Pendekar Gila 37 Petaka Seorang Pendekar Bagian 2
dap ke taman belakang. "Sudah lama murid Singo Edan itu menculik Sekar Arum.
Kalau saja saat itu aku berada di sini, mungkin tidak akan sampai
begini kejadiannya. Saat ini jelas sulit untuk men-galahkannya, kecuali Singo
Edan sendiri...."
"Tapi, bagaimana kita bisa menghubungi
gurunya itu?" tanya Raja Galih Kertarejasa dengan nada mengeluh. Rasa kecewa dan
khawatir terhadap keselamatan putrinya telah membuat jiwanya
berubah. Wajahnya dalam beberapa hari saja berubah tua dan lusuh. Kemarahan yang terpendam
membuat semangatnya seakan terbang.
"Kudengar saat ini para tokoh tua dari golongan putih tengah mengadakan pertemuan. Aku
yakin mereka pasti marah mendengar perbuatan
pendekar itu. Kuharap mereka dapat berbuat banyak untuk kita. Setidak-tidaknya mereka dapat
menghubungi Singo Edan untuk memberitahukan
perbuatan muridnya," jelas Ki Lurah Brajanala.
"Yang benar-benar mengherankan dan tak
masuk di akalku, apa sebenarnya yang diinginkan
Pendekar Gila dengan menculik Kanjeng Putri,"
ungkap Senapati Saka Bawana. Kepalanya digeleng-gelengkan. Kegeraman tergambar jelas di wajah panglima tertinggi kerajaan itu.
"Hhh.... Semua bisa terjadi dalam kehidupan di dunia ini," sela Patih Abiyasa yang sejak ta-di berdiam diri. "Hal-hal
aneh dan tak masuk akal semacam ini menjadi wajar bagi orang-orang kalangan
persilatan. Hanya mudah-mudahan keikutsertaan para tokoh dari golongan putih akan
membantu upaya kita menemukan kembali tuan
putri." Senapati Saka Bawana membisu. Raja Galih Kertarejasa manggut-manggut.
Sementara Ki Lurah Brajanala tetap diam.
"Apa belum ada kabar dari orang-orang kita
yang ditugaskan mencari jejak, Senapati Bawana?"
tanya Ki Lurah Brajanala tiba-tiba.
"Sampai saat ini belum ada, Ki. Namun,
kemarin ada utusan dari Kadipaten Kulonprogo
yang mengatakan Pendekar Gila menewaskan sebelas prajurit setelah berhasil mencuri Tombak
Payung Jagad milik Adipati Sureng Jawata," lapor Senapati Saka Bawana.
"Berarti Pendekar Gila memang menentang
mati! Ini benar-benar sudah keterlaluan. Dia mencoba membuat malu dan ingin menjatuhkan kewibawaan para penguasa," ujar Patih Abiyasa geram.
"Namun saat ini sulit baginya untuk bergerak lebih leluasa. Hampir semua kerajaan di sekitar Jawadipa ini telah mengerahkan para prajurit
untuk bersiaga penuh. Pariwara yang kita sebarluaskan beberapa waktu lalu telah menarik perhatian para jawara dan tokoh-tokoh persilatan. Kalau benar tokoh-tokoh golongan
putih tengah mengadakan pertemuan sehubungan dengan tindakan
Pendekar Gila, dunia persilatan pasti akan ramai."
Senapati Saka Bawana memang banyak mendengar laporan dari berbagai daerah tentang sepak
terjang Pendekar Gila.
Tiba-tiba masuklah seorang prajurit ke dalam ruangan pertemuan dengan langkah agak tergesa. "Ampun, Kanjeng Gusti!" Prajurit itu menjura hormat kepada Raja Galih
Kertarejasa. "Hm. Ada apa, Prajurit?"
"Seorang penduduk Desa Japuan hendak
datang menghadap Kanjeng Gusti."
"Bawa masuk!" titah Raja Galih Kertarejasa setelah berpikir sejenak.
Dua orang prajurit mengantarkan lelaki
muda berpakaian serba hitam. Setelah menjura
memberi hormat, mereka duduk bersila di depan
Raja Galih Kertarejasa.
"Ampun, Kanjeng Gusti. Tadi malam kami
menemukan Pendekar Gila menginap di rumah
penginapan Ki Marta. Kami sempat bertarung dengannya. Namun, banyak anak buah Sukarpala roboh di tangan Pendekar Gila. "
"Bagaimana dengan Pendekar Gila"!" tanya Raja Galih Kertarejasa tak tahan
menahan perasaan geramnya.
"Ki Marta, pemilik kedai dan penginapan
itu, telah memberi racun pada minuman yang disuguhkan seorang pelayannya. Tapi sayang, hanya
kedua kawan Pendekar Gila yang meminumnya.
Saya tidak tahu bagaimana nasib kawan-kawan
kami selanjutnya. Ketika Kakang Sukarpala berhasil dirobohkan oleh Pendekar Gila, saya langsung
berlari menuju istana."
"Hmmm." Ki Lurah Brajanaja menggumam
tak jelas. Lelaki tua itu mengangguk-anggukkan
kepala. "Berarti murid Singo Edan itu kini telah kembali ke wilayah kita,
Anakku." "Bagaimana sebaiknya sekarang. Ayah?"
tanya Raja Galih Kertarejasa, menoleh ke arah
mertuanya. "Siapkan para prajurit agar berangkat menuju Desa Japuan. Sertakan semua jawara yang
telah kita pilih untuk meringkus bajingan itu!" jawab Ki Lurah Brajanala tegas.
"Senapati Saka Bawana, kerahkan semua
prajurit! Kirimkan ke daerah sekitar Desa Japuan!"
"Daulat, Gusti! Saya laksanakan sekarang."
Senapati Saka Bawana mengangguk dan bergegas
bangkit dari duduknya meninggalkan ruangan.
Pagi itu juga Senapati Saka Bawana dan
beberapa panglima tinggi kerajaan memimpin para
anak buahnya berangkat menuju Desa Japuan.
Empat rombongan terdiri dari delapan puluh prajurit berkuda diberangkatkan lengkap dengan persenjataan perang.
Sementara beberapa prajurit diutus untuk
menyusul kawan-kawannya yang kini berada di
wilayah selatan dan barat. Kalau tak ada halangan di jalan, mereka akan sampai
di wilayah tenggara, tepatnya Desa Japuan, pada sore hari.
Setelah keberangkatan para prajurit, Ki Lurah Brajanala meninggalkan istana dengan diantar
Patih Abiyasa dan dua orang pengawal.
8 "Berhenti...!"
Bentakan keras itu mengejutkan Mei Lie
dan Dogol. Keduanya langsung berbalik ke belakang. Hanya Pendekar Gila yang tetap menghadap
ke arah semula. Meskipun sebenarnya kaget juga,
tapi Sena tak terlalu khawatir. Pengalamannya di
dunia persilatan telah menumbuhkan ketajaman
nalurinya sebagai seorang pendekar. Bentakan seperti itu jelas dilakukan oleh orang golongan putih.
Mereka tidak akan bertindak culas dengan membokong lawan dari belakang.
"Benarkah penglihatanku ini" Kaukah Pendekar Gila murid Singo Edan itu...?"
Pertanyaan itu dilontarkan lelaki muda berusia sekitar tiga puluh tahun yang berdiri di bawah sebatang pohon besar.
Matanya menatap tajam pada Sena yang bam saja membalikkan tubuh
menghadapinya. "Begitulah orang-orang menjuluki diriku,"
jawab Sena polos. Mulutnya cengengesan dengan
tangan menggaruk-garuk kepala.
"Apa kau juga mendapat perintah dari raja
untuk menangkapnya, Sobat?" Mei Lie menatap
tak kalah tajamnya kepada lelaki berpakaian kuning yang di pundaknya tersampir sebilah pedang
itu. "Semula memang begitu. Tapi, saran dari guruku telah membuat diriku
mengurungkan niat
itu." Seno membisu mendengar ucapan lelaki
berwajah tampan itu. Ada kesungguhan tersirat di
wajahnya. Kecurigaan Sena sedikit berkurang.
"Pertemuan yang dilakukan para tokoh golongan putih dua hari yang lalu menghasilkan keputusan, mereka akan mencari penculik Putri Sekar Arum. Namun, hampir semua yang datang meragukan kalau Pendekar Gila yang telah melakukannya," tutur lelaki muda itu.
Mei Lie dan Dogol tercenung. Keduanya tak
mengerti arah pembicaraan lelaki itu. Sena belum
menceritakan tentang penculikan itu kepada mereka. Sena hanya mengatakan ada sekelompok
orang yang berusaha membinasakan dirinya atas
nama kerajaan. "O ya. Aku Danuwilapa...."
Namun, belum selesai lelaki itu mengucapkan kata perkenalannya, tiba-tiba....
Slatts! Slasts!
"Awas...!"
Sambil berteriak memperingatkan, Pendekar Gila melentingkan tubuhnya ke atas. Secepat
kilat dicabutnya Suling Naga Sakti dan dikibaskan memapaki dua larik sinar merah
yang meluncur deras ke arah mereka.
Glarrr...! Dua buah ledakan keras yang diiringi biasan sinar kemerahan terdengar ketika suling pusaka itu menghantam dua larik sinar. Pendekar
Gila mendarat dengan sempoyongan akibat benturan keras itu. Belum sempat pemuda berambut gondrong
dan berpakaian rompi kulit ular itu berdiri tegap, terdengar lagi desingan
nyaring meluncur ke arah
mereka. Beberapa pisau terbang siap merenggut
nyawa mereka. Lesatannya yang begitu cepat
membuat Sena tak mampu melakukan tangkisan.
Meskipun dia sempat menghentakkan kedua tangannya hingga mengeluarkan serangkum
angin keras, tak urung beberapa pisau lepas dari
tangkisannya. Hingga...
"Aaakh!"
Sebuah pisau menyambar tangan Dogol
hingga sobek. Pemuda bertubuh tambun itu mengerang kesakitan seraya mendekap lengannya yang
mengucurkan darah.
