Ceritasilat Novel Online

Misteri Goa Malaikat 1

Pendekar Cambuk Naga Misteri Goa Malaikat Bagian 1


MISTERI GOA MALAIKAT Oleh Barata Cetakan Pertama
Penerbit Wirautama, Jakarta
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengutip atau Memproduksi
Dalam Bentuk Apapun
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Barata Serial Pendekar Cambuk Naga
Dalam Episode :
Misteri Goa Malaikat
128 Hal,; 12.18 Cm.; 01.1290.50.3
Di Edit oleh: mybenomybeyes
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
1 PENDEKAR Pusar Bumi, atau Lanang
seta, segera mencabut pedangnya setelah tiga utusan Bukit Badai menyerangnya
bertubi-tubi dengan senjata kampak
panjangnya. "Sreet..!"Pedang Wisa Kobra keluar dari sarungnya. Terdengar bunyi denging yang
datar, namun sangat menyakitkan
gendang telinga. Ketiga utusan dari
Penguasa Bukit Badai meloncat tinggi, bersalto ke belakang bersama. Salah
seorang berseru kepada kedua temannya:
"Cari daun, sumbatkan pada telinga kita!"
Gerakan ketiga utusan Bukit Badai
itu memang gesit dan cekatan. Sambil
tubuhnya kembali ke tanah, tangan mereka sudah berhasil menyambut dedaunan dan
segera menyumpal Lubang telinganya.
Bunyi denging yang dikeluarkan dari
pedang Wisa Kobra berkurang.
"Seraaang...!" salah seorang memberi komando kepada yang lain. Mereka maju
serentak dengan gerakan tubuh bagai meluncur mirip peluru. Masing-masing
mengacungkan kampak panjang yang
menyerupai tombak pendek itu. Ketiganya menyerang Pendekar Pusar Bumi dengan
ganasnya. Tanpa bicara sepatah kata pun, Pendekar Pusar Bumi siap menghadang
serangan tiga arah: kiri, kanan dan
depan. Ketika kampak panjang berjarak satu hasta dari tubuhnya, ia segera
mengibaskan pedang Wisa Kobranya dengan gerakan memutar cepat, tangan keduanya
memegangi gagang pedang Wisa Kobra.
Kokoh dan gerakannya sangat cepat.
"Trang... trang... trang...!" Dalam satu kali tebasan beruntun itu, kampak
panjang terpotong, masing-masing
menjadi dua bagian. Tetapi ketiga tubuh yang meluncur itu masih hendak menerjang
Lanang seta. Maka segera ia menjatuhkan badan ke tanah, berguling tiga kali
dengan cepat. Pada waktu itulah pedang Wisa Kobra diayunkan ke atas dan berhasil
merobek ketiga perut lawan.
"Aaakh...!" ketiganya berteriak serempak. Tanpa dikomando lagi,
ketiganya kelojotan dalam sekaratnya.
Perut mereka robek, isinya berhamburan keluar. Salah seorang ada yang mencoba
bertahan, memegang usus dan isi perutnya yang lain, memaksakan diri untuk dapat
memasukkan isi perutnya lagi. Namun
sebelum pekerjaan itu ia kerjakan dengan baik, nafasnya tersentak-sentak, lalu
ia sendiri diam tak berkutik lagi.
Pendekar Pusar Bumi segera memasukkan pedangnya ke sarung pedang yang
berada di punggung. Ia berdiri dengan tegap. Memandang ketiga mayat lawannya
dengan senyum sinis. Rambutnya yang panjang diikat kulit macan tutul itu masih
dipermainkan angin senja. Ia masih
tertegun memandangi mayat musuhnya yang dedel duel itu.
Mendadak ia terlempar ke depan,
nyaris menjatuhi ketiga mayat itu.
Sebuah pukulan jarak jauh begitu hebat menghentakkan punggungnya. Pendekar
Pusar Bumi segera membelalakkan mata, menatap dengan garang namun tidak kasar.
Ia baru saja berdiri dengan sebelah kaki, ketika tiba-tiba tubuhnya terasa
disapu oleh hembusan angin yang sangat kencang, bagai badai yang melanda dan
mampu merobohkan gedung sekokoh apa pun.
Pendekar Pusar Bumi
terguling-guling tak tentu arah.
Kemudian segera menghentakkan salah satu kakinya, dan melejitlah ia ke udara
sambil memasang kesigapan. Begitu
kakinya kembali menapak ke tanah, ia
disambut oleh seribu jarum berwarna
hitam yang melesat ke arahnya. Karuan saja pendekar tampan itu melejitkan
tubuhnya kembali dengan gerakan tangan terentang dan mengguling ke kiri
beberapa kali. Pedang Wisa Kobra segera dicabutnya begitu kakinya menyentuh
tanah. Ia bersiap menghadapi serangan gelap.
"Siapa yang pengecut itu"
Keluarlah! Mungkin kita butuh
berkenalan!" seru Pendekar Pusar Bumi.
Kedua tangannya memegangi gagang pedang, siap untuk
menebas apa pun yang
menyerangnya. Matanya melotot, namun
tidak kasar. Tajam, bagai mampu memotong dahan yang dipandangnya. Tapi di balik
ketajaman mata itu, tampak suatu
genangan bening yang meneduhkan.
Angin senja bertiup lembut.
Penyerang gelap yang ditunggu belum mau menampakkan diri. Lanangseta masih
menunggu. la sempat terkejut melihat
beberapa tanaman yang mendadak menjadi kering karena dihunjam jarum-jarum
hitam, yang tadi nyaris menembusi
badannya. "Sobat! Keluarlah kalau kau ingin mengenalku!" seru Lanangseta kembali.
Kemudian dari balik semak belukar
yang berduri tajam itu, muncullah
sesosok tubuh gemulai. Senyumnya mekar dari bibir yang merah merekah. Ia
melangkah bagai tanpa menghiraukan duri menggores kulit tubuhnya yang mulus. Ia
amat tenang dipandang Lanangseta dengan mata membelalak dan mulut melongo. Dia
bahkan ingin tertawa waktu Lanangseta menurunkan pedangnya yang terangkat dan
mengusap lehernya yang berkeringat.
"Kau..." Perempuan...?" Lanangseta terkesima melihat kecantikan perempuan
berpakaian serba hijau itu. Rambut
panjang perempuan itu ditekuk ke atas, menjadikan satu sanggul yang indah,
namun masih bersisa beberapa jengkal
bagian ujung rambut itu. Dan sisa rambut itu dibiarkan berjuntai ke bawah dengan
lemas, bagai seikat ekor kuda semberani.
Perempuan itu sangat anggun. Matanya
yang indah dan bening dan bergaris hitam pada tepian kelopaknya itu sangat
mengagumkan. Hidungnya mancung, sedikit mencuat ke atas, namun sangat indah. Ia
mengenakan giwang bermata merah delima.
Juga mengenakan kalung emas berliontin batu zamrud Hijau, bening. Ia mengenakan
pakaian potongan lelaki: celana pangsi dari bahan halus berenda benang emas, dan
baju lengan panjang terbuat dari bahan yang sama, juga berenda emas di
tepiannya. Baju itu tidak dikancingkan, sehingga terlihat kain penutup dada yang
berwarna hijau transparan. Ia mengenakan sabuk berukuran empat jari berwarna
kuning emas. Di bagian tengahnya
terdapat batu-batu kecil berwarna hitam bening.
Lanangseta belum mau berkedip. Rugi
berkedip sedetik pun. Jari-jemarinya
yang lentik dan indah itu mempunyai
kuku-kuku yang bersih. Tidak terlalu
panjang, namun bentuk kukunya itu jelas sekali kalau sering dirawat. Sekerat
cincin bermata merah delima, sama dengan kalungnya. Cincin itu sangat tipis,
namun justru itu yang membuat indahnya lentik jemarinya. Sesekali pandangan
Lanangseta tertuju ke cincin, namun
lebih sering tertuju ke bagian dada yang berlapis kain tipis, sehingga
menampakkan betul lekuk belahan dadanya, dan menampakkan betul permukaan kedua
'bukitnya' itu. Sesekali memang darah Lanangseta berdesir, tapi ia selalu
mencoba untuk meredakan sesuatu yang
melonjak-lonjak dalam dirinya.
"Siapa kau sebenarnya?" itulah suara Lanangseta setelah mulutnya terasa kelu
beberapa saat. Perempuan itu hanya tersenyum tipis. Sangat tipis. Pandangan
matanya tertuju pada mayat-mayat yang robek perutnya itu. Ia kelihatan tenang,
langkah kakinya amat berwibawa ketika ia memeriksa ketiga mayat itu. Dan waktu
ia berpaling kembali memandang Lanangseta, sorotan matanya itu sangat
mendesirkan hati yang dipandang. Begitu berwibawa dan
mencerminkan ketegasan dan
keberaniannya yang luar biasa.
"Ohh... dia begitu anggun dan
meng-etarkan," kata Lanangseta di dalam hati.
"Jangan memuji...!" tiba-tiba perempuan bagai bidadari itu berkata
dengan suaranya yang amat lembut, enak sekali didengarnya.
"Memuji" Siapa yang memujimu?"
Perempuan itu memandang keadaan
sekeliling dengan tenang. Ia juga
berkata, "Kau tadi mengatakan aku begitu anggun dan menggetarkan!"
"Gila! Dia bisa mendengar suara batinku," gumam Lanangseta dalam hati.
Tiba-tiba perempuan itu berkata dengan sedikit mengangkat alisnya yang tebal
tapi teratur rapi.
"Memang. Tapi tidak berarti aku
gila, seperti katamu tadi."
"Aku tidak berkata apa-apa,"
Lanangseta mencoba mengelak.
Perempuan itu menyunggingkan senyum
tipis, namun justru menambah pesona di wajah ayunya.
"Kau mengatakan aku gila. Kau! heran bahwa aku bisa mendengar suara batinmu."
Pendekar Pusar Bumi mendesah lirih,
merasa malu. Ia kini percaya bahwa
perempuan punya ilmu tinggi itu tak bisa dibohongi. Ia bukan barang mainan yang
pantas buat hiburan. Dan... tiba-tiba pada saat itu, perempuan itu berkata
lirih, "Cobalah mempermainkan aku kalau kau ingin kehilangan nyawa dan ragamu!"
"Tutuplah telinga hatimu," ujar Lanangseta setelah tertegun beberapa saat ketika
perempuan itu ganti
memandanginya. "Jika kau tidak menutup pintu hatimu, aku tidak bisa bicara
dengan santai denganmu."
"Kau membutuhkan itu?"
"Ya. Aku ingin bicara dengan santai denganmu. Kita perlu saling kenal. Bukan
saling mencurigai dan menyelidiki!"
Sungging senyum sinis yang tipis
mekar di ujung bibir. Lagi-lagi
Lanangseta mengeluh dan mendesah melihat senyuman yang indah itu.
"Kau telah melanggar memasuki
wilayahku. Kau telah membunuh ketiga
anak buahku, dan kau.."
"Aku minta maaf. Aku tidak tahu ini wilayah siapa." Lanangseta menyahut dengan
cepat. Tangan kanannya masih
memegangi pedang. Lalu ia buru-buru
menyarungkan pedang itu.
"Kalau kau mau menjelaskan, mungkin aku bisa mempertimbangkan kesalahanku,"
kata Lanangseta lagi.
"Bukan kau, tapi aku yang harus
mempertimbangkan kesalahanmu!"
perempuan anggun itu bicara lebih keras lagi. "Bukit Badai adalah wilayah kami,
Ayahku yang menjadi penguasa Bukit Badai ini. Siapa pun tak boleh menginjak
wilayah ini, sebab ini wilayah yang
suci." "Suci?"
"Ya. Bagi kami, ini wilayah yang
suci. Sebab di sinilah, nenek moyang
kami, yang menurunkan kami selama ini, hilang tanpa jasad, sehingga Bukit Badai
ini merupakan makam leluhur kami yang perlu dijaga dan disucikan. Kami tidak
mengijinkan setiap orang seenaknya
menginjak-injak makam leluhur kami."
"Makam...?" gumam Lanangseta. Ia memandang sekeliling. "Makam sebesar ini" Ah...
ini mengada-ada. Makam masa sebesar bukit begini"!"
Perempuan itu berjalan, lebih
mendekati Lanangseta. Ia memandang
dengan tajam, tak berkedip, tak juga menjemukan diterima Lanangseta.
"Apalagi kau tadi kami lihat keluar dari mulut goa. Itu goa larangan bagi kami.
Itu goa keramat, juga suci. Tak seorang pun boleh keluar masuk seenaknya di
goa Malaikat itu. Mengerti"!"
hardiknya. "Goa Malaikat"! Yang mana goanya"
Aku tadi hanya keluar dari sebuah lorong, semacam lobang sumur yang letaknya
miring bagai mulut goa."
"Itulah Goa Malaikat! Jangan kau masuk ke sana lagi!" perempuan itu berkata
tegas, sedikit membelalak, dan mata itu semakin indah saja
dipandangnya. Lanangseta sempat
berdecak kagum. Tangan perempuan itu
dengan berani menampar pelan pipi
Lanangseta. "Plak...!"
"Dengar kata-kataku! Jangan
berpikiran usil!"
Tamparan itu tidak menyakitkan. Lanangseta merasa tak perlu marah. Hanya saja dia berpikir, bagaimana caranya
supaya bisa ditampar lagi seperti tadi.
Dan tiba-tiba perempuan itu menamparnya lagi. "Plaak...!" Lanangseta kaget. "Eh,
betul-betul ditampar lagi?" pikirnya heran.
Lanangseta mengusap pipi yang
ditampar. Sedikit menyengat, tapi enak.
Dihati berdesir indah. Ada kesan
tersendiri dalam dua kali tamparan itu.
Lanangseta tersenyum bagai mengucapkan kata terima kasih terhadap kedua
tamparan tersebut. Namun, perempuan itu tiba-tiba melangkah pergi tanpa bicara
apa pun. Lanangseta mengejar, melompat dan melayang melalui atas kepala
perempuan tersebut, dan berdiri di depan perempuan berpakaian hijau muda.
"Ada yang lupa kau katakan," ujar Lanangseta.
Perempuan itu mengerutkan alisnya
yang tebal namun berbentuk indah.
"Kau belum menyebutkan namamu,"
sambung Lanangseta.
"Aku tidak punya nama," jawabnya ketus.
"Jadi bagaimana kalau aku bertemu denganmu dan ingin memanggilmu?"
"Tak perlu memanggil!" sambil
berkata begitu, ia melangkah ke arah
lain. Lanangseta diam sebentar, lalu
mengejarnya lagi.
"Tunggu...!"
Perempuan itu tiba-tiba melesat
dalam satu gerakan terbang seperti


Pendekar Cambuk Naga Misteri Goa Malaikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kunang-kunang hendak menghilang.
Lanangseta tak mau tinggal diam. Ia ikut melesat dan tahu-tahu sudah berada di
depan perempuan itu.
"Aku butuh mengetahui namamu."
"Untuk apa, hah?" ia menghardik.
Matanya melebar sedikit.
Lanangseta terkagum sejenak,
kemudian menjawab, "Untuk kucocokkan kepada siapa pun yang tahu riwayat Bukit
Badai dan Goa Malaikat, apakah benar kau termasuk keturunan leluhur yang kau
bilang tadi hilang di sini itu."
"Membosankan!" ucapnya tandas.
Kemudian perempuan itu menghentakkan
kakinya dan melambung ke atas. Ia sampai di dahan pohon. Memandang Lanangseta
sebentar dengan senyum sinis, lalu
melayang dari dahan ke dahan. Lanangseta tak mau kalah upaya. Ia juga mampu
melesat dan nangkring di dahan yang
menjadi sasaran perempuan itu
berikutnya. Sehingga, mau tak mau mereka berada dalam satu dahan pohon.
"Apa susahnya hanya menyebut satu nama saja," kata Lanangseta. Perempuan itu
tidak menjawab. Melesat lagi bagai seekor burung kutilang yang terbang ke pohon
lain. Lanangseta mengejar, dan
berhasil dalam satu dahan lagi.
"Kau jangan membuatku marah dalam
hati. Sebutkan, siapa namamu!"
"Tanyakan saja pada orang di sekitar sini, atau siapa saja!"
"Aku ingin mendengar dari mulutmu!"
"Brengsek...!!" Perempuan itu menyerang dengan satu pukulan.
Lanangseta kaget, dan melayang jatuh
begitu tangan perempuan anggun itu
menghentak di dadanya. Untung ilmu
peringan tubuh dapat digunakan
sewaktu-waktu, sehingga Lanangseta tak mengalami cedera begitu jatuh dari atas
pohon. Hanya kepalanya sedikit pusing karena terbentur akar pohon yang besar.
Ia melihat perempuan itu melesat
bagai kilasan cahaya berwarna hijau.
Lanangseta penasaran sekali. Segera ia memburunya dengan menggunakan jurus
Lindung Bumi. Tubuhnya amblas ke tanah dan tak terlihat lagi.
Perempuan itu menyangka Lanangseta
sudah pergi. Ia segera turun dari
dahan-dahan pohon. Lalu berjalan tenang.
Namun mendadak ia nyaris terpekik kaget, karena dalam dalam tanah yang ada di
depannya itu muncullah Lanangseta dengan terlebih dulu menghamburkan tanah
tersebut. Lanangseta menyunggingkan
senyum canda ketika melihat perempuan itu terkejut. Wajahnya begitu manis
dalam keadaan kaget. Lanang tertawa
pelan. "Cuma ingin tahu nama saja sampai harus begini?"
"Aku tidak punya nama!" hardik perempuan itu.
"Mustahil!"
"Minggir!"
"Sebutkan dulu...."
"Minggir...!!" bentaknya lebih keras. Lanangseta menggeleng. Kemudian tanpa
ragu-ragu lagi perempuan itu
melancarkan pukulan ke arah dada
Lanangseta dengan gerakan sedikit
membungkuk, membuat tipuan. Lanangseta terpental ke belakang karena tak sempat
menangkis pukulan yang cukup gesit itu.
Dalam keadaan limbung begitu, kaki
perempuan itu menendangnya kuat-kuat, sehingga Lanangseta memekik tertahan,
memegangi perutnya yang mulas.
Perempuan itu membiarkan Lanangseta
menyeringai kesakitan. Ia tidak
menyerang lagi, tapi melesat dalam satu loncatan yang cepat untuk menghilang.
Tapi agak-nya Lanangseta tak mau
kehilangan perempuan
itu sebelum mendengar siapa namanya. Lanangseta
segera menyusul dengan satu loncatan
yang tak kalah cepatnya. Ia bersalto
beberapa kali di udara sehingga
tahu-tahu sudah berdiri di depan
perempuan itu. Perempuan itu
menghempaskan nafas, penuh kejengkelan.
Namun agaknya ia masih mencoba untuk
menahan emosinya.
"Keras kepala...!" geram perempuan itu dengan memancarkan pandangan yang tajam
meneduhkan, sama dengan pandangan mata Lanangseta. Sebenarnya perempuan itu
mengakui kehebatan ilmu Lanangseta, juga mengakui pancaran sinar mata Lanang
yang tajam dan meneduhkan. Hanya saja, ia pantang mengungkapkan kata-kata untuk
itu semua. .Ia hanya menggeram dalam
kejengkelan dan Lanangseta belum mau
menyerah. "Tolong... sebutkan namamu. Aku
sangat membutuhkannya." Lanangseta berbicara dengan pelan dan serius.
