Ceritasilat Novel Online

Prahara Raden Klowor 2

Pendekar Cambuk Naga 14 Prahara Raden Klowor Bagian 2


hati, mudah-mudahan
panjang umur, banyak rejeki, enteng jodoh dan...."
"Husy! Itu sama saja mendoakan suamiku kawin lagi, Tolol!" sahut Kirana begitu mendengar kata 'enteng jodoh' yang bagai terucap
tanpa disadari. Kirana sempat bersungut-sungut dan membuat Lanangseta tertawa ge-li. "Guru, apakah guru tidak ingin mengajarkan satu jurus pun
kepada saya di luar mimpi?"
"Tidak! Karena di luar mimpi, aku tidak mempunyai murid. Tetapi, di dalam
impianmu... entah! Aku sendiri merasa belum pernah mengimpikan wajahmu, apalagi
dalam keadaan babak belur seperti ini. Pokoknya, impianmu adalah duniamu sendiri yang tidak bisa kumengerti. Hanya saja, kalau sekali waktu aku melihat
kau gunakan ilmuku untuk hal yang tidak baik, maka
tak ada ampun lagi bagimu, kau harus melawan aku
sampai ada yang mati salah satunya! Jelas"!"
"Jelas sekali. Dan... kurasa tidak mungkin ilmu itu digunakan untuk hal-hal yang
tidak benar." Lalu, dengan berbisik Klowor menyambung, "Kecuali kepepet...!"
Pendekar Pusar Bumi yang bergelar Malaikat Pedang
Sakti itu, melepas kepergian Raden Klowor, yang katanya ingin menyusuri jejak kejahatan yang hendak ditumpasnya. Kirana berkata di dekat suaminya:
"Ia sangat bersemangat untuk menjadi Sang Penumpas." "Ah, biasa! Seorang prajurit kalau pangkatnya masih Tamtama, maunya perang
melulu. Tetapi, kalau sudah
berpangkat Panglima Tinggi, justru berusaha menghindari peperangan. Begitu juga Klowor...!"
"Yaah... mudah-mudahan saja ia bisa berguna bagi kedamaian di muka bumi ini.
Yang kukhawatirkan adalah darah mudanya. Sepatutnya kalau ia didampingi
seorang guru pembimbing yang dapat meluruskan jalannya sewaktu-waktu membelok ke arah lain."
"Meskipun ia jauh dari gurunya, tapi ia selalu dekat dengan guru-gurunya. Mimpi
yang aneh itulah yang
akan menegurnya setiap saat...." ujar Lanang seraya menghela nafas.
Memang benar, Klowor selalu dekat dengan gurunya.
Mimpi-mimpinya adalah guru yang dapat membuat ia
menjadi lebih berilmu. Nyatanya, sekalipun ia tertidur siang di bawah pohon
dalam istirahatnya, ia sempat
bermimpi bertemu dengan Jaka Bego. Tokoh yang kurus, bloon, nyaris seperti sosok Raden Klowor itu, muncul dalam impian siang
itu. "Klowor, pergilah ke sebuah pulau yang bernama Pulau Kramat. Sekarang juga."
"Ada apa di sana, Eyang Guru?" tanya Klowor di dalam mimpinya.
"Ada apa-apa di sana! Pergilah, dan selamatkan seorang perempuan yang bernama
Nyai Katri."
"Apakah dia dalam bahaya, Eyang Guru?"
"Agaknya memang begitu, Klowor. Tak ada yang mau menolongnya, kecuali kamu
sendiri." "Kenapa harus ditolong?"
"Karena dia membutuhkan bantuan. Aku tidak ingin Nyai Katri mati untuk saat-saat
sekarang ini."
"Lho, kenapa Eyang Guru punya pikiran begitu" Se-betulnya ada hubungan apa Eyang
Guru dengan perempuan itu?"
"Husy! Itu rahasia seorang dewa. Jangan banyak
tanya, nanti kucabut hak mimpimu...!"
"Ampun, Guru. Maafkan saya."
Pada saat itu, seolah-olah Lanangseta muncul bersama Kirana dan bayinya. Aneh. Mereka jadi seakan
benar-benar berada di alam bebas. Bukan impian. Padahal itu impian.
"Benar apa kata Jaka Bego, Klowor. Perempuan itu yang bernama Nyai Katri butuh
pertolongan. Cuma ka-mu yang bisa menyelesaikan persoalannya! Pergilah ke
Pulau Kramat, dan lakukan perintah ini!"
"Di mana arahnya, Guru?"
"Berjalanlah terus ke arah Selatan, temukan tebing karang, dan dari atas tebing
itu kau akan tahu letak Pulau Kramat, tempat kenangan kami dulu."
"Kenangan?"
"Ya. Kenangan Eyang Gurumu, Jaka Bego ini."
"Husy! Jangan bawa-bawa soal kenangan ah. Kita ini kan ada di alam mimpi, kok
jadi seperti benar-benar
nyata"!"
"Maksudku, biar murid kita ini benar-benar paham, Bego!"
"Sudah, sudah...!" kata Klowor. "Sesama guru jangan saling mendahului
kemarahannya. Saya akan berangkat
ke sana jika sudah bangun tidur nanti, Guru...!"
Pulau Kramat memang masih asing bagi Raden Klowor. Seperti apa ujud pulau itu, Klowor tak bisa membayangkan. Yang jelas, begitu ia terbangun dari tidur siang di bawah pohon, ia
langsung mencari arah Selatan. Ia berjalan ke arah itu sesuai dengan perintah
para gurunya. Malam hari, seharusnya Klowor tetap meneruskan
perjalanan, sampai pada titik kantuknya. Tetapi, ia terpaksa menghentikan
langkah, karena ia ingat tentang
desa tersebut. Sebuah desa yang pernah dilalui ketika hendak menuju ke desa
Punding, tempat Paman Ludiro.
Desa itu cukup luas, sehingga dijadikan suatu Pademangan. Pademangan itu bernama Pademangan Kumilir. Masih teringat jelas di benak Raden Klowor, bahwa di
Pademangan itulah dia menerima siksaan dari Sumolo,
Brogol, bahkan Ki Demang Gangsir sendiri. Perih sekali hati Klowor jika
mengingat semena-mena mereka dalam
menuduh dan menyiksanya. Tetapi, di balik kepahitan
hati itu, terselip bunga Pademangan yang elok parasnya, bulat matanya dan ranum bibirnya.
Saras. Anak perempuan Demang Gangsir, menggoda
ingatan dan hati Klowor. Kecantikan gadis lugu itu,
membuat debaran-debaran aneh di dada Klowor, sehingga kendati sudah larut malam, namun ia masih
punya niat untuk singgah di rumah Demang Gangsir.
Tetapi, ternyata ia memergoki suatu pemandangan
yang memancing emosinya. Ada dua orang lelaki yang
melompat dari pagar rumah Demang Gangsir. Orang itu
berpakaian kuning dan merah tua. Salah satu menggotong seseorang yang meronta-ronta. Mulut orang yang
meronta-ronta itu jelas dibalut kain, sehingga tak mam-pu berteriak apa-apa.
Klowor bagai mendidih darahnya, sebab dia tahu yang digotong seorang berpakaian
baju kuning dan celana hitam itu adalah: Sarasati!
Benar! Dia adalah Saras, yang sedang menyusupnyusup ke dalam bayangan benak Klowor. Melihat Saras sepertinya sedang diculik dua orang lelaki, maka
Klowor pun tak bisa menahan kesabarannya lagi. Ia segera menghadang gerakan kedua orang tersebut.
"Berhenti! Turunkan perempuan itu!" gertak Klowor.
"Hei, ada pemuda kacangan, yang mau unjuk gigi,
Min. Layani dia...!" geram lelaki yang menggendong Saras di pundaknya.
Dengan segera, Min melancarkan pukulannya ke
arah dada Klowor seraya berkata kepada temannya:
"Larilah terus, Jo. Biar kuhadapi ingusan kelas
kambing ini. Hiaaat...! Hup...!"
Dua pukulan yang dilancarkan secara beruntun
sempat ditangkis oleh tangan Klowor yang mengibas tepat. Kaki Klowor yang kanan maju ke samping, kemudian ia berputar seraya mengibaskan kaki kirinya.
"Wess...!"
"Buug...!"
"Nggeek...!"
Tumit kaki Raden Klowor tepat menghantam punggung tengah lawannya. Tubuh, itu melengkung ke depan dengan mulut ternganga, namun tak mampu berteriak. Ia sempoyongan sebentar, kemudian berbalik dan
siap menghadapi Klowor dengan golok di tangan.
"Kugorok batang lehermu, Jahanam...! Hiaat...!"
Ia mengibaskan goloknya ke arah perut Klowor.
"Wuuug...!"
Klowor melompat ke belakang dengan kedua tangan
terentang. Begitu kaki Klowor menginjak ke tanah, golok itu segera menyusul
ditusukkan ke depan. Sasarannya
dada Raden Klowor. Tetapi, pemuda kurus ini masih
lincah. Ia mampu melompat ke belakang sambil bersalto. Min juga ikut melompat maju dengan senjata di atas, siap bacok.
