Ceritasilat Novel Online

Peti Mati Pendekar Gila 2

Pendekar Gila 31 Peti Mati Untuk Pendekar Gila Bagian 2


yang bersifat keras dan pemarah jadi geram.
"Bangsat! Rupanya Raden Sasakajiwo bersekongkol dengan orang-orang sesat itu! Kita tak bisa lama-lama membiarkan
mereka begitu saja.
Kita harus cepat bertindak!" ucap Bratamurti dengan marah.
"Sabar! Kita dengarkan pembicaraan mereka lebih lengkap...." tahan Prakaspati.
"Ssst...!" Sena mengisyaratkan agar kedua temannya diam.
"Kenapa kalian tidak serahkan Putri Palupi secepatnya padaku"!" tanya Raden
Sasakajiwo yang tampak marah kepada Amangjalu dan Toh
Jenar. "Kau sendiri yang berkata, bahwa sebelum ada perintahmu, putri itu tetap
di markas kami,"
jawab Amangjalu sambil memilin-milin kumisnya
yang tebal. "Tapi keadaan saat ini berubah. Aku khawatir rencanaku diketahui orang-orang Kawilangit!"
tutur Raden Sasakajiwo.
"Kalau begitu biar untuk selamanya putri
ayu itu tetap bersama kami!" sahut Amangjalu cepat. "Kurang ajar! Jaga mulutmu,
Amangjalu! Aku bisa berbuat apa saja untuk meringkusmu,
kalau kau macam-macam!" bentak Raden Sasakajiwo marah.
"Jangan marah dulu, Raden. Kami hanya
berkelakar. Tapi kalau Raden takut semua ini
akan ketahuan, sebaiknya biar putri itu jadi permaisuri saya saja. Ha ha ha!"
sambung Toh Jenar
sambil tertawa-tawa.
"Tutup mulutmu! Kurang ajar! Kalian rupanya hendak melawanku"!" seru Raden Sasakajiwo marah.
"Terserah, apa kata Raden! Yang jelas kami telah mempertaruhkan nyawa untuk
menculik putri ayu itu! Sepantasnya akulah yang memiliki putri itu," jawab
Amangjalu tegas.
"Keterlaluan! Tangkap dia!" perintah Raden Sasakajiwo pada kelima pengawalnya.
Dengan cepat kelima pengawal itu berlompatan menyerang kedua tokoh sakti yang masih
duduk di atas punggung kuda.
"Heaaat...!"
Wat! Wut! Golok dan pedang membabat ke arah
Amangjalu dan Toh Jenar. Namun kedua orang itu
hanya tertawa-tawa sambil mengelak dengan meliukkan tubuh, lalu melompat turun sambil berguling. Dan dalam beberapa gebrakan saja kelima
pengawal itu sudah roboh di tangan Amangjalu
dan Toh Jenar. Melihat kenyataan itu Raden Sasakajiwo
tambah marah. Dia melompat turun dan menantang kedua tokoh sesat itu.
"Rupanya kalian berdua menyebalkan! Terimalah ini! Heat...!" Raden Sasakajiwo melesat cepat menyerang Amangjalu dan
Toh Jenar dengan
keris pusakanya.
Tusukan dan sabetan Raden Sasakajiwo ke
arah Amangjalu dan Toh Jenar dapat dielakkan
dengan mudah. Keduanya dengan cepat menangkis serta menghindar ke samping serta meliukkan tubuh. Raden Sasakajiwo yang
merasa dikhianati
sepertinya ingin segera menghabisi kedua musuhnya. Jurus demi jurus mereka lewati, kedua tokoh sesat itu tampak tenang. Padahal Raden Sasakajiwo berusaha keras untuk dapat mengalahkan mereka. Plak! Plak! "Heaaat...!"
Srett! Srettt! "Hah..."!"
Akhirnya baju Amangjalu tersobek oleh keris Raden Sasakajiwo. Begitu juga Toh Jenar. Keduanya membelalak marah, lalu
dengan serentak
menyerang Raden Sasakajiwo dengan jurus-jurus
aneh. "Terimalah ini! Heaaattt...!" seru Amangjalu.
"Hah..."!" mata Raden Sasakajiwo membelalak melihat senjata rahasia yang
meluncur ke arahnya.
Raja muda itu bersalto ke samping dan berguling ke tanah sambil menangkis dengan
kerisnya. Tring! Tring! "Mampus kau, Raden Bodoh!" seru Toh Jenar. Amangjalu rupanya tak ingin memberi
ke- sempatan pada Raden Sasakajiwo. Dia terus mencecar dengan senjata rahasianya.
Raden Sasakajiwo mulai terdesak dan kewalahan. Satu senjata lawan hampir saja mengenai
kepalanya, kalau saja terlambat menghindar.
Nampak raja muda berwajah tampan itu mulai kecut. Pada saat yang gawat, tiba-tiba...,
"Heaat...!"
Muncul seseorang dengan bersalto di udara
langsung menendang Amangjalu dan Toh Jenar.
Plak! Bukk! "Aaaa...!"
Amangjalu dan Toh Jenar yang tak menduga datangnya serangan dari orang yang berpakaian lurik coklat itu, tak sempat
mengelak. Tubuh mereka seketika terpental ke belakang.
Namun kemudian cepat berdiri dan memasang kuda-kuda.
"Bangsat! Siapa kau"! Ikut campur urusanku. Mau mengantar nyawa juga rupanya!" bentak Amangjalu.
Sementara itu Raden Sasakajiwo yang masih terkesima dengan munculnya lelaki berompi
hanya bisa ternganga.
Pada saat itu Prakaspati melompat dan menotok tubuh Raden Sasakajiwo. Dan cepat membawanya pergi, diikuti oleh Bratamurti.
Melihat itu Amangjalu dan Toh Jenar kaget.
"Hahhh."
Keduanya hendak mengejar Prakaspati yang
membawa Raden Sasakajiwo. Mereka melompat ke
udara. Namun lelaki berompi yang tadi menghajarnya menghadang kedua tokoh sesat itu, dengan pukulan beruntun.
"Hiaaa...!"
Plak! Plakk! "Heaaattt...!"
Namun Amangjalu dan Toh Jenar dapat
menangkis. Ketiganya sejenak bertarung di udara.
Lalu sama-sama turun ke tanah.
Lelaki berompi kulit ular itu ternyata seorang pemuda tampan. Rambut ikal dengan ikat
kepala kulit ular. Di pinggangnya terselip sebuah suling kepala naga. Dengan
cengengesan dan
menggaruk-garuk kepala, menatap ke arah
Amangjalu dan Toh Jenar. Kedua orang itu mengerutkan kening dan kemudian saling pandang.
"Hei! Kenapa kalian tidak menyerangku lagi!" seru pemuda itu sambil cengengesan.
"Tingkah pemuda itu mengingatkan aku pada Pendekar Gila! Mungkinkah dia orangnya"!"
gumam Amangjalu dalam hati.
"Kau telah berani ikut campur urusanku.
Kaukah Pendekar Gila, murid Singo Edan"!" seru Amangjalu dengan suara berat.
"Hi hi hi...! Siapa pun aku terserah kau,
Penculik-penculik Busuk!" sahut pemuda tampan yang tak lain Sena Manggala yang
menyamar dengan pakaian orang desa. Tingkahnya seperti orang gila. "Kurang ajar!
Kau ingin mampus, Anak Mu-da! Heaaa...!"
Amangjalu melancarkan pukulan jarak jauh
yang mengeluarkan secarik sinar api.
Sena melompat ke samping bersalto. Hingga
serangan itu menghantam batu-batu menimbulkan ledakan dahsyat!
Glegarrr! Batu-batu itu hancur berantakan.
"Hi hi hi... hebat juga! Kini terimalah ini!
Haaat...!"
Pendekar Gila dengan gerakan cepat melancarkan serangan balik menggunakan 'Ajian Inti
Bayu'. Tangannya dengan cepat disatukan, lalu direntangkan ke atas sambil
menggerakkan tenaga
dalam alirkan 'Inti Bayu' ke seluruh persendian.
Kemudian ditarik ke bawah dan dihentakkan
hingga mengeluarkan deru angin keras ke arah
Amangjalu dan Toh Jenar. Kedua orang itu tak
sempat mengatasi pukulan itu. Sehingga tubuh
keduanya terlempar ke belakang dan jatuh membentur batu-batu cadas.
"Aaaa...!" pekik panjang keduanya terdengar memecah suasana di lembah itu.
"He he he...! Kalian istirahat di situ. Aku masih banyak urusan!"
Selesai berkata begitu Sena melesat meninggalkan lawannya yang kelenger.
Namun, Amangjalu dan Toh Jenar ternyata
memiliki kekebalan yang luar biasa. Tak ada luka di tubuh mereka, meski
terbentur keras batu cadas. "Bangsat! Aku bersumpah akan membalasnya," ucap
Amangalu geram.
"Hanya Pendekar Gila yang memiliki ilmu
ajian itu," sahut Toh Jenar kemudian.
"Benar, pemuda itu Pendekar Gila! Kurang
ajar! Raden Sasakajiwo menjebak kita! Akan kubunuh dia, sebelum membuat perhitungan dengan
Pendekar Gila! Akan kusiapkan peti mati untuk
Pendekar Gila!" kata Amangjalu penuh dendam, la-lu tangan kanannya menghantam
batu di depan- nya, sebagai pelampiasan amarah.
Prak! Batu itu terbelah dua.
6 Sementara itu Prakaspati dan Bratamurti
yang bersumpah akan menghajar dalang penculik,
hingga mengakibatkan tewasnya Haryo Sasongko,
kini benar-benar melampiaskan kekesalannya.
Atas perintah Raja Balawisesa yang merasa dikhianati, Prakaspati dan Bratamurti menyiksa Raden Sasakajiwo di ruang tahanan.
"Kau manusia tak tahu budi dan tak tahu
diri! Karena kau, Kakang Haryo harus gugur di
tangan para begal keparat itu! Kini kau rasakan akibatnya...!" seru Bratamurti
yang penuh dendam. Menghajar Raden Sasakajiwo.
Bluk! Plak! Plak! "Ukh.... Aaakh... Ampun...! Aku memang
bersalah, tapi berilah aku kesempatan untuk bica-ra...!" pinta Raden Sasakajiwo
dengan suara lemah. Wajahnya sudah penuh dengan darah dan
benjol-benjol. Prakaspati yang lebih memiliki kesabaran
menahan Bratamurti yang berwatak keras dan cepat marah. "Tahan!" perintah Prakaspati pada Bratamurti, "Biarkan dia bicara. Apa maunya. Mungkin dia bisa memberikan petunjuk
untuk kita di mana sarang Amangjalu dan Toh Jenar...."
"Ayo bicara! Kenapa kau sendiri yang mempunyai rencana busuk itu..."! Jawab dengan benar! Kalau tidak aku dapat membunuhmu kapan
saja!" seru Bratamurti sambil mencengkeram pipi Raden Sasakajiwo. Lalu
melepasnya dengan kasar.
"Aku bersalah..., maafkan aku...!" kata Raden Sasakajiwo dengan suara serak dan
lemah. "Aku tidak butuh minta maafmu! Aku inginkan jawaban. Kenapa kau punya rencana buruk itu...!" bentak Bratamurti sambil menampar keras pipi Raden Sasakajiwo.
Ketika Bratamurti
ingin menampar lagi, Prakaspati cepat menahannya. "Beri dia kesempatan berpikir dan bicara la-gi!" kata Prakaspati pada
Bratamurti. Sesaat hening. Bratamurti nampak benarbenar benci dengan Raden Sasakajiwo yang
mengkhianati Raja Balawisesa.
"Sebenarnya rencana itu memang usulku.
Tapi kemudian niat itu kuurungkan. Namun
Amangjalu yang sudah kuundang untuk bekerja
sama, mengancam akan memberitakan rencanaku, jika rencana itu kubatalkan. Maka... akhirnya rencana itu berlanjut...,"
tutur Raden Sasakajiwo memberi penjelasan.
"Kenapa kau tega mengkhianati Raja Balawisesa yang telah mempercayaimu" Apa sebenarnya yang terkandung di otakmu..."!" tanya Bratamurti dengan geram sambil
menuding muka Raden Sasakajiwo yang sudah babak belur itu.
"Kau sendiri yang mencari penyakit, Raden!"
tambah Prakaspati, "Aku heran seorang Raden berpikiran picik seperti itu. Tak
pantas gelar Raden itu kau sandang. Memalukan...! Sekarang cepat
katakan, apa tujuanmu menculik Putri Palupi
yang akan menjadi permaisurimu...!"
Raden Sasakajiwo perlahan mengangkat
kepalanya dengan napas terengah-engah. Mulutnya meringis menahan rasa perih dan sakit pada
wajahnya yang luka, karena hantaman Bratamurti
tadi. "Sekali lagi, maafkan aku...! Aku memang orang gila! Menculik calon
permaisuriku. Itu sema-ta-mata hanya karena aku ingin mengacaukan
keadaan Kerajaan Kawilangit. Karena aku merencanakan untuk menguasai Kerajaan Kawilangit ini, jika semua senapati mati di
tangan Amangjalu dan Toh Jenar. Terus terang, aku mempunyai perjanjian pada
kedua orang itu.... Kini kalau kalian mau membunuhku, cepatlah. Bunuh!" ucap
Raden Sasakajiwo lemah. Lalu kepalanya menunduk lagi.
Kedua tangannya yang terikat nampak di pergelangannya mulai terluka oleh besi pengikat.
Prakaspati menghela napas dalam-dalam.
Lalu berjalan mondar-mandir. Sedangkan Bratamurti memandang geram pada Raden Sasakajiwo.
"Aku harus membunuh manusia licik ini!
Demi membalas dendam untuk kematian Kakang
Haryo Sasongko...," gumam Bratamurti dalam hati.
Perlahan dia mencabut keris di pinggangnya.


Pendekar Gila 31 Peti Mati Untuk Pendekar Gila di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Srettt! Prakaspati tersentak kaget melihat Bratamurti yang sudah mengangkat keris, akan ditusukkan ke kepala Raden Sasakajiwo. Cepat Prakaspati menendang tangan Bratamurti yang hendak mengayunkan kerisnya.
Plakk! Keris Bratamurti terjatuh. Bratamurti kaget
dan marah pada Prakaspati.
"Kenapa kau halangi aku membunuh
pengkhianat ini..."! Apa kau berpihak padanya...!"
suara Bratamurti keras. Wajahnya merah padam
menahan amarah.
Pada saat itu muncul Pendekar Gila diantar
oleh Ki Rasito. Sena menggaruk-garuk kepala dan cengar-cengir melihat keadaan
Raden Sasakajiwo.
Lalu memandangi Bratamurti dan Prakaspati.
Ki Rasito mengerutkan kening begitu melihat keris di lantai ruangan itu. Dipungutnya keris itu. Diperhatikan sejenak.
Lalu memberikan pada Bratamurti. Orang tua itu sudah hafal milik siapa keris
tadi. "Aku sudah berpesan, hilangkan rasa dendam dan amarahmu, Bratamurti. Dengan kesabaran mungkin kita akan mendapat sesuatu yang lebih berharga...," ucap Ki Rasito kalem.
"Benar kata Ki Rasito. Dan kita tak boleh
berbuat sekehendak hati pada orang ini. Aku tahu dia bersalah. Apa pun alasannya
dia tetap bersalah," tambah Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya menatap Raden Sasakajiwo yang menunduk lemah. "Apa dia sudah mengatakan untuk apa berbuat itu...?" tanya Ki Rasito dan Prakaspati.
Prakaspati tak langsung menjawab. Dia
memandang Bratamurti yang nampak menyesal
dengan amarahnya itu. Lalu menarik napas dalam-dalam. Baru berkata, "Menurut pengakuannya, hanya ingin menguasai Kerajaan
Kawilangit. Dan mendapat ancaman Amangjalu dan Toh Jenar...." "Huh! Edan!" gumam Ki Rasito, sambil berbalik membelakangi mereka,
"Bukan itu saja. Dia ingin menguasai Kitab Sapu Jagad, yang langka
dan sangat diinginkan tokoh-tokoh persilatan. Padahal kitab itu sudah hilang
sekian tahun lamanya. Entah siapa yang mencurinya...," tutur Ki Rasito melanjutkan ucapannya.
Prakaspati dan Bratamurti merasa kaget
dan saling pandang. Namun Sena hanya cengengesan sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Ki Rasito membalikkan badannya lagi
menghadap mereka, dengan kedua tangan dilipat
ke belakang. Dipandanginya Raden Sasakajiwo.
"Bagaimana pendapatmu, Sena?" tanya Ki Rasito pada Pendekar Gila.
"Hi hi hi...! Kita harus bergerak cepat. Sebelum orang-orang jahat itu menyerang
kemari. Yang kita perlukan jalan menuju markas Amangjalu dan Toh Jenar!" jawab
Sena dengan tenang. "Maka kita perlu petunjuk. Dan yang tahu seluk-beluk keadaan
markas tokoh sesat itu, dia...," katanya lagi sambil menunjuk Raden Sasakajiwo.
Prakaspati dan Bratamurti tersentak dan
saling pandang. Sementara Ki Rasito menganggukanggukkan kepala.
"Jadi maksud Tuan Pendekar, orang ini kita lepas...?" tanya Bratamurti ingin
tahu maksud Se-na.
"Ya! Sebab aku dengar jalan menuju markas
Amangjalu banyak jebakan yang sangat berbahaya
bagi kita...," jawab Sena dengan santai sambil menggaruk-garuk kepala, lalu
cengengesan. "Tapi, bagaimana kalau orang ini melarikan diri...?" sahut Prakaspati. "Atau
menipu dan menjebak kita lagi...?"
"Itu urusan nanti. Yang jelas, kalau dia macam-macam, aku pun tak akan
memberinya am- pun," sahut Sena mantap. Lalu kembali cengengesan. "Sebaiknya kita buat
perjanjian dengan dia...," Ki Rasito memberi saran, "Tanya dia baik-baik, mau
membantu, atau mati!"
Prakaspati memberikan isyarat pada Bratamurti, agar bicara dengan Raden Sasakajiwo,
yang nampak sudah makin lemah, karena darah
terus mengucur dari luka-lukanya.
"Kami masih memberikan pengampunan, jika kau bersedia membantu kami, menjadi petunjuk jalan ke markas Amangjalu...," kata Bratamurti sambil mendongakkan muka
Raden Sasakajiwo.
Dengan tangan kirinya.
Wajah Raden Sasakajiwo yang tampan, kini
nampak masak. Mata kirinya bengkak, akibat pukulan Bratamurti. Raja muda itu tak mau menjawab. Melihat itu Sena segera mendekati dan bicara dengan nada kalem, agak lembut
"Kami sangat membutuhkan bantuanmu.
Dengan bantuanmu, kami dapat menyelamatkan
Putri Palupi. Tentunya kau juga ingin Putri Palupi selamat, bukan...?" bujuk
Sena. Mendengar nama Palupi, perlahan-lahan
mata Raden Sasakajiwo melirik ke arah Sena. Lalu pada Ki Rasito. Kemudian
kembali ia menundukkan kepala. Nampaknya dia sudah tak kuat lamalama menegakkan kepalanya.
"Lepaskan ikatannya. Cepat!" perintah Ki Rasito pada Prakaspati dan Bratamurti.
Segera kedua orang senapati itu melepaskan ikatan tangan Raden Sasakajiwo. Keduanya kemudian membantu Raden Sasakajiwo duduk di lantai. Lelaki itu masih lemas dan terkulai.
Sena segera menotok bagian-bagian tertentu, untuk memulihkan keadaan tubuhnya. Tak beberapa
lama Raden Sasakajiwo mulai nampak agak sehat,
wajahnya mulai kelihatan tak pucat lagi.
Dipandanginya mereka semua, lalu terhenti
pada Bratamurti yang tadi menghajarnya. Namun
tak nampak rasa dendam di wajah Raden Sasakajiwo. Hatinya mulai sadar. Selama ini perbuatannya salah. Dan dia rupanya ingin
menebus segala kecurangan dan kebusukan hatinya.
"Kukira aku sudah mati. Siapa yang menyelamatkanku...?" tanya Raden Sasakajiwo kemudian dengan memandang keempat orang
yang ada di depannya. Ki Rasito menoleh pada Sena yang nampak
tenang dan menggaruk-garuk kepala sambil cengengesan. "Dialah yang menyelamatkanmu, Raden,"
jawab Ki Rasito penuh wibawa.
Raden Sasakajiwo, mengerutkan kening,
menatap Sena. Lalu manggut-manggut lemah.
"Ya..., aku ingat. Pemuda itu yang datang
bersamamu beberapa hari yang lalu, Ki...," ujar Raden Sasakajiwo pada Ki Rasito.
"Ya. Dialah Sena Manggala atau Pendekar
Gila, yang pernah Raden tanyakan dulu, ketika
Raden menginginkan bantuan. Karena Kerajaan
Candra Mulia itu diserang tokoh-tokoh sesat, termasuk Amangjalu," tutur Ki
Rasito menjelaskan.
"Hah"!" tersentak Raden Sasakajiwo mendengar penjelasan Ki Rasito itu," Oh...
aku malu, Ki. Terima kasih, Tuan Pendekar, kau telah me-nyelamatkanku. Aku...,
aku berjanji akan membantu kalian pergi ke markas Amangjalu. Dan
akan kupertaruhkan jiwa ragaku, untuk membawa
Putri Palupi, calon permaisuriku itu...," tekad Raden Sasakajiwo dengan nada
tegas. "Mudah-mudahan janjimu tak kau ingkari,
Raden. Saat inilah kesempatan untuk membersihkan namamu yang sudah kotor. Karena hasutan
Amangjalu itu...," ucap Ki Rasito kemudian, dengan nada menyindir.
"Aku berjanji, bersumpah akan membunuh
Amangjalu yang berbuat curang, khianat padaku...!" terdengar nada penuh dendam dari mulut Sasakajiwo.
"Kalau begitu, sebaiknya kalian cepat berangkat. Tak perlu menangguhkan lebih lama lagi.
Biar nanti aku yang memberitahu raja...," kata Ki Rasito penuh wibawa. "Ingat,
kalian harus patuh terhadap Pendekar Gila. Jangan ceroboh!"
"Baik, Ki," jawab Prakaspati dan Bratamurti berbarengan.
"Raden, maafkan atas kekasaran saya...,"
kata Bratamurti pada Raden Sasakajiwo.
"Saat ini tak ada yang perlu dimaafkan. Aku menerima semua itu. Karena aku
bersalah," jawab Raden Sasakajiwo polos. Lalu keduanya bersala-man.
*** Tak lama kemudian Pendekar Gila dan ketiga temannya sudah berada di dekat Hutan Galasetra. Sejenak mereka berhenti. Mata ketiganya, menyapu sekeliling tempat itu.
Sena yang berada paling depan di antara Raden Sasakajiwo dan Prakaspati, nampak
cengar-cengir. Kemudian menggaruk-garuk kepala.
"Apakah kita harus memasuki hutan itu,
agar lebih cepat pada tujuan...?" tanya Sena pada Raden Sasakajiwo.
"Tidak, sebaiknya kita lewat pinggir hutan, terus menyeberangi sungai. Itu jalan
yang paling cepat dan jauh dari bahaya," jawab Raden Sasakajiwo. Sambil menunjuk
ke arah selatan hutan.
Prakaspati saling pandang dengan Sena. Lalu Sena menganggukkan kepala. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan.
Sena berlari dengan cepat, diikuti Raden
Sasakajiwo yang berlari di sisinya, kemudian Prakaspati dan Bratamurti.
Kini mereka sudah sampai di tepi sungai di
pinggiran Hutan Galasetra. Sungai itu cukup besar, arusnya deras, berkelok-kelok bagai seekor ular raksasa. Tak ada perahu
atau rakit di situ.
Sena menggaruk-garuk kepala dengan mulut cengengesan
"Rupanya kita harus menyeberangi sungai
ini. Tapi tak mungkin. Arusnya terlalu deras, dan mungkin dalam...," kata
Prakaspati menyeletuk.
Matanya terus menyapu sekeliling tempat itu.
"Tidak. Sungai ini tak begitu dalam, hanya sebatas pinggang. Ayolah, hari sudah
sore...!" ajak Raden Sasakajiwo, lalu dia segera memasukkan
kakinya ke air. Diikuti Prakaspati dan Bratamurti.
Sedangkan Sena masih menggaruk-garuk kepala
memandangi sekeliling sungai. Kalau saja Pendekar Gila mau dengan mudah dia berjalan di atas
air sungai itu dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Namun rupanya Pendekar Gila mempunyai firasat. Dia merasakan
adanya sesuatu yang membahayakan di tempat
itu. Benar juga dugaan Sena. Baru saja ketiga
temannya setombak dari daratan, tiba-tiba muncul manusia-manusia dari dalam air
sungai yang tak
begitu jernih. Mereka menghadang ketiga temannya. Delapan orang berkepala botak dan bermuka
hitam, tanpa baju, hanya memakai cawat dari kulit binatang, telah mengurung
Raden Sasakajiwo,
Prakaspati, dan Bratamurti. Dan dengan cepat mereka melancarkan serangan. Terjadi pertarungan di sungai. Melihat itu Sena
sengaja tak bereaksi.
Dia seakan ingin melihat sampai di mana kehebatan dua Senapati Kawilangit dan Raden Sasakajiwo. Prakaspati dengan gerakan cepat membabatkan kerisnya ke tubuh lawan. Begitu juga Bratamurti dan Raden Sasakajiwo.
Pertarungan mulamula cukup seimbang. Delapan lawan tiga. Namun
rupanya kedelapan orang botak bermuka hitam itu lebih menguasai medan air yang
arusnya deras. Hingga pada kesempatan yang kurang menguntungkan, Raden Sasakajiwo terdesak dan dikeroyok dua orang.
Wut! wut! Blukk! "Aaaa...!" Raden Sasakajiwo terpekik kesakitan. Melihat itu Prakaspati bermaksud
meno- longnya. Namun tiba-tiba seorang dari lawannya
telah mengetahui dan seketika menghajar Prakaspati. Dengan gerakan yang sukar dilihat mata,
Pendekar Gila melompat. Bagai berjalan di tanah, dengan tendangan dan pukulan
dia menghajar sa-tu persatu kedelapan orang botak, penghuni sungai itu. Wesss! Wasss! Plakk! Bukkk! "Aaaakh...!"
"Aaaauuu...!"
Pekik dan jerit kedelapan orang botak itu
terdengar bersahutan, disusul tubuh mereka ambruk ke air. Tak bergerak lagi.
Air sungai yang tadinya keruh kecoklatan
kini berubah kemerahan. Darah mengalir bercampur air sungai. Entah dengan senjata apa Pendekar Gila menghajar mereka. Hingga kedelapan lelaki botak terluka dan mati. Tubuh mereka terapung di air sungai itu. Terbawa arus.
Raden Sasakajiwo dan Prakaspati serta Bratamurti terbengong-bengong melihat kehebatan il-mu yang dimiliki Pendekar Gila.
Ketiganya menggeleng-gelengkan kepala, kagum.
"Gila! Benar-benar aku baru menyaksikan
kehebatan pendekar kondang yang disegani kawan
maupun lawan itu...," gumam Prakaspati.
"Terima kasih, kau telah menyelematkan
kami bertiga...," kata Raden Sasakajiwo, setelah sampai di seberang sungai.
Sena hanya cengengesan dan menggarukgaruk kepala. "Kita tak boleh lama-lama di sini. Ayo, cepat kita tinggalkan tempat ini!" ajak
Sena tegas, "Sekarang arah kita ke mana...?" tanyanya pada Raden Sasakajiwo.
"Kita ke arah sana...," jawab Raden Sasakajiwo, "Biar aku yang berada di depan.
Mari...!" Keempatnya segera beranjak dari tempat
itu. Di sungai mayat-mayat kedelapan lelaki botak sebagian masih terlihat
mengapung terbawa arus.
*** Setelah sampai di suatu tempat dekat daerah kekuasaan Amangjalu dan Toh Jenar, Raden
Sasakajiwo memberikan isyarat dengan tangan

Pendekar Gila 31 Peti Mati Untuk Pendekar Gila di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya. Seketika mereka berhenti.
"Sebaiknya kita berpencar. Markas mereka
di kaki bukit itu," ujar Raden Sasakajiwo, sambil menunjuk ke satu arah. "Tapi
ingat, jika nanti menemukan telaga. Jangan menyeberangi. Ambil jalan lewat pinggir telaga di sebelah selatan! Ada jalan di lereng bukit sana.
Memang cukup terjal, tapi hanya itulah satu-satunya jalan yang paling aman untuk
menghindari ranjau atau jebakan."
Sena hanya menggaruk-garuk kepala dan
tertawa-tawa kecil. Namun mata dan pendengarannya yang sangat tajam selalu dipasang.
Zing! Zing! Zing!
Tiba-tiba puluhan anak panah meluncur ke
arah mereka. "Awas...!" seru Sena sambil melompat dan bersalto mengelakkan panah-panah yang
meluncur deras ke arahnya. Begitu juga ketiga rekannya.
"Aaaa...!"
Bratamurti terpekik kesakitan, lalu roboh.
Rupanya dia terlambat bergerak mengelak. Pahanya tertancap satu anak panah. Darah tampak
mengucur deras dari paha kananya.
Sementara itu Prakaspati dan Raden Sasakajiwo terus berjumpalitan menghindari anak panah itu.
Pendekar Gila, melesat ke arah semaksemak belukar, di situ ternyata orang-orang
Amangjalu bersembunyi. Dan tanpa membuangbuang waktu, Sena menghajar pemanah-pemanah
liar itu dengan pukulan saktinya, menggunakan
ajian 'Inti Brahma'. Dari telapak tangannya mengeluarkan api yang sulit
dipadamkan membentuk
bola api. Api itu langsung membakar orang-orang
yang masih memegangi busur panah. Jerit dan teriakan terdengar dari mereka. Tubuh mereka terbakar oleh api 'Inti Brahma' Pendekar Gila. Kelima pemanah itu bergulingan dan
ada yang berlari
mencari air untuk memadamkan api yang terus
melalap membakar tubuh. Namun tak ada sungai
atau air di situ. Akhirnya kelima orang yang ternyata anak buah Amangjalu itu
mati dengan tubuh hangus. Raden Sasakajiwo dan Prakaspati kembali
terbengong dan kagum. Pendekar Gila kemudian
cepat menghampiri Bratamurti yang terkena sasaran anak panah.
"Cepat rebahkan tubuhmu...!" perintah Se-na pada Bratamurti. "Bantu aku...!"
kata Sena pa-da Prakaspati dan Raden Sasakajiwo.
Sena segera membaca mantera dengan sikap seperti sedang sembahyang. Sesaat kemudian
dari kedua telapak tangannya keluar asap. Sambil terus merapal mantera, Pendekar
Gila mengu-sapkan kedua telapak tangan pada paha Bratamurti yang terluka.
"Cabut anak panah itu, cepat!" perintah Se-na kemudian. Raden Sasakajiwo segera
mencabut anak panah dengan ragu.
Crap! "Aaaakh...!"
Bratamurti menjerit. Lalu lemas dan pingsan. "Setelah dia sadar, semua akan beres. Kita tunggu saja!" kata Sena yang
kini seluruh tubuhnya dibasahi keringat. Sebab, tadi dia mengumpulkan seluruh tenaga dalamnya, untuk menyelamatkan nyawa Bratamurti.
"Anak panah itu beracun...," ucap Sena sambil mengambil anak panah dari tangan
Raden Sasakajiwo, dan cepat Pendekar Gila melemparkan ke arah batang pohon.
Jlep! Beberapa saat kemudian batang pohon itu
tampak mengering. Aneh memang. Tapi itulah kenyataannya. Prakaspati dan Raden Sasakajiwo
terheran-heran dan ngeri. Keduanya menghela napas panjang. Lalu memandang ke arah Bratamurti
yang masih pingsan.
"Apakah dia akan selamat...?" tanya Prakaspati mengkhawatirkan saudara
seperguruan- nya yang masih belum sadar itu.
Sena hanya menganggukkan kepala. Lalu
menggaruk-garuk kepala.
7 Pagi kembali hadir, sinar mentari yang cerah menyinari bumi. Sena dan ketiga temannya
sudah kembali bergerak menuju markas Amangjalu. Raden Sasakajiwo berada di depan bersama
Sena, sedangkan Prakaspati dan Bratamurti di belakang mereka.
"Di balik hutan itu kita sudah sampai tela-ga. Biarlah aku menyelidiki dulu
keadaan, kalian tunggu di sini...!" kata Raden Sasakajiwo tiba-tiba sambil
menghentikan langkah.
Sena dan kedua temannya mengerutkan
kening, sedikit curiga pada rencana Raden Sasakajiwo. Prakaspati dan Bratamurti
saling pandang.
"Sebaiknya kita bersama-sama menyelidiki.
Kami khawatir akan keselamatan Raden," kata Prakaspati.
"Betul. Apakah kau yakin di depan sana
keadaan aman...?" tanya Sena cengengesan. Lalu menggaruk-garuk kepala dan
bertingkah konyol.
Ketiga orang temannya merasa heran dan
geli melihat tingkah Pendekar Gila yang persis orang gila. Namun ketiganya
mengerti dan tak berani tertawa.
"Jangan khawatirkan aku! Aku telah berjanji, jiwa raga kupertaruhkan untuk menyelamatkan Palupi. Aku sudah pasrah," kata
Raden Sasakajiwo sambil terus hendak melangkah pergi.
"Tunggu...!" seru Bratamurti.
Raden Sasakajiwo menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang.
"Biar aku menemanimu, Raden! Aku pun
sudah lama menanam dendam pada manusia keparat itu!" ujar Bratamurti kemudian. Lalu melangkah ke arah Raden Sasakajiwo.
Prakaspati sebenarnya hendak melarangnya, tapi Sena cepat berkata,
"Biarlah Bratamurti menemaninya! Kita
amati dari jauh...."
Bratamurti dan Raden Sasakajiwo segera
melesat pergi ketika Sena memberi isyarat dengan menganggukkan kepala. "Hatihati! Jangan ceroboh, Bratamurti...!" seru Sena memperingatkan Bratamurti yang
memiliki sifat pemarah.
Pendekar Gila pun segera pergi mengikuti
kedua temannya secara diam-diam diikuti Prakaspati. Sena memberi isyarat agar Prakaspati segera memanjat pohon, untuk melihat
keadaan dari atas. Agar lebih jelas. Prakaspati dengan cepat memanjat pohon, gerakannya cepat
bagai seekor kera. Sena tersenyum melihat kemampuan Prakaspati. Pendekar Gila kemudian melesat cepat ke
satu arah. Menerobos semak belukar di antara pepohonan hutan itu begitu
mudahnya, bagaikan
berlari di jalan lapang saja.
Swing! Swing! Swing!
Suatu benda segitiga warna hitam meluncur
deras ke arah Sena. Namun Sena yang memiliki
indera keenam sangat peka, segera tanggap. Tubuhnya langsung bersalto dan melompat zikzak,
bagai seekor tupai, dari pohon satu ke pohon lain.
Dan pada saat yang tepat, secepat kilat
Pendekar Gila melancarkan serangan balik dengan menggunakan pukulan jarak jauh
yang dahsyat. Dari pukulan itu secarik sinar mengandung hawa
panas menghantam ke arah lawan yang bersembunyi di balik pepohonan rindang.
Crats! Glarrr! Glarrr!
"Aaaaww...!"
Seketika terdengar jeritan panjang dari
orang-orang yang bersembunyi di balik pohon itu.
Tampak berjatuhan empat sosok tubuh berpakaian serba putih dengan ikat kepala hitam. Semuanya seketika tewas.
Sena menghela napas panjang dan menggeleng-geleng kepala. Matanya memandangi keempat
mayat orang tak dikenal itu.
"Ha ha ha...! Hebat kau Pendekar Gila! Sama seperti gurumu si Singo Edan itu. Beberapa
tahun lalu aku pernah bentrok dengan gurumu,
Anak Muda...! He he he...!" seru seseorang yang ti-ba-tiba melompat dari atas
pohon dan mendarat
dengan mantap di hadapan Pendekar Gila.
"Aha, kau rupanya yang bernama Toh Jenar. Aku pasti tidak salah terka...!" ujar Sena dengan cengengesan dan
bertingkah seperti orang
sinting. "Kau memang pandai menerka. Memang
akulah Toh Jenar, penguasa daerah yang penuh
warisan nenek moyang ini. Dan, kau perlu tahu,
kakangku sudah menyiapkan peti mati untukmu
Pendekar Gila...! Ha ha ha...," ujar Toh Jenar bangga, lalu memberi perintah
pada kelima anak
buahnya yang bersembunyi di atas pohon.
Berloncatan kelima orang bertubuh cebol
dan bermuka seram. Mereka seperti anak yang baru berumur tiga tahunan. Kelimanya menurunkan
peti mati, terbuat dari kayu jati. Ujung-ujung peti
mati itu diikat tali. Dengan tali itu kelima orang cebol menurunkan peti mati
dari atas pohon. Tentunya kelima orang cebol itu juga memiliki ilmu yang cukup
tangguh. Tak boleh di-anggap remeh.
Pendekar Gila mengerutkan kening. Kemudian tertawa-tawa sendiri sambil menggaruk-garuk kepala dan bertingkah laku
aneh, seperti orang gi-la.
"Hi hi hi... lucu! Lucu sekali kau ini, Manusia Buruk...!" ejek Sena seenaknya.
Lalu menepuk-nepuk pantatnya.
"Kurang ajar, dasar pemuda gila...! Kau boleh tertawa untuk sesaat, Pendekar
Gila. Tapi sebentar lagi kau akan mampus! Serang! Cincang
dia...!" perintah Toh Jenar pada kelima orang cebol bermuka seram itu.
Seketika kelima orang cebol itu berlompatan
bagai seekor kucing menerkam mangsanya.
Serangan itu begitu cepat dan ganas. Secara
bersamaan kelima orang cebol itu bergerak dengan cakar-cakar tangannya yang
ternyata mengandung
racun. "Hah"! Jurus Cakar Tengkorak...!" gumam Sena sambil mengelak dengan
berjumpalitan ke
udara beberapa kali. Karena kelima orang cebol itu terus mencecarnya, tak
memberikan kesempatan.
Sementara itu Toh Jenar, mengawasi dengan tajam setiap gerak-gerik Pendekar
Gila. Pendekar Gila kemudian menggunakan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Tubuhnya meliuk-liuk menari dengan sesekali
tangannya menepuk. Tepukan tangannya yang kelihatan lamban
dan lemah, kalau mendarat di dada lawan dapat
meninggalkan bekas.
"Heaaa...!"
"Auugg...!" suara kelima orang cebol itu mengaung panjang seperti kucing.
Menyakitkan telinga. Mereka terus mencecar Pendekar Gila secara bergantian.
Serangan mereka terkadang mengarah
ke kaki, lalu berobah cepat ke bagian kepala atau dada. Membuat Sena agak
kewalahan. Tubuhnya
terus meliuk-liuk sambil sesekali tangannya menepuk dada lawan. Dan pada kesempatan yang
bagus, Sena berhasil melancarkan serangannya.
Tepukan tangan kanannya tepat mengenai dada
salah satu cebol.
Plak! "Eeaaa...!" cebol yang terkena tepukan Sena menjerit aneh. Lalu tubuhnya
terpental jauh membentur pohon. Dadanya hangus.
Melihat kawannya terluka, keempat cebol
lain semakin ganas menyerang Sena. Kali ini serangan mereka semakin cepat, sambil berputar
mengelilingi Pendekar Gila, bagai kumbang akan
menyengat mangsanya. Keempatnya melejit ke
udara dan melancarkan serangan. Dari telapak
tangan mereka mengeluarkan jala terbuat dari kulit pohon berduri. Pendekar Gila
seketika terkurung dalam jala itu.
"Kali ini kau akan mampus, Pendekar Gila...!" seru Toh Jenar dengan tertawa-tawa gembira, melihat Sena terkurung dalam
jala si cebol. "Habisi dia...!" perintahnya kemudian dengan suara keras.
Namun baru saja keempat cebol akan menyerang dengan senjata berupa kapak, sesosok
bayangan berkelebat. Cepat menghantam keempat
cebol, dengan sabetan kerisnya.
Cras! Cras! Cras!
"Waaa...!" jeritan keras terdengar seketika dari keempat orang cebol itu.
Pada saat itu Pendekar Gila berusaha keluar dari jala berduri, sambil mengerahkan ajian
'Inti Brahma'. Seketika jala-jala itu terbakar dan Sena cepat melompat keluar.
"Terima kasih Prakaspati...," ucap Sena, lalu melesat ke arah Toh Jenar yang
terkesima menyaksikan keempat cebol terjungkal dan terkapar tewas. Tak ayal
lagi, tendangan kaki kanan Pendekar Gila mendarat tepat di kepala Toh Jenar.
Seketika tubuh Toh Jenar melintir dan terhuyung ke
belakang. Sementara itu Prakaspati mengamati keempat cebol yang terbabat kerisnya. Aneh, seorang dari keempat cebol itu ternyata
masih hidup. Dengan cepat bangkit menyerang Prakaspati yang tak menyangka sama
sekali. "Auungg...!" si manusia cebol mengaung keras dan melompat bagai kucing hutan,
menerkam kepala Prakaspati. Untung Prakaspati cepat merundukkan kepala ketika mendengar teriakan
aneh. Hingga manusia cebol berwajah seram dan
kepala besar itu tersuruk ke tanah. Dengan cepat Prakaspati melompat dan
menghujamkan keris ke
dada cebol yang masih telentang di tanah. Seketika


Pendekar Gila 31 Peti Mati Untuk Pendekar Gila di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyawa manusia cebol melayang setelah mengaung
lirih Sementara itu Pendekar Gila kini saling adu ilmu dengan Toh Jenar yang
ternyata memiliki il-mu tinggi. Kalau saja bukan Toh Jenar yang terkena tendangan maut Sena, tentunya sudah tewas
sejak tadi. "Kau boleh bangga dapat mengalahkan
orang-orangku. Tapi kalian berdua tak akan bisa menangkapku, apalagi membunuhku.
Ha ha ha...! Heaaa...!"
Sambil tertawa terbahak Toh Jenar melompat mundur. Kakinya ditekuk berlutut, dengan
tangan menyilang di dada. Mulut lelaki berwajah buruk itu tampak berkomat-kamit
merapal suatu mantera, sementara matanya terpejam rapat. Tak
berapa lama mengepul asap hitam bergulunggulung mengangkasa. Perlahan-lahan tampak perubahan di tubuh Toh Jenar. Bersamaan dengan
hilangnya tubuh Toh Jenar, seketika dari asap
tebal itu menjelma sesosok tubuh yang mengerikan. Tinggi besar, dan hampir seluruh tubuhnya
tertutup bulu lebat seperti manusia kera. Rambutnya yang tak beraturan, panjang
melewati pung- gung. Gigi-giginya panjang dan runcing.
"Ilmu Iblis!" gumam Sena, "Rupanya ia menganut ilmu Siluman Kera Iblis. Hingga
dapat mengubah wujudnya, menjadi manusia berkepala
kera iblis."
Prakaspati tersentak kaget dan mundur beberapa langkah sambil memasang kuda-kuda. Keris di tangan kanannya menghunus ke depan.
"Haaaung...!"
Suara jelmaan Toh Jenar itu terdengar keras, menggema. Tubuhnya melesat menyerang
Pendekar Gila. Namun bersamaan dengan itu Pendekar Gila sudah siap memapaki, dengan ajian
'Tamparan Sukma'. Sebuah ilmu yang mampu meleburkan segala macam siluman atau jin dan setan belang. "Heaaa...!"
Jgarrr! Terdengar ledakan dahsyat, tatkala kedua
orang itu bertemu di udara mengadu tenaga. Keduanya terpental mundur ke belakang dengan
keadaan yang sama. Toh Jenar yang merubah wujudnya menjadi manusia bermuka mirip kera terpelanting roboh dengan keras. Sementara Pendekar Gila tampak berusaha mengegoskan tubuhnya
mencari keseimbangan dan berdiri dengan kudakuda yang agak goyah.
Sekejap wujud Toh Jenar yang tadi berupa
manusia mirip kera, kembali ke aslinya. Mulutnya meringis dengan mata merah
menatap tajam Pendekar Gila.
Prakaspati menggeleng-gelengkan kepala
dan terus merasa kagum. Namun dia tetap waspada. Sementara itu Toh Jenar, kembali menyerang
Pendekar Gila dengan senjata rahasia. Dari kedua telapak tangannya tiba-tiba
melesat senjata berupa benda segitiga berujung runcing dan beracun. Se-na
mengelak dengan melenting ke udara sambil
berjumpalitan. Sehingga senjata-senjata itu meluncur deras tak mengenai sasaran.
Jlep! "Aaaakh...!" Prakaspati menjerit panjang, tubuhnya roboh ke tanah kelojotan.
Sena yang melihat itu segera mendekati Prakaspati. Kemudian cepat membawanya
pergi, dengan melesat cepat
mengerahkan ilmu lari 'Sapta Bayu'.
"Aku harus menyelamatkan Prakaspati dulu...," gumam Sena dalam hati.
"Bangsat...! Kau ternyata pengecut juga
Pendekar Gila! Tapi lain waktu kau akan masuk
dalam peti mati ini...," sungut Toh Jenar. Lalu menendang peti mati yang ada di
depannya. "Hihhh!"
Brakk! Peti mati itu terbang ke udara lalu membentur pohon dan anehnya peti mati itu tak hancur.
Hanya tutupnya yang terbuka. Dan di dalamnya
terlihat sebuah patung, mirip dengan Pendekar Gi-la!
*** Pendekar Gila terus berlari bagai anak panah yang meluncur deras. Dalam sekejap dia sudah berada di luar daerah markas Amangjalu. Di
tepi sebuah sungai yang sepi dan aman. Di situlah Sena mulai mengeluarkan benda
segitiga yang beracun dengan kekuatan tenaga dalamnya. Tanpa
memegang, hanya dengan pandangan matanya,
benda itu keluar. Dan bersamaan dengan itu, luka di dada Prakaspati mengeluarkan
benjolan. Kemudian pecah dan muncullah binatang-binatang kelabang warna merah. Sena yang melihat itu mengerutkan kening. Lalu segera berusaha melakukan penyelamatan untuk jiwa
Prakaspati. Namun
sayang, rupanya Hyang Widi berkehendak lain.
Prakaspati tak dapat tertolong lagi.
Dengan sangat kecewa Sena menundukkan
kepala karena kesal dan merasa bersalah. Sena
menghantami dadanya sendiri. Lalu menghela napas dalam-dalam. Dipandanginya tubuh Prakaspati yang membiru, kena racun kelabang merah yang sangat ganas. Racun itu memang
cepat bekerja. Padahal Sena sudah berusaha. Namun Yang Kuasa telah menentukan nasib manusia.
"Sebaiknya aku bawa mayat Prakaspati ke
Kerajaan Kawilangit. Jasadnya patut dihargai...,"
ucap Sena dalam hati. Diangkatnya mayat Prakaspati dan segera melesat meninggalkan tempat itu dengan menggunakan 'Sapta Bayu'
agar cepat sampai di istana Kerajaan Kawilangit.
Sementara itu, Raden Sasakajiwo dan Bratamurti sudah kembali ke tempat Pendekar Gila
tadi berada. Keduanya bermaksud memberikan keterangan. Namun ternyata Sena dan Prakaspati
sudah tak ada. "Ke mana perginya mereka"! Apakah terjadi
sesuatu di tempat ini?" gumam Raden Sasakajiwo, seakan bicara pada diri sendiri.
Matanya menyapu sekeliling tempat itu.
"Mungkin mereka menuju telaga, tapi...,"
suara Bratamurti terhenti, ketika matanya memandang sesuatu di depannya, di dekat pohon.
"Darah...!" gumam Bratamurti dengan mata terbelalak kaget. Bratamurti segera mendekati darah yang
tercecer. Raden Sasakajiwo pun meneliti.
"Benar, darah! Apakah Pendekar Gila terluka" Tak mungkin Bratamurti..."!" gumam Raden Sasakajiwo.
"Celaka! Mungkin Prakaspati terluka! Tapi
ke mana mereka...?" terdengar suara Bratamurti cemas dan geram.
"Mungkin kembali ke Kerajaan Kawilangit..,"
sahut Raden Sasakajiwo.
"Tidak mungkin...," gumam Bratamurti,
"Tapi mungkin juga," katanya kemudian. Lalu segera melesat pergi, tanpa bicara
lagi pada Raden Sasakajiwo. Namun raja muda itu langsung me-nyusulnya, dengan
melesat cepat. Keduanya berlari dan melompati batu-batu
di jalanan yang berbelok-belok. Bratamurti yang nampak tegang terus berlari di
depan Raden Sasakajiwo. "Tunggu...!" seru Raden Sasakajiwo, "Bagaimana rencana
kita?" "Kita kembali setelah tahu bagaimana keadaan Prakaspati dan Pendekar Gila...!" jawab Bratamurti sambil terus berlari.
Wajahnya tetap tegang diluputi rasa cemas. Raden Sasakajiwo hanya bergeleng
kepala, mengikuti Bratamurti.
Sementara itu, Pendekar Gila telah sampai
di luar Hutan Galasetra yang terletak dipertenga-han antara Kerajaan Kawilangit
dan markas Amangjalu. Namun tiba-tiba bermunculan tiga orang
berjubah serba merah menghadang Sena yang
memanggul mayat Prakaspati. Sena menghentikan
larinya. Dengan cepat ketiga orang berjubah telah mengurung Sena.
"Hi hi hi... lucu! Mengapa kalian menghadangku" Aku tak punya urusan dengan kalian.
Minggir...!" bentak Pendekar Gila yang sudah kesal.
"He he he...! Anak Muda, jangan sombong!
Hari ini saat kematianmu!" seru salah seorang di antara mereka.
"Ya! Peti mati ini kami siapkan untukmu...!"
sahut yang lain, seraya menghentakkan tangannya ke depan.
Srakkk! Wes! Wesss!
Sebuah peti mati melayang di udara, lalu jatuh ke belakang Sena. Pendekar Gila melirik sejenak ke belakang. Hatinya sempat
heran dan ka- gum dengan ilmu yang dimiliki orang itu. Lalu
cengar-cengir. "Menyerahlah kau, Pendekar Gila! Peti mati itu khusus untuk tempat tidurmu
selamanya. Ha ha ha...!" tambah yang satu lagi sambil memegangi jenggotnya yang lebat
kemerahan. "Siapa kalian ini"! Aku tak pernah bermusuhan dengan kalian. Cepat beri aku jalan! Temanku ini perlu penguburan...," ujar Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ha ha ha...! Tepat. Biar kau dan temanmu
itu masuk dalam peti mati itu.... Lebih bagus. Ha ha ha...! Pendekar Gila, kau
tak akan bisa lolos da-ri tangan Tiga Iblis Merah dari Sungai Darah!"
Sena mengerutkan kening, "Tiga Iblis Merah dari Sungai Darah"! Edan...! Mereka
orang-orang sakti dari aliran sesat. Pasti mereka bersekutu dengan Amangjalu,"
Sena berkata dalam hati.
Tiba-tiba..., "Heaaaa...!"
Ketiga Iblis Merah Sungai Darah langsung
meluncurkan serangan. Pendekar Gila yang masih
memanggul tubuh Prakaspati tampak kurang lincah dalam bergerak. Namun dia tetap masih mampu mengelakkan serangan ganas Ketiga Iblis Merah Sungai Darah. Pukulan dan tendangan mereka
begitu cepat dan tak berhenti sekejap pun.
"Edan!" gumam Sena sambil melompat
mundur, lalu menaruh tubuh Prakaspati sebentar
di tempat aman. Setelah itu Sena menghadapi ketiga lawannya dengan gagah berani. Gerakannya
kini sangat cepat dan lincah. Saling pukul dan
tangkis, dengan ketiga Iblis Merah Sungai Darah.
"Celaka! Ketiga orang ini tak bisa dianggap remeh!" batin Sena kesal. Karena itu
dia segera membuka jurus 'Si Gila Menyambar Ayam'. Tubuhnya tiba-tiba melenting
ke udara dengan teriakan panjang dan menggema. Lalu dengan cepat
menukik bagai burung elang mencengkeram kepala lawan. Cak! Cak! Cak! "Uts...!"
Salah seorang Iblis Merah memekik pelan.
Lalu mundur beberapa langkah dengan tubuh terhuyung. Kepalanya dirasakan pening. Namun tak
menjadikan orang itu jera karena kemudian kembali menyerang Pendekar Gila.
"Mampus kau, Bocah Gendeng...!" seru yang lain sambil melancarkan serangan
dengan tombak bermata tiga. Setiap ujungnya mengeluarkan bara api. Menusuk ke arah dada dan
kepala Sena dengan cepat dan ganas. Disusul dengan tendangan
kaki kiri dan kanannya sambil melompat. Hampir
saja tusukan iblis mengenai iga Sena, kalau saja tidak segera ditepis dengan
tangan kanannya. Tubuhnya bergerak ke samping, dilanjutkan dengan
melompat ke udara lalu mendarat di cabang pohon. Tiga Iblis Merah dari Sungai Darah memburu ke atas. Pendekar Gila segera memapak dengan ajian 'Inti Brahma' dari telapak
tangannya seketika keluar bola api. Menghantam ketiga orang yang
melenting ke arahnya.
"Heaaa...!"
Wurrrs...! Jlegarrr...! Ledakan terjadi ketika pukulan 'Inti Brahma' Pendekar Gila beradu dengan tombak Tiga Iblis Merah dari Sungai Darah. Seketika ketiga lelaki tua berjubah merah
berpentalan kembali ke bawah. Pendekar Gila segera meluncur mengejar.
Dan begitu sampai bawah, tanpa diduga oleh Pendekar Gila, satu pukulan dari arah belakang,
menghantam keras tengkuk Pendekar Gila. Disusul dengan tendangan keras. Sehingga tubuhnya
terpental beberapa tombak, lalu bergulingan.
"Aaaa...!" Sena menjerit. Lalu tak bergerak lagi. Pada saat itu Tiga Iblis Merah
dari Sungai Darah segera melompat bersamaan hendak menghujamkan tombak mereka ke dada Sena. Namun...
"Tunggu...!" tiba-tiba terdengar suara keras menggema.
Ketiga Iblis Merah serentak membalik. Suara keras menggema tadi ternyata berasal dari mulut seorang lelaki berambut
panjang dan berwajah angker. Orang berpakaian serba kuning itulah
yang telah menjatuhkan Pendekar Gila.
"Bukankah kita akan membunuhnya,
Amangjalu...!" tanya salah satu Iblis Merah dari Sungai Darah dengan kening
berkerut. "Kita masukkan ke dalam peti mati itu pun
nanti dia mampus! Apalagi saat ini Pendekar Gila sudah sekarat.,.! Sebentar lagi
juga mampus...!"
jawab Amangjalu bangga.
Ketiga lelaki tua berjubah merah saling
pandang, lalu segera menggotong tubuh Sena yang tak bergerak lagi.
Dengan kasar Sena masukkan ke peti mati
yang sudah disiapkan oleh mereka. Baru saja mereka menutup peti mati itu. Muncul sosok bayangan putih berkelebat cepat bagai burung elang,
menghajar Amangjalu dan ketiga Iblis Merah.
Amangjalu terhuyung dan roboh dengan memuntahkan darah dari mulutnya.
"Bangsat! Siapa kau...!" seru Amangjalu.
Sedangkan ketiga Iblis Merah seketika tak
berkutik lagi. Karena kepala ketiga lelaki berjubah merah itu pecah. Kena
hantaman sosok bayangan


Pendekar Gila 31 Peti Mati Untuk Pendekar Gila di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

putih. Bayangan putih itu dengan cepat membawa
peti mati yang berisi Pendekar Gila. Dengan mudahnya peti itu diangkat bagaikan barang ringan.
Larinya begitu cepat, laksana terbang. Sehingga dalam sekejap saja telah lenyap
dari pandangan.
Amangjalu marah bukan main. Matanya
membara penuh dendam.
"Aku bersumpah akan membunuhmu, Pendekar Gila! Tunggu saja saatnya...!" gumam Amangjalu geram karena telah gagal
membunuh dan menguasai Pendekar Gila.
Seperginya lelaki berjubah putih yang
membawa peti mati berisi Pendekar Gila, tiba-tiba muncul Bratamurti dan Raden
Sasakajiwo yang
mencari Pendekar Gila dan Prakaspati. Alangkah
kagetnya Bratamurti ketika melihat Amangjalu berada di tempat itu. Begitu juga
Raden Sasakajiwo.
"Kau rupanya, Raden Bodoh...! Ha ha ha...!
Rupanya kalian mau mengantar nyawa, hah"!"
ejek Amangjalu, begitu melihat Raden Sasakajiwo.
"Bangsat Licik! Kau memang manusia licik
dan busuk, Amangjalu. Ayo, kita adu ilmu...!" tantang Raden Sasakajiwo geram.
"Biar aku saja yang menghadapi, Raden!
Manusia keparat ini harus kita cincang!" seru Bratamurti yang sudah berjanji
akan membuat perhitungan dengan Amangjalu.
"Ha ha ha...! Kau orang Kawilangit mau menentangku"! Lihat temanmu di sana!" kata Amangjalu sambil menunjuk ke satu arah.
Bratamurti berpaling ke arah yang ditunjuk
Amangjalu. Ditajamkan pandangannya. "Hah"!
Kakang Prakaspati..."!" gumam Bratamurti kaget
melihat Prakaspati tergeletak berlumuran darah.
"Kurang ajar kau! Kau bunuh dia"!
Heaaa....!" Bratamurti dengan penuh amarah menyerang Amangjalu.
"Hiaaaat...!"
Tangan Bratamurti dan Amangjalu saling
beradu. Raden Sasakajiwo tak mau berdiam diri.
Dia membantu Bratamurti. Karena dia tahu Bratamurti tak akan mampu mengalahkan Amangjalu. Walaupun dia sendiri tak sanggup.
Pertarungan terjadi cukup seru. Nampak
Amangjalu dengan mudah mengelak dan melancarkan pukulan balasan pada kedua lawannya
yang memang berilmu masih di bawahnya.
"He he he...! Kalian berdua memang mengantar nyawa. Kalian menjadi pengganti Pendekar Gila yang gagal kubunuh!
Heaaat...!"
Amangjalu mulai mengeluarkan jurus-jurus
andalannya. Jurus Cakar Iblis! Raden Sasakajiwo dan Bratamurti tersentak melihat
gerakan Amangjalu yang cepat dan membingungkan.
Amangjalu yang sudah memuncak amarahnya, tak ingin lama-lama lagi menghadapi kedua
lawannya. Secepat kilat tubuhnya melompat bersalto di udara. Lalu dengan kedua tangannya yang membentuk cakar, menghantam
batok kepala Raden Sasakajiwo dan Bratamurti.
Jrep! Jrep! Krakk! "Aaaa...!" jeritan panjang terdengar bersahutan. Tubuh Raden Sasakajiwo dan
Bratamurti berputaran sambil memegangi kepala yang retak
akibat jurus 'Cakar Iblis'! Kemudian keduanya roboh dengan isi kepala
berhamburan keluar. Seketika itu pula tewaslah mereka.
"Ha ha ha...! Putri Palupi kini sebentar lagi jadi milikku. Ha ha ha...! Kini
tinggal Pendekar Gi-la itu. Akan kusiapkan lagi peti mati untuk pemu-da edan
itu! Ha ha ha...!"
Amangjalu nampak puas dan gembira. Kemudian dia melesat pergi dari tempat itu.
Suasana yang tadi hingar-bingar dengan teriakan dan pertarungan, kini berubah sunyi, mencekam. Bagai kuburan. Darah
membasahi tempat
itu. Angin kencang tiba-tiba berhembus bagai ingin menghancurkan pepohonan yang
ada di situ. 8 Di suatu tempat yang sepi dan terpencil
tampak seorang lelaki berjubah putih, berdiri dengan kedua tangan dilipat di
dada. Matanya terpejam. Di hadapannya tergeletak sebuah peti mati.
Di dalamnya nampak Pendekar Gila masih belum
bergerak. Sepertinya mati.
Lelaki berumur tujuh puluh tahunan itu
sepertinya tengah membaca mantera. Mulutnya
berkomat-kamit. Lalu perlahan kedua tangannya
yang dilipat di dadanya direntangkan ke samping.
Lalu disatukan telapak tangannya. Sesaat kemudian dari kedua telapak tangannya keluar asap
kebiruan. Lalu....
"Heaaa...!" lelaki tua itu menghentakkan kedua tangan menghantam ke arah
Pendekar Gila yang berada di dalam peti mati.
Sratss...! Blarrr! Secarik sinar perak menerangi tempat itu.
Disusul dengan asap kebiruan. Kemudian berubah
menjadi putih bersih. Seketika tubuh Pendekar Gi-la bergerak. Dan bergerak
bangun. Seperti orang terbangun dari tidurnya.
"Hah..."!" gumam Sena setelah melihat keadaan tempat itu. Asap pun masih
menyelimuti tubuhnya. Hingga Sena yang berada di dalam peti
mati tak mengetahui di mana dirinya berada.
Pelahan-lahan asap putih bersih itu hilang.
Samar-samar Pendekar Gila mulai dapat melihat.
Diusap-usap kedua matanya. Lalu menajamkan
pandangannya. Sosok lelaki tua tengah berdiri di hadapannya tengah menatap Sena dengan tajam. Sena tersentak kaget melihat lelaki berjubah dan berambut putih di hadapannya. Apalagi
ketika lelaki tua itu cengengesan dan menggaruk-garuk kepala, bertingkah seperti
orang gila. Persis seperti tingkahnya sehari-hari. Sena segera keluar dari peti
mati dan cepat menjura memberi hormat pada lelaki
itu. "Eyang Guru...! Ampuni aku...!" seru Sena dengan sangat gembira, begitu
tahu bahwa lelaki itu tak lain Singo Edan, gurunya.
"Hi hi hi...! Kau ini lucu, Sena. Telah bikin malu aku. Kenapa kau sampai bisa
dipecundangi oleh orang-orang keparat itu...!" ucap Singo Edan, sambil menggaruk-garuk kepala
dan cengengesan.
Sena tak menjawab, masih menundukkan
kepala. Lalu menggaruk-garuk kepala pula sambil cengengesan seperti orang gila.
Seperti Singo Edan. "Sekali lagi ampun, Guru! Saya mungkin terlalu ceroboh...," jawab Sena
setelah berpikir. Dia mengangkat kepalanya menatap sang Guru yang
tetap nampak masih gagah dan perkasa. Walau
usianya sudah tujuh puluh tahunan. Badannya
masih tegap dan berotot. Pandangannya tajam penuh wibawa. "Ah ah ah.... Bukan kau yang ceroboh, Sena. Mereka memang memiliki ilmu kanuragan dan
silat yang cukup tinggi. Tapi mereka orang-orang licik. Untung aku merasakan
keadaanmu. Perasaan dan pikiranku selalu ingin menemuimu. Kalau saja terlambat sekejap saja menotok jalan da-rahmu, nyawamu akan
melayang...," tutur Singo Edan sambil menggaruk-garuk kepala lalu duduk
bersila di atas gundukan tanah di depan Sena.
Sena menggaruk-garuk kepala, agak lama
dia mengingat kejadian yang menimpa dirinya. Di-pegang wajahnya lalu kepala,
lalu memeriksa badannya. Hanya terlihat sedikit darah mengotori
pakaian rompi kulit ularnya.
"Bersyukurlah pada Hyang Widi! Dia telah
menyelamatkan kau dari kematian...! Kau lihat pe-ti mati itu, sengaja mereka
buat untukmu, Sena...," tutur Singo Edan lagi. Tangan kanannya kembali menggaruk-garuk kepala.
Kemudian cen- gengesan. "Ooo. Kalau saja Guru tidak datang... tentu aku sudah jadi makanan rayap...!"
ucap Sena dengan nada sedikit berseloroh. Lalu cengengesan dan menggaruk-garuk
kepala seperti gurunya. Keduanya nampak begitu akrab.
"Hi hi hi.... Kau memang mirip aku, Sena.
Aku bangga. Tapi ingat, jangan ceroboh lagi!"
Pedang Kayu Harum 14 Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng Pedang Dan Kitab Suci 14

Cari Blog Ini