Melihat keadaan Dogol, bangkitlah kemarahan Pendekar Gila. Sementara dari balik pepohonan dan semak-semak berlompatan beberapa sosok tubuh berpakaian serba merah. Wajah-wajah
bengis dan kejam menatap tajam, menyiratkan
nafsu membunuh. Dalam sekejap saja Pendekar
Gila, Mei Lie, dan pemuda berpakaian kuning serta Dogol yang tengah kesakitan
ter-kepung rapat. Li-ma belas orang bersenjata golok, pedang, kampak,
dan trisula mengitari mereka berempat.
"Ha ha ha...! Kali ini kau tak akan dapat lolos lagi, Bocah Edan!" Terdengar
suara tawa menggelegar keras. Namun, tak tampak pemiliknya.
"Hua ha ha...!" Sena menyambuti dengan
tak kalah kerasnya. "Cecurut busuk mana yang berani mengganggu perjalanan orang,
heh"! Keluar
kau pengecut...! Biar kukentuti mulutmu yang bau
itu!" teriaknya seraya menggeleng-geleng lucu.
"Serbuuu!"
"Bunuh pendekar keparat itu!"
"Heaaa...!"
Tanpa menunggu perintah dari pimpinannya yang tidak menampakkan diri, para pengepung itu segera melancarkan serangan. Mereka
merangsek maju menyerang keempat orang lawannya dengan sabetan dan tusukan senjata.
Mei Lie yang tak sabar melihat keadaan itu
dengan cepat mencabut Pedang Bidadari di pundaknya. Secepat itu pula tubuhnya melompat memapaki serangan orang-orang berpakaian serba
merah. Wuttt! Trang! Lelaki muda yang tadi mengaku bernama
Danuwilapa pun tak mau ketinggalan. Pedangnya
yang tersampir di pundak segera diloloskan dan
langsung menghadapi para pengeroyok.
Sementara itu, Pendekar Gila yang masih
memegang Suling Naga Sakti-nya tidak beranjak
dari tempatnya. Dia menunggu datangnya serangan lawan sambil melindungi Dogol yang tengah
terluka. Namun, karena orang-orang berpakaian
merah mengancam Pendekar Gila serangan mereka pun terus tertuju kepada Sena.
Sekejap saja pertempuran seru terjadi. Teriakan-teriakan keras ditingkahi suara dentang
senjata yang saling berbenturan memecah keheningan siang di tepi hutan itu.
Mei Lie dengan penuh semangat menghadapi serangan lawan yang datang bertubi-tubi. Pedangnya dikibaskan ke sana kemari menangkis
sabetan dan tusukan senjata lawan. Ketika dua
orang lawan menyabetkan pedang ke arahnya secara bersamaan, gadis cantik berjuluk Bidadari
Pencabut Nyawa itu memutar pedangnya dengan
pengerahan tenaga dalam tinggi
Benturan keras pun terdengar seiring dengan pekikan menyayat dari mulut kedua lawannya.
Kedua lelaki berpakaian merah terjengkang ke belakang. Namun, dengan cepat mereka bangkit berdiri dan kembali melancarkan serangan. Belum
sempat keduanya menebaskan pedang, Mei Lie telah lebih dulu membabat perut salah seorang di
antara mereka. Darah segar muncrat. Tubuh lelaki berpakaian merah itu terjungkal ke tanah. Sebentar tubuhnya berkelojotan, tapi kemudian tewas.
"Kurang ajar!" dengus kawannya. Lalu, me
Pendekar Gila 37 Petaka Seorang Pendekar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lompat menerjang Mei Lie.
Mei Lie melompat ke samping seraya menebaskan pedangnya. Dan....
Crasss! Pekikan keras kembali terdengar. Darah segar mengalir dari leher yang tersambar pedang Mei Lie. Sementara itu, Danuwilapa
telah berhasil membabat tiga orang lawannya. Lelaki muda berwajah tampan ini rupanya memiliki ilmu yang cukup handal. Terbukti, tiga orang lawannya telah
terkapar berlumuran darah di atas rerumputan.
Sedangkan Sena yang menghadapi empat
orang lawan tampaknya tak banyak menemui kesulitan. Dengan meliuk-liukkan tubuhnya dan sesekali melompat ke sana kemari dia memutar sulingnya. "Hi hi hi...! Percuma kalian hendak menangkapku, Cecurut-cecurut Kudisan! Dengan sebatang suling saja kalian kewalahan. Ha ha ha...!"
Sena tertawa di sela-sela kesibukannya menghadapi lawan. Mendengar ejekan itu lawan-lawannya semakin geram. Dua orang membabat dan menusukkan senjatanya ke tubuh Sena. Namun Sena
cepat melompat ke atas. Sulingnya diayunkan,
hingga... Trang! Blukkk! Lenguhan pendek terdengar dari mulut lawannya yang bersenjatakan kapak. Tubuhnya terjajar mundur beberapa langkah setelah kapaknya
berbenturan dengan suling milik Pendekar Gila.
Sementara dua orang kawannya telah merangsek
maju melancarkan serangan susulan.
Sena dengan cepat melompat. "Ha ha ha....
Meleset, Kawan. Nih, terima sulingku! Hih...!"
Pletakk! Seorang lawannya mengerang-erang kesakitan. Tubuhnya berputar-putar dengan tangan kiri
memegangi kepalanya yang benjol terkena pukulan
Suling Naga Sakti di tangan Sena.
"Ha ha ha...! Bukan mereka yang krocokroco itu yang menjadi lawanmu, Bocah Edan.
Bragaspati yang akan menangkap dan menyerahkanmu ke Istana Kerajaan Bumi Segara!"
Sesosok lelaki bertubuh tinggi besar dan
bercambang bauk lebat mendarat di tengah pertempuran. Tanpa memberi kesempatan kepada
Sena, lelaki berjubah merah tua itu langsung melancarkan serangan dahsyat.
Wusss! "Haits! He he he...!" Sena tertawa mengejek.
"Kurang sedikit saja, Bragaspati!"
Namun ketika tubuh Pendekar Gila melenting dan bersalto di udara, Bragaspati melontarkan serangan susulan yang tak
kalah dahsyat. Beberapa larik sinar kemerahan melesat memburu tubuh
Sena. Slatss! Slatss!
Glarrr...! Ledakan keras terdengar. Suling Naga Sakti
di tangan Pendekar Gila berhasil menangkis serangan itu. Baik Sena maupun Bragaspati terdorong ke belakang. Bahkan, ketika mendarat tubuh
Sena agak sempoyongan.
Melihat lawannya telah siap melancarkan
serangan susulan, Pendekar Gila dengan cepat
menghentakkan telapak tangan kanannya. Serangkum api melesat dan menghantam tubuh lawannya. Pekikan keras menyayat hati pun terdengar
mengiringi tubuh Bragaspati yang terlontar deras
ke belakang. Tubuh besar berjubah merah itu baru
berhenti meluncur ketika menabrak pepohonan.
Tubuh Bragaspati yang hangus terbakar
ajian 'Inti Brahma' Pendekar Gila terkapar kaku di bawah pohon.
Mei Lie dan Danuwilapa yang telah menyelesaikan pertarungan dengan lawan-lawannya segera menghampiri Sena Manggala.
"Mereka gerombolan perampok Hutan
Srumbung, Tuan Pendekar," ujar Danuwilapa
memberitahu. "Hh.... Mereka hanya sedikit dari orang-orang persilatan yang saat
ini tengah ber-lomba mencari Tuan Pendekar. Mereka tergiur oleh
imbalan besar yang dijanjikan kerajaan bagi orang yang dapat menangkap Pendekar
Gila...." Pendekar Gila menggeleng-gelengkan kepala
dan berjalan menghampiri Dogol yang terluka. Pisau yang menyambar lengan Dogol ternyata mengandung racun ganas. Pemuda berperut gendut itu
terkulai pingsan. Diangkatnya tubuh Dogol dan
dibawa ke tempat yang teduh. Mei Lie dan Danuwilapa mengikuti dari belakang.
"Kasihan Dogol. Dua kali dia menjadi korban keganasan orang-orang serakah yang tak berakal...," gumam Pendekar Gila sambil berjongkok.
Sena memejamkan mata seraya menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada. Kemudian, ditempelkannya telapak tangannya di dada Dogol. Sena berusaha mengeluarkan racun ganas dari tubuh lawannya. Hal seperti itu telah pula dilakukannya semalam setelah
Dogol meminum racun di dalam penginapan.
"Huh. Bodoh sekali aku ini. Sampai lupa
menotok lengan Dogol ketika baru saja terluka tadi. Mestinya racun ini tak sampai menjalar ke seluruh tubuhnya," Sena terus mengerahkan tenaga dalamnya.
Dari luka bekas goresan pisau di lengan
Dogol kembali mengalir cairan merah kehitaman.
Darah yang telah tercampur racun itu merembes
keluar. Sesaat kemudian, tubuh tambun Dogol
menggeliat seperti berusaha untuk bangun.
"Ngmhhh...," Dogol melenguh lirih.
Sena segera menahan dada Dogol agar tetap
terbaring. Tiba-tiba saja Dogol memuntahkan darah kehitaman. "Biarlah dia tidur sebentar. Tubuhnya terlalu lemah. Sebenarnya tadi dia belum pulih benar
dari racun semalam, Kakang Sena," ujar Mei Lie yang berjongkok di samping
Pendekar Gila. Sementara itu, Danuwilapa berdiri mematung memandangi mereka bertiga.
"Em... Kalau aku boleh tahu, hendak ke
mana sebenarnya tujuanmu, Sobat?" tanya Mei Lie menoleh kepada Danuwilapa.
"Ya. Aku sampai belum sempat menjelaskan
kepada Tuan Pendekar."
"Jangan panggil begitu kepadaku. Sebut saja aku Sena!" sahut Pendekar Gila seraya mengu-lapkan tangan kanannya.
"Aku sebenarnya termasuk pasukan pilihan
yang ditugaskan oleh Kadipaten Kulonprogo untuk
mencari penculik Putri Sekar Arum. Meskipun telah dilarang oleh orang kadipaten. Tapi aku nekat ikut bertugas...."
