Ceritasilat Novel Online

Kitab Ajian Dewa 2

Pendekar Gila 21 Kitab Ajian Dewa Bagian 2


bersidekap, menetes air bening turun lewat kaki ke rambutnya yang putih perak.
Ketika itu dari dalam goa, muncul seorang lelaki tua berusia sekitar tujuh puluh
lima tahun. Lelaki berjubah seperti pakaian resi warna putih sesaat berdiri
memperhatikan pemuda yang menggelantung di atasnya. Lelaki tua berambut putih
itu, tak lain Resi Turangga Weni. Salah seorang resi sakti yang puluhan tahun
silam namanya sejajar dengan Pendekar Gila dari Goa Setan, guru dari Sena.
"Purbaya, sudah cukup kau melakukan semadi.
Empat puluh hari lamanya kau melakukan hal seperti itu. Sekarang bangunlah,
Anakku!" perintah Resi Turangga Weni.
Perlahan-lahan mata pemuda berambut keperakan yang dipanggil Purbaya membuka,
kemudian memandang Resi Turangga Weni.
Resi Turangga Weni tersenyum.
"Turunlah, Cucuku! Hari ini, semuanya telah selesai. Dua puluh tahun sudah kau
berada di Goa Kalong ini."
"Eyang menyuruhku?" tanya Purbaya.
"Benar. Turunlah!"
Purbaya berjumpalitan sesaat di udara, kemudian dengan ringan mendarat di depan
gurunya sambil melakukan sembah. Hal itu membuat Resi Turangga Weni tersenyum
semakin senang melihat tingkah laku muridnya yang sopan.
"Ada gerangan apa Eyang Guru membangunkan semadiku?" tanya Purbaya setelah
melakukan sembah.
Resi Turangga Weni memegang pundak Purbaya yang bertelanjang dada. Di bibirnya
masih mengurai senyum kekagumam pada sang Murid. Dielus-elusnya pundak Purbaya
yang masih berlutut di hadapan sang guru. Ada gambaran rasa cinta kasih di wajah
lelaki tua itu.
"Cucuku, dua puluh tahun sudah kau berada di Goa Kalong. Semua ilmu yang
kuajarkan, telah kau serap semua. Bahkan ajian 'Rambut Api' yang selama ini
belum pernah kuperdalami. Tetapi syukurlah, akhirnya kau yang berjodoh dengan
ajian itu!" tutur Resi Turangga Weni sambil terus membelai-belai pundak Purbaya.
Wajahnya ditengadahkan, memandang ke langit-langit goa yang meneteskan air
bening dan menebarkan hawa dingin. "Kini saatnya bagimu turun gunung,
mengamalkan semua yang telah kau peroleh di sini!" ujarnya dengan suara pelan.
"Tapi, Eyang...?" Purbaya hendak menolak apa yang disarankan eyang gurunya.
Sepertinya pemuda itu tidak ingin berpisah dengan Resi Turangga Weni, juga Goa
Kalong yang telah dua puluh tahun menjadi tempat tinggalnya.
Resi Turangga Weni tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tangannya masih
membelai-belai rambut pemuda tampan yang berwarna putih keperakan itu.
"Kau tidak bisa begitu, Cucuku. Ada pertemuan, tentu ada perpisahan. Ada
kehidupan, pasti ada kematian. Cepat atau lambat, usia manusia akan terus
bertambah. Jangan sia-siakan usiamu!
Gunakanlah kesempatan hidup yang hanya sebentar ini. Untuk mengabdi pada
kebenaran dan keadilan,"
tutur Resi Turangga Weni menasihatkan.
"Saya mengerti, Eyang."
"Syukurlah kalau begitu!" ujar Resi Turangg Weni dengan mengangguk-anggukkan
kepala, "Sekarang mandilah dulu di telaga. Aku telah mempersiapkan pakaian
untukmu." "Baik, Eyang."
Purbaya pun segera melangkah keluar dari Goa Kalong untuk mandi di telaga yang
tak jauh dari goa itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Purbaya yang sudah empat
puluh hari tak mandi, langsung menceburkan diri ke telaga. Dia mandi sepuaspuasnya. Dari dalam goa, Resi Turangga Weni keluar membawa setumpuk pakaian warna putih
dengan ikat pinggang merah menyala.
"Ini pakaianmu, Purbaya. Setelah mandi, pakailah!
Kemudian temui aku di dalam!" perintah Resi Turangga Weni. Ditaruhnya pakaian
itu di tepi telaga kemudian lelaki itu kembali melangkah meninggalkan telaga,
menuju goa. Resi Turangga Weni duduk di atas sebuah batu besar dan rata dalam Goa Kalong
itu. Tidak lama kemudian, dari luar muncul Purbaya yang telah mengenakan jubah
putih terbuat dari serat benang sutera. Ikat pinggangnya yang merah menyala,
semakin menambah kegagahan pemuda tampan itu.
"Duduklah!"
"Terima kasih, Eyang." Purbaya pun segera duduk bersila di hadapan Resi Turangga
Weni. Rambutnya yang putih keperakan dibiarkan terurai panjang.
Udara di dalam Goa Kalong seketika terasa segar.
Ada sesuatu yang keluar dari rambut keperakan pemuda tampan itu. Sehingga
membuat suasana di dalam Goa Kalong terasa segar, seakan dari rambut Purbaya,
menghembuskan hawa hangat yang mampu menekan hawa dingin.
"Purbaya, Cucuku. Kurasa tak banyak yang akan kusampaikan padamu, sebagai bekal
perjalananmu. Hanya satu pesanku. Janganlah dirimu menjadi sombong dan takabur. Kesombongan
dan ketakaburan akan membuat kita celaka. Menurut kabar yang kudengar, ibumu masih
hidup. Tapi entah di mana...," tutur Resi Turangga Weni.
Mendengar ucapan sang Guru, Purbaya seketika tersentak kaget. Matanya terbelalak
seakan-akan tak percaya pada apa yang baru didengarnya. "Ibu masih hidup?"
"Benar, Anakku. Itu yang pernah kudengar."
"O, syukurlah! Ingin sekali aku bertemu dengan-nya. Apakah mungkin ibu juga tahu
kalau aku masih hidup, Eyang?" tanya Purbaya ingin tahu.
"Entahlah, Cucuku. Tapi kau memiliki kalung ini.
Tentunya jika ibumu melihat, dia akan ingat. Kini, berangkatlah! Tegakkan
kebenaran dan keadilan. Tak ada yang dapat Eyang berikan padamu untuk bekal.
Hanya doa Eyang yang akan menyertaimu...," tutur Resi Turangga Weni.
''Terima kasih, Eyang. Aku mohon pamit!" pinta Purbaya sambil melakukan sembah.
Sedangkan Resi Turangga Weni dengan penuh kasih membelai rambutnya.
"Hati-hatilah, Cucuku!"
Dengan menahan perasaan sedih Purbaya
melangkah meninggalkan Resi Turangga Weni dan Goa Kalong. Dalam hatinya
berjanji, akan menegak-kan kebenaran dan keadilan di muka bumi ini.
Namun, kini tujuan utama akan mencari sang Ibu yang menurut berita masih hidup.
"Di manakah ibu?" gumam Purbaya, sambil terus melangkah keluar dari dalam goa.
Sesaat pemuda itu berdiri mematung di depan mulut goa, menatap ke langit yang
biru dan bening. Kemudian setelah menoleh ke belakang memandang Goa Kalong.
Purbaya kembali meneruskan langkah menuruni Pegunungan Kapur.
Dengan langkah mantap dan pasti, pemuda
berambut panjang putih keperakan itu terus melangkah menelusuri lereng
Pegunungan Kapur.
Dirinya tak tahu harus ke mana, hanya mengikuti ke mana kaki melangkah. Rasa
rindu ingin bertemu ibunya, membuat langkah Purbaya semakin mantap.
Dengan berlari-lari kecil, pemuda itu terus menuruni lereng Pegunungan Kapur
yang tampak putih dan kering tertimpa terik matahari.
Pegunungan Kapur memang tandus. Di sana sini yang tampak hanya bebatuan kapur
dan granit. Hanya di sekitar Goa Kalong tumbuh pepohonan yang tak begitu rimbun, karena
tanah di situ memang agak subur. Maka jika dilihat dari kejauhan, Pegunungan
Kapur hanya sebagian puncaknya yang ditumbuhi pepohonan rimbun, sedangkan
lainnya hanya bebatuan kapur dan gramit.
Sesampainya di bawah lereng Pegunungan Kapur,
Purbaya sesaat berhenti. Dirinya nampak bingung harus melangkah ke mana, karena
belum pernah tahu di mana Desa Kranggan, tempat kelahirannya.
Desa yang akan senantiasa diingat. Di mana dirinya dan kedua orangtuanya
tinggal, hidup aman sejahtera dan berbahagia sampai akhirnya para penjahat itu
datang mengacau dan membunuh ayahnya, Kerto Pati.
Empat orang lelaki, yang salah satunya bermuka kera datang ke rumahnya. Mereka
mengeroyok ayahnya, setelah menanyakan Kitab Ajian Dewa. Sang Ayah, akhirnya
mati, di tangan keempat lelaki jahat itu.
Ingatan Purbaya kembali melayang. Semua
kejadian semasa dirinya berusia lima tahun, kembali terlintas dalam benaknya.
Dari kematian sang Ayah, sampai kematian kusir kereta yang bernama Trenggana dan
entah bagaimana nasib ibunya.
"Ibu, mungkin kau menyangka aku telah mati. O, ingin sekali aku bertemu
denganmu, Bu. Kerinduan selama dua puluh tahun kupendam, karena aku tak tahu
harus berbuat apa," desah Purbaya lirih sambil menghela napas dalam-dalam.
Ditatapnya sinar mentari pagi yang terasa hangat. Kemudian mata pemuda tampan
berambut putih keperakan itu menatap ke sekeliling.
Di kejauhan tampak desa-desa kecil terhampar di bawah. Pepohonan tumbuh subur
menutup desa-desa yang tampak di sebelah utara, barat, dan timur.
Seketika itu pula pikiran Purbaya kembali teringat Desa Kranggan yang dua puluh
tahun lalu ditinggal-kan. Entah seperti apa desa itu kini.
Setelah menghela napas dalam-dalam, kini
Purbaya kembali meneruskan langkahnya untuk
mengembara dan mencari ibunya yang menurut Eyang Resi Turangga Weni masih hidup.
Sekaligus mencari pembunuh sang Ayah yang dianggapnya telah membuat kehancuran
keluarganya. *** Siang itu suasana terasa aneh, matahari sangat panas, menyengat dan seakan
hendak memanggang seluruh makhluk bumi. Tampak para peladang mulai berteduh di
bawah pepohonan di sekitar ladang mereka. Terik matahari siang itu, juga
dirasakan penduduk Desa Kranggan. Mereka mulai menghentikan pekerjaan dan pulang
ke rumah masing-masing.
Berkumpul kembali dengan anak istri mereka, dan berlindung dari terik matahari
yang begitu panas.
Di tengah suasana panas itu nampak seorang pemuda berambut panjang keperakan
tengah melangkah dengan tenang. Pemuda berjubah putih itu seakan-akan tak merasa
kepanasan sedikit pun.
Tak ada keringat yang keluar dari tubuhnya. Matahari yang begitu terik
sepertinya tak berarti baginya.
Pemuda yanga tiada lain Purbaya itu, terus melangkah menelusuri jalan tanah yang
membelah Desa Kranggan untuk mencari kedai. Perutnya yang empat puluh hari
melakukan tapa, terasa begitu lapar. Tadi ketika dia hendak meninggalkan Goa
Kalong, dirinya lupa untuk mengisi perut.
Purbaya masih melangkah, tak menghiraukan panas terik yang menyengat. Ternyata
seluruh tubuhnya memang tak merasakan hawa panas sedikit pun.
Hal itu dikarenakan pengaruh dari rambutnya yang seperti mengandung air serta
mengeluarkan hawa sejuk dan segar.
Tak jauh dari tempat Purbaya berada, tampak sebuah kedai yang ramai
pengunjungnya. Semua orang yang melihat pemuda itu melangkah bagaikan terkesima.
Mata mereka kini tertuju pada pemuda berambut keperakan tampak segar. Tanpa
keringat bercucuran, tanpa rasa lelah dan kepanasan.
Padahal, terik matahari bagaikan hendak
memanggang. Di antara para penduduk Desa Kranggan yang tengah berteduh di dalam kedai itu,
tampak seorang pemuda berambut gondrong memakai rompi kulit ular. Pemuda
bertingkah laku aneh itu tak lain Sena Manggala atau yang lebih dikenal dengan
julukan Pendekar Gila. Di sampingnya berdiri seorang gadis cantik berpakaian
hijau daun. Pendekar Gila tampak mengerutkan kening sambil cengengesan menatap
Purbaya. Gadis di samping Pendekar Gila yang ternyata Mei Lie tampak heran. Orang-orang
di kedai itu semakin heran, tak terkecuali Pendekar Gila dan Mei Lie ketika
Purbaya berada semakin dekat dengan mereka. Hal itu karena tiba-tiba ada hawa
sejuk berhembus dari rambut keperakan milik pemuda itu.
"Aha, kau merasakan sesuatu keanehan, Mei Lie?"
tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala dengan mulut cengengesan sambil menoleh
pada wajah Mei Lie.
"Ya, aku merasakan hawa yang sejuk. Kurasa pemuda itulah sumbernya. Lihat,
Kakang! Rambutnya seperti berair," gumam Mei Lie.
''Ya ya ya, kurasa memang dialah yang penyebab-nya. Aha, baru kali ini kulihat
orang yang mampu mengeluarkan hawa sejuk," gumam Sena dengan tangan tetap
menggaruk-garuk kepala. Mulutnya
cengengesan, dengan mata menatap Purbaya yang kini semakin bertambah dekat
dengan kedai. "Kurasa dia bukan orang sembarangan, Kakang,"
tukas Mei Lie sambil terus memperhatikan Purbaya yang tampak mulai dikerumuni
orang-orang desa.
Pemuda berambut keperakan itu kini berada di depan kedai lalu duduk di dipan
bambu. Melihat orang-orang bertambah banyak
mengerumuni Purbaya, Pendekar Gila bangkit dari duduknya, lalu melangkah
mendekati kerumunan itu.
"Aha, bubarlah semua...! Bubar...!" perintah Sena pada orang-orang yang
mengerumuni Purbaya.
Mereka menganggap pemuda berambut keperakan itu orang aneh yang patut ditonton.
Para warga desa dan anak-anak yang berkumpul mengelilingi Purbaya seketika bubar
meninggalkan kedai. Mereka bersorak-sorai, mengolok-olok Purbaya. Namun pemuda
berambut keperakan itu sepertinya tak marah. Justru tampak tersenyum-senyum.
"Hush! Pergi-pergi...!" bentak Mei Lie dengan mata melotot, membuat anak-anak
kecil yang tadi masih berolok-olok langsung bubar meninggalkan tempat itu.
"Aha, kurasa lebih baik kita ke dalam, Kisanak!"
ajak Sena dengan tingkah lakunya yang persis orang gila. "Kulihat kau pun lapar.
Ayolah...! Ah ah ah...!"
"Terima kasih. Kau baik sekali, Kisanak. Namaku Purbaya," ujar Purbaya
memperkenalkan diri. Keningnya mengerut menyaksikan tingkah laku Pendekar Gila
yang aneh itu. "Aha, namaku Sena Manggala. Dan temanku ini bernama Mei Lie," Pendekar Gila
memperkenalkan diri dan nama kekasihnya.
"Hm, sudah kuduga, kalau Nini Mei Lie orang Cina," tukas Purbaya berseloroh.
"Aha, tepat sekali. Dia memang dari Cina. Tetapi sekarang hidup di dusun. Hi hi
hi...!" Sena menimpali seloroh Purbaya yang membuat Mei Lie melotot sengit.
Ketiganya tersenyum.
"Aha, mari masuk!" ajak Sena sambil membimbing Purbaya melangkah masuk ke kedai.
Kemudian pemuda itu diajak duduk di sampingnya. "Pelayan, beri Kisanak ini
makanan yang enak!"
"Baik, Tuan."
Pelayan kedai segera mengambil makanan yang dipesan Pendekar Gila. Tidak lama
kemudian, pelayan itu telah kembali dengan membawakan makanan.
"Ini pesanan, Tuan."
"'Terima kasih. Taruhlah di sini!" perinta Sena yang segera dilaksanakan pelayan
kedai itu. "Silakan, Kisanak!"
"Kalian...?" tanya Purbaya.
"Kami baru saja," jawab Mei Lie sambil tersenyum menganggukkan kepala.
"Bersantaplah yang enak!"
"Terima kasih."
Purbaya pun menyantap makanan itu dengan
lahap. Sehingga dalam waktu sebentar saja makanan telah habis tak tersisa.
"Mau tambah, Kisanak?" tanya Sena.
"Ah tidak, terima kasih," sahut Purbaya sambil tersenyum.
"Aha, kalau kau memang masih lapar, nambahlah!
Biar aku yang membayar semuanya," ujar Sena ramah.
''Terima kasih. Cukup! Kalau nambah, kurasa
perutku tak akan sanggup menampungnya," jawab Purbaya sambil tersenyum, membuat
Sena dan Mei Lie turut tersenyum.
"Maaf, ng..., Purbaya. Kalau boleh kami tahu, hendak ke manakah tujuanmu?" tanya
Mei Lie. Purbaya terdiam sesaat. Ditariknya napas dalam-dalam. Kemudian diedarkan matanya
ke sekeliling kedai, seperti tengah mencari sesuatu. Kemudian dengan helaan
napas panjang, pemuda itu menceritakan tujuannya.
"Aku ingin mencari kampung halamanku, sekaligus mencari ibuku yang kabarnya
masih hidup. Lalu yang kedua, aku bermaksud mencari Kitab Ajian Dewa yang dahulu
dititipkan Pendekar Gila pada ayahku.
Entah di mana kitab itu berada sekarang. Aku khawatir orang-orang jahat yang
membunuh ayahku berhasil mendapatkannya," tutur Purbaya. Wajah pemuda itu
menyiratkan kepedihan dalam hatinya.
"Pendekar Gila...?" tanya Mei Lie dengan kening mengerut, sepertinya hendak
meyakinkan pendengarannya.
''Ya!" sahut Purbaya. "Dulu, ketika ayahku masih hidup, ayahku pernah bercerita


Pendekar Gila 21 Kitab Ajian Dewa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tentang seorang pendekar yang tingkah lakunya persis orang gila. Itu sebabnya
dia dikenal dengan sebutan Pendekar Gila.
Antara ayahku, dengan Pendekar Gila saling ber-sahabat. Pada masa hendak
menghilang dari rimba persilatan, Pendekar Gila menitipkan Kitab Ajian Dewa pada
ayahku. Dia berpesan agar ayah memberitahukan kitab itu kepada murid atau
keturunan-nya kelak."
Mei Lie semakin mengernyitkan kening, mendengar penuturan Purbaya. Kemudian
matanya menatap wajah Pendekar Gila yang tampak
cengengesan, sepertinya tak peduli penuturan pemuda berambut keperakan di
hadapannya. "Apakah Nini Mei Lie kenal dengan pendekar sakti itu?" tanya Purbaya seraya
menatap wajah gadis cantik itu.
"Ya."
"O, syukurlah! Aku ingin meminta maaf atas nama ayahku, yang tidak bisa menjaga
barang titipannya.
Tetapi mungkin juga masih disimpan ayahku. Hanya ibuku yang tahu, di mana kitab
itu disimpan," ujar Purbaya. "Kalau boleh saya tahu, di mana pendekar itu?"
"Bukankah ada di sampingmu?" tanya Mei Lie sambil menoleh dan tersenyum pada
Pendekar Gila yang hanya cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
Seketika Purbaya membelalakkan mata kaget.
Hatinya hampir tak percaya kalau orang yang di sampingnya ternyata Pendekar
Gila. Pemuda itu segera menoleh dan menatap wajah Sena yang tampak tersenyumsenyum. "O, maafkanlah kebutaanku, Tuan Pendekar!
Sungguh tak pernah kusangka, kalau aku bisa bertemu dengan Pendekar Gila," ujar
Purbaya sambil menjura
"Aha, kau salah, Kisanak. Mungkin yang dimaksud ayahmu adalah guruku. Memang
semua pendekar yang keluar dari Goa Setan, akan dijuluki orang sebagai Pendekar
Gila. Eyang guru, guruku, dan aku...," tutur Sena menjelaskan. "Semua mendapat
julukan Pendekar Gila."
Purbaya mengangguk-anggukkan kepala, mendengar penuturan Sena tentang gelar Pendekar Gila.
Namun meski dulu yang menjadi sahabat ayahnya
adalah guru Sena. Purbaya tetap merasa, tak salah jika minta maaf pada Sena.
Karena dirinya merasa Kitab Ajian Dewa yang hingga kini belum diketemukan,
merupakan hak Sena sebagai murid Pendekar Gila.
"Meskipun kau muridnya, aku merasa sepantasnya minta maaf, karena kitab itu
belum bisa kuberikan padamu," ujar Purbaya.
"Aha tak menjadi masalah, Kisanak. Bukankah kita bisa mencarinya bersama-sama?"
sahut Sena berusaha meyakinkah Purbaya, agar pemuda berambut keperakan itu
tenang dan tidak merasa bersalah.
"Terima kasih atas kebaikanmu, Pendekar."
"Aha, mengapa kau sebut pendekar" Namaku
Sena?" ujar Sena dengan cengengesan sambil tangannya menggaruk-garuk kepala. Hal
itu membuat Mei Lie melotot gemas dan mencubit pinggang kekasihnya. Pendekar
Gila terpekik karena kesakitan.
Sementara Purbaya tampak tersenyum-senyum melihat tingkah keduanya.
"Dasar gila!" sungut Mei Lie.
"Hi hi hi...! Bukankah aku gila karenamu?" goda Sena yang semakin membuat Mei
Lie melotot gemas.
Ketika mereka tengah bercanda, tiba-tiba....
"Tolong...! Tolooong...!"
Tiba-tiba terdengar teriakan seorang wanita dari arah barat.
"Heh"!"
"Aha, ada apa gerangan?" gumam Sena.
"Pasti gerombolan Partai Kera Hitam!" sahut pemilik kedai. Mendengar hal itu
Sena, Mei Lie, dan Purbaya mengerutkan kening.
"Gerombolan Partai Kera Hitam" Apa maksudmu, Ki?" tanya Mei Lie ingin tahu.
"Gerombolan kejam yang selalu berusaha ingin berkuasa dan mencari seseorang di
desa ini," tutur pemilik kedai menjelaskan. Baik Pendekar Gila, Mei Lie, maupun
Purbaya sama-sama tercengang mendengar penjelasan pemilik kedai itu.
"Tolong...! Tolooong...!" suara teriakan itu pun terdengar lagi, bahkan semakin
dekat dari kedai. Hal itu membuat Purbaya, Pendekar Gila, dan Mei Lie langsung
melesat keluar ingin tahu apa yang terjadi.
*** 5 Dari arah barat, nampak segerombolan lelaki berwajah garang berpakaian rompi
merah menyala. Mereka tengah mengejar seorang gadis cantik jelita berpakaian biru laut. Gadis
itu berlari terbirit-birit ketakutan, karena sepuluh lelaki beringas terus
memburunya, tanpa menghiraukan jeritan ketakutan.
"'Tolong...! Tolooong...!"
Semua warga Desa Kranggan yang semula berada di jalanan atau di sawah, seketika
langsung bersembunyi. Mereka tidak berusaha menolong gadis yang tengah dicekam
rasa takut itu, melainkan bersembunyi. Hal itu karena para penduduk tahu
gerombolan itu adalah Partai Kera Hitam.
Gadis cantik berambut panjang itu terus berlari semakin ketakutan, karena tak
seorang pun warga desa yang menolongnya. Sambil menjerit-jerit ketakutan dia
terus berlari, berusaha meninggalkan pengejarnya.
"Tolong...! Tuan, tolong...!" seru gadis itu ketika melihat tiga orang di depan
kedai. Hatinya benar-benar berharap pertolongan dari ketiga orang yang tidak
bersembunyi seperti warga desa lainnya.
"Aha, ada tikus-tikus yang sedang memburu mangsa! Hi hi hi...! Lucu sekali!"
gumam Sena dengan cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Tolong Tuan! Mereka mau menangkapku," ratap gadis cantik itu pada Pendekar
Gila. Ingatan Mei Lie seketika melayang pada suatu peristiwa ketika dia baru tiba di
Tanah Jawa Dwipa.
Saat itu dirinya dikejar-kejar gerombolan Segara Wedi.
Kemarahannya seketika meledak. Harga dirinya sebagai seorang wanita, bagaikan
memberontak. Matanya menatap garang pada kesepuluh lelaki yang berlari-lari menuju kedai.
"Nisanak, siapa mereka?" tanya Mie Lie.
"Mereka gerombolan Partai Kera Hitam. Tolonglah saya...! Saya tak mau dijadikan
budak nafsunya.
Tolonglah saya, Ni Pendekar," ratap gadis cantik itu pada Mie Lie.
"Mundurlah, biar aku yang menghadapi mereka!"
ujar Mei Lie geram.
Sementara Pendekar Gila dan Purbaya masih tenang. Pendekar Gila tertawa
cekikikan sambil menggaruk-garuk kepala. Sepertinya merasa tenang, melihat
kekasihnya kini melangkah maju. Hatinya tak merasa khawatir terhadap Mei Lie,
karena paham benar gadis cantik yang mempunyai julukan angker
'Bidadari Pencabut Nyawa Iblis' itu.
"Tuan Pendekar..., mengapa kita berdiam diri" Kita harus membantu Nini Mei Lie,"
ujar Purbaya, merasa heran melihat Pendekar Gila cengengesan sambil menggarukgaruk kepalanya.
"Aha, biarkan saja, Kisanak! Kita lihat saja dulu,"
sahut Pendekar Gila sambil tersenyum-senyum, melihat Mei Lie melangkah mantap
menghadang kesepuluh lelaki bermuka beringas.
"He he he...! Kawan-kawan, rupanya kita melepaskan burung merpati, kini dapat
burung merak indah,"
teriak pimpinan gerombolan dari Partai Kera Hitam pada rekan-rekannya yang
terbahak-bahak melihat gadis cantik berada di depan mereka.
"Hm, kau menginginkan aku?" tanya Mei Lie
sambil tersenyum dan mengerlingkan mata.
"Bukan hanya kami. Pimpinan kami pun tentu senang, jika kami dapat membawamu ke
markas," sahut lelaki bertubuh tinggi tegap dengan wajah ditumbuhi cambang bawuk lebat
itu. "Baik, tangkaplah aku kalau kalian sanggup!"
tantang Mei Lie sambil tersenyum mengejek. Namun matanya menatap garang anak
buah Partai Kera Hitam.
"He he he..., apa susahnya menangkap burung merak seindah dirimu, Nini?" sahut
Kuncupala, pimpinan gerombolan itu sambil terkekeh. Lelaki bercambang bauk itu
meremehkan Mei Lie. Kalau saja dirinya tahu siapa gadis Cina itu, tentunya akan
berpikir seribu kali untuk menghadapinya.
"Hm, begitu" Tangkaplah kalau bisa!" tantang Mei Lie dengan senyum sinis di
bibirnya. "He he he...! Tangkap burung merak itu!" perintah Kuncupala pada anak buahnya.
"Hea!"
Lima orang segera mengepung Mei Lie. Kemudian dengan beringas, langsung menubruk
Mie Lie. Namun, dengan cepat Mie Lie melompat ke atas, sehingga kelimanya saling
berbenturan satu sama lain.
Brukkk! "Aaa...!"
"Ha ha ha...!" Mei Lie tertawa terbahak-bahak melihat kelima lelaki yang hendak
menangkapnya saling bertabrakan. Tampak tiga orang mengusap-usap kepala karena
benjol. "Kalian seperti menangkap kodok. Ha ha ha...!"
"Hi hi hi...! Lucu..., lucu sekali!" gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala,
melihat kejadian itu.
Purbaya pun yang semula diam dan tegang, takut kalau-kalau Mie Lie tertangkap
kini tertawa terbahak-bahak.
"Ah, rupanya aku yang belum berpengalaman ini, mesti belajar banyak dari kalian,
Tuan Pendekar,"
gumam Purbaya sambil menggeleng-geleng kepala kagum pada Mei Lie. Matanya yang
tajam memandang sambil menertawakan kelima anak buah Partai Kera Hitam yang
meringis-ringis kesakitan.
Merasa ditertawakan oleh Pendekar Gila, Purbaya, dan Mei Lie. Kuncupala sang
Pimpinan gerombolan tampak semakin marah.
"Kurang ajar! Kubunuh kalian! Ayo..., habisi mereka!" perintahnya sambil
menggerakkan tangan.
Para anak buahnya segera merangsek dan
menyerang Pendekar Gila dan Purbaya.
"Aha, kita akan main-main Mei Lie, minggirlah dulu! Atau masuklah ke dalam
kedai, biar kami main-main dengan cecurut-cecurut ini!" seru Sena sambil
tersenyum cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Kurang ajar! Lancang sekali mulutmu, Pemuda Gila! Bunuh mereka...!" teriak
Kuncupala sambil melesat. Para anak buahnya segera mencabut pedang masingmasing. Srt! Srt! "Hi hi hi...!" Sena tertawa cekikikan, melihat tiga orang dari anak buah Partai
Kera Hitam menghunus pedang dan mengurung Pendekar Gila.
"Hea!"
Wrt! Wrt! Ketiga anak buah Partai Kera Hitam langsung menggebrak dengan sabetan dan
babatan pedang mereka ke tubuh lawan. Namun dengan masih
cengengesan Pendekar Gila segera bergerak mengelak. Tubuhnya dirundukkan, lalu
meliuk. Bersamaan dengan gerakan itu kaki kirinya menyapu ke kaki lawan.
Wrt! Ketiga orang yang menyerang melompat ke
belakang, mengelakkan tendangan Pendekar Gila.
Mereka saling pandang sesaat, lalu melesat melancarkan serangan lagi. Ketiga
pedang tampak berkelebatan dan berputar serta membabat tubuh Pendekar Gila.
"Hea!"
"Putus lehermu, Pemuda Gila! Hih...!"
Wrt! "Uts! Aha, kurang tepat, Tikus Busuk! Hih...!"
Sena langsung bergerak dengan jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat'. Tubuhnya
meliuk-liuk laksana menari sambil cengengesan, kemudian disusul dengan tepukan
tangannya ke dada lawan. Sedangkan kaki kirinya menyerang dengan gerakan menebas
dada lawan yang menyerang.
Ketiga lawannya yang menyerang terkesima
melihat gerakan ilmu silat pemuda bertingkah laku gila. Mereka menyangka gerakan
lambat dan lemah yang dilancarkan Pendekar Gila akan mudah mereka tembus. Dengan
cepat mereka merangsek masuk, membabatkan pedang ke tubuh Pendekar Gila.
"Yea!"
Wrt! Wrt! "Uts! Hi hi hi...! Ini untukmu, Kecoa!" Pendekar Gila kembali meliuk, kemudian
tangan kanan dan kirinya dihentakkan ke samping melakukan tepukan.
Dua orang yang menyerangnya tersentak kaget.
Mereka tak menyangka kalau gerakan yang kelihatan
pelan dan lemah, ternyata memiliki kekuatan dan kecepatan luar biasa.
"Celaka!"
"Heits...!"
Ketiga orang anggota Partai Kera Hitam yang menyerang Sena tersentak kaget
dengan mata membelalak tegang. Mereka berusaha mengelakkan tepukan dan sapuan
kaki lawan. Namun ternyata gerakan yang dilancarkan Pendekar Gila datang begitu
cepat. Sehingga....
"Akh...!"
Dua orang terpekik. Tubuh mereka terpental deras ke belakang, bagaikan terdorong
suatu kekuatan dahsyat. Tubuh keduanya terus melayang ke belakang, sampai
akhirnya menerjang pohon pinang.
Brak! "Ukh...!" terdengar erangan dari mulut mereka yang tampak mengeluarkan darah.
Sementara seorang lagi, kini terpelanting akibat kakinya ter-sambar tendangan
keras Pendekar Gila. Orang ini pun meringis-ringis. Tulang pantatnya bagaikan
remuk, karena tubuhnya bagaikan dibanting dengan keras.
"Hi hi hi...! Kenapa kau meringis, Kisanak" Aha, sakit...?" tanya Sena meledek.
Kemudian tertawa terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala.
Lelaki berwajah beringas itu membelalakkan mata melihat tingkah Pendekar Gila.
"Pendekar Gila...!" pekiknya kaget.
"Hi hi hi...! Gila" Aha, kau gila rupanya, Kisanak.
Pantas..., pantas, kau meringis-ringis kesenangan.
Padahal kau tentu sakit. Tetapi kau tampak girang,"
gumam Pendekar Gila sambil masih cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk
kepala. Melihat sikap Sena, lelaki berwajah beringas itu
tampak tegang, takut kalau Pendekar Gila akan membunuhnya.
Melihat Pendekar Gila semakin mendekati dirinya orang itu kian tegang. Sehingga
dengan cepat kakinya melangkah mundur tapi terasa sakit. Matanya melotot karena
tegang dan panik.
"Jangan...! Jangan...!" teriak lelaki bertubuh tinggi dengan hidung besar dan
berambut kumal. Dirinya terus beringsut menggeser pantat yang kesakitan.
Matanya masih menatap nanar pada Sena yang hanya cengengesan sambil menggarukgaruk kepala, melangkah mendekat lelaki berhidung besar itu.
"Aha, kau seperti kesenangan, Kisanak. Hi hi hi..., lucu sekali! Lucu...!" tukas
Pendekar Gila sambil terus melangkah maju, membuat lawannya bertambah tegang.
Perasaan takut yang terus mendera jiwanya, membuat lelaki tinggi kurus dengan
hidung besar itu nekat.
"Heaaa...!"
Diiringi teriakan keras, lelaki itu melompat menyerang dengan mengayunkan
pedang. Namun dengan cepat, Pendekar Gila merundukkan tubuh dengan kepala dan
sebagian badan condong ke muka. Hal itu mengakibatkan serangan lawan meleset.
Kemudian, dengan cepat ditangkapnya kaki lawan yang tengah melayang di atasnya.
Trap! "Heaaa...!" dengan pengerahan tenaga dalam dilemparkan tubuh lawan ke angkasa.
Wrt! "Akh...! Tolong...!" teriak lelaki berhidung besar itu ketakutan. Tubuhnya
melenting tinggi sekali.
Kemudian menukik ke bawah dengan deras. Sampai akhirnya, jatuh dengan kepala
menancap di tanah
persawahan yang basah dan berair.
Jrot! "Hi hi hi...! Ha ha ha...!" Pendekar Gila tertawa-tawa sambil menggaruk-garuk
kepala, melihat kejadian yang dianggapnya sangat lucu. Kemudian dengan tenang
melangkah ke bangku di depan kedai, lalu duduk dengan santai sambil meniup
Suling Naga Sakti. Dialunkan lagu sendu dan mendayu biru.
Sementara pertarungan antara Mei Lie dan
Purbaya melawan ketujuh anak buah Partai Kera Hitam masih berjalan seru. Mei Lie


Pendekar Gila 21 Kitab Ajian Dewa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan Purbaya masih mengandalkan tangan kosong, membiarkan lawan menyerang dengan
senjata. Sejauh itu mereka tampak hanya mengelak sambil sesekali balas menyerang
dengan tangan kosong
"Hea!"
Wrt! Sebuah babatan pedang menderu ke kepala
Purbaya. Hal itu membuat pemuda itu segera memutar kepala untuk mengelak. Namun
sungguh di luar dugaan, tiba-tiba rambut panjang keperakan di kepala Purbaya
mengeluarkan sinar putih keperakan.
Sinar itu langsung melesat menerjang orang yang hendak menyerang dari belakang.
Sudah barang tentu orang-orang tersentak kaget melihat kejadian itu. Bahkan
Pendekar Gila yang sedang santai dengan meniup Suling Naga Saktinya terlonjak
dengan mata melotot. Seakan-akan dirinya tak percaya, kalau rambut Purbaya yang
keperakan itu dapat mengeluarkan sinar keperakan.
Srattt...! Bret! "Akh...!" pekikan keras terdengar dari orang-orang yang terhantam sinar itu.
Betapa dahsyat kekuatan
sinar keperakan dari rambut Purbaya. Kulit tubuh yang terkena serangan itu
langsung terkelupas dan gosong seperti terbakar. Mulut mereka mengerang-erang
menahan panas dan rasa sakit yang hebat.
Melihat kejadian itu, lima orang anak buah Partai Kera Hitam yang masih hidup
berusaha kabur dari tempat pertempuran karena ketakutan. Melihat gelagat lawanlawannya dengan cepat Purbaya segera bergerak mencegat mereka.
"Mau lari ke mana kalian"!" bentak Purbaya geram.
"Ampun! Jangan bunuh kami...!" ratap pimpinan mereka sambil bersujud ketakutan,
mengharap ampunan Purbaya.
"Hm, manusia macam kalian tak ada ampunan!
Terimalah kematian kalian! Heaaa...!"
Dengan cepat Purbaya menggerakkan kepala ke arah lima lelaki yang masih memegang
pedang dan golok. Seketika itu juga rambut panjangnya berkelebat memancarkan
cahaya berkilauan. Dan dari kilatan cahaya menyilaukan itu melesat sinar putih
keperakan. Itulah ajian 'Rambut Api' Purbaya.
"Heaaa...!"
Wuttt! Slats! Slats! "Akh...!" Lima orang terpekik bersamaan ketika sinar yang melesat dari ajian
'Rambut Api' Purbaya menghantam telak tubuh mereka. Seketika tubuh kelima lelaki
beringas itu meleleh hingga ber-sembulan tulang-belulang dengan cairan merah
kehitaman. Seketika suasana berubah hening, tak ada lagi suara erangan atas atau
jeritan kesakitan.
Karena kelima anak buah Partai Kera Hitam langsung mati saat sinar keperakan
menghantam tubuh
mereka. Pendekar Gila dan Mei Lie terlonjak kaget.
Keduanya tidak menduga kalau Purbaya akan berbuat seperti itu. Pendekar Gila
hanya mampu menarik napas, sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dirinya
sebenarnya tak setuju jika Purbaya menghabisi nyawa mereka. Karena orang-orang
itu tadi telah meratap minta ampun.
"Ah ah ah...! Kawan, mengapa kau lakukan itu"
Bukankah mereka sudah minta ampun?" tanya Sena dengan meringis sambil menggarukgaruk kepala. "Maafkan aku, Kawan. Hatiku telah terbawa perasaan, ketika tiba-tiba teringat
kejadian dua puluh tahun silam. Manakala orang-orang jahat yang mungkin pimpinan
mereka membunuh ayah, serta membuat keluargaku berantakan," tutur Purbaya seakan
menyesali tindakannya.
Pendekar Gila menghela napas dalam-dalam.
Kemudian dengan cengengesan sambil tangan kanan menggaruk-garuk kepala,
diliriknya Mei Lie yang hanya diam membisu, seakan tak berniat meng-ucapkan
kata-kata. "Adi Purbaya, mungkin jalan hidupmu masih lumayan dibandingkan nasibku. Ayah dan
ibuku mati dibantai. Sedangkan kau masih punya ibu.
Bersyukurlah, karena kau masih punya kesempatan untuk dapat bertemu dengan
ibumu," tutur Sena sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Sedangkan aku, tak punya siapa-siapa. Memang menurut cerita paman dan bibiku
masih hidup. Tapi..., entah di mana."
Purbaya terdiam mendengar cerita yang dituturkan Pendekar Gila. Hatinya merasa
tutur kata pendekar itu sangat bijaksana dan menunjukkan ketabahan
serta kesabaran. Dirinya sendiri baru saja terpancing amarah. Padahal
penderitaannya, belum seberapa dibandingkan yang dialami Pendekar Gila (Untuk
lebih jelasnya, silakan ikuti serial Pendekar Gila dalam episode pertamanya yang
berjudul 'Suling Naga Sakti').
"Ah ah ah, sudahlah! Semua telah terjadi. Tak perlu kita sesalkan dan
permasalahkan. Oh, aku lupa untuk membayar makanan yang tadi kita makan.
Ayo...!" ajak Sena sambil melangkah menuju ke kedai.
Setelah membayar makanan yang telah mereka makan, Pendekar Gila kembali keluar
menemui Purbaya yang tengah duduk di serambi depan kedai.
Mei Lie mengikuti di belakangnya.
"Sekarang, hendak ke mana kau pergi?"
"Hm..., sebenarnya aku akan pergi ke Desa Kranggan untuk mencari kuburan
ayahku." "Desa Kranggan" Bukankah ini Desa Kranggan?"
balik Mei Lie bertanya, nadanya menjelaskan pada Purbaya kalau desa di mana
mereka kini berada adalah desa yang tengah dicari oleh Purbaya.
"O, jadi ini Desa Kranggan?" tanya Purbaya.
"Benar, Adi Purbaya...," sahut Mei Lie tersenyum pada Purbaya.
"Ke arah manakah kalian hendak melangkah?"
tanya Purbaya seraya menatap wajah Mei Lie dan Pendekar Gila bergantian.
"Aha, entahlah. Kami berdua hanyalah
pengembara. Kami pergi tanpa tujuan yang pasti,"
jawab Sena tersenyum cengengesan sambil menoleh ke wajah Mei Lie. Gadis itu
tersenyum dan mengangguk.
"Baiklah, kalau begitu. Aku hendak tinggal beberapa saat di desa ini. Kalau ada
umur panjang, mungkin kita akan bertemu lagi. Bukan begitu, Tuan Pendekar?" tanya Purbaya.
"Aha, benar juga katamu, Adi Purbaya. Baiklah, aku dan Mei Lie memohon pamit,"
ujar Sena. "Sampai jumpa lagi, Purbaya," sahut Mei Lie sambil melangkah seiring dengan
Sena, meninggalkan Purbaya. Pemuda itu berdiri mematung, menatap langkah
sepasang pendekar meninggalkan tempat itu.
"Sungguh seorang pendekar yang berbudi luhur.
Meski tingkah lakunya seperti orang gila, jiwanya sangat agung. Semoga kita bisa
bertemu lagi, Tuan Pendekar! Dan semoga aku akan segera mendapatkan kitab
milikmu," gumam Purbaya sambil melangkah meninggalkan pelataran kedai.
Orang-orang yang ada di kedai itu tampak
memperhatikan sambil menggeleng-geleng kepala.
Mereka semua merasa kagum terhadap kehebatan pemuda berambut keperakan itu.
"'Tuan Pendekar, Tunggu...!" seru gadis cantik yang tadi ditolongnya. Gadis itu
berlari mengejar Purbaya yang seketika berhenti, lalu menoleh ke belakang.
"Ada apa, Nisanak?" tanya Purbaya.
"Tadi ku-dengar kau mengatakan dari Desa
Kranggan ini. Siapakah, kakang...?"
"Namaku Purbaya."
"Hah"! Kau Purbaya..." Purbaya anak Paman Kerto Pati?" tanya gadis cantik itu
berusaha menegaskan.
Matanya terbelalak, seakan tak percaya pada apa yang baru saja didengar.
"Benar. Siapakah kau, Nisanak?" tanya Purbaya ingin tahu.
"Aku Suheni, anak Ki Marno. Kepala Desa
Kranggan ini," jawab gadis berpakaian biru laut itu.
"O, jadi kau Suheni" Tak kusangka, kita bisa bertemu lagi!" gumam Purbaya sambil
menggeleng-geleng kepala. "Bagaimana kabar Paman Marno dan Bibi Sami?"
"Ayah dan ibu, mati dibantai mereka. Ayah menolak memberi upeti pada Partai Kera
Hitam yang dipimpin Wanara. Orang itu juga yang dulu membunuh Paman Kerto Pati,"
tutur Suheni. Mendengar penuturan gadis cantik itu Purbaya tersentak kaget
dengan mata terbelalak. Orang yang menghabisi nyawa ayahnya ternyata masih
hidup. Dihelanya napas dalam-dalam, seakan-akan berusaha mereda-kan amarahnya.
"Sudah kuduga, kalau kesepuluh orang tadi anak buah si manusia kera itu," gumam
Purbaya, "Beruntung Sena menasihatiku. Kalau tidak mungkin aku tak dapat menahan amarah."
Purbaya menunduk sedih, ketika teringat pada peristiwa yang pernah terjadi dua
puluh tahun silam.
Suheni pun terdiam, seakan mulutnya terasa kelu tak dapat berkata lagi.
"Apakah kau tahu, di mana ibuku?"
"Entahlah, Purbaya! Aku tak tahu. Tapi, mungkin Paman Gendo mengetahuinya," ujar
Suheni. "Sebaiknya kau menginap di sini dulu, Purbaya."
"Baiklah. Aku akan ke kuburan ayah dulu," ujar Purbaya sambil melangkah diiringi
Suheni menuju ke arah barat, tempat dulu rumahnya berada.
Semua orang yang sejak tadi memperhatikan Purbaya bercakap-cakap dengan Suheni
seketika mengikuti langkah pemuda itu. Mereka seketika merasa memiliki gairah
hidup lagi, setelah tahu siapa pemuda berambut putih keperakan itu.
"Hidup Purbaya..."
"Hidup Malaikat Berambut Perak...!"
Para warga mengelu-elukan kedatangan Purbaya ke Desa Kranggan. Kini semua
harapan warga tertumpu pada Purbaya. Mereka mengharap pemuda itu akan mampu
membela Desa Kranggan dari ancaman Partai Kera Hitam.
"Hidup Purbaya...!"
"Hidup Malaikat Berambut Perak...!"
"Hidup anak Kerto Pati...!"
Warga Desa Kranggan terus mengikuti ke mana langkah Purbaya pergi. Orang-orang
yang berada di dalam rumah pun bermunculan keluar, ingin melihat anak Kerto Pati
yang telah kembali. Suasana Desa Kranggan seketika menjadi riuh. Para penduduk
seakan-akan merasa baru saja terjaga dari mimpi buruk, setelah dua puluh tahun
lebih dicekam ketakutan.
*** 6 Pendekar Gila dan Mei Lie masih melangkah menelusuri jalanan di tepi Sungai
Blongkeng yang membelah Hutan Kenjer Kuning. Kedua muda-mudi itu sekali-sekali
bercanda ria sambil menikmati indahnya suasana senja yang sejuk. Di atas
pepohonan di sepanjang tepian sungai terdengar suara kicau burung-burung yang
hendak pulang ke sarangnya.
Betapa gembiranya Mei Lie saat itu setelah lama berpisah dengan Pendekar Gila.
Rasa rindu yang selama ini dipendamnya, dicurahkan pada pemuda tampan namun
tingkah lakunya seperti orang gila itu.
"Ayo kejar, Kakang...!" seru Mei Lie sambil lari, setelah mencubit pinggang
kekasihnya. Sena tampak meringis-ringis kesakitan, akibat cubitan itu.
"Hi hi hi...! Akan kukejar ke mana pun kau pergi, Mei Lie Sayang...!" seru Sena
sambil berlari mengejar Mei Lie yang berlari sambil tertawa-tawa.
Kedua sejoli itu terus berkejaran dengan diselingi canda ria. Suasana sore itu
dirasakan bertambah indah. Alam sekelilingnya seakan turut bergembira
menyaksikan kebahagiaan keduanya.
"Ayo Kakang, kejar aku...!" Mei Lie kembali berseru sambil terus berlari dengan
tawanya yang merdu.
"Aha, akan kukejar!" seru Sena sambil kembali berlari mengejar. Keduanya terus
berkejar-kejaran.
Tak terasa keduanya sampai di tengah Hutan Kenjer Kuning. Namun tiba-tiba Mei
Lie berhenti. Keningnya berkerut karena mendadak kupingnya mendengar
suara kaki-kaki menginjak dedaunan.
Kresek! Krak! "Hm!" gumam Mei Lie sambil memasang telinga tajam-tajam, berusaha meyakinkan
pendengarannya.
Matanya yang lembut dan sayu menatap tajam ke sekelilingnya. Kepalanya meneleng
seakan-akan ingin memastikan dari mana asal suara-suara itu.
"Aha, ada apa, Mei Lie...?" tanya Sena yang melihat Mei Lie nampak diam dengan
mata terpicing dan dahi berkernyit.
"Ssst!" Mei Lie memberi isyarat pada Pendekar Gila agar diam.
Sena nyengir sambil menggaruk-garuk kepala.
Kemudian dia pun memasang telinganya dengan tajam, untuk mendengar apa yang
diisyaratkan kekasihnya.
Kresek! Krek! Pendekar Gila cengengesan, mendengar suara langkah kaki menginjak dedaunan
kering. "Hi hi hi...! Rupanya ada babi hutannya juga, Mei Lie!" tukas Sena sambil
menggaruk-garuk kepala. Mei Lie melototkan mata gemas. Dicubitnya pinggang Sena,
yang membuat Sena meringis.
"Cerewet! Diam dulu...!" sungut Mei Lie dengan wajah cemberut. Pendekar Gila
semakin cengengesan. Tetapi gadis cantik itu, tidak cemberut lagi. Bahkan diam sambil
tersenyum. "Diam! Nanti mereka lari!"
"Aha, keluarlah kalian jika tidak ingin kulempar dengan tanah!" seru Sena yang
membuat Mei Lie mendengus kesal bercampur geram.
Seketika dari balik semak-semak muncul lima lelaki berpakaian coklat tua lengan
panjang. Rambut
mereka panjang, diikat dengan kain membentuk segitiga. Namun wajah kelima lelaki
berwajah bersih itu tak menggambarkan kebengisan sebagaimana layaknya para
penjahat. Ada perasaan sabar tergambar di wajah mereka.
"Siapa kalian"!" tanya salah seorang yang berkumis tipis.
"Aha, kami hanya petualang biasa. Kami tak membawa apa-apa," jawab Sena sambil
tersenyum-senyum dan menggaruk-garuk kepala. Kelima lelaki muda itu mengerutkan
kening, menyaksikan tingkah laku Pendekar Gila.
Sejenak Pendekar Gila dan Mei Lie saling tatap dengan kelima lelaki berambut
panjang itu. "Kami adalah Lima Jelanga dari Sawo Jajar.
Apakah kalian utusan gerombolan Partai Kera Hitam yang ditugaskan untuk mengejar
kami?" tanya Jelanga Patra, yang merupakan orang tertua dari kelimanya.
"Hi hi hi...! Apakah pantas kami sebagai anak buah Partai Kera Hitam?" tanya
Sena sambil tersenyum dan menggeleng-geleng kepala. Lalu matanya memandang Mei
Lie yang juga tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Kisanak, kami sendiri tak kenal dengan
gerombolan Partai Kera Hitam itu. Ah, mengapa kalian mesti takut pada gerombolan
itu?" tanya Mei Lie semakin tertarik ingin tahu.
"Hm, semua orang sepertinya merasa takut pada gerombolan Partai Kera Hitam. Apa
sebenarnya yang terjadi?" tanya Mei Lie dalam hati. Dirinya merasa heran karena
sudah dua kali ini mendengar Partai Kera Hitam disebut. Pertama di Desa
Kranggan, ketika seorang gadis lari ketakutan hendak diculik
gerombolan dari Partai Kera Hitam. Dan sekarang, kelima orang itu pun sepertinya
takut dengan Partai Kera Hitam.
Kelima Jelanga dari Sawo Jajar nampak belum percaya. Kelimanya memperhatikan
dengan seksama, kedua muda-mudi berada lima tombak di hadapannya. Mereka merasa pemuda
itu mirip orang gila. Sedang yang satu lagi seorang wanita yang tampaknya bukan
bangsa pribumi.
"Benarkah kalian bukan orang-orang Partai Kera Hitam?" tanya Jelanga Patri,
seakan-akan ingin memastikan, kalau kedua orang itu benar-benar bukan anggota
Partai Kera Hitam yang terkenal ganas dan kejam.
"Aha, kalian lucu sekali! Kalian tampaknya tak percaya pada kami. Kalau begitu,
lebih baik kami pergi. Ayo Mei Lie!" ajak Sena dengan cengengesan.
Mendengar nama Mei Lie disebut, kelima Jelanga dari Sawo Jajar membelalakkan
mata. Kening mereka mengerut. Sepertinya mereka sedang mengingat-ingat sesuatu.
Ketika Mei Lie bersama Pendekar Gila hendak melangkah pergi, Jelanga Kantra
berseru. "Bidadari Pencabut Nyawa Iblis, tunggu...!"
Pendekar Gila dan Mei Lie seketika tersentak kaget lalu menghentikan langkah.
Keduanya mengerutkan kening, mendengar seruan dari Jelanga Kantra, yang menyebut
gelar Mei Lie. Kelima Jelanga dari Sawo Jajar segera memburu Mei Lie dan Pendekar Gila. Mereka
segera menjura hormat bersama. Melihat sikap kelima lelaki yang belum dikenalnya
itu Pendekar Gila mengernyitkan kening. Namun mulutnya kembali cengengesan.
"Aha, kenapa kalian ini?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Maafkan kami! Terimalah hormat kami! Sungguh hal yang bodoh dan tolol tak tahu


Pendekar Gila 21 Kitab Ajian Dewa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalau di hadapan kami telah berdiri dua pendekar sakti," ujar Jelanga Patra,
sambil memimpin keempat saudara
seperguruannya memberi hormat.
"Aha, sudahlah! Tak perlu kalian berlaku begitu.
Kami manusia biasa seperti kalian," ujar Sena tersenyum.
"Benar Kisanak sekalian. Tak perlu Kisanak berlaku merendah seperti itu. Oh ya,
kalau boleh kami tahu, siapa Kisanak sekalian" Dan mengapa ada di dalam hutan?"
tanya Mei Lie ingin tahu.
Jelanga Patra menghela napas dalam-dalam
seraya memejamkan mata, seakan-akan hendak menekan perasaannya. Kemudian mulai
menuturkan kenapa mereka berada di dalam Hutan Kenjer Kuning.
"Kami berlima sedang menjaga Ki Rupaksi, guru kami yang terluka parah akibat
bentrok dengan gerombolan dari Partai Kera Hitam. Wanara ketua Partai Kera Hitam
terus menginginkan para anak buahnya mencari Kitab Ajian Dewa yang berada di
tangan Ki Rupaksi..."
Pendekar Gila dan Mei Lie serta keempat adik seperguruan Jelanga Patra terdiam.
Di wajah kelima Jelanga dari Sawo Jajar tampak kedukaan yang dalam.
"Akhirnya guru kami harus mengalami luka dalam yang parah...," lanjut Jelanga
Patra. "Sedangkan Kitab Ajian Dewa kini telah berpindah ke tangan Wanara...
Mei Lie tampak mengangguk-anggukkan kepala, seakan memahami penuturan murid Ki
Rupaksi itu. Sementara itu Pendekar Gila hanya cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Dengan luka dalam yang berat, guru kami bawa ke tempat ini. Kami berusaha
menolong guru, menyembuhkan luka dalam, tetapi tak mampu.
Lukanya terlalu berat. Kalau saja guru sudah bertemu dengan Tuan, mungkin
kematiannya akan tenang.
Karena guru pernah berkata, akan sangat menyesal jika mati belum bertemu dengan
Pendekar Gila. Karena Ki Rupaksi merasa berhutang budi, serta harus bertanggung jawab pada
Pendekar Gila atas kitab itu," ujar Jelanga Patra mengakhiri ceritanya.
''Aha, kalau begitu Ki Rupaksi ada di sini?" tanya Sena.
"Benar, Tuan Pendekar."
"Boleh kami bertemu?" tanya Mei Lie.
"Tentu saja, mari!" ajak Jelanga Patra.
Mei Lei dan Sena diantar kelima Jelanga dari Sawo Jajar memasuki Hutan Kenjer
Kuning, tempat Ki Rupaksi berada. Keduanya dibawa ke sebuah gubuk yang sangat
tersembunyi letaknya hingga sulit diketemukan orang Iain.
Di depan gubuk, terdapat empat orang yang berpakaian merah muda lengan panjang
dengan ikat kepala sama seperti yang dipakai Lima Jelanga dari Sawo Jajar.
Mereka langsung menjura dan memberi jalan, ketika Pendekar Gila dan Mei Lei da
tang. Di sebuah pembaringan kayu seorang lelaki berusia sekitar enam puluh lima tahun
tampak terkulai lemas, itulah Ki Rupaksi. Di dadanya yang tak tertutup nampak
terdapat goresan-goresan hitam seperti terbakar, karena terpukul ketika
bertarung melawan anak buah Wanara.
Pendekar Gila dan Mei Lie mendekati Ki Rupaksi yang tampak lemah sekali.
"Guru..., guru, kami datang," bisik Jelanga Patra.
Mata tua Ki Rupaksi perlahan-lahan membuka.
Kemudian memandang dengan tatapan kosong pada sang Murid yang berjongkok di
sampingnya. "Ada... apa, Patra...?" tanya Ki Rupaksi dengan uara berat dan lemah sekali.
"Kau...! Oh..., apakah gerombolan... itu datang...?"
"'Tidak, Guru. Kami membawa Pendekar Gila,"
bisik Jelanga Patra lirih.
"Pen..., dekar Gila?" tanya Ki Rupaksi lirih. "Huk!
Huk...!" "Benar, Guru. Lihatlah...!" Jelanga Patra pun menoleh pada kedua tamunya yang
berdiri dua tombak dari pembaringan sang Guru. Pendekar Gila yang mengerti
maksud Jelanga Patra segera melangkah mendekati Ki Rupaksi diikuti Mei Lie.
Sesaat keduanya terdiam, menatapi wajah lelaki tua itu.
"Ki Rupaksi, apa yang terjadi?" tanya Sena.
"Pendekar... Gila..., huk...! Benar..., kah kau Pendekar Gi..., la...?" tanya Ki
Rupaksi dengan suara terputus-putus. Tangannya memegangi dadanya yang terasa
sakit. "Aku muridnya, Ki," jawab Pendekar Gila pelan sambil mengerahkan tenaga dalam
yang disalurkan lewat kerongkongannya. Hal itu dimaksudkan untuk memberi
pendengaran Ki Rupaksi agar jelas. Itulah ilmu 'Penyusup Suara'.
"O..., syukurlah kau akhirnya datang...! Tetapi..., aku tak mampu menjaga kitab
itu...," keluh Ki Rupaksi lirih, hampir tak terdengar, "Mereka..., mereka telah
mengambilnya. Aku... minta maaf, Pendekar Gila!"
"Ah, sudahlah, Ki! Kau tak perlu memikirkan hal itu. Kalau memang kitab itu
jodoh, tentu mereka akan
mampu mempelajarinya. Tetapi jika tidak, mereka pun tak akan mampu memaksakan,"
tutur Pendekar Gila berusaha menenangkan dan memberi semangat pada Ki Rupaksi
agar tetap bertahan hidup.
"Benar, Ki. Dan kalau begitu, kau adalah adik Ki Kerto Pati, ayah Purbaya,
bukan...?" tanya Mei Lie yang juga ingin memberi semangat hidup pada lelaki tua
yang berbaring lemah dalam sakitnya.
"Purbaya..." O, sungguh malang nasibnya. Entah di mana anak itu kini," keluh Ki
Rupaksi lirih. Dari kedua matanya, mengalir air mata.
"Dia masih hidup, Ki," ujar Mei Lie, "Bahkan kami telah bertemu."
"O..., syukurlah."
Sesaat mereka terdiam dalam kebisuan dan
kesedihan, menyaksikan penderitaan Ki Rupaksi.
Hanya karena Kitab Ajian Dewa yang dititipkan Pendekar Gila dari Goa Setan,
membuat dirinya kini menderita. Sena benar-benar merasa turut prihatin terhadap
kejadian itu. Namun juga merasa tertarik ingin tahu kitab macam apa sebenarnya
yang dititipkan gurunya, sehingga menjadi rebutan di kalangan rimba persilatan.
"Pendekar Gila...!"
"Saya, Ki."
"Kuminta padamu, jagalah Purbaya. Dialah
penerus kami satu-satunya, setelah Kerto Pati dan aku tak ada. Beritahukan
padanya, kalau ibunya masih hidup. Kini berada di markas Partai Kera Hitam,
dijadikan istri Ketua Partai Kera Hitam.
Uhuk...! Jaga pula Ketawang dan Sungo Karu," pesan Ki Rupaksi kepada Pendekar
Gila. "Di mana keduanya, Ki?" tanya Sena ingin tahu.
"Kami akan berusaha."
"Keduanya sedang mengemban tugas, menyelamatkan Nyi Ambar Sari dari... Wanara. Oh...!" Ki Rupaksi terkulai lemas.
Nyawanya melayang meninggalkan raga.
"Guru...! Guru, jangan tinggalkan kami...!" para murid dari Perguruan Sawo Jajar
menangis memanggil-manggil sang Guru yang telah pergi untuk selamanya. Begitupun lima
Jelanga dari Sawo Jajar.
Mereka tak dapat menahan sedih atas kepergian Ki Rupaksi.
Pendekar Gila dan Mei Lie tampak menundukkan kepala sebagai penghormatan pada Ki
Rupaksi. "Kera Hitam...! Hm, siapakah sebenarnya Pimpinan Partai Kera Hitam?" tanya Sena
dalam hati. Dia pun turut sedih, melihat kematian Ki Rupaksi yang juga sahabat
gurunya. Sebagai pewaris Kitab Ajian Dewa, Pendekar Gila merasa turut
bertanggung jawab atas kitab itu. "Mengapa guru tak mengatakan padaku, kalau dia
memiliki Kitab Ajian Dewa yang dititipkan pada seseorang" Mungkinkah dia lupa?"
Sore itu pula, mayat Ki Rupaksi dikebumikan.
Dengan rasa duka yang dalam para muridnya turut menghadiri upacara pemakaman
itu. Namun ketika mereka tengah melakukan doa terakhir, tiba-tiba....
"Heaaa...!"
*** Serangan yang datang tiba-tiba itu, cukup menyentakkan semua yang berada di
sekitar kuburan Ki Rupaksi. Tidak terkecuali Pendekar Gila dan Mei Lie.
"Awas...!" teriak Mei Lie mengingatkan pada murid-murid Ki Rupaksi yang juga
terkejut mendapatkan
serangan secara tiba-tiba. Perasaan duka cita yang dalam serta perhatian yang
tertuju pada kuburan Ki Rupaksi membuat mereka tak menyadari kalau ada yang
mengawasi dari jauh.
"Hea...!"
"Hea...!"
Dua puluh lelaki berwajah beringas dan berpakaian sama melakukan serangan
mendadak dengan pedang. Hal itu membuat kesepuluh murid Ki Rupaksi berlompatan dan
bergulingan untuk mengelakkan serangan itu. Kemudian dengan cepat, mereka
mencabut senjata masing-masing.
Srt! "Hea!"
Trang! Trang! Suara pekikan keras bercampur dengan dentang nyaring dari pedang dan golok yang
saling beradu, seketika memecahkan suasana hening di Hutan Kenjer Kuning. Sesaat
kemudian jeritan-jeritan kematian menyusul. Suasana hening senja itu berubah
riuh dan ramai. Perasaan duka cita di hati para murid Ki Rupaksi beruah menjadi
kemarahan yang hebat. Bagaikan banteng-banteng terluka mereka menghadang lawan
yang ternyata anak buah Partai Kera Hitam. Apalagi ketika menyadari di pihak
mereka ada Pendekar Gila dan si Bidadari Pencabut Nyawa Iblis.
"Hea!"
"Yea!"
Trang! Trang! Suara dentangan pedang semakin membisingkan.
Dua puluh anak buah Partai Kera Hitam yang ganas, terus menggebrak dengan
babatan dan tusukan pedang. Namun kesepuluh murid Ki Rupaksi yang
sudah marah pun tak tinggal diam. Mereka
menghadang dan membalas serangan dengan tak kalah ganas.
"Hea!"
"Yea!"
Mei Lie yang juga menjadi sasaran keberingasan orang-orang Partai Kera Hitam tak
tinggal diam. Segera dicabutnya Pedang Bidadari yang mampu mengeluarkan sinar kuning kemerahmerahan. Kemudian dengan jurus-jurus 'Bidadari'nya, gadis itu berkelebat memapaki
serangan lawan-lawannya.
"Yea!"
Trang! Trang! Dengan pekikan nyaring Mei Lie melompat
menerjang lawan-lawannya. Tubuhnya melesat ke sana kemari menangkis dan
menyerang dengan cepat.
Trak! Trak! "Hah"!"
"Heh"!"
Dua orang yang berhadapan dengan Mei Lie
tersentak kaget, ketika pedang mereka patah terbabat Pedang Bidadari. Mereka
sesaat terbelalak keheranan, sehingga ketika Mei Lie membabatkan pedangnya lagi,
tanpa ampun mereka tak sempat bergerak mengelak. Dan....
"Hea!"
Wrt! Jrab! Jrab! "Akh...!" kedua lawannya terpekik keras. Tubuh kedua lelaki berwajah beringas
itu tampak masih utuh, seperti tak berbekas babatan pedang. Mereka berdiri tegak
mematung. Namun sesaat kemudian, ketika ada angin kencang bertiup tubuh mereka
tiba- tiba telah lebur menjadi serpihan-serpihan debu.
Sementara itu, Pendekar Gila pun tampak dengan ringan menghadapi kedua
penyerangnya. Sambil cengengesan dan sesekali menggaruk-garuk kepalanya,
Pendekar Gila terus bergerak mengelakkan serangan-serangan kedua lawannya.
"Hea!"
Wrt! Wrt! "Hi hi hi...! Kurang ajar, Kecoa Busuk! Ini untuk kalian!" dengan meliukkan
tubuh, Pendekar Gila segera menepuk dada kedua lawannya yang karena melakukan
serangan dada mereka terbuka.
"Hih...!"
Plak! Plak! "Wua...!"
Pekikan keras seketika terdengar, ketika serangan Pendekar Gila mendarat telak
di dada kedua lawannya. Bagaikan didorong suatu kekuatan tenaga yang hebat kedua
tubuh lelaki itu terpental deras ke belakang.
Brak! Brak! Tubuh keduanya terhenti ketika menerjang pohon-pohon jati besar.
"Akh...!" pekik kematian terdengar ketika tubuh kedua lelaki itu ambruk. Darah
muncrat dari mulut|
mereka yang hancur karena membentur batang pohon jati. Sementara itu Pendekar
Gila tampak hanya cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
Di pihak murid Ki Rupaksi, nampaknya
pertarungan mereka malawan keenam belas anak buah Partai Kera Hitam berjalan
seimbang. Empat murid Perguruan Sawo Jajar mati. Sedangkan di pihak lawan,
delapan orang telah bergelimpangan tewas tak jauh dari kuburan Ki Rupaksi. Kini
tinggal enam orang
melawan delapan anggota Partai Kera Hitam.
Mengetahui teman-temannya banyak yang mati, apalagi melihat Pendekar Gila dan
Mei Lei telah menyelesaikan pertarungan, kedelapan anak buah Partai Kera Hitam
merasa takut. Pertarungan mereka dibebani perasaan takut, kalau-kalau Mei Lie
dan Pendekar Gila membantu kelima murid Ki Rupaksi Hal itu mengakibatkan
pertarungan mereka nampak kacau dan kurang mantap.
"Hea...!"
Cras! "Akh!"
Tiga orang anggota Partai Kera Hitam terbabat pedang murid-murid Ki Rupaksi.
Tinggal lima orang lagi yang masih hidup. Namun, tampaknya nyali mereka semakin
ciut, sehingga gerakan mereka kian tak beraturan. Pertahanan yang mereka lakukan
pecah dan kian melemah. Sehingga akhirnya dalam waktu sebentar mereka telah
terbabat habis, jatuh bergelimpangan dan tewas.
"Sayang, semua mati," gumam Sena sambil
menggaruk-garuk kepalanya.
"Ya. Padahal kita mestinya menangkap hidup-hidup salah satu dari mereka untuk
menanyakan di mana markas Partai Kera Hitam," sahut Mei Lie sepertinya menyesal,
tak dapat menangkap salah satu dari anggota Partai Kera Hitam.
"Kurasa hutan ini sudah tak aman lagi, Kisanak,"
ujar Sena memberi keterangan. "Sebaiknya kalian segera pergi dari sini! Kami
akan meneruskan perjalanan untuk mencari markas Partai Kera Hitam dan sekaligus
melaksanakan pesan Ki Rupaksi."
"Baiklah, Tuan Pendekar. Selamat jalan dan selamat berjuang! Semoga Hyang Widhi
senantiasa bersama kalian," ucap Jelanga Patra.
"Terima kasih," sahut Mei Lie dengan tersenyum, lalu mengajak Pendekar Gila utuk
segera beranjak meninggalkan tempat itu. Dengan diikuti pandangan mata kelima
murid Ki Rupaksi, kedua pendekar itu melesat meninggalkan Hutan Kenjer Kuning.
Sepeninggal Pendekar Gila dan Mei Lie, Lima Jelanga dari Sawo Jajar nampak masih
menatap makam gurunya. Perasaan duka masih menggurat di wajah mereka.
"Guru, kami berjanji akan membalas semua ini!"
ujar Jelanga Patra dengan suara berat menahan perasaan. "Tunggulah pembalasan
kami, Wanara...!"
lanjutnya dengan mengepalkan tangan dan meng-gertakkan gigi.
Setelah melakukan sembah di depan makam Ki Rupaksi Lima Jelanga dari Sawo Jajar
itu meninggalkan Hutan Kenjer Kuning untuk mencari markas Partai Kera Hitam.
*** 7 Betapa marahnya Wanara, setelah mendengar kabar banyak anak buahnya yang mati di
tangan se-pasang pendekar muda. Ditambah pula rencana-ren-cana yang senantiasa
kandas, karena digagalkan seorang pemuda berambut keperakan. Kemarahannya
semakin menjadi-jadi. Segala rencana yang dijalan-kan selalu saja telah
diketahui orang yang akan dijadikan sasaran. Seolah-olah ada pihak tertentu yang
telah dengan sengaja membocorkan rencana
Pimpinan Partai Kera Hitam itu.


Pendekar Gila 21 Kitab Ajian Dewa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sodra, Lombang, dan Watu Gunung, kalian kuutus untuk memimpin semua anak buah.
Sodra, cari sepasang pendekar muda-mudi dan pemuda
berambut keperakan! Lombang, kau dan anak buahmu cari tahu, siapa yang telah
menjadi musuh dalam selimut! Bunuh dia...! Watu Gunung, kau kutugaskan untuk
meminta upeti kepada semua kepala desa yang ada di sekitar Hutan Palapiring ini.
Bila membangkang, bakar desanya!"
"Baik, Ketua!" sahut ketiganya serentak.
"Kerjakan sekarang juga!"
"Akan kami lakukan," jawab ketiganya sambil menjura. Kemudian ketiga tangan
kanan Wanara bersama anak buahnya meninggalkan markas Partai Kera Hitam.
Wanara benar-benar dibuat marah atas kejadian-kejadian merugikan perkumpulannya.
Dirinya tak habis pikir, siapa sebenarnya tiga pemuda yang telah membunuh banyak
anak buahnya, serta menggagalkan semua rencananya. Pimpinan Partai Kera Hitam juga tak habis pikir,
siapa yang telah membocorkan semua rencananya.
Dengan terburu-buru, Wanara berjalan menuju bangunan yang terletak di sebelah
kanan bangunan utama, tempat tinggal Ambar Sari istrinya. Tiba-tiba ada dorongan
untuk bertanya pada Ambar Sari tentang kecurigaannya terhadap orang dalam
sebagai pelaku pembocoran rencana selama ini.
Ambar Sari tampak duduk di tempat tidur dalam kamarnya. Wanita berusia sekitar
lima puluh lima tahun yang masih menampakkan kecantikan wajahnya itu setiap hari
selalu mengurung diri. Dirinya tak pernah keluar dari kamar jika tak ada hal
yang sangat penting. Di dalam kamar itu, Ambar Sari ditemani tiga orang wanita
seusianya, yang ditugaskan Wanara untuk menghibur.
Tok! Tok! Tok! Pintu kamar diketuk dari luar. Ketiga dayang yang menemani Ambar Sari segera
menyingkir ke samping.
Sesaat kemudian pintu terbuka. Dari luar masuk Wanara dengan mata menatap tajam
pada Ambar Sari. Wanita itu diam, membalas dengan tatapan mata sayu.
"Nyi, kuharap kau jangan menyembunyikan
sesuatu terhadapku. Katakan, siapa yang selalu membocorkan rahasia rencanaku?"
tanya Wanara dengan napas memburu. Matanya yang merah, terus menatap tajam wajah
Ambar Sari. Namun wanita itu bagaikan tak merasa takut sedikit pun. Matanya yang
sendu membalas tatapan sang Suami.
"Aku tak tahu," sahut Ambar Sari lirih.
"Bohong! Siapa lagi yang menjadi musuh dalam selimut di sini, kalau bukan kau"!"
tuduh Wanara dengan suara keras. Kakinya melangkah mendekati Ambar Sari yang nampak mulai
ketakutan. Napas lelaki berwajah kera itu tersengal-sengal karena diliputi
amarah yang meluap-luap.
"Bunuh aku, kalau kau ingin membunuhku!"
dengus Ambar Sari. "Aku sudah dari dulu benci padamu! Juga orang-orangmu yang
telah membunuh suamiku, bahkan anakku yang masih kecil!"
"Diam!" bentak Wanara geram. Matanya membelalak semakin merah membara. "Kau tentu tahu, siapa sepasang muda-mudi yang
akhir-akhir ini telah banyak membantai anak buahku."
"Aku tak tahu!" sentak Ambar Sari.
Plak! "Akh...!" sebuah tamparan keras mendarat di pipi Ambar Sari. Wanita cantik itu
terhempas ke kasur.
"Katakan, siapa mereka"! Dan siapa pula pemuda berambut keperakan yang selalu
menggagalkan semua rencanaku!" bentak Wanara dengan suara keras.
"Aku tak tahu!" jawab Nyi Ambar dengan suara terisak-isak menangis, merasakan
rasa sakit di pipinya akibat tamparan tangan Wanara.
"Masih juga kau tak mengaku, Setan Betina!
Senopati Pamungkas 16 Bu Kek Kang Sinkang Karya Kkabeh Dendam Orang Orang Gagah 1

Cari Blog Ini