Ceritasilat Novel Online

Gairah Sang Pembantai 1

Pendekar Kembar 5 Gairah Sang Pembantai Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada penerbit di bawah lindungan undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit 1
CAHAYA matahari sore masih memancarkan sisa sinarnya. Celah-celah pohon diterobos oleh sisa cahaya sore, membuat bangunan
yang tinggal puingpuing reruntuhan itu tampak seperti bayangan iblis
menjelang malam. Reruntuhan bangunan yang masih
tersisa pilar dan tonggak-tonggaknya itu adalah bangunan Puri Cawan Mesum yang
hancur karena serangan Pendekar Kembar; Raka Pura dan Soka Pura.
Ketua puri tersebut melarikan diri karena tak
sanggup hadapi Pendekar Kembar yang mempunyai
pedang kristal bernama Pedang Mata Malaikat itu.
Seandainya sang Ketua puri; Betina Rimba, tidak buru-buru melarikan diri dari amukan Pendekar Kembar, maka nyawanya tak akan
sanggup bertahan lebih lama
lagi dalam raganya yang bertubuh tinggi sekal dan padat itu. "Pantas ia mendesak
mu agar membunuh Setan Cabul, karena rupanya dia tahu bahwa si Setan
Cabul itu adalah ayah kandungmu sendiri, Raka. Rupanya ia juga pernah melihat Setan Cabul melepaskan jurus 'Guntur Bayangan',
sehingga ia yakin Kitab Guntur Bayangan ada di tangan si Setan Cabul. Benarbenar perempuan licik dia itu," ujar Biang Tawa, yang dulu bekas pengikut Puri
Cawan Mesum karena tak
punya pilihan lain.
Biang Tawa yang dulu rekan seperguruan Panji
Pura; ayah Pendekar Kembar, sekarang menjadi pengikut setia kedua pemuda kembar itu. Kebenciannya
terhadap Betina Rimba mulai tumbuh dalam hati sejak Biang Tawa mengetahui bahwa
Betina Rimba adalah
pimpinan pasukan bertopeng yang membantai habis
keluarga Panji Pura, (Baca serial Pendekar Kembar dalam episode perdana: "Dendam
Asmara Liar").
"Ke mana arah pengejaran kita sebaiknya, Paman?" tanya Soka Pura kepada Blang Tawa yang berusia sekitar lima puluh tahun
itu. "Aku tidak tahu ke mana ia melarikan diri," ka-ta Biang Tawa. "Kalau ku tahu,
tentunya sudah kusa-rankan kalian lari ke arah utara atau selatan atau ke mana
saja. Tapi menurut firasat ku yang selama ini tidak pernah meleset kalau
kebetulan sedang benar, kurasa ia menuju ke Lembah Bolong."
"Di mana Lembah Bolong itu?" tanya Raka Pu-ra.
"Yang Jelas bukan di depan hidungku," Jawab Biang Tawa. "Lembah Bolong ada di
lereng Gunung Wadas. Di sana ada seorang perempuan tua yang
mempunyai ilmu sihir cukup tinggi. Perempuan tua itu bernama Nyai Demit
Selingkuh. Dulu, Betina Rimba
pernah membawaku ke sana karena ingin berguru kepada Nyai Demit Selingkuh. Tapi niat Betina Rimba di-tangguhkan oleh sang Nyai,
karena waktu itu murid
Nyai Demit Selingkuh membutuhkan perhatian yang
tak bisa ditinggalkan oleh sang Nyai sedikit pun."
"Jadi, Nyai Demit Selingkuh itu sudah mempunyai murid sendiri?"
"Ya. Muridnya itu bernama Aswarani, alias Selir Pamujan."
Raka Pura yang berjalan dl samping kiri Blang
Tawa segera ajukan tanya setelah mereka sama-sama
terbungkam dalam waktu cukup lama.
"Apakah menurutmu Betina Rimba akan bergabung dan meminta bantuan Nyai Demit Selingkuh"!"
"Dugaanku memang begitu," kata Biang Tawa.
"Karena Betina Rimba merasa tidak mempunyai kekuatan yang dapat untuk menandingi
kekuatan kalian
berdua. Dan satu-satunya orang yang mau di mintai
bantuannya adalah Nyai Demit Selingkuh."
"Mengapa kau yakin kalau Nyai Demit Selingkuh mau membantu Betina Rimba?" tanya Soka Pura yang menyelipkan pedang
kristalnya di pinggang kanan. Ia seorang pendekar muda bertangan kidal, sehingga selalu menyelipkan pedangnya di pinggang kanan supaya sewaktu-waktu pedang itu dapat dicabutnya dengan tangan kiri.
Biang Tawa yang berpakaian abu-abu dan bertubuh pendek gemuk bundar itu tak langsung menjawab, melainkan berpikir beberapa saat sampai akhirnya ia menemukan alasan yang membuat Nyai Demit
Selingkuh mau membantu Betina Rimba.
"Ketika kami, para pengikut Betina Rimba, merebut Puri Cawan Mesum, murid sang Nyai, yaitu si
Selir Pamujan, ikut terselamatkan dari hukuman mati mantan pemilik puri
tersebut. Akhirnya, penyerangan Betina Rimba dianggap satu pertolongan yang
datang tepat pada waktunya, sehingga ia di anggap orang berjasa bagi Nyai Demit
Selingkuh. Sejak Itu hubungan
mereka terjalin dengan balk. Ha-nya kepadaku saja
sang Nyai tidak mau menjalin hubungan baik."
Soka tertawa pendek. "Mengapa begitu?"
"Karena Nyai Demit Selingkuh mengaku tak
suka melihat lelaki bermuka bundar. Menurutnya muka bundar ku itu seperti kue bantat, dan ia mengaku suaminya mati gara-gara
makan kue bantat!"
"Makanya kalau punya wajah jangan sampai
seperti kue bantat!" ujar Soka Pura dengan tertawa ge-li, membuat Raka Pura,
sang kakak, juga ikut tertawa walau tak sekeras adik kembarnya.
Biang Tawa bersungut-sungut, menggerutu tak
jelas. Gerutuan itu tiba-tiba berhenti, demikian pula tawa Soka Pura pun hilang
bersama munculnya seorang lelaki berperawakan tinggi-besar dan mempunyai brewok lebat. Raka dan Biang Tawa terkejut
dan merasa asing melihat lelaki beralis tebal dan lebar itu dengan wajah
sangarnya. Tapi Soka Pura segera ingat siapa lelaki itu sehingga merasa tak
asing lagi dengan orang besar berpakaian serba hitam itu.
"Bocah edan! Masih ingatkah kau padaku,
hah"!" tegur orang bersenjata golok lebar yang muncul dari atas tebing dan
terjun menghadang langkah mereka. Pandangan matanya yang garang itu tertuju kepada Raka, sehingga Raka yang merasa diajak bicara
menjadi serba bingung.
"Aku tak mengenal mu, Paman," ujar Raka kepada lelaki berusia sekitar lima puluh
tahun itu. "Kurasa kita belum pernah Jumpa sebelum ini!"
"Jangan berlagak pikun! Kau yang membantu
Perawan Hutan ketika ia sedang bertarung dengan ku
di tepi pantai! Mengaku saja kau!" bentak orang itu dengan suara keras.
Soka Pura tersenyum-senyum saja. Ketika kakaknya melirik, sang kakak pun segera tanggap, pasti adiknya Itulah yang pernah
bertemu dengan orang tersebut. Maka Raka pun berkata kepada lelaki berperut
buncit itu. "Mungkin adikku itu yang pernah bertemu denganmu, Paman. Cobalah tanyakan kepadanya!"
Orang itu pandang Soka Pura. Yang dipandang
masih tenang-tenang saja sambil cengar-cengir bermain sehelai rumput dl tangannya.
"Hmmm...! Kau yang...."
"Memang aku!" sahut Soka Pura sebelum lelaki itu bicara lebih lanjut. "Aku yang
membantu Perawan Hutan alias Anggiri saat ia ingin kau bunuh lantaran bekas
kekasihnya membunuh istrimu. Aku kenal, kau
yang bernama Iblis Bangor!" (Baca serial Pendekar Kembar dalam episode : "Gua
Mulut Naga").
Iblis Bangor menggeram. "Hmmmr...! Kalau begitu kaulah yang harus tunjukkan padaku di mana si
Perawan Hutan Itu, atau kau akan kehilangan nyawa
hari ini juga, Bocah Edan!"
Biang Tawa segera angkat bicara, "Jangan anggap remeh kepada kedua pemuda kembar itu, Sobat!"
"Aku bukan sobatmu!" bentak Iblis Bangor
membuat Biang Tawa terlonjak kaget.
"Mak.. maksudku, kau jangan coba-coba menggertak kedua anak muda ini, karena mereka adalah
Pendekar Kembar yang mampu membuatmu nungging
selama sehari semalam, esoknya kau akan kehilangan
nyawa dan mungkin juga akan kehilangan dompet
mu!" "Husy...!" hardik Raka kepada Biang Tawa.
"Persetan dengan omongan mu, Tikus Lumbung!" geram Iblis Bangor. "Aku hanya ingin temukan si Perawan Hutan atau Arya
Semirang, kekasihnya itu!
Kau pasti mengetahui di mana mereka sekarang berada!" sambil ia menuding Soka Pura.
"Aku tidak tahu," jawab Soka kalem sekali.
"Harus tahu!" bentak iblis Bangor.
"Orang tidak tahu kok dipaksa harus tahu"!
Uuuh...! Dasar Iblis kurang kemenyan kau ini!" ujar Biang Tawa sambil mencibir.
"Diam kau, Kecoa Sawah!" bentak Iblis Bangor kepada Biang Tawa. Yang dibentak
justru tertawa geli dengan suara pelan.
"Ganteng-ganteng seperti ini kok dianggap sebagai kecoa sawah!" ujarnya kepada Soka.
"Kalau kau berani, libas saja!" bisik Soka.
"Ah, aku sungkan kalau melawan anak kecil
seperti dial Biar Raka Pura saja yang menanganinya,"
kata Biang Tawa sambil menyisih agak jauh.
Iblis Bangor semakin berang mendengar kasakkusuk itu. Ia pun serukan suara berangnya lagi.
"Kalau tak ada yang mau tunjukkan di mana
Perawan Hutan atau Arya Semirang, kuhabisi nyawa
kalian sekarang juga!"
Soka Pura hanya tersenyum, lalu memandang
kakaknya yang sejak tadi diam saja dalam keadaan kalem, walau matanya
memperhatikan ka arah Iblis Bangor. Kedua pemuda kembar berbaju buntung warna
putih dengan celana putih berikat pinggang kain merah Itu sama-sama saling pandang. Kemudian Soka
Pura dekati sang kakak yang sama juga setampan dirinya. "Kau berani?"
"Mengapa tidak?" jawab Raka Pura.
"Gulung dia kalau kau merasa mampu mengalahkannya!"
"Kau sendiri bagaimana?"
"Kalau kau terdesak, aku yang akan lanjutkan."
"Maksudmu, lanjutkan menyerangnya?"