Perempuan itu hanya mendesis.
"Kau sudah punya kekasih. Untuk apa mengenal namaku."
Lanangseta terbengong sesaat. "Dari mana dia tahu kalau aku sudah mencintai
Sekar Pamikat?" pikir Lanangseta, dan tiba-tiba ia membungkam pikirannya
sendiri setelah disadari bahwa perempuan itu jago mendengar suara hati orang
lain. Buktinya kali ini ia tersenyum sinis.
Pasti dia telah mengetahui pikiran
Lanangseta baru saja itu. Karenanya,
Lanangseta menjadi punya gagasan untuk memanfaatkan keahlian perempuan anggun
itu. Ia berkata di dalam hatinya,
"Sebenarnya perempuan ini lebih cantik dari Sekar Pamikat..."
"Ada reaksi yang terlihat di wajah anggun yang cantik itu, yakni seulas
senyum tersipu yang sangat tipis.
Perempuan itu berusaha menyembunyikan senyuman tipisnya, namun mata Lanangseta
lebih tangkas menangkap arti senyuman itu. Kemudian ia berkata dalam hati lagi,
"Kalau saja... perempuan ini mau menyebutkan namanya, mungkin aku dapat tergoda
dan takut mengigau
memanggil-manggil namanya. Wah, bisa
kacau kalau sampai didengar Sekar
Pamikat..."
Senyum itu semakin nyata, mekar di
ujung bibir yang tipis, merekah dan cukup sensual. Lanangseta buru-buru berkata
dalam hati, "Ah, sebaiknya kubatalkan saja untuk mengetahui namanya. Baiklah,
kutinggalkan saja perempuan ini dari
pada nanti jadi runyam segalanya...."
"Pentingkah namaku bagi dirimu?"
tiba-tiba perempuan itu bertanya
demikian. Ia terpancing. Ia menampakkan tanda-tanda sengaja memberikan namanya.
"Tidak," jawab Lanangseta, tetapi dalam hatinya segera berkata,
"Mudah-mudahan dia tak jadi menyebutkan namanya."
Perempuan itu mendengar kata hati
Lanangseta, lalu ia berkata dengan suara lirih, namun matanya tertuju ke arah
lain: "Namaku..." dia berhenti, agak ragu. Lalu menyambungnya lagi dengan
bibir gemetar:"... Kirana Sari..."
Dan seketika itu juga terdengar
suatu ledakan di angkasa: "Glegaar...!"
Angin bertiup kencang, petir
menyambar-nyambar tanpa setetes pun
hujan. Langit bagai terbelah oleh nyala api yang menggores tajam. Awan hitam dan
putih bergolak. Lanangseta gemetar,
memandang ke atas, tertegun pada awan yang bergolak-golak bagai dipermainkan
topan dahsyat. Bumi pun terasa
bergoncang samar-samar. Nyala merah
bagai membakar langit, nyala mmerah itu menjadi setiap terdengar ledakan di
langit, di sela-sela gumpalan mega hitam yang mengamuk mengerikan. Tubuh
Lanangseta sendiri nyaris tumbang karena tiupan angin yang begitu kuat.
Sedangkan Kirana Sari pun terpaksa menundukkan
kepala, bagai menahan diri dari hempasan badai yang datang dengan tiba-tiba.
Lanangseta sangat heran dengan
kejadian alam yang secara tiba-tiba itu.
Ia memandang Kirana Sari, ingin bertanya ada apa sebenarnya sehingga langit
menjadi terbakar
dan awan hitam menggulung-gulung bagai pusaran pembawa maut.
"Kirana Sari... ada..."
Belum sempat Pendekar Pusar Bumi
meneruskan kalimatnya, tiba-tiba
goncangan bumi semakin terasa kuat.
Pohon tumbang di beberapa tempat. Badai semakin kuat, mengerikan. Gelegar di
angkasa benar-benar bagai memecahkan
langit. Mendung hitam menyatu dengan
awan putih, menjadi satu pusaran maut.
Petir semakin merajalela bergerak gila di angkasa. Loncatan api yang
menimbulkan suara ledakan semakin
bertambah banyak. Lanangseta sempat
jatuh terduduk karena dihempas badai
setan, yang begitu kuat dan mampu
mematahkan batang pohon sebesar 10
pelukan manusia. Gemuruh suara pohon
rubuh sangat mengerikan. Kirana Sari
hanya diam, menutup mulutnya
rapat-rapat, memandang Lanangseta
dengan rasa iba. Kemudian ia mengulurkan tangannya kepada Lanangseta yang nyaris
terseret badai ke arah selatan.
Lanangseta menyambut uluran tangan
perempuan anggun itu. Dengan kuat
perempuan itu menarik Lanangseta
sehingga lelaki tampan itu tak jadi
terbawa arus badai. Mereka diam dengan saling berpegangan. Namun sesungguhnya
perempuan itulah yang memegangi
Lanangseta dan menahannya kuat-kuat agar jangan
sampai pemuda yang baru
dikenalnya itu terpelanting dan terbawa arus badai yang sangat kencang itu.
Beberapa saat kemudian, amukan alam
berhenti. Angin perbukitan menjadi
semilir. Namun banyak pepohonan yang
rusak total. Bumi bagai habis dilandai gempa yang begitu dahsyat. Lanangseta
terbengong-bengong memandang kekacauan itu.
Ia masih dipegangi oleh Kirana Sari.
Perempuan itu berbisik lirih, namun
bernada jelas dan tegas:
"Tinggalkan Bukit Badai ini, dan jangan sebut lagi namaku."
Lanangseta merasa heran. Ia ingin
bicara, tapi tangan Kirana Sari segera menutup mulut yang sudah terlanjur
terganga itu. "Jangan sebut lagi namaku. Ingat itu. Sekali pun kau ada di depanku,
jangan sebut namaku."
"Kenapa?"
"Kau telah mengalami akibatnya jika
nama itu disebutkan seseorang."
Kerutan dahi Lanangseta semakin tajam. "Jadi, badai dan petir yang mengamuk tadi akibat dari namamu yang
disebutkan?"
Kirana Sari mengangguk.
"Hebat! Tapi gila ini.,.! Gila
sekali! Masa menyebutkan nama saja
sampai membuat bumi dan seisi alam
menjadi berantakan begini"!"
"Kalau kau ingin selamat, jangan
sebutkan namaku. Kau tadi telah
menyebutkannya setelah aku menyebutkan namaku. Dan kau tahu amukan alam semakin
menggila, bukan?" Kirana Sari menjauh, memandang kehancuran beberapa pohon di
sekitarnya. Lalu terdengar suaranya yang masih bernada tegas dan berwibawa.
"Itulah sebabnya aku tak pernah menyebutkan namaku kepada siapa pun. Jika
keadaan tidak memaksa sekali, aku tak mau memberikan namaku kepada seseorang.
Karena nama itu adalah nama yang dipakai oleh
leluhurku untuk menghancurkan
sebuah pulau beserta gunung-gunungnya di laut selatan. Pulau itu, cukup besar.
Lebih besar dari Pulau Jawa ini. Tapi karena dihuni oleh sekelompok
orang-orang maksiat, dipimpin oleh
seorang ratu yang amat jahat, maka
leluhurku menghancurkannya dengan ilmu tersebut, yang kini menjadi namaku. Jadi
kuminta, jangan lagi kau sebutkan
namaku." "Jadi, bagaimana jika aku ingin
memanggilmu suatu saat nanti?"
"Panggillah di dalam hatimu, aku pasti mendengarnya. Tapi kurasa itu tak perlu,
karena kita tak akan bertemu lagi.
Kau harus pergi dan jangan kembali lagi kemari!"
*** 2 ANEHNYA, bukan Lanangseta yang
pergi lebih dulu, melainkan Kirana Sari yang melangkah meninggalkan Lanangseta.
Sebelumnya ia sempat berkata untuk yang terakhir kalinya:
"Pergilah, jangan bertahan! Ilmumu memang hebat, tapi kau tak akan sanggup
menghadapi kekuatan kami, orang-orang Bukit Badai ini. Kau telah membunuh tiga
anak buahku, kuampuni itu, asal kau cepat pergi dan jangan menginjak makam
leluhur kami ini. Bila nanti masih kulihat kau berada di wilayah Bukit Badai,
kau akan kubunuh!"
Itulah kata-kata terakhir, sebelum
ia melangkah 7 kali, untuk kemudian
melesat bagai bayangan sinar hijau.
Lanangseta ingin memperpanjang
percakapan, tapi benar-benar tak ada kesempatan lagi. Ia mengejarnya, ah...
gagal. Perempuan dengan nama Kirana Sari itu
hilang bagai ditelan bumi.
Lanangseta menyesal. Kecewa sekali. Tapi bekas wajahnya yang anggun, cantik dan
menggetarkan hati itu masih melekat
dalam benak Lanangseta.
Sambil melangkah menuju mulut goa,
tempat ia tadi keluar, Lanangseta
bergumam sendiri dalam hati,
menyebut-nyebut nama Kirana Sari yang unik, tapi mengagumkan. Sesekali
Lanangseta ingin mencoba menyebutkan
nama itu lewat mulutnya, tapi ia
membatalkan niat itu, ia tak ingin
memancing kemarahan Kirana Sari, yang menurutnya bisa-bisa akan membunuhnya
dengan sadis. Dalam hati pula, Lanangseta mengakui kehebatan ilmu dan tenaga
dalam yang dimiliki Kirana Sari.
Ilmu yang langka dan memukau lawan. Tapi, bagaimanapun ia tak yakin kalau ia
dapat dikalahkan Kirana Sari.
"Aneh..." gumamnya sendirian.
