Ceritasilat Novel Online

Kitab Ajian Dewa 1

Pendekar Gila 21 Kitab Ajian Dewa Bagian 1


KITAB AJIAN DEWA
Oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : A. Suyudi.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Firman R Serial Pendekar Gila
dalam episode 21:
Kitab Ajian Dewa
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Di pagi buta yang dingin suasana tampak remang-remang. Kabut merayap menyelimuti
bumi. Dari kejauhan terdengar beberapa kali ayam jantan berkokok. Sementara itu
pula, samar-samar terdengar derap langkah kaki-kaki kuda menembus keheningan
pagi. "Hea...! Hea...! Heaaa...!"
Dari suara teriakan sang Pengendali, kuda-kuda itu tampaknya terus dipacu agar
berlari lebih kencang.
Gemuruh kaki-kaki kuda itu semakin jelas terdengar. Ternyata dari arah timur
tampak samar-samar sebuah kereta tengah melintas di jalan berbatu, menuju
Pegunungan Sasakan.
"Hea..., hea...!"
Kusir kereta itu terus menggebah kuda-kudanya agar berlari semakin kencang.
Lelaki berusia sakitar empat puluh lima tahun dengan wajah nampak lugu itu,
sesekali menoleh ke belakang. Seakan ada sesuatu yang ditakutkan.
Kuda-kuda penarik kereta yang sedang merangkak di jalan menanjak itu sambil
terus berlari, nampak kepayahan. Sesekali terdengar ringkikannya yang keras
sambil terus berlari perlahan-lahan.
"Hea, hea, hea...!"
Sang Kusir terus berteriak sambil menghentak-hentakkan tali kekang di tangannya.
Kereta beroda empat itu ternyata mengangkut seorang wanita berusia sekitar tiga
puluh tahun yang memangku
putranya. Wajah wanita cantik berpakaian merah jingga itu menggambarkan kedukaan
yang bercampur dengan rasa takut. Seolah-olah ada sesuatu yang tengah dicemaskan
dalam hatinya. "Hhh...! Aku tak habis pikir, kenapa ketiga lelaki itu menghabisi nyawa suamiku
secara kejam," gumam wanita itu dalam hati. "Tapi, kalau aku tak salah dengar,
tadi mereka menanyakan tentang sebuah kitab. Kitab..." Kita apa yang mereka
ributkan itu..."
Setahuku Kakang Karto Pari tak pernah berbuat jahat. Suamiku lelaki yang
baik..." Wanita itu terus bergelut dengan pikirannya sendiri. Semetara itu kereta berkuda
yang tengah melintas di jalan terjal dan berbatu-batu, tampak terguncang ke
kanan dan kiri.
"Nyi...! Nyi Ambar...!" terdengar suara sang Kusir memanggil wanita di dalam
kereta itu. "Ada apa, Kakang Trenggana...?" sahut wanita yang dipanggil Nyi Ambar. Wanita
itu masih memeluk bocah berusia lima tahunan di pangkuannya. "Ya, ya..., aku
tahu! Aku masih mengawasi terus ke belakang," ujarnya.
Ambar Sari memang tetap terus mengawasi ke belakang. Hatinya khawatir kalau para
lelaki yang telah membunuh suaminya akan mengejar kereta itu.
"Ibu, hendak ke manakah kita?" tanya bocah kecil itu sambil menatap wajah ibunya
penuh perhatian.
"Entahlah, Purbaya... Mungkin Trenggana akan membawa kita ke rumah pamanmu,"
jawab sang Ibu lirih dengan tatapan penuh kasih.
"Masih jauhkah rumah paman dari sini, Bu...?"
tanya bocah kecil yang ternyata bernama Purbaya itu.
Wajahnya yang mungil tampak cemas, seperti juga sang Ibu yang terus memeluknya
penuh kasih. "Masih, Anakku! Mungkin setengah hari perjalanan lagi," sahut Ambar Sari.
Ambar Sari masih memeluk anaknya sambil
sesekali menoleh ke belakang dengan pandangan cemas. Hatinya takut kalau ketiga
orang yang mengejarnya akan terus mengikuti.
Di depan, kusir kereta bernama Trenggana itu terus beruaha menjalankan kereta
melalui jalan yang menanjak.
Kini kereta itu melaju, menelusuri jalanan yang tidak rata. Jalanan berbatuan
yang sangat sulit untuk dilintasi. Tetapi Trenggana terus berusaha mengendalikan kuda-kuda itu dengan sebaik mungkin. Di wajahnya masih tergambar
perasaan takut, kalau ketiga orang yang mengejarnya akan dapat menyusul kereta
mereka. "Hea, hea, heaaa...!"
"Kakang Trenggana, tak dapatkah kau percepat sedikit lagi lari keretanya?" tanya
Ambar Sari sambil membelai-belai rambut Purbaya, ketika tiba-tiba matanya
melihat tiga lelaki penungang kuda tengah mengejar kereta itu. Seketika hatinya
tersetak kaget "Kakang Trenggana..., lihatlah di belakang! Mereka mengejar kita, Kang."
Tanpa banyak kata, Trenggana segera menghentak tali kekang kuda. Setelah
dicambuk dua kali binatang-binatang itu langsung berlari lebih kencang.
"Hea, hea, heaaa...!"
Trak! Trak...! Ketika sampai di jalan yang agak rata, kuda-kuda penarik kereta itu berlari kian
kencang. Sementara itu ketiga lelaki berwajah beringas yang memburunya, terus
menggebah kuda-kuda tunggangan mereka.
"Hea, hea...!"
Suara teriakan mereka terdengar ditingkahi gemuruh dan bunyi gemeretak bebatuan
kecil, tersepak kaki-kaki kuda. Kabut tipis yang menyelimuti jalan berbatu di
Pegunungan Sasakan serta hawa dingin yang menusuk tulang sumsum tak mereka
hiraukan. Ketiga lelaki berwajah beringas itu terus menggebah kuda mereka,
mengejar kereta yang sudah mulai tampak di depan.
Kereta yang ditarik dua ekor kuda itu terus melaju dengan cepat. Kini kereta itu
tampak semakin bertambah cepat, karena jalanan mulai menurun.
"Hea, hea...!"
Namun kenyataan pahit tetap harus dialami keluarga Kerto Pati. Betapapun kudakuda penarik kereta itu dapat berlari kencang, tetap tak mampu menandingi
kecepatan ketiga kuda di belakang.
Sehingga, pada sebuah tikungan jalan yang cukup tajam ketiga lelaki yang
mengejar berhasil menyusul.
Bahkan akhirnya mereka menghadang di depan kereta itu.
"Hop...!"
"Ha ha ha...!"
"Kenapa kalian menghadang kami"!" tanya Ambar Sari dengan suara membentak.
Matanya melotot menatap ketiga lelaki bermuka garang yang masih duduk di
punggung kuda. "He he he...! Kau tampak semakin cantik jika marah begitu, Ambar. Hm...!
Menyenangkan sekali.
Mungkin di atas ranjang pun kau akan segalak itu. He he he...!" gumam lelaki
berkepala botak dan berhidung mancung. Alis matanya yang tebal bergerak-gerak ke
atas. Dengan senyum nakal lelaki bernama Watu Gunung itu menatap penuh nafsu
pada Ambar Sari.
"Ambar! Katakan, di mana kau simpan Kitab Ajian Dewa?" tanya lelaki bertubuh
gempal. "Orang-orang tua tak tahu malu!" suara bentakan terdengar dari mulut Purbaya
yang masih dalam pelukan sang Ibu. Bocah kecil itu sepertinya tak merasa takut
sama sekali. Bahkan matanya yang indah tampak menatap penuh kebencian pada
ketiga lelaki garang di depan keretanya. "Telah kalian bunuh ayah. Kini, kalian
menghadang kami! Apa sebenarnya yang kalian inginkan dari kami"!"
Ketiga lelaki berwajah garang itu tersentak kaget mendengar bentakan Purbaya.
Mereka tak menyangka, kalau bocah sekecil itu akan berani.
Bahkan sedikit pun tak tampak rasa takut di wajah mungil bocah itu.
"He he he...! Kau terlalu berani, Bocah?" sentak lelaki bermata sipit dan
berkumis melintang. Lelaki berpakaian seperti kulit harimau itu melotot tajam
pada Purbaya. "Ambar! Katakan, di mana kitab itu kau simpan!
Atau anakmu akan kulempar ke dasar jurang itu!"
ancam lelaki berkepala botak yang ternyata bernama Sodra.
Mendengar pertanyaan Sodra, seketika Ambar Sari terdiam. Dia berusaha mengingatingat kitab macam apa. Dia memang pernah mendengar dari Kerto Pati, suaminya
tentang sebuah kitab yang dititipkan oleh Pendekar Gila, yang katanya kitab itu
harus diberikan pada murid dari Pendekar Gila itu. Sejak saat itulah, Pendekar
Gila menghilang.
"Mungkinkah kitab itu yang ditanyakan mereka?"
tanya Ambar Sari dalam hati.
"Aku tak tahu!" sentak Ambar Sari sengit
"He he he...! Kami tak percaya. Bagaimanapun,
kau istri Kerto Pati. Kau tentu tahu di mana suamimu menyimpan kitab itu!" tukas
Lombang lelaki berusia empat puluhan yang mengenakan pakaian ungu.