Mei Lie mengerutkan kening. Begitu pula
Sena Manggala. "Apa sebenarnya yang telah terjadi di Kadipaten Kulonprogo?" tanya Mei Lie penasaran.
Danuwilapa menarik napas panjang. "Ayahku, Adipati Sureng Jawata, tewas di tangan seorang pencuri yang berhasil membawa pergi tombak
pusaka milik Ayah. Kejadian itu hanya berselang
satu malam dengan peristiwa penculikan Putri Sekar Arum. Yang mengejutkan kami pelaku pencurian itu ternyata persis dengan dirimu, Sena. Bahkan seluruh pembesar kadipaten
telah menjatuhkan tuduhan kepadamu. Mereka didukung oleh
peristiwa di Kerajaan Bumi Segara yang pelakunya
juga Pendekar Gila."
Mei Lie mengerutkan keningnya. Ditatapnya
dalam-dalam wajah Danuwilapa yang ternyata putra seorang adipati.
"Beruntung aku mendapat saran dari guruku. Sehingga, dapat kuredam dendam kesumatku
kepada Pendekar Gila setelah mengikuti pertemuan para tokoh persilatan di Borobudur dua hari
lalu. Kini aku jadi lebih yakin setelah bertemu
denganmu, Sena. Ternyata kau sendiri belum
mengetahui perkara yang menyangkut nama
baikmu," lanjut Danuwilapa. "Tapi, bagaimana mungkin kau tidak mengetahui hal
itu?" tanya Danuwilapa.
"Dua hari dua malam perjalanan dari Kerajaan Tanjung Anom kami lalui lewat utara. Baru
tadi malam kami menemui kabar itu," jawab Sena.
"Itulah sebabnya guruku memerintahkan
aku untuk membantu tokoh-tokoh lurus yang berusaha mencarimu, Sena. Bukan untuk menangkap atau membunuhmu, tapi hanya ingin menemui. Jika memang benar ada tokoh yang telah
menyamar sebagai Pendekar Gila, seperti dugaan
para tokoh tua, hanya kau yang dapat menyelesaikan masalah ini. Wajah dan tingkah laku penculik
itu sama persis denganmu. Ini yang membuat
orang-orang bingung."
'Ya, ya. Lalu, bagaimana sebaiknya?" tanya
Sena pada kekasihnya, Mei Lie. "Aha, mungkin ki-ta mesti menghadap ke Istana
Kerajaan Bumi Segara." Sementara itu Dogol telah siuman. Pemuda gendut itu duduk bersandar di
sebatang pohon besar. "Gol, kita harus berangkat sekarang!" ujar Mei Lie
memandangi Dogol.
Dengan senyum yang dipaksakan Dogol
bangkit dari duduknya. Kakinya melangkah perlahan menghampiri Pendekar Gila dan Mei Lie. "Kua-tkan dirimu, Gol!" ujar Sena.
"Kita akan mampir
dulu di Istana Kerajaan Bumi Segara. Ada urusan
penting. Ayo!" perintah Sena.
Keempat orang muda itu segera melesat ke
arah barat menuju Istana Kerajaan Bumi Segara.
9 Mei Lie, Dogol, dan Danuwilapa mengernyitkan kening keheranan ketika melihat langkah
Sena terhenti. Apalagi ketika Pendekar Gila menelengkan telinganya seperti tengah berusaha mendengar sesuatu.
"Ada apa, Kakang Sena?" tanya Mei Lie
mendekati Pendekar Gila.
"Ah. Aku mendengar derap langkah kaki
kuda. Ada puluhan kuda berlari ke arah sini," ujar Sena. "Mungkinkah mereka
pasukan kerajaan,
Sena?" tanya Danuwilapa yang tampaknya mulai akrab dengan pendekar berpakaian
rompi kulit ular itu. "Mungkin juga...," gumam Sena dengan tatapan lurus ke depan. Keningnya tiba-tiba
berker- nyit tajam. Firasatnya mengatakan ada sesuatu
yang akan terjadi dengan dirinya. Ketajaman nalurinya sebagai seorang pendekar mengatakan hal
itu. Ternyata benar. Baru saja mereka hendak
melanjutkan langkah, dari arah barat tampak puluhan pasukan berkuda berlari ke arah timur. Tak
lama kemudian rombongan berkuda yang adalah
tentara kerajaan itu telah sampai di depan Pendekar Gila. "Berhenti...!"
Teriakan keras terdengar dari mulut seorang lelaki bertubuh gagah perkasa yang mengenakan pakaian senapati. Seketika delapan puluh
pasukan berkuda itu berhenti.
Dengan tatapan tajam lelaki gagah di atas
kuda putih yang tak lain Senapati Saka Bawana
memandangi Sena Manggala.
Rasa heran hampir saja menyeruak di hati
Pendekar Gila. Namun ketika dia teringat kabar
buruk tentang dirinya, perasaan itu berubah menjadi rasa khawatir. Meskipun ia seorang pendekar
yang tak diragukan lagi kemampuannya, baik dalam ilmu maupun kedigdayaan, perasaan seperti
itu tetap ada. Bukan karena Pendekar Gila tak
mampu mengatasi sekian banyak tentara yang
akan menangkapnya. Melainkan saat ini yang dihadapinya bukanlah orang-orang durjana.
Kalaupun harus terjadi bentrokan untuk
membela diri, Pendekar Gila tetap merasa serba
salah. Ia tengah dihadapkan pada persoalan yang
sulit. Suatu salah paham akibat fitnah keji.
"Pendekar Gila..., atas nama kerajaan kami
akan menangkapmu!" teriak Senapati Saka Bawa-na lantang.
Belum sempat Sena memberikan jawaban
atas seruan Senapati Saka Bawana, Mei Lie telah
menyahuti. "Hei.... Senapati! Tidakkah kau tahu berhadapan dengan siapa dirimu saat ini"!" teriak Mei Lie tak kalah lantang. Sambil
mengucapkan kata-kata itu, tangannya meraba gagang pedang yang
tersampir di pundaknya.
"Pendekar Gila murid Singo Edan, dan kau
Bidadari Pencabut Nyawa!" jawab Senapati Saka Bawana yang menjadi pemimpin
pasukan. "Mei Lie, tahan ucapanmu!" tegur Sena seraya memegang lengan kanan gadis itu.
"Pendekar Gila, kau sembunyikan di mana
Kanjeng Putri Sekar Arum"!" bentak Senapati Saka Bawana mulai tak sabar. "Apa
maksudmu membawa lari Kanjeng Putri Sekar Arum yang telah dipersunting Pangeran Danuwirya" Bukankah kau
sendiri tahu mereka akan melangsungkan pernikahan bulan depan?"
"Tulikah telinga kalian" Butakah mata ka
Pendekar Gila 37 Petaka Seorang Pendekar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lian, sehingga tak pernah mendengar dan melihat
perjuangan Pendekar Gila dalam melawan kedurjanaan" Mana mungkin seorang pendekar berlaku
durjana...?"
Mei Lie yang tak mampu menahan amarahnya terus saja bicara menanggapi tuduhan Senapati Saka Bawana.
"Kehidupan di dunia ini serba mungkin.
Seorang pendekar bisa berlaku durjana. Seorang
resi atau pendeta bisa berbuat mesum. Seorang
guru bisa bertindak culas. Seorang raja tak mampu menahan angkara murka hatinya. Seorang ibu
bisa tega membunuh anaknya. Seorang ayah bisa
menggagahi anak perempuannya.
Seorang hakim bisa saja tidak adil. Apa
yang tak mungkin di dunia ini, Nona Pendekar..."
Ya.... Kecuali kalau kau ingin memakan kepalamu
sendiri. Itu baru tindakan yang tak mungkin...."
"Bedebah!" Mei Lie semakin marah. Wajahnya merah padam.
"Semua prajurit kerajaan termasuk diriku
menyaksikan kawanmu menculik Putri Sekar
Arum, Nona Mei Lie! Tak ada lagi kata untuk menyanggah atau memungkiri tindakan Pendekar Gila!" ujar Senapati Saka Bawana dingin. "Para prajurit, tangkap dia...."
Mendengar seruan sang pemimpin, para
prajurit pun segera berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing. Mereka mengepung
Pendekar Gila, Mei Lie, dan Dogol serta Danuwilapa dengan senjata terhunus.
Aneh. Tidak seperti biasanya Pendekar Gila
dilanda rasa bingung dan serba salah seperti saat ini. Dia seolah tak mampu
menggerakkan tubuhnya untuk berbuat sesuatu. Sena hanya terpaku
dengan pandangan nanar. Padahal, dengan penuh
semangat para prajurit berlarian hendak meringkusnya. Mei Lie mencabut pedangnya dan langsung
menghadapi serangan belasan prajurit yang berusaha menangkap kekasihnya. Sementara Danuwilapa tampak kebingungan. Dogol pun demikian.
Meskipun para prajurit hanya mengarahkan
perhatian kepada Pendekar Gila, Mei Lie, dan Dogol tetap merasakan gentar. Dia tak mau menjadi
korban amukan pasukan kerajaan. Pemuda bertubuh tambun dan berperut gendut itu segera lari
menyingkir. Tak mungkin ia mampu mengatasi
amukan para prajurit itu.
* * * Pekikan-pekikan nyaring yang ditingkahi
bunyi dentang senjata memecah keheningan siang
di tepi hutan itu. Mei Lie yang telah lebih dulu
mencabut pedang menghadapi setiap prajurit yang
berusaha mendekatinya. Begitu pula dengan Danuwilapa yang tadi sempat bimbang. Ia berusaha
membantu gadis berpakaian putih itu.
Namun sejauh itu tindakan Bidadari Pencabut Nyawa hanya menangkis dan menghindarkan
setiap serangan lawan. Betapapun hatinya marah
mendengar tuduhan Senapati Saka Bawana, jiwa
kependekarannya tetap mencegah dirinya untuk
berbuat kejam. Sehingga, perlawanan yang dilakukannya hanya setengah-setengah.
