Ceritasilat Novel Online

Misteri Goa Malaikat 2

Pendekar Cambuk Naga Misteri Goa Malaikat Bagian 2


belakang semua, setelah itu dihentakkan ke depan secara bersamaan.
"Heaaaah...!!"
"Blegaar..!"Lanangseta menghindari sinar biru tua yang keluar dari keempat
tangan mereka. Dengan sekali loncat,
Lanangseta dapat melancarkan pukulan
jarak jauhnya ke arah kedua orang
tersebut. Sementara itu, sinar biru tua meluncur menghantam batu besar yang ada
di samping kiri mulut goa. Batu itu
tiba-tiba hilang. Serpihannya pun tak ada. Lanangseta tak sempat mengagumi
pukulan hebat itu, sebab sekarang ia
sedang sibuk membalas kedua orang itu hingga keduanya berguling-guling nyaris
membentur pohon besar.
Tanpa disadari oleh Lanangseta,
rupanya ada salah seorang dari ketiga orang yang melawan Ludiro itu melesat ke
belakang Lanangseta. Dari arah belakang Lanangseta ia juga bergerak
mempermainkan jurus serupa dengan yang dipermainkan oleh dua orang tadi. Dan
dengan gerakan lincah dia menarik kedua tangannya sampai ke pinggang dalam
keadaan terbuka, lalu ia melancarkan
pukulan tenaga dalamnya seperti yang
dilancarkan oleh kedua orang tadi. Sinar biru tua meluncur cepat tertuju pada
tubuh Lanangseta. Tapi sebelum sinar itu menghantam punggung Lanangseta,
tiba-tiba sinar itu berhenti. Berhenti total dan masih berujud sinar biru tua.
Pada saat itu, orang tersebut memekik keras. Dadanya robek seketika, bahkan
nyaris terpotong menjadi dua bagian.
Lanangseta segera berbalik ke belakang.
Dan matanya tertegun melihat Kirana Sari mencabik-cabik tubuh orang itu dengan
sebatang ranting kering. Lanangseta
sadar ada sinar biru tua berhenti di
depannya. Ia bergeser tepat pada saat sinar itu melesat lagi, bagai meneruskan
perjalanannya. Kecepatan sinar sangat luar biasa, sehingga tahu-tahu orang
yang berkumis tebal itu terpekik
tertahan, kemudian sirna tanpa bekas.
Andai saja Kirana Sari tidak muncul,
pasti sinar biru tua itu akan meluncur menghantam Lanangseta dari belakang, dan
nasibnya akan sama dengan orang berku mis tebal. Sirna selama-lamanya. Beruntung
sekali kemunculan Kirana Sari begitu
tepat, sehingga ia masih bisa
diselamatkan oleh perempuan anggun yang berilmu tinggi itu.
"Awas...!" seru Kirana tiba-tiba.
Lanangseta sigap, ia membalik ke
belakang dan sebuah senjata cakra
melayang ke arahnya. Dengan gesit ia
mencabut pedang Wisa Kobra, lalui
menebas senjata cakra itu.
"Trang...!" Senjata itu terpotong menjadi dua bagian. Ujung potongannya masih
melesat terus dan berhasil
dihindari Lanangseta. Tetapi di belakang Lanangseta berdiri Kirana Sari dalam
jarak tertentu. Ujung potongan senjata cakra itu melesat ke arah Kirana Sari.
Dengan gerakan yang melingkar ke
samping, kaki Kirana berhasil menendang ujung senjata yang berbahaya itu.
Tendangannya begitu kuat dan tepat
sehingga senjata tersebut berbalik arah.
Lanangseta meloncat menghindari ujung senjata cakra, dan begitu lolos tidak
mengenai tubuh Lanangseta, maka senjata itu bagai kembali kepada pemiliknya.
Orang berkepala botak yang memiliki senjata itu sangat tercengang. Ia tak sempat
menghindar sehingga ujung senjata itu menghantam matanya. Ia terbawa tenaga
dorong senjata tersebut sehingga ikut tertancap di pohon besar.
"Siapa mereka sebenarnya" Mengapa mereka menyerang kami tiba-tiba?" tanya
Lanangseta kepada Kirana Sari.
"Mereka, orang-orang Tebing Neraka.
Mereka selalu berusaha keras untuk dapat memasuki goa Malaikat." jawab Kirana
dengan mata memandang tenang pada
pertempuran Ludiro dengan dua orang
musuhnya. "Mengapa mereka ingin memasuki goa Malaikat itu" Ada apa di dalam goa
tersebut" Harta" Atau..."
"Setelah selesai urusan ini, jangan lupa, cepat pergi..." seraya Kirana melecit
bagai sebuah sinar hijau.
Lanangseta menggeragap sebentar. Ia
sempat berseru:
"Kirana Sari...! Tunggu...!"
Badai datang dengan tiba-tiba
begitu Lanangseta menyebut nama Kirana Sari. Petir menyambar-nyambar di
angkasa, dan langit bagai terbakar,
banyak warna pijar. Awan hitam
bergulung-gulung mengerikan. Bumi pun goncang. Lanangseta menyesal
mengucapkan nama Kirana Sari. Ternyata mempunyai kekuatan yang amat ampuh jika
diucapkan oleh siapa saja.
Badai begitu kencang. Lanangseta
terhuyung-huyung. Sedangkan Ludiro
merendahkan badan untuk menjaga
keseimbangan tubuhnya agar tidak
dihempaskan badai. Tetapi kedua musuhnya yang tengah menyerang serentak itu
menjadi terbawa angin.
Dihempaskan dengan kuat dan kepalanya membentur
pohon. Begitu kuatnya hempasan dan
benturan tersebut sehingga terdengarlah suara:
"Praaak...!" Dari arah musuh itu suara berbunyi. Ludiro menyeringai,
menyipitkan mata, dan ia dapat
mengetahui bahwa kepala kedua musuhnya itu secara serentak membentur batang
pohon dengan keras. Lalu keduanya
tergeletak di tanah dengan kelojotan
beberapa saat, dan tak berkutik untuk selamanya.
"Cari pegangan...!" teriak
Lanangseta yang sudah berhasil
berpegangan akar pohon. Ludiro
kebingungan. Tubuhnya yang terasa kecil itu sangat mengkhawatirkan. Ia nyaris
tak berani bergerak sedikitpun. Ia bagai sedang menancapkan kedua kakinya ke
bumi kuat-kuat dan menahan amukan angin badai yang begitu dahsyat. Sementara
itu, Lanangseta mendengar pula suara seruan seorang perempuan:
"Lanaaang...!"
Mata Lanangseta terbelalak kaget,
namun tak sempat melebar karena hembusan angin membuat perih di bola mata.
"Andini...! Jaga dirimu...!"
Andini kewalahan menahan diri dari
hempasan angin kencang itu. Ia masih berdiri di depan mulut goa dengan
berpegangan pada tanaman semak berduri.
Tetapi agaknya tanaman itu tidak kuat menahan hempasan angin sekuat itu.
Sebuah pohon tumbang seketika. Lalu
tubuh Andini melayang karena tanaman
yang dipegangnya jebol seakar-akarnya.
Andini sempat berseru,
"Aaauuww...!"
"Andini..."! Cari pegangan lain, lekas..."!"
Seruan Lanang tak didengar oleh Andini.! Tapi ketika kedua tangannya
terentang, tiba-tiba ia masuk dalam
celah pohon, dan kedua tangannya itu
dapat menjadi penghalang. Kedua tangan Andini meme-gang erat kedua celah pohon,
sehingga tubuhnya tak ikut terlempar
bagai benang menerobos lubang jarum.
Ketika keadaan alam menjadi reda
kembali, nafas Ludiro terengah-engah. Ia sempat
menghampiri Lanangseta dan
berkata: "Kenapa Andini harus keluar dari dalam goa?"
"Mana aku tahu!" jawab Lanangseta, lalu keduanya menurunkan Andini yang
tersangkut di antara celah pohon.
"Ilmu apa yang kau pakai tadi,
Lanang..."!" tanya Andini.
* * * 4 UNTUK menghindari pertanyaan
Andini, Lanang mengalihkan perhatian.
Ia memandang mayat-mayat yang
bergelimpangan itu. Ia bicara lirih
bagai ditujukan untuk dirinya sendiri,
"Mereka sangat bernafsu untuk memasuki goa Malaikat ini. Ada apa sebenarnya,
ya?" "Lanang...." tegur Andini yang ternyata tak bisa dikecohkan begitu
saja. "Ilmu apa yang kau pakai tadi"
Namanya saja, aku ingin dengar."
Lanangseta kebingungan. Kalau ia
menyebutkan Kirana Sari, pasti akan
terjadi amukan badai dahsyat yang
bagaikan menjelang hari kiamat tiba. Ia berusaha menghindari pertanyaan Andini,
namun tak pernah berhasil. Bahkan gadis manja yang juga cerewet itu bertanya:
"Lalu siapa yang bicara denganmu di
sebelah sana tadi" Siapa perempuan itu?"
Pertanyaan Andini kali ini bernada
penuhselidik setengah mencurigai.
Lanangseta hanya berkata, "Dia putri penguasa Bukit Badai ini."
"Siapa namanya?"
Sekali lagi Lanangseta bingung
menjawabnya. Tetapi kecurigaan Andini semakin jelas. Gadis centil itu berkata:
"Siapa nama gadis itu" Kenapa kau tak mau menyebutkannya" Kau serong ya"
Akan kuadukan kepada Sekar kalau kau
mendua hati."
"Andini, ini bukan urusanmu. Kau harus..."
"Harus mengetahui siapa nama gadis itu!" sahutnya cepat. Andini cemberut.
Ia jadi menampakkan kecemburuannya.
"Lupakan tentang perempuan itu.
Ayo, kita masuk ke goa. Kita tak baik terlalu lama meninggalkan Ekayana."
"Tidak! Aku harus tahu nama
perempuan itu!" Andini berkeras hati.
Lanangseta agak kelabakan.
Tiba-tiba Ludiro berseru dengan
mengagetkan, "Hai, lihat! Mayat-mayat itu menghilang. Hilang sendiri!"
Lanangseta dan Andini membelalakkan
mata. Tetapi Andini yang kelihatan
paling terkejut. Ia bahkan bergeser
merapatkan badan ke tubuh Lanangseta dan berpegangan lengan pendekar ganteng
itu. En-tah sengaja atau memang dalam keadaan ketakutan sekali, yang jelas Andini
merasa senang jika dapat berpegangan
lengan Lanangseta. Mereka tak
henti-hentinya berdecak
menyaksikan mayat-mayat itu hilang sendiri.
"Kau menggunakan ilmu simpananmu lagi, ya?" bisik Andini.
Untuk menghilangkan
desakan-desakan yang membingungkan,
Lanangseta segera membawa masuk Andini ke dalam goa. Mulanya Andini mengancam
tidak ingin masuk ke dalam goa jika tidak diberitahu siapa nama perempuan itu.
Tetapi setelah Lanangseta dan Ludiro
membiarkan dia diluar goa, akhirnya ia masuk sendiri dengan merangkak-rangkak
seperti waktu ia keluar tadi.
Sesuatu yang amat mengejutkan
membuat Lanangseta menjadi pucat
wajahnya. Tempat di mana Ekayana
tertelungkup tadi, sekarang telah
kosong. Yang ada hanya kain baju Gopo, yang tadi dipakai sebagai alas tidur
tubuh Ekayana. Ludiro sendiri menjadi gemetar ketika mengetahui jasad Ekayana
telah hilang dari tempatnya.
"Ke mana dia"!" Lanangseta
kelihatan sangat tegang.
Ludiro tak dapat bicara. Matanya
membelalak kian-kemari. Ketika Andini sampai kepada mereka, Andini ikut
terkejut dan segera menjerit:
"Ekayaanaaa..."! Kemana dia,
Lanang" Kemana"!"
Suasana menjadi panik. Lanangseta
tak ingin kehilangan saudara kembarnya.
Ia segera mengambil pedang Wisa Kobra, lalu menggeserkan kuat-kuat pada dinding
goa. Percikan api diterima oleh sebilah kayu kering, dan kayu itupun terbakar.
Dengan menggunakan kayu berapi itu,
Lanangseta melangkah cepat menyusuri
lorong mencari Ekayana. Sementara itu, Ludiro juga mencarinya ke tempat
berlawanan arah dengan kepergian
Lanangseta. Andini menangis, mengikuti Lanangseta
dari belakang sambil
memanggil-manggil Ekayana. Tetapi
ternyata tak satu pun sobekan kain atau percikan darahnya yang meninggalkan
bekas. Ekayana bagai hilang tanpa bekas.
"Mungkinkah dia tadi ikut ke luar, lalu ikut terhempas badai mengerikan itu"!"
kata Andini dengan tangisnya yang semakin menjengkelkan Lanangseta.
"Ini kesalahanmu!" bentak Pendekar Pusar Bumi yang memiliki wajah serta
ciri-ciri sama dengan Ekayana. "Kubilang tadi, jangan tinggalkan dia! Jaga dia!
Tapi kamu malah ke luar dari goa!
Apa-apaan itu"! Kau pikir tindakanmu
sudah benar dan pasti menguntungkan"
Untuk dirimu sendiri belum tentu
menguntungkan, apalagi untuk diri orang lain!" Lanang mengomel tanpa peduli
tangis Andini yang terisak-isak.
Kegeraman dan kejengkelan menyumbat
di dada, membuat pernafasan Lanangseta terasa sesak. Andini memegangi tangan
Lanangseta, namun tanpa peduli
menyinggung perasaan atau tidak, Lanangseta mengibaskan tangan Andini.
"Kau hanya bisa menyalahkan aku!"
seru Andini dalam tangisnya. "Kau sendiri terlalu lamban bergerak,
terlalu...."
"Terlalu apa" Apa yang terlalu,
hah"!" bentak Lanangseta karena
dongkolnya. Andini yang cengeng dan
manja semakin menyerukan tangis. Kesal sekali Lanangseta.
Ia sudah melangkah terlalu jauh,
menyusuri lorong panjang, namun ia tidak menemukan secuil pun jejak Ekayana.
Sewaktu ia kembali lagi ke tempat
semula, Ludiro datang dari arah depan. Ia juga membawa obor kayu bakar dan
kelihatan kebingungan.
"Tak ada tanda-tanda ke mana
perginya," kata Ludiro sambil angkat bahu.
"Aku juga tidak menemukan
tanda-tanda apa pun." Lalu, Pendekar Pusar Bumi itu menghela nafas
dalam-dalam, mencari ketenangan.
"Lalu bagaimana nasibnya" Bagaimana


Pendekar Cambuk Naga Misteri Goa Malaikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keadaan Ekayana"!" Andini merengek.
Lanangseta menjawab dengan kesal:
"Tanyakan pada dirimu sendiri! Kau yang bertanggungjawab. Kau yang kuserahi
tanggungjawab menjaganya, tapi kau tak mau memberikan perhatian, apalagi
bertanggungjawab sepenuhnya!"
Lanangseta menggeram. Gemas sekali! Ia telah kehilangan Sekar Pamikat, haruskah
ia kehilangan saudara kembarnya.
Anggaplah Sekar Pamikat tidak terlalu berbahaya, karena ia masih bisa berjalan
dan dalam keadaan
sehat, tetapi bagaimana dengan Ekayana" Ia dalam
keadaan terluka parah dan tak mampu
bergerak sedikit pun.
"Kita cari ke luar goa," ujar Andini.
"Tak mungkin ia bisa ke luar
sendiri. Bergerak saja tak mampu apalagi berjalan ke luar dari goa," kata
Ludiro. "Tapi siapa tahu...?"
"Siapa tahu kau yang
melenyapkannya, begitu?" sahut
Lanangseta dengan sinis. Andini
terbelalak dituduh sebagai orang yang dengan sengaja melenyapkan Ekayana. Ia
menjadi marah. Ia berseru dengan ketus:
"Jaga bicaramu, Lanang! Jangan
terlalu membakar kemarahanku yang sudah sakit atas peristiwa ini!"
"Nyatanya waktu kutinggal ke luar, dia masih dalam keadaan parah. Tapi
begitu kau ke luar, lalu masuk lagi, dia sudah tak ada. Kau punya cukup waktu
untuk melenyapkannya dengan Lebur Ragamu itu!"
"Fitnah!" bentak Andini tak kontrol diri. "Aku mencintai Ekayana. Sangat
mencintai! Bagaimana mungkin aku akan menggunakan ilmu Lebur Raga untuknya"
Bagaimana mungkin aku akan setega itu"!"
"Kenapa tidak" Mungkin kau punya pemikiran lain. Aku tahu, kau orang
cerdas. Hanya kemanjaan yang membuat kau seperti orang bodoh."
"Lanangseta...!" bentak Andini.
Ludiro tegang dan bingung. Andini
berkata dengan sengit, "Sekali lagi kau menuduhku begitu, lebih baik kita
tentukan siapa yang harus mati. Aku sudah kehilangan dia, tapi kau justru
menuduhku yang bukan-bukan! Apakah itu menandakan bahwa kau punya otak yang
sebesar biji kapas"!
"Tuduhanku beralasan dan masuk
akal," kata Lanangseta merendahkan suara. Ludiro berlagak membuat api
unggun dari kumpulan kayu yang sempat dibawanya masuk. Ketegangan masih
meliputi mereka berdua. Lanang berkata lagi dengan nada suara rendah:
"Kau tentunya bisa berfikir, betapa menyedihkan keadaan Ekayana. Kau kasihan
kepadanya, yang hidup tidak, mati pun tidak. Lalu kau ambil kebijaksanaan
untuk membunuhnya. Kau gunakan ilmu
Lebur Raga, di mana raga Ekayana akan berubah menjadi asap dan setelah itu tak
akan kembali lagi. Mungkin kau pakai itu dengan dasar untuk memperingan beban
penderitaan Ekayana!"
"Tidak! Sudah kubilang, otakmu
memang sebesar biji kapas! Tak mungkin aku menggunakan ilmu itu untuk hal-hal
demikian. Itu sama saja mendahului
kehendak Hyang Widi. Itu dilarang oleh guruku... Juga oleh keluargaku!"
"Lalu ke mana dia sekarang...!!"
bentak Lanangseta yang diliputi rasa
panik dan menjengkelkan.
"Mana aku tahu! Aku tadi ke luar untuk memberi bantuan kepada kau dan
Ludiro. Sebab kudengar mereka ada tujuh orang. Dan... dan aku tidak akan
menyangka kalau Ekayana bisa hilang
begini..." Andini menangis. Lanangseta menghempaskan nafas, menenangkah diri
sendiri. Ia me-biarkan gadis manja itu menangis sesukanya. Ia sendiri merasa
pusing memikirkan keanehan tersebut.
"Goa apa ini sebenarnya"! gumamnya beberapa saat setelah ia termenung lama.
"Segalanya serba misterius! Uhh...
kemana pula Sekar Pamikat dan Gopo"
Mengapa mereka tidak muncul-muncul dari tadi?"
Lanang bicara sendiri, tanpa peduli
ada, yang mendengarnya atau tidak.
Tetapi beberapa saat kemudian, Ludiro berkata dengan hati-hati:
"Bagaimana kalau kucari mereka,
sekaligus mencari Ekayana. Kau setuju?"
Lanangseta memandang lelaki yang
terhitung tua, namun masih segesit anak muda. Di wajahnya terbentang rasa duka
dan penyesalan. Lanangseta tahu, bahwa Ludiro merasa bertanggungjawab jika
sampai terjadi sesuatu atas diri Sekar Pamikat. Sebab itu, Ludiro yang punya
rasa pengabdian begitu tinggi dan sangat setia itu dibiarkan pergi mencari Sekar
Pamikat yang agaknya sudah dalam
keganjilan. Sebelum Ludiro pergi, ia
sempat berkata kepada Lanangseta:
"Mudah-mudahan tak ada orang lain yang masuk goa ini, sehingga tak akan
menimbulkan masalah baru sebelum mereka kita temukan."
Lanang tanggap terhadap kata-kata
Ludiro itu. Ia pun menyahut,
"Baiklah... aku akan berjaga-jaga di mulut goa!"
"Aku bagaimana"!" tanya Andini yang masih menghabiskan sisa isak tangisnya.
"Ikutlah Ludiro," jawab Lanangseta.
"Apakah aku tidak sebaiknya ikut menjaga mulut goa?"
"Mulut sekecil itu apakah harus
dijaga dua orang?" kata Lanangseta sambil beranjak meninggalkan mereka.
Ludiro melangkah dengan membawa obor
kayu dan beberapa potong kayu sebagai persediaan. Andini sempat bingung
sejenak. Lanang bagai tidak
menghiraukannya, dan Ludiro juga tidak mengajaknya. Tapi akhirnya ia melangkah
mengikuti Ludiro.
Sambil menjaga mulut goa,
Lanangseta masih sempat meneliti tiap dinding goa tersebut. Pikirannya masih
belum dapat berhenti bertanya-tanya:
"Mengapa orang-orang tadi sangat bernafsu untuk masuk ke goa ini?" Sejak kemarin
lusa Lanangseta masuk ke goa
Malaikat itu, ia tidak menemukan barang berharga satu pun. Jangankan emas, perak
pun tak ada. Paling tidak hanya tempat itu. Ya, tempat yang sangat strategis
bagi persembunyian atau bagi tempat
untuk melatih ilmu kanuragan yang
dirahasiakan. Paling tidak tempat itu dapat dipakai buat menyembunyikan barang
hasil rampokan dengan aman dan tanpa
takut dicurigai seseorang. Hanya itu
yang bisa mereka harapkan. Untuk mengharapkan lebih dari itu tak ada.
Nyatanya dari kemarin lusa
Lanangseta hanya dapat menemukan
segudang masalah yang menjengkelkan
baginya. Paling-paling beberapa
keajaiban yang mengagumkan, itu pun tak seberapa banyak. Namun demikian, memang
goa itu mengandung misteri yang cukup membingungkan. Ini sering dialami
Lanangseta, dan bahkan baru saja ia
benar-benar dibuat jengkel dengan
hilangnya Ekayana. Kalau memang ada
orang yang mengambilnya, lantas siapa orang itu" Sejak kapan berada di sini, dan
apa perlunya mereka atau orang itu masuk ke goa yang menjenuhkan ini"
Mungkinkah benar goa tersebut adalah
sebagian dari makam leluhur Kirana Sari"
Pemeriksaan dinding tak menemukan
hasil apa pun. Lanangseta duduk di
persimpangan lorong, menghadap pada
mulut goa yang selebar lobang sumur itu.
Pikirannya masih menerawang dan
menimbulkan kejolak hati sedih, heran, dan kagum terhadap kenyataan yang telah
dialami. Terlebih jika ia ingat Kirana Sari. Oh, benar-benar sosok anggun yang
menyimpan banyak misteri juga perempuan itu.
"Kemunculannya sangat tak diduga.
Tapi ia tidak mempunyai keterbukaan
terhadapku. Aku yakin dia menyembunyikan sesuatu yang amat penting bagi dunia
persilatan, maupun bagi kehidupan di
Bukit Badai ini," kata Lanangseta dalam hati. Tiba-tiba ia teringat sesuatu, dan
batinnya berkata:
"Kurasa Kirana tahu rahasia goa ini.
Dan... ah, mengapa tak kuceritakan
kepadanya tentang kehilangan Ekayana dan Sekar Pamikat" Kurasa aku bisa meminta
bantuannya, dan dia mau membantuku. Aku yakin itu. Ah, Kirana... Kirana..."
keluh Lanangseta. "Andai kau berada di sini, mungkin aku bisa menemukan kembali
Ekayana dan yang lainnya."
Tiba-tiba mulut goa yang terang
menjadi buram. Ada bayangan berdiri di sana. Bayangan sosok manusia yang
agaknya sedang mengamat-amati goa
tersebut. Lanangseta berdiri, pedang Wisa Kobra dicabut dari sarungnya. Ia siap
menghadapi siapa pun yang masuk. Ia siap untuk mengusirnya. Namun tiba-tiba
keremangan itu menjadikan suatu
kegelapan. Hanya sekejap, tapi sempat membuat Lanangseta tergeragap dan
mempersiapkan pedang Wisa Kobranya.
Ketika mulut goa yang bagai bundaran
terang itu kembali seperti semula, tanpa penghalang, ada cahaya masuk,
Lanangseta menjadi lega. Rupanya orang yang tadi berdiri di depan mulut goa
telah pergi. Barangkali orang itu sangsi dan tidak mengira kalau lobang seperti sumur
miring itu adalah mulut goa Malaikat.
Pendekar Pusar Bumi menyarungkan
pedangnya kembali. Karena ia sudah
mendekat ke arah mulut goa itu, maka ia pun kembali hendak duduk di persimpangan
lorong. Tetapi betapa terkejutnya
Lanangseta begitu ia membalikkan badan, ternyata di depannya dalam jarak dua
tombak berdiri seorang perempuan cantik, anggun dan mengenakan pakaian serba
hijau terang. Lanangseta terpekik tertahan,
nyaris menyebutkan nama. Tapi untung ia ingat bahwa ia tak boleh sembarangan
menyebutkan nama Kirana Sari itu. Ia
buru-buru menutup mulutnya yang telah menganga, dan sedikit merasa malu karena
perempuan anggun yang penuh misteri itu tersenyum menertawakan kekagetan
Lanang. "Kau..." Begitu cepat kau masuk
tanpa kuketahui," kata Lanangseta.
"Orang bandel seperti kamu, mana bisa menjaga kewaspadaan," ujar Kirana Sari
dengan suaranya yang empuk, enak didengar, namun mengandung bobot
kewibawaan yang besar.
"Untuk apa kau ke mari?" tanya Lanangseta.
"Untuk apa kau memanggilku?"
"Siapa?" Lanangseta heran. "Siapa yang memanggilmu?"
Perempuan bermata tajam namun
meneduhkan dan enak di pandang itu
melangkah, meneliti dinding goa. Sambil seakan acuh tak acuh, ia berkata jelas:
"Aku mendengar kata hatimu
memanggilku dua kali..."
Pendekar Pusar Bumi termenung
beberapa saat, mengingat-ingat sesuatu.
Dan ia pun tersenyum dalam kekaguman, setelah ia ingat bahwa baru saja,
beberapa saat tadi, ia mengeluh dengan menyebut nama Kirana dua kali. Rupanya
keluhan itu di-dengar oleh Kirana, dan ia segera datang.
"Wow...! Alangkah hebatnya ilmu
yang digunakan Kirana. Orang menyebut namanya dalam hati pun ia akan datang
karena mendengarnya. Hebat. Sekali lagi, hebat!" gumam Lanang di hatinya, dan
ternyata kata hati itu pun sempat di
dengar Kirana. "Kau, membutuhkan aku. Aku mendengar keluhanmu, dan aku datang," ucapnya dengan
tegas. "Tapi jika kau tidak membutuhkan aku lagi, baiklah, aku akan kembali ke
tempatku."
"Tunggu...! Tunggu sebentar...."
Lanang mencegah dengan berdiri di
hadapan Kirana. Kirana memandangnya
dalam jarak dekat. Begitu dekat Walau dalam keremangan, tapi matanya yang
bertepian hitam itu dapat melihat jelas segala lekuk ketampanan wajah pendekar
muda perkasa itu.
"Aku masih membutuhkan kamu,
Kir..." tangan Kirana buru-buru menutup mulut Lanangseta yang hampir saja
menyebutkan namanya. Anehnya, jemari
tangan yang lentik itu tidak mau pergi juga dari bibir Lanangseta, sekalipun
Lanangseta sudah berbicara kembali.
"Aku minta izin untuk beberapa saat tinggal di goa ini."
"Ini goa suci. Goa Malaikat. Tak boleh ada yang masuk ke dalam kenyataan goa
ini." Kirana bicara dengan nada berbisik.
Lanangseta bagai mengimbangi
bisikan itu. "Aku tahu, tapi adikku hilang di sini. Ia dalam keadaan terluka, dan...
tahu-tahu setelah kami menyelesaikan
pertempuran dengan tujuh orang Tebing Neraka tadi, eh... dia hilang. Padahal dia
dalam keadaan terluka parah, serta tak dapat bergerak sedikit pun. Aku perlu
waktu untuk mencarinya. Tolong izinkan aku mencari..."
"Juga kekasihmu yang hilang?"
Lanangseta agak terperanjat
mendengar pemenggalan kata akibat
serobotan suara Kirana. Ia hanya
mengangguk. Dan ketika itu, jemari
Kirana yang menempel di bibir Lanangseta dilepaskan. Ia bagai menghindari
tatapan mata Lanangseta. Ia berjalan menjauh, kini memandang mulut goa.
"Kau tak mau menolongku?" Lanang mendekatinya.
"Aku tak punya hutang budi padamu.
Wajar kan kalau aku menolak keinginanmu itu?" ucapnya lirih. Lanang jadi kikuk.
Perempuan anggun itu kalau bicara
terang-terangan. Ah, tapi itu memang
sikapnya, pikir Lanang.
"Kau memang punya hak untuk menolak.
Dari situ aku tahu, sampai di mana batas kemanusiaanmu."
Kirana berpaling begitu mendengar
ucapan Lanangseta itu. Di wajahnya tak ada senyum, padahal Lanangseta sangat
mengharapkannya. Kemudian dengan pesona anggun yang menggetarkan hati, bibir
sensual yang merekah itu bergerak-gerak indah.
"Kurasa ia sudah bukan lagi menjadi milikmu."
"Siapa?" Lanangseta terkejut sekali.
"Kekasihmu itu."
Bagai ada segumpal sekam yang
menyumbat tenggorokan dan pernafasan
Pendekar Pusar Bumi. Ia menelan ludah beberapa kali, tangannya gemetar dan
wajahnya menjadi pucat.
"Aku... aku tidak mengerti mengapa kau bicara begitu. Apa maksudnya, aku juga
tidak mengerti."
"Kekasihmu, akan menjadi milik goa Malaikat ini. Karena dia telah masuk dalam
kenyataan goa ini."
Dahi pendekar tampan itu berkerut
tajam. "Aku masih kurang jelas. Tolong sekali lagi kau jelaskan supaya aku bisa
memakluminya."
"Kalau kau tidak bisa memakluminya, apakah kau akan marah?" pancing Kirana
dengan sikap tenang.
"Akan kuhancurkan goa ini!" jawab Lanangseta tegas.


Pendekar Cambuk Naga Misteri Goa Malaikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa kau sanggup?"
"Pasti!"
Kirana menyunggingkan senyum, ia
berpaling. Tapi dengan berani,
sepertinya tak sadar, Lanangseta segera meraih dagu Kirana dan memalingkan wajah
anggun yang tengah tersenyum itu. Tentu saja hal itu membuat Kirana kaget dan
tersinggung. Ia segera menampar tangan Lanangseta.
"Lancang...!"
"Aku...oh, maaf... aku hanya ingin menikmati senyumanmu. Dari tadi
kutunggu, begitu kau tersenyum, kau
lantas mau buang muka. Oh, itu tak bisa.
Aku gemas...!"
Wajah itu memerah. Merah dadu. Bagai
menahan malu. Namun kini sengaja ia
menyunggingkan senyum buat Lanangseta.
Aneh...! Kok jadi begitu"
* * * 5 LANANGSETA alias Pendekar Pusar
Bumi, segera membawa Kirana masuk
melalui lorong kiri. Lalu mereka
berhenti di tempat hilangnya Ekayana. Di sana hanya ada selembar kain baju Gopo
yang bekas dipakai alas tidur Ekayana.
Lanangseta telah menceritakan secara
terperinci tentang mengapa mereka berada di goa itu dan bagaimana sekarang
keadaan teman-temannya. Sebab itu Kirana
berkata: "Kalian bahkan lebih tahu dari
kami." "Kurasa tidak. Tentang jalan lorong menuju Sendang Bangkai, memang pernah kami
lewati, tapi kalau disuruh
mengulang kembali, mungkin kami tak akan mampu."
Kirana mengambil kain baju Gopo, ia
mengamati beberapa saat. Sementara itu, Lanangseta mepcoba berkesimpulan:
"Apakah Ekayana adikku juga akan menjadi milik goa ini?"
Kirana menggeleng, lalu meletakkan
kembali kain baju milik Gopo. Ia berkata dengan tanpa memandang Lanang:
"Tidak. Ia akan kembali."
"Tapi bukankah tadi kau bilang,
bahwa siapa yang memasuki goa ini, akan menjadi milik goa ini?"
"Siapa yang memasuki kenyataan goa ini. Kenyataan!" Kirana mengulang.
Lanangseta berkerut dahi.
"Kau bingung?"
Lanang mengangguk Polos. Kirana
tersenyum tipis. Dan Lanang melebarkan mata, ingin melihat lebih jelas lagi
senyuman itu. Kirana agaknya membiarkan pendekar tampan itu menikmati
senyumannya. Kemudian ia berkata sambil melangkah kembali, menuju persimpangan
lorong: "Kalian hanya masuk dalam lapisan goa Malaikat, Bukan di dalam kenyataan goa
ini." Lanang manggut-manggut sambil
ber-alan di belakang Kirana. Kirana
sendiri segera melanjutkan
perkataannya: "Tapi kekasihmu. Sekar Pamikat,
telah masuk ke dalam kenyataan goa ini dan menjadi milik goa ini."
"Artinya?"
"Sekar yang akan mewarisi isi goa ini." "Harta karun" Perhiasan dan uang emas?"
Kirana menggeleng dengan anggun.
"Entah. Aku belum pernah tahu, dan belum pernah mendengar cerita dari orang
tuaku, apakah goa ini menyimpan emas dan harta berharga, atau tidak. Tapi yang
jelas, goa ini menyimpan pusaka leluhur kami, yang kadang belum pernah kami
pahami selama ini."
"Jadi... maksudmu, Sekar Pamikat akan menjadi...."
"Seorang resi, atau begawan
perempuan yang... tentu cantik, bukan?"
"Gila!" geram Lanangseta kelihatan tegang. Kirana memperhatikan dengan
tenang dan berwibawa. Lanangseta
mendesah dan gelisah.
"Kau bohong!"
"Tidak. Keluargaku tidak
diperbolehkan berbohong dengan
sungguh-sungguh. Kalau berbohong secara main-main, memang tak apa."
"Berarti kau kali ini main-main!"
desak Lanangseta.
"Apakah kau merasa kupermainkan"
Kalau memang begitu, yah... anggap saja keteranganku itu main-main. Tapi nanti
kau harus menyadari, bahwa garis
kehidupan manusia tak pernah ada yang mempermainkan. Semuanya bergaris tegas,
jelas dan bersifat terbuka. Hanya
kadangkala manusia tidak pernah mau
mengakui keterbukaan sang nasib. Itulah sebabnya manusia sering menyampingkan
firasat-firasat hidupnya."
Pendekar Pusar Bumi tak dapat menahan kegelisahannya. Kelihatan jelas
sekali. Dan Kirana yang lembut namun
berwibawa itu masih mau menjelaskan:
"Memang Goa Malaikat ini punya
banyak misteri dan teka-teki, tapi siapa orangnya yang mampu memecahkan misteri
itu" Keluargaku sendiri sampai sekarang masih dalam upaya memecahkan apa
sebenarnya yang ada di dalam goa ini."
"Jadi kau tidak tahu ke mana Ekayana pergi?"
Kirana menggeleng lagi. "Tidak.
Yang kutahu dia akan kembali lagi. Dia tidak seperti Sekar Pamikat."
"Dan kau bisa mengetahui hal itu secara pasti dari mana?" desak
Lanangseta. "Ada caranya sendiri. Di rumahku, ada sebuah cermin. Apabila cermin itu buram
tak dapat dipakai untuk berkaca, itu pertanda ada seseorang yang telah masuk ke
dalam kenyataan goa ini. Selama ini, dari aku kecil sampai sedewasa ini, baru
sekarang terjadi cermin kami
buram!" "Bagaimana kau bisa memastikan
kalau orang yang masuk kedalam goa yang sebenarnya itu adalah Sekar Pamikat?"
"Hanya seorang perempuan yang dapat masuk ke dalam ruang semadi. Konon, di ruang
semadi itulah Eyang Nyai tinggal sampai saat ini belum pernah menampakkan diri.
Tapi jika hanya berada di sekitar ruang itu, siapa pun bisa. Dan kau bilang
tadi, hanya ada dua perempuan, yaitu
Sekar Pamikat dan Andini. Tapi yang
hilang Sekar Pamikat, bukan?"
Pendekar Pusar Bumi manggut-manggut
dalam gumamnya. Kegelisahannya sudah
mulai reda, walau tidak hilang. Tetapi kesedihannya, semakin tampak jelas.
"Itulah sebabnya goa ini dikatakan sebagai goa suci, karena, menurut cerita
leluhurku, Eyang Nyai bermukim di sini.
Dan Eyang Nyai itu sebenarnya nenek
canggahku...."
Kirana mulai sadar kalau
kata-katanya sudah tidak diperhatikan lagi oleh Lanangseta. Karena itu ia
merubah pembicaraan, menjadi suatu
nasihat untuk membangkitkan gairah hidup Lanangseta:
"Hidup itu punya resiko
sendiri-sendiri. Resiko itu akan menjadi sangat berat bagi kita, jika terlalu
dihayati. Suatu pengorbanan,
penderitaan dan kesedihan, mau tak mau harus terjadi pada diri kita. Jika tidak
terjadi, kita sama saja dengan mati. Yang penting bagi manusia adalah, bagaimana
cara mengatasi setiap resiko hidupnya.
Sebab hidup itu juga ibarat segenggam gelas kaca, yang akan pecah jika tidak
hati-hati membawanya...."
Lanangseta mendengar, namun ia
tetap diam. Ia masih membayangkan sejauh itukah riwayat kehidupan Sekar Pamikat"
Sepahit inikah hatinya di dalam hidup tanpa Sekar Pamikat"
"Aku harus segera pulang..." kata Kirana datar. Lanang baru sadar dari
lamunan. Ia buru-buru meraih tangan
Kirana tanpa ragu-ragu.
"Lalu bagaimana dengan aku?"
"Pergilah sebelum aku membunuhmu,"
jawabnya datar.
"Apakah kau yakin, kau akan bisa membunuhku?"
"Yakin."
"Baiklah, sekarang juga kau dapat melakukannya."
Kirana menatapnya dengan lembut,
tapi punya makna ketegasan. "Bunuhlah aku sekarang juga. Aku tidak akan segera
pergi sebelum bertemu dengan yang
lainnya." Kirana diam saja. Hanya
memandangnya tak berkedip. Pandangan itu penuh ar-ti, namun sukar diterjemahkan
maknanya. "Bunuhlah," kata Lanang dalam desah. Ia semakin mendekatkan leher,
seakan memberikan kesempatan Kirana
untuk mencekiknya. Tapi, dalam hatinya ia yakin, bahwa Kirana tak akan sanggup.
Sebab itu, ia sengaja membiarkan jarak wajahnya begitu dekat dengan wajah
Kirana. Dan perempuan anggun itu masih tetap memandanginya tanpa berkedip.
"Lakukanlah niatmu..." bisik Lanangseta.
Kirana membisik, "Kau... harus
bertarung dulu denganku."
"Baiklah, mari kita bertarung di luar," tantang Pendekar Pusar Bumi.
"Belum saatnya. Tunggu sampai kau membandel sekali lagi, baru kita
bertarung satu lawan satu...."
Kirana selalu menghindar, dan
lama-lama Lanangseta bosan sendiri.
Pegangan tangan Lanang masih erat di
tangan Kirana. Kirana sendiri
membiarkannya, bahkan kini ia memandang pergelangan tangannya yang digenggam
Lanangseta. Tangan itu bergerak
perlahan-lahan, seperti ingin meronta lepas dari genggaman Lanangseta, namun
juga seperti sedang dipermainkan.
"Kau ingin kulepaskan?" Kirana mengangguk, tetap tenang, bagai tak
punya perasaan apa-apa. Lanang
menggodanya dengan pertanyaan: "Kenapa kau ingin kulepaskan?"
"Sudah hampir sore. Sebentar
lagi...." "Goa ini tertutup, Begitu, bukan?"
sahut Lanangseta.
Kirana tampak heran dan berkerut
dahi samar-samar.
"Apakah... apakah goa ini setiap sore akan tertutup?"
"Apakah kau belum tahu?"
Kirana menggeleng. Kini ganti
Lanangseta yang merasa heran. Mungkin juga tidak setiap orang bisa memergoki goa
ini tertutup dan terbuka sendiri.
Kemudian Lanangseta menjelaskan apa yang dilihatnya tentang batu-batu penutup
yang bergerak sendiri jika tanpa
matahari atau jika matahari bersinar
pertama kalinya. Kirana tampak asing
dengan kisah itu. Dan ia mengaku belum pernah mendengar cerita dari orang
tuanya tentang sinar matahari itu.
"Aneh..." gumam Lanangseta.
"Berarti kau benar-benar tidak memahami seluk-beluk goa ini, ya?"
"Memang. Malahan aku belum pernah mendengar tentang sinar yang dapat
membuka tembok dan pintu goa."
Lanangseta manggut-manggut. Dan tiba-tiba ia mempunyai gagasan sendiri. Ia memandang kalung kirana.
"Aku... hemmm... Boleh aku meminjam kalungmu?"
Kirana menggeleng tegas. "Kalung ini tak boleh lepas dari leherku. Ini pemberian
nenek." "Baiklah. Tapi izinkan aku
mempermainkannya sebentar. Sangat
sebentar."
"Untuk apa?"
"Nanti kau akan tahu sendiri."
Karena bersifat mendesak dan membuat Kirana penasaran, akhirnya ia
mengizinkan Lanangseta mempermainkan
kalung berliontin batu zamrud. Pada
tepian batu itu terdapat lapisan semacam intan atau kristal bening. Lanangseta
menyuruh Kirana berdiri di dekat pintu masuk goa. Kirana heran, tapi karena rasa
ingin tahu, ia tetap berdiri mengikuti perintah Lanangseta. Tubuhnya tersiram
cahaya matahari. Lanangseta
mempermainkan kalung itu dengan sangat hati-hati. Sesekali tangan atau
jemarinya sempat menyentuh payudara
Kirana yang menonjol itu, namun agaknya Lanangseta tidak bermaksud nakal,
sehingga Kirana membiarkan. Kalung itu bergemerlapan diterpa cahaya matahari.
Pelan dan sangat hati-hati sekali,
Lanangseta menggerak-gerakkan kalung
tersebut, lalu salah satu pantulan
cahayanya mengenai dinding lorong
sebelah kanan. Dinding lorong kanan itu tak pernah terkena pantulan matahari.
Tetapi sekarang, kalung Kirana dapat
mematulkan cahaya matahari kendati hanya seberkas kecil, seukuran jarum jahit.
Dan tiba-tiba, terdengar suara
bergemuruh. Dinding lorong itu
bergerak-gerak. Kirana kaget dan
terheran-heran melihat dinding itu
bergerak turun, bagai
ada yang menariknya ke dasar bumi.
"Dinding itu..." Astaga... dinding
itu terbuka sendiri," gumam Kirana dalam kekaguman.
"Kalung ini yang membukanya. Bukan karena kalung ini sakti, tapi karena
cahaya matahari memantul, dan pantulan sinarnya itu mengenai dinding lorong itu.
Jika ia terkena pantulan sinar
matahari, maka dinding tersebut akan
terbuka sendiri, seperti yang kau lihat sekarang ini...."
Kirana tak habis pikir, bahwa
ternyata pendekar tampan yang ada di
dekatnya itu benar-benar mempunyai otak yang cukup cerdas. Semuanya memang di
luar dugaan bagi Kirana. Bukan hanya
kecerdasan Lanangseta, tapi apa yang ada di balik dinding lorong itu pun menjadi
hal yang di luar dugaan.
Lorong itu sudah tanpa dinding lagi.
Tetapi ada cahaya berbinar-binar terang dari dalam lorong tersebut. Kirana
segera berlari menuju lorong tersebut.
Lalu Lanang menyusulnya. Keduanya
sama-sama terbelalak, sama-sama
terbengong dengan mata tak berkedip.
Mereka melihat setumpuk perhiasan dan emas-emas dalam bentuk gumpalan batu.
Jumlahnya tidak sedikit. Bahkan
menggunung setinggi setengah badan
Lanangseta.

Pendekar Cambuk Naga Misteri Goa Malaikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Emas..."!" Lanangseta memekik tertahan, takut didengar orang. Kirana masih
tertegun sampai beberapa saat.
"Rupanya inilah yang menjadi
incaran orang-orang itu."
Kirana menggumam panjang, ia
memegang sebongkah emas dalam bentuk
batu kasar. Ia mengamatinya sejenak, lalu berkata lirih:
"Orang tuaku pun belum tentu
mengetahui hal ini.
"Ini semua milik keluargamu, Ki...
eh, nggakjadi!"
Kirana tersenyum geli melihat
Lanangseta tak jadi menyebutkan namanya.
Terdengar suara gemuruh lagi.
Lanangseta terperanjat.
"Lekas keluar dari lorong ini! Pintu akan tertutup dalam beberapa helaan
nafas lagi, sebab ia sudah tidak terkena pantulan sinar matahari...!"
Kirana buru-buru meloncat ketika
dari dasar bumi muncul
bongkahan-bongkahan bebatuan yang sudah terakit menjadi satu bidang dinding
tebal. Lanangseta segera mengikuti
Kirana. Dan mereka berada di luar lorong setelah lorong itu tertutup rapat
seperti semula, bagai tak ada jalan
menuju ke dalaman lorong.
Kirana masih belum hilang rasa kagum
dan terpana. Lanang segera menyadarkan Kirana dengan kata-kata:
"Sudaaah...! Suatu saat kau dan
keluargamu dapat mengambil semua emas itu. Kau sudah tahu cara membukanya,
kan?" "Kalau tidak keduluan kamu, kan?"
Lanang menggeleng dalam senyuman.
"Tidak mungkin. Sebab itu barang bukan milikku. Jadi aku merasa tak punya hak
untuk mengambil dan memilikinya.
Percayalah, rahasia ini tak akan bocor."
Kirana tersenyum. Lanangseta baru
akan menikmati senyuman itu, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara denting
senjata beradu. Makin lama semakin
terdengar jelas dari ramai. Suara-suara teriakan menggema sampai di dalam goa.
Lanangseta dan Kirana sama-sama terkejut dan saling bertanya-tanya dalam hati:
"Siapa yang bertarung di luar goa?"
"Pasti orang-orang Tebing Neraka,"
gumam Kirana. Lalu keduanya keluar dari mulut goa. Lanang lebih dulu berada di
luar, baru Kirana menyusul. Tetapi pada saat itu, Lanangseta bagai terpaku di
tempat dan tercengang. Ia melihat
seorang pendekar muda, dengan ikat
kepala dari kulit macan tutul sedang
bertarung melawan satu barisan
orang-orang ganas. Mulut Lanangseta
gemetar ketika ia berkata:
"Itu... itu Ekayana, adik
kembarku..."!"
"O, pantas. Kalian memang sukar
dibedakan, kalau saja adikmu tidak
mengenakan celana lebih panjang dari
kamu," kata Kirana dengan tenang.
Keheranan masih meliputi pikiran
Lanangseta. "Ajaib sekali! Ia dalam keadaan
sehat, tanpa cacat atau luka sedikit pun di punggungnya. Ajaib! Benar-benar
ajaib!" "Ya, ajaib! Kita hanya menjadi
penonton pertarungan satu melawan
seribu, itu memang sangat ajaib," sindir Kirana. Kemudian Lanangseta tertawa.
Dan tanpa ragu-ragu lagi ia melesat cepat bagai anak kijang hutan. Sekali lagi
ia meloncat tinggi, lalu jatuh tepat di
samping Ekayana yang tengah sibuk
menangkis serangan lawan dengan
pedangnya. Ekayana sempat kaget
sebentar, lalu menengok ke arah
Lanangseta. "Hei...!" sapa Ekayana pendek dengan senyum girang.
"Hei, sudah sembuh?"
"Sudah! Mereka menolongku," sambil berkata
demikian, Ekayana Seta
menghadapi serangan lawan, menangkis dan menghindar, Demikian juga Lanangseta,
sambil mengibaskan pedang Wisa Kobra ia masih bisa ngobrol dengan adik
kembarnya: "Mereka siapa, maksudmu?"
"Para orang tua penghuni goa itu."
Para orang tua" Berarti lebih dari
satu orang tua. Padahal selama ini
Lanangseta merasa tak pernah menjumpai satu orang pun di dalam goa, kecuali
orang-orang yang dikenalnya. Tapi segera Lanangseta memahami, mungkin yang
dimaksud Ekayana adalah leluhur keluarga Kirana, entah dalam bentuk roh halus,
atau memang mereka masih hidup sampai saat ini.
"Andini di mana?" tanya Ekayana.
"Mencarimu bersama Ludiro. Mereka masih di dalam goa. Eh... kenapa kau
terlibat utusan dengan orang-orang ini?"
"Mereka memaksaku untuk menunjukkan letak goa Malaikat. Aku tidak tahu, dan
memang tidak tahu. Tapi mereka tidak
percaya, bahkan menyerangku."
"Yang kita huni itulah Goa Malaikat.
Kalau begitu, mari kita selesaikan
secepatnya permainan ini, nanti kita
cari Andini bersama-sama...!" Kemudian setelah Ekayana mengangguk, Lanangseta
pun berteriak keras, melayang ke udara dan membabatkan pedangnya ke arah lawan.
Sekali tebas, dua tiga kepala yang
terkena. Orang-orang Tebing Neraka itu
ganas-ganas. Jumlahnya puluhan orang
yang datang ketika itu. Agaknya pimpinan mereka benar-benar tahu, bahwa di goa
Malaikat itu tersimpan banyak emas,
sehingga ia memerintahkan seluruh
orang-orangnya untuk menguasai goa
Malaikat. Jika memang begitu, lalu siapa pemimpin mereka sebenarya" Mengapa
sampai mengetahui betapa berharganya Goa Malaikat itu"
Kirana Sari sengaja tidak turun
tangan. Ia berdiri di depan mulut goa sambil menyaksikan pertarungan dua
pendekar kembar melawan sejumlah
orang-orang Tebing Neraka. Dalam hati, Kirana Sari mengakui kehebatan kedua
pendekar tampan itu. Ekayana dipuji atas permainan pedangnya yang cukup bagus
dan mengagumkan. Pedang itu dapat berputar cepat, mengelilingi tubuhnya, dan
berguna sebagai pelindung tubuh.
'Trang...! Trang...! Tang...!"
Hanya suara itu yang terdengar dari
setiap tebasan senjata lawan ke arah
tubuh Ekayana. Yang mengagumkan lagi, sekali Ekayana menebaskan pedangnya, dua
tiga orang menjadi patung seketika.
Artinya diam mendadak dalam gerakan pada waktu itu. Kemudian satu persatu bagian
tubuhnya yang terpotong itu jatuh, dan matilah mereka. Seperti saat ini,
Ekayana mengayunkan beberapa kali
pedangnya ke arah lawan. Orang itu masih sempat tersenyum, sebelum tangannya
tahu-tahu terlepas, jatuh. Disusul
dengan kupingnya, pahanya, lalu
kepalanya menggelinding sendiri pada
saat Ekayana sudah menewaskan dua orang lainnya.
Itulah kehebatan ilmu pedang Ekayana. Sayang Kirana belum mengetahui bahwa Ekayana itu memang bergelar Pendekar
Maha Pedang. Memang berbeda dengan
saudara kembarnya Pendekar Pusar Bumi.
Kalau pendekar yang satu itu memang
cekatan, namun permainan pedangnya tak sehebat Ekayana. Tetapi keampuhan pedang
itu sendiri cukup mengagumkan.
Lanangseta seolah-olah bertugas
merontokkan persenjataan lawan. Jenis senjata apa saja yang tertebas pedang Wisa
Kobranya, langsung patah menjadi beberapa bagian, tergantung berapa kali pedang
itu menebas senjata tersebut. Hal ini membuat orang-orang Tebing Neraka menjadi
kelabakan. Namun ilmu silat dan tenaga dalam orang-orang itu juga tak dapat
diremehkan. Yang paling berbahaya adalah pukulan tenaga dalam jarak jauh, yang
mengeluarkan nyala sinar biru tua.
Pukulan itu dapat membuat orang yang
terkena menjadi sirna tanpa bekas. Untuk sementara, tugas Kirana adalah menahan
setiap ada serangan sinar biru tua. Ia menahan dari jarak jauh, dan apabila
posisi kedua pendekar itu tidak dalam satu arah dengan sinar biru tua, maka
melepaskan sinar tersebut. Jika mengenai teman mereka sendiri, maka hilanglah
teman mereka, jika mengenai pohon, maka hilanglah pohon itu.
"Serang terusss...!" seru salah seorang yang bertugas menjadi komandan tempur
mereka. "Ingat, rebut goa Malaikat
dan hancurkan penghalangnya...!!"
Kirana tersenyum tipis. Sayang Pendekar Pusar Bumi saat itu tidak
melihatnya. Pendekar Pusar Bumi sedang memperagakan jurus Lindung Buminya. Ia
amblas ke tanah, tahu-tahu muncul di
bawah kaki beberapa lawannya. Lalu
dengan cepat pedang Wisa Kobra merobek perut dan bagian tubuh lawan lainnya.
Berulangkali ia menggunakan jurus itu dan selalu berhasil. Tapi, orang-orang
Tebing Neraka semakin bertambah banyak saja rasanya. Ru-panya kali ini adalah
penyerangan total dari orang-orang
Tebing Neraka. Tiba-tiba sebuah tangan meraih
leher Kirana dari belakang. Kirana
mengibaskan orang itu, dan orang itu
terpental jauh sekali, tinggi dan jatuh tepat di bebatuan dengan kepala duluan.
Mengerikan sekali kematiannya. Kemudian Kirana merasa perlu turun tangan untuk
mempercepat mengalahkan orang-orang
ambisius itu. Gerakannya begitu lincah namun kelihatannya ringan. Ia seperti
ogah-ogahan bertempur, tapi yang menjadi korban pukulannya tidak sedikit. Hanya
saja, tiba-tiba orang Tebing Neraka itu beralih arah ke Kirana. Ada yang
berteriak,. "Awas, jangan sampai terluka...!"
Ada juga yang berseru sambil menyerang,
"Aku dulu yang memakainya! Aku dulu...!"
Kirana masih bertarung dengan gaya
malas-malasan, namun sebenarnya ia
mempunyai gerakan yang sangat cepat dan hebat. Satu kali ia memukul lawannya,
tiga orang di belakang orang yang dipukul dapat terjungkal bersamaan. Tetapi,
mereka menyerang dengan tujuan lain.
Mereka tidak bermaksud membunuh, tapi memakai tubuh Kirana lebih dulu baru akan
mem-bunuhnya. Karena itu, mereka yang menyerang Kirana sengaja menyimpan
senjata mereka. Tubuh mulus dan sintal itu, sangat sayang jika sampai terluka.
