Ceritasilat Novel Online

Korban Kitab Leluhur 2

Pendekar Kembar 10 Korban Kitab Leluhur Bagian 2


kan. Tanyakan jika ada yang ingin kau tanyakan. Waktuku sangat sedikit dan harus lakukan pekerjaan lain."
"Mengapa kau berada di sini, Raka?" "Apa per-lunya kau mengetahui tujuanku?"
"Barangkali aku bisa membantumu jika kau
ada kesulitan di sini. Aku sangat kenai daerah ini, karena aku sering
berkeliaran di sini. Tempat ini tak jauh dari tempat tinggalku. Kau bisa mampir
jika kau mau."
"Terima kasih. Aku tak punya kesulitan apaapa. Pikirkanlah kesulitanmu sendiri, karena kudengar
Iblis Bangor akan selalu mengincar kelengahan mu!"
"Itu persoalan kecil"
"Persoalan kecil"! Dia sampai tega ingin membunuhmu, masih kau anggap persoalan kecil"!"
"Maksudku... hmmm... maksudku itu bisa ku
atasi walau kau tadi tak muncul. Jangan remehkan
kemampuanku, Raka!"
"Aku hanya mengingatkan agar kau waspada
karena Iblis Bangor mengancam kelengahan mu!"
"Baik. Terima kasih atas saran dan peringatan
mu itu." "Kalau boleh ku tahu, mengapa ia sampai ingin
membunuhmu?"
Agaknya pertanyaan ini merupakan hal yang
diharapkan oleh Sampurgina. Harapan tersebut sebenarnya adalah rasa ingin bicara lebih lama lagi dengan Raka. Sebab hati
Sampurgina mulai tertarik dengan
ketampanan serta kegagahan si Pendekar Kembar sulung itu. Ia ingin lakukan pendekatan agar dapat lebih dekat lagi dengan pemuda
yang tadi sempat mendesirkan hatinya itu.
"Persoalannya cuma sepele," ujar Sampurgina.
"Aku dituduh mencuri sebuah kitab pusaka, padahal dia sendiri yang mencurinya!"
"Kitab pusaka"!" Raka Pura mulai tertarik dengan mempertegang wajahnya. "Kitab
pusaka apa maksudmu?"
"Kitab Jayasakti, milik keluarga Gardamoyang!"
"Ooh..."!" Raka semakin terkejut, seperti disengat kalajengking lubang
hidungnya. "Kau tahu tentang kitab itu rupanya," pancing Sampurgina sambil memandang dengan
lembut, dan senyum pun hadir dalam kelembutan.
"Hmmm... yah, sedikit tahu," jawab Raka tak mau blak-blakan. "Aku hanya pernah
mendengar na- ma kitab itu, entah kapan dan entah di mana."
"Iblis Bangor telah mencuri kitab itu, sementara ia menuduhku sebagai
pencurinya. Itu hanya alasan
untuk membunuhku, karena dulu aku pernah melukai
mendiang istrinya!"
Raka Pura diam termenung sebentar. Hatinya
berkata, "Iblis Bangor menuduh Sampurgina mencuri kitab itu" Sementara itu
Sampurgina sendiri beranggapan kitab itu dicuri oleh Iblis Bangor" Oh, mereka
tidak tahu bahwa pencurinya adalah si Panji Doyok"!
Haruskah kukatakan pada perempuan ini siapa pencuri kitab itu sebenarnya"!"
Sampurgina punya kesempatan banyak untuk
pandangi si pemuda yang mengagumkan hati itu. Diamnya Raka adalah kesempatan emas bagi Sampurgina untuk menikmati ketampanan dan kegagahan Pendekar Kembar sulung itu. Ia sedikit menggeragap keti-ka Raka Pura mengangkat
wajahnya yang tadi menghadap ke samping, kini menatapnya kembali.
"Apakah kau kenal dengan pemuda bernama
Panji Doyok"!" tanya Raka Pura sebagai pancingan.
Sampurgina tersenyum, setengah geli.
"Tentu saja aku kenal dengan bocah tolol itu!
Karena aku kenal dengan neneknya yang bernama:
Nyai Gantari alias si Tupai Siluman."
Hati Raka pun berkata, "Kalau begitu nenek
berjubah hitam itu adalah si Tupai Siluman"!"
"Aku cukup kenal dengan keluarga Panji
Doyok, karena... karena mendiang kakak Panji Doyok
adalah bekas suamiku!"
"Ooo...," Raka Pura manggut-manggut, bagai menemukan kelegaan.
"Apakah kau senang si Bunga Dewi?" pancing Sampurgina dalam senyum yang
menggoda. "Bunga Dewi itu siapa"!"
"Srigita, adiknya Panji Doyok yang cantik jelita, mungil imut-imut menggemaskan
itu." Raka Pura kerutkan dahi dan membatin, "O,
jadi gadis itu bernama Srigita alias si Bunga Dewi"!"
Tapi kesan yang timbul dari wajah Raka Pura
adalah kesan orang yang sedang kebingungan dan merasa asing dengan nama tersebut. Akhirnya Sampurgina lebih mendekat lagi dan berkata dengan suara pelan. "Kalau kau ingin sekali menemui Panji Doyok,
sekarang ikut ke rumahku! Panji Doyok pasti datang
ke rumah untuk menemuiku. Aku ada janji padanya
untuk mengajarkan beberapa jurus simpanan ku kepadanya di sore ini."
"Bagaimana jika kuminta bantuanmu mengantarku sampai ke rumah Panji Doyok sendiri?"
"Percuma. Kau tak akan bertemu dengannya.
Panji Doyok pasti sudah menunggu di rumahku."
Raka Pura sempat bimbang sesaat.
"Kita berangkat sekarang, Raka! Nanti jika dia
menungguku terlalu lama, dia akan pergi dan pasti
ngeluyur ke tempat yang sulit dipastikan. Yang jelas tak akan pulang ke rumah,
sebab ia sedang takut menerima hukuman dari neneknya. Panji Doyok lakukan
kesalahan dan akan dihukum oleh Nyai Gantari! Sekaranglah saatnya untuk bertemu dengannya jika kau
benar-benar membutuhkan bantuannya, Raka!" bujuk Sampurgina membuat Pendekar
Kembar sulung semakin bimbang.
"Kalau kau tak mau, aku akan segera pergi dan
kita berpisah sampai di sini, Raka!"
Kata-kata itu seperti ancaman yang makin
menjengkelkan bagi Raka Pura.
"Haruskah aku langsung menemui Panji Doyok
dan meminta kitab itu dl kembalikan"! Atau aku harus
menemui Soka dulu dan membawa Soka untuk... oh,
tapi bagaimana dengan nenek dan adik si Panji Doyok
itu" Aduh, bagaimana ini" Yang jelas aku tak mau
Sampurgina mengetahui bahwa Kitab Jayasakti sudah
ada di tangan Panji Doyok! Bisa-bisa akan dirampas
sendiri oleh Sampurgina dan dipelajarinya. Sebab...."
Kecamuk hati Raka terhenti, karena tiba-tiba ia
segera sadar dan terkejut melihat Sampurgina sudah
melangkah agak jauh darinya.
"Raka...! Cepatlah kalau mau ikut ke rumahku!" seru Sampurgina membuat Raka terbengong di tempat.
* * * 5 JURUS totokan yang membuat pikun orang itu
ternyata justru membuat Soka dalam kesulitan yang
menjengkelkan. Nyai Gantari dan si Bunga Dewi telah
siuman dari pingsan mereka. Tapi mereka menjadi pikun dan tidak ingat apa-apa.
Ketika mereka siuman, Soka Pura menjadi pusat pandangan mata mereka. Jika mereka tidak mengenal Soka dan merasa heran melihat Soka ada di depan mereka, itu adalah hal yang wajar. Tapi jika mere-ka tak tahu tentang Panji
Doyok itu adalah hal yang
menjengkelkan. "Jadi kau tidak kenal dengan Panji Doyok,
Nek?" "Panji Doyok itu makanan apa, Nak?" tanya Nyai Gantari, si Tupai Siluman.
Soka ingin tertawa, tapi ju-ga ingin marah karena kepikunan si nenek itu.
"Kau juga tidak mengenal Panji Doyok"!" tanya
Soka kepada Bunga Dewi.
Gadis itu menggeleng. "Namaku bukan Panji
Doyok," katanya.
"Aku memang tidak mengatakan namamu Panji
Doyok! Aku menanyakan, apakah kau kenal dengan
orang yang bernama Panji Doyok"!"
"Orang mana itu, Kang?" tanya Bunga Dewi
dengan wajah polos, seperti gadis tolol. Soka Pura ambil napas panjang untuk
menahan rasa kesal di hatinya. "Siapa namamu sebenarnya?" tanya Soka kepada Bunga Dewi.
"Namaku.."! Namakuuu...," Bunga Dewi berpikir, mencoba mengingat-ingat dengan
susah payah sekali. "Enaknya namaku siapa, ya Kang?"
"Uuh...!" Soka mendengus jengkel. Ia kembali kepada sang nenek yang duduk
melamun sambil me-mijit-mijit kakinya.
"Nek, apakah kau tak ingat siapa namamu dan
siapa nama cucumu yang cantik itu?"
"Cucu...?" si nenek berkerut dahi. Ia segera memandang Bunga Dewi. "Apakah dia
cucuku"!"
"Ya. Dia memang cucumu!"
"Sejak kapan aku beranak dan anakku punya
keturunan"!" gumamnya seperti bicara pada diri sendiri.
Soka Pura semakin jengkel karena Raka belum
kembali. Padahal ia ingin bertimbang rasa dengan kakaknya dalam menghadapi kepikunan kedua orang itu.
Jurus 'Totok Pikun' itu benar-benar menghapus ingatan kedua orang tersebut tentang pribadinya maupun
kehidupan masa lalu mereka. Bahkan mereka juga
menyangkal ketika Soka menjelaskan bahwa mereka
telah mencuri kotak perhiasan milik seseorang yang
diduga adalah seorang adipati atau seorang raja. Sang nenek justru bertanya,
"Kotak perhiasan itu isinya apa?" "Isinya ya perhiasan"! Masa' isinya getuk"!"
sentak Soka dengan jengkel.
"Brengsek si Raka ini! Ke mana saja dia"! Kenapa tidak segera pulang"! Jangan-jangan dia melibatkan diri dalam pertarungan itu"!"
Sebenarnya bukan hal yang sulit bagi Soka untuk memulihkan kesehatan kedua orang itu. Sangat
mudah bagi Pendekar Kembar bungsu itu untuk mengembalikan ingatan kedua orang tersebut. Karena jurus penyembuhannya yang bernama 'Sambung Nyawa'
bisa dipakai untuk menyegarkan seluruh urat saraf
sampai ke otak seseorang. Kepikunan yang timbul karena lambatnya jalan darah menuju saraf ingatan dapat menjadi lancar kembali setelah keduanya menerima penyembuhan 'Sambung Nyawa'.
Tetapi Soka pun ingat, jika mereka dalam keadaan sehat dan ingatannya normal, maka mereka akan
membahayakan jiwa Soka. Tentunya sang nenek akan
menjadi murka jika mengetahui dirinya di bawa ke
tempat itu dalam keadaan kotak perhiasan hasil curian mereka tidak dibawa. Sang nenek maupun si gadis cantik itu tidak akan mau tunjukkan di mana Panji Doyok berada. Bisa-bisa
mereka berdua menyerang
Soka karena dianggap musuh yang membahayakan.
Terlebih jika Soka mulai bicara tentang Kitab Jayasakti yang dicuri Panji Doyok,
pasti si nenek akan melin-dungi Panji Doyok dengan pertaruhkan nyawanya.
"Kurang ajar si Raka! Sudah hampir petang
masih belum kembali! Aku tak tahu apa yang harus
kulakukan jika begini. Ku tinggalkan saja mereka berdua di sini" Oh, jangan!
Kasihan sekali. Mereka pasti akan terpisah dan tak tahu jalan pulang."
Soka berpikir cukup lama, sementara matahari
semakin tenggelam di langit barat. Sisa cahayanya masih sempat meremang di
permukaan bumi, namun sebentar lagi akan lenyap dan berganti petang.
"Aduh, bodohnya aku ini!" sambil Soka menepak kepalanya sendiri. Rupanya ia
mendapat gagasan
baru yang dapat dijadikan jalan keluar dari kesulitannya saat itu.
"Sebaiknya mereka berdua ku sembuhkan dengan jurus Sambung Nyawa'. Begitu ingatan mereka pulih kembali, kepikunan mereka telah hilang, kukatakan saja pada mereka bahwa aku menemukan mereka
dalam keadaan terkapar karena serangan orang-orang
berkuda. Orang-orang itu pergi dengan membawa kotak permata curian mereka itu."
Soka Pura tersenyum sendiri. "Setidaknya dengan cara begitu, mereka akan merasa berhutang jasa
padaku dan tidak menyerangku. Aku akan mengaku
sebagai sahabat barunya Panji Doyok dan menyelamatkan Panji Doyok dari kejaran Ayunda dan Adinda.
Brengsek! Mengapa tidak dari tadi gagasan itu muncul dalam pikiranku. Uuh...
dasar tolol aku ini!"
Soka Pura segera lakukan rencana tersebut
Sang nenek dibujuk agar duduk bersila bersebelahan
dengan si gadis. Kemudian, kedua tangan Soka ditempelkan di tengkuk mereka, karena pengobatan memakai jurus 'Sambung Nyawa' tak boleh terhalang selembar benang pun. Dan untuk mempercepat datangnya
daya ingat, pengobatan harus dilakukan melalui tengkuk, karena dekat dengan otak.
Beberapa kejap setelah kedua tangan Soka menempel di tengkuk mereka, tangan itu mulai memancarkan cahaya ungu. Cahaya ungu tersebut bagai meresap dalam tubuh kedua orang tersebut. Kejap berikutnya, seluruh tubuh kedua orang itu memancarkan
cahaya ungu bening, sementara Soka telah melepaskan tangannya dari tengkuk mereka. Tangan Soka
sendiri sudah tidak menyala ungu lagi. Tubuh nenek
dan cucunya itu pun nantinya akan tidak menyala ungu lagi, dan itu pertanda kesehatan serta daya ingat mereka telah pulih seperti
sedia kala. Soka menunggu di luar gua dengan gelisah. Sesekali matanya memandang ke lereng puncak bukit
cadas itu, mengharap kemunculan sang kakak. Tapi
yang diharapkan ternyata tidak muncul-muncul juga,
padahal alam mulai meremang mendekati petang. Soka gelisah sekali memikirkan kakaknya.
Soka Pura tak tahu bahwa Raka akhirnya memutuskan untuk ikut ke rumah Sampurgina. Keputusan itu diambil mengingat Kitab Jayasakti yang ada di tangan Panji Doyok harus
lebih dulu dapat diambil
olehnya sebelum diketahui oleh Sampurgina atau pihak lain. Bila perlu, Raka akan membujuk Panji Doyok untuk pergi bersama di


Pendekar Kembar 10 Korban Kitab Leluhur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suatu tempat sepi tanpa Sampurgina. Di tempat sepi itu ia dapat mendesak Panji
Doyok, bila perlu mengancamnya agar pemuda kurus
itu serahkan Kitab Jayasakti.
Sampurgina tak tahu rencana yang tersusun
dalam benak Raka Pura. Ia hanya merasakan debaran
indah selama berjalan dengan Raka. Debaran indah itu menggelitik hasratnya
karena benaknya menyusun
rencana sendiri, yaitu rencana menikmati kehangatan
si pemuda tampan tersebut.
"Tapi agaknya dia pemuda yang dingin terhadap perempuan," ujar Sampurgina membatin. "Sejak tadi tak kulihat kenakalan
matanya atau tangannya.
Jangan-jangan ia menolak ajakan bercumbu ku?"
Raka Pura tidak tahu bahwa Sampurgina bukan perempuan baik-baik. Ia adalah mata-mata Nyai
Keramat Malam yang menjadi penguasa Pulau Sambang. Sejak lari dari kekuasaan mendiang Ratu Cumbu Laras, Sampurgina bergabung dengan orang-orang
Pulau Sambang. Ia menjadi pengikut Nyai Keramat
Malam, tokoh aliran hitam yang bertekad ingin membentuk satu kekuatan untuk menyerang raja-raja di
tanah Jawa. Sampurgina mendapat kepercayaan sebagai mata-mata Pulau Sambang yang ditanam di tanah
Jawa. Dua-tiga kali dalam satu bulan Sampurgina harus melaporkan hasil kerjanya ke Pulau Sambang,
atau jika kebetulan Nyai Keramat Malam ada urusan di tanah Jawa, ia selalu
sempatkan diri singgah ke pondoknya Sampurgina yang sengaja dipakai tempat persinggahan sang Nyai jika sedang ke tanah Jawa, (Baca serial Pendekar Kembar
dalam episode: "Cumbuan
Menjelang Ajal").
Tak heran jika Sampurgina selalu membayangkan kehangatan bercumbu dengan Raka, karena memang perempuan itu mengisi hari-hari kosongnya dengan bermesraan bersama pria mana pun yang sesuai
seleranya. Raka Pura adalah pria yang sangat sesuai
dengan seleranya, sehingga sepanjang perjalanan menuju pondoknya, Sampurgina selalu membayangkan
kehangatan pemuda tampan dan bertubuh kekar itu.
"Sikapnya yang dingin ini dapat membuatku
marah jika ia menolak bercumbu denganku. Aku sudah telanjur berharap sekali. Hmmm..., sebaiknya kugunakan 'Getah Puber' untuk memancing gairahnya
nanti. Kalau dia sudah terkena pengaruh 'Getah Puber'
maka ia tak akan sempat menolak ajakan bercumbu
ku. Tak seorang pun dapat hindari kekuatan racun
'Getah Puber' pemberian Nyai Keramat Malam itu. Bisa-bisa pemuda menggairahkan ini tak mau lepas dari
pelukanku selama tiga hari tiga malam jika sudah terkena pengaruh racun 'Getah Puber'. Hik, hik, hik...!"
Sampurgina tertawa sendiri dalam hatinya.
Mereka tiba di rumah Sampurgina ketika matahari belum tenggelam. Cahaya yang memancar ke
bumi adalah cahaya senja yang remang-remang Suasana seperti itu menimbulkan kesangsian di hati Raka Pura. "Sesore inikah Panji
Doyok ingin berlatih beberapa Jurus dari Sampurgina"!"
Kesangsian itu segera hilang, karena Sampurgina yang telah mempersilakan Raka untuk masuk ke
rumahnya itu mengatakan, bahwa Panji Doyok jika
berlatih dengannya sampai malam hari, kadang hingga
tengah malam. Menurut perempuan itu, Panji Doyok
berkemauan keras sekali untuk bisa kuasai jurusjurus yang dimiliki Sampurgina.
Tetapi di dalam hatinya, Sampurgina tertawa
cekikikan sendiri.
"Siapa yang sudi ajarkan setengah jurus pun
kepada anak tolol itu" Bahkan aku muak jika melihat
bekas adik iparku itu datang kemari. Ia hanya akan
timbulkan kesulitan saja bagiku! Ah, persetan dengan si Panji Doyok. Yang
penting aku sudah berhasil membujuk Raka untuk singgah ke sini. Bisa saja aku
nanti berlagak ngomel Jika Raka menanyakan kedatangan
Panji Doyok. Hmmm... biar sampai fajar menyingsing,
tak mungkin anak itu datang kemari, karena neneknya
sudah melarang kedua cucunya berhubungan denganku! Persetan dengan si Tupai Siluman itu! Yang penting aku sudah mendapatkan dua keberhasilan yang
gemilang ini!"
Sambil berceloteh begitu di dalam hatinya,
Sampurgina menyiapkan minuman untuk sang tamu
istimewa. Agar tak timbulkan kesan buruk dalam penilaian Raka, Sampurgina sengaja tidak menyuguhkan
tuak atau pun arak kepada Pendekar Kembar sulung
itu. Ia berlagak terbiasa minum teh poci buatan sendi-ri. Namun kali ini, selain
menyediakan teh poci yang kental dengan gula batu sebagai pemanisnya, Sampurgina
juga membawa dua cangkir teh untuk acara malam itu. "Jika kurang, kau bisa tambahkan minuman-mu dari poci ini!" ujar
Sampurgina saat menyajikan dua cangkir teh dan satu poci kecil teh kental.
"Seharusnya kau tak perlu repot-repot begini.
Jika aku haus, aku akan berterus terang meminta air
kendi padamu."
"Oh, Raka... air kendi akan membuat perutmu
kembung. Tapi air teh yang masih segar akan membuat peredaran darahmu menjadi lancar dan badan
menjadi sehat. Ayo, minumlah, sambil menunggu Panji
Doyok muncul. Biasanya saat-saat seperti ini dia sudah muncul. Mungkin ada sesuatu yang harus dikerjakan lebih dulu di tempat lain."
Raka Pura tidak langsung meminum teh tersebut. Padahal hati Sampurgina sudah berharap agar teh yang disuguhkan segera
diminum oleh Pendekar Kembar sulung, karena Sampurgina sudah memasukkan
'Getah Puber' ke dalam cangkir teh yang disuguhkan di depan Raka itu. Getah itu
dimasukkan dan dicampur-kan dalam teh tersebut saat Sampurgina meraciknya
di dapur. 'Getah Puber' merupakan getah dari tanaman
yang hanya ada di Pulau Sambang. Bentuknya seperti
butiran jagung berwarna putih bening. Getah
itu mengandung racun yang membangkitkan
gairah kemesraan pada diri orang yang meminumnya.
Getah itu mudah larut di dalam air apa saja, tidak menimbulkan bau dan warna apa pun. Sampurgina mempunyai banyak 'Getah Puber' yang sering digunakan untuk membuat pria pasangannya bergairah terus selama tiga hari. Setelah tiga hari, pengaruh racun dalam 'Getah Puber' yang
telah diminum seseorang
akan hilang. Gairah yang timbul pada diri orang tersebut akan normal kembali,
sebagaimana aslinya.
Rumah itu sebenarnya berupa sebuah pondok
yang dibangun di dalam hutan tak terlalu lebat. Dindingnya terbuat dari kayu-kayu belahan yang tampak
kokoh dan tersusun rapat serta rapi. Hutan di lereng bukit itu mempunyai udara
cukup dingin, sehingga
sering menimbulkan kerinduan bercinta bagi Sampurgina jika terpaksa bermalam sendirian di dalam pondoknya. "Raka, bisa kau kutinggal membersihkan badan sebentar?"
"Silakan!"
"Atau kau mau ikut ke kamar mandi?" pancing Sampurgina. Pancingan itu hanya
ditertawakan oleh
Raka. Tawa sinis yang pendek mewakili perasaan Raka
yang kala itu masih dingin dan tidak berminat untuk
berbuat macam-macam terhadap seorang perempuan
cantik berdada montok seperti Sampurgina itu.
"Kurasa aku harus bersihkan badan sendiri.
Silakan minum teh mu biar tak terlalu dicekam
udara dingin begini!" ujar Sampurgina, lalu meninggalkan Raka yang duduk bersila
di atas balai-balai bambu. Balai-balai itu dilapisi dengan tikar tebal yang dapat dijadikan sebagai
alas tidur yang empuk. Agaknya Sampurgina juga sudah memperhitungkan tempat
yang akan dipakai bercumbu nanti, sehingga secara
tak sadar Raka Pura telah digiring agar duduk di balai-balai tersebut. Padahal
tak jauh dari situ ada bangku panjang dan sebuah meja.
"Kutunggu beberapa saat kalau Panji Doyok tak
muncul, lebih baik aku kembali ke bukit cadas. Kurasa
adikku masih menunggu di gua itu bersama Nyai Gantari dan si Bunga Dewi itu," pikir Raka Pura sambil matanya memandangi teh
hangat yang dihidangnya di
depannya. Ketika pemuda itu bermaksud Ingin meminum
teh tersebut, ia agak kecewa melihat tepian cangkir sedikit geripis. Kebetulan
cangkir itu mempunyai bentuk dan warna yang sama dengan cangkir teh untuk
Sampurgina. Cangkir teh di seberang mempunyai tepian
yang masih utuh.
Raka Pura paling pantang makan atau minum
menggunakan perabot yang mempunyai kerusakan
walau sedikit pun. Ia merasa lebih baik makan memakai daun daripada menggunakan piring geripis atau retak sedikit. Menurutnya,
makan atau minum menggunakan perabot yang geripis atau ada kerusakan sedikit pun dapat mendatangkan
kesialan selama sehari penuh. Karenanya, Raka pun segera menukar cangkirnya
dengan cangkir yang ada di seberang poci.
Ketika Sampurgina kembali menemuinya dalam
keadaan badan telah bersih dan menyebarkan aroma
wangi melati, hati perempuan itu mulai tersenyum girang karena matanya melihat air minum di depan Raka sudah berkurang separuh bagian. Ia pun meneguk
air teh yang ada di cangkir bagiannya. Ia tak tahu
cangkir itu sudah ditukar, sehingga ia telah menelan jebakannya sendiri.
Kelemahan Sampurgina adalah
kurang teliti terhadap hal-hal kecil seperti tepian cangkir yang geripis itu.
Petang pun tiba, bahkan sudah mulai merayap
menjadi malam yang memancarkan cahaya pucat karena rembulan muncul seperempat bagian di balik
awan. Sampurgina berlagak gelisah menunggu kedatangan Panji Doyok. Sesekali ia berjalan ke pintu, me-longok ke arah luar.
Padahal ia mempunyai kegelisahan lain di dalam hatinya.
"Gila! Kenapa Raka belum tampak bergairah
padaku"! Hmm... mungkin perlu pancingan yang sedikit mesra. Sebaiknya ia kuajak duduk di luar saja
sambil menikmati cahaya rembulan."
Raka Pura merasa tak keberatan untuk berada
di luar pondok, karena ia memang bermaksud ingin
tinggalkan pondok itu jika beberapa saat lagi Panji
Doyok belum muncul juga. Tapi anggapan Sampurgina
berbeda dengan maksud hati Raka Pura. Perempuan
itu menyangka Raka Pura sudah mulai di pengaruhi
oleh racun 'Getah Puber' karena mau diajak keluar
rumah, menikmati cahaya rembulan yang mendatangkan suasana romantis tersendiri bagi Sampurgina.
"Sebenarnya malam bercahaya remang begini
adalah malam yang indah untuk berduaan. Bukankah
begitu, Raka?"
Pemuda itu hanya tersenyum kecil dan berkesan dingin. Sampurgina mendekat dan meraba punggung Raka yang membuat pemuda itu hampir saja terlonjak kaget. Tapi ia segera kuasai diri, dan berlagak tenang, walau hatinya
mulai gelisah karena merasa risi diusap punggungnya oleh seorang perempuan sematang Sampurgina.
"Dulu ketika suamiku masih hidup, setiap malam bercahaya rembulan begini, kami selalu menikmatinya dengan kemesraan," ujar Sampurgina pelan. "Ta-pi sejak ia tewas di tangan
lawannya, malam bercahaya rembulan seperti ini tak pernah ku nikmati dengan kemesraan lagi."
"Seharusnya kau segera menikah saja."
"Tak ada pria yang mau denganku, mungkin
karena aku sudah janda. Sekalipun ada, aku tak suka
dengan pria itu," sambil berkata demikian, tangan Sampurgina mengusap punggung
Raka pelan-pelan
membuat pemuda itu merinding dan berdebar-debar
ketakutan. Raka tak punya reaksi apa-apa, karena ia
sedang menahan rasa malu dan menyembunyikan rasa
muaknya. Akhirnya ketika tangan Sampurgina merayap
sampai ke bawah, Raka Pura merasa tak mampu lagi
berlagak tenang. Ia harus segera pergi sebelum perempuan itu lebih berani lagi
menjamah tempat tertentu.
"Kurasa Panji Doyok tidak datang malam Ini.
Aku harus segera pergi menemui adikku! Doa menungguku di suatu tempat."
"Mengapa tak bermalam di sini saja"! Aku akan
kesepian kalau kau tak bermalam di sini, Raka," ujar Sampurgina dengan nada
manja, sambil tangan Raka
diusapnya semakin lembut.
"Aku tak pernah bilang kalau mau bermalam di
sini! Mungkin lain kali saja!" Raka mulai bicara tegas sebagai tanda ia menahan
rasa dongkol dalam hatinya.
"Raka... kau tak tertarik untuk bersamaku di
malam ini?"
Raka semakin gusar. Ia tak suka perempuan
yang mendesak mulai bicara tentang kesepian, kencan, cumbuan, dan sebagainya.
Sementara itu, Sampurgina menjadi heran karena Raka masih tetap dingin, bahkan gairahnya sendiri makin meluap-luap. Sampurgina menjadi sangat
merindukan pelukan dan kemesraan seorang lelaki.
Darahnya mengalir deras mendesirkan hati membangkitkan hasrat untuk bercumbu. Ia mencoba menahan
Raka, merayunya dengan kata dan sentuhan asmara.
Tapi Pendekar Kembar sulung tetap tak tertarik sedikit pun. Akhirnya pemuda itu
nekat pergi tinggalkan pondok tersebut.
"Rakaaa...," rengek Sampurgina dengan hati sedih dan ingin menangis, karena
racun 'Getah Puber'
telah bekerja dalam darahnya dan membuat gairahnya
berkobar-kobar.
Gerakan Raka yang terlalu cepat itu membuat
Sampurgina merasa kehilangan harapan dalam sekejap. Maka timbul niatnya untuk mengejar Raka dan
mendapatkan kemesraan sebagai pemuas gairahnya
yang telah membuat napas menjadi sesak, dada menjadi sakit, dan kepala menjadi pening.
"Cambuk ku..."! Oh, aku harus membawa cambuk ku! Kalau Raka tetap menolak, terpaksa akan ku

Pendekar Kembar 10 Korban Kitab Leluhur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gunakan kekerasan agar ia mau melayaniku.
Aduuuh...! Celaka kalau begini! Mengapa jadi aku yang bergairah sekali. Oooh...
hasratku ingin disentuh lelaki begitu besar! Jangan-jangan aku salah minum teh?"
pikir Sampurgina sambil bergegas masuk ke pondok
untuk mengambil cambuknya.
Namun ketika ia sudah siapkan cambuk dl
pinggang, mendadak lututnya menjadi gemetar sekali
karena hasrat ingin memperoleh kenikmatan begitu
kuat menyerang sekujur tubuhnya.
"Ooooh...!" Sampurgina mengerang dalam desah sambil menjamah tubuhnya sendiri.
Bayangan kemesraan Raka semakin menambah dahsyatnya racun itu
dan sangat menyiksa hatinya.
Sampurgina jatuh terduduk di tepi balai-balai
bambu itu. Matanya meredup dengan bibir digigit keti-ka tangannya semakin tak
mampu menahan gejolak
gairahnya, sehingga tangan itu menyusup ke sela-sela keindahan tubuhnya.
Cambuk dilepas, jubah pun dicopotnya. Ikat
pinggang dari kain ikut dilepaskan. Apa yang mengikat pada tubuhnya dilepas
semua, sehingga tangannya
semakin leluasa menjamah bagian-bagian yang dapat
timbulkan kenikmatan.
"Ooouh...! Raka... kembalilah kemari. Oouh,
aku butuh sekali sentuhanmu, Raka! Oooh... aku butuh sekali kemesraan seorang lelaki. Uuuuh...!"
Perempuan itu mengerang sendiri dengan tubuh menggeliat dalam jamahan tangannya. Keringat
dinginnya mulai keluar, sebagai tanda bahwa gairahnya semakin membesar dan tak terkendalikan lagi.
Pada saat itu, tiba-tiba seseorang muncul di
depan pintu dengan menghunus golok lebarnya. Suaranya sempat menyentak mengejutkan Sampurgina.
"Sampurgina! Modar kau malam ini juga, Keparat!" "Oooh..."! Ib... Iblis Bangor..."!" Sampurgina terperangah.
Melihat perempuan itu sudah tanpa jubah dan
pembungkus dadanya yang montok itu sudah jatuh ke
lantai, Iblis Bangor menjadi tertegun juga dengan mata tak bisa berkedip.
Sebagai duda yang sudah lama tak menyentuh
istrinya, Iblis Bangor berdebar-debar juga melihat keadaan Sampurgina yang
nyaris polos total itu.
Tubuh mulus, dada montok, wajah dicekam
gairah, ternyata telah memancing gairah si Iblis Bangor. Lelaki bertubuh tinggibesar itu akhirnya mendekat dengan pelan-pelan.
"Sampurgina!" seruan itu tidak sekeras tadi.
Golok yang telah dihunus itu belum diangkat ke atas.
"Oouh... uuhhff...!" Sampurgina semakin menggeliat, ia tak bisa mempedulikan
kehadiran seorang
musuh, tak bisa membedakan antara musuh dan kekasih. "Sam... Sampurgina...," suara Iblis Bangor makin pelan dan bergetar. Ia
juga semakin dekat dan menatap nanap sambil menjilati bibirnya sendiri.
"Ouhh, sssh... Iblis Bangor, oouh... mendekatlah kemari dan lepaskan bajumu, lekas.... Uuuukh...,"
Sampurgina merengek, sementara Iblis Bangor buruburu melepaskan bajunya, menjatuhkan meletakkan
goloknya di tepian dipan itu.
"Oouh, peluklah aku... peluklah aku...!"
"Sam... Sam... Sam, oouh...!"
Rupanya ancaman Iblis Bangor memang dibuktikan. Ia berlagak lari dari pertarungan, namun sebenarnya mengintai Sampurgina
dari kejauhan. Bahkan
ia sudah cukup lama berada di balik semak pepohonan
bambu di samping pondok Sampurgina itu. Ketika ia
melihat Raka pergi, maka saat itulah niatnya untuk
membunuh Sampurgina segera dilaksanakan.
Hanya saja, ketika ia nekat masuk ke dalam
pondok tersebut, ternyata keadaan menjadi lain. Sampurgina yang telah termakan racun 'Getah Puber' menjadi tak bisa membedakan mana lawan dan mana kawan. Hasratnya yang telah meluap-luap tak bisa dibendung lagi itu membuatnya girang ketika melihat
kemunculan lelaki bertubuh tinggi-besar itu.
"Ooh, celaka! Kurasa aku benar-benar salah
minum air teh itu. Racun dari 'Getah Puber' telah
mengenai ku sendiri! Terbukti aku masih ingin menikmati kehangatan si Iblis Bangor ini walaupun entah sudah berapa kali aku
melambung tinggi sampai ke
puncak kemesraan ku!" pikir Sampurgina di sela per-gumulan asmara seorang lawan
yang seharusnya dibunuh. "Ooh, bahaya besar kalau begini," ujar batin perempuan itu. "Jika tidak
segera ku telan obat pena-warnya, bisa-bisa selama tiga hari tiga malam aku
selalu bercumbu dengan si Iblis Bangor yang besar ini!
Oouuh... tapi sekarang sedang nikmat... jangan ku putuskan dulu kemesraan ini.
Ooouh... gila!"
6 SEANDAINYA Raka tidak segera tinggalkan rumah Sampurgina, maka ia akan mengalami dua kerugian besar. Kerugian pertama, bisa jadi ia terkena jebakan asmara dari perempuan
yang sudah bergairah
besar itu. Mungkin saja Sampurgina sadari kekeliruannya dan mengulangi jebakan dalam air teh itu
hingga kenai Raka. Kerugian kedua, ia akan kehilangan jejak adiknya yang pada saat itu bergegas pergi ke Tanah Keramat.
Soka Pura berhasil kelabuhi Nyai Gantari dan
Srigita alias Bunga Dewi, sehingga kedua nenek-cucu
itu merasa berhutang budi kepada Soka Pura. Mereka
menyangka diselamatkan oleh Soka dari ancaman
maut para pengejar kotak perhiasan milik istri adipati yang mereka curi itu.
"Kalau saja tak ada dirimu, Nak," ujar Nyai Gantari, "Mungkin nyawa kami sudah
melayang di tangan para pengejar itu! Terbukti kami sampai tak
sadar bahwa diriku dan cucuku sudah pingsan cukup
lama akibat serangan yang tak kuketahui dari mana
dan kapan datangnya itu."
"Nenek," ujar si cantik mungil Bunga Dewi. "Ku rasa perlu ditanyakan mengapa
pemuda itu mencari
Kang Panji, Nek."
"O ya... benar juga pertanyaan cucuku ini, Soka Pura," ujar Nyai Gantari
mewakili cucunya, sebab sang cucu jarang mau bicara kepada Soka. Wajahnya sering
ditundukkan atau membuang pandangan mata ke
arah lain. Gadis itu seperti menyimpan rasa malu dan sungkan kepada Soka,
sehingga tak mau beradu pandang lebih dari dua helaan napas.
"Mengapa kau mencari cucuku; si Panji Doyok
itu"!" tanya Nyai Gantari.
"Sebagai seorang teman, aku merasa perlu
membantu Panji Doyok, Nek. Sebab, kudengar Panji
Doyok sedang dikejar-kejar oleh orang yang tak ku ta-hu siapa orang tersebut.
Aku perlu penjelasan dari
Panji Doyok agar aku bisa melabrak orang tersebut."
"Hmm, ya... benar juga pendapatmu, Soka Pura. Tapi... entah siapa orang yang memburu Panji itu.
Terlalu berani orang itu."
"Nenek, sebaiknya kita bawa saja pemuda ini ke
rumah. Kurasa Kang Panji sudah sampai rumah, Nek!"
"Baiklah, Bunga Dewi! Tapi aku tak tahu apakah Soka Pura mau singgah ke rumah kita atau tidak.
Tanyakanlah sendiri, Srigita!"
"Kau saja yang menanyakan, Nek," ujar si gadis dengan menunduk dan bersuara
pelan sekali. "Kurasa aku tak keberatan jika kalian mau menerimaku sebagai tamu. O, ya... tapi aku harus menca-ri kakakku dulu, Nyai
Gantari. Aku tak berani pergi
sebelum Raka Pura datang!"
"Hmmm..., kalau begitu, sebaiknya kita cari dulu kakakmu di seberang bukit ini. Bukankah kau tadi
bilang bahwa kakakmu menengok pertarungan di seberang bukit"!"
"Benar, Nyai. Tapi bagaimana jika dia tak ada di sana"! Mau tak mau aku harus
mencarinya dulu!"
"Akan kubantu mencarikan kakakmu sebagai
balas budi ku kepadamu, Nak!"
Tanah di balik bukit cadas segera disusuri oleh
mereka. Beruntung cahaya rembulan masih bersinar
walau hanya seperempat bagian, tapi bisa sedikit menjadi penerang pandangan mata
mereka dalam mencari
Raka Pura. Perjalanan mencari Raka itu dilakukan
dengan pelan-pelan dan penuh ketelitian.
Akhirnya mereka bertemu dengan Raka Pura
saat arah langkah kaki mereka mulai menuju ke Tanah Keramat. Seandainya Raka terlambat sedikit, maka Pendekar Kembar bungsu tak akan dapat temukan
dirinya dengan mudah, terutama jika Soka sudah berada di Tanah Keramat.
Bunga Dewi memandang Raka Pura dengan kesan terkagum-kagum, karena wajah Raka ternyata benar-benar serupa dengan wajah Soka Pura. Bunga Dewi pun akhirnya berbisik kepada neneknya.
"Jangan-jangan mereka adalah Pendekar Kembar yang sedang ramai dibicarakan orang itu, Nek?"
Sang nenek berkerut dahi merenungkan dugaan cucunya itu. Sebab sejak tadi Soka memang tidak menyinggung-nyinggung
gelarnya sebagai Pendekar
Kembar bungsu, sehingga sang nenek dan Bunga Dewi
belum mengetahui siapa sebenarnya Soka Pura itu.
Maka setelah Soka ngomel kepada kakaknya dan menjelaskan siasat yang digunakan untuk memulihkan ingatan nenek dan cucunya itu, Nyai Gantari pun segera ajukan tanya kepada kedua
pemuda itu. "Apakah kalian yang bergelar Pendekar Kembar"!" "Hmmm, ehhh...," Raka ragu-ragu menjawab.
"Benar, Nyai Gantari!" jawab Soka cepat, ia tak ragu-ragu dalam memberi Jawaban
supaya tidak timbul kesan yang mencurigakan dalam hati nenek dan
adiknya Panji Doyok itu. Ternyata jawaban itu membuat sang nenek terkekeh-kekeh, merasa bangga bisa
mengenal Pendekar Kembar. Bahkan wajah si gadis
cantik yang sejak tadi tak punya senyum itu, kali ini mulai tampak senyumnya
walau tak terlalu kentara
karena keremangan cahaya rembulan. Rupanya cucu
dan nenek itu merasa bangga setelah tahu bahwa Panji Doyok berhasil punya
kenalan sepasang pendekar
yang ilmunya sedang menjadi bahan pujian para tokoh
rimba persilatan itu.
Namun sang nenek segera terperanjat ketika
Raka Pura ceritakan pertemuannya dengan Sampurgina. Bahkan Bunga Dewi menatap dengan kesan kurang simpati setelah Raka jelaskan bahwa ia di ajak
Sampurgina ke rumah perempuan itu untuk menunggu kemunculan Panji Doyok.
"Doyok tak mungkin datang ke rumah Sampurgina!" ujar Nyai Gantari. "Aku sudah mewanti-wanti padanya agar jangan
berhubungan lagi dengan Sampurgina, karena perempuan itu adalah perempuan jalang. Setiap lelaki kalau bisa dicobai semua kehangatannya!"
"Kurasa pemuda ini juga telah mencicipi kehangatan tubuh Yu Sampurgina, Nek," bisik Bunga Dewi yang didengar oleh Raka
maupun Soka. "Jangan menyangka ku begitu, Bunga Dewi!"
Nyai Gantari menukas, "Kurasa dugaan cucuku
benar. Karena setiap lelaki, apalagi setampan dan segagah dirimu, jika sudah
masuk ke dalam pondoknya
si Sampurgina, tak mungkin bisa lolos dari incaran
gairahnya. Sebab, setahuku Sampurgina mempunyai
racun 'Getah Puber' yang dapat membuat setiap lelaki tergila-gila padanya dan
selalu ingin bercumbu dengannya."
"Tapi buktinya aku bisa meninggalkan perempuan itu!" bantah Raka sambil melangkah bersama menuju ke Tanah Keramat. "Dia
sendiri yang tampaknya bergairah padaku dan... ah, kurasa memang dia
perempuan jalang! Kalau aku tak segera pergi, mungkin saja aku akan terkena jebakan racun 'Getah Puber'
itu." "Cantikkah dia, Raka?"
"Sampurgina adalah perempuan cantik dan
menggairahkan," sahut Nyai Gantari. "Aku tahu persis
tentang dia, karena dulu mendiang kakaknya Panji
Doyok adalah mantan suaminya. Tapi tetap saja Sampurgina bercengkerama dengan lelaki lain di belakang suaminya!"
"Dasar perempuan liar dia itu, Nek!" geram Bunga Dewi bernada ketus.
Soka Pura cengar-cengir sendiri, lalu berbisik
kepada Raka. "Di mana tinggalnya perempuan itu?"
"Mau apa kau"!" hardik Raka kepada adiknya.
"Mau melabraknya Jika kau sampai dinodai
olehnya," Jawab Soka Pura mengalihkan prasangka sang kakak, kemudian ia tertawa
kecil dengan menutup mulutnya sendiri dan berpaling ke arah lain.
Tepat ketika Soka Pura berpaling ke arah lain
itulah ia melihat sekelebat sinar yang menuju ke arah mereka. Sinar hijau itu
melesat dengan cepat berbentuk seperti bintang jatuh dari langit.
"Awaaas...!" pekik Soka Pura sambil ia melompat ke samping. Lompatan itu
disertai dengan sentakan tangan kanannya yang membentuk cakar tengkurap. Dari tangan itu keluar sinar merah berbentuk seperti piringan bergerigi
yang memercikkan bunga api.
Sedangkan Raka dan yang lain pun saling berlompatan
menyebar arah. Sinar merah dari jurus 'Mata Bumi'-nya Pendekar Kembar bungsu itu melesat cepat dan tepat membentur sinar hijau yang mirip bintang jatuh itu.
Blegaaarrr...! Ledakan dahsyat membahana memecah sunyinya malam. Pohon-pohon bergetar, daun-daun berguguran, tanah pun terasa guncang bagai dilanda
gempa kecil. Ledakan itu membuat Soka Pura terlempar dan jatuh ke semak ilalang. Bruuuss...!
Melihat adiknya terpelanting sejauh lima langkah dari tempatnya semula, Pendekar Kembar sulung
segera berkelebat memburu bayangan yang tadi mengeluarkan sinar hijau itu. Wuuuz...! Jurus 'Jalur Badai' digunakan, sehingga
kecepatan gerak Raka Pura
seperti orang menghilang.
Bunga Dewi yang merunduk di balik pohon tak
jauh dari Raka sempat terperangah kaget, karena ia
menyangka Raka Pura dapat menghilang bagai ditelan
bumi. "Edan! Dia itu manusia apa setan sebenarnya"!" gumam hati Bunga Dewi. Ia
tak sempat melaporkan hal itu kepada neneknya, karena tiba-tiba me

Pendekar Kembar 10 Korban Kitab Leluhur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

reka dikejutkan oleh suara ledakan dari seberang sana, tempat Raka Pura mengejar bayangan yang hendak
melarikan diri itu.
Blaaar...! Rupanya di sana Pendekar Kembar
sulung beradu kekuatan tenaga dalam dengan melepaskan sinar putihnya dari jurus 'Cakar Matahari'. Sinar putih menyerupai mata
pisau runcing itu menghantam sinar hijau yang seperti tadi. Ledakannya tak sedahsyat ledakan pertama,
namun agaknya cukup
berbahaya bagi lawannya. Sang lawan terlempar cukup
jauh dan membentur sebatang pohon dengan keras.
Brrruuk...! "Heeehhk...!" terdengar suaranya memekik ter-tahan. Raka Pura segera mengejar
orang tersebut sebelum orang tersebut punya kesempatan untuk bangkit
dan melarikan diri.
Wuuut! Raka mencengkeram pakaian orang itu,
kemudian dibawanya lari dengan gunakan jurus 'Jalur
Badai' lagi. Wuuuzzz...! Dalam sekejap Raka Pura sudah berada di tempat Nyai Gantari dan cucunya berlari memandangi pertarungan tak
jelas itu. Jleeeg...!
Brrruk...! Sang lawan dijatuhkan begitu saja di depan Nyai Gantari, sementara
Soka Pura segera mendekati
dengan satu lompatan kecil.
Sesaat setelah mereka memandangi orang tersebut di bawah keremangan sinar rembulan, Nyai Gantari pun segera kenali orang itu.
"Edan kau, Dirgayana!"
Ucapan sang nenek itu mengejutkan Raka dan
Soka, karena mereka pun mengenal nama Dirgayana.
Pandangan mata mereka dipertegas lagi, dan ternyata
pemuda berpakaian biru itu adalah Dirgayana. Ia adalah pemuda yang pernah dipergoki Soka Pura sedang
bercinta dengan Bintari Ayu, (Baca serial Pendekar
Kembar dalam episode: "Gadis Penyebar Cinta").
"Apa maksudmu menyerang kami, Dirgayana"!"
gertak Soka sambil mencengkeram baju pemuda berkulit tipis itu dan menariknya hingga Dirgayana berdi-ri.
Bunga Dewi tiba-tiba mendekat, dan tangannya
menampar Dirgayana yang bertubuh kekar dan berwajah tampan itu. Plook...! Setelah itu Bunga Dewi
kembali ke tempat semula. Hal itu membuat
Soka Pura menjadi terbengong sekejap.
"Gila gadis itu!" ujarnya membatin. "Tahu tahu datang, main tampar seenaknya,
lalu pergi lagi! Apa
maksudnya"!"
Dirgayana sendiri dalam keadaan menahan rasa sakit akibat gelombang ledakan tadi menghantam
dadanya. Begitu kuatnya gelombang ledakan yang berada dalam jarak dekat dengannya itu. Sehingga tulang dadanya terasa patah semua. Napas si Dirgayana
pun menjadi sesak, sehingga ia tak bisa bicara untuk sesaat. "Rupanya kau
mengenal pemuda ini, Nyai Gantari"!" ujar Raka Pura sambil menatap Dirgayana
yang masih dicengkeram bajunya oleh Soka Pura.
"Dia pemuda Tanah Keramat juga! Biasanya ia
bersikap baik padaku, karena ia sedang naksir cucuku ini," sang nenek melirik
Bunga Dewi. Sang cucu menyahut dengan ketus.
"Aku tak sudi."
"Aku juga tak sudi," timpal Nyai Gantari seenaknya, lalu segera dekati
Dirgayana. Cengkeraman
Soka terpaksa dilepas, seakan member! kesempatan
kepada Nyai Gantari untuk menanyai Dirgayana.
"Mengapa kau menyerang kami, Dirgayana"!
Siapa yang kau serang sebenarnya"!"
"Ak... aku disuruh orang, Nyai. Uuukh...!" Ia menyeringai menahan rasa sakit.
Ternyata dadanya
menjadi lebih sakit lagi jika dipakai bicara. Namun
Dirgayana memaksakan diri agar bisa bicara demi melindungi nama baiknya di depan Bunga Dewi yang sedang ditaksirnya itu.
"Siapa yang menyuruhmu"!" tanya Nyai Ganta-ri. Dirgayana tidak langsung
menjawab, seperti sedang mempertimbangkan jawaban yang harus dikeluarkan
dari mulutnya. Nyai Gantari yang sejak tadi tampak tenang
dan kalem, tidak seliar tokoh tua aliran hitam lainnya itu, kali ini mencekal
lengan kekar Dirgayana sambil mengulangi pertanyaannya.
"Siapa yang menyuruhmu, Dirgayana"!"
"Aaoow...!" Dirgayana memekik kesakitan. Soka dan kakaknya sempat terperanjat
melihat tangan Nyai
Gantari yang memegang lengan Dirgayana itu berasap,
dan lengan pemuda itu tampak menghangus di tempat
yang tergenggam tangan Nyai Gantari. Karena itulah
Dirgayana memekik kesakitan dengan suara nyaris hilang karena tertutup rasa sakit.
"Jawablah pertanyaanku, Bocah bagus!" desak Nyai Gantari.
"Ak... aku disuruh oleh... oleh Sampurgina...."
"Sampurgina"!" Nyai Gantari dan Raka hampir bergumam bersama. Bunga Dewi cepatcepat menatap Dirgayana dengan sorot pandangan mata penuh ketajaman. "Kapan dia menyuruhmu"!" tanya Raka dengan nada ragu-ragu, sepertinya ia
ingin bertanya pada dirinya sendiri. Tetapi Dirgayana segera menjawab
dengan suara berat, karena masih harus menahan rasa sakit akibat luka bakar di lengannya. Walau Nyai Gantari sudah lepaskan genggamannya, tapi
lengan itu masih kepulkan asap tipis pertanda masih
tetap terbakar.
"Ta... tadi siang ia bertemu denganku, lalu menyuruhku menghabisi keluarga Panji Doyok, termasuk
Panji Doyok sendiri. Jika... jika aku berhasil lakukan tugas itu, maka dia akan
menemui seseorang agar aku
diangkat menjadi murid orang itu. Setidaknya bisa
mendapat dua-tiga ilmu andalan yang ingin kumiliki."
"Busuk sekali hatimu!" geram Bunga Dewi,
membuat Dirgayana tak berani memandang kecuali
hanya menunduk dengan sedih dan rasa takut.
"Jelaskan semuanya, nanti kusembuhkan lukamu!" perintah si Tupai Siluman.
"Aku... aku mencoba mencari Panji Doyok, tapi
tak berhasil kutemukan. Dan... dan ketika kulihat kalian, ku coba untuk lepaskan
serangan maut ku, siapa tahu nasibku sedang mujur dan kenai dirimu. Terutama
dirimu, Nek. Tapi... tapi ternyata Pendekar Kembar lebih tangkas dan bisa
mematahkan seranganku. Aku
bermaksud melarikan diri dan tak mau coba-coba lagi, hanya saja... nasibku
sedang buruk, sehingga aku
berhasil ditangkap dan dibawa lari."
"Siapa orang yang ingin kau temui sebenarnya"
Sehebat apakah dia, sampai kau tertarik untuk menjadi muridnya?"
Dirgayana tak segera menjawab, Ia tampak ragu-ragu. Tapi ketika tangannya hendak dicekal lagi
oleh Nyai Gantari, Dirgayana ketakutan, lalu buruburu memberikan jawaban.
"Oorr... orang itu adalah... Nyai Keramat Malam." "Oo, jadi kau ingin jadi muridnya penguasa Pulau Sambang"!" gumam Nyai
Gantari sambil manggut-manggut. Sementara itu, Raka dan Soka saling pandang, karena mereka pernah dengar nama itu.
"Aku sudah mengatakan semuanya, Nek. Kurasa... kurasa aku sudah menebus kebodohan ku yang
mau diperalat oleh Sampurgina. Ku mohon kau mau
mengobati luka bakar ku ini...," ujar Dirgayana sambil menyodorkan luka bakar di
lengannya yang masih kepulkan asap tipis itu.
"Jangan obati dia, Nek!" sentak Bunga Dewi dengan nada benci. Hal itu membuat
Dirgayana menjadi semakin sedih, lalu pemuda itu mencoba ajukan
pembelaan atas dirinya.
"Percuma saja... aku... aku mau berterus terang kalau kau masih tak mau
mengampuni kesalahanku,
Bunga Dewi. Ak... aku benar-benar menyesal dan merasa dibodohi oleh Sampurgina. Kurasa pengakuan ku
ini adalah bukti atas penyesalan dan permintaan maaf ku kepada kalian."
"Pengakuanmu bukan karena penyesalan, tapi
karena kegagalan!" geram Bunga Dewi. "Dan kau takut kalau mati terbakar pelanpelan oleh genggaman nenek ku, sehingga kau mengatakan semuanya itu!
Hmmm, dasar manusia sampah!"
Sang nenek rupanya tak tega melihat Dirgayana
menyeringai menahan rasa sakit. Maka ia pun meludahi luka bakar di lengan pemuda itu.
"Cuihh...!"
Joooss...! Luka itu keluarkan suara mendesis
keras, seperti bara api dimasukkan dalam air. Luka
tersebut pun segera mengering sambil semakin kepulkan asap lebih banyak lagi. Ketika asap itu lenyap,
maka luka pun kering dan hanya meninggalkan belang
putih berbentuk jari tangan sang nenek.
Soka Pura dan Raka sama-sama menyimpan
rasa kagum atas kedahsyatan ludah Nyai Gantari yang
dapat untuk sembuhkan luka seajaib itu. Namun hal
yang terpenting bagi Raka bukan ajaibnya ludah Nyai
Gantari, melainkan nama Nyai Keramat Malam yang
ada hubungannya dengan Sampurgina. Maka, Raka
pun ajukan tanya kepada Dirgayana.
"Apa alasan Sampurgina ingin membunuh keluarga Panji Doyok?"
* * * 7 SAYANG sekali Dirgayana benar-benar tak
mengetahui alasan Sampurgina yang menghendaki
kematian keluarga Panji Doyok. Dugaan yang timbul
adalah perang dingin yang selama ini terjadi antara
Sampurgina dengan Nyai Gantari. Tetapi Raka yakin
dengan dugaan tersebut.
"Jika benar begitu, mengapa tidak dari duludulu saja Sampurgina membantai Nyai Gantari, Bunga
Dewi, dan Panji Doyok"! Mengapa baru sekarang ini?"
Soka Pura yang mendengarkan kata-kata kakaknya itu akhirnya hanya angkat pundak tanda tak
mengerti dengan jelas perkara itu. Yang ada dalam benak Soka kalau itu adalah
segera dapat bertemu dengan Panji Doyok dan bicara tentang Kitab Jayasakti.
Karena ia ingin segera dapatkan Daun Astagina secepatnya, agar sakit yang diderita ibu angkatnya di puncak Gunung Merana itu tidak
berlarut-larut.
Dirgayana dibebaskan dengan satu ancaman
maut dari Nyai Gantari.
"Pergilah sana dan Jangan lagi temui kami. Sekali lagi kau coba celakai kedua cucuku atau diriku
sendiri, maka tak ada ampun lagi bagimu. Kau akan
kukirim ke liang kubur dalam keadaan hangus separuh badanmu. Paham"!"
"Ap... apakah tak ada pengampunan untukku,
Nek?" ucap Dirgayana dengan nada sedih.
"Ini sudah pengampunan! Kalau aku tidak
mengampunimu, sekarang juga kau sudah tidak bernyawa!" Akhirnya mereka tiba di rumah Nyai Gantari dalam keadaan sudah lewat
tengah malam, hampir fajar. Dirgayana sudah memisahkan diri sejak tadi, takut
ancaman Nyai Gantari. Dan ketika mereka tiba di rumah tersebut, ternyata Panji
Doyok masih belum pulang. Rumah dalam keadaan kosong.
Raka Pura dan adiknya sama-sama terbengong
melihat keadaan rumah Nyai Gantari. Ternyata rumah
tersebut dibangun dengan dinding bata halus. Pagarnya dari tembok kekar. Perabotnya cukup mewah.
Sungguh tak diduga sang nenek berjubah hitam lusuh
dengan cucunya yang hanya berkalung manik-manik
kecil itu ternyata tinggal di sebuah rumah yang bagus dan berkesan mahal.
Biasanya rumah dan perabot se-mewah itu dimiliki oleh keluarga bangsawan atau
ke- luarga saudagar yang kaya.
"Semua ini dari hasil mencuri?" tanya Soka kepada Bunga Dewi.
"Kami tak punya pekerjaan lain kecuali mencuri," jawab Bunga Dewi sebagai pengganti kata membe-narkan dugaan Soka tadi. Maka
Pendekar Kembar pun
geleng-geleng kepala dengan merasa heran dan kagum.
"Kau sudah kaya begini, apakah tak punya niat
untuk berhenti mencuri, Bunga?"
"Mencuri adalah adat kebiasaan bagi kami. Jika
ada orang yang tinggal di sini tapi tidak mencuri, maka ia akan malu dan
dikucilkan."
"Benar-benar perkampungan edan ini namanya!" gumam Raka Pura.
Bunga Dewi menambahkan, "Kalau mau tidak
mencuri lagi, jangan tinggal di sini. Kami harus pindah di lain tempat."
"Apakah kau tak ingin pindah di lain tempat?"
"Mau pindah ke mana lagi aku, sementara di
sini aku punya rumah bagus dan hidup dengan kecukupan dari hasil mencuri"!"
Pendekar Kembar tak bisa bicara lagi. Agaknya
mencuri atau mencopet dan sejenisnya merupakan bagian dari mereka, sudah mendarah daging dan merupakan hal yang biasa.
"Ada semacam tradisi atau tata cara di dalam
kehidupan kami," ujar sang nenek menjelaskan. "Siapa bisa mencuri, mencopet,
merampok, tanpa melukai
orang dan tanpa membunuh korbannya, itu baru suatu hal yang patut mendapat pujian dari seluruh masyarakat Tanah Keramat ini. Masyarakat di sini selalu diwanti-wanti oleh para
leluhurnya agar jangan membunuh korban, jangan melukai korban, dan satu lagi...
jangan tertangkap oleh korban. Siapa yang tertangkap akan menjadi bahan cemoohan
dan hinaan bagi yang
lain." Raka dan Soka sama-sama tersenyum getir sambil geleng-geleng kepala.
Percakapan itu tak terasa membawa mereka ke ujung pagi. Tak ada kantuk sedikit pun yang hinggap pada diri mereka. Agaknya tidak tidur semalam suntuk sudah
bukan hal baru lagi bagi
Nyai Gantari maupun cucunya.
"Biasanya kami tidur siang hari dan melek malam hari."
"Manusia kalong!" gumam Raka sambil tertawa kecil. Tawa itu segera lenyap, bukan
karena dipan-dangi oleh Bunga Dewi secara diam-diam, tapi karena
gedoran pintu yang terdengar beruntun dan mengagetkan mereka. "Bunga...! Bunga...! Neeek...!"


Pendekar Kembar 10 Korban Kitab Leluhur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Itu suara Panji Doyok!" sentak si Tupai Siluman. Bunga Dewi segera bergegas
membukakan pintu
untuk kakaknya.
"Kaaang..."!" suara Bunga Dewi terdengar bernada kaget bercampur cemas. Yang
lainnya pun menjadi ikut terperanjat kaget ketika Panji Doyok buruburu masuk dan jatuh ke lantai dalam keadaan tangannya mendekap perut yang berdarah.
"Panji, apa yang terjadi"!" tegur sang nenek dengan wajah mulai tegang. Pendekar
Kembar hanya bisa terpaku di tempat memandangi perut Panji Doyok
yang jebol itu.
"Seseorang... telah berusaha membunuhku,
Nek," ujar Panji Doyok dengan suara lemah, tubuhnya pun menjadi lemas dan sang
nenek menyangga tubuh
itu dari belakang.
"Siapa yang ingin membunuhmu, Kang" Siapa"!" Bunga Dewi tampak gusar.
"Katakan, Panji! Siapa yang melukaimu separah
ini"!" desak sang nenek.
"Ib... Iblis Bangor, Nek...!"
"Ooh..."!" Raka Pura terkejut, segera teringat pertarungan Iblis Bangor dengan
Sampurgina. "Keparat si Iblis Bangor!" geram Nyai Gantari.
Soka sempat bicara kepada Panji Doyok yang
terperanjat mengetahui kedua pemuda kembar itu ternyata ada di rumahnya.
"Bukankah kau melarikan diri ketika aku dan
kakakku sedang menghadapi si gadis kembar itu"!"
"Be... benar, tapi... tapi setelah itu aku bertemu dengan Iblis Bangor, ia
menyerangku dengan goloknya.
Tapi ketika kukatakan bahwa aku tidak mencuri benda itu, ia pun segera pergi dan membiarkan diriku terkapar dengan perut robek
begini...."
Raka Pura berbisik kepada adiknya, "Pertarungan Sampurgina dan Iblis Bangor, menurut pengakuan
Sampurgina, adalah karena mereka saling tuduh sebagai pencuri Kitab Jayasakti."
"Begitukah"!"
"Ya. Iblis Bangor mendesak Sampurgina agar
serahkan kitab yang dicuri perempuan itu, tapi perempuan itu mengaku di depanku
bahwa pencurinya adalah Iblis Bangor sendiri."
"Kurasa luka Panji ada hubungannya dengan
kitab itu! Sebaiknya cobalah kau tanyakan kepadanya, Raka!" "Aku lagi yang
bekerja"! Mengapa bukan kau sendiri yang menanyakannya"! Apakah mulutmu sudah
tak berguna lagi untuk bicara" Apakah mulutmu
hanya untuk ciuman saja"!" omel Raka dengan jengkel, karena sejak tadi disuruhsuruh terus oleh adiknya.
Sang adik hanya nyengir sambil garuk-garuk kepala,
kemudian mendekati Panji Doyok yang dipindahkan
oleh neneknya ke atas dipan.
"Nyai Gantari, sebaiknya sembuhkan dulu lukanya itu baru kita bicara lebih banyak dengannya,"
saran Soka Pura kepada sang nenek. Tapi perempuan
itu hanya memandang Soka sebentar, lalu menatap
Panji Doyok kembali.
Bunga Dewi segera berbisik kepada Soka, "Ludah nenek hanya bisa dipakai untuk sembuhkan luka
yang datang dari Jurus 'Tapak Neraka'-nya. Ludah itu tak bisa sembuhkan luka
lain." "Oooo...," Soka Pura manggut-manggut. Ia melirik kakaknya yang ada di belakang
Bunga Dewi. Pendekar Kembar sulung segera berkata dengan suara agak keras.
"Kurasa adikku bisa sembuhkan luka itu, Nyai
Gantari." Perempuan tua itu pun segera menatap Soka
lagi. Soka bersungut-sungut melirik kakaknya. Akhirnya ia berkata kepada Nyai Gantari dengan nada kalem. "Memang bisa saja aku menyembuhkannya.
Tapi aku minta satu syarat, kembalikan Kitab Jayasakti pada pemiliknya."
Kini perempuan tua maupun yang masih muda
itu menatap kaget kepada Soka Pura, sedangkan Panji
Doyok memandang dengan mata sayu dan wajah pucat. Ia banyak kehilangan darah.
"Dari mana kau tahu tentang kitab itu, Soka?"
tanya si Tupai Siluman.
"Aku membutuhkan Daun Astagina untuk
mengobati Ibuku...."
"Daun itu sudah tidak tumbuh lagi di permukaan bumi ini!" sahut Nyai Gantari.
"Masih ada orang yang menanam pohon Astagina, dan orang itu adalah kakeknya Ayunda. Tetapi
Ayunda hanya akan memberikan daun tersebut jika
aku bisa mengembalikan kitab pusaka milik leluhurnya yang dicuri oleh Panji Doyok!"
"Ti... tidak! Aku tidak mencurinya. Sumpah!
Oukh...!" Panji Doyok ngotot, namun akhirnya mengerang kesakitan sambil mendekap lukanya.
"Akan kusembuhkan lukamu, Panji. Kau akan
kubantu, tapi ku mohon kau mau membantuku juga,"
ujar Soka Pura dengan nada bersahabat.
Nyai Gantari segera berujar kepada Panji
Doyok, "Untuk kali ini, demi keselamatan nyawamu, kurasa... kita terpaksa
mengalah, Panji."
"Tapi... tapi aku tidak mencuri kitab itu, Nek!"
"Bukankah kau kutugaskan mencurinya"!"
"Be... benar. Tapi aku tak sempat mencurinya,
Nek. Ketika aku tiba di rumah keluarga gadis kembar
itu, ternyata sudah ada orang yang lebih dulu masuk
ke dalam rumah itu dan keluar dengan membawa kitab tersebut. Ia berlari melompati pagar tinggi... dan aku tak sempat
mengejarnya. Ka... karena penghuni
rumah itu segera memergoki diriku berada di dalam
halaman rumah mereka. Aku segera melarikan diri pula, tapi mereka mengejarku dan menyangka aku telah
mencuri kitab tersebut."
"Siapa orang yang keluar dari rumah itu sebelum kau melakukan tugasmu?" tanya Nyai Gantari.
"Sam... Sampurgina, Nek!"
"Ooh..."!" Raka Pura terperanjat dengan mata melebar beradu pandang dengan
adiknya. "Benarkah kitab itu telah lebih dulu dicuri oleh Sampurgina, Kang?" tanya Bunga
Dewi bernada sangsi.
"Benar! Dan... dan ketika aku melarikan diri,
aku sempat kepergok dengan iblis Bangor. Tapi ia belum memaksaku untuk serahkan kitab tersebut.
Mungkin ia mendengar kabar dari kedua gadis kembar
itu tentang tuduhan pencuri kitab yang ditujukan padaku. Maka ketika aku lolos dari gadis kembar pada
saat Raka dan Soka menghadapinya, aku segera dihadang oleh Iblis Bangor, ia memaksaku untuk serahkan
kitab tersebut. Dan... ia menggeledah ku serta merobek perutku. Lalu... lalu
kukatakan bahwa kitab itu sudah dicuri oleh Sampurgina! Sumpah, aku tidak sempat
mencurinya!"
Raka Pura mendekati adiknya dan bicara pelan,
walau ia sadar ucapannya akan terdengar oleh Bunga
Dewi dan Nyai Gantari.
"Pantas Iblis Bangor ngotot ingin membunuh
Sampurgina, rupanya dia yakin betul dengan pengakuan Panji Doyok."
"Tapi mengapa Sampurgina bilang padamu
bahwa yang mencuri kitab itu adalah Iblis Bangor"!"
"Biasa... mengalihkan perhatian ke orang lain
untuk selamatkan diri dari kecurigaan ku."
"Kalau begitu kita harus segera temui si Sampurgina! Kau masih ingat tempat tinggalnya?"
Bunga Dewi menyahut, "Aku tahu jalan tercepat menuju ke pondoknya Sampurgina!"
"Kau mau mengantarkan kami, Bunga!" "Asal kau sembuhkan dulu kakakku ini!" jawab
Bunga Dewi. Tak ada pilihan lain, Soka Pura akhirnya sembuhkan luka menganga lebar di perut Panji Doyok
dengan jurus 'Sambung Nyawa'-nya yang mencengangkan Nyai Gantari dan cucunya. Dalam hati sang
Nyai menaruh rasa hormat dan salut kepada anak
muda yang mampu menutup luka Panji Doyok hingga
tak meninggalkan bekas sedikit pun.
"Benar-benar tinggi ilmunya! Pantas banyak
orang memuji dan membicarakan tentang kemunculannya sebagai sepasang Pendekar Kembar"!" gumam hati Nyai Gantari alias si
Tupai Siluman itu.
Bunga Dewi tak ingkar janji. Ia segera mengantar Pendekar Kembar ke pondoknya Sampurgina ketika
siang mulai datang. Dalam perjalanan itu, Raka Pura
sempat menemukan kesimpulan tentang tindakan Dirgayana yang diperintahkan untuk membunuh keluarga
Panji Doyok. "Rencana itu terpikirkan oleh Sampurgina setelah ia mendapatkan kitab tersebut. Sebab pasti ia tahu bahwa tindakannya itu
diketahui oleh Panji Doyok. Ia khawatir Panji Doyok menyebarkan rahasia pencuri
Kitab Jayasakti, maka ia menyuruh Dirgayana untuk
menghabisi Panji Doyok dan adik serta neneknya.
Dengan begitu, tak akan ada yang tahu bahwa Sampurgina-lah yang mencuri kitab tersebut. Setidaknya ia bebas dari kejaran
pemilik kitab itu."
"Sayang sekali orang yang disuruhnya adalah
pemuda tolol yang tak punya ilmu memadai untuk tugas itu," ujar Bunga Dewi.
"Semuanya sudah berlalu, untuk apa diingat
lagi," sahut Soka Pura. "Yang penting adalah menemui Sampurgina dan mendapatkan
kitab itu secepatnya!"
"Tak lama lagi kita sampai dl pondoknya Sampurgina," ujar Bunga Dewi.
Apa yang dikatakan Bunga Dewi memang benar. Tak berapa lama kemudian, mereka tiba di pondok Sampurgina. Raka masih ingat betul dengan rumah di tengah hutan itu.
Tetapi ketika mereka tiba di pondok tersebut,
ternyata Sampurgina tidak ada di tempat. Mereka justru dikejutkan oleh sesuatu yang mereka temukan di
samping bangunan kayu itu. Sesosok tubuh terbujur
dalam keadaan bermandi darah. Mereka segera menjadi tegang karena mereka mengenal siapa orang yang
terluka parah den dalam keadaan sekerat itu.
"Iblis Bangor..."!" pekik Raka dengan wajah tegang. Ia lebih dulu dekati orang
berbadan besar yang terluka parah akibat tebasan senjata tajam di bagian dada
dan punggungnya itu.
Iblis Bangor masih bisa bicara walau dengan
suara pelan sekali.
"Sam... Sampurgina licik...." "Sampurgina...?"
gumam Raka pelan. "Di... dia habis... memeras kepua-san diriku, lalu... tibatiba ia mengambil golokku dan membabat ku pada saat aku sedang tertidur.
Uuukh...!" "Ke mana dia sekarang"!" "Per... pergi menemui... menemui Nyai
Keramat Malam... untuk serahkan... Kitab Jayasakti yang... berhasil dicurinya itu...." Bunga Dewi segera
menyahut, "Kalau begitu dia pasti ada di Pantai Tangkur!" "Pasti dl sana"!"
"Ya, karena tempat itu sering dipakainya untuk
lakukan adakan pertemuan dengan Nyai Keramat malam." "Kejar dia sebelum kitab itu jatuh ke tangan Nyai Keramat Malam!" seru
Raka Pura. "Hei, tapi bagaimana dengan nasib si Iblis Bangor ini"!" ujar Soka Pura.
"Bantu dia selamatkan nyawanya dari luka itu,
Soka!" "Aku lagi..."!"
Tapi Raka Pura segera menarik lengan Bunga
Dewi, "Antarkan aku ke Pantai Tangkur. Carl jalan ter-dekat dari sini!"
"Hei, kalian tidak menungguku?" seru Soka
dengan bingung.
"Susul aku di Pantai Tangkur!" seru Raka Pura sambil bergegas pergi bersama
Bunga Dewi. "Sial!" gerutu Soka Pura, ganti 'dikerjain' oleh kakaknya. Mau tak mau ia
lakukan penyembuhan du-lu untuk selamatkan nyawa Iblis Bangor. Jurus
'Sambung Nyawa' digunakan lagi. Dan ketika tubuh
Panji Doyok telah memancarkan cahaya ungu, pertanda tinggal menunggu saat pemulihan pada bagian yang
luka, Pendekar Kembar bungsu buru-buru meninggalkannya. Ia segera menggunakan jurus 'Jalur Badai'nya untuk menyusul sang kakak.
Tepat ketika Raka dan Bunga Dewi tiba di Pantai Tangkur, tampak si Sampurgina sedang berbicara
dengan seorang perempuan tua berjubah hijau tua,
bertubuh kurus, keriput, dan bermata cekung. Rambut putihnya dikonde di tengah kepala, sisanya meriap tipis. "Itu mereka!" bisik
Bunga Dewi. "Perempuan tua tak lain adalah Nyai Keramat Malam!"
"Tetaplah berlindung di balik batu ini. Aku
akan menemui mereka!" ujar Raka Pura, kemudian ia melesat dengan cepat bagaikan
menghilang. Tahu-tahu
ia sudah muncul di belakang Nyai Keramat Malam
yang sedang menerima kitab berwarna hijau dari Sampurgina. "Tugasku sudah selesai untuk persoalan kitab
ini, Nyai!"
"Bagus! Kau memang orangku yang patut ku
percaya dan menjadi andalan ku, Sampurgina!"
Begitu tiba di tempat itu, Raka Pura langsung
menyambar kitab itu. Wuuus...! Tapi tangan Nyai Keramat Malam berhasil selamatkan kitab itu dengan
menariknya ke belakang. Raka yang gagal sambar kitab itu segera berkata,
"Sebaiknya kembalikan kitab itu pada pemiliknya, Nyai!"
Tentu saja kedua perempuan itu menjadi kaget.
Nyai Keramat Malam segera memandang Raka Pura
dengan tajam, sementara Sampurgina terperangah melihat Raka tiba-tiba ada di pantai tersebut.
"Pendekar Kembar..."!" ucap Sampurgina lirih sekali. Nyai Keramat Malam
menggeram. "Keparat kau, Pendekar Kembar! Jangan coba-coba mencampuri


Pendekar Kembar 10 Korban Kitab Leluhur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

urusanku ini, Bocah ingusan!"
"Aku tidak mencampuri, hanya ingin meminta
kembali Kitab Jayasakti itu!"
"Ini yang kukembalikan padamu. Heeiah...!"
Nyai Keramat Malam melepaskan pukulan bersinar biru. Wuuut...! Raka sudah siap, sehingga dengan mudahnya ia menghantam sinar biru itu dengan
jurus 'Mata Bumi'-nya yang berupa sinar merah seperti piringan bergerigi itu.
Claaap...! Blegaaarrr...! Ledakan dahsyat terjadi sangat mengguncangkan alam sekitarnya. Beberapa batu karang sempat retak karena gelombang ledakan yang menyebar kuat.
Sampurgina sendiri terlempar sejauh enam langkah
dan jatuh terbanting di pasir pantai. Demikian pula
Nyai Keramat Malam yang tersentak dan terlempar ke
belakang tanpa bisa menjaga keseimbangan tubuh. Kitab berwarna hijau itu terpental ke atas, lepas dari genggaman sang Nyai.
Padahal waktu itu Raka Pura
sendiri juga terhempas ke belakang dan jatuh di dekat perairan pantai.
Bruuusk...! Kitab yang melayang di udara itu segera disambar oleh seseorang yang baru saja tiba dan melesat begitu cepat. Wuuut...!
Teb...! Orang itu segera bersalto satu kali. Wuk...! Lalu
mendaratkan kakinya dengan mantap. Jleeg...!
"Soka!" seru Pendekar Kembar sulung yang ba-ru saja bangkit. "Cepat bawa lari
kitab itu!"
"Bagaimana dengan si nenek tua itu"!"
"Biar kuurus dial"
"Tak bisa! Kau terlalu lamban menurutku, Raka!" ejek sang adik.
"Heaaat...!" Nyai Keramat Malam segera sentakkan kakinya dan tubuhnya melayang
bagaikan terbang
dengan kedua tangan memancarkan sinar merah pijar.
Dari tangan itu segera keluar puluhan jarum yang menyerupai bunga api. Zrrraaak...!
"Soka, awaaas...!" seru Raka Pura melihat adiknya terancam bahaya.
Soka Pura sentakkan kaki dan tubuhnya melesat tinggi serta dalam kecepatan seperti orang menghilang. Slaaap...! Jarumjarum membara itu tak ada
yang mengenai tubuh Soka, melainkan justru menghancurkan bongkahan karang besar yang ada di tepi
perairan pantai.
Jegaaarrr...! Bongkahan karang sebesar rumah itu menjadi
debu hitam dalam sekejap. Tetapi pada saat itu, Soka Pura yang masih melayang ke
atas segera berjungkir
balik dan meluncur ke bawah dalam keadaan menukik. Clap, clap...!
Sinar putih seperti pisau runcing keluar dari
tangannya. Jurus 'Cakar Matahari' digunakan untuk
menyerang Nyai Keramat Malam. Perempuan tua yang
baru saja ingin menapakkan kakinya ke tanah itu tak
sempat menghindari dua sinar tersebut. Akibatnya,
kedua sinar itu menghantam pundak dan lengan Nyai
Keramat Malam tanpa ledakan sedikitpun. Cuuurb,
cuuurb...! "Haaakh...!" Nyai Keramat Malam mengejang
sesaat. Tubuhnya menjadi hitam kering, matanya merah menyeramkan.
"Ooukh...!" Nyai Keramat Malam akhirnya jatuh berlutut. Ia mengerahkan tenaga
dalamnya untuk menahan luka, namun tak berhasil. Akhirnya ia pun
tumbang, terkapar dalam keadaan tubuhnya menjadi
kering bagaikan arang, untuk kemudian tidak bernapas lagi. Melihat Nyai Keramat Malam tewas di tangan
Soka, Sampurgina segera melarikan diri dan tak berani
melakukan bela pati atas kematian sang penguasa Pulau Sambang itu.
"Sampurgina lari!" seru Bunga Dewi.
"Biarkan dia lari! Nanti akan bertemu dengan
Iblis Bangor dan mereka akan bikin perhitungan sendi-ri!" ujar Soka Pura.
Akhirnya Pendekar Kembar bergegas pergi ke
Lembah Saga untuk serahkan Kitab Jayasakti itu. Mereka pergi ke Lembah Saga tetap dengan diantarkan
oleh Bunga Dewi sebagai penunjuk jalan ke sana.
Ternyata gadis kembar itu menepati janjinya.
Kitab Jayasakti ditukar dengan empat lembar Daun
Astagina. Daun itu dibawa ke puncak Gunung Merana,
dan ternyata memang dapat dipakai sembuhkan Nyi
Padmi yang sudah berhari-hari seperti mayat hidup
akibat terkena pukulan beracun 'Sengat Peri' dari si Wajah Malaikat.
Kesembuhan Nyi Padmi merupakan kebanggaan tersendiri bagi kedua anak angkatnya itu. Nyi
Padmi pun mengharapkan agar Pendekar Kembar tidak buru-buru turun gunung, karena kerinduannya
terhadap kedua anak angkat itu masih belum terselesaikan. SELESAI Segera terbit: PEDANG BULAN MADU
E-Book by Abu Keisel Pendekar Muka Buruk 11 Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo Memburu Iblis 10

Cari Blog Ini