuan saja mereka langsung mengurung.
"Sungguh keterlaluan tindakan kalian. Mana
bisa kami membiarkan kejadian ini.
Kami semua murid atas nama Perguruan 'Bukit
Sampar', terpaksa akan membuat perhitungan." bentak salah seorang murid Liung
Sanca. "Heh! Tidak lihatkah kalau kepala guru mu
yang sombong ini sudah berada di tanganku?" jawab Basu Dewa sambil menunjukkan
kutungan kepala
Liung Sanca ke arah mereka. Semuanya bergidik menatap kutungan kepala dengan mata melotot.
"Itu tandanya kalian tidak ada artinya sama sekali bagi kami. Ayo majulah, sudah semestinya kalian
berbakti pada Liung Sanca." sambut Ambali Songka.
"Keparat! Kalian bukan lagi orang-orang 'Bukit
Sampar' apa yang perlu ditakuti" Serang!"
Maka tidak kepalang orang-orang itu langsung
mengepung. Malah sudah ada yang menyerang membabatkan pedang. Namun nasib mereka begitu buruk.
Mereka terlalu memandang remeh dan bernafsu. Tidak
menyangka kalau sambaran kapak Basu Dewa membawa maut. Sekali sabet menyilang. Tiga orang terguling kelojotan dengan isi perut menghambur ke luar.
Ambali Songka tidak tinggal diam. Tanpa ragu
ia maju menghadapi kepungan yang sebenarnya bekas
saudara-saudara seperguruannya. Sambaransambaran kapaknya bergerak mengeluarkan sinar biru
mencabut nyawa tanpa ampun. Setiap sambaran kapaknya itu selalu dibarengi dengan jerit kesakitan yang menyayat. Bagai srigalasrigala lapar dua kakak beradik ini buas mencabik-cabik setiap tubuh para pengepung. "Kepala-kepala kalian tidak cukup berharga ba-gi kami. Tapi bukan berarti
kami segan untuk mengirim kalian ke akherat menyusul Liung Sanca.
Hreaaaaaaat!" teriak Basu Dewa, tindakannya lebih sadis. Setiap sambaran
kapaknya mampu mengguling-kan lima orang sekaligus. Korbannya rata-rata tewas
dengan tenggorokan yang menyemburkan darah.
Melihat itu pun Ambali Songka makin bersemangat. Ia melancarkan serangan lebih gencar. Hasilnya membuat para murid Liung Sanca merasa kewalahan. Hanya dalam tempo yang sangat singkat mereka
tinggal empat orang, Tentu saja keempat orang ini
menjadi gentar. Apalagi melihat semua saudara seperguruannya telah tewas bergelimpangan bersimbah darah. "Mulai besok tidak ada lagi nama besar Perguruan 'Bukit Sampar'. Sebab..."
Basu Dewa tidak melanjutkan kata-katanya. Ia sengaja melemparkan kapaknya. Seperti bumerang kapak itu melayang. Menyambari kepala empat orang yang masih berusaha menyerang. "Guru dan semua murid-muridnya sudah habis tanpa sisa!" Basu Dewa
melanjutkan ucapannya. Saat itu kapaknya telah kembali dalam genggaman.
Bersamaan dengan itu pula empat orang tanpa kepala jatuh
kelojotan. Ambali Songka sudah berdiri tenang memegangi kapaknya yang berlumuran darah.
"Dua pentolan rimba persilatan sudah kita
singkirkan, Kakang. Kita bakal merajai dunia. Seluruh orang-orang persilatan
dari empat penjuru akan berte-kuk lutut." kata Ambali Songka.
"Hm... Mereka semua akan menyerahkan kepalanya!" sahut Basu Dewa. Ia memungut kembali kutungan kepala Ki Raka Banjaran. Ambali Songka mengambil kepala Liung Sanca. Tanpa bicara lagi keduanya pergi. * * * Ketika matahari mulai nampak dari balik bukit,
orang-orang Perguruan 'Guci Perak' pating serabut
menuju ke sebuah ruangan. Mereka semua terkejut
mendengar teriakan Nalantili yang bermaksud akan
mengantarkan teh hangat untuk Ki Raka Banjaran.
Mendengar itu pun Amarsa Rawut langsung
berlari. Dilihatnya ruangan pribadi sang ayah telah
penuh. Di pintu kamar telah penuh sesak. Ketika
Amarsa Rawut muncul orang-orang itu sengaja memberi jalan. Anak muda itu pun langsung mendapatkan
Nalantili duduk menangisi tubuh Ki Raka Banjaran.
Amarsa Rawut hampir berteriak menatap tubuh sang
ayah terbujur bersimbah darah kering tanpa kepala.
"Ayah...." pekik Amarsa Rawut tertahan. Seluruh ruangan itu telah berantakan,
papan serta buah
catur berserakan.
"Pastilah ini perbuatan Liung Sanca. Bukankah
semalam ia berada di sini, perginya pun tidak ketahuan lagi." kata Nalantili.
"Betul, Tuan Muda. Selama ini Liung Sanca lah
yang sering menjumpai guru. Siapa lagi kalau bukan
dia. Kita harus menuntut balas!" Orang-orang itu mulai masuk memenuhi ruangan.
"Ini pasti menyangkut persoalan Nalantili.
Liung Sanca sengaja balas dendam atas perlakuan
Tuan muda Amarsa Rawut terhadap kedua muridnya."
Yang lain menimpali. Seketika itu juga Amarsa Rawut
menggeram. Dengan penuh amarah ia bangkit.
"Sebagian orang mengurus di sini. Sebagian lagi
ikut aku. Kita akan menagih hutang darah ini sekarang juga." Nada suara Amarsa Rawut datar menguasai dirinya. "Apa maksudnya ia membawa kepala Ayahku.
Betul-betul suatu penghinaan!" Langkahnya cepat keluar. Nalantili ikut menyusul.
Sedangkan di belakangnya hampir semua murid Perguruan 'Guci Perak' mengikuti mereka. Pedang Amarsa Rawut sudah terselip di pinggang. Nalantili malah sudah bersiap-siap dengan pedang terhunus di tangan. Orang-orang yang mengiringi
juga begitu. Masing-masing terselip senjata di pinggang mereka. Dari golok
sampai pedang bahkan tombak.
Keberangkatan mereka menuju Perguruan
'Bukit Sampar' sangat menyolok. Sudah tentu menjadi
bahan perhatian orang-orang sedesanya. Tanpa berani
pula orang-orang kampung berani menegur atau
menghalangi langkah-langkah mereka.
Orang-orang Perguruan 'Guci Perak' sangatlah
disegani di desa itu. Sepak terjangnya selalu melindungi rakyat. Membela keadilan sampai tuntas. Kalau
hari ini orang-orang kampung melihat mereka terburuburu dengan senjata di tangan, mereka sudah mengira
pastilah ada persoalan yang teramat besar. Belum pernah orang-orang kampung melihat semua orang Perguruan 'Guci Perak' sebanyak itu dalam menghadapi
satu urusan. Dari kejauhan mereka sudah melihat Perguruan 'Bukit Sampar' berdiri tenang. Pintu gerbangnya
masih tertutup rapat. Langkah-langkah mereka dipercepat. * * * 5 "Dar...! Dar...! Dar...! Amarsa Rawut menggedor
pintu gerbang kuat-kuat. Pintu tidak mau terbuka.
Kesal sekali ia menendangi pintu. Nalantili yang sudah terlanjur dendam mendapat
jalan pintas. Tubuh ram-pingnya melesat ke atas melompati pagar. Melihat cara
Nalantili yang lain mengikuti. Saat itu pun Amarsa
Rawut sudah dapat mendobrak pintu.
Sampai di pekarangan mereka langsung menyerbu ke arah bangunan. Mereka tidak berani menyerang sebelum mendapat perintah dari Amarsa Rawut.
Nalantili dan Amarsa Rawut berjalan ke depan menatap bangunan yang nampak begitu sunyi. Mereka menatap pintu seperti dirusak orang. Kedua daun pintunya sudah menggeletak di tanah topang tindih. Mereka jadi penasaran.
Amarsa Rawut memberanikan diri masuk ke
dalam. Pedangnya siap dilancarkan pada siapa saja
yang ditemuinya. Namun nyatanya ruangan itu betulbetul sepi. Tidak satupun orang-orang 'Bukit Sampar'
yang mereka dapati. Nalantili langsung mengobrakabrik seluruh ruangan itu.
Yang lain mengikuti langkah-langkah Amarsa
Rawut. Ketika mereka sampai pada ruangan paling dalam. Mereka menghentikan langkah. Semua mata memandang ke arah pada belasan mayat yang bergelimpangan mengerikan. Karuan saja mereka semua meluruk ke arah itu.
Kemarahan mereka tiba-tiba saja sirna saat
melihat sosok tubuh tanpa kepala. Meskipun tubuh itu
tanpa kepala, mereka masih bisa mengenalinya. Siapa
lagi selain Liung Sanca.
"Astaga... Paman Liung Sanca." Amarsa Rawut mendekati sosok itu. "Paman pun
mengalami nasib
yang sama seperti ayah."
"Tuan muda... Kepalanya pun hilang. Siapa
orang yang tega berbuat seperti ini. Dan yang lebih
mengerikan lagi semua anak buah Liung Sanca tewas
semua. Beberapa orang kehilangan kepala. Tapi masih
utuh berada di sini, kecuali kepala Liung Sanca. Pembunuh itu sengaja membawanya."
Nalantili memasukkan kembali pedangnya ke
dalam sarung. Ia melangkah pelan mendekati kerumunan itu. "Mungkinkah ini perbuatan dua murid terkutuk
itu?" sela Nalantili. Sorot mata Amarsa Rawut menga-takan tidak.
"Pembunuhan ini seperti sengaja telah di rencanakan. Dalam satu malam ia bisa mengalahkan ayah
serta Liung Sanca. Pastilah pembunuh itu memiliki ilmu yang sangat tangguh." kata Nalantili lagi.
"Setangguh apapun dia, kita harus dapat mencarinya. Ini satu pukulan berat bagi orang-orang rimba persilatan. Sebaiknya
kita beri kabar seluruh penjuru.
Biar kita mengurusi mayat-mayat ini."
Orang-orang Perguruan 'Guci Perak' mulai
memberesi tempat itu. Satu demi satu mayat-mayat itu
dikeluarkan. Amarsa Rawut melangkah ke luar dengan
lemas. Dendamnya semakin bertumpuk.
"Nalantili... Untuk sementara perguruan kita
tutup dulu. Sebelum kita tahu di mana adanya si Pemenggal kepala itu berada aku tak akan kembali."
"Kau mau pergi, Kakang" Di mana tanggung
jawabmu terhadap perguruan?" balas Nalantili.
"Tetap diam di perguruan bukan berarti mele
Pendekar Kelana Sakti 11 Durjana Pemenggal Kepala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
paskan tanggung jawab, Nalantili. Justru kalau aku
bertanggung jawab atas kematian ayah dan perguruan
harus pergi mencari pembunuh ayahku."
"Kalau begitu aku ikut." tukas Nalantili. "Jangan. Bukankah kau sendiri punya
urusan dengan Basu Dewa dan Ambali Soka?"
"Tapi soal perguruan lebih penting."
"Saat ini pikiranku sedang kalut, Nalantili. Jangan membantah perintahku. Kau
harus tetap mengurus perguruan."
"Kakang, kau..." Amarsa Rawut tidak perduli. Ia terus melangkah meninggalkan
Nalantili berdiri sendirian. Dipandanginya Amarsa Rawut pergi semakin
jauh. * * * Di puncak bukit, reruntuhan bangunan batu
menyeramkan itu bergetar. Juga pohon kering yang
tumbuh di samping bangunan seakan berderak-derak.
Terdengar suara tawa yang menggema dari dalam bangunan tua itu. Bau busuk masih menyengat. Tangga
batu yang berliku memanjang ke bawah tetap diiringi
dengan tonggak-tonggak kayu. Di mana setiap tonggaknya menancap sebuah kutungan kepala.
"Hak hak hak hak...." Gema suara tawa itu seakan menggetarkan jantung. Namun
bagi Basu Dewa dan Ambali Songka tidaklah membuat takut atau pun
ngeri. Ia tetap berdiri di dalam ruangan gelap menghadap sebuah kolam. Di bawah
kaki mereka menggeletak
kutungan kepala masih meneteskan darah.
"Hak hak hak hak...! Bagus, Cucuku... bagus...!
Kalian telah menepati janji. Baru saja enam hari kalian sudah mengantarkan dua
kepala sekaligus.... Hak hak
hak...!" Suara itu bersumber dari dasar kolam. Saat itu pun permukaan air kolam
menggolak. Dua kakak beradik ini tetap diam memandangi permukaan air membuih. Dari situ pula muncul sosok berjubah hitam.
"Maaf, Eyang Tumbal Segara.... Harap Eyang
sudi menerima persembahan ini." Basu Dewa mengha-turkan sembah. Ambali Songka
mengikuti gerakan kakaknya. "Saat ini kami belum bisa membawa kepala Amarsa Rawut. Tapi kami cukup
puas dengan ilmu
serta kapak yang eyang titipkan pada kami. Kedahsyatannya melebihi tanpa batas. Kami tidak menyangka
kalau kami dapat membawa kepala mereka ini." kata Basu Dewa menunjuk ke bawah
kakinya. "Hak hak hak hak...! Setelah kau memiliki ilmu
dariku, Amarsa Rawut tidak berarti lagi bagi kalian.
Dia tidak lebih penting. Masih banyak orang-orang
yang berilmu tinggi di seluruh penjuru angin. Justru
kepala mereka yang ku inginkan." Suara Eyang Tumbal Segara menggema.
"Memang demikian tujuan kami, Eyang. Kami
berdua bermaksud akan merajai dunia persilatan. Tindakan kami tidak akan kepalang tanggung." jawab Ba-su Dewa.
"Bagus...! Bagus...! Orang-orang seperti kalianlah yang pantas bersekutu dengan ku!! tapi ingat...
perjanjiannya setiap tujuh hari sekali kalian harus
menyerahkan sebuah kepala padaku. Kalau sampai
gagal...."
"Kami paham, Eyang... Eyang Tumbal Segara
tidak perlu khawatir. Kami pasti akan menepati janji."
Basu Dewa memotong pembicaraan Eyang Tumbal Segara. Seketika itu juga tawa Eyang Tumbal Segara
menggelegak lagi. Permukaan air kolam membuih lebih
deras. "Tancapkan dua kepala itu pada tonggak yang sudah kusediakan, Cucuku....
Di sana masih banyak
tonggak-tonggak yang kosong menunggu." Sosok hitam itu menunjuk ke luar.
Pandangan Basu Dewa dan Ambali Songka mengikuti. Mereka menatap puluhan tonggak berderet mengikuti liku-liku tangga batu yang menurun ke bawah.
"Sebentar lagi tonggak-tonggak itu akan penuh
dengan kepala-kepala manusia Eyang.... Kami telah
berjanji akan bersekutu denganmu sungguh-sungguh."
Basu Dewa menatap tajam ke arah Eyang Tumbal Segara. Ambali Songka melangkah ke luar membawa
kutungan kepala. Ia menuruni anak tangga batu. Dilewatinya tonggak-tonggak
kayu yang telah menancap kutungan-kutungan
kepala membusuk. Bahkan ada juga yang telah tinggal
tulang tengkorak. Sampai pada tonggak-tonggak yang
kosong, Ambali Songka menancapkan kepala-kepala
yang dibawanya.
"Huak hak hak hak...! Aku merestui kalian merajai dunia persilatan, Cucuku.... Asal kalian pun menepati janji.... Hak hak
hak hak...!"
* * * Pemuda yang mengenakan baju kulit binatang
ini sejak tadi duduk di bawah pohon rindang. Ia menggeleng-gelengkan kepala mengumbar senyum. Sudah
dua hari ini ia melihat para penduduk Desa Babalengka mengemasi barang-barangnya. Hari ini lebih ramai
lagi. Hampir semua penduduk mengumpulkan barangbarang di atas pedati.
Pemuda yang tidak lain Pendekar Kelana Sakti
ini jadi tidak habis pikir. Dan sudah menduga kalau
penduduk itu hendak mengungsi. Kenapa mereka semua harus meninggalkan desa yang subur ini" Dipandanginya semua kesibukan para penduduk. Juga sekeliling desa. Di sebelah sana memang ada sebuah gunung berapi, tapi tidak ada tanda-tanda mau meletus.
Apa yang menyebabkan mereka begitu ketakutan"
Tanya Wintara dalam hati.
Beberapa pedati sudah pergi meninggalkan desa. Wintara merasakan kalau kepergian mereka sangatlah buru-buru. Ia tersenyum pula saat beberapa
anak kecil melambai-lambaikan tangannya di atas
tumpukan barang. Pedati-pedati itu bergerak berbaris
menuju ke satu arah.
Paling terakhir Wintara melihat satu keluarga
kaya yang mengemasi barang-barangnya. Di depan
rumahnya yang cukup bagus telah menunggu empat
buah pedati yang lebih besar dari pedati-pedati tetang-ganya. Tergerak pula hati
Wintara untuk mendekati
orang kaya itu.
Anak istrinya telah duduk memegang barangbarang di atas pedati. Dua orang pelayannya membantu majikannya memuat barang. Orang kaya itu langsung menoleh saat Wintara sudah berdiri di sampingnya. Wintara sendiri mendadak terkejut, orang kaya itu pucat pasi seketika. Dua
orang pelayannya langsung
berdiri bersikap melindungi majikannya.
"Paman, apa sebenarnya yang terjadi pada
kampung ini" Kenapa semua penduduknya pergi mengungsi?" tanya Wintara seramah mungkin. Melihat sikap baik Wintara, orang kaya
itu mengernyitkan alis.
Ia memberi aba-aba pada dua pelayannya agar meneruskan memuati barang-barangnya.
"Anak muda.... Sebaiknya kau pun harus cepat-cepat menyingkir dari sini. Desa ini sudah terancam oleh perampok yang menamakan dirinya Durjana
Pemenggal Kepala." Keterangan orang kaya ini membuat Wintara tercengang.
"Durjana Pemenggal Kepala?" desah Wintara
seakan tak percaya.
"Hm... Durjana-durjana itu buas bagai serigala
yang selalu memenggali kepala korban-korbannya." ka-ta orang kaya itu lagi. Dua
pelayannya menghampirinya. "Tuan, semua sudah beres. Kita bisa berangkat sekarang." Orang kaya itu
tidak menyahut, ia malah meneruskan pembicaraannya dengan Wintara.
"Kau lihat sendiri. Kampung ini telah kosong.
Kami tidak ingin tinggal di sini sendirian!"
Wintara mengawasi sekeliling kampung. Memang telah sunyi. Kecuali pedati-pedati milik orang
kaya ini yang penuh dengan barang-barang. Anak istrinya sudah menunggu di atas tumpukan barang. Sepertinya mereka sudah tidak sabaran untuk segera
meninggalkan desa.
"Maaf anak muda, kami harus pergi sekarang.
Kalau pun kau mau ikut, silahkan. Pedati-pedati milikku masih bisa kau tumpangi." ujar orang kaya itu seraya melangkah menuju ke
arah pedati paling depan,
di mana anak istrinya menunggu. Wintara baru saja
mau melangkah, tapi tiba-tiba sajak kuda-kuda penarik pedati itu meringkik-ringkik seakan berontak. Susah payah orang kaya itu membujuk.
Ternyata di hadapan mereka telah menghadang
tiga orang bertampang menyeramkan. Tiga orang itu
menunggangi kuda dan mengatur langkah-langkah
kudanya menghampiri mereka. Wintara memandang
tanpa berkedip.
"Bagus, kami belum datang terlambat, Raden.
Di kampung ini cuma kau satu-satunya orang terkaya.
Sasaran kami cuma kau." kata salah seorang yang mulai turun dari kuda. Nampaklah
sebilah golok selebar
telapak tangan terselip di pinggang. Orang kaya itu
mendadak mundur, anak istrinya ketakutan di atas
pedati. "Kami menginginkan barang-barangmu, Dan
kau boleh berbaris di sana untuk ku penggal satu demi satu." Dua orang
menyeramkan turun mengikuti sa-habatnya. Mereka sudah mencabut golok. Dua
pelayan orang kaya itu berdiri gemetar melihat majikannya terancam. "Sabar, Tuan-tuan...." sela Wintara, tapi ia tidak meneruskan kata-katanya,
karena dua orang itu
langsung memberi tatapan yang sangar.
"Rupamu lebih buruk daripada pelayan itu,
Anak muda. Bahkan nyawamu lebih murah. Kami utusan-utusan Durjana Pemenggal Kepala tidak sampai
hati menghirup darah segarmu, menyingkirlah!" Sambil berkata begitu, ia
mendorong Wintara.
* * * 6 Wintara hanya mundur selangkah saat orang
yang mengaku utusan Durjana Pemenggal Kepala
mendorong. Pendekar Kelana Sakti ini malah nyengir.
"Masih ada juga seorang durjana yang bermurah hati. Mujur benar nasibku hari ini." kata Wintara yang sebenarnya mengejek.
"Kau terlalu banyak mulut, Anak muda! Rupanya kau ingin mampus lebih dulu!" Goloknya berkelebat cepat menghantam
tenggorokan. Namun sebelum
golok itu menyentuh, Wintara menepis dengan sebelah
tangannya. Orang itu memekik hebat, goloknya terlepas dari pergelangan tangan. Lalu Wintara menambahkan dengan tendangan memutar... "Des!" Kontan terpental menimbun kedua
temannya yang masih berdiri keheranan.
Wintara menarik orang kaya itu ke belakangnya. Tiga orang utusan Durjana
Pemenggal Kepala siap menyerang serempak.
Wintara tenang menghadapi mereka. Ketiganya langsung melancarkan babatan golok. Tanpa bergeser Wintara memutar kedua lengannya.... "Splak...! Bug...!
Bug...!" Dua orang terjungkal sambil memeganggi da-da, seorang lagi seloyongan
menjerit-jerit dengan lengan yang patah.
"Aku jadi heran, kemampuan kalian sebenarnya cuma untuk menakut-nakuti anjing. Kenapa orang
sekampung ini pada takut terhadap kalian?" Wintara bertolak pinggang memandangi
mereka bangkit.
"Kau boleh tertawa, Anak muda. Kelak kau
akan tahu rasa akibatnya Durjana Pemenggal Kepala
tidak akan mengampuni mu!" Mereka mengancam. Ketiganya menaiki kudanya lagi.
"Begitu bodohkah majikan kalian" Mana pantas
kalian jadi utusan-utusannya." ejek Wintara lagi.
"Kau akan lari terbirit-birit bila berhadapan
dengan majikan kami, Anak muda! Kepalamu bakal
menggelinding ke tanah!" Seseorang menggertak. Wintara nyengir....
"Mendengar namanya jantungku memang hampir copot, tapi justru aku makin penasaran untuk melihat rupa si durjana." Wintara menantang. Ketiga orang itu tidak menyahut,
mereka sudah menghela
kuda-kudanya. Sebentar saja kuda-kuda itu telah menggelinding meninggalkan mulut desa. Yang nampak hanyalah
kepulan-kepulan asap debu di bawah derap kaki-kaki
kuda mereka. Orang kaya ini memandang kagum pada
Wintara yang berdiri di hadapannya. Ia tidak menyangka akan kehebatan serta keberanian pemuda
yang baru ditemuinya ini. "Anak muda, menyingkirlah dari sini! Durjana Pemenggal
Kepala pasti akan datang ke sini untuk menemuimu. Kau tak bakal mampu
mengalahkannya. Menurut kabar sudah banyak orangorang persilatan macam kau yang tewas di tangannya."
Wintara menghargai kekhawatiran orang kaya itu...
"Sebaiknya kau ikut kami, mungkin itu akan
lebih baik daripada bakal berhadapan dengan si Durjana Pemenggal Kepala. Orang kaya itu mulai naik ke
atas pedati di samping anak istrinya. Dua pelayannya
menaiki pedati dengan gemetar.
"Terima kasih, Paman. Aku sudah terlanjur untuk menemui si Durjana Pemenggal Kepala. Kalaupun
nanti aku tewas di tangannya, mungkin sudah menjadi
takdir ku." jawab Wintara.
"Aku sudah cukup menasehati mu. Aku tidak
akan memaksa atau menunggu lagi Karena kami harus pergi mengungsi secepatnya."
"Selamat jalan, Paman. Aku doakan selamat dalam perjalanan."
Tanpa berkata apa-apa lagi ke empat pedati terisi penuh dengan muatan barang-barang melaju. Pedati-pedati itu menyusul iring-iringan pedati lainnya
yang sudah pergi menjauh. Nampak seperti kereta
yang berderet menyusuri sepanjang jalan.
Pendekar Kelana Sakti 11 Durjana Pemenggal Kepala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wintara belum beranjak dari tempatnya. Kedua
matanya terus memandangi kesibukan-kesibukan
orang kampung mengendalikan pedati-pedati. Hanya
dalam beberapa saat kampung itu menjadi sepi, kosong melompong. Wintara berdiri bagai patung di tengah-tengah pelataran desa.
Sampai sejauh mana kekejaman Durjana Pemenggal Kepala itu, sehingga seluruh penduduk kampung ini rela meninggalkan tanah kelahirannya. Kalau
cuma nama kosong belaka tidak mungkin semua penduduk mengungsi. Yang jelas ini suatu cengkraman
kekejaman di luar batas. Seperti apa kehebatan Durjana Pemenggal Kepala sehingga orang-orang dari rimba
persilatan tidak ada yang sanggup mengatasinya"
Mustahil pula kalau orang-orang persilatan tetap berpangku tangan. Toh dengan munculnya tokoh
sesat ini sudah barang tentu menjadi persoalan yang
tidak sepele. Wintara jadi kalut sendiri.
Ia melangkah menuju pada sebuah balai di depan teras gubug. Santai pula ia duduk bersandar. Dirasakannya kampung itu seperti mati. Tidak ada segelintir manusia pun yang nampak selain dirinya. Sungguh beda dengan beberapa hari yang lalu. Ketika pertama kali ia menginjakkan kakinya di sini. Meski dalam suasana ketakutan, ia masih bisa melihat keramaian kampung itu yang subur.
Setengah harian penuh ia berada di kampung
yang sunyi. Belum juga ada tanda tanda pasukan Durjana Pemenggal Kepala menampakkan diri. Kalau mereka sekelompok durjana yang disegani, pastilah mereka akan datang memenuhi tantangan Wintara
Mata Wintara sendiri sebentar-sebentar menelusuri jalan-jalan kecil yang menghubungkan ke desa
itu. Cukup berdebar juga ia menunggu tokoh sesat
yang menamakan dirinya Durjana Pemenggal Kepala.
Mendadak saja ia bangkit berdiri. Ketika dari kejauhan ia melihat sosok tegap
menuju kampung itu. Tanpa
menunggangi kuda, juga tanpa pengawal. Sebilah pedang berkilat menyilaukan tertimpa sinar matahari.
Langkah-langkah lelaki itu sangat cepat. Wintara kembali duduk berusaha tetap tenang. Ia sudah yakin Durjana Pemenggal Kepala telah datang memenuhi
tantangannya. Kali ini ia datang sendiri.
Ketika laki-laki itu memasuki kampung, ia sudah melihat Wintara duduk sambil balas menatap. Lelaki yang baru datang itu sesungguhnya tidak lain
dari Amarsa Rawut. Sebelum ia mendekati Wintara, di
pandangi suasana kampung yang sepi bagai mati. Lalu
ia melangkah lagi. Wintara berdiri menanti kedatangan Amarsa Rawut.
"Sobat, cuma kaukah satu-satunya penduduk
kampung ini?" tanya Amarsa Rawut. Pandangannya
berkeliling mengawasi sekitar tempat itu. Wintara cepat menjawab....
"Aku bukan penduduk kampung, aku sendiri
tidak mengerti kenapa semua penduduk lari ketakutan
dengan seorang tokoh bernama Durjana Pemenggal
Kepala?" "Pemenggal Kepala?" Amarsa Rawut balik bertanya. Ia seperti tersentak mendengar ucapan Wintara.
"Kenapa" Bukankah kau sendiri yang menyandang gelar itu?" kata Wintara lagi sambil memalingkan muka. Lalu meneruskan
kata-katanya lagi...
"Aku merasa terpanggil untuk menumpas tokoh
sesat itu. Kalau kau benar adanya si Durjana Pemenggal Kepala, sebaiknya jangan sungkan-sungkan untuk
memenuhi tantanganku." Nada suara Wintara tenang.
"Ngawur! Justru aku datang sampai ke sini untuk mencari tahu di mana adanya si durjana itu. Beberapa perguruan telah hancur oleh perbuatannya. Termasuk ayahku. Kalau kau tahu di mana dia berada
katakanlah...." Perkataan Amarsa Rawut seperti menuntut. "Mana aku tahu. Aku
sendiri belum pernah melihat batang hidungnya. Tapi aku yakin dia pasti datang untuk memenuhi tantanganku." Wintara membela diri. "Namaku Amarsa Rawut
dari Perguruan 'Guci Perak'. Mati hidup si durjana itu harus berada di
tanganku." "Ah, sobat Amarsa Rawut.... Aku yang hina ini hanya seorang pengelana
biasa bernama Wintara. Durjana Pemenggal Kepala adalah seorang tokoh sesat.
Siapa pun berhak menumpasnya. Di tanganku maupun tanganmu sama saja. Yang jelas tujuan kita sama.
Alangkah baiknya kalau kita saling bahu-membahu."
"Terima kasih.... Tentunya anda seorang pengelana yang sangat hebat, Saudara Wintara. Menerima
bantuan seorang hebat seperti anda, tentunya aku tidak akan menolak."
"Belum apa-apa sudah memuji.... Siapa tahu
kita berdua hanya mengantarkan nyawa di sini." Wintara bergumam.
Keduanya duduk di balai. Wintara tidak kesepian lagi setelah kedatangan seorang pendekar dari
Perguruan 'Guci Perak' ini, Pembicaraan mereka tidak
lepas dari Durjana Pemenggal Kepala. Namun demikian keduanya sama-sama menaruh rasa curiga.
Amarsa Rawut sengaja membeberkan peristiwa yang
melanda Perguruan 'Guci Perak' maupun 'Bukit Sampar'. Dari cerita itu Wintara sudah menafsirkan betapa besar rasa dendam
terhadap Durjana, Pemenggal Kepala. Dari situ pula Wintara bisa mengukur
kehebatan durjana itu. Tapi kenyataan yang ia hadapi tadi ketika menolong seorang kaya di kampung ini, sepertinya ada
yang lain. Tidak mungkin tokoh sesat itu mengutus
anak buahnya yang begitu mudah dilumpuhkan oleh
Wintara. Dan juga ada rasa menyesal membiarkan ketiga utusan Durjana Pemenggal Kepala melarikan diri.
"Keparat itu rupanya sudah menguasai seluruh
wilayah ini. Sungguh hebat. Sepak terjangnya sama
sekali tidak memperdulikan orang-orang rimba persilatan." selak Wintara.
"Itu karena dua guru besar dari Perguruan
"Guci Perak" dan "Bukit Sampar" telah tewas. Orang-orang rimba persilatan
seperti telah kehilangan pegangan. Mereka pun semakin merajalela melancarkan
tan- gan jahatnya." Amarsa Rawut menimpali.
"Dan juga...." ucapan Amarsa Rawut terhenti.
Keduanya mendadak bangkit dari balai. Mereka mendengar derap kaki kuda yang begitu banyak. Mata mereka langsung mengarah pada kepulan asap debu yang
bergulung-gulung memasuki kampung. Dari situ mereka bisa melihat belasan ekor kuda berikut penunggangnya yang mengacung-ngacungkan senjata.
"Mereka datang!" bisik Wintara.
"Siapa?" tanya Amarsa Rawut tidak lepas memandang kuda-kuda itu. Seluruh penunggangnya berwajah garang. Wintara masih mengenali ketiga orang
yang tadi di biarkannya melarikan diri.
"Siapa lagi kalau bukan kelompok Durjana Pemenggal Kepala."
Darah Amarsa Rawut langsung tersirap mendengar penjelasan Wintara. Dia langsung melompat
menyambut pasukan berkuda itu. Wintara menghentakkan kakinya, tahu-tahu saja dia sudah beriring dan dengan Amarsa Rawut.
Pasukan berkuda itu berhenti.
Para penunggangnya yang seram-seram menyeringai
menakutkan. Semuanya serempak turun dari kuda.
Kecuali seseorang yang berperawakan gemuk
dan berkepala botak. Wajahnya yang tanpa alis namun
membawa kesan menyeramkan itu tetap duduk di atas
kudanya memandang remeh terhadap Wintara mau
pun Amarsa Rawut. Dua bilah golok besar terserong di
punggungnya. Ia mengatur langkah kudanya mendekati dua pemuda itu.
"Cuih! Segala dua cecoro sawah berani menantang. Kalian tidak lebih bagai dua orang jembel yang
tidak pantas kurampok dan kupenggal. Menghadapi
kalian sama saja membuang tenaga."
"Kaukah Durjana Pemenggal Kepala?" tanya
Amarsa Rawut sekaligus membentak.
"Hua ha ha ha....." Si Botak gemuk itu tertawa.
Dadanya sampai naik turun. Lalu...
"Sudah tahu begitu kenapa masih berani berdiri di hadapanku" Ayo cepat berlutut dan jangan cobacoba menantang!"
"Chis, siapa yang sudi menyembah segala macam babi kurapan! Turun dari kuda mu, Babi Gembrot! Kau harus menebus kematian Ki Raka Banjaran
dengan kepala mu!" Amarsa Rawut menarik gagang
pedang. "Apa" Ki Raka Banjaran"... Oh, ya ya... nasib-nya memang malang harus
mampus di tanganku." Dari atas pelana manusia gemuk botak itu melesat ke
atas berjumpalitan di udara. Kemudian hinggap tepat
berhadapan dengan Amarsa Rawut. Belasan anak
buahnya sudah mengurung. Wintara sejak tadi sudah
bersiap-siap. Paling tidak ia akan bertindak duluan kalau belasan orang itu
menyerang. "Hari ini kita akan berhitungan atas hutang darah Ki Raka Banjaran...!" Pedang Amarsa Rawut berkelebat menyambar.
* * * 7 Serta merta manusia gemuk botak menarik dua
gagang goloknya sekaligus dari punggung...
"Ztraaaang!"
Sambaran pedang Amarsa Rawut bergetar. Sudah barang tentu belasan anak buahnya tidak tinggal
diam Serentak mereka menerjang menyerang Amarsa
Rawut. Namun tiba-tiba saja tiga orang bergulingan.
Wintara berlari setengah memutar. Kedua lengannya
sibuk melancarkan serangan. Jatuh lagi dua orang.
Kali ini mereka kena tendangan. Kelima orang itu masih dapat bangkit, bahkan maju menyerang dengan gigih. Amarsa Rawut kertakan rahang saat ia merunduk menghindari sambaran golok yang datang berturut-turut menghantam kepala. Pedangnya bergerak ke
atas menangkis menimbulkan suara yang mengilukan.
Sesekali pula ia harus melepaskan pukulan ke samping mengarah pada dua orang yang bermaksud membokong. Sementara itu tubuh Wintara berlompatan kian
ke mari menghindari babatan-babatan senjata. Lenturan-lenturan tubuhnya gesit berkelit. Seranganserangan itu tidak pernah putus berdatangan. Dalam
hal ini terpaksa pula Wintara harus mengeluarkan
hantaman 'Bayu Menghempas Gelombang'... "Deeer!"
Kontan lima orang penyerangnya ambruk dengan menyemburkan darah.
Putra tunggal Ki Raka Banjaran ini sempat melirik saat Wintara melancarkan pukulan aneh. Diamdiam ia merasa kagum akan kehebatan sahabat barunya itu. Bagaimana tidak, tanpa menggunakan senjata ia dapat mengecoh lawan yang berjumlah belasan.
"Kedua golok bututmu cocok untuk mencincang
babi! Tidak cukup tajam untuk tenggorokanku!" ejek Amarsa Rawut seraya
membersitkan pedangnya ke
muka. Serangan itu membuat manusia botak ini menarik tubuhnya ke belakang.
"Pantas kalian berani menghadapi aku si Durjana Pemenggal Kepala. Rupanya dua anjing kesrek ini
cukup tinggi juga ilmunya!" balas Durjana Pemenggal Kepala tak kurang
membabatkan kedua golok besarnya. Setelah ia melancarkan serangan, ia sangat
terkejut. Karena dua orang anak buahnya jatuh hampir
menimpa tubuhnya.
Saking kesalnya ia malah menginjak salah seorang sampai menyemburkan darah. Bagai air mancur
darah itu muncrat ke mukanya sendiri.
"Kalian benar-benar cari mampus!" hardik Durjana Pemenggal Kepala. Kemarahannya
meledak. Se- rangan dua golok besarnya lebih cepat membersit.
Amarsa Rawut menangkis dengan menggenggamkan
kedua telapak tangan pada gagang pedang. Benturan
senjata mereka beradu keras. Amarsa Rawut sampai
terhuyung. "Otak bebal! Keluarkan semua tenaga mu!
Hayo!" bentak Amarsa Rawut, padahal dia sendiri sudah mundur-mundur menghadapi
setiap babatan dua
golok besar yang datang berturut-turut.
"Manusia yang mau mampus biasanya banyak
Peristiwa Merah Salju 3 Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L Mencari Bende Mataram 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama