Ceritasilat Novel Online

Pedang Penyebar Maut 1

Pendekar Gila 8 Pedang Penyebar Maut Bagian 1


1 Suasana Desa Padas Gempal yang terletak di kaki Bukit Sigar malam itu nampak
hiruk-pikuk. Api berkobar-kobar menggapai angkasa. Lalu semakin membesar tatkala
tertiup angin malam. Jeritan ketakutan terdengar menggema, memecah kesunyian
malam. Setelah menjarah Desa Padas Gempal dan
merampok harta penduduk, Tiga Setan Rambut Api membakar desa itu. Kebiasaan itu
tidak pernah hilang dari dulu. Itu sebabnya sepak terjang mereka cepat
diketahui, karena mereka memiliki ciri khas tersendiri. Mereka akan membakar
desa yang telah dirampok.
Kini ketiga tokoh sesat berpakaian serta berambut merah itu telah berada di
sebelah timur Desa Padas Gempal sambil tertawa-tawa senang, menyaksikan hasil
dari tindakan mereka yang biadab. Sudah merampok penduduk desa, membakar pula
(Mengenai Tiga Setan Rambut Api, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode
"Titisan Dewi Kuan Im").
"Ha ha ha...!"
"Dasar Setan...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras, diikuti berkelebatnya dua bayangan lelaki.
Orang yang di depan mengenakan pakaian warna jingga.
Sedangkan di belakangnya seorang lelaki berbadan tegap dan berpakaian coklat
tua. Keduanya melesat ke arah Tiga Setan Rambut Api yang seketika
tersentak dan menghentikan tawa mereka.
Mata Tiga Setan Rambut Api memandang penuh
selidik ke arah dua lelaki yang baru datang. Lelaki yang berbaju jingga berusia
sekitar lima puluh tahun dan bertubuh tinggi kurus, namun berotot. Seorang lagi
lelaki muda berusia sekitar tiga puluh tahun, berbadan tegap dengan otot
menonjol kekar.
Wajahnya nampak garang. Tentunya lelaki muda berwajah garang ini pengawal lelaki
berpakaian jingga.
Wajah lelaki berpakaian lengan panjang berwarna jingga nampak memerah karena
marah. Lelaki itu berkumis panjang melintang. Rambutnya terurai dengan ikat
kepala berwarna jingga pula. Matanya tajam dengan alis mata tipis. Hidungnya
mancung. Lelaki ini adalah Kepala Desa Padas Gempal yang bernama Ki Adi Pamukti.
Sedangkan lelaki muda bertubuh tegap dengan wajah garang yang menjadi
pengawalnya bernama Samparan. Dialah jawara di Desa Padas Gempal ini.
"Ha ha ha...!" Tiga Setan Rambut Api kembali tertawa terbahak-bahak setelah
melihat siapa yang datang.
"Rupanya kau, Kepala Desa Tolol!" dengus Untara.
Matanya mencorong tajam, menyiratkan kebengisan.
"Mau apa kau, Orang Tua Tolol"!" sambung Undani, tak kalah keras. Matanya juga
memandang tajam penuh kebengisan. Tangan kanannya yanag
memegang cambuk, kini digerak-gerakkan.
"Ha ha ha...! Apakah kau datang untuk memberi kami upeti, heh"!" ledek Umbakara,
orang termuda dari Tiga Setan Rambut Api.
Napas Ki Adi Pamukti dan Samparan tampak turun naik. Amarah di dalam dada mereka
bergejolak, seakan sulit dibendung lagi. Apalagi jika ingat desa mereka yang dibumihanguskan
oleh ketiga lelaki dari aliran sesat itu.
"Tiga Setan Rambut Api! Kuakui nama kalian memang menyeramkan! Tapi Adi Pamukti
tak akan gentar menghadapi kalian! Kejahatan kalian harus dihentikan!" dengus Ki
Adi Pamukti tak kalah gertak.
Tangannya mengepal, siap menghadapi segala
kemungkinan yang akan terjadi. Matanya memandang tiga tokoh sesat yang ada di hadapannya dengan seksama. Setiap gerakgerik Tiga Setan Rambut Api yang terkenal licik, diperhatikannya.
"Ha ha ha...! Ucapanmu sungguh hebat, Ki! Hm....
Apakah kau kira gampang mengalahkan kami?" tanya Untara dengan nada sinis.
Seakan merendahkan lelaki tua di hadapannya. Bahkan senyumnya ber-kesan
mengejek. Undani dan Umbakara turut tertawa terbahakbahak, mengejek Ki Adi Pamukti yang masih tampak tenang.
"Kuakui kalian memang bukan iblis sembarangan.
Namun untuk membela kebenaran dan keadilan, aku siap mati!" tegas Ki Adi
Pamukti. "Hm.... Apa kau mengandalkan lelaki tolol di belakangmu" Sehingga kau berani
menantang kami?"
bentak Undani. Napas Ki Adi Pamukti semakin memburu. Gigigiginya bergemeletuk keras. Matanya berkilat penuh amarah. Jari tangannya
meremas-remas geram.
"Bedebah! Kalian telah banyak memakan korban!
Kalian harus mati!" dengus Ki Adi Pamukti.
"Ha ha ha...! Bukan sebaliknya, Orang Tua Tolol"!"
ejek Untara. "Kurang ajar! Yeaaat...!"
Dengan jurus 'Bangau Terbang Mematuk Ikan', Ki Adi Pamukti bergerak menyerang
Untara. Kedua tangannya direntang lebar dengan kaki kanan diangkat membentuk
siku. Kemudian bagai seekor bangau, Ki Adi Pamukti mematukkan tangan kanan dan
kiri bergantian. Lalu diikuti olch tendangan dan cengkeraman.
Sementara Samparan yang melihat Ki Adi Pamukti telah menyerang, tidak tinggal
diam. Dia pun melesat untuk membantu kepala desanya.
"Heaaat...!"
Melihat Samparan menyerang, Undani dan
Umbakara segera menghadang. Keduanya langsung menarik cambuk yang menjadi
senjata andalan mereka.
"Mampuslah kau, Tolol!" dengus Umbakara seraya melecutkan cambuk ke tubuh
Samparan. Ctar! "Uts!"
Samparan berusaha mengelak, dan berhasil. Tapi dari arah lain Undani telah
melanjutkan serangan adiknya dengan lecutan cambuk pula.
"Yiaaat..!"
Ctarrr! "Uts! Hop...!"
Kembali Samparan dapat mengelakkan serangan tersebut. Kemudian, setelah
mengeluarkan goloknya, Samparan cepat balas menyerang dengan jurus
'Langsat Belah'. Tubuhnya berputar seraya membabatkan senjatanya ke arah lawan.
"Yiaaat..!"
"Uts! Bisa juga kau unjuk gigi, Kerbau Dungu!"
dengus Umbakara sambil mengelitkan serangan lawan, lalu dengan cepat dia kembali
menyerang. Dengan jurus 'Tapak Setan Neraka' yang dibarengi oleh lecutan cambuk, Undani dan
Umbakara memburu Samparan.
Ctar, ctar...! Bret! "Aaakh...!"
Samparan memekik keras. Kepalanya tengadah, ketika tubuhnya terbabat cambuk
kedua lawannya.
Matanya membelalak lebar. Di punggung dan
dadanya menancap jarum-jarum maut yang keluar dari cambuk di tangan Undani dan
Umbakara. Tubuh Samparan ambruk dengan nyawa melayang.
"Ha ha ha...! Ternyata kerbau dungu ini hanya begini kemampuannya!" kata Undani
dengan suara angkuh.
Sementara itu pertarungan antara Ki Adi Pamukti dengan Untara masih berlangsung
seru. "Hih! Heaaat...!"
Untara berkelit dengan jurus 'Bayangan Arwah'.
Disusul dengan serangan keras yang menggunakan jurus 'Tapak Setan Neraka'.
Tubuhnya berkelit begitu cepat laksana bayangan. Sedangkan tepakan
tangannya mampu mengeluarkan deru angin yang keras.
"Uts!" Ki Adi Pamukti tersentak kaget. Dengan cepat dia mengepakkan tangan kiri
ke bawah untuk menangkis tepakan tangan lawan. Kemudian secepat itu pula, Ki Adi
Pamukti melancarkan serangan dengan patukan tangan kanannya ke wajah lawan.
Wut! "Uh! Ets...!"
Tubuh Untara tersurut ke samping. Kakinya
ditekuk membentuk siku. Dengan tetap menggunakan jurus semula, Untara kembali
menyerang. Sementara Untara menghadapi Ki Adi Pamukti, kedua adiknya tampak tersenyumsenyurn sambil menyaksikan pertarungan itu.
"Ayo, Kakang! Habisi saja orang tua tolol itu!" seru Undani dan Umbakara memberi
semangat pada kakaknya yang terus menyerang dengan gempuran-gempuran dahsyat, membuat Ki Adi
Pamukti terdesak. "Hiaaat...!"
Dengan jurus 'Terkaman Setan Merobek Nyawa', Untara terus berusaha merangsek Ki
Adi Pamukti Namun orang tua itu dengan cepat berkelit menggunakan jurus 'Bangau
Terbang Membelah Angin'
yang dilanjutkan dengan jurus 'Gempuran Paruh Bangau'.
"Yiaaat...!"
Tangan Ki Adi Pamukti bergerak laksana paruh bangau, mematuk ke sana kemari
dengan cepat. Sasarannya kini tertuju ke dada dan wajah lawan.
Kakinya juga tidak mau diam, menyodok ke perut lawan.
"Heaaat..!"
Ki Adi Pamukti mengarahkan saru tendangan ke perut lawan. Namun dengan cepat
Untara menggeser tubuh ke sampjng, dilanjutkan dengan jotosan ke wajah lawan.
"Heit!"
"Uts...!"
Ki Adi Pamukti mengelak dengan menekuk leher ke samping kanan, disertai dengan
menggeser kakinya ke kanan. Kemudian dengan cepat tubuhnya dirundukkan ke bawah.
Disusul dengan sebuah jotosan ke arah perut lawan dengan jurus 'Paruh Bangau
Mematuk Ikan'. Tangan Ki Adi Pamukti yang
meruncing, menusuk ke perut dan ulu hati lawan dengan cepat
"Hiaaat...!"
Untara tersentak kaget. Segera tubuhnya mengeHt dua tindak ke belakang. Kemudian
dengan cepat tangan kirinya menepis serangan lawan. Sedangkan tangan kanannya
dengan cepat pula menghantam dengan pukulan 'Sandra Pemecat Nyawa' ke dahi Ki
Adi Pamukti yang tengah merunduk.
Wut! Angin pukulan panas menderu ke arah kening Ki Adi Pamukti, membuat orang tua itu
tersentak kaget.
Matanya membelalak, menyaksikan telapak tangan Untara kini membara bagai dibakar
api. "Uhhh...!" keluh Ki Adi Pamukti.
Dengan cepat Kepala Desa Padas Gempal itu
berusaha mengelakkan serangan lawan. Namun
serangan lawan begitu cepat, seperti tidak memberi kesempatan bagi Ki Adi
Pamukti untuk dapat lepas dari ancaman maut Ke mana pun Ki Adi Pamukti mengelak,
Untara terus memburunya.
Ki Adi Pamukti benar-bena terdesak oleh serangan yang demikian gencar. Apalagi
yang menyerang bukan orang sembarangan. Lawannya adalah
seorang dari Tiga Setan Rambut Api, yang namanya cukup terkenal di rimba
persilatan. Meski begitu, Ki Adi Pamukti tampaknya tidak mau mengalah begitu
saja. Tubuhnya terus bergerak mengelakkan
serangan-serangan lawan.
"Ayo, Kakang! Habisi dia...!" seru Umbakara dengan wajah gemas, bagai tak sabar
melihat kakaknya yang belum juga menyudahi pertarungan.
"Ambil saja cambukmu, Kakang!" timpal Undani, juga tak sabar melihat pertarungan
yang berlarut-larut
dan kelihatannya akan memakan waktu cukup lama.
Untara juga merasa jengkel karena lawannya yang semula dianggap tidak memiliki
apa-apa, ternyata mampu menghadapinya sampai puluhan jurus.
"Keparat! Orang tua ini rupanya berisi juga," geram Untara. Segera tangan
kanannya melepas pukulan ke dada lawan, disusul dengan tendangan ke
selangkangan. Sedangkan tangan kirinya menyikut ke tulang iga lawan. Sebuah
jurus yang sangat cepat bernama 'Bahana Merenggut Nyawa', kini dikeluarkan oleh
Untara dalam usaha menyudahi pertarungan itu.
"Uts! Hop...!"
Ki Adi Pamukti yang tanggap akan keadaan itu, segera melompat ke belakang,
mengelakkan serangan lawan. Kemudian dengan cepat kembali menggempur dengan jurus 'Sambaran
Bangau Sakti'. Tangannya mengepak ke samping. Salah satu
kakinya diangkat membentuk siku. Kemudian dengan cepat, tangan kanan dan kirinya
bergerak menyambar dengan pukulan-pukulan keras, ditunjang oleh tendangan dan
gerakan mengelak.
"Hiaaat..!"
*** Untara terus menggebrak dengan jurus-jurus
saktinya, berusaha secepat mungkin untuk
menyudahi pertarungan itu. Tetapi Ki Adi Pamukti nampaknya tidak mau dihabisi
begitu saja. Tubuhnya pun terus bergerak mengelakkan serangan lawan, disusul
dengan serangan balasan yang tidak kalah cepat
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Undani dan Umbakara tak sabar menyaksikan
pertarungan antara kakaknya melawan Ki Adi
Pamukti. Mereka juga cemas, kalau-kalau warga desa yang saat itu tengah panik
oleh kobaran api akan datang membantu kepala desanya. Tentu mereka akan semakin
repot kalau warga desa membantu.
"Ah! Mengapa lama sekali, Kakang! Ambil saja cambukmu!" dengus Undani, merasa
tidak sabar lagi melihat pertarungan kakaknya melawan Ki Adi Pamukti yang
berlangsung alot. Sesekali matanya melihat ke arah Desa Padas Gempal yang hirukpikuk oleh jeritan histeris warga desa yang rumahnya terbakar.
Merasa serangan-serangannya tidak juga
menghasilkan kemenangan dan dirasa lawan cukup tangguh, Untara segera melolos
cambuknya. Dengan penuh amarah, cambuknya diputar di atas kepala.
dengan jurus 'Lecutan Cambuk Buana', cambuknya dihantamkan ke arah Ki Adi
Pamukti. Wut! Ketika cambuk Untara nyaris menghantam tubuh Ki Adi Pamukti, sebuah bayangan
putih berkelebat dengan tangan menggenggam pedang yang
mengeluarkan sinar merah kekuning-kuningan, dan membabat cambuk yang masih
berada di udara.
"Hiaaat!"
Prat! Tiga Setan Rambut Api tersentak dengan mata membelalak, menyaksikan cambuk di
tangan Untara putus menjadi dua, karena terbabat pedang di tangan seorang gadis
Cina yang sangat mereka kenal.
Di hadapan Tiga Setan Rambut Api dan Ki Adi Pamukti kini berdiri seorang gadis
cantik dengan rambut digelung dua ke atas. Pakaian yang
dikenakan gadis Cina yang cantik itu berwarna putih.
Tubuhnya langsing semampai. Matanya bening, namun memandang tajam dan tidak
terlalu sipit. Hidungnya tidak terlalu mancung. Bibirnya yang mungil mencibir.
"Mei Lie"!" seru Tiga Setan Rambut Api kaget
"Hm...."
Gadis cantik yang memang Mei Lie itu tersenyum sinis. Matanya memandang tajam
Tiga Setan Rambut Api yang masih tidak mengerti, mengapa Mei Lie atau titisan
Dewi Kuan Im yang dulu bersekutu dengan mereka tiba-tiba menghalangi.
"Kalian memang iblis! Kalian harus disingkirkan dari dunia ini!" bentak Mei Lie.
Mata Tiga Setan Rambut Api semakin membelalak mendengar kata-kata Mei Lie.
Kening mereka berkerut, semakin tidak mengerti akan tindakan gadis cantik
bermata agak sipit itu.
"Mei Lie, kami harap kau tidak usah turut campur urusan kami! Jangan sok


Pendekar Gila 8 Pedang Penyebar Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pahlawan! Singo Edan saja kini berbuat tidak baik!" hardik Untara sinis sambil
mencibir. "Jangan bawa-bawa nama Singo Edan! Orang yang kau lihat di Lembah Lamur bukan
Singo Edan!' sentak Mei Lie gusar. Matanya masih memandang tajam penuh
kebencian. Tangan kanannya masih memegang Pedang Bidadari yang mengeluarkan
sinar merah kekuning-kuningan.
Mata Tiga Setan Rambut Api kembali membelalak, setelah mengetahui bahwa orang
yang mirip dengan Singo Edan di Lembah Lamur dulu ternyata bukan Singo Edan
(Mengenai Lembah Lamur, silaka baca serial Pendekar Gila dalam episode 'Titisan
Kuan Im").
"Tidak mungkin! Jelas dia Singo Edan!" bantah
Undani. "Ya! Kami sedikit banyak tahu akan dia," sambung Umbakara.
"Huh! Siapa pun dia, aku tak peduli! Yang pasti, aku datang untuk menyingkirkan
kalian!" bentak Mei Lie geram. Jika ingat akan kematian Nyi Bangil dna Lira
Kanti, dia menjadi amat murka. Bagaimana tidak, kalau kedua orang yang selama
ini baik padanya harus mati di Lembah Lamur oleh orang-orang dari golongan
hitam. Tiga Setan Rambut Api tertawa mendengar
ancaman Mei Lie. Tampaknya mereka menganggap enteng gadis Cina itu.
"Ha ha ha...! Omonganmu tinggi sekali, Mei Lie!
Hm, apakah tidak sebaiknya kau ikut kami" Menjadi istriku?" ejek Untara sambil
mengelus-elus dagunya Hal itu semakin membuat Mei Lie marah.
"Akan kubuktikan! Kisanak, minggirlah! Biar tiga setan ini kukirim ke neraka,
tempat asal mereka...,"
kata Mei Lie pada Ki Adi Pamukti yang menurut menepi
Mei Lie dengan mata tajam memandang lekat Tiga Setan Rambut Api yang masih
tersenyum nakal.
Mereka memandang dengan sinar mata meremehkan, menganggap gertakan Mei Lie hanya pantas bagi anak kecil. Mereka bagai
tidak memandang Pedang Bidadari di tangan Titisan Dewi Kuan Im itu.
"Bersiaplah!" dengus Mei Lie sambil menggerakkan Pedang Bidadari dengan jurus
'Tebasan Pedang Memenggal Gunung'. Pedangnya dihunus lurus ke atas di depan
dada, kemudian digerakkan ke
samping kanan. Dilanjutkan dengan gerakan me-menggal setinggi perut
Wut! "Mei Lie, apa tidak salah kau memainkan pedang"
Sepantasnya kau berada di atas tempat tidur!" ujar Untara sambil tertawa-tawa.
Mei Lie semakin marah mendengar ucapan yang bernada kotor itu. Dengan mendengus,
pedangnya digerakkan. Lalu, didahului teriakan menggelegar, Mei Lei pun
berkelebat menyerang.
"Yiaaat..!"
Pedang Bidadari di tangannya bergerak cepat dengan jurus 'Tebasan Pedang
Memenggal Gunung'.
Dari pedang itu terpancar sinar merah kekuning-kuningan yang menyilaukan,
mengarah ke tubuh lawan.
"Awas!" seru Untara menyadarkan kedua adiknya saat menyaksikan serangan lawan
yang begitu cepat dan gesit.
Mata Tiga Setan Rambut Api kini membelalak, Menyadari kekeliruan mereka dengan
menganggap enteng Mei Lie. Kini mereka melihat bagaimana gadis Cina itu ternyata
mampu menguasai jurus-jurus dari
'Ilmu Pedang Bidadari' yang sangat sempurna.
"Celaka! Dia benar-benar telah menguasai jurus-jurus 'Ilmu Pedang Bidadari'!"
seru Undani. Dengan cepat Tiga Setan Rambut Api segera
mengelakkan serangan Mei Lie. Tubuh mereka ber-lompatan ke belakang sambil
bersalto. Lalu dengan cepat pula, mereka menyerang dengan jurus 'Tiga Serangkai
Cambuk Buana'. "Heaaat..!"
Wut! Cambuk di tangan mereka berputar di atas kepala, kemudian dengan cepat
dilecutkan ke tubuh Mei Lie.
Ctar! "Uts!"
Mei Lie berkelit, disertai babatan pedang ke cambuk yang menyabet ke arahnya.
Pedangnya dibelitkan pada ujung-ujung cambuk itu.
"Hop! Kena...!"
Mei Lie segera menyentakkan pedangnya dengan keras, membuat cambuk ketiganya
terputus menjadi dua. Kemudian sebelum Tiga Setan Rambut Api sadar dari rasa
kaget, Mei Lie kembali menyerang dengan jurus 'Tebasan Pedang Membelah Karang'.
Pedang di tangan Mei Lie bergerak menyilang lalu tegak lurus ke atas. Disusul
dengan tebasan lurus dari atas ke bawah, seakan bermaksud membelah.
Hal itu membuat Tiga Setan Rambut Api semakin tersentak kaget. Tubuh mereka
bergerak hendak mengelak namun Pedang Bidadari di tangan Mei Lie lebih cepat
menebas ke arah mereka.
Cras! "Aaa...!"
Umbakara menjerit keras saat tubuhnya terbabat Pedang Bidadari. Anehnya, tubuh
orang termuda dari Tiga Setan Rambut Api itu tidak mengalami apa-apa.
Namun sesaat kemudian, tubuh Umbakara terbelah menjadi dua. Itulah kehebatan
Pedang Bidadari dengan jurus 'Pedang Tebasan Batin'. Korban yang terbabat tak
akan mengeluarkan darah, karena darah di dalam tubuhnya telah mengering oleh
panasnya pedang.
Untara dan Undani, serta Ki Adi Pamukti yang menyaksikan kejadian itu tersentak.
Baru kali ini mereka menyaksikan sebuah jurus yang aneh
sekaligus menakjubkan.
Nyali Untara dan Undani seketika ciut
menyaksikan adiknya dengan mudah dikalahkan.
Terlebih saat menyaksikan kehebatan ilmu pedang
lawan yang semula dianggap enteng.
"Mungkin benar dia Titisan Dewi Kuan Im, Kakang,"
bisik Undani dengan tubuh dipenuhi keringat dingin.
"Buktinya ilmu pedangnya sangat hebat."
"Ya! Kurasa juga begitu," sahut Untara, tak kalah ngeri setelah melihat jurus
lawan yang dahsyat.
"Kita tak akan mampu menghadapinya, Kakang.
Jangankan kita, guru kita saja mungkin berpikir tujuh kali," kata Undani.
"Lebih baik kita pergi, sebelum nyawa kita melayang seperti Umbakara."
"Ayo, Kakang. Mumpung dia tidak menyerang,"
ajak Undani. Dua tokoh sesat itu berusaha lari meninggalkan lempat ini, namun dengan cepat
Mei Lie berkelebat mengejar.
"Setan! Mau ke mana kalian! Hiaaat...!" Dengan pedang masih di tangan, tubuh Mei
Lie berkelebat mengejar keduanya yang masih terus berlari. Dan tahu-tahu Mei Lie
telah berada di depan Untara dan Undani yang tersentak.
"Tak akan kubiarkan kalian hidup!" bentak Mei Lie garang.
Kedua tokoh sesat itu saling berpandangan.
Kemudian sambil mengedipkan mata, keduanya
bergerak melabrak ke arah Mei Lie dengan nekat.
Cambuk mereka yang tinggal sepotong masih digunakan untuk menyerang.
"Hiaaat...!"
Swing, swing...!
Puluhan jarum tiba-tiba keluar dari potongan cambuk di tangan Untara dan Undani,
dan menderu ke arah Mei Lie.
"Uts! Licik!" maki Mei Lie sambil bergerak mengelak, kemudian dengan cepat
pedangnya diputar, membuat pedang itu laksana menghilang.
Kini yang ada hanyalah sinar merah kekuning-kuningan yang melindungi tubuh Mei
Lie. Trang, trang! Jarum-jarum yang hendak menyerang Mei Lie,
seketika rontok terkena hantaman Pedang Bidadari.
Tak ada satu pun yang dapat bersarang di tubuh Mei Lie.
"Kalian harus mampus! Yiaaat...!"
Mei Lie yang semakin marah mendapatkan
serangan jarum-jarum beracun, kini menggerakkan Pedang Bidadari dengan jurus
andalannya. Jurus pamungkas bernama 'Pedang Tebasan Batin' yang sangat dahsyat
Tangannya bergerak ke samping, lalu lurus ke atas. Diteruskan dengan memutar
pedang. Matanya terpejam, kemudian dengan gerakan yang sulit diikut mata lawan,
Mei Lie menebaskan pedangnya.
Wut! "Aaakh...!"
Untara dan Undani memekik keras. Tubuh mereka memang masih berdiri tegak. Namun
ketika angin bertiup, tubuh mereka seketika lebur menjadi debu yang beterbangan.
Mei Lie menundukkan kepala. Dari matanya
meleleh air mata. Dia menangis, teringat kematian para pendekar di Lembah Lamur.
Terutama kematian Nyi Bangil dan Lira Kanti.
Pedang Bidadari dimasukkannya ke dalam sarung.
Dengan air mata masih beriinang, Mei Lie melesat meninggalkan tempat itu.
"Nona Pendekar, tunggu!" seru Ki Adi Pamukti
berusaha mencegah Mei Lie pergi, tapi gadis Cina yang cantik itu telah
menghilang dalam kegelapan malam.
*** 2 Kemunculan gadis Cina dengan pedang saktinya yang telah membunuh Tiga Setan
Rambut Api, membuat namanya seketika menjadi bahan pembicaraan
setiap orang di Desa Padas Gempal. Mereka pada umumnya menyanjung gadis cantik
itu. Karena telah membela mereka dari ketelengasan Tiga Setan Rambut Api yang
telah membakar desa mereka.
Lebih dari itu, penduduk Desa Padas Gempal
menjuluki gadis jelita itu dengan sebutan yang cukup membuat tokoh-tokoh
golongan hitam mengernyitkan alis. Sebutan yang mereka berikan adalah Bidadari
Pencabut Nyawa.
Sinar mentari baru saja menyapu permukaan
bumi. Sebuah kedai yang terletak di sebelah utara Desa Parang Gandrung baru saja
dibuka oleh pemiliknya. Pemilik kedai itu adalah seorang lelaki tua berusia sekitar tujuh
puluh tahun. Kesenjangan usianya dapat dilihat dari kerutan di wajahnya yang
memiliki mata kelabu dan hidung yang mancung.