Hal serupa pun dialami Pendekar Gila.
Meski rasa jengkel dan marah menyelimuti hatinya, pemuda berpakaian rompi kulit ular ini tak berani menjatuhkan tangan
kejam. Walau para
prajurit tampak penuh semangat ingin menjatuhkannya, Sena hanya melompat ke sana kemari
sambil sesekali melancarkan serangan. Serangan
itu pun hanya untuk menjatuhkan mereka bukan
membunuhnya. Sena menyadari benar pertempuran ini sebenarnya tidak harus terjadi. Karena kebimbangan
itulah lama-kelamaan Pendekar Gila mulai terdesak. Semahir apa pun kemampuannya akhirnya
Sena kewalahan juga.
Sementara Mei Lie yang juga berusaha untuk tidak membunuh lawan terdesak hebat. Tiga
orang prajurit tampak bergelimpangan dengan
punggung berlumur darah. Dalam keadaan terpaksa sekali Bidadari Pencabut Nyawa telah menyarangkan pedangnya ke tubuh lawan.
Melihat kekasihnya dalam keadaan terdesak
hebat, Pendekar Gila berteriak mengingatkan. "Mei Lie, lari...!"
Wuttt! "Haits!"'
Sebuah babatan pedang lawan hampir saja
menyambar kepala Sena. Beruntung dengan gerakan yang gemulai dia sempat meliukkan tubuhnya. Lalu.... Plakkk! Bukkk! Dua orang prajurit terpental beberapa langkah ke belakang. Keduanya meringis-ringis kesakitan dan tak mampu bangkit lagi.
Ketika melihat Mei Lie sudah lari dari tempat pertarungan, Pendekar Gila pun berusaha melarikan diri. Namun ia segera teringat pada Danuwilapa yang tengah sibuk menghadapi lawanlawannya. Pemuda berpakaian rompi kulit ular itu
melesat ke arah pertempuran Danuwilapa.
Tukkk! Tukkk! Tiga orang prajurit terkulai lemas terkena
totokan Sena. Setelah itu, Pendekar Gila mengerahkan ilmu 'Sapta Bayu' dan melesat meninggalkan tempat pertempuran. Danuwilapa tak mau ketinggalan. Ia segera mengikuti arah yang dituju
Sena. Namun kecepatan lari Pendekar Gila tak
mampu ditandinginya. Dalam sekejap saja Sena
telah melesat begitu jauh. Ketika sampai di tepi
sebuah hutan, Danuwilapa baru berhenti. Ada seseorang yang memanggilnya.
"Dogol." Danuwilapa menghampiri Dogol
yang tadi memanggilnya. "Di mana Sena...?"
"Heh"! Aku tak melihatnya," sahut Dogol yang tampak kaget.
"Kalau begitu, ayo kita segera mengejar Sena. Aku dan dia terpaksa meninggalkan tempat
pertempuran. Kulihat tadi Sena tidak sepenuh hati menghadapi para prajurit
itu...." Tanpa banyak bicara lagi keduanya kemudian melesat ke arah utara mencari Pendekar Gila
yang tengah mengejar Mei Lie.
Sementara itu Mei Lie ternyata mengalami
nasib yang kurang menguntungkan. Begitu dapat
lolos dari pertempuran, gadis itu dihadang oleh pa-ra prajurit lain yang datang
belakangan. Dalam
pertarungan sengit Mei Lie mendapat totokan dipunggung sebelah kanan. Pedang Bidadari andalannya terlepas dari genggaman, lalu disambar salah seorang prajurit. Tak lama kemudian, gadis itu dapat diringkus.
* * * Pendekar Gila terus melesat ke utara membawa kekalutan yang melanda hatinya.
"Ah ah.... Kenapa bodoh sekali aku"!" Sena seraya menghentikan langkahnya di
tepi sebuah hutan. "Hmh.... Bagaimana nasib Mei Lie dan Dogol?" Dengan tangan menggarukgaruk kepala, Sena melangkah memasuki hutan. Begitu dia
sampai di dalam hutan, tiba-tiba...
"Hua ha ha...!"
Suara tawa keras menggelegar mengejutkan
Sena. Cepat tubuhnya dibalikkan. Suara tawa itu
ternyata berasal dari seorang lelaki tinggi besar yang mengenakan jubah biru.
Mulutnya yang lebar
terhias cambang bauk lebat. Tangan kanannya
memegang sebatang tongkat berwarna merah.
Ujung tongkat itu berbentuk tengkorak kepala
manusia. "Hua ha ha.... Ternyata begitu kecil nyalimu, Bocah Edan Murid Singo Gendeng!"
"Hua ha ha...!" Pendekar Gila menyambutnya dengan tawa keras dan menggelegar
pula. La- lu, cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Hei, Orang Tua Bergigi Ompong!" bentak Sena.
Padahal, lelaki tinggi besar itu tidak bergigi ompong. Mulut Sena asal bicara
saja karena hatinya
sedang kalut. "Siapa kau sebenarnya?"
"He he he...! Nanti kau akan tahu kalau aku
sudah membawa mayatmu ke Istana Kerajaan
Bumi Segara, Bocah Gendeng."
"He he he...! Kau juga ingin mendapat imbalan dari raja rupanya, Ompong," sahut Sena dengan terkekeh. "Aku merasa lebih
berharga kini. Orang-orang memperebutkan diriku."
"Jangan banyak bacot! Heaatt...!"
Wuttt! Seraya membentak nyaring lelaki berjubah
biru menghantamkan tongkatnya dengan keras.
Melihat orang itu melancarkan serangan,
Sena melentingkan tubuhnya ke atas. Namun secepat kilat lelaki brewok memutar tongkatnya
hingga menimbulkan deruan angin kencang. Angin
yang berputar cepat itu membuat tubuh Sena agak
sempoyongan ketika mendarat di tanah. Ketika
kedudukan Sena belum sempurna, lelaki brewok
itu kembali meluruk deras dan menusukkan tongkatnya. Hingga....
Trakkk! Benturan keras terjadi saat Pendekar Gila
menebaskan sulingnya memapaki serangan musuh. Keduanya terdorong mundur beberapa
langkah. Hal itu menunjukkan betapa kuat benturan tersebut. Namun belum juga kedudukan tubuhnya seimbang, lelaki berjubah biru menghentakkan kedua belah tangannya. Meluncurlah serangkum api yang melesat memburu tubuh Sena.
Pendekar Gila terkesiap melihat serangan
susulan yang dahsyat itu. Namun, dengan cepat
dia menghentakkan kedua tangannya hingga berhembus serangkum angin dingin.
Wusss! Bresss! Terjadi tabrakan antara angin dingin milik
Sena dengan api yang tercipta dari tangan lawan.
'"Inti Brahma'! Heaaa...!"
Begitu berhasil meredam serangan api yang
dilancarkan lawan, Pendekar Gila menyusuli serangannya dengan ajian 'Inti Brahma'. Serangkum
api melesat cepat dari kedua belah telapak tangannya. Wusss! Jrraats! Tubuh lelaki tinggi besar berjubah biru terlontar deras ke belakang. Teriakan menyayat hati
pun terdengar dari mulutnya. Jubah dan kulit tubuhnya hangus terbakar. Ketika tubuh hangus itu
terbanting setelah menabrak pohon besar, nyawanya pun lenyap dari raga.
Sena Manggala baru hendak beranjak meninggalkan tempat itu ketika sesosok bayangan
putih berkelebat tak jauh darinya.
"Ah ah ah...! Petaka apalagi yang akan terjadi di sini, Sena?"
Sesosok lelaki tua berjubah putih tahu-tahu
telah berdiri dua tombak di hadapan Sena.
"Guru!" Pendekar Gila terkejut bukan main.
Lelaki berambut putih itu ternyata Singo Edan.
"Kau berada di sini. Guru...?"
"Hi hi hi...!" Singo Edan tertawa cekikikan.
Tangan kanannya menggaruk-garuk kepala. Sementara mulutnya nyengir dengan sebelah mata
dipicingkan. Sikap lucu dan konyol itu persis dengan kebiasaan yang dilakukan
Pendekar Gila. "Aha! Tidakkah kau mendengar keadaan wilayah barat dan selatan, Sena" Para tokoh
persilatan tengah memburu dirimu."
"Aku sudah mendengar, Guru...."
"Orang-orang golongan putih mencarimu.
Mereka ingin membuktikan kebenaran berita itu.
Orang-orang golongan hitam berebut dalam
sayembara untuk menangkapmu sebagai penculik
putri raja. Aku sendiri terpaksa keluar ikut mencarimu. Dua hari yang lalu
Mantingan dan Banareja
menemuiku untuk meminta bantuan. Keadaan
semakin memburuk. Di mana-mana terdengar perampokan dan penganiayaan yang mengatasnamakan Pendekar Gila."
Singo Edan berhenti sejenak. Ditatapnya
Sena Manggala, muridnya, yang tampak sangat
berbeda dengan kebiasaannya jika mereka bertemu. Sifat asli murid tunggalnya itu seakan lenyap.
"Kedurjanaan tak pernah berhenti. Merajalela dan semakin menggila," gumam Sena sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tapi,
tanpa tawa atau senyum cengengesannya. "Maafkan aku.
Guru. Tiba-tiba saja aku dilanda kebingungan
yang aneh. Mimpi buruk telah menjadi kenyataan...." Sena lalu menceritakan mimpinya ketika
bermalam di Istana Kerajaan Bumi Segara.
"Hi hi hi.... Mestinya itu bukan mimpi, Se
Pendekar Gila 37 Petaka Seorang Pendekar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
na. Kau bisa menjadi putra mahkota, mantu Raja
Galih Kertarejasa. "
Singo Edan tertawa cekikikan menanggapi
cerita muridnya. Sena pun tertawa, persis seperti gurunya. Keduanya tertawa geli
karena merasa lu-cu akan arti mimpi yang ternyata membawa petaka bagi Sena. Guru dan murid itu lupa bahwa hari
telah mulai gelap. Matahari sudah tenggelam di
kaki langit sebelah barat.