"Hiaaaat...!"
Raden Klowor justru berguling ke tanah, dan berhenti tepat di bawah kakinya. Begitu berhenti, kaki Klowor langsung menjejak ke
atas. "Modar kau, Kunyuk! Huuh...!"
"Aaaohhh...!"
Min meringis kesakitan. Selangkangannya terkena
tendangan Klowor dengan telak sekali. Ia sedikit gemetar menahan rasa sakit yang
sampai ke ubun-ubun. Kesempatan itu digunakan oleh Klowor untuk melancarkan jurus Turangga Sujud, yaitu tendangan dua kaki
bersamaan, dengan kedua tangan bertumpu pada tanah. Mirip tendangan kuda nungging.
"Hiaaaat...!"
"Krak...!"
Ada suara seperti batang bambu yang patah. Min
meringis tak mampu berteriak. Oh, rupanya ada tulang
rusuknya yang patah beberapa batang, dan kesakitan
yang amat menyiksa itu disusul dengan pukulan Klowor
pada iga Min yang satunya lagi.
"Haaap...!"
"Kreeek...!"
Iga itu pun patah.
"Aaaahhk...!"
Min semakin kesakitan. Sedangkan Klowor tak
memberi kesempatan kepada lawan untuk menikmati
rasa sakit. Ia segera menyahut tangan kanan lawannya, kemudian memutarnya ke
belakang tubuh lawan, dan
tangan itu segera dihentakkan naik ke atas.
"Kraak...!"
"Aaahhh...!"
Makin menjerit saja mulut Min ketika kakinya gemetar lemas karena tangannya dipatahkan oleh Klowor.
Tubuh Min menggelosor di tanah akibat merasakan
sakit yang tiada tara. Ia mengerang dengan nafas bagai tersekap oleh sabut
kelapa. Susah keluar. Tulang-tulangnya yang sudah dipatah-patahkan Raden Klowor
membuat ia tak mampu berdiri dengan melakukan perlawanan lagi. Percuma saja Klowor melayani lawannya yang ini terus menerus. Matanya memandang jauh, menyipit, menembus keremangan malam. Ia sempat melihat sosok
bayangan kecil di kejauhan. Itulah orang yang dipanggil Jo, yang sedang
melarikan Saras di pundaknya. Klowor
harus segera menyusul sebelum kehilangan jejak.
"Bleees...!"
Jurus Lindung Bumi digunakan. Tubuh Klowor amblas ke dalam tanah. Bagai cahaya kunang-kunang tubuh itu menyala di dalam tanah dan berlari cepat sehingga tak mampu dilihat oleh siapa pun. Hanya Lanangseta-lah yang mempunyai ilmu Lindung Bumi. Kalau sekarang Raden Klowor mampu melakukannya, itu
karena Lanangseta yang mendidiknya lewat mimpi Klowor. "Bruull...!"
Tubuh Klowor melompat dari kedalaman tanah yang
ada di depan langkah kaki Jo. Orang berpakaian kuning itu terbelalak kaget
melihat kemunculan Klowor yang
bagai menjebol tanah dari kedalaman. Ia sempat terpukau sesaat. Dan, kesempatan itulah digunakan oleh
Klowor untuk melayangkan tendangannya ke pinggang
kanan orang itu.
"Turunkan gadis itu, hiiat...!"
"Hiiigggh...!"
Jo bertahan dalam keadaan kebingungan. Tahutahu, pukulan menyamping dari Klowor diterimanya
dengan pipi terbuka.
"Plook...!"
"Aaah...!"
Jo belum mau melepaskan Saras, sementara Saras
sendiri semakin meronta-ronta dengan mulut tersekap
kain pengikat. "Dasar bandel...! Waktu kecil belum pernah dihajar kau, ya" Hiaat...! Mampus!"
"Uuugh...!"
Jo meringis kesakitan karena perutnya disodok dengan lutut Klowor dan dagunya dihantam kuat-kuat
hingga ia terdongak ke belakang. Kedua serangan serempak itulah yang membuat Jo menggeloyor, kemudian melepaskan Saras begitu saja. Saras jatuh bagai
karung beras. "Buug...!"
Kedua kaki dan tangannya masih terikat. Ia sedikit
kesakitan karena pundak kiri jatuh lebih dulu menyentuh tanah. Panas hati Raden Klowor melihat lawannya menurunkan Saras dengan tidak sopan. Segera pukulannya
dilancarkan ke dada lawannya. Tetapi, lebih dulu kaki lawan menjejak ke depan,
dan mengenai perut Klowor
hingga Klowor terpental. Keseimbangan tubuhnya lepas
tak terjaga, dan Klowor pun jatuh terduduk.
Saat itu, Jo menggunakan kesempatan untuk mencabut goloknya dengan cepat, kemudian membacokkan
ke kepala Klowor. Namun, sebelum golok menyentuh
rambut Klowor, sebuah tendangan keras melayang dari
kaki kanan Klowor dalam posisi merebahkan badan
miring. "Buuug...!"
Jo membeliak dan menahan rasa sakit pada perutnya. Sekali lagi tendangan gaya miring merebah menghentak di pinggul Jo dengan keras. Tumit Klowor tepat mengenai tulang pinggul,
sehingga linu sekali rasanya.
Hal itu membuat Jo sempoyongan dan jatuh terpelanting di sisi Saras. Karena jengkelnya tak dapat menyerang Klowor, Jo akhirnya memukul pinggang Saras
dengan keras. "Hmmm...!"
Saras berteriak kesakitan tanpa suara pekik yang
sempurna, karena mulutnya dibalut kain menyumbat.


Pendekar Cambuk Naga 14 Prahara Raden Klowor di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekali lagi tangan Jo yang kekar itu menghantam perut Saras dengan geram
kemarahannya, "Mampus kau, Bebek...!"
"Huuughhm...!"
Saras mengerang sesaat, kemudian pingsan.
Ini membuat Raden Klowor semakin naik pitam. Ditendangnya wajah lawannya dengan kuat-kuat. Mulut
lawan menjadi sasaran telak ujung telapak kaki Klowor.
"Uuff...!"
Darah menyembur dari mulut itu. Giginya ada yang
copot dua biji. Jo berguling-guling, kemudian menutup mulutnya dengan salah satu
tangan. Sementara itu,
Klowor semakin garang. Ia melompat ke arah lawan
dengan tendangan kaki yang lurus ke depan. Tetapi,
pada saat itu, Jo sempat mengibaskan goloknya ke arah kaki Klowor, sehingga mau
tidak mau kaki Klowor terangkat sedikit, kemudian ditariknya, tak jadi menendang. Darah dari mulut lawan kelihatan membasah di sela
keremangan petang. Cahaya bulan mengintip sedikit di
sela mega. Klowor tak sabar lagi menghadapi lawan
yang amat menjengkelkan ini. Segera Klowor menggunakan jurus Pukulan Kilang Baja, pemberian Lanangseta yang juga diperoleh lewat mimpinya. Pukulan itu berupa sebaris gerakan tangan
menyibak udara di depannya, dari samping terentang ke belakang, seperti sayap garuda. Dadanya jadi
terbuka. Enak untuk diserang. Ini memang sebuah tipuan bagi lawan yang termasuk
dalam teknik pukulan Kilang Baja. Lawan jadi bernafsu untuk menyerang dada
Klowor yang terbuka lebar. Tetapi pada saat lawan melayang hendak menyerang, tahu-tahu kedua tangan yang terentang ke belakang dengan lurus, dan telapak tangannya terbuka lebar itu, segera bergerak mengagetkan.
Keduanya menghempas ke
depan dalam keadaan masih lurus dan kaku.
"Wuuuug...!"
Angin pukulan terasa menjepit pinggang kanan kiri
lawan. Nafas terhenti sejenak, karena tubuh Jo merasa dijepit oleh dua buah
dinding beton di kanan kirinya.
Matanya membeliak dengan dagu terangkat ke atas. Ia
berusaha untuk bernafas sebisa-bisanya.
Jepitan itu cukup kuat, bagai memeras tubuh Jo.
Lalu, menyemburlah ke atas dari mulut Jo sebuah cairan merah yang menjijikkan. Darah! Ya, darah itu tersembur seakan ditekan dari bagian perut samping.
Muncrat seperti balon berisi air yang diremat.
Kedua tangan yang kaku ke samping depan itu segera dilipat. Lipatannya tepat di depan dada. Kemudian
pergelangan tangan bergulir bagai orang menari, menja-di ke depan. Telapak
tangan berjajar menghadap ke depan, dan dihentakkan dalam keadaan kedua kaki terendah rendah. "Hiaat...!"
Bersamaan suara itu, nafas Klowor terhentak kuat,
dan seperti ada hawa panas yang melesat dari kedua telapak tangan itu. Sebuah
tenaga dalam meluncur,
menghantam dada lawan, sehingga lawan pun tersentak
ke belakang dalam keadaan dada berasap. Itulah yang
dinamakan jurus Pukulan Badai Gunung. Sebuah
rangkaian dari jurus pukulan Kilang Baja yang cukup
dahsyat bagi keselamatan lawan.