Dapat juga dilihat dari rambut dan kumis putih atau tubuhnya yang agak bungkuk.
Dia mengenakan baju lengan panjang tanpa kerah berwarna biru tua.
Letak kedai itu berada di antara dua kebun yang tidak begitu luas dengan pohonpohonnya yang asri.
Hal itu menjadikan suasana di sekitar kedai menjadi terasa indah. Jika pagi
hari, udara terasa begitu sejuk.
Sedangkan siang hari, udara di sekitar tempat itu terasa segar, tidak panas,
karena di sekeliling kedai
tumbuh pepohonan yang rindang. Di depan kedai tumbuh pohon asam yang besar dan
rindang, semakin menambah keindahan tempat itu.
"Baru buka, Ki?" tanya Sena Manggala atau Pendekar Gila. Tingkah lakunya masih
seperti orang gila, membuat pemilik kedai mengerutkan kening.
Sena memandang ke atas, kemudian kepalanya
menengok ke kanan dan kiri. Mulutnya masih
cengengesan, membuat orang tua pemilik kedai yang bernama Ki Jiung semakin
mengerutkan kening.
"Ada apa, Anak Muda" Kau hendak meminta makan?" tanya Ki Jiung, menyangka kalau
pemuda di hadapannya benar-benar orang gila. Tapi kening lelaki tua itu tambah
berkerut, menyaksikan pakaian bagus pemuda itu.
"Aneh, tingkah lakunya seperti orang gila. Tapi pakaiannya rapi dan bagus,"
gumam Ki Jiung, merasa heran dengan penampilan pemuda itu.
"Hi hi hi...!" Sena tertawa, mendengar pertanyaan Ki Jiung tadi. Diambilnya bulu
burung dari ikat pinggang, kemudian dengan tertawa-tawa kupingnya dikorek-korek.
Hal itu membuat Ki Jiung semakin heran.
"Apa yang lucu, Anak Muda?"
"Hi hi hi...! Kau, Ki. Lucu sekali kau...," kata Sena masih mengorek kuping
dengan bulu burung.
Ki Jiung semakin terheran-heran, mendengar
ucapan Sena yang mengatakan dia lucu. Matanya memandangi sekujur tubuhnya,
berusaha mencari hal yang lucu. Tapi tetap saja tidak ditemukannya.
Ki Jiung kembali memandang Sena. Diamatinya pemuda itu dengan seksama, namun dia
masih belum mengerti. Aneh! Kata Ki Jiung dalam hati.
"Anak muda, kenapa kau tertawa?" tanya Ki Jiung
masih dengan kening berkerut.
"He he he...! Ah, tidak apa-apa, Ki. Teruskanlah membuka kedaimu. Aku lapar
sekali," ucap Sena sambil membantu memberesi perabotan kedai. Hal itu membuat
hati Ki Jiung semakin bertanya-tanya.
Terlebih ketika melihat cara kerja Sena yang sangat cepat dan cekatan. Hingga
dalam sekejap saja, semuanya sudah beres. Padahal kalau dikerjakan oleh Ki Jiung
perlu waktu yang cukup lama.
"Hah"! Tidak salahkah penglihatanku?" tanya Jiung dengan mata membelalak,
menyaksikan dagangan serta beberapa bangku panjang yang semula berada di atas
meja kini telah siap di samping meja.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak. Kemudian dengan acuh dia duduk di salah
satu bangku sambil bersandar. Tangannya masih mengorek telinga dengan bulu
burung. Matanya terpejam-pejam, merasakan kenikmatan.
Ki Jiung melangkah ke arah Sena dengan
membawa makanan berupa sepiring nasi lengkap dengan lauknya.
"Ini untukmu, Anak Muda," kata Ki Jiung. Sena tertawa-tawa sambil menggarukgaruk kepala. "Terima kasih, Ki. Oh, ya. Berapa semuanya tanya Sena sambil mengambil uang di
ikat pinggangnya.
"Cukupkah uang segini?"
Ki Jiung mengerutkan kening, menyaksikan dua keping uang emas yang dikeluarkan
Sena. Dia semakin bingung dengan pemuda yang bertingkah laku gila itu. Dari mana
pemuda ini memiliki uang emas" Tanya hatinya. Ki Jiung jadi sangsi kalau pemuda
bertingkah laku gila itu pemuda gila biasa.
"Hi hi hi.... Kenapa diam, Ki" Apa ada setan lewat?"
tanya Sena seraya menyerahkandua keeping uang
emas pada lelaki tua yang hanya mampu menautkan alis, tanpa dapat berbuat apaapa. Dengan masih tertegun-tegun, Ki Jiung memandang pemuda yang kini dengan acuh menyantap makanan.
Ketika Sena menyantap makanannya, masuk lima orang berpakaian tambalan.
Kelimanya memegang tongkat kayu berwarna hitam. Mereka tidak lain Lima Pengemis
Tongkat Hitam. Namun kini kehadiran mereka tidak bersama ketuanya, Pengemis
Tempurung Sakti.
"Kami minta makan!" seru Ketua Perkumpulan Pengemis dari selatan yang bernama
Jalantra. Dengan rasa was-was, Ki Jiung yang sudah
mengenal kelima orang itu segera menghampiri.
Wajah lelaki tua itu menggambarkan ketegangan, seakan tengah berhadapan dengan
lima hantu yang menyeramkan. Tubuhnya membungkuk-bungkuk,
menghampiri Lima Pengemis Tongkat Hitam yang tindakannya terkenal beringas.
Tidak seperti pengemis lainnya (Mengenai Lima Pengemis Tongkat Hitam, silakan
baca serial Pendekar Gila dalam episode 'Titisan Dewi Kuan In')
"Ki!" seru Sena, ketika Ki Jiung hendak mendekati Lima Pengemis Tongkat Hitam.
"Ke sini sebentar!"
Ki Jiung tampak bingung. Tadi dia dipanggil oleh Lima Pengemis Tongkat Hitam.
Kini dia kaget mendengar seruan Sena. Pemuda yang bertingkah seperti orang gila
yang semula nampak konyol, kini terdengar berwibawa dengan seruannya yang
lantang. Bukan hanya Ki Jiung yang kaget mendengar suara Sena, Lima Pengemis Tongkat
Hitam pun begitu.
Mereka sebenarnya sudah bertarung dengan
Pendekar Gila, tapi rupanya mereka tidak tahu kalau
pemuda berambut panjang yang sedang makan itu adalah Sena.
"Hm.... Rupanya pemuda edan itu ada di sini!"


Pendekar Gila 8 Pedang Penyebar Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengus Ketua Perkumpulan Pengemis daerah utara yang bernama Sampra. Wajahnya
nampak sinis, mencerminkan ketidaksukaannya pada Pendekar Gila.
"Ya! Tak kami sangka, akhirnya kami harus bertemu dengan Pendekar Gila!" sambung
Gandrana dengan suara yang tidak kalah sinis.
"Kalau di Lembah Lamur dulu kita belum melihat sejauh mana ilmunya. Mengapa
tidak sekarang saja?"
tambah Jantrik.
Sena tertawa tergelak gelak sambil menggerak-gerakkan kepalanya dengan cepat.
"Ha ha ha...! Ki, mengapa lalat-lalat busuk itu kau biarkan masuk" Bukankah
sebaiknya kau usir saja?"
ledek Sena dengan acuh sambil terus menyantap makanannya.
Lima Pengemis Tongkat Hitam yang dikatakan lalat busuk serentak membelalak
marah. Mereka mendengus kesal.
"Kurang ajar! Rupanya kegilaanmu harus kami hentikan!" bentak Jalantra. Kemudian
dengan penuh amarah Ketua Perkumpulan Pengemis daerah
selatan ini bergerak menyerang. Tongkatnya disodokkan ke punggung Pendekar Gila.
"Huh! Lalat busuk ini rewel sekali, Ki!" ujar Sena seraya melemparkan piring ke
arah Jalantra. Ketua Perkumpulan Pengemis daerah selatan itu tersentak. Segera niatnya
diurungkan untuk
menyodokkan tongkat ke punggung lawan. Malah kini tubuhnya bersalto mengelitkan
serangan lawan dengan mulut mencaci-maki.
"Pemuda edan!"
"Ha ha ha...! Lihat, Ki. Ada lalat yang kebingungan ditampar oleh piring!"
Sena tertawa terbahak-bahak. Dia bangkit dari duduknya, berdiri sambil
cengengesan memandang keempat ketua perkumpulan pengemis lainnya.
"Kurang ajar! Kau memang harus dihajar, Bocah Gila!" dengus Gandrana sengit.
Sena kembali tertawa riuh rendah. Tangan kirinya menepuk-nepuk pantat. Sedangkan
tangan kanannya dikibas-kibaskan. Seketika nasi yang melekat di jari-jari
tangannya berhamburan ke arah Lima Pengemis Tongkat Hitam.
"Kunyuk! Kubunuh kau!" maki Jantruk, Ketua Perkumpulan Pengemis daerah barat
sambil berkelebat menyerang, disusul oleh keempat rekannya.
Dengan jurus 'Lima Pusaran Angin Merobohkan Dinding Karang', kelimanya bergerak
menyerbu. "Hiaaat..!"
Pendekar Gila masih tertawa-tawa. Bahkan kini dia nungging sambil
memperdengarkan suara kentut dari mulutnya. Lalu dengan tertawa-tawa, Sena
bertepuk tangan.
"Ha ha ha...! Kalian lucu sekali, Lalat Busuk! Ha ha ha...!"
Tongkat Lima Pengemis Tongkat Hitam bergerak menyambar ke seluruh tubuh Sena.
Jantruk ke arah kepala. Jalantra ke arah leher. Gandrana ke arah dada dan
punggung. Sampra ke arah perut.
Sedangkan Jantrik menyerang ke bagian pusar ke bawah.
Gerakan mereka dalam menyerang begitu cepat dan tergabung dengan teratur, susul
menyusul. Hal itu akan membuat lawan kesulitan untuk dapat
melepaskan diri dari kepungan serangan mereka.
"Wau, apa lagi yang kalian lakukan, Kecoa" Hi hi hi..!"
Dengan berjumpalitan kian kemari, Sena
mengelakkan serangan lawan dengan jurus 'Kera Gila Menyambar Buah'. Sena
bergerak bagai seekor kera yang berayun dari satu pohon ke pohon lain.
Tangannya sesekali mencengkeram, dengan kaki bergantian menjejak ke arah lawan.
"Haiiit..!"
Lima Pengemis Tongkat Hitam segera
mengelakkan serangan Sena dengan jurus 'Lima Angin Balik'. Tubuh mereka berputar
laksana angin. Kalau mulanya menyerang, kini berbalik mengelakkan serangan lawan. Kemudian
dengan cepat pula, kelimanya kembali melakukan gempuran.
"Yeaaat!"
Lima Pengemis Tongkat Hitam menyodokkan ujung tongkat masing-masing ke arah
Pendekar Gila. Dengan cepat, Pendekar Gila melenting ke udara.
Lalu melancarkan serangan dengan jurus 'Dewa Angin Menyapu Banteng'. Dengan
jari-jari tegak, tangannya menghantam ke arah kepala lawan
dengan gerakan kilat
"Heaaa...!"
Plak! "Ukh...!" Gandrana memekik. Kepalanya langsung pecah.
Kejadian itu membuat Ki Jiung yang sejak tadi melihat pertarungan dan belum tanu
siapa pemuda yang bertingkah gila, membelalakkan mata. Dari mulutnya terlontar
pekikan kaget. Tubuhnya gemetar menyaksikan kejadian yang mengerikan itu.
"Ohhh...!" Ki Jiung segera menyembunyikan
wajahnya di balik telapak tangan, tak berani menyaksikan pertarungan yang sangat
mengerikan itu.
"Pemuda edan! Kau harus mampus!" dengus Sampra.
"Ya! Kau telah membunuh salah seorang dari kami! Kau harus mampus!" tambah
Jantruk. Sena tertawa tergelak-gelak mendengar ancaman mereka. Dengan menepuk-nepuk
pantat, Sena memonyongkan mulutnya.
Brut! "Ha ha ha...! Kalian lucu sekali! Kenapa kalian minta mati?" tanya Sena.
"Padahal orang mati minta hidup."
Keempat Ketua Perkumpulan Pengemis itu
semakin marah mendengar omongan Pendekar Gila.
Kemudian dengan mendengus marah, mereka
kembali menyerbu.
"Hiaaat..!"
Empat tongkat di tangan mereka bergerak
mengepung dari empat penjuru mata angin. Menusuk dan menyambar dengan keras ke
tubuh Pendekar Gila dengan jurus 'Sapuan Empat Penjuru Angin'.
Pukulan tongkat itu menciptakan angin keras yang menerpa ke arah Pendekar Gila.
"Hi hi hi...!" Sena tertawa, lalu dengan menungngkan pantatnya, dia bergerak
mengelakkan serangan lawan. Tubuhnya meliuk-liuk dengan irama yang aneh.
Sesekali tangannya menepuk ke dada lawan.
*** Prak! Satu tongkat kayu hitam terkena tepakan tangan Pendekar Gila. Tongkat di
tangan Jalantra patah menjadi dua, sedangkan pemiliknya terhuyung-huyung lengan
wajah pucat. Tidak hanya sampai di situ, Pendekar Gila terus menggebrak dengan
jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, dan
tangannya sesekali menepuk ke dada lawan.
"Heaaa...!"
Plak! "Ukh...!" Jalantra mengeluh. Dadanya terasa pecah akibat tepakan tangan Pendekar
Gila. Asap mengepul dari dadanya. Matanya membelalak. Dari sudut bibirnya
meleleh darah segar.
Mulut Jalantra meringis, menahan rasa sakit yang tak terkirakan. Sesaat tubuhnya
meregang, kemudian ambruk tanpa nyawa.
Ketiga Ketua Perkumpulan Pengemis lainnya
segera melompat mundur, menyaksikan Jalantra tewas di tangan lawannya yang kini
masih cengengesan sambil menepuk-nepuk pantat. Tubuhnya berjingkrak-jingkrak tak
ubahnya seekor monyet.
"Ha ha ha...! Siapa lagi yang ingin mati?" tanya Sena, masih dengan tingkah laku
seperti kera. Tangannya menggaruk-garuk kepala.
Ki Jiung yang menyaksikan bagaimana pemuda
bertingkah laku gila itu dalam beberapa gebrakan saja mampu membunuh dua dari
Lima Pengemis Tongkat Hitam, amat terperangah. Dia tidak
menyangka kalau pemuda itu ternyata berilmu tinggi.
Pantas saja dia bekerja sangat cepat. Gerakannya ternyata sangat cepat, sehingga
dalam waktu singkat daganganku tersusun rapi olehnya. Puji Ki Jiung dalam hati.
Dengan takut-takut matanya menyaksikan
pertarungan yang sangat seru dan mendebarkan itu.
Tiga Ketua Perkumpulan Pengemis itu kembali melabrak Pendekar Gila. Rupanya
kematian dua rekannya tidak membuat ketiganya jera. Malah mereka bertambah
beringas dalam melakukan
serangan. "Kau harus mampus, Bocah Edan!" maki Jantrik
"Kuremukkan batok kepalamu!" sambung Jantruk.
"Meski namamu telah menjulang tinggi, pantang bagi kami untuk lari! Heaaat...!"
Tubuh Sampra dengan cepat melesat melakukan serangan. Tongkat hitam di tangannya
bergerak menyambar dan menusuk. Kadangkala memukul dari atas ke bawah, berusaha
meremukkan batok kepala Pendekar Gila.
Melihat rekannya menyerang, kedua pengemis
lainnya turut meluruk maju. Kini dengan jurus 'Tiga Sakra Tongkat Maut'
ketiganya bergerak menusuk dan membabat ke arah Sena. Serangan mereka
sangat cepat, menimbulkan deru angin yang
menyambar-nyambar.
Srrrt! Sena segera menarik Suling Naga Sakti dari ikat pinggangnya. Kemudian dengan
sigap, sulingnya diputar ke arah tongkat di tangan para pengemis yang
menyerangnya, membentuk setengah lingkaran.
Sedangkan tangannya memukul dengan telapak
tangan menggunakan jurus 'Si Gila Melempar Batu'.
Tak! Prak! Tongkat kayu hitam di tangan Jantruk dan Sampra patah menjadi dua. Sedangkan
tangan Pendekar Gila masih bergerak memukul ke dada lawan.
Begk! "Ukh...!" Jantrik mengeluh pendek. Tangan kirinya mendekap dada yang terasa
remuk akibat pukulan lawan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan mulut
meringis. Darah dari sudut bibir pun menyapu dagunya dengan warna merah.
Sesaat tubuh Jantrik meregang, lalu ambruk
dengan nyawa melayang.
Menyaksikan kematian rekan mereka, nyali kedua pengemis lainnya mendadak ciut.
Jiwa keduanya bagai dihimpit oleh ketakutan.
Kedua orang itu bermaksud lari. Namun dengan cepat Pendekar Gila segera meniup
Suling Naga Sakti. Suara sulingnya mengalun dengan merdu dan mendayu-dayu.
Keanehan terjadi! Tubuh kedua pengemis itu
seketika meregang kaku, terpaku di ambang pintu masuk kedai bagai arca.
"Ha ha ha...! Lucu... lucu sekali kalian! Mengapa kalian seperti patung?" tanya
Sena sambil tertawa nyaring. Sedangkan mata Ki Jiung membelalak, menyaksikan
kejadian yang sangat aneh itu. Dia tidak melihat kejadian apa-apa, namun mengapa
kedua pengemis itu kini mematung"
"Bocah edan! Lepaskan totokanmu!" geram Sampra.
"Ha ha ha...! Kurasa aku tidak menotokmu!" dalih Sena. "Aha, apa kalian ingin
menari" Baik, menarilah!"