"Terserah kalian! Yang pasti, aku tak tahu tentang kitab yang kalian kehendaki
itu!" bentak Ambar Sari tanpa rasa takut sedikit pun. Tangannya mendekap tubuh
Purbaya, berusaha melindungi sang Anak dari ancaman ketiga lelaki bertampang
beringas itu. "Ha ha ha...!"
Ketiga lelaki bermuka garang itu tertawa terbahak-bahak. Kemudian melompat dan
segera mendekati kereta.
Melihat gelagat yang tidak menguntungkan.
Trenggana yang tak ingin majikannya celaka tampak geram dan marah. Dengan
berani, kusir kereta itu melompat lalu menatap wajah Sodra.
"Hea!"
Sodra yang tak menduga akan mendapat serangan mendadak itu tersetak kaget Dia
berusaha mengelakkan serangan dengan memiringkan tubuh ke samping kiri. Namun
tak urung dagunya terkena tendangan Trenggana.
Begkh! "Ukh! Setan! Kau mencari mati, Kusir Keparat!"
dengus Sodra dengan tubuh terhuyung-huyung ke belakang. Mulutnya meringis
kesakitan. Melihat temannya diserang dengan dahyat,
Lombang dan Watu Gunung menggeram sengit.
Keduanya segera berlari mengejar Trenggana yang telah siap berdiri tegak.
"Kusir keparat! Rupanya kau mencari mampus!"
dengus Lombang geram. Mata lelaki berpakaian seperti kulit macan itu melotot
marah. "Kupecahkan batok kepalamu, Kusir Keparat!"
bentak Watu Gunung sambil melesat melancarkan pukulan tangan kanan ke tubuh
Trenggana. "Hih"! Uts...!" dengan cepat Trenggana menggeser kaki kanan ke samping. Kemudian
diikuti dengan memiringkan tubuh. Namun hampir bersamaan dengan gerakan itu
Trenggana melancarkan sebuah tendangan kaki kiri.
Wut! "Uts!" dengan cepat Watu Gunung mengelit.
Sementara itu kaki kirinya melancarkan sebuah tendangan keras, dilanjutkan
dengan jotosan tangan kanan ke dada Trenggana.
"Hih! Heaaa...!"
Pertarungan Trenggana melawan ketiga orang yang mengeroyoknya bertambah seru.
Ternyata kusir kereta itu bukan orang sembarangan. Badannya yang kurus, dengan
gesit berkelebat ke sana kemari mengelakkan serangan ketiga lawannya.
Melihat Trenggana memberi isyarat agar Ambar Sari dan anaknya pergi. Wanita itu
tak menyia-nyiakan waktu. Diajaknya Purbaya pergi meninggalkan tempat itu.
"Ayo Purbaya, kita harus secepatnya meninggalkan tempat ini!" ajak Ambar Sari
sambil menggandeng tangan anaknya pergi meninggalkan tempat itu.
"Bagaimana dengan Paman Trenggana, Bu"
Kasihan dia sendirian. Nanti dibunuh ketiga orang jahat itu," ujar Purbaya
berusaha berhenti. Tetapi Ambar Sari terus menarik tangannya. Bocah itu terus
menoleh ke belakang, meyakinkan pertarungan antara Trenggana dengan ketiga
lelaki bermuka bengis itu sampai di mana.
"Biarlah, Purbaya! Paman Trenggana telah
menyuruh kita segera pergi," kata Ambar Sari sambil
terus menggandeng tangan anaknya agar mengikuti langkahnya.
"Tapi, Bu. Kita harus menolongnya!"
"Tidak mungkin, Anakku. Kita tak memiliki kekuatan untuk melawan mereka. Ayo
cepat...!" ajak Ambar Sari sambil menarik tangan Purbaya yang hendak berhenti.
Dengan masih menoleh ke tempat pertarungan antara Trenggana dan ketiga orang
bermuka bengis itu, Purbaya pun mengikuti langkah kaki ibunya.
Kedua ibu dan anak itu dengan tergesa-gesa berlari.
Kaki Purbaya tampak terseret-seret mengikut langkah sang Ibu. Mereka terus
berlari ke selatan menuju hutan belantara Gandracupa yang membentang seperti
menutupi Pegunungan Sasakan.
*** Pertarungan antara Trenggana melawan ketiga orang pengeroyoknya masih berjalan
seru. Sang Kusir yang nampak lugu dan bodoh, ternyata mampu bertahan dari
gempuran ketiga lelaki bengis itu.
Malah terkadang dia mampu balas menyerang dengan tak kalah cepat. Tangannya
bergerak memukul ke sana kemari. Disusul dengan tendangan-tendangan keras kedua
kakinya. Ketiga lawannya yang tidak menyangka akan menemukan lawan cukup tangguh itu,
tersentak kaget. Mereka tak menduga sama sekali kalau kusir kereta itu memiliki
ilmu silat yang cukup tinggi.
"Kurang ajar! Punya isi juga kau, Kusir Keparat!"
dengus Sodra sengit. Kemudian dengan cepat, direntangkan kedua tangannya ke atas
dengan jari-jari membentuk paruh menghadap ke bawah. Itulah
jurus 'Paruh Gagak Mematuk'. Sesaat kemudian kedua tangan yang masih membentuk
paruh itu bergerak begitu cepat menyerang ke seluruh bagian tubuh Trenggana.
Namun, Trenggana yang mendapat serangan
ganas itu tak tampak gugup. Dengan cepat diegoskan kakinya dan memiringkan tubuh
ke kanan dan kiri menghindari serangan yang dilancarkan Sodra.
Wrt! "Hait! Hih..."!" dengan cepat Trenggana melancarkan tendangan keras yang
menjadikan lawan tersentak kaget. Sodra berusaha mengelit, tetapi dengan cepat
Trenggana kembali melancarkan serangan dengan kaki kirinya. Begitu cepat
tendangan susulan itu, membuat Sodra tersentak kaget. Lelaki berpakaian merah
tua hendak bergerak menghindar tetapi terlambat. Tendangan kaki kiri Trenggana
yang tak terduga, menghantam telak di janggutnya.
Degkh! "Ukh!" Sodra terpekik. Kepalanya terdongak ke belakang dengan darah meleleh dari
sela bibirnya. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan mulut meringis-ringis menahan
sakit. "Kurang ajar! Kubunuh kau, Kusir Keparat!"
dengus Watu Gunung seraya melesat maju
menyerang dengan pukulan telapak tangan kanan yang disebut 'Telapak Naga'.
"Heaaa...!"
Tangan kanan Watu Gunung bergerak cepat,
menyerang ke dada Trenggana. Namun, dengan cepat Trenggana memiringkan tubuh ke
samping kiri. Lalu dengan cepat pula, menangkis dengan tangan kanan. Bersamaan dengan itu kaki
kanannya me- lancarkan tendangan keras.
"Hea!"
Trak! Wrt! Tendangan kaki kanan Trenggana melesat ke dada lawan. Namun dengan cepat Watu
Gunung segera mundur selangkah. Kemudian digerakkan tangan kirinya memapak
serangan, disusul sebuah pukulan keras tangan kanan ke dada lawan.
Prak! "Hea!"
"Hih!"


Pendekar Gila 21 Kitab Ajian Dewa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat lawan bergerak cepat memapak serangannya, Trenggana tak tinggal diam.
Tangannya segera menangkap serangan balasan yang dilakukan Sodra.
Wrt! Trep! Tangan keduanya saling pegang, berusaha
menarik tubuh lawan. Namun kekuatan keduanya tampak berimbang. Keduanya segera
melanjutkan serangan dengan kedua kaki. Sementara tangan mereka masih saling
berpegangan, lalu mencengkeram pergelangan tangan lawan masingmasing.
"Hea!" Trenggana berusaha membetot tangannya yang berada dalam cengkeraman Watu
Gunung. Sedangkan kaki kanannya bergerak menendang.
Namun dengan kuat, Watu Gunung tetap mencengkeram tangan lawan. Sementara itu kaki kirinya bergerak memapaki tendangan
kaki Trenggana.
"Hea!"
Trak! Dua kaki saling beradu, namun keduanya masih terus mencengkeram tangan.
Trenggana berusaha
menghentakkan sikunya ke muka Watu Gunung.
Namun Watu Gunung segera balas menyikut ke wajah Trenggana.
Melihat keduanya masih terus bertarung dengan cara seperti itu. Sodra dan
Lombang yang sudah tak sabar segera mencabut pedang dari warangkanya.
Mata mereka menatap penuh kebengisan pada Trenggana.
Srt! Srt! "Mampuslah kau, Kusir Keparat! Heaaa...!" Sodra melesat dengan pedang siap
menusuk ke punggung Trenggana. Sedangkan Lombang kini bergerak dari arah
samping. Pedang di tangan kanannya, menebas ke leher Trenggana.
Melihat kedua lawannya melakukan serangan dari belakang, Trenggana sekali lagi
berusaha melepaskan cengkeraman tangan Watu Gunung. Kaki-kakinya terus bergerak
menendang kaki Watu Gunung.
Namun nampaknya Watu Gunung tak mau melepaskan cengkeramannya pada tangan
Trenggana. Sementara kakinya juga terus menangkis tendangan Trenggana.
Trak! "Hih! Heaaa...!" sambil berteriak keras Trenggana berusaha membanting tubuh
lawan sambil membungkuk. Namun pertahanan lelaki berpakaian ungu itu, tampak
begitu kuat. Sehingga meskipun telah mengerahkan seluruh kemampuannya Trenggana
tak berhasil membanting tubuh Watu Gunung. Tubuhnya mulai basah karena keringat
yang bercucuran.