"Sebentar lagi malam tiba, sebaiknya kita
segera berangkat menuju kediaman Ki Ageng Mantingan," ujar Singo Edan kemudian. Lelaki tua itu lalu membeberkan rencana
selanjutnya. "Baik, kalau begitu. Guru. Aku akan mengikuti rencana itu."
Pendekar Gila dan Singo Edan kemudian
melesat meninggalkan hutan.
10 Siang itu di istana, Raja Galih Kertarejasa
kembali mengumpulkan para panglima tinggi kerajaan. "Senapati, ketatkan penjagaan di penjara bawah tanah. Jangan dibebaskan
Mei Lie dari to-tokannya. Biarkan saja dia terkulai lemas."
Senapati Saka Bawana, Ganjar Seta, dan
panglima lainnya yang saat itu menghadap raja,
mengangguk. "Aku yakin cepat atau lambat Pendekar Gila
akan datang kemari untuk membebaskan kekasihnya. Maka, semua kekuatan prajurit harus terpusat di istana. Kalau perlu semua jawara sewaan
kita diminta datang ke istana. Jangan sampai penculik itu dapat membebaskan kekasihnya..."
"Ampun, Kanjeng Gusti!"
Seorang prajurit yang bertugas jaga di pintu
gerbang istana tergesa-gesa masuk dan menjura
memberi hormat.
"Hm. Ada apa, Prajurit?"
"Dua orang lelaki tua yang mengaku bernama Singo Edan dan Ki Ageng Mantingan hendak
menghadap Kanjeng Gusti," ujar prajurit itu.
Raja Galih Kertarejasa tertegun kaget mendengar laporan itu. Para panglima tinggi pun langsung berdiri dari duduknya di
lantai. "Persilakan mereka masuk!" sambut sang
raja dengan suara agak bimbang.
Tak lama kemudian masuklah ke ruangan
itu dua orang lelaki tua. Satu mengenakan jubah
putih, berambut putih, dan bertubuh tinggi. Satu
lagi berpakaian lurik lengan panjang dan mengenakan ikat kepala batik. Mereka dikawal dua prajurit. Setelah menjura hormat yang disambut
anggukan kepala oleh Raja Galih Kertarejasa, kedua tamu kerajaan itu duduk bersila. Para panglima tinggi kerajaan pun ikut duduk.
"Ampunkan hamba, Kanjeng Gusti!" ujar lelaki tua berjubah putih dengan jenggot
putih pula. "Hambalah yang bernama Singo Edan, guru Pendekar Gila. Dan, ini kawan hamba, Ki Ageng Mantingan," lanjutnya memperkenalkan diri.
"Tahukah kalian bahwa Pendekar Gila saat
ini menjadi musuh terbesar kerajaan?" tanya Raja Galih Kertarejasa menatap tajam
wajah Singo Edan. Singo Edan tersenyum dan menggarukgaruk kepalanya. Melihat hal itu. Raja Galih Kertarejasa tercenung dengan dahi
berkerut. "Karena itulah kami datang menghadap
Kanjeng Gusti," ujar Singo Edan.
"Benar, Kanjeng Gusti. Kedatangan kami
ingin memohonkan ampun atas tindakan Pendekar
Gila dan Mei Lie kemarin siang. Kami dengar beberapa prajurit tewas dalam pertempuran di Hutan
Srumbung...," ujar Ki Ageng Mantingan yang duduk di samping kanan Singo Edan.
"Hm. Bagaimana dengan muridmu, Singo
Edan" Kenapa kau melindunginya" Padahal, jelas
muridmu bertindak yang tak layak sebagai seorang
pendekar sejati...."
"Ampun, Kanjeng Gusti! Selama hamba masih hidup, Sena Manggala tak akan berani berdusta terhadap hamba. Hamba akui saat ini Pendekar
Gila berada di tangan kami. Tapi, kami memohon
Kanjeng Gusti mempercayai pengakuan ini. Murid
hamba tidak melakukan penculikan terhadap Putri
Sekar Arum. Karena itu kami memohon kesediaan
Kanjeng Gusti melindungi Mei Lie... Jangan sampai terjadi sesuatu terhadap Bidadari Pencabut
Nyawa." "Kemarin telah datang utusan dari pertemuan para tokoh golongan putih di Borobudur.
Mereka pun tidak mempercayai kalau Pendekar
Gila yang menculik putriku. Tapi mereka tak ada
yang sanggup menunjukkan di mana saat ini Sena
berada. Mereka hanya bersikukuh dengan pendapatnya. Bahwa, ada tokoh lain di balik peristiwa
ini. Bagaimana pendapatmu, Singo Edan?"
Singo Edan tertawa. Dan, kembali menggaruk-garuk kepalanya.
"Hi hi hi.... Hamba hanya ingin meminjam
istilah yang dilontarkan Senapati Saka Bawana
kemarin," ujar Singo Edan seraya menoleh ke arah Senapati Saka Bawana. Tentu
saja senapati itu
terkejut bukan main. "Maaf, Kanjeng Senapati, da-ri jauh aku menyaksikan
pertarungan kalian yang
berusaha menangkap Pendekar Gila. Tapi aku tidak ingin campur tangan, kecuali jika muridku
benar-benar terancam nyawanya.... Bukankah kau
mengatakan segala sesuatu tidak ada yang tak
mungkin di dunia ini" Hi hi hi.... Maka, bukan
mustahil ada tokoh lain di balik penculikan Kanjeng Putri Sekar Arum. Tokoh-tokoh berilmu tinggi dapat dengan mudah mengelabui
mata orang lain.
Sehingga, kita semua terkecoh tipu daya mereka.
Atau, bisa saja seorang tokoh sakti telah menciptakan sesosok manusia yang mirip dengan muridku." Singo Edan berhenti sejenak. Semua terdiam. Raja Galih Kertarejasa
mengangguk- anggukkan kepala. Begitu pula Senapati Saka Bawana, Panglima Ganjar Seta, serta panglima lain.
Sebagai orang-orang yang pernah belajar ilmu silat mereka dapat memaklumi
keterangan Singo Edan.
"Jika Kanjeng Gusti berkenan, mulai malam
ini murid hamba akan mengadakan penyelidikan.
Kami dan kawan-kawan yang lain akan membantunya." Raja Galih Kertarejasa membisu. Ada kebimbangan tersirat di wajahnya
yang putih bersih.
"Yah. Terserah kalian. Kami memang mendapat kesulitan menghadapi persoalan ini. Terima
kasih atas upaya kalian...."
Mendengar ucapan sang raja, Singo Edan
dan Ki Ageng Mantingan tersenyum. Tak lama kemudian, mereka berdua mohon diri untuk meninggalkan istana.
11 Suasana di Istana Kerajaan Bumi Segara
malam itu sungguh berbeda dengan malam-malam
sebelumnya. Hampir semua tentara berada di istana. Mereka menjaga ketat keamanan di seputar istana. Setiap sudut bangunan yang megah dan besar itu tak lepas dari pengawasan para prajurit.
Sementara itu di luar istana, di kota kerajaan, tak satu penduduk pun yang berani menampakkan diri di luar rumah. Semenjak peristiwa
penculikan dan tersiarnya kabar dari berbagai
daerah tentang perampokan serta penganiayaan,
suasana kota menjadi sepi. Apalagi bila malam tiba, kota laksana mati. Kedai dan waning makan
yang biasanya buka hingga larut malam kini tutup
semua. Mereka khawatir akan terkena sasaran perampokan yang dilakukan anak buah Pendekar Gila. Begitu ketat dan rapatnya penjagaan di istana sehingga tak seorang pun dapat menyusup
masuk. Bahkan, suara ranting atau daun jatuh
dapat diketahui jelas oleh para prajurit jaga.
Namun tanpa sepengetahuan mereka, entah
dari mana masuknya, sesosok bayangan berkelebat menuju belakang istana. Sosok itu bukanlah
seorang prajurit atau petugas rumah tangga istana. Gerakannya yang sangat cepat dan ringan
menandakan sosok ini memiliki ilmu yang tinggi,
terutama ilmu meringankan tubuh. Sekejap saja ia
telah sampai di depan sebuah bangunan bertembok tebal dan tinggi yang terletak di samping lapangan rumput. Di depan pintu gerbang bangunan ada sekitar sepuluh orang prajurit. Anehnya, tak seorang
dari mereka yang melihat kedatangan sosok berpakaian rompi kulit ular itu.
"Ah ah ah.... Tidurlah kalian! Puaahh!"
Sambil tertawa-tawa, pemuda berambut ikal dengan ikat kepala kulit ular itu menghembuskan napas seperti sedang meniup api.
Seketika itu pula kesepuluh prajurit jaga
terkena ilmu sirap. Mereka tertidur. Ada yang bersandar pada dinding, ada yang
duduk di kursi,
bahkan ada yang menggeletak di tanah.
Dengan tenang pemuda berpakaian rompi
kulit ular melangkah masuk melalui mereka.
Langkahnya terhenti ketika menemui persimpangan jalan berupa lorong yang di kanan kirinya terdapat dinding tembok. Keningnya
berkerut seperti
tengah mengingat-ingat sesuatu.
"Ke kanan atau ke kiri" Hh.... Lupa aku...,"
gumam pemuda itu sambil menepuk kening. Kemudian, dipilihnya lorong yang menuju ke kanan.
Lorong selebar satu tombak itu hanya diterangi obor-obor yang terpancang di kanan kiri
dinding. Setelah berjalan sekitar dua puluh langkah, dia menemukan jalan menurun melalui tangga batu. Di bawah ternyata terdapat sebuah ruangan besar yang dikelilingi kamar kecil. Ruangruang kecil itu berpintu terali besi. Di dalamnya dihuni orang-orang berpakaian
serba hitam yang
masing-masing menempati satu kamar.
"Hm. Rupanya ini ruang penjara bawah tanah itu," gumam pemuda berpakaian rompi kulit ular. Ketika melihat kedatangan
dirinya, para narapidana itu saling berpandangan dengan wajah
menggambarkan tanda tanya besar. Yang tadi berbaring di lantai kini bangkit berdiri memegangi terali besi seraya menatap tajam
pemuda berompi kulit ular. Tanpa menghiraukan keheranan dan gumaman aneh para narapidana, pemuda berambut
gondrong itu terus melangkah mengawasi setiap
kamar penjara. "Mencari siapa kau?" tanya seorang narapidana. "Seorang gadis yang dua hari lalu
dijeb-loskan ke sini," jawab si pemuda.
"He he he... Berani benar kau masuk kemari. Bebaskan kami setelah kau berhasil mengeluarkan gadis itu," ujar narapidana itu. "Ikuti jalan yang ke kanan di sana.
Kulihat kemarin dua orang
penjaga penjara memanggul gadis itu. Mungkin
ada ruang penjara di sana...," lanjutnya sambil menunjuk ke satu arah.
Si pemuda bergegas melangkah ke arah
yang ditunjuk narapidana. Sampai di lorong itu dia
kembali menemukan jalan menurun. Namun ketika kakinya hendak melangkah ke ruang bawah,
dilihatnya empat orang prajurit baru saja mengunci pintu terali besi. Di kamar itu tampak seorang wanita berpakaian putih
terkulai di lantai. Sebuah kendi dan cangkir terletak di samping kanannya.
Tanpa membuang-buang waktu, pemuda
itu melompat dan melancarkan serangan. Gerakannya cepat sekali. Kedua tangannya menghantam dua orang prajurit hingga terbanting ke lantai.
Darah segar termuntah dari mulut mereka. Keduanya langsung tak berkutik. Sementara dua orang
kawan mereka telah mencabut keris dan goloknya.
Pertarungan pun terjadi di depan ruang
penjara. Kedua prajurit itu tampaknya bukan lawan yang tangguh bagi si pemuda. Hanya beberapa jurus saja mereka berhasil dirobohkan. Pemuda
berpakaian ular kemudian membuka pintu penjara
dan melangkah masuk.
"Kakang Sena," desah gadis berambut panjang yang ternyata Mei Lie.
"Aha. Nikmat rupanya kau tidur di sini,
Mei," ujar Pendekar Gila tertawa. Diangkatnya tubuh gadis itu dan diletakkan di
atas pundaknya.
Sebentar kemudian, dibawanya melesat keluar dari penjara bawah tanah.
Sampai di pintu keluar ternyata telah
menghadang kurang lebih tiga puluh prajurit. Puluhan prajurit lainnya berjajar di pelataran sampai gedung penjara. Mereka telah
menghunus senjata
masing-masing. "Awaasss...! Jangan sampai lolos penculik
keparat ini!" teriak Senapati Saka Bawana lantang.
Semua prajurit siap siaga. Mereka memasang kewaspadaan dengan senjata di depan dada.
"Heaaatt...!"
Tiba-tiba pemuda berpakaian rompi kulit
ular yang memanggul tubuh Mei Lie berteriak keras. Tubuhnya mencelat bagaikan terbang melalui
Pendekar Gila 37 Petaka Seorang Pendekar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepala puluhan prajurit yang mengepungnya.
Beberapa prajurit yang melihatnya langsung
melemparkan tombak dan pedang mereka ke arah
tubuh Sena. Namun, dengan gerakan yang ringan
dan cepat dia mampu mengelakkan. Beberapa
tombak bahkan berhasil dipukulnya dengan suling
yang tergenggam di tangan kanan.
Teriakan-teriakan penuh kemarahan terdengar riuh rendah memecah keheningan malam.
Dalam sekejap beberapa orang prajurit tewas bergelimpangan dihajar suling Sena.
Tampaknya pemuda berompi kulit ular itu
tak ingin menemui kegagalan membawa lari Mei
Lie. Secara membabi buta diterjang dan dipukulnya setiap prajurit yang berusaha menahan langkahnya. Tak satu pun di antara mereka yang berhasil. Kepandaian pemuda itu terlalu tinggi untuk dilawan para prajurit
rendahan. Ketika sampai gilirannya, Senapati Saka
Bawana yang berdiri berdampingan dengan Panglima Ganjar Seta, melompat memburu penculik
itu. Dengan cepat Panglima Ganjar Seta dan beberapa panglima tinggi lainnya ikut merangsek maju.
Mereka menyabet dan menusukkan keris dan
tombak. Pemuda berambut gondrong itu sempat kewalahan. Namun ketika mendapat kesempatan untuk membalas, dia melompat tinggi seraya menghentakkan tangan kanannya yang menggenggam
suling. Dari suling itu melesat serangkum angin
kencang yang menerjang para panglima. Tak terelakkan, Senapati Saka Bawana terlontar beberapa
tombak ke belakang bersama para panglima lainnya. Pemuda yang memanggul Mei Lie itu pun
akhirnya dapat meloloskan diri dari kepungan. Dia melesat ke depan istana dengan
cepat sekali. Sampai di depan istana pemuda berpakaian
rompi dari kulit ular bertemu dengan Raja Galih
Kertarejasa dan Patih Abiyasa yang hendak berlari ke belakang.
"Hai! Berhenti!" bentak Raja Galih Kertarejasa. Wrets!
Pemuda berpakaian rompi kulit ular malah
mengibaskan sulingnya. Namun, dengan gesit Raja
Galih Kertarejasa melompat menghindar. Patih Abiyasa pun menjauhi serangan itu.
Ketika penculik itu hendak kabur, cepat Raja Galih Kertarejasa melesat mengejar. Keris pusakanya disabetkan ke arah tubuh
si pemuda. Pertarungan pun terjadi.
Raja Galih Kertarejasa ternyata memiliki ilmu yang cukup handal. Buktinya, beberapa kali
serangan lawan dapat dielakkannya. Bahkan ketika lawan hendak membabatkan sulingnya. Raja
Galih Kertarejasa telah mendahului dengan sambaran kaki kanan ke arah perut
Blukk! Tendangan Raja Galih Kertarejasa mendarat
telak di perut lawan. Penculik itu terdorong dua
langkah ke belakang. Namun belum sempat Raja
Galih Kertarejasa mengatur keseimbangan tubuhnya, pemuda berompi kulit ular telah melancarkan
serangan balasan. Tangan kanannya memegang
erat tubuh Mei Lie, sementara tangan yang kiri
menghentak keras ke depan.
Wrrrets! Pukulan jarak jauh yang mengeluarkan cahaya kemerahan itu menyambar lengan baju Raja
Galih Kertarejasa. Tak urung sang raja pun mengerang. Sekujur tangan kanannya terasa panas
bukan main. Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah ke samping kanan. Dan ketika pemuda berompi kulit ular memburunya, Raja Galih
Kertarejasa segera menyabetkan keris pusakanya.
Wutt! "Haits!"
Pemuda itu sempat mengelak dengan menarik mundur tubuhnya. Ketika dilihatnya para prajurit telah sampai di tempat itu, bahkan mengepungnya, dia segera menghentakkan tangan kiri.
Serangkum cahaya kemerahan melesat
sangat cepat. Raja Galih Kertarejasa tak sempat
lagi menghindar. Cahaya kemerahan itu pun telak
menghantam dadanya. Seketika jeritan kematian
terdengar. Tubuh Raja Galih Kertarejasa terlontar dua tombak ke belakang dengan
dada menghitam bagai terbakar.
Seketika para prajurit tersentak kaget. Mereka menghambur ke arah jatuhnya Raja Galih
Kertarejasa. Sementara pemuda yang memanggul
tubuh Mei Lie melesat kabur. Karena gerakannya
yang sangat cepat dalam sekejap ia telah berada di luar benteng istana.
Beberapa orang prajurit menggotong Raja
Galih Kertarejasa masuk ke istana. Wajah sang raja tampak pucat, menahan rasa sakit hebat yang
mendera tubuhnya. Napasnya tersengal-sengal seperti hendak lepas dari tenggorokan.
Tubuh Raja Galih Kertarejasa diletakkan di
lantai yang beralaskan permadani. Matanya yang
tadi terpejam kini terbuka. Dipandanginya wajah
Patih Abiyasa, Senapati Saka Bawana, dan Panglima Ganjar Seta satu persatu.
"Kepada kalian aku titipkan keselamatan
kerajaan ini." Dengan napas terengah. Raja Galih Kertarejasa menyampaikan
amanatnya. "Kalau
mungkin Arum dapat ditemukan kembali, segera
nikahkan dia dengan Pangeran Danuwirya! Aku...
tak tahan lagi menahan rasa sakit ini.... Satu lagi pesanku, kalian jemput
putraku Pangeran Pra-mudya.... Dia tinggal bersama Resi Renujelaga di
Gunung Srandil...."
Setelah mengucapkan kata-kata terakhirnya
Raja Galih Kertarejasa menghembuskan napas terakhir. Suasana berkabung melingkupi ruang tengah istana kerajaan. Para prajurit terdiam dengan hati pilu melihat nasib
rajanya yang mengenaskan.
Senapati Saka Bawana, orang nomor satu di
kerajaan yang bertanggung jawab atas keamanan
kerajaan tampak mengerutkan kening. Ada sesuatu yang tengah dipikirkan lelaki gagah itu. Kanjeng Gusti Galih masih memiliki
putra mahkota. Pangeran yang berhak atas tahta kerajaan ini. Senapati Saka
Bawana mengangguk-anggukkan kepala perlahan.
12 Baru beberapa tombak melewati tapal batas
kota, pemuda berpakaian rompi kulit ular yang
memanggul tubuh Mei Lie menghentikan larinya.
Tiba-tiba saja dilihatnya dua orang lelaki menghadang di depannya. Seorang
lelaki muda bertubuh
tambun dengan perut buncit dan kepala botak,
dan seorang pemuda gagah berpakaian kuning.
Mereka tak lain Dogol dan Danuwilapa yang melarikan diri ketika Sena Manggala juga lari menghindar dari amukan para prajurit.
"Kakang Sena...," sapa Dogol sambil tertawa-tawa gembira. Kepalanya digelenggelengkan persis kebiasaan yang dilakukan Pendekar Gila jika tengah melucu. Namun dia bukan menggarukgaruk kepala melainkan perutnya yang buncit.
"Aha... Bagaimana keadaan Nini Mei Lie, Kakang Sena?" tanyanya masih
cengengesan. Diperhatikannya Mei Lie yang terkulai lemas di pundak
Pendekar Gila. Pemuda berpakaian rompi kulit ular yang
masih memegang erat tubuh Mei Lie hanya terdiam. Matanya menatap tajam pada Dogol. Lalu,
beralih pada Danuwilapa yang hanya membisu.
Pemuda berpakaian kuning ini merasakan sesuatu
di dalam hatinya. Timbul rasa curiganya ketika teringat dugaan para tokoh putih
tentang adanya Pendekar Gila samaran.
"Dogol, hati-hati!" ucapnya lirih seraya menggamit pundak Dogol yang gempal.
"Apa maksudmu, Danu?" Dogol menoleh
dengan kening berkerut.
Namun belum sempat Danuwilapa menerangkan tentang kecurigaannya, pemuda berambut ikal dengan pakaian rompi kulit ular telah
mengayunkan kakinya hendak kabur.
"Heaaa...!"
Danuwilapa melompat melancarkan serangan dengan tendangan kaki kanan. Namun, pemuda yang memanggul Mei Lie lebih cepat mengelak. Serangan itu hanya mengenai tempat kosong.
Pendekar Gila segera membalikkan tubuh dan melancarkan serangan balasan.
Plakkk! Danuwilapa terpekik kaget. Walau tangannya berhasil menangkis tendangan lawan tapi sekujur lengannya bergetar dan nyeri bukan main.
Belum sempat ia memperbaiki kedudukan, Pendekar Gila mengibaskan tangan kanan dengan telapak terbuka. Serangan itu hampir saja mengenai
dada Danuwilapa kalau saja pemuda berbaju kuning itu tidak segera menarik tubuhnya ke belakang. Sementara itu Dogol mulai percaya dengan
ucapan Danuwilapa tadi. Ketika dilihatnya Danuwilapa terjungkal terkena tendangan lawan, pemuda bertubuh gendut itu melompat hendak memberikan bantuan. Beberapa ilmu yang pernah dipelajari dari
Pendekar Gila dipergunakannya. Sebuah pukulan
tangannya yang besar dan gempal mendarat di
punggung lawan. Hampir saja mengenai kepala
Mei Lie yang tersampir di pundak pemuda berompi
kulit ular. Namun Dogol merasa kaget ketika lawannya tampak tak bergeming sedikit pun.
"Aha aha aha...!" Pemuda berompi kulit ular tertawa lucu seraya menggelenggelengkan kepala.
"Hei Gembrot, maju! Ayo, maju kalau ingin merasakan bogemku!" bentaknya. Matanya
menatap tajam wajah Dogol yang melangkah mundur beberapa tindak. Ketika itu Danuwilapa telah bangkit berdiri
dengan pedang tergenggam di tangan kanan. Tubuhnya langsung melompat ke depan dan membabatkan pedangnya ke kaki lawan. Dia sengaja
mengarahkan pedangnya ke bawah karena khawatir akan menyambar tubuh Mei Lie.
Tukkk! Danuwilapa tersentak kaget. Pedangnya
yang mendarat di kaki belakang lawan terpental
balik. Ia seperti membabat benda kenyal dan lentur. Ketika lawannya berbalik melakukan serangan, Danuwilapa melompat ke belakang menghindar. Namun ternyata serangan lawan tidak berhenti sampai di situ saja. Dengan wajah penuh kegeraman dia memburu Danuwilapa. Tak dipedulikannya meskipun lawan bersenjata pedang. Suling
yang terselip di pinggangnya dicabut lalu dikebutkan memapaki babatan pedang lawan.
Benturan keras pedang Danuwilapa dengan
suling berkepala naga tak terhindarkan. Danuwilapa terdorong beberapa langkah ke belakang. Sekejap kemudian pemuda berpakaian rompi kulit
ular melesat dan memukulkan sulingnya. Hingga.... Prakkk! Pekikan menyayat terdengar dari mulut Danuwilapa. Pemuda itu terguling dengan kepala pecah terpukul suling berkepala naga milik lawan.
Sebentar tubuhnya menggeliat-geliat menahan rasa sakit, tapi kemudian tewas.
Melihat lawannya tewas, pemuda berompi
kulit ular tertawa-tawa seraya menggelenggelengkan kepala. Sulingnya diselipkan kembali ke pinggang. Namun ketika
teringat akan Dogol, pemuda itu kembali tertawa tergelak. Kali ini lebih keras
dari semula. Dogol tampak gemetar ketakutan. Disadari
benar lawannya bukan tokoh sembarangan.
Mungkin hanya Sena Manggala yang mampu menaklukkannya. "Tapi ke mana Kakang Sena,"
tanya Dogol dalam hati. Pemuda berperut gendut
itu segera melesat kabur karena ketakutan. Badannya yang gempal dan tambun bergoyanggoyang. Dikerahkannya seluruh kemampuan ilmu
meringankan tubuhnya.
Sambil tertawa mengejek, pemuda berompi
kulit ular mengejar Dogol. Dalam sekejap saja ia
berhasil menyusul Dogol. Ditariknya tangan Dogol
yang besar dan gempal.
Dogol yang kaget bukan main menjerit-jerit
ketakutan ketika tangannya diputar. Tubuhnya
berputar di udara bagai kitiran. Ketika pemuda berompi kulit ular melepaskan
pegangannya, melayanglah tubuh tambun Dogol.
"Aaakh...!"
Namun, tiba-tiba saja berkelebat sesosok
bayangan putih yang melesat cepat ke arah melayangnya tubuh Dogol. Dan....
Trap! "Ngekk!"
Sosok bayangan yang ternyata seorang pemuda berpakaian putih berhasil menangkap tubuh
Dogol sebelum terbanting ke tanah.
"Ah ah ah...! Hoi, inikah Pendekar Gila yang tengah diburu-buru oleh KerajaanBumi Segara...?" ujar pemuda berpakaian putih itu sambil tertawa-tawa. Sebentar
kemudian, mulutnya cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Sekilas ketika wajahnya terkena sinar bulan, pe
Pendekar Gila 37 Petaka Seorang Pendekar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
muda berpakaian putih ini tampak mirip dengan
lelaki yang memanggul Mei Lie. "Hi hi hi...! Ternyata kau hanya seorang
pengecut, Sobat," lanjutnya seraya menurunkan tubuh Dogol dari bopongan-nya.
"Tindakanmu bersembunyi-sembunyi seperti siput..."
"Aha, kenapa mesti banyak bacot"! Apa
yang kau inginkan sekarang"!" bentak pemuda berompi kulit ular. Tangannya
menggaruk-garuk kepala. Sama persis dengan yang dilakukan pemuda
berpakaian putih di depannya.
"Kembalikan Putri Sekar Arum yang telah
kau culik!" bentak pemuda berpakaian putih. Tapi, sambil menggaruk-garuk kepala
dan cengengesan.
"Bedebah! Berani mati kau menantangku!
Heaaa...!"
Diiringi bentakan nyaring, pemuda yang
memanggul Mei Lie melesat menerjang pemuda
berpakaian putih. Namun dengan gerakan lemas
pemuda berpakaian putih meliukkan tubuh ke
samping. Tendangan lawan tak mengenai sasaran.
Sementara itu Dogol bergegas menyingkir
dari tempat pertarungan.
Mendapati serangannya gagal, pemuda berompi kulit ular berbalik dan mencabut suling
yang terselip di pinggangnya. Secepat itu pula suling tersebut disabetkan ke
tubuh lawan. Trakkk! Pemuda berpakaian putih tertawa ketika
melihat lawannya sempoyongan. Padahal ia hanya
menangkis serangan itu dengan tangan kosong.
"Hi hi hi...! Keluarkan semua ilmumu. Akan
kuremukkan kepalamu," ejek pemuda berpakaian putih. Mendengar ejekan itu
terbakarlah kemarahan pemuda berompi kulit ular. Tubuh Mei Lie dilemparkan ke tanah. Lalu, ia melompat menerjang
lawan yang masih tertawa-tawa. Sebuah tendangan keras hampir saja menyambar kepala pemuda
berpakaian putih. Beruntung ia segera melompat
ke samping. Namun, ketika mendarat di tanah dengan
sempurna, pemuda berompi kulit ular telah menghentakkan kedua telapak tangannya. Serangkum
api meluncur deras.
"'Inti Brahma'! Heaaa...!"
Wusss! Bersamaan dengan melesatnya api dari tangan pemuda berpakaian rompi kulit ular, pemuda
berpakaian putih berteriak menghentakkan kedua
telapak tangannya pula. Serangkum api pun melesat deras menerjang api yang menuju ke arahnya.
Maka.... Jratsss! Glaarrr...! Ledakan keras yang menggelegar dan memekakkan telinga memecah kesunyian malam.
Hawa panas menyebar di sekitar tempat pertarungan. Pemuda berpakaian rompi kulit ular terjengkang ke belakang dan jatuh bergulingan.
Pemuda berpakaian putih yang menyambuti
serangan lawan tak bergeming sedikit pun dari
tempatnya. Bahkan, dengan cepat dia menyatukan
kedua telapak tangan ke atas kepala. Kemudian,
ditarik sampai ke dada.
"Heaaa...!"
Tubuhnya bergetar hebat ketika kedua tangannya dihentakkan ke depan. Seketika itu pula
hawa di sekitar tempat pertarungan berubah dingin bagai es. Pemuda berpakaian rompi kulit ular mengerang-erang menahan rasa dingin yang menusuk
sampai ke tulang sumsum. Suatu perubahan hawa
yang begitu cepat dan sungguh tak terduga. Kenyataan itu membuat tubuhnya menjadi lemas.
Karena, hawa panas yang tadi melingkupi sekitar
tempat itu tiba-tiba berubah dingin.
"Hi hi hi...! Kenapa kau, Sobat?"