Sena kembali meniup sulingnya dengan alunan yang mendayu. Kembali kejadian aneh
terjadi. Kedua pengemis itu kini menari-nari, mengikuti irama suling yang ditiup
Sena. Ki Jiung loan membelalakkan mata, menyaksikan kejadian luar biasa itu. Baru kali
ini matanya melihat
bagaimana suara suling mampu membuat orang
menari. Ki Jiung tidak tahu, kalau irama suling yang ditiup Sena adalah tiupan
'Pelayung Sukma', di mana orang yang dituju akan terpengaruh sukmanya untuk
mengikuti irama suling.
Ki Jiung benar-benar tak tahan melihat gerakan lemah gemulai dan lenggokan tubuh
dua pengemis itu. Dia lantas tertawa tergelak-gelak bagai orang gila.
Kemudian dengan masih tertawa-tawa, Ki Jiung turut menari.
Beruntung Sena tidak meniup Suling Naga Sakti dengan irama sedih. Kalau saja
Sena meniupnya dengan irama sedih, tentu ketiga orang itu akan menangis meraungraung. Sena menghentikan tiupan sulingnya. Seketika kedua pengemis itu kembali
mematung. Sementara Sena masih tertawa tergelak-gelak dengan tangan menepuknepuk pantat "Ki, menjauhlah dari sini," katanya, meminta Ki Jiung agar menjauh dari tempat
itu. "Nah, Sobat-sobat. Bagaimana kalau kalian menangis" Hi hi hi...! Mungkin selama
ini kalian tak pernah menangis, walau banyak orang yang telah kalian siksa! Ayo,
menangislah..."
Usai berkata begitu, Sena kembali meniup Suling Naga Saktinya dengan irama
sedih. Seketika kedua lelaki yang menjadi bulan-bulanan itu menangis meraungraung, seakan meratapi nasib mereka yang sangat malang.
Ki Jiung kembali terperanjat, menyaksikan
kejadian yang amat langka itu. Hanya mendengar irama suling, kedua pengemis itu
menangis sesenggukan. Lama kelamaan tubuh keduanya ambruk, tak kuat
menahan rasa sedih yang tiada terkira. Mereka tewas tak mampu menahan siksaan
batin yang sangat hebat
Sena kembali tertawa menyaksikan kejadian itu.
Seakan kejadian yang ada di hadapannya adalah guyonan lucu.
"Ki, aku permisi," pamit Sena, hendak berlalu.
"Lalu, bagaimana dengan kelima mayat ini, Tuan?"
"Aha, aku lupa..." Sena merogoh ikat pinggangnya, kemudian mengeluarkan lima
keping uang emas.
"Cukupkah lima keping uang emas ini untuk mengurus mayat mereka, Ki" Suruhlah
orang-orang mengurusnya."
"Bu..., bukan itu, Tuan. Tapi..."
"Sudahlah, Ki. Terimalah uang ini."
Sena menyodorkan lima keping uang emas itu, kemudian dengan cepat berkelebat
meninggalkan kedai milik Ki Jiung.
Ki Jiung hanya dapat terbengong-bengong,
menyaksikan bagaimana pemuda bertingkah gila itu mampu melesat sangat cepat
laksana angin. *** 3 Di Grojokan Perawan, di mana Goa Sandang berada, pagi itu seorang gadis cantik
berkulit kuning langsat tengah berlatih ilmu silat. Di tangannya tergenggam
sebilah pedang yang mengeluarkan sinar putih bergulung kabut. Hidung gadis itu
mancung dan bermata lentik. Rambutnya terurai bergelombang, dan berikat kepala
berwarna merah. Dia mirip dengan Mei Lie.
Di depan gadis itu, seorang wanita tua berpakaian minim duduk bersila di atas
sebuah batu. Matanya memandang ke arah gadis yang tengah berlatih itu.
Wanita tua berusia sekitar sekitar enam puluh tahun dengan hidung mancung dan
alis lebat itu adalah guru dari si gadis. Namanya Dewi Sandang. Nama itu diambil
dari goa tempatnya menetap yang dikenal dengan sebutan Goa Sandang.
Saat itu, muridnya yang bernama Sarah Dita
tengah melakukan jurus pamungkas 'Satuan Raga dan Jiwa' dari sepuluh jurus
'Pedang Titisan Iblis'.
Sarah Dita tampak terdiam sesaat dengan mata terpejam. Mata pedang ditempelkan
pada hidungnya.
Cara membuka jurus itu hampir sama dengan jurus
'Pedang Tebasan Batin' yang dimiliki Mei Lie.
Setelah lama mengheningkan cipta, dibarengi pekikan nyaring Sarah Dita
menggerakkan pedangnya.
"Hiaaat...!"
Wut, wut...! Pedang diarahkan ke batu yang ada di sampingnya dengan gerakan menusuk.
Jreb! Pedang itu langsung tembus sampai ke sisi batu di belakangnya. Begitu hebat
pedang bersinar putih itu, sehingga batu yang keras dapat ditembusnya.
"Bagus! He he he...! Kini lengkaplah semuanya!
Kau akan bisa menjadi pengganti Bidadari Pencabut Nyawa. He he he...!" Dewi
Sandang tertawa-tawa senang. Segera dia bangun dari bersilanya, lalu menghampiri
muridnya yang langsung menyembah.
"Terima kasih, Guru. Atas budimu, aku telah berhasil mempelajari semua ilmu
pedang yang telah kau ajarkan."
"He he he...! Sudahlah, ayo bangun. Aku akan mengatakan sesuatu padamu," ajak


Pendekar Gila 8 Pedang Penyebar Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dewi Sandang. Keduanya segera melesat meninggalkan tempat itu. Tak berapa lama kemudian,
tibalah mereka di dalam goa tempat mereka tinggal selama ini. Dewi Sandang
mengajak muridnya duduk di sebuah batu yang ada di dalam goa itu.
"Duduklah, Sarah."
Sarah Dita duduk.
"Ada apa gerangan, Guru?" tanya Sarah Dita setelah menyeka keringat.
"He he he...!" Dewi Sandang terkekeh. "Kau tahu, mengapa kau kudidik menjadi
jago pedang, Sarah Dita?"
"Tidak, Guru. Yang kuketahui, aku akan menjadi jago pedang nomor wahid di rimba
persilatan," jawab Sarah Dita.
"He he he...! Bagus! Memang itu yang aku kehendaki. Kau menjadi jago pedang di
rimba persilatan dan tak terkalahkan oleh pendekar pedang
mana pun. Tapi...," Dewi Sandang tak meneruskan ucapannya. Hal itu membuat Sarah
Dita mengerutkan kening. Matanya memandang sang Guru.
"Ada apa, Guru?"
"He he he!..! Tidak apa-apa."
"Mengapa Guru tidak meneruskan?"
"He he he...! Anak pintar.... Tapi, harapanku seketika musnah, ketika kudengar
dari paman gurumu, kalau sekarang ada jago pedang yang sangat hebat dan belum
terkalahkan," ujar Dewi Sandang, melanjutkan kata-katanya yang terpenggal.
Sarah Dita mengerutkan dahi.
"Siapa dia, Guru" Dan seberapa hebatkah ilmu pedangnya" Kalau boleh, ingin
rasanya aku mengujinya," kata Sarah Dita dengan perasaan tak senang. Bagaimanapun juga, dia
yang harus menjadi jago dari segala jago pedang. Dia harus dapat mengalahkan
siapa saja yang mahir dalam ilmu pedang.
Dewi Sandang sesaat terdiam. Dihelanya napas dalam-dalam. Matanya menatap wajah
muridnya yang tampak marah, tak suka mendengar kalau di rimba persilatan ada
jago pedang selain dirinya.
"Dia bernama Mei Lie, seorang gadis Cina yang hampir mirip denganmu. Dia
bergelar Bidadari Pencabut Nyawa. Itu sebabnya aku selalu mengatakan kalau kau
Bidadari Pencabut Nyawa. Aku ingin kau dapat mengalahkannya."
"Akan kulakukan, Guru."
"Tunggu dulu.... Dengarlah apa yang akan kukatakan padamu."
Sarah Dita menurut
"Kau akan kujadikan Mei Lie. Kau harus membantu paman gurumu untuk mengecoh para
pendekar. Sebisanya kau menyamar sebagai Mei Lie. Besok, berangkatlah ke tempat paman
gurumu. Aku akan memberikan surat padanya. Antarlah ke sana. Apa pun yang
dikatakan paman gurumu, kau harus
menurut. Karena hanya dengan cara itulah, kau akan bisa bertemu dengan Mei Lie
atau Bidadari Pencabut Nyawa," tutur Dewi Sandang.
"Apakah tidak sekarang saja, Guru?" tanya Sarah Dita setengah mendesak.
"He he he, kau nampak tak sabar. Kalau itu maumu, berangkatlah."
"Terima kasih, Guru."
Dewi Sandang mengambil surat yang akan
diberikan pada paman gurunya yang bernama Daeng Ampra. Setelah memberikan surat
itu pada muridnya, Dewi Sandang melepas kepergian Sarah Dita yang akan
menjalankan tugasnya.
*** Rimba persilatan semakin geger karena
kemunculan Mei Lie. Sepak terjang gadis Cina itu membuat tokoh-tokoh golongan
hitam bagai menghadapi seorang malaikat maut. Apalagi dengan tindak-tanduk Sena yang
senantiasa berusaha menumpas keangkaramurkaan di muka bumi ini.
Membuat tokoh-tokoh golongan hitam kian tersudut kedudukannya.
Ketika terik matahari siang menyengat bumi, tampak seekor kuda berwarna coklat
tua berlari kencang menerobos debu yang beterbangan di
Lembah Balapulang. Di punggung kuda itu, tampak seorang wanita berpakaian serba
putih dengan kepala tertutup caping berwarna hijau dari daun
pandan. Wanita muda itu bermata indah, dengan rambut terurai lurus. Potongan tubuhnya
yang ramping, semakin melengkapi kecantikannya. Di punggung gadis cantik yang
tubuhnya dibungkus pakaian bergaya Cina warna putih itu tersandang sebilah
pedang. Derap kaki kuda terus melaju, bagai tak
menghiraukan terik matahari yang tak bersahabat.
Tiba-tiba penunggang kuda itu menghentikan lari binatang tunggangannya.
"Hooop...!"
Kuda itu pun berhenti. Gadis penunggangnya
tampak mengarahkan matanya ke semak belukar di Lembah Balapulang itu. Tampaknya
ada sesuatu yang membuat lari kudanya dihentikan. Telinganya tadi sempat
mendengar suara yang mencurigakan di tempat itu.
"Hm...."
Gadis cantik dari Cina itu menggumam tak jelas.
Matanya masih menyapu ke sekeliling lembah, seakan hendak mencari asal suara
yang didengarnya.
Kresek! "Hm...."
Kembali gadis Cina itu bergumam. Kemudian dia melompat turun dari punggung
kudanya. Matanya masih memandang ke asal suara tadi.
"Siapa yang ada di situ, keluarlah!"
Tak ada sahutan. Yang terdengar hanya langkah-langkah kaki yang menginjak daundaun kering. Dilirik dari suaranya, pemilik langkah kaki itu sepertinya
berjumlah lebih dari dua orang.
"Hm.... Rupanya kalian ingin mempermainkan aku!
Baik, jangan harap aku akan mengampuni kalian!"
dengus gadis cantik berpakaian Cina itu.
Dari balik semak belukar, berkelebat sepuluh lelaki berpakaian serba hitam.
Wajah mereka tertutup kain hitam. Hanya bagian matanya yang terlihat. Ditilik
dari sinar mata yang memancar garang, tampaknya
mereka bukan orang baik-baik. Di tangan mereka tergenggam sebilah golok tajam.
Sepertinya mereka para penyamun yang menjegal setiap orang yang melintasi tempat
itu. "Siapa kalian"!" bentak wanita cantik bercaping daun pandan.
"Ha ha ha...! Siapa pun kami, kau tak perlu tahu.
Yang pasti, kami menginginkan kau, Cah Ayu," sambut pemimpin gerombolan
berpakaian hitam itu sambil tertawa-tawa.
"Hm.... Tentu kalian yang dinamakan Gerombolan Lowo Ireng"!" dengus gadis
bercaping itu. "Ha ha ha! Pandanganmu tajam sekali, Cah Ayu.
Nah, kalau kau sudah tahu siapa kami, kuharap kau tidak usah menentang semua
yang kami inginkan!
Ikut kami!" perintah pemimpin orang-orang berpakaian hitam itu.
"Ha ha ha...! Enak sekali kau bicara, Sarwono!"
bentak gadis cantik bercaping, membuat Ketua Gerombolan Lowo Ireng tersentak
kaget. Dia tidak menyangka kalau gadis cantik yang mirip gadis Cina itu tahu
namanya. "Siapa kau" Dari mana kau tahu namaku"!" bentak Sarwono dengan mata melotot,
memandang tajam ke arah gadis cantik yang menyandang pedang di punggungnya.
"Ha ha ha...! Kau masih belum mengenaliku, Sarwono! Aku Mei Lie, Titisan Dewi
Kuan Im. Tapi orang-orang persilatan kini lebih suka menyebutku
Bidadari Pencabut Nyawa. Orang-orang sepertimu yang harus kucabut nyawanya!"
ancam gadis bercaping yang penampilannya memang serupa
dengan Mei Lie.
"Cuh! Jangan sembarangan bicara, Bocah!" bentak Sarwono gusar. Matanya berkilatkilat tajam. Napasnya tampak turun-naik dihela kemarahan.
"Ha ha ha. Apa yang sulit untuk menyingkirkan kalian, Kecoa Busuk"!" ledek gadis
cantik bercaping itu. "Guru dan pemimpin kalian pun akan kubunuh dengan mudah!"
"Kurang ajar! Rupanya kau mencari mampus!"
dengus Sarwono semakin beringas, merasa telah diremehkan oleh seorang gadis
muda. "Ha ha ha! Kalianlah yang mencari mampus!" balik gadis itu dengan tetap bernada
angkuh. Tangannya menggapai gagang pedang.
Srrrt! Gadis cantik bercaping itu menarik pedang,
seakan menantang Gerombolan Lowo Ireng secara terang-terangan.
"Majulah! Biar dengan cepat aku membereskan Kalian!" tantang gadis itu. Pedang
di tangannya terhunus di depan wajah. Siap untuk melakukan serangan.
"Bedebah! Serang dia...!" perintah Sarwono sambil menggerakkan tangan kanannya,
mengisyaratkan pada kesembilan anak buahnya untuk segera
melakukan serbuan.
"Bagus! Majulah...!" tantang gadis cantik bercaping itu seraya menggerakkan
pedangnya dengan jurus yang berbeda dibanding jurus yang biasa digunakan Mei
Lie. Begitu juga dengan pedangnya, tidak mengeluarkan sinar merah kekuningkuningan sebagaimana Pedang Bidadari.
Dengan jurus 'Sambutan Sampar Kabut' gadis
yang mengaku Mei Lie itu menyerang ke arah
lawannya. Kesembilan anggota Gerombolan Lowo Ireng
serentak merangsek maju. Golok di tangan mereka bergerak cepat membabat dan
menebas ke arah lawan.
Wut! "Hiat..!"
Gadis cantik bercaping itu segera berkelit ke samping kanan, kemudian dengan
gerak cepat tubuhnya berputar. Pedang di tangannya turut bergerak, membabat ke arah lawan.
Cras! "Aaa...!"
"Aaakh...!"
Dua orang anak buah Sarwono memekik. Dada
mereka tersayat mata pedang gadis cantik itu. Mata keduanya membelalak dengan
tubuh limbung ke belakang, kemudian ambruk dengan darah masih mengalir keluar.
"Bangsat! Kubunuh kau, Kuntilanak!" maki Sarwono marah. Dia turut melabrak gadis
cantik yang mengaku-aku Mei Lie. Golok di tangannya bergerak membabat dengan
jurus 'Simbar Nyawa'.
Wusss! Angin keras yang terasa panas menyengat keluar dari golok di tangan Sarwono,
menyentakkan gadis cantik bercaping daun pandan itu.
"Uts! Bagus! Majulah sekalian! Hiaaat...!"
Gadis cantik itu dengan cepat memutar pedangnya dengan jurus 'Pampas Gali
Sandang', sebuah jurus yang cukup mengejutkan Sarwono. Karena jurus itu
begitu terkenal di rimba persilatan dan dimiliki oleh seorang pendekar pedang
yang di masa jayanya sempat malang-melintang di rimba persilatan.
"Ada hubungan apa kau dengan Dewi Sandang, Perempuan Liar"!" tanya Sarwono
seraya melompat mundur.
"Ha ha ha...! Rupanya kau kaget, Sarwono! Aku murid tunggalnya!" jawab gadis
cantik berbadan ramping dengan bulu mata lentik itu.
"Kalau begitu, tentunya kau bukan Mei Lie!"
sangkal Sarwono.
"Ha ha ha! Siapa pun aku, yang pasti kalian harus mampus!" dengus gadis cantik
yang tak lain Sarah Dita itu. Matanya yang indah memandang garang ke arah
Sarwono, laksana mata seekor harimau lapar.
"Hm, antara gerombolan kami dan Dewi Sandang tak ada permusuhan. Kami adalah
teman baiknya. Mengapa pula kau memusuhi kami"!" tanya Sarwono masih belum mengerti, mengapa
sikap murid Dewi Sandang yang juga kakak kandung guru mereka bermusuhan.
"Ha ha ha...! Ciut juga nyalimu Sarwono! Hm, baiklah. Aku sebenarnya datang
ingin bertemu dengan paman guruku! Sekarang pulanglah, katakan pada guru kalian,
kalau murid Dewi Sandang datang,"
perintah Sarah Dita sambil memasukkan pedangnya ke sarung.
"Baik! Kami akan segera pergi. Ayo anak-anak!"
ajak Sarwono pada anak buahnya.