Sementara kedua lawannya yang lain telah berada semakin dekat untuk melakukan
serangan. "Yeaaa...!"
"Heaaa...!"
Sodra dan Lombang telah siap melakukan
serangan dengan pedang di tangan masing-masing.
"Celaka...!" pekik Trenggana semakin tegang, menyaksikan kedua lawannya semakin
bertambah cepat memburu dirinya. Pedang di tangan mereka yang berkilat tajam,
bagaikan siap memenggal kepala serta tubuhnya. Dikerahkan seluruh tenaga dalamnya, tetapi cengkeraman Watu Gunung benar-benar kuat.
"Heaaa...!"
Wrt! Sodra dan Lombang melancarkan serangan cepat dengan membabatkan pedang.
Cras! Jrab! "Akh...!" tanpa ampun lagi, leher dan punggung Trenggana tertebas dan tertusuk
pedang kedua lawannya. Kusir yang malang itu, limbung dengan darah mengucur
membasahi tubuhnya. Sesaat kemudian tubuhnya ambruk dan tak berkutik lagi.
"Hm, akhirnya mampus juga kusir tolol ini," dengus Watu Gunung sambil menendang
tubuh Trenggana yang terkulai berlumuran darah.
Ketiga lelaki berwajah beringas itu tertawa terbahak-bahak, menunjukkan
kesombongan. Mereka seperti melupakan Ambar Sari dan Purbaya yang lari dari
tempat itu. Dengan kuat Watu Gunung menendang mayat Trenggana ke jurang.
"Hua ha ha...! Kini tak ada lagi yang menghalangi kita untuk menanyai Ambar,"
ujar Lombang. Namun seketika matanya membelalak, ketika mengawasi ke dalam
kereta yang telah kosong. "Hai, ke mana Ambar"!"
"Hah"! Dia telah pergi. Kurang ajar...! Kita harus cari dia!" dengus Sodra
seraya melesat pergi ke timur
diikuti kedua tangannya. Mereka hendak mengejar Ambar Sari dan anaknya.
*** 2 Ambar Sari yang menggandeng Purbaya terus berlari berusaha menyelamatkan diri
dari kejaran orang-orang jahat yang telah membunuh Kerto Pati. Wanita cantik
berpakaian merah jingga itu seperti tak kenal lelah, terus menggandeng tangan
anaknya. Padahal napasnya telah tersengal-sengal setelah menempuh perjalanan
yang cukup jauh.
"Ayo Purbaya! Kita harus cepat agar mereka tak dapat mengejar kita," ajak Ambar
Sari terus menyeret tangan anaknya. Sementara Purbaya yang masih kecil itu
tampak terengah-engah dan kelelahan mengikuti lari sang Ibu yang terus
menyeretnya, karena ketakutan.
"Bu, kenapa sih mereka mengejar kita dan membunuh ayah?" tanya Purbaya dengan
suara tersengal-sengal sambil terus berlari. Wajah bocahnya tampak penasaran.
Hatinya bingung kenapa para penjahat itu membunuh sang Ayah lalu mengejar
ibunya. "Mereka memang orang jahat, Anakku. Cepatlah, jangan banyak tanya dulu tentang
hal itu yang penting kita harus segera sampai di rumah pamanmu," ajak Ambar Sari
sambil terus menggandeng tangan Purbaya. Kedua ibu dan anak itu kini tengah
melintasi semak-semak di hutan yang membentang di kaki Pegunungan Sasakan.
"Mengapa mereka jahat terhadap kita, Bu" Bukankah kita tak pernah bersalah pada
mereka?" tanya bocah berpakaian rompi biru tua itu sambil terus melangkah. Bocah
kecil itu menatap wajah sang Ibu
yang tampak diliputi rasa cemas. Kening Purbaya mengerut, karena belum juga
mengerti, mengapa ibunya tampak ketakutan. Dalam hatinya terbersit sebuah
pertanyaan. Mengapa orang-orang itu membunuh ayahnya dan kini mengejar mereka"
"Kau belum mengerti, Anakku. Mereka memang orang jahat yang sangat kejam.
Sudahlah, ayo kita teruskan!" ajak Ambar Sari sambil terus menggandeng tangan
anaknya. "Tapi, Bu. Kakiku sakit sekali. Aku ingin istirahat dulu di sini," pinta Purbaya
sambil meringis menahan rasa sakit. Ternyata telapak kakinya tertusuk onak dan
duri. Tampak darah menetes dari telapak kaki bocah itu.
Ambar Sari semakin bingung. Bagaimanapun dirinya harus segera meninggalkan
tempat itu. Namun, anaknya nampak sangat letih, setelah berjalan hampir setengah
hari. Mata Ambar Sari menatap ke sekelilingnya, takut kalau ketiga orang penjahat itu
mengejarnya. "Hhh...! Haruskah aku memberi tahu, di mana Kitab Ajian Dewa berada?" gumam
Ambar Sari dalam hati. "Tetapi Kangmas Kerto Pati menyuruhku agar tidak
memberitahukannya. Namun jika aku tidak memberi tahu, aku takut mereka akan
terus mengejarku."
"Bu, mengapa Ibu termenung" Ibu memikirkan ayah...?" tanya Purbaya dengan mata
menatap tajam wajah ibunya. Bocah kecil itu seakan merasa kasihan melihat
kesedihan dan ketakutan sang Ibu karena kematian ayahnya.
"Ah, tidak..., Ibu tidak apa-apa. Kita lanjutkan ya, Sayang?" ajak sang Ibu
sambil menggandeng tangan Purbaya untuk meneruskan perjalanan.
"Bagaimana dengan Paman Trenggana, Bu?"
"Entahlah. Kita harus memikirkan nasib kita, Anakku."
"Apakah paman juga dibunuh seperti ayah, Bu?"
"Entahlah, Anakku. Ibu tak tahu yang penting harus selamat. Itu yang ibu
pikirkan. Ayo...!" ajak Ambar Sari sambil terus menggandeng tangan anaknya.
Bocah kecil itu menurut. Meski kakinya sakit lertusuk onak dan duri, Purbaya
tetap saja melangkah. Sepertinya anak itu mengerti keadaan.
Namun baru beberapa langkah keduanya berjalan, tiba-tiba....
"He he he...! Mau lari ke mana kau, Ambar"!" di hadapan mereka, telah berdiri
tiga lelaki bermuka garang.
"Orang jahat! Mengapa kalian mengejar kami"!"
bentak Purbaya lantang. Bocah kecil itu sepertinya tak takut sama sekali pada
ketiga orang yang meng-hadangnya. Matanya menatap tajam wajah ketiga lelaki di
hadapannya. "Bocah sontoloyo! Lancang mulutmu. Kalau saja kau sudah besar. Hhh...! Kurobek
mulutmu!" bentak Watu Gunung garang. Gigi-giginya bergemerutuk menahan marah,
mendengar bentakan bocah kecil itu.
"Sabar, Watu Gunung! Kita tidak perlu mereka.
Yang kita perlukan hanya Kitab Ajian Dewa," tukas Lombang berusaha menenangkan
Watu Gunung. Kemudian dengan bibir mengurai senyum yang dibuat-buat. Lelaki berpakaian kulit
harimau itu melangkah mendekati Ambar Sari.
"Ambar, katakan-lah di mana suamimu menyimpan Kitab Ajian Dewa!" ujarnya
perlahan. "Sudah kukatakan, aku tak peduli dengan kitab yang kau maksudkan. Aku tak tahu!"
jawab Ambar Sari sambil memegangi tangan Purbaya, agar anak itu tak jauh-jauh
dari dirinya. Ketiganya tertawa terkekeh-kekeh. Mata mereka yang garang, menatap tajam kedua
ibu dan anak yang masih berdiri sekitar tiga tombak di hadapannya.
Sementara Ambar Sari dan Purbaya menatap
penuh kebencian pada ketiga lelaki beringas itu yang telah membuat mereka
menderita. "He he he...! Masihkah kau tak mau mengatakan di mana kitab itu disimpan,
Ambar?" tanya Sodra dengan senyum sinis mengembang di bibirnya. Lelaki itu
kemudian memerintahkan dengan isyarat kepala pada kedua temannya agar menangkap
Purbaya. Purbaya yang melihat kedua orang jahat itu hendak menangkap dirinya, segera
melepaskan diri dari genggaman ibunya. Kemudian dia mendahului memburu kedua
orang yang hendak menangkap.
Ingatan Purbaya kembali melayang pada sang Ayah yang pernah mengajarinya ilmu
silat. Sehingga bocah kecil yang cerdas itu, berusaha melakukan apa yang pernah
diajarkan Kerto Pati. Apalagi saat ini, dirinya dalam keadaan terancam bahaya.
Nalurinya sebagai seorang bocah, seakan menuntunnya untuk nekat melakukan
sesuatu. "Bocah setan!" maki Watu Gunung geram, ketika secara tak terduga Purbaya
menyeruduk ke tubuhnya.
Hampir saja dirinya terjengkang, kalau tidak dengan segera mengelit ke samping
kiri. Kemudian dengan penuh kegeraman, Watu Gunung dan Lombang
segera memburu bocah kecil itu.
"Hea!"
Purbaya dengan cepat menubruk kedua lelaki yang
hendak menangkap tubuhnya. Sehingga Watu
Gunung dan Lombang saling bertubrukan satu sama lain.
Brukkk! "Aduh!"
"Akh...!"