"Padahal tujuanku keluar dari goa untuk mencari kemungkinan membawa Ekayana yang
terluka di punggung itu, tapi kenapa


Pendekar Cambuk Naga Misteri Goa Malaikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

justru terbuai oleh kehebatan Ki... eh, tak jadi. Kehebatan dia, maksudku,"
Lanangseta tertawa sendiri, karena ia nyaris menyebutkan nama Kirana Sari
lewat mulutnya. Untung ia segera ingat.
Goa yang dikatakan sebagai Goa
Malaikat itu bermulut kecil. Menyerupai mulut sumur dalam posisi miring.
Lanangseta keluarnya saja hams
merangkak, demikian juga masuknya
kembali. Apapun yang dikatakan Kirana tadi, ia sama sekali tidak percaya.
"Ini bukan goa! Apalagi dikatakan goa suci, uuh... ngibul!" Ia bicara sendiri
sambil merangkak masuk mulut
goa. Beberapa saat kemudian ia mencapai
tempat yang luas. Ia berdiri.
Langit-langit goa hampir menyentuh
rambut kepalanya. Ia melangkah, lebih ke dalam lebih lebar dan lebih tinggi
langit-langitnya. Sinar matahari masih sempat menerangi bagian dalam goa yang
sudah selebar balairung. Memang
cahayanya remang-remang, tapi Lanangseta hapal ke arah mana ia tadi
meningalkan adik kembarnya: Ekayana yang terluka bersama teman-teman lainnya.
Kalau saja Ekayana tidak terluka akibat pedang beracun orang Sendang Bangkai
(dalam kisah Rahasia Sendang Bangkai), mungkin ia tak perlu repot-repot keluar
dari goa dulu. Mungkin ia lebih baik
beristirahat dulu di dalam goa bersama teman-temannya dan kekasihnya: Sekar
Pamikat atau si Dewi Cambuk Naga itu.
Tetapi, agaknya keadaan tidak
memungkinkan. Ia harus segera membawa keluar Ekayana, adik kembarnya itu,
membawanya pulang ke Pesanggrahan
Cendana Manik untuk meminta pengobatan dari ayahnya yang telah lanjut usia itu.
Jalanan di dalam goa terpecah
menjadi dua arah, ke kiri dan ke kanan.
Lanangseta ingat, tadi ia meninggalkan Ekayana dan yang lainnya di lorong yang
kiri. Maka, ia pun melangkah ke lorong yang kiri. Tapi beberapa langkah
kemudian, ia berhenti dengan
terheran-heran.
"Buntu"! Ah, kok jadi buntu begini"
Rasa-rasanya tadi lorong ini amat
panjang dan aku meninggalkan saudara
kembarku di pertengahan lorong ini. Tapi sekarang... baru beberapa langkah dari
persimpangan lorong, kenapa sudah jadi buntu begini"!"
Lanangseta yang dikenal dengan nama
Pendekar Pusar Bumi itu masih tertegun beberapa saat. Lalu ia memeriksa dinding
yang seakan membatasi dan menutup lorong itu. Oh, ternyata dinding tersebut
berlumut, lembab dan kekar.
"Ini bukan ciptaan baru. Ini memang sudah lama. Jadi bukannya ada orang usil
menutup jalan ini, tapi memang aku yang tersasar arah..." Lalu ia meninggalkan
lorong itu. Pendekar Pusar Bumi berbalik arah.
Ia tiba di persimpangan lorong. Cahaya matahari menyinar temaram dari mulut goa
yang kecil itu. Ia segera menuju ke
lorong kanan. Dengan hati-hati ia
melangkah dan meneliti keadaan
sekitarnya dengan pan-danganmata
sebisa-bisanya. Tetapi ia kembali
ternenti, karena lorong itu bahkan lebih pendek dari yang kiri tadi. Ia tak
dapat melanjutkan ke mana-mana. Ia terbengong dan clingak-clinguk keheranan.
"Apakah aku salah masuk?" pikirnya.
"Tapi mana mungkin aku salah masuk" Tadi aku keluar dari sini. Jelas
persimpangan lorong yang berbatu pada ujungnya itu kuingat betul. Dan waktu aku
keluar, aku dengan merangkak ke mulut goa itu yang semakin sempit. Juga begitu
keluar, aku menghadap pada sebuah pohon besar yang berakar mirip dinding sebuah
rumah. Dan kalau sekarang aku keluar lagi, maka aku tetap akan menghadap ke arah
pohon itu. Tapi... kenapa jalan lorong keduanya
menjadi buntu?" Lanangseta melangkah.
Matanya mengawasi dengan cermat apa saja yang ada di samping kanan-kirinya. Ia
mendesah, tak ada jalan lain. Hanya ada dua lorong itu, tapi semuanya buntu.
"Gila!" geramnya. Ia kembali ke lorong kiri, meneliti dinding yang
seakan menjadi penghalang lorong itu. Ia memukul-mukulnya, tapi dinding itu
tetap kokoh. Padat berisi, bukan berongga di dalamnya. Berarti memang tidak ada
jalan di balik dinding tersebut.
"Lantas aku tadi keluar dari mana"
Apakah ada mulut goa lainnya yang sama dengan mulut goa ini" Apakah aku memang
sudah salah masuk?"
Lanangseta merayap kembali keluar
dari mulut goa. Dia tak jadi
memberitahukan kepada teman-temannya
bahwa di situ ada tempat untuk keluar dari goa. Ia masih merasa perlu untuk
meneliti keadaan sekitarnya,
kalau-kalau ada mulut goa yang lain, yang sama dengan goa tersebut. Waktu itu,
Matahari sudah mulai terbenam. Sebentar lagi akan menghilang dari permukaan
bumi. Lanangseta bergerak lebih cepat meneliti keadaan sekitar mulut goa.
Beberapa saat kemudian, ia menghempaskan nafas panjang. "Aaah... memang tak ada
lobang lain kecuali mulut goa itu. Aku tidak salah masuk. Tapi mengapa kedua
lorongnya menjadi buntu"! Mengapa"!"
Lanangseta jengkel sendiri. Ia segera masuk lagi ke dalam mulut goa yang kecil
itu dengan merangkak. Ia memeriksa
sekali lagi kedua lorong tersebut, oh...
masih tetap buntu.
"Aneh...!" gumamnya. Ia duduk di lantai goa yang lembab. Otaknya pusing
memikirkan keanehan tersebut atau memang kekeliruan yang belum disadari. Yang
jelas, suatu keanehan telah terjadi pada saat itu.
Mulut goa itu tiba-tiba tertutup
sendiri. Mulanya ada suara gemuruh,
kemudian Lanangseta berlari ke mulut
goa. Dan ia melihat mulut goa itu telah penuh dengan bebatuan serta tanah panas.
Ia mencoba merayap untuk mencegah
timbunan bebatuan itu, tapi gagal. Goa telah tertutup rapat dan batuan yang
menimbunnya bagai mencair, lengket, lalu mengeras. Tak bergeming sedikit pun
walau dipukul kuat-kuat.
"Setan...! Ini pasti perbuatan
Kirana,"u capnya dalam hati. Lanangseta menggeram gemas. Ia kembali mundur dan
mencapai permukaan goa yang lebar. Ia berdiri dalam gelap pekat tanpa seberkas
sinar pun. Hatinya sangat dongkol, dan ia segera mencabut pedang Wisa Kobranya
yang bergagang kepala ular kobra.
Ia mulai merayap lagi ke arah mulut
goa, lalu dengan sebisa-bisanya, dalam posisi merangkak begitu, ia
menghunjamkan pedang Wisa Kobra ke arah bebatuan yang menutup mulut goa.
"Prak... prak...!"
Bebatuan masih utuh. Lecet pun
tidak, mungkin. Gelap. Tak tahu batuan itu lecet atau tidak, yang jelas pada
saat itu Pendekar Pusar Bumi merasa tidak mempunyai kekuatan apa-apa. Pedangnya
yang kesohor dapat memotong gunung,
ternyata tak berkutik dan tak berfungsi sedikit pun. Pedang itu bagai tidak
mempunyai kekuatan apa-apa lagi.
"Celaka..,!" gerutunya. Ia mencoba sekali lagi untuk membobol penutup goa dengan
pedangnya, namun yang terjadi
hanya kilatan cahaya yang gemercik.
Batuan itu tetap kokoh, padat. Tak
bergerak sedikit pun.
Gelap begitu pekat. Lanangseta tak
dapat melihat. Ia duduk bersandar pada salah satu dinding goa. Ia memikirkan
jalan keluar bagi dirinya sendiri.
Bagaimana ia dapat menolong Ekayana dan yang lainnya kalau dirinya sendiri
terkurung dalam kegelapan yang
membosankan itu" Tiba-tiba timbul
gagasan untuk menggunakan ilmu Wiwaha Moksa yang selama ini menjadi
andalannya. Ia segera bangkit,
merenggangkan kedua kaki, menghadap
pintu goa yang telah tertutup.
Lalu tangannya kedua-duanya
mengeras, mengumpulkan tenaga di telapak tangan. Dalam satu konsentrasi yang
tinggi, ia berseru "Wiwaha Moksaaa...!"
seraya menggerakkan tangan ke depan.
"Blaar...!"
Kilatan cahaya hijau bening
tersebar dari kedua tangannya yang
terbuka ke depan. Kilatan cahaya bening itu mengenai bebatuan yang menjadi
penutup! mulut goa. Tapi, bebatuan itu tidak bergerak sedikit pun. Masih tetap
kokoh dan padat menutup mulut goa. Sekali lagi ia mencoba dan mencobanya terus,
tapi tak pernah tercapai. Tubuhnya
menjadi lemas, terlalu lelah. Ia tak
ingin mencoba lagi, paling tidak untuk waktu dekat ini. Ia biarkan dirinya duduk
dan bersandar sambil memikirkan cara
lain untuk dapat keluar dari mulut goa itu.