Jo tak sempat mengerang. Suaranya bagai habis.
Namun, ia masih bisa meringis, dan berusaha untuk
bangkit. Kemudian dengan gerakan sisa tenaga ia mencoba melarikan diri, dan oleh Klowor tak jadi dikejar, karena ia lebih
mementingkan keadaan Saras yang
pingsan akibat pukulan Jo.
Klowor membiarkan lawannya melarikan diri. Ia
membuka kain penutup mulut Saras dengan perasaan
iba. Gadis itu masih belum sadarkan diri. Raden Klowor menepuk-nepuk pipi Saras.
Maksudnya supaya Saras
sadar. Tetapi, tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara:
"Kau lagi yang membuat onar, Kunyuk ceking..."!"
Klowor berpaling, oh... ternyata Sumolo dan Brogol.
Ia mengenali kedua lelaki itu, sebab dulu ia dituduh
mencuri pusaka Selendang Tirta Dewi. Sekarang ia berhadapan lagi dengan mereka berdua. Masih teringat di
benak Raden Klowor, betapa sakitnya hati dan tubuhnya ketika berada dalam tuduhan dan siksaan kedua
orang itu. "Kali ini, kau tak akan mungkin bisa bebas dari tuduhan kami, Babi!" geram
Brogol. "Mau kau larikan ke mana putri Ki Demang itu, hah"!"
Klowor berdiri, memandang dengan berani. Sempat
terbit rasa heran di hati Brogol dan Sumolo melihat keberanian Klowor yang
bertolak pinggang di depannya.
Tidak seperti dulu; menunduk dan takut kepada mereka berdua. "Rupanya dia sudah punya nyali untuk menghadapi
kita, Sumolo!" kata Brogol sambil tersenyum sinis.
"Nyali tikus yang kepepet, kadang-kadang bisa
menggelikan kita, ya?" timpal Sumolo seraya tertawa pelan.
Raden Klowor berkata dengan tegas, namun tidak
urakan: "Aku bermaksud menolong Saras dari tangan kedua
penculik, tahu"!"
Brogol dan Sumolo tertawa lagi.
"Menolong, kata dia, Gol. Hah, lucu sekali badut kurus ini, ya?" Sumolo
menertawakan Klowor.
Sejenak, Klowor melirik Saras. Ah, belum juga sadar
dari pingsannya. Andai saja Saras sadar, pasti gadis itu bisa menjelaskan duduk
perkara yang sebenarnya.
"Kuminta, kalian tidak gegabah untuk yang kedua
kalinya." kata Klowor. "Kalau kalian gegabah menuduh-ku dan menyerangku untuk
yang kedua kali, maka kalian akan berkenalan dengan aku dalam keadaan di
ambang maut."
"Bukti sudah ada. Kau melarikan Putri Demang
sampai di sini, apakah itu namanya salah tuduhan"!"
"Bukan aku yang melarikan, tapi dua orang penculik yang sempat ku pergoki dan
kukejar di sini...!"
"Brogol, kalau mendengarkan ocehan kunyuk kurus
terlalu lama, bisa muntah aku nantinya. Tangkap saja
dia, dan kalau perlu patahkan tulang lehernya pelanpelan!" "Hiaaat...!"
Brogol langsung saja menyerang Raden Klowor dengan sebuah pukulan tangan kanan yang melayang bagai
sebongkah batu gunung. Genggaman itu begitu keras,
besar dan hitam. Tetapi, Klowor mulai unjuk gigi. Pukulan yang melesat ke arah
wajahnya itu hanya ditangkis dengan dua jari tangan kanannya.
"Taab...!"
Kedua jari Klowor mampu menahan pukulan Brogol
yang keras dan cepat. Justru kini Brogol yang meringis.
Genggaman tangannya bagai menghantam ujung dua
batu besar, karena pukulan itu mengenai ujung dua jari Klowor. Segera Brogol
mengibas-ngibaskan tangannya
itu sambil menyeringai kesakitan. Klowor masih bertolak pinggang dengan tangan sebelah. Seakan siap menunggu serangan berikutnya.
Tentu saja itu membuat Sumolo kaget dan makin geram. Ia tak percaya kalau kedua jari Klowor yang kurus itu mampu membuat
genggaman tangan Brogol menjadi
kesakitan. Maka, dengan tanpa menunggu komentar
dari Brogol, Sumolo melepaskan tendangan kaki kanannya. "Wuuus...!"
Tendangan itu terarah ke wajah Raden Klowor. Kaki
yang besar, seperti kaki kuda nil itu mampu melesat
dan dihindari dengan gerak kepala dan pundak miring
ke kiri. Pada saat itu, jemari Klowor menyentil mata ka-ki Sumolo.
"Iyaaaooow...!"
Sumolo menjerit kesakitan dan terpincang-pincang.
Ia memegangi kaki yang disentil Klowor. Rasanya sakiiiit... sekali, seperti habis dipukul memakai palu besi.
Mata Sumolo sampai terbeliak-beliak dengan mulut
menganga dan mengaduh-aduh. Jelas sentilan jemari
itu bukan sekedar sentilan biasa saja, melainkan mempunyai kekuatan tenaga dalam yang berhasil disalurkan dengan sempurna.
Itulah yang dinamakan Sentilan Jari Kuda, sebuah
jurus milik Jaka Bego yang seharusnya tidak perlu menyentuh tubuh lawan sudah membuat lawan kesakitan
sendiri. Jurus Sentilan Jari Kuda, merupakan sebuah
jurus yang secara tak langsung diberikan oleh Jaka Be-go melalui mimpi Raden
Klowor. Ketika itu, Raden Klowor bermimpi melihat Jaga Bego berlatih jurus Sentilan Jari Kuda. Kemudian
ketika bangun tidur, Klowor men-cobanya apa yang dilihat dan diketahui dalam
mim- pinya. Dan, ternyata tiga minggu kemudian ia berhasil menggunakan jurus tersebut
dengan baik. Tetapi, saat ini ia yakin, bahwa ia tidak sedang bermimpi. Ia benar-benar menghadapi orang-orang kasar
dari Pademangan Kumilir. Brogol dan Sumolo, dua
orang yang seakan menyediakan diri untuk menerima
balasan dari siksaan yang diberikan kepada Raden Klowor ketika itu.
Maka, sewaktu Brogol hendak memukulnya lagi dengan geram kemarahannya, Klowor melompat dan berputar. "Uuuooouuw...!"
Sambil memekik begitu, kaki kanannya mengibas
dalam putaran dan,
"Ploook...!"
Wajah Brogol jadi sasaran kaki Klowor. Begitu kaki
itu berdiri tegak lagi, pukulan kuat dihantamkan oleh
Klowor ke mulut Brogol.
"Ceproot...! Cuuuuur...!"
Darah keluar dari mulut orang berwajah sangar itu.
Bibirnya robek, dan itulah pembalasan!
"Maling kurap...!" geram Sumolo. Ia berusaha untuk menyerangnya dengan pukulan
beruntun ke arah tubuh Klowor. Tetapi, badan Klowor segera menggeliat,
meliak-liuk menghindari semua pukulan tanpa menangkis. Dan, ternyata tak ada satu pun pukulan yang
tersentuh kulit tubuh Klowor, sehingga Sumolo jadi lebih penasaran.
"Sreeet...!"
Golok dicabut, dan segera dilayangkan ke wajah
Klowor. "Mampus kau, Sapi bengek...! Hiaaaaaat...!"
"Wess...!"
Golok membelah udara kosong, karena Klowor melompat ke samping. Begitu melompat dan turun ke tanah, dengan cepat, seperti anak panah, jari-jemari Klowor menotok pelipis kepala
Sumolo. Cukup dengan dua
jari dihentakkan ke pelipis sedikit ke belakang.
"Taab...!"
Dan, ternyata hal itu membuat sesuatu yang lain.
Serangan dan pukulan yang aneh. Namanya, Jurus Totok-totok Tamu.
Tepat pada saat itu, Saras siuman dan mengibaskan
kepalanya seraya merintih. Kemudian, ia memperhatikan Brogol yang hendak menyerang Klowor dari belakang, kontan Saras berteriak:
"Hentikan...! Kalian salah duga...!"
Tetapi, Sumolo yang terkena jurus aneh itu sudah
tak dapat menghindar dan sudah mulai merasakan akibatnya. Ia tersenyum, ketawa pendek, kemudian mengikik sendiri sambil menjauh. Ia makin terpingkal-pingkal seraya menutup mulutnya
dengan tangan, seakan menertawakan seseorang.
"Gila kau"!" geram Brogol. "Ada apa" Kenapa kau menertawakan aku" Kenapa,
hah..."!"
Brogol merasa ditertawakan Sumolo, sementara itu
Sumolo masih terpingkal-pingkal dengan sebentar berhenti, tersenyum, sebentar kemudian tertawa lagi. Geli.
Ini membuat Raden Klowor tersenyum sendiri seraya
membantu melepaskan tali pengikat tangan dan kaki
Saras. "Terima kasih atas pertolonganmu, Raden Klowor...!"
Agaknya Saras masih ingat siapa Klowor. Mereka pernah berkenalan dan menjalin pembicaraan yang baik.
"Maafkan kedua orangku itu, mereka memang bodoh
dan maunya berkelahi terus."
"Tak apa. Aku sudah merubah salah satunya menjadi maunya tertawa terus."
"Kau apakan dia" "
"Itu jurus Totok-totok Tamu...."
"Jurus yang aneh...."
"Ya. Jurus itu akan membuat lawan jadi tertawa geli, teringat peristiwaperistiwa masa lalu yang menggelikan. Jurus totokan jariku akan menyentuh otak,
meng- gerakkan ingatan masa lalu, khususnya ingatan yang
lucu-lucu, sehingga orang yang terkena totokan tersebut akan tertawa geli, membayangkan masa lalunya."
"Hebat. Ternyata kau orang yang hebat! Kenapa dulu aku tidak melihat sedikit pun
kehebatanmu?"
"Aku Raden Klowor yang sekarang, bukan yang dulu...." Raden Klowor tersenyum bangga memandang Saras
dalam keremangan cahaya rembulan. Sementara itu,
Brogol masih kebingungan karena merasa dirinya ditertawakan oleh Sumolo tiada habisnya.
Jurus aneh itu, juga pemberian dari Jaka Bego. Sebuah mimpi membawa Raden Klowor ke suatu tempat,
di mana Jaka Bego menggerak-gerakkan tangannya,
memainkan jurus itu seraya berkata-kata sendiri seperti orang bego. Dari kata
dan gerak yang dilihat Raden
Klowor, semuanya dihapal dan dilatih di luar mimpinya.
Dalam tempo sepuluh hari, ia berhasil menguasai jurus yang diberi nama jurus
Totok-totok Tamu.
"Apakah dia tak bisa berhenti tertawa"!" kata Saras dengan masih berdiri di
samping Klowor.
"Bisa! Tapi, biar saja dia sibuk dengan tawanya, toh tidak menyakitkan orang
lain.... O, ya, bagaimana dengan Pusaka Selendang Tirta Dewi..." Apakah sudah
kembali ke tangan keluargamu?"
"Belum. Lihatlah sendiri, daerah ini kalau siang jelas sekali tampak kekeringan.


Pendekar Cambuk Naga 14 Prahara Raden Klowor di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kami mulai kekurangan air,
baik untuk minum maupun untuk pengairan sawah.
Sungai menjadi kering dan tanah tidak subur lagi.
Hahh... itu gara-gara tak ada lagi yang mampu dari
orang kami untuk menemukan Selendang Tirta Dewi."
Saras tampak sedih. Lalu, Klowor berbisik pelan:
"Kalau aku bisa membantu menemukan pusaka itu,
apa hadiahnya?"
Saras agak kaget.
"Apa hadiahnya?"
"Kau minta hadiah apa" Berapa?"
"Tidak banyak. Cukup satu. Hadiahnya... kau!"
Semakin kaget Saras mendengarnya, semakin malu
Klowor memandangnya. Berdebar hatinya, berharap jiwanya. Akankah disetujui"
* * * 5 Hanya ada satu daerah yang paling subur di daerah
sebelah Selatan Gunung Sawi. Mulanya, daerah itu adalah Pademangan Kumilir. Tetapi, sejak Selendang Tirta Dewi hilang dari daerah
Pademangan Kumilir, maka
tempat itu menjadi gersang. Sama dengan tempattempat lainnya. Selendang Tirta Dewi dicuri. Dan, untuk mengetahui di mana pusaka itu sekarang berada,
Raden Klowor mencari daerah yang paling subur dari
seluruh kawasan di wilayah Selatan Gunung Sawi. Pasti di sanalah Selendang Tirta
Dewi berada. Tempat subur itu ditemukan. Namanya, Tanah
Gempal. Ada suatu pemerintahan tersendiri di Tanah
Gempal. Konon, mereka adalah orang-orang buangan
dari Kediri. Para pemberontak, penjahat, dan pengkhia-nat dibuang ke Tanah
Gempal. Letaknya, tepat di lembah kaki Gunung Sawi yang terkenal tandus dan berongga seperti jurang. Sebab itu, disana juga ada daerah bernama Jurang Gempal.
Sebuah pemerintahan, lengkap dengan masyarakatnya yang sudah bukan lagi merasa sebagai orang-orang
buangan itu, dipimpin oleh seorang warok yang bergelar Ki Warok Wali Kukun.
Sebuah gelar yang cukup aneh
bagi masyarakat di masa itu. Tetapi, semua orang tunduk kepadanya. Semua penduduk Tanah Gempal
menghormat kepadanya. Takut. Sebab dulu ia adalah
gembong perampok tak kenal kasih. Cita-citanya adalah menyusun kekuatan,
mendirikan suatu kerajaan, untuk
menyerang balik keturunan raja Kediri.
Raden Klowor sengaja nongkrong di sebuah kedai.
Banyak orang memperhatikan dia, tapi Klowor bersikap
biasa-biasa saja. Matanya dipasang, telinganya dipertajam, setiap suara orang
didengarnya baik-baik. Sampaisampai, ia sempat menangkap pembicaraan dua orang
yang makan di depan mejanya. Dua orang itu membicarakan soal keluarganya yang ingin pindah ke tempat
lain. "Untuk apa pindah ke sana-sana, di sini saja sudah enak."
"Istriku minta tinggal lebih dekat dengan ibunya."
"Kalau begitu, lebih baik ibunya saja yang kau
boyong ke mari."
"Mana mau"! Mertuaku tahu kalau tempat ini terlalu gersang dan tidak bisa
dipakai untuk bercocok tanam."
"Kasih tahu sama mertuamu, di Tanah Gempal ini
sekarang sudah tidak gersang lagi. Nyatanya, sekarang air mulai melimpah,
sungai-sungai mulai mengalirkan
air bening. Pokoknya, Tanah Gempal dalam waktu dekat akan menjadi tempat yang subur dan makmur. Tidak ada kekurangan air seperti dulu lagi."
"Memang, aku sendiri juga berpendapat begitu. Tetapi, mertuaku mana bisa
percaya. Ia mengira tanah ini
subur dalam semusim saja. Lebih jauh lagi akan menjadi tanah yang gersang dan tandus kembali."
"Yah, kalau begitu, jelaskan saja bahwa penguasa ki-ta, Ki Warok Wali Kukun
telah berhasil memperdalam
sebuah ilmu yang dapat mendatangkan air serta hujan."
"Ah, masa begitu, Bar?"
"Ya. Apa kamu belum tahu, bahwa Ki Warok Wali
Kukun sudah berhasil semadi di Gunung Sawi, dan
mendapatkan pusaka sebuah selendang" Selendang itu
dulu pernah diperagakan di depan umum. Sekali disabetkan bisa membuat tanah menjadi berair, seperti keluar mata air dari tanah
itu. Kalau dua kali disabetkan, mendatangkan hujan."
"Lho, jadi..." Hujan yang kemarin sore itu juga akibat selendang pusaka tersebut
disabetkan dua kali, ya?"
"Iya. Coba bayangkan... apakah tidak rejo, tidak
subur, jika Tanah Gempal mempunyai sumber air yang
ajaib itu"!"
Jelas. Tidak sangsi lagi. Selendang Tirta Dewi dicuri oleh anak buah Ki Warok
Wali Kukun. Dan, sekarang
menjadi kebanggaan sekaligus sumber kehidupan masyarakat Tanah Gempal.
Inilah tugas Klowor. Tugas yang dibuatnya sendiri.
Sekalipun waktu itu, Saras hanya tersenyum malu dan
menundukkan kepala ketika berbicara soal hadiah, tetapi Klowor sudah dapat mengartikan, bahwa jika ia
berhasil memperoleh pusaka selendang itu, maka ia
pasti mendapat hadiah berupa gadis lugu bermata bulat bening, dengan rambut
dikepang dua. Sekarang hanya sebuah cara yang dipikirkan Klowor.
Cara apa dan bagaimana untuk mendapatkan kembali
Selendang Tirta Dewi. Sambil menikmati nasi pesanannya dan secangkir tuak ringan, Raden Klowor berpikir
keras untuk mendapatkan cara menuju selendang pusaka itu. Jika ia lakukan semata-mata menyerang dan
merebut, bahayanya cukup besar. Bisa jadi ia akan dikeroyok orang se-Tanah Gempal.
Ada pembicaraan yang sempat didengar lagi oleh
Klowor. Sebuah pembicaraan dari seorang pemuda yang
sedang merayu gadis kekasihnya di pojok kedai itu.
"Aku tidak mau pergi terlalu jauh, Kang," kata gadis itu. Sesaat, terbayang di
benak Klowor, andai saja yang duduk di pojok sana adalah dirinya dengan Saras.
Oh, indahnya. Sayur jengkol yang dimakannya itu terasa
seperti panggang ayam hidangan istana raja.
"Lho, kamu baru diajak pergi jauh saja sudah tidak berani, bagaimana kalau
diajak berumahtangga" Apa
kamu akan menolaknya juga?" kata pemuda itu.