Pemuda berpakaian putih tertawa mengejek. Perlahan tangannya bergerak ke perut hendak
mengambil sesuatu dari ikat pinggangnya. Ternyata dia mengambil sebuah suling berwarna keemasan yang ujungnya berkepala naga. Suling itu sama persis dengan yang dipegang pemuda berpakaian rompi kulit ular.
Suling itu segera dimainkannya. Mula-mula
suaranya mengalun perlahan dan merdu, melantunkan sebuah lagu berirama syahdu yang menggetarkan jiwa. Namun, lama-kelamaan bunyinya
melengking tinggi dan memekakkan telinga. Sulit
untuk diartikan makna yang terkandung di dalamnya. Dalam keadaan tubuh diserang hawa dingin
pemuda berompi kulit ular mendekap kedua telinganya. Sementara itu, tempat pertarungan yang tidak jauh dengan tapal batas Kota Kerajaan Bumi
Segara ternyata telah didatangi berpuluh-puluh
orang. Mereka dengan tegang menyaksikan pertarungan seru dan menarik itu. Tidak hanya para
prajurit yang tadi memburu pemuda berpakaian
rompi kulit ular yang menonton. Banyak di antara
mereka tokoh-tokoh persilatan golongan hitam
maupun putih. Tampak pula dua orang lelaki tua
yang berdiri berdampingan di bawah sebatang pohon besar. Kedua lelaki tua itu tak lain Singo Edan
dan Ki Ageng Mantingan.
"Siapa pemuda berpakaian putih itu...?"
tanya seorang lelaki tinggi besar bercambang bauk yang berdiri bersama empat
orang kawannya.
"Dari mana dia mendapat ilmu yang sama
dengan ilmu Pendekar Gila?" gumam seseorang
yang lain heran.
"Aneh memang. Kedua pemuda itu memiliki
ilmu yang sama. Lihatlah suling yang sedang ditiupnya. Bukankah sama persis dengan milik Pendekar Gila?"
"Iya, ya. Heh" Lihat, Pendekar Gila nampaknya tak mampu lagi menahan siksaan suara
suling itu...!"
"He he he...! Tak ada ampunan lagi kau, Bocah Edan...!" seru yang lain.
Tidak hanya kelima lelaki berwajah bengis
itu yang sibuk memikirkan kedua pendekar yang
tengah bertarung. Hampir semua tokoh yang menyaksikan menggelengkan kepala dan berdecak
kagum melihat kehebatan pemuda berpakaian putih. Mereka hampir tak percaya melihat pemuda
berpakaian putih mampu menyiksa Pendekar Gila
sedemikian rupa.
Sementara itu Singo Edan dan Ki Ageng
Mantingan justru tersenyum-senyum bahagia.
"Bagaimana kalau Sena sampai kalah, Kakang Singo?" tanya Ki Ageng Mantingan tanpa menoleh kepada Singo Edan karena tak
ingin terle- watkan melihat pertarungan itu. Rupanya kedua
orang itu tahu kalau pemuda berbaju putih adalah
Pendekar Gila yang asli.
"Aku terpaksa turun tangan," gumam Singo Edan seraya terus menatap ke arah
pertarungan. "Ah, tapi tak mungkin. Aku yakin Sena akan
mampu mengatasinya. Lihat, si gadungan itu sudah kewalahan menahan siksaan bunyi Suling Naga Sakti milik Sena."
Dogol pun tak ketinggalan menyaksikan
pertarungan itu dengan sungguh-sungguh. Hatinya diliputi ketegangan. Meskipun dia masih merasakan perutnya mual-mual seperti hendak muntah, Dogol berusaha bertahan.
"Untung saja kau datang tepat pada waktunya, Kakang. Hhh.... Hampir aku muntah. Tubuhku diputar dan dipermainkan bagai kitiran...,"
ujar Dogol memandang pemuda berpakaian putih
yang tengah meniup suling. Pemuda gendut itu
pun tahu pemuda berbaju putih adalah Sena yang
asli. Di kancah pertarungan, pemuda berpakaian
putih tiba-tiba menghentikan tiupan sulingnya.
"Ah ah ah..., Sobat, inilah waktunya bagimu
untuk beristirahat. Sepak terjangmu telah membuat banyak orang tersiksa dan ketakutan," ujar pemuda berpakaian putih yang
ternyata Sena Manggala alias Pendekar Gila, murid Singo Edan.
Dipandanginya musuhnya yang terkulai lemas tak
berdaya. Darah merembes keluar dari mata dan telinga pemuda berpakaian rompi kulit ular. Namun
begitu, Sena Manggala tidak berani bertindak gegabah dengan mendekatinya. Nalurinya mencegah
hal itu. Hanya hatinya yang tidak sabar ingin segera mengetahui keadaan Mei Lie, kekasihnya.
Dengan mata masih mengawasi musuhnya,
Sena melangkah ke arah Mei Lie yang tergeletak di tanah, Namun....
Slatsss! Diiringi pekikan keras pemuda berpakaian
rompi kulit ular melompat bangkit. Secepat kilat
sulingnya yang masih tergenggam erat di tangan
kanan disabetkan. Seketika selarik cahaya merah
melesat ke arah Sena Manggala.
Kalau saja Sena Manggala tidak melentingkan tubuhnya niscaya cahaya merah yang mengandung hawa panas itu menerjang tubuhnya. Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara dan
mendarat dengan manis di tanah.
"Hi hi hi...! Siluman macam apa kau ini"
Heaaa...!"
Tanpa pikir panjang lagi, Sena Manggala
mengerahkan ajian 'Tamparan Sukma' yang sangat
ampuh. Tubuhnya melesat seraya memukulkan telapak tangan kanannya ke tubuh lawan.
"Aaakh...!"
"Aaakh...!"
Pekikan keras dan menyayat hati terdengar
dari mulut pemuda berpakaian putih dan Sena
Manggala. Ketika murid Singo Edan itu melancarkan pukulan dengan ajian pamungkas, ternyata
lawan juga berhasil menyarangkan pukulan telak
di dada Sena. Kedua pemuda itu sama-sama terlontar ke belakang.
Pendekar Gila palsu terbanting ke tanah berumput setelah menghantam sebatang pohon besar. Tubuhnya yang terkapar tak berdaya mendadak berubah kehitaman bagai terbakar. Sebentar
kemudian, tubuh itu hancur menjadi debu. Itulah
akibat ajian 'Tamparan Sukma' yang sangat dahsyat. Sementara itu Sena Manggala sendiri terlontar sampai delapan tombak ke
belakang. Setelah
bergulingan beberapa kali tubuhnya langsung terkulai. Kekuatan tenaga dalam yang dikerahkannya
dalam ajian pamungkas tadi sebenarnya tidak
sampai menyebabkan dirinya seperti itu. Tapi ia
menerima pukulan telak lawan yang juga dikerahkan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Sena
tak dapat bertahan lagi.
Para penonton yang menyaksikan kejadian
itu tercengang kaget. Perasaan kagum dan tegang
bercampur menjadi satu. Ada yang bertepuk tangan memberi sambutan meriah. Mereka adalah para prajurit Kerajaan Bumi Segara yang merasa
puas setelah tercekam ketegangan menyaksikan
pertarungan. Tak satu pun di antara para penonton yang
berani mendekati tempat pertarungan. Hingga dua
sosok bayangan melesat dengan kecepatan tinggi.
Satu yang mengenakan jubah putih menyambar
tubuh Mei Lie. Sedangkan yang mengenakan pakaian lurik menyambar tubuh pemuda berpakaian
putih. Dogol yang karena berdiri tak jauh dari
tempat Mei Lie tergeletak dapat melihat kedua sosok itu. Keduanya melesat cepat meninggalkan tempat pertarungan. Dalam sekejap saja sosok-sosok
bayangan yang tak lain Singo Edan dan Ki Ageng
Mantingan hilang dari pandangan.
Tanpa berpikir dua kali Dogol segera melesat mengikuti kedua sosok bayangan yang membawa Mei Lie dan pemuda berpakaian putih.
Para tokoh persilatan pun segera bubar meninggalkan tempat itu. Begitu pula para prajurit
kerajaan. Mereka bersorak-sorai meneriakkan
Pendekar Gila yang telah tewas. Pendekar itu telah hancur menjadi debu! Habislah
riwayat Pendekar
Gila! Dan, mereka tidak tahu kalau yang meninggal itu Pendekar Gila palsu!
Di tengah jalan menuju istana, para prajurit
berpapasan dengan Patih Abiyasa.
"Senapati Saka Bawana....! Kanjeng Putri
Sekar Arum telah kembali!" teriak Patih Abiyasa dengan wajah berseri.
"Heh"!"
Terkejut semua prajurit yang berada di belakang Senapati Saka Bawana mendengar teriakan
Patih Abiyasa. Tak terkecuali Panglima Ganjar Seta dan Senapati Saka Bawana
sendiri. "Ki Lurah Brajanala. Dialah yang menemukan Putri Sekar Arum di sebuah hutan tempat
persembunyian Pendekar Gila!"
Pendekar Gila 37 Petaka Seorang Pendekar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan penuh rasa gembira para prajurit
menggebah kudanya menuju istana kerajaan. Namun tidak demikian halnya dengan Senapati Saka
Bawana. Lelaki setengah baya yang telah sepuluh
tahun menjabat sebagai senapati ini tengah dilanda kekalutan. Raja telah mangkat. Berarti istana
dalam kekosongan kekuasaan. Namun, akhirnya
Senapati Saka Bawana pun menggebah kudanya
menuju istana kerajaan.
Bagaimanakah nasib Pendekar Gila beserta
kekasihnya Mei Lie yang ditolong oleh Singo Edan
dan Ki Ageng Mantingan" Bagaimana pula nasib
Kerajaan Bumi Segara setelah tewasnya Raja Galih
Kertarejasa" Ikuti episode berikutnya dalam:
"Pemberontakan Ki Reksogeni."
SELESAI https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Document Outline
Raja Galih Kertarejasa SELESAI
Suling Pualam Dan Rajawali Terbang 1 Tapak Naga Perkasa Karya Harianto A Fauzi Pendekar Penyebar Maut 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama