Ceritasilat Novel Online

Kumbang Hitam Dari Neraka 1

Pendekar Gila 2 Kumbang Hitam Dari Neraka Bagian 1


KUMBANG HITAM DARI NERAKA oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Mardiansyah
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dart penerbit
Firman Raharja Serial Pendekar Gila
dalam episode: Kumbang Dari Neraka
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Malam baru saja meninggalkan bumi, sehingga
pagi masih teramat buta. Kokok ayam jantan terdengar bersahutan, seperti
menyambut sang Fajar. Keadaan
masih meremang, belum banyak orang yang terbangun. Mungkin masih banyak yang bergumul dengan
selimut karena hawa terasa dingin.
Adipati Joyo Kerto terjaga, ketika menyadari
sang istri tidak ada di sampingnya. Lelaki berbadan
besar dengan muka bulat dihiasi oleh kumis lebat dan mata agak sipit serta
hidung besar itu duduk di pinggir tempat tidur. Wajahnya tercenung, seakan
tengah memikirkan kepergian istrinya sepagi buta ini.
"Hm, ke mana dia?" tanya sang Adipati lirih, setelah bergumam.
Perlahan dia bangun. Beberapa saat tubuhnya
menggeliat Setelah menguap beberapa kali, kakinya
melangkah pelan ke pintu kamar. Dan setelah membuka pintu, matanya diedarkan ke seluruh ruangan di
dalam kadipaten.
Sepi! Sang Adipati melangkah ke luar. firasatnya tidak enak. Entah apa yang sebenarnya telah terjadi di kadipaten. Terlebih dengan
ketidakadaan istrinya di
kamar. Tak biasanya istrinya bangun sepagi buta begini. Baru saja kakinya melangkah dua tindak melewati pintu kamar, tiba-tiba didengarnya suara yang
menggelitik telinganya. Suara wanita yang terkikikkikik manja ditimpali oleh suara lelaki.
"Ih, sabar sedikit kenapa, Truna.... Bukankah
waktu kita masih panjang?"
"Ah, bagaimana mungkin aku sabar, Diajeng....
Sebentar lagi pagi. Tentunya adipati dungu itu bangun," sahut lelaki yang dipanggil Truna.
Darah Adipati Joyo Kerto seketika bagai mendidih, dan dadanya bergemuruh riuh. Sementara tangannya mengepal lalu meninju telapak tangan kirinya.
Wajahnya membara, terbakar amarah.
"Kunyuk! Dikasih hati ternyata bocah itu meminta jantung!" dengus Adipati Joyo Kerto.
Penguasa Kadipaten Tegal Arang itu benarbenar marah. Bagaimana tidak" Pemuda itu telah ditolongnya. Dari pemuda miskin tiada guna, kini menjadi pengawal pribadinya. Tapi
balasan pemuda itu sangat
menyakitkan. Bukan hanya dia disebut adipati dungu,
tetapi istrinya juga kini termakan rayuan gombal pemuda itu. Keduanya kini berada dalam satu kamar. Apalagi yang diperbuat dua lawan jenis dalam satu kamar tanpa pengawasan" Tentunya
mereka melakukan perbuatan yang tidak senonoh.
Dugaan Adipati Joyo Kerto memang benar. Di
dalam kamar yang terletak paling belakang, dua orang manusia dalam keadaan tanpa
busana tengah bercumbu. Pemuda berambut gondrong, bertubuh kurus
dengan ikat kepala hitam itu mencumbu istrinya yang
menggelinjang-gelinjang sambil tertawa manja.
"Truna! Sabar, Sayang.... Masa' kau ingin melakukan lagi" Bukankah kita tadi baru melakukannya,"
desis istri Adipati Joyo Kerto yang bernama Rana.
"Aku tak sabar, Diajeng.... Kau sangat menggiurkan, sehingga mampu membangkitkan kelelakian
ku," sahut Truna masih terus mencumbu wanita cantik yang matanya mengerjapngerjap laksana mata
seekor kelinci itu. Sedangkan bibirnya mendesis-desis, bagaikan kepedasan.
Keringat membanjir deras dari tubuh mereka
yang telanjang. Tapi hal itu tidak menjadikan penghalang bagi keduanya untuk
terus menikmati kemaksiatan itu. Keduanya terus bercumbu rayu, memacu nafsu. "Oh, Truna...!"
"Diajeng, uhhh...!" keluh Truna.
Tubuh pemuda itu mengejang. Matanya membeliak, merasakan kenikmatan yang tiada taranya.
Tangannya mencengkeram rambut Rana itu kuat-kuat.
Berusaha mencari pegangan ketika dirasakan tulangtulangnya bagaikan dilolosi dari tubuh.
Saat keduanya dalam puncak kenikmatan, tiba-tiba.... Brakkk! Pintu kamar itu hancur, ditendang oleh seseorang dari luar. Menjadikan Truna dan Rana yang tengah melayang di puncak kenikmatan tersentak. Belum
juga mereka tahu siapa yang telah mendobrak pintu
kamar, terdengar makian keras....
"Bangsat! Inikah balas budi kalian"! Manusiamanusia iblis! Kalian harus mati! Heaaa...!"
"Adipati...," desis Truna dengan mata membelalak tegang, menyaksikan Adipati
Joyo Kerto menggenggam golok besar sementara tubuhnya melesat hendak
menyerang mereka.
Wajah pemuda kurus yang agak pucat itu kian
bertambah pucat. Wajar saja wajahnya jadi begitu, karena kedudukannya memang
tidak menguntungkan.
Bisa saja tubuhnya berguling ke samping untuk mengelak. Tapi kalau hal itu dilakukan, Rana pasti akan menjadi korban.
"Celaka...!" pekik Truna dengan seluruh tubuh tegang tatkala sang Adipati
meluruk semakin bertambah dekat Golok di tangan Adipati Joyo Kerto siap
membelah tubuh. Tak ada pilihan lain baginya, kecuali menghindar.
"Heaaa...!"
Golok di tangan Adipati Joyo Kerto bergerak cepat, membabat ke arah tubuh Truna yang berada di
atas tubuh Rana. Pemuda itu dengan cepat menggulingkan tubuh ke samping kanan sebelum golok besar
itu sampai. Tanpa ampun, tubuh Rana-lah yang menjadi sasaran. Cras! "Aaakh...!"
Lengking kematian yang menyayat terdengar
dari mulut Rana. Tubuh sintal tanpa sehelai benang
itu seketika bermandikan darah.
"Diajeng,..!" pekik Adipati Joyo Kerto terkesiap.
Beberapa saat dia tertegun bagai patung baru. Matanya melotot ke arah tubuh istrinya yang menggelepar-gelepar sekarat dengan darah menyembur keluar,
hingga kasur itu seketika berubah menjadi merah.
Tubuh Rana terus menggelepar-gelepar sekarat
Dari mulutnya terdengar rintihan memelas.
"Maafkan aku, Kakang.... Maafkan aku! Oh...."
Kepala Rana tergolek lemas. Jiwanya melayang
seketika, meninggalkan raga yang tergolek tanpa gerak. "Diajeng...!" pekik Adipati Joyo Kerto sambil menubruk tubuh istrinya yang telah
mati. Lelaki berbadan besar dengan perut agak buncit itu menangis
sejadi-jadinya. Sedangkan pemuda bernama Truna
yang telah mengenakan pakaiannya kembali, tersenyum sinis penuh kemenangan.
*** Rupanya kejadian tersebut terdengar oleh para
pengawal kadipaten yang tengah berjaga. Beberapa
orang pengawal bergegas masuk untuk melihat apa
yang sebenarnya terjadi.
"Gusti, apa yang terjadi?" tanya seorang pengawal berbadan besar dengan otot
menonjol. Wajahnya
menampakkan kegarangan dan kasar. Tulang pipinya
menonjol. Matanya terbelalak memandang mayat istri
Adipati Joyo Kerto.
"Pengawal! Tangkap kunyuk itu...!" perintah sang Adipati sambil menunjuk ke arah
Truna yang tersenyum sinis.
Mendengar perintah atasannya, lima orang
pengawal kadipaten yang berada di tempat itu segera
maju untuk menangkap Truna. Namun dengan gesit
pemuda itu berkelit, kemudian melenting ke atas dan
tahu-tahu telah berada di luar kamar.
"Kejar dia! Bunuh...!" seru sang Adipati kalap.
Kelima pengawal itu kembali memburu. Tombak di tangan mereka kini siap berbicara. Namun pemuda bernama Truna itu sepertinya tidak gentar sedikit pun menghadapi kelima pengawal bersenjata. Senyum sinisnya masih mengembang, seolah mengejek
para pengejarnya.
"Percuma kalian menangkapku. Kalian hanya
akan membuang-buang nyawa"
Usai berkata demikian, dengan cepat Truna
mengibaskan tangan kanannya ke depan disertai tenaga dalam. "Terimalah ini, heaaat..!"
Kelima pengawal itu tersentak kaget, menyaksikan selarik pukulan dahsyat terlontar ke arah mere-ka. Mata kelima pengawal
itu melotot tegang, berusaha
mengelakkan pukulan itu. Tapi, pukulan yang dilontarkan secara tiba-tiba itu terlalu cepat untuk dihindari, sehingga....
Desss! "Aaa...!"
Jeritan kematian seketika terdengar. Dua orang
pengawal yang berada paling depan menggelepar. Dada
mereka hangus dengan lingkaran hitam. Tubuh keduanya mengejang sesaat, kemudian diam tanpa nyawa
dengan darah hitam meleleh dari hidung, telinga serta mulut. Tiga orang pengawal
yang masih hidup kini
hanya mematung. Nyali mereka seketika menciut, menyaksikan bagaimana kedua teman mereka mati secara mengerikan. "Ha ha ha...! Lihatlah, itu contoh bagi kalian!
Jika kalian berani coba-coba menangkapku, kalian
pun akan mengalami hal seperti itu!" ancam Truna.
"Jangan hiraukan ocehannya! Bunuh dia...!"
perintah Adipati Joyo Kerto. Nadanya penuh amarah.
Bahkan kini, dengan golok besarnya dia menerjang kalap. Melihat Adipati Joyo Kerto turut menyerang, ketiga pengawal yang semula telah ciut nyalinya kembali berani. Ketiganya segera
bantu menyerang. Tombak di
tangan mereka bergerak cepat, berusaha menusuk tubuh lawan. Diserang serentak begitu rupa, tidak menjadikan pemuda berwajah pucat itu gentar. Tubuhnya segera berkelit dari serangan itu. Bahkan dengan cepat tangannya menyambar salah
satu senjata lawan.
"Hea...!"
Prajurit yang tombaknya direbut tersentak. Dia
berusaha keras mempertahankan senjatanya. Akibatnya justru sangat parah. Pemuda itu menyentakkan
senjata lawan yang telah dipegangnya, sehingga tubuh lawan terpental ke atas.
Sedangkan kaki dan tangan
kirinya menendang dan memukul dua orang pengawal.
Gerakan tangan dan kaki kiri pemuda bermuka
pucat itu sangat cepat, hingga kedua penjaga yang il-mu silatnya memang jauh di
bawah pemuda itu tak
mampu mengelak. Tanpa ampun lagi, keduanya mengalami hal serupa dengan teman mereka. Tubuh keduanya mencelat ke belakang, lalu jatuh membentur
tembok dengan kepala pecah!
Betapa marahnya Adipati Joyo Kerto menyaksikan kelima prajuritnya dalam satu gebrakan saja dapat dibinasakan oleh pemuda yang semula dianggap
enteng. "Kuhancurkan tubuhmu, Iblis! Heaaa...!" bentak Adipati Joyo Kerto,
geram. Dengan kemarahan memuncak, Penguasa Kadipaten Tegal Arang itu membabatkan goloknya ke tubuh lawan. Golok itu berkelebat ganas, membuat Truna agak kaget. Tidak diduganya kalau adipati berbadan gemuk dan berperut buncit itu memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Malah
serangan yang dilancarkan
olehnya senantiasa mengarah pada titik kematian.
