Ceritasilat Novel Online

Mawar Maut Perawan Tua 1

Pendekar Gila 9 Mawar Maut Perawan Tua Bagian 1


http://cerita-silat.mywapblog.com
Daftar judul cerita silat bagian 2 :71 Pendekar Laknat72 Kisah para pendekar
pulau es73 Suling Naga74 Kisah si Bangau merah75 Kisah Si Bangau Putih76 si
Tangan sakti77 Pusaka pulau es78 Dendam Iblis Seribu Wajah79 Golok Halilintar80
Panji Sakti81 Pedang Tetesan Air Mata82 Raja Naga 7 Bintang83 Sukma Pedang84
Terbang Harum Pedang Hujan85 Tujuh Pembunuh86 legenda kematian87 Lencana
Pembunuh Naga88 Manusia yang bisa menghilang89 Misteri Lukisan Tengkorak90
Misteri Bayangan Setan91 musuh dalam selimut92 Naga Kemala Putih93 Panji
Wulung94 Pendekar Pengejar Nyawa95 Pedang dan Kitab Suci96 pedang darah bunga
iblis97 Pedang Gadis Yueh98 Pedang Golok Yg Menggetarkan99 pedang karat pena
beraksara100 pedang naga kemala101 Pedang Pembunuh Naga102 Pedang Pusaka
Buntung103 Pedang tanpa perasaan104 pedang ular mas105 Pedang Wucisan106
Pendekar Gila107 pendekar latah108 pendekar pedang kail emas109 pendekar sakti
suling pualam110 Pendekar Wanita Penyebar Bunga111 Peristiwa Bulu Merak112
Peristiwa Merah Salju113 Perjodohan Busur Kumala114 Persekutuan Pedang Sakti115
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala116 pisau kekasih117 Si PISAU TERBANG "Pulang"118
Pohon Kramat119 Pedang Pusaka Dewi Kahyangan120 rahasia benteng kuno
1 Udara malam itu terasa sangat dingin. Halimun turut hadir menyertai. Suara
lolongan anjing dan lengkingan burung hantu membuat suasana malam terasa
mencekam. Belum lagi angin yang berderak menerpa rumpun bambu. Menambah suasana
malam itu makin mengerikan.
Tampak empat orang lelaki penjaga pintu gerbang lingkungan Kadipaten Pamakasan
sedang duduk di gardu. Tangan mereka menggenggam tombak yang setiap waktu siap
digunakan. Rokok kelobot yang mereka linting kini telah dinyalakan.
"Huh! Udara malam ini panas sekali," keluh Gimin, sambil menghembuskan asap
rokok kawung setelah menghisapnya dalam-dalam.
"Iya ya, Kang," sahut Damus. "Padahal, seharusnya tengah malam seperti ini udara
dingin. Malam ini memang aneh sekali..."
Keempat penjaga itu kemudian melangkah
menyusuri lingkungan kadipaten untuk meronda.
Setelah merasa aman, mereka kembali menuju pos jaga. Sepi sekali suasana sekitar
kadipaten. Keempat orang prajurit jaga itu kembali menghisap rokok kawungnya
dalam-dalam. Lalu mereka telibat dalam percakapan yang menuangkan isi hati
masing-masing. "Sejak Kanjeng Adipati menikah lagi, tugas kita semakin bertambah berat saja,"
keluh Gimin. "Iya, Kang. Coba bayangkan. Dulu kita tidak pernah melakukan pekerjaan yang
sangat berat. Bahkan setiap jaga, Kanjeng Adipati senantiasa menengok
kita. Memberi uang tambahan atau makanan. Tapi sekarang...," Sarnopo membuka
telapak tangannya dengan raut wajah kurang senang.
"Ya. Bagaimana lagi" Kita orang kecil, Dimas,"
Karja berusaha menyabarkan hati temannya
sekaligus hatinya. Memang sejak Adipati Pamakasan yang bernama Sumagatri menikah
lagi, mereka memikul tanggung jawab yang lebih berat dibanding sewaktu adipati
itu belum menikah.
"Benar, Kang. Sulit bagi kita yang hanya prajurit.
Jadi serba salah...," gumam Damus yang termuda di antara mereka.
"Aaa...!"
Tengah keempat prajurit itu asyik mengobrol, tiba-tiba terdengar jeritan
menyayat seorang wanita dari dalam kadipaten.
Mereka tersentak kaget. Dan segera berhamburan ke dalam untuk melihat apa yang
terjadi. Tidak lama berselang, keempatnya mendengar suara teriakan Adipati
Sumagatri "Prajurit, tolong...!" terdengar suara Adipati Sumagatri.
"Hei, ada apa, Kang?" tanya Damus.
"Entahlah! Sepertinya ada yang tidak beres!" sahut Gimin dengan mata membelalak.
Keempat prajurit itu bergegas menuju kamar Adipati Sumagatri. Mata mereka
membelalak ketika menyaksikan istri Adipati Pamakasan yang baru saja dinikahi
tujuh hari yang lalu telah terkapar tanpa nyawa. Dada wanita itu ditembus
sekuntum mawar merah.
"Prajurit, kenapa kalian tidak melihat ada orang masuk"!" bentak Adipati
Sumagatri. "Ampun, Kanjeng. Kami telah berjaga dengan
seksama. Dan kami tidak melihat seorang pun masuk ke dalam kadipaten," jawab
Gimin ketakutan.
"Bodoh! Apakah kalian tidak melihat buktinya"!"
dengus Adipati Sumagatri gusar. Matanya melotot merah terbakar api amarah.
Keempat prajurit itu terdiam seraya menundukkan kepala.
"Jangan hanya mematung, Tolol! Cepat kejar dan tangkap pembunuh itu!" perintah
Adipati Sumagatri.
"Baik, Kanjeng," jawab mereka bersamaan.
Setelah menjura hormat, keempat prajurit itu berkelebat keluar mencari pembunuh
istri Adipati Sumagatri.
*** Setelah cukup lama mencari, mereka tidak juga menemukan jejak pembunuh itu.
Walaupun sudah memeriksa ke segenap penjuru kadipaten, namun tetap tak ditemukan
jejaknya. "Aneh! Bagaimana mungkin orang itu bisa masuk?"
gumam Gimin. Matanya terus memandang ke
sekeliling yang sepi dan gelap. Tak ada tanda-tanda kalau ada orang masuk ke
tempat itu. "Mungkin dari atas, Kang."
Mereka memandang ke atas bangunan kadipaten.
Namun, tetap tidak terlihat adanya sesosok bayangan.
"Tak ada, Kang," kata Sarnopo.
"Mungkinkah orang dalam?" tanya Karja menaruh curiga. "Bagaimana kalau kita
geledah semua yang ada di dalam kadipaten?"
"Setuju! Bukankah Kanjeng Adipati telah me-merintahkan kita mencari si
pembunuh?" sambut
Damus. "Ya! Semua patut dicurigai," tambah Gimin.
"Semua ini untuk keamanan," sambung Sarnopo.
"Ayo kita segera ke sana!" ajak Karjo.
Keempat prajurit jaga itu sepakat untuk
memeriksa di dalam kadipaten, yang dicurigai telah menyelinap seorang pembunuh.
Belum juga tiba di tempat yang dituju, keempatnya merasakan ada yang membuntuti.
Seketika langkah mereka terhenti dan berbalik sigap, degnan tombak siap menusuk.
"Hm... Apa kau tidak merasa ada yang mengikuti kita, Dimas?" tanya Sarnopo.
Matanya ditajamkan, memandang ke sekeliling tempat itu.
"Ya. Aku merasa ada yang mengikuti," sambut Karja.
"Aneh. Tidak terlihat siapa pun," gumam Gimin.
Bulu kuduknya meremang. Padahal, tadi dia merasa ada yang mengikuti dari
belakang. "Mungkin perasaan kita saja, Kang,"' tambah Damus.
Sarnopo menghela napas. Matanya masih
menyapu ke sekeling dengan tajam. Berusaha meyakinkan diri bahwa tak ada yang
mengikuti mereka.
"Hhh.... Apa mungkin perasaanku saja?" gumam Sarnopo. Nada suaranya tidak yakin.
Dia merasa ada yang mengikutinya.
"Mungkin, Kang. Sudahlah, kita harus segera memeriksa seisi kadipaten," ajak
Gimin. Mereka kembali melangkah untuk memeriksa
ruang dalam kadipaten. Tapi tiba-tiba....
Zwing, zwing....!
Empat buah benda yang entah dari mana datangnya, melesat cepat ke arah empat
prajurit itu. Mereka
tersentak ke belakang seraya membalikkan tubuh.
Berusaha melihat suara yang mendesing itu. Mata keempatnya membelalak. Empat
buah benda berbentuk bunga mawar merah melesat ke arah mereka. Tanpa dapat dielakkan,
keempat bunga itu menghunjam ke dalam dada mereka dengan tangkai terlebih
dahulu. Zleb zleb...! "Aaa...!"
"Wuaaa...!"
Terdengar jeritan susul-menyusul. Dari dada keempat prajurit itu menyembur darah
segar. Mata mereka melotot tegang. Setelah mengejang sesaat, lalu ambruk tanpa
nyawa. Di dada keempat prajurit itu terbenam setangkai mawar merah.
Hebat sekali pelempar bunga-bunga mawar itu.
Orang itu pasti memiliki tenaga dalam tinggi.
Sekuntum bunga mampu menembus dada manusia, bahkan merenggut nyawanya. Suasana
di halaman kadipaten menjadi sepi dan mencekam.
"Prajurit...!" seru Adipati Sumagatri dari dalam, berusaha memanggil keempat
prajurit itu yang belum juga nampak batang hidungnya.
Tak ada jawaban. Adipati Sumagatri tidak tahu kalau para prajurit itu telah
tergeletak tanpa nyawa dengan bunga mawar merah menghunjam di dada.
Mereka tak ada yang menyahuti, Adipati Sumagatri dengan gusar berlari keluar.
Saat itu orang-orang dalam kadipaten turut terbangun setelah mendengar suara
Adipati Sumagatri.
"Ada apa, Kanjeng?" tanya lelaki tua berjubah ungu dengan rambut putih digelung
ke atas. Walau sudah berusia tua, lelaki yang bernama Ki Balacatra ini masih
terlihat tampan. Dia dulu adalah Panglima
Kerajaan Sumba Lawang, dan kini menjabat sebagai penasihat Kadipaten Pamakasan.
"Bodoh semuanya!" dengus Adipati Sumagatri.
Semua merundukkan kepala. Tidak terkecuali Ki Balacatra. Lelaki tua berjubah
ungu itu tak berani membantah atau melawan.
"Apa kalian tidak mendengar istriku terbunuh?"