"Itu kan lain, Kang. Kalau kita sudah berumahtang-ga, ke mana saja aku akan kau
bawa, tentu aku mau.
Asal jangan kau bawa ke kuburan saja."
"Memangnya, kamu tidak berani mati bersamaku?"
"Bukan soal berani atau tidak. Kalau ke kuburan, aku takut. Aku ini kan penakut,
Kang. Malahan, aku
sudah pesan kepada emakku, kalau aku mati, aku minta mayatku dibakar saja, jangan dikubur. Kalau dikubur, berarti aku harus berada di kuburan terusmenerus, dan... mayatku tentu akan takut sama kuburan...." "Baik. Baiklah.,..! Tapi, sekarang aku tidak berminat bicara soal kuburan. Aku
hanya ingin mengajakmu pergi ke suatu tempat. Tidak sampai malam. Sore hari kita
sudah pulang ke rumah. Percayalah."
"Memangnya, mau ke mana kita ini, Kang?"
"Ke... ke Lembah Batu."
"Batu apa ada lembahnya, Kang?"
"Lembah Batu itu nama tempat, tolol!"
Gadis itu tertawa manis.
"Aku cuma becanda, Kang. Aku juga tahu kalau
Lembah Batu itu tempat untuk berlatih ilmu kanuragan
orang-orangnya Ki Warok."
"Tapi, sekarang mereka tidak lagi berlatih di sana."
"Lho, kenapa begitu?"
"Karena tempat tersebut sekarang sudah digenangi air."
"Lembah Batu itu" Ah, bukankah Lembah Batu adalah bagian dari kali mati yang berisi bebatuan saja, tanpa air?"
"Itu kan dulu! Sekarang lain. Kau pikir air sungai yang mengalir di belakang
rumahmu itu bukan berasal
dari Lembah Batu" Lho... bagaimana kamu ini, Kus"
Masa belum tahu?"
"Aku tahu, kalau sungai itu sekarang sudah mengalirkan air bening. Tetapi, dari
mana sumbernya, aku belum tahu. Dan, kurasa aku tidak perlu tahu, yang penting
aku bisa menikmati kesegaran air yang berlimpah."
"Sekarang bagaimana airnya" Masih melimpah?"
"Hemmm... sudah agak surut itu, Kang. Aku khawatir juga kalau akan menjadi surut, habis dan kering
kembali." "Nah, aku ke sana... maksudku ingin mengajak kau ke sana untuk menyaksikan
upacara Pencurahan Air."
"Maksudnya bagaimana itu, Kang?"
"Di Lembah Batu, akan diadakan upacara Pencurahan Air supaya air sungai tidak menjadi susut dan habis. Di sana Ki Warok akan melakukan suatu keajaiban
dengan pusakanya. Dan, kita akan dibuat terkagumkagum melihat keajaiban sebuah selendang yang dapat
mendatangkan air dari bebatuan cadas. Huhh... rugi
kamu kalau tidak mau nonton!"
"Wah, agaknya perlu ku tonton juga acara itu, Kang.
Ingin kulihat, seperti apa selendeng (Editor: selendeng, apa artinya" ) kok bisa
menggali air dari celah bebatuan cadas. Yuk, kita ke sana, Kang...!"
Sebagai orang asing di Tanah Gempal, Raden Klowor
tidak mungkin dapat menemukan Lembah Batu dengan
cepat. Satu-satunya cara untuk mencapai ke sana dengan cepat, adalah dengan menguntit sepasang mudamudi itu. Klowor sendiri tertarik ingin melihat seperti apa acara Curah Air yang
akan dilangsungkan di Lembah Batu itu. Apa yang harus dilakukan di sana" Ah,
itu soal nanti saja! Bagaimana gagasan yang terlintas pada saat nanti saja.
Yang penting, Raden Klowor harus bisa menguntit
kedua muda-mudi itu dengan tidak menimbulkan kecurigaan. Memang agak menyiksa diri menguntit kedua
muda-mudi yang sepanjang jalan selalu berpelukan,
bergandengan, malahan kalau di tempat sepi berani
berciuman. Ingin rasanya Klowor melempar batu kepada mereka, karena dianggap sengaja pamer kemesraan.
Hal itu memang membuat Klowor jadi ingat kepada Saras, gadis yang mendebarkan hatinya. Akibatnya, Klowor jadi ingin cepat-cepat menemui Sarasati, menyerahkan selendang pusaka, dan membawanya jalan-jalan
seperti kedua muda-mudi yang seusia dengannya itu.
Setelah melalui tanjakan beberapa kali, tikungan beberapa kali, sampailah mereka ke sebuah lembah tandus. Ada tebing cadas yang menjulang tinggi, yang menurut perkiraan Klowor, itulah yang dinamakan Jurang
Gempal. Tebing cadas itu memancurkan air tak begitu
deras. Jika deras, maka akan menjadi seperti air terjun yang langsung memenuhi
sebuah sendang di bawah-nya. Sendang tersebut sebenarnya adalah bagian dari
pada sungai yang paling atas.
Klowor merasa lega, ia berhasil menemukan Lembah
Batu yang sudah banyak dikelilingi orang di sana sini.
Mereka berada di tempat agak jauh dari tepian tebing.
Mereka menunggu saat dimulai acara Curah Air dari
sabetan Selendang Tirta Dewi. Mereka tidak berjajar,
melainkan berkelompok-kelompok di sana-sini. Sementara itu, rombongan dari Ki Warok Wali Kukun sudah
datang. Orang yang bernama Ki Warok Wali Kukun berjalan tegap. Badannya besar, tinggi. Tidak memakai ba-ju. Celananya hitam
dililit kain batik putih. Ia mengenakan sabuk dari tali sebesar jempol kakinya.
Sementa-ra ikat kepalanya bercorak batik hitam. Kumisnya tebal, matanya
membelalak garang.
Di sampingnya, ada dua orang berpakaian serba hitam. Yang satu membawa peti kecil, mungkin berisi Selendang Tirta Dewi, yang satu orang lagi membawa
tombak berujung garpu. Runcing, besar dan tajam. Sedangkan, di samping kanan Ki Warok, adalah dua gadis
yang mencengangkan Klowor. Ia tahu persis, kapan ia
bertemu dengan kedua gadis bersenjata kipas itu. Dialah yang pertama kali merasakan sakitnya tendangan
kedua gadis tersebut. Itu menurut Klowor. Sebab sejak
itu dia tidak pernah melihat gadis itu lagi, dan tak tahu apakah kedua gadis itu
juga pernah melakukan penyiksaan terhadap seseorang yang pasrah tak melawan. Kedua gadis tersebut tak lain adalah: Aweni dan Sayung.
Geram hati Raden Klowor teringat ia dituduh mengintip kedua gadis yang sedang mandi di sebuah telaga, dulu. Rasa-rasanya,
sekujur tubuh menjadi perih akibat bayangan saat kedua gadis itu seenaknya
menghajar Klowor. Mungkin sekarang inilah saatnya unjuk diri,
siapa Klowor. Sehela nafas dihirupnya panjang-panjang untuk menahan gejolak
dendamnya. Dalam hati, Klowor
bertanya-tanya:
"Mengapa Aweni dan Sayung ada di sini" Ada hubungan apa antara mereka dengan Ki Warok" Istrinya"
Atau kedua anak Ki Warok?"
Di belakang Ki Warok, masih ada beberapa orang
yang satu di antaranya mirip dengan potongan tubuh
Klowor. Pemuda yang mirip dia itu memegang sebuah
rantai dari bola berduri. Mungkin pemuda itulah yang
mencuri Selendang Tirta Dewi dari Pademangan Kumilir, yang kemudian disangka Raden Klowor. Kemudian,
orang-orang di belakang Ki Warok masih banyak lagi,
semuanya memegang senjata, seakan barisan pengawal
siap tempur. Diam-diam, Klowor mempelajari medan,
mencari tempat yang tepat kalau saja ia berhasil merampas selendang pusaka. Atau, ia akan menantang Ki
Warok untuk bertarung dengan taruhan selendang itu"
Wah, bagaimana enaknya, ya" Kalau bertarung, lalu
Ki Warok kalah, apakah mungkin orang yang memegang selendang mau menyerahkan selendang tersebut.
Tak urung Klowor juga harus merebutnya, dan bertarung lagi. Ki Warok berdiri menghadap tebing cadas. Air merembes dari tebing itu. Kecil sekali rembesannya. Kemudian, ia menyuruh pembawa peti membuka tutup
peti kecil itu, dan segera dikeluarkan sehelai selendang berwarna kuning
keemasan, tetapi tipis seperti kain su-tera. Cahaya matahari memantulkan
selendang yang

Pendekar Cambuk Naga 14 Prahara Raden Klowor di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berwarna emas itu. Emas seluruhnya. Sekalipun itu entah emas murni atau hanya rajutan halus benang
emas" Yang jelas, dari ujudnya saja orang pasti akan
tertarik untuk memilikinya.
"Harus kurebut...!" gumam Klowor dari balik batu.
"Harus dengan paksa. Biar sedikit kasar, yang penting bisa berhasil. Kurasa
hanya dengan cara menyerobot
selendang itu dan membawanya lari, adalah cara yang
paling tepat untuk dilaksanakan."
Ki Warok berbicara kepada rakyatnya, sementara itu
Raden Klowor mengendap-endap mencari posisi untuk
menyerobot selendang tersebut.
"Rakyat ku...!" seru Ki Warok Wali Kukun. "Sekali la-gi, ku ingatkan kepada
kalian; agar jangan menjadi cemas. Kalian sudah dapat hidup dengan tentram,
tanpa memikirkan kekurangan air. Pusaka ini, ku peroleh dari bersemadi dan bertarung
melawan raja Setan Gunung
Sawi. Pusaka inilah yang akan menjadi harapan bagi
kalian, bagi masa depan anak-anak Tanah Gempal yang
akan menjadi perkasa, sebab Tanah Gempal akan menjadi tanah yang subur, banyak air, dan murah pangan!"
Semua orang segera berlutut, menandakan menghormat kepada pusaka dan kekuasaan Ki Warok. Sementara itu, Raden Klowor berada di bagian atas, menyamping dari rombongan Ki Warok. Ia berjongkok, menyiapkan sebuah jurus pemberian Kirana dari sebuah
mimpinya. "Tebing cadas ini, akan mengalirkan air sebagai lam-bang kehidupan dan kebutuhan
setiap manusia, khususnya manusia Tanah Gempal...! Sambutlah dengan
sorak kemenangan, setelah selendang ini ku sabetkan
pada cadas, dan tebing cadas akan mengalirkan air segar untuk kalian."
"Hidup Ki Warok...! Hidup Tanah Gempal...!" seru mereka yang masih berlutut
sambil mengacung-acungkan tangan.
Diam-diam, Raden Klowor menyiapkan sebuah jurus
dari balik batu. Tangannya saling merapat di dada. Telapak tangan itu makin lama
semakin gemetaran. Nafasnya tertahan kuat-kuat sejak tadi. Jurus Tapak
Semberani segera digunakan. Tepat pada saat Ki Warok
hendak mengibaskan selendang emas itu, tangan Klowor menghentak lurus ke depan kedua-duanya dengan
telapak tangan tengkurap ke bawah.
"Wuuus...!"
Ada semacam tenaga yang mampu menyedot dengan
kuat. Kedua tangan Klowor bergetar, dan selendang pusaka itu lepas dari tangan Ki Warok, melayang dengan
cepat ke tangan Raden Klowor.
"Taab...!"
Selendang Tirta Dewi sudah berada di tangan Raden
Klowor. "Woooowww..."!" Semua orang menggumam dalam kekaguman yang sangat mengejutkan.
Ki Warok matanya seakan hendak meloncat ke luar. Wajahnya memerah, dan semua pasukannya menjadi berang. Senjata
disiapkan, dan Ki Warok berseru dengan lantang:
"Bangsat...! Tangkap anak itu, pancung dia di depan umum...! Serbuuu...!"
Sebuah anak panah melesat dengan sasaran dada
Klowor. Lincah sekali Klowor melompat ke tempat lain.
Anak panah itu lolos, tetapi muncul serangan sebatang tombak yang meluncur ke
arahnya. "Wees...!"
Tombak melesat melewati atas pundak Klowor.
"Serahkan selendang itu, Bangsat! Kau akan hancur tak berbentuk di depan
umum...!" teriak Ki Warok yang
segera melompat ke atas. Sementara itu, Raden Klowor
sedikit kebingungan, karena serangan mereka cukup
bertubi-tubi. Amukan mereka menghadirkan sejumlah
senjata yang melayang bersimpang siur di depan mata
Raden Klowor. "Kau pencuri, Ki Warok! Selendang ini bukan milik-mu! Selendang ini ada yang
punya! Aku harus mengembalikan kepada pemilik pusaka ini yang sebenarnya!
Hiaaat...!"
Raden Klowor bersalto ke sana ke mari menghindari
lemparan batu, tombak, panah dan bahkan pisau serta
senjata beracun. Sementara itu, mereka mulai mengepung Klowor dan mulai mempersiapkan benteng pertahanan dari susunan orang-orang bersenjata pedang.
"Hiaaat...!"
Jurus Pukulan Badai Gunung dilancarkan oleh Klowor. Hal itu dilakukan setelah ia dengan cepat menyabukkan selendang tersebut ke perutnya. Orang yang
melayang hendak menyerangnya dengan tombak berujung garpu tajam itu terpental bagai dihempas angin
kencang setelah telapak tangan Klowor menghentak.
"Modar kau, Tikus...!"
"Huuugh...!"
Klowor terkena tendangan mantap dari belakang.
Punggungnya terasa mau patah. Dan, pada saat itu, sebuah anak panah melesat ke arahnya. Untung ia terpeleset jatuh karena tergelincir batu yang diinjaknya, sehingga anak panah itu
lolos dari tubuhnya dan menancap di leher orang yang tadi menendangnya.
"Mampus...! Mampus...! Hiiih...!"
Klowor berguling-guling menghindari hunjaman
tombak yang berulangkali diarahkan kepadanya. Tombak itu selalu meleset, mengenai tanah. Menancap. Dicabut, dihunjamkan lagi, dan menancap kembali... demikian seterusnya, sehingga tubuh Raden Klowor berguling-guling terus ke arah kiri. Pada saat itu, ada seorang musuh yang sengaja
menghadang dari arah kiri
dengan tombaknya. Begitu Klowor berguling ke dekat
kakinya, langsung saja tombak itu dihunjamkan ke bawah. "Seeet...!"
Dengan kecepatan yang luar biasa, Raden Klowor
berhasil menangkap tombak yang hendak menembus ke
dadanya itu. Tombak tersebut ditekan oleh pemiliknya.
Kuat-kuat ditekan ke bawah, dan Klowor bertahan matimatian. Tetapi, ada tombak lain yang datang dari arah kanannya, sasarannya ke
wajah Klowor. Dengan sekuat tenaga, Klowor menghentakkan ke
kanan tombak itu, dan pemiliknya terpelanting ke kanan tepat pada saat tombak dari kanan menghunjam.
"Aaaahhk...!"
Orang yang tombaknya ditahan Klowor terkena tusukan tombak temannya sendiri. Dan, Raden Klowor
segera melentik dengan kedua tangan, tahu-tahu sudah
berdiri dengan kedua kaki tegar menapak.
Nekad. Orang segitu banyak dilawannya. Ini benarbenar perbuatan yang nekad. Ki Warok sampai gelenggeleng kepala melihat keberanian Raden Klowor. Musuhnya lebih dari dua puluh lima orang, tapi Klowor tak gentar menghadapinya.
Kalau tidak otak nekad, tidak
akan berani ia berbuat seperti itu.
"Huaaaiiit...!"
Klowor menggunakan jurus Kilang Baja. Kedua tangannya menghentak dari belakang lurus ke depan tapi
masih menyamping. Dan, orang yang hendak menyerangnya dengan trisula itu mengejang, matanya terbeliak, lalu mulutnya menyemburkan darah kental ke
atas. Klowor segera melompat dan menendang leher
orang itu dari depan. Tendangan kaki kanannya yang
menyamping itu mengakibatkan matinya musuh yang
bersenjata trisula.
"Jahanam kau...! Kau bunuh adikku, hah..."!
Hiaaat...!"
Sebuah pedang menebas ke arah perut Klowor. Dengan gesit Klowor melompat ke belakang. Tetapi, ternyata di belakang pun ada
musuh yang menggunakan rantai
bola berduri. "Weeeng...!"
Kepala Klowor sedikit lagi hancur kalau saja ia tidak secepatnya menunduk. Bola
berduri itu melesat di atas kepalanya. Kibasan anginnya sempat membuat rambut
Klowor tegak sejenak. Tetapi, secepatnya pula Klowor
menghentakkan telapak tangannya, menggunakan jurus Badai Gunung yang sudah dikuasainya itu. Dada
lawan jadi mengepulkan asap. Ia menegang dan mendelik. Tak tahu, mati atau tidak, tetapi Klowor segera melompat dan bersalto
karena dua anak panah meluncur
ke arahnya bersamaan. Keduanya berhasil dihindari
Klowor. Tetapi, sebagai akibatnya, begitu kakinya mendarat, ia terkena pukulan
tongkat pada dadanya.
"Begg...!"
Klowor mendelik, nyaris tak bisa bernafas. Lalu,
tongkat kertas itu menghantam lagi pelipisnya.
"Pletaak...!"
"Aaaohh...!"
Klowor terpelanting dan jatuh ke samping. Kemudian
sebuah tendangan menghampiri dagunya.
"Hiaaat...!"
Klowor mengerang dan meringis kesakitan. Darah
keluar dari bibirnya yang robek untuk kesekian kalinya.
"Tak ada jalan lain kecuali modar kau, Nyong...!
Hiaaat!" Seseorang hendak menebaskan goloknya yang panjang dan lebar. Tetapi, Klowor cepat-cepat menghentakkan tangannya ke atas, ke
arah orang itu. Dan, sekali
lagi pukulan Kilang Baja terhempas, membuat musuh
terpental beberapa langkah dengan dada berasap. Bagian dada itu menjadi hitam kebiru-biruan. Orang itu
mendelik-delik menahan sakit.
"Munduuur...! Mundur semua...!" teriak Ki Warok Wali Kukun. Semua orang
menghentikan serangannya
dengan nafas mereka yang terengah-engah.
Klowor bangkit, karena merasa sudah dikepung dalam satu lingkaran maut. Waktu ia berdiri, tiba-tiba:
"Ziiing...!"
Seseorang menyolong kesempatan melemparkan senjata rahasia berupa besi lempengan berbentuk bunga
cempaka. Dengan gesit Klowor meliukkan badan ke
samping, dan senjata rahasia itu melesat ke arah lain.
Hampir saja mengenai teman mereka sendiri.
"Hentikan semua serangan, Monyet!" teriak Ki Warok kepada anak buahnya. Agaknya
ia marah juga kepada
mereka yang membandel nyolong kesempatan untuk
menyerang. "Hei, Babi panggang...!" teriak Ki Warok kepada Klowor. "Kalau kami mau
membunuhmu sekarang juga,
kamu sudah mati sejak tadi. Tapi kami masih ingin menangkapmu hidup-hidup! Kami mau mencari jalan
lain!" "Tidak ada jalan lain untuk persoalan ini! Dan, aku memang sudah lelah untuk
jalan-jalan ke jalan lain!"
kata Raden Klowor dengan memasang kesiagaan, kakinya masih merentang rendah, dan kedua tangannya
bersiap menangkis atau memukul siapa saja yang mendekat. Baju dan celananya yang biru itu ditiup angin, bagai sayap elang yang
siap terbang. Matanya begitu tajam memandang liar ke kanan kirinya. "Monyet Kurap...!" seru Ki Warok. "Percayalah, kau tak akan menang melawan kami!
Jadi, sebaiknya kita
berdamai saja. Serahkan selendang itu, dan kau akan
kuberi apa yang kau inginkan! Tapi, awas, kalau kau
menipu kami, tak ada ampun lagi bagimu...!"
"Sekarang pun kau tidak memperoleh ampun dariku, Ki Warok...! Kau telah menyuruh
anak buahmu yang
ceking itu untuk mencuri selendang pusaka ini! Licik
dan pengecut!"
"Kepala batu kau, rupanya! Aku sudah menawarkan
hal yang terbaik untukmu, tapi kau membuang kesempatan itu dengan sia-sia...!"
"Hal yang terbaik menurutmu, belum tentu terbaik menurutku. Dan aku sengaja
membuangnya, karena
aku tidak mau menjadi pengecut dan licik seperti anak buahmu!"
Panas sekali hati Ki Warok Wali Kukun. Matanya
semakin merah, dadanya turun naik pertanda nafasnya
tak terkendali. Kemudian dengan geram dan marah ia
berseru: "Aweni...! Sayung...! Remukkan kepala orang sinting itu, lekaaas...!"
Aweni dan Sayung, tokoh perempuan yang pernah
menghajar Raden Klowor di dekat sendang pemandian,
kali ini bertemu dengan Raden Klowor kembali. Setelah Aweni dan Sayung memberi
hormat kepada Ki Warok,
mereka pun maju ke tengah lingkaran.
"Hei, ketemu lagi kita, ya..."!" Klowor menegurnya dengan senyum sinis. Aweni
dan Sayung sama-sama
bungkam. Tetapi, beberapa saat kemudian Aweni berkata kepada Sayung:
"Agaknya pemuda inilah yang mengintip kita tempo hari itu, Sayung!"
"O, ya...! Aku ingat. Tetapi, waktu itu ia tidak melawan ketika kuhajar!
Sekarang dia mau pasang gaya di
depan kita. Huhh...! Kita belah saja tengkorak kepalanya!" "Hebat," ujar Klowor sambil melangkah berkeliling menjaga jarak dan mencari
kesempatan untuk menyerang.
"Kalau kalian menemukan buah semangka, kalian
bisa berkata begitu. Tetapi, agaknya kepalaku ini bukan buah semangka, melainkan
batu granit yang keras dan
tak mudah dibelah dengan ujung kipasmu. Kecuali
dengan ujung lidahmu...!"
Ki Warok terdengar tak sabar:
"Sayung...! Jangan ngobrol saja! Serang dia! Kau ku-perintahkan untuk menyerang,
bukan untuk berembuk
soal buah-buahan...! Kalau mau rujakan, nanti saja!
Sekarang serang, dan serang terus dia! Lekaaas...!"
"Hiaaaatt...!"
Sayung melompat dan membuka kipasnya. Kipas dihentakkan untuk memukul dagu Klowor, tapi kelebatan


Pendekar Cambuk Naga 14 Prahara Raden Klowor di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kipas itu berhasil dielakkan. Andai saja tidak, pasti da-gu Klowor akan robek,
karena ujung-ujung kipas itu
mengeluarkan mata pisau beberapa biji.
"Huaiyaaah...!"
Klowor menjerit sambil menendang dada Sayung.
Kena. Tepat tendangannya mendarat di dada kiri
Sayung, sehingga Sayung pun menjerit kesakitan. Pada
saat itu, Aweni melayang dengan kipas masih tertutup, namun diarahkan ke wajah
Klowor. Dari ujung kipas itu keluarlah semacam sinar biru yang berpijar-pijar.
Bahaya! Klowor segera menjatuhkan diri, dan sinar itu lewat
di atasnya. Kemudian, dengan jurus tendangan Turangga Sujud, kedua kaki Klowor menjejak ke atas, tepat
mengenai perut Aweni yang melayang.
Tubuh gadis itu terpental, melambung tinggi. Kalau
ia tidak segera bersalto, maka ia akan jatuh dengan posisi kepala membentur
tanah. Baru saja Klowor hendak berdiri, tahu-tahu sebuah
goresan terasa melukai betisnya. Oh, ternyata ujung kipas Sayung telah melesat
dan melukai betis Klowor. Untung tidak lebar dan tidak terlalu dalam. Namun,
aki- batnya Sayung terpaksa terjungkal ke belakang, karena telapak tangan Raden
Klowor menghentak dari bawah.
Kilang Baja dan Pukulan Badai Gunung dilancarkan.
Hanya saja, saat itu Sayung cukup lincah, ia buru-buru bersalto, bergantian
tempat dengan Aweni.
Sementara itu, Klowor segera menyadari, bahwa musuh-musuhnya yang mengepung membuat satu lingkaran itu semakin lama semakin menyempit. Mereka maju
sedikit demi sedikit, untuk kemudian akan menyergap
Klowor dengan di luar dugaan.
Aweni dan Sayung berdiri tegak, seakan sedang
mencari kelengahan Klowor. Tetapi, Klowor segera mengirimkan gerakan lembut. Jurus Sentilan Jari Kuda digunakan. Ia menyentil di udara, terarah kepada Aweni.
Dan Aweni menjerit kaget sambil kesakitan. Ia memegangi bagian dada kanannya. Rupanya ke dada kanan
Aweni itulah Sentilan Jari Kuda dilancarkan Klowor.
Bahkan kini, sentilan itu juga diarahkan ke dada kanan Sayung. Sayung pun
menjerit kaget dan meringis kesakitan. Anak muda yang nekad itu masih saja
sempat- sempatnya tersenyum nakal. Ini semakin membuat
Aweni dan Sayung menjadi berang.
Mereka berdua mengibaskan kipas yang sudah terentang. Gerakannya cukup lembut, seperti orang menari. Tetapi, kibasan kipas itu mempunyai kekuatan tenaga dalam, sehingga Klowor
menyeringai menahan rasa perih di sekujur tubuhnya. Gawat! Bisa jadi itu kipasan racun maut, atau
sejenisnya. Tak ada kesempatan
lain untuk menghindar karena suasana panas menyengat mulai menyelimuti udara sekeliling Klowor. Maka,
pada saat itulah, Klowor menggunakan senjatanya yang
sejak tadi terselip di pinggang belakang, tertutup baju
birunya. Cambuk Naga mulai bicara. Mereka yang mengurung
Klowor semakin menyempit. Dan, dengan gerakan cepat
Klowor melecutkan Cambuk Naga dua kali.
"Tar...! Tar...!"
Gemerlap cahaya merah keluar dari ujung cambuk.
Sinar merah itu menghantam tubuh Aweni dan Sayung.
Tak ada suara pekik yang mampu keluar dari mulut kedua gadis tersebut. Karena, ketika cambuk lentur itu
berkelebat memancarkan sinar merah, leher mereka serempak terpotong total. Kepala menggelinding dan badan mereka kejang-kejang sebentar, kemudian rubuh
tak berkutik lagi.
"Bangsaaaaat...! Kau telah membunuh anakku, Bajingan!" Ki Warok geram. Matanya semakin melotot merah. Kemudian ia segera
melepas tali kolornya yang sebesar jempol kaki.
"Kuhancurkan otakmu, Iblis Keparat...!"
"Wuuung... wuuung... wuuung...."
Suara itu terdengar akibat kolor Ki Warok diputarputarkan ke atas kepala. Ada angin yang bertiup, makin lama semakin kuat. Klowor
segera menghentakkan
cambuknya ke arah Ki Warok.
"Taaar...!"
Ki Warok melompat, dan tangan kirinya yang kosong
menghentak dan telapak tangan terbuka. Lalu, semacam campuran sinar aneka warna keluar dari telapak
tangan tersebut. Dan menggelegar di bawah kaki Klowor. "Blegaaarrr...!"
Waktu itu, Klowor segera melompat, dan menjadi
terbelalak melihat tanah tempatnya berpijak telah retak, dan merenggang, seakan
ada sebuah celah jurang yang
terjadi secara tiba-tiba.
"Hebat juga ilmumu...!" teriak Klowor setelah ia bersalto pindah tempat.
"Weeessss...!"
Sebuah pedang dari barisan pengepung menyerangnya, Klowor berkelit dan mengibaskan cambuknya ke
arah mereka. "Taaar...!"
Cambuk itu mengenai kepala orang yang mencoba
membabat kepala Klowor dengan pedangnya. Orang itu
menjerit bersama temannya, karena kepalanya menjadi
retak dan berdarah. Ia mati, tetapi temannya pucat karena kaget dan merasa
ngeri. "Hadapilah aku saja, Bajingan...!"
"Blegaar...!"
Sekali lagi Ki Warok melancarkan pukulan dahsyatnya ke arah Klowor. Klowor segera bersalto, pindah
tempat lagi. Dan, tanah tempatnya berdiri menjadi merekah, bagai jurang kecil yang membahayakan kaki
manusia. Tanah di bagian tepiannya segera longsor.
Mengerikan sekali.
"Taaar...!"
Cambuk Naga berkelebat ke arah Ki Warok, tapi Ki
Warok menyambutnya dengan tali kolor yang sejak tadi
diputar-putarnya di atas kepala. Benturan ujung cambuk dengan tali kolor itu menimbulkan ledakan yang
memekakkan telinga. Tubuh Ki Warok terpental, sedangkan Raden Klowor hanya terhuyung-huyung sejenak. Semakin meluap kemarahan Ki Warok Wali Kukun
melihat tali kolornya rantas. Menjadi seperti serpihan benang akibat benturan
dengan Cambuk Naga.
"Huaaaattt...!" Ki Warok berteriak, menggerak-gerakkan kedua tangannya dengan
telapak tangan terbuka. Lalu, tangan kanan yang di atas kepala dihentakkan ke depan bersamaan
dengan tangan kiri yang ada
di bawah pinggang.
Pada saat itu, ada nyala api yang setinggi manusia
dewasa melesat menyambar Raden Klowor. Nyala api itu
berkobar-kobar. Raden Klowor menghindar ke kanan
dengan satu lompatan, tetapi api itu mengejarnya, dan akhirnya membakar tubuh
Raden Klowor. Api tak mau
lepas, makin berkobar saja sekalipun Raden Klowor telah kebingungan cara memadamkannya.
"Mampus kau menjadi tikus panggang...! Hua, ha,
ha...!" Ki Warok tertawa keras-keras melihat tubuh Klowor dibungkus api.
Gawat! Api semakin panas dan sukar dipadamkan.
Klowor sempat panik. Cambuknya dikibaskan ke sanasini, menimbulkan ledakan, namun tidak memadamkan
api. Akhirnya, ia teringat mimpinya ketika bertemu dengan istri Lanangseta yang
dipanggilnya: Bibi itu. Ia ingat obrolan-obrolan tentang diri perempuan Putri
Bukit Badai itu. Lalu, dalam keadaan tubuh terbakar api, Raden Klowor berteriak
keras-keras: "Kiranaaaaaaaaa...!"
Terdengar suara gemuruh. Nama yang tidak boleh
diucapkan itu mengakibatkan datangnya rombongan
petir di angkasa yang menggelegar. Angin bertiup keras, kencang dan semakin
kencang. Api yang membungkus
tubuh Klowor melesat bagai kapas dihembus angin. Bebas. Tubuh Klowor memang mengalami luka bakar, tapi
tidak berbahaya. Baju dan celananya berasap, tetapi Selendang Tirta Dewi tetap
utuh, bagai tak mempan api
sama sekali. Yang lebih mengerikan lagi, akibat Klowor menyebut
nama Putri Bukit Badai itu, tanah menjadi berguncang.
Langit memerah dengan awan membara berarak-arak.
"Glegaaar...!"
Petir menyambar-nyambar, melompat bagai mengamuk pada alam jagad raya. Angin yang bertiup melebihi topan badai yang mengamuk.
Batu-batuan terbang ke
sana-sini. Tanah lembah menjadi longsor. Tubuh mereka saling tunggang langgang terhempas angin. Ada yang mati karena kepalanya
terbentur batu besar yang dipakai Klowor untuk berlindung dan menahan diri agar
ti- dak dihempaskan angin. Ada juga yang menancap pada
tombak kawannya sendiri. Ada lagi yang mati karena te-rinjak-injak kaki mereka.
Langit menjadi kemerah-merahan, tapi ada mendung
hitam di sana-sini. Gelap. Alam bagai membara. Petir
merobek langit dan mencurahkan api yang memercikmercik. Bumi yang berguncang itu benar-benar tidak
bisa dipakai berdiri tegak. Sungguh mengerikan suasananya kala itu. Kiamat telah terjadi di Tanah Gempal.
Hanya batu yang benar-benar besar yang tidak terhempaskan, hanya bergerak-gerak saja. Tetapi, bebatuan
yang kecil dan berukuran tanggung terlempar karena
amukan badai. Klowor sendiri nyaris terhantam sebuah
batu. Untung ia segera merunduk dan batu itu mengenai tubuh Ki Warok Wali Kukun.
Jerit dan tangis mereka seperti irama di tebing neraka. Orang-orang yang sekedar menonton upacara Curah
Air dan yang kala itu menyaksikan pertempuran Klowor
dengan Ki Warok, ada yang menjadi korban sampai mati
terhimpit batu. Klowor sungguh tak mengira kalau kedahsyatan nama Kirana bila diucapkan akan menjadi
sebegini mengerikannya. Ia mengira hanya akan terjadi badai biasa-biasa saja,
dan guncangan tanah yang wajar-wajar saja. Ia tak mengira kalau tanah akan
menjadi merekah dan memancarkan bara merah dari dalamnya,
sedangkan guncangannya kian lama kian menghebat,
tepat bersamaan dengan hembusan badai yang berubah-ubah arah. Pantas kalau Lanangseta tidak pernah memanggil
nama istrinya, dan Paman Ludiro juga tidak pernah
menyebutkan nama Kirana. Rupanya inilah akibatnya
jika nama Kirana disebutkan oleh siapa saja.
Pada saat badai menjadi lamban dan langit mulai redup dari kemerahannya, Klowor melihat Ki Warok berlumuran darah, mungkin terkena hempasan batu-batu,
atau terkena senjata yang saling beterbangan, atau ter-seret oleh angin. Entah.
Yang jelas ia masih hidup. Dan, ia berusaha mendekati Klowor dengan menggeram
bak raksasa marah. Maka, dengan cepat Klowor menghentakkan cambuk ke arahnya:
"Tar... taar...!"
Dua kali, cukup membuat tubuh Ki Warok tak berkutik lagi. Tubuh itu mengerikan sekali. Sadis. Terbelah dari kepala sampai ke
dada, dan terbelah juga pada bagian perutnya. Uh, mual jadinya Klowor melihat
kea- daan itu. Sedangkan di kanan kirinya, banyak mayat
bergelimpangan, tertindih batu maupun terpanggang
senjata teman sendiri. Yang mengerang kesakitan juga
semakin jelas terdengar. Badai reda dan Klowor sendiri tak tega melihat alam
kematian yang sebegitu ngerinya.
Ia segera melompat, berlari, dan melompat lagi meninggalkan Tanah Gempal,
membawa Selendang Tirta Dewi
untuk diserahkan kepada Saras.
Si cantik molek dan menggetarkan hati itu terpana
saat Raden Klowor datang dan menyerahkan Selendang
Tirta Dewi. "Ambillah hadiah mu sekarang juga," bisik Saras.
Tapi, Klowor hanya menggumam dalam senyum kebahagiaan. Ia berbisik, "Aku ada tugas ke Pulau Kramat.
Ada yang harus kuselesaikan di sana. Kau mau menungguku...?"
"Pergilah, kutunggu kau sampai rambutku memutih...!" Saras memejamkan mata. Tanda minta dicium. Tapi,
Raden Klowor tak berani. Ia hanya menempelkan jarinya, lalu pergi.
TAMAT Scan by Clickers
Juru Edit: Lovely Peace
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
Document Outline
* * * 2 * * * 3 * * * 4 * * * 5 TAMAT Kasih Diantara Remaja 6 Heng Thian Siau To Karya Liang Ie Shen Harimau Mendekam Naga Sembunyi 18

Cari Blog Ini