"Tunggu!" tahan Sarah Dita.
"Ada apa lagi?"
"Bagaimana dengan dua anak buahmu ini?"
"Biarkan saja!" jawab Sarwono seraya melambai-kan tangan, memerintah anak
buahnya untuk meninggalkan tempat itu.
Sarah Dita tersenyum tipis. Lalu dengan sekali lompat, tubuhnya telah berada di
atas kudanya yang langsung digebah. Dan segera melesat meninggalkan tempat itu,
mengikuti arah Sarwono dan anak buahnya pergi.
Sarwono dan anak buahnya tampak lari ke dalam Hutan Warang Belang. Di sana
berdiri bangunan megah yang dihiasi ukiran besar terbuat dari kayu bergambar
kelelawar berwarna hitam. Ke tempat itulah Sarwono dan anak buahnya pergi,
karena di situlah Guru dan Ketua Gerombolan Lowo Ireng berada.
Dalam ruangan lebar di tengah-tengah gedung besar itu, tampak dua lelaki duduk
di atas kursi berukir yang terbuat dari gading. Keduanya memakai pakaian hitamhitam panjang menyerupai jubah.
Seorang lelaki tua berwajah garang duduk di sebelah kanan. Jenggot-nya panjang
berwarna putih. Matanya yang lebar be-kilat merah. Kumisnya putih, menutupi
mulutnya. Rambut putih lelaki tua itu terurai dengan ikat kepala berwarna hitam.
Lelaki ini adalah guru dari Ketua Gerombolan Lowo Ireng. Namanya Daeng Ampra.
Daeng Ampra berasal dari tanah Sulawesi. Dia sengaja pergi ke tanah Jawa Dwipa
untuk menghindari kejaran para pendekar aliran putih yang bermaksud
menangkapnya. Ketika di Andalas, dia pun menjadi pemimpin gerombolan yang
sebagian anak buahnya ikut terlibat dalam Gerombolan Lowo Ireng sekarang ini.
"Hm, aku merasa bakal ada tamu, Selendra," kata Daeng Ampra bergumam, pada
lelaki berusia sekitar lima puluh tahun yang duduk di sampingnya.
"Benar, Guru," sahut lelaki bertubuh kekar dengan jubah hitam. Matanya juga
tajam. Alis matanya lebat.
Cambang bauk dan kumis yang menghiasi wajah, menambah kegarangan penampilannya.
Rambut lelaki ini masih hitam, terurai lepas dengan ikat kepala berwarna hitam pula.
Dialah yang menjadi Ketua Gerombolan Lowo Ireng. Dia pula yang
mewarisi semua ilmu yang dimiliki Daeng Ampra.
"Sepertinya ada tamu, Guru. Kupu kejer sejak tadi beterbangan dan hinggap di
sini," tambah Selendra.
"Hm...," Daeng Ampra menggumam. Matanya yang tajam memandang lurus ke arah pintu
masuk ruangan yang terbentang lebar dengan dua penjaga berdiri tegak. Di tangan kedua
penjaga itu tergenggam tombak.
Saat itu dari luar masuk Sarwono dengan ketujuh anak buahnya yang segera
menyembah. "Ampun, Ketua. Kami menghadap," hatur Sarwono setelah menyembah.
"Hm.... Ada apa, Sarwono" Di mana kedua anak buahmu yang lain?" tanya Selendra.
"Ampun, Ketua. Dua anak buahku tewas," sahut Sarwono dengan kepala menunduk,
takut kalau ketuanya akan marah.
Mata Ketua Gerombolan Lowo Ireng melotot,
mendengar jawaban Sarwono. Dia bangun dari
tempat duduknya.
"Apa"!" bentak Selendra murka. Matanya semakin menusuk ke arah Sarwono yang kian
menundukkan kepala, tak berani mengadu pandang dengan
pemimpinnya. "Siapa yang telah membunuh mereka"!"
"Aku...!"
Belum juga Sarwono menjawab, dari kejauhan
tiba-tiba terdengar sahutan seorang wanita.
Semua orang yang ada di bangunan milik
Gerombolan Lowo Ireng tersentak, mendengar
sahutan yang keras itu. Mereka serentak meng-alihkan pandangan keluar. Tampak
sesosok tubuh ramping berpakaian serba putih dan bercaping daun pandan berdiri
dengan tegap. Ketua Gerombolan Lowo Ireng beserta gurunya seketika melangkah keluar, diikuti
oleh Sarwono dan anak buahnya serta anak buah Selendra yang lain.
"Nisanak, siapa kau" Ada kepentingan apa hingga datang ke markas Lowo Ireng?"
tanya Selendra dengan mata tajam memandang gadis cantik yang berdir sekitar


Pendekar Gila 8 Pedang Penyebar Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepuluh tombak dari pintu gerbang.
"Aku datang untuk menyampaikan amanat dari guruku!" sahut gadis cantik bercaping
daun pandan yang tak lain Sarah Dita.
"Hm, siapa gurumu"!" kali ini Daeng Ampra yang bertanya.
"Dewi Sandang!" sahut Sarah Dita, menyentakkan Daeng Ampra.
"Dewi Sandang..." Hm, lama sekali aku tidak bertemu dengan gurumu, Bocah.
Masuklah!" ajak Daeng Ampra. Kemudian tangannya bergerak,
memerintah murid-muridnya agar menyingkir untuk memberi jalan gadis cantik itu.
Dengan tenang tanpa rasa takut di wajahnya, Sarah Dita melangkah masuk.
"Silakan," ajak Selendra mempersilakan tamunya agar terus masuk ke dalam.
"Terima kasih."
Sarah Dita melangkah masuk, diiringi oleh
Selendra dan Daeng Ampra. Ketiganya kemudian duduk di ruangan lebar, tempat
Selendra dan Daeng
Ampra duduk tadi.
"Bocah, amanat apa yang gurumu sampaikan padaku?" tanya Daeng Ampra.
"Ini, Paman," ujar Sarah Dita seraya mengeluarkan surat dari gurunya, dan
diberikan pada Daeng Ampra yang segera membacanya.
Daeng Ampra mengerutkan kening setelah
membaca isi surat tersebut
"Hm.... Kami pun sudah mendengar kabar mengenai Dewi Kuan Im atau Bidadari
Pencabut Nyawa," gumam Daeng Ampra seraya menghela napas panjang. Wajahnya
nampak murung, mencerminkan kecemasan.
"Lalu, apa yang harus kulakukan, Paman?" tanya Sarah Dita.
Daeng Ampra menghela napas panjang-panjang.
Matanya menatap lekat ke wajah gadis cantik di hadapannya. Seakan ingin
membuktikan apa yang berada di dalam surat yang dikirim oleh saudara
seperguruannya.
"Kau memang cocok sekali dengan tugas yang diberikan oleh gurumu, Bocah," kata
Daeng Ampra sambil mengangguk-anggukkan kepala.
"Panggil saja aku dengan namaku, Paman," tukas Sarah Dita, yang merasa agak
jengkel juga dipanggil bocah.
"Hm.... Baiklah Sarah Dita. Menurut gurumu, kau akan ditugaskan untuk
mengacaukan orang-orang persilatan. Kau harus bisa memerankan Mei Lie dengan
sebaik-baiknya. Namun yang patut kau ingat, bahwa sepak terjangmu harus
bertentangan dengan Mei Lie atau Titisan Dewi Kuan Im. Kalau dia kini membuat
orang-orang dari aliran kita kebingungan, kau harus bisa membuat para pendekar
aliran putih kebingungan. Paham...?"
"Paham, Paman."
"Kedua. Dalam setiap sepak terjangmu, kau harus urus menggunakan nama Mei Lie.
Setiap waktu kau bisa meminta bantuan Selendra dan gerombolannya yang akan
selalu menyertaimu dari jauh," tutur Daeng Ampra.
"Aku mengerti," jawab Sarah Dita.
"Bagus! Kini, orang-orang aliran putih akan kebingungan. Kemudian, mereka akan
berpaling dan memihak pada kita. Ha ha ha...!" Daeng Ampra tertawa tergelakgelak, disambut oleh yang lainnya.
"Tapi, Paman...."
"Ada apa lagi, Sarah Dita?" tanya Daeng Ampra.
"Bagaimana dengan Pendekar Gila?"
"Kau takut?" tanya Daeng Ampra.
Sarah Dita sejenak terdiam. Nama besar Pendekar Gila memang telah didengarnya,
tapi wajah dan ketinggian ilmunya belum pernah dilihatnya.
"Tidak!" sahut Sarah Dita mantap, membuat Daeng Ampra kembali tersenyum.
"Bagus! Kurasa gurumu juga telah mempersiapkan ilmu yang tinggi, sebelum dia
menugaskanmu," ucap Daeng Ampra. "Mengenai Pendekar Gila, biar nanti menjadi
urusanku dan gurumu."
"Aku pun sebenarnya ingin menjajaki ilmunya, Guru," sambut Selendra.
Senopati Pamungkas 10 Si Pemanah Gadis Karya Gilang Hamukti Palapa 11

Cari Blog Ini