Semua mata membelalak saling pandang,
mendengar berita mengejutkan itu. Mereka sungguh tidak menyangka kalau istri
sang Adipati yang baru dinikahi tujuh hari yang lalu telah tewas.
"Siapa pembunuhnya, Kanjeng?" Ki Balacatra memberanikan diri bertanya.
"Huh! Kalau tahu pembunuhnya, sudah kubunuh dia!" dengus Adipati Sumagatri
kesal. Kembali semua mata membelalak. Kening mereka berkerut mendengar penuturan
Adipati Pamakasan itu. Dan, bertanya-tanya heran dalam hati. Kalau tidak tahu
siapa pembunuhnya, bagaimana mungkin mereka menangkap si pelaku"
"Ki Balacatra, kuperintahkan kau mencari pembunuh itu!"
"Daulat, Kanjeng."
"Cepat!"
"Baik, Kanjeng."
Tanpa membantah, Ki Balacatra segera
menyembah. Diiringi beberapa prajurit, lelaki tua ini meninggalkan tempat itu
untuk mencari pembunuh istri Adipati Sumagatri. Tapi baru saja Ki Balacatra
keluar, langkahnya segera terhenti. Matanya ber-tumbukan dengan tubuh empat
orang prajurit yang tewas dengan dada tertembus bunga mawar merah.
"Hm.... Tentu pelakunya bukan orang sembarangan. Hanya dengan sekuntum bunga,
dia mampu membunuh orang," gumam Ki Balacatra sambil memandang keempat mayat
prajurit itu. Kemudian pandangan Ki Balacatra beralih ke sekeliling tempat itu, mencari jejak
pelaku. Tapi, tidak ditemukannya tanda-tanda yang mencurigakan.
Seakan semuanya berjalan sebagaimana mestinya. Ki Balacatra mengerutkan kening.
Namun, penciuman lelaki tua itu sangat tajam. Hidungnya mendengus-dengus,
mencium bau yang lain dengan bau orang-orangnya.
"Hm.... Benar juga. Rupanya, ada orang yang masuk ke kadipaten ini," kembali Ki
Balacatra bergumam lirih. "Sayang, dia telah pergi."
"Siapa orangnya, Ki?" tanya Wedatama, salah seorang punggawa kadipaten.
"Dari baunya, dia seorang wanita," jawab Ki Balacatra.
"Wanita, Ki?"
"Ya," sahut Ki Balacatra. "Kita harus mengejarnya."
Tanpa diperintah dua kali, orang-orang kadipaten itu bergegas keluar. Mencari
pembunuh istri Adipati Sumagatri
*** Ki Balacatra dan orang-orangnya tak mampu
menemukan jejak pembunuh itu. Dia seperti menghilang ditelan kegelapan malam.
Bau wangi seorang wanita yang bercampur bau bunga mawar menghilang seketika. Tak
tercium hidung Ki Balacatra.
"Berhenti!"
"Ada apa, Ki?" tanya Wedatama. Tak mengerti, mengapa Ki Balacatra menghentikan
pengejaran. "Kurasa percuma saja kita terus mengejarnya,"
kata Ki Balacatra.
"Mengapa...?" Wedatama belum mengetahui apa alasan Ki Balacatra.
"Kau harus berpikir bahwa pengejaran kita akan sia-sia belaka. Kita tidak tahu
siapa pelaku pembunuhan itu. Di dunia persilatan aku banyak mengenal tokoh-tokoh
wanita. Namun yang
bersenjatakan setangkai bunga mawar, rasanya aku baru mendengarnya. Dia tentu
seorang wanita yang berilmu tinggi. Sulit bagi kita untuk menghadaplnya,"
ujar Ki Balacatra menjelaskan alasannya.
"Lalu apa yang harus kami lakukan, Ki?" tanya Wedatama lagi. Punggawa kadipaten
ini berpakaian abu-abu. Ototnya tampak bersembulan keluar.
Rambutnya diikat dengan kain hitam dari serat kulit kayu kuat. Wajahnya
menunjukkan kewibawaan. Alis matanya tipis dengan kumis tebal melintang.
Ki Balacatra mendesah pelan.
"Huh. Aku juga tak tahu harus bagaimana.
Rasanya, semua kejadian ini sebuah misteri yang sulit untuk disingkap. Terlebih
senjata pembunuh itu sangat aneh dan belum pernah ada di rimba persilatan,"
gumam Ki Balacatra.
"Apa tidak sebaiknya kita tanyakan pada orang-orang persilatan di kadipaten ini,
Ki?" tanya Wedatama.
"Itu yang sedang kupikirkan, Weda. Bagaimanapun juga, masalah ini adalah masalah
kita bersama. Pembunuh itu bermaksud merongrong kadipaten,"
tutur Ki Balacatra.
Semua terdiam. Mata mereka memandang ke
sekeliling tempat itu dengan tajam, takut jika si pembunuh tiba-tiba muncul.
Namun sampai ayam jantan berkokok, pembunuh misterius itu tidak juga
muncul. "Huh! Rupanya, pembunuh itu telah benar-benar pergi," gumam Ki Balacatra. "Entah
bencana apa yang akan terjadi di kadipaten ini...?"
Ki Balacatra akhirnya mengajak orang-orangnya untuk kembali ke kadipaten.
Di ufuk timur nampak cahaya matahari merambat naik. Pagi telah tiba. Burungburung berkicau riang, berbeda dengan apa yang tengah terjadi di Kadipaten
Pamakasan.. Pagi itu, suasana di kadipaten gempar. Kematian istri sang Adipati dan keempat
prajurit jaga telah mengejutkan warga di sekeliling kadipaten Mereka berbondongbondong datang ke kadipaten untuk melihat apa yang sebenarnya telah terjadi.
Di dalam kadipaten sendiri, Adipati Sumagatri sedang berduka dan mengurung diri
di dalam kamar.
Adipati Pamakasan yang bertubuh tinggi besar ini masih memikirkan kejadian aneh
yang menimpa kadipatennya. Rasanya seperti dalam mimpi. Semua orang di dalam
kadipaten tak ada yang tahu kapan pembunuh itu masuk. Jika dilihat senjatanya
yang berupa bunga mawar, kemungkinan pelakunya seorang wanita. Tapi siapa..."
Pertanyaan itu tidak dapat dijawab Adipati Sumagatri.
Jangankan melihat pelakunya, saat kematian istrinya saja Adipati Sumagatri tidak
tahu. Lelaki setengah baya ini terbangun ketika istrinya telah menjadi mayat
dengan dada tertancap sekuntum mawar merah.
"Kanjeng, Ki Balacatra hendak menghadap!" ucap seorang prajurit dari luar
ruangan itu. "Apakah Kanjeng berkenan menerimanya?"
"Suruh dia masuk!" perintah Adipati Sumagatri.
Pintu kamar terbuka. Kemudian, masuklah
seorang lelaki tua berjubah ungu yang menjadi penasihat kadipaten. Lelaki tua
itu langsung bersila di depan Adipati Sumagatri.
"Maaf. Hamba mengganggu, Kanjeng Adipati," ujar Ki Balacatra seraya merapatkan
kedua telapak tangannya di depan hidung.
"Ada apa, Ki?" tanya Adipati Sumagatri.
"Hamba ingin mengatakan sesuatu pada Kanjeng."
"Katakanlah."


Pendekar Gila 9 Mawar Maut Perawan Tua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimana jika kita mengadakan sayembara.
Semua orang rimba persilatan diundang. Bagi siapa yang dapat menangkap pembunuh
itu, akan diberi hadiah," usul Ki Balacatra.
"Coba terangkan lebih jelas," pinta Adipati Sumagatri.
Ki Balacatra segera menjelaskan rencananya.
Semua rencana itu dijalankan dengan rapi dan tersembunyi, agar si pembunuh tidak
mendengarnya. "Bila perlu, kita mengundang Pendekar Gila.
Bagaimana, Kanjeng?"
Adipati Sumagatri terdiam sejenak. Kepalanya mengangguk-angguk. Seakan menerima
saran penasihatnya. "Kalau memang itu jalan yang terbaik, aku setuju.
Segeralah sebar undangan pada semua pendekar."
"Daulat, Kanjeng!" Ki Balacatra menyembah, lalu beringsut mundur. Dan keluar
meninggalkan Adipati Sumagatri yang kembali seorang diri, mengurung di dalam
kamarnya dengan pikiran yang berkecamuk tidak menentu.
2 Pagi itu tampak dua orang berpakaian prajurit kadipaten tengah memacu kudanya
dengan kencang menuju Desa Sewogiring. Di tangan mereka
tergenggam gulungan daun lontar. Kedua prajurit itu sedang mengantarkan surat
undangan Adipati Sumagatri, yang akan disampaikan pada Pendekar Gila dan Nyi
Gendis Awit. "Hiya, hiya...!"
Kedua prajurit itu menggebah kudanya agar berlari kencang. Keduanya nampak
memburu waktu agar segera sampai di tempat tujuan. Tengah mereka melaju dengan
kecepatan tinggi, tiba-tiba kuda-kuda mereka meringkik keras. Larinya yang
semula kencang kini berhenti sama sekali. Sepertinya kuda-kuda itu merasa takut.
"Hieeekh...!"
Kedua kuda itu meringkik keras, dengan kaki depan diangkat tinggi-tinggi. Seakan
berusaha memberi tahu tuannya bahwa ada bahaya di tempat itu.
"Hei, kenapa kuda-kuda ini?" tanya prajurit yang bernama Galarana terheranheran. Kudanya seketika menjadi beringas dan menolak meneruskan berjalan.
Kuda itu terus meminta kembali.
"Hush, hush...! Ayo, kita harus segera sampai,"
perintah prajurit yang bernama Bandra Gali pada kudanya yang juga binal, sambil
menarik tali kekang sekuat mungkin agar tidak jatuh.
"Hieeekh...!"
Kuda-kuda itu tetap tak mau berjalan. Kedua binatang itu seperti melihat sesuatu
yang menakutkan di hadapannya, hingga tak berani melangkah maju.
Galarana berwajah tampan. Rambutnya digelung ke atas seperti prajurit lainnya.
Matanya tajam lebar dengan alis mata tipis. Kumisnya melintang dengan dagu
panjang. Tubuhnya berotot karena latihan keras selama menjadi prajurit.
Sementara Bandra Gali lebih muda usianya dari Galarana. Wajahnya bulat agak
gemuk. Bertubuh agak pendek dan bermata tajam serta beralis lebat.
Rambutnya digelung ke atas. Hidungnya tidak begitu mancung. Kumis tipis menghias
atas bibirnya yang agak tebal.
"Hm.... Ada apa dengan kuda-kuda ini?" gumam Galarana terus berusaha
mengendalikan tali kekang kudanya.
"Mungkin ada sesuatu yang mencurigakan, Galarana," ujar Bandra Gali. "Biasanya
binatang lebih peka dari manusia."
"Hm...," Gialarana menggumam lirih. Matanya menyapu ke sekeliling. Tampak
pepohonan tumbuh lebat di kanan dan kiri jalan yang tengah dilalui.
Namun sejauh itu tak ada tanda-tanda ada sesuatu yang mencurigakan atau membuat
takut kuda-kuda itu.
Galarana masih berusaha mengendalikan kudanya yang beringas dan berusaha
berputar ke arah semula.
Pendengarannya dipasang tajam-tajam agar suara sekecil apa pun dapat terdengar.
Kresek! "Hm...," gumam Galarana. "Bandra Gali, kau mendengar suara orang melangkah?"
"Ya."
"Kurasa itu yang membuat kuda-kuda kita beringas," dengus Galarana.
Belum lagi kedua prajurit itu tahu siapa orang yang bersembunyi, tiba-tiba
terdengar desingan keras yang disertai kelebatan dua benda ke arah mereka.
Swing, swing...!
"Awas...!" seru Galarana.
"Hop!"
Mereka segera melenting ke atas dan berputaran beberapa kali, mengelakkan
senjata-senjata yang melesat ke arah mereka. Dua buah benda berwarna merah darah
yang terbuat dari logam besi terus menderu dengan kencang. Kecepatannya melebihi
dua prajurit yang bersusah payah mengelakkan serangan gelap itu.
"Uts! Celaka...!" pekik Galarana dengan mata melotot. Senjata rahasia lawan
seperti memiliki mata hingga mampu mengejar.
"Uh! Mati aku...!" Bandra Gali pun memekik kaget Kedua prajurit kadipaten itu
terdesak. Nyawa mereka terancam. Tinggal menunggu saat-saat kematian yang tragis
ketika tiba-tiba terdengar suara suling mengalun merdu. Tiupan suling itu mampu
menghantam dua buah senjata rahasia yang
menyerang mereka. Sehingga....
Pluk, pluk! Dua senjata rahasia itu runtuh, berjatuhan ke tanah. Mata kedua prajurit
kadipaten itu membelak kaget. Tapi, hati mereka lega karena terhindar dari
kematian. "Kurang ajar! Siapa yang berani mencampuri urusanku"!"
Terdengar suara wanita membentak keras. Dari
balik pepohonan, muncul sesosok tubuh wanita setengah tua dengan pakaian warna
biru laut. Matanya lebar, memandang dua prajurit kadipaten yang menyurut mundur.
Wanita berpakaian biru laut dengan rambut terurai itu berusia sekitar empat
puluh lima tahun. Di punggungnya tersandang pedang kembar. Meski usianya sudah
berkepala empat, namun
kecantikannya masih terlihat. Dia adalah Nyi Gendis Awit atau Perawan Tua dari
Dagelan. "Bedebah! Rupanya kau, Nyi?" dengus Bandra Gali setelah mengetahui siapa orang
yang telah menyerang mereka. Ternyata seorang pendekar wanita dari wilayah
Kadipaten Pamakasan sendiri.
"Hm.... Ada apa orang kadipaten datang ke wilayahku?" tanya Nyi Gendis Awit.
Matanya memandang dengan nakal ke arah dua prajurit itu.
"Kami diperintahkan Kanjeng Adipati untuk mengantarkan undangan padamu," jawab
Galarana. Kemudian disodorkannya surat undangan yang berada di tangannya kepada Nyi Gendis
Awit yang segera menerimanya. Kemudian, segera dibukanya surat undangan itu.
"Hm.... Jadi Kanjeng Adipajj mengalami kesulitan?"
tanya Nyi Gendis Awit.
"Benar, Nyi," sahut Galarana.
"Aku akan ke sana. Kini aku ingin tahu, siapa yang tadi meniup suling hingga
mampu merontokkan senjataku. Ayo, keluar! Jangan bisanya hanya bersembunyi...!"
seru Nyi Gendis Awit menantang.
"Ha ha ha...!"
Terdengar suara gelak tawa dari balik pepohonan.
Suara itu berasal dari atas. Nampaknya pemilik suara itu tengah berada di atas
pohon. Tawanya berkumandang laksana berada di setiap penjuru angin.
"Kurang ajar! Cepat keluar!" bentak Nyi Gendis Awit. Matanya memandang ke
sekeliling tempat itu, berusaha mencari asal suara tawa yang menggelegar.
"Ha ha ha...!"
Sebuah bayangan berkelebat, kemudian muncul seorang pemuda tampan berbaju rompi
kulit ular. Di tangannya tergenggam sebuah suling terbuat dari emas murni dengan
kepala naga. Kedatangan pemuda tampan yang tingkah lakunya seperti orang gila
ini cukup mengejutkan ketiga orang itu.
Pemuda berpakaian rompi kulit ular itu tersenyum-senyum. Jalannya seperti seekor
kera. Tingkah lakunya yang seperti orang gila, membuat ketiganya bertanya-tanya
siapa pemuda tampan berbaju rompi kulit ular itu.
"Hm.... Mungkinkah pemuda gila ini yang berjuluk Pendekar Gila?" tanya Bandra
Gali, seolah berbicara pada diri sendiri.
"Dari tingkah lakunya, dialah yang dimaksudkan Kanjeng Adipati...," kata
Galarana. Mata kedua prajurit itu mengawasi gerak-gerik pemuda itu.
"Mungkinkah dia Pendekar Gila?" tanya Nyi Gendis Awit mencoba menebak-nebak. Dia
memang sering mendengar nama Pendekar Gila. Tapi melihatnya belum pernah.
"Aha! Rupanya kalian tengah berpesta. Mengapa tidak mengajakku...?" tanya Sena
alias Pendekar Gila.
Wajahnya mendongak ke atas, lalu terdengar tawanya kembali.
"Ha ha ha...!"
"Anak muda. Katakan, siapa kau sebenarnya" Dan apa urusanmu merontokkan
senjataku?" tanya Nyi
Gendis Awit seraya memandang tajam sosok pemuda tampan di hadapannya.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak seraya menyelipkan Suling Naga Sakti ke
sabuk di pinggangnya.
"Ah. Kukira namaku tak ada artinya, Nyi. Aku hanya tidak ingin melihat ada
pembunuhan keji tanpa tahu ujung pangkalnya."
Membelalak mata Nyi Gendis Awit mendengar ucapan Pendekar Gila.
"Kurang ajar! Apa kau kira ucapanmu akan kudengarkan"!"
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Tingkah
lakunya yang persis orang gila, semakin membuat Nyi Gendis Awit bertambah
jengkel. Sedangkan kedua prajurit kadipaten semakin mengerutkan kening,
menyaksikan tingkah laku pemuda itu.
"Ah! Itu urusanmu, Nyi. Kau mau percaya atau tidak. Sudahlah. Tak perlu
dipersoalkan lagi. Kurasa kalian memiliki maksud tertentu. Aku mohon pamit,"
ujar Sena seraya menjura hormat.
Nyi Gendis Awit yang ingin melihat sampai sejauh mana ilmu pemuda itu, tidak mau
membiarkan Pendekar Gila berlalu dari tempat itu. Sambil membentak, perempuan
setengah tua itu menyerang dengan jurus 'Cengkeraman Elang'.
"Jangan pergi dulu! Terimalah seranganku!
Hiaaa...!"
"Uts!"
Sena meminngkan tubuh ke samping,
mengelakkan serangan Nyi Gendis Awit yang datang cepat dan secara tiba-tiba.
Hampir saja jari-jari tangan Nyi Gendis Awit mencakar mukanya. Untung
Pendekar Gila segera mengelakkan serangan itu.
Kemudian cepat Sena balas menyerang dengan tepukan.
"Plak!"
"Uts...!"
Nyi Gendis Awit tersentak. Tidak disangka kalau tepukan tangan lawan yang
kelihatan sangat pelan ternyata kuat dan keras. Padahal kelihatannya sangat
lamban dan lemah.
Melihat jurus lawan yang aneh, dengan cepat Nyi Gendis Awit bersalto ke udara.
Berputaran beberapa kali sebetum mendaratkan kaki di tanah. Matanya memandang
tajam pemuda bertingkah laku gila yang masih menggaruk-garuk kepala sambil
tersenyum-senyum sendiri.
"Pemuda edan, siapa kau sebenarnya"!
"Ha ha ha...! Lucu sekali," gumam Sena sambil menepuk-nepuk pantat. "Tapi
baiklah, aku akan memperkenalkan diri. Namaku Sena Manggala.
Orang biasa memanggilku Pendekar Gila. Nah! Cukup jelas, bukan?"
Mata ketiga orang itu melotot ketika tahu siapa pemuda tampan berbaju kulit ular
di hadapan mereka.
"Pendekar Gila..."!"
Mereka berseru bersamaan. Bahkan, kedua
prajurit Kadipaten Pamakasan yang masih berada di atas kuda, melompat turun dan
memberi hormat.
"Terimalah hormat kami, Tuan Pendekar."
"Ah. Mengapa kalian bertingkah seperti itu" Aku bukan raja atau adipati.
Sudahlah. Aku tidak punya waktu banyak. Aku harus segera pergi."
"Tapi, Tuan Pendekar...," cegah Bandra Gali.
"Hm...," gumam Sena seraya menghentikan
langkahnya. "Tuan, kami diperintahkan untuk menyampaikan undangan pada Tuan," tutur Galarana
sambil menyodorkan gulungan daun lontar pada Pendekar Gila yang segera membuka
dan membacanya.
"Baiklah. Aku akan ke sana."
Usai berkata demikian, Pendekar Gila berkelebat pergi meninggalkan tempat itu.
Begitu cepat gerakannya, sampai-sampai ketiga orang yang melihatnya termangu
bingung. "Aku pun harus ke sana secepatnya," kata Nyi Gendis Awit setelah termangu
beberapa saat. "Apakah kalian akan bersamaku?"
"Kami hanya diperintahkan untuk mengantar undangan padamu dan Pendekar Gila,"
sahut Bandra Gali.
"Kalau begitu, ayolah," ajak Nyi Gendis Awit.
Ketiganya pun melangkah meninggalkan tempat itu.
Nyi Gendis Awit dan kedua prajurit kadipaten sampai di perbatasan Desa Lawang
Ireng. Saat itu mentari telah condong ke barat. Sebentar lagi malam akan datang.
Mereka membutuhkan waktu
semalaman untuk sampai di Kadipaten Pamakasan.
Kedua prajurit kadipaten itu merasa agak tenang berjalan bersama tokoh rimba
persilatan. Keduanya mengikuti langkah Nyi Gendis Awit yang kelihatan tegar
walau hanya seorang wanita. Padahal, mereka sudah kehabisan tenaga. Beberapa
kali keduanya berhenti melangkah.
"Hm.... Kulihat kalian lelah."
"Naikilah kuda kalian. Biar aku berjalan kaki," kata Nyi Gendis Awit, kasihan
melihat kedua prajurit itu.
"Ah. Tidak, Nyi. Kami cukup kuat," jawab Galarana.
"Benar...?" tanya Nyi Gendis Awit tak yakin.
"Benar, Nyi," sambung Bandra Gali.
"Perjalanan ke kadipaten masih jauh. Kalian harus ingat itu."
Kembali Nyi Gendis Awit menyarankan mereka agar mau naik kuda. Namun keduanya
menolak. Malu. Seorang wanita saja kuat berjalan, mengapa mereka yang lelaki tidak"
Terlebih mereka merupakan prajurit-prajurit kadipaten. Sudah seharusnya prajurit
menunjukkan ketahanan tubuhnya.
"Kalau kalian lelah, katakan. Kita bisa beristirahat dan menginap di
penginapan," saran Nyi Gendis Awit.
Kedua prajurit itu mengangguk.
Malam pun datang menggantikan siang. Cahaya matahari yang semula terang
benderang, kini hilang, berganti dengan cahaya rembulan yang indah. Namun
begitu, suasana di Desa Lawang Ireng kelihatan tidak menyenangkan. Hawa dingin
yang menggigilkan dan suasana sepi membuat malam itu terasa mencekam.
Tiga sosok tubuh itu terus melangkah menyelusuri jalanan yang sepi dan lengang.
Di kanan dan kiri jalan terdapat pepohonan.
"Apakah tidak sebaiknya kita istirahat dulu?" tanya Nyi Gendis Awit.
"Terserah Nyai saja," sahut Bandra Gali.
"Baiklah. Kita harus mencari penginapan untuk beristirahat," kata Nyi Gendis
Awit kemudian. Ketiganya kembali meneruskan langkah untuk mencari penginapan yang ada di desa
itu. Tidak lama kemudian, mereka menemukan rumah penginapan itu. Setelah memesan
dua buah kamar, ketiganya masuk ke dalam kamar masing-masing. Kamar Nyi Gendis
Awit berdampingan dengan kamar kedua prajurit tu.
"Hm.... Malam ini aku akan mendapatkan kepuasan yang sangat menyenangkan. Kurasa
keduanya pasti mau meladeni permainanku," desis Nyi Gendis Awit, mengingat kedua
prajurit itu. Karena udara sangat panas, Nyi Gendis Awit membuka pakaian. Hingga tampak
tubuhnya yang menggairahkan. Tanpa sepengetahuan Nyi Gendis Awit, sepasang mata
melihat tubuhnya yang telanjang lewat celah dinding. Agaknya, Nyi Gendis Awit
memang sengaja melakukan hal itu untuk menarik perhatian dua prajurit yang ada
di kamar sebelah.
Sepasang mata itu melotot tak berkedip.
"Hei. Ada apa, Bandra Gali?" tanya Galarana.
"Ssst...! Lihat," bisik Bandra Gali sambil menunjuk lubang kecil di dinding
papan. Dengan berjingkat-jingkat, Galarana mendekat.
Lelaki itu menempelkan matanya di dinding ber-lubang kecil. Seketika matanya
membelalak. Berkali-kali dia harus menelan ludah.


Pendekar Gila 9 Mawar Maut Perawan Tua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Rupanya dia sengaja, Bandra," bisik Galarana.
"Ya. Ini kesempatan. Mengapa kita sia-siakan?"
"Tunggu dulu. Kita tidak boleh gegabah terhadap wanita ini. Kau ingat kata-kata
Ki Balacatra?" tanya Galarana.
"Ya."
"Dia bukan wanita sembarangan. Nyi Gendis Awit terkenal dengan sebutan perawan
tua, karena sampai usianya berkepala empat belum juga menikah."
Tengah kedua prajurit itu berbisik-bisik, tiba-tiba...
"Mengapa kalian berbisik-bisik" Kemarilah. Bukankah kalian lelah" Apakah tidak
sebaiknya kalian kupijit"
Mata kedua prajurit kadipaten itu membelalak
mendengar suara Nyi Gendis Awit yang bernada memanggil itu. Mereka tersenyum
dengan dada berdebar. Dengan mengendap-endap, mereka keluar dari kamar.
"Hati-hati, jangan sampai ada orang yang tahu,"
kata Nyi Gendis Awit dari dalam dengan suara lirih.
"Masuklah."
Setelah melihat ke kanan dan kiri, kedua prajurit itu segera masuk ke dalam
kamar Nyi Gendis Awit.
Wanita itu tengah terbaring di atas dipan. Bibirnya mengurai senyum menyaksikan
kedatangan mereka.
"Kunci pintunya," perintah Nyi Gendis Awit.
Galarana dan Bandra Gali bergegas hendak
mengunci pintu. Nyi Gendis Awit pun tersenyum sambil menggeleng-gelengkan
kepala. Kedua prajurit itu terpaku dengan mata tak berkedip memandang tubuh Nyi
Gendis Awit yang polos tanpa sehelai benang pun.
"Mengapa mematung, mendekatlah," perintah Nyi Gendis Awit.
Kedua prajurit kadipaten itu mendekat.
"Bukalah pakaian kalian."
Kembali kedua prajurit itu menurut. Dan tidak lama kemudian, suasana di kamar
itu pun sepi. Yang terdengar hanya suara tawa Nyi Gendis Awit.
3 Wut, wut...! Jlep, jlep..! "Aaa...!" seorang murid Perguruan Kera Merah yang sedang berjaga-jaga di pintu
gerbang perguruan memekik keras.
Sebuah senjata rahasia berupa sekuntum mawar merah menghujam di dada prajurit
itu. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba senjata rahasia itu melesat cepat ke
arahnya. Mendengar temannya menjerit, tiga orang murid lainnya yang juga tengah berjagajaga tersentak.
Ketiganya menoleh, dan betapa terkejutnya mereka melihat temannya terkapar
menjadi mayat. "Pembunuhan! Mawar merah...!" seru ketiga murid itu berusaha mengundang
perhatian yang lainnya agar terbangun dari tidur. Namun belum juga ada yang
terbangun, tiba-tiba...
Wut, wut, wut! Tiga kuntum bunga mawar melesat kea rah
mereka. "Awas...! Akh...!"
Belum juga habis ucapannya, otang itu sudah memekik keras. Dadanya tertancap
sekuntum mawar merah yang menembus ke dalam. Tubuhnya seketika mengejang
kemudian ambruk tanpa nyawa.
Jlep, jlep! "Aaakh...!"
Dua orang lainnya kontan memekik keras, ketika tangkai bungan mawar itu
menghunjam dada. Mata
mereka melotot menyaksikan sebuah bayangan berkelebat cepat keluar dari
kegelapan. Bayangan merah itu laksana angin yang berhembus. Kedua prajurit itu
segera meregang nyawa dan mati.
Bayangan merah itu terus melesat ke arah kamar Ketua Perguruan Kera Merah yang
bernama Ki Anggada. Dengan kekuatan penuh, jendela kamar itu didobraknya.
Brak! "Heh"!" Ki Anggada tersentak.
Wut, wut! Dua tangkai mawar merah melesat cepat ke arah tubuh Ki Anggada. Beruntung lelaki
tua itu cepat membuang tubuh dengan berguling ke samping.
Namun tak urung, istri mduanya menjadi sasaran bunga-bunga mawar.
Jlep, jlep! Tanpa mampu berteriak, wanita muda yang
usianya berbeda jauh dengan Ki Anggada itu tewas.
Di dada dan wajahnya tertancap bunga mawar merah.
Ki Anggada geram menyaksikan istrinya mati di tangan seorang wanita berbaju
serba merah. Lelaki berparas seperti kera dengan rambut tergerai kaku serta ikat
kepala berwarna dadu itu mendengus.
Tangannya dengan cepat menyambar senjata dari logam yang berbentuk empat jari
kera. Dengan senjata di tangan kanan, Ki Anggada membentak garang.
"Siapa kau"!"
"Hm.... Kau lupa padaku, Ki?" tanya wanita yang sekujur tubuhnya ditutupi kain
merah. Termasuk wajahnya.
"Bangsat! Ditanya malah balik bertanya! Katakan siapa kau sebenarnya"!" bentak
Ki Anggada gusar.
"Siapa aku, kau tak perlu tahu. Yang pasti, kau dan kelima temanmu termasuk
adipati keparat itu harus mampus di tanganku! Hiaaa...!"
Ki Anggada tersentak kaget diserang begitu cepat dan tiba-tiba. Segera dia
melompat ke belakang, kemudian berkelit ke samping.
"Hop! Heaaa...!"
Ki Anggada berusaha merangsek maju dengan cakaran kedua tangannya yang
menggunakan jurus
'Kera Memetik Buah'. Namun gerakan lawan begitu cepat. Ki Anggada hampir terkena
sambaran tangan lawan. Tapi, orang tua berwajah kera dengan pakaian rompi merah
dadu ini memiliki ketajaman tinggi.
Kalau tidak, tubuhnya sudah menjadi sasaran empuk pukulan lawan.
"Hari ini bagianmu, Kera Busuk! Yeaaat...!"
Wanita berpakaian serba merah itu terus
merangsek maju menyerang Ki Anggada. Serangan-serangannya sungguh dahsyat dan
mengarah pada tempat-tempat mematikan.
Ki Anggada yang tidak mau menjadi korban wanita misterius itu segera berkelit ke
samping. Lalu dengan gerakan cepat, balas menyerang lawan. Kali ini menggunakan
jurus 'Kera Merangsek Naga'.
Tangannya bergerak cepat merangsek ke arah lawan.
Wanita yang sekujur tubuhnya terbungkus kain merah itu terus menyerang dengan
gabungan jurus 'Pukulan Iblis Seribu' dan jurus 'Mawar Pencabut Sukma'. Sesekali tangannya
melemparkan bunga mawar. Meski mawar merah itu nampaknya tak berarti, tapi di
tangan wanita itu sangat berbahaya.
Bunga-bunga itu mampu membunuh lawan dalam sekejap.
Swing, swing! "Uts! Bunga setan!" maki Ki Anggada seraya mengelakkan bunga-bunga maut yang
telah membunuh istrinya. Tubuh Ki Anggada bergerak ke sana ke mari, terkadang
berputaran di udara untuk mengelakkan serangan bunga-bunga mawar itu.
"Hiaaa!"
"Hop! Uts!"
Lawan benar-benar tak mau memberi kesempatan pada Ki Anggada untuk balas
menyerang. Serangan-serangannya begitu cepat, disusul lemparan-lemparan mawar
mautnya yang tak kalah berbahaya.
Mendengar suara ribut-ribut di dalam kamar gurunya, murid-murid Perguruan Kera
Merah berdatangan hendak membantu sang Guru. Namun baru saja mereka sampai di
pintu, tiba-tiba....
"Awas...!" seru Ki Anggada mengingatkan.
Namun seruan itu terlambat. Secepat kilat wanita misterius itu melemparkan
bunga-bunga mawarnya ke arah murid-murid Ki Anggada.
"Hih!"
Swing, swing...!
Jlep, jlep...! "Aaa...!"
"Aaakh...!"
Tiga orang murid perguruan yang berada di depan langsung roboh. Di dada mereka
menghunjam setangkai mawar merah. Darah seketika muncrat keluar dari dada
mereka. "Bedebah! Sebelum kukirim ke neraka, katakan siapa dirimu!" bentak Ki Anggada
semakin marah menyaksikan murid-muridnya menjadi korban keganasan mawar merah
lawan. "Tidak usah banyak bicara, Kera Keparat!
Pikirkanlah nanti di alam sana, siapa aku! Hiaaa...!"
Tanpa banyak kata lagi, wanita misterius itu kembali melemparkan bunga-bunga
mawar merah ke arah Ki Anggada yang tersentak kaget.
Swing, swing...!
"Hop! Uts...!"
Tubuh Ki Anggada melenting ke atas, kemudian melesat ke samping kanan untuk
mengelakkan serangan lawan dengan jurus 'Lompatan Kera Menerkam Mangsa'.
"Hiaaa...!"
Wanita misterius itu tak membiarkan lawannya bergerak lebih jauh. Dengan cepat,
pedangnya yang bersinar keperakan dicabut. Mata Ki Anggada silau oleh sinar yang
keluar dari pedang lawan. Ki Anggada memekik menyebutkan nama pedang di tangan
wanita misterius itu.
"Pedang Perak! Hei. Ada hubungan apa kau dengan Dewi Pedang Beracun"! Siapa
kau..."!"
"Hm.... Tak perlu tahu siapa aku, Kera Busuk! Kini terimalah ajalmu! Hiaaat. .!"
Wanita misterius yang memiliki Pedang Perak milik Dewi Pedang Beracun itu tak
mau membuang waktu lagi. Segera diserangnya Ki Anggada dengan tebasan dan
babatan Pedang Perak yang mengandung racun ganas. Kali ini, dikeluarkannya jurus
'Sambar Nyawa'.
Wut! "Uhhh...," Ki Anggada mengeluh. Napasnya terasa sesak oleh racun yang ditebarkan
pedang di tangan lawan. Dalam keadaan terdesak hebat, Ki Anggada masih bertanyatanya siapa wanita misterius itu.
Kalau dia Dewi Pedang Beracun, rasanya tidak mungkin.
Dewi Pedang Beracun telah tiada sejak puluhan tahun silam.
Ki Anggada benar-benar kaget melihat pedang di tangan lawannya. Dia belum yakin
kalau wanita misterius itu Dewi Pedang Beracun. Namun jurus-jurus pedangnya,
sama dengan jurus-jurus milik Dewi Pedang Beracun. Dan senjata rahasianya....
Dewi Pedang Beracun adalah tokoh sesat di Kadipaten Pamakasan. Semasa hidupnya
pernah membuat heboh para pendekar di wilayah itu.
Dengan bunga-bunga kenanga mautnya, Dewi Pedang Beracun banyak membunuh pendekar
golongan putih. Dewi Pedang Beracun merasa dendam pada para pendekar yang telah
membunuh ayah dan ibunya, atas perintah Adipati Pamakasan. Namun, sepak terjang
Dewi Pedang Beracun dapat
dihentikan. Dia dikalahkan oleh Adipati Sumagatri, Ki Balamprang, Ki Anggada, Ki
Mandra Dupa dan Ki Sangkutra.
Mungkinkah dia Dewi Pedang Beracun" Tapi...
Dewi Pedang Beracun mengenakan pakaian hijau seperti senjatanya yang berupa
bunga kenanga. Sedangkan wanita ini mengenakan pakaian merah darah seperti bunga yang
digunakannya.... Ki Anggada terus bertanya dalam hati sambil terus mengelakkan
sabetan-sabetan senjata lawan.
Dadanya semakin terasa sesak oleh racun pedang lawan.
"Heaaa!"
Pedang di tangan wanita misterius itu terus bergerak, menyambar-nyambar dengan
tebasan dan babatan ke arah lawan. Sinar putih keperakan yang keluar dari pedang
lawan membuat napas Ki Anggada tidak lancar lagi.
"Uhuk, uhuk...!" Ki Anggada terbatuk-batuk. Tangan kirinya memegangi dada yang
terasa sakit karena
terlalu banyak menghisap racun.
"Tamatlah riwayatmu, Kera Busuk! Hiaaa...!"
Wanita misterius itu mengayunkan pedangnya.
Kemudian dengan cepat, menebaskan ke leher Ki Anggada yang tak mampu lagi
mengelakkan serangan lawan. Maka....
Cras! Kepala Ki Anggada menggelinding ke bawah
berlumuran darah. Tubuhnya mengejang sesaat, kemudian ambruk tanpa nyawa.
Wanita misterius yang tubuhnya tertutup kain merah segera melesat meninggalkan
tempat itu. Gerakannya begitu cepat, dalam sekejap telah hilang di kegelapan malam.
Seketika suasana di rumah Ki Anggada ramai.
Murid-murid hanya mampu mencaci-maki pembunuh keji yang telah membunuh guru
mereka. Malam itu Perguruan Kera Merah berkabung atas kematian Ki Anggada.
Dua orang prajurit Kadipaten Pamakasan tampak memacu kudanya menuju Perguruan
Kera Merah untuk menyampaikan undangan Adipati Sumagatri.
Namun seketika mereka memperlambat lari kudanya ketika melihat bendera kuning
dipasang di kanan dan kiri jalan.
"Sagola, kau lihat bendera kuning itu?" tanya prajurit yang memegang sebuah
gulungan daun lontar. Prajurit itu berparas tampan dan berhidung mancung.
Matanya tidak terlalu lebar.
"Ya," sahut prajurit yang dipanggil Sagola.
"Sepertinya ada kematian."
"Hei, lihat! Ada keramaian di Perguruan Kera Merah," ujar prajurit pertama yang
bernama Buwala.
"Benar. Ada apa di sana" Nampaknya banyak
sekali orang berdatangan," desis Sagola.
"Ayo kita ke sana."
Kedua prajurit Kadipaten Pamakasan itu segera mendekat. Perguruan Kera Merah
tampak dipenuhi oleh orang-orang persilatan dan rakyat biasa.
"Kisanak, ada apakah?" tanya Sagola pada pemuda berbaju rompi kulit ular yang
tengah menggaruk-garuk kepala.
Pemuda berambut gondrong yang baru saja keluar dari bangunan perguruan itu
mendongakkan kepala, memandang kedua prajurit yang menegurnya.
"Ah, dunia ini semakin tua semakin bertambah saja kejahatannya," gumam pemuda
yang tak lain Sena atau Pendekar Gila itu.
Mendengar gumaman pemuda tampan berambut
gondrong itu, Sagola dan Buwala mengerutkan kening saling pandang. Kemudian mata
keduanya memandang lekat wajah pemuda itu, yang masih tersenyum-senyum sambil menggarukgaruk kepala. "Anak muda. Kami bertanya padamu, mengapa engkau bergumam sendiri?" tanya Sagola
hampir tertawa menyaksikan tingkah laku pemuda itu yang konyol dan lucu. Mirip
orang gila. Terkadang mimik wajahnya sedih, kemudian berubah riang dengan senyum
melekat di bibir. Bahkan yang lebih konyol, pemuda itu suka menggaruk-garuk
kepala dengan tangan kiri. Sedangkan tangan kanannya asyik mengorek telinga
dengan bulu burung.
"Hi hi hi...!" Sena tertawa sambil meringis kegelian.
Hingga kedua prajurit kadipaten itu tak mampu membendung tawanya.
"Pemuda gila...," gumam Sagola. "Ayo kita ke sana."
"Hi hi hi...! Eh, tunggu!" Sena menghentikan mereka. Kedua prajurit kadipaten
berhenti dan menengok ke arahnya.
"Ada apa kau menghentikan kami?" tanya Sagola.
"Tentu kalian prajurit kadipaten, bukan?" tanya Sena seraya menggaruk-garuk
kepala. "Ya!" sahut keduanya.
"Aha! Kebetulan sekali kalau begitu," seru Sena sambil mengorek telinganya
dengan bulu burung.
"Kebetulan aku hendak ke kadipaten. Tolong Kisanak beri tahu, ke arah mana aku
harus pergi?"
Kedua prajurit kadipaten mengerutkan kening, mendengar pertanyaan pemuda
bertingkah laku aneh itu.
"Hm.... Untuk apa kau ke kadipaten, Pemuda Edan?" tanya Buwala.
"Bukankah di kadipaten ada pesta" Tentu banyak makanan di sana. Itu sebabnya aku
hendak ke sana.
Aku diundang Kanjeng Adipati," tutur Pendekar Gila.


Pendekar Gila 9 Mawar Maut Perawan Tua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sagola tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Menurutnya, pemuda
bertingkah laku gila itu hanya bercanda. Mana mungkin Adipati Sumagatri
mengundang pemuda edan seperti ini" Tanya Sagola dalam hati.
"Pemuda gila.... Ah, Kanjeng Adipati tidak mengundang pemuda gila sepertimu,
Kisanak. Tapi, Kanjeng Adipati mengundang para pendekar. Tak ada pesta di sana,"
tutur Sagola. "Sudahlah, Sagola. Mengapa kita harus meladeni pemuda gila ini?" rungut Buwala
mengajak temannya meneruskan berjalan.
"Tunggu!" kembali Sena memanggil mereka.
Buwala menghela napas. Kesal juga hatinya melihat tingkah laku pemuda itu.
"Pemuda gila! Apa sebenarnya yang kau inginkan, heh"!"
Sena tersenyum mendengar bentakan itu.
"Aha! Kalian ini tolol. Bukankah sudah kukatakan, bahwa aku hanya ingin tahu
arah jalan menuju kadipaten"!" Sena membentak tak kalah keras.
"Untuk apa kau ke sana?" dengus Buwala.
Sena tersenyum. Diambilnya gulungan daun lontar yang diberikan dua prajurit
kadipaten padanya.
Sagola segera menerima dan cepat membuka
gulungan itu. Seketika mata keduanya membelalak setelah membaca tulisan di daun
lontar itu. "Pendekar Gila...!" seru mereka bersamaan.
"Oh. Ampuni ketololan kami, Tuan Pendekar.
Sungguh kami tidak tahu kalau Tuan adalah Pendekar Gila," ujar Sagola sambil
turun dari kudanya dan menjura memberi hormat.
"Benar, Tuan Pendekar. Jika Tuan mau, hukumlah kelancangan kami," tambah Buwala.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak menyaksikan kedua prajurit itu
menyembahnya. "Sudahlah. Kalian tidak perlu minta maaf.
Sekarang katakan, ke arah mana aku harus
berjalan?" tanya Sena, masih dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Ampun, Tuan Pendekar. Kalau diperkenankan, biarlah nanti kami bersama Tuan,"
pinta Sagola. "Oho. Sangat menyesal. Aku harus segera sampai di sana. Bahaya akan mengancam
kadipaten ini. Ki Anggada telah tewas di tangan seseorang yang bersenjatakan
bunga mawar," tutur Pendekar Gila.
Untuk kedua kalinya, Sagola dan Buwala
membelalakkan mata. Kaget mendengar Ki Anggada yang hendak didatangi telah
tewas. Tapi, yang membuat mereka sangat kaget adalah cara kematian Ki Anggada
sama dengan cara kematian istri Adipati
Sumagatri dan empat orang teman mereka.
"Kenapa kalian kaget?" tanya Sena.
"Oh! Bencana apakah yang tengah melanda Kadipaten Pamakasan?" keluh Sagola.
"Hm.... Apa maksudmu?" tanya Sena masih belum mengerti.
"Lima korban telah dibantainya. Pertama, istri Kanjeng Adipati dan empat orang
teman kami yang tengah berjaga. Kini Ki Anggada," gumam Sagola setengah
mengeluh. "Semuanya sama, mati oleh mawar merah."
"Hm...," Sena bergumam tak jelas.
Kedua prajurit kadipaten itu tercenung diam. Mata mereka memandang ke arah
Perguruan Kera Merah yang tengah berkabung.
"Siapakah pelakunya?" tanya Sagola, seolah bertanya pada diri sendiri.
"Ayolah, kita harus segera ke kadipaten," ajak Sena yang dituruti kedua prajurit
kadipaten. Ketiganya menempuh perjalanan menuju Kadipaten
Pamakasan. 4 Pendekar Gila dan kedua prajurit Kadipaten Pamakasan menyelusuri jalan setapak
di tengah hutan Waranggalih. Malam telah larut. Udara dingin terasa menggigit.
Namun ketiganya masih saja melangkah. Kegelapan yang mengelilingi tempat itu
menjadikan suasana terasa mencekam. Terlebih dengan adanya suara-suara
menyeramkan binatang-binatang hutan.
"Kurasa kita harus beristirahat di dalam hutan ini, Kisanak," kata Sena sambil
menghentikan langkahnya.
"Kami terserah pada Tuan Pendekar saja," jawab kedua prajurit kadipatan itu
bersamaan. "Baiklah kalau begitu. Kita harus membuat api dulu."
Sena melompat ke atas mencari ranting-ranting kering. Gerakannya cepat tak dapat
dilihat kedua prajurit itu. Terdengar suara ranting-ranting patah.
Tidak lama berselang, Pendekar Gila turun dengan membawa ranting-ranting kering.
"Buatlah api," pinta Sena.
Kedua prajurit itu kebingungan. Mereka tidak tahu harus bagaimana membuat api.
Biasanya mereka menggunakan batu api. Tapi, bagaimana mungkin mereka mencari
batu api dalam keadaan gelap seperti ini"
Sena menggaruk-garuk kepala. Rupanya, mengerti apa yang sedang dipikirkan kedua
prajurit itu. Sejenak Pendekar Gila mencari-cari, kemudian
berkelebat pergi. Tidak lama berselang, kembali dengan membawa dua buah batu
api. "Ini batu api yang kalian butuhkan."
Kemudian, kedua batu api itu disodorkan pada mereka. Dan dengan menggosokgosokkan kedua batu itu, tidak lama kemudian api pun menyala.
Ketiganya segera mengelilingi api unggun yang cukup memberikan kehangatan.
"Tentu kalian lapar. Hm.... Sebentar, akan kucarikan ayam hutan. Tunggulah di
sini," kata Sena, lalu dengan cepat tubuhnya berkelebat menembus kerimbunan
pohon. Dua prajurit kadipaten menunggu kedatangan Pendekar Gila dengan perasaan
tercekam. Mereka takut berada di tengah hutan lebat dan gelap seperti itu.
Selama ini, keduanya tidak pernah berada di dalam hutan. Tapi, di kadipaten yang
ramai dan terang.
"Sagola, kita harus waspada," kata Buwala mengingatkan.
"Ya! Kuharap Pendekar Gila tidak lama."
Mereka menarik pedang, siap menghadapi apa pun yang akan terjadi selama Pendekar
Gila pergi. Mata mereka memandang ke sekeliling tempat itu dengan tajam. Baru saja keduanya
mempersiapkan diri, tiba-tiba terdengar suara mendesing senjata rahasia.
"Awas, ada yang menyerang!" seru Sagola, mengingatkan temannya sekaligus
mengundang Pendekar Gila agar segera datang ke tempat itu.
Swing, swing...!
Dua buah benda melesat ke arah kedua prajurit itu. Senjata rahasia itu bergerak
begitu cepat, entah dari mana datangnya.
"Celaka! Bunga mawar!" pekik Buwala kaget.
Hidungnya mencium bau wangi bunga mawar. Mata lelaki itu membelalak tegang dan
bulu kuduknya meremang. Saat itu, sekuntum mawar merah melesat ke arahnya. Tanpa
dapat dielakkan, bunga itu menghunjam dadanya.
Jlep! "Ukh!" Bulawa mengeluh. Tubuhnya sesaat mengejang dengan mata melotot, lalu
ambruk tanpa nyawa.
Jlep! Bunga yang lain menancap di dada Sagola yang juga tak sempat mengelak. Seperti
Buwala, Sagola pun mengeluh kesakitan. Dan tewas setelah tubuhnya mengejang
dengan mata melotot.
Bersamaan dengan itu, Pendekar Gila datang dengan membawa tiga ekor ayam hutan.
Sena tersentak kaget mendapatkan kedua prajurit kadipaten itu telah tewas.
Matanya menyapu ke sekeliling. Dari kegelapan, tiba-tiba melesat beberapa kuntum
bunga ke arahnya.
Swing, swing...!"
"Kurang ajar! Siapa kau...!" bentak Sena sambil bergerak menghindar. Tubuhnya
berjumpalitan di udara. Tangannya dikibaskan dengan jurus 'Si Gila Melempar
Batu'. Deru angin yang keluar dari tangan Pendekar Gila mampu menjatuhkan
beberapa bunga mawar yang menyerangnya.
Belum lagi Sena berhasil merontokkan bungabunga itu, serangan berikutnya datang.
Bunga-bunga mawar merah kembali melesat ke arahnya.
"Edan! Rupanya ada orang yang menginginkan nyawaku!" dengus Sena sambil terus
berjumpalitan mengelakkan bunga-bunga yang menyerangnya.
Dicabutnya Suling Naga Sakti. Kemudian dengan cepat dibabatkan ke arah bungabunga itu. "Heaaa...!"
Prak, prak...! Pluk, pluk...! Bunga-bunga mawar merah yang menyebarkan
aroma wangi jatuh berguguran, terkena sambaran Suling Naga Sakti Pendekar Gila.
"Pengecut! Tunjukkan dirimu!" bentak Pendekar Gila sambil menghantamkan pukulan
ke arah tempat bunga-bunga mawar itu berasal.
Tak ada sahutan.
Sena semakin bertambah geram, merasa dipermainkan lawan.
"Kurang ajar! Rupanya, mau main petak umpet denganku. Baik. Ha ha ha...!"
Dengan tertawa-tawa, Pendekar Gila mengerahkan ajian 'Sapta Bayu'. Seketika
tubuhnya melesat laksana angin, memutari wilayah itu. Larinya yang begitu cepat
membuat tubuhnya bagai menghilang.
Yang tampak hanyalah bayangannya saja. Beberapa kali Pendekar Gila memutari
tempat itu, namun tidak ditemukannya seorang pun di situ.
"Hm.... Aneh. Tak ada seorang pun di sini. Lalu siapa yang menyerangku?" gumam
Pendekar Gila. Tangannya menggaruk-garuk kepala dengan mulut nyengir kuda.
Pendekar Gila kembali ke tempat perapian.
Dipandanginya kedua mayat prajurit kadipaten. Di dada keduanya tertancap bunga
mawar. "Hm...," Sena bergumam tak jelas. Dia segera berjongkok mengambil bunga mawar
yang menancap di dada dua prajurit itu.
Prul! Bunga mawar itu tercabut. Seketika mata
Pendekar Gila membelalak, menyaksikan sesuatu yang aneh. Bunga mawar yang
tadinya segar dalam sekejap berubah layu.
"Heh. Bunga mawar apa ini?" tanyanya tertegun seraya memandangi bunga mawar di
tangannya. Pandangannya segera beralih pada bunga mawar di dada prajurit kadipaten yang
lain. Keduanya sangat berbeda. Yang masih menghunjam di dada prajurit itu nampak
segar. Sedangkan yang di tangannya telah layu.
Pendekar Gila kembali menggaruk-garuk kepala.
Keningnya semakin berkerut heran menyaksikan keanehan itu. Dicobanya ditusukkan
kembali ke tubuh prajurit itu. Keanehan pun terjadi. Bunga mawar yang semula
layu menjadi segar.
"Hah"! Apa aku tak salah lihat?" gumam Sena dengan mata melotot dan mulut
ternganga. Sena kembali menyapukan pandangan ke
sekeliling tempat itu, berusaha meyakinkan diri kalau penyerang yang belum
diketahui wujud dan rupanya itu memang telah pergi dari situ.
"Hm.... Rupanya, mawar merah ini bukan bunga biasa. Bunga iblis penghisap
darah," gumam Sena lirih setelah melihat bagaimana bunga-bunga itu makin lama
tambah merekah.
Pendekar Gila menggosok-gosok mata. Tidak percaya pada apa yang dilihatnya.
Bunga-bunga mawar itu semakin berkembang. Kian lama kian membesar. Dari kuntum
kecil dengan kelopak-kelopak kecil berubah menjadi sebesar cengkeraman tangan.
Tubuh kedua prajurit itu pun mengalami perubahan. Tubuh itu berangsur-angsur
memucat. Ada sesuatu yang aneh, daging kedua mayat itu
mengempis. Mata pecah dan kepala retak-retak.
"Oh! Apa yang terjadi?"
Sena semakin penasaran menyaksikan kejadian aneh itu. Dengan perasaan ingin
tahu, dicabu bunga mawar yang semakin membesar. Prul!
Mata pemuda itu membelalak tegang. Bulu ku duknya merinding. Bunga mawar itu
kini memiliki aka panjang sampai ke batok kepala korban.
"Oh. Pantas batok kepala mayat ini retak. Benar benar bunga iblis," gumam Sena
sambil membuai bunga itu jauh-jauh.
Pendekar Gila menuju mayat satunya. Denga merinding, dicabutnya bunga mawar yang
menancap dan tumbuh pada tubuh prajurit itu. Lalu dibuangnya jauh-jauh.
"Hhh...!" Sena mendesah. "Bencana apa lagi yang akan melanda kadipaten ini?"
Malam semakin larut. Pendekar Gila melesat meninggalkan tempat itu setelah
mematikan api unggun. Ditembusnya kegelapan malam dengan menggunakan ilmu
larinya yang melebihi kecepatan angin.
*** Pagi kembali hadir menerangi persada. Seorang pemuda tampan berbaju rompi kulit
ular nampak menggeliat bangun dari tidurnya.
"Hua...!" pemuda yang tidak lain Sena itu menguap.
Tangannya mengucek-ucek mata. Sekali lompat tubuhnya melayang turun dari atas
cabang pohon di Hutan Waranggalih.
Tubuhnya digerakkan untuk melemaskan otot-ototnya yang agak kaku. Seketika
matanya tertumbuk
pada sebuah tulisan di pohon, yang jaraknya sekitar sepuluh tombak dari tempat
dia tidur. "Heh! Rupanya ada orang yang datang ke tempat ini," gumam Sena lirih. "Hm.
Bagaimana mungkin aku sampai tidak tahu?"
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala. Kakinya melangkah menuju ke pohon itu.
Dengan tangan masih menggaruk-garuk kepala, Pendekar Gila membaca tulisan di
kulit pohon itu.
Pendekar Gila, Kuharap kau jangan mencampuri urusanku!
Mawar Maut. Sena mengerutkan kening. Diambilnya bulu burung yang diselipkan di pinggang.
Lalu dengan nikmat kupingnya dikorek. Mulutnya meringis-ringis, sedangkan tangan
kirinya menggaruk-garuk kepala.
"Hm.... Apa pula maksudnya?" tanya Sena setelah bergumam. "Kurasa dia bukan
orang sembarangan.
Kalau dia mau sangat mudah membunuhku."
Sena memandang berkeliling, berusaha mencari jejak seseorang yang lewat di
tempat itu. Tapi tak ditemukan jejak apa pun.
"Orang itu tentu berilmu tinggi. Jejak kakinya tak ada sama sekali," gumam Sena,
bicara pada diri sendiri. Pemuda itu berusaha menebak, siapa tokoh Mawar Maut
yang senjata rahasianya berupa Mawar Penghisap Darah.
Setelah menghela napas panjang, Pendekar Gila meninggalkan tempat itu. Pemuda
ini tidak gentar sedikit pun dengan ancaman Mawar Maut. Bahkan semakin ingin
menyibak misteri tokoh itu. Sepak terjangnya sangat membahayakan. Terutama
senjata rahasianya yang berupa bunga mawar merah.
"Hm.... Semakin kau mengancam, aku semakin penasaran, Mawar Maut!" gumam Sena
sambil melangkah menyelusuri jalan setapak di dalam hutan itu.
Belum begitu jauh Pendekar Gila melangkah, tiba-tiba matanya melihat sebaris
tulisan. Kali ini bukan ancaman, melainkan sebuah petunjuk.
"Heh! Aneh sekali Mawar Maut ini. Tadi dia mengancamku. Mengapa sekarang memberi
petunjuk?"
Dengan benak dipenuhi berbagai dugaan, Sena membaca tulisan Itu,
Jangan teruskan langkahmu. Berbahaya! Beloklah ke kanan.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala. Heran dengan tingkah laku Mawar Maut yang
dirasa sangat aneh. Sena yakin kalau semua yang ditulis Mawar Maut benar.
Terbukti, orang itu tidak membunuhnya sewaktu tidur.
"Hm.... Aku ingin tahu, apa yang akan terjadi jika aku berjalan lurus," gumam
Sena. Kemudian kakinya pun melangkah terus, menentang petunjuk Mawar Maut.
Seluruh panca inderanya dipasang dengan tajam.
Hingga jika ada sesuatu dapat cepat diketahui.
Kakinya terus melangkah menyelusuri jalanan setapak.
Brosss! "Akh!" Sena memekik. Tiba-tiba kakinya terperosok ke bawah. Tubuhnya melayang
cepat ke dalam lubang perangkap.
"Ha ha ha...! Mampuslah kau di dalam sana, Pendekar Gila! Bukankah sudah
kukatakan jangan
berjalan lurus! Nah, kini tetaplah di situ menunggu kematianmu!" dari atas
terdengar suara seorang wanita.
"Hhh. Apa yang ditulisnya ternyata benar. Siapakah dia?" gumam sena, mendugaduga siapa Mawar Maut itu. Saat itulah, tiba-tiba telinganya menangkap suara
desisan keras dari arah samping.
"Zsss...!"
Pendekar Gila tersentak. Cepat-cepat tubuhnya berbalik memandang arah asal


Pendekar Gila 9 Mawar Maut Perawan Tua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suara. Seketika matanya beradu dengan sepasang mata merah menyala.
"Ular!" desis Sena seraya menyurut mundur.
"Rupanya ini sarang ular."
Pendekar Gila terus melangkah mundur. Matanya tajam memandang pemilik sepasang
mata merah membara itu. Namun baru beberapa langkah, dari belakang terdengar
desisan yang keras.
"Hei. Ada dua ekor!" seru Sena kaget.
Dua ekor ular hitam kelam dengan mata merah menyala merayap ke arahnya. Lidah
kedua binatang menyeramkan itu menjulur-julur keluar. Mulutnya yang mendesisdesis terbuka lebar, menunjukkan gigi-giginya yang runcing dan berbisa.
"Ular-ular ini tentu sepasang. Hm.... Mereka mengira mudah memangsaku. Baik
kawan, kita main-main," dengus Sena sambil mencabut Suling Naga Sakti.
Kedua ular besar hitam kelam itu semakin
mendekati Pendekar Gila. Mata mereka bersinar menyeramkan. Mulutnya menganga,
siap memangsa Sena.
Pendekar Gila segera duduk bersila. Ditiupnya Suling Naga Sakti dengan perlahan
hingga menimbulkan suara mengalun merdu mendayu-dayu.
Lubang tempat Pendekar Gila berada bagai dilanda badai. Dari atas lubang
menyeruak masuk beratus-ratus ekor ular kecil. Ular-ular itu seperti dipanggil
oleh tiupan suling Pendekar Gila.
"Zsss...!"
Ular-ular kecil itu mendesis-desis. Bagaikan diperintah, ular-ular itu menyerang
kedua ular hitam besar yang semula hendak memangsa Sena. Dalam sekejap,
pertarungan dua ekor ular besar dengan ratusan ekor ular kecil berlangsung.
Ular-ular kecil itu dengan ganas menggigiti tubuh kedua ular hitam besar.
Semakin lama Pendekar Gila meniup sulingnya, semakin bertambah banyak ular-ular
kecil berdatangan.
Ular hitam besar menggelepar-gelepar, merasakan sakit akibat gigitan ular-ular
kecil. Sampai-sampai Sena sendiri merasa bergidik menyaksikan
banyaknya ular-ular kecil itu. Dalam sekejap, kedua ular hitam besar itu lumat
dimangsa ular-ular kecil.
Kemudian dengan aneh, ular-ular kecil itu membentuk sebuah tangga. seperti
menyuruh Pendekar Gila untuk naik ke atas.
Dengan bergidik, Sena segera mendaki naik.
"Terima kasih, Sahabat. Kalian telah menolongku.
Pergilah."
Ular-ular itu menurut. Berbondong-bondong mereka meninggalkan Pendekar Gila yang
masih tertegun heran menyaksikan kejadian yang baru saja dialami.
"Hyang Jagat Dewa Batara. Terima kasih atas pertolongan-Mu padaku," desah Sena.
Kemudian melesat pergi meninggalkan tempat itu.
5 Pagi yang cerah itu, di aula Kadipaten Pamakasan tampak telah hadir beberapa
orang undangan yang sengaja diundang Adipati Sumagatri. Mereka adalah Ki
Balamprang, Nyi Gendis Awit, Ki Sangkutra, Ki Mandra Dupa, Ki Lurah Banjilan dan
Sena Manggala atau Pendekar Gila. Keenam pendekar itu bermukim di wilayah
Kadipaten Pamakasan. Selain mereka, tempat itu hadir pula Ki Balacatra, orang
tua yang menjadi penasihat kadipaten.
Tidak begitu lama, muncullah Adipati Sumagatri yang dikawal dua orang prajurit
pilihan. Semua yang hadir seketika bangun dari duduknya dan menjura hormat.
"Terima kasih atas kedatangan kalian," kata Adipati Sumagatri. "Silakan duduk
kembali." Mereka menurut dan duduk kembali di kursi yang sudah disediakan. Sejenak
semuanya terdiam. Mata Adipati Sumagatri memandang seluruh pendekar yang hadir
di tempat itu. "Kurasa ada yang tidak hadir di sini," katanya kemudian.
"Benar, Kanjeng," sahut Ki Balacatra. "Ki Anggada tewas oleh pembunuh misterius
yang sampai saat ini belum diketahui siapa sebenarnya."
Adipati Sumagatri mengangguk-angguk mengerti.
Dengan menghela napas, Adipati Pamakasan itu duduk di kursinya. Semua pendekar
yang hadir di tempat itu terdiam, seperti turut berduka atas kematian Ki
Anggada. "Kalian telah mendengar sendiri apa yang terjadi di kadipaten ini, bukan" Contoh
yang nyata adalah Ki Anggada, Ketua Perguruan Kera Merah," ujar Adipati
Sumagatri setelah terdiam beberapa saat.
"Benar, Kanjeng. Akhir-akhir ini semua penduduk dicekam rasa takut dengan
kemunculan pembunuh misterius yang bersenjatakan bunga mawar merah...,"
tutur Ki Balamprang, orang yang paling tua di antara mereka. Lelaki berjenggot
panjang putih dengan hidung mancung dan bibir tipis itu adalah orang yang
dianggap sesepuh di kadipaten setelah Ki Balacatra.
Lelaki tua berbaju sederhana warna hijau ini tidak lain guru besar di Perguruan
Tambak Segara. "Ya. Kemunculannya yang tiba-tiba membuat orang kewalahan menghadapinya.
Senjatanya mengingatkan kita pada tokoh yang pernah membuat
kerusuhan di kadipaten ini. Tentu Ki Balamprang, Ki Lurah Banjilan, Ki Sangkutra
masih ingat siapa tokoh bersenjatakan bunga kenanga, bukan?" tanya Ki Balacatra,
mengejutkan semuanya termasuk Adipati Sumagatri.
"Maksudmu, Dewi Pedang Beracun?" tanya Adipati Sumagatri.
"Benar."
"Dari mana kau tahu, Ki?" tanya Ki Balamprang.
"Ya. Dari mana kau bisa menyimpulkan hal itu?"
sambut Ki Lurah Banjil.
"Aku telah memperhatikan dengan seksama korban-korban tokoh itu. Bunga mawar
merah itu ternyata bunga iblis yang bisa hidup jika menancap di tubuh
korbannya," ujar Ki Balacatra menjelaskan.
"Aha. Apa yang kau katakan benar, Ki," tiba-tiba Pendekar Gila yang sejak tadi
hanya tersenyum-senyum dan menggaruk-garuk kepala kini ikut bicara.
"Apakah kau juga tahu, Pendekar Gila?" tanya Adipati Sumagatri.
Sena sesaat menggaruk-garuk kepala sambil tersenyum-senyum.
"Ya! Dua orang prajurit kadipaten yang kemarin malam bersamaku diserang oleh
Mawar Maut. Mawar itu aneh sekali. Bisa tumbuh di tubuh orang. Jika dicabut,
mawar itu akan layu," tutur Sena.
"Hm... Pantas keduanya belum kembali sampai saat ini," gumam Adipati Sumagatri
sambil mengangguk-angguk. Wajahnya kelihatan agak murung.
"Itulah, Kanjeng Adipati," ujar Sena.
"Ke manakah kau waktu itu, Pendekar Gila?" tanya Ki Balacatra. Penasihat
kadipatan itu ingin tahu mengapa dua prajurit itu sampai terbunuh Mawar Maut.
Padahal, pendekar muda itu bukan orang sembarangan. Tidak mungkin menjaga dua
orang prajurit saja tidak sanggup.
Setelah menggaruk-garuk kepala, Sena menceritakan apa yang terjadi kemarin
malam. "Begitulah ceritanya," kata Sena tanpa menceritakan bagaimana dia terperosok ke
dalam lubang yang berisi dua ekor ular besar berwama hitam.
Semua yang mendengar mengangguk-angguk.
Mereka yakin dan percaya dengan cerita Pendekar Gila. Meski sebelumnya mereka
belum pernah bertemu dengan pendekar muda itu, namun tokoh yang dikenal arif dan
bijaksana itu tak akan mungkin berkata bohong.
"Kalau begitu, orang yang bersenjatakan mawar maut itu memang bukan orang
sembarangan. Mungkinkah Dewi Pedang Beracun hidup kembali?"
tanya Ki Balamprang setengah bergumam.
"Mungkin juga," sahut Nyi Gendis Awit.
"Ah. Bagaimana kita bisa membuktikannya"
Bukankah kita telah membunuhnya" Bahkan,
kuburnya pun kita yang membuatkan. Bukan begitu, Ki Mandra?" tanya Ki Sangkutra.
Lelaki ini paling muda di antara pendekar Kadipaten Pamakasan.
Berhidung mancung dengan kumis tipis menghias di atas bibir. Matanya sedang dan
alis matanya tidak terlalu tebal. Bertubuh tinggi dengan otot-totot kekar.
Pakaian yang dikenakannya hijau tua.
"Benar! Kami berlima, aku, Ki Sangkutra, Ki Anggada, Ki Balamprang dan Kanjeng
Adipati menyaksikannya. Rasanya, mustahil orang yang sudah mati hidup kembali,"
bantah Ki Mandra Dupa, seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun.
Wajahnya kelihatan agak kasar, dihiasi cambang bauk lebat. Matanya lebar
memandang garang.
Hidungnya tidak begitu mancung. Berdagu panjang hingga wajahnya seperti wajah
ular. Pakaiannya berwarna coklat muda.
Adipati Sumagatri mengangguk-angguk membenar-kan.
"Benar, apa yang dikatakan Ki Mandra Dupa dan Ki Sangkutra. Sepuluh tahun lalu,
kamilah yang menguburkan Dewi Pedang beracun beserta
pedangnya," sambung Adipati Sumagatri memperkuat kata-kata Ki Sangkutra dan Ki
Mandra Dupa. "Hm....!"
Mendengar penuturan tokoh-tokoh yang terlibat dalam pembunuhan Dewi Pedang
Beracun, Pendekar Gila mengangguk-angguk dan bergumam tak jelas.
"Tapi, cara orang itu membunuh hampir sama dengan Dewi Pedang Beracun," tutur Ki
Balamprang. "Apakah benar orang itu Dewi Pedang Beracun yang sepuluh tahun silam kita
bunuh?" Semua terdiam. Larut dalam pikiran masingmasing. Mereka sungguh tak mengerti,
mengapa kejadian puluhan tahun silam kembali terulang. Kalau benar Dewi Pedang
Beracun yang melakukannya, sudah pasti itu arwahnya. Arwah penasaran Dewi Pedang
Beracun. Mengerikan sekali jika benar arwah Dewi Pedang Beracun muncul dan
bermaksud menuntut balas. Sulit untuk menanggulanginya.
"Kisanak. Kalau boleh aku tahu, bisakah Kisanak menceritakan kejadian sepuluh
tahun silam itu?"
tanya Sena. "Dengan senang hati," jawab Ki Balamprang.
Kemudian Ki Balamprang menceritakan semua kejadian yang menyangkut Dewi Pedang
Beracun. Sepuluh tahun silam, Kadipaten Pamakasan yang dipimpin Adipati Kerto Amabrang
dihebohkan oleh seorang tokoh wanita sesat berpakaian serba hijau dengan senjata
bunga kenanga. Wanita cantik itu memiliki sebatang pedang perak yang
mengeluarkan racun ganas. Hingga wanita itu berjuluk Dewi Pedang Beracun.
Kemunculannya hanya ingin mengumbar nafsu belaka. Membalas dendam dengan
membunuh para pendekar dan merongrong Kanjeng Adipati.
Setelah diselidiki, akhirnya diketahui kalau Dewi Pedang Beracun anak sepasang
suami istri yang telah dibunuh para pendekar Kadipaten Pamakasan atas perintah
Kanjeng Adipati Pamakasan. Sedangkan guru Dewi Pedang Beracun adalah Dewi
Kandri. Melihat keadaan cukup genting, Adipati Kerto Amabrang mengundang lima pendekar
yang ada di wilayah itu, yaitu, Ki Balamprang, Ki Sangkutra, Ki Anggada, Ki
Mandra Dupa dan pendekar muda yang kini menjadi adipati. Dengan kerjasama yang
kuat akhirnya mereka mampu mengalahkan Dewi Pedang Beracun dan menguburkannya di atas
Bukit Lawa Ireng.
"Begitulah ceritanya. Maka jika Dewi Pedang Beracun benar-benar hidup kembali,
rasanya mustahil. Mungkinkah arwahnya" Hingga gerakannya melebihi Dewi Pedang
Beracun yang sebenarnya?"
tanya Ki Balamprang, mengakhiri ceritanya.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala. Dia pun merasa heran setelah mendengar
cerita Ki Balamprang. Ingatannya segera melayang pada kejadian kemarin, saat dia
terperosok ke dalam lubang. Sena sempat melihat sesosok bayangan berkelebat.
Kakinya menginjak tanah.
"Kurasa bukan arwah Dewi Pedang Beracun," kata Sena pasti.
"Dari mana kau tahu?" tanya Ki Balamprang.
"Ya. Bagaimana kau tahu, Pendekar Gila?" sambut Adipati Sumagatri.
"Aha. Mudah saja. Kurasa ada orang yang mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Saat semua lalai oleh keadaan, dia muncul dengan gerak-gerik yang sama persis
dengan Dewi Pedang Beracun.
Sayang, dia lupa akan senjata rahasia Dewi Pedang Beracun," tutur Sena membuat
semuanya tercengang. Mereka tak mengira kalau Pendekar Gila mampu rnenarik
kesimpulan dari cerita yang baru saja didengarnya.
"Kami belum mengerti, Pendekar Gila. Kalau berkenan, berilah penjelasan yang
sempurna," pinta Ki Balacatra.
"Sebenarnya mudah sekali jika Kisanak sekalian mau memperhatikan dengan seksama.
Pertama, Dewi Pedang Beracun membunuh orang dengan
bunga kenanga yang menancap di kening korban, seperti yang diceritakan Ki
Balamprang. Tapi orang ini membunuh dengan bunga mawar merah yang bisa hidup
pada tubuh korban. Mawar itu tumbuh bagai ditanam. Kedua, pakaian yang dikenakan
mereka. Dan ketiga, cara membunuh korban dengan pedang.
Mungkin pedangnya sama, tapi cara menggunakan jurusnya agak berbeda."
"Maksudmu, Pendekar Gila..."!" tanya Adipati Sumagatri.
"Tidakkah Kanjeng Adipati mendengar berita kematian Ki Anggada" Dia mati dengan
leher tertebas. Kepalanya menggelinding. Padahal menurut cerita Ki Balamprang,
Dewi Pedang Beracun hanya cukup menggoreskan pedangnya di dada lawan dengan cara
menyilang...," tutur Sena menjelaskan.
Semua pendekar yang ada di tempat itu semakin kagum pada Pendekar Gila. Mereka
tidak pernah menyangka kalau pendekar muda itu sanggup menarik kesimpulan dari
peristiwa yang penuh misteri.
"Hm.... Benar juga. Kini kita tidak lagi dihadapkan pada keanehan dan dugaan
sesat," kata Ki Balacatra.
"Sekarang tinggal bagaimana kita menangkap pelaku itu."
"Ada yang lebih penting, Ki," selak Sena.
"Apakah itu, Pendekar Gila?" tanya Ki Balacatra.
"Membuktikan ke kuburan Dewi Pedang Beracun."
"Hm.... Benar!" sambut Ki Sangkutra.
"Ya. Kita harus membuktikan apakah Dewi Pedang Beracun masih terkubur di sana,"
sambung Ki Mandra Dupa.
"Bagaimana jika kita segera ke sana?" ajak Adipati Sumagatri.
"Kurasa tidak perlu semua. Biar aku dan Ki Balamprang saja," kata Sena.
"Bagaimana, Ki?"
"Aku setuju."
"Baiklah, kita segera ke sana," ajak Sena.
Kemudian, keduanya segera bangun dari kursi.
Setelah menjura hormat, mereka bergegas
meninggalkan tempat itu untuk menyelidiki Dewi Pedang Beracun yang berada di
Pedang Sinar Emas 20 Kemelut Kerajaan Mancu Seri Huang Ho Sianli 2 Karya Kho Ping Hoo Harimau Mendekam Naga Sembunyi 5

Cari Blog Ini