"Lanjutkan pelarian kita!" jawab si adik dengan konyol.
"Ah, kau!" keluh Raka dalam gerutu. "Kau saja yang maju. Ini kan urusanmu, bukan
urusanku!" lalu Raka Pura menyisih juga ke tempat Biang Tawa berdiri.
"Hei, Raka... aku sedang tak enak badan hari
ini!" ujar Soka sambil berjalan mendekati kakaknya, kini mereka bertiga
bergabung kembali.
iblis Bangor merasa tak dihiraukan, la menjadi
semakin marah. Maka dengan secara tiba-tiba saja tubuhnya melesat menerjang Soka
Pura dari belakang.
Wuuut...! Melihat adiknya akan diterjang dari belakang,
Raka Pura segera menghadang gerakan orang besar
itu. Wuuuus...! Mereka beradu pukulan dalam keadaan sama-sama melayang dl udara.
Plak, plak, plak...!
Proook...! "Aaaakh...!"
Iblis Bangor memekik. Mulutnya disodok dengan pangkal telapak tangan Raka Pura. Sodokan Itu
tentunya sodokan bertenaga dalam, sebab tubuh besar itu sempat terpental ke
belakang dan jatuh berjungkir balik dalam jarak lima langkah. Brrruuk...!
"Bangsat koreng kau!" maki Iblis Bangor. "Rupanya kau punya isi cukup lumayan,
Bocah Gendeng! Heeeaah...!"
Raka Pura sedang berjalan hendak hampiri Soka dan Biang Tawa. Iblis Bangor menyerangnya dari
belakang dari satu lompatan seperti seekor harimau
ingin menerkam mangsanya. Wuuus...!
Melihat kakaknya Ingin diterkam dari belakang,
Soka Pura segera jejakkan jempol kakinya ke tanah,
dan tiba-tiba tubuhnya melenting di udara, bersalto satu kail dan kakinya segera
menendang kepala iblis
Bangor setelah Soka melambung melewati atas kepala
kakaknya. Plak, plak, plak...! Tendangan beruntun itu
berhasil ditangkis oleh tangan besar si Iblis Bangor.
Tetapi tiba-tiba kaki kanan Soka berkelebat setengah lingkaran, melakukan tipuan
gerak, sehingga tangki-san tangan iblis Bangor melesat dan kaki itu berhasil
menendang pelipis orang berwajah brewok itu.
Duuukh ..! "Aaauh...!" Iblis Bangor memekik keras dan pendek, tubuhnya terpelanting ke
samping dan jatuh menggelinding bagaikan kayu balok jatuh dari lereng.
Gluduk, gluduk, gluduk...!
"Setan sunat!" makinya dalam satu teriakan, karena ia merasa kepalanya nyaris
pecah akibat tendangan keras bertenaga dalam lumayan itu.
"Kerja sama yang bagus!" ujar Biang Tawa
sambil tersenyum ketika Raka mendekatinya dan ingin ucapkan sesuatu. Raka tak
jadi bicara karena mendengar makian si Iblis Bangor, ia segera memandang
ke arah orang besar itu pada saat adiknya berjalan
mendekatinya. Tiba-tiba tangan Iblis Bangor melepaskan pukulan jarak jauh bersinar merah dalam keadaan berlutut satu kaki. Claaap...!
Sinar merah itu menuju ke arah punggung Soka Pura yang tak berpaling ke
belakang. Melihat adiknya terancam bahaya, Raka segera lepaskan jurus 'Cakar
Matahari' yang bersinar putih seperti pisau runcing itu. Claaap...!
Blaaaarrr...! Sinar merah si Iblis Bangor meledak begitu dihantam sinar putih yang keluar dari tangan kanan Ra-ka. Ledakan itu timbulkan
angin menghentak ke berbagai arah, sehingga Soka Pura sendiri tersentak ke depan dan melayang menabrak
Blang Tawa. Brruuss...! Sedangkan iblis Bangor terpental ke belakang dan berguling satu
kali, sambil hamburkan makian tak jelas.
"Kambing congek!" maki Blang Tawa. "Kenapa kau menabrakku, Soka"! Uuuuh...!
Badanku jadi sakit semua kau timpa dengan tubuhmu yang kekar itu!
Sialan!" "Maaf, Paman. Tidak sengaja. Yang penting kepala Paman tidak pecah.
Tenang sajalah!"
"Tenang dengkul mu!" maki Biang Tawa dengan bersungut-sungut. Raka Pura
tersenyum melihat Biang Tawa sewot.
"Kenapa tidak segera kalian lumpuhkan saja
orang itu! Kalau tidak mau menghadapinya jangan dibuat mainan begitu! Kasihan kan"!"
"Kalau Paman berminat, hadapilah sendiri sa

Pendekar Kembar 5 Gairah Sang Pembantai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

na!" ujar Raka Pura sambil berbalik memandang Iblis Bangor. Saat itu si brewok
berpakaian serba hitam sedang mencabut goloknya sambil berseru, "Ku babat habis
kalian bertiga! Heeeaah...!"
Biang Tawa segera maju dua langkah menghadapi kehadiran Iblis Bangor yang ingin menerjang
sambil mengibaskan golok besarnya. Tapi Biang Tawa
lebih dulu sentakkan kedua jarinya yang mengeras
dengan tangan kiri ke belakang dan kaki kiri ke belakang, gerakannya seperti
gerakan orang menari balet.
Suuuut..! Totokan bernama jurus 'Monyet Gembira'
yang berupa hawa padat itu segera kenal dada kiri Iblis Bangor. Desss..!
Gerakan orang besar itu terhenti seketika. Wajahnya yang sangar segera berubah menjadi kendut.
Lama-lama ia tersenyum sambil goloknya diturunkan.
Senyumnya klan melebar dan akhirnya disertai sentakan-sentakan suara tawa.
"Hah, heh...! Hah, hah...!"
"Tinggalkan dia! Biarkan dia tertawa sempal
mati sendiri daripada bikin susah kalian!" ujar Blang Tawa sambil mendahului
melangkah. Sedangkan pa-muda kembar berambut panjang sepundak tanpa ikat
kepala itu masih pandangi Iblis Bangor yang menjadi seperti orang bego itu.
Orang tersebut masih sentakkan tawa sedikit demi sedikit, lama-lama tawanya terlepas berkepanjangan akibat saraf tawa-nya membuka
lebar akibat ditotok dari jarak jauh oleh Biang Tawa.
"Huaaah, hahh, hahh, hahh, haaa...!"
Iblis Bangor terhuyung-huyung ke belakang
sambil pegangi perutnya dan tertawa lebar-lebar. Raka Pura dan adik kembarnya
pandangi orang tersebut
sambil tersenyum geli.
"Huaaaah, haaah, haaah, haahh, haaa...!
Huuih, hiiih, hiiih, hiih, hii...!"
Tawa itu berhamburan tak bisa berhenti.
* * * 2 BULAN separuh purnama pancarkan sinarnya
ke bumi. Sinar pucat redup timbulkan getaran magis
dalam tiap hati sanubari manusia. Warna-warna romantis bertaburan di sana-sini seakan membangkitkan hasrat manusia untuk bercumbu.
Sekelebat bayangan melintas kaki bukit berhutan jarang. Bayangan Itu bergerak cepat bagai angin berhembus di sela-sela
pepohonan. Dilihat dari gerakannya, jelas si pemilik bayangan itu menguasai ilmu
peringan tubuh cukup tinggi, sehingga ia seperti berlari di atas pucuk-pucuk
ilalang. Bayangan itu ternyata milik seorang perempuan cantik yang usianya sudah mencapai empat puluh tahunan, tapi masih seperti berusia dua puluh tiga tahun. Perempuan tersebut
bertubuh tinggi, tegap, kekar, dan montok. la hanya mengenakan kutang kuning
bertali rantai dan cawat kecil warna kuning bertali rantai Juga. Agaknya ia
telah membuang Jubahnya dan
kembali seperti keadaan semula saat ia belum dikenai sebagai Ketua Purl Cawan
Mesum. Perempuan itu tak lain adalah Betina Rimba,
yang badannya ditumbuhi bulu-bulu halus di atas kulit coklatnya. ia memang perempuan yang mempunyai
daya tarik luar biasa bagi setiap pria. Rambut cepaknya yang mirip lelaki,
dengan mata Jalang berbibir
sensual selalu menghadirkan khayalan Indah dalam
benak seorang lelaki.
Perempuan itulah yang sedang diburu oleh
Pendekar Kembar. Rupanya la tidak melarikan diri ke Lembah Bolong dan tidak
bermaksud menemui Nyai
Demit Selingkuh,, seperti dugaan Biang Tawa. Perempuan itu menuju ke sebuah tebing yang dikenai dengan nama Tebing Bencana.
Tetapi malam Itu Betina Rimba tak bisa teruskan perjalanan ke Tebing Bencana karena dua batang pohon tiba-tiba tumbang melintang jalanan di de-pannya.
Krraak, kraak...! Brruk, brrrruk...!
Betina Rimba segera lompat ke samping dan
hentikan langkah seketika. Pedang yang ditenteng
memakal tangan kirinya mulai bergerak ke depan dan
tangan kanannya siap mencabut pedang tersebut. Firasatnya mengatakan bahwa kedua pohon itu tidak
mungkin tumbang dengan sendirinya, pasti ada yang
sengaja menumbangkannya untuk hentikan langkahnya. "Jika memang Pendekar Kembar yang melaku-kannya, mau tak mau aku harus
bermain siasat lag!
biar dapat melarikan diri," pikir Betina Rimba dengan mata tajam memandang
sekelilingnya. Hati perempuan itu membatin lagi, "Kalau aku
nekat melawan mereka tanpa menggunakan siasat lari, aku akan mati di tangan
kedua anak kembar itu. Ilmuku tidak cukup untuk menandingi mereka!
Hmmm... tapi sejak tadi tak kulihat gerakan mereka
dia balik semak-semak itu. Apakah mereka ada di sisi lain?" Betina Rimba yang
merasa kalah ilmu dengan Pendekar Kembar; Raka dan Soka, segera bergerak
memutar dengan mata semakin tajam memandangi
tiap keremangan di balik pohon. Tangannya slap mencabut pedang dengan otak berputar mencari cara untuk loloskan dari ancaman maut Pendekar Kembar.
Betina Rimba tahu persis, bahwa Pendekar
Kembar selalu mengenakan pakaian serba putih dengan ikat pinggang kain merah. Maka gerakan matanya
selalu mencari bayangan putih yang diperkirakan bersembunyi dibalik keremangan
bayangan semak atau
pohon di sekitar temps! Itu. Tetapi bayangan putih
yang dicarinya ternyata tak pernah terlihat sedikit pun.
Hanya saja, tiba-tiba ia merasakan hembusan
angin panas yang datang dari arah belakang. Firasatnya mengatakan ada sesuatu
yang meluncur ke arahnya dan membahayakan jiwa. Maka dengan cepat Betina Rimba sentakkan kakinya ke tanah dan tubuh
pun melambung ke udara dalam gerakan bersalto satu
kali. Wut, wwuusss...!