Bahkan dari mereka hanya ada yang
berusaha mencium Kirana. Tetapi yang
diperoleh selalu pukulan hebat dan telak yang membuat mereka menggelepar, lalu
mati. Sementara Pendekar Pusar Bumi masih
senang menggunakan jurus Lindung
Buminya, amblas, menyerang, amblas,
menyerang... begitu seterusnya.
Sedangkan Pendekar Maha Pedang, bagai sedang memotong agar-agar untuk suatu
hidangan. Ia menggerakkan pedangnya ke kanan, ke kiri, ke atas, ke bawah, dan
pada umumnya lawan yang terkena sabetan pedangnya tidak merasa sakit. Bahkan ada
yang tidak sadar kalau dirinya sudah
terpotong menjadi tiga bagian. Tahu-tahu sewaktu ia ingin berlari mengejar
keroyokan tubuh Kirana, anggota tubuhnya sendiri telah berantakan, dan ia pun
mati dengan nyaman.
Pada waktu itu, Kirana melesat
tinggi melampaui kepala mereka. Ketika ia menginjakkan kakinya ke tanah,
seorang bertubuh kekar dan bermata
jalang segera menyergapnya. Kirana
menjatuhkan diri di rerumputan. Orang itu memeluknya dengan kuat dan berusaha
mencium Kirana. Lanangseta sempat
melihat adegan Kirana hampir diperkosa orang itu. Ia segera melejit, melambung
ke atas, dan membabat orang-orang yang hendak ikut berguling-guling dengan
Kirana. Tubuh Kirana telah berada di bawah
dan tangan orang kekar itu mulai bekerja ke mana-mana. Namun tiba-tiba tubuh
orang kekar itu terpental ke atas, ia sempat bersalto sambil berteriak:
"Aaaakhh...!" Ia dapat jatuh dalam posisi berdiri, namun sekujur tubuhnya telah
penuh dengan ratusan jarum hitam.
Wajahnya rusak dihunjam sekitar 50
jarum, belum sekujur tubuh lainnya. Dan tiba-tiba orang itu menjadi kering.
Makin lama makin kering kerontang,
sampai akhirnya ia tak ubahnya seperti besi bekas yang tergeletak penuh karat.
Kini nafsu birahi mereka sirna, yang
ada hanya niat membunuh Kirana. Tapi
Kirana sendiri telah siap siaga dengan senyum sinisnya yang menggemaskan setiap
orang. Dan pada saat itu, terdengarlah suara seorang perempuan dari mulut goa
yang berteriak-teriak menghadapi lawan.
Lanangseta sempat melirik, dan ternyata perempuan itu adalah Andini:, yang sibuk
menghadapi sekitar tujuh orang. Tentu orang-orang itu berusaha hendak masuk ke
dalam goa, tapi sudah dihadang oleh
Andini yang tidak tahu menahu
masalahnya. Lanangseta meloncat, dan berguling
di udara bagai sebuah baling-baling.
Ketika ia turun, ia telah berada di
belakang Pendekar Maha Pedang.
"Gadismu muncul...!" kata
Lanangseta. "Ya, aku sudah melihatnya baru
saja," jawab Ekayana seraya berkelit ke kiri menghindari tombak bermata tiga.
Lalu ia meliukkan badan sambil
menebaskan pedangnya ke perut lawan. Ia masih sempat berkata, "Dia pasti akan
terkejut jika melihatku."
"Sebaiknya temui dia sambil kau
babat mereka yang menyerang Andini. Biar di sini aku yang mengurus."
"Ide yang bagus...!" katanya sambil tersenyum, Dan ia pun melesat ke atas,
bersalto beberapa kali. Pedangnya sempat menyambar batok kepala lawan, sehingga
orang itu terbelah kepalanya bagai
semangka tanpa biji.
"Eka..."!" Andini terbelalak memandang Ekayana.
"Awas belakangmu! teriak Ekayana.
Andini menggerakkan satu kakinya ke
belakang, "wess...!" Tendangannya dapat dihindari lawan, namun orang itu menjadi memar
wajahnya karena terkena angin
tendangan Andini. Ekayana berguling ke bawah sambil menebaskan pedang pada kaki
lawan. Dan ketika itu pula jerit
kesakitan membahana dengan histeris.


Pendekar Cambuk Naga Misteri Goa Malaikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu dengan beberapa gerakkan jurus
ringan, Ekayana berhasil menumbangkan lima orang lawan dengan tiga gerakan yang
cukup mematikan. Sedangkan Andini
mengibaskan rambutnya yang panjang dan mengenai wajah musuhnya, maka orang itu
pun menjerit kesakitan, wajahnya bagai terkelupas tanpa ampun lagi. Pedang
Ekayana yang akhirnya menghentikan
pernafasan orang itu. Andini sempat
memeluk Ekayana kekasihnya. Ia sangat rindu. Namun ia terpaksa mau diajak
berguling-gulingan oleh Ekayana, karena dua tombak meluncur cepat ke arah
mereka. Sambil berpelukan dalam berguling,
Andini sempat menyabut beberapa daun dan rumput. Ia menebarkan dalam satu
gerakkan, dan rumput serta daun itu pun melesat cepat ke arah dua orang yang
melemparkan tombak tadi. Orang itu
mengerang kesakitan dan untuk kemudian tubuhnya tak berkutik lagi dengan darah
yang membanjir dari tiap-tiap bagian
tubuh yang terkena rumput itu.
Ekayana dan Andini masih berguling
beberapa kali, lalu berhenti karena
tertahan oleh sebuah batu besar.
"Aku rindu kamu...!" kata Andini.
"Kau pikir hanya kamu yang bisa rindu?" Ekayana tertawa bersama Andini.
Pada saat itu, seorang lawan hendak
membabat Ekayana dan Andini, namun Lanangseta mengetahuinya dan segera
menendang sebutir batu. Batu itu
melayang dan mengenai kepala orang itu.
Kemudian dengan sangat mengagumkan
kepala orang itu pecah seketika terkena batu yang diten-dang Pendekar Pusar
Bumi. Bertepatan dengan itu, Lanangseta
juga melihat dua orang akan membokong Kirana.
Lanangseta tak mempunyai
kesempatan seperti tadi, karena kini
empat orang menutup jalannya. Maka di luar kesadaran, Lanangseta berteriak:
"Kirana Sari!! Awas belakangmu...!"
Tak ayal lagi badai pun datang
dengan cepat. Lanangseta tercengang dan menyadari ucapannya. Ia telah menyebut
nama Kirana Sari. Ia buru-buru mencari tempat untuk berpegangan. Badai
mengamuk. Petir menggelegar di angkasa.
Langit bagai terbakar. Merah membara.
Awan hitam bergolang, bergulung-gulung.
Sebatang pohon tumbang seketika, pohon berukuran kecil. Tumbangnya pohon itu
sempat menjatuhi tubuh seorang lawan
hingga orang itu tergencet. Lanangseta segera bergabung dengan Ekayana dan
Andini. Mereka tertahan batu besar.
Sementara itu, orang-orang Tebing Neraka sibuk dan kebingungan menghadapi
hempasan badai yang begitu kuat dan
gencar. Satu persatu mereka mulai
terhempas, terpelanting dan bahkan yang bertubuh kurus sekalipun sempat melayang
tinggi, lalu jatuh tertancap tonggak
pohon. Mereka benar-benar kacau. Banyak kepala yang saling beradu dengan keras.
Banyak juga yang tulangnya patah karena bagai diadu dengan batang pohon atau
batu. Sementara itu, Lanangseta dan
Ekayana sempat melindungi Andini. Gadis itu dipepetkan dengan batu besar, lalu
ditutup oleh kedua tubuh mereka.
Pada waktu itu, gadis manja masih
sempat bertanya: "Aku tahu, nama perempuan itu Kirana Sari, kan" Aku
mendengar kau menyebutkannya ta...."
"Diam!" bentak Lanangseta dengan kasar dan keras. Tapi Andini sudah
terlanjur mengucapkan nama itu, sehingga badai pun datang lagi dan semakin
hebat. Bumi bergoncang bertambah mengerikan.
Gelegar petir di angkasa bertalu-talu, bagai terjadi ledakan gunung
bertubi-tubi. Percikan api di langit
seperti tarian ular. Mengerikan sekali.
Saat itu, orang-orang Tebing Neraka
semakin kocar-kacir dan terpental ke
mana-mana dengan nasib ditanggung
masing-masing. Andini sangat ketakutan.
Ekayana tetap tenang, seperti kakaknya.
Sedangkan Kirana sendiri, hanya diam di bawah sebuah pohon, menundukkan kepala,
memusatkan konsentrasi pada kaki agar menapak kuat di tanah. Sampai beberapa
saat lamanya alam menjadi murka, seakan kiamat sedang terjadi dalam bentuk
gejala-gejala dini. Pedang Wisa Kobra nyaris terlepas, namun berhasil diraih
kembali, kemudian buru-buru
disarungkan. Deru angin bagai rombongan pasukan berkuda lewat di samping telinga
mereka. Kemudian kian lama, kian mereda. Dan
akhirnya sepi. Angin semilir. Ledakan di angkasa
hilang. Langit menjadi cerah kembali.
Bumi tidak lagi bergoyang. Dan
orang-orang Tebing Neraka sudah tak
bersuara lagi. Ada yang mati tertimpa pohon, ada yang mati terbentur pohon atau
batu. Ada yang mati karena kepalanya
beradu dengan tombak teman sendiri
sehingga seperti tusukan sate. Ada pula yang terbang entah ke mana dan mati
dalam keadaan bagaimana.