Sementara itu, di tempat lain,
Andini mengisak dalam tangisnya. Hatinya merasa bingung dan sedih melihat
Ekayana, kekasihnya tak dapat bergerak.
Tubuhnya semula lemas, lalu menjadi kaku sekujur tubuh. Ia hanya dapat
menggerakkan bola matanya dan
berkedip-kedip. Ia tak dapat bicara
apapun. Tubuhnya telungkup di tanah
dengan berlembarkan baju Gopo.
"Sudah sejauh ini, Lanangseta belum muncul juga," gumam Sekar Pamikat dalam
kegelisahannya. Ia ikut memandang iba kepada keadaan Ekayana atau Pendekar
Maha Pedang yang bagai sebatang gedebong pisang tergeletak di tanah. Luka di
punggung makin memborok, mengobarkan bau busuk.
"Sama seperti kisahku dulu," gumam Ludiro, pengawal setia dari Sekar
Pamikat. "Sebentar lagi pasti punggung ini akan menjadi busuk seluruhnya.
Kemudian tubuh dan kepalanya juga akan menjadi busuk."
"Dan dia akan mati?" Gopo menyahut dalam bentuk pertanyaan. Ludiro mau
menjawab yang sesungguhnya, namun Andini telah berseru lebih dulu:
"Tidak! Dia tidak akan mati!"
Gopo yang bertubuh tinggi, besar
bagai raksasa itu nyaris terlonjak
kaget. Andini, gadis manja itu, dengan berani berdiri menghadap Gopo dan
berkata, "Kalau dia mati, kau juga harus ikut mati!"
"Apa urusannya?" Gopo bersungut sungut.
"Kau yang menggendongnya dari
Sendang Bangkai tadi! Dan mungkin akibat kau membawanya lari tanpa hati-hati,
lalu tubuhnya terbanting-banting di
pundakmu, membuat lukanya menjadi lebar dan memborok begini!"
"Enak saja! Bukannya berterima
kasih, malah menyalahkan!" Gopo melengos sambil bersungut-sungut.
"Aku tidak sudi berterimakasih sama kamu!"
"Dasar, bawel!" bentak Gopo dengan geram.
Andini jengkel sekali, ia segera
menendang Gopo dengan satu kaki.
Akibatnya dia sendiri yang jatuh
terjungkal ke belakang. "Biadab...!"
seru Andini yang manja. Ia bergegas bangkit dan hendak menyerang Gopo.
Tapi Sekar Pamikat menengahi
perselisihan itu, lalu berkata dengan tegas di depan Andini:
"Kemanjaanmu dan kepicikanmu tidak akan menyelesaikan masalah ini, Andini."
Andini meredakan emosi. Kepada
Sekar Pamikat, ia memang sangat sungkan.
Ia menghargai Sekar Pamikat, sekali pun ia sebenarnya mampu melawan Sekar
Pamikat, tapi itu tidak diinginkan.
Kepada Sekar Pamikat ia lebih banyak
menampakkan kemanjaannya:
"Ekayana kekasihku, dia sakit
begitu. Lantas apakah aku tidak boleh bersedih dan panik?"
"Bersedih yang wajar-wajar saja.
Bersedih dengan emosi itu namanya
kepicikan. Dan kepicikan seorang manusia dapat membunuh dirinya sendiri dari
dalam. Percayalah, mati di tangan musuh itu lebih enak dari pada mati karena
kepicikannya sendiri."
"Bagaimana kalau
saya pergi menyusul Pendekar Pusar Bumi, Putri?"
tanya Ludiro yang agaknya bosan dengan perselisihan Andini yang manja itu.
"Jangan kamu, Paman..." Sekar Pamikat memperhatikan luka sabetan pedang beracun
itu. Ah, mengenaskan sekali.
Jijik, dan ngeri. Luka itu sepanjang satu jengkal, tapi mempunyai lobang yang
menguak mengobarkan bau busuk. Darah masih membasah dan bercampur dengan
lendir yang menjijikan. Sekar Pamikat sempat bertanya kepada Ludiro.
"Apakah, dulu kau pun terluka begini parah, Paman?"
"Ya. Seperti yang pernah saya
ceritakan, luka akibat goresan pedang beracun itu membuat lengan saya menjadi
busuk, dan saya tak dapat bergerak
apa-apa. Tapi, waktu itu ada tetesan
darah dari atas pohon, dan ternyata
tetasan darah Andini yang terluka karena senjata rahasia saya. Darah itulah yang
menawarkan racun, bahkan membuat kering luka-luka itu dengan sangat ajaib."
(dalam kisah Rahasia Sendang Bangkai).
Mendengar penuturan Ludiro itu, Andini segera mencabut golok milik Gopo, lalu menggoreskan pada lengannya.
"Andini...!!" seru Gopo yang membuat Andini tergerak kaget akibat
suara Gopo itu. Tapi ia nekad mengiris lengannya sendiri. Setelah lengannya
berdarah, ia teteskan darah itu padaluka di punggung Pendekar Maha Pedang.
"Tolol...!" gerutu Gopo yang segera mengambil goloknya kembali, yang tadi
dilemparkan begitu saja oleh Andini.
Ternyata, setelah ditunggu beberapa
lama, luka di punggung Ekayana masih saja ternganga dan membusuk. Darah Andini
tidak dapat menetralisir racun yang
mengganas di daging tubuh Ekayana.
Andini sendiri telah dibalut lengannya oleh Sekar Pamikat memakai sobekan kain
baju Andini sendiri.
"Kau lihat, betapa kepicikan itu dapat mencelakakan diri sendiri, bukan"
Kau gegabah, tidak memakai perhitungan, main iris lengan begitu saja. Nyatanya,
luka kekasihmu tidak sembuh, dan kau
telah terlanjur terluka...."
"Kalau begitu," Andini
bersungut-sungut seperti anak kecil,
"Ludiro bohong! Dia bukan sembuh dari darahku!"
"Tidak. Aku tidak bohong!" bantah Ludiro.
"Lalu, kenapa luka di tubuh Ekayana
tidak sembuh seperti luka-lukamu dulu"
Padahal borok itu juga telah terkena tetesan darahku."
Sekar Pamikat selesai mengikat luka
Andini yang memang tidak berbahaya itu.
Ia bicara sambil memeriksa mata Ekayana yang ternyata masih bisa berkedip.
"Dulu, yang terluka paman Ludiro.
Lalu terkena tetesan darahmu. Darahmu itu akibat luka terkena senjata rahasia
milik paman Ludiro. Senjata itu beracun juga. Jadi, darahmu waktu itu bercampur
dengan racun milik paman Ludiro.
Sedangkan di tubuh paman sendiri, racun itu sudah membaur dengan darah
dagingnya. Jadi, ketika ia terkena
tetesan darahmu yang mengandung racun senjata paman Ludiro itu, membuat suatu
bentuk cairan lain yang mampu menawarkan luka-luka di tubuh paman. Berbeda


Pendekar Cambuk Naga Misteri Goa Malaikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keadaannya dengan luka yang sekarang
diderita Ekayana ini..." tutur Sekar Pamikat menjelaskan kepada 'anak kecil.'
"Tapi... saya perhatikan dari tadi,
perkembangan luka ini tidak seganas
waktu saya dulu, Putri. Dulu, saya dalam waktu yang sangat singkat, borok itu
telah menjalar di sekujur lengan. Tetapi sekarang, luka ini tidak begitu cepat
menjalarnya. Lamban, walau memang makin melebar..."
Memang, sekarang kenyataan itu
diketahui betul oleh Ludiro. Borok di punggung Ekayana memang melebar, tapi
tidak sepesat luka-lukanya dulu. Namun demikian, luka tersebut jelas tetap
berbahaya. Jika terlambat tanpa
pengobatan, tidak mustahil lagi jika
seluruh tubuh Ekayana akan memborok dan membusuk semua. Inilah yang dicemaskan
mereka. Hampir setiap orang telah
mencoba dengan saranya sendiri untuk
mengobati luka tersebut, tapi tak ada yang berhasil. Luka itu cukup aneh dan
mengerikan. Karenanya rencana mereka semula
adalah membawa Ekayana pulang ke
Pesanggrahan Cendana Manik, dan
menyerahkan luka itu kepada ayahnya yang juga ayah Lanangseta. Tetapi ternyata
lorong goa itu cukup panjang dan
berliku-liku, sehingga untuk
memperingan beban, mereka beristirahat dulu beberapa saat, sementara Lanangseta
mencari jalan menuju luar goa.
Mereka tidak tahu apa yang telah
dialami oleh Lanangseta saat itu.
Penantian membuat kejenuhan dan semakin menegangkan saja rasanya. Sekar Pamikat akhirnya berangkat atas
persetujuan yang lainnya, untuk mencari jalan menuju luar goa.
"Jika Lanangseta datang, suruh dia menungguku, jangan menyusul. Nanti
malahan kacau lagi,"
pesan Sekar Pamikat. Ludiro yang menerima pesan itu mengangguk dengan perasaan kesal mengapa
bukan dia yang ditugaskan mencari lobang keluar atau mencari Lanangseta
sekalian. Tapi, pikirannya segera tenang setelah ia menemukan tendensi dari kepergian
Sekar Pamikat. Barangkali gadis cantik kekasih Lanangseta itu tidak tahan
terhadap bau busuk dari luka itu. Atau bisa jadi karena ia ingin menemui
Lanangseta di suatu tempat yang sepi, yang cuma milik mereka berdua dengan
sejuta kemesraan dan rindunya" Sebab
itu, Ludiro segera membuang kekesalan hatinya.
Tapi, dapatkah Ludiro membuang
kekesalan hatinya akibat ulah kemanjaan Andini dengan kekasaran Gopo" Seperti
yang dihadapi saat ini, Andini
membentak-bentak Gopo karena tak mau
menghapus darah yang meleleh di kanan kiri punggung Ekayana.
"Aku jijik dengan darah begituan!"
kata Gopo. "Sombong!" ketus Andini. "Begitu saja jijik, tapi sama dirinya sendiri yang
seperti itu tidak jijik."
Gopo menggeram. "Jangan keterlaluan bicara denganku, ya"!"
"Nyatanya kamu memang sok bersih!"
debat Andini. "Kenapa tidak kau sendiri yang
membersihkan darah membusuk itu" Kenapa harus aku" Kamu kan yang menjadi
kekasihnya. Harusnya kamulah yang
membersihkan darah itu, sebagai tanda kesetiaan kepada kekasih! Tolol!"
"Aku geli! Aku tak tega!"
"Sama saja! Aku juga begitu!
Goblok...!"
Sekar Pamikat tak tahu, bahwa
seperginya dari mereka, Andini berkelahi dengan Gopo gara-gara jijik dan geli.
Gopo diserang dengan suatu pukulan jarak jauh. Lelaki bertubuh besar seperti
raksasa brewok itu terpental beberapa langkah dari tempatnya. Gopo marah. Ia
berteriak keras, mengeluarkan tenaga
dalamnya yang dapat disalurkan dari
suara. Hal itu membuat Andini bagai
ditabrak banteng lewat. Ia
terguling-guling dan jatuh menindih
Ludiro yang sedang berusaha bangkit
akibat hempasan suara dan nafas Gopo.
"Kau memang perlu dihajar, Gopo...!
Hiaaaat...!"
Ludiro menendang tangan Andini
hingga Andini menyeringai merasa
kesemutan. Ludiro berdiri di depan
Andini ketika Gopo maju hendak menyerang Andini. Melihat Ludiro berdiri dan
bertolak pinggang, Gopo menjadi tak
enak. Ia berhenti. Andini semakin
bandel, ingin menyerang. Tapi dengan
satu gerakan kaki Ludiro yang melintang, Andini jatuh tersungkur.
"Kita di sini hanya empat orang.
Satu terluka, jangan membuat yang tiga menjadi gila!" bentak Ludiro yang
bertubuh agak pendek dari Andini, tapi kelihatan berotot. "Untuk apa kalian
saling berselisih" Untuk disebut sebagai jago" Untuk dikatakan paling unggul?"
Andini cemberut sewaktu dipandang
Ludiro, ia buang muka. Dan Gopo sudah sejak tadi berjalan pelan, menjauhi
Ludiro. Tapi Ludiro masih kelihatan
kesal. "Bodoh, sekali tempo boleh-boleh saja. Tapi jangan dipelihara sepanjang masa,"
Ludiro berkata kepada Andini.
"Dia yang kelewatan!" bantah Andini.
"Semua kelewatan! Termasuk goa ini!
Ini goa apa sampai-sampai mau keluar saja kita kebingungan" Iya, kan?"
"Kurasa ini goa tempat kita
menemukan lumut bercahaya dulu," ujar Gopo dari kejauhan.
"Bukan! Aku dapat merasakan hawanya lain," kata Ludiro.
"Gopo melangkah, makin lama makin jauh menyusuri lorong. Ludiro segera
berseru: "Mau ke mana kau, Gopo?"
"Aku mau mencari lumut bercahaya.
Aku akan memakannya supaya tubuhku
menjadi kebal, seperti tubuhmu, Ludiro!"
"Kembali!" bentak Andini.
Gopo hanya berpaling sebentar,
kemudian melangkah lagi. Pungggungnya yang tanpa baju terlihat bagai menutup
pemandangan lorong. Ia melangkah tanpa peduli Andini berseru kepadanya dan
meminta ia kembali. Ia sudah dibuai oleh khayalan lumut bercahaya yang dulu
pernah mereka temukan, tapi mereka
mengiranya tanaman beracun.
Nyala api dari ikat pinggang yang
dibakar masih menerangi suasana dalam lorong goa itu. Letaknya memang sedikit
jauh dari tubuh Ekayana yang telungkup di tanah, tetapi Ludiro baru menyadarinya
bahwa nyala api itu tidak kunjung padam dari tadi. Padahal hanya sebuah ikat
pinggang kecil milik Ekayana yang
dibakar, namun nyalanya bagai abadi, tak kan kunjung padam. Aneh. Dan baru
disadari oleh Ludiro bahwa goa itu pasti menyimpan banyak keanehan. Cukup
misterius. Ya, memang misterius. Sekar Pamikat
pun mengatakan dalam hatinya demikian.
Sebab ketika ia patah semangat mencari Lanangseta dan mencari mulut goa, ia
ingin kembali kepada teman-temannya,
tempat di mana mereka semua berkumpul.
Anehnya, ia merasa tersesat beberapa
kali, dan akhirnya kebingungan. Ada
beberapa lorong dan persimpangannya,
tapi ia tidak menemukan di mana jalan yang menuju tempat teman-temannya
berkumpul. Ia sudah mencobanya
berputar-putar mencari jalan menuju
teman-temannya, tetapi rasanya ia hanya berjalan dari masa ke masa, berjalan
dari tempat satu ke tempat lain. Ia berjalan terus tanpa menemukan kebun-tuan,
tapi juga tidak sampai pada tujuan.
"Misterius sekali goa ini,"
pikirnya. Matanya yang sudah terbiasa dalam gelap itu mencoba mencari setitik
sinar, yaitu sinar api yang ada di antara teman-temannya. Namun setitik sinar
itu tidak ia peroleh. Gelap, remang. Itu
saja. Dan anehnya, sejak tadi ia juga tidak berjumpa dengan mahluk apapun;
binatang, tanaman, manusia, hantu...
tidak ada! Hanya saja, tahu-tahu ia menemukan
tangga menuju ke bawah. Tangga batu
berlapis-lapis, dan lebarnya sekitar
tiga tom-bak. "Ada ruangan di bawah sana.
Sayang gelap..." pikir Sekar Pamikat. Ia mau turun, tapi masih bimbang.
Mungkinkah di bawah sana ada Lanangseta, kekasihnya"
*** 3 LANANGSETA yang terkurung di
persimpangan lorong itu ternyata telah tertidur beberapa saat lamanya. Ketika ia
bangun, ia merasakan badannya amat segar. Tapi keadaan di sekitarnya masih gelap
pekat. Pedang masih tergenggam di tangan kirinya, sementara itu tangan
kanannya mencoba meraba kalau-kalau
sesuatu ada di depannya. Ternyata
kosong. Ia tetap sendirian.
Sekarang benak dan otaknya bekerja
keras, bagaimana caranya untuk dapat
lolos dari kurungan memuakkan itu. Ia sedang berpikir, ketika tahu-tahu pintu
goa bermulut kecil yang tertutup
bebatuan padat itu bergerak. Ada suara gemuruh terdengar samar-samar.
Lanangseta segera lari dan berhenti di hadapan pintu goa yang tertutup. Suara
gemuruh itu makin lama semakin panjang dan membuat pintu goa tersebut bergerak
nyata. Membuka sedikit. Ada sinar masuk, sinar matahari.
Oh ternyata hari sudah pagi.
Namun mulut Lanangseta masih
ternganga bengong. Bebatuan yang tadi menutup jalan ke luar dari goa itu bagai
sedang dihisap sesuatu dari dalam tanah.
Perlahan-lahan bebatuan yang tak mampu ditembus pedang Wisa Kobra itu bergerak
turun. Semakin lebar celah sinar masuk, semakin nyata keadaan di luar, dan kini
bebatuan tersebut telah lenyap ke dasar bumi. Pintu goa terbuka lebar, tapi
tetap selebar kemarin, yaitu selebar mulut
su-mur. Sinar terang masuk. Lanangseta tersenyum lega.
Di ufuk sana, terlihat matahari
muncul dari balik cakrawala. Tubuh
Lanangseta bagaikan mandi cahaya
matahari pagi. Mendadak ia termenung dan manggut-manggut.
"Sekarang aku tahu, Jelas sudah.
Pintu goa itu akan tertutup jika tak ada sinar matahari sama sekali. Tapi akan
terbuka jika ada sinar matahari walau hanya setitik," gumamnya sendirian. Ia
masih manggut-manggut kagum.
Sinar matahari menembus permukaan
dinding yang ada pada lorong kiri.
Lanangseta terkejut melihat dinding itu pun bagai tenggelam ke bawah, seakan ada
yang menyedotnya dari dalam tanah. Makin lama makin rendah, lalu rata dengan
tanah, bahkan tidak terlihat lagi bagian atasnya. Lalu terlihatlah jalan lorong
tempat Lanangseta datang dari mulanya.
Lorong itulah yang akan membawanya
menemui teman-temannya, Gopo, Ludiro, Andini, Ekayana dan Sekar Pamikat
kekasihnya. "O, oh... pantas aku sempat
kebingungan. Ternyata kemarin sore
jalanan itu telah tertutup sendiri
akibat matahari telah condong ke barat dan ia tak dapat sinarnya. Jadi, jika tak
memperoleh sinar matahari, maka ia akan menutup sendiri. Tetapi jika ada sinar
matahari menembusnya, dinding itu akan bergerak sendiri, tidak menjadi
penghalang jalan menuju lorong itu lagi.
O, o, oh... pantas, pantas!"
Pendekar Pusar Bumi yang baru
memahami sedikit rahasia goa ini, merasa terheran-heran bukan kepalang. Kini ia
segera pergi menyusuri lorong yang akan membawanya ke tempat Ekayana. Dalam
beberapa saat saja, dia telah bertemu dengan Ludiro.
Ludiro menjelaskan apa adanya
ten-tang kepergian Sekar Pamikat dan
Gopo yang sejak tadi belum kembali juga.
Lanangseta mendesah kesal.
"Lanangseta..." Ke mana saja Anda pergi?" tegur Ludiro bernada menyalahkan
Lanangseta. Lalu, Lanangseta
menjelaskan pengalamannya secara
singkat. Andini mendekat.dan berkata,
"Lukanya semakin busuk..."
Lanangseta mendesah setelah ia tahu
luka di punggung Ekayana benar-benar busuk dan mengeluarkan belatung. Tetapi
luka itu tidak mengganas seperti yang dialami Ludiro. Memang menjadi lebar, tapi
cukup lamban. Hanya beberapa jarum saja luka itu melebar ke kanan-kiri dan
sekitarnya. Hal itu menurut Ludiro
karena Ekayana mempunyai ketahanan tubuh yang luar biasa. Coba kalau ketahanan
tubuh Ekayana seperti ketahanan tubuhnya yang lemah pada waktu itu, tentu saja
luka yang memborok itu akan cepat melebar seluruh badan.
"Angkat Ekayana... aku menemukan jalan ke luar," ujar Lanangseta dengan tegas.
"Tetapi, bagaimana dengan
Sekar...?" kata Andini. Lanangseta bagai disengat batang hidungnya. Ia teringat
Sekar Pamikat kekasihnya itu.
"Kemana dia?"
Ludiro menjelaskan apa adanya
tentang kepergian Sekar Pamikat dan Gopo yang sejak tadi belum kembali juga.
Lanangseta mendesah kesal.
"Brengsek! Dia memang suka bikin peraturan sendiri! Dia tidak tahu kalau goa ini
mempunyai banyak rahasia, dan menyimpan banyak misteri. Hah...! Kemana arah
perginya tadi?" Lanangseta
kelihatan jengkel terpendam.
"Gopo ke sana," ujar Andini dengan manja seakan anak kecil yang sedang
mengadu kepada ayahnya. "Kalau Sekar ke sana,"
Andini menunjuk arah yang
berlawanan. Lanangseta menjadi amat
kesal. Mereka pergi berlainan arah.
Padahal jika mereka terlambat ke luar, bisa-bisa mereka terjebak lagi di dalam
goa itu. "Bawa dulu Ekayana ke luar sebelum jebakan itu bekerja kembali,"
perintahnya kepada Ludiro.
Tubuh agak pendek yang kekar itu
mengangkat Ekayana dengan berat dan
kerepotan. Akhirnya Lanangseta yang
membantu menggotong Ekayana. Mereka
berjalan kearah mulut gua.
"Gopo bagaimana?" tanya Andini cemas.
"Bawa dulu Ekayana ke luar, nanti biar kucari mereka, asal Ekayana sudah berada
di luar. Daripada goa ini tertutup lagi, dan Ekayana belum berada di luar, maka


Pendekar Cambuk Naga Misteri Goa Malaikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kita akan bermalam lagi di sini!"
tutur Lanangseta agak dongkol dengan
gaya Andini yang manja itu.
Gadis berbaju merah muda dengan tahi
lalat di bawah bibir bagian ujung itu mengangguk. Lalu ia mengikuti dari
belakang setiap gerakan Lanangseta yang mengangkat tubuh saudara kembarnya
bernama Ludiro. Mereka akhirnya tiba di mulut goa. Andini kelihatan lega begitu
melihat cahaya matahari. Tapi ia sempat mengeluh,
"Kok sempit...?"
Kata-katanya itu tidak ada yang
menanggapi. Lanangseta bergerak lebih dulu, merayap mundur menuju luar goa.
Sambil merayap mundur, ia mengangkat
tubuh Ekayana yang tak pernah berkutik lagi itu, sedangkan Ludiro mengangkat
bagian lainnya. Dengan susah payah,
akhirnya Ekayana memang berhasil
dikeluarkan dari mulut goa yang sempit.
Pada saat itu, pagi masih dibilang
segar. Udaranya amat cerah. Andini
merentangkan tangannya lebar-lebar,
menghirup udara pagi yang menyegarkan paru-paru.
"Hati-hati, jangan melawan
orang-orang Bukit Badai. Kalau mereka datang, katakan kalian sedang dalam
perjalanan hendak meninggalkan Bukit
Badai." Setelah meninggalkan pesan begitu,
Lanangseta masuk kembali ke mulut goa yang sempit, ia akan mencari Gopo dan
Sekar Pamikat. Namun baru saja ia
memasukkan sebagian badannya, ke mulut goa, tiba-tiba Andini menjerit tegang.
"Lihat...! Luka itu bergerak di
punggung Ekayana!"
Ludiro menggumamkan kata
terkejutnya, dan bersuara lirih,
"Astaga...! Sekarang saatnya luka itu mengganas! Oh, menjalar ke seluruh
punggung...! Gawat!"
Lanangseta tak jadi masuk ke dalam
goa. Ia segera menghampiri tubuh adiknya dan memandang dengan mata terbelalak.
Luka yang memborok dan berbelatung itu bergerak cepat, melebar ke seluruh
punggung. Nyaris menutup seluruh
permukaan punggung. Sebentar lagi pasti bagian pinggangnya juga akan membusuk.
"Seperti inilah waktu itu luka yang ada di lenganku. Bergerak cepat,
membusukkan lengan dalam tempo singkat."
"Iblis...!!" geram Lanangseta dalam kebingungan. Pikirannya bimbang, antara
membawa lari tubuh Ekayana ke
Pesanggrahan Cendana Manik, atau mencari Sekar Pamikat lebih dulu baru pergi ke
sana" Tapi mencari Sekar Pamikat dan Gopo jelas merupakan pekerjaan yang cukup
memakan waktu lama. Goa itu penuh lorong rahasia, dan mungkin juga jebakan yang
dapat mematikan. Ia harus hati-hati.
Tapi jika ia membawa lari Ekayana ke Pesanggrahan Cendana Manik untuk
diserahkan ayahnya, apakah cukup waktu untuk itu" Apakah borok tersebut tidak
akan menjadi semakin lebar dan membawa kematian Ekayana sebelum mencapai
Pesanggrahan Cendana Manik yang
terbilang sangat jauh dari tempat
tersebut" Jangan-jangan Ekayana tewas dalam perjalanan ke sana.
Tiba-tiba,, terdengar suara Ludiro
bagai menemukan sesuatu. Andini tegang dengan linangan air matanya. Ia menatap
Ludiro dan bertanya:
"Cara pengobatannya kau tahu"!"
"Bukan cara pengobatannya! Yang
penting, masukkan kembali Ekayana ke
dalam goa itu."
"Kau gila! Kau tahu sendiri betapa susahnya mengeluarkan tubuh Ekayana dari
mulut goa itu. Sekarang mau kau masukkan lagi" Gila...!" Lanangseta menggerutu
dan bersungut-sungut.
Kata Ludiro dengan tegas, "Yang
penting masukkan kembali tubuh ini ke dalam goa. Lekas!"
"Jelaskan dulu!"
"Nanti kujelaskan!" bentak Ludiro dengan berani. Lanangseta berpendapat, kalau
bukan hal penting, pasti Ludiro tidak akan berani membentaknya. Sebab itu,
Lanangseta menurut apa kata Ludiro.
Kendati dengan susah payah, namun
akhirnya tubuh Ekayana bisa kembali
berada di dalam goa tadi. Ludiro bahkan meminta agar tubuh Ekayana dibawa masuk
lebih dalam lagi.
Napas mereka terengah-engah.
Lanangseta bersimbah keringat, demikian juga Ludiro. Ekayana ditengkurapkan lagi
pada tanah yang telah dilapisi baju Gopo oleh Andini. Kesepian merayapi mereka
sejenak. Kemudian terdengar suara
Lanangseta menggumam:
"Apa maksudmu dengan begini" Bikin susah saja...!
"Lihat luka itu... Luka itu tidak
bergerak lagi, kan?"
Semua mata tertuju pada luka
memborok di punggung Ekayana. Mereka memperhatikan beberapa saat dengan mulut
saling terkatup bisu. Dan mereka
sama-sama menyadari bahwa luka tersebut memang tidak bergerak lagi. Tidak
secepat waktu di luar. Pinggang Ekayana masih utuh, borok masih tetap dalam
ukuran semula. Suara Ludiro menjelaskan bagai
seorang guru, "Jadi, luka ini akan menjadi ganas apabila berada di luar goa.
Terkena angin, atau terkena matahari, atau... entah apa. Yang jelas, jika luka
itu tetap berada di dalam goa ini, ia tidak begitu ganas. Lihat saja, tadi ia
merayap bagai hendak memangsa seluruh tubuh Ekayana, tapi sekarang ia bagai diam
saja, kan" Coba kalau Ekayana masih berada di luar, tentu sekarang ini
pinggangnya sudah membusuk."
Gumam Lanangseta dan Andini nyaris
bersamaan. Andini mengusap-usap wajah Ekayana dengan perasaan sedih. Suara
Lanangseta memecah kebisuan yang
berlangsung selama beberapa helaan nafas itu.
"Atau memang goa ini yang mempunyai khasiat tertentu terhadap luka beracun
seperti itu?"
Ludiro mengangguk, "Bisa jadi
begitu." Lanangseta menghempaskan nafas. Lalu berkata: "Kalau begitu, aku akan keluar sebentar untuk mencari kayu
bakar. Kita tinggal di sini dulu beberapa saat, sampai kita menemukan cara
penyembuhan untuk Ekayana."
"Biar aku saja yang mencari kayu untuk api unggun di sini, kau
beristirahatlah," ujar Ludiro.
Lanangseta tak jadi bergerak pergi
karena Ludiro sudah mendului.
Andini berwajah sayu. Tangisnya
berhenti karena kelegaan, begitu
mengetahui borok membusuk itu tak sempat mengganas. Lanangseta sendiri sempat
merasa kasihan kepada Andini. Ia lama ditinggalkan Ekayana. Ia pasti rindu
kepada kekasihnya, tapi begitu mereka bertemu dalam keadaan musibah seperti itu.
Masih beruntung dirinya, yang
kemarin sudah sempat becanda sebentar dengan Sekar Pamikat, bahkan sempat
mencium gadis itu di dalam kegelapan goa.
Tapi, sekarang ke mana gadis itu" Sekar Pamikat dan Gopo mengapa menghilang
bersamaan" Secara kebetulan atau memang sudah direncana Pikiran Lanangseta
memang suka begitu. Dan ketika hal itu dikatakan kepada Andini, gadis berkulit
kuning itu berkata pelan, "Tega-teganya kau punya praduga seperti itu. Sekar
tidak akan berbuat sesuatu kepada Gopo, karena dia dan Gopo semula bermusuhan.
Dia maksudku Gopo itu, adalah
tawanannya. Masih terhitung tawanannya.
Dan...." Tiba-tiba mereka mendengar suara
Ludiro memekik sayup-sayup. "Kulumatkan kepalamuuu...!!"
Lanangseta dan Andini berwajah
tegang, saling pandang lalu menatap ke arah menuju jalan ke luar goa.
"Ada apa itu" Tampaknya Ludiro
menemui kesukaran," ucap Andini lirih.
Lanangseta mengangguk, dan bangkit
berdiri. "Pasti orang-orang utusan Penguasa Bukit Badai...!" Setelah bicara begitu, Penekar Pusar Bumi pergi meninggalkan Andini. Beberapa langkah kemudian baru ia
berpaling dan berseru, "Jaga Ekayana.
Jaga pula keadaan di dalam goa ini...!"
Andini hanya mengangguk, dan Lanangseta cepat menuju ke luar, karena agaknya
Ludiro semakin seru bertarung melawan beberapa orang.
Memang, Ludiro nyaris kewalahan
menghadapi tujuh orang bersenjata.
Mereka ganas-ganas, dan hampir tak
memberi kesempatan berbicara kepada
Ludiro. Tahu-tahu menyerang dan salah satu berusaha masuk goa. Orang yang
bersenjata pedang lengkung mirip pedang Arab itu yang berusaha menerobos masuk
goa. Ketika itu Ludiro sempat
mengibaskan kaki kanannya kuat-kuat
dengan hentakkan menyamping. Pipi orang itu terkena tendangan menyamping, dan ia
terpental, kepalanya membentur
bebatuan. Dengan satu gerakan cepat
orang itu menebaskan pedangnya ke arah kepala Ludiro. Cepat Ludiro menangkap
tangan tersebut dengan memiringkan badan ke arah leher lawan, lalu dengan
gerakan gesit, ia berhasil melemparkan orang itu ke depan melalui dorongan
punggungnya. Orang itu melayang dan menjatuhi
beberapa temannya.
"Apa mau kalian sebenarnya, hah"!"
bentak Ludiro yang masih belum mengerti mengapa ia tiba-tiba diserang.
"Jangan banyak bacot!" bentak seorang bersenjata piringan bergerigi.
"Kalian telah membunuh adik kami dalam upaya masuk ke goa ini, dan sekarang
kami: Delapan Bersaudara Maut menuntut balas atas kematian adik kami yang bungsu
itu. Terimalah kematianmu sekarang juga, heaaaat...!!"
Piring bergerigi itu menyerusuk ke
leher Ludiro. Dengan gesit Ludiro mampu mengelak. Piringan bergerigi yang
mempunyai tempat pegangan di bagian
tengahnya itu dapat berputar dengan
sangat cepat walau hanya di sentil oleh sebuah jari tangan pemegangnya. Piringan
itu berhasil dielakkan Ludiro, dan
membentur batang pohon sebesar paha
Gopo. Batang pohon itu terpotong
seketika dengan sangat rapi.
"Aku tidak kenal siapa kalian!" seru Ludiro sambil melancarkan pukulan ke
arah muka orang itu. Setelah pukulannya terkena telak di dagu, segera Ludiro
mengirimkan tendangan beruntun ke dada, wajah, dada dan wajah lagi, sampai orang
itu terjengkang ke belakang. Kaki Ludiro belum sempat turun karena sebuah rantai
berujung bola duri melayang ke arah
kakinya. "Breet...!"
Bola berduri di ujung cambuk rantai
itu mengenai betis Ludiro. Tapi
duri-durinya justru menjadi rontok
seketika. Kaki Ludiro tidak tergores
sedikit pun. Akibatnya, sebelum kaki
Ludiro itu turun ke tanah, salah satu kakinya sudah menghentak kuat dan
membuat ia melayang dalam keadaan
berguling. Jurus itu sempat mengenai
kepala orang bersenjata rantai berduri, tepat pada ubun-ubunnya, tumit kaki
Ludiro menghantam bagi sebuah palu
godam. Prok...! Terdengar suara kepala
orang itu bagai sebutir kelapa dipecah.
Orang itu kelojotan dan limbung kian ke mari, lalu rubuh dengan kepala berdarah.
Sementara tiga orang lainnya menyerbu Ludiro yang tiga lagi berusaha masuk ke
mulut goa. Tapi gerakan tangan Ludiro sungguh cepat, tahu-tahu sebuah senjata
Mata Pisau Beracun melayang tak dapat diikuti oleh pandangan mata. Senjata
rahasia itu menancap tepat di tengkuk kepala salah seorang yang hendak masuk ke
mulut goa. Orang itu memekik keras,
membuat dua temannya berhenti seketika dan tercengang melihat orang itu roboh
serta menggelepar-gelepar sebentar
sebelum mengejang mati.
"Jahanam, kauuu...!" Kedua orang yang mengaku bersaudara itu melayang
menerjang Ludiro dengan senjata
trisulanya. Ludiro yang diserang tiga orang sebelumnya, tak sempat menghindari
senjata tersebut.
Ludiro hanya memekik,
"Hiyaaaaattt...!" Ia mengeraskan seluruh otot tubuhnya ketika semua
senjata menghunjam dirinya. Ada yang
patah seketika, ada yang tidak, hanya terpental ke belakang. Yang jelas, tak
satu pun dari senjata mereka ada yang melukai tubuh Ludiro. Mereka berlima
akhirnya mundur beberapa langkah,
mengatur jarak, memasang strategi.
Ludiro sempat menghempaskan nafas,
kecapekan. Lalu ia berkata, "Percayalah, kalian salah sangka. Aku tidak pernah
membunuh saudara kalian. Kecuali hari ini," seraya Ludiro menuding kedua mayat
saudara mereka.
Orang yang kumisnya paling tebal
berbisik kepada yang kepalanya botak.
Entah apa yang mereka bisikkan,
kemudiaan tiba-tiba mereka menyerbu
masuk ke dalam goa, sementara yang tiga lainnya merintangi Ludiro dengan
serangan berganda. Mereka meloncat dan menyerang Ludiro satu demi satu, namun
sebenarnya yang menyerang hanya satu
orang, yaitu yang paling akhir meloncat.
Otomatis pandangan dan kesigapan Ludiro telah dikacaukan oleh dua serangan
tipuan itu, sehingga akibatnya Ludiro pun terpental ke belakang terkana
tendangan lawan pada keningriya. Agak pusing juga. Dan hal itu membuat Ludiro
tak sempat mencegah dua orang yang
berkumis tebal yang berkepala botak,
masuk ke dalam goa.
Tapi rupanya, di depan goa itu telah
berdiri seorang pendekar berambut
panjang, berbadan kekar, dengan pedang di punggungnya. Begitu yang berkumis
tebal mendekat, sebuah tangan kekar
menghentakkan dadanya sampai yang dipukul terbatuk-batuk. Pukulan
Lanangseta begitu kuat, bahkan orang
berkumis tebal itu memuntahkan darah
kental walau hanya beberapa tetes.
Sedangkan yang berkepala botak segera menyerang Lanangseta dengan senjata
cakra tajam. Ia cukup gesit menggunakan senjata cakra yang sekali waktu dapat
meluncur sendiri dari tangkainya. Tetapi Lanangseta percuma menyandang gelar
pendekar jika ia tak dapat berkelit ke belakang, dan membiarkan senjata itu
berlalu di depan hidungnya. Kemudian
tangannya menebas ke samping dan
mengenai iga orang berkepala botak yang tampak paling sangar itu. Pukulan


Pendekar Cambuk Naga Misteri Goa Malaikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lanangseta cukup keras, sehingga orang itu terbungkuk sakit. Dan pada saat
itulah Lanangseta meloncat ke atas sambil
melancarkan tendangan ke jidat lawannya.
Orang itu sempat terdongak, dan lehernya disambut oleh tendangan Lanangseta
berikutnya. Begitu kuat tendangan itu, sampai terdengar bunyi:
"Ngeekk...!" Lalu orang itu pun terguling-guling.
Pendekar Pusar Bumi tidak mau pergi
dari depan pintu goa itu. Ia berdiri
tegap, bagai menanti serangan
berikutnya, dari siapa saja. Lalu, ia tersenyum ketika kedua musuhnya bergerak
dengan irama serupa. Mereka tidak lagi menggunakan senjata, namun menggunakan
tangan kosong. Tentu mereka sedang
memainkan jurus andalan mereka.
Gerakannya begitu seragam indah. Kaki terbuka keduanya, tangan menyilang di
dada, dan kini terbuka ke samping
semuanya, lalu salah satu kaki dari
mereka ditarik ke belakang, dan kedua tangan yang berkembang itu ditarik ke
Tiga Dara Pendekar 13 Bangau Sakti Sin Hok Sin Cin Karya Chin Tung Pendekar Guntur 23

Cari Blog Ini