Gelombang hawa panas yang dilepaskan dari
tangan seseorang itu akhirnya menghantam sebatang
pohon. Duuurrr...! Pohon itu bergetar, daunnya bergu-guran, dalam sekejap tampak
asap mengepul dari batang pohon tersebut. Kejap berikutnya kulit pohon
tampak mengelupas dan mengering, rantingnya berjatuhan, daunnya yang tersisa menjadi kering. Tak sampai empat helaan nafas, pohon
tersebut menjadi gundul dan gersang tanpa kehijauan sedikit pun.
Betina Rimba yang sudah berada dl atas sebongkah batu setinggi dadanya itu segera berseru setelah mengenali jurus yang
dipakai menyerangnya itu.
Jurus Itu adalah jurus 'Buyut Geni' dan hanya satu
orang yang memiliki pukulan 'Buyut Geni' Itu.
"Wisnu Galang! Keluarlah dari tempatmu! Aku
tahu kau ada di sekitar sini! Jika ingin berhadapan denganku, hadapilah aku
secara jantan. Wisnu Galang!" Werrss...! Angin berhembus cepat menerjang Betina
Rimba dari belakang. Betina Rimba rasakan
hembusan angin cepat akan menerjangnya, la segera
lompat turun dari atas batu dalam gerakan berjungkir balik satu kail. Wuuuk...!
Jleeg...! Ketika kakinya men-darat dl tanah dengan tegap, matanya segera memandang ke arah depan. Ternyata di sana sudah berdiri
seorang lelaki berusia sekitar dua puluh tujuh tahun.
Cahaya rembulan memantulkan sinarnya melalui pakaian orang itu yang berwarna kuning emas.
Lelaki itu masih kelihatan muda, gagah, badannya berotot kekar. la seorang pemuda berperawakan tinggi, tegap, dan mempunyai ketampanan tersendiri. Alisnya yang tebal mempunyai mata sedikit lebar dan jika memandang tampak
berkesan dingin namun
penuh ketajaman. Rambutnya yang ikal sepanjang bahu diikat dengan kain putih berhias benang emas. la mengenakan baju tanpa lengan
warna emas dan celana warna emas pula. Pinggangnya, bersabuk hitam
dan di sabuk itulah terselip senjata andalannya berupa cambuk coklat yang
tergulung melingkar dengan ujung cambuk seperti duri ikan.
"Sudah kuduga kaulah yang mengganggu perjalananku, Wisnu Galang!" ujar Betina Rimba dengan nada tegas walau suaranya
memang sedikit serak.
"Kebetulan aku sedang melintas di daerah ini
dan melihat gerakanmu yang terburu-buru menuju
alam kubur, Betina Rimba!" ucap Wisnu Galang dengan nada dingin, ketus, dan
berkesan angkuh.
"Apa maksudmu menghadang langkahku"!"
sentak Betina Rimba menampakkan keberaniannya.
"Urusan lama kita belum selesai. Rasa-rasanya
malam ini adalah malam yang cocok untuk menyelesaikannya, Betina Rimba!"
"Rupanya kau masih mendendam kepadaku
atas kematian kekasihmu; si Dara Palungan itu, Wisnu Galang!"
"Dendam itu tak akan sirna sebelum tanganku
dapat hancurkan kepalamu, Betina Rimba!"
"Hemmm...!" Betina Rimba sengaja tersenyum sinis. "Bukankah sudah dua kail kau
coba untuk lakukan hal itu, tapi kau selalu gagal, karena pedangku nyaris
mencungkil nyawamu"! Apakah kau ingin mengulangi kegagalanmu yang ketiga kalinya
yang sama saja mengirimmu ke alam kubur"!"
Wisnu Galang melangkah ke samping dengan
mata tetap menatap penuh nafsu membunuh.
"Malam ini adalah saatnya untuk menentukan
siapa yang harus menuju ke alam kubur antara kita
berdua!" tegas Wisnu Galang dengan jari-jari kedua tangannya bergerak-gerak
seakan melepaskan otot-ototnya untuk lakukan pertarungan antara hidup atau mati.
Betina Rimba pandangi pria itu tanpa berkedip.
Baginya, lebih baik bertarung melawan Wisnu Galang
daripada hadapi Pendekar Kembar.
Wisnu Galang adalah murid si Hantu Muka
Tembok yang mempunyai kekasih Dara Palungan. Tentang si Hantu Muka Tembok, tanpa setahu Betina
Rimba, pernah berhadapan melawan Raka Pura ketika
Raka membela Nyai Sawandupa, (Baca serial Pendekar
Kembar dalam episode: "Kencan Di Ujung Maut").
Dara Palungan adalah orangnya mendiang Ratu
Cumbu Laras yang ditugaskan menangkap Betina
Rimba. Tetapi Dara Palungan akhirnya tewas di tangan Betina Rimba, karena memang
ilmunya kalah tinggi
dibanding ilmu yang dimiliki Betina Rimba.
Mendengar kematian Dara Palungan di tangan
Betina Rimba, Wisnu Galang segera mencari Betina
Rimba tanpa perintah siapa pun. Namun dua kali pertarungannya melawan Betina Rimba membuat Wisnu
Galang selalu nyaris mati jika tidak dibiarkan hidup oleh si Betina Rimba. Kala
Itu Betina Rimba selalu tak punya kesempatan untuk mengakhiri hidup Wisnu Galang
karena segera diserang oleh Hantu Muka Tembok
yang membuatnya terpaksa melarikan diri.
Tetapi sekarang, agaknya Wisnu Galang tidak
muncul bersama Hantu Muka Tembok. Perempuan
berdada montok Itu merasa dapat dengan mudah
membunuh Wisnu Galang dengan dua-tiga jurus, sebab ia tahu ilmu pemuda itu masih berada di bawah
ilmunya. Satu-satunya jurus maut yang dimiliki Wisnu Galang adalah jurus 'Pecut
Leak' yang satu kali pecu-tan cambuk bisa hadirkan tujuh bayangan sinar merah yang menyergap lawan sekaligus. Jurus itu sukar ditangkis kecuali dihindari
dengan gerakan cepat.
Tapi agaknya malam itu Betina Rimba mempunyai gagasan lain dalam benaknya. Jurus 'Pecut Leak'
akan dimanfaatkan untuk menjadi pelindung bagi dirinya dari pengejaran Pendekar Kembar. Betina Rimba juga memanfaatkan cahaya
rembulan yang memancarkan keromantisan bagi setiap insan itu.
Mulanya memang ia harus melayani dendam
Wisnu Galang lebih dulu. Pemuda itu hantamkan pukulan jarak jauhnya yang mengeluarkan selarik sinar kuning ke arah dada Betina
Rimba. Pukulan Itu dilepaskan dengan cepat dan sangat dl luar dugaan. Hampir saja Betina Rimba kecolongan. Untung ia segera
hadangkan tangan kanannya dalam satu sentakan
bertenaga dalam. Beet, claaap...!
Sinar merah lebar melesat dari tangan Betina
Rimba. Sinar Itu bertabrakan dengan sinar kuning lurus dari Wisnu Galang.
Duaarr...! Keduanya sama-sama tegak, tak ada yang tersentak ke belakang. Betina Rimba cepat pasang ku-da-kuda jurus lain sambil
sunggingkan senyum sinis kepada lawannya. "Percuma saja kau melawanku, sama artinya
dengan membuang-buang tenaga secara sia-sia!"
"Tutup mulutmu, Perempuan Lacur! Hiiaah..!"
Wisnu Galang melesat bagaikan terbang dan
mengarahkan kedua kakinya ke wajah Betina Rimba.
Kedua kaki itu menendang secara cepat dan beruntun.
Bet, bet, bet...!
Namun Betina Rimba berhasil menangkisnya
dengan gerakan tangan cepat. Plak, plak, plak...! Bahkan tubuhnya segera
berputar dan kakinya berkelebat bagaikan menampar wajah Wisnu Galang. Ploook...!
Wisnu Galang terlempar ke samping dan jatuh
terbanting dengan keras. Wajahnya semburat merah
karena tendangan Betina Rimba seakan ingin meremukkan tulang rahangnya.
"Edan! Tendangannya makin keras dan semakin terasa meremukkan tulang kepalaku!" geram hati Wisnu Galang. "Tak ada jalan
lain, harus kugunakan jurus 'Pecut Leak' dengan lebih cermat lagi. Jangan sempal
gagal seperti tempo hari!"
Wisnu Galang bangkit dan mencabut cambuknya. Tetapi sebelum itu Betina Rimba melompat cepat dan melepaskan tendangan
lagi ke dada pemuda itu.
Deess...! "Uuukh...!" Wisnu Galang terlempar hingga membentur pohon. Seketika itu pula
Betina Rimba mencabut pedangnya dan mengarahkan ke leher Wisnu Galang. Seeet, wuuuub...!
"Lepaskan cambuk mu atau kuteruskan pedang
ini hingga menembus lehermu!" ancam Betina Rimba.
Wisnu Galang hentikan gerakan seketika. Ia
merasa ancaman itu bukan sekadar gertak samba!.
Wisnu Galang terpaksa tak berani mencabut cambuknya dan wajahnya mulai tampak tegang sebab pedang
lawan ada di depan lehernya berjarak kurang dari setengah jengkal.


Pendekar Kembar 5 Gairah Sang Pembantai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"'Sekarang juga kau mati, Wisnu Galang!"
"Ak... aku mengaku kalah!" ujar Wisnu Galang sambil berkata dalam hatinya, "Akan
kuserang dari belakang jika ia membebaskan diriku!"
"Sudah kubilang, kau tak akan mampu melawan ku, Wisnu Galang!"
"Aku... aku kecewa dan sangat sedih atas kematian Dara Palungan. Kurasa kau bisa memahami
perasaanku tanpa Dara Palungan sempai saat ini!"
"Kau pikir wanita dl dunia hanya Dara Palungan saja"!"
"Memang banyak wanita dl dunia, tapi tidak
ada yang seperti Dara Palungan," Wisnu Galang masih bicara bernada tegas walau
terdengar ada getaran halus dalam suaranya itu.
"Kutawarkan perdamaian padamu. Sekarang
juga kau harus memilih; berdamai atau terus bermusuhan"! Jawab!" Betina Rimba membentak.
"Balk, aku memilih berdamai!" ujarnya sambil memandang ke atas, karena ia dalam
keadaan setengah merebah bersandar pohon, sedangkan Betina
Rimba berdiri mengangkanginya.
"Jika kau benar-benar ingin berdamai dengan
ku, lepaskan cambuk mu sekarang juga!
"Tapi...."
"Lepaskan cambuk mu dan jauhkan dari jangkauan ku! Jika tidak pedang ini tetap akan ku hujamkan ke lehermu!"