Yang jelas, semua sudah reda. Semua
menjadi sepi. Lanangseta muncul dari
balik batu besar. Ia memandang Kirana yang berdiri dengan tenang sambil
memandang kerusakan alam di
sekelilingnya. Ekayana dan Andini masih berangkulan ketika muncul dari balik
batu besar. Lanangseta berjalan
mendekati Kirana.
"Kau terluka?" tanya Lanangseta.
Kirana menjawab dengan acuh tak
acuh, "Periksalah sendiri...."
Saat itu, Andini dan Ekayana
berjalan mendekat. Lanang bicara kepada Kirana, "Itu adikku dan kekasihnya,
Andini." "Pergilah kalian," kata Kirana tanpa ekspresi apa pun.
Andini dan Ekayana sempat kecewa
mendengar ucapan Kirana. Andini ingin membalas dengan kata-kata sinis, tapi
dengan cepat tangan Lanangseta
membungkam mulutnya. Ia berbisik saat Kirana menjauhi
mereka, berlagak
memeriksa korban yang bergelimpangan
itu. "Jangan melawan dia! Kumohon jangan! Demi keselamatanku sendiri. Tahu..."!"
Pendekar Maha Pedang memandang
Lanangseta dengan tatapan mata yang
penuh tuntutan. Lanangseta tahu, bahwa Ekayana ingin membantu kakaknya kalau
memang ada urusan dengan perempuan itu.
Namun Lanangseta buru-buru mengedipkan mata dan berbisik lagi:
"Sekarang kalian telah bertemu kembali. Pergilah cepat. Ekayana kalau
perlu kembali dulu ke Cendana Manik, ajak serta Andini, biar ayah tahu siapa
calon istrimu itu. Turutilah kata-kataku ini."
Ekayana menghela nafas
panjang-panjang. Lanangseta menambahkan kata:
"Nanti aku akan menyusul menemuimu, entah di Cendana Manik, atau ke Kerajaan
Sebrang. Aku pasti menemui kalian."
Mau tak mau Ekayana mengangguk.
"Baiklah. Jaga dirimu sebaik mungkin."
"Ya. Dan aku meninggalkan tempat ini
setelah aku bertemu dengan Ludiro, dan Gopo."
"Bagaimana dengan Sekar Pamikat?"
"Dia akan menjadi penguasa bukit ini. Sudahlah, nanti kuceritakan panjang lebar
setelah kita jumpa di sana...."
Akhirnya, dengan langkah-langkah
berat, Ekayana serta Andini meninggalkan Pendekar Pusar Bumi. Andini sesekali
menengok ke belakang kendati sudah jauh melangkah. Ia masih melontarkan nada
sedihnya, "Kasihan Lanangseta...."
"Ia dapat mengurus diri sendiri,"
ujar Ekayana. "Oya... sebenarnya apa yang terjadi pada dirimu" Kenapa kau hilang dan
tahu-tahu sudah bertarung dalam keadaan sehat, tanpa bekas luka lagi...."
Ekayana tersenyum. "Ceritanya
panjang, Dini. Yang jelas, aku
diselamatkan oleh orang tua yang ada di dalam goa itu. Aku disembuhkan dengan
cara yang tidak kuketahui. Hanya yang kuingat, tahu-tahu aku sudah berada di
bawah pohon, lalu kedatangan orang-orang Tebing Neraka itu. Ah, nanti
kuceritakan lebih panjang lagi setibanya di rumah.
Sekarang sebaik-nya kita ke Pesanggrahan Cendana Manik, menemui ayah. Tentu Ayah
ingin melihat seperti apa kecantikan
calon menantunya itu..." Andini tertawa manja dan mempererat pelukannya.
Sementara itu, Pendekar Pusar Bumi
atau Lanangseta, masih tertegun
menyaksikan banyak mayat di sekitar
depan Goa Malaikat. Ia melihat sosok
tubuh perempuan anggun yang punya daya pesona tersendiri itu berdiri di mulut
goa. Lanang segera menghampirinya. Ia berhenti didepan Kirana. Mereka saling
tatap beberapa saat. Angin berhembus
semilir, mempermainkan rambut mereka, mempermainkan mata mereka yang sama-sama
tajam namun meneduhkan.
"Maaf, aku tadi tak sengaja
menyebutkan namamu," kata Lanangseta.
Kirana membuang pandangan ke cakrawala.
"Kenapa kau tak ikut pergi dengan mereka?" katanya datar.
"Aku menagih janji."
Sekejap cepat Kirana berpaling
menatap Lanangseta. "Janji" Janji apa aku padamu?"
"Kau akan membunuhku."
Kirana menghela nafas. "Apa kau
masih membandel ingin tinggal di tanah kami ini"!"
"Aku harus tinggal beberapa saat lagi, karena dua temanku, Ludiro dan Gopo belum
ke luar dari Goa. Mereka tersesat dan aku akan mencarinya sampai ketemu."
"Waktumu sudah habis!" ketus perempuan anggun itu.
"Biar. Aku tidak peduli."
"Keras kepala!" Kirana menyipitkan mata. Tapi cantik. "Lama-lama habis sudah
kesabaranku! Kau benar-benar bisa kubunuh!" tandasnya.
Tiba-tiba terdengar gemuruh di
belakang Kirana. Oh, matahari telah
tenggelam, dan goa itu tertutup sendiri secara otomatis. Ia bagai kehabisan
tenaga surya. Kirana tertegun melihat goa itu tertutup sendiri dengan rapat. Ia
segera berpaling kepada Lanangseta,
seakan berkata:
"Goa menutup sendiri." Namun pada saat itu Lanangseta hanya menyunggingkan
senyum dan mengangkat bahunya sambil
membuka kedua tangan. Lalu ia berkata:
"Mau tak mau harus kutunggu sampai goa itu terbuka lagi. Lalu akan kucari
temanku di dalam sana...."
"Tidak!" bantah Kirana.
"Aku akan nekad."
"Kau harus pergi."
"Kau sajalah yang pergi," Lanang bagai malas.
Tiba-tiba Kirana melancarkan
serangannya melalui tendangan kaki kanan yang menyamping.
"Wess...!" Lanangseta berhasil menghindari tendangan itu. Tapi dalam langkah
berikutnya, kaki kiri Kirana
mengayun ke depan, menendang kuat-kuat, dan mengenai dada Lanangseta. "
Buuk...!" "Huugh...!" Lanangseta mengaduh, membungkukkan badan sambil memegangi
dadanya. Ia menahan sakit dengan
bersandar pada sebuah batu besar. Kirana segera menghampiri dengan wajah kaku,
tanpa ekspresi.
"Menyingkirlah sebelum aku
membunuhmu!"
Jawab Pendekar Pusar Bumi,
"Bunuhlah sebelum aku menyingkir...."
Kirana menghempaskan nafas, kesal
dan gemas. Wajahnya jadi kelihatan manis menggemaskan.
"Bunuhlah...!" kata Pendekar Pusar Bumi.
Dengan ketus Kirana berkata, "Cabut pedangmu! Kita benar-benar bertarung
secara kesatria!"
"Baik...!" Lanangseta mencabut pedangnya.
"Sreet...!" Lalu berkata pelan,
"Aku telah siap!"
"Aku belum!" jawab Kirana ketus dan tandas.
"Kenapa?"
"Aku tidak ingin bertarung secara ksatria, tapi tanpa kutahu nama
musuhku." "Jadi kau butuh namaku?"
"Kalau kau mau bertarung denganku, sebutkan namamu!"
Lanangseta cengar-cengir. "Namaku, Lanangseta...!"
Kirana memandang ke langit yang
suram. "Sepi. Tak ada badai, tak ada petir, tak ada apa-apa. Hem... sebuah nama
tanpa arti!" ejeknya.
Lanang tersenyum sinis. "Kau sudah tahu namaku. Mari kita bertarung, dan kau
harus membunuhku."
Kirana diam saja. Ia berusaha untuk
tetap tenang. "Ayo, bertarung dan bunuhlah aku!"
Lama-lama Kirana berpaling dan
memandang mata Lanangseta dalam-dalam.
Ia berkata bagai bisikan:
"Apakah aku akan sanggup
membunuhmu?"
"Kenapa tidak?"
Kirana menggeleng lemah. Ia
memandang jauh ke cakrawala dan berkata lirih, "Aku lupa, bagaimana cara
membunuh orang yang kucintai..."
Lanangseta tertegun. Kirana memandang lembut. Kemudian Kirana membiarkan
tangan Lanangseta meraih pundaknya. Ia bahkan merebahkan kepala di dada
Pendekar Pusar Bumi.
Sore pun redup, beralih keremangan
petang. Tapi ada sinar bulan di sela-sela mega. Sinar kirana yang membias
menerangi sosok insan yang sedang
merebahkan kepalanya di dada seorang
pendekar tampan. Insan itu amat lembut, namun juga anggun dan menggetarkan hati
lelaki. Kirana Sari!
Ia mencintai Pendekar Pusar Bumi.
Tetapi benarkah ia akan menjadi kekasih pendekar itu"
TAMAT Scan/Convert/E-Book: Abu Keisel
Tukang Edit: mybenomybeyes


Pendekar Cambuk Naga Misteri Goa Malaikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Dendam Iblis Seribu Wajah 9 Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pedang Sakti 16

Cari Blog Ini