Tubuh kedua lelaki itu terjengkang dengan mulut meringis kesakitan. Melihat
Purbaya yang tampak tersenyum dan cengengesan Watu Gunung dan Lombang semakin
geram dan marah.
"Bocah setan! Kuhancurkan kepalamu!" dengus Lombang seraya bangkit dari
duduknya. Lalu dengan menggeram. Lombang dan Watu Gunung kembali memburu
Purbaya. Kedua lelaki bertampang seram itu tampak sangat bemafsu untuk menangkap
bocah kecil yang berani mengejek mereka.
Sementara itu, Sodra tampak mendekati Ambar Sari. Matanya yang beringas, menatap
tajam wajah Ambar Sari yang semakin ketakutan. Mata lelaki berpakaian ungu itu
tak hanya menggambarkan keberingasan semata, tetapi juga diliputi nafsu yang
membara terhadap kecantikan Ambar Sari.
"He he he...! Sebentar lagi anakmu akan mati di tangan kedua temanku. Dan
kau..., he he he...! Kau akan bersenang-senang denganku, Ambar. Tetapi jika kau
mau mengatakan di mana Kerto Pati menyimpan Kitab Ajian Dewa, maka kau dan
anakmu akan selamat," ujar Sodra seraya tertawa terkekeh-kekeh.
Kakinya melangkah mendekati Ambar Sari. Wanita cantik itu melangkah mundur
dengan mata menatap penuh kebencian pada Sodra.
"Jangan...! Jangan lakukan itu!" pinta Ambar Sari sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya. Matanya yang sayu tampak membelalak ketakutan. Apalagi
ketika melihat Purbaya yang masih diburu kedua lelaki yang tampak begitu marah
dan bernafsu meringkusnya.
"He he he...! Kau dan anakmu akan kami lepaskan, asalkan kau mau mengatakan di
mana Kitab Ajian Dewa itu disembunyikan suamimu," Sodra dengan mulut masih
menyeringai, tersenyum sinis dan memandang dengan tatapan garang.
"Sungguh, aku tak tahu."
"Bohong!" bentak Sodra sambil terus melangkah mendekati Ambar Sari yang kian
mundur ketakutan.
Matanya terpicing memandang wajah wanita
cantik yang kian merasa tegang itu. "Kau istrinya, kau tentu tahu di mana Kerto
Pati menyimpan kitab itu!"
"Kitab itu bukan milik kalian! Kitab itu memiliki si Gila yang dititipkan pada
suamiku yang akan disampaikan pada murid atau cucu murid si Gila dari Goa
Setan," tukas Ambar Sari berusaha menjelaskan, bahwa Sodra dan kedua temannya
tak berhak atas kitab pusaka itu.
"He he he...! Kau tahu kalau kitab itu milik si Gila.
Bukankah Kerto Pati yang memberi tahu" Suamimu pun tentu memberi tahu, di mana
kitab itu dia sembunyikan, bukan...?" tanya Sodra sambil terus melangkah
mendekati Ambar Sari. Wanita itu semakin melangkah mundur ketakutan. Matanya
membelalak tegang, ketika menyadari dirinya telah berada di tepi jurang yang
sangat dalam. Melihat Ambar Sari dalam keadaan tegang, Sodra semakin terkekeh. Dia tahu kalau
wanita itu kini dalam keadaan panik, karena kakinya telah berada di tepi jurang.
"He he he...! Mau ke mana kau, Manis" Sebaiknya kau katakan di mana kitab sakti
itu," pinta Sodra
dengan senyum sinis masih menghias di bibirnya.
Matanya melotot menatap dengan menelengkan kepala meledek Ambar Sari yang tampak
semakin ketakutan.
"Tidak! Aku tidak tahu...!" seru Ambar Sari sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Rasa tegang dan panik, tergambar jelas di wajahnya yang kuning langsat dan
bersih. Kepalanya sesekali menoleh ke belakang. Tampaklah jurang dalam dan
terjal membentang. Lalu kembali menatap wajah Sodra yang masih berdiri lima
tombak di hadapannya.
Namun sepertinya Sodra merasa khawatir, kalau Ambar Sari akan nekat terjun ke
jurang. Kalau hal itu terjadi, tak ada lagi kesempatan baginya untuk menikmati
tubuh bahenol wanita itu. Dan yang jelas dia akan kehilangan jejak untuk mencari
Kitab Ajian Dewa yang disembunyikan Kerto Pati.
Sementara itu, Purbaya masih terus berusaha melepaskan diri dari kejaran kedua
orang yang terus berusaha menangkapnya. Anak itu semakin bertambah jauh dari
Ambar Sari, sang Ibu yang bagaikan telor di ujung tanduk. Berdiri membelakangi
jurang terjal yang dalam. Sementara di hadapannya Sodra, bagaikan harimau lapar
yang siap menerkam mangsa.
Lombang dan Watu Gunung terus berlari mengejar Purbaya yang lari ke selatan,
jauh dari Hutan Gandracupa.
"Mau lari ke mana, Bocah Setan!" dengus Watu Gunung sambil terus mengejar
Purbaya yang terus berlari berusaha menyelamatkan diri. Kini ketiganya sampai ke
Lembah Karangkati. Lembah yang sangat angker dan terkenal sebagai lembah maut.
Banyak tulang-belulang tampak berserakan di sana-sini,
menambah suasana Lembah Karangkati semakin menyeramkan.
Dengan sekuat tenaga Purbaya terus berlari.
Dirinya tak peduli dengan pemandangan yang tampak di depan mata. Baginya yang
penting dapat menyelamatkan diri dari pengejaran kedua lelaki jahat itu. Bocah
kecil itu bagaikan tak merasa takut sedikit pun. Hanya sesekali kakinya tampak
ber-jingkat, setiap kakinya menendang atau menginjak tulang-belulang yang
berserakan. Kemudian dengan telapak tangan, Purbaya menutup hidungnya dari bau
busuk yang menyengat sambil terus menelusuri Lembah Karangkati.
"Heh"! Bocah itu lari ke Lembah Karangkati!"
pekik Lombang dengan mata membelalak.
"Bocah setan! Berani sekali dia lari ke lembah itu.
Huh, mampuslah kau di situ, Bocah!" dengus Watu Gunung dengan mata tak kalah
membelalaknya. Dirinya tahu kalau lembah itu merupakan tempat yang angker. Lembah yang dihuni
entah makhuk seperti apa. Yang jelas selama ini belum ada orang yang bisa


Pendekar Gila 21 Kitab Ajian Dewa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selamat di lembah itu.
"Apakah tidak kita kejar saja bocah itu, Kakang?"
tanya Lombang bimbang. Matanya tak lepas
mengawasi Lembah Karangkati yang terbentang di bawahnya. Sedangkan si bocah
kecil Purbaya terus berlari ke tengah-tengah lembah.
"Huh, mau mencari mampus! Biarkan saja bocah setan itu mampus di sana! Ayo kita
temui Sodra!" ajak Watu Gunung sambil melangkah meninggalkan Bukit Katesan yang
memisahkan Hutan Gandracupa
dengan Lembah Karangkati di bawahnya!
*** "He he he...! Anakmu sudah mati, Ambar Sari.
Menyerahlah! Lebih baik kau mau jadi istri ketua kami. Ketua kami tentu akan
merasa senang jika kau menjadi istrinya," ujar Sodra berusaha membujuk Ambar
Sari. Maksudnya agar wanita itu tak nekat bunuh diri terjun ke jurang.
"Tidak! Tidak mungkin...! Oh, Purbayaaa..., hu hu hu...! Kalian jahat! Kalian
bajingan! Bunuh aku sekalian! Bunuuuh...!" Ambar Sari berteriak sejadi-jadinya,
setelah mendengar anaknya mati. Seketika tubuhnya lemas. Gairah untuk hidup kini
hilang. Baginya tak ada lagi artinya hidup, kalau sudah tak punya siapa-siapa lagi. Tak
punya suami. Tak punya anak yang sangat dicintai dan menjadi tumpuan hidup
setelah sang Suami tewas terbunuh.
Ambar Sari merasakan dunia tiba-tiba berubah gelap. Tanah yang dipijaknya serasa
bergoyang cepat.
Tubuhnya limbung. Namun, sebelum tubuhnya jatuh, dengan cepat Sodra melompat
menangkapnya. Maka Ambar Sari pun jatuh pingsan dalam pelukan lelaki berpakaian
merah itu. "Bagaimana anak itu?" tanya Sodra.
"Dia lari ke Lembah Karangkati," sahut Watu Gunung.
"Hm... Mencari mati," gumam Sodra.
"Apakah tidak kita buktikan lagi?" tanya Lombang.
"Untuk apa" Kita tak perlu bocah itu. Yang kita perlukan Kitab Ajian Dewa. Dan
yang tahu hanya Ambar Sari. Lagi pula, Wanara pasti akan senang jika kita beri
Ambar Sari sebagai istrinya," tutur Sodra sambil tersenyum. Matanya
memperhatikan seluruh lekuk tubuh wanita cantik itu dengan penuh nafsu.
Apalagi ketika menatap bibir ranum milik Ambar Sari.
Jantungnya terasa berdebar keras. Hasrat kelelakiannya bergejolak hebat bagaikan air mendidih.
"Sebelum diserahkan pada Wanara, sebaiknya kita dulu yang mencicipinya, Sodra!"
usul Watu Gunung sambil meleletkan lidahnya. Dirinya pun merasakan gejolak
birahi yang menggelegar di dalam liwanya.