Lagi-lagi pemuda itu merasa mendapat ancaman yang serius, sehingga ia pun mulai mencabut
cambuknya dengan gerakan pelan, sesuai permintaan
Betina Rimba. Cambuk itu pun akhirnya dilemparkan
ke samping kiri, tiga langkah jauhnya dari tempatnya berada. Betina Rimba tetap
berdiri mengangkangi Wisnu Galang dengan kakinya yang tak terbungkus kain
dan menampakkan pahanya yang ditumbuhi bulubulu halus sampai ke bagian betis.
"Lepaskan bajumu!"
"Apa maksudmu, Betina Rimba! Aku sudah
mengaku kalah dan...."
"Lepaskan bajumu, kataku!" bentak Betina
Rimba dengan semakin maju membuat tubuhnya lebih
dekat lagi dengan wajah Wisnu Galang.
Pemuda itu akhirnya melepaskan bajunya. Kulit tubuh yang coklat kekar berotot itu tersorot sinar rembulan, sehingga
memantulkan suasana yang
menggoda hati Betina Rimba.
"Lepaskan sabuk mu, lepaskan pula celana
mu!" "Kau gila!" sentak Wisnu Galang, Pedang di-tempelkan di leher pemuda itu.,
Nyess...! Ujung pedang yang dingin terasa bagai menggores kulit leher, padahal
tidak. "Kalau kau tak mau menuruti perintahku,
ujung pedangku akan segera menembus lehermu sekarang Juga!"
"Apa maksudmu menyuruhku begitu, Betina
Rimba"!"
"Laksanakan saja perintah ku!" bentak Betina Rimba sambil semakin menekan
pedangnya membuat
leher Wisnu Galang kian jelas rasakan dinginnya logam runcing Itu. Mau tak mau pemuda itu menuruti
perintah Betina Rimba. Sabuk dilepaskan, demikian
pula celananya.
Kini pemuda itu dalam keadaan polos tanpa selembar benang pun. Betina Rimba mulai sunggingkan
senyum jalang dengan mata berbinar-binar memandang tubuh kekar berotot itu.
Pedang itu merayap pelan dan samar-samar antara menyentuh dan tidak. Gerakan pedang yang merayap dari leher turun ke dada membuat hati Wisnu
Galang berdesir-desir ngeri. Pedang itu dapat menembus tubuhnya sewaktu-waktu.
Tapi ternyata pedang yang bergerak pelan-pelan
sekali itu tidak berhenti hanya di dada. Sambil melangkah mundur Betina Rimba merayapkan pedang itu
sampai ke perut. Dari perut pun masih terus merayap hingga mencapai tempat yang
sangat dilindungi Wisnu Galang itu. Desir-desir hati pemuda itu semakin mengiris
ngeri ketika ujung pedang Itu mempermainkan
sesuatu yang ada di sana.
Mata perempuan itu menatap semakin jalang.
Ia tak memperhatikan wajah Wisnu Galang, melainkan
menundukkan kepala sambil pandangi apa yang sedang dipermainkan dengan ujung pedangnya itu.
Cahaya rembulan menyinar terang ke benda di
ujung pedang. Sarung pedang dibuang ke rerumputan.
Tangan kiri Betina Rimba sengaja menyingkapkan penutup dadanya ke atas. Dengan menggeser ke atas sedikit, penutup dada warna kuning itu telah menyingkap sehingga apa yang ditutupinya tampak menonjol
keluar bagai menantang pertarungan cinta.
Tangan kiri Betina Rimba mengusap-usap
gumpalan dadanya sendiri, sementara tangan kanannya masih mempermainkan 'Wisnu kecil' dengan pedangnya. Sesekali mata Betina Rimba melirik sayu ke wajah Wisnu Galang. Sesekali
bibirnya digigit sendiri dengan mata bertambah sayu.
Ekspresi wajah mesum dan permainan pedang
membuat Wisnu Galang berdebar debar dibakar gairah. Sesuatu yang dipermainkan dengan pedang itu
mulai meronta dan menantang tegak. Hal itu membuat
Betina Rimba kian meremas dadanya sendiri dengan
lidah menjilati bibirnya dan mata sayu memancarkan
gairah bercumbu.
Wisnu Galang tak bisa hindari suasana seperti
itu. Hatinya bagai terjerat oleh permainan nakal Betina
Rimba, Napas pemuda itu pun mulai tak teratur dengan jantung bergemuruh cepat!
"Inilah perdamaian...," ujar Betina Rimba dengan suara lirih bagai mendesah. Ia
melangkah maju hingga kedua kakinya berada di samping kanan-kiri
dada Wisnu Galang.
Maukah kau menerima perdamaian ini, Wisnu"!" Pemuda itu belum menjawab, hanya memandang ke atas, menatap wajah Betina
Rimba yang me- mancarkan daya pikat bercumbu sangat besar.
"Jika kau menerima perdamaian ini, kau akan
selamat dan akan menemukan keindahan yang luar
biasa besarnya, sesuai dengan kebesaran yang kau miliki." Sambil berkata
demikian, kaki perempuan itu maju selangkah lagi sehingga kepala Wisnu Galang
tepat berada di depan pahanya.
Wisnu Galang mulai menyentuh betis Betina
Rimba. Betis berbulu lebat Itu diusap dengan tangan sehingga bulu-bulu lembut
itu meremang sesaat.
"Lakukan sesuatu sebagai tanda perdamaian,
Wisnu. Ayo, lakukan...!" kata-kata itu terlontar dalam desah yang penuh getaran
jiwa. Wisnu Galang sempat perdengarkan suaranya
yang sudah bergetar pula.
"Kau tak akan marah padaku?"
"Tidak. Aku slap menggantikan Dara Palungan!
Lakukanlah, Wisnu...."
Tangan pemuda Itu pun semakin berani meraba sampai ke paha. Kini kedua tangan Itu mengusapusap paha berbulu halus itu dengan sentuhan mesra
Betina Rimba mengangkat pedangnya lalu menancapkan pada sebatang pohon. Jruub..! Kini kedua tangannya bebas meremas dadanya
sendiri. la semakin
maju hingga mulut Wisnu Galang tepat berada di depan kain penutup berwarna kuning dengan tali rantai emas itu.
"Ambil...! Oh, ambillah... lekas ambil, Wisnu...!"
perintahnya di antara nada geram dan desah.
Kain kuning kecil itu pun akhirnya disingkapkan oleh jemari tangan Wisnu Galang. Ciuman pertama Wisnu Galang jatuh di paha kiri Betina Rimba.
Ciuman itu berupa kecupan lembut yang membuat
kaki Betina Rimba mulai gemetar. Bahkan kini kecupan itu merayap semakin berani, menjulurkan lidahnya bagaikan seekor ular mencari mangsa.
"Ooh, terus... terus ke situ, pooh...."
Akhirnya lidah Wisnu Galang mencapai tempat
yang telah disingkapkan oleh jari tangannya sendiri.
Lidah itu merayap dengan gerakan pelan dan sangat
pelan sekali. "Ooouh...!" Betina Rimba memekik, lalu pinggulnya bergerak sendiri bagaikan
memburu kenikmatan yang diharapkan. Kedua tangannya kini meremas
rambut kepala Wisnu Galang dan, menekan kepala itu
seperti ingin membenamkannya.
"Oh, terus... terus.... Ooh, ambil semua. Ambil semua, Wisnu... sudah lama aku
tak menikmatinya.
Ambil semua, oooh... yah, yah... nikmat sekali, Wisnu!
Uuhhhh, aaahhhh...!"
Wisnu Galang semakin galak. Suara desah nafas dan erangan yang berhamburan membuat Wisnu
Galang kian dibakar oleh semangat cinta yang menggebu-gebu. Ia lupa akan dendamnya, ia lupa akan dukanya. Kini yang ada hanya hasrat untuk memburu
kehangatan dan keindahan dl tubuh perempuan yang
tinggi, sekal, dan mempunyai gerakan liar itu.
Permusuhan mereka sudah sirna oleh keringat
yang mengucur di malam cahaya rembulan. Mereka
akhirnya bergumul dan saling memberikan sentuhan
nikmat tiada hentinya.
"Lagi, Wisnu... lakukanlah lagi, oooh... aku
sangat menyukainya. Nikmati sepuasmu, Wisnu. Sepuasmu...!"
Celoteh mulut perempuan itu bagai mencambuk gairah Wisnu Galang untuk terus memberikan
keindahan dan kehangatannya. Malam yang sepi telah
dirobek oleh jeritan lirih dan pekikan tertahan dari mulut mereka. Betina Rimba
tak mau hentikan kenikmatan itu walau ia telah berulang kali mencapai puncaknya. Sementara Wisnu Galang yang bertubuh kekar, berotot, dan bermandi keringat masih sanggup
memacu semangatnya hingga pelayaran di atas samudera cinta berlangsung cukup lama,
"Oouh, Wisnu... Wisnu... ooouh, bangsat kau!
Nikmat sekali, Wisnu! Terus, terus... aaaaaoow...!" Betina Rimba memekik.
"Aaah...!" Wisnu Galang pun memekik.
Mereka saling peluk lebih kuat lagi. Kedua tangan Betina Rimba meremas punggung Wisnu Galang
kuat-kuat. Wajahnya menegang liar dan buas. Sesekali ia menggigit pundak Wisnu
Galang dengan menggeram
karena tikaman rasa nikmat yang luar biasa. Sebab
saat itu Wisnu Galang semburkan darah kenikmatan
dengan sangat kuat dan menyentakkan tubuh Betina
Rimba dan membuat mata perempuan itu mendelik
penuh kegirangan.
Malam dan rembulan akhirnya dihinggapi oleh
sang sepi kembali. Yang terdengar hanya deru nafas
dari keduanya. Napas itu mulai melemah, reda, dan
akhirnya menjadi normal kembali. Tubuh mereka masih saling terkapar di rerumputan bermandi peluh.
Namun wajah mereka sudah tidak memancarkan permusuhan dan dendam lagi.
"Tak kusangka kau sehebat ini, Betina Rimba!
Kau melebihi Dara Palungan!"
"Kau pun sangat dahsyat, Wisnu! Aku suka sekali dengan kedahsyatan seperti ini!"
"Kalau begitu tak ada salahnya jika kita selalu bersama-sama, supaya kapan saja
kita membutuhkan
keindahan ini dapat segera memperolehnya."
"Sebenarnya tujuanku memang ingin mencari
mu, Wisnu! Aku tak menyangka kalau kita akan jumpa
di sini." "Mencariku?" Wisnu Galang kerutkan dahi pandangi perempuan itu lekatlekat. "Mengapa kau mencariku?"
Betina Rimba diam sebentar. Ia bangkit dan
duduk menatap Wisnu Galang yang masih berbaring
dengan siku menopang tubuhnya.
"Di mana gurumu; si Hantu Muka Tembok itu?"
"Sudah beberapa hari ini aku tak jumpa dengan
Guru, Justru aku ingin pulang ke Bukit Garang untuk menemui Guru karena ada
sesuatu yang ingin ku bicarakan." "Percuma. Kau tak akan bisa bertemu dengan
gurumu." "Mengapa kau bilang begitu" Oh, ada apa dengan guruku" Katakan saja, Betina Rimba! Katakan!"
Wisnu Galang bangkit dan duduk dengan tegak.