Hampir saja golok besar di tangan Adipati Joyo
Kerto membabat tubuh Truna, kalau pemuda itu tidak
segera melebarkan kakinya sambil merundukkan tubuh. Golok itu hanya mendesir di atas rambutnya.
"Hiaaat..!"
Setelah dapat mengelakkan sabetan golok lawan, dengan cepat Truna melancarkan jotosan ke perut lawan. Jotosan itu begitu keras, karena dibarengi tenaga dalam penuh.
Celakalah Adipati Joyo Kerto jika tidak segera menghindar dengan cepat. Ternyata
adi- pati bertubuh gemuk itu memang tidak berusaha
menghindar. Dia hanya menghempaskan napas untuk
mengerahkan tenaga dalam ke perutnya.
Buggg! Adipati Joyo Kerto menyeringai saat menerima
pukulan keras lawan. Sepertinya dia tidak merasakan
apa-apa. Justru pemuda berwajah pucat yang menyerangnya terlihat meringis kesakitan. Wajah pemuda itu semakin memucat.
Bagaimanapun juga pemuda itu
merasa tegang, menyaksikan lawan bagaikan tak merasakan pukulan 'Bara Neraka' yang dianggapnya dah

Pendekar Gila 2 Kumbang Hitam Dari Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

syat itu. Malah kini tangannya lengket dengan kulit perut sang Adipati.
Celaka...! Keluh Truna dalam hati. Ilmu apa
yang digunakannya.
Sementara, bibir Adipati Joyo Kerto kembali
menyeringai, menyaksikan lawannya semakin memucat "Iblis cabul, nyawa istriku harus kau tebus! Terimalah kematianmu. Heaaa...!"
Adipati Joyo Kerto mengangkat golok di tangannya tinggi-tinggi. Rupanya dia benar-benar tidak
ingin membuang waktu maupun memberi waktu bagi
pemuda itu untuk bertobat.
Golok besar di tangan sang Adipati terangkat
tinggi. Kemudian dengan cepat meluncur ke bawah,
siap membelah batok kepala pemuda itu. Namun tanpa diduga pemuda berwajah pucat yang telah menghancurkan rumah tangganya telah mendahului. Tangan kiri pemuda itu telah meraih sebuah senjata yang terselip di dalam
pakaiannya. Senjata berbentuk bun-dar seperti kipas dan berwarna hitam itu
disabetkan ke perut sang Adipati.
Cras! "Akh...! Kau..," pekik Adipati Joyo Kerto dengan mata melotot penuh kemarahan.
Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang seraya memegangi perutnya yang
menganga lebar. Darah tampak tersembur dari luka di
perutnya. "Ha ha ha....! Mampuslah kau, Adipati Dungu!
Heaaa...!"
Setelah tertawa terbahak-bahak melihat lawannya tak berdaya, Truna melemparkan benda bulat seperti kipas berwarna hitam ke arah sang Adipati. Ben-da itu berdesing memekakkan
telinga. Begitu cepat
benda itu melaju, membuat sang Adipati yang terluka
tidak mampu menangkis atau mengelakkannya. Tak
ampun lagi, senjata aneh milik Truna menghantam lehernya. Cras! "Aaa...!"
Lolongan kematian membahana di udara pagi
buta. Tubuh adipati malang itu terhuyung ke belakang. Kedua tangannya kini memegangi leher yang
mengucurkan darah. Nampaknya leher Adipati Joyo
Kerto terkoyak. Matanya membesar dan gigi-giginya
siding beradu, berusaha menahan rasa sakit yang tiada terkira. "Bangsat..! Licik..! Terkutuklah kau, Iblis!" maki Adipati Joyo Kerto tersendatsendat Tubuhnya masih
berusaha bertahan untuk tetap berdiri. Namun rupanya darah sudah banyak yang keluar, sehingga tubuh besar itu ambruk, menimbulkan suara bagai gempa. Truna kembali tergelak-gelak. Ditangkapnya
senjata hitam seperti kipas miliknya yang melayang
kembali padanya setelah memangsa leher Adipati Joyo
Kerto. Setelah memasukkan senjata itu ke balik baju,
pemuda berwajah pucat itu kembali tertawa sambil
mendekati mayat Rana.
"Memang seharusnya kau mati, Perempuan
Dungu! Kau tidak berarti bagiku."
Setelah memandangi tubuh bersimbah darah
itu, Truna kini melangkah ke arah mayat Adipati Joyo Kerto. Kakinya menendang
mayat bertubuh besar itu
hingga telentang. Lalu dengan congkak diludahinya.
"Cuhhh...!"
Usai melakukan semuanya, tiba-tiba pemuda
itu tertegun. Dia rupanya mengingat sesuatu.
"Hei, mengapa aku tidak mengingat Suci...?"
Tanpa pikir panjang lagi, dilangkahinya mayatmayat yang bergelimpangan itu. Tubuh Truna melesat
untuk mencari anak gadis Adipati Joyo Kerto yang
cantik. Yang senantiasa menggoda nafsunya untuk
menikmati kecantikan dan keperawanan si gadis.
Namun betapa gusarnya Truna setelah mengetahui kalau gadis itu telah pergi. Rupanya ketika semuanya terjadi, Suciati
melihatnya, dan secara diamdiam pergi dari sana.
"Bangsat! Bahaya kalau gadis itu dibiarkan
berkeliaran! Dia akan menceritakan pada orang apa
yang terjadi, bahkan pada kerajaan," gerutunya dengan sinar wajah khawatir.
Setelah mengobrak-abrik beberapa bagian
ruangan kadipaten, pemuda itu pun melesat meninggalkan tempat itu.
2 Seorang gadis cantik berbaju hijau dengan
rambut terurai nampak berlari dengan wajah ketakutan. Dia adalah Suciati, anak Adipati Joyo Kerto yang telah melihat bagaimana
ayahnya mati oleh pemuda
berparas pucat yang diangkat oleh sang Ayah sebagai
pengawal pribadinya. Sudah berkali-kali ayahnya dipe-ringati agar hati-hati
dengan pemuda itu. Tapi selalu saja ayahnya meremehkan peringatannya itu.
Suatu hari, ketika Suciati memergoki ibu tiri
nya tengah berbisik-bisik dengan pemuda itu, hatinya mengatakan kalau pemuda itu
bukan orang baik-baik.
Dan Suciati berusaha menyampaikan hal itu pada
ayahnya. "Ayah. Suci berharap Ayah hati-hati dengan
pemuda berwajah pucat itu," kata Suciati suatu ketika saat berdua dengan
ayahnya. "Memangnya kenapa, Anakku" Kulihat, pemuda itu baik," jawab ayahnya. "Janganlah berprasangka yang tidak-tidak, Anakku.
Berprasangka itu tidak
balk." "Tapi, Ayah...," Suciati hendak kembali berkata, tapi ayahnya menukas
dengan cepat. "Sudahlah, kau tak perlu khawatir."
Suciati tak dapat berkata lagi. Dia tidak berani
membantah kata-kata ayahnya. Dari kecil dia dididik
agar tidak membantah. Apalagi dia seorang gadis, yang harus mematuhi semua
aturan orang tuanya.
Jauh di lubuk hatinya, Suciati benar-benar cemas. Takut kalau-kalau pemuda berwajah pucat itu
menyimpan maksud yang buruk. Terlebih pemuda itu
sering dilihatnya bersama ibu tiri nya.
Apa sebenarnya yang terjadi antara Truna dengan ibu tiri ku" Nampaknya mereka merencanakan sesuatu. Bisik hati Suciati menduga-duga.
Dugaannya terbukti juga. Karena suatu malam,
ketika dia terbangun dari tidur, telinganya menangkap
suara tawa kecil di kamar samping. Tawa manja seorang wanita. Dan gadis itu sangat mengenali suara
wanita itu, yang tidak lain suara ibu tiri nya. Lalu suara lelaki itu adalah
suara Truna, pengawal pribadi
ayahnya. Heh, sedang apa mereka" Tanya Suciati dalam
hati malam itu. Rasa ingin tahunya menjadikan gadis
itu keluar perlahan-lahan dari kamar. Kemudian dengan mengendap-endap, gadis itu menuju ke kamar sebelah di mana suara itu terdengar.
Sesaat Suciati berhenti, dan mengawasi keadaan sekeliling. Setelah yakin tak ada orang yang melihat, gadis itu meneruskan
langkahnya. Dengan mengendap-endap didekatinya pintu kamar itu.
Uh, hampir ketahuan! Desis Suciati dalam hati
ketika melihat pintu kamar tidak tertutup rapat. Untung tubuhnya segera menyelinap ke tembok, hingga
kedua orang yang ada di dalam kamar tak melihatnya.
Perlahan Suciati menjulurkan kepala untuk
mengintip dari celah pintu. Matanya tiba-tiba melotot, dan darahnya pun
berdesir. Kemudian tubuhnya di-tenderkan ke tembok. Giginya bergemeretak keras,
be- rusaha menahan gejolak dadanya setelah menyaksikan
pemandangan tadi. Sebuah pemandangan yang cukup
membuat jantungnya berdetak kencang
Jagat Dewa Batara.... Terkutuklah kalian! Desis
Suciati dalam hati sambil berusaha menahan gelora
dalam dadanya. Bayangan dua tubuh polos saling
rengkuh itu, seakan tidak mampu dienyahkan dari pikirannya. Oh, tidak! Aku tidak boleh melihat terus! Bantah hati Suciati. Kemudian dengan tertatih lemas, ditinggalkannya tempat itu.
Pelan dibukanya pintu kamar lalu dikuncinya. Dengan lemas gadis itu terduduk
di tepi tempat tidur.
Rintihan-rintihan di kamar sebelah masih terdengar. Membuat tubuh gadis itu kian menggigil. Jiwanya melayang, entah ke mana. Bayangan dua sosok
polos yang saling berpacu masih melekat di benaknya.
Sulit sekali hal itu dienyahkan.
Gadis itu merebahkan diri. Kedua telinganya ditutupi dengan tangan agar tidak mendengar. Tapi tak
bisa, suara rintihan kenikmatan ibu tiri nya masih ju-ga terdengar.
Saat benak Suciati disesaki bayangan kejadian
yang menimpa keluarganya, terdengar suara tawa keras. Tawa itu langsung membuyarkan lamunannya.
Betapa kagetnya gadis itu ketika tahu kalau
tawa itu terlepas dari mulut Truna yang di belakangnya. Dengan segera Suciati lari meninggalkan tempat itu. Di wajahnya tergambar kecemasan dan ketakutan. Dia yakin, tentunya pemuda bermuka pucat itu
punya maksud tak baik.
Truna masih tertawa, seperti membiarkan gadis
berbaju hijau itu lari ketakutan. Lalu, tiba-tiba tubuhnya melompat laksana
terbang. Dalam sekejap telah
berada di depan gadis itu
"Mau lari ke mana, Cah Ayu...?" tanya Truna sambil bertolak pinggang. Kembali
tawanya terdengar, menjadikan Suciati semakin ketakutan.
"Tidak...! Jangan ganggu aku...!" jerit si gadis.
Gadis itu segera membalikkan tubuh untuk lari
meninggalkan tempat itu. Tapi langkahnya seketika
tertahan, manakala dirasakan ada yang menariknya
dari belakang. Ketika kepalanya menoleh, ternyata ikat pinggangnya dipegangi
oleh pemuda bermuka pucat
itu. "Ha ha ha...! Mau lari ke mana, Cah Ayu" Bukankah saat seperti ini yang kau tunggu?" seloroh Truna sambil tertawa-tawa.