"Benar! Lebih baik kita dulu yang mencicipinya!"
sambung Lombang.
Ketiganya tertawa terkekeh-kekeh. Kemudian mereka pun menggarap tubuh Ambar Sari
di tempat yanga sepi dan tidak memungkinkan untuk dilalui orang. Mereka
bergantian melakukannya dengan kepuasan.
Ambar Sari yang diperkosa ketiga lelaki itu, hanya dapat mengeluh dan merintih
kesakitan. Sampai akhirnya, tubuhnya kembali terkulai pingsan.
Setelah puas memperkosa tubuh Ambar Sari
dengan gelak tawa Sodra, Watu Gunung, dan Lombang segera menggebah kuda
meninggalkan Pegunungan Sasakan. Mereka membawa Ambar Sari untuk diserahkan
kepada Wanara. Sementara itu, Purbaya yang berada di Lembah Karangkati nampak kebingungan. Dari
empat penjuru angin, muncul kabut hitam yang pekat. Kemunculan kabut-kabut hitam
itu diikuti hembusan angin kencang dan dingin serta suara-suara yang sangat
aneh. Hal itu membuat bocah itu ketakutan. Matanya terbelalak menatap ke
sekelilingnya yang kini semakin menyeramkan.
"Oh, apa yang akan terjadi di sini" Semuanya gelap. O, Jalan yang tadi kulalui,
kini tertutup kabut.
O, ibu, apa yang terjadi padamu?" keluh Purbaya kebingungan. Matanya semakin
membeliak tegang, menatap kabut hitam yang seperti mengepung tubuhnya.
"Hua ha ha...! Nyem nyem nyem...!" dari dalam kabut-kabut hitam itu, keluar
suara tawa keras menggelegar. Suara tawa yang membuat bulu kuduk Purbaya
meremang berdiri. Tengkuknya terasa dingin, kaku karena takut.
Mata Purbaya terus mengawasi dengan rasa takut ke sekitarnya tampak sunyi
mencekam. Hanya kabut hitam saja yang terus mendekat dan mengepung dirinya.
Seakan kabut-kabut hitam yang tadi mengeluarkan suara itu, hendak mencengkeram
tubuhnya yang kecil.
"Makhluk yang ada di dalam kabut, kalau kau mau memangsaku, mangsalah! Mangsalah
aku...!" tantang Purbaya. Dirinya nekat memberanikan diri karena merasa telah
terjepit. Matanya yang semula nampak redup dan tegang, kini menatap beringas.
"Aku sudah tak punya ayah dan ibu. Kalau kau mau, mangsalah aku! Ayo...,
makanlah tubuhku!"
"Hua ha ha...! Nyem nyem nyem...!" kembali suara menyeramkan itu terdengar
bergema. Seolah-olah berasal dari semua arah. Namun Purbaya seperti tak merasa
takut sedikit pun. Bocah kecil itu menatap tajam ke sekelilingnya. Kabut hitam
itu terus mengepung dirinya.
"Hoi...! Makhluk yang ada di dalam kabut, keluarlah! Makanlah aku, kalau kau
ingin memangsaku!
Ayo...!" tantang Purbaya dengan lantang. Matanya terus menatap tajam ke
sekeliling. Kabut hitam itu tampak semakin tebal dan berarak-arak bergerak
mengepung tubuh bocah itu.
"Hua ha ha...! Kau berani menginjakkan kaki di lembah ini, Bocah! Maka kau
memang akan menjadi mangsaku!" suara bergema yang berasal dari balik kabut-kabut
hitam kembali terdengar.
"Mangsalah! Aku tak takut...!" tantang Purbaya dengan berani. Matanya kini
mengawasi kabut hitam yang datangnya dari arah selatan. Hatinya yakin, suara itu
berasal dari selatan.
"Bocah bandel! Kau benar-benar minta mati...!"
dengus suara berat bergema menyeramkan itu.
"Ya! Kalau kau memang mau memangsaku,
mangsalah! Aku kini hanya sebatang kara. Ayah dan ibuku mati dibunuh orang-orang
jahat! Untuk apa lagi aku hidup..."! Tak ada gunanya aku hidup!" seru Purbaya
dengan lantang.
"Hm...! Nyem nyem nyem...!" kabut-kabut itu bergerak semakin mendekat. Dari
dalam kabut hitam yang kini mengapung mendadak muncul sebuah tangan hitam legam
dan besar. Tangan itu menjulur keluar hendak menangkap tubuh bocah itu. Namun
Purbaya tampak tetap tenang. Tak ada rasa gentar menghadapi ancaman maut itu.
Tangan hitam legam berkuku panjang dan runcing itu, semakin dekat dengan tubuh
Purbaya. Hampir saja, tangan-tangan hitam besar berkuku tajam menyeramkan itu
mencengkeram dan mungkin akan mencabik-cabik tubuh Purbaya. Namun tiba-tiba
sebuah bayangan putih berkelebat menerobos kabut hitam sambil melontarkan
pukulan beruntun ke arah kedua tangan hitam legam yang keluar dari kabut itu.
Wrt! Glar! Glarrr...!
Wrt! Suara ledakan menggelegar terdengar, ketika sosok bayangan putih itu berkelebat
sambil menghantamkan serangan cepat. Seketika itu pula bayangan putih yang
ternyata seorang lelaki bertubuh bungkuk dan berjubah putih menyambar tubuh
Purbaya. Secepat kilat lelaki itu melesat ke barat meninggalkan Lembah
Karangkati. *** Sudra, Watu Gunung, dan Lombang telah sampai di Hutan Selapetir, tempat kediaman
pimpinan mereka. Di hutan itu Wanara tengah menunggu hasil pekerjaan anak
buahnya mencari Kitab Ajian Dewa.
Dari luar terdengar suara derap langkah kaki kuda menuju markas tempat Wanara
menunggu ketiga anak buahnya. Dengan cepat Wanara melangkah keluar, untuk
menemui ketiga anak buahnya.
"Siapa yang kalian bawa"!" tanya Wanara.
Wanara ternyata manusia bermuka kera. Tubuhnya yang besar mengenakan jubah
hitam. Matanya tampak berwama merah, dengan hidung agak pesek.
"Istri Kerto Pati!" sahut Watu Gulung.
"Benar, Ketua. Kami membawanya, dengan
harapan ketua sudi menerimanya," sambung Sodra.
"Bodoh! Tolol...! Yang kubutuhkan bukan wanita, tetapi Kitab Ajian Dewa!" bentak
Wanara sengit dengan mata membara merah. Mulutnya yang
menyeringai, menunjukkan gigi-giginya yang kuning-kekuningan. Di kanan dan kiri
mulutnya tampak sepasang taring.
Ketiga anak buahnya terdiam. Tak seorang pun yang berani menjawab bentakan
Wanara. Bahkan beradu pandang pun mereka tak berani. Ketiganya menundukkan
kepala, seperti ketakutan.
Wanara memperhatikan wanita cantik di punggung kuda yang ditunggangi Watu
Gunung. Matanya bersinar-sinar, ketika melihat bagian pakaian Ambar Sari
tersingkap. Kejantanannya seketika menyeruak.
Napasnya mendengus, bergolak penuh nafsu.
"Bawa dia ke kamar!" perintahnya. Ketiga anak buah Wanara segera melompat. Watu
Gunung mengangkat tubuh Ambar Sari melangkah masuk ke kamar tempat tidur Wanara.
Tak lama kemudian, Watu Gunung telah kembali keluar.
"Sudah, Ketua," ujar Watu Gunung.
"Bagaimana hasil kalian"!" tanya Wanara.
"Tak berhasil, Ketua. Wanita itu lebih baik memilih mati, daripada mengatakan
tempat penyimpanan kitab tersebut. Itu sebabnya kami membawanya kemari. Bukankah
jika Ketua yang menangani siapa tahu dia akan membuka mulut?" ujar Lombang
sambil tersenyum-senyum.
"Diam! Bodoh...! Menghadapi seorang wanita saja kalian tak becus!" maki Wanara.
"Lalu bagaimana anaknya?"
"Mungkin mati, Ketua," jawab Sodra dengan kepala masih menunduk.
"Hm, dari mana kalian tahu"!"
"Bocah itu lari ke Lembah Karangkati, Ketua,"
sahut Sodra. Wanara mengangguk-anggukkan kepala. Kemudi-an dengan mengegoskan kepala, Wanara
memerintahkan pada ketiga anak buahnya untuk meninggalkan tempat itu. Setelah ketiga anak buahnya berlalu, Wanara segera masuk
ke kamar di mana tubuh Ambar Sari dibaringkan.
Setelah menutup pintu kamar Wanara menatap tubuh Ambar Sari. Lelaki berwajah
mirip kera itu tampaknya terpukau kecantikan Ambar Sari. Mulut Wanara
menyeringai. Matanya semakin bersinar-sinar penuh nafsu melihat paha Ambar Sari
yang tersingkap. Paha mulus itu sangat menggairahkan
dan menantangnya.
"Hm, benar-benar menggiurkan!" gumam Wanara sambil melangkah mendekati tempat
tidur di mana tubuh Ambar Sari masih terbaring diam. Dipandangi sekujur tubuh
Ambar Sari, kemudian dengan buas tangannya yang berkuku panjang merenggut
pakaian Ambar Sari.
Bret! "Auh!" Ambar Sari tersentak kaget. Matanya membelalak, melihat manusia bermuka
kera dengan mata penuh nafsu menatap tubuhnya. Wanita itu menyurut mundur
ketakutan. "Tiga orang anak buah manusia bermuka kera itu telah memperkosaku. Kini manusia
bermuka kera ini pun hendak memperkosaku," pikir Ambar Sari sambil menyurut
mundur ketakutan.
"He he he...! Tak kuduga, kalau tubuhmu sangat menggiurkan, Manis...," ujar
Wanara sambil membuka pakaiannya sendiri, yang menjadikan Ambar Sari semakin
ketakutan. "Jangan! Tidaaak...!" teriak Ambar Sari sambil terus menyurut mundur.
"He he he...! Suamimu sudah mati. Sebaiknya kau menjadi istriku!" ujar Wanara
sambil melangkah, mendekati Ambar Sari yang semakin ketakutan.
"Tidak! Jangaaan...!" pekik Ambar Sari berusaha menolak, ketika Wanara dengan
buas menubruknya.
Namun karena Ambar Sari lemas, Wanara dengan mudah dapat menubruknya. Kemudian
dengan buas lelaki berwajah kera itu menggeluti tubuhnya dengan diselingi
bisikan merayu.
"Cah Ayu, kalau kau mau menjadi istriku. Kau akan enak. Katakanlah, di mana
Kerto Pati menyimpan Kitab Ajian Dewa itu," bisik Wanara sambil terus
menggeluti tubuh Ambar Sari yang terus berusaha berontak dan meronta.
"Tidak! Lepaskan...! Aku tak tahu! Aku tak mau...!"
teriak Ambar Sari sambil terus berusaha melepaskan diri dari dekapan Wanara.
Namun karena tubuhnya lemas dan kehabisan tenaga tak mampu melawan.
"He he he...! Baiklah, Cah Ayu. Mungkin kali ini kau tak mau mengatakan di mana
kitab itu berada. Tapi suatu saat, kau harus mengatakannya," kata Wanara semakin
buas menggeluti tubuh Ambar Sari yang telah telanjang.
Ambar Sari masih berusaha memberontak, tetapi tetap tak mampu. Akhirnya Ambar
Sari hanya bisa merintih dan menangis, menyesali nasibnya yang malang. Suami
mati, anak entah bagaimana nasibnya. Dirinya pun harus menjadi budak pemuas
nafsu manusia-manusia keji itu.
Ambar Sari masih menangis, ketika Wanara
dengan tertawa senang berlalu meninggalkan kamar dan menutup pintunya setelah
terlebih dahulu berkata kalau sejak saat itu Ambar Sari dijadikan istrinya.
Ingin Ambar Sari berontak, tetapi tak kuasa. Dia hanya seorang wanita yang
lemah, yang tak dapat berbuat apa-apa untuk melepaskan cengkeraman tangan para
penjahat itu. *** 3 Waktu berjalan terus. Musim demi musim terlewati.
Dua puluh tahun telah berlalu sejak terbunuhnya Kerto Pati. Sampai saat ini
Wanara dan ketiga rekannya masih terus berusaha mencari Kitab Ajian Dewa yang
belum juga dapat ditemukan. Bahkan kini mereka telah membentuk sebuah
perkumpulan besar dengan nama Partai Kera Hitam, yang diketuai Wanara.
Partai Kera Hitam tidak hanya berusaha mencari Kitab Ajian Dewa semata. Kumpulan
itu pun melakukan aksi yang biadab dan keji. Merampok, menculik para gadis,
membunuh dan macam-macam tindakan sesat. Tak tanggung-tanggung, hampir seluruh
wilayah Desa Kranggan dan sekitarnya di-kuasai Partai Kera Hitam. Nama
gerombolan itu, menjadi momok yang menyeramkan bagi warga Desa Kranggan dan
sekitarnya. Di Hutan Selapetir, tempat markas Partai Kera Hitam berada, saat itu Wanara
tengah duduk di atas singgasana, didampingi gadis-gadis cantik. Di hadapannya,
duduk bersila para anak buahnya.
Mereka duduk berderet. Di depan, tiga orang lelaki bermuka garang dengan pakaian
merah, biru, dan loreng harimau. Mereka tiada lain Sodra, Lombang, dan Watu
Gunung. Ketiga lelaki beringas itu, kini bukan lagi orang dua puluh tahun silam. Ilmu
mereka telah banyak mengalami perkembangan. Sejalan dengan per-tambahan usia,
ilmu mereka semakin tinggi dan
sempurna. Ketiganya menjadi tangan kanan Wanara sejak lebih dari dua puluh tahun
Silam. Hal itu juga dialami Wanara. Manusia berwajah mirip kera itu dalam
usianya yang telah mencapai enam puluh lima tahu merupakan tokoh tua yang sakti.
Ilmu kedig-dayaannya sulit dicari tandingan. Tak mengherankan kalau kedudukannya
sebagai Pimpinan Partai Kera Hitam semakin kuat.
Sore itu, nampaknya mereka tengah mengadakan pertemuan membahas masalah lama,
mengenai Kitab Ajian Dewa yang sampai saat ini belum juga diketemukan. Ambar
Sari yang telah menjadi istri resmi bahkan sebagai permaisuri Wanara, masih
tetap bungkam. Dia selalu menolak jika ditanya tentang kitab tersebut.
"Sodra, Lombang, dan kau, Watu Gunung.
Sebarkan pengumuman ke segenap penjuru wilayah Kadipaten Banureja. Siapa yang
tahu rumah Rupaksi, harus melapor ke sini! Juga kuperingatkan pada kalian semua,
cari orang yang bernama Rupaksi...!"
"Untuk apa, Ketua...?" tanya Sodra dengan kening mengerut.
"Bodoh! Kudengar, dialah yang dititipi Kerto Pati, Kitab Ajian Dewa," sentak
Wanara dengan suara keras. Sodra seketika menundukkan kepala. "Bawa beberapa
orang anak buah! Sementara kau,
Lombang. Tanyakan pada Ki Lurah Janur Biru, apakah dia sudah bosan hidup! Kalau
dia masih ingin hidup, perintahkan agar segera membayar upeti dari pertanian!"
"Baik, Ketua. Akan saya laksanakan," sahut Lombang sambil menganggukkan kepala.
"Bawa sepuluh orang untuk mengobrak-abrik Desa Kecipir, jika Ki Lurah Janur Biru
masih saja membandel!" perintah Wanara dengan tegas.
"Akan saya laksanakan dengan baik," jawab Lombang.
"Bagus...! Watu Gunung, kau kuperintahkan untuk mengundang tokoh-tokoh hitam
rimba persilatan.
Sekaligus menyebar udangan dan pemberitahuan mengenai Kitab Ajian Dewa. Tulis
dalam

Pendekar Gila 21 Kitab Ajian Dewa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengumuman itu, kalau kitab tersebut milik kita!"
"Baik, Ketua! Akan segera saya laksanakan,"
jawab Watu Gunung. Tubuh lelaki berkepala botak itu tampak semakin gempal. Kumis
dan jenggot tebal, membuat tampangnya semakin seram dan garang.
"Yang lainnya, kuperintahkan tetap bekerja seperti biasa! Kumpulkan harta
sebanyak mungkin, untuk mendirikan sebuah partai besar! Selama Wanara masih
menjadi pimpinan kalian, Partai Kera Hitam tak akan dapat tertandingi perguruan
maupun partai lainnya. Tundukkan semua perguruan dan partai yang ada di wilayah
Kadipaten Banureja!"
"Hidup Ketua...!"
"Hidup Kera Hitam...!"
"Hidup Ketua Wanara...!"
Anak buah Partai Kera Hitam yang berjumlah puluhan, seketika berteriak-teriak
menyerukan sanjungan. Hal itu membuat Wanara semakin tertawa bangga. Dipeluknya
gadis-gadis cantik di samping kanan dan kirinya. Gadis-gadis itu menurut,
sepertinya malah senang diciumi lelaki bermuka kera itu.
Mereka semua merupakan gadis-gadis culikan.
Sebenarnya mereka benci pada Wanara dan anak buahnya. Namun mereka tak mampu
berbuat banyak, karena lemah. Jangankan mereka yang hanya wanita, orang lelaki
saja banyak yang menjadi korban keganasan Wanara dan anak buahnya. Itu sebabnya
gadis-gadis itu hanya pasrah, membiarkan tubuh mereka menjadi pemuas nafsu
Wanara. Hanya ada satu harapan bagi mereka, yang penting tidak disingkirkan atau
dengan kata lain dibunuh.
Dari luar, seorang gadis muda berusia sekitar dua puluh tahun melangkah masuk.
Gadis berambut panjang diikat ekor kuda yang di punggungnya tersandang golok,
melangkah dengan mantap.
Matanya yang tajam menatap tajam para anak buah Partai Kera Hitam. Mendadak
mereka semua terdiam.
Seluruh anak buah Partai Kera Hitam tak ada yang berani untuk beradu pandang
dengan gadis itu.
"Ada apa, Seruni?" tanya Wanara pada gadis berpakaian merah jingga yang
melangkah mantap sambil menatap tajam ke sekeliling ruangan itu.
"Ayah, ada dua orang lelaki yang mau menghadang Ayah," ujar Seruni, "Mereka
katanya ingin bergabung dengan partai kita."
"Hm, begitu. Di mana mereka?" tanya Wanara.
"Mereka ada di luar."
"Suruh mereka masuk."
"Baik, Ayah."
Gadis cantik serta muda belia namun ilmu
goloknya yang tinggi itu menjura hormat, yang dibalas dengan anggukan kepala
serta senyum di bibir Wanara. Kemudian Seruni melangkah keluar, untuk menemui
kedua tamunya. Di pintu gerbang Partai Kera Hitam, nampak dua orang berusia sekitar tiga puluh
tahun berdiri dengan sabar menunggu. Satu lagi seorang lelaki bermuka bulat
dengan badan agak pendek dan gemuk.
Satunya lagi berbadan tegap, dengan wajah tampan namun sinis. Yang bertubuh
gemuk, rambutnya diikat ekor kuda. Di punggungnya tersandang caping lebar.
Dia bernama Sungo Karu. Sementara yang tampan namun sinis, yang di punggungnya
terdapat sebuah tongkat terbuat dari kayu cendana, bernama Ketawang
Seruni nampak kelaur dari bangunan utama
markas Partai Kera Hitam. Gadis itu langsung menemui kedua lelaki muda berusia
sekitar tiga puluh tahunan yang tersenyum melihat kedatangan-nya.
"Bagaimana, Ni?" tanya Sungo Karu.
"Ayahku menerima kalian. Kalian dipersilakan masuk," jawab Seruni dengan wajah
acuh. "Terima kasih," sahut keduanya sambil melangkah masuk, setelah kedua penjaga
pintu gerbang membuka tombak yang semula disilangkan. Mata keduanya menatap ke
sekeliling bangunan utama yang nampak megah. Seakan ada sesuatu yang menjadi
perhatian mereka.
"Mampukah aku melakukan tugas ini?" tanya Ketawang dalam hati. Matanya masih
mengawasi sekeliling bangunan markas Partai Kera Hitam yang dijaga ketat. "Semua
penjuru dijaga ketat. Hm, tapi ini semua tugas dari guru. Aku harus menyelidiki,
apakah Nyi Ambar Sari masih hidup."
Sambil terus melangkah, Ketawang yang sebenarnya murid Resi Rupaksi terus
berusaha mempelajari tempat itu. Matanya mengawasi dan mencari-cari jalan yang
digunakan untuk lari kalau saat kepergok.
Namun tampaknya lingkungan ini tertutup rapat.
Semua jalan dijaga ketat empat orang prajurit.
Seperti halnya Ketawang, Sungo Karu pun tengah berpikir unguk mencari jalan
keluarnya jika penyusupan yang mereka lakukan ini terbongkar.
"Celaka! Semua tempat di sini dijaga ketat. Hm,
apakah aku dan Ketawang mampu menambus
benteng Partai Kera Hitam yang kokoh ini" Guru, kami mengharap doa darimu, agar
kami berhasil menunaikan tugas," gumam Sungo Karu dalam hati.
Dia merasa kecut juga menyaksikan pertahanan dan penjagaan di lingkungan markas
Partai Kera Hitam.
Tak lama kemudian keduanya sampai di pelataran markas Partai Kera Hitam. Tibatiba dari dalam muncul para anak buah Wanara yang bermuka berangasan membuat
lingkaran besar. Sepertinya mereka telah diperintahkan untuk mengurung kedua
orang tamu itu.
"Hm, apa-apaan ini, Nisanak?" tanya Ketawang tak mengerti, melihat puluhan anak
buah Partai Kera Hitam telah mengurung mereka. Mata Ketawang mengawasi orangorang berpakaian rompi merah yang di tangan mereka telah siap senjata berupa
golok dan pedang.
Seruni tersenyum, sepertinya tak peduli dengan kekagetan Ketawang dan Sungo
Karu. "Untuk menjadi anggota Partai Kera Hitam, kalian harus mendapatkan ujian dulu,"
ujar Seruni tenang.
Bibirnya yang merah mengurai senyum dingin. "Apa kalian siap?"
Ketawang dan Sungo Karu saling pandang,
kemudian keduanya beralih menatap wajah Seruni yang masih tersenyum dingin.
"Kalau memang ini caranya kami siap!" sahut Ketawang.
"Bagus!" dari dalam terdengar seruan keras, diikuti kemunculan seorang lelaki
berusia sekitar enam puluh lima yang berwajah mirip kera. Di belakang lelaki
berjubah hitam yang tak lain Wanara itu melangkah. Tiga lelaki yang berusia
sebaya dengan Pimpinan Partai Kera Hitam itu tak lain, Sodra, Watu Gunung, dan Lombang.
Wanara dan ketiga anak buahnya terbahak-bahak.
Mereka menatapi dua lelaki muda berpakaian kembar hijau lumut panjang sampai
lutut yang telah dikepung anak buah Partai Kera Hitam. Keempatnya kemudian
mendekati Ketawang dan Sungo Karu yang berusaha tenang.
"Sebutkan nama kalian!" perintah Wanara.
"Namaku Ketawang. Orang sering menyebutku si Toya Sakti," sahut Ketawang
memperkenalkan diri sambil menjura hormat.
"Tentunya manusia bermuka kera inilah yang bernama Wanara," gumam Ketawang dalam
hati. "Dia berilmu tinggi. Menurut guru, ilmu silumannya mampu menjelmakan diri
menjadi seekor kera raksasa."
"Hua ha ha...! Nama yang bagus, dan tentunya ilmumu pun tidak mengecewakan,"
gumam Wanara sambil tertawa terbahak-bahak, hingga tampaklah gigi-giginya yang
dihiasi sepasang taring tajam.
"Sekarang namamu, Bogel"!"
"Namaku, Sungo Karu. Orang biasa menyebutku si Caping Maut," jawab Sungo Karu
sambil menjura hormat.
"Hua ha ha...! Seharusnya namamu bukan Sungo Karu, tetapi Bulus...!" ejek Wanara
sambil tertawa terbahak-bahak, diikuti ketiga tangan kanannya.
"Kurang ajar!" maki Sungo Karu dalam hati.
"Sayang, guru memesanku harus hati-hati terhadap keempat orang ini. Tentunya
ketiga orang itu tangan kanan Wanara. Yang tinggi itu, tentunya Sodra. Yang
berkepala botak di tangan, pasti Watu Gunung, dan yang bertubuh kekar pasti yang
bernama Lombang.
Hm, mereka bukanlah tokoh sembarangan. Sayang
Kitab Ajian Dewa tak dapat kami pelajari. Kalau saja Kitab Ajian Dewa dapat kami
pelajari, sudah kuhancurkan partai tekutuk ini!"
Meski di dalam hati mencaci maki pada keempat tokoh tua itu Sungo Karu tak dapat
berbuat apa-apa.
Di samping sedang menyamar, dirinya juga menyadari kalau ilmunya belum tentu
bisa menandingi keempat lelaki kejam dan sadis itu. Itu sebabnya Sungo Karu
hanya menundukkan kepala, membiarkan Wanara dan ketiga tangan kanannya mengejek.
"Jadi kalian telah siap untuk diuji..?" tanya Wanara.
"Kami siap!" sahut kedua kakak beradik seperguruan dengan mantap sambil
menganggukkan kepala. Kemudian mata mereka mengedarkan
pandangan memperhatikan puluhan lelaki berwajah beringas, yang telah siap
menunggu perintah.
"Bagus..., bagus!" seru Wanara sambil menganggukkan kepala. "Untuk ujian
pertama, kalian harus mampu menghadapi lawan sebanyak lima orang!"
"Kami siap!" sahut keduanya hampir bersamaan.
"Bagus!" Wanara segera menggerakkan kepala, memerintah pada sepuluh orang anak
buahnya untuk maju. "Terserah kalian mau memakai cara apa. Kalau perlu gunakan
senjata kalian."
"Terima kasih. Kami coba menggunakan tangan kosong," jawab Ketawang, yang
membuat Wanara dan ketiga tangan kanannya membelalak. Mereka tak menyangka,
kalau kedua lelaki muda itu berani menghadapi lima anak buah Partai Kera Hitam
yang terkenal beringas dan kejam hanya dengan mengandalkan tangan kosong.
"Hua ha ha...! Hebat! Apakah kalian telah berpikir
masak-masak" Ingat, nyawa bagi Partai Kera Hitam tak ada artinya sama sekali!"
ujar Wanara mencoba mengingatkan pada calon anggota barunya. "Jika kalian kalah,
nyawa sebagai taruhan dalam uji coba ini. Untuk itu, pikirkan sekali lagi."
"Kami sudah siap dengan tangan kosong," tegas Sungo Karu.
"Hua ha ha! Baiklah kalau begitu."
Setelah memberi isyarat pada kesepuluh anak buahnya, Wanara segera mundur
bersama ketiga tangan kanannya serta anaknya.
*** Sepuluh orang anak buah Partai Kera Hitam telah mencabut golok dan pedang
mereka. Kini kesepuluh orang itu terbagi dua kelompok. Lima orang mengepung
Ketawang, sedang lima orang lagi mengepung Sungo Karu. Namun Ketawang dan
Sungo Karu tampak masih tenang. Dengan tajam mata keduanya mengawasi setiap
gerak-gerik kelima lawannya.
"Heaaa!"
Wrt! Kesepuluh anak buah Partai Kera Hitam memulai menyerang dengan senjata. Golok
dan pedang di tangan mereka, membabat dan menusuk tubuh lawan. Namun Ketawang
dan Sungo Karu dengan gesit bergerak mengelit. Tubuh keduanya melesat cepat,
disusul dengan tendangan dan pukulan tangan.
"Hea!"
"Yea!"
Ketawang dan Sungo Karu sengaja tak
mengeluarkan jurus 'Elang Sakti', karena jurus itu tentunya sudah dikenal
keempat tokoh utama Partai Kera Hitam. Karena mereka pernah bentrok dengan paman
seperguruan mereka, Kerto Pati.
Ketawang dan Sungo Kartu kini bergerak meng-atasi serangan lawan dengan jurus
'Walang Keket'.
Sebuah jurus ciptaan sang Guru yang dipersiapkan untuk keduanya, sebelum
ditugaskan menyusup ke markas Partai Kera Hitam.
Tangan dan kaki kedua lelaki berpakaian hijau itu bagaikan kaki-kaki dan sayap
belalang. Gerakan mereka gesit dan lincah. Sebentar melesat menyerang dengan
cakaran dan hantaman,
kemudian melejit mengelak.
Wanara dan ketiga tangan kanannya dibuat kagum dengan jurus yang dipakai
Ketawang dan Sungo Karu.
Meski tubuh Sungo Karu seperti kura-kura besar gemuk dan pendek, namun dengan
jurus 'Walang Keket', Sungo Karu ternyata mampu bergerak cepat.
Tubuhnya melompat ke sana kemari, dengan sesekali menendang dan mencakar ke dada
lawan-lawannya Degkh!
Crat! "Akh...!" jeritan keras terdengar susul-menyusul dari kelima anak buah Partai
Kera Hitam. Muka mereka tergores cakaran tangan Ketawang dan Sungo Karu.
Sementara lawan yang terhantam tendangan kaki terpental ke belakang dengan mulut
meringis kesakitan.
Plok! Plok! Plok...!
Wanara bertepuk tangan, diikuti seluruh anak buahnya. Lelaki bermuka kera itu
menyeringai senang, melihat kehebatan ilmu kedua lelaki muda itu. Hanya dalam
beberapa gebrakan, keduanya
mampu menjatuhkan ke lima anak buah Partai Kera Hitam.
"Hebat...! Hebat! Kalian memang bukan orang sembarangan. Hm, tapi itu ujian
pertama. Ada dua ujian yang akan kalian hadapi. Bagaimana, apa kalian telah siap
dengan ujian terakhir?" tanya Wanara seraya tersenyum menatap kedua tamunya itu.
"Kami siap!" sahut Ketawang yakin.
"Ayah, biar aku yang menguji mereka!" usul Seruni.
Matanya menatap tajam wajah kedua lelaki di hadapannya. Bibirnya yang merah
menyunggingkan senyum meremehkan.
"Nah, dengar! Kalian akan berhadapan dengan anakku. Apakah kalian siap...?"
tanya Wanara sambil tersenyum.
"Siap!" sahut Sungo Karu.
"Baik! Seruni...!" seru Wanara seraya meng-gelengkan kepala memerintahkan
putrinya itu. "Baik, Ayah."
Seruni maju dua tindak, berhadap-hadapan
dengan kedua lawannya. Ketawang dan Sungo Karu masih belum tahu, siapa gadis
cantik muda belia di hadapannya. Menurut cerita guru mereka, Ambar Sari hanya
memiliki seorang anak lelaki yang entah hidup atau mati. Tetapi kini keduanya
berhadapan dengan seorang gadis yang menyebut ayah terhadap Wanara.
Padahal Wanara hanya kawin dengan Ambar Sari.
Gadis-gadis lain, hanya sebagai pemuas nafsu belaka.
"Kalian telah siap?" tanya Seruni.
"Ya!" sahut Ketawang.
"Apa yang kalian inginkan" Tangan kosong, atau senjata?" tantang Seruni.
"Tangan kosong!" jawab Sungo Karu.
"Baik. Sebagai tamu dan akan menjadi anggota baru, kalian boleh menyerang lebih
dahulu sekaligus berdua!"
Ketawang dan Sungo Karu tersentak kaget mendengar tantangan itu. Mereka tak
menduga, kalau Seruni akan berani menantang mereka langsung berdua.
"Benar-benar nekat dan sombong gadis ini,"
gumam Ketawang dalam hati. Matanya menatap tajam wajah Seruni, seolah-olah tak
percaya kalau gadis belia itu akan berlaku gegabah terhadap mereka berdua.
"Kenapa kalian diam" Ayo, lakukanlah!" tantang Seruni dengan angkuhnya. Gadis
itu seakan menganggap kedua lelaki di hadapannya tak berarti sama ekali. Bahkan
sikapnya tampak sangat meremehkan Ketawang dan Sungo Karu.
"Baiklah. Jangan menyesal jika tubuhmu yang mulus tersentuh tangan kami!" jawab
Ketawang sambil bergerak maju menyerang Seruni dengan jurus
'Walang Keket Mencolek Daun'. Tangannya bergerak laksana kaki belalang yang
menyibak dedaunan, menyerang dada gadis cantik itu.
"Cabul!" maki Seruni seraya berkelit ke samping, kemudian dengan cepat gadis itu
mengeluarkan jurus
'Tarian Bius Seribu'. Tubuhnya bergerak gemulai tapi cepat. Tangannya meliukliuk seperti melakukan gerakan tari Bali. Matanya melotot dan bergerak-gerak
dengan lincah. Dari jurus-jurus mirip tarian itu, menimbulkan rangkaian gerakan yang menantang
dan merangsang.
Hal itu membuat Ketawang dan Sungo Karu tersentak kaget. Mata mereka melotot,
dengan jakun turun naik.
Melihat kedua lawannya terpengaruh gerakannya, Seruni tersenyum. Memang hal
itulah yang di-kehendaki. Karena dengan begitu, dirinya akan mudah menjatuhkan
kedua lawannya.
Ketawang tersentak kaget, ketika sebuah
hentakan keras dilakukan Seruni. Dengan cepat Ketawang melompat mundur. Matanya
membelalak, tak percaya dengan apa yang baru saja dialami.
Sementara Sungo Karu yang masih terpengaruh gerakan tubuh gemulai itu, tak mampu
lagi mengelakkan tamparan tangan kiri Seruni. Tanpa ampun lagi, tangan mulus
milik Seruni yiang disaluri tenaga dalam menghantam pipi kanan.
Prat!

Pendekar Gila 21 Kitab Ajian Dewa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Akh!" Sungo Karu terpekik. Tubuhnya yang gemuk dan bulat seperti kura-kura,
terhuyung ke belakang dengan mata melotot kaget. Dari sela bibirnya, meleleh
darah segar. "Hi hi hi...!" Seruni tertawa cekikikan. Hatinya puas telah dapat mempecundangi
salah seorang dari kedua lawannya. Gadis itu kini berdiri dengan sikap angkuh.
Senyum sinis menghias di bibirnya, seakan menantang kedua lawan untuk kembali
maju. "Hati-hati, Sungo! Ternyata jurusnya mengandung bius yang akan membuat kita
terpengaruh. Kita harus membuat pandangan ke tempat lain. Mari kita serang lagi!
Heaaa...!" Ketawang kembali bergerak dengan jurus 'Walang Keket Merentang
Sayap'. Kedua tangannya direntangkan, kemudian secara bergantian menyerang tubuh
Seruni dengan cepat dan beruntun.
Sungo Karu yang sudah terkena tamparan Seruni, tak mau tinggal diam. Dengan
jurus 'Walang Keket Menggigit Daun' dirinya bergerak menyerang. Kedua tangannya
bagaikan mulut seekor belalang yang
hendak menggigit daun.
Mendapat serangan beruntun dari kedua lawan, Seruni kembali melakukan gerakan
jurus 'Tarian Bius Seribu'. Tubuhnya meliuk-liuk seperti menari. Namun Ketawang
dan Sungo Karu yang sudah tahu
kehebatan jurus itu, tak mau menatap tubuh Seruni.
Sambil membuang pandangan ke tempat lain, keduanya terus menyerang.
Seruni tersentak kaget karena tak menyangka, kalau lawan telah tahu kelemahan
jurusnya. Dengan cepat Seruni melentingkan tubuh ke atas. Setelah bersalto
beberapa kali akhirnya mendarat dengan ringan di tanah.
"Cukup!" seru Wanara, "Kalian telah lulus! Kini kalian resmi menjadi anggota
Partai Kera Hitam.''
"Terima kasih," jawab keduanya sambil menjura hormat
"Sebagaimana biasanya, maka hari ini kita akan merayakan penerimaan anggota
baru! Mari...!"
Hari itu, Partai Kera Hitam pun mengadakan pesta untuk merayakan masuknya
anggota baru. Semua anggota Partai Kera Hitam bergembira.
Hanya seorang wanita berusia sekitar lima puluh tahun yang tampak termenung
seorang diri. Wanita tengah baya yang masih menampakkan kecantikan-nya itu,
tiada lain Ambar Sari.
Dari kedua mata wanita setengah baya itu, mengalir mata. Hatinya sedih jika
melihat anaknya, Seruni yang adat dan kesombongannya menyerupai sang ayah,
Wanara. Ingatannya kembali melayang pada anak lelakinya, Purbaya. Yang entah
hidup atau mati.
*** 4 Goa Kalong yang terletak di Pegunungan Kapur pagi itu terasa dingin. Namun
seorang pemuda berambut putih keperakan nampak masih menggelantung di dinding
goa dengan kaki di atas, tak ubahnya seperti seekor kelelawar. Tubuh pemuda itu
sangat kekar. Wajahnya tampan dan bersih. Dari tubuhnya yang menggelantung dengan tangan
Pedang Medali Naga 20 Tembang Tantangan Karya S H Mintardja Pukulan Naga Sakti 25

Cari Blog Ini