"Gurumu telah dibunuh oleh Pendekar Kembar!" "Hahhh..."!" Wisnu Galang terpekik kaget dengan mata mendelik dan wajah
menjadi tegang.
"Raka Pura dan Soka Pura, kedua pemuda itulah yang membunuh gurumu. Mereka bergelar Pendekar Kembar dari Gunung Merana!"
"Bangsat!" teriak Wisnu Galang dengan penuh murka.
* * * 3 PERJALANAN menuju Bukit Bolong yang terhadang malam, membuat Pendekar Kembar dan Biang
Tawa singgah di sebuah desa. Di desa itu ada seorang sahabat Biang Tawa yang
sekarang sudah menjadi
pemilik kedai dan meninggalkan dunia persilatan. Lelaki berusia hampir enam
puluh tahun itu bernama Ki Samalun.
"Kalau kau tidak keberatan, kami akan bermalam di sini, Samalun. Esok kami akan lanjutkan perjalanan lagi," ujar Biang Tawa
kepada Ki Samalun yang sudah diperkenalkan kepada Raka dan Soka.
"Aku tidak keberatan. Justru aku ingin melepas rindu padamu, Pongge," ujar Ki
Samalun dengan wajah ceria. "Tapi kalau boleh ku tahu, hendak melanjutkan
perjalanan ke mana kalian esok pagi?"
"Ke Bukit Bolong, menemui Nyai Demit Selingkuh." "Ooh..."!" Ki Samalun tampak terkejut sekali, pandangan matanya yang
menjadi tegang itu menatap
Biang Tawa, Raka, dan Soka secara bergantian.
"Mengapa wajahmu tampak tegang begitu, Ki
Samalun?" tanya Raka dengan nada sopan.
"Apakah kalian belum tahu bahwa Nyai Demit
Selingkuh sedang menjadi bahan pembicaraan orang
banyak?" "Kami tak mendengar kabar apa-apa tentang


Pendekar Kembar 5 Gairah Sang Pembantai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pakar ilmu sihir itu!" ujar Biang Tawa. "Apa yang sedang terjadi di Bukit
Bolong, Samalun" Jelaskan lah kepada kami!"
Ki Samalun dekatkan wajah ingin berbisik.
Yang lain ikut dekatkan wajah. Begitu dekatnya sampai Biang Tawa nyaris mencium Ki Samalun. Wajah itu segera ditabok oleh Ki
Samalun. Ploook...!
"Aku mau bicara pelan, bukan mau minta dicium olehmu!" geram Ki Samalun yang sempat membuat Pendekar Kembar tertawa tanpa
suara. "Kabar yang sempat menghebohkan masyarakat sekitar sini adalah tentang tewasnya Nyai Demit Selingkuh."
"Hah..."!" Biang Tawa terperangah kaget "Nyai Demit Selingkuh tewas"!"
"Seseorang telah membunuhnya dan mencuri
pusakanya, yaitu Kipas Kedung Gairah."
"Oh..."! Siapa pembunuhnya" Apakah sudah
tertangkap?"
Ki Samalun gelengkan kepala. "Belum. Yang
mengejutkan lagi, Nyai Demit Selingkuh terbunuh pada saat lakukan semadi di sebuah gua dan sudah
hampir berubah menjadi muda. Sebelum seluruh tubuhnya yang tua menjadi muda, seseorang telah membunuhnya dengan senjata' rahasia beracun ganas."
Semua terbungkam, saling membayangkan
keadaan Nyai Demit Selingkuh yang tua dan mau berubah menjadi muda. Menurut Pendekar Kembar, perubahan itu sudah merupakan ilmu tinggi yang tidak
bisa dimiliki oleh setiap orang. Barangkali saat itu Nyai Demit Selingkuh sudah
hampir mencapai tingkat ter-tinggi dari ilmu sihirnya. Tetapi sayang ada orang
yang tak suka, dan berhasil memanfaatkan keadaan seperti itu untuk membunuh sang
Nyai. Hal yang dipertanya-kan dalam hati mereka adalah; benarkah sang Nyai
dibunuh karena ada yang ingin memiliki kipas pusaka
itu atau karena suatu dendam kesumat yang amat besar" "Siapa yang menemukan mayatnya pertama
kali?" tanya Soka Pura.
"Muridnya sendiri; Selir Pamujan. Oleh sebab
itu diketahui bahwa Kipas Kedung Gairah telah lenyap dari tangan Nyai Demit
Selingkuh dan dibawa lari oleh pembunuhnya."
"Siapa yang dicurigai dalam peristiwa ini?"
tanya Biang Tawa.
"Seorang gadis yang bernama Dewi Binal!" jawab Ki Samalun tegas dan jelas.
Jawaban itu membuat Pendekar Kembar terperanjat dan saling beradu pandangan
sesaat. Pendekar Kembar dan Biang Tawa sangat kenal dengan Dewi Binal, cucu si Tabib Kubur itu, (Baca serial Pendekar
Kembar dalam episode: "Setan Cabul"). "Rasa-rasanya kecurigaan itu tak benar, Ki
Samalun," ujar Soka Pura yang pernah menjalin per-cumbuan mesra dengan Dewi
Binal. "Aku tahu persis siapa Dewi Binal dan ia tak mungkin mencuri kipas
pusaka itu. Bahkan tak mungkin mampu membunuh
Nyai Demit Selingkuh yang menurut dugaanku ilmunya jauh lebih tinggi dari ilmu yang dimiliki Dewi Binal." "Entahlah," ujar Ki
Samalun. "Yang jelas sekarang si Selir Pamujan sedang mencari Dewi Binal.
Mungkin ia sedang menuju ke Bukit Gamping. Katanya gadis itu tinggal di Bukit Gamping!"
"Memang, dia tinggal bersama kakeknya; Tabib
Kubur!" sahut Biang Tawa.
"Oh, Jadi si Dewi Binal itu cucunya Tabib Kubur"!" Ki Samalun justru terkejut.
"Benar. Kurasa kau juga kenal baik dengan Tabib Kubur."
"O, tentu saja aku kenal baik dengan Tabib Kubur, sebab ketika aku masih berkecimpung di dunia
persilatan, nyawaku pernah diselamatkan olehnya sebanyak dua kali," ujar Ki Samalun sambil mengenang masa lalunya. "Kalau saja
istriku tidak mati terbunuh secara mengerikan dl tangan musuh kami, mungkin
aku masih berkeliaran di rimba persilatan dan akan
mempelajari berbagai pengobatan dari Tabib Kubur. Ia pernah berjanji padaku
untuk menurunkan beberapa
ilmu pengobatannya padaku."
Setelah saling bungkam dalam renungan masing-masing, Raka Pura segera perdengarkan suaranya
yang tampak tenang dan kalem sekali itu.
"Jadi kalau tak salah dugaanku, sekarang Dewi
Binal sedang dicari-cari oleh Selir Pamujan?"
"Begitulah. Kabar terakhir yang kudengar dari
orang-orang persilatan, Selir Pamujan sedang mencari sahabatnya yang bernama
Betina Rimba untuk meminta bantuan menyerang Bukit Gamping."
"Celaka!" gumam Soka Pura bagai bicara sendiri.
Raka berkata kepada Biang Tawa, "Kalau begitu, percuma saja kita teruskan perjalanan ke Bukit Bolong, sudah pasti Betina
Rimba tak ada di sana."
"Ya. Sebab si Selir Pamujan sendiri sedang
mencari Betina Rimba!" jawab Biang Tawa.
"Kalau begitu kita harus ke mana jika Betina
Rimba sendiri tak ada dl Bukit Bolong"!" tanya Soka Pura kepada Raka dan Biang
Tawa. Percakapan malam itu akhirnya berkeputusan
bahwa mereka lebih baik menghadang Betina Rimba
dan Selir Pamujan di Bukit Gamping. Mereka harus
cepat-cepat tiba di Bukit Gamping sebelum kedua perempuan itu menyerang kediaman Tabib Kubur. Sebab
menurut cerita Biang Tawa di perjalanan tadi, Selir Pamujan adalah perempuan
berilmu tinggi. Hampir seluruh ilmu Nyai Demit Selingkuh diwariskan kepadanya. Kekuatan ilmu sihirnya sangat tinggi, hampir menyamai gurunya," tutur
Biang Tawa saat dalam perjalanan, sebelum mereka singgah di kedai Ki Samalun.
Setelah mendengar kasus kematian Nyai Demit
Selingkuh, Biang Tawa berkomentar lagi sebelum mereka tertidur. 'Kurasa Tabib Kubur akan kewalahan jika
menghadapi Selir Pamujan, karena ilmu sihir yang di-padu dengan jurus silatnya
Selir Pamujan sangat sulit untuk dilumpuhkan. Kurasa Dewi Binal akan tewas dl
tangan Selir Pamujan, apalagi murid Tabib Kubur yang bernama Manggara, akan
lebih cepat tewas ketimbang
Dewi Binal."
Karenanya, pada keesokan harinya Pendekar
Kembar dan Biang Tawa bergegas menuju Bukit
Gamping dengan memotong jalan melalui Tebing Bencana. Tanpa penunjuk jalan dari Biang Tawa, kedua
pemuda kembar itu tak akan tahu jalan pintas menuju Bukit Gamping. Pengalaman si
Biang Tawa yang berke-lana ke sana-sini mengikuti Betina Rimba dan mendiang Wiraga masa lalu telah membuat Biang Tawa
mengenal jalan-Jalan dan tempat-tempat tertentu.
"Tapi hati-hatilah jika nanti kita melewati wilayah Tebing Bencana."
"Apa maksudmu, Paman?"
"Tebing Bencana adalah wilayah kekuasaan
Pangeran Laknat."
"Siapa Pangeran Laknat itu, Paman?" tanya So-ka sambil mereka tetap melangkah.
"Yang jelas dia bukan seorang gadis cantik dan manja," jawab Biang Tawa
seenaknya. "Pangeran Laknat yang nama aslinya Pradita itu, adalah tokoh sesat
yang jarang muncul jika tidak ada urusan penting.
Pangeran Laknat sebenarnya anak seorang raja, tapi ia dibuang dan tidak diakui
sebagai keturunan darah bi-ru karena ilmu yang dituntutnya beraliran hitam. Ia
satu-satunya seorang lelaki yang mempunyai ilmu
awet muda dan awet tampan."
"Apakah ia punya perguruan di Tebing Bencana
itu?" "Hmmm... yang jelas ia punya sejumlah pengikut yang menamakan diri Laskar
Penjinak Wanita. Mereka bukan saja belajar ilmu silat tingkat tinggi namun juga belajar ilmu
menaklukkan gairah wanita. Mereka biasanya dibayar oleh perempuan-perempuan
kesepian yang hidupnya berlimpah harta dan kedudukan. Mereka bukan saja dicetak sebagai pembunuh bayaran,
namun juga dicetak menjadi suami bayaran!"
"Gila!" gumam Soka sambil tersenyum, sedangkan Raka Pura hanya geleng-geleng
kepala. Tiba-tiba langkah mereka terhenti karena munculnya suara dentuman yang sempat menggetarkan
tanah di sekitar mereka. Dentuman itu menggema
panjang dan berasal dari lereng yang ada di depan mereka. "Ada pertarungan di
depan sana!" ujar Soka.
"Biarkan saja. Kita tak perlu ikut campur, Soka!" kata Raka mengingatkan.
"Aku mau lihat siapa yang bertarung di sana.
Siapa tahu si Betina Rimba!"
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Soka Pura segera melesat dan diikuti oleh kakak kembarnya serta Blang Tawa. Raka Pura sempat
berseru kepada adiknya, "Jangan melibatkan diri jika bukan Betina Rimba, Soka!"
Seruan kakaknya tak begitu dihiraukan, karena
kali ini mereka mendengar ledakan yang kedua kalinya yang menimbulkan getaran
lebih hebat lagi. Pohon-pohon berguncang dan angin yang berhembus terasa
hangat. Soka Pura buru-buru menuju dataran tinggi
berpohon rapat. Raka Pura dan Biang Tawa terpaksa
mengikuti langkah Soka Pura agar mereka tidak terpisah. Dari dataran tinggi itu
mereka dapat memandang ke arah bawah dengan leluasa. Ternyata di sana ada sebidang tanah lapang
berumput dengan pepohonan mengelilinginya. Di tanah lapang berumput itu
tampak seorang lelaki tua berwajah panjang, lonjong, dengan rambut tipis di
bagian bawah, sedangkan bagian tengah kepala gundul mulus, Tokoh tua berusia
sekitar tujuh puluh tahun itu berjubah abu-abu lengan panjang dengan celananya yang abu-abu pula.
Tubuhnya yang Jangkung dan kurus itu tampak masih gesit, mampu bergerak dengan lincah dalam menghadapi serangan lawannya.
"Oh, ternyata dia yang bikin ulah"!" gumam Ra-ka Pura tepat di samping telinga
adiknya. "Kau mengenalnya?" tanya Soka dengan tetap memandang ke arah pertarungan. Namun
saat itu Biang Tawa segera menyahut, seakan menjawab pertanyaan Soka. "Siapa yang tak mengenal tokoh bertongkat
ikan lele itu" Kurasa ia cukup dikenal dl rimba persilatan dengan nama si Hantu
Muka Tembok!"
Raka menimpali, "Aku pernah bertarung melawannya demi membela Nyai Sawandupa!"
"Ooo... dia yang bernama Hantu Muka Tembok
itu"!" gumam Soka sambil manggut-manggut. "Lalu...
perempuan Itu siapa?"
Biang Tawa menjawab, "Perempuan itulah yang
bernama Selir Pamujan, murid Nyai Demit Selingkuh."
"Ooh..."!" kali ini Raka dan Soka sama-sama terperangah karena tak menyangka
akan cepat bertemu dengan Selir Pamujan.
Mata Pendekar Kembar sama-sama tertuju ke
pertarungan, tapi mata Soka cenderung lebih memperhatikan perempuan berusia sekitar dua puluh lima tahun yang mempunyai wajah
cantik, berhidung mancung, dan bermata membelalak galak. Perempuan berambut panjang sebahu dibiarkan meriap lepas tanpa
ikat kepala itu mengenakan baju tak berlengan warna ungu, sama dengan warna
celananya. Ikat pinggang
dari selendang warna kuning dipakai untuk selipkan
pedangnya yang kala itu belum dicabut untuk melawan Hantu Muka Tembok. Ia bukan seorang wanita
berparas ayu saja, melainkan juga bertubuh sekal
menggairahkan dengan dadanya yang montok terlihat
belahan tengahnya dan pinggulnya yang padat berisi
tampak besar menggemaskan untuk diremas.
Selir Pamujan ternyata bukan perempuan yang
mudah ditumbangkan. Selain mempunyai gerakan cepat juga mampu melompat ke sana-sini seperti seekor lalat terbang.
Bahkan ketika Hantu Muka Tembok menghantamkan tongkatnya yang berasap biru dalam jarak dua langkah itu, Selir Pamujan
mampu hindari dengan cara melambung ke atas dengan cepat sekali, tahu-tahu kakinya menendang kepala
lonjong si Hantu Muka
Tembok. Wes, duuuhk...!
"Ooohk...!" Hantu Muka Tembok terpelanting hingga tubuhnya memutar dan
sempoyongan. Untung
ia buru-buru bertumpu pada tongkatnya sehingga tubuhnya hanya sempat terbungkuk sambil pegangi
tongkat berkepala ikan lele itu.
Waktu perempuan muda berbibir sensual itu
hendak menyerangnya lagi dengan sebuah tendangan
berputar, tiba-tiba kaki Hantu Muka Tembok menjejak ke belakang dengan tubuh
terangkat dan kedua tangan bertumpu pada tongkatnya. Wuuus...! Jejakan kaki yang tak sampai kenal tubuh Selir Pamujan Itu ternyata mempunyai tenaga dalam
yang cukup besar.
Angin jejakan kaki itu membuat tubuh Selir Pamujan
bagai dihempas badal besar. Tubuh kekal itu terpental jauh ke belakang dan jatuh
terbanting dl bawah kaki pohon. Brrruk...!
"Ouh, menyedihkan sekali!" gumam Soka sambil berpaling bagai tak mau memandang
nasib Selir Pamujan. Dalam dugaannya, perempuan itu past! akan
menggeliat dan mengerang tak mampu bangkit lagi, setidaknya tulang rusuknya ada
yang patah dan tulang
punggungnya tak kuat untuk digunakan berdiri.
Namun ternyata Selir Pamujan telah berdiri tegak dalam waktu singkat. Sebelum Hantu Muka Tembok menyerangnya lagi, ia sudah mampu berdiri dengan kaki sedikit merenggang dan wajah tampak berang. Raka menggumam kagum. "Gila! Perempuan itu seperti tak punya rasa sakit
sedikit pun. Tak ada suara pekik ataupun rintihan sedikit pun, padahal dia tadi
terbanting sekeras itu"!"
Biang Tawa menyahut, "Setahuku, murid Nyai
Demit Selingkuh itu mempunyai ilmu penutup rasa
sakit. Biar dibacok kepalanya tak akan berteriak kesakitan." "Tentu saja tak
akan berteriak, karena begitu dibacok langsung mati!" ujar Soka memandang Biang
Tawa sebentar, lalu kembali memperhatikan pertarungan itu lagi.
"Maksudku, ia mampu membuang rasa sakitnya dengan satu kail hembusan napas. Kurasa kalau
dia mati malah kesakitan karena tak bisa menghembuskan napas!"
"Ssst... diamlah! Kita simak apa yang dikatakan Hantu Muka Tembok itu!" sergah
Raka Pura dengan .
nada berbisik. Hantu Muka Tembok tidak lepaskan serangannya lagi. Ia memang dekati Selir Pamujan, namun berhenti dalam jarak enam
langkah di depan perempuan
cantik itu. "Sekali lagi ku ingatkan padamu, Selir Pamujan; Jika kau masih tetap menuduhku sebagai pembunuh gurumu dan pencuri Kipas Kedung Gairah, maka
kau akan kehilangan nyawa hari ini juga! Aku paling benci dituduh menjadi


Pendekar Kembar 5 Gairah Sang Pembantai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pencuri! Seumur hidupku tak
pernah aku mencuri, kecuali kepepet!"
"Kau tak perlu mengelak, Hantu Muka Tembok!
Aku tahu kau menyimpan dendam kepada guruku karena dulu semasa mudamu, mendiang guruku pernah
menolak cinta mu! Aku pernah mendengar cerita itu
dari mulut mendiang Guru sendiri!"
"Itu sudah ku lupakan!" bentak Hantu Muka Tembok yang masih bersuara lantang
itu. "Memang aku pernah mengejar-ngejar si Demit Selingkuh karena aku pernah
tergila-gila dengan kecantikannya. Tapi
semua itu terjadi di masa muda kami dan aku sudah
melupakannya. Untuk apa aku mengingatnya jika
hanya membuat hatiku terluka dan jiwaku merana!"
Blang Tawa berkata dalam suara lirih, "Sudah
tua masih mengenal Jiwa merana juga! Seperti masih
bujangan saja si Hantu Muka Tembok itu."
"Sest... diam!" sergah Raka lagi.
Suara tokoh tua tanpa kumis dan jenggot itu
terdengar lagi.
"Justru aku sekarang mencurigaimu sebagai
pembunuh gurumu sendiri dan mencuri Kipas Kedung
Gairah!" "Jaga mulut tuamu, Hantu Muka Tembok! Bisa
kurobek mulutmu jika berkata' begitu lagi di depanku!"
"Oh, kau takut ada orang yang mendengar kecurigaan ku ini" Kurasa semua orang sudah tahu kalau kau yang mencuri kipas pusaka gurumu itu dengan cara membunuh Demit Selingkuh!"
"Dusta!" teriak Selir Pamujan. "Guru tewas pa-da saat sedang semadi dan
seseorang menyerangnya
dengan senjata rahasia beracun mematikan. Kala Itu
aku dan beberapa orang sedang mengadakan pertemuan membicarakan tentang kematian Ratu Cumbu
Laras, karena beberapa orangnya Ratu Cumbu Laras
ingin bergabung denganku untuk menyerang Pendekar
Kembar! Mana mungkin aku sempat pergi ke gua dan
membunuh Guru?"
"Semua bisa diatur. Semua bisa kau atur dengan se rapi mungkin, Selir Pamujan," Hantu Muka Tembok mencibir sinis. "Apa
sulitnya meninggalkan mereka sebentar dengan alasan tertentu, sementara
kau melesat ke gua yang tak jauh dari kediaman gurumu itu"!".
"Dasar mulut busuk! Kau ingin cuci tangan dalam perkara ini, Hantu Muka Borok! Sebelum kau
memutar balik tuduhan, sebaiknya kau ku musnahkan lebih dulu! Hiaaaah...!"
Kedua tangan Selir Pamujan menyentak ke
samping atas dengan jari-jari terbuka. Tiba-tiba dari atas kedua pohon yang
posisinya ada di kanan-kiri
Hantu Muka Tembok itu muncul dua sosok manusia
tua berwajah serupa dengan Hantu Muka Tembok, pakaian dan perawakannya sama persis, bahkan keduanya juga memegang tongkat berkepala bentuk ikan
lele. Pendekar Kembar yang tadi terperanjat saat
namanya disebutkan Selir Pamujan, kini terperanjat
lagi melihat kemunculan dua orang yang serupa dengan Hantu Muka Tembok. Saat itu Biang Tawa segera
berkata dengan nada pelan, namun didengar oleh Raka dan Soka.
"Nah, dia mulai gunakan ilmu sihirnya."
"Siapa kedua orang yang ada di atas pohon itu, Paman?"
"Bayangan yang dicipta oleh kekuatan sihir Selir Pamujan!"
Sebelum Soka ajukan tanya, tiba-tiba kedua
orang yang serupa dengan Hantu Muka Tembok itu segera meluncur dari atas pohon. Mereka menyerang
Hantu Muka Tembok dengan tongkat masing-masing
yang siap dihantamkan ke arah kepala Hantu Muka
Tembok. "Heeaaah...!"
Keduanya sama-sama berteriak liar, lalu dalam
keadaan bagaikan terbang tongkat mereka dihantamkan kuat-kuat ke kepala Hantu Muka Tembok.
Wuuuut...! Hantu Muka Tembok sempat kebingungan melihat kedua penyerang dari kanan-kiri berwujud seperti
dirinya sendiri. Namun begitu menyadari jiwanya terancam, Hantu Muka Tembok segera melompat mundur satu langkah dan rendahkan kaki dengan kedua
tangan mengangkat tongkat di atas kepala.
Traaak, traaak, blaar...!
Hantu Muka Tembok terjungkal ke belakang
dan berguling-guling karena ledakan kuat yang terjadi akibat benturan tongkattongkat tersebut. Sementara itu, kedua bayangan dirinya segera datang menyerang
dengan tongkatnya kembali.
Hantu Muka Tembok buru-buru bangkit dan lepaskan tongkatnya sebentar. Dengan satu kaki berlutut, ia sentakkan kedua tangannya ke depan. Kedua
tangan itu keluarkan sinar merah bersama asap tipis yang melesat ke arah tubuh
kedua manusia tua yang
serupa dengan dirinya itu. Clap, clap...!
Sinar merah kecil itu menghantam tubuh kedua orang yang mirip dirinya. Duar, duar...!
"Aaaaaakh...!" Hantu Muka Tembok memekik
kesakitan sendiri. Perut dan dadanya keluarkan
asap sebagai tanda terbakar oleh kekuatan api cukup tinggi. Sedangkan kedua
orang yang serupa dengan dirinya, yang tadi terkena sinar merah di bagian perut
dan dadanya itu, hanya terpental beberapa langkah
namun segera bangkit dengan sehat tanpa luka sedikit pun. Hantu Muka Tembok
segera menyambar tongkatnya. Rupanya ia masih mampu bertahan dalam
keadaan terluka begitu. ia segera memutar tongkatnya untuk hadapi serangan kedua
orang yang serupa dengannya itu.
"Edan! Bisa tewas pak tua itu, karena setiap ia melukai lawannya Justru dirinya
sendiri yang terluka"!" ujar Soka Pura.
Raka dan Biang Tawa tampak ikut tegang memandangi Hantu Muka Tembok kewalahan hadapi dua
lawan yang sama saja melawan diri sendiri itu. Sementara itu, Selir Pamujan
sengaja menonton dengan santai di bawah pohon sambil sesekali sunggingkan senyum sinis. "Kau tak akan mampu hadapi ilmu 'Rahwana
Garang'-ku itu, Hantu Muka Tembok!" seru Selir Pamujan dari tempatnya. Ia tampak
girang melihat Hantu Muka Tembok terdesak. Kini ia Justru sentakkan lagi tangan
kanannya ke arah pertarungan itu. Dalam sekejap muncul satu orang lagi yang
serupa dengan Han-tu Muka Tembok dan ikut menyerang Hantu Muka
Tembok dengan liar.
"Celaka! Hantu Muka Tembok tak akan bisa
bertahan lebih lama lagi, karena ia tak bisa memusnahkan tiga bayangan manusia serupa dengan dirinya
itu!" ujar Biang Tawa. "Bantulah dia, Raka!"
Tiba-tiba sekelebat bayangan melintas di belakang Hantu Muka Tembok yang sedang terdesak tiga
lawannya itu. Bayangan tersebut berkelebat tak terlalu cepat sehingga bisa
dikenali siapa sebenarnya si
bayangan Itu. Pendekar Kembar dan Biang Tawa juga
melihat jelas bahwa orang yang berkelebat dl hutan belakang Hantu Muka Tembok
itu adalah gadis cantik
berjubah biru yang tak lain adalah Dewi Binal, cucu si Tabib Kubur.
"Hoi itu si Dewi Binal"!" ujar Soka dengan suara pelan bernada tegang.
Rupanya Selir Pamujan juga melihat kelebatan
Dewi Binal. Karena Dewi Binal sempat perlambat langkah sebentar untuk melihat
pertarungan tersebut.
Agaknya Dewi Binal tak tertarik dengan pertarungan itu don mempunyai urusan sendiri yang lebih
penting sehingga segera meninggalkan tempat tersebut. Tapi karena Selir Pamujan mengenali siapa gadis yang berkelebat pergi itu,
maka ia pun segera meninggalkan Hantu Muka Tembok, dibiarkan bertarung sendiri dengan tiga bayangannya. Selir Pamujan segera
mengejar Dewi Binal dengan wajah berang.
Soka mencemaskan keselamatan Dewi Binal.
Sebab ia tahu Dewi Binal tak akan mampu hadapi Selir Pamujan. Maka ia pun berkata kepada kakak kembarnya, "Ku cegah si Selir Pamujan agar tak mengejar Dewi Binal! Kau bantu Hantu
Muka Tembok itu le-nyapkan tiga bayangannya!"
"Tapi dia dulu pernah membuatku tak berdaya!" "Kau bisa bikin perhitungan lain dengannya!
Yang penting... oh, Dewi Binal bisa mat! dl tangan Selir Pamujan kalau tak
segera kutolong!"
Wuuuzz...! Soka Pura berkelebat bagaikan lenyap. Ia menggunakan jurus 'Jalur Badai' yang mampu berlari secepat hembusan badan paling cepat. Sementara itu, Raka Pura kebingungan Sendiri memutuskan langkahnya. Sebab dulu ia pernah dibuat tak
berdaya oleh serangan Hantu Muka Tembok saat ia
memihak Nini Sawandupa.
"Jika kau bisa bantu dia, maka dia akan hormat padamu, karena kau tak menaruh dendam padanya," ujar Blang Tawa, akhirnya Raka Pura pun melesat ke tengah pertarungan
untuk membantu Hantu
Muka Tembok. * * * 4 TIGA manusia bayangan itu segera diterjang
oleh Raka Pura dalam satu kelebatan bagai terbang.
Tiap-tiap kepala dapat satu tendangan kaki bertenaga dalam cukup besar. Des,
des, des...! Tetapi justru yang meraung kesakitan adalah Hantu Muka Tembok
sebenarnya. "Aaow, aaaah, auuuhk...!" Brrrrua...! Hantu Muka Tembok sebenarnya
jatuh terkapar sambil mengerang kesakitan, sedangkan tiga manusia bayangan
serupa dirinya hanya terpelanting dan terhuyunghuyung, namun dapat segera berdiri tegak dan Siap
menyerang Hantu Muka Tembok lagi. Seakan serangan
Raka tak dihiraukan oleh mereka.
"Jangan serang dia!" teriak Hantu Muka Tembok ketika melihat Raka Ingin lepaskan
pukulan ke arah tiga bayangan menyerupai dirinya itu.
"Kalau kau serang dia, aku yang kesakitan!"
Raka Pura menjadi bingung sendiri menghadapi hal
itu. Tapi dalam hatinya ia segera berkata dengan nada gembira.
"O, seharusnya kuserang memakai Jurus 'Getar
Jagat' yang belum pernah kugunakan untuk melawan
seseorang. Hmmm... baiklah, akan kugunakan saja jurus itu lalu ku sambar tubuh si Hantu Muka Tembok
yang asli itu!"
Pada waktu itu, tiga manusia bayangan sedang
kerahkan tenaga dengan jurus yang sama. Mereka
akan menghujamkan tongkat masing-masing ke tubuh
Hantu Muka Tembok.
Tetapi tiba-tiba kaki kanan Raka Pura menghentak ke bumi satu kali. Duuhk...! Kaki kirinya menyentak dan tubuh pun
melambung. Wuuus...!
Saat tubuh Raka melambung itulah, tanah di
sekitar mereka menjadi bergetar dan retak seketika.
Tiga manusia bayangan itu terperosok masuk ke dalam keretakan tanah yang mirip
kiamat itu. Suara gemu-ruhnya menggema ke mana-mana. Hembusan badal
pun datang menerpa alam sekitar tempat itu.
Sedangkan tubuh Hantu Muka Tembok yang
ingin ikut terperosok ke dalam bongkahan tanah lebar itu segera disambar oleh
Raka Pura. Wuuus...! Kaki
Raka Pura menyentak ke batang pohon, maka tubuh
pun melayang ke tempat lain dengan cepat. Weess...!
"Aaaa...!" suara tiga manusia bayangan itu lenyap setelah mereka bagaikan
tersedot kekuatan besar dari dalam tanah.
Wuuuurrrs...! Tiba-tiba tanah yang tadinya retak dan longsor
ke dalam itu menjadi timbul kembali dan rata seperti.
sediakala, sementara tiga manusia bayangan tak pernah muncul lagi. Mereka bagaikan terkubur dalam tanah, sementara Hantu Muka Tembok yang sebenarnya
terselamatkan. Kini pak tua itu ada di atas dataran tinggi, tempat Biang Tawa
menunggu dibawah sebatang pohon rindang.
"Umurmu masih panjang, Pak Tua!" ujar Biang Tawa dengan kalem.
Hantu Muka Tembok terperanjat setelah sadar
betul siapa yang menyelamatkannya. Ia segera ingat
tentang pertarungannya dengan Nini Sawundapa beberapa waktu yang lalu, (Baca serial Pendekar Kembar
dalam episode: "Kencan Di Ujung Maut"). Ia juga ingat kala itu ia melumpuhkan
Raka sementara dirinya sendiri segera lari dalam keadaan terluka.
"Kau..."! Kenapa kau menolongku dari tiga manusia bayangan itu"!"
"Tak tega melihat dirimu buat mainan oleh manusia jelmaan Selir Pamujan itu, Pak Tua!" jawab Raka seenaknya.
"Kau pikir aku tak mampu kalahkan mereka"!"
"Hei, Jangan tersinggung dulu!" sergah Biang Tawa. "Masih untung kau
diselamatkan. Coba kalau dibiarkan saja, kau akan ikut terkubur bersama tiga
manusia bayangan yang mirip dirimu itu!"
"Tapi aku mampu selamatkan diriku sendiri,
tanpa harus mendapat bantuan orang lain!" Hantu Muka Tembok ngotot.
Biang Tawa menggerutu, "Dasar orang tak tahu
berterima kasih! Sudah ditolong malah menggonggong!
Tahan saja dia di tanah sini, Raka!"
Raka Pura hanya tersenyum sabar "Hantu Muka Tembok, dulu kita memang berselisih karena kau
ingin dapatkan Bunga Pucuk Dara di Gua Mulut Naga.
Sekarang bunga itu sudah tak ada dan Gua Mulut
Naga tidak menjadi bahan incaran orang lagi.
Untuk apa kita harus berselisih terus, toh kala ini kita sama-sama celaka"!"
Hantu Muka Tembok menggumam bernada gerutu tak jelas. Matanya memandang ke arah tempat
pertarungannya tadi. Dalam hati ia merasa kagum melihat tempat itu sudah rata seperti sediakala, seolah-olah tak pernah retak dan
longsor ke dalam sedikit
pun. "Bocah ini memang hebat. Kuakui, kalau tak ada dia, mungkin aku akan mati
dl tangan ketiga
bayangan diriku sendiri itu. Memang seharusnya aku
berterima kasih kepada anak muda itu, tapi... pikirpikir malu juga, ya" Sudah
tua, berilmu tinggi, masih dito-long anak kemarin sore. Mau bilang terima kasih
saja sulitnya bukan main."
Biang Tawa yang sudah lama mengenal Hantu
Muka Tembok namun tak terlalu akrab itu, tiba-tiba
ajukan tanya yang membuat Hantu Muka Tembok sedikit tersinggung.


Pendekar Kembar 5 Gairah Sang Pembantai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benarkah kau yang membunuh Nyai Demit Selingkuh dan mencuri kipas pusakanya?"
"Kau bertanya atau menuduh"!" Hantu Muka
Tembok sedikit menyentak. Katanya lag!,
"Justru aku ingin datang ke Bukit Bolong untuk temui Selir Pamujan dan menanyakan masalah
yang sebenarnya, eeh... tahu-tahu aku malah dituduhnya sebagai pembunuh dan pencuri! Dasar gadis
koplol" Hantu Muka Tembok bersungut-sungut. "Kurasa dia sendiri yang membunuh
gurunya dan mencuri
kipas pusaka itu!"
Raka Pura menyahut, "Kudengar justru Dewi
Binal yang dicurigai sebagai pembunuh Nyai Demit Selingkuh dan mencuri Kipas
Kedung Gairah Itu?"
Hantu Muka Tembok menjawab, "Kalau benar
dia juga punya tuduhan terhadap orang lain, berarti setiap orang dicurigainya
sebagai pembunuh dan pencuri pusaka gurunya!"
"Hei, Raka... mengapa kita hanya di sini saja"!"
ujar Biang Tawa. "Siapa tahu Soka kerepotan menahan amukan Selir Pamujan
terhadap Dewi Binal?"
"Benar Juga, Paman. Kita harus segera menyusul Soka!"
"Kau tak mau ikut kami, Hantu Muka Tembok"!' tanya Biang Tawa, sengaja menyalahkan kata
sebagai canda, tapi membuat Hantu Muka Tembok
bersungut-sungut dongkol.
"Tidak. Aku mau mencari muridku Akan kusuruh muridku membalaskan tindakan gegabah si Selir
Pamujan itu!"
Hantu Muka Tembok pergi lebih dulu setelah
berkata, "Sampai Jumpa dl lain waktu!" Sementara itu Raka dan Biang Tawa segera
bergegas menyusul Soka
Pura. Raka tak begitu mencemaskan jika sampai Soka
Pura bertarung melawan Selir Pamujan karena membela Dewi Binal. Yang ia cemaskan justru keselamatan Dewi Binal Jika Soka datang
terlambat. Ternyata Soka Pura justru berhasil menghadang langkah Selir Pamujan sebelum perempuan berpakaian ungu itu berhasil mengejar Dewi Binal. Gadis cucu tabib Kubur itu tak
tahu kalau dirinya dikejar oleh Selir Pamujan. Pelariannya di daerah itu
karena ia ingin menyusul Soka Pura, karena ia
mulai dapat merasakan tak bisa berpisah dengan Soka sejak Pendekar Kembar
tinggalkan Bukit Gamping,
(Baca serial Pendekar Kembar dalam episode: "Setan Cabul"). Dewi Binal tetap
berlari mencari Raka Pura yang hilang dari pandangan matanya ketika hari menjadi
malam. Ia lanjutkan pencariannya dengan mengandalkan naluri semata, ia tidak tahu, bahwa Soka
Pura berada di belakangnya dan sedang berusaha hentikan pengejaran Selir Pamujan terhadapnya.
Mata berkesan galak-galak mesra itu terkesiap
memandang munculnya seorang pemuda berwajah
tampan. Sekalipun wajah tampan itu tidak berkesan
memusuhinya, tapi Selir Pamujan merasa sedang berhadapan dengan seorang pengganggu yang menyebalkan. Ia tidak benci, hanya sebal saja. Mungkin kalau Soka Pura tidak punya wajah
tampan dan tubuh kekar
gagah, Selir Pamujan akan menaruh rasa bend dan
langsung menyerangnya.
Melihat pedang kristal di pinggang kanan si pemuda tampan, Selir Pamujan mulai semakin lebih
waspada lagi, "Pasti bukan pemuda sembarangan," pi-kirnya. Soka Pura mulai
berdebar ketika berhadapan
dengan kecantikan itu dalam jarak empat langkah. Ma-ta tajam perempuan cantik
itu terasa menembus sampai ke relung hati, sehingga lidah Soka Pura sempat kelu sesaat. Akibatnya
mereka beradu pandang selama lima helaan napas lebih. Jika perempuan itu tidak
me-negurnya lebih dulu, Soka Pura masih tertegun bengong menikmati kecantikan dan kemolekan tubuh
seindah itu. "Siapa kau"!" ketus Selir Pamujan.
"Hmmm... aku... aku bernama Soka Pura. Belum punya kekasih, eh... anu... Iya, bukan begitu maksudku. Tapi... tapi namaku
Soka Pura," ujar si murid mendiang Dewa Kencan sambil cengar-cengir. Sementara
itu, Selir Pamujan berkerut dahi, merasa asing dengan nama Soka Pura dan sosok
penampilan tam-pannya itu. Ia memang pernah mendengar tentang
Pendekar Kembar, tapi ia belum pernah bertemu dan
tidak tahu bahwa salah satu dari Pendekar Kembar itu bernama Soka Pura.
"Apa maksudmu menghadang langkahku"!" ketusnya lagi. Sambil masih cengar-cengir, Soka menjawab
konyol, "Entah, ya. Aku sendiri tak tahu kenapa aku menghadangmu."
"Hmmm...! Memuakkan sekali."
"Iya. Memang memuakkan. Gawat." Soka Pura geleng-geleng kepala, seakan merasa
heran dengan si-kapnya sendiri.
"Kau mau ke mana, Selir Pamujan?"
Perempuan itu terkesiap kembali mendengar
namanya disebutkan.
"Dari mana kau tahu namaku?"
"Dari tadi," jawab Soka konyol sambil nyengir.
Selir Pamujan membentak, "Dari mana kau tahu namaku"!"
"Dari... dari pertarungan mu tadi. Aku melihatmu bertarung melawan Hantu Muka Jorok," eh...
Hantu Muka Tembok. Dia sebutkan namamu dan aku
men catat dalam otakku!"
"Hmmm...!" Selir Pamujan manggut-mangut sinis. "Apa kau punya otak untuk
mencatat namaku?"
Soka Pura tertawa geli sambil garuk-garuk kepala. "Kalau tak salah... otakku masih tertinggal di kepala ini. Berarti aku
masih punya otak, bukan?"
"Kalau punya otak mengapa kau menghadang
langkahku sedangkan kita tak punya urusan apaapa"!" "Iya, ya..."! Kalau aku punya otak kenapa menghadangmu tanpa alasan, ya?"
gumam Soka berlagak heran sendiri.
"Kalau ku tanggapi pemuda ini, aku bisa kehilangan jejak si Dewi Binal tadi. Sebaiknya ku tinggalkan dulu pemuda ini!" pikir
Selir Pamujan. Lalu tubuhnya tiba-tiba lenyap bagai ditelan bumi dengan
tinggalkan asap yang mengepul mengejutkan Soka.
Jluuub, buuuss...!
"Lho, hilang..."!" Soka Pura kebingungan, tengok sana tengok sini dengan mulut
melongo. Kejap kemudian matanya temukan bayangan Selir Pamujan
sedang mendaki sebuah bukit yang diperkirakan sebagai jalan pelarian Dewi Binal itu.
"Hebat juga dia! Tahu-tahu sudah ada di sana"!
Hmmm..., akan kukejar dia dengan jurus 'Jalur Badai'ku!" Wuuuzzzz...!
Selir Pamujan mulai dongkol karena pandangan
matanya tak menemukan bayangan Dewi Binal. Tapi
tiba-tiba ia hentikan langkah secara mendadak
sekali karena Seorang pemuda tampan sudah
bera-da di depan langkahnya. Pemuda itu tak lain adalah Soka Pura yang berhasil
menyusul kecepatan gerak Selir Pamujan.
"Edan! Dia sudah ada di depanku lagi"!" geram hati Selir Pamujan.
"Apa maumu sebenarnya, hah"!" bentak Selir Pamujan dengan mata melebar hingga
kecantikannya kian bertambah memukau.
"Aku... aku mau minta tolong padamu," jawab Soka sambil cengar-cengir lagi.
"Tahukah kau di mana Betina Rimba berada"!"
"Aku tidak tahu!" jawab Selir Pamujan dengan membentak. Ia melangkah lebih dekat
hingga berjarak dua langkah dari Soka.
"Kalau kau masih mengganggu langkahku akan
ku rontokkan gigimu Itu biar tak bisa cengar-cengir la-gi!"
"Heh, heh, heh...," Soka justru nyengir semakin lebar diiringi tawa yang
terkekeh mirip orang tua. "Gigi masih utuh kok mau dirontokkan, nanti kalau aku
mau gosok gigi bagaimana?"
"Kau benar-benar membuatku marah, Soka Pura!" "Kau membuatku geregetan, Selir Pamujan."
"Kurang ajar! Hiaaaah...!"
Selir Pamujan hantamkan pukulannya ke wajah Soka. Kepala pemuda itu miring ke kiri sambil lepaskan totokan dua jari
tangan kirinya ke pergelangan tangan Selir Pamujan yang tak berhasil memukul
wajah Soka. Dees...!
"Aaauh...!" Selir Pamujan memekik sambil menarik tangannya dan mendekap tangan
itu dengan wa- jah merah. Sementara itu, diam-diam Soka Pura terkejut dalam hati karena
totokannya tidak berfungsi seba-gaimana mestinya.
"Gila! Jurus Totok Pikun'-ku tak mempan
membuatnya linglung" Biasanya jurus 'Totok Pikun'
akan membuat orang yang terkena segera jatuh lemas, kemudian segera bertenaga
kembali tapi sudah lupa
dengan keadaan semula. Ternyata perempuan ini
mampu menahan jurus 'Totok Pikun'-ku. la masih bisa berdiri, hanya menjadi merah
wajahnya dan gemetaran sedikit. Oh, kalau begitu dia punya tenaga inti cukup
besar"!" "Setan!" geram Selir Pamujan setelah melihat pergelangan tangannya
menjadi bengkak sedikit. Kulit wajahnya yang merah itu tak disadari telah
membuat kecantikannya menjadi menyeramkan. Soka Pura
sempat mundur dua langkah karena ngeri melihat ke Playboy Dari Nanking 14 Perkampungan Misterius Seri Pendekar Cinta 4 Karya Tabib Gila Naga Beracun 9

Cari Blog Ini