Tangannya masih memegang erat pinggang si gadis.
"Lepaskan! Kurang ajar...!" sentak Suciati, berusaha melepaskan ikat pinggangnya
dari genggaman tangan pemuda itu. Namun rontaannya justru semakin
membuat pemuda itu senang.
"Jangan berpura-pura, Cah Ayu...," Truna
kembali tertawa. Kemudian ditariknya ikat pinggang
gadis itu, membuat tubuh Suciati tertarik ke arahnya.
Lalu dengan tergelak-gelak dipeluknya tubuh Suciati
penuh nafsu. "Lepaskan! Lepaskan aku...!"
Gadis itu meronta-ronta untuk melepaskan diri
dari pelukan Truna. Tapi rontaannya sebagai gadis biasa, tidak berarti sama
sekali bagi Truna. Meski bertubuh kurus, tapi pemuda itu memiliki tenaga dalam
hingga tetap sanggup menguasai Suciati.
"Mengapa malu-malu, Cah Ayu.... Bukankah di
sini tak ada siapa-siapa, selain kita berdua?"
Truna kembali tertawa terbahak-bahak. Kemudian tanpa mempedulikan rontaan Suciati, tubuhnya
segera melesat membawa gadis itu meninggalkan tempat tersebut "Lepaskan aku! Lepaskan...!" jerit Suciati sambil terus meronta untuk melepaskan
diri dari panggulan Truna. Tangannya memukuli punggung pemuda
itu yang masih saja tergelak-gelak sambil terus berlari.
"Nanti kau kulepaskan, setelah aku mendapatkan tubuhmu dan kegadisan mu.... Ha ha ha...!"
"Tidak! Aku tidak mau...!" jerit Suciati histeris.
Dengan sekuat tenaga dipukulinya punggung Truna.
Namun pukulannya bagai tidak berarti sama sekali.
Jangankan pukulannya yang sekadar mengandalkan
tenaga luar, pukulan pendekar pun masih sanggup ditahan pemuda itu.
"Nanti pun kau akan mau," sahut Truna meledek. Pemuda berwajah pucat itu terus
berlari sambil memanggul tubuh Suciati ke arah timur, menuju hutan yang
terbentang luas. Nampaknya Truna hendak
membawa Suciati ke sana, lalu menggagahinya di tempat itu. Pemuda itu berpikir kalau di hutan dia akan tenang. Tak akan ada orang
yang mengganggunya.
Mereka mulai memasuki pedalaman hutan
yang sepi. Pepohonan besar berdiri angkuh di sanasini, membuat sinar matahari sulit untuk menerobos
masuk. Keadaan yang teduh dan agak gelap itu membuat Truna semakin tergesa-gesa untuk melaksanakan
niat busuknya. Tanpa disadarinya, sepasang mata mengawasinya dari rerimbunan semak. Sepasang mata itu menyipit, melihat kepanikan seorang gadis di bahu pemuda kurus yang tertawa terbahak-bahak. Mulutnya
yang semula bersiul kini terhenti. Dan ketika jarak
Truna kian mendekat, pemilik sepasang mata itu melenting ke atas pohon.
"Manusia keparat! Apa yang hendak dia lakukan terhadap gadis itu?" gumam pemuda yang telah hinggap di sebuah dahan besar
sambil terus mengawasi. "Hm, dunia ini memang aneh. Baik, aku ingin tahu apa
yang hendak dilakukannya."
Pemuda itu segera menyelinap pada dahan
yang lebih rimbun. Matanya terus mengawasi pemuda
yang memanggul seorang gadis berbaju hijau. Sedangkan pemuda bermuka pucat itu mengenakan pakaian
berwarna hitam, dengan ikat kepala hitam pula.
Sekitar lima tombak dari pohon besar tempat
pengintai tadi bersembunyi, Truna menghentikan larinya, lalu segera menghempaskan tubuh Suciati yang
memandangnya dengan sinar mata ketakutan.
"Jangan...! Aku tidak mau...!" ratap gadis itu menghiba, ketika melihat pemuda
berwajah pucat itu
hendak membuka pakaiannya.


Pendekar Gila 2 Kumbang Hitam Dari Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau harus mau, Cah Ayu.... Sebab aku sangat
menginginkan mu. Kini, kau akan merasakan hal yang
kau lihat semalam," desis Truna seraya merenggut pakaian bagian atas Suciati
dengan kasar. Breeet! "Auh, tidak...!" pekik Suciati. Segera kedua tangannya menutupi bagian dadanya
yang tampak karena
bajunya terkoyak. Melihat hal itu, Truna semakin beringas. Mata jalangnya menggerayangi tubuh Suciati
seperti hendak menelannya bulat-bulat.
Dengan menggeram bagai seekor macan lapar,
Truna hendak menubruk tubuh Suciati. Namun tibatiba, terdengar suara tawa seseorang diselingi sebuah syair. "Ha ha ha.... Lucu!
Lucu sekali. Bagaikan macan kelaparan. Nafsumu laksana setan. Jika setan bersarang di dada, manusia pun akan buta. Ha ha ha...!"
Kemudian disusul oleh alunan suling yang
amat merdu, seakan ditiup dengan nurani yang bersih.
"Kurang ajar! Siapa kau..."!" bentak Truna marah karena merasa kesenangannya
terusik. "Kalau kau manusia, keluarlah...!"
Setelah mengedarkan pandangannya ke sekeliling, Truna segera menotok tubuh Suciati yang tak
akan dibiarkan lepas begitu saja.
Bukannya sesosok tubuh yang muncul sebagai
jawaban dari tantangan yang dilontarkan Truna, melainkan gelak tawa yang menggema terdengar. Suara
tawa yang mampu menggugurkan daun-daun pohon.
"Bangsat! Tunjukkan wujud mu! Hadapi aku...!"
kembali pemuda berwajah pucat itu berkoar menantang. Matanya memandang tajam ke atas pohon, berusaha mencari orang usil yang telah mengganggunya.
"Hi hi hi.... Lucu, kau seperti orang linglung,"
tiba-tiba terdengar tawa keras seorang lelaki.
Pemuda berwajah pucat itu membalikkan tubuh. Seketika keningnya berkerut menyaksikan tingkah laku seorang pemuda berusia di bawahnya. Pemuda itu tersenyum cengengesen. Sedang tangannya
menggaruk-garuk kepala, seperti orang bodoh dan gila.
Dia mengenakan rompi kulit ular dengan ikat kepala
yang juga terbuat dari kulit ular. Meski cengar-cengir bodoh, wajahnya tergolong
tampan dan bersih. Sedangkan jari-jari kaki kanannya menggaruk-garuk betis kaki kiri. Hampir saja Truna tertawa melihat tingkah pemuda itu, kalau saja dia tidak segera ingat pada cara datangnya yang begitu
tiba-tiba. Berarti pemuda gila ini bukan sembarangan, pikirnya. Lagi pula, dia
masih ada kepentingan lain dengan Suciati.
"Pemuda gila! Lekas pergi dari sini, sebelum ke-sabaranku hilang!" bentak Truna,
berusaha menahan tawa melihat tingkah lucu pemuda gila itu.
Pemuda yang persis orang gila itu adalah Sena
Manggala yang lebih dikenal oleh tokoh rimba persilatan dengan julukan Pendekar
Gila! Mendapat sambutan tak ramah dari orang di depannya, mulutnya melepas tawa nyaring. Tangan kanannya semakin cepat
menggaruk-garuk kepala. Sedangkan tangan kirinya
kini menepuk pantat berkali-kali.
"Lucu sekali.... Kau mengusirku, Kisanak" Padahal hutan ini bukan milikmu. Ah, dunia ini benarbenar gila! Mengapa kalian hendak berkencan di hutan?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Sebenarnya dia hanya berniat
menyindir, sebab dia tahu kalau gadis berbaju hijau yang kini duduk menyandar
di pohon nampak ketakutan. Berarti pemuda bermuka
pucat itu bukan pemuda baik-baik.
"Pemuda gila, apa urusanmu! Cepat pergi dari
sini, atau tanganku akan menghajarmu, hah"!" bentak Truna, gusar melihat tingkah
laku Sena. "Wah, memang bukan urusanku. Baiklah, aku
mau pergi," ujar Sena sambil menggaruk-garuk kepala dengan wajah yang masih
seperti orang bodoh yang
kurang waras. Kemudian setelah cengengesan dan tersenyumsenyum, Sena melangkah hendak meninggalkan tempat itu. "Tuan, tolonglah aku...!" jerit Suciati melihat pemuda aneh itu hendak
pergi. Langkah Sena terhenti. Kembali tangannya
menggaruk kepala yang tak gatal.
"Nona, mengapa kau minta tolong padaku" Bukankah lelaki bermuka mayat itu kekasihmu?" tanya Sena, sengaja memancing
kemarahan Truna.
"Pemuda gila, rupanya kau harus diajar adat,"
geram Truna, yang tak dapat lagi menahan kemarahannya setelah mendengar pemuda gila itu menyebutnya muka mayat
"Adat..?" Pendekar Gila mengerutkan kening.
"Ya, ya.... Memang kau harus diajar adat"
"Kurang ajar! Kau benar-benar harus dihajar!
Heaaa...!"
Truna segera membuka jurus. Tangannya direntangkan ke samping, bagai merentangkan sayap.
Kemudian diangkat ke atas, membentuk sebuah lingkaran di atas kepalanya. Jurus yang tengah dilakukan bernama 'Gagak Hitam
Mengepak Sayap'. Jurus itu
merupakan jurus pembuka dari sekian banyak jurus
yang dimiliki Truna. Meski begitu, itu bukan jurus
sembarangan. Karena menilik dari gerakan tangan
Truna yang keras dan cepat, tentunya jurus itu sangat berbahaya dan mematikan.
"Yeaaa...!" bentak Truna seraya melompat untuk memulai serangan.
Dengan masih cengengesan, Pendekar Gila menekuk lututnya agak ke bawah. Tangannya bergerak
ke atas kepala. Kemudian kaki kanannya melangkah
maju, dengan tangan kiri bergerak ke depan guna menangkis serangan lawannya.
"Heaaa...!"
Gerakan Pendekar Gila yang kelihatannya lambat, ternyata mampu mendahuluinya. Menjadikan
Truna tersentak kaget. Dia segera melompat ke belakang. Sena nyengir sambil menggaruk-garuk kepala,
membuat Truna semakin bertambah marah.
"Yeaaa...!" bentak Truna seraya menggerakkan tangan kirinya dengan keras dan
cepat Melihat hal ini, Pendekar Gila hanya menyongsong perlahan dengan tangan kirinya.
"Heaaa ..!" Gerakan Pendekar Gila yang kelihatannya lambat, ternyata mampu
menangkis serangan lawan dengan baik
"Kurang ajar! Kuremukkan batok kepalamu!
Yeaaa...!" bentak Truna dengan mata melotot
3 Dengan penuh amarah, Truna kembali menyerang. Tangannya bergerak cepat, memukul ke arah kepala Pendekar Gila. Meski tangan pemuda bermuka
pucat itu tidak besar, namun angin pukulannya terasa berdesir keras.
"Heaaa...!"
Wettt! Melihat serangan lawan yang cepat, Pendekar
Gila membelalakkan mata. Keningnya berkerut, kemudian dengan cengengesan ditariknya kaki kanan ke belakang. Sementara kaki kirinya digeser dan ditekuk
agak mendatar. "Uts...! Rupanya kepalaku masih licin, Sobat..!"
ledeknya sambil memutar kepala dengan menunduk,
mengelakkan serangan lawan. Kemudian dengan tubuh meliuk-liuk, Pendekar Gila maju selangkah sambil tangannya menepuk.
Plak! "Edan!" maki Truna dengan mata membelalak.
Tubuhnya melompat mundur untuk mengelakkan serangan lawan yang aneh dan sulit dipercaya. Gerakan
lawan kelihatannya lamban, namun hasilnya sangat di
luar dugaan. Kalau saja dia tidak melompat ke belakang, tentu dadanya sudah remuk.
"Heaaat..!"
Dengan melancarkan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat', Pendekar Gila kembali menyerang. Tubuhnya meliuk-liuk seperti menari, dengan sesekali
menepuk. Melihat gerakan lawan yang terlihat tak bertenaga, Truna kembali bergerak untuk memapaki serangan lawan. Namun, belum juga sampai, Pendekar Gila
tiba-tiba telah kembali menepuk ke arah dadanya. Hal itu membuat Truna segera
menarik serangannya kembali. Dia tak mau mengambil resiko.
"Gila...! Ilmu apakah yang digunakannya?" gumam Truna dengan mata membelalak
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil
menggaruk-garuk kepala. Kemudian kembali dia menyerang dengan jurus yang sama.
"Hi hi hi.,.. Yeaaa...!"
Truna yang sudah merasakan kedahsyatan jurus itu, segera bersalto ke udara. Tapi, baru saja kakinya hendak menjejak
tanah, lawan telah menyerangnya kembali. "Celaka...!" pekik Truna kaget. Mau tak mau, dia harus kembali bersalto, untuk
mengelakkan serangan lawan yang aneh itu.
"He he he...!" Sena terkekeh. Tangannya masih bergerak lemah gemulai. Tubuhnya
meliuk-liuk laksana menari. Kelihatannya sangat lemah dan lambat,
namun dengan gerakan seperti itu, ternyata Pendekar
Gila mampu mengejar lawan yang telah mengerahkan
segenap tenaganya.
"Pemuda gila! Katakan, siapa kau sebenarnya"!"
bentak Truna sambil terus mengelakkan seranganserangan aneh yang dilancarkan lawannya.
Pendekar Gila terkekeh. Tangannya menggaruk-garuk kepala tanpa berhenti menyerang. hal itu
menjadikan Truna semakin geram dan marah. Dia segera mengeluarkan jurus 'Gagak Hitam Mengepak
Sayap', berusaha menghancurkan serangan lawan.
Namun serangannya malah berantakan, ketika Pendekar Gila kembali meliuk dan menepuk.
"Jurus edan...!" maki Truna dengan wajah semakin pucat sambil berusaha mengelakkan serangan
lawan. "He he he...! Lucu sekali kau dengan keadaan seperti itu, Sobat! Wajahmu
pucat laksana mayat! Ma-tamu keluar laksana jengkol tua...! He he he...!"
Truna semakin bertambah marah mendengar
ledekan itu. Gigi-giginya bergemerutuk keras, dan matanya melotot. Kemudian
dengan mendengus, pemuda
berwajah pucat itu kembali mencoba menyerangnya
dengan jurus 'Gagak Hitam Mengepak Sayap' untuk
meredam jurus lawan.
"Heaaat..!"
Tangan Truna mengepak, dan sesekali mencakar ke arah lawan. Tapi serangan yang dilancarkan
dengan tenaga dalam penuh itu tak mampu juga memecahkan jurus Pendekar Gila. Bahkan serangan yang
dilancarkan oleh Truna yang berupa kepakan, cakaran, serta hantaman, bagai membentur batu karang
kokoh. "Edan! Benar-benar jurus edan...!" kembali Truna memaki-maki seorang
diri. Wajahnya kian memucat, setelah menyadari kalau lawannya bukan pemuda sembarangan. Namun Truna tidak mau mengalah begitu saja. Dengan mendengus, pemuda berwajah
pucat itu kembali menyerang.
"Kuhancurkan tubuhmu.... Heaaa...!"
"He he he... Kau begitu marah, Sobat" Ah, sesungguhnya berkelahi dalam keadaan marah sangat
berbahaya," celoteh Pendekar Gila sambil bergerak meliuk-liuk. Untuk mengelakkan
tamparan dan pukulan
tangan lawan. Truna benar-benar bernafsu untuk secepatnya
menjatuhkan lawan. Gerakan tangan dan kakinya semakin lama bertambah kencang. Tangannya seperti
sepasang sayap yang mengepak dan menghantam. Kedua kakinya tak tinggal diam, ikut menyapu dan menendang. Disusul dengan cengkeraman dan cakaran
keras yang mematikan.
"He he he...!" Pendekar Gila terkekeh, menyaksikan lawan terlihat semakin
bernafsu untuk mengalahkannya. Dengan tangan menggaruk-garuk kepala,
Pendekar Gila merubah jurusnya. Tubuhnya mendadak seperti orang mabuk. Itulah jurus 'Dewa Mabuk
Membelenggu Sukma'.
Melihat Pendekar Gila bagai tak memiliki tenaga sedikit pun, Truna semakin bernafsu untuk dapat
menjatuhkan lawan. Kemudian bersama pekikan
menggelegar, Truna mempercepat serangannya.
"Heaaat..!"
Dengan jurus 'Gagak Hitam Mencabik Bangkai'
Truna berkelebat. Tangannya yang mengejang, mencakar ganas ke muka dan dada lawan.
"Terimalah kematianmu, Pemuda Gila!"
Dengan tetap terhuyung-huyung, Pendekar Gila
segera menggeser tubuh ke samping. Tangannya menepis serangan lawan dengan lemas.
"Akh...!"
Truna tersentak. Ditariknya cakaran tadi. Kemudian kembali menyerang dengan cakaran tangan
yang lain. "Uts...!" Pendekar Gila merundukkan kepala, membuat cakaran lawan melesat di
atas tubuhnya, la-lu menghunjam pohon.
Crab! Pendekar Gila dengan gerakan aneh, menampar
perut lawan dengan punggung tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya, memukul dada lawan sambil
mendorong. Degk! Bettt! "Uhk...!" keluh Truna tertahan. Tubuhnya langsung terlontar ke belakang.
Beruntung pukulan yang
dilancarkan Pendekar Gila tidak seberapa keras, hing-ga dia tidak mengalami luka
dalam yang berarti.
Pendekar Gila tertawa dengan tangan menggaruk-garuk kepala, membuat Truna semakin marah.
"Bedebah...! Aku akan mengadu nyawa denganmu, Gila! Heaaa...!"
Dengan kemarahan yang meluap-luap, Truna
kembali melakukan serangan. Bahkan kini dia menjadi
nekat, sehingga serangan-serangannya membabi buta


Pendekar Gila 2 Kumbang Hitam Dari Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"He he he...!" Pendekar Gila terkekeh. Sementara itu, Suciati yang masih dalam
keadaan tertotok
memandangi kedua pemuda itu dengan harap-harap
cemas. Meskipun belum mengetahui siapa pemuda
bertingkah gila itu, dia berharap agar Pendekar Gila dapat memenangkan
pertarungan itu. Namun dilihat
dari sikapnya, pemuda tampan berompi kulit ular sanca itu adalah pemuda baik-baik
"Hyang Widhi, semoga pendekar itu dapat mengalahkan lelaki yang membunuh ayahku," bisik Suciati dengan mata masih memandang
pada pertarungan itu.
"Celaka! Edan...! Benar-benar jurus edan!" rutuk Truna dengan wajah tegang. Dia
sungguh tidak menyangka kalau serangannya akan hancur begitu
rupa. Padahal lawan sepertinya mabuk
"He he he...!" Pendekar Gila kembali terkekeh, lalu dengan gaya orang mabuk dia
kembali menyerang.
"Uts...!"
Truna segera bersalto, berusaha mengelakkan
tamparan tangan Pendekar Gila. Wajahnya kini bertambah tegang, malah hampir seputih kapas.
Suciati yang melihat pemuda berwajah pucat
itu terdesak, kini tanpa sadar tersenyum. Entah mengapa, dia begitu mengharapkan pemuda gila itu memenangkan pertarungan.
"Oh, Jagat Dewa Batara! Semoga kau mengabulkan doa ku," desis Suciati penuh harap. Senyumnya semakin mengembang, saat
menyaksikan pemuda
gila itu terus mendesak lawan. Membuat Truna semakin mundur dan mundur.
Pendekar Gila semakin mendesak lawan, hingga keduanya jauh meninggalkan hutan. Kini mereka
berada di alam terbuka ketika tiba-tiba terdengar sua-ra orang berseru,
"Tunggu...!"
*** Pendekar Gila menghentikan serangan lalu melompat dua tombak ke belakang. Matanya memandang
ke arah timur, di mana terlihat empat lelaki tua berlari menuju ke arahnya. Dan
setelah dekat keempat lelaki
tua itu segera menjura hormat
"Terimalah salam hormat kami, Kisanak," kata keempat lelaki tua itu berbareng.
Sena menggaruk-garuk kepala. Dia tak mengerti mengapa keempat lelaki tua itu menyampaikan hormat padanya. "Ah, mengapa Kisanak semua berbuat begitu"
Seharusnya, aku yang melakukan hal tersebut. Karena
menurutku, kalianlah yang patut dihormati."
"Ah, tidak begitu, Kisanak Kamilah yang harus
memberi hormat padamu," tutur lelaki tua bertubuh sedang dengan otot menonjol,
yang mengenakan rompi
coklat tua. Seperti warna ikat kepalanya, rambutnya
ikal tidak terlalu gondrong
Wajah lelaki itu begitu tenang, meski cambang
bauk menghiasi. Alis matanya tebal dan lebat Matanya tajam, namun tak garang.
Malah nampaknya sangat
ramah. Lelaki itu bernama Ki Wirapati, Ketua Padepokan Cakra Geni.
Di sampingnya berdiri seorang lelaki yang
mungkin seusia Ki Wirapati. Rambutnya agak putih
serta panjang terurai. Ikat kepalanya kuning dengan
lukisan kepala macan. Hidungnya mancung dan matanya agak sipit. Tak ada kumis, hanya jenggot tebal.
Sedangkan baju yang dikenakannya rompi seperti loreng macan. Dialah Ki Panca Loreng, Ketua Perguruan
Macan Loreng. Salah satu perguruan besar di wilayah
tengah. Di sisi Ki Panca Loreng, berdiri seorang lelaki berpakaian warna putih
yang aneh. Keanehan itu terletak pada lengannya yang buntung. Sedangkan jarijari lengan kanannya, bukan jari-jari biasa. Tapi terbuat dari logam. Rambutnya
putih terurai dengan ikat kepala dari akar pohon. Wajahnya agak murung melukiskan keprihatinan. Entah apa yang menjadi beban
pikirannya. Lelaki tua itu bernama Ki Yaksa Asti, Ketua Perguruan Cakar Sewu.
Dan seorang lagi adalah lelaki bertubuh tinggi
besar dengan sorot mata tajam. Rambutnya digelung
ke atas. Pakaiannya mirip seorang resi. Di tangannya tergenggam senjata berupa
tombak bermata dua yang
panjangnya se lengan. Hidungnya besar, sedangkan
mulutnya tertutup oleh kumis yang lebat Dialah Ki
Tunggal Manik dari Perguruan Teratai Putih.
Setelah memandangi satu persatu keempat lelaki tua yang masih tersenyum ramah ke arahnya, Sena mengaruk-garuk kepala sambil cengengesan
"Ah ah ah.... Kenapa harus begini?" tanyanya masih menggaruk-garuk kepala. "Ah,
antara kita belum saling mengenal. Mengapa kalian menghormatiku
yang gila ini?"
Tanpa menghilangkan rasa hormat, keempat lelaki tua itu memperkenalkan nama dan dari mana asal
mereka sebenarnya satu persatu.
Kepala Sena mengangguk-angguk. Sementara
tangannya masih menggaruk-garuk kepala. Di bibirnya
tersungging senyum yang terlihat aneh. Kini mulai diketahui, siapa mereka
sebenarnya. Rupanya keempat
lelaki tua itu adalah orang-orang nomor satu di perguruan masing-masing. Nama
mereka memang pernah
didengarnya. "Hm...," gumam Sena perlahan. "Tak pantas rasanya aku menerima hormat kalian.
Bukankah kalian
lebih tua dariku dan memiliki nama besar yang patut
dihormati pula?"
"Kami yakin tak keliru," sahut Ki Wirapati.
"Benar," sambung Ki Yaksa Asti. "Kami yakin, kaulah Pendekar Gila dari Gua
Setan." "Ah, rupanya pandanganmu tajam juga, Ki,"
gumam Sena sungkan, sambil tetap cengengesan dan
menggaruk-garuk kepala. "Tak dapat aku menutup diri lagi dari pandangan kalian."
"Kami berharap, Kau sudi menerima hormat
kami...!" ujar keempat lelaki tua itu, seraya menjura hormat "Ah..., ah! Kalian
jangan berlebihan terha-dapku. Sekarang katakanlah, mengapa kalian menghentikan pertarungan kami?" tanya Sena tegas.
"Maafkan kalau kami lancang. Sesungguhnya
kami ada urusan juga dengan bocah...," tiba-tiba Ki Wirapati menghentikan
ucapannya. Matanya memandang ke tempat Truna tadi berada. "Celaka, dia telah pergi...!"
4 Semua mata seketika mengikuti pandangan Ki
Wirapati. Mata mereka terbelalak lebar, karena pemuda berwajah pucat itu telah berkelebat pergi ketika mereka tengah berbicara.
"Kita harus mendapatkannya!" kata Ki Tunggal Manik. "Sebenarnya, ada urusan apa
antara kalian dengan pemuda itu...?" tanya Sena ingin tahu.
Dengan cepat dan singkat, Ki Panca Loreng
menceritakan mengapa mereka hendak menangkap
sekaligus membunuh pemuda berwajah pucat itu. Pemuda yang dikenal dengan nama Anjasmara, Widura,
Rupasa, Kulana, dan kini bernama Truna itu sesungguhnya pemuda hidung belang. Dia telah banyak
membuat keresahan. Suka mengganggu istri orang dan
gadis-gadis. Bahkan anak-anak mereka mati setelah
diperkosa oleh pemuda itu.
"Begitulah ceritanya....." ucap Ki Panca Loreng, mengakhiri ceritanya.
"Heh, mengapa kalian tak bilang dari tadi?"
sentak Sena. Keempat lelaki tua itu tak menjawab. Mereka
hanya menundukkan kepala.
"Kalau begitu, kita kejar dia! Aku yakin, dia
kembali ke hutan. Ayo, jangan sampai kita terlambat,"
ajak Sena. Kemudian, kelima orang ini segera melesat meninggalkan tempat itu untuk mengejar pemuda berwajah pucat yang menjadi buronan keempat lelaki tua
tersebut Apa yang diduga oleh Sena ternyata benar. Pemuda berwajah pucat yang memiliki banyak nama itu
tengah berlari ke arah hutan di mana Suciati berada.
Di bibirnya tersungging senyum, seakan puas dapat
lepas dari kelima orang yang tentunya akan membuatnya semakin repot.
"Huh, untung mereka tidak langsung menyerangku. Hm, ada gunanya juga pemuda gila itu..," gumamnya sambil tersenyumsenyum. "Tapi aku tidak habis pikir, siapakah pemuda gila itu" Ki Wirapati dan
lainnya menyebut Pendekar Gila. Ah, mungkinkah
pendekar yang hidup pada puluhan tahun silam muncul lagi...?"
Truna terus memikirkan siapa sesungguhnya
pemuda berompi kulit ular yang seperti orang gila itu.
Dia terus mempercepat langkahnya agar segera sampai
di tempat Suciati berada.
"Dilihat dari gerakannya, memang persis dengan cerita orang-orang tua tentang Pendekar Gila.
Hm...," gumamnya kembali dengan hati yang dipadati rasa penasaran. "Kalau benar
dia Pendekar Gila, celakalah aku! Rimba persilatan akan semakin bersih dari
orang-orang sepertiku. Ah, persetan dengan dia! Yang penting aku harus
mendapatkan Suci. Gadis itu sangat menggiurkan!"
Truna kembali tersenyum, ketika melihat Suciati masih berada di tempatnya dalam keadaan tertotok. Mata gadis itu membelalak ketakutan, manakala
melihat kemunculannya.
"He he he.... Kita akan senang-senang, Manis!
Tak ada lagi yang akan mengganggu," kata Truna sambil melangkah mendekati tubuh Suciati yang semakin
ketakutan. Dengan cepat digendongnya tubuh gadis itu di
pundak. Pemuda berwajah pucat ini hendak meninggalkan tempat itu, tapi tiba-tiba terdengar suara gelak tawa memenuhi hutan.
"Ha ha ha...!"
Truna terkejut. Matanya menyapu ke sekelilingnya, mencari asal suara tawa itu.
"Pemuda gila itu...," desisnya kelu. Nampak raut keterkejutan tergambar di
wajahnya. Sehingga
wajahnya yang pucat semakin pucat pasi.
Tawa itu masih menggema, seakan-akan berada di setiap penjuru hutan. Truna menjadi semakin
kebingungan, ketika suara itu berubah-ubah arah.
Terkadang di depan, di belakang, kemudian di sampingnya. Pemuda berwajah pucat itu perlahan menurunkan tubuh gadis yang tak berdaya dalam totokannya.
Dia berdiri mematung, dengan mata menyapu ke sekeliling dengan wajah tegang.
"Ha ha ha...! Kau lucu sekali, Sobat! Tadi kulihat kau tersenyum-senyum. Mengapa
kini kau seperti
tikus ketakutan?"
Marah sekali Truna diejek seperti itu. Selama
malang-melintang di rimba persilatan, dia belum pernah takut "Pemuda gila! Kalau kau memang lelaki, keluarlah! Tunjukkan mukamu! Aku Truna tak pernah takut
pada siapa pun!"
"Benarkah...?"
Tiba-tiba pemuda gila itu telah di belakangnya.
Tingkahnya masih tetap seperti tadi, cengengesan
sambil garuk-garuk kepala.
Truna terkejut, dan matanya melotot tegang ketika mendengar suara pemuda gila itu di belakangnya.
Segera tubuhnya diputar.
"Kau.."!" desis Truna, geram.
"Ya, aku...," sahut Sena tegas. Namun tingkah lakunya masih tetap seperti
semula. Bahkan pemuda
gila itu kini tertawa terbahak-bahak. Hingga suaranya menggema dalam sepinya
hutan. "Kenapa kau ikut campur urusanku?" tanya
Truna berusaha menutupi kesalahannya.
"Kenapa..." Ha ha ha.... Kau lucu sekali, Sobat.
Bukankah tadi kau yang menyuruhku untuk keluar
dari persembunyian ku" Itu berarti kau meminta ku
untuk ikut campur urusanmu," kata Sena dengan niat meledek.
Belum juga mulut pemuda berwajah pucat itu
sempat menanggapi ledekan Sena, tiba-tiba dari arah
timur terdengar seruan seseorang.
"Kisanak, biarlah pemuda berandal itu kami
urus. Dia harus bertanggung jawab kepada kami atas
perbuatannya!"
Tidak lama kemudian, muncullah empat orang
lelaki tua yang terdiri dari empat pemimpin perguruan berbeda.
Truna tersenyum melihat kedatangan empat lelaki tua itu untuk menyembunyikan ketakutannya.
Malah dengan berpura-pura ramah, mulutnya melepas
basa-basi. "Ah, sungguh kehormatan bagiku karena kalian
sebagai orang penting rimba persilatan sudi menemuiku." "Tutup mulutmu, Iblis! Kami datang bukan untuk mempercayai kata-katamu yang
busuk!" dengus Ki Wirapati kesal.
"Ya! Kami datang bukan untuk mempercayaimu
lagi. Tap kami datang untuk menghukum mu!" tambah Ki Yaksa Asti dengan mata
tajam menghunjam ke arah
pemuda berwajah pucat yang masih tampak tenang.
"Apa salahku, hingga kalian hendak menghukumku?" tanya Truna kalem. Seakan dirinya benar-benar tak berdosa. Hal itu
membuat keempat orang
tua itu mendengus gusar.
"Bedebah! Masih juga kau menyembunyikan
muka di balik kedok bututmu, Bocah! Bukankah gadis
itu sebagai bukti siapa kau sebenarnya, hah"!" bentak Ki Panca Loreng.
"Ya, ikutlah kami untuk dihukum! Atau kau
harus berhadapan dengan kami"!" ancam Ki Tunggal Manik. Truna bagaikan tak
gentar menghadapi keempat orang tua itu. Mulutnya malah mengumbar tawa,
membuat keempat orang tua yang hendak menangkapnya mengerutkan kening dan saling pandang. Mereka seperti terkesima. Dan tanpa mereka sadari, tawa yang dilepaskan pemuda
berwajah pucat itu mengan-dung ilmu tawa 'Pengikat Sukma'. Suatu ilmu yang
mampu membuat orang terkesima jika mendengarnya.
Pendekar Gila mengerutkan kening, menyaksi

Pendekar Gila 2 Kumbang Hitam Dari Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kan keempat tokoh tua itu hanya saling pandang kebingungan. Dia hampir tak habis pikir, mengapa semuanya terkesima oleh tawa Pemuda berwajah pucat
itu" Karena lucu, tangan kanannya menggaruk-garuk
kepala serta tangan kirinya menepuk-nepuk pantat seraya tergelak-gelak.
"Ha ha ha...! Lucu..., lucu...!" oceh Pendekar Gi-la, diselingi tawa mengguntur
yang mampu membuyarkan serangan ilmu tawa Truna.
Keempat lelaki tua itu tersentak, bagai baru
tersadar dari mimpi. Mata mereka langsung membelalak. Kemarahan mereka pun semakin menjadi-jadi.
"Kurang ajar! Tangkap dia...!" seru Ki Wirapati.
*** Pendekar Gila yang merasa tak ada urusan
dengan pemuda berwajah pucat itu lagi, segera melompat ke arah Suciati. Dibukanya totokan pada tubuh gadis itu. Kemudian
diajaknya menjauh dari arena per-tempuran antara empat tokoh tua dengan pemuda
itu. Pertarungan antara keempat orang tua gagah
yang berusaha menangkap pemuda berwajah pucat itu
mulai berlangsung sengit. Keempat tokoh tua yang sudah tahu bagaimana ilmu pemuda itu, tanpa sungkansungkan mengeroyoknya.
Urusan mereka sama. Karena mereka telah diperdayai oleh pemuda itu. Anak dan murid wanita
keempat tokoh tua itu telah menjadi korban rayuan
gombal si pemuda. Pantaslah jika mereka bergabung
untuk menuntut balas.
"Kau harus mampus, Buaya Darat! Heaaat..!"
Ki Wirapati membuka serangan dengan jurus
'Seribu Guntur'nya yang dahsyat. Kepalan tangannya
membara. Setiap dia memukul, deru angin panas laksana guntur bersahutan.
"Hm.... Percuma kau melawanku!" ujar Truna, meremehkan lawannya.
"Bangsat rendah! Jangan sombong! Heaaa...!"
Ki Wirapati terus melancarkan serangan. Tangannya bergerak cepat Terkadang memukul, kemudian
menangkis. Suatu gerakan yang hebat, cepat dan berbahaya. Namun ucapan pemuda itu terkadang memang tidak kosong. Dengan tenang dia menanggapi serangan lawan. "Hiaaat..!"
"Hup...!"
Sambil menekuk kedua kakinya sedemikian
rupa, Truna melebarkan kakinya ke samping. Kemudian dengan cepat kaki kanannya diangkat, lalu menendang. Sedangkan tangannya menepak untuk menepis pukulan lawan.
Plak! "Uhhh...!"
Cepat-cepat Ki Wirapati membuang tubuh ke
samping. Kalau tidak, tentu iganya akan patah terkena tendangan lawan yang keras
dan mematikan. "Sudah kukatakan, percuma kalian melawanku...," ejek pemuda berwajah pucat itu sambil tersenyum sinis.
"Sombong! Jangan pongah dulu, Buaya Darat!
Terimalah kematianmu! Heaaat.."
Kini Ki Yaksa Asti yang menyerang. Tangan kanannya yang terbuat dari logam bergerak cepat, mencakar ke arah lawan. Gerakannya sangat cepat, sehingga tangannya tampak banyak sekali. Karena itulah dia berjuluk si Cakar
Seribu. Truna tersenyum pongah. Dengan tenang serangan lawan dielakkannya. Tubuhnya bergerak lincah, meliuk, dan melentur menghindari. Dengan
menggunakan jurus 'Gagak Merunduk Mengelak
Elang', pemuda berwajah pucat itu terus berkelit dari cakaran lawan.
"Hiaaat..!"
"Uts...! Masih belum, Ki"!" ejeknya.
Kepongahan pemuda berwajah pucat itu semakin menjadi-jadi, membuat muka Ki Yaksa Asti merah
padam. Matanya semakin melotot lebar. Dia kemudian
meningkatkan serangannya. Tangannya bergerak lincah, mencakar ke samping, ke atas, lalu ke bawah.
Kalau saja Truna tak gesit dan lincah dalam
mengelak, sudah pasti tubuhnya akan hancur tercabik-cabik cakar lawan. Namun pemuda berwajah pucat
itu bagai telah tahu jurus-jurus lawan, dengan enteng dia mengelitkan seranganserangan lawan.
"Percuma kau mengeluarkan jurus 'Cakar Langit'mu, Ki!" ejek Truna ketus, membuat Ki Yaksa Asti terkejut karena jurusnya
telah dikenali lawan
"Dari mana kau tahu nama jurusku, Buaya Darat!" bentak Ki Yaksa Asti.
"Kau lupa kalau dua tahun aku berada di perguruanmu," ujar Truna setelah tertawa tergelak-gelak,
"Bangsat..! Heaaa!"
Ki Yaksa Asti kembali melancarkan serangan.
Kini tak dipedulikannya ocehan pemuda berwajah pucat itu. Dia harus bisa menjatuhkan pemuda itu dan
membunuhnya bila perlu.
Namun Truna ternyata benar-benar telah tahu
semua jurusnya. Hingga dengan mudah pemuda berwajah pucat itu mampu mengatasi serangannya. Bahkan tanpa diduga Ki Yaksa Asti, dia mampu mengeluarkan suatu jurus gabungan yang dahsyat Jurus 'Cakar
Seribu' digabung dengan jurus dari Padepokan Cakar
Sewu. "Celaka...!" pekik Ki Yaksa Asti dengan mata melotot kaget. Bukan hanya
dia, Ki Wirapati pun terkejut menyaksikan bagaimana pemuda berwajah pucat
itu menggabungkan jurus padepokannya dengan jurus
Perguruan Cakar Sewu.
"Kurang ajar! Licik...!" rutuk Ki. Wirapati.
"Lebih baik kita serang dia bersama-sama! Kurasa dia pun telah menyerap jurus-jurus milik kita,"
saran Ki Tunggal Manik.
"Baiklah! Kita memang tak perlu malu!" sahut Ki Panca Loreng setuju. Kemudian
mereka langsung
menyerang Truna bersama-sama.
"Heaaa...!"
Meski dikeroyok oleh empat orang tokoh silat
berilmu tinggi, pemuda berwajah pucat itu masih tenang. Dia masih mencibirkan bibirnya sambil meladeni serangan-serangan lawan.
Meski kelihatannya pemuda
itu agak kerepotan mengelakkan serangan keempat
lawan, namun wajahnya tak sedikit pun tergambar rasa takut "Rupanya kalian telah menjadi orang pengecut!"
dengusnya penuh kesinisan. Sedangkan tangan dan
kakinya bergerak menyerang atau menangkis serangan
lawan. "Persetan dengan ucapanmu! kau harus segera kami singkirkan dari dunia,
agar gadis-gadis aman!"
dengus Ki Panca Loreng sengit. Tangannya yang bergerak seperti tangan macan, terus berusaha merangsek
lawan. "Heaaat..!"
"Uts...! Hiyaaa...!"
Pertarungan keempat orang tua melawan seorang pemuda yang berwajah pucat itu berlangsung seru. Keempat orang tua itu berusaha secepatnya untuk
merobohkan lawan. Jurus-jurus mereka bergantian
menyerang. Hal itu cukup merepotkan Truna yang kini
hanya mampu bertahan.
"Heaaat..!"
"Hup...! Heaaa...!"
Pertarungan itu masih terus berlangsung. Tak
ada kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Semua
hanya terpusat pada pertarungan itu. Keempat orang
tua yang terus menyerang, tak mau menganggap enteng pemuda berwajah pucat yang telah menyerap ilmu
perguruan mereka. Sedangkan Truna pun tidak mau
mati konyol begitu saja. Dia terus saja mengelakkan
serangan lawan-lawannya.
Tanpa terasa pertarungan itu terus bergeser
dari tempat semula. Kini keempat lelaki tua itu terus menggiring Truna keluar
dari hutan. Sementara Sena dan Suciati hanya menonton.
Mereka tak dapat berbuat apa-apa, kecuali mengikuti
pertarungan antara pemuda berwajah pucat melawan
keempat tokoh tua.
"Kita ikuti mereka, Nona," ajak Sena. Suciati sesaat menatap wajah Sena dalamdalam, membuat bibir pemuda tampan itu tersenyum-senyum dengan
tangan menggaruk-garuk kepala. Tingkahnya yang
persis orang gila datang lagi, setelah hilang beberapa saat "Terima kasih atas
pertolonganmu, Tuan Pendekar," kata gadis itu dengan rasa haru, semakin membuat
Sena kebingungan. Terlebih ketika melihat
air matanya mengalir membasahi pipi. "Kalau saja tak ada Tuan, entah sudah
bagaimana nasibku."
"Ah, mengapa begitu?" ujar Sena setelah tertawa cekikikan. Tangannya masih
menggaruk-garuk kepala. Suciati tak langsung menjawab. Kembali ditatapnya wajah Sena, meski telah melihat tingkah laku
pemuda itu sejak awal, namun gadis itu belum yakin
kalau pemuda tampan dan gagah itu benar-benar gila.
Itu sebabnya dia beberapa kali menatap wajah Sena,
seakan-akan ingin meyakinkan hatinya. Setelah yakin
kalau pemuda tampan itu memang tidak sungguhsungguh gila, barulah dia berkata,
"Jika tidak, tentunya pemuda itu sudah memperkosaku."
Tanpa diminta, Suciati menceritakan hal yang
telah menimpa dirinya. Ayahnya, Adipati di Tegal
Arang telah mati di tangan Truna, ketika dia memergo-ki pemuda berwajah pucat
itu tengah bergumul dengan ibu tiri nya. Setelah kematian ayahnya, pemuda
itu hendak memperkosanya.
"Untunglah Tuan Pendekar datang.... Kalau tidak, entah bagaimana nasibku," ulang Suciati dengan terisak. "Ah ah ah, jangan
menangis, Nona.... Hu hu hu.... Aku jadi sedih," Sena turut menangis. Hatinya
terenyuh mendengar penuturan Suciati. Tapi tiba-tiba dia tergerak sambil
bergumam lirih. "Oh, persoalan kehidupan memang tak akan ada habisnya. Sudahlah,
Nona. Tak perlu ditangisi apa yang telah terjadi. Ayo-lah, kita lihat apa yang
tengah terjadi."
Kemudian Sena menggandeng tangan Suciati
meninggalkan tempat itu untuk melihat apa yang terjadi pada keempat pendekar tua yang tengah mengeroyok pemuda berwajah pucat
Pertarungan ternyata masih berlangsung sengit
dan telah sampai di bibir sebuah jurang dalam yang
menganga. Siap memangsa siapa saja yang terperosok
ke dalamnya. Kelihatannya pemuda berwajah pucat sudah
tak dapat berbuat banyak. Wajahnya bersimbah darah
seperti ada bekas cakaran. Entah itu hasil serangan Ki Yaksa Asti atau Ki Panca
Loreng. Pemuda berwajah pucat itu benar-benar terdesak. Pandangan matanya gelap karena tertutup darah.
Hingga ketika Ki Wirapati dengan pukulan 'Seribu
Guntur'nya menyerang, pemuda itu tak dapat mengelak lagi. "Terimalah kematianmu. Heaaa...!"
Degk! "Uhk...! Wuaaa...!"
Darah langsung tersembur dari mulut pemuda
itu, kemudian tubuhnya yang limbung terjerumus ke
jurang disertai lengkingannya yang menyayat
Keempat orang tua itu tertegun, memandang ke
bawah jurang yang sangat dalam. Mereka menghela
napas lega, merasa biang keladi yang telah banyak
memangsa gadis-gadis telah dapat dibinasakan.
Sena tertawa terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala, membuat keempat lelaki tua itu tersentak. Mereka segera
mengalihkan pandangan ke
arah Pendekar Gila yang berdiri di sisi Suciati.
"Kisanak, kalau kau tak keberatan, kami ingin
mengajak mu ke padepokan kami," kata Ki Wirapati setengah mengajak.
"Ah, sebuah kehormatan bagiku. Baiklah, Ki....
Sekalian aku ingin menimba lebih banyak pelajaran
hidup darimu," jawab Sena. "Oh, ya. Gadis ini adalah putri Kanjeng Adipati...."
"Putri Kanjeng Adipati..."!" ucap empat tokoh tua itu hampir berbareng.
Mata mereka membelalak setelah mendengar
penuturan Sena. Keempatnya seketika memandang ke
arah Suciati dengan seksama. Kemudian serentak mereka menjura hormat.
"Ampuni kami yang tak tahu adat ini, Kanjeng
Putri!" "Tak apa, Paman. Aku kini bukan anak Kanjeng Adipati lagi. Ayahanda
telah tiada," tutur Suciati sambil berlinang air mata, membuat kelima orang
lelaki itu turut terhanyut dalam kesedihannya.
"Kanjeng Putri, kalau kami boleh tahu... apa
yang sebenarnya telah terjadi?" tanya Ki Wirapati.
"Hamba lihat, tadi Kanjeng Putri bersama pemuda iblis itu." Dengan terisak,
Suciati menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Diceritakan awal mula kejadian
yang akhirnya menimpa keluarganya. Mulanya datang
seorang pemuda berwajah pucat yang mengaku bernama Truna ke kadipaten untuk mencari pekerjaan.
"Dari pertama aku sudah tidak simpati padanya. Sorot matanya sangat jalang dan memendam
nafsu. Namun ayahanda tak mau percaya...," tutur Suciati. Kelimanya diam. Tak
ada yang buka suara. Se-na masih menggaruk-garuk kepala. Namun mukanya
tidak cengengesan seperti biasa. Pemuda itu seperti turut terbawa alur cerita
yang dituturkan Suciati.
Setelah sesat menarik napas panjang dan dalam, Suciati meneruskan.
"Sering aku memergoki pemuda itu bercakapcakap dengan ibu tiri ku. Aku semakin curiga. Hingga pada akhirnya kulihat
sendiri apa yang mereka lakukan. Sungguh terkutuk perbuatan mereka!"
Sampai di sini, mimik muka Suciati nampak
geram. Sedangkan sepasang matanya berkilat-kilat
menahan amarah.
"Saat itu, sebagai seorang gadis aku tak tahu
harus berbuat apa melihat perbuatan terkutuk itu.


Pendekar Gila 2 Kumbang Hitam Dari Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku hanya bisa memendam kejengkelan. Rupanya
ayah terjaga ketika hari menjelang pagi. Dan ayah
memergoki mereka, hingga terjadi pertarungan antara ayah dan pemuda itu...."
"Kami turut berduka cita," ucap keempat lelaki tua dengan suara penuh keharuan.
Apalagi mereka kini mendengar isak tangis Suciati yang semakin menjadi-jadi. "Lalu, apa yang hendak Tuan Putri lakukan?"
tanya Ki Panca Loreng memberanikan diri untuk buka
mulut Suciati hanya menggeleng. Namun kini tatapannya tertuju pada Sena. Sepertinya dia meminta
pendapat dari pemuda itu. Sementara yang ditatap
hanya menggaruk-garuk kepala, tak tahu apa yang harus dikatakannya.
"Apakah Tuan Putri hendak ikut Tuan Pendekar?" tanya Ki Wirapati yang melihat Suciati masih memandang Sena.
"Kalau boleh," sahut Suciati, bernada pasrah.
Mendengar jawabannya, Sena merasa bingung.
Tangannya menggaruk-garuk kepala semakin keras.
Lalu dahinya ditepuk dengan tangan kiri.
"Ah, mengapa begitu?" katanya dengan suara lirih.
"Apakah Tuan tak sudi menerimaku" Sedangkan Tuan telah menolongku?" desak Suciati, semakin membuat Sena kebingungan.
Pendekar muda itu cengengesan Kemudian bibirnya memperlihatkan nyengir kuda seraya menggeleng-geleng kepala.
"Ah ah, bukan begitu, Tuan Putri."
"Lalu apa yang membuat Tuan ragu?" desak
Suciati. "Entahlah, aku tak tahu. Yang pasti, aku tak mungkin membawamu. Ah,
mengapa aku bodoh" Bukankah lebih baik kau bersama Ki Wirapati?" saran Sena.
"Bagaimana, Ki?"
"Aku tak keberatan," sahut Ki Wirapati.
"Ah, syukurlah. Tuan Putri, kuharap kau mau
menerima uluran tangan Ki Wirapati. Bukannya aku
tak mau diikuti olehmu. Namun langkahku tak menentu. Aku hanya mengikuti naluri belaka. Kau tak akan
sanggup, Tuan Putri. Nah, kuharap Tuan Putri paham...," tutur Sena.
"Bagaimana kalau Kisanak mampir di pesanggrahan ku?" ajak Ki Wirapati.
Sena tak langsung menjawab. Wajahnya menatap langit, di mana mentari belum tinggi. Kepalanya
digaruk-garuk, sedangkan mulutnya nampak nyengir.
"Baiklah! Tak baik rasanya menolak ajakan
mu," setelah terdiam beberapa saat, akhirnya menye-tujui ajakan itu.
Mereka kemudian segera meninggalkan tempat
yang kembali sepi itu. Angin pagi bertiup lembut,
membawa rasa sejuk bagi siapa saja yang diterpanya.
Sedangkan mentari pelan merayap naik.
*** 5 Tubuh Truna menukik deras ke dalam jurang
yang dinamakan Jurang Neraka. Tentu tubuhnya akan
hancur, jika menghunjam dasar Jurang Neraka yang
berbatu setajam pisau.
Saat tubuh Truna melayang, berkelebat sesosok
tubuh bungkuk bagai terbang. Kemudian dengan cepat
menyambar tubuh pemuda itu, sebelum sampai ke dasar Jurang Neraka.
Tappp! Tubuh kecil dan bungkuk berpakaian serba hitam itu ternyata seorang wanita tua. Dia terus berkelebat sambil memanggul tubuh Truna. Dilihat dari caranya menangkap tubuh pemuda itu, tentunya dia bukan orang sembarangan. Dialah Dewi Bunga Iblis, tokoh wanita sesat yang pernah malang-melintang di
rimba persilatan puluhan tahun silam. Kini tiba-tiba dia muncul kembali,
menolong pemuda berwajah pucat
yang tubuhnya hampir saja hancur.
"Licik...! Mereka licik! Tunggu saatnya, kalian akan mendapatkan balasan atas
perbuatan kalian!" rutuk Dewi Bunga Iblis sendirian sambil berlari membawa pemuda yang wajahnya bersimbah darah.
Dewi Bunga Iblis membawa tubuh pemuda itu
ke sebuah tempat di sekitar Jurang Neraka, tepatnya
sebuah gubuk yang sangat sederhana. Di dalam gubuk
itu, terdapat sebuah tempat tidur yang terbuat dari ba-tu. Di situlah tubuh
Truna dibaringkan.
Perempuan tua itu sejenak memandangi tubuh
Truna. "Hm.... Rupanya puluhan tahun aku tak berke-cimpung dalam rimba
persilatan, menjadikan mereka
tenang mempelajari dan memperdalam ilmu," gumamnya seraya menggeleng-gelengkan
kepala perlahan.
Perlahan perempuan tua itu membuka pakaian
Truna yang penuh darah. Matanya seketika membelalak, saat menyaksikan sesuatu di dada pemuda itu.
"Pukulan 'Seribu Guntur'!" pekiknya tanpa sadar.
Dewi Bunga Iblis menyurut mundur dengan
mata masih memandang tajam ke dada pemuda yang
ditolongnya. Sepertinya dia sangat mengenali pukulan itu
"Wiasa keparat! Rupanya dia telah melanggar
janji!" dengusnya dengan wajah bengis. "Licik! Dia telah mengangkat murid!"
Lalu kaki perempuan tua itu kembali melangkah, mendekati tubuh Truna. Dirabanya dada si pemuda. Kepala perempuan tua itu menganggukangguk, sementara bibirnya terulas senyum tipis. Kemudian dari bibir yang keriput itu terdengar gumaman. "Wiasa, karena kau telah mengangkat murid, maka aku pun akan mengangkat
murid pula. Bocah
ini akan menjadi muridku! Dialah yang akan menggantikan ku! Hik hik hik...," ujar Dewi Bunga Iblis sambil tertawa mengikik
nyaring. Kemudian dengan mulut berkomat-kamit merapal mantera, Dewi Bunga Iblis menekankan telapak
tangannya ke dada Truna. Dan tak lama kemudian,
asap mengepul di antara tangan dan dada yang menyatu itu. "Akh...!"
Truna menjerit kesakitan. Tubuhnya menggeliat, berusaha menahan rasa sakit Namun Dewi Bunga
Iblis tak peduli. Dia terus menekan telapak tangannya dengan mulut masih komatkamit merapal mantera.
Sedangkan matanya terpejam rapat. Semakin keras tekanan telapak tangannya, semakin banyak asap yang
mengepul. "Aaakh...!"
Truna makin keras menjerit. Keringat sebesar
biji jagung yang bercampur darah tersembul dari wajahnya yang pucat. Begitu juga dengan Dewi Bunga Iblis. Keringat tampak membanjiri seluruh tubuhnya.
Lama kejadian itu berlangsung. Pada akhirnya,
dengan napas terengah perempuan tua itu berhenti.
Dan ketika tangannya diangkat, bekas pukulan yang
menghitam di dada Truna telah hilang.
Dewi Bunga Iblis terhuyung meninggalkan tempat itu. Dia harus melakukan semadi untuk memulihkan tenaga dalamnya yang telah dikuras untuk menyembuhkan luka akibat pukulan maut 'Seribu Guntur'. Pemuda yang tadi menjerit-jerit kesakitan dengan tubuh bergelinjangan,
kini terdiam. Rupanya dia
tertidur pulas. Napasnya yang tadi tersengal-sengal, kini terdengar agak
teratur. *** "Uhhh...!"
Terdengar keluhan lirih dari mulut Truna. Bibirnya meringis, merasakan sakit yang masih mendera
wajahnya. Dari dalam sebuah kamar, Dewi Bunga Iblis
melangkah terbungkuk-bungkuk. Wajahnya yang semula letih, kini telah kembali seperti semula. Malah langsung berbinar manakala
melihat pemuda yang ditolongnya nampak menggeliat sadar.
"Hik hik hik...! Akhirnya kau sadar juga," kata Dewi Bunga Iblis sambil
menghampiri tubuh Truna
yang masih terbaring di atas pembaringan batu.
"Di mana aku...?" tanya Truna setengah bergumam sambil memandang ke
sekelilingnya. Kemudian
matanya tertuju ke sosok tua renta, bungkuk, dan
agak menyeramkan. "Siapa kau" Apakah aku di nera-ka...?" Dewi Bunga Iblis
terkikik mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh anak muda itu. Kepalanya mengangguk-angguk, sedang matanya menyipit
memandang Truna.
"Kau memang ada di neraka. Hik hik hik... Kita
memang ada di neraka, Anak Muda. Namun sebentar
lagi kau akan ke surga. Hik hik hik,..!"
Tubuh Truna terlonjak mendengar jawaban perempuan tua itu. Dia hendak bangun, tapi cepat dicegah Dewi Bunga Iblis.
"Jangan bangun dulu, Anak Muda. Kau masih
lemah. Hik hik hik...! Tenanglah, kau aman di sini,"
kata Dewi Bunga Iblis sambil menekankan jari-jarinya ke dada si pemuda.
"Siapa kau, Nek?"
"Aku..." Orang-orang menyebutku Dewi Bunga
Iblis. Hik hik hik...! Dan siapa kau, Anak muda...?" balik tanya perempuan tua
itu. Matanya yang menyipit
memandangi wajah Truna yang dikotori darah.
"Dewi Bunga Iblis...!" sentak Truna mendengar nama wanita tua itu. "Tidakkah aku
benar-benar di alam kematian" Bukankah menurut kabar kau telah
mati?" Dewi Bunga Iblis tertawa mendengar pertanyaan tadi. Dan karena terlalu
kuatnya tertawa, tubuh bungkuknya sampai terguncang-guncang.
"Hik hik hik...! Itu omong kosong! Aku memang
sengaja menghilang dari rimba persilatan. Tapi setelah melihatmu, hatiku
tertarik untuk kembali. Aku juga
ingin tahu desas-desus yang telah kudengar...," celo-tehnya. "Jadi...."
"Ya! Aku akan kembali ke rimba persilatan untuk membuktikan desas-desus tentang Pendekar Gila
dari Gua Setan. Hik hik hik...! Kalau dulu aku pernah di-pecundangi, tapi kini
tak akan lagi! Hik hik hik...!"
"Benar apa yang kau katakan, Nek," tukas Truna cepat "Pendekar Gila memang
muncul kembali. Ta-pi...."
"Tapi apa...?" potong Dewi Bunga Iblis.
"Dia masih muda."
"Ah..."!"
Mata Dewi Bunga Iblis membelalak, memandang tajam pada pemuda di hadapannya. Sepertinya
dia tidak percaya mendengar penuturan pemuda itu.
"Apakah kau tak bercanda, Bocah"!"
"Sama sekali tidak, Nek. Bahkan aku tadi sempat bertarung dengannya," jawab pemuda berwajah pucat itu, meyakinkan.
Dewi Bunga Iblis mengangguk-angguk mengerti. Lama dia tercenung setelah mendengar penuturan
pemuda itu. Keningnya berkerut, seperti tengah memikirkan kebenaran penuturan Truna.
"Hm, rupanya rimba persilatan telah banyak
berubah. Hik hik hik...! Aku semakin tertarik. Hm, tapi biarlah dulu. Kau harus
ku didik dahulu, sebelum
kembali ke luar. Dengar baik-baik, Anak Muda. Sejak
saat ini, kau kuangkat sebagai muridku!"
Truna mengeryitkan dahi. Alisnya bertaut rapat. Dia tak percaya pada perkataan yang baru saja
didengarnya. Menjadi murid Dewi Bunga Iblis, tokoh
tingkat atas golongan sesat"
"Apa..., apakah aku tidak salah dengar. Nek?"
tanyanya ragu. Dewi Bunga Iblis menggeleng mantap, seraya
menyunggingkan senyumnya yang tampak seperti sebuah seringai. "Oh, terima kasih, Nek. Aku sungguh senang
menjadi muridmu," ucap Truna seraya bangkit dan hendak berlutut, namun perempuan
tua itu mencegahnya. "Sudahlah, tak perlu berlaku begitu. Kau harus sabar di
Jurang Neraka ini selama empat puluh hari
untuk melakukan latihan ilmu yang akan aku wariskan padamu. Ilmu itu bernama 'Kumbang Hitam
Menyengat Bunga'," ucap Dewi Bunga iblis dengan getar bangga pada suaranya.
"Terima kasih, Guru...."
Sejak saat itu, Truna resmi menjadi murid
tunggal Dewi Bunga Iblis. Seorang tokoh sesat yang
pernah malang-melintang di rimba persilatan puluhan
tahun silam, tanpa ada yang mampu mengalahkannya,
kecuali Pendekar Gila dari Gua Setan. Dan sejak dipecundangi pendekar aneh
tersebut, dia memutuskan
untuk meninggalkan rimba persilatan.
*** Sore itu di Padepokan Cakra Geni nampak duduk tiga orang di ruang utama. Dua lelaki dan seorang wanita muda nan cantik.
Ketiganya adalah Ki Wirapati, Pendekar Gila, dan Suciati. Sore itu mereka tengah
berbincang-bincang, membicarakan rencana mereka
masing-masing. "Biarlah Tuan Putri tinggal bersamaku," kata Ki Wirapati menyarankan. "Anggaplah
aku yang bodoh dan tak berguna ini sebagai ayahmu."
"Terima kasih, Ki," sahut Suciati. "Sungguh aku tak bisa membalas jasa baikmu
ini. Dalam keadaan
terkatung-katung sebarang kara, ternyata masih ada
yang sudi memperhatikan ku."
"Sudahlah, tak ada yang perlu disedihkan. Kini
anggaplah semua kejadian menyakitkan yang menimpamu sebagai mimpi buruk. Saat kau terbangun, akulah ayahmu. Bukan Kanjeng Adipati," tutur Ki Wirapati penuh ketulusan. Lalu dia
mengalihkan pertanyaan
pada Pendekar Gila yang duduk di hadapannya. "Bagaimana menurutmu, Sena?"
Bibir Sena nyengir ditanya begitu. Tangannya
menggaruk-garuk kepala.
"Ah, aku sungguh bahagia mendengarnya. Memang sepantasnya Tuan Putri menerima tawaran Ki
Wirapati."
"Terima kasih atas pendapatmu, Sena. Lalu kalau boleh ku tahu, hendak ke mana tujuanmu...?"
tanya Ki Wirapati setelah menjura hormat
Sena tidak langsung menjawab pertanyaan
orang nomor satu di Padepokan Cakra Geni itu. Wajahnya ditengadahkan, seperti tengah memikirkan sesuatu. "Entahlah, aku tak tahu harus ke mana. Aku hanya mengikuti ke mana kakiku


Pendekar Gila 2 Kumbang Hitam Dari Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melangkah. Namun,
sebenarnya aku hendak mencari paman ku. Dia satusatunya keluarga ayahku yang masih hidup. Tapi entah di mana dia kini," gumam Sena.
Ki Wirapati terdiam, tampak terharu mendengar penuturan pendekar muda itu.
"Apakah tidak sebaiknya kau menginap beberapa hari di padepokan ini?" tanyanya kemudian.
"Oh, terima kasih," kata Sena. "Sungguh senang aku mendengar tawaranmu, Ki. Tapi
aku tidak bisa tinggal lama. Masih banyak yang harus kulakukan untuk menyelami kehidupan yang beragam ini."
Ki Wirapati mengangguk-angguk mengerti. Dihelanya napas panjang sebelum kembali berkata,
"Kalau begitu, aku tak dapat memaksa. Dunia
ini memang masih memerlukanmu, Sena. Aku hanya
bisa berdoa, semoga kita dapat bertemu lagi"
"Aku pun berharap begitu," sahut Sena. "Izin-kanlah aku pamit"
"Baiklah. Semoga kau selalu dilindungi Hyang
Widhi," ucap Ki Wirapati seraya bangun dari duduk-nya, diikuti oleh Suciati.
"Kuucapkan terima kasih atas semuanya, Ki,"
tutur Sena, kemudian matanya memandang Suciati
yang tertunduk. "Semoga Tuan Putri betah di sini.
Anggaplah Ki Wirapati ayahanda Tuan Putri sendiri. Ki, aku pamit untuk
melanjutkan pengembaraanku mencari paman ku dan mempelajari kehidupan."
"Ku iringi dengan doa," kata Ki Wirapati sambil menjura, membalas bungkukan
Sena. Kemudian Ki
Wirapati dan Suciati melangkah di belakang Sena,
mengiringi kepergiannya.
Sampai di pintu gerbang padepokan, Sena
menghentikan langkahnya. Tubuhnya dlbalikkan, lalu
memandang Ki Wirapati yang berdiri di sisi Suciati.
"Sekali lagi, kuucapkan terima kasih, Ki. Dan
untuk Tuan Putri, saya berharap agar dapat menyesuaikan diri di lingkungan yang baru. Aku mohon pamit," kata Sena seraya kembali menjura.
"Jangan sungkan-sungkan bertandang ke sini,
Sena. Pintu padepokan senantiasa terbuka untukmu,"
ucap Ki Wirapati lirih.
"Aku akan bertandang, Ki," janji Sena.
Lalu, pendekar muda itu berkelebat dengan cepat. Dalam sekejap tubuhnya menghilang ditelan keremangan senja. Sedangkan Ki Wirapati dan Suciati
masih tertegun menyaksikan bagaimana pemuda itu
berkelebat sangat cepat.
"Sungguh-sungguh pewaris ilmu Si Gila," bisik Ki Wirapati perlahan. "Mari kita
masuk...."
Kemudian tanpa banyak bicara, Suciati segera
mengikuti langkah ayah angkatnya. Mereka masuk ke
padepokan, di mana puluhan muridnya tengah melakukan latihan. 6 Empat puluh hari telah berlalu sejak kejadian
di Jurang Neraka. Selama itu, Kadipaten Tegal Arang
kembali tenang. Tak ada perkosaan atau gadis yang
mati setelah diperkosa.
Penduduk kadipaten kini merasa yakin kalau
pelaku pemerkosaan dan pembunuhan para gadis adalah pemuda berwajah pucat itu. Terbukti setelah pemuda itu hilang, kejadian-kejadian seperti dulu tak
ada lagi. Hari menjelang malam. Suasana di Perguruan
Cakar Sewu yang dipimpin oleh Ki Yaksa Asti nampak
sepi. Semua penghuni perguruan tengah beristirahat
setelah seharian melakukan kegiatan.
Di ruangan besar, tempat yang biasa digunakan
untuk mengadakan pertemuan, nampak Ki Yaksa Asti
duduk di atas kursinya. Di hadapannya bersila dua
orang murid utama. Dua pemuda berpakaian rompi loreng dengan tubuh kekar yang menandakan keduanya
selama ini melakukan latihan keras, duduk dengan
muka tertunduk.
"Wilapati! Dan kau, Wilayuda," panggil Ki Yaksa Asti pada kedua murid utamanya.
"Saya, Guru...," jawab keduanya seraya menjura. Ki Yaksa Asti menghela napas
pelan. Matanya memandang ke pintu ruangan yang masih terbuka. Tatapannya kosong, seakan memendam perasaan. Setelah
beberapa saat memaku pandangan ke arah pintu,
pandangannya dialihkan ke arah dua murid utamanya.
"Wilapati dan Wilayuda, ketahuilah oleh kalian
berdua. Aku sudah tua. Sepertinya aku harus segera
melimpahkan tanggung jawab perguruan ini pada kalian...." Belum juga usai Ki Yaksa Asti, tiba-tiba terdengar tawa menggelegar
dari luar. Tawa itu begitu dahsyat, mampu menggetarkan dada ketiga orang yang berada di ruang pertemuan.
"Ha ha ha...! Kalau kau memang sudah tak
sanggup lagi memimpin Perguruan Cakar Sewu, lebih
baik kau mampus saja...!"
Ki Yaksa Asti dan kedua muridnya tersentak
mendengar suara lancang itu. Ketiganya seketika berdiri dengan mata mengawasi arah datangnya suara tadi. "Kurang ajar! Cecunguk manakah yang berani
lancang berkoar di hadapan guru kami"!" bentak Wilapati, tak bisa mengendalikan
gejolak kegusarannya.
Usai berkata demikian, Wilapati melesat keluar
diikuti Wilayuda dan sang Guru. Mereka berhenti di
halaman perguruan. Mata mereka menatap geram pada dua orang yang sudah berdiri di halaman perguruan. Tampak seorang lelaki kurus dengan tubuh
terbalut kain hitam dari ujung rambut hingga ujung
kakinya. Hanya matanya saja yang terlihat. Rupanya
lelaki tinggi kurus terbungkus kain hitam itu yang tadi melontarkan ucapan yang
dianggap lancang oleh ketiga orang Perguruan Cakar Sewu.
Seorang lagi adalah perempuan tua berbadan
agak bungkuk. Pakaian yang dikenakannya juga hitam. Matanya liar dan bengis. Dan ketika terkekeh,
nampak giginya yang tinggal beberapa biji.
"Siapa kalian"!" bentak Wilapati.
Lelaki berpakaian serba hitam itu tertawa. Begitu juga si nenek Tawa mereka sangat menggetarkan
hati yang mendengarnya. Terlebih tawa lelaki terbalut
kain hitam yang sekuat halilintar. Kalau saja ketiga orang itu tak memiliki
tenaga dalam tinggi, tentu mereka sudah mati.
"Hei! Apakah kalian orang-orang gila yang tersasar ke sini"! Kalau benar, pergilah! Jangan sampai kami mengusirmu!" bentak
Wilayuda agak geram melihat kedua orang itu yang seakan meremehkan gurunya. "Hik hik hik..!" si nenek tertawa. "Mulutmu lancang, Bocah! Begitukah
cara kalian menyambut tamu"!
Sungguh memalukan! Perguruan Cakar Sewu yang katanya ramah, ternyata hanya bualan kosong belaka!"
Wajah Ki Yaksa Asti merah padam mendengar
ucapan nenek itu. Matanya melotot, memandang penuh kemarahan pada kedua tamu yang tak diundang
itu. Kemudian tangan kanannya digerakkan, memberi
isyarat pada kedua murid utamanya untuk mundur.
"Maafkan atas kelancangan kedua muridku,
Nyi. Kalau boleh ku tahu, siapa kalian" Dan ada perlu apa kalian datang ke
Anak Harimau 6 Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long Sumpah Jago Jago Bayaran 1

Cari Blog Ini